Skenario 2 MPT
Skenario 2 MPT
Sekretaris
Anggota
: Ratna Kurnianingsih
1102012228
: Mutia Tri Pujianti
1102012184
: Maya Dwi Anggraeni
1102011157
Putri Erica
1102012215
Raden Agil Widjaya
1102012221
Roesa Dahliana Ibrahim
1102011243
Rumi Aulia
1102012257
Selly Viani
1102012267
Septha Amelia Dewi
1102012269
Soraya Dwi Khairunnisa
1102012285
SKENARIO 2
REAKSI ALERGI
Seorang perempuan berusia 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan demam dan sakit
menelan sejak 2 minggu yang lalu. Dokter memberikan antibiotik golongan penicilin. Setelah
minum antibiotik tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang hampir merata
diseluruh tubuh, timbul bengkak pada kelopak mata dan bibir. Ia memutuskan untuk kembali
berobat ke dokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan angioedema di mata dan bibir, dan
urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi
(hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan obat antihistamin dan kortikosteroid.
Dokter memberikan saran agar selalu berhati-heti dalam meminum obat.
SASARAN BELAJAR
LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas
LO. 1.1
Definisi Hipersensitivitas
LO. 1.2
Klasifikasi Hipersensitivitas
LO. 1.3
Pemeriksaan Hipersensitivitas
LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I
LO. 2.1
Definisi Hipersensitivitas Tipe I
LO. 2.2
Mekanisme Hipersensitivitas Tipe I
LO. 2.3
Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe I
LO. 2.4
Penanganan Hipersensitivitas Tipe I
LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II
LO. 3.1
Definisi Hipersensitivitas Tipe II
LO. 3.2
Mekanisme Hipersensitivitas Tipe II
LO. 3. 3
Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe II
LO. 3.4
Penanganan Hipersensitivitas Tipe II
LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III
LO. 4.1
Definisi Hipersensitivitas Tipe III
LO. 4. 2
Mekanisme Hipersensitivitas Tipe III
LO. 4. 3
Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe III
LO 4. 4
Penanganan Hipersensitivitas Tipe III
LI. 5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV
LO. 5. 1
Definisi Hipersensitivitas Tipe IV
LO. 5. 2
Mekanisme Hipersensitivitas Tipe IV
LO. 5. 3
Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe IV
LO. 5. 4
Penanganan Hipersensitivitas Tipe IV
LI. 6. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid
LO. 6.1
Antihistamin
LO. 6.2
Kortikosteroid
LI. 7. Memahami dan Menjelaskan Hukum Islam untuk Menentukan 2 Pilihan yang Terbaik
Gejala
Anafilaksis, urtikaria,
angioedema, mengi,
hipotensi, nausea, muntah,
sakit abdomen, diare
Agranulositosis
Anemia hemolitik
Trombositopenia
Panas, urtikaria,
limfadenopati
Contoh
Penisilin dan -laktam
lainnya, enzim, antiserum,
protamin, heparin antibodi
monoklonal, ekstrak alergen,
insulin
Metamizol, fenotiazin
Penisilin, sefalosporin, laktam, kinidin, metildopa
Karbamazepin, fenotiazin,
tiourasil, sulfonamid,
antikonvulsan, kinin, kinidin,
parasetol, sulfonamid, propil,
tiourasil, preparat emas
atralgia, -laktam, sulfonamid,
fenotiazin, streptomisin
Serum sickness
IV. hipersensitivitas
Fotoalergi
selular
Salislanilid (halogeneted),
asam nalidilik
Barbiturat, kinin
Lesi makulopapular
(IgG)
LO. 1.3 Pemeriksaan Hipersensitivitas
Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :
1. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya debu,
tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di
kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan
menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka,
berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit. Bila positif
alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal.
Syarat tes ini :
- Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung antihistamin (obat
anti alergi) selama 3 7 hari, tergantung jenis obatnya.
- Umur yang di anjurkan 4 50 tahun.
2. Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit
dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat
dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul bercak
kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
- Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat, mandi, posisi
tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
- 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau anti
bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
3. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini
memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses
dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam.
Kelebihan dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.
4. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan. Dilakukan
di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes di lapisan bawah
kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan
timbul,bentol,merah,gatal.
5. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan,
dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup
dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek
alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman
untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi
bronkial dan tes provokasi makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE
spesifik metode RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo Control)
atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan secara
bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 30 menit. Dalam satu hari hanya
boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu
48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.
2. Produk lipoksigenase
Mediator
Histamin
Efek
H1: Permeabilitas vaskular meningkat,
vasodilatasi, kontraksi otot polos
H2: Sekresi mukosa gaster, aritmia jantung
H3: SSP
H4: Eosinofil
ECF-A
Kemotaksis eosinofil
NCF-A
Kemotaksis neutrofil
Protease (Triptase, krimase)
Sekresi mukus bronkial, degradasi, membran
basal pembuluh darah, pembentukan produk
pemecahan komplomen
Eosinophil Chemotactic Factor
Kemotaktik untuk eosinofil
Neutrofil Chemotactic Factor
Kemotaktik untuk neutrofil
Hidrolase Asam
Degradasi matriks ekstraseluler
PAF
Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi
otot polos paru
NCA
Kemotaksis neutrofil
BK-A
Kalikrein: kininogenase
Proteoglikan
Heparin, kondrotin sulfat, sulfat dermatan:
mencegah komplemen yang menimbulkan
koagulasi
Enzim
Kimase, triptase, proteolisis
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang
membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4
merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4
adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk
lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari
jaringan paru yang tersensitisasi.
Mediator primer utama pada hipersensitivitas tipe I
Pajanan dengan mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel
plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel
mast dan basofil (banyak molekul IgE dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1).
Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang
diikat sel mast, memacu penglepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari
sel mast dan basofil. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos,
meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan
anafilaksis.
10
Alergen Umum
Anafilaksis
Urtikaris akut
Rinitis alergi
Sengatan serangga
Polen, tungau debu rumah
Asma
Makanan
Ekzem atopi
Gambaran
Edema dengan peningkatan
permeabilitas kapiler, okulasi trakea ,
koleps sirkulasi yang dapat
menyebabkan kematian
Bentol, merah
Edema dan iritasi mukosa nasal
Konstriksi bronkial, peningkatan
produksi mukus, inflamasi saluran
nafas
Urtikaria yang gatal dan potensial
menjadi anafilaksis
Inflamasi pada kulit yang terasa gatal,
11
beberapa makanan
13
parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE. Peran dari ADCC
dalam hipersensitivitas masih belum dapat dipastikan.
2. Inflamasi yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor
Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks),
kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel.
Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya
menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga
berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan
perusak (enzim dan intermediate oksigen reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan
jaringan. Reaksi ini berperan pada glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ
grafts.
3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibody
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel
merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh
karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor
end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip dari reaksi
hipersensitivitas tipe II adalah adanya mediasi dari antibodi untuk menyebabkan sitolitik
pada sel terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang menempel pada permukaan membran
sel. Kasus pada pemicu akibat adanya pengaruh obat bisa menjadi reaksi hipersensitivitas
tipe II melalui adanya pembentukan kompleks antigen-antibodi. Namun, hal tersebut
sulit untuk dibuktikan karena efek reaksi obat yang begitu cepat lebih mengarah pada
adanya anafilaktik obat yang merupakan manifestasi dari reaksi hipersensitivitas tipe I.
LO. 3. 3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe II
Manifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik autoimun .
Reaksi Transfusi
a. Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai
gen.
b. Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi,
karena antiB isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan
kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravascular. Reaksi dapat cepat atau
lambat .
- Reaksi cepat
Disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam
beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui
ginjal dan menimbulkan hemaglobinuria. Beberapa hemaglobin diubah menjadi
bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik.
Gejala khas : Demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri
pinggang bawah, dan hemoglobinuria.
- Reaksi lambat
Terjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan darah yang kompatibel
ABO namun inkompatibel dengan golongan darah yang lain. Terjadi 2-6 hari setelah
transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai
14
antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan resus, Kidd, Kell, dan
Duffy.
Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi
baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika
anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas
sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah
disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak
yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat
antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau
lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor
Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning,
Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.
Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig
terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b,
terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau
dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi
nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada
SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.
(Baratawidjaja, 2009)
Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang
menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat
trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan
menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan
chloropromazin mengikat sel darah merah.
LO. 3.4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe II
Untuk penyakit akibat hipersensitivitas tipe II ini tidak ada obatnya, karena
patogenesisnya adalah antibodi tubuhnya sendiri. Usaha penanganan yang dilakukan
untuk penderita reaksi hipersensitivitas tipe II hanya bertujuan mengendalikan gejala
saja.
LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III
LO. 4.1 Definisi Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas tipe III adalah reaksi imun kompleks antigen-antibodi. Kompleks
antigen-antibodi menstimulus inflamasi pada jaringan seperti dinding kapiler. Antigenantibodi kompleks dapat merangsang respon inflamasi akut yang mengarah aktivasi
komplemen dan leukosit PMN infiltrasi. Kompleks imun terbentuk baik oleh antigen
eksogen seperti dari mikroba atau dengan antigen endogen seperti DNA. Mediasi imun
kompleks dapat berupa sistemik atau lokal. Pada sistemik, antigen-antibodi kompleks
15
diproduksi dalam sirkulasi, disimpan dalam jaringan, dan memulai peradangan. Imun
kompleks disimpan dalam jaringan, komplemen adalah tetap, dan PMNs adalah tertarik
ke situs. Enzim lisosomal dilepaskan, mengakibatkan cedera jaringan.
Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh
eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks
imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang
menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang
tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau
jaringan.
1. Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun
sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat
merusak jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:
o Agregasi trombosit
o Aktivasi makrofag
o Perubahan permeabilitas vaskuler
o Aktivasi sel mast
o Produksi dan pelepasan mediator inflamasi
o Pelepasan bahan kemotaksis
o Influks neutrofil
2. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan
Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran
kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat. Hal tersebut
terjadi karena histamin yang dilepas oleh sel mast. Hipersensitifitas ini terjadi karena
adanya reaksi antara antigen dan antibodi yang mengendap dalam jaringan yang dapat
berkembang menjadi kerusakan pada jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen
16
berada dalam bentuk larutan dan dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi
patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan
mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagosit
mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung diendapkan pada
pembuluh darah. Di sana, terjadi dimulai kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan
komponen komplemen pada permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan dinding
pembuluh darah. Contoh kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis nekrotikans.
Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti protein asing
yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika seseorang
menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun). Penyakit yang
dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat sistemik jika terbentuk di sirkulasi dan
terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal
(glomerulonefritis), sendi (artritis) atau pembuluh darah kecil pada kulit. Reaksi
hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit individu yang
tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen pemicu
sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikan ke dalam individu tersebut, IgG yang
telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa kompleks imun setempat.
Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga
mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respon peradangan
setempat disertai
LO. 4. 3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe III
Manifestasi khas : reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum sickness,
vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES .
A. Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus
Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di tempat
yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem pada kelinci. Lalu
setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis di tempat suntikan. Hal
tersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun.
Antibodi yang ditemukan adalah presipitin. Reaksi Arthus dalam kilinis dapat berupa
vaskulitis dengan nekrosis.
Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut :
17
Mekanisme
Manifestasi
klinopatologi
18
19
Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi.
Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T Cell
Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
Granuloma terbentuk pada : TB, Lepra, Skistosomiasis, Lesmaniasis dan Sarkoidasis .
LO. 5. 3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe IV
Manifestasi khas : Dermatitis kontak, Lesi tuberculosis dan penolakan tandur .
- Dematitis kontak
Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak
berbahaya seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi DTH).
- Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium
tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi ini
berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu
yang pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10
pasca induksi. Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.
- Reaksi Jones Mote
Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang
mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai hipersensitivitas
basofil kutan. Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein
dalam jumlah kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh suntikan
antigen larut (ovalbumin) dengan ajuvan Freund.
- Penyakit CD8+
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel
sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik,
contoh pada infeksi virus hepatitis.
LO. 5. 4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe IV
Pengobatan menggunakan imunosupresan seperti syklosporin A atau FK-506
(Tacrolimus) dilakukan untuk menahan reaksi penolakan pada proses transplantasi organ.
