Kompetensi Pendukung :
2.1 Mampu menganalisis, merencanakan dan mengevaluasi program pembangunan
2.2. Mampu bekerjasama dengan orang lain
Kompetensi Lainnya
:
3.1 Mampu berkomunikasi, bermitra dan bersinergi dengan orang lain (masyarakat)
Sasaran Belajar
Minggu
Materi/Pokok Bahasan
Strategi
Pembelajaran
Unit Tugas
Mahasiswa
Kriteria Penilaian
(Indikator)
Bobot
Keberlangsungan secara
demokratis
1.
Kuliah
Diskusi
Kelompok
2.
Kuliah
Diskusi
kelompok
Menuliskan
ulang pengertian & peranan
Ilmu Perencanaan Hutan
Kuliah
Diskusi
kelompok
Menuliskan
Ketepatan penjelasan &
ulang konsep ketepatan contoh
dasar PPH
Keaktifan individu
3-4
Konsep Dasar
Perencanaan
Pengelolaan Hutan
(PPH)
Ketepatan penjelasan
Keaktifan individu
12%
16%
Minggu
5-6
7-8
9 - 10
Materi/Pokok
Bahasan
Perumusan Tujuan
dan Kegiatan
Prioritas dalam
Pengelolaan Hutan
Strategi
Pembelajaran
Kriteria Penilaian
(Indikator)
Bobot
Kuliah
Diskusi
kelompok
PBL
Presentasi
Menganalisis persoalan
pengelolaan hutan
Merumuskan tujuan
pengelolaan hutan
Menetapkan skala
prioritas kegiatan
pengelolaan hutan
Ketepatan analisis
Ketepatan rumusan
tujuan
Ketepatan skala
prioritas
Kerjasama kelompok
Keaktifan individu
30%
Kuliah
Diskusi
kelompok
Presentasi
Ketepatan penjelasan /
presentasi
Ketepatan penjelasan /
peresentasi
Kelengkapan bahan
presentasi
Keaktifan individu
Kuliah
Diskusi
kelompok
Presentasi
Kelengkapan bahan
presentasi
20%
Keaktifan individu
22%
MODUL PEMBELAJARAN
Mata Kuliah :
PERENCANAAN HUTAN
Disusun oleh :
Prof. Dr. Daud Malamassam
September, 2009
KATA PENGANTAR
Penyusunan Modul Pembelajaran Mata Kuliah Perencanaan Hutan ini
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mewujudkan
Student Centered Learning di Universitas Hasanuddin.
Selesainya penyusunan laporan modul pembelajaran ini tidak terlepas
dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung, yang penulis tidak dapat sebutkan namanya
satu persatu. Sehubungan dengan itu, maka melalui kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada pihak-pihak
termaksud.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa modul ini belum sempurna.
Sehubungan dengan itu, saran-saran yang bersifat konstruktif dari berbagai
pihak, tetap penulis nantikan. Semoga modul ini dapat memberi kontribusi
yang bermakna bagi peningkatan efektivitas proses dan optimalisasi hasil
pembelajaran dalam lingkup Universitas Hasanuddin, dan khususnya dalam
lingkup Fakultas Kehutanan, pada masa mendatang.
Makasar, 09 September 2009
Pembuat Modul,
ii
MODUL V
MODUL IV
Perencanaan Hutan di
Indonesia
PANDUAN
TUTOR
PANDUAN
TUGAS
MODUL III
MODUL II
MODUL I
Pengertian dan Ruang Lingkup
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
ii
iii
iv
TP -1
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rancangan Pembelajaran Berbasis SCL .......................
L-1
iv
MODUL - 1
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertanyaan pertama yang muncul dalam benak setiap mahasiswa
(peserta didik), pada saat akan mempelajari suatu cabang ilmu tertentu, adalah
apa saja yang dipelajari dalam cabang ilmu itu, dan bagaimana keterkaitan
cabang ilmu tersebut dengan cabang ilmu yang lain atau bagaimana posisi
relatif cabang ilmu tersebut dalam khasana bidang ilmu tertentu. Pertanyaan
yang sama, patut diduga, akan dikemukakan oleh peserta mata kuliah
Perencanaan Hutan, khususnya oleh mahasiswa yang tergolong cukup kritis.
Jawaban terhadap pertanyaan ini, diharapkan dapat menjadi sumber
motivasi atau pendorong bagi mahasiswa untuk mempelajari mata kuliah
Perencanaan Hutan termaksud secara lebih bersungguh-sungguh. Dengan
memahami pengertian dan posisi relatif mata kulian (cabang ilmu)
Perencanaan Hutan dalam khasana ilmu-ilmu di bidang kehutanan, maka
setiap mahasiswa diharapkan dapat lebih serius dalam membelajari cabang
ilmu atau mata kuliah ini.
Lebih serius disini dimaksudkan bahwa setiap mahasiswa tidak hanya
bertumpu pada (hanya mengandalkan) bahan yang tercantum di dalam modulmodul mata kuliah Perencanaan Hutan, tetapi juga berusaha untuk mencari
bahan-bahan lain dari berbagai sumber belajar yang tersedia, baik bahanbahan yang berwujud cetakan (buku-buku teks ataupun dokumen-dokumen
perencanaan), maupun bahan yang dapat di akses melalui media internet.
Pemahaman tentang posisi relatif ilmu atau mata kuliah Perencanaan
Hutan, dalam khasana ilmu-ilmu di bidang kehutanan, juga akan memberi
gambaran tentang kontribusi perencanaan hutan bagi pembangunan dan atau
pendayagunaan sumberdaya hutan, langsung atapun tidak langsung. Modul ini
berisi pembahasan tentang hal-hal yang telah dikemukakan di atas.
M1 -1
M1 -2
M1 -3
b. Sasaran : 1.
2.
3.
c. Target : 1.
2.
3.
4.
5.
Contoh 2 :
a. Tujuan
b. Sasaran : 1.
2.
3.
