Anda di halaman 1dari 44

Ketua

Sekretaris
Anggota

: Ratna Kurnianingsih
1102012228
: Mutia Tri Pujianti
1102012184
: Maya Dwi Anggraeni
1102011157
Putri Erica
1102012215
Raden Agil Widjaya
1102012221
Roesa Dahliana Ibrahim
1102011243
Rumi Aulia
1102012257
Selly Viani
1102012267
Septha Amelia Dewi
1102012269
Soraya Dwi Khairunnisa
1102012285

SKENARIO 2
REAKSI ALERGI
Seorang perempuan berusia 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan demam dan sakit
menelan sejak 2 minggu yang lalu. Dokter memberikan antibiotik golongan penicilin. Setelah
minum antibiotik tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang hampir merata
diseluruh tubuh, timbul bengkak pada kelopak mata dan bibir. Ia memutuskan untuk kembali
berobat ke dokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan angioedema di mata dan bibir, dan
urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi
(hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan obat antihistamin dan kortikosteroid.
Dokter memberikan saran agar selalu berhati-heti dalam meminum obat.

SASARAN BELAJAR
LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas
LO. 1.1
Definisi Hipersensitivitas
LO. 1.2
Klasifikasi Hipersensitivitas
LO. 1.3
Pemeriksaan Hipersensitivitas
LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I
LO. 2.1
Definisi Hipersensitivitas Tipe I
LO. 2.2
Mekanisme Hipersensitivitas Tipe I
LO. 2.3
Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe I
LO. 2.4
Penanganan Hipersensitivitas Tipe I
LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II
LO. 3.1
Definisi Hipersensitivitas Tipe II
LO. 3.2
Mekanisme Hipersensitivitas Tipe II
LO. 3. 3
Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe II
LO. 3.4
Penanganan Hipersensitivitas Tipe II
LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III
LO. 4.1
Definisi Hipersensitivitas Tipe III
LO. 4. 2
Mekanisme Hipersensitivitas Tipe III
LO. 4. 3
Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe III
LO 4. 4
Penanganan Hipersensitivitas Tipe III
LI. 5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV
LO. 5. 1
Definisi Hipersensitivitas Tipe IV
LO. 5. 2
Mekanisme Hipersensitivitas Tipe IV
LO. 5. 3
Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe IV
LO. 5. 4
Penanganan Hipersensitivitas Tipe IV
LI. 6. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid
LO. 6.1
Antihistamin
LO. 6.2
Kortikosteroid
LI. 7. Memahami dan Menjelaskan Hukum Islam untuk Menentukan 2 Pilihan yang Terbaik

LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas


LO. 1.1 Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas
berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara.
(Baratawidjaja, 2009)
LO. 1.2 Klasifikasi Hipersensitivitas
Menurut Waktu Timbulnya Reaksi
o Reaksi cepat
- Terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam
- Ikatan silang antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi
pelepasan mediator vasoaktif
- Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis local
o Reaksi intermediet
- Terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam
- Reaksi ini melibatkan pembentukkan kompleks imun IgG dan kerusakan
jaringan melalui aktivasi komplemen dan sel NK/ADCC
- Manifestasi klinis dapet berupa:
Reaksi transfusi darah, eritoblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun
Reaksi arthus local dan reaksi sistemik
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel NK atau sel netrofil
o Reaksi lambat
- Terlihat sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh
aktivasi sel Th
- Contoh: dermatitis kontak, reaksi tuberculosis.
Menurut Gell dan Coombs
o Hipersensitivitas immediate (tipe I) respon imun dimediasi oleh sel TH2, antibodi
IgE, dan sel mast; yang pada akhirnya akan mengeluarkan mediator inflamasi.
o Hipersensitivitas antibody-mediated (tipe II) antibodi IgG dan IgM dapat
menginduksi inflamasi dengan mempromosikan fagositosis atau lisis terhadap luka
pada sel. Antibodi juga mempengaruhi fungsi selular dan menyebabkan penyakit
tanpatanpa ada luka jaringan.
o Hipersensitivitas kompleks imun (tipe III) antibodi IgG dan IgM mengikat antigen
yang biasanya ada di sirkulasi darah, dan kompleks antibodi-antigen mengendap di
jaringan yang pada akhirnya akan menginduksi proses inflamasi.
4

o Hipersensitivitas cell-mediated (tipe IV) luka seluler dan jaringan akan


menyebabkan tersintesisnya sel limfosit T (TH1, TH2, dan CTLs). Sel TH2
menginduksi lesi yang termasuk kedalam hipersensitivitas tipe I, tidak termasuk
hipersensitivitas tipe IV.
Berdasarkan penemuan-penemuan dalam penelitian imunologi, telah dikembangkan
beberapa modifikasi klasifikasi Gell dan Coombs yang membagi lagi tipe IV dalam
beberapa subtype reaksi. Meskipun reaksi tipe I, II, dan III dianggap sebagai reaksi
humoral, sebetulnya reaksi-reaksi tersebut masih memerlukan bantuan sel T atau peran
seluler. Oleh karena itu pembagian Gell dan Coombs telah dimodifikasi lebih lanjut
seperti terlihat pada table dibawah ini.
Klasifikasi Gell dan Coombs yang dimodifikasi (Tipe I-VI)
Tipe/mekanisme
I. IgE

Gejala
Anafilaksis, urtikaria,
angioedema, mengi,
hipotensi, nausea, muntah,
sakit abdomen, diare
Agranulositosis
Anemia hemolitik

II. sitotoksik (IgG


dan IgM)

III. kompleks imun


(IgG dan IgM)

Trombositopenia

Panas, urtikaria,
limfadenopati

Contoh
Penisilin dan -laktam
lainnya, enzim, antiserum,
protamin, heparin antibodi
monoklonal, ekstrak alergen,
insulin
Metamizol, fenotiazin
Penisilin, sefalosporin, laktam, kinidin, metildopa

Karbamazepin, fenotiazin,
tiourasil, sulfonamid,
antikonvulsan, kinin, kinidin,
parasetol, sulfonamid, propil,
tiourasil, preparat emas
atralgia, -laktam, sulfonamid,
fenotiazin, streptomisin

Serum sickness

serum xenogenik, penisilin,


globulin anti-timosit
Eksim
(juga
sistemik) Penisilin, anestetik lokal,
eritema, lepuh, pruritus
antihistamin topikal,
neomisin, pengawet, eksipien
(lanolin, paraben),
desinfekstan

IV. hipersensitivitas
Fotoalergi
selular

Salislanilid (halogeneted),
asam nalidilik

Fixed drug eruption

Barbiturat, kinin

Lesi makulopapular

Penisilin, emas, barbiturat, blocker


Ekstrak alergen, kolagen larut
Hidralazin, prokainamid
Antibodi terhadap insulin

V. reaksi granuloma Granuloma


VI. hipersensitivitas (LE yang diinduksi obat)
stimulasi
Resistensi insulin

(IgG)
LO. 1.3 Pemeriksaan Hipersensitivitas
Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :
1. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya debu,
tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di
kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan
menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka,
berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit. Bila positif
alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal.
Syarat tes ini :
- Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung antihistamin (obat
anti alergi) selama 3 7 hari, tergantung jenis obatnya.
- Umur yang di anjurkan 4 50 tahun.
2. Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit
dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat
dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul bercak
kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
- Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat, mandi, posisi
tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
- 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau anti
bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
3. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini
memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses
dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam.
Kelebihan dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.
4. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan. Dilakukan
di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes di lapisan bawah
kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan
timbul,bentol,merah,gatal.
5. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan,
dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup
dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek
alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman
untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi
bronkial dan tes provokasi makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE
spesifik metode RAST.

Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo Control)
atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan secara
bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 30 menit. Dalam satu hari hanya
boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu
48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I


LO. 2.1 Definisi Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar
antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Terpapar dengan cara ditelan, dihirup,
disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan
hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma.
Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of
anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik
serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam
plasma adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah
uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam
beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos,
serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,
hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan
kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah
reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam
lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu
antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit,
tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat
(anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak
dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin
membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin
dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi.
Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi
pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus
7

mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek


modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.
2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi
radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah
terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu
degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).
Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang
terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada
penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil
karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.
3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru
manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa
menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau
setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena
mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer.
Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga
bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor
aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari
jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan
produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi.
1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan
satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta
tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya
membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga
dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di
mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).
Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat
bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas
vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator
sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan
yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.
8

2. Produk lipoksigenase
Mediator
Histamin

Efek
H1: Permeabilitas vaskular meningkat,
vasodilatasi, kontraksi otot polos
H2: Sekresi mukosa gaster, aritmia jantung
H3: SSP
H4: Eosinofil
ECF-A
Kemotaksis eosinofil
NCF-A
Kemotaksis neutrofil
Protease (Triptase, krimase)
Sekresi mukus bronkial, degradasi, membran
basal pembuluh darah, pembentukan produk
pemecahan komplomen
Eosinophil Chemotactic Factor
Kemotaktik untuk eosinofil
Neutrofil Chemotactic Factor
Kemotaktik untuk neutrofil
Hidrolase Asam
Degradasi matriks ekstraseluler
PAF
Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi
otot polos paru
NCA
Kemotaksis neutrofil
BK-A
Kalikrein: kininogenase
Proteoglikan
Heparin, kondrotin sulfat, sulfat dermatan:
mencegah komplemen yang menimbulkan
koagulasi
Enzim
Kimase, triptase, proteolisis
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang
membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4
merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4
adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk
lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari
jaringan paru yang tersensitisasi.
Mediator primer utama pada hipersensitivitas tipe I

Mediator sekunder utama pada hipersensitivitas Tipe I


Mediator
Efek
LTR (SRS-A)
Peningkatan permeabilitas vascular,
vasodilatasi, sekresi mucus, kontraksi otot
polos paru, kemotaktik neutrofil
PG
Vasodilatasi, kontraksi otot polos paru,
agregasi trombosit, kemotaktik neutrophil,
potensiasi mediator lainnya.
Bradikinin
Peningkatan permeabilitas kapiler,
vasodilatasi, kontraksi otot polos, stimulasi
ujung saraf nyeri
Sitokin
Bervariasi
IL-1 dan TNF-
Anafilaksis, peningkatan ekspresi CAM pada
sel endotel venus
IL-4 dan IL-13
Peningkatan produksi IgE
9

IL-3, IL-5, IL-6, IL-10, TGF- dan


GM-CSF
IL4, PMN, demam TNF-
FGF
Inhibitor protease
Lipoksin
Leukotrin (LTC4 LTD4 LTE4)
Leukotrin B4, 15-HETE
PAF

Berbagai efek (dapat dilihat pada sitokin)


Aktivasi monosit, eosinophil, demam
Fibrosis
Mencegah kimase
Bronkokonstriksi
Kontraksi otot polos (jangka lama),
meningkatkan permeabilitas, kemotaksis
Sekresi mucus
Kemotaksis, (terutama eosinophil),
bronkospame

LO. 2.2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe I


Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik

Pajanan dengan mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel
plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel
mast dan basofil (banyak molekul IgE dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1).
Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang
diikat sel mast, memacu penglepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari
sel mast dan basofil. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos,
meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan
anafilaksis.
10

LO. 2.3 Manifestasi Klinik Hipersensitivitas Tipe I


a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang
biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk. Kecenderungan untuk
menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20%
populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan
dermatitis atopi. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel
mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa
minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi
dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit,
mata, hidung dan saluran nafas.
b. Reaksi sistemik anafilaksis
Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit
saja. Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe 1 atau reaksi
alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil
merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai
alergan seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan
juga lateks, latihan jasmani dan bahan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat
diidentifikasi.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme
pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini
menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritis,
tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi klinisnya sering serupa, sehingga
kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk
menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein,
kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.
Jenis Alergi

Alergen Umum

Anafilaksis

Obat, serum, kacangkacangan

Urtikaris akut
Rinitis alergi

Sengatan serangga
Polen, tungau debu rumah

Asma

Polen, tungau debu rumah

Makanan
Ekzem atopi

Kerang, susu, telur, ikan,


bahan asal gandum
Polen, tungau debu runah,

Gambaran
Edema dengan peningkatan
permeabilitas kapiler, okulasi trakea ,
koleps sirkulasi yang dapat
menyebabkan kematian
Bentol, merah
Edema dan iritasi mukosa nasal
Konstriksi bronkial, peningkatan
produksi mukus, inflamasi saluran
nafas
Urtikaria yang gatal dan potensial
menjadi anafilaksis
Inflamasi pada kulit yang terasa gatal,
11

beberapa makanan

biasanya merah dan ada kalanya


vesikular

LO. 2.4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe I


Usaha penanganan dan pengobatan apabila terserang reaksi hipersensitivitas tipe I adalah
sebagai berikut :
o Ringan :
- Stop Alergen
- Beri anti histamin
o Sedang :
- Sama dengan penatalaksanaan derajat ringan ditambah aminofilin atau injeksi
adrenalin1/1000 0,3 ml SC/IM. Dapat diulang tiap 10-15menit sampai sembuh,
maksimal 3 kali
- Amankan jalan nafas, oksigenasi
o Berat (Syok) :
- Sama dengan penatalaksanaan derajat sedang ditambahposisi terlentang, kaki
diatas
- Infus Nacl 0,9 %/ D5%
- Hidrokortison 100 mg atau deksametason IV tiap 8 jam
- Bila gatal : beri difenhidramin Hcl 60-80 mg IV secarapelan > 3 menit
- Jika alergen adalah suntikan, pasang manset diatasbekas suntikan (dilepas setiap
10-15 menit) dan beriadrenalin 0,1-0,5 ml IM pada bekas suntikan
- Awasi tensi, nadi, suhu tiap 30 menit
- Setelah semua upaya dilakukan, jika dalam 1 jam tidakada perbaikan rujuk ke
RSUD
Penanganan menurut gambaran klinik:
1. Anafilatoksis local
Menghindari allergen dan makanan yang dapat menyebabkan alergi.
Bila allergen sulit dihindari (seperti pollen, debu, spora, dll) dapat digunakan
antihistamin untuk menghambat pelepasan histamine dari sel matosit, seperti
Chromolyn sodium menghambat degranulasi sel mast kemungkinan dengan
menghambat influx Ca.
Bila terjadi sesak nafas pengobatan dapat berupa bronkoditalor (leukotriene
receptor blockers. Seperti Singulair, Accolate) yang dapat merelaksasi otot bronkus
dan ekspektoran yang dapat mengeluarkan mucus.
2. Anafilatoksis sistemik
Pengobatan harus dilakukan dengan cepat dengan menyuntikan epinefrin
(meningkatkan tekanan darah) atau antihistamin (memblok pelepasan histamine)
secara intravena.
LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II
12

LO. 3.1 Definisi Hipersensitivitas Tipe II


Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi
karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel
pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang
merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori
dan metabolisme sel dilibatkan. Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi
disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang
memiliki reseptor Fc-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan
menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai
manifestasi klinik.
LO. 3.2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe II
Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit
anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.
Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk
Fc
3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan
antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Antigen tersebut
dapat merupakan molekul intrinsic normal bagi membrane sel atau matriks ekstraseluler
atau dapat merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi (misalnya metabolit obat).
Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang di ikuti salah satu
dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:
1. Opsonisasi dan Fagositosis yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor
Sel-sel yang menjadi target antibodi diopsonisasi oleh molekul-molekul yang
mampu menarik fagosit, sehingga sel-sel tersebut mengalami deplesi. Saat antibodi
(IgG/IgM) terikat pada permukaan sel, terjadi pengaktifan sistem komplemen. Aktivasi
komplemen terutama menghasilkan C3b dan C4b, yang akan terikat pada permukaan sel.
C3b dan C4b ini akan dikenali oleh fagosit yang mengekspresikan reseptor C3b dan C4b.
Sebagai tambahan, sel-sel yang di-opsonisasi oleh antibodi IgG dikenali oleh fagosit
reseptor Fc. Hasil akhirnya yaitu fagositosis dari sel yang di-opsonisasi, kemudian sel
tersebut dihancurkan. Aktivasi komplemen juga menyebabkan terbentuknya membrane
attack complex, yang mengganggu integritas membran dengan membuat lubang-lubang
menembus lipid bilayer, sehingga terjadi lisis osmotik sel.
Kerusakan sel yang dimediasi antibodi dapat terjadi melalui proses lain yaitu
antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Bentuk jejas yang ditimbulkan tidak
melibatkan fiksasi komplemen melainkan membutuhkan kerjasama leukosit. Sel yang di
selubungi dengan IgG konsentrasi rendah lalu dibunuh oleh berbagai macam sel efektor
yang berikatan pada sel target dengan reseptor untuk fragmen Fc dari IgG dan sel akan
lisis tanpa mengalami fagositosis. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam
leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipun secara khusus
ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalam kasus tertentu (misalnya, pembunuhan