Kedua obat ini menghalangi proliferasi dan diferensiasi limfosit T dengan menghambat
proses transkripsi IL-2. Pengobatan dapat pula menggunakan kortikosteroid.
LI. 6. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid
LO. 6.1 Antihistamin
A. Pengertian
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan saingan). Pada
awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis
reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara farmakologi
reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da reseptor-H2.
Dahulu antihistamin dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, tetapi kini
digunakan penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zatzat generasi ke-1 dan ke-2.
a. Obat generasi ke-1: prometazin, oksomemazin, tripelennamin, (klor) feniramin,
difenhidramin, klemastin (Tavegil), siproheptadin (periactin), azelastin (Allergodil),
sinarizin, meklozin, hidroksizin, ketotifen (Zaditen), dan oksatomida (Tinset).
20
Obat-obat ini berkhasiat sedatif terhadap SSP dan kebanyakan memiliki efek
antikolinergis
b. Obat generasi ke-2: astemizol, terfenadin, dan fexofenadin, akrivastin (Semprex),
setirizin, loratidin, levokabastin (Livocab) dan emedastin (Emadin). Zat- zat ini
bersifat khasiat antihistamin hidrofil dan sukar mencapai CCS (Cairan Cerebrospinal),
maka pada dosis terapeutis tidak bekerja sedative.
Keuntungan lainnya adalah plasma t2-nya yang lebih panjang, sehingga dosisnya
cukup dengan 1-2 kali sehari. Efek anti-alerginya selain berdasarkan, juga berkat
dayanya menghambat sintesis mediator-radang, seperti prostaglandin, leukotrin dan
kinin.
Berdasarkan penemuan ini, antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni
antagonis reseptor-H1 (singkatnya disebut H1-blockers atau antihistaminika) dan
antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambat-asam):
1. Antagonis Reseptor H1
Mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot licin dari dinding
pembuluh,bronchi dan saluran cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula melawan
efek histamine di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare reaction). Efeknya adalah
simtomatis, antihistmin tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi.
2. H2-blockers (Penghambat asma)
Obat-obat ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung yang meningkat
akibat histamine, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H2 di lambung. Efeknya
adalah berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan
tekanan darah menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambug usus
guna mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada
terapi dengan kortikosteroida. Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator
motilitas lambung (cisaprida) pada penderita reflux.
Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin, ranitidine,
famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari
histamin.
Menghilangkan gejala yang behubungan dengan alergi, termasuk rinithis, urtikaria
dan angiodema, dan sebagai terapi adjuvant pada reaksi anafilaksis. Beberapa
antihistamin digunakan untuk mengobati mabuk perjalanan (dimenhidrinat dan
meklizin), insomnia (difenhidramin), reaksi serupa parkinson (difenhidramin), dan
kondisi nonalergi lainnya.
Lazimnya dengan antihistaminika selalu dimaksud H-1 blockers. Selain bersifat
antihistamin, obat-obat ini juga memiliki berbagai khasiat lain, yakni daya
antikolinergis,antiemetis dan daya menekan SSP (sedative),dan dapat menyebabkan
konstipasi, mata kering, dan penglihatan kabur, sedangkan beberapa di antaranya
memiliki efek antiserotonin dan local anestesi (lemah).
Zat-zat ini berdaya antikolinergik dan sedative agak kuat.
1. DERIVAT ETANOLAMIN (X=O)
a. Difenhidramin : Benadryl
Di samping daya antikolinergik dan sedative yang kuat, antihistamin ini juga bersifat
spasmolitik, anti-emetik dan antivertigo (pusing-pusing). Berguna sebagai obat tambahan
pada Penyakit Parkinson, juga digunakan sebagai obat anti-gatal pada urticaria akibat
alergi (komb. Caladryl, P.D.)
Dosis: oral 4 x sehari 25-50mg, i.v. 10-50mg.
21
22
Derivat aso-fenotiazin ini kerjanya pendek dari prometazin dengan efek sedatif lebih
ringan.