4.
c. Target
dari
M1 -4
M1 -5
Pengambilan
Keputusan
Preskripsi Pengelolaan :
Tujuan, Kegiatan, Proyeksi
Hasil dan Prakiraan Dampak
Pelaksanaan
Keputusan
Hasil dan Dampak
Monitoring dan
Evaluasi
Optimalisasi Hasil
& Minimisasi
Dampak Negatif
M1 -6
Tabel 1. Deskripsi peranan setiap bidang ilmu pembentuk Ilmu Perencanaan Hutan
Bidang Ilmu
Komponen
Bidang Ilmu
1. Dendrologi
1. Biologi
2. Analisis
Kuantitatif
3. Ekonomi
4. Sosial
Budaya
5. Analisis
Kebijakan
2. Ekologi
Hutan
3. Silvika &
Silvikultur
1. Ilmu
Pengukuran
Hutan
2. Biometrika
Hutan
1. Ekonomi
Sumberdaya
Hutan
1. Sosial
Kehutanan
1.
2.
3.
4.
2. Kehutanan
Masyarakat
1. Analisis
Kebijakan
Kehutanan
M1 -7
PHL
(SFM
Ilmu Terapan
Ilmu Terapan
Pengolahan Hasil Hutan
Pemanenan Hutan
Ilmu Dasar
Ekologi Hutan
Ilmu Tanah Hutan Inventarisasi Hutan
Dendrologi - Ilmu Ukur Hutan - Silvika
Biologi - Kimia - Fisika
Matematika
Ilmu Dasar
Gambar 2. Posisi relatif Ilmu Perencanaan Hutan dalam hirarki abstrak ilmu-ilmu
dasar dan ilmu-ilmu terapan dalam bidang kehutanan
M1 -8
1. Biologi
2. Ekonomi
1. Analisis potensi
& Permasalahan
2. Pengambilan
Keputusan
5. Analisis
Kebijakan
1. Inventarisasi Hutan
2. Pengukuhan Kawasan
hutan
3. Penatagunaan
Kawasan Hutan
3. Sosial
4. Analisis
Kuantitatif
Kegiatan dalam
Perencanaan Kehutanan
(UU No.41 Thn 1999)
3. Pelaksanaan
Keputusan
4. Monitoring
& Evaluasi
4. Pembentukan
Wilayah Pengelolaan
Hutan
5. Penyusunan Rencana
Kehutanan
M1 -9
IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait
dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang
terkait dengan materi Peranan Ilmu Perencanaan Hutan dalam mendukung
pengelolaan hutan, untuk selanjutnya melakukan penelusuran berbagai
sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen atau Laporan
hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain. Dengan mengacu pada
modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara efisien
dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya mahasiswa.
M1 -10
M2 - 1
M2 - 2
M2 - 3
M2 - 4
M2 - 5
M2 - 6
M2 - 7
M2 - 8
M2 - 9
M2 - 10
M2 - 11
M2 - 12
M2 - 13
M2 - 14
M2 - 15
M2 - 16
M2 - 17
M2 - 18
M2 - 19
M2 - 20
Wujud Fisik
Kesatuan Wilayah
- Pulau
- Bagian dari
Pulau
Fungsi Ekosistem
Hutan yang
diperhatikan
Pelestarian
keanekaragaman
hayati
- Pengendalian
siklus air
Kesatuan wilayah
daratan yang dibatasi oleh punggung
bukit dengan satu
sungai utama yang
mengalir ke laut
atau danau
- Pengendalian
erosi
3. Kesatuan Wilayah
Pengembangan Industri
Kehutanan
Kesatuan bentang alam
tempat asal sumber
bahan baku industri
kehutanan tertentu
Hamparan lahan
hutan dalam suatu
wilayah yg ditujukan utk mengasilkan bahan baku
industri kehutanan
Penyedia (sumber)
hasil hutan utk berbagai bahan baku
industri kehutanan
- Pemenuhan
Wilayah tempat
kepentingan
berlakuknya norma
budaya dan atau
dan adat istiadat
religi masyarakat
dalam masyarakat
tertentu, atau
- Penunjang efektimasya-rakat hukum
vitas pengelolaan
adat
hutan
5. Kesatuan Wilayah
Administrasi
Pemerintahan
2. DAS
Kesatuan bentang alam
yang memiliki satu sistem
aliran air ke sungai utama
- Pemeliharaan
kesuburan tanah
Tahapan Kegiatan
Perencanaan
Kehutanan yang
Memerlukan
- Penatagunaan dan
pengukuhan hutan
untuk penetapan HK
- Penetapan KPHK
Konserfvasi
- Penetapan
preskripsi
pengelolaan KPHK
- Penatagunaan dan
pengukuhan hutan
utk penetapan KPHL
- Penetapan
preskripsi
pengelolaan KPHL
- Penatagunaan dan
pengukuhan hutan
utk penetapan KPHP
- Penetapan preskripsi
pengelolaan KPHP
- Penetapan kawasan
hutan untuk tujuan
khusus
M2 - 21
IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang
terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan,
khususnya yang terkait dengan materi Konsep Dasar Perencanaan
Pengelolaan Hutan, dalam melakukan penelusuran berbagai sumber
belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen atau Laporan
hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain. Dengan mengacu
pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara
efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya
mahasiswa.
M2 - 22
Hal yang pertama harus ditentukan dalam suatu proses perencanaan adalah
tujuan. Tujuan akan mendasari potensi atau sumberdaya apa saja yang dapat digunakan
dan kegiatan apa saja yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal inipun
berlaku dalam perencanaan pengelolaan hutan. Tujuan pengelolaan hutan pada
dasarnya diarahkan pada pencapaian fungsi dan manfaat hutan yang optimal, dimana
fungsi dan manfaat optimal termaksud hanya mungkin dicapai atau diwujudkan jika
pengelolaan dan atau pendayagunaan sumberdaya hutan diselenggarakan tanpa
melampaui potensi atau daya dukungnya.
Untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya hutan yang optimum termaksud
di atas, secara umum terdapat sejumlah alternatif kegiatan atau rangkaian kegiatan yang
dapat dipilih untuk dilakukan oleh pihak pengelola. Dalam kaitan dengan hal ini, pihak
pengelola akan memilih kegiatan atau rangkaian kegiatan yang diyakininya merupakan
pilihan prioritas yang dapat menjamin tercapainya tujuan pengelolaan yang diinginkan.
