Anda di halaman 1dari 65

Cermin

Dunia Kedokteran
1995

International Standard Serial Number: 0125 913X

87. Mata
September
1993

Daftar Isi :
2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5. Dasar-dasar Imunologik pada Penyakit Mata Sofia Mubarika
Haryana, Marsetyawan Soesetyo
11. Kelainan Mata pada Sindrom Imunodefisiensi Fatma Asyari 17.
Beberapa Kelainan Kornea yang Berhubungan dengan Proses
Imunologik Gunawan
22. Infeksi Viral dan Strategi Pengobatan Anti-viral pada Penyakit
Mata Suwardji Haksohusodo
30. Rejeksi Transplan Bondan Harmani
34. Aspek Genetika pada Kelainan Uvea Hartono
39. Penatalaksanaan Infeksi Jamur pada Mata Bambang Susetio
42. Penanganan Gangguan Sistem Ekskresi Lakrimal Hadisudjono
Sastrosatomo, Darmayanti Irwan, Lumongga Simangunsong
44. Keratotomi Radial Sjamsu Budiono
47. Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior Hafid Ardy
55. Penatalaksanaan Uveitis Soedarman Sjamsoe
59. Bedah Refraktif Masa Kini Istiantoro
64. R.P.P.I.K

Mata merupakan salah satu indera manusia yang paling penting; bersyukurlah orang-orang yang dianugerahi mata yang sehat dan berfungsi baik,
apalagi bila sepasang mata tersebut juga memperindah penampilan. Bukankah
salah satu standar kecantikan adalah keserasian bentuk mata ?
Karena fungsinya tersebut, dengan sendirinya kita harus selalu memperhatikan dan memelihara kesehatannya dengan jalan menghindari penyakit dan
mencegah kerusakannya.
Cermin Dunia Kedokteran kali ini memilih masalah Penyakit Mata, khususnya yang mengenai mata luar, kornea dan uvea sebagai topik utama; naskahnaskah ini telah didiskusikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan
Dokter Spesialis Mata Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 9-10 Juli 1993
yang lalu. Naskah ini kami terbitkan dengan tujuan agar dapat pula dimanfaatkan oleh para sejawat yang tidak berkesempatan mengikuti pertemuan
tersebut, baik karena faktor.jarak maupun kesibukan.
Mudah-mudahan dapat memenuhi harapan para sejawat, pembaca Cermin
Dunia Kedokteran.
Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

Cermin
Dunia Kedokteran
1995

International Standard Serial Number: 0125 913X

KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc
KETUA PENYUNTING
Dr Budi Riyanto W
PEMIMPIN USAHA
Rohalbani Robi
PELAKSANA
Sriwidodo WS

REDAKSI KEHORMATAN
Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Prof. Dr. R.P. Sidabutar


Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

TATA USAHA
Sigit Hardiantoro

Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo

ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran
P.O. Box 3105 Jakarta 10002
Telp. 4892808
Fax. 4893549, 4891502

Prof. DR. Sumarno Poorwo Soedarmo

Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Kepala Badan Penlitian dan Pengembangan


Kesehatan, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta

NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
PENCETAK
PT Temprint

Prof. DR. B. Chandra


Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya.

Prof. Dr. R. Budhi Darmojo


Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.

Drg. I. Sadrach
Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Jakarta

DR. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta,

REDAKSI KEHORMATAN

Dr. B. Setiawan Ph.D

Drs.Victor S. Ringoringo,SE,MSc.

DR. Ranti Atmodjo

Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

PETUNJUK UNTUK PENULIS


Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut.
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan


yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510
P.O. Box 3117 Jakarta.
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

English Summary
GENETIC ASPECT
ANOMALIES

OF

UVEAL

Hartono
Department of Ophthalmology, Faculty
of Medicine, Gajah Mada University/Dr
Sardjito General Hospital, Yogyakarta,
Indonesia

Some genetically determined


structural and pigmentary abnormalities as well as inflammation
affecting the iris have been discussed. These abnormalities can
be isolated entities or as part of
genetic syndromes both chromosomic and genic syndromes.
Iris coloboma, aniridia, WAGR
syndrome and ectopia pupillae
are the examples; abnormalities
of pigmentation are oculocutaneous albino, ocular albino and
Waardenburg syndrome. The
.occurence of associations between (a) HLA-B5 and Behcet
disease, and (b) HLA-B27 and
anterior uveitis in ankylosing
spondylosis, uveitis in Reiter syndrome, iridocyclitis proves the
importance of genetic factors in
the pathogenesis of these
diseases.
Because iris abnormalities can
be parts of some more severe
clinical syndromes, a complete
physical examinations as well as
consultation to other experts of
uveal anomalies is important to
detect the occurence of minimal abnormalities because of
variable expression of these
diseases.
Cermin Dunia Kedokt. 1993; 87: 348
htn

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

RADIAL KERATOTOMY

MANAGEMENT OF UVEITIS

Sjamsu Budiono

Soedarman Sjamsoe

Department of Ophthalmology, Faculty


of Medicine, Airlangga University, Surabaya, Indonesia

Department of Ophthalmology, Faculty


of Medicine, Universltyoflndonesla/Cipto
Mangunkusumo
General
Hospital,
Jakarta, Indonesia

Radial keratotomy is a surgical


procedure on cornea that is intended to reduce or to eliminate
myopia.
This procedure needs special
considerations and instruments;
it should also be preceded by
careful examinations and detailed plan of incisions. The complications that should be taken into
account are delayed wound
healing, perforation, endophthalmitis, cicatrix, under/ overcorrection or astigmatism.
Cermin Dunia Kedokt. 1993; 87: 446
brw

Uveitis can be caused by infections, immunologic reactions,


as part of systemic diseases or by
unknown factors.
The management of uveitis
consists of reduction of inflammation and elimination of causative agents with particular concern on the potential side effects
of the drugs used.
The non specific drugs that can be
utilized are mydriatics, cycloplegics,
corticosteroids and immunosuppresants, either through local or systemic administration; those drugs
should be used in combination
with specific or causal therapy.
Cermin Dunia Kedokt. 1993; 87: 558
brw

Artikel
Dasar-dasar Imunologik
pada Penyakit Mata
Sofia Mubarika Haryana, Marsetyawan Soesatyo
Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada, Yogyakarta

PENDAHULUAN
Individu sehat melindungi dirinya terhadap mikroorganisme dengan berbagai mekanisme yaitu mekanisme imunitas
alami dan imunitas spesifik. Mekanisme imunitas alami berupa
barier fisik, sel fagositik darah dan jaringan, natural killer cell
(NK), berbagai molekul dalam darah seperti komplemen, interferon dan tumor necrosis factor (TNF). Imunitas alami bersifat
tidak spesifik artinya tidak dapat membedakan substansi asing
tertentu:interferon a, (IFN a-), tumor necrosis factor (TNF).
Mekanisme pertahanan spesifik, dipacu oleh pemaparan
substansi asing (antigen), sistem ini berespon secara spesifik
terhadap makromolekul tertentu, reaksinya akan meningkat karena pengaruh molekul-molekul sistem imun lain yang terlibat.
Beda imunitas spesifik dari imunitas alami adalah bahwa reaksi
imun (r.i.) spesifik dapat "mengingat" setiap mikroorganisme atau
antigen asing yang pemah dijumpainya. Perjumpaan berikutnya
dengan antigen yang sama akan memacu secara cepat dan efektif
sistem imunnya. Reaksi imun spesifik mempunyai mekanisme
protektif lebih tinggi dari pada non spesifik, bersifat langsung
dan ditujukan khusus di tempat masuknya benda asing. Imunitas
spesifik diklasifikasikan dalam sistem imun humoral dan seluler.
Imunitas humoral terutama diperankan oleh sel B dengan mekanisme efektornya berupa antibodi, sedang imunitas seluler
diperankan oleh limfosit dengan mekanisme efektornya berbagai
sel T teraktivasi.

SISTEM IMUN TUBUH


Sistem imun tubuh merupakan sistem yang amat kompleks
dan melibatkan interaksi antar sel, gen dan molekul. Pengaturan
mekanisme sistem imun merupakan fungsi dari interaksi tersebut.
Komponen selular terutama adalah limfosit T, B dan makrofag. Dikenal limfosit T dengan subpopulasinya yaitu sel T helper

(Th)(CD4+), T supressor (Ts)(CD8+), T cytotoxic (Tcyt)(CD8+),


T delayed hypersensitivity (Tdth). Sel T dapat diidentifikasi
karena dapat membentuk roset .pada eritrosit domb melalui
CD2r. Sel T juga memiliki antigen permukaan sel CDS, CD3. Sel
Th dan sel Ts merupakan sel regulator respons imun .
Limfosit B ditandai dengan adanya molekul slg di permukaan selnya, memerankan imunitas humoral yang dalam proses
aktivasi dan diferensiasinya menjadi sel plasma penghasil antibodi (imunoglobulin=Ig). Dikenal beberapa kelas Ig yaitu IgM
terbanyak pada sirkulasi, IgG, IgA, IgE dan IgD yang juga
terdapat pada membran selnya sebagai reseptor. Selain reseptor
tersebut juga dijumpai reseptor untuk antigen-antibodi kompleks
(FcR), komplemen reseptor (C3dR), EBVr, juga antigen permukaan sel CD 19, CD20 merupakan antigen lineage spesifik dan
CD10, CD9 dan CD23 yang dijumpai umum pada sel B. Baik
limfosit T maupun B di permukaannya mengekspresikan antigen
MHC klas I dan sebagian MHC klas II yang penting untuk
interaksi interseluler di samping memerlukan reseptor spesifik
(IgR dan TcR). MHC (Major Histocompatibility Antigen) pada
mencit, pada manusia disebut HLA (Human Leucocyte Antigen)
sangat penting peranannya dalam membedakan antigen self dan
nonself. Setiap antigen baik self atau nonself dikenali oleh sel
T hanya bila terdapat bersama dengan molekul MHC. Dikenal
antigen HLA klas I, klas II, dan klas III. HLA terletak pada
kromosom 6, HLA klas I terdiri dari 4 lokus A, B, C, dijumpai
pada permukaan setiap sel bernukleus fungsinya mempresentasikan fragmen antigen kepada sel T CD8, pada reaksi sitolisis
oleh sel terinfeksi virus. HLA-klas II terdiri dari HLA-DR, DQ,
DP terdapat pada sebagian sel seperti sebagian dari set T teraktivasi, sel B makrofag, dan antigen presenting cells (APC).
Fungsi utama HLA klas II adalah dalam mempresentasikan
antigen bersama kepada sel T CD4. HLA klas III merupakan
antigen untuk komplemen T. HLA-B pada manusia terdapat
lebih kurang 50 allel yang berbeda, sehingga ekspresinya sangat

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI, 9-10 Judi 1993


di Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

polimorfik. Antigenisitas berbeda dari HLA ini yang menyebabkan penolakan jaringan. Pada manusia terdapat 3 tipe HLA
klas II yaitu DP, DG, DR. Untuk kasus yang ada hubungannya
dengan penyakit menunjukkan individu dengan tipe HLA tertentu lebih suseptibel terhadap infeksi karma virus menggunakan HLA molekul sebagai reseptornya. Jika ada kesamaan
antara antigen determinan clan molekul MHC host akan dapat
menghambat respons imun sebab agen patogen terlihat sebagai
self, sehingga tubuh tidak memberikan respons. Bila ada patogen
maka akan menimbulkan kerusakan jaringan misalnya pada
autoimun.
Komponen molekiller yaitu antibodi atau imunoglobulin
yang dihasilkan oleh sel plasma. Ada 5 klas Ig yaitu IgM, IgG,
IgA, IgE, IgD. Kelima klas Ig ini berperan dalam keadaan yang
berbeda. IgM berbentuk pentamer, terutama berperan pada reaksi
imun primer. Reaksi imun sekunder biasanya menghasilkan
IgG, sedang IgA khususnya berperan pada imunitas di daerah
mukosa. IgD berperan pada fase diferensiasi sel B; sedang IgE
ban yak dihubungkan dengan reaksi alergi. Komponen molekuler
yang dihasilkan imunitas seluler berupa berbagai mediator yang
dikenal sebagai sitoksin atau limfokin.
Aktivasi scl dalam respon imun memcrlukan beberapa
signal. Sebagian signal berupa substansi solubel yang dilepaskan
olch berbagai sel. Substansi ini disebut sitokin. Sitokin berupa
glikoprotein, bersifat nonspesifik, yang disintesis dan disekresi
secara cepat dalam menanggapi rangsang dari luar. Sebuah sel
dapat membuat beberapa sitokin. Satu sel dapat menjadi target

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

berbagai sitokin, masing-masing dengan reseptornya masingmasing.


