Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN
Agitasi merupakan psikopatologi yang sering ditemui pada berbagai gangguan
psikiatrik, misalnya skizofrenia, skizoafektif, gangguan bipolar, atau demensia. Pada
pasien dengan skizofrenia, agitasi sering terjadi selama fase akut. Pada agitasi terlihat
adanya ansietas yang disertai dengan kegelisahan motorik, meningkatnya respons
terhadap stimulus internal atau eksternal, iritabilitas, peningkatan aktivitas verbal atau
motorik yang tidak bertujuan.
Agitasi merupakan gejala yang sangat menakutkan karena sering meningkat
menjadi perilaku atau tindakan kekerasan (violent) dan destruktif. Kekerasan yaitu
agresif fisik yang dapat mencederai orang lain. Yang sering menjadi korban kekerasan
adalah keluarga, petugas medik atau pasien lainnya. Oleh karena itu, intervensi yang
cepat sangat diperlukan untuk mencegah pasien melukai dirinya, keluarga atau orang
lain.
Pada keadaan yang parah, gerakan yang ditimbulkan bisa membahayakan
orang lain, seperti merobek-robek, menggigit kuku jari dan menggigit bibir sendiri
yang menimbulkan potensi pendarahan akibat trauma. Agitasi psikomotor ini
merupakan tipikal symptom yang dapat dijumpai pada kelainan depresi mayor atau
kelainan obsesi dan terkadang dijumpain pada gangguan bipolar, meskipun kelainan
ini merupakan akibat dari kelebihan stimulus yang diterima. Usia pertengahan
(dekade ke 2 dan 3) dan usia tua merupakan usia yang penuh dengan resiko terjadinya
kelainan ini.

II.

DEFINISI AGITASI
Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika di dalam DSM-IV-TR, agitasi didefinisikan

sebagai aktivitas motorik yang berlebih-lebihan terkait dengan perasaan ketegangan


dari dalam diri. Gangguan perilaku yang kompleks yang dikarakteristikkan dengan
agitasi terdapat pada sejumlah gangguan psikiatri seperti skizofrenia, gangguan
bipolar, demensia (termasuk penyakit Alzheimer) dan penyalahgunaan zat (obat
dan/atau alkohol).
Agitasi (keresahan atau kegelisahan) adalah suatu bentuk gangguan yang
menunjukkan aktivitas motorik berlebihan dan tak bertujuan atau kelelahan, biasanya
dihubungkan dengan keadaan tegang dan ansietas. Pada beberapa literatur dikatakan
bahwa agitasi adalah gangguan psikomotor yang memiliki karakterisasi peningkatan
aktivitas motor dan psikologi pada pasien (adanya irritabilitas). Adanya gerakan
berjalan bolak-balik dalam satu ruang tanpa alasan, gerakan memeras-meras tangan,
melepas baju dan memakainya lagi dalam kondisi terbalik, dan tindakan motorik dan
tak beralasan lainnya. Pada keadaan yang parah, gerakan yang ditimbulkan bisa
membahayakan orang lain, seperti merobek-robek, menggigit kuku jari dan menggigit
bibir sendiri yang menimbulkan potensi pendarahan akibat trauma.

Perilaku Fisik Non-agresif

Perilaku Verbal Non-agresif

Kegelisahan umum
Mannerism berulang
Mencoba mencapai tempat yang berbeda
Menangani sesuatu secara tidak sesuai
Menyembunyikan barang
Berpakaian tidak seusai atau tidak
berpakaian

Perilaku Fisik Agresif

Negativism
Tidak menyukai apapun
Meminta perhatian
Berkata-kata seperti seseorang yang

berkuasa
Mengeluh
Interupsi yang relevan
Interupsi yang irelevan
Perilaku Verbal Agresif

Memukul
Mendorong
Merebut barang
Berperilau kejam terhadap manusia
Menendang dan menggigit