Mudah dipahami bahwa kesalahan dalam memilih dan menentukan kegiatan
pengelolaan hutan yang perlu diberi skala prioritas yang lebih tinggi, pada dasarnya akan
berkonsekuensi pada tidak tercapainya tujuan pengelolaan hutan secara optimal. Modul
ini berisi pembahasan tentang metode-metode yang dapat digunakan atau kriteria yang
dapat mendasari pemilihan kegiatan (rangkain kegiatan) pengelolaan hutan yang
seharusnya diberi prioritas utama untuk dilaksanakan, agar tujuan pengelolaan
termaksud dapat diwujudkan secara optimal
B. Ruang Lingkup Isi
Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Penetapan Tujuan
Pengelolaan Hutan, (2) Identifikasi Alternatif kegiatan Pengelolaan Hutan, dan (3)
Preskripsi pengelolaan Hutan.
C. Sasaran Pembelajaran
M3 - 1
M3 - 2
M3 - 3
M3 - 4
M3 - 5
5. Fungsi Tujuan :
Maksimumkan Z = pendapatan bersih per tahun (Rp.1000.000) per tahun
dimana Z = 10 X1 + 5 X2
6. Kendala-kendala
Kendalah lahan : tersedia 11,5 Ha
Penggemukan sapi
: 1,85 Ha per ekor
Budidaya pinus
: 0,7 Ha per petak tanaman 1.000 phn per petak
Pernyataan matematis : 1,85 X1 + 0,7 X2 11,15
Kendala anggaran : tersedia Rp.120.000.000 per tahun
Penggemukan sapi
: Rp.2.400.000,- per ekor per tahun
Budidaya pinus
: Rp. 300.000,- per petak tanaman per tahun
Pernyataan matematis : 2.400.000 X1 + 300.000 X2 120.000.000
M3 - 6
antara
Pemanenan
Kayu
dengan
Sebuah kawasan hutan memiliki luas 12.000 Ha. Sekitar 3.000 Ha dari hutan ini
terletak di lembah yang dilewati sungai dan dipergunakan untuk keperluan tempat
rekreasi, sedang 9.000 Ha sisanya dan digunakan untuk memproduksi kayu disamping
untuk pemeliharaan habitat satwa liar. Sekitar 80% dari lahan hutan ini ditumbuhi pinus
yang dapat dikelola untuk kepentingan pruduksi kayu, sedang 20% diantaranya
merupakan hutan campuran dari jenis daun lebar yang tetap harus dipertahankan untuk
kepentingan perlindungan kehidupan satwa liar yang ada disana. Dinas Kehutanan
setempat berencana untuk mengelola kawasan hutan ini dengan tujuan
memaksimumkan hasil hutan utama berupa kayu secara lestari, tetapi tetap dapat
menjamin terpeliharanya populasi satwa liar di hutan itu sebagai hasil sekunder.
Hasil kayu diharapkan dapat diperoleh dari areal tebangan dengan luas yang relatif sama
setiap tahunnya, melalui penerapan sistem tebang habis.
Melalui inventarisasi petak permanen diketahui pula riap tegakan, dan berdasarkan itu,
ditetapkan siklus tebang selama 30 tahun yang dibagi atas 3 periode penebangan
dimana masing-masing periode penebangan berjangka 10 tahun. Kegiatan dasar
pengelolaan adalah penebangan pada tegakan tertentu dalam setiap periode
penebangan.
M3 - 7
=
=
=
=
2.000 Ha
4.000 Ha
1.200 Ha
7.200 Ha
30
100
300
120
170
200
250
220
180
Berdasarkan hasil inventarisasi ditetapkan pula bahwa dalam rangka lebih menjamin
kondisi habitat yang dapat mendukung upaya pelestarian populasi satwa liar yang
ada maka perlu ada pembatasan penebangan pada setiap tegakan dalam setiap
periode penebangan, yaitu masing-masing sebagai berikut : Tipe-1 tidak lebih dari
800 Ha, Tipe-2 tidak lebih dari 1.800 Ha dan Tipe-3 tidak lebih dari 500 Ha.
Identifikasi dan perumusan masalah secara matematis :
a) Pembuat Keputusan : Kadishut
b) Tujuan-Tujuan :
Memaksimumkan hasil panen kayu secara lestari
Mengelola habitat untuk pemeliharaan satwa liar
c) Kriteria Tujuan
Total kayu yang dihasilkan dalam setiap periode penebangan 10 tahunan
sama, selama rotasi tebang (30 tahun)
Sebaran tegakan menurut umur dan tipe tegakan memenuhi standar untuk
habitat satwa liar
d) Kegiatan dan Peubah Keputusan
X11 = Luas areal tebangan (Ha)
X21 = Luas areal tebangan (Ha)
X31 = Luas areal tebangan (Ha)
X12 = Luas areal tebangan (Ha)
X22 = Luas areal tebangan (Ha)
X32 = Luas areal tebangan (Ha)
X13 = Luas areal tebangan (Ha)
X23 = Luas areal tebangan (Ha)
X33 = Luas areal tebangan (Ha)
pada
pada
pada
pada
pada
pada
pada
pada
pada
Tipe-1
Tipe-2
Tipe-3
Tipe-1
Tipe-2
Tipe-3
Tipe-1
Tipe-2
Tipe-2
dalam
dalam
dalam
dalam
dalam
dalam
dalam
dalam
dalam
periode penebangan 1
periode penebangan 1
periode penebangan 1
periode penebangan 2
periode penebangan 2
periode penebangan 2
periode penebangan 3
periode penebangan 3
periode penebangan 3
M3 - 8
Pembatasan luas penebangan (Ha) per tipe hutan per periode penebangan
X21 1.800 ; X31 500
Periode 1 ( 0 10 tahun) : X11 800 ;
X21 1.800 ; X31 500
Periode 1 (11 20 tahun) : X11 800 ;
X21 1.800 ; X31 500
Periode 1 (21 30 tahun) : X11 800 ;
Luas per
tipe hutan
1. 2000
2. 4000
3. 1200
Volume
(m3/Ha)
30
120
250
Vol tebangan
per periode
280.000
1.