13

parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE. Peran dari ADCC
dalam hipersensitivitas masih belum dapat dipastikan.
2. Inflamasi yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor
Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks),
kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel.
Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya
menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga
berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan
perusak (enzim dan intermediate oksigen reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan
jaringan. Reaksi ini berperan pada glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ
grafts.
3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibody
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel
merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh
karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor
end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip dari reaksi
hipersensitivitas tipe II adalah adanya mediasi dari antibodi untuk menyebabkan sitolitik
pada sel terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang menempel pada permukaan membran
sel. Kasus pada pemicu akibat adanya pengaruh obat bisa menjadi reaksi hipersensitivitas
tipe II melalui adanya pembentukan kompleks antigen-antibodi. Namun, hal tersebut
sulit untuk dibuktikan karena efek reaksi obat yang begitu cepat lebih mengarah pada
adanya anafilaktik obat yang merupakan manifestasi dari reaksi hipersensitivitas tipe I.
LO. 3. 3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe II
Manifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik autoimun .
Reaksi Transfusi
a. Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai
gen.
b. Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi,
karena antiB isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan
kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravascular. Reaksi dapat cepat atau
lambat .
- Reaksi cepat
Disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam
beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui
ginjal dan menimbulkan hemaglobinuria. Beberapa hemaglobin diubah menjadi
bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik.
Gejala khas : Demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri
pinggang bawah, dan hemoglobinuria.
- Reaksi lambat
Terjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan darah yang kompatibel
ABO namun inkompatibel dengan golongan darah yang lain. Terjadi 2-6 hari setelah
transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai

14

antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan resus, Kidd, Kell, dan
Duffy.
Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi
baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika
anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas
sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah
disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak
yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat
antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau
lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor
Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning,
Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.
Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig
terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b,
terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau
dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi
nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada
SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.
(Baratawidjaja, 2009)
Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang
menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat
trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan
menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan
chloropromazin mengikat sel darah merah.
LO. 3.4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe II
Untuk penyakit akibat hipersensitivitas tipe II ini tidak ada obatnya, karena
patogenesisnya adalah antibodi tubuhnya sendiri. Usaha penanganan yang dilakukan
untuk penderita reaksi hipersensitivitas tipe II hanya bertujuan mengendalikan gejala
saja.
LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III
LO. 4.1 Definisi Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas tipe III adalah reaksi imun kompleks antigen-antibodi. Kompleks
antigen-antibodi menstimulus inflamasi pada jaringan seperti dinding kapiler. Antigenantibodi kompleks dapat merangsang respon inflamasi akut yang mengarah aktivasi
komplemen dan leukosit PMN infiltrasi. Kompleks imun terbentuk baik oleh antigen
eksogen seperti dari mikroba atau dengan antigen endogen seperti DNA. Mediasi imun
kompleks dapat berupa sistemik atau lokal. Pada sistemik, antigen-antibodi kompleks
15

diproduksi dalam sirkulasi, disimpan dalam jaringan, dan memulai peradangan. Imun
kompleks disimpan dalam jaringan, komplemen adalah tetap, dan PMNs adalah tertarik
ke situs. Enzim lisosomal dilepaskan, mengakibatkan cedera jaringan.

LO. 4. 2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe III

Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh
eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks
imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang
menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang
tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau
jaringan.
1. Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun
sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat
merusak jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:
o Agregasi trombosit
o Aktivasi makrofag
o Perubahan permeabilitas vaskuler
o Aktivasi sel mast
o Produksi dan pelepasan mediator inflamasi
o Pelepasan bahan kemotaksis
o Influks neutrofil
2. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan
Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran
kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat. Hal tersebut
terjadi karena histamin yang dilepas oleh sel mast. Hipersensitifitas ini terjadi karena
adanya reaksi antara antigen dan antibodi yang mengendap dalam jaringan yang dapat
berkembang menjadi kerusakan pada jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen
16

berada dalam bentuk larutan dan dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi
patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan
mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagosit
mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung diendapkan pada
pembuluh darah. Di sana, terjadi dimulai kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan
komponen komplemen pada permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan dinding
pembuluh darah. Contoh kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis nekrotikans.

Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti protein asing
yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika seseorang
menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun). Penyakit yang
dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat sistemik jika terbentuk di sirkulasi dan
terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal
(glomerulonefritis), sendi (artritis) atau pembuluh darah kecil pada kulit. Reaksi
hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit individu yang
tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen pemicu
sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikan ke dalam individu tersebut, IgG yang
telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa kompleks imun setempat.
Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga
mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respon peradangan
setempat disertai
LO. 4. 3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe III
Manifestasi khas : reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum sickness,
vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES .
A. Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus
Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di tempat
yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem pada kelinci. Lalu
setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis di tempat suntikan. Hal
tersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun.
Antibodi yang ditemukan adalah presipitin. Reaksi Arthus dalam kilinis dapat berupa
vaskulitis dengan nekrosis.
Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut :
17

1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan tempat


kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa pengumpulan cairan di
jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai nekrosis.
2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai
faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke tempat reaksi.
Neutrofil dan trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan obstruksi total aliran
darah.
3. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan seperti
protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit sehingga akan
menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.
B. Reaksi Sistemik atau Serum Sickness
Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme
sebagai berikut:
1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang
memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang tinggi
dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, plexus
koroid, dan korpus silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombi
kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut mengakibatkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang
terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap
melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak kerusakan
jaringan.
5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-mediator
antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan
Dari mekanisme diatas, beberapa hari minggu setelah pemberian serum asing akan
mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di
beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis
sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi
Pirquet dan Schick.
Penyakit oleh kompleks imun
Penyakit
Spesifitas antibody

Mekanisme

Manifestasi
klinopatologi

Lupus eritematosus DNA, nucleoprotein

Inflamasi diperantarai Nefritis, vaskulitis,


komlplemen dan
arthritis
reseptor Fc

Poliarteritis nodosa Antigen permukaan


virus hepatitis B

Inflamasi diperantarai Vaskulitis


komplemen dan
reseptor Fc

18

Glomreulonefritis Antigen dinding sel


post-streptokokus streptokokus

Inflamasi diperantarai Nefritis


komplemen dan
reseptor Fc

LO 4. 4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe III


Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Obat anti-inflamasi\antihistamin
2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi dan
antitoksin.
LI. 5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV
LO. 5. 1 Definisi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi hipersensitivitas type IV disebut juga reaksi hipersensitivitas type lambat yang
diperantarai oleh sistem imun selular, yaitu melalui perantara sel T yang tersensitisasi
secara khusus dan bukan diperantarai antibody. Reaksi hipersensitivitas type IV dibagi
menjadi dua type dasar yaitu:
1. Delayed type hypersensitivity (DTH) yang diinisiasi oleh sel T CD4+
2. T cell mediated cytolysis / sitotoksitas sel langsung yang diperantarai oleh sel T CD8+
Pada hipersensitivitas type lambat, sel T CD4+ type TH1 menyekresikan sitokin
sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel-sel lain, terutama makrofag, yang
merupakan sel efektor yang utama. Sedangkan pada sitotoksitas selular, sel T CD8+
sitotoksik menjalankan fungsi efektor.
LO. 5. 2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe IV
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV :
a. Fase sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th diaktifkan
oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD pada kulit dan makrofag)
menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan
ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).
b. Fase efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan
melepas sitokin yang menyebabkan :
- Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel inflamasi).
Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.
- Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringan
sekitar.
- Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi sel
Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.