Interleukin-1 (IL-1). Dihasilkan oleh monosit. IL-1 memacu
sintesis protein fase akut dan meningkatkan proliferasi sel T, juga
merupakan substansi penyebab panas endogen.
Interleukin-2 (IL-2). Disekresi oleh Th CD4+, substansi ini
penting untuk aktivasi sel T dan sel B dalam menghasilkan Ig.
Interleukin-3 (IL-3). Dihasilkan oleh limfosit T. Merupakan
faktor pertumbuhan untuk sel stem hematopoitik dan sel mast.
Interleukin-4 (IL-4). Dihasilkan oleh Th2CD4+. Merupakan
faktor pertumbuhan sel B dan sebagian sel T, substansi ini
mempengaruhi peningkatan ekspresi molekul MHC klas II pada
sel B, memacu produksi IgE, IgGl.
Interleukin-5 (IL-5). Disekresi terutama oleh sel Th2CD4+,
Substansi ini berperan pada stimulasi pertumbuhan sel B dan
sekresi Ig, juga memacu pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil.
Interleukin-6 (IL-6). Disekresi oleh sebagian sel T dan beberapa sel lain. IL-6 memacu sintesis protein fase akut, meningkatkan aktivasi sel T dan produksi IL-2. IL-6 memacu sel B
menghasilkan Ig dan berperan sebagai CSF yang memacu pertumbuhan sel progeni darah.
Interleukin-7 (IL-7). Dihasilkan oleh fibroblas, sel endotel dan
sebagian sel T. IL-7 merupakan faktor pertumbuhan bagi sel preT dan sel pre-B.
Interleukin-8 (IL-8). Dihasilkan oleh beberapa tipe sel, IL-8
merupakan faktor kemotaktik yang poten untuk sel PMN dan
granulosit lainnya.

Colony stimulating factor (CSF). Disintesis oleh sel T dan


monosit. Berperan memacu pertumbuhan sel darah muda.
Transforming growth factor (TGF-). Disintesis oleh sel T dan
monosit. Memacu produksi IgA.
Tumor necrosis factor (TNF). TNF- disintesis oleh monosit,
TNF-5 disintesis terutama oleh sel T. Kedua substansi ini terutama mengaktivasi berbagai sel pada sistem imun dan non
imun, sitotoksik pada sel tumor in vivo.
MEKANISME ELIMINASI ANTIGEN
Fungsi utama sistem imun adalah mencari dan menghancurkan substansi asing dalam tubuh. Hal ini dilaksanakan dengan
beberapa cara yaitu dengan direct killing (membunuh langsung)
sel target yang mengekspresikan antigen asing diperankan oleh
T cyt. Sedangkan antibodi dieliminasi dengan berbagai cara yaitu
netralisasi toksin, netralisasi virus, opsonisasi bakteri, aktivasi
komplemen dan antibody dependent sitotoksisitas (ADCC) yang
diperankan oleh NK sel, reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang
diperankan oleh Tdth yang menimbulkan tanda-tanda radang.
PENGARUH PROTEKTIF & MERUGIKAN DARI
RESPON IMUN TUBUH
Inflamasi merupakan cara proteksi tubuh yang efisien terhadap mikroorganisme patogen yang masuk ke dalam tubuh.
Setelah sembuh dari sakit akan terbentuk imunitas protektif,
tetapi sel atau mediator kimiawi yang terlibat dalam reaksi
inflamasi juga mampu merusak jaringan sehingga mengganggu
fungsi organnya. Efek yang merugikan akibat inflamasi disebut
sebagai reaksi hipersensitif (alergi). Reaksi inflamasi dapat digolongkan dalam 4 tipe yaitu: 1. Cell mediated immunity (CMI)
atau delayed type hypersensitivity (DTH), 2. Immune complex,
3. IgE Immediate phase, 4. Cutaneous basophil hypersensitivity.
Cell Mediated Immunity (CMI) juga disebut delayed
hypersensitivity (DTH); istilah ini dipakai untuk menjelaskan
fenomena imunologik baik yang bersifat protektif maupun yang
merugikan. Mekanismenya adalah antigen dipresentasikan bersama molekul MHC Idas II oleh APC kepada sel Tdth. Akibat
aktivasi tersebut sel Tdth akan melepaskan berbagai mediator
(limfokin) sel Tdth dan juga akan menarik sel radang seperti
monosit, granulosit, limfosit T dan B dan sel basofil. Aktivasi
makrofag oleh MAF akan meningkatkan ekspresi MHC klas II
dan meningkatkan kemampuan fagositosis dan bakterisidnya.
Akibat pelepasan limfokin terjadi khemotaksis, vasodilatasi,
deposisi fibrin, dan pembentukan granuloma. Vasodilatasi
menghasilkan peningkatan sel dari sirkulasi, aktivasi sistem
koagulasi kinin menyebabkan deposisi fibrin yang penting
dalam deposisi reaksi inflamasi, dan rnemberikan indurasi
kutaneus.
Keadaan CMI/DTH secara alami terjadi selama peristiwa
infeksi, secara buatan misalnya pada imunisasi atau melalui
kontak dengan berbagai zat kimia pada kulit atau membran
mukosa,. Imunitas pada infeksi intraselular seperti tuberkulosis
dan lepra, virus, Chlamydia, fungi, bakteri, protozoa, infeksi
parasit. Pada keadaan tertentu tidal( terjadi reaksi inflamasi dari
host keadaan ini disebut anergi yang ditandai dengan reaksi kulit

DTH negatif.
Immune complex. Inflamasi yang disebabkan adanya
imun kompleks biasanya terjadi setelah reaksi antigen antibodi
yang kemudian diikuti aktivasi komplemen. Inflamasi yang disebabkan karena aktivasi komplemen dapat berarti memberi
imunitas pada tubuh tetapi juga menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitasnya dapat berupa reaksi kulit
Arthus atau serum sickness sistemik. Antigen pemacu dapat
berupa protein dengan BM tinggi atau hapten. Untuk dapat
mengaktivasi komplemen perlu ikatan hapten dengan protein
karier host. Reaksi yang terjadi sangat tergantung pada dosis
antigen terutama path serum sickness. Pemaparan dengan antigen dalam jangka lama juga akan mempengaruhi. Diduga ada 4
macam kejadian.
a) Complement activating antibodies. Antibodinya harus
antibodi yang mampu mengaktivasi komplemen. IgM dan IgG
(kecuali IgG4) merupakan antibodi yang dapat mengaktivasi
komplemen melalui cara klasik. IgA dapat mengaktivasi komplemen melalui cara alternatif. IgE, IgD tidak mempunyai kemampuan mengaktivasi komplemen, maka tidal( masuk dalam
keadaan imun kompleks ini.
b) Pembentukan imun kompleks. Antigen-antibodi membentuk molekul yang besar dalam sirkulasi, yang kemudian dideposisi di jaringan.
c) Deposisi Immune complex. Kompleks antigen-antibodi
dideposisi pada beberapa jaringan. Bila imun kompleks tadi
cukup besar, maka akan ditangkap di membran basal glomerulus dan dalam pembuluh darah, yang dideposisi di lamina
elastika interna. Penempatan kompleks imun pada jaringan juga
ditentukan oleh aliran darah, muatan ion dari kompleks imun.
Pada reaksi kulit Arthus, konsentrasi tinggi dari kompleks imun
ditimbulkan karena injeksi antigen pada kulit yang kemudian
dideposisi secara lokal pada pembuluh darah. Pada keadaan di
mana antibodi dideposisi pada antigen yang terdapat pada sel
dapat menjadi autoantigen, yang menimbulkan reaksi autoimun.
d) Aktivasi komplemen. Aktivasi ini dapat dimulai melalui
jalur klasik atau altematif, tergantung dari kelas imunoglobulin.
Faktor radang utama dari komplemen adalah C5a, yang bersifat
khemotaktik terhadap neutrofil yang terdapat dalam jaringan
maupun sirkulasi. Netrofil akan melepaskan enzim lisozymelan
pada proses fagositosis menimbulkan oksigen toksik yang dapat
merusak membrana elastika interna pembuluh darah, yang
berakibat endotel kapiler membengkak dan berproliferasi sehingga terjdi pengumpulan trombosit. Kemudian sel mononuklear menginfiltrasi daerah itu.
Mekanisme kontrol untuk membatasi inflamasi kompleks
imun
Baru-baru ini ditunjukkan bahwa enzym C3 convertase
(dibentuk karena aktivasi C3 oleh faktor B jalur alternatif) bila
melekat pada kompleks imun pada keadaan seimbang akan
melepaskan ikatan antigen antibodi, sehingga imun kompleks
tidak terbentuk.
Pada keadaan normal imun kompleks dalam jumlah kecit
tidak menimbulkan penyakit. Antigen dari makanan, dari ling-

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

kungan dan autoantigen dapat menimbulkan kompleks imun


normal. Kompleks ini dieliminasi secara fagositosis oleh sel
mononuklear yang dilengkapi dengan reseptor Fc IgG dan C3.
Jadi untuk terjadinya penyakit imun kompleks diperlukan :
1. antigen dalam jumlah besar, 2. pembentukan molekul imun
kompleks yang besar sehingga dapat mengaktifkan sistem
komplemen, 3. kegagalan sistem fagositosis mononuklear,
mungkin karena reseptor Fc abnormal.
Mekanisme klinis inflamasi kompleks imun dapat berupa
reaksi Arthus, biasanya berupa bentuk ringan inflamasi, seperti
pada gigitan insekta atau injeksi obat. Serum sickness manifestasinya berupa demam, limfadenopati, artralgia, dermatitis. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian dalam jumlah besar
serum hiperimun untuk pengobatan infeksi atau terjadi pada
reaksi alergi terhadap penisilin atau fase prodromal infeksi virus.
IgE mediated inflammation. Respons inflamasi di sini
diperantarai reaksi antara antigen dengan IgEr, path sel mast.
Akibat ikatan tersebut akan terjadi aktivasi sel mast, yang diikuti
degranulasi dan pelepasan berbagai mediator, mula-mula pengaruhnya nampak pada pembuluh darah, otot polos dan kelenjar
sekretorik, kemudian baru diikuti reaksi inflamasi. Jenis inflamasinya adalah segera. Berbagai antigen misalnya alergen yang
dihirup, obat-obatan per injeksi, mikroorganisme terutama cacing tertentu. Penting di sini adalah dosis antigen, kebalikan dari
kompleks imun yang ditimbulkan akibat dosis antigen yang
tinggi, antibodi IgE terbentuk dari rangsangan antigen dalam
jumlah kecil, dan sekali IgE ini terbentuk sejumlah kecil antigen
cukup untuk memacu respons inflamasi. Rantai H IgE mempunyai afinitas tinggi terhadap sel mast (FceR) atau sel basofil.
Ikatan bersifat reversibel. Setelah sel teraktivasi, serentetan
kejadian perubahan biokimiawi terjadi. Mula-mula terjadi aktivasi enzim pada membran yaitu serin oksidase, phospholipase C
dan adenil sikiase. Kemudian diikuti oleh influx ion Ca++
ekstraselular ke dalam sel. Reaksi enzimatik pertama terjadi 15
detik setelah ikatan IgE antigen terjadi. Kemudian akibat mobilisasi protein kinase C dan siklus AMP intraselular meningkat,
yang menyebabkan fusi membran granula dalam sitoplasma
mast cell, yang kemudian diikuti dengan degranulasi. Histamin
dan leukotrien akan menimbulkan respons segera berupa eritema, edema lokal. MediatorPAFpenting pada reaksi lambat, yang
ditandai dcngan penarikan sel-sel radang terutama neutrofil dan
eosinofil.
SISTEM IMUN PADA MATA
Mata juga dilcngkapi dengan sistem imun yang unik baik
imunitas alami maupun spesifik. Pertahanan alami dari adanya
kelopak mata dengan dilcngkapi bulu mata, air maw yang mengandung berbagai zat anti baktcri scperti: laktoferin, betalisin,
lisosim, antibodi dan bola maw yang utuh. Kornea dilengkapi
dengan tight junction antar sel yang mclindungi terhadap
masuknya partikel atau molekul asing. Permukaan sclnya ditutupi dengan lapisan jala seperti mikroplika dan mikrovili.
Molekul asing yang mencoba masuk ke dalam kornea harus
melalui berbagai rintangan tadi ditambah lagi dengan adanya
scrabut-serabut kolagen pada stroma dan mukopolisakarida.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