Dosis: ora; 3-4 x sehari 4-8mg, i.m. atau i.v. 10mg.
o Mequitazin (Mircol, ACP)
Adalah derivat prometazin dengan rantai sisi heterosiklik yang mulai kerjanya cepat,
efek-efek neurologinya lebih ringan. Digunakan pada hay fever, urticaria dan reaksireaksi alergi lainnya.
Dosis: oral 2 x sehari 5mg.
o Meltidazin (Ticaryl, M.J.)
Adalah derivat heterosiklik pula (pirolidin) dengan efek antiserotonin kuat. Terutama
dianjurkan pada urticaria.
Dosis: oral 2 x sehari 8mg.
Sewaktu diketahui bahwa histamine mempengaruhi banyak proses faalan dan
patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamine. Epinefrin
merupakan antagonis faalan pertama yang digunakan. Antara tahun 1937-1972, beratusratus antihistamin ditemukan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda.
Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam
dosis terapi efektif untuk mengobati udem, eritem dan pruritus terapi tidak dapat
melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut di atas
digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1). Pada umumnya
antihistaminika diberikan oral 3 4 kali sehari 1 satuan dosis (tablet, kapsul). Hanya
pada obat-obat yang memiliki kerja panjang (promethazin) cukup dengan 1 2 dosis
sehari. Untuk feniramin dosisnya adalah lebih kecil, yaitu 3 4 kali sehari 2 4 mg.
Farmakodinamik
Antagonisme terhadap histamin, AH1 menghambat efek histamine pada pembuluh darah,
bronkus, dan bermacam-macam otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati
reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan histamine endogen
berlebihan.
- Otot polos secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamine pada otot polos
(usus,bronkus).
- Permeabilitas kapiler peninggian permeabilitas kapiler dan udem akibat histamin,
dapat dihambat dengan efektif oleh AH1
- Reaksi anafilaksis dan alergi reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter
terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang berperan tetapi
autakoid lain juga dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan reaksi hipersensitivitas
berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.
- Kelenjar eksokrin efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan lambung
tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi
kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
- Susunan saraf pusat AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek
perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah
insomnia, gelisah dan eksitasi. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan
penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan
waktu reaksi yang lambat.
Antihistamin yang relative baru misalnya terfenadin, astemizol, tidak atau sangat sedikit
menembus sawar darah otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak
25
menyebabkan kantuk, gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP. AH1 juga efektif
untuk mengobati mual dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain.
-
Anestesi local beberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan intensitas berbeda.
AH1 yang baik sebagai anestesi lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi
untuk menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi
daripada sebagai antihistamin.
Antikolinergik banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk
terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut
kering, kesukaran miksi dan impotensi.
Sistem kardiovaskular dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang
berarti pada system kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti
kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat anestetik lokalnya.
Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul
15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1
setelah pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6 jam, untuk golongan klorsiklizin 8-12 jam.
Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah
setelah kira-kira 2 jam dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya,
kemudian dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam. Kadar tertinggi terdapat pada
paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot dan kulit kadarnya lebih rendah.
Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan
ginjal. Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan konjugasi sedangkan klorsiklizin dan
siklizin terutama mengalami demetilasi. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam,
terutama dalam bentuk metabolitnya.
Efek Samping
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling
sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS atau
pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang
memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya
kecelakaan. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat
mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang
menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus,
lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan
tremor. Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan
berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping
ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan. Efek samping lain yang mungkin
timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat
dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik tersebut kurang
pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.AH1 bisa menimbulkan alergi pada
pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan local berupa dermatitis
alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi. Selain itu pemberian
terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang mendapat ketokonazol,
troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat memperpanjang interval QT dan
mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel.
26
Hal ini juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan
pasien-pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien
hipokalemia). Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin
non sedative dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.
Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat sebagai obat
persediaan dalam rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena kecelakaan,
sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah
bersifat letal bagi anak.
Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pda anak kecil efek yang
dominan ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia,
inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan
pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol.
Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis, kemerahan di muka
dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi
keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya
depresi SSP lebih lanjut.
Pengobatan
Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum
spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh barbiturate.
Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan yang berat dan tekanan darah dapat
dipertahankan secara baik.