Menjerit
Mengutuk
Membuat suara aneh

III. PREVALENSI
Sebanyak 1,7 juta kunjungan ke ruang gawat darurat per tahun melibatkan pasien
agitasi dan 20% - 50% dari kunjungan darurat psikiatri di Amerika Serikat melibatkan
pasien yang beresiko agitasi. Skizofrenia (sebanyak 27%) dan gangguan bipolar
adalah penyebab yang sangat umum dari agitasi. Agitasi pada pasien skizofrenia atau
gangguan bipolar dapat dipercepat atau diperburuk oleh faktor yaitu laki-laki, usia
yang lebih muda, riwayat penyalahgunaan zat, ketidakpatuhan terhadap antipsikotik,
sejarah perilaku agresif secara fisik, dan karakteristik lingkungan di mana mereka
ditempatkan (misalnya, bagian gawat darurat penuh sesak).
IV. ETIOLOGI
Agitasi merupakan manifestasi dari penyakit medis, ansietas berat dan bagian
dari kondisi psikiatri. Penting untuk menentukan diagnosis sebelum menentukan
terapi yang digunakan. Diagnosis dilakukan atas dasar gejala yang ditemukan (tingkat
kesadaran, bahasa, pikiran, dan lain-lain) serta informasi yang diberikan oleh
keluarga anggota, teman, riwayat penyakit kejiwaan atau riwayat penyakit medis
organik, faktor pencetus, penggunaan narkoba, onset.

Gangguan mental organik


Seperti dalam semua keadaan darurat psikiatri, prioritasnya adalah
untuk menyingkirkan penyebab organik yang memerlukan pengobatan
khusus. Gangguan sistemik pada sistem saraf pusat serta penyalahgunaan

narkoba mempengaruhi fungsi otak dan dapat menghasilkan agitasi


psikomotor yang umumnya bermanifestasikan suau sindrom kebingungan
akut atau delirium, dengan karakteristik khusus yang ditunjukkan pada
Tabel 1. Gangguan organik yang dapat menyebabkan agitasi psikomotor
ditunjukkan pada Tabel 2. Pasien-pasien ini lebih sering dirawat di rumah
sakit umum.

Ganggu
an
psikotik

Pasien dengan skizofrenia paranoid lebih sering menampilkan agitasi


psikomotor, Muncul gejala positif pada fase eksaserbasi yaitu pikiran dan
pembicaraan yang kacau dan halusinasi yang sering mengakibatkan
perilaku agresif atau perilaku menyakiti diri sendri. Perbedaan antara
skizofrenia atau pasien psikotik lain dengan delirium organik adalah
kesadaran yang berubah pada delirium organik.

Kondisi kejiwaan lain yang juga terkait dengan agitasi psikomotor


yaitu gangguan, bipolar fase manik, terutama ketika berkembang dengan
gejala psikotik. Episode manik dapat bermanifestasi sebagai perilaku
agresif, umumnya disertai oleh euforia, kesenangan bicara dan waham
kebesaran.

Gangguan non-psikotik dan non-organik


Kategori ini mencakup pasien dengan gangguan kepribadian non
psikotik yang menampilkan gejala agitasi psikomotor sebagai reaksi dari
faktor-faktor tertentu :
a. Reaktif atau situasional agitasi (gangguan adaptif).
agitasi muncul dikarenakan pasien tidak mampu beradaptasi.
b. Stres akut
disebabkan oleh situasi yang dirasakan sebagai hal yang tidak
diinginkan. Pasien mungkin bereaksi dengan perilaku seperti
kemarahan atau menampilkan gambaran apatis dan depersonalisasi.
c. Stres emosional
disebabkan oleh peristiwa kehidupan seperti kecelakaan, kematian
anggota keluarga.
d. Pada anak-anak, stres akut yang disebabkan oleh pelecehan seks atau
penganiayaan.
Perbedaan antara agitasi karena kasus prikiatri dengan agitasi karena

penyebab organik ditunjukkan pada tabel 3.


No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Suggest Psychiatric Etiology


Oriented
Alert
Gradual onset
Psychiatric history
Normal vital signs
Normal physical exam
Age < 40 years

Suggest Organic Etiology


Disoriented
Depressed level of consciousness
Sudden onset
No psychiatric history
Abnormal vital signs
Abnormal physical exam
Age > 40 years (without psychiatric

Auditory hallucinations

history)
Visual hallucinations

9.
10.

