Anda di halaman 1dari 15

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM

DRS. ABDUL KADIR, M. Si


WIDYAISWARA MADYA
BKPP PEMERINTAH PROVINSI ACEH

Analisis Kebijakan Pendidikan Islam merupakan materi yang mengkaji berbagai kebijakan
pendidikan di Indonesia. Pembahasan ini dilakukan dengan pendekatan analisis kritis
terhadap latar belakang, hakikat dan spirit yang dikehendaki oleh suatu kebijakan. Melalui
materi ini, diharapkan para pendidik dapat memahami secara normatif, filosofis dan kritis
terhadap dinamika kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemeraintah dan segala
implikasinya terhadap pendidikan Islam.

1. Pendahuluan
Sejak zaman penjajahan, bangsa Indonesia telah memiliki kepedulian terhadap
pendidikan. Namun pelaksanaannya masih diwarnai oleh kepentingan politik kaum penjajah,
sehingga tujuan pendidikan yang hendak dicapai harus disesuaikan dengan kepentingan
mereka. Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, bangsa Indonesia
mulai menunjukan kepeduliannya terhadap pendidikan. Hal itu terbukti dengan menempatkan
usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia.
Sebagaimana tertulis dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban duniayang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan yang maha
esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (BP 7 Pusat, 1990:1).
Dengan demikian maka tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan
dengan kepentingan bangsa Indonesia, yang sekarang ini tujuan pendidikan tersebut
dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU sisdiknas) BAB II pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut :

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta


peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Agar tujuan
tersebut dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan maka diperlukan suatu alat untuk
mencapainya, yaitu segala sesuatu yang secara langsung membantu terlaksananya tujuan
pendidikan (Barnadib, 1987:96).
Sehubungan dengan alat pendidikan ini, Ahmad Supardi (1989:9), membagi alat
pendidikan ke dalam dua bagian, yaitu :
1. Alat pisik, berupa segala perlengkapan pendidikan yang berupa sarana dan fasilitas dalam
bentuk konkrit, seperti bangunan, alat tulis dan baca dan lain sebagainya.
2. Alat non pisik, berupa kurikulum, pendekatan, metode dan tindakan berupa hadiah dan
hukuman serta uswatun hasanah atau contoh teladan yang baik dari pendidik.
Berdasarkan pembagian alat pendidikan yang dikemukakan Ahmad Supardi di atas,
jelaslah bahwa salah satu dari alat pendidikan diantaranya adalah kurikulum. Sebagai alat
untuk mencapai tujuan pendidikan, kurikulum harus mencerminkan kepada falsafah sebagai
pandangan hidup suatu bangsa, karena ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa
itu kelak, banyak ditentukan dan tergambarkan dalam kurikulum pendidikan bangsa tersebut.
Sering terjadi jika suatu negara mengalami perubahan pemerintahan, politik
pemerintahan itu mempengaruhi pula bidang pendidikan yang sering mengakibatkan
terjadinya perubahan kurikulum tang berlaku. Sebagai contoh sebelum Indonesia merdeka
setidaknya telah terjadi dua kali perubahan kurikulum, yang pertama ketika di jajah belanda
kurikulum disesuaikan dengan kepentingan politiknya. Kedua ketika dijajah Jepang
kurikulum disesuaikan dengan kepentingan politiknya yang bersemangatkan kemiliteran dan
kebangunan Asia Timur Raya. Kemudia setelah Indonesia merdeka pra orde baru terjadi pula
dua kali perubahan kurikulum, yang pertama dilakukan dengan dikeluarkannya retjcana
pelajaran tahun 1947 yang menggantikan seluruh sistem pendidikan kolonial, kemudian pada
tahun 1952 kurikulum ini mengalami penyempurnaan dan dan diberinana rentjana Pelajaran
terurai 1952. Perubahan kedua terjadi dengan dikeluarkannya rentjana pendidikan tahun

