CDK 087 Mata
CDK 087 Mata
Dunia Kedokteran
1995
87. Mata
September
1993
Daftar Isi :
2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5. Dasar-dasar Imunologik pada Penyakit Mata Sofia Mubarika
Haryana, Marsetyawan Soesetyo
11. Kelainan Mata pada Sindrom Imunodefisiensi Fatma Asyari 17.
Beberapa Kelainan Kornea yang Berhubungan dengan Proses
Imunologik Gunawan
22. Infeksi Viral dan Strategi Pengobatan Anti-viral pada Penyakit
Mata Suwardji Haksohusodo
30. Rejeksi Transplan Bondan Harmani
34. Aspek Genetika pada Kelainan Uvea Hartono
39. Penatalaksanaan Infeksi Jamur pada Mata Bambang Susetio
42. Penanganan Gangguan Sistem Ekskresi Lakrimal Hadisudjono
Sastrosatomo, Darmayanti Irwan, Lumongga Simangunsong
44. Keratotomi Radial Sjamsu Budiono
47. Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior Hafid Ardy
55. Penatalaksanaan Uveitis Soedarman Sjamsoe
59. Bedah Refraktif Masa Kini Istiantoro
64. R.P.P.I.K
Mata merupakan salah satu indera manusia yang paling penting; bersyukurlah orang-orang yang dianugerahi mata yang sehat dan berfungsi baik,
apalagi bila sepasang mata tersebut juga memperindah penampilan. Bukankah
salah satu standar kecantikan adalah keserasian bentuk mata ?
Karena fungsinya tersebut, dengan sendirinya kita harus selalu memperhatikan dan memelihara kesehatannya dengan jalan menghindari penyakit dan
mencegah kerusakannya.
Cermin Dunia Kedokteran kali ini memilih masalah Penyakit Mata, khususnya yang mengenai mata luar, kornea dan uvea sebagai topik utama; naskahnaskah ini telah didiskusikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan
Dokter Spesialis Mata Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 9-10 Juli 1993
yang lalu. Naskah ini kami terbitkan dengan tujuan agar dapat pula dimanfaatkan oleh para sejawat yang tidak berkesempatan mengikuti pertemuan
tersebut, baik karena faktor.jarak maupun kesibukan.
Mudah-mudahan dapat memenuhi harapan para sejawat, pembaca Cermin
Dunia Kedokteran.
Redaksi
Cermin
Dunia Kedokteran
1995
KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc
KETUA PENYUNTING
Dr Budi Riyanto W
PEMIMPIN USAHA
Rohalbani Robi
PELAKSANA
Sriwidodo WS
REDAKSI KEHORMATAN
Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
TATA USAHA
Sigit Hardiantoro
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran
P.O. Box 3105 Jakarta 10002
Telp. 4892808
Fax. 4893549, 4891502
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
PENCETAK
PT Temprint
Drg. I. Sadrach
Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Jakarta
REDAKSI KEHORMATAN
Drs.Victor S. Ringoringo,SE,MSc.
English Summary
GENETIC ASPECT
ANOMALIES
OF
UVEAL
Hartono
Department of Ophthalmology, Faculty
of Medicine, Gajah Mada University/Dr
Sardjito General Hospital, Yogyakarta,
Indonesia
RADIAL KERATOTOMY
MANAGEMENT OF UVEITIS
Sjamsu Budiono
Soedarman Sjamsoe
Artikel
Dasar-dasar Imunologik
pada Penyakit Mata
Sofia Mubarika Haryana, Marsetyawan Soesatyo
Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada, Yogyakarta
PENDAHULUAN
Individu sehat melindungi dirinya terhadap mikroorganisme dengan berbagai mekanisme yaitu mekanisme imunitas
alami dan imunitas spesifik. Mekanisme imunitas alami berupa
barier fisik, sel fagositik darah dan jaringan, natural killer cell
(NK), berbagai molekul dalam darah seperti komplemen, interferon dan tumor necrosis factor (TNF). Imunitas alami bersifat
tidak spesifik artinya tidak dapat membedakan substansi asing
tertentu:interferon a, (IFN a-), tumor necrosis factor (TNF).
Mekanisme pertahanan spesifik, dipacu oleh pemaparan
substansi asing (antigen), sistem ini berespon secara spesifik
terhadap makromolekul tertentu, reaksinya akan meningkat karena pengaruh molekul-molekul sistem imun lain yang terlibat.
Beda imunitas spesifik dari imunitas alami adalah bahwa reaksi
imun (r.i.) spesifik dapat "mengingat" setiap mikroorganisme atau
antigen asing yang pemah dijumpainya. Perjumpaan berikutnya
dengan antigen yang sama akan memacu secara cepat dan efektif
sistem imunnya. Reaksi imun spesifik mempunyai mekanisme
protektif lebih tinggi dari pada non spesifik, bersifat langsung
dan ditujukan khusus di tempat masuknya benda asing. Imunitas
spesifik diklasifikasikan dalam sistem imun humoral dan seluler.
Imunitas humoral terutama diperankan oleh sel B dengan mekanisme efektornya berupa antibodi, sedang imunitas seluler
diperankan oleh limfosit dengan mekanisme efektornya berbagai
sel T teraktivasi.
polimorfik. Antigenisitas berbeda dari HLA ini yang menyebabkan penolakan jaringan. Pada manusia terdapat 3 tipe HLA
klas II yaitu DP, DG, DR. Untuk kasus yang ada hubungannya
dengan penyakit menunjukkan individu dengan tipe HLA tertentu lebih suseptibel terhadap infeksi karma virus menggunakan HLA molekul sebagai reseptornya. Jika ada kesamaan
antara antigen determinan clan molekul MHC host akan dapat
menghambat respons imun sebab agen patogen terlihat sebagai
self, sehingga tubuh tidak memberikan respons. Bila ada patogen
maka akan menimbulkan kerusakan jaringan misalnya pada
autoimun.
Komponen molekiller yaitu antibodi atau imunoglobulin
yang dihasilkan oleh sel plasma. Ada 5 klas Ig yaitu IgM, IgG,
IgA, IgE, IgD. Kelima klas Ig ini berperan dalam keadaan yang
berbeda. IgM berbentuk pentamer, terutama berperan pada reaksi
imun primer. Reaksi imun sekunder biasanya menghasilkan
IgG, sedang IgA khususnya berperan pada imunitas di daerah
mukosa. IgD berperan pada fase diferensiasi sel B; sedang IgE
ban yak dihubungkan dengan reaksi alergi. Komponen molekuler
yang dihasilkan imunitas seluler berupa berbagai mediator yang
dikenal sebagai sitoksin atau limfokin.
Aktivasi scl dalam respon imun memcrlukan beberapa
signal. Sebagian signal berupa substansi solubel yang dilepaskan
olch berbagai sel. Substansi ini disebut sitokin. Sitokin berupa
glikoprotein, bersifat nonspesifik, yang disintesis dan disekresi
secara cepat dalam menanggapi rangsang dari luar. Sebuah sel
dapat membuat beberapa sitokin. Satu sel dapat menjadi target
DTH negatif.
Immune complex. Inflamasi yang disebabkan adanya
imun kompleks biasanya terjadi setelah reaksi antigen antibodi
yang kemudian diikuti aktivasi komplemen. Inflamasi yang disebabkan karena aktivasi komplemen dapat berarti memberi
imunitas pada tubuh tetapi juga menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitasnya dapat berupa reaksi kulit
Arthus atau serum sickness sistemik. Antigen pemacu dapat
berupa protein dengan BM tinggi atau hapten. Untuk dapat
mengaktivasi komplemen perlu ikatan hapten dengan protein
karier host. Reaksi yang terjadi sangat tergantung pada dosis
antigen terutama path serum sickness. Pemaparan dengan antigen dalam jangka lama juga akan mempengaruhi. Diduga ada 4
macam kejadian.
a) Complement activating antibodies. Antibodinya harus
antibodi yang mampu mengaktivasi komplemen. IgM dan IgG
(kecuali IgG4) merupakan antibodi yang dapat mengaktivasi
komplemen melalui cara klasik. IgA dapat mengaktivasi komplemen melalui cara alternatif. IgE, IgD tidak mempunyai kemampuan mengaktivasi komplemen, maka tidal( masuk dalam
keadaan imun kompleks ini.
b) Pembentukan imun kompleks. Antigen-antibodi membentuk molekul yang besar dalam sirkulasi, yang kemudian dideposisi di jaringan.
c) Deposisi Immune complex. Kompleks antigen-antibodi
dideposisi pada beberapa jaringan. Bila imun kompleks tadi
cukup besar, maka akan ditangkap di membran basal glomerulus dan dalam pembuluh darah, yang dideposisi di lamina
elastika interna. Penempatan kompleks imun pada jaringan juga
ditentukan oleh aliran darah, muatan ion dari kompleks imun.
Pada reaksi kulit Arthus, konsentrasi tinggi dari kompleks imun
ditimbulkan karena injeksi antigen pada kulit yang kemudian
dideposisi secara lokal pada pembuluh darah. Pada keadaan di
mana antibodi dideposisi pada antigen yang terdapat pada sel
dapat menjadi autoantigen, yang menimbulkan reaksi autoimun.
d) Aktivasi komplemen. Aktivasi ini dapat dimulai melalui
jalur klasik atau altematif, tergantung dari kelas imunoglobulin.
Faktor radang utama dari komplemen adalah C5a, yang bersifat
khemotaktik terhadap neutrofil yang terdapat dalam jaringan
maupun sirkulasi. Netrofil akan melepaskan enzim lisozymelan
pada proses fagositosis menimbulkan oksigen toksik yang dapat
merusak membrana elastika interna pembuluh darah, yang
berakibat endotel kapiler membengkak dan berproliferasi sehingga terjdi pengumpulan trombosit. Kemudian sel mononuklear menginfiltrasi daerah itu.
Mekanisme kontrol untuk membatasi inflamasi kompleks
imun
Baru-baru ini ditunjukkan bahwa enzym C3 convertase
(dibentuk karena aktivasi C3 oleh faktor B jalur alternatif) bila
melekat pada kompleks imun pada keadaan seimbang akan
melepaskan ikatan antigen antibodi, sehingga imun kompleks
tidak terbentuk.
Pada keadaan normal imun kompleks dalam jumlah kecit
tidak menimbulkan penyakit. Antigen dari makanan, dari ling-
Limfosit tidak dijumpai pada stroma kornea maka hipersensitivitas lambat tidak dapat terjadi. Kornea kadang-kadang mengalami
peradangan yang biasanyadimulai padabagianlimbus kemudian
meluas ke kornea. Kepadatan struktur seluler kornea menghambat inisiansi reaksi radang pada kornea, oleh karena itu transplantasi kornea dapat dilakukan tanpa inflamasi sebab limfosit
tersensitisasi tidak dapat mencapai transplan. Transplantasi kornea
tidak menjadi masalah sebab antigen ABO tidak dijumpai pada
endotel kornea. Keberhasilan transplantasi kornea adalah 90%
(10% ketidakberhasilan karena adanya vaskularisasi atau terjadinya saluran limfatik karena infeksi kronis).
Walaupun kornea tidak mengandung limfosit tetapi mata
setiap beberapa detik sekali dibasahi oleh cairan yang diproduksi kelenjar tarsalis superior yang mengandung limfosit yang
banyak.
Korpus vitreum
CV tak mempunyai sistem imun. Tetapi karena turnover CV
sangat lambat, maka CV dapat bertindak sebagai adjuvant terhadap antigen.
Retina dan nervus optikus
Retina tidak mempunyai sistem imun sendiri.
Lensa
Lensa memiliki sistem imun khusus. Pada lensa yang utuh
tidal( ada antibodi atau limfosit atau molekul yang dapat masuk
ke dalam lensa. Lensa sebenarnya penuh dengan antigen yang
dapat memacu respons imunologik. Lensa tersusun atas 4 macam
protein. Tiga di antaranya adalah alfa, beta dan gama kristalin
yang bersifat solubel, sedang yang lain seperti albuminoid dan
tidak larut. Protein ini sebetulnya berasal dari kristalin alpha yang
sifatnya seperti albumin. Protein yang paling antigenik adalah
kristalin alfa. Zat albumin sifatsebagai adjuvan schingga protein
kristalin alpha dapat lebih antigenik. Bagian mata yang lain
seperti konjungtiva dan kelenjar air maw dilengkapi dengan
sistem imun lengkap, seperti limfosit T, B dan makrofag.
Air mata
Kelompok mata dapat menyapu partikel dan membcrsihkan
permukaan mata dan air maw dapat membuang partikel setelah
disapu. Dalam air mata terkandung berbagai jenis Imunoglobulin
(IgA, IgG, IgM, IgE). Kadar lg dalam air maw sebanding dengan
kadar dalam serum (lebih rendah). Sclain itu dalam mata terdapat
lizozim, komplemen dan histamin dalam kadar rendah. Ig predominan di dalam air mats adalah IgA. Konsentrasi secretory (s)
IgA pada air mata tikus kurang lebih 200 g/ml yang dihasilkan
oleh sel-sel plasma di dalam kclenjar lakrimal. Jumlah total selsel penghasil Ig tersebut meningkat sesuai dengan pertambahan
umur. Scl-sel penghasil Ig lainnya seperti IgG dan IgM terdapat
pula dalam jumlah yang relatif sedikit daripada scl-scl untuk IgA.
Sebagai contoh, pada umur 21 hari (tikus), jumlah scl-scl penghasil IgA adalah 10 dan 80 kali lebih banyak daripada jumlah selsel penghasil IgM dan IgG masing-masing/kelenjar lakrimal.
Kelenjar lakrimalis
Kira-kira berjumlah 642 kelenjar pada jaringan konjung-
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Tuft SJ, Kemeny M, Dart JKG, Buckley RJ. Clinical features of atopic
keratoconjunctivitis. Ophthalmology 1991; 98: 15501558.
Vaughan D, Asbury T. Immunologic disease of the eye. In: General Ophthal
mology, 10th ed. Lange Med. Public., Japan 1983.
Benjamini E, Leskowitz. Hypersensitivity reactions: Antibody mediated,
Typel-anaphylactic reactions. In: Immunology, a short course, 2nd ed. New
York: John Wiley & Sons Inc. 1991.
8.
9.
Kelainan Mata
pada Sindrom Imunodefisiensi
Fatma Asyari
Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
PENDAHULUAN
Imunodefisiensi adalah suatu keadaan menurunnya daya
tahan seseorang. Keadaan ini dapat terjadi pada :
Kelainan kongenital (agamaglobulinemia)
Usia lanjut
Pemakaian obat-obat imunosopresif (pada penderita kanker, transplantasi)
Sindrom imunodefisiensi akuisita (AIDS/SIDA).
AIDS adalah suatu penyakit yang fatal yang mengenai
multi sistem tubuh manusia yang disebabkan oleh virus Human
Immuno Deficiency (HIV), suatu Retrovirus yang secara langsung menginfeksi sel-sel sistem imune terutama sel T sehingga
seluruh sistem imun menjadi lumpuh dan tidak sanggup menolak
kuman apapun yang masuk ke dalam tubuh penderita. Sebagai
akibat menurunnya kekebalan tubuh ini terjadi beberapa infeksi
oportunistik serta timbul tumor tertentu (yang tidak lazim serta
jarang), tanpa ada penyebab imunodefisiensi yang lain. AIDS
masa kini sudah menjadi masalah di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Meskipun penderita AIDS belum banyak
ditemukan, tapi kasus demi kasus sudah mulai bermunculan dan
tanpa diduga pertambahan kasus di Indonesia tergolong sangat
cepat, bahkan ditakutkan penyebaran AIDS di negara-negara
Asia lebih cepat daripada di negara-negara Barat.