V.

Flattened affect
Able to redirect

Emotional lability
Unable to sustain attention

PATOFISIOLOGI
Beberapa literatur menyebutkan tentang mekanisme biologis yang mendasari
agitasi sebagai sindrom terpisah dan spesifik. Gangguan pada neurotransmiter
tertentu terlibat dalam patofisiologi agitasi (Tabel 4)

A.
Depresi dan Agitasi
Paofisiologi pada depresi dan agitasi melibatkan dua mekanisme yaitu terjadi
aktivitas berlebihan pada aksis hipotalamus-piuitari-adrenal (HPA axis) dan
peningkatan respon terhadap serotonin. Peningkatan terhadap aktivitas
transmisi serotonin dapat menjadi pencetus ansietas dan agitasi pada individu
yang rentan. Kelainan regulasi neurotransmitter lain yang dapat menyebabkan
agitasi pada depresi yaitu penurunan fungsi dari asam -aminobutirat (GABA)
dan peningkatan aktivitas noradrenergik. Pada keadaan ini, Diperlukan obat
yang dapat meningkatkan fungsi GABA-ergik dan menurunkan transmisi
nonadrenergik. Obat yang digunakan berfungsi sebagai agonis GABA-ergik
(contoh asam valproate, benzodiazepine).
B. Dimensia dan Agitasi
Terdapat tiga sistem yang berhubungan dengan agitasi pada dimensia, yaitu
penurunan GABA-ergik, peningkatan sensitivitas terhadap norepinefrin dan
penurunan fungsi serotonin. Asam valproate, agonis GABA-ergik dilaporkan
efektif berfungsi sebagai antiagitasi pada pasien dimensia dengan agitasi.
Antagonis dopamine digunakan pada pasien dengan peningkatan sensitifitas
terhadap norepinefrin. Antagonis dopamine diindikasikan sebagai
antipisikotik dengan dampak minimal EPS (ekstrapiramidal sindrom).
C. Psikosis dan Agitasi
Agitasi sering terjadi pada episode akut psikosis dan terkai dengan gejala
positif. Jalur dopaminergik merupakan jalur utama pada patofisiologi dari
gejala positif dan diikuti oleh gangguan fungsi pada serotonergik, GABAergik dan glutamatergik. Pada psikotik akut menggambarkan sindrom
gangguan mesokortikal yang disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang
berlebihan dan gangguan glutamatergik pada neurotansmisi dopaminergic dan
penurunan inhibisi GABA-ergik. Hal tersebut mengakibatkan penurunan

aktivitas pada cortical prefrontal dan menimbulkan gejala negatif, positif dan
kognitif. Gangguan fungsi pada jalur serotonergic juga dapat menjadi
patofisiologi psikosis. Jalur serotonin 2A (5-HT2A) berhubungan dengan
aktivitas dopaminergik. Antagonis 5-HT2A meningkatkan neurotransmitter
dopamine.

VI.
FAKTOR RESIKO AGITASI
Faktor-faktor tertentu dapat mengindikasikan peningkatan risiko perilaku
kekerasan secara fisik. Faktor resiko terdiri dari faktor individu, faktor klinis,
faktor situasi (Tabel 5)

VII.
MANAJEMEN
A. Terapi farmakologis
Tidak ada jenis obat yang dianggap terbaik untuk semua kasus agitasi,
tetapi tiga kelas umum obat paling sering diteliti dan digunakan untuk
agitasi yaitu antipsikotik generasi pertama, generasi kedua antipsikotik,
dan benzodiazepin.