1964, perubahan tersebut terjadi karena merasa perlunya peningkatan dan pengejaran segala
ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam dan matematika.
Saat orde baru terlahirpun kurikulum mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan
pertama terjadi dengan dikeluarkannya kurikulum 1968 yang didasari oleh adanya tuntutan
untuk mengadakan perubahan secara radikal pemerintahan orde lama dalam segala aspek
kehidupan termasuk pendidikan. Perubahan kedua terjadi dengan diterbitkannya kurikulum
tahun 1975 (disempurnakan dengan kurikulum 1976 dan 1977). Perubahan ketiga terjadi
dengan diberlakuannya kurikulum tahun 1984. Dan Perubahan keempat terjadi Ketika di
negara kita diberlakukan Undang-undang Sistem pendidikan Nasional (UUSPN) pada tahun
1989 beserta seperangkat peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut pelaksanaan
UUSPN tersebut, menyebabkan perlunya pembuatan atau penyusunan kurikulum yang sesuai
dengan rumusan pasal-pasal yang tercantum dalam UUSPN dan peraturan pemerintahnya.
Maka pada Tahun 1994 di negara kita diberlakukan kurikulum baru sesuai dengan keputusan
menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993.
Perubahan dan perbaikan kurikulum itu wajar terjadi dan memang harus terjadi,
karena kurikulum yang disajikan harus senantiasa sesuai dengan segala perubahan dan
perkembangan yang terjadi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Subandijah (1993:3),
bahwa :
a. Apabila kurikulum itu dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan,
maka kurikulum dalam kedudukannya harus memiliki sipat anticipatori, bukan hanya
sebagai reportorial. Hal ini berarti bahwa kurikulum harus dapat meramalkan kejadian
di masa yang akan datang, tidak hanya melaporkan keberhasilan peserta didik.
b. Sifat kurikulum yang harus senantiasa adaptif dan antisipatif ini sesuai dengan Sabda
Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :


Artinya : Didiklah anak-ankmu itu, karena sesungguhnya mereka diciptakan untuk mengisi
masa yang bukan masamu.

Seiring dengan terjadinya perubahan politik dan bergantinya rezim orde baru dan
terjadinya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyebabkan eksistensi
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)
dirasakan tidak lagi memadai dan tidak lagi sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 tersebut dipandang perlu menyempurnakan UUSPN tersebut, dan pada tahun
2003 dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan
Presiden Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian lebih dikenal dengan UU SISDIKNAS.
Sesuai dengan tuntututan UU SISDIKNAS pemerintah mengeluarkan peraturan
pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyebabkan
kurikulum yang berlaku di sekolah adalah kurikulum yang sesuai dengan standar nasional
pendidikan.
Agar kurikulum yang digunakan di sekolah sesuai dengan standar nasional pendidikan
maka Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia mengeluarkan peraturan menteri
pendidikan nasional nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi yang di dalamnya memuat
tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Untuk sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan
Departemen Agama tidak ketinggalan Menteri Agamapun mengeluarkan Peraturan Menteri
Agama No. 2 Tahun 2008 tentang standar kompetensi lulusan dan standar isi Pendidikan
Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah.
2. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus
dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran.
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang
kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar,
dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah.
Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan
muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan

(2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Depdiknas,


Tahun 2004).
Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan
apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan
kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara
bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.
Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
(1) pemilihan kompetensi yang sesuai;
(2) spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian
kompetensi;
(3) pengembangan sistem pembelajaran.
Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun
klasikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi
unsur edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau
pencapaian suatu kompetensi.(Depdiknas, Tahun 2004).
Setidaknya ada dua versi Kurikulum Berbasis Kompetensi yang pernah ada di
Indonesia setelah lahirnya UU SISDIKNAS no 20 tahun 2003, yaitu KBK tahun 2004 yang
tidak pernah disyahkan menteri pendidikan Nasional walaupun telah menelan biaya milyaran
rupiah dan KBK tahun 2006 yang selanjutnya lebih dikenal dengan KTSP.
Nanang Rijono, dalam situs pribadinya menatakan bahwa banyak kalangan, termasuk
aparat Depdiknas dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota membuat statement bahwa
Kurikulum 2004 (atau KBK) tidak terlalu jauh berbeda dengan Kurikulum 2006 yang disusun
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan baru ditetapkan pemberlakuannya oleh
Mendiknas melalui Peraturan Mendiknas No. 24 Tahun 2006 tanggal 2 Juni 2006. Saya tidak