Limfosit tidak dijumpai pada stroma kornea maka hipersensitivitas lambat tidak dapat terjadi. Kornea kadang-kadang mengalami
peradangan yang biasanyadimulai padabagianlimbus kemudian
meluas ke kornea. Kepadatan struktur seluler kornea menghambat inisiansi reaksi radang pada kornea, oleh karena itu transplantasi kornea dapat dilakukan tanpa inflamasi sebab limfosit
tersensitisasi tidak dapat mencapai transplan. Transplantasi kornea
tidak menjadi masalah sebab antigen ABO tidak dijumpai pada
endotel kornea. Keberhasilan transplantasi kornea adalah 90%
(10% ketidakberhasilan karena adanya vaskularisasi atau terjadinya saluran limfatik karena infeksi kronis).
Walaupun kornea tidak mengandung limfosit tetapi mata
setiap beberapa detik sekali dibasahi oleh cairan yang diproduksi kelenjar tarsalis superior yang mengandung limfosit yang
banyak.
Korpus vitreum
CV tak mempunyai sistem imun. Tetapi karena turnover CV
sangat lambat, maka CV dapat bertindak sebagai adjuvant terhadap antigen.
Retina dan nervus optikus
Retina tidak mempunyai sistem imun sendiri.
Lensa
Lensa memiliki sistem imun khusus. Pada lensa yang utuh
tidal( ada antibodi atau limfosit atau molekul yang dapat masuk
ke dalam lensa. Lensa sebenarnya penuh dengan antigen yang
dapat memacu respons imunologik. Lensa tersusun atas 4 macam
protein. Tiga di antaranya adalah alfa, beta dan gama kristalin
yang bersifat solubel, sedang yang lain seperti albuminoid dan
tidak larut. Protein ini sebetulnya berasal dari kristalin alpha yang
sifatnya seperti albumin. Protein yang paling antigenik adalah
kristalin alfa. Zat albumin sifatsebagai adjuvan schingga protein
kristalin alpha dapat lebih antigenik. Bagian mata yang lain
seperti konjungtiva dan kelenjar air maw dilengkapi dengan
sistem imun lengkap, seperti limfosit T, B dan makrofag.
Air mata
Kelompok mata dapat menyapu partikel dan membcrsihkan
permukaan mata dan air maw dapat membuang partikel setelah
disapu. Dalam air mata terkandung berbagai jenis Imunoglobulin
(IgA, IgG, IgM, IgE). Kadar lg dalam air maw sebanding dengan
kadar dalam serum (lebih rendah). Sclain itu dalam mata terdapat
lizozim, komplemen dan histamin dalam kadar rendah. Ig predominan di dalam air mats adalah IgA. Konsentrasi secretory (s)
IgA pada air mata tikus kurang lebih 200 g/ml yang dihasilkan
oleh sel-sel plasma di dalam kclenjar lakrimal. Jumlah total selsel penghasil Ig tersebut meningkat sesuai dengan pertambahan
umur. Scl-sel penghasil Ig lainnya seperti IgG dan IgM terdapat
pula dalam jumlah yang relatif sedikit daripada scl-scl untuk IgA.
Sebagai contoh, pada umur 21 hari (tikus), jumlah scl-scl penghasil IgA adalah 10 dan 80 kali lebih banyak daripada jumlah selsel penghasil IgM dan IgG masing-masing/kelenjar lakrimal.
Kelenjar lakrimalis
Kira-kira berjumlah 642 kelenjar pada jaringan konjung-

tiva atas. Sel radang, limfosit dijumpai pada daerah interstitial


dan pada kelenjar lakrimalis asesoria. Suing dijumpai sel eosinofil dan (basofil tidak ada) juga dijumpai IgG, IgA, IgD, dan
IgE.
Imunoglobulin pada jaringan math
Ig dijumpai pada semua struktur mata dan jaringan sekitarnya kecuali lensa. Konsentrasi tertinggi pada kornea, khoroid,
konjungtiva dan lain-lain. Konsentrasi sedang pada otot dan
sklera, dan konsentrasi rendah dijumpai pada korpus siliare, iris,
korpus vitreum, retina.
PENYAKIT IMUNOLOGIK PADA MATA
Penyakit imunologik pada math dapat digolongkan dalam
dua bagian besar yaitu: antibody mediated dan cellular mediated
disease. Penyakit mata yang dimasukkan ke dalam antibody
mediated disease adalah hay fever conjunctivitis, vernal conjunctivitis dan atopic keratoconjunctivitis. Rheumatoid disease
yang mempengaruhi mata. Penyakit mata yang masuk dalam cell
mediated disease adalah ocular sarcoidosis, ophthalmia symphatica dan sindrom Vogt-Koyanagi Harada, reaksi transplan
kornea dan lain-lain.
Hay fever conjunctivitis, bentuknya seperti penyakit atopik,
antigen akan terikat pada IgEr pads sel mast yang diteruskan
dengan pelepasan histamin dan amin vasoaktif yang lain, dengan
segala akibatnya.
Vernal conjunctivitis seperti hay fever conjunctivitis biasanya pada musim panas. Atopic keratoconjunctivitis seperti hay
fever conjunctivitis, interaksi IgE dengan antigen akan memacu
degranulasi sel mast, selain itu juga terjadi infiltrasi sel mononuklear pada papila konjungtiva.
Termasuk Rheumatoid disease misalnya Ankylosing Spondylitis biasanya disertai kelainan pada mata berupa sakit, mata
merah dan fotofobi. Reiter disease lebih banyak mengenai pria
daripada wanita, kelainan pada mata berupa iridocyclitis pada
kedua mats dan disertai hypopion. Pemphigus vulgaris, biasanya disertai dengan rasa sakit karena adanya penempelan antibodi pada antigen selular epithel conjunctiva.
Lens-induced uveitis merupakan keadaan yang jarang, diduga
karena adanya antibodi beredar terhadap antigen lensa. Hal ini
dapat terjadi pada lensa yang menjadi permeabel terhadap protein akibat trauma atau penyakit.
Cell mediated disease. Penyakit ini dihubungkan dengan
cell mediated immunity atau delayed hypersensitivity. Berbagai
struktur mats diinvasi oleh sel mononuklear, terutama limfosit
dan makrofag. Pada ocular sarcoidosis, terjadi panuveitis dengan peradangan nervus optikus dan pembuluh darah retina.
Penderita biasanya anergik terhadap berbagai antigen mikrobia,
hal ini diduga karena aktivasi T supressor yang berlebihan.
Ophthalmia sympathica merupakan peradangan pada mata
kedua setelah mata pertama terkena trauma. Pada sebagian besar
kasus, uvea yang terkena trauma telah terpapar pada atmosfer
selama paling tidak 1 jam. Terjadi tanda-tanda uveitis anterior
setelah selama 2 minggu sampai beberapa tahun post trauma,
pada mata yang tidak terkena trauma. Kelainan ini sering disertai

dengan vitiligo dan poliosis. Sindrom Vogt-Koyanagi Harada


gambaran klinisnya berupa inflamasi uvea kedua mata disertai
iridocyclits, choroiditis bercak. Vitiligo dan poliosis biasanya
menyertai kelainan ini. Pada kedua penyakit ini terjadi hipersensitivitas lambat terhadap sel mengandung melanin. Material
solubel dari segmen luar lapisan fotoreseptor retina diduga merupakan autoantigen. Selain itu ada dugaan juga bahwa infeksi
virus dapat mengganggu struktur pigmen pada mata, kulit dan
rambut.
Penyakit Behcet. Ditandai dengan iridosiklitis yang berulang dan hipopion. Diduga karena hypersensitivitas lambat,
tetapi adanya kenaikan serum komplemen menimbulkan dugaan
kemungkinan merupakan immune complex disease.
Trachoma, yang disebabkan karena infeksi Chlamydia
trachomatis, adalah pen yebab utama kebutaan. Penyakit ini merupakan follicular conjunctivitis khronis, tapi sering melibatkan
kornea dalam bentuk keratitis punctata atau infiltrasi vaskuler
(pannus). Patogenesis pannus bclum diketahui pasti. Diduga
bahwa infeksi inisial Chlamydia memic.0 proses imunologik di
epitel konjungtiva, seperti ekspresi antigen MHC klas II. Ekspresi
klas II pada epitel ini mempunyai korcklsi positif dengan beratnya perubahan folikuler konjungtivam hipertrofi papiler dan
timbulnya pannus korneal. Gambaran histopatologik folikelfolikcl pada konjungtiva yang meradang menunjukkan adanya
infiltrasi sel-sel T mengelilingi sel-sei limfosit B.
Reaksi transplantasi kornea.Transplantasi kornea merupakan pengobatan untuk kekeruhan kornea yang disebabkan karena
trauma, bahan kimiawi, jaringan parut karena infeksi herpes,
disfungsi sel endotel, ktatokonus, dan lain-lain. Kornea merupakan jaringan manusia yang ditransplantasikan pertama kali,
sebab pada umumnya resipien toleran terhadap jaringan tadi. Hal
ini disebabkan karena: 1. kornea tidak mempunyai pembuluh
darah dan vasa limfatika, 2. tidak pernah mengalami presensitisasi dengan antigen kornea sebelumnya. Reaksi terhadap
cangkok kornea biasanya disebabkan karena kerusakan kornea
akibat infeksi. Kornea semacam ini biasanya telah ditumbuhi
pembuluh darah dan vasa limfatika. Oleh karena itu persyaratan
agar transplantasi berhasil adalah endothelium kornea harus sehat, untuk menjaga agar kornea tetap jernih, mekanisme pompa
tergantung pada energi untuk menjaga kornea dari pembengkakan
akibat air. Baik mekanisme seluler maupun humoral terlibat
dalam reaksi penolakan jaringan cangkok. Pada penolakan
cangkok awal (dalam 2 minggu) merupakan reaksi imunitas
selular, sel Tcytbergerak dari limbus ke arah kornea membentuk
garis penolakan. Reaksi penolakanlambat terjadi beberapa minggu
sampai beberapa bulan setelah pencangkokan. Penolakan lambat
diperankan oleh antibodi, dengan ikatannya dengan komplemen
akan mengaktivasi dan menarik PMN yang dapat membentuk
seperti cincin pada kornea di tempat deposisi maksimal dari
kompleks imun.

KEPUSTAKAAN
1.

Abba TI. Mechanism of inflammation. In: BasictlumanImmunology, 1st ed.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

2.
3.
4.
5.

London: Prentice Hall International Inc. 1991.


Abbas AK, Lichtman All. Immunologic tolerance and regulation of the
immune system. In: Cellular and Molecular Immunology. Philadelphia: W.B.
Saunders Co, 1991.
Allansmith MR. Clinical aspects of ocular immunology. In: The Eye and
Immunology. London: C.V. Mosby Co. 1982.
Davis JL, Mittal KK, Friedlin V dkk. HLA association and ancestry in Vogt
Koyanagi-Harada disease and sympathetic ophthalmia. Ophthalmolpgy,
1990; 97: 11371142.
Fong LP, de la Maza, Rice BA, Kuferman AE, Foster S. Immunopathology
of scleritis. Ophthalmology 1991; 98: 472478.

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

6.

Kervick GN, Pfugfelder, Haimovici R dkk. Paracentral rheumatoid corneal


ulceration. Clinicalfeatures and cyclosporin therapy. Ophthalmology 1992;
99: 8088.

7.

Tuft SJ, Kemeny M, Dart JKG, Buckley RJ. Clinical features of atopic
keratoconjunctivitis. Ophthalmology 1991; 98: 15501558.
Vaughan D, Asbury T. Immunologic disease of the eye. In: General Ophthal
mology, 10th ed. Lange Med. Public., Japan 1983.
Benjamini E, Leskowitz. Hypersensitivity reactions: Antibody mediated,
Typel-anaphylactic reactions. In: Immunology, a short course, 2nd ed. New
York: John Wiley & Sons Inc. 1991.

8.
9.

Kelainan Mata
pada Sindrom Imunodefisiensi
Fatma Asyari
Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN
Imunodefisiensi adalah suatu keadaan menurunnya daya
tahan seseorang. Keadaan ini dapat terjadi pada :
Kelainan kongenital (agamaglobulinemia)
Usia lanjut
Pemakaian obat-obat imunosopresif (pada penderita kanker, transplantasi)
Sindrom imunodefisiensi akuisita (AIDS/SIDA).
AIDS adalah suatu penyakit yang fatal yang mengenai
multi sistem tubuh manusia yang disebabkan oleh virus Human
Immuno Deficiency (HIV), suatu Retrovirus yang secara langsung menginfeksi sel-sel sistem imune terutama sel T sehingga
seluruh sistem imun menjadi lumpuh dan tidak sanggup menolak
kuman apapun yang masuk ke dalam tubuh penderita. Sebagai
akibat menurunnya kekebalan tubuh ini terjadi beberapa infeksi
oportunistik serta timbul tumor tertentu (yang tidak lazim serta
jarang), tanpa ada penyebab imunodefisiensi yang lain. AIDS
masa kini sudah menjadi masalah di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Meskipun penderita AIDS belum banyak
ditemukan, tapi kasus demi kasus sudah mulai bermunculan dan
tanpa diduga pertambahan kasus di Indonesia tergolong sangat
cepat, bahkan ditakutkan penyebaran AIDS di negara-negara
Asia lebih cepat daripada di negara-negara Barat.
Kasus AIDS yang dilaporkan di Indonesia sampai Maret
1993 dapat dilihat pada tabel 1.
Dalam 2 bulan terakhir terjadi 2 x lipat jumlah kasus dan
ini menunjukkan penambahan yang sangat cepat yang telah
menyebar pada 9 dari 27 propinsi di Indonesia.
Imunologi AIDS
HIV secara langsung menginfeksi sel-sel imun sehingga
terjadi gangguan fungsi imunologis penderita yang bersifat me-

Tabel 1.