19

Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi.
Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T Cell
Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
Granuloma terbentuk pada : TB, Lepra, Skistosomiasis, Lesmaniasis dan Sarkoidasis .
LO. 5. 3 Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe IV
Manifestasi khas : Dermatitis kontak, Lesi tuberculosis dan penolakan tandur .
- Dematitis kontak
Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak
berbahaya seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi DTH).
- Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium
tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi ini
berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu
yang pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10
pasca induksi. Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.
- Reaksi Jones Mote
Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang
mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai hipersensitivitas
basofil kutan. Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein
dalam jumlah kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh suntikan
antigen larut (ovalbumin) dengan ajuvan Freund.
- Penyakit CD8+
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel
sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik,
contoh pada infeksi virus hepatitis.
LO. 5. 4 Penanganan Hipersensitivitas Tipe IV
Pengobatan menggunakan imunosupresan seperti syklosporin A atau FK-506
(Tacrolimus) dilakukan untuk menahan reaksi penolakan pada proses transplantasi organ.
Kedua obat ini menghalangi proliferasi dan diferensiasi limfosit T dengan menghambat
proses transkripsi IL-2. Pengobatan dapat pula menggunakan kortikosteroid.
LI. 6. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid
LO. 6.1 Antihistamin
A. Pengertian
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan saingan). Pada
awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis
reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara farmakologi
reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da reseptor-H2.
Dahulu antihistamin dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, tetapi kini
digunakan penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zatzat generasi ke-1 dan ke-2.
a. Obat generasi ke-1: prometazin, oksomemazin, tripelennamin, (klor) feniramin,
difenhidramin, klemastin (Tavegil), siproheptadin (periactin), azelastin (Allergodil),
sinarizin, meklozin, hidroksizin, ketotifen (Zaditen), dan oksatomida (Tinset).
20

Obat-obat ini berkhasiat sedatif terhadap SSP dan kebanyakan memiliki efek
antikolinergis
b. Obat generasi ke-2: astemizol, terfenadin, dan fexofenadin, akrivastin (Semprex),
setirizin, loratidin, levokabastin (Livocab) dan emedastin (Emadin). Zat- zat ini
bersifat khasiat antihistamin hidrofil dan sukar mencapai CCS (Cairan Cerebrospinal),
maka pada dosis terapeutis tidak bekerja sedative.
Keuntungan lainnya adalah plasma t2-nya yang lebih panjang, sehingga dosisnya
cukup dengan 1-2 kali sehari. Efek anti-alerginya selain berdasarkan, juga berkat
dayanya menghambat sintesis mediator-radang, seperti prostaglandin, leukotrin dan
kinin.
Berdasarkan penemuan ini, antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni
antagonis reseptor-H1 (singkatnya disebut H1-blockers atau antihistaminika) dan
antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambat-asam):
1. Antagonis Reseptor H1
Mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot licin dari dinding
pembuluh,bronchi dan saluran cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula melawan
efek histamine di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare reaction). Efeknya adalah
simtomatis, antihistmin tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi.
2. H2-blockers (Penghambat asma)
Obat-obat ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung yang meningkat
akibat histamine, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H2 di lambung. Efeknya
adalah berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan
tekanan darah menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambug usus
guna mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada
terapi dengan kortikosteroida. Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator
motilitas lambung (cisaprida) pada penderita reflux.
Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin, ranitidine,
famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari
histamin.
Menghilangkan gejala yang behubungan dengan alergi, termasuk rinithis, urtikaria
dan angiodema, dan sebagai terapi adjuvant pada reaksi anafilaksis. Beberapa
antihistamin digunakan untuk mengobati mabuk perjalanan (dimenhidrinat dan
meklizin), insomnia (difenhidramin), reaksi serupa parkinson (difenhidramin), dan
kondisi nonalergi lainnya.
Lazimnya dengan antihistaminika selalu dimaksud H-1 blockers. Selain bersifat
antihistamin, obat-obat ini juga memiliki berbagai khasiat lain, yakni daya
antikolinergis,antiemetis dan daya menekan SSP (sedative),dan dapat menyebabkan
konstipasi, mata kering, dan penglihatan kabur, sedangkan beberapa di antaranya
memiliki efek antiserotonin dan local anestesi (lemah).
Zat-zat ini berdaya antikolinergik dan sedative agak kuat.
1. DERIVAT ETANOLAMIN (X=O)
a. Difenhidramin : Benadryl
Di samping daya antikolinergik dan sedative yang kuat, antihistamin ini juga bersifat
spasmolitik, anti-emetik dan antivertigo (pusing-pusing). Berguna sebagai obat tambahan
pada Penyakit Parkinson, juga digunakan sebagai obat anti-gatal pada urticaria akibat
alergi (komb. Caladryl, P.D.)
Dosis: oral 4 x sehari 25-50mg, i.v. 10-50mg.
21

o 2-metildifenhidramin = orfenadrin (Disipal, G.B.)


Dengan efek antikolinergik dan sedative ringan, lebih disukai sebagai obat tambahan
Parkinson dan terhadap gejala-gejala ekstrapiramidal pada terapi dengan neuroleptika.
Dosis: oral 3 x sehari 50mg.
o 4-metildifenhidramin (Neo-Benodin)
Lebih kuat sedikit dari zat induknya. Digunakan pada keadaan-keadaan alergi pula.
Dosis: 3 x sehari 20-40mg

o Dimenhidrinat (Dramamine, Searle)


Adalah senyawa klorteofilinat dari difenhidramin yang digunakan khusus pada mabuk
perjalanan dan muntah-muntah sewaktu hamil.
Dosis: oral 4 x sehari 50-100mg, i.m. 50mg
o Klorfenoksamin (Systral, Astra)
Adalah derivate klor dan metal, yang antara lain digunakan sebagai obat tambahan
pada Penyakit Parkinson.
Dosis: oral 2-3 x sehari 20-40mg (klorida), dalam krem 1,5%.
o Karbinoksamin : (Polistin, Pharbil)
Adalah derivat piridil dan klor yang digunakan pada hay fever.
Dosis: oral 3-4 x sehari 4mg (maleat, bentuk,dll).
b. Kiemastin: Tavegyl (Sandos)
Memiliki struktur yang mirip klorfenoksamin, tetapi dengan substituent siklik
(pirolidin). Daya antihistaminiknya amat kuat, mulai kerjanya pesat, dalam beberapa
menit dan bertahan lebih dari 10 jam. Antara lain mengurangi permeabilitas dari kapiler
dan efektif guna melawan pruritus alergis (gatal-gatal).
Dosis: oral 2 x sehari 1mg a.c. (fumarat), i.m. 2 x 2mg.
2. DERIVAT ETILENDIAMIN (X=N)
Obat-obat dari kelompok ini umumnya memiliki data sedative yang lebih ringan.
Antazolin : fenazolin, antistin (Ciba)
Daya antihistaminiknya kurang kuat, tetapi tidak merangsang selaput lender. Maka layak
digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) sebagai
preparat kombinasi dengan nafazolin (Antistin-Privine, Ciba).
Dosis: oral 2-4 x sehari 50-100mg (sulfat).
Tripelenamin (Tripel, Corsa-Azaron, Organon)
kini hanya digunakan sebagai krem 2% pada gatal-gatal akibat reaksi alergi (terbakar
sinar matahari, sengatan serangga, dan lain-lain).
Mepirin (Piranisamin)
Adalah derivate metoksi dari tripelenamin yang digunakan dalam kombinasi dengan
feniramin dan fenilpropanolamin (Triaminic, Wander) pada hay fever.
Dosis: 2-3 x sehari 25mg.