Kasus AIDS yang dilaporkan di Indonesia sampai Maret
1993 dapat dilihat pada tabel 1.
Dalam 2 bulan terakhir terjadi 2 x lipat jumlah kasus dan
ini menunjukkan penambahan yang sangat cepat yang telah
menyebar pada 9 dari 27 propinsi di Indonesia.
Imunologi AIDS
HIV secara langsung menginfeksi sel-sel imun sehingga
terjadi gangguan fungsi imunologis penderita yang bersifat me-
Tabel 1.
Tahun
AIDS
HIV (+)
Jumlah
1987
1988
1989
1990
1991
1992
2
2
2
6
9
5
4
4
5
4
9
31
6
6
7
10
18
36
1993
49
54
Total
31
106
137
Tabel 2.
HIV (+)
Jumlah
Indonesia
Asing
Tahun
19
12
49
52
68
64
Tidak diketahui
Total
31
106
137
HIV (+)
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
31
0
85
17
116
17
Tidak diketahui
Kelamin
pada kornea, dan dapat terjadi pada satu mata atau dua mata.
Jamur penyebab antara lain: Candida parapsilosis, Candida
albicans dan biasanya dapat disembuhkandengan terapi Amphotericin B, miconazol, ketoconazol.
d) Keratitis Bakteri
Infeksi kornea oleh Pseudomonas aeruginosa, Stafilokok
aureus dan epidermidis pada penderita dengan imunodefisiensi
biasanya lebih berat serta lebih luas mengenai sklera bahkan
perforasi kornea. Pengobatan biasanya lebih sulit dan harus lebih
intensif dengan antibiotik.
e) Molluscum contagiosum
Pada penderita AIDS biasanya dengan onset yang lebih
cepat, lesi lebih besar dan lebih banyak.
INFEKSI OPORTUNISTIK SEGMEN POSTERIOR MATA
a) Retinitis Cytomegalovirus
Infeksi Cytomegalovirus merupakan penyebab utama penurunan visus, kebutaan bahkan kematian pada penderita AIDS
hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Infeksi CMV pada
retina disebabkan penyebaran secara hematogen ke retina.
Gambaran klinis yang khas pada retina dalam bentuk
eksudat, edema, perdarahan, vaskulitis yang sangat progresif dan
berakhir dengan nekrosis, kalsifikasi serta atrofi seluruh lapisan
jaringan retina, sedangkan jaringan khoroid relatif tidak terlibat,
karena virus ini bersifat neurotropik ditambah lagi peranan
membrana Bruch yang merupakan barrier mencegah masuknya
virus ke khoroid. Reaksi radang dapat juga terjadi di korpus
vitreum dan menimbulkan kekeruhan vitreous. Diagnosis klinis
tidak sulit, lesi retina yang khas yang disebut Pizza pie
appereance dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan funduskopi.
Ditemukannya antibodi terhadap CMV di dalam serum dan
akuos dapat menunjang diagnosis. Adanya CMV retinitis dapat
pula disertai infeksi CMV secara sistemik.
buhan.
c)
Retinitis HIV
Virus imunodefisiensi (HIV) sendiri dapat menginfeksi
jaringan retina seperti endotel kapiler retina dan sel-sel neuro
retina dan menimbulkan retinitis nekrotik (seperti CMV), vaskulitis serta deposit kompleks imun yang dapat memberikan gambaran cotton wool spots. Kerusakan kapiler mempermudah
masuknya CMV ke dalam retina. Masih belum pasti apakah
pengobatan dengan AZT dapat memperkecil angka kejadian
cotton wool spot maupun CMV retinitis pada penderita AIDS.
d) Retinitis Toxoplasmosis
Toxoplasmosis merupakan infeksi terbanyak kedua setelah
CMV pada penderita AIDS. Berbeda dengan toxoplasmosis pada
penderita dengan status imunologis yang kompeten yang biasanya akibat reaktivasi kista laten toxoplasmosis yang didapat
secara kongenital, pada penderita AIDS toxoplasma merupakan
infeksi primer di retina atau penyebaran secara hematogen dari
organ lain di luar mata terutama ensefalitis. Lebih dari 50%
penderita dengan Toxoplasmosis Retinitis disertai ensefa litis
oleh karena itu pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras harus
dilakukan.
Gejala klinis berupa floaters, fotofobi dengan uveitis anterior granulomatous serta vitritis, fokal atau multifokal retinitis
nekrotik dapat dijumpai pada pemeriksaan fundus yang dapat
meluas mengenai beberapa kwadran retina, kadang-kadang disertai perdarahan, ablatio rhegmatogen dan nekrosis retina.
Pada penderita AIDS infeksi toxoplasmosis tidak self
limited seperti halnya penderita dengan imuno kompeten, oleh
sebab itu pengobatan spesifik harus diberikan. Pirimetamin
(Daraprim) 25-50 mg/hari atau Klindamisin (Dalacin) 300
mg 4x sehari selama 3-4 minggu. Kekambuhan sangat mudah
terjadi oleh karena itu pengobatan harus terus menerus. Steroid
sistemik tidak diberikan.
e) Retinitis Sifilis
AIDS dan Sifilis keduanya merupakan infeksi akibat hubungan seksual dan angka kejadian sifilis pada penderita AIDS
cukup tinggi. Ulkus durum dapat merupakan jalan masuk HIV ke
dalam darah; status imuno supresi yang terjadi meningkatkan
kerentanan penderita terhadap infeksi serta transmisi sifilis.
Manifestasi klinis sistemik dan okuler pada AIDS lebih
berat, lebih lama dan sulit diobati serta mudah kambuh. Retinitis
terjadi pada fase sifilis sekunder akibat diseminasi hematogen
(spirochaetaemia), biasanya disertai neurosifilis. Gambaran klinis
berupa floaters, penurunan tajam penglihatan, fotofobi, uveitis
anterior kadang-kadang disertai hipopion vitritis dan flebitis
retina.
Gambaran Retinitis nekrotik sifilis berupa :
bercak putih kekuning-kuningan pada retina perifer.
bercak putih keabu-abuan berbentuk anular pada retina
bagian dalam (pigmen epitel) pada polus posterior.
Respons terhadap terapi Penisilin merupakan tes terapeutik dan diagnostik. Tes serologis FTA-ABS, MHA-TP, VDRL
biasanya positif. Terapi terhadap neurosifilis berupa :
Penisilin akuous 2 juta unit IV/tiap 4 jam selama 1 minggu.
Doksisilin 100 mg oral 2 dd selama 3 minggu (Penisilin
alergi).
Pengobatan yang efektif akan disertai penurunan titer VDRL
dalam waktu 6 bulan.
jungtiva forniks, dan bulbi bagian inferior (menyerupai perdarahan subkonjungtiva granuloma atau hemangioma). Tumor ini
bersifat agresif, multifokal dan sering kambuh.
Sarkoma Kaposi pada mata biasanya asimtomatik, kadangkadang disertai iritasi ringan. Komplikasi seperti perdarahan,
trichiasis, infeksi, gangguan kosmetis, proptosis, ptosis akibat
limfedema dan perdarahan peri-okular serta diplopia akibat
parese saraf okuler.
Tumor sarkoma Kaposi berwarna kemerah-merahan, padat,
dengan gambaran histopatologis yang karakteristik terdiri atas
proliferasi vaskuler, sel-sel spindle dan serat-serat retikulin,
diduga berasal dari sel endotel. Tidak ada pengobatan spesifik
untuk sarkoma Kaposi, hanya bersifat paliatif. Radioterapi memberikan respons baik pada 93100% penderita dengan sarkoma
Kaposi non epidemik yang terjadi pada penderita AIDS tidak
begitu memuaskan.
Pengobatan dengan Interferon hanya 10% memberikan
respons baik, 20% memberikan respons partial sedangkan
sebagian besar penderita tidak memberikan hasil yang baik.
f)
TUMOR
Tumor Sarkoma Kaposi dan Limfoma merupakan tumor
yang sering terjadi dan berhubungan dengan AIDS.
Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi merupakan salah satu manifestasi yang
sering dijumpai pada penderita AIDS (24%) dan 20% dari
sarkoma Kaposi dapat mengenai mata, yaitu pada palpebra atas/
bawah menyerupai hordeolum atau hemangioma dan pada kon-
KEPUSTAKAAN
1.
Palestine AG et al. Ophthalmic involvement in Acquired Immunodeficiency Syndrome. Ophthalmology 1984; 91 (Nov): 1092-1099.
2. Pepose JS et al. Acquired Immune Deficiency Syndrome. Pathogenic
mechanisms of Ocular Disease.
3. Sison RF et al. Cytomegalovirus retinopathy as the initial manifestation of
AIDS. Am. J. Ophthalmol 1991; 112: 243-249.
4. Cochereau I et al. Efficacy and tolerance of intra vitreal ganciclovir in
CMV retinitis in AIDS. Ophthalmology 1991; 98: 1348-1355.
5. Nanda M et al. Fulminant pseudomonal keratitis and scleritis in HIV
infected patients. Arch. Ophthalmol 1991; 109: 503-505.
6. Specht CS et al. Ocular histoplasmosis with retinitis in patient with AIDS.
Ophthalmology 1991; 98(9): 1356-59.
7. Foster RE et al. Presumed pneumocystis carinii choroiditis. Unifocal
presentation, regression with intra venous Pentamidine and choroiditis
recurrence. Ophthalmology 1991; 98(9): 1360-65.
8. Holland GN. Ocular Manifestations of AIDS. Audio digest Ophthalmology.
9. Ammann AJ. The immunology of AIDS. International Ophthalmology
Clinis, 1989; 29 (2).
10. Culbertson WW. Infection of the retina in AIDS. International Ophthalmology Clinic, 1989; 29 (2).
11. Suriadi Gunawan. Masalah penyebaran AIDS di Indonesia. MKI93:43 (4).
Catatan Redaksi :
Naskah berjudul:'Virus HcpatitisC pada Hepatitis Menahun dan Sirosis Hati di Surabaya'
olch Widawati Socmarto yang ditcrbilkan dalam Cumin Dunia Kedokteran 1993; 85:
1113 sudah pernah ditcrbitkan di Majalah Ilmu Pcnyakit Dalam Surabaya, vol. 17, no.
2, AprilJuni 1991, hal. 3844.
Dalam karangan tersebut, Tabe12 seharusnya seperti yang tercantum di bawah ini :
Tabel 2. Prevalensi AntiHCV dikaitkan dengan HllsAg
HBsAg +
N
HCV+
HllsAg HCV+
Hepatitis menahun
Sirosis hati
NLD
8
4
n
0
1
0
%
0
25
47
56
n
27
37
0
%o
57.4
66
Jumlah
12
8.3
103
64
62
Jumlah
N
55
60
39
HCV+
n
27
38
0
%
49,1
63.3
0
PENDAHULUAN
Mata kadang-kadang dipandang sebagai sasaran khusus
untuk proses imunologi(1,2). Dalam kenyataannya kelainan
imunologik lebih banyak tampak pada mata dibanding dengan
organ lain di badan, sebab organ lain pada saat terjadi serangan
tetap dalam keadaan "tenang". Kelainan mata yang dijumpai
akibat proses imunologik dapat berupa konjungtiva yang hiperemi, khemosis, dan disertai rasa sakit. Jika proses imunologik
menyangkut kornea, dapat ditandai oleh hiperemi konjungtiva,
epifora, fotofobia, dan kabur, kadang-kadang timbul rasa sakit.
Kekaburan yang berat akibat proses imunologik pada kornea
dapat menyebabkan kebutaan.
Parut kornea karena ulkus kornea merupakan penyebab
terbesar kebutaan dan pengurangan penglihatan di mana-mana di
dunia. Kebanyakan proses kebutaan atau pengurangan penglihatan
ini dapat dicegah, bilamana diagnosis sitologik ditegakkan
seawal mungkin dan ditangani secara benar(1).
Beberapa peneliti telah melaporkan tentang ketidakberhasilan menangani berbagai keratitis. Suwono (1988r) menerangkan, bahwa dari 8 kasus ulkus kornea dengan hipopion pada
tahun 1987 terdapat 6 kasus sembuh, sedangkan 2 kasus mengalami eviserasi karena endoftalmitis. Syawal (1988)(3) meneliti
25 penderita ulkus kornea antara tahun 19841987 dan 4 penderita di antaranya mengalami eviserasi. Panda dan Gupta (1991)(5)
meneliti 91 mata dengan ulkus kornea karena bakteri stafilokok
yang menunjukkan, bahwa lebih dari 60% spesimen resisten
terhadap pemberian kloramfenikol dan kloksasilin dan 2 mata
terjadi endoftalmitis. Selanjutnya Rahman dan Dhaka (1991)
melaporkan, bahwa keratitis jamur hanya 35% yang responsif
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang
bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik dan didapat. Ada 2
macam imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang
6.
Keratokonjungtivitis epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika kemungkinan kuat merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang terjadi karena infeksi
adenovirus tipe 8. Mengingat bahwa pemberian kortikosteroid
topikal menunjukkan perbaikan, berarti ini sangat mungkin merupakan reaksi hipersensitivitas. Beberapa penderita menunjukkan kekambuhan setelah 2 tahun, bilamana pemberian kortikosteroid dihentikan sama sekali. Oleh karena itu kortikosteroid
harus diberikan hanya jika kekeruhan kornea yang letaknya
sentral dan mengganggu visus serta adanya keluhan subyektif(7).
BEBERAPA PRINSIP PENANGANAN
Pada dasarnya untuk mempertahankan imunitas, diperlukan rangsangan atau penekanan pada aspek tertentu dari
respon imun. Obat-obat yang diberikan adalah :
a) Imunosupresif
Yang termasuk dalam imunosupresif ini ialah: obat antimitotik atau sitostatik, kortikosteroid, serum antilimfositik dan
radiasi. Upaya ini ditujukan untuk menekan peradangan sebagai
reaksi imunogenik atau mcngawasi reaksi penolakan pasca keratoplasti. Seyogyanya lebih baik menekan respon imun secara
selektif.
b) Penanganan respon alergi
Mekanisme yang tepat mengenai reaksi alergi tidak jelas.
Mungkin alergi merupakan suatu produksi berlebihan dari IgE.
Pendekatan farmakologi adalah memodulasi efek mediator pada
se target mclalui penggunaan antihistamin, kortikosteroid,
vasokonstriktor, dan inhibitor prostaglandin. Epincfrin bar-
c)
d) Antibodi monoklonal
Antibodi monoklonal yang murni barn dapat berguna dalam
oftalmologi baik sebagai alat diagnostik maupun sebagai imunoterapi untuk menangani penyakit.
Pertahanan imunologik dari mata bagian luar
Permukaan mata secara tetap terpapar bahan toksik, antigenik, dan serangan mikrobiologik. Untuk melindungi mata
bagian luar terdapat mekanisme pertahanan yang non-spesifik,
misalnya air mata, flora di konjungtiva serta pertahanan terhadap
kerusakan epitel kulit, konjungtiva dan kornea. Sedangkan
mekanisme pertahanan imunologik spesifik terdiri dari limfosit
di bawah epitel yang mendeteksi antigen, selLangerhans dan IgA
yang terdapat dalam air mata.