2.
3.
2000
4000
1200
100
170
220
200.000
680.000
264.000
1.144.000
381.333
1.
2.
3.
2000
4000
1200
300
200
180
600.000
800.000
216.000
1.616.000
538.667
1.200.000
400.000
M3 - 9
<10
100
0,2
10 - 15
80
0,3
>15
50
0,5
Berdasarkan nilai-nilai pada tabel di atas dapat dihitung parameter keputusan antara lain
sebagai berikut :
Nilai Harapan Volume Tebangan, E(V) = V = (Vi pi ) = 100 0,2 + 75 0,3 + 50 0,5
= 20 + 22,5 + 25 = 67,5 m3
Ragam Volume Tebangan : 2(V) = E(Vi- V)2 = {pi (Vi - V)2}
= 0,2x(100-67,5)2 + 0,3x(75-67,5)2 + 0,3x(75-67,5)2
= 381,25
D = E(V) Kx(V) : E(V) K.(V) digunakan untuk keuntungan maksimalisasi
E(V) + K.(V) digunakan untuk biaya
minimalisasi
Kasus
Pada sebuah areal bekas tebangan akan dilakukan penanaman kembali, untuk
menghasilkan tegakan yang bernilai ekonomi tinggi (memberikan NPV yang tinggi).
Berdasarkan pengalaman diketahui bahwa pada areal tersebut terdapat benih-benih
alami tumbuhan semak. Jika tidak dilakukan perlakuan khusus sebelum penanaman
benih-benih tumbuhan semak tersebut akan tumbuh dengan cepat paska penebangan
dan potensil menjadi pesaing bagi bibit tanaman pokok, yang pada akhirnya akan
mempengarui hasil akhir dari tanaman.
Diketahui bahwa keadaan kandungan alami biji-biji semak dalam tanah ada tiga kategori,
masing-masing dengan peluang terjadinya sebagai berikut :
M3 - 46
s1 (tinggi)
s2 (sedang)
s3 (rendah)
0,20
0,30
0,50
Sehubungan dengan itu terdapat tiga pilihan perlakuan sebelum penanaman, yaitu
masing-masing sebagai berikut :
t1 = semak dibakar, kemudian disemprot dengan herbisida (biaya Rp.1.4jt per Ha)
t2 = semak dibakar tanpa penyemprotan (biaya Rp.600.000,- per Ha)
t3 = tanpa perlakuan (tanpa biaya)
Berdasarkan hasil analisis dengan assumsi biaya, harga dan suku bunga tertentu
diperoleh nilai NPV untuk setiap kombinasi alternatif kegiatan dan keadaan kandungan
biji semak di dalam tanah seperti pada tabel berikut :
Tabel. Nilai NPV (Rp.10.000 per Ha) untuk setiap alternatif perlakuan dan keadaan
kandungan biji semak dalam tanah
Alternatif Perlakuan
s2
s3
t1
20
60
100
t2
-50
80
130
t3
-400
-200
150
Peluang
0,20
0,30
0,50
M3 - 47
=
=
=
Kriterium ini menggunakan konsep peluang Laplace, yaitu suatu konsep peluang yang
mengacu pada prinsip ketidakcukupan informasi untuk mendasari penentuan nilai
peluang suatu kejadian. Menurut Laplace, apabila kita berhadapan dengan n buah
kemungkinan keadaan di masa yang akan datang, yaitu 1, 2, n, dan informasi
M3 - 48
Kategori Pengunjung
1
a1
10
18
25
a2
23
a3
21
18
12
21
a4
30
22
19
15
Berdasarkan prinsip Laplace dapat dihitung nilai harapan biaya untuk setiap alternatif
tingkat persediaan fasilitas adalah :
Alternatif a1 : E(ca1, ) = ( 5 + 10 + 18 + 25) = 14,5
M3 - 49
Kriterium ini dapat dijelaskan dengan menggunakan contoh kasus biaya persediaan
fasilitas (dalam jutaan rupiah) yang telah dikemukan sebelumnya, seperti yang tersaji
pada tabel berikut ini
Tambahan Biaya pada setiap Kategori Pengunjung
1
Maks
{c(ai,j)}
a1
10
18
25
25
a2
23
23
a3
21
18
12
21
21
a4
30
22
19
15
30
Maksimum
Maksimum
Maksimum
Maksimum
( 5, 10, 18,
( 8, 7, 8,
(21, 18, 12,
(30, 22, 19,
25) = 25
23) = 23
21) = 21
15) = 30
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Minimaks adalah a3
(tingkat persediaan fasilitas tinggi)
M3 - 50
Kriterium ini dapat dijelaskan dengan merubah konteks contoh kasus di atas dengan
tingkat keuntungan atau perolehan bersih dari usaha penyediaan fasilitas (dalam jutaan
rupiah), seperti yang tersaji pada tabel berikut ini
Tingkat Perse- Tingkat Keuntungan pada setiap Kategori Pengunjung
diaan Fasilitas
1
2
3
4
Min
{c(ai,j)}
a1
35
30
22
15
15
a2
32
23
32
20
20
a3
19
22
28
17
17
a4
10
18
21
25
10
Minimum
Minimum
Minimum
Minimum
(35,
(32,
(19,
(10,
30,
23,
22,
18,
22,
32,
28,
21,
15) = 15
17) = 17
19) = 19
25) = 10
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Maksimin adalah a2
(tingkat persediaan fasilitas sedang)
Kriterium Minimaks Penyesalan
Misalkan ada sebuah matriks kehilangan atau matriks biaya (nilai dalam ribuan rupiah)
sebagai berikut :
2
Maksimum {c(ai,j)}
1
a1
a2
15.000
12.000
6.000
12.000
15.000
12.000
Melalui penerapan kriterium minimaks terhadap kondisi ini, akan diperoleh kesimpulan
bahwa solusi optimumnya adalah a2 karena oleh Minimum (15.000, 12.000) = 12.000.