Bila terjadi gagal napas, maka dilakukan napas buatan, tindakan ini lebih baik
daripada memberikan analeptic yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila
terjadi konvulsi, maka diberikan thiopental atau diazepam.
Perhatian
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus
diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada
resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan alcohol,
obat penenang atau hipnotik sedative.
LO 2.2 Kortikosteroid
Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormonadrenokortikotropik (ACTH)
yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem
fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan
tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar
elektrolit darah, serta tingkah laku.
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla, sedangkan
bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona
fasikulata mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona
fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan
pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk
golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam.
27
Farmakologi
Semua hormon steroid sama-sama mempunyai rumus bangun siklopentano
perhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A D. Modifikasi
dari struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan perubahan pada efektivitas dari
steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10 dan 13 atau
sebagai rantai samping yang terikat pada C17. Semua steroid termasuk
glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana
dan 1 cincin pentana.
Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dari plasma.
Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian dengan bantuan
enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen
lemah dengan 19 atom karbon. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk
steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah
pemberian ACTH.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus
menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah
yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal.
Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.
Berikut adalah tabel yang menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma
kortikosteroid terpenting pada manusia.
Kecepatan sekresi
dalam keadaaan
optimal (mg/hari)
Kadar plasma
(g/100ml)
Jam 08.00
Jam 16.00
Kortisol
20
16
Aldosteron
0,125
0,01
Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu
sebelum sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam hari sebelum tidur. Pada pagi
hari kadar kortisol yang paling tinggi dibandingkan waktu lainnya yang membuat orang
28
menjadi lebih semangat dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang ssehat pengeluaran
kortisol mengikuti kurva dimana dapat dibuat grafik mulai menurunnya kadar kortisol
hingga kadar terendah yaitu pada pukul 11 malam dibuktikan dengan seseorang yang
dapat beristirahat dengan cukup.
Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan
target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan
bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini
menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini
merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar,
hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain,
misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang sintesis protein yang
sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek
katabolik.
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol
(juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi
metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan
sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap
umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid
eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari
tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam
kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-a2 (CBG/corticosteroid-binding
globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk
digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG
menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid
sintetis seperti dexametason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan
CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh
dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam
jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1%
kortisol diekskresi tanpa perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol
diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid
sebelum mencapai hati. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan
absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan
ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon
bentuk aktifnya dalam tubuh.
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala
inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik
obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi
kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat
menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan
fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya
yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga
disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi serta
mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan
penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang
mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang
komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada pada sel endotel dan
29
Mineralkortikoid
Glukokortikoid
Lama kerja
Dosis
ekuivalen
(mg)*
Glukokortikoid
Kortisol
(hidrokortison)
20
Kortison
0,8
0,8
25
6--metilprednisolon 0,5
Prednisone
0,8
Prednisolon
0,8
Triamsinolon
Parametason
10
Betametason
25
0,75
Deksametason
25
0,75
Aldosteron
300
0.3
Fluorokortison
150
15.0
2.0
0.0
Mineralokortikoid
Desoksikortikosteron 20
asetat
31
Nama Dagang
Nama Generik
0,05% betamethason dipropionate
Diprolene AF cream
Psorcon ointment
Temovate ointment
Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment
Ultravate cream
Cyclocort ointment
0,1% amcinonide
Diprosone ointment
0,05% betamethasone
dipropionate
Elocon ointment
Florone ointment
Halog ointment
0,01% halcinonide
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment
0,05% fluocinonide
Lidex cream
Lidex gel
33
Lidex solution
Maxiflor ointment
Maxivate ointment
Maxivate cream
0,05% betamethasone
dipropionate
Topicort ointment
Topicort cream
Topicort gel
Aristocort A ointment
0,25% desoximetasone
0,05% desoximetasone
Cultivate ointment
Cyclocort cream
Cyclocort lotion
Diprosone cream
Flurone cream
Lidex E cream
0,05% betamethasone
dipropionate
Maxiflor cream
Maxivate lotion
0,05% fluocinonide
Topicort LP cream
Valisone ointment
0,05% betamethasone
dipropionate
Aristocort ointment
0,05% desoximetasone
Cordran ointment
Elocon cream
Elocon lotion
Kenalog ointment
0,05% flurandrenolide
Kenalog cream
Synalar ointment
Westcort ointment
Penggunaan Klinik
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan
untuk suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal
bersifatpaliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan
kausal. Biasanya pada kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah
contohnya pada anak-anak dan usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan
kortikosteroid sedang contonya pada dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan
dermatitis intertriginosa. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi
kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis
numular.