1.
2.
3.
4.
5.
e)
RINGKASAN
Telah dibicarakan laporan beberapa peneliti mengenai penanganan berbagai keratitis yang tidak berhasil. Telah dibicarakan pula dasar imunitas, 4 tipe reaksi hipersensitivitas secara
sederhana dan pengejawantahan reaksi imunologik di kornea.
Pengejawantahan di kornea sebagai ulkus Mooren, reaksi penolakan pasca keratoplasti, keratitis herpes simplek dan beberapa
keratitis lainnya juga dibahas. Ulkus Mooren merupakan pe-
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Vaughan DS, Asbury T. General Ophthalmology. Lange Medical Publication, Los Altos, California. 1986.
Smolin G, O'Connor GR. Ocular Immunology, 2nd ed. Little and Brown
Company, Boston. 1986.
Soewono W. Penatalaksanaan ulkus kornea karena bakteri di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, Kongres PERDAMI VI, Semarang. 1988.
Syawal R. Ulkus kornea di RSU Ujung Pandang. Kongres PERDAMI VI,
Semarang. 1988.
Panda A, Gupta SK. Topical fusidic acid therapy of chloramphenicol and
cloxacillin resistant staphylococcal keratitis. XIII Congress of the A.P.
A.O, Kyoto, Japan. 1991.
Hoetaryo N. Pengaruh debridemen pada penyembuhan keratitis superfisialis. Kongres PERDAMI VI, Semarang. 1983.
Bloomfield SF. Clinical allergy and immunology of the external eye.
Dalam: Duane TD, Jaeger EA. (eds): Clinical Ophthalmology, vol. 4.
Harper & Row Publisher, Philadelphia. 1986.
Suyoto, Sutomo N. Tes-tes kulit untuk penyakit kulit alergi, dalam Kumpulan makalah Simposium Penyakit Kulit Alergi, FK UGM, Yogyakarta.
1981.
O'Day DM, Jones BR. Herpes simplex keratitis. Dalam: Duane TD, Jaeger
EA. (eds): Clinical Ophthalmology, vol. 4. Harper & Row Publisher, Philadelphia. 1986.
Harley RD. Pediatric Ophthalmology, 2nd ed., vol. II. WB. Saunders
Company, Philadelphia. 1983.
Flicker L, Ramakrishnan M, Seal D, Wright P. Role of cell-mediated
immunity to staphylococci in blepharitis. Am. J. Ophthalmol 1991; III:
473-479.
Arjatmo T. Dasar-dasar imunologi penyakit kulit alergi, dalam Kumpulan
makalah Simposium Penyakit Kulit Alergi, FK UGM, Yogyakarta.
Ohnishi N, Shimakawa M, Kawada N, Shirataki M. A case of the stromal
keratitis associated with tuberculosis. XIII Congress of the A.P.A.O,
Kyoto, Japan. 1991.
SINOPSIS
Setelah pembangunan kesehatan telah berhasil mengatasi penyakit infeksi bakteriil,
parasit dan mikosis dengan berbagai obat antibiotika dan penataan sanitasi lingkungan,
maka infeksi viral yang tidak sensitif terhadap pengobatan antibiotika ini akan semakin
meluas di masyarakat, termasuk penyakit viral mata.
Hingga sekarang, obat-obat anti-viral telah mulai ikut berkembang maju, tetapi
yang lebih penting adalah: bagaimana menangani dan mengatur strategi pengobatannya,
mengingat patogenesis dari berbagai macam virus yang menyerang mata ternyata
beraneka ragam sesuai dengan golongannya, apakah golongan virus DNA, virus RNA,
atau golongan kuman yang terlalu besar dimensinya untuk dikatakan sebagai virus,
yaitu Chlamydia yang intinya mengandung materi biogenetik DNA maupun RNA,
suatu bakteri intraseluler sangat kecil, bersifat basofilik penyebab penyakit trachoma
(own Chlamydia trachomatis) dan penyakit keputihan/vaginal discharge yang disertai
radang mata disebut cervicitis-urethritis di sertai conjunctival blennorrhea (yang disebabkan oleh Clamydia oculo-genitale), dan apabila penyakit ini tidak diobati akan menyebabkan kebutaan; sebenarnya kedua kuman ini sangat sensitif terhadap antibiotika rutin
misalnya sulfonamida atau eritromisin.
Sederetan golongan virus RNA yang sering menyerang mata segmen anterior misalnya: Rubeola, Influenza, Mumps, semuanya hanya menyebabkan keratitis punctata
yang ringan sampai sedang saja, dan 'conjunctivitis, folikuler yang. berair, merupakan
penyakit yang akan sembuh sendiri (self-limiting disease), sedangkan pengobatannya
hanyalah suportif murni. Virus Rubella dan Cytomegalovirus (CMV) yang permulaan penyakitnya tidak kentara (insidious) dapat pula menjadi sistemik dan dampaknya
akan menghancurkan retina mata sedikitdemi sedikit. InfeksiRubella bersifat kongenital,
dapat menyebabkan keratitis bcrat, glaukoma dan chrorio-retinitis. Sedangkan CMV
kongenital maupun yang menyerang setclah kelahiran (acquired infection) selalu
merusak retina dan meinerlukan pengobatan khusus. CMV sebenarnya termasuk golongan virus DNA seperti: HSV (Herpes Simplex Virus) VZV (Varicella Zoster Virus, yang
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI, 9-10 Juli 1993
di Yogyakarta
biasanya salah disebiut Herpes Zoster Ophthalmicus) Adenovirus dan Vaccinia virus
Deretan virus-virus inilah yang akan menjadi fokus pembicaraan, mengingat patogenesisnya, cara penyebaran yang cepat di masyarakat, dan dampaknya sangat kompleks pada
organ-organ tubuh; jadi perlu dimengerti lcbih dahulu karena berkaitan sekali dengan
strategi pengobatannya, yang masing-masing memerlukan kekhususan pula.
Dalam pengalaman klinik, pengelolaan infeksi golongan virus RNA lebih mudah
dibandingkan dengan penanganan golongan virus DNA, karena virus DNA dapat langsung
menginfeksi masuk ke dalam inti sel inangnya, tidak terbatas hanya masuk ke sitoplasmasel seperti halnya virus RNA. Seandainya sel dirusakkan atau dimatikan oleh virus RNA,
maka setelah virus dieliminasi olch tubuh inang (oleh AB anti-viral, atau oleh mekanisme
lain), tubuh masih selalu siap untuk membangun/merevisi kembali sel-sel tersebut, sehingga penderita dapat segera menuju ke kesembuhan total. Sebaliknya sel yang intinya
terinfeksi DNA virus, sel tetap hidup lama, yang kemudian disebut sebagai infeksi laten.
HSV sebagai virus DNA dalam pengobatan mempunyai keunikan tersendiri, misalnya sifat biogenetiknya pada untaian DNA selalu ikut maju secara alamiah mengikuti
pengaruh lingkungan; yaitu HSV semula selalu sensitif terhadap Acyclovir karena
mensintesis enzim Thymidine kinase (sebagai HSV dengan TK-positif), kemudian apabila terus menerus diberikan obat Acyclovir, virus akan melepaskan gena TK-nya, dan
generasi selanjutnya akan memproduksi anak-anak virion baru dengan DNA yang TK
negatif, sehingga HSV-TK negatif ini akan kebal terhadap pengobatan dengan Acyclovir,
sehingga perlu pengobatan alternatif yang lain.
Kunci kata : Infeksi viral penyakit mata patogenesis golongan virus DNA/RNA/
Chlamydia kemajuan sifat biogenetik virus strategi pengobatan
antiviral.
PENDAHULUAN
Sebagian virus yaitu golongan Neurovirus, selain menyerang mata, sering pula menyerang organ-organ sistim susunan
saraf perifer maupun saraf pusat, atau sebaliknya. Sedang proses
patogenesisnya pada organ mata sendiri sangat beragam, tidak
selalu sama di antara virus DNA dan RNA, tergantung pula pada
kondisi tubuh inang/penderita waktu terserang (sangat individuil), kemudian disusul oleh dampak imunologinya. Situasi ini
perlu dipahami dalam menangani masalah penyakit virus.
Virus merupakan suatu partikel biologik yang dapat menyebabkan penyakit, mempunyai dimensi sangat kecil antara 10-300
nanometer, tersusun atas molekul protein atau glikoprotein yang
menyelubungi segulung untaian molekul asam nukleat RNA
atau DNA saja (tidal( pernah bersama-sama) dan tidak mampu
memperbanyak diri tanpa masuk lebih dahulu ke dalam sel hidup
yang akan dimanfaatkan untuk mengadakan sintesis biologik
yang unik bagi generasinya, energi dan sistim ensimatik sel hidup
tersebut dimanfaatkan sehingga inti materi genetik DNA/RNA
dapat digandakan dan selanjutnya diproduksi anak-anak virion
baru dari bahan protein sitoplasma sel penderita dan siap menginfeksi sel lain; virus merupakan mikroorganisme bersifat parasitis obligat, absolut dan mutlak pada tingkat genetik.
Dasar ini mengawali pengertian tentang virus yang susunan
dan fisiologinya berbeda dengan mikroorganisme bakteriil atau
mikosis yang telah mempunyai organella lengkap. Golongan
virus RNA perlu masuk ke dalam sitoplasma sel, karena di
sinilah program replikasinya dilaksanakan, sedangkan golongan
virus DNA, invasi genetiknya harus sampai di inti-sel inang,
sehingga meskipun sel telah mati, masih terdapat sebagian sel
sel-sel yang masih hidup dapat mengadakan revisi dan penyembuhan total bagi penderita akan lebih terjamin. Apabila virus
golongan DNA maka sel akan diinfeksi untuk seterusnya (persisten) yang mengakibatka adanya rekurensi; hal ini kemudian
memberi kesempatan golongan virus onkogenik masuk ke dalam sel-target tubuh, mengubah susunan gena materi genetik sel
sehingga menyebabkan generasi sel selanjutnya menjadi sel
tumor ganas (leukemia atau karsinoma).
Partikel virus dijemput oleh tonjolan-tonjolan membran-sel
dan langsung diinternalisasi di ujung tonjolan, kemudian berbondong-bondong mengitari Zona Golgi; di sini virus melepaskan
materi biogenetik asam nukleatnya ke dalamnya. Setelah Zona
Golgi mendekati inti-sel, maka program biosintesis asam nukleat
(DNA) inti turut diubah sesuai dengan asam nukleat virus
infeksi HSV merupakan infeksi lat.en atau virusnya selalu persisten; hat ini cocok untuk menera situasi IgG dalam darah
terhadap titer Ab protektif.
Prinsip ikatan Ab anti-gB dengan antigen gB viralnya yang
dapat dipantau dengan sistim pemcriksaan Phassay-HSV: menempelkan komponen glikoprotcin gB virus (HSV-1 atau HSV2) ke permukaan scl eritrosit domba (= disensitisasikan) supaya
nanti dapat mengikat Ab anti-gB pendcrita, ikatan ini akan
menludahkan mcngendap bersama (peristiwa hemaglutinasi).
Tabel 2.
Infeksi
Kelainan utama
Kelainan lain
Toksoplasma
Hidro/mikrosefalus
Korioretinitis
Kalsifikasi intrakranial
Hepatosplenomegali
Ikterus, limfadenopati,
retardasi psikomotor
Rubella
Hepotosplenomegali,
trombositopeni, retardasi
psikomotor
Cytomegalovirus
Mikrosefali, tali
Kalsifikasi intrakranial
hepatosplenomegali,
trombositopeni, purpura,
korioretinitis, retardasi
psikomotor
Herpes simpleks
Mikrosefali
Korioretinitis, hepatitis,
retardasi psikomotor,
intrapartum
PENGOBATAN ANTIVIRAL
Pengobatan penyakit HSV yang sudah diketahui titer Abprotektif penderitanya, berpedoman pada tingginya titer Ab tersebut, tanpa memandang apakah Ab ini berupa IgM atau IgG;
karena HSV biasanya merupakan infeksi persisten, IgG yang
menjadi topik penilaian terjadinya reaktivasi atau rekuren seandainya titer Ab penderita menurun sampai di bawah 1/25.000.
Tetapi apabilapenderita belum pemah terserang HSV, IgM harus
positif, dan kadang-kadang IgG masih rendah sekali (sekitar 1/
100 -1/6.400); ini merupakan penderita infeksi primer. Keduanya dapat langsung diberikan obat anti-viral yang sesuai (lihat
daftar). Setelah titer Ab telah cukup protektif (biasanya di atas
1/25.600) dan gejala-gejala hilang (mereda), pengobatan dianggap cukup.
Tabel 3.
Pemilihan pemeriksaan diagnostik laboratorik untuk menentukan kepastian infeksi-viral intra-uterin sesuai screening gejala
Infeksi-viral
1. Rubella virus
Persiapan spesimen
Skrining gejala :
Penentuan Diagnostik
Laboratorium
Demonstrasi titer Ab. anti
Rubella (I & II)
* Pengamatan IgM-IgG
Demonstrasi titer Ab. anti
CMV dan pclacakan Ab
IgM spesifik CMV, kalau
perlu IgG spesifik
Demonstrasi titer Ab. anti
HSB tanpa memperhatikan Ab IgM spesifik antiIiSV
Pemeriksaan titer Ab IgGanti HSV secara PhassayIISV telah cukup betmakna untuk pegangan
para klinisi
Haksohusodo S, 1989
KESIMPULAN
1. Infeksi viral pada mata mempunyai manifestasi klinik beragam, merupakan perpaduan antara perbedaan biogenesis/patogenesis golongan virus DNA/RNA dan dampak imunologinya.
Hal ini dapat memberi pedoman dalam menentukan strategi
pengobatan anti-viral.
2. Profil titer Ab anti-glikoprotein gB virus HSV yang spesifik,
diperiksa dengan uji Phassay-HSV dapat memberi petunjuk akan
Tabel 4.
Tabel 6.
Manifestasi
klinik
Etiologi
penyakit
Keterangan :
*) Kadang-kadang manusia dapat terinfeksi oleh virus Herpes Rhesus-B
dengan prognosis jelek
Tabel 5.