tahu, apakah penyataan mereka itu dimaksudkan untuk menghibur guru agar tidak resah
menghadapi perubahan kurikulum ini. Mengingat Kurikulum 2004 ini masih dalam taraf uji
coba yang lebih luas sejak tahun pembelajaran 2004/2005 dan belum semua sekolah sudah
menerapkan secara utuh Kurikulum 2004. Namun apa daya, kini sudah dimunculkan
kurikulum baru, Kurikulum 2006. Sehingga muncullah statement yang menghibur tersebut.
3. Kurikulum Pendidikan Agama Islam Dalam KBK
Ketika kita berbicara Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), maka pembahasan
utama yang harus kita lakukan adalah tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
harus ditempuh oleh seorang peserta didik. Dalam KBK tahun 2004 untuk mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam (kita ambil contoh di jenjang SMP), Standar Kompetensi yang
disajikan sangat sederhana tapi cukup mendalam dan mencerminkan standar kompetensi
pendidikan Islam yang menyeluruh, untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut :
No

Standar Kompetensi

Mengamalkan ajaran al- Quran /Hadits dalam kehidupan sehari-hari

Menerapkan aqidah Islam dalam kehidupan sehari-hari

Menerapkan akhlakul karimah (akhlaq mulia) dan menghindari akhlaq tercela


dalam kehidupan sehari
Menerapkan syariah (hukum Islam) dalam kehidupan sehari-hari)

4
5

Mengambil Manfaat dari Sejarah Perkembangan (peradaban) Islam dalam


kehidupan sehari-hari.

Kelima Standar Kompetensi di atas berlaku untuk semua tingkat dari kelas VII s.d
Kelas IX dan masing-masing dari kelima standar kompetensi tersebut diuraikan lagi menjadi
beberapa kompetensi dasar yang memiliki cakupan materi yang cukup dalam dan luas.
Sebagai contoh untuk standar kompetensi dasar yang pertama di kelas VII diurai ke dalam
lima kompetensi Dasar yaitu :
1. Siswa mampu membaca, mengartikan dan menyalin surat adduha
2. Siswa mampu membaca, mengartikan dan menyalin surat Al Adiyat
3. Siswa mampu menerapkan hukum bacaan Alif lam syamsiyah dan Alif lam qamariyah
4. Siswa mampu mempraktikan hukum bacaan Nun mati dan Tanwin dan mim mati

5. Siswa mampu membaca, mengartikan, dan menyalin Hadits tentang Rukun Islam.
Sementara dalam KBK tahun 2006 (KTSP), setandar kompetensi yang disajikan untuk
mata pelajaran pendidikan Agama Islam sangat banyak, tetapi bobotnya amat dangkal, untuk
kelas VII terdapat 14 SK, untuk kelas VIII terdapat 15 SK, dan untuk kelas IX terdapat 13
SK.
Ada satu pertanyaan yang mungkin mengganjal di hati kita mengapa Standar
Kompetensi dalam KBK 2006 ini dangkal, jawabannya adalah karena Standar Kompetensi
yang disajikan dalam KBK 2006 adalah Kompetensi dasar dalam KBK 2004. Sebagai Contoh
Perhatikan Tabel berikut ini :
Kelas VII, Semester I
Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Al-Quran

1.1 Menjelaskan hukum bacaan-bacaan Al Syamsiyah


dan AlQomariyah

1. Menerapkan Hukum
bacaan Al
Syamsiyah dan
AlQomariyah

Aqidah
1. Meningkatkan
keimanan kepada
Allah SWT melalui
pemahaman sifatsifatNya

1.2 Membedakan hukum bacaan-bacaan Al


Syamsiyah dan AlQomariyah
1.3 Menerapkan bacaan-bacaan Al Syamsiyah dan
AlQomariyah dalam bacaan surat-surat Al-Quran
dengan benar
2.1 Membaca ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan
dengan sifat-sifat Allah
2.2 Menyebutkan arti ayat-ayat al-Quran yang
berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT
2.3 Menunjukkan tanda-tanda adanya Allah SWT