22

Klemizol ( Allercur, Schering)


Adalah derivate klor yang kini hanya digunakan dalam preparat kombinasi anti-selesma
(Apracur, Schering) atau dalam salep/suppositoria anti wasir (Scheriproct, Ultraproct,
Schering).
3. DERIVAT PROPILAMIN (X=C)
Obat-obat dari kelompok ini memiliki daya antihistamin kuat.
a. Feniramin : Avil (Hoechst)
Zat ini berdaya antihistamink baik dengan efek meredakan batuk yang cukup baik, maka
digunakan pula dalam obat-obat batuk.
Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg (maleat) pada mala hari atau 1 x 50mg tablet retard; i.v.
1-2 x sehari 50mg; krem 1,25%.
o Klorfenamin (Klorfeniramin. Dl-, Methyrit, SKF)
Adalah derivate klor dengan daya 10 kali lebih kuat, sedangkan derajat toksisitasnya
praktis tidak berubah. Efek-efek sampingnya antara lain sifat sedatifnya ringan. Juga
digunakan dalam obat batuk. Bentuk-dextronya adalah isomer aktif, maka dua kali lebih
kuat daripada bentuk dl (rasemis)nya: dexklorfeniramin (Polaramin, Schering).
Dosis: 3-4 x sehari 3-4mg (dl, maleat) atau 3-4 x sehari 2mg (bentuk-d).
o Bromfeniramin (komb.Ilvico, Merck)
Adalah derivate brom yang sama kuatnya dengan klorfenamin, padamana isomer-dextro
juga aktif dan isomer-levo tidak. Juga digunakan sebagai obat batuk.
Dosis: 3-4 x sehari 3mg (maleat).
b. Tripolidin : Pro-Actidil
Derivat dengan rantai sisi pirolidin ini berdaya agak kuat, mulai kerjanya pesat dan
bertahan lama, sampai 24 jam (sebagai tablet retard).
Dosis: oral 1 x sehari 10mg (klorida) pada malam hari berhubung efek sedatifnya.
4. DERIVAT PIPERAZIN
Obat-obat kelompok ini tidak memiliki inti etilamin, melainkan piperazin. Pada
umumnya bersifat long-acting, lebih dari 10 jam.
a. Siklizin : Marzine
Mulai kerjanya pesat dan bertahan 4-6 jam lamanya. Terutama digunakan sebagai antiemetik dan pencegah mabuk jalan. Namun demikian obat-obat ini sebaiknya jangan
diberikan pada wanita hamil pada trimester pertama.
o Meklozin (Meklizin, Postafene/Suprimal)
adalah derivat metilfenii dengan efek lebih panjang, tetapi mulai kerjanya baru sesudah
1-2 jam. Khusus digunakan sebagai anti-emetik dan pencegah mabuk jalan.
Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg.
o Buklizin (longifene, Syntex)
Adalah derivate siklik dari klorsiklizin dengan long-acting dan mungkin efek
antiserotonin. Disamping anti-emetik,juga digunakan sebagai obat anti pruritus dan
untuk menstimulasi nafsu makan.
Dosis: oral 1-2 x sehari 25-50mg.
o Homoklorsiklizin (homoclomin, eisai)
23

Berdaya antiserotonin dan dianjurkan pada pruritus yang bersifat alergi.


Dosis: oral 1-3 x sehari 10mg.
b. Sinarizin : Sturegon (J&J), Cinnipirine(KF)
Derivat cinnamyl dari siklizin ini disamping kerja antihistaminnya juga berdaya
vasodilatasi perifer. Sifat ini berkaitan dengan efek relaksasinya terhadap arteriol-arteriol
perifer dan di otak (betis,kaki-tangan) yang disebabkan oleh penghambatan masuknya
ion-Ca kedalam sel otot polos. Mulai kerjanya agak cepat dan bertahan 6-8 jam, efek
sedatifnya ringan. Banyak digunakan sebagai obat pusing-pusing dan kuping berdengung
(vertigo, tinnitus).
Dosis: oral 2-3 x sehari 25-50mg.
o Flunarizin (Sibelium, Jansen)
Adalah derivat difluor dengan daya antihistamin lemah. Sebagai antagonis-kalsium daya
vasorelaksasinya kuat. Digunakan pula pada vertigo dan sebagai pencegah migran.
5. DERIVAT FENOTIAZIN
Senyawa- senyawa trisiklik yang memiliki daya antihistamin dan antikolinergik yang
tidak begitu kuat dan seringkali berdaya sentral kuat dengan efek neuroleptik.
a. Prometazin: (Phenergan (R.P.))
Antihistamin tertua ini (1949) digunakan pada reaksi-reaksi alergi akibat serangga dan
tumbuh-tumbuhan, sebagai anti-emetik untuk mencegah mual dan mabuk jalan. Selain
itu juga pada pusing-pusing (vertigo) dan sebagai sedativum pada batuk-batuk dan sukar
tidur, terutama pada anak-anak.
Efek samping yang umum adalah kadang-kadang dapat terjadi hipotensi,hipotermia(suhu
badan rendah), dan efek-efek darah (leucopenia, agranulocytosis)
Dosis: oral 3 x sehari 25-50mg sebaiknya dimulai pada malam hari; i.m. 50mg.
o Tiazinamium (Multergan, R.P.)
Adalah derivat N-metil dengan efek antikolinergik kuat, dahulu sering digunakan pada
terapi pemeliharaan terhadap asma.
o Oksomemazin (Doxergan, R.P.)
Adalah derivat di-oksi (pada atom-S) dengan kerja dan penggunaan sama dengan
prometazin, antara lain dalam obat batuk.
Dosis: oral 2-3 x sehari 10mg.
o Alimemazin (Nedeltran)
Adalah analog etil denagn efek antiserotonin dan daya neuroleptik cukup baik.
Digunakan sebagai obat untuk menidurkan anak-anak, adakalanya juga pada psikosis
ringan.
Dosis: oral 3-4 x sehari 10mg.
o Fonazin (Dimetiotiazin)
Adalah derivat sulfonamida dengan efek antiserotonin kuat yang dianjurkan pada terapi
interval migraine.
Dosis: oral 3-4 x sehari 10mg.
b. Isotipendil: Andantol (Homburg)
24

Derivat aso-fenotiazin ini kerjanya pendek dari prometazin dengan efek sedatif lebih
ringan.
Dosis: ora; 3-4 x sehari 4-8mg, i.m. atau i.v. 10mg.
o Mequitazin (Mircol, ACP)
Adalah derivat prometazin dengan rantai sisi heterosiklik yang mulai kerjanya cepat,
efek-efek neurologinya lebih ringan. Digunakan pada hay fever, urticaria dan reaksireaksi alergi lainnya.
Dosis: oral 2 x sehari 5mg.
o Meltidazin (Ticaryl, M.J.)
Adalah derivat heterosiklik pula (pirolidin) dengan efek antiserotonin kuat. Terutama
dianjurkan pada urticaria.
Dosis: oral 2 x sehari 8mg.
Sewaktu diketahui bahwa histamine mempengaruhi banyak proses faalan dan
patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamine. Epinefrin
merupakan antagonis faalan pertama yang digunakan. Antara tahun 1937-1972, beratusratus antihistamin ditemukan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda.
Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam
dosis terapi efektif untuk mengobati udem, eritem dan pruritus terapi tidak dapat
melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut di atas
digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1). Pada umumnya
antihistaminika diberikan oral 3 4 kali sehari 1 satuan dosis (tablet, kapsul). Hanya
pada obat-obat yang memiliki kerja panjang (promethazin) cukup dengan 1 2 dosis
sehari. Untuk feniramin dosisnya adalah lebih kecil, yaitu 3 4 kali sehari 2 4 mg.
Farmakodinamik
Antagonisme terhadap histamin, AH1 menghambat efek histamine pada pembuluh darah,
bronkus, dan bermacam-macam otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati
reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan histamine endogen
berlebihan.
- Otot polos secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamine pada otot polos
(usus,bronkus).
- Permeabilitas kapiler peninggian permeabilitas kapiler dan udem akibat histamin,
dapat dihambat dengan efektif oleh AH1
- Reaksi anafilaksis dan alergi reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter
terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang berperan tetapi
autakoid lain juga dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan reaksi hipersensitivitas
berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.
- Kelenjar eksokrin efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan lambung
tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi
kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
- Susunan saraf pusat AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek
perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah
insomnia, gelisah dan eksitasi. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan
penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan
waktu reaksi yang lambat.
Antihistamin yang relative baru misalnya terfenadin, astemizol, tidak atau sangat sedikit
menembus sawar darah otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak
25

menyebabkan kantuk, gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP. AH1 juga efektif
untuk mengobati mual dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain.
-

Anestesi local beberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan intensitas berbeda.
AH1 yang baik sebagai anestesi lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi
untuk menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi
daripada sebagai antihistamin.
Antikolinergik banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk
terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut
kering, kesukaran miksi dan impotensi.
Sistem kardiovaskular dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang
berarti pada system kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti
kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat anestetik lokalnya.

Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul
15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1
setelah pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6 jam, untuk golongan klorsiklizin 8-12 jam.
Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah
setelah kira-kira 2 jam dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya,
kemudian dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam. Kadar tertinggi terdapat pada
paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot dan kulit kadarnya lebih rendah.
Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan
ginjal. Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan konjugasi sedangkan klorsiklizin dan
siklizin terutama mengalami demetilasi. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam,
terutama dalam bentuk metabolitnya.
Efek Samping
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling
sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS atau
pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang
memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya
kecelakaan. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat
mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang
menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus,
lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan
tremor. Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan
berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping
ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan. Efek samping lain yang mungkin
timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat
dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik tersebut kurang
pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.AH1 bisa menimbulkan alergi pada
pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan local berupa dermatitis
alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi. Selain itu pemberian
terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang mendapat ketokonazol,
troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat memperpanjang interval QT dan
mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel.
26

Hal ini juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan
pasien-pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien
hipokalemia). Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin
non sedative dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.
Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat sebagai obat
persediaan dalam rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena kecelakaan,
sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah
bersifat letal bagi anak.
Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pda anak kecil efek yang
dominan ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia,
inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan
pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol.
Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis, kemerahan di muka
dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi
keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya
depresi SSP lebih lanjut.
Pengobatan
Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum
spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh barbiturate.
Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan yang berat dan tekanan darah dapat
dipertahankan secara baik.
Bila terjadi gagal napas, maka dilakukan napas buatan, tindakan ini lebih baik
daripada memberikan analeptic yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila
terjadi konvulsi, maka diberikan thiopental atau diazepam.
Perhatian
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus
diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada
resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan alcohol,
obat penenang atau hipnotik sedative.
LO 2.2 Kortikosteroid
Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormonadrenokortikotropik (ACTH)
yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem
fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan
tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar
elektrolit darah, serta tingkah laku.
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla, sedangkan
bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona
fasikulata mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona
fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan
pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk
golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam.
27

Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon, dan


betametason.
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesiK, sedangkan
pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.Oleh karena
itu mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip dari golongan ini
adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat antiinflamasi yang berarti, kecuali 9 -fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini tidak
pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan
elektrolit terlalu besar. Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua
yaitu kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal.

Farmakologi
Semua hormon steroid sama-sama mempunyai rumus bangun siklopentano
perhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A D. Modifikasi
dari struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan perubahan pada efektivitas dari
steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10 dan 13 atau
sebagai rantai samping yang terikat pada C17. Semua steroid termasuk
glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana
dan 1 cincin pentana.
Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dari plasma.
Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian dengan bantuan
enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen
lemah dengan 19 atom karbon. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk
steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah
pemberian ACTH.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus
menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah
yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal.
Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.
Berikut adalah tabel yang menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma
kortikosteroid terpenting pada manusia.
Kecepatan sekresi
dalam keadaaan
optimal (mg/hari)

Kadar plasma
(g/100ml)
Jam 08.00

Jam 16.00

Kortisol

20

16

Aldosteron

0,125

0,01

Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu
sebelum sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam hari sebelum tidur. Pada pagi
hari kadar kortisol yang paling tinggi dibandingkan waktu lainnya yang membuat orang
28

menjadi lebih semangat dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang ssehat pengeluaran
kortisol mengikuti kurva dimana dapat dibuat grafik mulai menurunnya kadar kortisol
hingga kadar terendah yaitu pada pukul 11 malam dibuktikan dengan seseorang yang
dapat beristirahat dengan cukup.
Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan
target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan
bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini
menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini
merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar,
hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain,
misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang sintesis protein yang
sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek
katabolik.
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol
(juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi
metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan
sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap
umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid
eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari
tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam
kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-a2 (CBG/corticosteroid-binding
globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk
digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG
menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid
sintetis seperti dexametason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan
CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh
dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam
jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1%
kortisol diekskresi tanpa perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol
diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid
sebelum mencapai hati. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan
absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan
ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon
bentuk aktifnya dalam tubuh.
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala
inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik
obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi
kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat
menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan
fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya
yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga
disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi serta
mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan
penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang
mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang
komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada pada sel endotel dan
29

dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan


masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan
eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut
menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil
tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang
dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah
sel pada tempat inflamasi.
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab
antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen
diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi
kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan
tumor
nekrosis
factor-a,
interleukin-1,
metalloproteinase dan
activator
plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi
reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrien dan plateletaktivating factor.
Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran dasar
dan sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam
sel
atau
struktur-struktur
yang
bertanggungjawab
pada
gambaran
klinis ; keratinosik (atropi epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi fibrolas
mengurangi kolagen dan bahan dasar (atropi dermal, striae), efek vaskuler kebanyakan
berhubungan dengan jaringan konektif vaskuler(telangiektasis, purpura), dan
kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan granulasi yang lambat). Khasiat
glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti-proliferatif, dan imunosupresif.
Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti sel-sel lesi, berikatan
dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami perubahan.
Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk atau menggantikan
sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif), bergantung pada
jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan stabilisasi
membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak
dikeluarkan.
Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering
dipakai. Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan
penetrasi. Potensi kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan
vasokontriksi pada kulit hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan
struktur kimiawi. Kortison, misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison di
dalam tubuh mengalami transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak
menjadi proses itu. Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak
tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya
molekul hidrokortison yang mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten.
Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat
tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty
ointment (paling baik penetrasinya). Kortikosteroid hanya sedikit diabsorpsi setelah
pemberian pada kulit normal, misalnya, kira-kira 1% dari dosis larutan hidrokortison
yang diberikan pada lengan bawah ventral diabsorpsi. Dibandingkan absorpsi di daerah
lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali yang melalui daerah telapak kaki, 0,83
kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang melalui tengkorak kepala, 6 kali
yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali melalui kulit scrotum. Penetrasi
ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis atopik ; dan pada
penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit sawar untuk
penetrasi.
30

Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya. Mekanisme yang


terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwa
kortikosteroid bisa menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisa
menjelaskan penggunaan kortikosteroid topikal pada terapi urtikaria pigmentosa.
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang dimengerti.
Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan
menginhibisi pembentukan prostaglandin dan derivat lain pada jalur asam arakidonik.
Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid adalah
menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran lisosom dari sel-sel fagosit.
Klasifikasi
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya
potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi
natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya.
Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan
masa kerjanya, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid
Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid
Keterangan:
Potensi
Kortikosteroid

Mineralkortikoid

Glukokortikoid

Lama kerja

Dosis
ekuivalen
(mg)*

Glukokortikoid
Kortisol
(hidrokortison)

20

Kortison

0,8

0,8

25

6--metilprednisolon 0,5

Prednisone

0,8

Prednisolon

0,8

Triamsinolon

Parametason

10

Betametason

25

0,75

Deksametason

25

0,75

Aldosteron

300

0.3

Fluorokortison

150

15.0

2.0

0.0

Mineralokortikoid

Desoksikortikosteron 20
asetat

31

* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.