Non-purulent
conjunctivitis
* Herpetic keratitis
(Herpes comcalis)
* Purulent conjunctivitis
* Dendritic kcratitis
(HSV rckurcns)
* Herpetic conjunctivitis
anak
Etiologi
penyakit
CMV - Rubella
VZV
(varicella zoster
virus)
a) Chlamydia trachomatis (bukan
virus)
b) Chlamydia oculogenital (bukan
virus)
Virus Measles
HSV TK (+)
kadang-kadang
oleh :
HSV TK (+)
Kemungkinan
pengobatannya
* Adenine Arabinoside
* Ganciclovir (CMV
kongenital)
* Foscamet (Phosphonoformiat)
* Vaccine (sebelum
transplantasi ginjal)
* Acyclovir
* Vidarabin) tak efektif
* Simptomatis
* Acyclovir, IDU,
Vidarabin
Sulfonamide, Oxytetracyclin, Eritromisin
Sulfonamide, Tetracyclin,
Eritromisin
Simptomatis,
suportif mumi
* Simptomatis, Acyclovir*),
* Vidarabin*)
* 5-jodo-2-deoxyuridine
& obat-obat inhibitor
sintesis DNA
Keterangan :
*) Apabila titer Ab anti HSV penderita telah melampaui titer Ab. prolektif
(1/25.600) obat anti-viral TIDAK diberikan
a) Acyclovir,
simptomatik, suportif
b) Vidarabin mungkin
dapat pada awal
infeksi, C.I. untuk
selanjttnya
c) IDU tidak efektif +
C.I. (Meskipun in vitro
sensitif)
d) Vaksinasi (hanya untuk
militer, tidak praktis
untuk masyarakat
umum
Conjunctivitis
Simptomatik, suportif
Conjunctivitis, keratitis,
kerato-conjunctivitis
Blepharitis ulcerativa
Simptomatik, suportif
Simptomatik, Acyclovir,
Idoxuridine
Keratitis punctata
ringan/sedang,
conjunctivitis follicular
yang berair
Rubeola,
Influenza,
Mumps
Simptomatik, suportif
Hemorrhagic follicular
conjunctivitis + keratitis
punctata (pandemik)
Apollo II
Adenovirus 3 + 7
kadang 1, 4-6, 14
Adenovirus 1-3,
7+8, 9, II, 19
Kemungkinan
pengobatannya
Keterangan :
*) Picornaviridae
pada infeksi primer atau proses reaktivasi dengan titer Ab antiviral lebih rendah dari 1/25.600, langsung diberi pengobatan
anti-viral yang sesuai.
3. Diagnostik laboratorik perlu diusahakan lebih cepat setelah
diagnostik klinik telah jelas, sehingga pengobatan anti-viral
(yang mahal) dapat dihindarkan, seandainya etiologi penyakit
bukan virus tetapi hanya Chlamydia yang pengobatannya cukup
antibiotika sulfonamid atau eritromisin. Sedangkan apabila golongan virus RNA yang tidak berbahaya (self limiting disease)
cukup dengan pengobatan suportif murni.
4. Proteksi terhadap infeksi viral golongan virus DNA adalah
mutlak harus diusahakan (lihat tabel pengobatan) mengingat
virus ini cepat menyebar di masyarakat (misalnya HSV/CMV)
yang dapat menyerang mata pada janin, anak, dewasa sampai
masyarakat manula. Vaksinasi untuk penyakit-penyakit ini sedang
dalam proses pemantapan.
.r
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Rejeksi Transplan
Bondan Harmani
Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Pada beberapa keadaan, transplantasi kornea merupakan
satu-satunya cara untuk memperbaiki tajam penglihatan dan
mengembalikan seseorang pada kehidupan sosial yang normal.
Tetapi pada kenyataannya, kemungkinan untuk terjadinya kekeruhan kornea yang disebut rejeksi transplan tetap merupakan
risiko yang harus dihadapi.
Beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya rejeksi dan
cara-cara untuk menanggulanginya telah banyak diperdebatkan.
Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut maka kemungkinan rejeksi ini dapat dikurangi.
DEFINISI
Gagal transplan (graft failure)
Kekeruhan transplan yang terjadi sebelum 2 minggu pasca
transplantasi atau dalam hal ini transplan tidak pernah mengalami masa jernih setelah transplantasi. Merupakan terminologi
umum untuk kekeruhan transplan.
Gagal transplan dihubungkan dengan :
a) Kualitas donor
Terdapat kerusakan sel endotel donor sehingga sejak hari
pertama, transplan tampak menebal, dengan lipatan-lipatan
membran Descemet. Walaupun kadang-kadang reversibel, tetapi bila kerusakan sangat berat dan menetap setelah beberapa
minggu tanpa mengalami kejernihan, maka transplan dalam
kcadaan irreversible.
b) Trauma operasi
Bilik mata depan yang dangkal menyebabkan pergeseran sel
endotel dengan permukaan iris; perlekatan vitreous dengan endotel
scrta tindakan-tindakan mekanik, selama operasi atau irigasi
yang berlebihan akan menycbabkan disfungsi endotel dan edema
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di
Yogygkarta
kornea.
Rejeksi transplan (graft rejection)
Kekeruhan yang terjadi 23 minggu setelah transplantasi di
mana transplan mengalami masa jernih sebelumnya merupakan
terminologi yang dihubungkan dengan proses imunopatofisiologi. Perihal rejeksi transplan akan dibicarakan lebih lanjut.
Antigen
Antigen merupakan suatu protein kornea yang dapat diperoleh dengan berbagai cara, antara lain elektroforesis, imunoelektroforesis, imunodifusi dan lain-lain. Pada kornea bovine
didapatkan 615 antigen. Padapenelitian dengan kornea manusia,
IgG dan IgA didapatkan setengah sampai seperlima bagian
serum, sedangkan IgM didapatkan dalam jumlah yang lebih
sedikit.
Remky mendapatkan bahwa pada epitel kornea lebih
banyak mengandung antigen dibandingkan stroma, dengan
demikian ia berpendapat bahwa stroma kornea donor tidak berpengaruh pada proses rejeksi.
Penelitian terakhir mendapatkan antigen histocompatibility
dalam proses rejeksi. Antigen ini terdapat pada seluruh permukaan sel dan berbeda secara individu. Hal ini yang diperkirakan
mengapa pada seseorang dapat terjadi rejeksi sedangkan yang
lainnya tidak. Antigen ini disebut Human Leucocyte Antigen
(HLA). Didapatkan HLA-A, B, C dan DR. Peranan yang tepat
dari masing-masing HLA ini masih diperdebatkan, tetapi didapatkan konsensus bahwa HLA memang memegang peranan
penting dalam proses rejeksi.
MEKANISME REJEKSI
Masih menjadi tanda tanya di mana terjadi interaksi antara
KEPUSTAKAAN
Smolin G. Ocular Immunology. Lea & Febiger Philadelphia 1981; hal.
247-283.
Smolin G. Inmmunology, The Cornea. Little, Brown and Company,
Boston/Toronto 1983; 95-97.
Volker-Diben HJ. The Effect of Immunological and Non-Immunological
Factors on Cornea Graft Survival. Dr W Junk Publisher/The HaqueBoston-Lancester 1984; 67-77.
Going to church doesn't make you. a Christian any more than going
to garage makes you an automobile
(Billy Sunday)
PENDAHULUAN
Dengan makin berkurangnya penyakit infeksi dan malnutrisi maka peran penyakit genetik menjadi sangat penting(1).
Kalau dahulu penyakit genetik biasanya hanya dihubungkan
dengan masalah kecacatan bawaan, maka saat ini diketahui
bahwa faktor genetik bahkan berperan pada kejadian beberapa
penyakit infeksi seperti difteri, dan adanya asosiasi antara HLA
dengan penyakit tertentu.
Penyakit genetik sangat banyak macamnya, tetapi kebanyakan frekuensi masing-masing penyakit genetik sangatlah
kecil. Namun demikian ada beberapa macam penyakit genetik
yang sering ditemukan pada etnik tertentu atau di daerah tertentu,
misalnya penyakit Tay-Sachs pada orang Jahudi Askenazik,
penyakit anemia sel sabit pada orang-orang Negro, penyakit
talasemia pada orang-orang di sekitar laut Tengah, dan anensefali
pada orang-orang Irlandia(2).
McKusick (1990) dalam edisi ke-9 bukunya yang terkenal
dengan singkatan MIM (Mendelian Inheritance in Man) atau
juga dikenal sebagai katalog McKusick, tclah mengumpulkan
kira-kira 5000 karakter monogenik atau yang diwariskan
mengikuti hukum Mendel, dan 4000 di ant9ranya adalah merupakan karakter abnormal (penyakit). Dari 5000 karakter tadi
2000 diantaranya tclah diketahui letak genanya di dalam
kromosom inti sel(3).
Disampaikan pada Seminar RED-Kornea-Uvea Perdarni XXI, 9-10 Juli 1993
di Yogyakarta
tumor atau tumor suppresor gene(11). Ternyata gen untuk timbulnya tumor Wilms ini sangat berdekatan letaknya dengan gen
untuk aniridia-2, yaitu pada 11p13. Delesi pada 11p13 ternyata
mempunyai asosiasi dengan sindrotm WAGR (Wilms tumor,
Aniridia, Genitourinary anomalies, and mental Retardation).
Keadaan demikian adalah serupa dengan asosiasi antara delesi
13q14 dengan retinoblastoma(12). Demikian pula teori dua kali
mutasi dari Knudson juga berlaku untuk tumor Wilms(11).
Kalau asosiasi antara delesi 13q14 pertama kali ditemukan
oleh Miller et al pada tahun 1964, maka asosiasi antara delesi
11p13 dengan sindrom WAGR ditemukan oleh Riccardi et at
pada tahun 1978(3). Jadi aniridia-2 dapat berdiri sendiri atau
sebagai bagian dari sindrom WAGR.
Demikian pula tumor Wilms juga bisa berdiri sendiri atau
sebagai bagian dari sindrom WAGR. Rupanya patahan pada
11p13 akan menyebabkan aniridia-2, sedangkan delesi daerah
11p13 akan menyebabkan sindrom WAGR. Dengan demikian
adanya aniridia yang disertai kelainan genitourinaria atau retardasi mental perlu dicari apakah juga menderita tumor Wilms
dengan pemeriksaan USG berkala.
d) Pupil ektopik
Pupil ektopik biasanya merupakan bagian dari ektopia lentis
dan pupil. Ektopia lentis dan pupil merupakan 719% dari keseluruhan ektopia lentis, dan ektopia lentis tanpa ektopia pupil
adalah 8190%(13).
Pada kelainan ini pupil berbentuk lonjong atau berbentuk
celah, terletak ektopik, dan sulit dilatasinya. Kelainan ini biasanya bilateral, asimetris, dan kadang-kadang terdapat mikrosferofakia. Katarak, glaukoma, dan ablasio retina dapat menyertai
kelainan ini(13). Pupil ektopik dapat pula vertikal sehingga
menyerupai mata kucing (Sorsby, 1951).
Mengenai pewarisan pupil ektopik telah diperlihatkan oleh
Waardenburg pada tahun 1932. Kelainan ini sebagian diwariskan secara dominan autosom dan sebagian diwariskan secara
resesif autosom (Sorsby, 1951; Nelson & Maumene, 1986).
e) Kelainan bentuk iris yang lain
Beberapa sindrom genik maupun kromosomik sering disertai adanya kelainan bentuk iris yang abnormal. Beberapa
sindrom yang perlu disebutkan adalah(14) :
1) Sindrom kuku-patela
Sindrom ini mempunyai tanda utama berupa displasia
kuku, hipoplasia patcla, dan spina iliaka yang menonjol. Pada
penderita ini kadang-kadang ditemukan iris yang berbentuk daun
semanggi. Sindrom kuku-patela diwariskan secara dominan
autosom.
2) Neurofibromatosis
Neurofibromatosis merupakan salah satu anggota fakomatosis (hamartoma) dengan tanda utama berupa neurofibromata
multipcl, bcrcak kulit warna kopi susu (tache cafe au tail), dan
lesi tulang. Pada iris pendcrita suing ditemukan nodula Lisch
(hamartomata iris pigmentosa). Penyakit ini diwariskan secara
dominan autosom dengan ekspresivitas yang sangat beragam.
3) Sindrom okulodentodigital
Sindrom ini ditandai oleh mikroftalmia, hipoplasi email, dan
HLA-B27.
d) Iridosiklitis tanpa varian rematoid
Insidensi uveitis anterior akuta ternyata ditemukan lebih
sering pada keluarga derajat satu dari penderita uveitis anterior
akuta yang mempunyai HLA-B27. Di Negeri Belanda kira-kira
50% penderita uveitis anterior akuta mempunyai HLA-B27.
e) Iridosiklitis pada artritis rematoid juvenilis
Artritis ini merupakan satu bentuk artritis rematoid juvenilis, berupa monoartritis atau pausiartritis, sering terjadi pada
pria. Sebanyak 1020% kasus juga menderita uveitis anterior
akuta, dan 75% dari mereka mempunyai HLA-B27.
Mengapa HLA tertentu (misalnya HLA-B27) memperlihatkan asosiasi dengan penyakit tertentu (misalnya spondilitis
ankilosa) masih kabur. Untuk menerangkan hal ini ada dua
hipotesis(18) :
1) Hipotesis rangkai gen, misalnya kepekaan terhadap spondilitis ankilosa paling tidak sebagian disebabkan oleh satu alel
Ank, yang merupakan gen yang letaknya dekat dengan lokus
HLA-B. Diperkirakan terdapat ketidakseimbangan rangkai gen
(linkage disequilibrium) dari ank B27, artinya bahwa gen Ank
lebih sering bersama dengan HI,A-B27 dibanding dengan HLAB yang lain yang diharapkan apabila terjadi kombinasi secara
acak.
2) Hipotesis efek antigen, yang mengatakan bahwa polipeptida
yang dibentuk atas perintah (dikode oleh) alel B27 menyebabkan
individu peka terhadap penyakit spondilitis ankilosa. Mungkin
antigen B27 adalah reseptor permukaan sel untuk virus atau
patogen yang lain. Atau molekul B27 mungkin menycrupai antigen suatu patogen, sehingga antibodi yang ditunjuk untuk melawan patogen juga menyerang jaringan host yang membawa
antigen B27.
14.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Emery AEH, Mueller RF. Element of Medical Genetics, 7th ed. ChurchillLivingstone, Edinbvurg. 1988.
Garver KL, Nora H. Genetics of Man. Lea & Febiger, Philadelphia. 1975.
McKusick VA. The Morbid Anatomy of the Human Genome. Howard
Hughes Medical Institute, Bethesda. 1988.
Lamy M. Genetique Medicale, 2eme ed. Masson & Cie Editeurs, Paris.
1975.
Robert JM, Plauchu H. Genetique. dalam Debre R, Royer P (eds):
Collection Pediatric. Flammarion Medicine Sciences, Paris 1977. pp. 2937.
Scheie HG, Albert DM. Textbook of Ophthalmology, 9th ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia. 1977.
Barber AN. Embryology of Human Eye. St. Louis: C.V. Mosby Co., 1955.
Hittner HM, Roccardi VM, Ferrel RE, Borda RR, Justice J. Variable
expressivity in autosomal dominant aniridia by clinical electrophysiologic
and angiographic criterias. Am. J. Ophthalmol 1980; 89: 53-9.
Mints-Hittner HA, Ferrel RE, Lyons LA, Kritzer FL. Criteria to detect
minimal expressivity with families with autosomal dominant aniridia. Am.
J. Ophthalmol 1992; 114: 700-7.
Gates RR. Human Genetics. Vol. I. The Mac Milian Company, New York.
1952.
Thompson WM, Mc Innes RR, Willard HF. Thompson & Thompsor
Genetic in Medicine, 5th ed. W.B. Saunders Company, Philadephia. 1991.
DeGrouchy J, Turleau C. Clinical Atlas of Human Chromosomes, 2nd ed.
John Wiley & Sons,. New York. 1984.
Nelson LB, Maumene IH. Extopia lentis, dalam Renie WA (ed): Goldberg's Genetic and Metabolic Eye Disease, 2nd ed. Little, Brown and Co,
Boston 1986. pp. 183-195.
Gorlin RJ, Cohen MM, Levin LS. Syndromes of the Head and Neck, 3rd
ed. Oxford University Press, New York. 1990.