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai
dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar
kandungan steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah
lupus eritematousus diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika
diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid,
eksantema fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%.
Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik,
kortikosteroid diberikan secara sistemik.
Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah
prednison karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar
digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon.
Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralkortikoid jangan dipakai pada
pemberian long term (lebih daripada sebulan). Pada penyakit berat dan sukar menelan,
misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindrom Stevens-Jhonson harus diberikan
kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara intravena. Jika masa kritis telah diatasi
dan penderita telah dapat menelan diganti dengan tablet prednison.
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hatihati. Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek
samping terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam
jangka waktu yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang
tinggi karena kulit bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang
seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih
longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi
serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi prematur lebih berisiko
karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat
tinggi.2,11 Pada geriatrimemiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal
meningkat. Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi sekunder
karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering,
waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan
perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur,
sering digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (standar
pelayanan). Percobaan pada hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit
hewan hamil akan menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada
hewan tidak ada kaitan dengan efek pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko
apabila steroid yang mencukupi di absorbsi di kulit memasuki aliran darah wanita
hamilterutama pada penggunaan dalam jumlah yang besar, jangka waktu lama dan
steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan memperlihatkan hubungan yang
kecil tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester pertama dengan bimbing
sumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lipatau cleft palate saat penggunaan
35
steroid selama kehamilan. Kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan pada saat
kehamilan adalah prednison dan kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan
hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan
kortikosteroid topikal harus dihindari dan diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti
apakah steroid topikal diekskresi melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada
wanita sedang menyusui.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-rata
dosis yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/hari, sedangkan dosis
dibawah 30 mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang
sebelumnya memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan pengobatan
kortikosteroid sekitar 20% dapat menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan
80% tidak.
Dosis dan Mekanisme Pemberian
Pada saat memilih kortikosteroid topikal dipilih yang sesuai, aman, efek samping
sedikit dan harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu di pertimbangkan
yaitu jenis penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit yaitu stadium penyakit,
luas/tidaknya lesi, dalam/dangkalnya lesi dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan
umur penderita.
Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis. Salep
(ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar
berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin
atau minyak. Jenis ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit yang kering
karena banyak mengandung pelembab. Selain itu juga baik untuk pengobatan pada kulit
yang tebal contoh telapak tangan dan kaki. Salep mampu melembabkan stratum korneum
sehingga meningkatkan penyerapan dan potensi obat. Krim adalah suspensi minyak
dalam air. Krim memiliki komposisi yang bervariasi dan biasanya lebih berminyak
dibandingkanointments tetapi berbeda pada daya hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien
lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara kosmetik lebih baik dibandingkan
ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan bahan pengawet yang
mempermudah terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion (bedak kocok) tediri
atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan
perekat, lotion mirip dengan krim.Lotion terdiri dari agents yang membantu melarutkan
kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung minyak
tetapi kandungannya terdiri dari air, alkohol dan propylene glycol. Gel komponen solid
pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit. Lotion, solution, dan gel
memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkanointment tetapi berguna pada
pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara
kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien.
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit tersebut
sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis.Takifilaksis ialah menurunnya
respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang
berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang, setelah
diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul kembali dan akan
menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan. Lama pemakaian kortikosteroid
topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih
dari 2 minggu untuk potensi kuat.
36
37
Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta dosisnya:
Nama penyakit
Dermatitis
Deksametason 6x5 mg
Eritrodermia
Reaksi lepra
Prednison 3x10 mg
DLE
Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa
Prednison 40-80 mg
Pemfigus vulgaris
Prednison 60-150 mg
Pemfigus foliaseus
Prednison 3x20 mg
Pemfigus eritematosa
Prednison 3x20 mg
Psoriasis pustulosa
Prednison 4x10 mg
Reaksi Jarish-Herxheimer
Prednison 20-40 mg
Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman,
tidak bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak
disesuaikan dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak
perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan.