2.4 Menampilkan perilaku sebagai cermin keyakinan


akan sifat-sifat Allah SWT
1. Memahami Asmaul 3.1 Menyebutkan arti ayat-ayat al-Quran yang
Husna
berkaitan dengan 10 Asmaul Husna
3.2 Mengamalkan isi kandungan 10 Asmaul Husna
4.1 Menjelaskan pengertian tawadhu, taat, qanaah dan
Akhlak
1. Membiasakan perilaku sabar
terpuji
4.2 Menampilkan contoh-contoh perilaku tawadhu,
taat, qanaah dan sabar
4.3 Membiasakan perilaku tawadhu, taat, qanaah dan

Standar Kompetensi
Fiqih
1.

1.
1.

Kompetensi Dasar

sabar
5.1 Menjelaskan ketentuan ketentuan mandi wajib
Memahami ketentuan 5.2 Menjelaskan perbedaan hadas dan najis
ketentuan thaharah
(bersuci)
Memahami tatacara 6.1 Menjelaskan ketentuan ketentuan shalat wajib
shalat
6.2 Memperaktikkan shalat wajib
Memahami tatacara 7.1 Menjelaskan pengertian shalat jamaah dan
shalat jamaah dan

munfarid

munfarid (sendiri)

7.2 Memperaktikkan shalat jamaah dan shalat munfarid

Tarikh dan kebudayaan

8.1 Menjelaskan sejarah Nabi Muhammad SAW

Islam

8.2 Menjelaskan misi nabi Muhammad untuk semua

1. Memahami sejarah

manusia dan bangsa

Nabi Muhammad
SAW
Dari kedua contoh perbandingan kurikulum di atas jelaslah, bahwa ternyata kedalaman
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai oleh KBK 2004 jauh lebih
menyeluruh dibanding dengan KBK 2006, belum lagi kesulitan yang akan dirasakan guru saat
menyusun RPP dimana ketentuan pembuatan RPP adalah satu KD satu RPP. Coba perhatikan
SK yang pertama terdapt tiga KD, berarti dari ketiga KD itu harus dibuat satu RPP dan satu
RPP disajikan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Padahal ketiga KD di atas dapat disajikan
satu kali pertemuan (2 jam pelajaran).
4. Penutup
Demikianlah pembahasan tentang Analisis Kebijakan Pendidikan Islam bidang kurikulum
yang sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan ini. Untuk menyempurnakan makalah ini
kami berharap kritik dan saran yang membangun dari semua peserta diskusi sore hari ini.
a. Tinjauan Praksis Pendidikan Islam
Proses pendidikan terejawantahkan sebagai hasil kajian dari ilmu pendidikan yang
lebih bersifat praksis. Ilmu pendidikan tidak dapat dipelajari dari belakang meja tanpa peserta

didik dan pendidik, tanpa tujuan pendidikan dan kebijakan pendidikan. Keadaan ilmu
pendidikan di Indonesia sudah sejak lama oleh sebagian kalangan pakar pendidikan dikatakan
dalam status stagnasi karena terputus hubungannya dengan praktik pendidikan. Dengan
sendirinya banyak kebijakan pendidikan yang bukan ditentukan oleh data dan informasi di
lapangan.
Proses pendidikan terjadi dalam lingkungan pendidikan dengan para stakeholder-nya
yaitu peserta didik, pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Keberhasilan dan
kegagalan yang disebabkan oleh pelaksanaan kebijakan pendidikan adalah informasi untuk
perumusan kembali kebijakan. Kebijakan pendidikan Islam tidak terlepas dari model H.AR
Tilaar (2009) yang menyatakan bahwa pendidikan di Indoensia seharusnya memerhatikan
Evidence Information Based yakni terkait antara teori, riset, kebijakan dan praktik
pendidikan.
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan masuknya
Islam di Indonesia. Sejumlah literatur tentang sejarah perkembangan Islam mensinyalir bahwa
Islam masuk dan disebar ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama Islam baik
dari Asia maupun Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara informal antara
pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan pendidikan berlangsung di
mesjid ataupun di surau/langgar. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pendidikan Islam
berada dibawah pengawasan dan tanggungjawab kerajaan.
Penyelenggaraan pendidikan Islam tidak hanya di mesjid dan langgar tetapi juga
berkembang ke tempat khusus untuk belajar ilmu agama Islam secara lebih mendalam, teratur
dan tertib dalam penyampaian pesan-pesan ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu
Islam ini dikenal masyarakat sebagai pesantren .
Masuknya penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia membawa banyak
perubahan menadasar dalam dinamika pengajaran dan pendidikan agama Islam di Indonesia.
Penjajahan yang memiliki ciri ingin melanggengkan kekuasaan di negeri jajahannya itu
sedikit banyak telah berhasil menanamkan paradigma di masyarakat tentang perbedaaan
antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat. Sehingga memunculkan pandangan bahwa
pendidikan Islam di Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan pendidikan Barat