Fraser FC, Nora H. Genetics of Man. Lea & Febiger, Philadelphia. 1975.
Jones KL. Smith's Recognizable Pattern of Human Malformation, 4th ed.
W.B. Saunders Company, Philadelphia. 1988.
Asher JH, Friedman TB. Mouse and hamster mutants as models for
Waardenburg syndrome in human. J. Med. Genet. 1990; 27: 618-26.
Mange AP, Mange EJ. Genetics: Human Aspects, 2nd ed. Sinauer Associate Inc., Sunderland. 1990.
Bach ML, Bach FH. Genetics of Histocompatibility, dalam McKusick VA,
Claiborne R (eds): Medical Genetics. H.P. Publishing Co. Inc., New York.
1873.
Smith RE, Nozik RA. Uveitis: A Clinical Approach to Diagnosis and
Management. William & Wilkins, Baltimore. 1980.
Merim S. Inherited Eye Diseases: Diagnosis and Clinical Management.
Marcel Dekker Inc., New York. 1991.
McKusick VA. Mendelian Inheritance in Man.9th ed. The Johns Hopkins
University Press, Baltimore. 1990.
PENDAHULUAN
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah
kesehatan mata sebab kelainan ini menempati urutan kedua
dalam penyebab utama kebutaan. Kekeruhan kornea ini terutama
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa bakteri, jamur
dan virus dan bila terlambat didiagnosis atau diterapi secara tidak
tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan
jaringan perut yang luas(1,2,3). Infeksi jamur pada kornea atau
keratomikosis merupakan masalah tersendiri secara oftalmologik, karena sulit menegakkan diagnosis keratomikosis ini,
padahal keratomikosis cukup tinggi kemungkinan kejadiannya
sesuai dengan lingkungan masyarakat Indonesia yang agraris
dan iklim kita yang tropis dengan kelembaban tinggi(2,4). Setelah
diagnosis ditegakkan, masalah pengobatan juga merupakan
kendala, karena jenis obat anti jamur yang masih sedikit tersedia
secara komersial di Indonesia serta perjalanan penyakitnya yang
sering menjadi kronis.
INSIDENSI
Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah dilaporkan pada
tahun 1879 oleh Leber, tetapi baru mulai periode 1950-an kasuskasus keratomikosis diperhatikan dan dilaporkan, terutama di
bagian selatan Amerika Serikat dan kemudian diikuti laporanlaporan dari Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Banyak laporan
menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan
peningkatan penggunaan kortikosteroid topikal,penggunaan obat
immunosupresif dan lensa kontak, di samping juga bertambah
baiknya kemampuan diagnostik klinik dan laboratorik, seperti
dilaporkan di Jepang dan Amerika Serikat. Singapura melaporkan (selama 2,5 tahun) dari 112 kasus ulkus kornea, 22 beretiologi jamur, sedang di RS Mata Cicendo Bandung (selama 6
dicidin.
2) Golongan Imidazoles: Clotrimazole, Miconazole, Ketoconazole.
3) Golongan Benzimidazole: Thiabendazoles.
4) Halogens: Yodium.
5) Antibiotik lain: Cyloheximide, Saramycetin, Griseofulvin.
6) Pyrimidine: Flucytosine.
7) Lain-lain: Thimerosal, Tolnaftate, Cu-sulfat, Gentian Violet.
Antibiotik polyene :
Berdaya anti fungi karena mengganggu permeabilitas
membran jamur sehingga terjadi ketidakseimbangan intraseluler.
Polyene dengan molekul kecil seperti Natamycin menyebabkan
lisis permanen membran dibanding perubahan reversibel oleh
yang bermolekul besar seperti Nystatin, Amphotericin B. Tidak
larut dalam air dan tidak stabil pada oksigen, cahaya, air, panas.
Golongan ini mempunyai daya antifungi spektrum luas tapi tidak
efektif terhadap Actinomyces dan Nocardia.
Nystatin semula tersedia secara komersial di Indonesia,
tetapi sekarang sedang tidak diproduksi. Mungkin bisa dibuat
dari tablet Mycostatin (500.000 unit/tablet) dengan konsentrasi
100.000 unit/ml, walaupun vehikulum talknya iritatif terhadap
kornea dan konjungtiva.
Amphotericin B 0,1% tersedia secara komersial dan bila
diragukan kestabilannya, bisa dibuat dari preparat perenteral
dengan mengencerkannya dengan akuades. Prepanat Amphotericin B iritatif terhadap kornea dan konjungtiva. Obat ini
efektif terhadap Aspergillus, Fusanium dan Candida. Pengobatan
intravena tidak dianjurkan karena toksik terhadap ginjal dan
penetrasi ke kornea minimal.
Natamycin (piramycin) berspektrum luas seperti polyene
lain, tetapi dilaporkan lebih efektif terhadap Fusanium. Di Amerika Serikat lanutan 5% sering dipakai dengan berhasil dan di
Eropa tersedia dalam bentuk salep 1% dan larutan 2,5%. Walaupun
dalam vademikum salah satu industri farmasi tercantum, tetapi
secara komersial agaknya tidak tersedia.
Griseofulvin tersedia luas secara komersial moral, sayang
preparat ini sulit mencapai cairan tubuh atau janingan dalam
konsentrasi tinggi sehingga kurang bermanfaat secara oftalmologik.
Golongan Imidazol, dan ketokonazol dilaporkan efektif
terhadap Aspergillus, Fusarium, Candida. Tersedia secara komersial dalam bentuk tablet. Mungkin bisa dibuat menjadi larutan (pernah dilaporkan), tetapi penulis bclum bcrhasil mcngaplikasikannya.
Halogen
Larutan 0,025% dilaporkan berhasil mcngobati infeksi
Candida albicans, tetapi ccpat dinonaktifkan olch air mata dan
berdaya penctrasi lemah pada kornea.
Diberikan secara kauterisasi, dapat dengan kapas lidi steril.
Thimerosal (Merthiolat)
In vitro dilaporkan baik untuk Candida, Aspergillus dan
Fusarium, tapi diduga zat Hg ini cepat diinhibisi oleh radikal
sullihidril di jaringan okuler.
terapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
PENDAHULUAN
Gangguan sistem ekskresi lakrimal mempunyai gambaran
umum yaitu timbulnya gejala epifora. Epifora ini dapat disertai
dengan tanda-tanda radang akut maupun kronis atau tanpa gejala
radang sama sekali. Pendekatan secara sistematik dan sederhana
yang dapat diterapkan dalam klinik dikemukakan dalam makalah
ini.
DIAGNOSIS KLINIS
Keadaan yang menentukan prognosis dan penanganan
gangguan sistem ekskresi lakrimal adalah derajat gangguan
sakus lakrimalis.
Tahapan pemeriksaan yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
a) Penekanan pada pangkal hidung di daerah sakus lakrimalis
dan penekanan ini akan membawa dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, keluarnya cairan dari pungtum lakrimalis
dan kemungkinan kedua tidak ada cairan yang berbalik dari
pungtum tersebut. Keluarnya cairan dari pungtum menunjukkan
adanya bendungan dan penimbunan cairan dalam sakus dan
dalam pencatatan dinyatakan bahwa uji regurgitasi positif.
b) Sondase horisontal, uji ini penting dan dilakukan hanya pada
arah horisontal. Hasil pengujian akan membedakan letak sumbatan pada daerah pra sakus atau pasca sakus. Dibedakan
mengeni tahanan yang didapat, suatu tahanan lunak (soft stop)
menunjukkan sumbatan pada kanalikulus sedangkan suatu tahanan keras (hard stop) menunjukkan hambatan pada saluran
nasolakrimalis. Pada umumnya sondase yang diteruskan ke arah
vertikal pada orang dewasa dengan tujuan membuka aliran
nasolakrimalis dianggap suatu kontra indikasi.
c) Uji yang memerlukan penggunaan zat pewarna yaitu uji
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di
Yogyakarta
Sumbatan naso-lakrimal
Dibedakan penanganan pada anak-anak dengan penanganan
pada orang dewasa.
Epifora yang disertai hard stop menunjukkan letak sumbatan nasolakrimal. Perkembangan sistim ekskresi lakrimal,
khususnya duktus nasolakrimalis bervariasi pada anak-anak yang
mengalami kelainan pembukaan Membrana Hassner. Timbulnya epifora bersamaan dengan berfungsinya glandula lakrimalis
sebagai sistim sekresi.
Orang tua pada umumnya lebih menyukai cara yang tidak
menyakiti anak. Sondage vertikal pada pendapat penulis sebaiknya dihindari karena kemungkinan false route sangat besar.
Massage daerah lakrimal menjadi pilihan pertama. Massage
dengan tekanan pada pangkal hidung ke arah inferior dilakukan
satu-dua menit tiap hari. Bila dalam jangka waktu tiga bulan
tidak menunjukkan perbaikan maka irigasi berulang merupakan
langkah berikutnya yang dilakukan sampai anak berusia 1(satu)
tahun. Batas usia ini tidak mutlak, apabila tanda radang tidak ada
maka irigasi dapat dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun.
Suatu tindakan yang lebih agresif berupa intubasi tabung
silikon dari Jackson dapat juga dilakukan antara usia dua tahun
dengan pembiusan umum. Sumbatan nasolakrimal pada orang
dewasa pada umumnya merupakan indikasi suatu tindakan
pembedahan yaitu dakriositorinostomi. Pembedahan ini dilakukan pada keadaan peradangan tidak sedang dalam eksaserbasi
akut.
TEKNIK TINDAKAN
Pengenalan anatomi penting dikuasai dengan benar. Beberapa hal yang sederhana dan scring diamati dalam klinik sebagai
kesulitan yang sebenarnya tidak perlu.
a) Pelebaran pungtum lakrimal
Bentuk kanalikulus berawal dari suatu saluran vertikal pada
pungtum. Cara yang benar pada dilatasi adalah menempatkan
dilatator pada posisi vertikal terhadap pungtum dan setelah
mcndapat tahanan lunak diubah arahnya ke arah medial. Hal
yang sama juga dilakukan pada saat memasukkan jarum irigasi
atau sonde.
b) Intubasi tabung silikon
Aplikasi adrenalin untuk mengerutkan concha memerlukan
waktu. Sondase yang dilakukan terburu-buru akan mendapatkan
halangan visualisasi pada rongga hidung. Logam khusus lentur
tidak didorong dengan paksaan, tetapi diikuti sejauh mungkin
mengikuti kelenturan duktus nasolakrimalis belahan mukosa.
Setelah tahanan tulang dirasakan baru diberikan tekanan untuk
masuk ke dalam rongga hidung di daerah meatus inferior.
RINGKASAN
Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan suatu
pendekatan sederhana pada masalah sumbatan sistem ekskresi
lakrimal. Kasus yang lebih khusus dan tindakannya akan diajukan
pada kesempatan berikutnya.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
Keratotomi Radial
Sjamsu Budiono
Universitas Airlangga, Surabaya
PENDAHULUAN
Keratotomi Radial atau yang lazim disebut Radial Keratotomy (=RK) adalah suatu operasi insisi radial pada kornea untuk
menurunkan atau mengobati miopia.
Pada tahun 1940 Dr. T. Sato mengamati penderita-penderita
keratokonus yang mengalami suatu hydrop pada kornea ternyata
hydrop ini akan diawali kekeruhan kemudian menjadi jernih
kembali disertai perubahan kerucut menjadi lebih sferis. Sato
pada penelitian klinisnya kemudian melakukan perforasi dari
membrana Descemet dengan harapan timbul suatu pengerutan
dari kerucut keratokonus. Sato telah melakukan RK melalui
endotel kornea.
Pada tahun 1972 Dr. Svyatoslav Fyodorov mendapatkan
pada seorang penderita laserasi kornea multipel setelah sembuh
temyata miopia yang dideritanya berkurang secara drastis. Pengalaman ini yang mendorong Fyodorov untuk mengembangkan
teknik insisi RK yang dikerjakan sampai saat ini.
Dengan RK maka insisi kornea midperifer menyebabkan
daerah ini menjadi lebih lengkung sehingga diharapkan kornea
sentral lebih datar dengan akibat miopia menjadi berkurang.
Walaupun sebagian para ahli bedah mata kurang menyetujui
cara`Cara RK ini terlebih dengan ditemukannya Laser ablasi/
photorefractive keratectomy = PRK serta cara bedah refraktif
yang lain namun RK ini masih merupakan bedah altematif untuk
pengobatan miopia.
PEMILIHAN PASIEN/EVALUASI PRA BEDAH
Sebelum melakukan operasi RK penting sekali untuk mcmilih
pasien yang sebaiknya dilakukan RK di samping evaluasievaluasi pra bedah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
Disampaikan pada Seminar LED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Julki 1993
di Yogyakarta
Age
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
Optical
Zone
Number
Incision
Peripheral
Redeepening
4.50 mm
4.75 mm
5.00 mm
5.00 mm
4
4
4
4
No
No
No
No
1.5 Diopters
1.5 Diopters
1.5 Diopters
1.5 Diopters
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
4.25 mm
4.50 mm
4.75 mm
4.75 mm
4
4
4
4
No
No
No
No
2 Diopters
2 Diopters
2 Diopters
2 Diopters Over
18 to 25
26 to 35
36 to 40
40
4.00 mm
4.25 mm
5.50 mm
5.75 mm
4
4
4
4
No
No
No
No
2.5 Diopters
2.5 Diopters
2.5 Diopters
2.5 Diopters
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
3.75 mm
4.00 mm
4.25 mm
4.50 mm
4
4
4
4
No
No
No
No
3 Diopters
3 Diopters
3 Diopters
3 Diopters
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
3.50 mm
3.50 mm
3.75 mm
4.00 mm
4
4
4
4
No
No
No
No
3.5 Diopters
3.5 Diopters
3.5 Diopters
3.5 Diopters
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
3.25 mm
3.50 mm
3.75 mm
3.75 mm
6
6
6
6
No
No
No
No
4 Diopters
4 Diopters
4 Diopters
4 Diopters
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
3.25 mm
3.25 mm
3.75 mm
3.75 mm
8
8
8
8
No
No
No
No
4.5 Diopters
4.5 Diopters
4.5 Diopters
4.5 Diopters
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
3.25 mm
325 mm
3.75 mm
3.75 mm
8
8
8
8
No
No
No
No
5 Diopters
5 Diopters
5 Diopters
5 Diopters
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
3.25 mm
3.25 mm
3.25 mm
3.50 mm
8
8
8
8
No
No
No
No
5.5 Diopters
5.5 Diopters
5.5 Diopters
5.5 Diopters
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
3.00 mm
3.25 mm
3.25 mm
3.25 mm
8
8
8
8
No
No
No
No
6 Diopters
6 Diopters
6 Diopters
6 Diopters
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm
8
8
8
8
No
No
No
No
6.5 Diopters
63 Diopters
6.5 Diopters
6.5 Diopters
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm
8
8
8
8
Yes
Yes
Yes
No
7 Diopters
7 Diopters
7 Diopters
7 Diopters
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm
8
8
8
8
Yes
Yes
Yes
Yes
7.5 Diopters
7.5 Diopters
7.5 Diopters
7.5 Diopters
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40
3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm
8
8
8
8
Yes
Yes
Yes
Yes
Keterangan :
Tabel diambil dari buku: Radial Keractotomy and Astigmatism Surgery, 2nd ed.
oleh William Ellis M.D., FAGS.