Jumlah kasus AIDS/HIV di Indonesia sampai Maret 1993

Tahun

AIDS

HIV (+)

Jumlah

1987
1988
1989
1990
1991
1992

2
2
2
6
9
5

4
4
5
4
9
31

6
6
7
10
18
36

1993

49

54

Total

31

106

137

Tabel 2.

Jumlah kasus AIDS/HIV berdasarkan kebangsaan penderita


sampai Maret 1993
AIDS

HIV (+)

Jumlah

Indonesia
Asing

Tahun

19
12

49
52

68
64

Tidak diketahui

Total

31

106

137

Tabel 2. Jumlah kasus AIDS/HIV di Indonesia berdasarkan jenis kelamin


Maret 1993
AIDS

HIV (+)

Jumlah

Laki-laki
Perempuan

31
0

85
17

116
17

Tidak diketahui

Kelamin

netap dan progresif.


1. Kelainan pada imunitas seluler (CMI) ditandai dengan
limfopenia terutama sel T helper dan rasio T helper: T supressor
menjadi terbalik.

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea PERDAMI XXI 9-10 full 1993


di Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 11

2. Kelainan Imunitas Humoral.


3. Kelainan Kompleks Imun.
4. Kelainan Imunitas Fagosit.
5. Kelainan Sitokins (Limfokin).
Kelainan-kelainan tersebut menyebabkan pada penderita AIDS:
In Vivo :
penderita menjadi sangat rentan terhadap infeksi oportunistik.
timbul tumor yang tidak lazim.
respons hipersensitivitas tipe lambat (seluler) tidak ada.
In Vitro :
respons proliferasi limfosit terhadap antigen dan mitogen
terhambat.
efek sitostatik baik spesifik maupun nonspesifik menurun.
aloreaktivitas menurun.
tidak dapat memberikan bantuan kepada limfosit B.
Manifestasi AIDS pada mata pertama-tama dilaporkan oleh
Holland et al, (1992). Dikatakan bahwa 80% penderita AIDS
disertai kelainan mata dan berdasarkan kenyataan ini dokter mata
mempunyai peranan yang penting bahkan yang pertama mendeteksi, mendiagnosis adanya kelainan AIDS pada seseorang,
dapat mengevaluasi hasil terapi dan progresivitas penyakit serta
menentukan prognosis.
Manifestasi AIDS pada mata dapat dikelompokkan menjadi
4 kategori :
1. Lesi yang berhubungan dengan mikrovaskulopati retina.
2. Infeksi oportunistik.
3. Tumor mata dan adneksa.
4. Kelainan neuro oftalmik yang berhubungan dengan kelainan intrakranial.
Tabel 4.

Kelainan mata yang scring dijumpai pada AIDS

Cotton wool spots


CMV Retinitis
Perdarahan retina
Sarkoma Kaposi konjungtiva
Tabel 5.

2553% (75% autopsi)


434%
64%
10%

Kelainan mata yang jarang dijumpai

Herpes Zoster oftalmikus


Toxoplasmosis
Herpes simpleks retinitis
Cryptococcus
KELAINAN MIKROVASKULOPATI
Cotton wool spots yang dijumpai pada lebih dari 70% penderita AIDS merupakan manifestasi klinis yang paling sering,
merupakan salah satu manifestasi kelainan mikrovaskuler retina.
Akibat kerusakan pada endotel pembuluh darah kapiler terjadi
vaskulitis, mikro thrombus, dan menimbulkan gambaran klinis
edema, iskhemi, cotton wool spots, perdarahan, Roth's spot dan
mikro aneurisma pada retina.
Perubahan-perubahan mikro vaskuler ini tidak spesifik karena
menycrupai yang terjadi pada retinopati diabetika dan hipertensi,
anemia, SLE, leukemia dan dapat dilihat dengan jelas pada pemeriksaan Fundus Fluorescein Angiography. Pada AIDS lesi
biasanya mcngcnai polus posterior dckat papil.
Perdarahan retina pada AIDS dijumpai pada CMV Retinitis

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

atau bersama-sama dengan cotton wool spots dengan gambaran


klinis flame shaped, dot and blot, pungtata pada jaringan intra
retina perifer atau Roth's spot.
Gambaran kelainan mikrovaskular yang dapat dideteksi
dengan pemeriksaan FFA antara lain: mikroaneurisma, telangiektasia dan daerah non perfusi serta capillary loss.
Kelainan mikrovaskulopati konjungtiva dapat terlihat jelas
dengan pemeriksaan slit lamp seperti dilatasi kapiler, kaliber
yang ireguler, mikroaneurisma, agregasi eritrosit (granular
appearance) serta aliran darah yang lambat. Kelainan ini mudah
terlihat pada pembuluh darah inferior konjungtiva bulbi.

INFEKSI SEGMEN ANTERIOR MATA


a) Herpes Zoster Oftalmikus
Infeksi HZO dapat menimbulkan morbiditas yang tinggi
serta menentukan prognosis penderita 61% dari penderita HZO
di bawah usia 44 tahun (di New York City) merupakan anggota
dari kelompok risiko tinggi AIDS. HZO pada penderita AIDS/
HIV biasanya lebih berat dan berlangsung lebih lama dalam
bentuk klinis lesi kulit, keratitis, uveitis anterior dan keratitis
dendritika. Status imunodefisiensi pada infeksi HIV menyebabkan infeksi virus lebih aktif dan persisten pada epitel kornea.
Terapi dengan Acyclovir salep mata memberikan respons
yang baik. Pada infeksi berat, asiklovir sistemik harus diberikan
sedangkan steroid merupakan kontra indikasi untuk mencegah
imunodefisiensi yang lebih berat.
b) Infeksi Virus Herpes Simpleks
Infeksi Herpes Simpleks baikprimer maupun sekunder yang
luas dan rekuren pada kulit selaput lendir maupun mata menunjukkan suatu keadaan imunodefisiensi.
Pada penderita AIDS dengan infeksi HSV, vesicle dengan
dasar eritem dijumpai pada regio mulut, genital dan perianal,
acapkali berulang dan luas sehingga pengobatan harus dalam
jangka waktu yang lama.
Herpes Simpleks Keratitis
Lebih scring mengenai limbus perifer kornea dari pada
kornea sentral.
Rekurens sangat scring.
Perjalanan penyakit lama.
Pengobatan dengan asiklovir memberikan hasil yang cukup
baik terhadap virus tersebut, dalam mencegah kekambuhan serta
menghentikan replikasi virus. Asiklovir sistemik dapat mencapai akuous dan sistem saraf pusat sehingga dapat mencapai kadar
obat yang adekuat pada jaringan mata, otak maupun ganglion
trigeminal tempat reservoir virus. Dosis: 510 mg/kg BB intravena diteruskan dengan 200 mg 5x sehari Mama 23 minggu.
Akan tetapi pada penderita AIDS dcngan infeksi HSV yang
scring berulang dan luas pengobatan harus dalam jangka waktu
yang lama.
c) Keratomikosis
Jika pada hospcs normal keratomikosis acapkali didahului
olch trauma, atau pemakaian steroid, pada pendcrita AIDS kelainan ini dapat timbul secara spontan tanpa faktor predisposisi

Gambar 1 . Konjungtiva pada Sarkoma Kaposi, gambarannya menyerupai perdarahan subkonjungtiva

Gambar 2a . Infeksi oportunistik sitomegalovirus yang sangat progresif


cepat

pada kornea, dan dapat terjadi pada satu mata atau dua mata.
Jamur penyebab antara lain: Candida parapsilosis, Candida
albicans dan biasanya dapat disembuhkandengan terapi Amphotericin B, miconazol, ketoconazol.

Cytomegalovirus ditemukan pada seluruh lapisan retina dan


pigmen epitel retina kadang-kadang di khoroid. Pada 15 dari 100
penderita, CMV retinitis merupakan manifestasi initial penyakit
AIDS. Data epidemiologik menunjukkan bahwa CMV dapat
ditularkan secara seksual. Hampir 100% laki-laki homoseks
dengan infeksi HIV disertai seropositif CMV dan lebih dari
separuhnya CMV ditemukan pada urine dan semen.
Lebih dari 90% penderita AIDS disertai infeksi CMV (pada
pemeriksaan otopsi) dan lebih dari 50% terdapat CMV viremia.
Pengobatan masih merupakan masalah karena tidak ada
terapi spesifik untuk CMV, meskipun akhir-akhir ini dilaporkan
beberapa penelitian dengan antivirus yang dikenal dengan nama
DHPG atau Ganciclovir. Obat ini efektif terhadap CMV, karena
dapat mencegah replikasi virus, akan tetapi tidak dapat mengeradikasi virus yang tetap berada di retina. Oleh karena itu pemakaian harus terus menerus untuk mencegah reaktivasi serta
mempertahankan agar lesi tidak meluas. Dosis 5 mg/kg BB
intravena.
Pengobatan initial (induksi) selama 24 minggu dapat
menghentikan progresivitas retinitis, dan dengan dosis yang dipertaha,tkan dapat menghambat atau memperlambat kekambuhan. Pemberian secara intra vitreal 400 ug dalam 0.1 ml/
minggu dapat memberikan respons klinis yang sama dengan
pemberian secara intravena. Leukopenia merupakan efek toksik
obat yang bersifat reversibel bila obat dihentikan akan tetapi
reaktivasi dapat timbul 114 minggu setelah obat dihentikan.
Adenine Arabinoside 20 mg/kg BB secara temporer dapat
mengurangi virus shedding serta menghambat progresivitas
penyakit. Phosphonoformate (Foscarnet), suatu inhibitor virus
DNA polymerase, dapat melewati blood brain barrier dan dikatakan efektif terhadap CMV, dosis 60 mg/kg BB 3 dd.
Asiklovir dan V idarabine dikatakan tidak efektif terhadap CMV,
karena enzimnya berbeda.
Kekambuhan CMV retinitis sering terjadi meskipun masih

d) Keratitis Bakteri
Infeksi kornea oleh Pseudomonas aeruginosa, Stafilokok
aureus dan epidermidis pada penderita dengan imunodefisiensi
biasanya lebih berat serta lebih luas mengenai sklera bahkan
perforasi kornea. Pengobatan biasanya lebih sulit dan harus lebih
intensif dengan antibiotik.
e) Molluscum contagiosum
Pada penderita AIDS biasanya dengan onset yang lebih
cepat, lesi lebih besar dan lebih banyak.
INFEKSI OPORTUNISTIK SEGMEN POSTERIOR MATA
a) Retinitis Cytomegalovirus
Infeksi Cytomegalovirus merupakan penyebab utama penurunan visus, kebutaan bahkan kematian pada penderita AIDS
hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Infeksi CMV pada
retina disebabkan penyebaran secara hematogen ke retina.
Gambaran klinis yang khas pada retina dalam bentuk
eksudat, edema, perdarahan, vaskulitis yang sangat progresif dan
berakhir dengan nekrosis, kalsifikasi serta atrofi seluruh lapisan
jaringan retina, sedangkan jaringan khoroid relatif tidak terlibat,
karena virus ini bersifat neurotropik ditambah lagi peranan
membrana Bruch yang merupakan barrier mencegah masuknya
virus ke khoroid. Reaksi radang dapat juga terjadi di korpus
vitreum dan menimbulkan kekeruhan vitreous. Diagnosis klinis
tidak sulit, lesi retina yang khas yang disebut Pizza pie
appereance dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan funduskopi.
Ditemukannya antibodi terhadap CMV di dalam serum dan
akuos dapat menunjang diagnosis. Adanya CMV retinitis dapat
pula disertai infeksi CMV secara sistemik.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 13