(ilmu-ilmu umum) lebih bertumpu pada persoalan keduniawian belaka. Paradigma ini terus
berlanjut hingga kini.
Seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu telah
berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum diselenggarakan oleh
penjajah Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi lain, seperti telah disinggung dimuka bahwa
sumbangan pemikir dan tokoh Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian
mengenalnya sebagai ilmu pengetahuan Barat) tidak diragukan lagi. Ide, gagasan atau
pandangan yang digali dari wahyu Ilahi berupa ayat-ayat qauliyah serta hasil-hasil penelitian
sebagai fenomena kauniyah merupakan landasan berpijak para cendikiawan Muslim tatkala
mengembangkan suatu ilmu.
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berangkat dari prakarsa
dan kemandirian, bebas pengaruh otoritas kebijakan, sedikit banyak mulai terpengaruh.
Madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam cukup dinamis dalam menanggapi
kondisi kekinian masyarakat. Pada awalnya kurikulum Madrasah menitikberatkan pada
pendidikan agama dari pada ilmu-ilmu umum, tapi kini berbalik yakni: 70% ilmu umum dan
30% agama.
b. Persoalan dan Hambatan
Pada tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di Indonesia tak luput dari
bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun faktual. Persoalan akut seperti diskursus
yang tak kunjnung usai antara ilmu agama dan ilmu umum. Sementara problema faktual lebih
terkait pada masalah-masalah teknis implementatif pelaksanaan pendidikan Islam. Peta
pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah, pesantren; kedua:
matakuliah/ pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan Tinggi & TK//SD/SMP/A; serta
ketiga: pendidikan umum bercirikan Islam seperti TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K
dan PTAI. Dalam makalah ini pembahasan problematika pendidikan Islam lebih dititik
beratkan pada hambatan terjadi di pendidikan umum bercirikan Islam terutama tingkat
sekolah dasar hingga menengah yakni Madrasah Ibtidaiyah (SD). Madrasah Tsanawiyah
(SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA).
Berdasarkan data yang dikeluarkan Center for Informatics Data and Islamic Studies

(CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education Management System) Dirjen
Pendidikan Islam Kementerian Agama, jumlah Madrasah Ibtidaiyah/MI, Madrasah
Tsanawiyah/MTs dan Madrasah Aliyah/MA sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk
diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang
berstatus negeri. Atas dasar itu, madrasah-madrasah swasta yang jumlahnya lebih banyak
daripada madrasah negeri yakni 32.523 buah mengalami masalah yang mendasar yaitu
berjuang keras untuk mempertahankan hidup atau l yamtu wal yahya diplesetakan menjadi
kurang bermutu dan perlu biaya (agar lebih bermutu dan tidak mati)). Namun demikian,
madrasah bagi sebagian masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan
dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %,
sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 saja diperkirakan jumlah siswanya
mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia.
Berbagai persoalan dan hambatan mencuat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam
tak dapat dielakkan sebagai ekses dari implementasi kebijakan pendidikan nasional yang di
disain pemerintah. Persoalan di hulu yang berkaitan filosofis pendidikan Islam telah
menimbulkan diskursus, demikian pula di hilir pada tataran implementatif pendidikan Islam
masih jauh dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan sejatinya nilai-nilai Islam
sangat universal dan pengejawantahan nilai-nilai Islam akan membawa manfaat bagi semua
(rahmatan lil alamin).
c. Hambatan Politis: Internal dan Eksternal
Secara internal hambatan politis terjadi disebabkan terlalu campur tangannya
organisasi massa (ormas) Islam yang memayungi sekolah-sekolah berbasis keislaman.
Keinginan ormas untuk menunjukkan jati diri politis cukup kental dengan memasukkan
sejumlah matapelajaran yang berkaitan dengan asal usul pendirian ormas tersebut. Sebut saja
misalnya ada materi kemuhammadiyahan yang diberikan mulai dari sekolah dasar hingga ke
perguruan tinggi. Demikian pula materi ahlus sunnah wal jamaah diberikan untuk sekolah
yang berbasis ormas Nadhatul Ulama (NU) atau yang di dirikan oleh para tokoh NU. Sekolah
atau madrasah yang terkait kedua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu seolah
ingin menunjukkan jati diri meraka masing-masing sebagai sekolah yang "paling benar"