Redeepening perifer dikerjakan bila diperlukan untuk mendapatkan efek koreksi yang lebih akurat dan dikerjakan 6 mm
senter optik.
PROSEDUR OPERASI
Operasi RK dapat dikerjakan di klinik maupun di kamar
operasi untuk menjaga sterilitas. Untuk operasi RK ini digunakan
mikroskop operasi (operating microscope). 1 jam pra bedah
penderita dapat diberikan diazepam oral.
Pupil dibuat miosis dengan pemberian pilokarpin supaya
identifikasi senter optik lebih mudah di samping mengurangi
fotofobi dan rasa silau akibat lampu mikroskop. Pupil yang kecil
juga melindungi lensa bila terjadi mikroperforasi. Setelah dilakukan desinfeksi daerah operasi dilakukan anestesi lokal/menggunakan Xylocain block (O'Brian Block). Profilaksis dapat
berupa tetes mata antibiotika 4 x 1 tetes 1/4 jam pra bedah.
Setelah ditutup duk steril mata dibuka dengan spekulum dan
pantokain tetes mata dapat diberikan. Penderita diminta melihat
lampu mikroskop dan refleks sinar ini ditandai sebagai senter
optik, selanjutnya dibuatZona Optikal (Optical Zone). Bola mata
kemudian difiksasi dengan forsep fiksasi dilanjutkan insisi
menggunakan Diamond Knife.
Arab insisi tegak lurus dapat dibuat dari Zona optikal menuju
limbus atau sebaliknya, sedang forsep fiksasi dapat digerakkan
ke kanan atau kiri sesuai kebutuhan. Setelah insisi terakhir dibuat
(baik dengan atau tanpa pendalaman/redeepening) luka operasi
diperiksa ulang dengan menggunakan spekulum insisi (=incision speeder) untuk melihat apakah kedalaman insisi telah benar
dan evaluasi barangkali terjadi mikroperforasi. Pada akhirnya
pada setiap luka insisi diirigasi dengan larutan B.S.S. untuk
menghilangkan debris atau darah yang mungkin tinggal. Insisi
sebaiknya tidak melebihi limbus.
Bila terjadi perdarahan dari daerah limbus sebaiknya cukup
diserap dengan cotton sponges dan jangan dilakukan kauterisasi.
Pada akhir prosedur diberikan suntikan gentamicin 1/2m1
sub konjungtiva, mata diberi salep antibiotika dan dibebat.
PENYULIT/KOMPLIKASI
Beberapa penyulit pernah dilaporkan di antaranya :
1) Penyembuhan luka yang lama: sering terjadi pada pen-
6.
7.
PENDAHULUAN
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian
depan badan siliar (pars plicata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera.
Teori patogenesis uveitis anterior beragam, meliputi proses
imunologik, komponen genetik, penyakit infeksi mikroba,
reaksi kompleks imun, reaksi toksik disebabkan oleh tumbuhan
dan obat-obatan dan infeksi fokal. Selama dekade terakhir terjadi
perubahan pola etiologi uveitis anterior ditemukan penyebab
barn uveitis anterior dan akibat tindakan pembedahan dalam
bola mata dengan teknologi canggih.
Kebutaan pada uveitis anterior disebabkan oleh penyulitpenyulit yang ditimbulkan akibat kronisitas dan rekurensi perjalanan penyakit. Kronisitas dan rekurensi penyakit dipengaruhi
oleh faktor-faktor antara lain psikososial, geografi, genetik,
umur, jenis kelamin dan demografi.
Tujuan manajemen uveitis anterior ialah mencegah kerusakan struktur dan fungsi mata seperti sinekia posterior, sinekia
anterior, kerusakan pembuluh darah iris, katarak, glaukoma,
parut kornea, dan kekeruhan benda kaca.
Oleh sebab itu dalam penanganan uveitis anterior diperlukan diagnosis etiologik, mengingat keadaan yang telah dikemukakan di atas, maka untuk menemui etiologik uveitis anterior
harus dilakukan secara sistematik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan mata, pemeriksaan laboratorium dan
konsultasi antara disiplin ilmu. Dengan pendekatan ini maka
dapat dicapai maksimal 80% diagnosis etiologik pada kasuskasus uveitis anterior.
Dengan penemuan diagnosis etiologik, kebutaan disebabkan oleh penyulit dapat diatasi.
GEJALA SUBJEKTIF
1)
Nyeri :
Uveitis anterior akut
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya
dan penekanan saraf siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap
atau hilang timbul.
Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita dan kraniofasial.
Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal.
Intensitas nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit
menentukan derajat nyeri.
Uveitis anterior kronik
Nyeri jarang dirasakan oleh penderita, kecuali telah terbentuk keratopati bulosa akibat glaukoma sekunder.
non purulen.
serosa : akut atau kronik.
plastik : akut atau kronik.
2) Klasifikasi patologi-anatomi :
granulomatosa.
non granulomatosa.
3) Klasifikasi klinik: menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakit :
akut : mulai mendadak perjalanan penyakit kurang 5
minggu.
kronik ; mulai berangsur-angsur, perjalanan penyakit berbulan-an atau tahunan.
4) Klasifikasi etiologik :
eksogen : trauma, bedah mata atau serangan mikroba atau
penyebab lain dari luar.
endogen : mikroba atau penyebab lain dari tubuh penderita.
sekunder terhadap penyakit sistemik.
infestasi parasit, viral dan jamur.
idiopatik.
Klasifikasi dua yang pertama merupakan klasifikasi klasik.
Oleh International Uveitis Study Group (1986) diajukan pembagian yang dapat memenuhi gambaran penyakit. Klasifikasi
tersebut meliputi :
lokasi : uveitis anterior, intermedier, posterior, dan total.
timbul penyakit : mendadak, pelan-pelan.
sifat serangan : sekali atau berulang.
lama : pendek, kurang dari 3 bulan, lama lebih dari 3 bulan.
keaktipan penyakit : tidak ada, ringan, sedang atau berat.
respon terhadap kortikosteroid : baik atau kortikodependen.
Dengan memakai klasifikasi ini maka dapat diketahui gambaran
penyakit uveitis yang sedang dihadapi.
Derajat jumlah sel dan efek Tyndall dalam bilik depan mata
dengan pemeriksaan lampu cclah (IUSG 1986)
Derajat
Jumlah sel
Efek Tyndall
0
1
2
3
4
Jenis sel :
limfosit dan sel plasma bulat, mengkilap putih keabuan.
makrofag lebih besar, wama tergantung bahan yang difagositosis.
sel darah berwarna merah.
pigmen kecil dan coklat.
4.3) Fibrin
Dalam humor akuos berupa gelatin dengan sel, berbentuk
benang atau bercabang, wama kuning muda, jarang mengendap
pada kornea.
Terdapat pada iridosiklitis akut dan berat karena eksudasi
fibrin ke dalam bilik depan mata (iritis plastik).
4 4) Hipopion
Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata
depan bawah. Pengendapan terjadi bila derajat sel dalam bilik
depan lebih dari 4+.
Hipopion dapat ditemui pada uveitis anterior hiperakut dengan sebutan sel lekosit berinti banyak, biasanya karena rematik,
juga pada penyakit Behcet, dan fakoanafilaktik.
Hipopion harus dibedakan dari pseudohipopion yang disebutkan juga kelompok sindrom masquerade. Untuk membedakan harus dilakukan pemeriksaan dengan pupil yang telah dilebarkan dengan midriatik. Sindrom Masquerade disebabkan
oleh iridoskisis, atrofi iris esensial, limfoma maligna, leukemi,
sarkoma sel retikulum, retinoblastoma, pseudoeksfoliatif dan
tumor metastasis.
5) Iris
5.1) Hiperemi iris
Merupakan gejala bendungan pada pembuluh darah iris.
Uveitis anterior akut
Edema dan eksudasi pada stroma iris, keadaan ini dipermudah karena iris kaya dengan pembuluh darah sehingga struktur
iris normal hilang dan gambaran iris kusam coklat keabuan.
Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang tidak terlihat karma ditutupi oleh eksudasi sel.
Gambaran hiperemi ini harus dibedakan dari rubeosis iridis
dengan gambaran hiperemi radial tanpa percabangan abnormal.
5.2) Pupil
Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma
iris karena iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter
pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat disertai nyeri.
5.3) Nodul iris
Nodul tidak sesuai karena pengendapan agregasi sel dalam
stroma tidak sclalu menimbulkan kerusakan jaringan. Dibentuk
olch limfosit, scl plasma dan jarang makrofag. Dapat ditemui
pada iritis atau iridosiklitis kronik. Nodul iris tidak selalu menunjukkan peradangan granulomatosa.
5.3.1) Nodul Kocppc :
Lokalisasi pinggirpupil, banyak, mcnimbul, bundar, ukuran
kecil, jernih, warna putih keabuan. Proses lama nodul Kocppe
mengalami pigmcntasi baik pada permukaan atau lebih dalam
mcrupakan hiasan dari iris.
5.3.2) Nodul Busacca
Merupakan agregasi sel yang tcrjadi pada stroma iris nodul
Koeppe, terlihat scbagai benjolan putih pada permukaan depan
Derajat
Sel
0
1
2
3
4
tidak ada
112/lap
1235/lap
35100/lap
> 100/lap
Kekeruhan
jernih
sedikit
ringan
sedang
hebat
Pemeriksaan oftalmoskop
Indirek
tidak ada
belakang jelas
belakang sedikit kabur
belakang detil kurang jelas
belakang detil tidak jelas
diagnosa banding.
1) Hiperemi sirkumkornea: keratitis, skleritis, konjungtivitis,
glaukoma akut.
2) Keratik presipitat :
halus banyak: iritis dan iridosiklitis akut oleh penyakit sendi
dan fokal infeksi.
kecil hanya beberapa: Sindrom Posner-Schlossman.
ukuran sedang, difus: heterokromik Fuchs.
mutton fat: tuberkulosis,, sarkoidosis, sifilis, lepra, VogtKoyanagi-Harada.
1) Fibrin: uveitis anterior plastik.
2) Hipopion :
sekunder akibat infeksi kornea karena jamur, bakteri.
sekunder terhadap uveitis endogen :
bukan infeksi: Penyakit Behcet, iridosiklitis akut, uveitis
fakoanafilaktik.
infeksi: endoftalmitis karena bakteri, jamur atau parasit.
diagnosis diferensial sindrom Masquerade.
5) Nodul Koeppe: sarkoidosis.
6) Nodul Busacca: uveitis granulomatosa.
7) Granuloma iris: sifilis tuberkulosis, lepra, sarkoidosis.
8) Kista iris: kongetital, trauma, glaukoma (pada pinggir iris,
dan uveitis anterior.
9) Atrofi iris :
difus : heterokromik Fuchs.
fokal : herpes simpleks.
segmental : herpes zoster.
penyebab lain: pasca bcdah, pasca trauma, umur tua,
glaukoma, diabetes melitus, atrofi iris esensial.
10) Iritis dengan glaukoma :
blok pupil
penyumbatan bilik depan mata dan sudut irido-kornea oleh
sinekia, sel, fibrin, bahan lensa, makrofag dan trabekulitis.
glaukoma sekunder akibat kontusio bola mata.
glaukoma sekunder akibat pemberian kortikosteroid lokal.
Sindrom Posner-Schlossman.
glaukoma karena rubeosis iridis.
11) Iritis dengan kelainan paru: tuberkulosis, sarkoidosis granulomatosis Wegener.
12) Iritis dengan kelainan kulit: sifilis, sindrom Reiter, lepra,
herpes zoster, sarkoidosis, Vogt-Koyanagi-Harada, Behcet
Wegener -granul om atosi s.
13) Iritis dengan kelainan saraf pusat: Vogt-Koyanagi-Harada,
Behcet, simpatik oftalmia, sifilis, sarkoidosis, herpes simpleks.
Iritis dcngan atritis: artritis rematoid juvenil, spondilitis
ankilosa, sindrom Reiter, Wegener granulomatosis, Bchcet, dan
sarkoidosis.
14) Iritis dcngan penyakit saluran cema: sarkoidosis, Behcet,
sindrom Reiter, spondilitis ankilosa.
15) Iritis pada anak: artritisrematoid juvenil, spondilitis ankilosa
juvenil, sarkoidosis, herpes simplcks, Bchcet.
DIAGNOSIS ETIOLOGIK
Etiologi uveitis anterior sulit ditegakkan dcngan peme-
Etiologi
Spondilitis ankilosa
Sindrom Reiter
Herpes simpleks
Herpes zoster
Artritis reumatoid
Infeksi fokal
Tuberkulosis
Siftlis
Sarkoidosis
Tabel 4.
Pemeriksaan anjuran
X-foto sakroiliaka, HLA-827, konsul rematologi
X-foto sakroiliaka, HLA-B27, antibodi antinuklir,
biakan konsul urologi dan rematologi.
Diagnosis klinik
Diagnosis klinik
Faktor Rf, antibodi antinuklir, X-foto, konsul
imunologi, dan reumatologi
Titer ASO, Imunoglobulin, Protein C reaktif,
konsul gigi, THT, kebidanan
Tes kulit PPD, X-foto toraks, konsul penyakit
dalam/paru
VDRL, FTA-ABS
Tes ACE, lisozim, X-foto toraks, tes kulit
anergi, biopsi konjungtiva. Skintigrafi Ga 67.
Etiologi
Artritis rcumatoid
Infeksi fokal
Tuberkulosa
Sifilis
Herpes zoster
Hetcrokromik Fuchs
Pemeriksaan anjuran
Faktor Rf, antibodi antinuklir,
juvcnil X-foto sendi lutut, konsul anak
Lihat uveitis anterior akut
Lihat uveitis anterior akut
Lihat uveitis anterior akut
Diagnosis klinik
Diagnosis klinik
Abrams J. Therapy of Isoniazide-Theurapeutics Test in TuberculousUveitis. Amer. J. Ophthalmol 1982; 94: 511-515.
Ahonen R, Makitie J. Herpes Simplex Virus Anterior Uveitis Uveitis
Update, ed K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984. pp 157-162.
Ardy H. Kebutaan pads uveitis. Proseding Simposium Pencegahan Gang guan Fungsi Penglihatan, Padang, Agustus 1990, pp 23-35.
Ardy . H.. Peradangan dalam bola mats, masa kini masa datang serta
pencegahan dan penanggulangan kebutaan. Pidato Pengukuhan. Pusat
Penelitian Unand, Padang, Januari 1992.
Ardy H. Epidemiology of Uveitis. Proceeding X"' Afro-Asian Congress
Ophthalmology, Jakarta, July 1992. (dalam percetakan).
Baarsma GS. The Epidemiology and Genetics of Endogenous Uveitis. A
Review. Cuff. Eye. Res. 1992; 11 (suppl): 1-I1.
Ben-Ezra D, Forrester J, Nussenblatt R et al. Uveitis Scoring Systems.
Springer-Verlag, Berlin-Heidelberg, 1991 pp. 1-13.
Blagojevic M, Latkovic Z. Present Importance of Tuberculous Uveitis.
Uveitis Update Ed. K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984 pp.
275-288.
Bloch-Michel E. Uveitis allergiques. Allergiae immunologia cculare. Ed.
F.D'Ermo. Masson Italiano, Milano. 1983. pp. 49-58.
Bloch-Michel E. Difficulties in the Knowledge of Uveitis. Acta Ophthal
mol. 1984; 163: 1115-1120.