Antipsikotik Generasi Pertama


Antipsikotik generasi pertama atau tipikal (FGA) memiliki
sejarah panjang penggunaan untuk pengobatan agitasi. Mekanisme
FGAs untuk menurunkan gejala tidak diketahui pasti tetapi
diperkirakan FGAs menghambat transmisi dopamin pada otak
manusia yang dapat mengurangi gejala psikotik yang mendasari
penyebab agitasi. Selain itu, beberapa FGAs secara struktur memiliki
kemiripan dengan neurotransmitter inhibisi asam gammaaminobutira
(GABA) dan berinteraksi dengan GABA reseptor pada manusia
dalam dosis tinggi.
Fenotiazin merupakan kelas obat antipsikotik dengan potensi
rendah seperti klorpromazin (Thorazine). Fenotiazin merupakan FGA

pertama yang disetujui dan dipasarkan oleh US Food and Drug


Administration (FDA) dan memiliki kecenderungan untuk
menyebabkan hipotensi, antikolinergik, dan menurunkan ambang
kejang dibandingkan dengan FGAs seperti haloperidol. Dengan
demikian, fenotiazin tidak dipilih untuk pengobatan agitasi akut.
Haloperidol merupakan FGA dengan potensi tinggi.
Haloperidol merupakan turunan butirophenone yang bekerja sebagai
antagonis selektif pada reseptor dopamin-2 (D2). Haloperidol disetujui
FDA untuk penggunaan oral atau intramuskular pada skizofrenia,
efektif dan aman untuk pengobatan agitasi akut. Haloperidol
merupakan FGA yang paling umum digunakan saa ini untuk
mangatasi agitasi akut. Droperidol, turunan butirophenone lain yang
bekerja menghambat reseptor D2 belum disetujui untuk digunakan
dalam pengobatan psikiatri tetapi disetujui sebagai pengobatan praanastesi untuk mengurangi mual dan muntah yang berhubungan
dengan anestesi. Droperidol juga telah digunakan secara luas untuk
mengobati agitasi.
Haloperidol dan droperidol memiliki efek minimal aktivitas
antikolinergik dan memiliki interaksi minimal dengan obat
nonpsikiatri lain. Namun, kedua obat memiliki efek samping yang
penting. Droperidol dan haloperidol berpotensi menganggu kerja
jantung yaitu dengan memperpanjang interval QTc. Penggunaan
haloperidol dan droperidol harus dipantau terutama bagi pasien yang
meminum obat lain yang dapat memperpanjang interval QTc, pasien
yang sudah memilik kelainan jantung sebelumnya, atau pasien yang
memiliki predisposisi perpanjangan interval QTc seperti
ketidakseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia dan
hipomagnesemia), atau hipotiroidisme. Penggunaan haloperidol yang

10

diberikan secara intravena, harus dilakukan pembatasan dosis menjadi


5 sampai 10 mg / hari dan diberikan dalam pemantauan EKG
Selain efek samping pada jantung, haloperidol dan droperidol
memiliki risiko efek samping sindrom ekstrapiramidal (EPS) seperti
distonia atau sindrom neuroleptik maligna. Dosis obat yang tinggi juga
dapat menyebabkan reaksi katatonik karena blokade dopamin sentral
yang berlebihan. Gejala EPS terjadi pada 20% pasien agiasi yang
diobati dengan haloperidol dan 6% pasien agitasi diobati dengan
kombinasi haloperidol dan lorazepam. Pengobatan kombinasi lebih
cepat menurunkan gejala agitasi. Haloperidol sering diberikan dalam
kombinasi dengan obat lain seperti lorazepam, prometazin, atau
difenhidramin. Haloperidol menjadi obat pilihan pada agitasi dengan
keracunan alkohol. Dosis yang direkomendasikan untuk mengatasi
agitasi pada psikotik yaitu 2-5 mg intramuscular untuk haloperidol
yang diberikan setiap 1-4 jam. Pemberian haloperidol diberikan
bersamaan dengan lorazepam 2 mg inramuskular atau clorpromazin
25-50 mg intramuscular setiap 1-4 jam.