Gambar 2b : Retinitis sitomegalovirus luas yang mengenai seluruh jaringan retina

Gambar 3 : Infeksi oportunistik toksoplasmosis di retina

dalam pengobatan (30-40%) bahkan dapat mencapai 100% bila


pengobatan dihentikan. Pengobatan dengan Imunopotensiator
dapat membantu memperbaiki status imunologis penderita.
Efek samping Gansiklovir :
toksis terhadap sumsum tulang (anemia, neutropenia,
trombositopeni).
toksik terhadap hepar.
toksik terhadap ginjal.
atrofi testis.
atrofi mukosa gastro intestinal.
CMV merupakan penyebab kelnatian akibat infeksi oportunistik yang paling sering pada penderita AIDS, dan oleh karena
CMV retinitis merupakan manifestasi lambat penyakit AIDS
hal ini menunjukkan prognosis yang buruk. Lesi retina meluas
dengan cepat dalam waktu beberapa bulan dan tidak mungkin
terjadi rcmisi spontan. Terapi dikatakan efektif, apabila lesi
CMV menunjukkan perbaikan dan tidak timbul lesi baru.

buhan.

b) Retinitis Herpes Simpleks dan Varicella Zoster


Berbeda dengan CMV Retinitis yang bersifat kronis dan
progresif, Herpes simpleks atau varicella zoster virus menimbulkan kelainan akut dan self limited dengan gambaran klinis
Acute Retinal Necrosis (ARN). Apabila CMV mencapai retina
mclalui penycbaran secara hematogen, HS dan VZ virus mencapai retina mclalui jalur saraf (neural pathway) dan otak. Gambaran klinis berupa fotofobi,floaters, penurunan tajam penglihatan dan rasa nyeri pada mata atau periokuler.
Injeksi cpisklera, keratik presipitat granulomatous dengan
gambaran vitritis. Nckrosis retina puffer luas, arteritis serta
neurotis optika dapat dijumpai pada satu atau kedua mata (1/3
kasus bilateral). Ablatio retina regmatogdn (akibat robekan
perifer retina) pada 50% pendcrita mcrupakan pcnycbab utama
penurunan visus.
Tanpa pengobatan ARN dapat mengalami perbaikan dalam
waktu 6 minggu. Pengobatan dcngan Asiklovir 500 mg intravena tiap 8 jam sclama 7-10 jam dapat mcmpercepat pcnyem-

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

c)

Retinitis HIV
Virus imunodefisiensi (HIV) sendiri dapat menginfeksi
jaringan retina seperti endotel kapiler retina dan sel-sel neuro
retina dan menimbulkan retinitis nekrotik (seperti CMV), vaskulitis serta deposit kompleks imun yang dapat memberikan gambaran cotton wool spots. Kerusakan kapiler mempermudah
masuknya CMV ke dalam retina. Masih belum pasti apakah
pengobatan dengan AZT dapat memperkecil angka kejadian
cotton wool spot maupun CMV retinitis pada penderita AIDS.
d) Retinitis Toxoplasmosis
Toxoplasmosis merupakan infeksi terbanyak kedua setelah
CMV pada penderita AIDS. Berbeda dengan toxoplasmosis pada
penderita dengan status imunologis yang kompeten yang biasanya akibat reaktivasi kista laten toxoplasmosis yang didapat
secara kongenital, pada penderita AIDS toxoplasma merupakan
infeksi primer di retina atau penyebaran secara hematogen dari
organ lain di luar mata terutama ensefalitis. Lebih dari 50%
penderita dengan Toxoplasmosis Retinitis disertai ensefa litis
oleh karena itu pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras harus
dilakukan.
Gejala klinis berupa floaters, fotofobi dengan uveitis anterior granulomatous serta vitritis, fokal atau multifokal retinitis
nekrotik dapat dijumpai pada pemeriksaan fundus yang dapat
meluas mengenai beberapa kwadran retina, kadang-kadang disertai perdarahan, ablatio rhegmatogen dan nekrosis retina.
Pada penderita AIDS infeksi toxoplasmosis tidak self
limited seperti halnya penderita dengan imuno kompeten, oleh
sebab itu pengobatan spesifik harus diberikan. Pirimetamin
(Daraprim) 25-50 mg/hari atau Klindamisin (Dalacin) 300
mg 4x sehari selama 3-4 minggu. Kekambuhan sangat mudah
terjadi oleh karena itu pengobatan harus terus menerus. Steroid
sistemik tidak diberikan.

e) Retinitis Sifilis
AIDS dan Sifilis keduanya merupakan infeksi akibat hubungan seksual dan angka kejadian sifilis pada penderita AIDS
cukup tinggi. Ulkus durum dapat merupakan jalan masuk HIV ke
dalam darah; status imuno supresi yang terjadi meningkatkan
kerentanan penderita terhadap infeksi serta transmisi sifilis.
Manifestasi klinis sistemik dan okuler pada AIDS lebih
berat, lebih lama dan sulit diobati serta mudah kambuh. Retinitis
terjadi pada fase sifilis sekunder akibat diseminasi hematogen
(spirochaetaemia), biasanya disertai neurosifilis. Gambaran klinis
berupa floaters, penurunan tajam penglihatan, fotofobi, uveitis
anterior kadang-kadang disertai hipopion vitritis dan flebitis
retina.
Gambaran Retinitis nekrotik sifilis berupa :
bercak putih kekuning-kuningan pada retina perifer.
bercak putih keabu-abuan berbentuk anular pada retina
bagian dalam (pigmen epitel) pada polus posterior.
Respons terhadap terapi Penisilin merupakan tes terapeutik dan diagnostik. Tes serologis FTA-ABS, MHA-TP, VDRL
biasanya positif. Terapi terhadap neurosifilis berupa :
Penisilin akuous 2 juta unit IV/tiap 4 jam selama 1 minggu.
Doksisilin 100 mg oral 2 dd selama 3 minggu (Penisilin
alergi).
Pengobatan yang efektif akan disertai penurunan titer VDRL
dalam waktu 6 bulan.

Infeksi retina oleh mikro organisme lain


Meskipun Candidiasis mukokutan dan cryptococcal meningitis sering terjadi pada penderita AIDS akan tetapi retinitis
akibat infeksi jamur sangat jarang, demikian pula Endoftalmitis
endogen akibat infeksi baked Bacillus cereus atau stafilokok
epidermis. Histoplasmosis okuler diseminata pernah dilaporkan, dengan gambaran Minis retinitis, uveitis dan neuritis optika.

jungtiva forniks, dan bulbi bagian inferior (menyerupai perdarahan subkonjungtiva granuloma atau hemangioma). Tumor ini
bersifat agresif, multifokal dan sering kambuh.
Sarkoma Kaposi pada mata biasanya asimtomatik, kadangkadang disertai iritasi ringan. Komplikasi seperti perdarahan,
trichiasis, infeksi, gangguan kosmetis, proptosis, ptosis akibat
limfedema dan perdarahan peri-okular serta diplopia akibat
parese saraf okuler.
Tumor sarkoma Kaposi berwarna kemerah-merahan, padat,
dengan gambaran histopatologis yang karakteristik terdiri atas
proliferasi vaskuler, sel-sel spindle dan serat-serat retikulin,
diduga berasal dari sel endotel. Tidak ada pengobatan spesifik
untuk sarkoma Kaposi, hanya bersifat paliatif. Radioterapi memberikan respons baik pada 93100% penderita dengan sarkoma
Kaposi non epidemik yang terjadi pada penderita AIDS tidak
begitu memuaskan.
Pengobatan dengan Interferon hanya 10% memberikan
respons baik, 20% memberikan respons partial sedangkan
sebagian besar penderita tidak memberikan hasil yang baik.

KELAINAN NEURO OFTALMIK


Akibat AIDS dapat ditemukan dalam bentuk klinis seperti:
parese nervus kranialis, kelainan lapang pandangan, papil atrofi
yang merupakan manifestasi okular dari tumor ataupun infeksi
intra kranial.

f)

g) Pneumosistis carinii korioretinitis


Meskipun Pneumosistis carinii merupakan infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai pada penderita AIDS (60%),
akan tetapi kelainan mata yang disebabkan oleh parasit ini sangat
jarang. Gambaran klinis dalam bentuk lesi multifokal, bulat,
eksudat kekuning-kuningan pada koroid. Efektivitas pengobatan masih belum dapat diketahui dengan pasti, pada beberapa
kasus terjadi regresi lesi dengan pengobatan Pentamidine Intravena, akan tetapi kekambuhan terjadi apabila pengobatan sistemik dikurangi.

TUMOR
Tumor Sarkoma Kaposi dan Limfoma merupakan tumor
yang sering terjadi dan berhubungan dengan AIDS.
Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi merupakan salah satu manifestasi yang
sering dijumpai pada penderita AIDS (24%) dan 20% dari
sarkoma Kaposi dapat mengenai mata, yaitu pada palpebra atas/
bawah menyerupai hordeolum atau hemangioma dan pada kon-

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN BAGI KONTAK DENGAN PENDERITA AIDS


Oleh karena virus AIDS pernah diisolasi dari cairan tubuh
(selain darah dan semen) seperti saliva, air mata, juga ditemukan
pada sel-sel epitel konjungtiva, kornea, akuous serta iris, serta
dosis minimal untuk dapat tertular HIV tidak diketahui dengan
pasti, maka pencegahan terhadap inokulasi secara tidal( sengaja
haruslah diperhatikan. Meskipun sangat jarang, pernah dilaporkan 4 kasus yang tertular akibat tusukan jarum yang terkontaminasi darah penderita HIV; 2 kasus tertular secara kontak
melalui kulit atau mukosa (HIV dapat ditularkan melalui konjungtiva!).
Di Amerika pernah dilaporkan 84 kasus tenaga kesehatan
yang tertular HIV. Dokter dan perawat harus memperhatikan
hal-hal tersebut di bawah ini agar tidak tertular HIV :
1) Mencegah terjadi luka akibat terkena instrumen tajam atau
jarum terkontaminasi dengan cairantubuh pasien AIDS atau
kontak langsung melalui luka pada kulit/mukosa/konjungtiva.
2) Sarung tangan harus dipakai dalam menangani hal-hal yang
berhubungan dengan cairan tubuh penderita dan pada setiap
manipulasi kelopak mata, mukosa, atau bila terdapat luka terbuka.
3) Memakai baju pelindung (gowns) pada tindakan-tindakan
yang memungkinkan terpercik darah/cairan tubuh penderita.
4) Cuci tangan segera setelah melepaskan sarung tangan atau
baju pelindung dan setelah setiap pemeriksaan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 15

jarum suntik yang sudah dipakai tidak perlu ditutup kembali


untuk mencegah tertusuk jarum tersebut. Semua specimen yang
didapat dari penderita AIDS harus diberi label infectious.
Dokter mata harus terbiasa melihat manifestasi AIDS pada
mata, untuk dapat mendiagnosis secara dini, menilai hasil pengobatan, progresivitas penyakit serta prognosis.

5) Masker dipakai bila memeriksa di dalam ruangan penderita


dengan gejala batuk. Penderita AIDS dengan batuk harus memakai masker bila berada di tempat umum (meskipun belum
terbukti adanya transmisi AIDS melalui udara).
6) Kaca mata/goggles harus dipakai bila berhubungan dengan
darah atau cairan tubuh yang mungkin muncrat dari penderita.
Transmisi melalui konjungtiva dapat terjadi.
7) Wanita hamil sebaiknya tidak merawat penderita AIDS
untuk mencegah terinfeksi CMV pada janin.
8) Disinfeksi alat-alat instrumen (Tonometer) dengan cara:
direndam selama 510 menit dalam larutan :
1. 3% hidrogen peroxida.
2. 10% sodium hipoklorit (bleach).
3. 70% etanol atau isopropanol.
Kemudian dibilas dan dikeringkan.
Slit lamp biomikroskop harus dibersihkan dengan larutan
desinfektan.
Lensa kontak harus disterilisasi dengan H2O2 3% selama
10 menit. Cairan pembersih lensa kontak belum terbukti dapat
menghambat pertumbuhan HIV.
Instrumen operasi dapat disterilisasi seperti biasa (otoklaf
uap atau gas).
9) HIV harus diperiksa pada donor krnea (pemeriksaan ini
sulit dilakukan) atau serologi HIV pada darah kadaver donor.
10) Semua alat disposable yang terkontaminasi harus dimasukkan dalam tempat kedap air, puncture resistant dan diberi label,

KEPUSTAKAAN
1.