S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam)
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)
Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan
deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan
kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut
kekuatan (potensi) dari yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason,
betametason, dan deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 3672 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat
yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek
samping yang terjadi.
Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi,
antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi
eritema. Kemampuan untuk menyebabkan vasokontriksi ini biasanya berhubungan
dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu
tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen. Kombinasi ini digunakan untuk
membagi kortikosteroid topikal mejadi 7 golongan besar, diantaranya Golongan I yang
paling kuat daya anti-inflamasi dan antimitotiknya (super poten). Sebaliknya golongan
VII yang terlemah (potensi lemah).
Berikut tabel penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis:
Klasifikasi

Nama Dagang

Golongan 1: (super poten) Diprolene ointment

Nama Generik
0,05% betamethason dipropionate

Diprolene AF cream
Psorcon ointment

0,05% diflorasone diacetate

Temovate ointment

0,05% clobetasol propionate

Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment

0,05% halobetasol propionate

Ultravate cream

Golongan II: (potensi


tinggi)

Cyclocort ointment

0,1% amcinonide

Diprosone ointment

0,05% betamethasone
dipropionate

Elocon ointment

0,01% mometasone fuorate


32

Florone ointment

0,05% diflorasone diacetate

Halog ointment

0,01% halcinonide

Halog cream
Halog solution
Lidex ointment

0,05% fluocinonide

Lidex cream
Lidex gel

33

Lidex solution
Maxiflor ointment
Maxivate ointment

0,05% diflorasone diacetate

Maxivate cream

0,05% betamethasone
dipropionate

Topicort ointment
Topicort cream
Topicort gel

Golongan III: (potensi


tinggi)

Aristocort A ointment

0,25% desoximetasone

0,05% desoximetasone

Cultivate ointment
Cyclocort cream
Cyclocort lotion
Diprosone cream

0,1% triamcinolone acetonide


0,005% fluticasone propionate
0,1 amcinonide

Flurone cream

Golongan IV: (potensi


medium)

Lidex E cream

0,05% betamethasone
dipropionate

Maxiflor cream

0,05% diflorosone diacetate

Maxivate lotion

0,05% fluocinonide

Topicort LP cream

0,05% diflorosone diacetate

Valisone ointment

0,05% betamethasone
dipropionate

Aristocort ointment

0,05% desoximetasone

Cordran ointment

0,01% betamethasone valerate

Elocon cream
Elocon lotion

0,1% triamcinolone acetonide

Kenalog ointment

0,05% flurandrenolide

Kenalog cream

0,1% mometasone furoate

Synalar ointment
Westcort ointment

0,1% triamcinolone acetonide


34

Penggunaan Klinik
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan
untuk suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal
bersifatpaliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan
kausal. Biasanya pada kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah
contohnya pada anak-anak dan usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan
kortikosteroid sedang contonya pada dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan
dermatitis intertriginosa. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi
kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis
numular.
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai
dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar
kandungan steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah
lupus eritematousus diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika
diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid,
eksantema fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%.
Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik,
kortikosteroid diberikan secara sistemik.
Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah
prednison karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar
digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon.
Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralkortikoid jangan dipakai pada
pemberian long term (lebih daripada sebulan). Pada penyakit berat dan sukar menelan,
misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindrom Stevens-Jhonson harus diberikan
kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara intravena. Jika masa kritis telah diatasi
dan penderita telah dapat menelan diganti dengan tablet prednison.
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hatihati. Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek
samping terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam
jangka waktu yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang
tinggi karena kulit bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang
seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih
longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi
serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi prematur lebih berisiko
karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat
tinggi.2,11 Pada geriatrimemiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal
meningkat. Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi sekunder
karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering,
waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan
perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur,
sering digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (standar
pelayanan). Percobaan pada hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit
hewan hamil akan menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada
hewan tidak ada kaitan dengan efek pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko
apabila steroid yang mencukupi di absorbsi di kulit memasuki aliran darah wanita
hamilterutama pada penggunaan dalam jumlah yang besar, jangka waktu lama dan
steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan memperlihatkan hubungan yang
kecil tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester pertama dengan bimbing
sumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lipatau cleft palate saat penggunaan
35

steroid selama kehamilan. Kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan pada saat
kehamilan adalah prednison dan kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan
hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan
kortikosteroid topikal harus dihindari dan diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti
apakah steroid topikal diekskresi melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada
wanita sedang menyusui.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-rata
dosis yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/hari, sedangkan dosis
dibawah 30 mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang
sebelumnya memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan pengobatan
kortikosteroid sekitar 20% dapat menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan
80% tidak.
Dosis dan Mekanisme Pemberian
Pada saat memilih kortikosteroid topikal dipilih yang sesuai, aman, efek samping
sedikit dan harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu di pertimbangkan
yaitu jenis penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit yaitu stadium penyakit,
luas/tidaknya lesi, dalam/dangkalnya lesi dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan
umur penderita.
Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis. Salep
(ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar
berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin
atau minyak. Jenis ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit yang kering
karena banyak mengandung pelembab. Selain itu juga baik untuk pengobatan pada kulit
yang tebal contoh telapak tangan dan kaki. Salep mampu melembabkan stratum korneum
sehingga meningkatkan penyerapan dan potensi obat. Krim adalah suspensi minyak
dalam air. Krim memiliki komposisi yang bervariasi dan biasanya lebih berminyak
dibandingkanointments tetapi berbeda pada daya hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien
lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara kosmetik lebih baik dibandingkan
ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan bahan pengawet yang
mempermudah terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion (bedak kocok) tediri
atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan
perekat, lotion mirip dengan krim.Lotion terdiri dari agents yang membantu melarutkan
kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung minyak
tetapi kandungannya terdiri dari air, alkohol dan propylene glycol. Gel komponen solid
pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit. Lotion, solution, dan gel
memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkanointment tetapi berguna pada
pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara
kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien.
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit tersebut
sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis.Takifilaksis ialah menurunnya
respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang
berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang, setelah
diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul kembali dan akan
menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan. Lama pemakaian kortikosteroid
topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih
dari 2 minggu untuk potensi kuat.

36

Ada beberapa cara pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni :


1. Pemakaian kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.
2. Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu, sebaiknya
jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik, pilihlah salah satu dari
golongan sedang dan bila perlu diteruskan dengan hidrokortison asetat 1%.
3. Jangan menyangka bahwa kortikosteroid topikal adalah obat mujarab (panacea) untuk
semua dermatosis. Apabila diagnosis suatu dermatosis tidak jelas, jangan pakai
kortikosteroid poten karena hal ini dapat mengaburkan ruam khas suatu dermatosis.
Tinea dan scabies incognito adalah tinea dan scabies dengan gambaran klinik tidak
khas disebabkan pemakaian kortikosteroid.
Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuskular,
intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan keparahan penyakit.
Pada suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada
alopesia areata, kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja
yang panjang. Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial
doseyang dugunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa
ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid
diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek
dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai
puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari seekresi
ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah dan dengan
sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada
malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal pada
kasus akne maupun hirsustisme.
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami
perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak mengalami
eksaaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika
terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi
terjadi kalau dosis prednison meebihi 5 mg per hari dan kalau lebih dari sebulan. Pada
sindrom putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang
jaranng melebihi 39C.
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu
perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis
pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan
menukar dari dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah
dosis obat. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid
dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar
kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari
ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang
seharusnya bebas obat masih diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah
daripada dosis pada hari pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan.
Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas
obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5
mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.

37

Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta dosisnya:
Nama penyakit

Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari

Dermatitis

Prednison 4x5 mg atau 3x10mg

Erupsi alergi obat ringan

Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

SJS berat dan NET

Deksametason 6x5 mg

Eritrodermia

Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Reaksi lepra

Prednison 3x10 mg

DLE

Prednison 3x10 mg

Pemfigoid bulosa

Prednison 40-80 mg

Pemfigus vulgaris

Prednison 60-150 mg

Pemfigus foliaseus

Prednison 3x20 mg

Pemfigus eritematosa

Prednison 3x20 mg

Psoriasis pustulosa

Prednison 4x10 mg

Reaksi Jarish-Herxheimer

Prednison 20-40 mg

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman,
tidak bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak
disesuaikan dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak
perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan.
Efek samping
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang
sangat luas. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak
diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi.
Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.
Tempat
Saluran cerna

Efek Samping
Hipersekresi asam lambung, mengubah
proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi,
pankreatitis, ileitis regional, kolitis
ulseratif.

Otot

Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.

38

Susunan saraf pusat

Perubahan kepribadian (euforia, insomnia,


gelisah, mudah tersinggung, psikosis,
paranoid, hiperkinesis, kecendrungan
bunuh diri), nafsu makan bertambah.

Tulang

Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra,


skoliosis, fraktur tulang panjang.