11

Tabel 7. Perbedaan efek samping antipsikotik tipikal potensi tinggi

dengan antipsikotik tipikal potensi rendah


Antipsikotik Generasi Kedua
Antipsikotik atipikal atau disebut juga dengan antipsikotik
generasi kedua (SGA). Generasi ini mulai dikembangkan pada tahun
1990 dan digunakan dalam onset akut. Olanzapin (Zyprexa),
ziprasidon (Geodon), dan aripiprazol (Abilify) digunakan dalam
bentuk injeksi intramuscular dan oral. Risperidon (Risperdal) dan
quetiapin (Seroquel) tersedia dalam bentuk oral.
Obat-obat ini bekerja sebagai antagonis pada reseptor D2 dan
bekerja sebagai antagonis pada reseptor serotonin 2A (5-HT2A).
Selain itu, antipsikotik atipikal bekerja pada reseptor jenis lain, seperti
histamin, norepinefrin reseptor. Ziprasidon memiliki afinitas tinggi
untuk reseptor serotonin dibandingkan dengan reseptor D2. Olanzapin
dan quetiapin memiliki afinitas yang relatif lebih tinggi untuk reseptor
histamin. Secara umum, SGAs memiliki risiko efek samping distonia
atau akatisia yang rendah (1%).
Sejumlah studi yang membandingkan kombinasi antipsikotik
oral. Kombinasi risperidone dan lorazepam memiliki efek yang sama
dengan haloperidol dan lorazepam yang diberikan secara injkesi
intramuscular. Risperidone oral meiliki efek yang sama dengan

haloperidol intramuskular.
Benzodiazepin
Benzodiazepin seperti diazepam , lorazepam dan clonazepam
bekerja sebagai inhibisi reseptor neurotransmitter GABA utama pada
otak manusia . Obat-obat ini memiliki keberhasilan untuk mengatasi
agitasi dan dipilih pada pasien agitasi dengan intoksikasi atau ketika
etiologi agitasi belum ditentukan. Namun pada agitasi dengan
psikosis , benzodiazepin hanya bekerja sementara dan tidak mengobati
penyakit yang mendasari agitasi.

12

13

VIII. KESIMPULAN
Agitasi didefinisikan sebagai aktivitas motorik yang berlebih-lebihan terkait
dengan perasaan ketegangan dari dalam diri. Gangguan perilaku yang kompleks yang
dikarakteristikkan dengan agitasi terdapat pada sejumlah gangguan psikiatri seperti
skizofrenia, gangguan bipolar, demensia (termasuk penyakit Alzheimer) dan
penyalahgunaan zat (obat dan/atau alkohol).
Agitasi merupakan masalah yang gawat dengan tingkat morbiditas dan
mortalitas yang cukup besar (dihubungkan penyebab gangguan metabolik). Adanya
gejala penyerta yang biasanya menyertai gejala ini seperti delirium memperburuk
prognosis pasien. Agitasi bisa disebabkan oleh berbagai penyebab diantaranya akibat
efek samping penggunaan obat antipsikotik.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Allen, Michael H. Emergency Psychiatry.American Psychiatry Publishing.


Washington. 2005.
2. Moore DP, Jefferson JW. Handbook of Medical Psychiatry. 2nd ed.
Philadelphia.
3. National Institute for Clinical Excellence. Quick Reference Guide : Violence
The Short-term Management of Disturbed/Violent Behaviour in Psychiatric
in-patient Settings and Emergency Department. United Kingdom.
4. V. Fernndez Gallego et al. Management of the agitated patient in the
emergency department. Emergencias 2009
5. Wilson et al. The Psychopharmacology of Agitation: Consensus Statement of
the American Association for Emergency Psychiatry Project BETA
Psychopharmacology Workgroup in Western Journal of Emergency Medicine.
Volume 26 XIII, NO. 1 : February 2012
6. Sadock, B. J., & Sadock, V. A.. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York. Lippincot
Wiliam&Wilkins.2007
7. Ebert M.H, Loosen P.T,Nurcombe B. Current Diagnosis and Treatment In
Psychiatry. 2nd Edition. United States. Mc Graw Hill.2008
8. Maslim R. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. In. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK- Unika Atmajaya; 2007.
9. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. In: Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa FK- Unika Atmajaya,Jakarta; 2003.
10. Andri. Tatalaksana Psikorarmaka Dalam Manajemen Gejala Psikosis
Penderita Usia Lanjut. Universitas Kristen Krida Wacana. 2009

15

Anda mungkin juga menyukai