dalam mengemban misi dan visi keislaman. Alhasil, muatan kurikulum sekolah-sekolah
berbasis ormas ini seakan over dosis' karena kelebihan beban. Sekolah-sekolah umum
berbasis Islam ini tidak hanya harus mengikuti kebijakan politis ormas yang melahirkannya
dengan mengejawantahkan kebijakan tersebut ke dalam kurikulum sekolah. Tetapi juga
tentunya harus mengkuti ketentuan dan kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian
Pendidikan Nasional sebagai Pembina utama sekolah-sekolah tersebut.
Persoalan politis yang berasal dari internal umat Islam ini memang sudah menjadi ciri
khas dari kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Mereka saling berupaya
secara sendiri-sendiri ingin menampilkan keunggulannya masing-masing. Konsekuensinya,
penyelenggaraan pendidikan Islam yang ada di Indonesia ini berkembang tanpa sinergitas dan
perbedaan yang diramu untuk suatu keunggulan yang lebih besar. Masing-masing ormas tetap
ingin mempertahankan jati diri dan kekhasannya sendiri-sendiri. Maka, untuk kondisi saat ini
masih sulit memimpikan kebersamaan antara kedua ormas tersebut dalam bekerjasama untuk
melahirkan sekolah-sekolah Islam yang efektif dan di segani tidak hanya di Indonesia tetapi di
kancah internasional.
Dari hambatan politis bersifat internal antar umat Islam (baca: ormas Islam) di
Indonesia, penyelenggaraan pendidikan Islam juga dihadapkan hambatan politis yang bersifat
eksternal. Hambatan disebabkan berbagai kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan
maksimal terkait dengan penyelenggaraan pendidikan Islam.Walau diakui ada kemajuan tapi
masih jauh dari harapan rakyat Indonesia yang mayoritas berpenduduknay beragama Islam.
Secara politis kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diatur melalui UU
sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 diakui memang memuat keberadaan pendidikan
Islam seperti madrasah dan pesantren. Namun pencantuman Madrasah dalam UU itu sekedar
"pelengkap" komponen utama pendidikan nasional. Kenapa demikian? Karena dalam tataram
praksis perhatian penyelenggara Negara tampaknya lebih menaruh perhatian dan fokus pada
sekolah-sekolah umum (dibawah pengawasan Kemendiknas) baik dari sis teknis peningkatan
mutu persekolahan maupun sisi anggaran yang tersedia. Padahal, menurut Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama
dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan). Dengan kenyataan ini seringkali tatkala