Palestine AG et al. Ophthalmic involvement in Acquired Immunodeficiency Syndrome. Ophthalmology 1984; 91 (Nov): 1092-1099.
2. Pepose JS et al. Acquired Immune Deficiency Syndrome. Pathogenic
mechanisms of Ocular Disease.
3. Sison RF et al. Cytomegalovirus retinopathy as the initial manifestation of
AIDS. Am. J. Ophthalmol 1991; 112: 243-249.
4. Cochereau I et al. Efficacy and tolerance of intra vitreal ganciclovir in
CMV retinitis in AIDS. Ophthalmology 1991; 98: 1348-1355.
5. Nanda M et al. Fulminant pseudomonal keratitis and scleritis in HIV
infected patients. Arch. Ophthalmol 1991; 109: 503-505.
6. Specht CS et al. Ocular histoplasmosis with retinitis in patient with AIDS.
Ophthalmology 1991; 98(9): 1356-59.
7. Foster RE et al. Presumed pneumocystis carinii choroiditis. Unifocal
presentation, regression with intra venous Pentamidine and choroiditis
recurrence. Ophthalmology 1991; 98(9): 1360-65.
8. Holland GN. Ocular Manifestations of AIDS. Audio digest Ophthalmology.
9. Ammann AJ. The immunology of AIDS. International Ophthalmology
Clinis, 1989; 29 (2).
10. Culbertson WW. Infection of the retina in AIDS. International Ophthalmology Clinic, 1989; 29 (2).
11. Suriadi Gunawan. Masalah penyebaran AIDS di Indonesia. MKI93:43 (4).

Catatan Redaksi :
Naskah berjudul:'Virus HcpatitisC pada Hepatitis Menahun dan Sirosis Hati di Surabaya'
olch Widawati Socmarto yang ditcrbilkan dalam Cumin Dunia Kedokteran 1993; 85:
1113 sudah pernah ditcrbitkan di Majalah Ilmu Pcnyakit Dalam Surabaya, vol. 17, no.
2, AprilJuni 1991, hal. 3844.
Dalam karangan tersebut, Tabe12 seharusnya seperti yang tercantum di bawah ini :
Tabel 2. Prevalensi AntiHCV dikaitkan dengan HllsAg
HBsAg +
N

HCV+

HllsAg HCV+

Hepatitis menahun
Sirosis hati
NLD

8
4

n
0
1
0

%
0
25

47
56

n
27
37
0

%o
57.4
66

Jumlah

12

8.3

103

64

62

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

Jumlah
N
55
60
39

HCV+
n
27
38
0

%
49,1
63.3
0

Beberapa Kelainan Kornea yang


Berhubungan dengan Proses Imunologik
Gunawan
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada, Yogyakarta

PENDAHULUAN
Mata kadang-kadang dipandang sebagai sasaran khusus
untuk proses imunologi(1,2). Dalam kenyataannya kelainan
imunologik lebih banyak tampak pada mata dibanding dengan
organ lain di badan, sebab organ lain pada saat terjadi serangan
tetap dalam keadaan "tenang". Kelainan mata yang dijumpai
akibat proses imunologik dapat berupa konjungtiva yang hiperemi, khemosis, dan disertai rasa sakit. Jika proses imunologik
menyangkut kornea, dapat ditandai oleh hiperemi konjungtiva,
epifora, fotofobia, dan kabur, kadang-kadang timbul rasa sakit.
Kekaburan yang berat akibat proses imunologik pada kornea
dapat menyebabkan kebutaan.
Parut kornea karena ulkus kornea merupakan penyebab
terbesar kebutaan dan pengurangan penglihatan di mana-mana di
dunia. Kebanyakan proses kebutaan atau pengurangan penglihatan
ini dapat dicegah, bilamana diagnosis sitologik ditegakkan
seawal mungkin dan ditangani secara benar(1).
Beberapa peneliti telah melaporkan tentang ketidakberhasilan menangani berbagai keratitis. Suwono (1988r) menerangkan, bahwa dari 8 kasus ulkus kornea dengan hipopion pada
tahun 1987 terdapat 6 kasus sembuh, sedangkan 2 kasus mengalami eviserasi karena endoftalmitis. Syawal (1988)(3) meneliti
25 penderita ulkus kornea antara tahun 19841987 dan 4 penderita di antaranya mengalami eviserasi. Panda dan Gupta (1991)(5)
meneliti 91 mata dengan ulkus kornea karena bakteri stafilokok
yang menunjukkan, bahwa lebih dari 60% spesimen resisten
terhadap pemberian kloramfenikol dan kloksasilin dan 2 mata
terjadi endoftalmitis. Selanjutnya Rahman dan Dhaka (1991)
melaporkan, bahwa keratitis jamur hanya 35% yang responsif

terhadap pengobatan anti-jamur baik sistemik maupun lokal.


Hoetaryo (1988)(6) meneliti 183 penderita keratitis herpes simpleks menyatakan, bahwa peradangan kornea di sini akibat
reaksi hipersensitivitas yang timbul karena adanya sel yang
rusak. Ishikawa (1991) memeriksa 50 kasus keratitis diskiformis
dengan angka kekambuhan 30% dalam periode 2 tahun setelah
pengobatan antiviral dan kortikosteroid. Tokushima (1991)
menyatakan, bahwa keratitis virus merupakan penyakit yang
banyak terjadi, dan merupakan penyakit yang sukar diobati.
Tidak jarang di jumpai ulkus kornea yang pada pemeriksaan
kerokan dari dasar maupun dari tepi ulkus kornea tidak ditemukan kuman, baik pemeriksaan mikroskopik maupun pembiakan.
Sebaliknya, walaupun pemeriksaan kerokan menemukan jamur,
bakteri atau virus, namun penanganannya yang telah sesuai
dengan hasil uji sensitivitas tidak mencapai hasil, proses radang
terus berlangsung dan berakhir dengan kebutaan.
Karena berbagai permasalahan mengenai keratitis yang
tidak memuaskan, maka perlu dipikirkan kemungkinan adanya
proses imunologik yang ikut berperan. Tulisan ini bertujuan
untuk menelaah beberapa kelainan kornea yang melibatkan
proses imunologik. Dengan demikian diharapkan dalam penanganan keratitis memiliki dimensi yang lebih luas namun lebih
terarah.

REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang
bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik dan didapat. Ada 2
macam imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XX! 9-10 Juti 1993 di


Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 17

secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5


macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem
imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bilamana ketemu dengan antigen lalu mengadakan diferensiasi dan
menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk
menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk tubuh, maka tubuh akan
mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka
ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan
tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas
atau alergi.
Reaksi hipersensitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
Tipe I: reaksi anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan
antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel
basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Tipe II: reaksi sitotoksik
Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal
ini IgG dan IgM dengan adanya komplemen akan berikatan
dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel
tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat. Menurut
Smolin (1986), reaksi allograft dan ulkus Mooren merupakan
reaksi jenis ini.
Tipe III: reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen
membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophic chemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya
peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada
pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat
berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri
(stafilokok, pseudomonas) dan jamur(2). Reaksi demikian juga
terjadi pada keratitis Herpes simpleks(7).
Tipe IV: reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan
adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang
berperanadalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler.
Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang
berakibat terjadi peradangan lokal. Reaksi ini pada kornea dijumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti(2,7,8), keratokonjungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks(7) dan keratitis
diskiformis(9).
PATOFISIOLOGI
Mata yang kaya akan pembuluh darah dapat dipandang sebagai pertahanan imunologik yang alamiah. Pada proses radang,
mula-mula pembuluh darah mengalami dilatasi, kemudian terjadi kebocoran scrum dan clemen darah yang meningkat dan
masuk ke dalam ruang ekstraseluler. Elemen-elemen darah
makrofag, leukosit polimorf nuklear, limfosit, protein C-reaktif,

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

imunoglobulin pada permukaan jaringan yang utuh membentuk


garis pertahanan yang pertama.
Karena tidak mengandung vaskularisasi, mekanisme kornea
dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah. Keadaan ini
dapat berubah, kalau di kornea terjadi vaskularisasi. Rangsangan
untuk vaskularisasi rupa-rupanya timbul oleh adanya jaringan
nekrosis, mungkin dipengaruhi adanya toksin, protease atau
mikroorganisme. Secara normal kornea yang avaskuler tidak
mempunyai pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi terjadi
juga pertumbuhan pembuluh limfe dilapisi sel. Reaksi imunologik di kornea dan konjungtiva kadang-kadang disertai dengan
kegiatan imunologik dalam nodus limfe yang masuk(2).
Limbus, korneaperifer dan sklera letaknyaberdekatan dapat
ikut terkait dalam sindrom iskhemik kornea perifer, suatu kelainan yang jarang terjadi, tetapi merupakan kelainan yang serius. Patofisiologi keadaan ini tidak jelas, barangkali hubungan
kornea dengan sklera di limbus dapat bertindak sebagai
nodulus limfe aksesorii yang ikut terkait dalam menimbulkan
penyakit imunologik. Antigen cenderung ditahan oleh
komponen polisakarida di membrana basalis. Dengan demikian
antigen dilepas dari kornea yang avaskuler, dan dalam waktu
lama akan menghasilkan akumulasi sel-sel yang memiliki
kompetensi imunologik di limbus. Sel-sel ini bergerak ke arah
sumber antigen di kornea dan dapat menimbulkan reaksi imun
di tepi kornea. Sindrom iskhemik dapat dimulai oleh berbagai
stimuli.
Bloomfield (1986) menerangkan, bahwa pada proses imunologik secara histologik terdapat sel plasma, terutama di konjungtiva yang berdekatan dengan ulkus(7). Penemuan sel plasma
merupakan petunjuk adanya proses imunologik. Pada keratitis
herpetika yang khronik dan disertai dengan neo-vaskularisasi
akan timbul limfosit yang sensitif terhadap jaringan kornea(2).
PENGEJAWANTAHAN REAKSI IMUNOLOGIK DI
KORNEA
Reaksi imunologik dapat terbatas hanya pada kornea atau
pada mata bagian luar. Namun dapat juga terjadi, bahwa kelainan di kornea merupakan pengejawantahan reaksi imunologik
yang sistemik. Reaksi imunologik yang hanya terbatas di kornea
misalnya : ulkus Mooren merupakan reaksi tipe II, keratitis
herpes simpleks dan beberapa keratitis akibat infeksi dapat merupakan reaksi tipe III. Adapun reaksi penolakan pasca keratoplasti merupakan reaksi tipe IV. Reaksi imunologik sistemik
dengan pengejawantahan di kornea misalnya terjadi sindrom
SjSgren, dalam hal ini disertai dengan kelainan di konjungtiva.
1. Ulkus Mooren
Meskipun bukti kuat menunjukkan bahwa ulkus Mooren
adalah suatu fenomena auto-imun, tetapi penyebabnya yang
tepat tetap merupakan misteri(2). Terjadinya ulkus Mooren didahului oleh infeksi atau trauma mata (Schanzlin,1983; Smolin,
1986). Hal ini dapat diterangkan karena jaringan kornea telah
diubah sedemikian rupa sehingga lama tidak dikenal oleh
respon imun sendiri. Beberapa peneliti menunjukkan, bahwa
epitel kornea memiliki antigen yang spesifik. Antigen ini dapat

tersebar difus berada di 1/3 bagian depan stroma kornea yang


bentuknya berubah-ubah dan memegang peranan terjadinya
respon imun tersebut. Dengan demikian asumsi logiknya adalah
mengingat penyakitnya terbatas pada epitel kornea dan 1/3
bagian depan stroma, maka pengambilan jaringan tersebut dapat
menyebabkan pengurangan proses penyakitnya.
Banyaknya sel plasma dan eosinofil di jaringan konjungtiva
dan kornea menunjukkan bahwa penderita ulkus Mooren mempunyai penyakit imunitas. Sel plasma dapat berikatan dengan
complement binding antigen di kornea yang kemudian menarik
leukosit polimorfnuklear. Pada beberapa penderita ulkus Mooren
diketemukan komplemen di epitel kornea IgM dan IgG(2). Menurut Bloomfield, ulkus Mooren merupakan reaksi tipe III yang
aktin.
Beberapa pengamat menyimpulkan bahwa konjungtiva
memegang peranan penting dalam proses imunopatologinya.
Brown et al. (dalam Schanzlin, 1983) melaporkan adanya
banyak sel plasma di konjungtiva dekat daerah ulkus kornea dan
konjungtiva menunjukkan aktivitas kolagenolitik.
Gambaran klinik ulkus Mooren berupa ulkus non purulen,
khronik, progresif dan letaknya marginal. Infiltrat mulai dari
stroma kornea bagian depan, merusak epitel di atasnya, kemudian meluas sirkumlimbal dan sentripetal. Kira-kira 35% ulkus
Mooren bersifat dwipihak. Di antara ulkus dan limbus kornea
terdapat bagian kornea yang tidak terkena dan keadaan ini yang
membedakan dengan ulkus marginalis yang disertai dengan
artritis rematoid, atau ulkus perifer Terrien(2).
Ulkus Mooren mulai dari sebelah nasal atau temporal.
Cirinya adalah ulkus yang menggaung, mengenai 1/3 atau 1/2
tebal kornea (Schanzlin, 1983; Smolin, 1986). Beberapa bagian
ulkus masih aktif, sedangkan bagian lain menyembuh. Ulserasi
ini berlangsung antara 313 bulan. Sensasi kornea masih normal
atau sedikit menurun. Adanya hipopion atau perforasi jarang
terjadi. Kadang-kadang rasa sakit demikian berat, sehingga
tidak responsif dengan pengobatan anestetika lokal atau antiflogistik.
Diagnosis banding ulkus Mooren meliputi: (1) Ulkus kataral stafilokok yang tidak progresif, tepi ulkus tidak menggaung;
(2) Degenerasi Terrien di sebelah nasal atas, berkembang sirkqmlimbal, dengan vaskularisasi, tepinya tidak menggaung,
lebih benigna; (3) Ulkus perifer karena infeksi (pneumokok,
gonokok) dengan eksudat yang purulen; (4) Ulkus marginalis
karena artritis reumatoid, yang sifatnya dwipihak (50%), terutama pada wanita.
Penanganan ulkus Mooren menurut Schanzlin (1983), pada
zaman dahulu menggunakan asam karbol, formalin, tinktura
jodii, asam nitrat, kuretage, asam trikhlorasetat, dan kauter
galvanisasi. Pengobatan yang diberikan dengan khemoterapi
dan antibiotik seperti merkurisianida, suntikan subkonjungtiva
dengan merkuri bikhlorida. Juga dilakukan iradiasi, injeksi vitamin Bl dan suntikan tuberkulin. Cara pengobatan ini semua dipandang tidak efektif.
Pavan-Langston (1985) menerangkan bahwa obat-obat
imunosupresif mungkin bermanfaat. Eksisi konjungtiva dan
resesi kon jungtiva dengan atau tanpa krioterapi pada bagian yang