Efek samping
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang
sangat luas. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak
diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi.
Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.
Tempat
Saluran cerna
Efek Samping
Hipersekresi asam lambung, mengubah
proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi,
pankreatitis, ileitis regional, kolitis
ulseratif.
Otot
38
Tulang
Kulit
Mata
Darah
Pembuluh darah
Elektrolit
Sistem immunitas
Menurun,
rentan
terhadap
reaktivasi Tb dan herpes
keganasan dapat timbul.
infeksi,
simplek,
Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat menopause.
Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas muka bulan, buffalo
hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral, striae atrofise, purpura,
dermatosis akneformis dan hirsustisme. Selain itu juga gangguan menstruasi, nyeri
kepala, psedudotumor serebri, impotensi, hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali
dan keadaan aterosklerosis dipercepat. Pada anak memperlambat pertumbuhan.
Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik
Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang, efek samping yang
serius jarang. Namun masalah yang mungkin timbul berikut:
1. Gangguan tidur
2. Meningkatkan nafsu makan
3. Meningkatkan berat badan
Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energy
Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan singkat dari
kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes dan nekrosis
aseptik yang pinggul.
Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama
Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid,
maka kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar
di bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas
39
bulan setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres
seperti infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orangorang yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah
paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul
bersama dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari
pasien dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga
50% dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
-
Efek Epidermal
Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu
penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermoepidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal secara konkomitan.
Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan.Komplikasi ini
muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid intrakutan.
Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar. Ini
menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan
menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal
yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini
nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia
kulit prematur.
Efek Vaskular
Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya menyebabkan vasokontriksi
pada pembuluh darah yang kecil di superfisial.
Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darah yang
kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema, inflamasi lanjut,
dan kadang-kadang pustulasi.
Terjadi efek samping bergantung pada dosis, lama pengobatan macam kortikosteroid.
Pada pendek (beberapa hari/minggu) umumnya tidak terjadi efek samping yang gawat.
Sebaliknya pada pengobatan jangka panjang (beberapa bulan/tahun) harus diadakan
tindakan untuk mencegah terjadi efek tersebut, yaitu :
Diet tinggi protein dan rendah garam
Pemberian KCl 3 x 500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi K
Obat anabolic
ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya kami berikan ialah ACTH sintetik
yaitusynacthen depot sebanyak 1 mg (qoo IU). Pada pemberian kortikosteroid dosis
tinggi dapat diberikan seminggu sekali
Antibiotik perlu diberikan jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari
Antasida
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur
yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan
preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan
dengan alasan sebagai life saving drugs.Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor
yang ketat pada keadaan hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya
gangguan jiwa, positive purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus
peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.
LI. 7. Memahami dan Menjelaskan Hukum Islam untuk Menentukan 2 Pilihan yang
Terbaik
41
2:219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya
itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya.
Al-Quran obat terbaik
Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman. Dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang zalim
selain kerugian. (Al-Isra:82)
Dalam hal ini Rasulullah bersabda, Di dalam tubuh terdapat segumpal darah, jika ia
baik maka seluruh tubuh akan menjadi baik.(HR Bukhari: I/153 (53) dalam Fathul Bari)
43
Daftar Pustaka
Baratawidjaja, K.G. dan Rengganis, I. 2010. Imunologi Dasar edisi 10. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Dorland, W.A.N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
E health links. Synthetic Glucocoticoids. 2009. Diunduh dari
http://www.endotext.org/adrenal/adrenal14/ch01s02.html
Goodman & Gilman. 2006. The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed. McGraw
Hill, New York.
Kumar. Cotran. Robbins . 2007. Buku ajar patologi edisi 7. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Setiabudi, Rianto. Dewoto, H.R. dkk. 2012. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Sudoyo, A.W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.5. Jakarta: Interna
Publishing
Werner, R. (2005). A massage therapists guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott Williams
& Wilkins, Pennsylvania, USA
44