Bloch-Michel E, Dussaix E, Govot F et al. Origine des uveites evolutions
des resultats du bilan etiologiques au cours des 20 demieres annees.
(1966-1986). Bull. Soc. Ophthalmol. Fr. 1986. 6-7.
Bloch-Michel E. International Uveitis Study Group. Reccomendations for
the Evaluation of Intraocular Inflammatory Disease. Amer. J. Ophthalmol.
1986; 103: 234-235.
Bloch-Michel E. Infection et hypersensibilite microbienne. Immuno
pathologie de 1'oeil. Ed. J.P. Faure et al. Masson Cie, Paris 1988 pp.
201-208.
Boke W. Chronische vordere uveites. Die Chronische-Entzunlichen
Erkrankung des Auges. Ed. O. Lundt, Ferdinand Enke Verlag, Stuttgart
1984, pp. 94-101.
Brandt F, Malls OK, Anten JGF. Influenced of Untreated Plastic Iridocy
clitis on Intraocular Pressure in leprous patients. Brit. J. Ophthalmol. 1981;
65: 240-242.
Denis J. L'uveite herpetique primitive existe-t elle? L'herpes oculaire. Ed.
Y. Pouliquen et al. Imprime Lamy, Marseille, 1984, pp. 205-212.
Demouchamps JP. Les methode actuelles de diagnostique etiologique de
l'uveite. J. Fr. Ophthalmol. 1986; 12: 869-873.
Demouchamps JP. Uveite anterieures. Encyclopaed. Med. Chir. Ophthal
mologic. Paris, 1989.
Dua S, Dick AD, Watson J et al. A Spectrum of Clinical Science in Anterior
Uveitis. Eye 1993; 7: 68-73.
Ducasse A, Segal A, Mathot E et al. Results of Etiological Investigations in
Uveitis. Ophthalmology Today. Ed. L.N. Feirraz de Olieviera. Excerpts
Medica, Amsterdam, 1988, pp. 395-400.
Fajardo RV. Acute bilateral Anterior Uveitis Caused by Sulfa Drugs.
Uveitis Update. Ed. K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984, pp.
97-109.
Friedman AH, Luntz M, Henley WL. Diagnosis and Management of
Uveitis. An Atlas Approach. William Wilkins, Baltimore, 1982, pp. 24-43.
Fujikawa S. Advances in Immunology and Uveitis. Ophthalmology 1989;
96: 1115-1120.
Green WR. Uveal Tract. Ophthalmic Pathology, Vol. III, An Atlas and
Textbook, Ed. W.H. Spencer. W.B. Saunders Company, Philadelphia,
1986, pp. 163-184.
Hayashi S, Neves R, Belfort R Jr. Epidemiology and Etiology of Uveitis.
Curr. Opin. Ophthalmol. 1992; 3: 491-497.
Henderly DE, Genstier AJ, Smith RE, Rao NA. Changing Pattern of
Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1987; 103: 131-136.
27. Heydenreich A. Chronic Anterior Uveitis. Uveitis Update, Ed. K.M. Saari,
Excerpts Medica, Amsterdam, 1984, pp. 119-124.
28. Ho AC, Guyer DR, Yannuzi LA. Ocular Syphilis: Classic Manifestations
and Recent Observations. Semin. Ophthalmol. 8: 53-60.
29. Hoffmann A, Barth A, Brunner A et al. Die Uveitis in der Internistische
Differential diagnose un1 Diagnostik. Med. Welt. 1990; 41: 491-499.
30. Hogan MJ, Kimura S, Thygeson li'. Signs and Symptoms of Uveitis. 1.
Anterior Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1959; 47: 155-170.
31. James BG, Graham E, Hamblin A. Immunology of Multi system Ocular
Diseases. Surv. Ophthalmol. 1985; 30: 155167.
32. Kanski JJ. Uveitis, A Colour Manual of Diagnosis and Treatment. Butter
worths, London, 1987, pp. 1-11.
33. Kanski JJ. Uveitis in Juvenile Chronic Arthritis: Incidence, Clinical
Features and Prognosis. Eye 1988; 2: 641-645.
34. Kanski D. Juvenile Arthritis and Uveitis. Surv. Ophthalmol. 1990; 34;
253-267.
35. Kastler M. Uveites par allergic microbienne. L. Uveite, Phenomenons
immunologiques et allergiques. Ed. R. Campinchi et al, Masson Cie, Paris
1970, pp. 390-417.
36. Knox DL. Epidemiology of Uveitis. Transact. Ophthalmol. Soc. U.K.
1981; 101: 294-296.
37. Kraman-Kraljevic K, Stambuk K, Stambuk N, Kastelan A. A Prospective
Study on the Etiology of Uveitis. Curr. Eye. Res. 1990; 9 (suppl): 13-16.
38. Krupin T, Leblanc RP, Becker Bet aL Uveitis Association with Topically
Administered Corticosteroid. Amer. J. Ophthalmol. 1970; 70: 883-889.
39. Laatikaneen L. Vascular Changes in the Iris in Chronic Anterior Uveitis.
Brit. J. Ophthalmol. 1979; 63: 145-149.
40. Lagoutte F. Fon cs eiiniques de la ke:atouveite herpetique, L'herpes
oculaire. Ed. Y. Pouliquen, Imprime Lamy, Marseille, 1984, pp. 205-212.
41. Lamba PA, Rohatgi J, Segal VN. Evidence of Subclinical Ural Involvement in Leprosy. Acts XXV International Congress Ophthalmology,
Roma, May, 1986, Kugler Amsterdam, 1987, pp. 1707-1711.
42. Machado A, Migueis, Sera L et al. Acute Anterior Uveitis in Clinical
Practice. Ophthalmology Today, Ed. L.N. Feirraz de Olieviera. Excerpta
Medica, Amsterdam, 1988, pp. 417-420.
43. Manthey KF. Intraokulare Entzundungen. Ferdinand Enke-Verlag, Stuttgart, 1988, pp. 6-11.
44. Manthey KF. Etiologic Diagnosis of Uveitis. Ophthalmology Update. Ed.
K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984, pp. 417-420.
45. Manthey KF. Epidemiology and Etiology of Uveitis. CULT. Opin. Ophthalmol. 1991; 2: 452-457.
46. McMillin RB, Samples JR. Iritis after Herbicide Exposure. Amer. J.
Ophthalmol. 1985; 99: 726-727.
47. Michelson JB, Grossman KR, Limier JR. Iridocyclitis Masquerade Syn
drome. Surv. Ophthalmol. 1986; 31: 125-130.
48. Michelson JB. Infectious Clinical Uveitis. Curr. Opin. Ophthalmol. 1990;
1: 373-384.
49. Moller-Jensen J, Marthinsen L, Linne I. Anterior Uveitis in IgA Nephropathy. 1989.
50. Moller-Hemerlink HK. Recent Topics in the Pathology Uveitis. Pathophy
siology and Therapy Ed. Kraus-Mackiew, et al, Thieme-Straton, New
York, 1983, pp. 152-197.
51. Nozik RA. The Management of Uveitis Approach. Proceeding First World
Uveitis. Symposium. Guaruja, Sao Paolo Brazil, March 1988, Ed. R.
Belfort, Jr. et al., Livraria Roca Ltd., Sao Paolo, 1989, pp. 559-564.
52. Nozik RA, Elliot JH. Uveitis and Infectious Diseases. Curr. Opin. Ophthal
mol. 1990; 1: 371-372.
53. Nussenblatt RB, Palestine AG. Uveitis, Fundamental and Clinical Practice.
Yearbook Medical Publishers, Inc., 1989, pp. 163-184.
54. O'Connor GR. The Initiation and Inflammation of Uvea. Transact. Ophthal
mol. Soc. U.K. 1981; 101: 292-293.
55. O'Connor GR. Factors related to the Initiation and Recurrence of Uveitis.
Am. J. Ophthalmol. 1983; 96: 577-579.
56. Pavesio CE, Nozik RA. Anterior and Intermediate Uveitis. Int. Ophthal
mol. Clin. 1990; 30: 244-251.
57. Palimers GD, Papankonstatiou PG, Ladas JD. Herpes Simplex Induced
Keratouveitis. Ada XXV International Congress Ophthalmology. Roma,
May 1986, Kugler, Amsterdam, 1987, pp. 1718-1721.
58. Palmares J, Coutine MF, Castro-Correira J. Uveitis in Northern Portugal.
Penatalaksanaan Uveitis
Soedarman Sjamsoe
Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Di Indonesia belum ada data akurat jumlah kasus uveitis,
di Amerika Serikat(1) didapatkan 10% gangguan penglihatan diakibatkan oleh uveitis dengan kerugian material 10 jutaUS dollar
per tahun. Dari survey rumah sakit di Ghana tahun 1990 uveitis
merupakan penyebab kebutaan dua mata urutan ketiga setelah
katarak dan glaukoma(2).
Banyak kelainan uvea yang dahulu kurang dimengerti patofisiologinya dengan pasti, dewasa ini sudah dapat dijelaskan bila
ditinjau dari sudut imunologi. Kemajuan teknik imunologik
juga telah dimanfaatkan dalam produksi berbagai vaksin dan
obat-obatan yang digunakan untuk memperbaiki sistem imun
dalam memerangi infeksi dan digunakan untuk menekan
fungsi sistem imun yang berlebihan (hipersensitivitas, autoimunitas dan transplantasi) pada jaringan mata.
Uveitis dapat disebabkan oleh(3,4) :
1. Infeksi: bakteri, jamur, virus, parasit
2. Non Infeksi :
a. agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan
lainnya).
b. antigen spesifik pada mata (Oftalmia simpatika, uveitis
imbas lensa).
c. penyakit sistemik (Behcet, Sarkoidosis, Vogt-Koyanagi
Harada, Reiter, Rheumatoid arthritis).
3. Tidak diketahui (unknown).
Prinsip pengobatan uveitis adalah(5) :
1. Menekan peradangan
2. Mengeliminir agen penyebab
3. Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata
dan organ tubuh di Iuar mata.
0.5%
2.5%
1%
0.5%
1%
10%
2%
1%
Lama kerja
2%
4%
2%
5%
3 6 jam
4 10 jam
18 36 jam
10 14 jam
kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai.
Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasi seperti: Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi
infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain(7,10).
2) Injeksi peri-okular
Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo
maupun bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi
peri-okular adalah dicapainya efek anti peradangan secara
maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal/
Indikasi injeksi peri-okular adalah(6,10) :
1. Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes
mata, maka injeksi peri-okular dapat dianjurkan.
2. Uveitis unilateral.
3. Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata.
4. Anak-anak.
5. Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis.
Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi
pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis.
Lokasi injeksi peri-okular :
a) Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior
Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository
(triamcinolone acetonide 40 mg, atau. methyl prednisolone
acetate 20 mg) efektif pada peradangan kronis segmen anterior
bolamata. Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon
adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada
jaringan intraokular selama 24 minggu sehingga tidak membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian
topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai dexametason 24 mg.
b) Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar
Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior
(sklera, koroid, retina dan saraf optik).
Komplikasi injeksi peri-okular :
1) Perforasi bola mata.
2) Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot
ektra okular dan katarak sub-kapsular posterior.
3) Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama
dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk
mengangkat steroid tersebut dari bola mata.
4) Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra.
B. Sistemik
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat
peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai
preparat prednison dengan dosis awal antara 12 mg/kg BB/hari,
yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating
single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal
selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan
dexametaxon dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama
2 minggu(8,11). Pada uveitis kronis dan anak-anak di mana bisa
terjadi komplikasi serius seperti supresi kelenjar adrenal dan
gangguan pertumbuhan badan, maka diberikan dengan cara
alternating single dose.
Indikasi kortikosteroid sistemik :
1.
2.
3.
4.
5.
Uveitis posterior
Uveitis bilateral
Edema makula
Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter)
Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik
Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama
akan terjadi efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom
Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak
lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan
lain-lain(8,10).
3) Immunosupresan
A. Sitostatika
B. Siklosporin A
A. Siklostatika
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang
refrakter terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat
klorambusil 0,10,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini dipertahankan selama 23 bulan lalu diturunkan sampai 58 mg
selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari,
sampai 612 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisin
dosis 0,5 mg1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/
hari. Selama terapi sitostatika kita hams bekerja sama dengan
Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita hams mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan
trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan.
Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik
dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini
mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, gangguan gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi
oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom(5,7,12).
Indikasi sitostatika(7,12)
1. Pengobatan steroid inefektif atau intolerable
2. Penyakit Behcet
3. Oftalmia simpatika
4. Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis) Kontra
indikasi sitostatikac'.12> :
1. Uveitis dengan etiologi infeksi
2. Bila tidak ada :
Internist/hematologist
Fasilitas monitoring sumsum tulang
Fasilitas penanganan efek samping akut
B. Siklosporin A
Pada pengobatan uveitis sering dipergunakan kortikosteroid
dengan dosis imunosupresi dan dalam jangka waktu lama, yang
dapat menimbulkan efek samping yang tidak diingini. Obat-obat
sitostatika yang dipakai sebagai imunosupresan juga dapat
menimbulkan efek samping yang lebih serius. Selain itu kedua
jenis obat tersebut tidak spesifik dalam menekan peradangan
intraokular, sehingga sering terjadi kegagalan pengobatan yang
akan berakhir dengan kebutaan. Maka perlu dicari altematif
pengobatan yang lain yang lebih efektif dan aman(13).
Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan
yang relatif ban' yang tidak menimbulkan efek samping terlalu
berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid
dan sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian besar sistem
imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit
dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi
sumsum tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti
obat sitostatika(14,15,16)
Uveitis terjadi akibat hipersensitivitas tipe III (response
imun-complex) seperti pada uveitis fakoanafilaktik dan vaskulitis pada penyakit Behcet, dan tipe IV (lambat) seperti pada
Oftalmia simpatika, penyakit Behcet, sarkoidosis dan lain-lain.
Tetapi Nussenblatt mengatakan bahwa peranan reaksi tipe III
pada uveitis terbatas, sedangkan reaksi tipe IV sangat penting
dalam menerangkan mekanisme penyakit peradangan intraokular(8).
Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah
spesifik dengan(l7) :
1) Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan
secara umum produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon,
MAF, MIF). Secara umum CsA tidal( menghambat fungsi sel B.
2) Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking sintensis IL-2.
3) Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natural killer cell) dengan menekan produksi interferon, di mana
interferon dalam mempercepat proses pematangan dan sitolitik
sel NK.
4) Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA
sehingga tidak mempengaruhi efek fagositosis, processing
antigen dan elaborasi IL-1.
Mekanisme kerja kortikosteroid dalam response imun(l7) :
1. Secara invitro menekan blastogenesis sel T.
2. Menekan produksi sel T sitotoksik secara langsung dan
blocking sintesis limfokin/lymphotoxic factor.
3. Menekan respons makrofag dan sel monosit, sehingga
menekan aktivitas fagositosis, microbicidal, digestion intracellulare partikel antigen dan elaborasi plasminogen activation
factor.
4. Respons imun humoral (imunoglobulin) relatif resisten
terhadap efek CsA.
Mekanisme kerja sitostatika dalam respons imun(l7) :
1. Menekan secara langsung produksi antibodi.
2. Menghambat fungsi sel T sitotoksik.
3. Menghambat fungsi sel T suppresor sehingga produksi
antibodi berkurang.