Namun secara intuitif kita akan lebih cenderung memilih a1 oleh karena jika yang terjadi
adalah 2 ( = 2) maka kita hanya akan kehilangan 6.000. Sementara itu, kehilangan
yang akan dialami apabila pilihan jatuh pada a2 adalah sebesar 12.000.
Untuk mengatasi ketidakkonsistenan antara kesimpulan berdasarkan kriterium obyektif
dan cara berpikir logis pada permasalahan yang bersifat ekstrim seperti ini, maka perlu
dilakukan modifikasi terhadap matriks asal menjadi matrik baru yang lasim disebut
sebagai matriks penyesalan (regret matrix). Unsur-unsur matriks penyesalan
menyatakan ukuran tingkat penyesalan yang mungkin terjadi / dialami jika kita salah pilih.
Nilai unsur-unsur tersebut dihitung dengan rumus :
M3 - 51
Untuk menjelaskan penerapan kriterium ini, dapat digunakan mariks asal (C) pada
permasalahan penentuan tingkat persediaan fasilitas rekreasi sebagai berikut :
Nilai C utk ai & j
a1
a2
a3
a4
Minimum c(ak,j)
1
5
8
21
30
5
2
10
7
18
22
7
3
18
8
12
19
8
4
25
23
21
15
15
Maks {C(ai,j)}
25
23
21
30
Dari matriks asal tersebut dapat dibuat matriks penyesalan R sebagai berikut :
Nilai R utk ai & j
a1
a2
a3
a4
Maksimum
Maksimum
Maksimum
Maksimum
( 0, 3, 10,
( 3, 0, 0,
(16, 11, 4,
(25, 15, 11,
1
0
3
16
25
10) = 10
8) = 8
6) = 16
0) = 15
2
3
0
11
15
3
10
0
4
11
4
10
8
6
0
Maks {R(ai,j)}
10
8
16
25
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Minimaks Penyesalan
adalah a2
Kriterium Hurwicz
Kriterium ini merupakan pengambilan keputusan yang didasarkan pada sikap yang
berada diantara sikap optimistik dan sikap pesimistik. Sikap optimisktik akan memilih
Kriterium Masksimaks, sedang sikap pesimistik lebih memilih Kriterium Maksimin.
Penerapan Kriterium Hurwicz dilakukan dengan cara memberi bobot pada sikap
optimistik dan sikap pesimistik. Faktor pembobot untuk sikap optimistik adalah , sedang
faktor pembobot untuk sikap pesimistik adalah 1- .
Faktor pembobot disebut indeks optimistik (index of optimism). Nilai = 1 bermakna
kriterium menjadi sangat optimistik, sebaliknya nilai = 0 bermakna Kriterium menjadi
sangat pesimistik.
M3 - 52
5
8
21
30
10
7
18
22
18
8
12
19
25
23
21
15
Min
c(ai,j)
5
7
12
15
Maks
c(ai,j)
25
23
21
30
H
15
15
16,5
22,5
Para pengambil keputusan yang tergolong dalam kelompok ini berargumen bahwa
keadaan masa depan adalah hal yang belum diketahui, sehingga sangatlah tidak
rasional jika kita menganggap (apalagi menyakini) bahwa sesuatu keadaan memiliki
kecendrungan (kemungkinan) untuk terjadi lebih besar dari pada keadaan lainnya.
Menurut kelompok ini, yang paling rasional adalah anggapan bahwa semua keadaan
yang mungkin terjadi memiliki peluang yang sama. Kelompok ini menggunakan Kriterium
(nilai harapan) Laplace.
b) Kelompok Optimistik dan Kelompok Pesismistik
Kelompok optimistik berpendapat bahwa alternatif apapun yang kita pilih, alam tidak
pernah memiliki keinginan untuk menundukkan (mengalahkan) kita dan karena itu
keadaan paling menguntungkanlah yang akan terjadi pada masa mendatang, sepanjang
kita mengupayakannya. Atas dasar pemikiran demikian ini, kelompok optimistik selalu
memilih alternatif yang memberikan keuntungan maksimum diantara keuntungan
maksimum yang dicapai pada setiap alternatif yang ada (Maksimaks).
Sebaliknya, kelompok pesimistik selalu melihat bahwa kemungkinan paling merugikanlah yang akan terjadi. Akibatnya, kelompok ini cenderung memilih alternatif yang
M3 - 53
NPV maksimum
20
80
150
E(NPV)
Minimum Maksimum peluang sama
E{g(ai,sj}
20 a)
-50
-400
100
130
150 b)
60 c)
53,3
-150
s2
s3
Maksimum sj
g(ai,sj)
a1
20
50
50 d)
a2
70
20
70
a3
420
280
420
Perlakuan terhadap
lokasi penanaman
Keputusan optimal untuk setiap klp pengambil keputusan adalah sebagai berikut :
a) Kelompok pesimistik memilih a1 (maksimum dari pendapatan minimum); yaitu
a1. Minimum ( 20, 60, 100) = 20
a2. Minimum ( -50, 80, 130) = -50
Maksimum NPV(20, -50, -400) = 20
a3. Minimum (-400,-200, 150) = -400
b) Kelompok optimistik memilih a3 (maksimum dari seluruh hasil) ; yaitu Maksimum
a1. Maksimum ( 20, 60, 100) = 100
a2. Maksimum ( -50, 80, 130) = 130
a3. Maksimum (-400,-200, 150) = 150
M3 - 54
M3 - 55
M3 - 56
b) Kebutuhan biaya :
Pembangunan tanaman skala besar (sekaligus) : Rp.50 milyar
Pembangunan tanaman secara bertahap
9 Tahap pertama : Rp.10 milyar
9 Tahap kedua (dua tahun setelah pembangnan tahap pertama) : Rp.42 milyar
M3 - 57
Gambar 3.2. Diagram pohon keputusan, dilengkapi dengan biaya dan pendapatan
Berdasarkan informasi di atas, maka diagram pohon keputusan untuk permasalahan ini
dapat dilengkapi seperti yang tersaji pada Gambar 3.2.