dieksisi dapat berhasil pada beberapa kasus, tetapi keadaan ini


dapat kambuh.
Menurut Smolin (1986), penanganan ulkus Mooren mulamula dengan steroid topikal (prednisolon asetat 1%) setiap jam,
kemudian dinaikkan setiap 30 menit. Kalau mengalami penyembuhan diadakan penurunan dosis untuk kemudian dihentikan.
Bilamana tidak membawa respon dapat dilakukan eksisi konjungtiva. Bilamana keduanya tidak berhasil, dapat diberi terapi
imunosupresif sistemik, setelah konsultasi internis atau onkologis. Penggunaan imunosupresif dapat menggunakan kombinasi siklofosfamid 100 mg/hari. Selanjutnya Smolin (1986)
mengatakan bahwa penderita ulkus Mooren berusia lanjut dan
satu pihak lebih responsif terhadap terapi. Sedang yang dwipihak
mungkin tidak responsif terhadap semua jenis terapi.
Penggunaan lensa kontak hidrofilik pada ulkus Mooren
mungkin dapat mengurangi rasa sakit yang hebat, namun hal
ini tidak mempengaruhi jalan penyakitnya. Keratektomi dan
pembuatanflap konjungtiva tidak membawa hasil juga.
Maumenee menyarankan pengambilan kornea bagian depan, tetapi menurut Brown dan Mondino ternyata bahwa tindakan ini hanya berhasil pada jumlah kasus yang terbatas (Smolin,
1986).
2. Reaksi penolakan
Tindakan operasi untuk mengganti kornea resipien yang
sakit dengan kornea donor yang sehat kadang-kadang mengalami kegagalan oleh adanya reaksi penolakan dari resipien terhadap kornea donor. Reaksi ini dapat terjadi paling awal 2 atau
3 minggu sampai beberapa tahun pasca bedah. Diagnosis reaksi
penolakan ditegakkan berdasar hal-hal berikut: pengurangan
visus, mata merah, rasa yang tidak enak di mata dan silau. Pada
pemeriksaan terdapat injeksi perikornea graft yang udem, flare
positif dan KP di graft.
Angka keberhasilan pencangkokan kornea tinggi, karena
kornea yang avaskuler dan di kornea tidak ada saluran limfe(7).
Kalau hal ini terdapat kemudahan peningkatan reaksi imunologik maka akan menimbulkan reaksi tipe IV, yang berupa reaksi
penolakan.
Menurut Smolin (1986), teknik operasi dapat digunakan
untuk mengurangi kecendrungan reaksi penolakan. Reaksi penolakan meningkat bilamana digunakan graft yang lebih besar
daripada 8,5 mm. Graft yang kecil mempunyai sedikitsel Langerhans, sel Langerhans terbanyak berada di dekat limbus.
Insiden reaksi penolakan pada kornea dengan vaskularisasi
adalah 1012%. Insiden ini meningkat dengan adanya vaskularisasi kornea yang makin banyak. Kecuali itu adanya trauma atau
radang kornea yang dapat melebarkan pembuluh darah atau
benang sutera yang menimbulkan vaskularisasi dapat
meningkatkan kemungkinan reaksi penolakan.
Penanganan terhadap reaksi penolakan tetap menggunakan
kortikosteroid(2). Pada stadium awal penolakan endotel responsif
terhadap pemberian steroid topikal. Bilamana reaksi penolakan
itu meluas, sehingga banyak endotel yang rusak, maka pemberian steroid dapat menghentikan proses destruksi tersebut,
tetapi tidak dapat mempertahankan kejernihan graft. Pemberian

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 19

steroid tetes merupakan hal yang panting. Prednison asetat mampu


menembus kornea dengan baik bilamana epitel masih utuh,
sedangkan prednison fosfat tidak dapat menembus kornea. Bilamana epitel telah dihilangkan, preparat fosfat akan menembus
dengan memuaskan. Bilamana diperlukan kortikosteroid sistemik untuk reaksi penolakan yang sedang atau berat dapat
diberikan 1012 tablet prednison sehari selama 2 minggu, bersama-sama dengan obat topikal. Sesudah 2 minggu pemberian
obat sistemik dikurangi, sedangkan pemberian secara topikal
ditingkatkan.
Keratoplasti ulang perlu disiapkan bilamana graft yang
udem tidak hilang dengan terapi kortikosteroid yang maksimum
selama 1 tahun. Penderita yang mengalami operasi ulang mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya reaksi penolakan.
Salah satu efek samping pengobatan dengan kortikosteroid
baik sistemik maupun lokal pada mata ialah melambatkan dan
mengurangi kualitas penyembuhan luka. Selanjutnya pemakaian
imunosupresif yang sistemik dapat mengakibatkan supresi
sumsum tulang(2).
3. Keratitis Herpes Simpleks
Pada dasarnya ketidakseimbangan imunitas penderita dapat
menyebabkan terjadinya aktivasi virus herpes dan selanjutnya
mampu menimbulkan keratitis. Suatu keratitis dendritika yang
akut kadang-kadang disertai dengan riwayat depresi pertahanan
penderita mengenai kesehatannya maupun imunosupresi penderita oleh penyakit yang mendasari. Kadang-kadang seseorang
penderita dapat menerangkan riwayat sires yang bersifat psikogenik, adanya demam, dan lain-lain. Kondisi imunosupresi dapat
juga terjadi akibat penggunaan kortikosteroid sistemik yang
menimbulkan aktivasi keratitis herpes simpleks(7).
Pada infeksi virus mula-mula kadar IgM meningkat, kemudian kadar IgG dalam darah juga meningkat dan akhirnya tampak
antibodi IgA dalam sekresi mukosa(2). Selanjutnya dikatakan,
bahwa antibodi menghancurkan virus ekstraseluler. Virus yang
bergabung dengan antibodi terutama dengan IgA akan dicegah
perlekatannya dengan sel membran dan menginfeksi jaringan.
Reaksi hipersensitivitas tipe II (sitotoksik) yang ditingkatkan
oleh IgG antibodi memudahkan fagositosis dan netralisasi virus.
Dalam keratitis virus herpes simpleks yang kambuh, terjadi
kelainan kornea yang khas ialah keratitis dendritik yang kadangkadang sebagai keratitis marginal. Virus herpes simpleks yang
stromal disertai oleh reaksi tipe IV dapat terjadi pada penderita
yang mengalami depresi sistem imun akibat penggunaan kortikosteroid, karena usia lanjut, atau karena penyakit sistemik(2).
Keratitis diskiformis dapat merupakan hasil reaksi tipe IV
terhadap antigen virus herpes(2,9). Dengan pemberian kortikosteroid sedikit dapat menghasilkan kejemihan kornea sebagian
atau seluruhnya akibat hilangnya udem dan infiltrat. Penanganan
dilakukan dcngan melakukan debridemen atau khemoterapi
topikal atau keduanya akan mampu mencegah sintesa virus,
terutama untuk yang akut. Obat-obat antiviral seperti asiklovir
dan kortikosteroid dapat diberikan untuk keratitis stromal.
Pcmbcrian vitamin A akan mcningkatkan sintesis antibodi dan
dapat dibcrikan bersama-sama dcngan pcmberian hidrokortison.

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

4. Keratitis karena bakteri


Bakteri stafilokok mampu menghasilkan substansi. Substansi ini meningkatkan kemampuannya untuk berlipat ganda
dan menyebar secara luas ke dalam jaringan. Substansi tersebut
adalah eksotoksin, leukosidin, koagulase, dan enterotoksin. Permukaan stafilokok ditutupi dengan substansi yang dinamakan
protein A, yang menghambat fagositosis. Bakteri stafilokok yang
telah difagositosis masih mampu bertahan dalam jangka waktu
lama.
Infeksi stafilokok mungkin merupakan suatu reaksi antigenantibodi pada ulkus kornea marginal. Apabila dilakukan kerokan
ulkus tidak diketemukan mikroorganisme, merupakan tanda
bahwa ulkus kataral ini suatu fenomena imun(2,10). Ulkus marginalis dan kultur yang negatif digambarkan sebagai hipersensitivitas tipe III terhadap bakteri stafilokok(11)
Terapi ulkus kornea kataral dapat ditambah dengan steroid
tetes dalam regimen dengan dosis prednisolon 0,12% 23 kali
sehari. Pada dasarnya dosis rendah adalah antiinflamasi, dosis
tinggi dapat bekerja sebagai imunosupresif, sehingga dapat berperan untuk menekan reaksi imunologik(2).
5.

Keratitis superfisialis pungtata Thygeson


Keratitis ini memiliki basis reaksi imunologik, sebab responsif terhadap pemberian kortikosteroid. Biasanya terjadi pada
mata yang tenang. Etiologinya tidak diketahui, diperkirakan
karena hipersensitivitas terhadap virus(7).

6.

Keratokonjungtivitis epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika kemungkinan kuat merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang terjadi karena infeksi
adenovirus tipe 8. Mengingat bahwa pemberian kortikosteroid
topikal menunjukkan perbaikan, berarti ini sangat mungkin merupakan reaksi hipersensitivitas. Beberapa penderita menunjukkan kekambuhan setelah 2 tahun, bilamana pemberian kortikosteroid dihentikan sama sekali. Oleh karena itu kortikosteroid
harus diberikan hanya jika kekeruhan kornea yang letaknya
sentral dan mengganggu visus serta adanya keluhan subyektif(7).
BEBERAPA PRINSIP PENANGANAN
Pada dasarnya untuk mempertahankan imunitas, diperlukan rangsangan atau penekanan pada aspek tertentu dari
respon imun. Obat-obat yang diberikan adalah :
a) Imunosupresif
Yang termasuk dalam imunosupresif ini ialah: obat antimitotik atau sitostatik, kortikosteroid, serum antilimfositik dan
radiasi. Upaya ini ditujukan untuk menekan peradangan sebagai
reaksi imunogenik atau mcngawasi reaksi penolakan pasca keratoplasti. Seyogyanya lebih baik menekan respon imun secara
selektif.
b) Penanganan respon alergi
Mekanisme yang tepat mengenai reaksi alergi tidak jelas.
Mungkin alergi merupakan suatu produksi berlebihan dari IgE.
Pendekatan farmakologi adalah memodulasi efek mediator pada
se target mclalui penggunaan antihistamin, kortikosteroid,
vasokonstriktor, dan inhibitor prostaglandin. Epincfrin bar-

khasiat sebagai vasokonstriktor pada dosis farmakologik untuk


menghasilkan penurunan gejala simptomatik dari alergi tersebut.
Imunopotensiasi
Imunopotensiasi adalah penambahan respon imun nonspesifik penderita dengan menggunakan substansi biologik secara luas. Banyak upaya ini masih pada tingkat eksperimental.

nyakit mata yang penanganannya tidak selalu efektif.