4. Populasi makrofag dan sel monosit relatif resisten terhadap
sitostatika walaupun obat ini menekan produksi MAF dan MIF.
Hasil penelitian prospektif CsA pada pasien uveitis yang
re rakter terhadap pengobatan konvensional di RSCM memberikan hasil yang cukup baik dalam hal memperbaiki penglihatan
dan menekan peradangan dengan efek samping minimal(18).
PENGOBATAN SPESIFIK
1) Toxoplasmosis(6,8,19) :
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi
kombinasi.
a) Sulfadiazin atau trisulfa :
Dosis 4 kali 0.51 gr/hari selama 36 minggu.
b) Pirimetamin :
Dosis awal 75100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali
25 mg/hari selama 36 minggu.
c) Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim) :
Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim selama 46 minggu. Preparat
sulfa mencegah konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam
folaL Preparat pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya
tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon. Pada pemakaian pirimetamin
dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap
minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk
mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam
folinat 5 mg tiap 2 hari.
d) Klindamisin :
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat
menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina. Dosis:
3 kali 150300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva
klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik.
e) Spiramisin :
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek
samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi.
f) Minosiklin :
12 kapsul sehari selama 46 minggu.
g) Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi
medikamentosa.
(6,8,20)
2) Infeksi virus
:
a) Herpes simplex :
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea
intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama
antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama
23 minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari.
Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal
necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5
mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.
b) Herpes zoster :
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut
selama 1014 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang
tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis
anterior diberikan steroid dan sikloplegik topikal.
c) Sitomegalovirus :
DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian
intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
KESIMPULAN
Dengan kemajuan pengetahuan di bidang imunologi maka
U.S. DHEW, NIH. Interim reports of the National Advisory Eye Council.
Support for vision research, 1976; 20-22.
Cofie G, Tenkorang J, Thomson I. Blindness in Ghana - a hospital-based
survey. Community eye health. An International bulletin to promote eye
health worldwide, issue no 7 1991.
O'Connor GR. Endogenous uveitis. Dalam: Kraus-Mackiw E & O'Connor
GR (Eds). Uveitis. Pathophysiology and therapy 2nd ed. New York:
Thieme Medical Publ Inc, 1986; 47
BenEzra D. Disease of choroid and anterior uvea. Dalam: Michelson JC
(Ed). Michelson's Textbook of Fundus of the Eye, 3rd ed. New York:
Churchill Livingston, 1980; 435438.
BenEzra D, Nussenblatt RB, Timonen P. Optimal use of Sandimmun in
endogenous uveitis. Berlin: Springer-Verlag 1988; 7
Smith RE, Nozik RA. Uveitis. A clinical approach to diagnosis and
management, 2nd ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 1989.
Foster CS, Nussenblatt RB. Advanced immunilogy for ophthalmologists.
American Academy of Ophthalmology. San Francisco, October 1985.
Nussenblau RB, Palestine AG, Uveitis. Fundamentals and Clinical Practice. Chicago: Year book Medical Publ Inc, 1989; 125131.
Schaegel TF: Non spesific treatment of uveitis. Dalam Duane TD. (ed.):
Clinical Ophthalmology, vol. IV chapter 43. Harper & Row Publ. Philadelphia 1986.
Havener WH. Ocular Pharmacology, 5th ed The C.V. Mosby Co. 1983.
Forrester WH. Liversidge J & Towler HM. Cyclosporin A & intra ocular
inflammatory disease. Dalam: Thomson AW (Ed). Sandimmun.. Mode of
action and clinical application. DordrechtBoston/London: Kluwer Academic Publ, 1989; 159180.
Dinning WJ. Therapy-selected topics. Dalam: Kraus--Mackiw and
O'Connor GR (Eds). Uveitis. Pathophysiology and Therapy. Thiems
Medical Publ Inc. New York, 1986; 104226.
Belin MW, Bouchard CS, Frantz S, Chimielinska J. Topical Cyclosporine
in high-risk corneal transplants. Ophthalmology 1989; 96: 11441150.
Nussenblatt RB, Scher I. Effect of Cyclosporine on T-cell sub-sets in
experimental autoimmune uveitis. Invest Ophthalmol. Vis. Sci. Jan 1985;
26: 10-14.
Striph G, Doft B, Rabin B, Johnson B. Retinal S antigen-induced uveitis.
The efficacy of cyclosporine and corticosteroid in treatment. Arch
Ophthalmol. Jan 1985; 104(1): 114117.
Nussenblatt RB, Palestina AG, Chan CC. Cyclosporine A therapy in the
treatment on intra ocular inflammatory disease resistant to systemic corticosteroids and cytotoxic agents. Am. J. Ophthalmol 1983; 93: 175281.
Kaplan HJ, Waldrep JC. Immunologic insights into uveitis and retinitis.
Ophthalmology 1984; 91: 655-665.
Sjamsoe S, Marsetio M, Asyari F et al. A clinical study with low dose
Cyclosporin A (Sandimmun) in the treatment of refractory intermmediate
and posterior uveitis. Tenth Afro-Asia Congress of Ophthalmology.
Jakarta 1992.
Engstrom RE, Holland GN, Nussenblatt RB, Jabs DA. Current practices in
the management of ocular toxoplasmosis. Am. J. Ophthalmol 1991; 111:
601610.
Beyer CF, Hill JM, Kaufman HE. Antivirals and interferons. Dalam:
Stamper RL (Ed). Ophthalmology Clinics of North America. WB Saunders
Co. Philadelphia, vol 2/no. 1. March 1989; 51
PENDAHULUAN
Bedah refraktif adalah suatu bedah mata bertujuan untuk
menghilangkan atau mengurangi kelainan refraksi agar terjadi
perbaikan penglihatan. Bedah refraksi meliputi :
Bedah katarak dengan lensa intraokular.
Bedah lensa intraokular saja.
Bedah refraktif kornea.
Bedah refraktif dalam perkembangannya mengundang
keadaan yang kontroversial. Penderita dengan kelainan refraksi
yang penglihatannya normal dengan memakai kaca mata namun
tidak menghendaki kaca mata, bedah refraktif harus dilakukan
secara aman dan berisiko kecil; di lain pihak pada keadaan
kelainan refraksi yang tidak dapat dikoreksi dengan kaca mata
atau lensa kontak, bedah refraksi harus dilakukan walaupun
risikonya besar, misalnya pada keratokonus(1).
Agar dapat mengikuti Nomenklatur dan manfaat Bedah
refraktif Kornea, Waring III membuat klasifikasi sebagai berikut
(Tabel)(2,3) :
TOPOCRAFI KORNEA DAN BEDAH REFRAKTIF
KORNEA
Permukaan depan kornea dengan tearfilm-nya adalah bagian
terbesar yang menentukan kekuatan refraksi, oleh sebab itu perubahan sedikit saja pada perm ukaan kornea dapat mempengaruhi
tajam penglihatan status refraksi(4).
Dengan analisis topografi kornea dapat diketahui :
Iregularitas permukaan kornea
Besar astigmat
Kekuatan D lengkung kornea.
Tabel 1.
Jenis Bedah
Refraktif Kornea
Lamelar
Keratotomi
Keratektomi
Keratoplasti
tembus
Termokeratoplasti
Keratoplasti
Fotoretraktif
Excimer Laser
Teknik Bedah
Keratomileusis
Epikeratoplasti
Nama lain
Koreksi Kelainan
Refraksi
Keratofakia
Kornea Donor Teknik Barraquer Afakia dan
Lensa Artifisial Lensa intrahipermetropia
korneal
Afakia dan
miopia
Hidrogel
Polisulfon
Keratokonus
Radial
Miopia dan
astigmat
Radial dan
Trapezoidal, Ruiz Astigmat
transversal
L, T, setengah T
dan lain-lain
Kresentik
Insisi relaksasi
Astigmat
Crescentic wedge Wedge resection Astigmat
Transplantasi
Astigmat
kornea
Keratokonus
Miopia
Keratektomi
fntoretraktif
miopia
PRK
Keratektomi
Terapetik Keraterapetik
tektomi Laser
PTK
Trepanasi kornea
Insisi linear
Laser K.R.
Kekeruhan kornea
superfisial
Keratoplasti
Miopia
Komplikasi MKM amat besar. Pada saat operasi: Mikrokeratom dan cryolathe. Pasca Bedah: Koreksi kurang atau berlebihan, astigma ireguler, gangguan reepitelisasi, sikatrik, edema
kornea.
MKM jarang dikerjakan lagi pada saat ini disebabkan oleh :
1) Teknik operasi yang rumit dan sulit
2) Banyaknya alat yang digunakan dan amat mahal harganya
3) Ketepatan koreksi yang sangat sulit dicapai
4) Komplikasi yang besar
5) Diperlukan pembedah yang amat terlatih.
KERTOMILEUSIS BARRAQUER
Keratomileusis untuk miopia (MKM) telah dirintis oleh
Jose I. Barraquer lebih 30 tahun yang lalu. Pada MKM permukaan depan kornea di mana kekuatan refraksi terbesar pada
mata diubah kekuatannya dengan cara cryolathe agar dicapai
keadaan emetropia(8).
Indikasi MKM adalah miopia tinggi dan tak tahan lensa
kontak.
Teknik operasi MKM adalah :
1) Keratektomi lamelar dengan mikrokeratom.
2) Cryolathe dengan Barraquer Cryolathe.
3) Menjahit kembali lamel kornea yang telah diubah kekuatan
D refraksi ke kornea asal.
EPIKERATOFAKIA
Teknik bedah refraktif ini dikembangkan oleh Kaufman
dan McDonald. Caranya adalah dengan melakukan penjahitan
precarved, lyophilized donor kornea (Kerato-Len Amo) yang
telah direhidrasi kembali pada saat operasi pada kornea penderita
yang telah dibuang epitelnya. Teknik ini berdasarkan pada teknik
Barraquer namun lebih sederhana tanpa melakukan keratektomi
dengan mikrokeratom dan kemudian cryolathe yang sangat rumit
dan teknik sangat sulit dikerjakan(9).
Indikasi
Afakia dewasa dan anak-anak
Miopia
Keratokonus.
Teknik operasi
1) Pemilihan kerato-lens AMO sesuai dengan koreksi refraksi.
2) Menentukan aksis sentral.
3) Mengupas epitel kornea.
4) Keratektomi anular.
5) Penjahitan keratolens ke kornea penderita.
6) Bandage kontak lensa.
KERATOTOMI RADIAL
Perkembangan keratotomi radial(10).
1886 : Lans
insisi radial mendatarkan kornea.
pendataran akan bertambah bila insisi makin dalam.
efek pendataran akan berkurang pada proses penyembuhan.
1989 : McDonald
keratektomi fotoretraktif pertama(19)
1989 : Seiler
keratektomi fotoretraktif di Eropa.
Pada saat sekarang di Amerika telah sampai tahap III percobaan keratektomi fotoretraktif versi FDA.
Seleksi penderita keratektomi fotoretraktif (PRK) miopia
Indikasi PRK untuk miopia(20,21) : miopia ringan 2.00 6.00 D,
miopia sedang 6.00 10.00 D, miopia tinggi 10.00 15.00 D,
astigmat < 1.00 D. PRK untuk astigmatismus(22): pada percobaan
FDA fase III PRK untuk miopia masih terbatas refraksi miopia
rendah dan sedang 1.00 6.00 D pada penderita umur lebih 18
tahun.
Penderita dianjurkan melepaskan lensa kontak setidaknya
dua minggu sebelum PRK.
Pemeriksaan pra PRK :
Visus dan refraksi terbaik dengan sikloplegia
Fungsi air mata
Topografi kornea: Computerized Video Keratoscope(23).
Pemeriksaan lampu celah pada kornea
Pakhimetri.
Teknik PRK
Pemberian sedativum dan analgetikum 30 menit sebelum
PRK bila diperlukan.
Anestesi topikal.
Menentukan aksis sentral kornea.
Mengerok epitel kornea secara manual.
Tes Ablasi pada PMMA.
Melakukan PRK.
Selama melakukan ablasi, mata penderita yang tidak
diablasi ditutup.
Diameter zona ablasi untuk miopia ringan 4 atau 5 mm pada
ablasi satu tahap dan untuk miopia tinggi 4.5 atau 6 mm ablasi
secara bertahap.
Pengobatan pasca PRK
Paska PRK diberikan pengobatan(20) :
Minggu pertama : Voltaren tetes (Ciba) mata, antibiotik
tetes mata.
Minggu kedua dan seterusnya :
Steroid dan antibiotik tetes mata diturunkan secara
bertahap sampai kekeruhan (haze) kornea menghilang.
Epitelisasi kornea secara penuh terjadi pada minggu pertama sampai dengan minggu kedua.
Kekeruhan kornea (haze) menghilang secara bertahap pada
minggu kedua sampai bulan kedua.
Hasil PRK
Hasil yang dilaporkan dari berbagai pusat di Amerika
(multicenter study) PRK pada penderita kelainan refraksi preoperasi minus 3.75 sampai 12.00 D hasilnya pada miopia sedang
(3.126.00 D) didapatkan 67% plano sampai minus 1.00 D,
sedangkan pada miopia tinggi 16% plano sampai minus 1.00 D
dan 26% rcfraksi minus 1.12 hingga 2.00 D. Semua penderita
mcmpunyai korcksi berlebih sampai dengan bulan pertama(20).
Hasil PRK di Eropa 90% penderita menunjukkan hasil 1.00
SD. Excimer Laser ablation in human eye. Arch Ophthalmol 1989; 107:
641-2.
20. McDonald MB, Leach DH. Myopic Photorefractive Keratectomy. U.S.
Experience. Dalam: Thomson FB, McDonnel PJ. Color Atlas/Iext of
Excimer Laser Surgery of Cornea. Igaku-Shoin. New York Tokyo 1993.
hal. 37-51.
21. Salz JJ, Maguen c, Macy J1, Papaioannou T, Holbauer J, Nesbum AB. One
year result of excimer laser Photorefractive Keratectomy. Refract Corneal
Surg 1992; 8: 269-73.
22. Compos M, McFDonnel PJ. Photorefractive Keratectomy: Astigmatism.
Dalam: Thomson FB, McDonncl PJ. Color Atlas/Text of Excimer Laser
Surgery the Cornea. Igaku-Shoin. New York, Tokyo 1993. hal. 53-62.
23. Rabinowitz YS, Wilson SE, Klyce SD. Corneal Topography in Photo
refractive keratectomy. Dalam: Thomson FB, McDonnel PJ. Color Atlas/
Tect of Excimer Lasr Surgery of Cornea. Igaku-Shoin. New York, Tokyo
1993. hal. 53-62.
24. Seiler T. Photorefractive Keratectomy: European experience. Dalam:
Thomson FB, McDonnel PJ. Color/Text of Excimer Laser Surgery of
25. Cornea. Igaku-Shoin, New York-Tokyo 1993. hal. 53-62.
26. Zabel RW, Sher NA, Ostros CS, Parker P, Linstrom RL. Myopic Excimer
Laser Keratectomy: A Preliminary Report. Refract and Corneal Surg 1990;
6: 329-34.
A. Interleukin-1
B. Interleukin-2
C. Interleukin-3
D. Interleukin-4
E. Interleukin-5
F. Interleukin-6
G. Interleukin-7
H. Interleukin-8