Berdasarkan nilai-nilai pada diagram keputusan, maka selanjutnya dapat dilakukan
evaluasi pada simpul keputusan tahap pertama dan simpul keputusan tahap kedua.
Selanjutnya keputusan dibuat dengan menggunakan kriterium nilai harapan (untuk
keuntungan bersih).
Evaluasi dilakukan mulai dari tahapan bernomor besar dan secara berturut-turut diikuti
dengan tahapan yang lebih kecil. Untuk permasalahan di atas evaluasi dimulai dari tahap
kedua, baru kemudian dilanjutkan dengan evaluasi tahap pertama.
Evaluasi Tahap Kedua
M3 - 58
M3 - 59
M3 - 60
M3 - 61
M3 - 62
a) Aksioma resiprokal
AHP berlandaskan kepada matriks perbandingan berpasangan (pairwais comparative
matrix) dari variabel-veriabel (kriteria) yang diperhatikan. Dengan aksioma repsiprokal
dimaksudkan bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus kebalikan
Apabila variabel-variabel yang diperhatikan adalah A, B dan C maka perbandingan
berpasangan yang terbentuk adalah A vs B, A vs C dan B vs C. Sifat resiprokal
perbandingan A vs B berarti : apabila diketahui A merupakan variabel yang dinilai
memiliki tingkat kepentingan5 (lima) kali tingkat kepentingan B, maka dikatakan A vs B =
5. Sebaliknya, tentu saja tingkat kepentingan B menjadi 1/5 kali tingkat kepentingan A
atau B vs A = 1/5. Hal yang sama berlaku untuk pasangan variabel yang lain
b) Aksioma homogenitas
Hirarki dalam AHP merupakan alat utama yang diperlukan untuk membuat matriks
perbandingan berpasangan untuk mendapatkan solusi optimal dari permasalahan yang
dihadapi. Hirarki dalam AHP umumnya terdiri atas banyak tingkat (level) dari tujuan
utama (level 1) sampai skenario alternatif kegiatan sebagai jawaban permasalahan yang
dihadapi (level k, k 2). Diantara level 1 dengan level k, terdapat level 2, level 3
.................. level k-2, dan level k-1. Banyaknya level yang terdapat dalam sebuah
M3 - 63
a) Dekomposisi
M3 - 64
Level 2 : Kriteria
K1
K2
Solusi 1
K3
Solusi 2
M3 - 65
Level 2 : Kriteria
K1
K2
Solusi 1
K3
Solusi 2
Gambar 2. Contoh hirarki permasalahan hipotetis yang tidak lengkap (hirarki yang
tidak lengkap)
b) Pembentukan Matriks Perbandingan Berpasangan
M3 - 66
.2
.
S1, S2, ...... Sq = Skor untuk tingkat prioritas alternatif ke-1, ke-2 ........... dan ke-q
Skor Si dinyatakan dalam nilai proporsi (0Si1; untuk i = 1, 2, ..., q); Si = 1.
M3 - 67
Sebuah kegiatan atau rangkaian kegiatan yang dipilih untuk dilaksanakan dalam
rangka mencapai tujuan pengelolaan hutan yang telah ditetapkan, haruslah merupakan
kegiatan atau rangkaian kegiatan yang diyakini dapat menjamin pencapaian tujuan
pengelolaan tersebut secara optimum. apabila kegiatan atau rangkaian kegiatan tersebut
memiliki hubungan ketergantungan yang kuat dengan tujuan yang bersangkutan. Hal ini
mengindikasikan bahwa jika suatu tujuan ataupun rangkaian tujuan pengelolaan telah
ditetapkan maka alternatif kegiatan yang dapat dipilih untuk dilaksanakan menjadi lebih
terbatas, yaitu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang memang mendukung upaya
pencapaian tujuan termaksud secara optimal. Contoh : jika pengelolaan sebuah hutan
lindung terutama diperuntukkan atau ditujukan bagi perlindungan permukaan tanah dari
erosi yang melebihi tingkat erosi diperkenankan, maka kegiatan-kegiatan yang potensil
menyebabkan penurunan luas penutupan tajuk tegakan, seperti penebangan, harus
dihindari atau tidak dapat ditetapkan sebagai kegiatan pengelolaan hutan yang akan
diterapkan. Untuk itu perlu diidentifikasi kegiatan lain yang lebih sesuai dan atau
mendukung tujuan pengelolaan hutan, seperti budidaya tanaman obaat-obatan di bawah
M3 - 33
Setiap kegiatan atau teknologi yang terpilih untuk diterapkan, harus memenuhi syaratsyarat kelayakan, baik dari aspek ekologi dan aspek teknis, maupun dari aspek ekonomi
dan sosial. Untuk menilai kelayakan kegiatan tersebut, diperlukan berbagai informasi
dasar yang berkenaan dengan peranan kegiatan dalam mendukung upaya pencapaian
tujuan, beserta dampaknya terhadap lingkungan. Informasi dasar ini dapat diperoleh
melalui publikasi hasil penelitian ilmiah, pengalaman-pengalaman di tempat lain dan
kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan. Kegiatan yang dipilih untuk diterapkan
seharusnya merupakan kegiatan yang memang layak, dimana penilaian kelayakan
termaksud didasarkan pada informasi tentang berbagai aspek yang lengkap. Kegiatan
atau pilihan teknologi yang dinilai akan relevan dengan tujuan yang ditetapkan, serta
layak secara ekologis, teknis ekonomi, dan sosial, tetapi masih belum teruji
kebenarannya, sebelum diterapkan terlebih dahulu perlu diuji melalui kaji tindak (pilot
project) di tempat atau lokasi pengelolaan
3. Kesejalanan dengan norma, tata nilai dan kepentingan masyarakat lokal
M3 - 34
M3 - 35
Tahun
2005
2025
20
20
1985
60
12
20
20
20
Catatan :
2045
20
M3 - 36
Komponen
1. Umur tegakan
(tahun)
60/0
10
20
30
40
50
60
(Mbdft/acre)
10
18
23
25
13
18
16
10
(inch)
12
16
19
22
25
(Mbdft/acre)
25
10
10
0,01
0,05
0,03
0,03
0,03
0,03
0,02
3. Hasil Panen
a. Kayu pertukangan
M3 - 37
Komponen
60
70
80
90
100
100
100
2. Hasil inventarisasi
a. Kayu pertukangan pinus
(Mbdft/acre)
b. Kayu pertukangan daun lebar (Mbdft/acre)
c. LBDS tegakan pinus
(inch / acre)
d. LBDS tegakan daun lebar
(inch / acre)
6
0
40
5
9
1
55
10
11
3
75
20
12
4
80
25
14
5
95
20
13
7
85
40
14
6
90
50
3. Hasil Panen
a. Pinus
b. Kayu Pertukangan
c. Kayu serat
0
0
0
2
1
5
2
0
5
0
0
0
4
2
6
5
1
4
2
3
4
30
0,10
6
0,6
0,2
5
20