membahas pengembangan persekolahan, sistem pendidikan Islam (madrasah) tidak ikut dikaji
secara baik oleh pemangku kebijakan bahkan cenderung diabaikan "neglected community".
Desentralisasi, demokrasi dan otonomi merupakan isu yang mengemuka sekarang ini
sebagai dampak dari implementasi UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang itu menyatakan bahwa desentralisasi adalah azas dan proses pembentukan
otonomi daerah dan penyerahan wewenang pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah
Pusat. Otonomi ini meliputi juga sektor pendidikan, sehingga menampakkan kesan dualisme
dalam pengelolaan pendidikan antara Pusat dan Daerah. Pada bagian lain pendidikan umum
berciirikan Islam (madrasah) ditangani Kementerian Agama sedangkan sekolah umum
bercirikan Islam diawasi Kementereian Pendidikan Nasional. Padahal berdasarkan teori
sistem yang dikemukakan David Easton dalam HAR Tilaar (2009) manajemen pendidikan
memerlukan keterpaduan penggerakan sistem sebagai syarat penting keberhasilan sistem .
Secara sociocultural politis pendidikan Islam berlangsung semenjak masuknya Islam di
persada Nusantara. Sejak lama masyarakat menumbuh-kembangkan pendidikan Islam baik di
mesijid maupun pesantren dengan cara bergotong royong.
Kemandirian adalah cirri utama pemdidikan Islam kala itu. Hanya saja stigma
pendidikan Islam merupakan urusan akherat begitu mengental hingga mempengaruhi tumbuh
kembang disiplin ilmu selain agama. Padahal, dunia Barat maju seperti sekarang ini tidak
terlepas dari hasil kajian cendekiawan Muslim terdahulu. Di Indonesia, dalam konteks
sociocultural politics, skenario penjajah yang berciri "devide et impera" sukses memisahkan
urusan dunia dan ukhrowi, efeknya terasa hingga kin tatkala muncul kesadaran untuk tidak
memisahkan keduanya.
d. Hambatan Kultural: Internal dan Eksternal
Kita sangat menyayangkan hingga kini lembaga-lembaga pendidikan Islam masih sulit
dijadikan model lembaga pendidikan yang paripurna dan berlaku umum di Indonesia. Hal ini
disebabkan lemahnya kinerja yang ditunjukkan serta rendahnya motivasi untuk menjadikan
lembaga pendidikan Islam ini sebagai "kawah candradimuka" para intelektual yang agamis
dan para ulama yang intelektual. Kurangnya kesungguhan penyelenggara pendidikan Islam
dalam mengelola lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan sekolah berbasis keislaman

disinyalir karena kesadaran umat Islam atas kewajiban menuntut ilmu masih rendah. Gejala
rendahnya budaya membaca, belajar dan bekerja keras menunjukkan bahwa pemahaman umat
Islam tentang nilai-nilai Islam belum merata dan menjadi hambatan untuk maju berprestasi.
Pengelola merupakan pencerminan dari kondisi umat islam yang tidak terlepas dari hambatan
kultural internal tersebut. Pengelola belum mampu bangkit menjadi "agent of change", para
pembaharu perilaku dan budaya untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam bentuk ketauhidan
social seperti menegakkan disiplin sekolah secara ajeg dan konsisten, menyebarkan budaya
membaca dan bekerja keras serta nilai-nilai social keislaman lainnya.
Kondisi internal umat Islam yang masih lemah untuk menanam-suburkan nilai-nilai
Islam itu oleh para penyelenggara dan pengelola pendidikan Islam, pada akhirnya
berpengaruh juga pada persepsi masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam. Fenomena
kondisi cultural umat Islam yang menyelenggarakan pendidikan Islam merupakan aspek
internal yang saling kait mengkait dengan persepsi umat Islam di luar lembaga tersebut.
Sehingga kedua-duanya (kultural internal dan eksternal) menjadi hambatan bagi kemajuan
dan pengembangan mutu penyelenggaraaan pendidikan Islam. Persepsi masyarakat sudah
terlanjur terpengaruh dengan paradigm bahwa pendidikan Islam hanya berkutat pada masalah
agama dan kurang menaruh perhatian pada pengembangan aspek-aspek lainnya seperti
kecerdasan intelektual dan sosial.
Hambatan kultural baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal)
masih ditambah dengan sistem pendidikan nasional yang terkesan juga terjebak diskursus
dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan agama. Persepsi masyarakat sudah terlanjur terbentuk
sangat kuat tentang hal itu. Terlebih lagi penguasaan agama sebagian umat Islam juga masih
rentan dipengaruhi budaya-budaya lokal setempat yang ternyata ssulit dihilangkan, bahkan
cenderung dapat menguburkan nilai-nilai Islam sesungguhnya. Budaya-budaya lokal yang
diadopsi tanpa landasan filosofis yang kuat bisa menjadi boomerang kemajuan umat Islam.
Terima kasih
Penulis

Anda mungkin juga menyukai