Kulit

Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise,


dermatosis
akneiformis,
purpura,
telangiektasis
Glaukoma dan katarak subkapsular
posterior

Mata
Darah

Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit

Pembuluh darah

Kenaikan tekanan darah

Kelenjar adrenal bagian kortek

Atrofi, tidak bisa melawan stres

Elektrolit

Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia,


paralisis, tetani, aritmia kor)

Sistem immunitas

Menurun,
rentan
terhadap
reaktivasi Tb dan herpes
keganasan dapat timbul.

infeksi,
simplek,

Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat menopause.
Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas muka bulan, buffalo
hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral, striae atrofise, purpura,
dermatosis akneformis dan hirsustisme. Selain itu juga gangguan menstruasi, nyeri
kepala, psedudotumor serebri, impotensi, hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali
dan keadaan aterosklerosis dipercepat. Pada anak memperlambat pertumbuhan.
Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik
Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang, efek samping yang
serius jarang. Namun masalah yang mungkin timbul berikut:
1. Gangguan tidur
2. Meningkatkan nafsu makan
3. Meningkatkan berat badan
Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energy
Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan singkat dari
kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes dan nekrosis
aseptik yang pinggul.
Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama
Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid,
maka kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar
di bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas
39

bulan setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres
seperti infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orangorang yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah
paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul
bersama dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari
pasien dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga
50% dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
-

Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.


Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul).
Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).
Kenaikan lemak darah (trigliserida).
Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.
Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat badan
dan gagal jantung.
- Kegoyahan dan tremor.
- Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan katarak
subcapsular posterior.
Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi, kegembiraan,
delirium atau depresi.
- Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
- Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan
(misalnya tuberkulosis).
- Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-inflamasi.
Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit kepala, nyeri
otot dan sendi dan depresi.
Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhdap efek samping, hendaknya
diperiksa tekanan darah dan berat badan (seminggu sekali) terutama pada usia diatas 40
tahun dan pemeriksaan laboratorium Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, L.E.D, urin
lengkap kadar Na dan K dalam darah, gula darah (seminggu sekali), foto toraks, apakah
ada tuberkulosis paru (3bulan sekali).
- Pada penggunan kortikosteroid topikal efek samping dapat terjadi apabila :
- Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
- Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau
penggunaan sangat oklusif.
Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan dengan sifat potensiasinya,
tetapi belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang terpisah dari potensi, kecuali
mungkin merujuk kepada supresi dari adrenokortikal sistemik. Dengan ini efek samping
hanya bisa dielakkan sama ada dengan bergantung pada steroid yang lebih lemah atau
mengetahui dengan pasti tentang cara penggunaan, kapan, dan dimana harus digunakan
jika menggunakan yang lebih paten. Secara umum efek samping dari kortikosteroid
topikal termasuk atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis,
hipertrikosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis peroral.
Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid kepada beberapa tingkat yaitu
40

Efek Epidermal
Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu
penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermoepidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal secara konkomitan.
Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan.Komplikasi ini
muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid intrakutan.
Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar. Ini
menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan
menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal
yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini
nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia
kulit prematur.
Efek Vaskular
Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya menyebabkan vasokontriksi
pada pembuluh darah yang kecil di superfisial.
Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darah yang
kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema, inflamasi lanjut,
dan kadang-kadang pustulasi.
Terjadi efek samping bergantung pada dosis, lama pengobatan macam kortikosteroid.
Pada pendek (beberapa hari/minggu) umumnya tidak terjadi efek samping yang gawat.
Sebaliknya pada pengobatan jangka panjang (beberapa bulan/tahun) harus diadakan
tindakan untuk mencegah terjadi efek tersebut, yaitu :
Diet tinggi protein dan rendah garam
Pemberian KCl 3 x 500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi K
Obat anabolic
ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya kami berikan ialah ACTH sintetik
yaitusynacthen depot sebanyak 1 mg (qoo IU). Pada pemberian kortikosteroid dosis
tinggi dapat diberikan seminggu sekali
Antibiotik perlu diberikan jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari
Antasida
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur
yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan
preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan
dengan alasan sebagai life saving drugs.Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor
yang ketat pada keadaan hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya
gangguan jiwa, positive purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus
peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.
LI. 7. Memahami dan Menjelaskan Hukum Islam untuk Menentukan 2 Pilihan yang
Terbaik

41

Kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan tentang al-maslahah yaitu:


Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu gambaran untuk mengabil manfaat atau
menghindarkan kemudaratan, tapi bukan itu yang kami maksudkan, sebab meraih manfaat
dan menghindarkan kemudaratan terseut bukanlah tujuan kemasalahatan manusia dalam
mencapai maksudnya. Yang kami maksud dengan maslahah adalah memelihara tujuan
syara.
Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan, yaitu

Kemasalahatan menurut manusia, dan

Kemaslahatan menurut syariat.


Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dikisahkan bahwa seorang Anshar terluka di perang
Uhud. Rasulullah pun memanggil dua orang dokter yang ada di kota Madinah, lalu bersabda,
Obatilah dia.
Dalam riwayat lain ada seorang sahabat bertanya,Wahai Rasulullah, apakah ada
kebaikan dalam ilmu kedokteran? Rasullah menjawab, Ya,
Begitu pula yang diriwayatkan dari Hilal bin Yasaf bahwa seorang lelaki menderita sakit di
zaman Rasulullah. Mengetahui hal itu, beliau bersabda, Panggilkan dokter. Lalu Hilal
bertanya, Wahai Rasulullah, apakah dokter bisa melakukan sesuatu untuknya? Ya, jawab
beliau. (HR Ahmad dalam Musnad: V/371 dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf: V/21)
Hilal meriwayatkan bahwa Rasulullah mnjenguk orang sakit lalu bersabda, Panggilkan
dokter! kemudian ada yang bertanya, Bahkan engkau mengatakan hal itu, wahai
Rasulullah? Ya, jawab beliau.
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bagaimana Rasulullah menganjurkan
kita untuk berobat dan berusaha menggunakan ilmu kedokteran yang diciptakan Allah untuk
kita. Kita juga ditekankan agar tidak menyerah pada penyakit karena Rasulullah bersabda,
Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang
lemah. (HR Muslim (34) dan Ahmad: II/380)
Di antaranya yang ada di Musnad Ahmad. Hadits Ziyadah bin Alaqah dari Usamah
bin Syuraik menuturkan,Aku berada bersama Nabi lalu datanglah sekelompok orang Badui
dan bertanya,Wahai Rasulullah, apakah kita boleh berobat? Rasulullah menjawab, Ya,
wahai hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit kecuali
Allah menciptakan obatnya, kecuali satu macam penyakit. Mereka bertanya,Apa itu?
Rasulullah menjawab,Penyakit tua.(HR Ahmad dalam Musnad : IV/278, Tirmidzi dalam
Sunan (2038))
Nabi bersabda,Setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat tepat pada penyakitnya
maka ia akan sembuh dengan izin Allah. (HR Muslim: I/191)
Abu Hurairah meriwayatkan secara marfu, Tidaklah Allah menurunkan panyakit kecuali
menurunkan obatnya.(HR Bukhari: VII/158)
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu, pisau
bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api. (HR Bukhari dan
Muslim.
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk
kemaslahatan artinya : semua syariat dalam perintah dan larangannya serta hukumhukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah :
jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.
Allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih besar dari pada
manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219


42

2:219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya
itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya.
Al-Quran obat terbaik
Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman. Dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang zalim
selain kerugian. (Al-Isra:82)
Dalam hal ini Rasulullah bersabda, Di dalam tubuh terdapat segumpal darah, jika ia
baik maka seluruh tubuh akan menjadi baik.(HR Bukhari: I/153 (53) dalam Fathul Bari)

43

Daftar Pustaka
Baratawidjaja, K.G. dan Rengganis, I. 2010. Imunologi Dasar edisi 10. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Dorland, W.A.N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
E health links. Synthetic Glucocoticoids. 2009. Diunduh dari
http://www.endotext.org/adrenal/adrenal14/ch01s02.html
Goodman & Gilman. 2006. The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed. McGraw
Hill, New York.
Kumar. Cotran. Robbins . 2007. Buku ajar patologi edisi 7. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Setiabudi, Rianto. Dewoto, H.R. dkk. 2012. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Sudoyo, A.W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.5. Jakarta: Interna
Publishing
Werner, R. (2005). A massage therapists guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott Williams
& Wilkins, Pennsylvania, USA

44

Anda mungkin juga menyukai