0,15
6
0,5
0,3
5
18
0,20
7
0,5
0,3
6
15
0,20
7
0,4
0,4
6
15
0,20
7
0,3
0,5
7
15
0,20
8
0,3
0,5
7
15
0,20
8
0,3
0,6
7
(Mbdft/acre)
(Mbdft/acre)
(cord / acre)
4. Hasil lain-lain
a. Kayu bakar
( ton / acre )
b. Produksi ternak
(AUMs / acre)
c. Indeks keragaman habitat (skala 1 - 10)
d. Kualitas relatif habitat rusa (skala 0 - 1)
e. Kualitas relatif habitat burung (skala 0 - 1)
f. Kualitas keindahan visual (skala 1 - 10)
M3 - 38
M3 - 39
IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait dengan
proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang terkait dengan
materi Penetapan Tujuan dan Kegiatan Prioritas dalam Pengelolaan Hutan, dalam
melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks,
Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain.
Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan
secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya
mahasiswa.
M3 - 40
M4 - 1
M4 - 2
M4 - 3
M4 - 4
M4 - 5
M4 - 6
Kawasan Hutan Konservasi adalah kawasan hutan, yang memiliki ciri khas
tertentu, dengan fungsi pokok sebagai sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
Kawasan Hutan Suaka Alam adalah kawasan hutan, yang memiliki ciri khas
tertentu, dengan fungsi pokok sebagai sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan
Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah kawasan hutan, yang memiliki ciri
khas tertentu, dengan fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatannya secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata
berburu.
Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai Taman Buru harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
(a) Mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan ;
dan atau
(b) Memiliki potensi satwa buru yang dapat dikembangkan sehingga
memungkinkan perburuhan secara teratur dengan mengutamakan segi
rekreasi, dan kelestarian satwa.
Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok untuk
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
memelihara kesuburan tanah
M4 - 7
M4 - 8
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Hutan Produksi (KPHL dan KPHP)
Gubernur dengan pertimbangan Bupati / Walikota menyusun rancang
bangun Unit Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Unit Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP) berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan
oleh Menteri, dan selanjutnya diusulkan kepada Menteri. Berdasarkan
usulan tersebut, Menteri menetapkan arahan pencadangan KPHL dan
KPHK, yang dijadikan dasar oleh Gubernur untuk membuat KPHL dan
KPHP, untuk selanjutnya kembali diusulkan kepada Menteri. Berdasarkan
usulan tersebut Menteri menetapkan KPHL dan KPHP termaksud.
B5. Penyusunan Rencana Kehutanan
Penyusunan rencana kehutanan adalah pembuatan dokumen perencanaan
pembangunan kehutanan menurut jangka waktu perencanaan, skala
geografis dan menurut fungsi pokok kawasan hutan
Berdasarkan skala geografis, rencana kehutanan meliputi : rencana tingkat
nasional, rencana tingkat provinsi dan rencana tingkat kabupaten/kota.
Penyusunan rencana kehutanan disusun sebagai berikut :
M4 - 9
M4 - 10
M4 - 11
IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang
terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan,
khususnya yang terkait dengan materi Perencanaan Pengelolaan Hutan
(Perencanaan Kehutanan) di Indonesia, dalam melakukan penelusuran
berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen
atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain.
Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan
dapat berjalan secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua
pihak terkait, khususnya mahasiswa.
M4 - 12
Pemahaman secara tepat dan benar tentang konsepsi, kebijakan dan metode
pelaksanaan sesuatu kegiatan oleh pelaksana kegiatannya, merupakan suatu keharusan
jika kita ingin mewujudkan tujuan dari kegiatan termaksud secara optimal. Pemahaman
tentang konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan perencanaan
hutan oleh semua pihak yang terkait juga menjadi suatu tuntutan atau suatu keharusan,
jika kita ingin mewujudkan tujuan perencanaan hutan tersebut secara optimal. Hanya
melalui pemahaman termaksud, pihak pelaksana dapat mengembangkan pilihan-pilihan
yang mungkin dilakukan, termasuk pilihan optimal, untuk setiap perubahan kondisi dan
situasi yang dihadapi.
Berhubung karena kegiatan perencanaan tidak bisa dipisahkan dengan
kegiatan monitoring dan evaluasi, maka pemahaman tentang konsepsi, kebijakan dan
metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan perencanaan harus pula diikuti dengan
pemahaman tentang konsepsi dan metode monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain,
pemahaman tentang konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan
perencanaan seharusnya sejalan dengan (dan atau didukung oleh) pemahaman tentang
konsepsi, kebijakan dan metode monitoring dan evaluasi.
B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini membahas tentang : (1) Konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan
kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan yang meliputi : (a) Inventarisasi hutan, (b)
Pengukuhan kawasan hutan, (c) Penatagunaan kawasan hutan, (d) Pembentukan
wilayah pengelolaan hutan, dan (e) Penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta (2)
Konsepsi, kebijakan dan metode monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan hutan.
C. Sasaran Pembelajaran Modul
M5 - 1
Prinsip Dasar
Inventarisasi hutan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting
dalam perencanaan hutan. Hasil inventarisasi hutan sangat diperlukan
dalam kegiatan pengukuhan hutan, penatagunaan hutan, pembentukan
wilayah pengelolaan serta dalam rangka penyusunan rencana kehutanan.
Berdasarkan obyeknya, inventarisasi hutan dibedakan atas inventarisasi
potensi kayu dan inventarisasi potensi bukan kayu. Kegiatan inventarisasi
hutan ini dilakukan di dalam kawasan hutan, di sekitar kawasan hutan yaitu
di sekitar wilayah pemukiman masyarakat dimana masyarakat mempunyai
ketergantungan terhadap hasil hutan serta keberadaan hutan dan
kawasannya.
Inventarisasi potensi hutan berupa kayu adalah suatu kegiatan untuk
mengetahui potensi dan sebaran kayu dalam hutan. Mengingat hasil hutan
kayu umumnya hanya diperbolehkan dari kawasan hutan produksi, maka
inventarisasi potensi kayu dilakukan di dalam hutan produksi atau kawasan
hutan yang akan dimutasi atau akan mengalami perubahan fungsi untuk
kepentingan non kehutanan. Inventarisasi potensi hutan bukan kayu
merupakan suatu kegiatan untuk mengetahui potensi hutan bukan kayu
beserta penyebarannya, baik yang berada di dalam maupun di sekitar
kawasan hutan.
M5 - 2
M5 - 3
Teknik Sampling
1. Teknik sampling (pengambilan contoh) ; sering menggunakan systemic
strip with random start
2. Intensitas sampling (IS) ; tergantung pada tujuan inventarisasi dan
ketersediaan informasi awal.
Untuk penyusunan Rencana Karya KPHP, misalnya, digunakan intensitas sampling (IS) sebagai berikut :
a. Jika ada peta hasil penafsiran potret udara, IS cukup sebesar 0,05%
b. Jika tersedia peta hasil penafsiran citra satelit Landsat TM atau MSS
atau SPOT atau citra lain yang setara dengan citra TM, IS yang
digunakan adalah sebesar 0,1%
c. Jika tidak tersedia baik peta hasil penafsiran potret udara maupun
hasil penafsiran citra satelit, IS yang digunakan adalah sebesar 0,5%.
3. Penentuan arah jalur coba disesuaikan dengan kondisi topografi, arah
Timur-Barat atau Utara-Selatan
M5 - 4
=
=
=
=
Prinsip Dasar
Kepastian hukum tentang status kawasan hutan tertentu harus didasarkan
pada pengakuan dari semua stakeholder. Untuk itu diperlukan kejelasan
tentang batas-batas wilayah hutan, batas administrasi pemerintahan, dan
kondisi biofisik kawasan hutan serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di
sekitar hutan. Pengukuhan kawasan hutan harus melibatkan semua
stakeholder, khususnya pemerintah daerah dan masyarakat yang ada di
dalam dan di sekitar kawasan hutan, agar di kemudian hari tidak
menimbulkan perselisihan diantara para stakeholder yang bersangkutan.
M5 - 5
M5 - 6
M5 - 7
M5 - 8
M5 - 9
M5 - 10
M5 - 11
M5 - 12
M5 - 13
M5 - 14
M5 - 15
M5 - 16
Komponen Kegiatan
Evaluasi sering digunakan untuk menunjukkan capaian pada setiap tahapan
dalam siklus pengelolaan hutan. Evaluasi dimaksudkan untuk memperoleh
umban balik untuk menjadi bahan dalam upaya perbaikan perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan pengelolaaan selanjutnya. Evaluasi dilakukan
terhadap semua komponen penyelenggaraan pengelolaan hutan yang
mencakup :
1. Evaluasi tata hutan dan rencana pengelolaan hutan
2. Evaluasi pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
3. Evaluasi reklamasi dan rehabilitasi hutan
4. Evaluasi perlindungan hutan dan konservasi alam
Agar pelaksanaan evaluasi dapat berlangsung dengan baik, maka perlu
dibuat suatu rencana evaluasi untuk menjadi pedoman atau petunjuk dan
pemberi arah bagi pelaksana dalam berpikir dan bertindak. Rencana
evaluasi, dapat disajikan dalam bentuk pertanyaan yang perlu dijawab
melalui pelaksanaan evaluasi. Berikut disajikan pertanyaan- pertanyaan
yang perlu dijawab dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan evaluasi.
1. Berapa kali evaluasi akan dilakukan dalam kurun waktu tertentu dan
kapan evaluasi dilakukan :
a. Evaluasi kegiatan sekali dalam setahun, untuk kegiatan yang akan
dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam RKT
b. Evaluasi kegiatan sekali dalam 5 tahuni, untuk kegiatan yang
tercantum dalam RKL
c. Evaluasi kegiatan sekali dalam 20 tahun, untuk kegiatan yang
dilakukan pada setiap pembaharuan RKPH
2. Mengapa kegiatan evaluasi perlu dilakukan (Alasan apa kenapa kegiatan
dievaluasi diperlukan) :
a. Kenapa tata hutan dan rencana pengelolaan hutan perlu dilakukan
M5 - 17
Evaluasi
pertama
Evaluasi
kedua
.......
Evaluasi
ke-n
Obyek Evaluasi
Metode Evaluasi
Evaluator
Anggaran Evaluasi :
M5 - 18
M5 - 19
M5 - 20
IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang
terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan,
khususnya yang terkait dengan materi Konsepsi, Kebijakan dan Metode
Pelaksanaan (kegiatan-kegiatan) Perencanaan serta Konsepsi, Kebijakan
dan Metode Monitoring dan Evaluasi kegiatan pengelolaan hutan, dalam
melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku
teks, Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun
sumber-sumber lain. Dengan mengacu pada modul ini maka proses
pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara efisien dan efektif melalui
peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya mahasiswa.
M5 - 21
Third Edition.
Indonesia
Sejarah
Kehutanan
I.
Daftar Pustaka
TP - 1
Daftar Pustaka
TP - 2