KEPUSTAKAAN

c)

d) Antibodi monoklonal
Antibodi monoklonal yang murni barn dapat berguna dalam
oftalmologi baik sebagai alat diagnostik maupun sebagai imunoterapi untuk menangani penyakit.
Pertahanan imunologik dari mata bagian luar
Permukaan mata secara tetap terpapar bahan toksik, antigenik, dan serangan mikrobiologik. Untuk melindungi mata
bagian luar terdapat mekanisme pertahanan yang non-spesifik,
misalnya air mata, flora di konjungtiva serta pertahanan terhadap
kerusakan epitel kulit, konjungtiva dan kornea. Sedangkan
mekanisme pertahanan imunologik spesifik terdiri dari limfosit
di bawah epitel yang mendeteksi antigen, selLangerhans dan IgA
yang terdapat dalam air mata.

1.
2.
3.
4.
5.

e)

RINGKASAN
Telah dibicarakan laporan beberapa peneliti mengenai penanganan berbagai keratitis yang tidak berhasil. Telah dibicarakan pula dasar imunitas, 4 tipe reaksi hipersensitivitas secara
sederhana dan pengejawantahan reaksi imunologik di kornea.
Pengejawantahan di kornea sebagai ulkus Mooren, reaksi penolakan pasca keratoplasti, keratitis herpes simplek dan beberapa
keratitis lainnya juga dibahas. Ulkus Mooren merupakan pe-

6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Vaughan DS, Asbury T. General Ophthalmology. Lange Medical Publication, Los Altos, California. 1986.
Smolin G, O'Connor GR. Ocular Immunology, 2nd ed. Little and Brown
Company, Boston. 1986.
Soewono W. Penatalaksanaan ulkus kornea karena bakteri di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, Kongres PERDAMI VI, Semarang. 1988.
Syawal R. Ulkus kornea di RSU Ujung Pandang. Kongres PERDAMI VI,
Semarang. 1988.
Panda A, Gupta SK. Topical fusidic acid therapy of chloramphenicol and
cloxacillin resistant staphylococcal keratitis. XIII Congress of the A.P.
A.O, Kyoto, Japan. 1991.
Hoetaryo N. Pengaruh debridemen pada penyembuhan keratitis superfisialis. Kongres PERDAMI VI, Semarang. 1983.
Bloomfield SF. Clinical allergy and immunology of the external eye.
Dalam: Duane TD, Jaeger EA. (eds): Clinical Ophthalmology, vol. 4.
Harper & Row Publisher, Philadelphia. 1986.
Suyoto, Sutomo N. Tes-tes kulit untuk penyakit kulit alergi, dalam Kumpulan makalah Simposium Penyakit Kulit Alergi, FK UGM, Yogyakarta.
1981.
O'Day DM, Jones BR. Herpes simplex keratitis. Dalam: Duane TD, Jaeger
EA. (eds): Clinical Ophthalmology, vol. 4. Harper & Row Publisher, Philadelphia. 1986.
Harley RD. Pediatric Ophthalmology, 2nd ed., vol. II. WB. Saunders
Company, Philadelphia. 1983.
Flicker L, Ramakrishnan M, Seal D, Wright P. Role of cell-mediated
immunity to staphylococci in blepharitis. Am. J. Ophthalmol 1991; III:
473-479.
Arjatmo T. Dasar-dasar imunologi penyakit kulit alergi, dalam Kumpulan
makalah Simposium Penyakit Kulit Alergi, FK UGM, Yogyakarta.
Ohnishi N, Shimakawa M, Kawada N, Shirataki M. A case of the stromal
keratitis associated with tuberculosis. XIII Congress of the A.P.A.O,
Kyoto, Japan. 1991.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 21

Infeksi Viral dan Strategi Pengobatan


Anti-viral pada Penyakit Mata
Suwardji Haksohusodo
Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gajahmada, Yogyakarta

SINOPSIS
Setelah pembangunan kesehatan telah berhasil mengatasi penyakit infeksi bakteriil,
parasit dan mikosis dengan berbagai obat antibiotika dan penataan sanitasi lingkungan,
maka infeksi viral yang tidak sensitif terhadap pengobatan antibiotika ini akan semakin
meluas di masyarakat, termasuk penyakit viral mata.
Hingga sekarang, obat-obat anti-viral telah mulai ikut berkembang maju, tetapi
yang lebih penting adalah: bagaimana menangani dan mengatur strategi pengobatannya,
mengingat patogenesis dari berbagai macam virus yang menyerang mata ternyata
beraneka ragam sesuai dengan golongannya, apakah golongan virus DNA, virus RNA,
atau golongan kuman yang terlalu besar dimensinya untuk dikatakan sebagai virus,
yaitu Chlamydia yang intinya mengandung materi biogenetik DNA maupun RNA,
suatu bakteri intraseluler sangat kecil, bersifat basofilik penyebab penyakit trachoma
(own Chlamydia trachomatis) dan penyakit keputihan/vaginal discharge yang disertai
radang mata disebut cervicitis-urethritis di sertai conjunctival blennorrhea (yang disebabkan oleh Clamydia oculo-genitale), dan apabila penyakit ini tidak diobati akan menyebabkan kebutaan; sebenarnya kedua kuman ini sangat sensitif terhadap antibiotika rutin
misalnya sulfonamida atau eritromisin.
Sederetan golongan virus RNA yang sering menyerang mata segmen anterior misalnya: Rubeola, Influenza, Mumps, semuanya hanya menyebabkan keratitis punctata
yang ringan sampai sedang saja, dan 'conjunctivitis, folikuler yang. berair, merupakan
penyakit yang akan sembuh sendiri (self-limiting disease), sedangkan pengobatannya
hanyalah suportif murni. Virus Rubella dan Cytomegalovirus (CMV) yang permulaan penyakitnya tidak kentara (insidious) dapat pula menjadi sistemik dan dampaknya
akan menghancurkan retina mata sedikitdemi sedikit. InfeksiRubella bersifat kongenital,
dapat menyebabkan keratitis bcrat, glaukoma dan chrorio-retinitis. Sedangkan CMV
kongenital maupun yang menyerang setclah kelahiran (acquired infection) selalu
merusak retina dan meinerlukan pengobatan khusus. CMV sebenarnya termasuk golongan virus DNA seperti: HSV (Herpes Simplex Virus) VZV (Varicella Zoster Virus, yang
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI, 9-10 Juli 1993
di Yogyakarta

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

biasanya salah disebiut Herpes Zoster Ophthalmicus) Adenovirus dan Vaccinia virus
Deretan virus-virus inilah yang akan menjadi fokus pembicaraan, mengingat patogenesisnya, cara penyebaran yang cepat di masyarakat, dan dampaknya sangat kompleks pada
organ-organ tubuh; jadi perlu dimengerti lcbih dahulu karena berkaitan sekali dengan
strategi pengobatannya, yang masing-masing memerlukan kekhususan pula.
Dalam pengalaman klinik, pengelolaan infeksi golongan virus RNA lebih mudah
dibandingkan dengan penanganan golongan virus DNA, karena virus DNA dapat langsung
menginfeksi masuk ke dalam inti sel inangnya, tidak terbatas hanya masuk ke sitoplasmasel seperti halnya virus RNA. Seandainya sel dirusakkan atau dimatikan oleh virus RNA,
maka setelah virus dieliminasi olch tubuh inang (oleh AB anti-viral, atau oleh mekanisme
lain), tubuh masih selalu siap untuk membangun/merevisi kembali sel-sel tersebut, sehingga penderita dapat segera menuju ke kesembuhan total. Sebaliknya sel yang intinya
terinfeksi DNA virus, sel tetap hidup lama, yang kemudian disebut sebagai infeksi laten.
HSV sebagai virus DNA dalam pengobatan mempunyai keunikan tersendiri, misalnya sifat biogenetiknya pada untaian DNA selalu ikut maju secara alamiah mengikuti
pengaruh lingkungan; yaitu HSV semula selalu sensitif terhadap Acyclovir karena
mensintesis enzim Thymidine kinase (sebagai HSV dengan TK-positif), kemudian apabila terus menerus diberikan obat Acyclovir, virus akan melepaskan gena TK-nya, dan
generasi selanjutnya akan memproduksi anak-anak virion baru dengan DNA yang TK
negatif, sehingga HSV-TK negatif ini akan kebal terhadap pengobatan dengan Acyclovir,
sehingga perlu pengobatan alternatif yang lain.
Kunci kata : Infeksi viral penyakit mata patogenesis golongan virus DNA/RNA/
Chlamydia kemajuan sifat biogenetik virus strategi pengobatan
antiviral.

PENDAHULUAN
Sebagian virus yaitu golongan Neurovirus, selain menyerang mata, sering pula menyerang organ-organ sistim susunan
saraf perifer maupun saraf pusat, atau sebaliknya. Sedang proses
patogenesisnya pada organ mata sendiri sangat beragam, tidak
selalu sama di antara virus DNA dan RNA, tergantung pula pada
kondisi tubuh inang/penderita waktu terserang (sangat individuil), kemudian disusul oleh dampak imunologinya. Situasi ini
perlu dipahami dalam menangani masalah penyakit virus.
Virus merupakan suatu partikel biologik yang dapat menyebabkan penyakit, mempunyai dimensi sangat kecil antara 10-300
nanometer, tersusun atas molekul protein atau glikoprotein yang
menyelubungi segulung untaian molekul asam nukleat RNA
atau DNA saja (tidal( pernah bersama-sama) dan tidak mampu
memperbanyak diri tanpa masuk lebih dahulu ke dalam sel hidup
yang akan dimanfaatkan untuk mengadakan sintesis biologik
yang unik bagi generasinya, energi dan sistim ensimatik sel hidup
tersebut dimanfaatkan sehingga inti materi genetik DNA/RNA
dapat digandakan dan selanjutnya diproduksi anak-anak virion
baru dari bahan protein sitoplasma sel penderita dan siap menginfeksi sel lain; virus merupakan mikroorganisme bersifat parasitis obligat, absolut dan mutlak pada tingkat genetik.
Dasar ini mengawali pengertian tentang virus yang susunan
dan fisiologinya berbeda dengan mikroorganisme bakteriil atau
mikosis yang telah mempunyai organella lengkap. Golongan
virus RNA perlu masuk ke dalam sitoplasma sel, karena di
sinilah program replikasinya dilaksanakan, sedangkan golongan
virus DNA, invasi genetiknya harus sampai di inti-sel inang,
sehingga meskipun sel telah mati, masih terdapat sebagian sel

yang intinya tetap mengandung DNA-viral dan mampu suatu


ketika berbiak lagi, jadi merupakan infeksi laten dan memberi
kesempatan untuk rekurens. Dengan demikian golongan virus
RNA lebih mudah diatasi, karena seandainya sitoplasma sel
inang telah rusak atau matipun, tubuh inang selalu mampu
memperbaiki dan mengganti dengan sel baru yang inti selnya
bebas dari asam nukleat RNA-viral yang pernah menginfeksinya.
Sistim kekebalan tubuh selalu mampu membentuk antibodi
spesifik yang cepat tanggap dan mengatasi infeksi viral tersebut.
Tetapi setelah itu terjadi masalah baru berupa proses imunologik
yang kurang menguntungkan, misalnya peristiwa auto-imun,
antibody dependent enhancement (ADE) yang malah menggandakan jumlah virus infeksi kedua, dampak rcaksi hipersensitivitas tubuh, dan lain-lain; sehingga penataan strategi pengobatan viral matapun perlu mengacu semua hal pokok tersebut di
atas, yaitu biogenetik, patogenesis dan imunologinya.
DASAR BIOGENETIK VIRUS DAN PATOGENESISNYA
Virus pada umumnya terbagi terbagi menjadi 2 kelompok
besar, antara lain golongan virus DNA terdiri atas kelompok
Poxviridae, Herpesviridae, Adenoviridae, Papovaviridae,
Hepadnaviridae dan Parvoviridae, golongan virus RNA terdiri
atas kelompok Paramyxoviridae, Orthomyxoviridae, Coronaviridae, Arenaviridae, Retroviridae, Reoviridae, Picornaviridae,
Caliciviridae, Rhabdoviridae, Togaviridae/Flaviviridae dan
Bunyaviridae (Gambar 1).
Dengan mengetahui struktur morfologi berbagai golongan
dan kelompok virus tersebut, maka sesuai dengan sifat bio-

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 23

Gambar 1. Morfologi golongan virus DNA dan RNA


Gambar 2. Patogenesis virus dalam sel-target penderita

genetik genom masing-masing inti DNA/RNA-nya, terdapat


perbedaan cara infeksinya ke dalam sel tubuh manusia. Setelah
golongan virus RNA menempcl pada reseptor sel-target dan
meleburkan membran sel, maka kumparan asam nukleat RNA
virus melebur ke dalam sitoplasma sel untuk memanfaatkan
biosintesis sel dalam menggandakan dirinya, yang kemudian
akan menjadi anak-anak virion baru dan keluar dari set organ
yang terserang oleh induk virus tersebut. Pengenalan virus yang
pertama menginfeksi penderita, olch sel-scl imunokompeten/
makrofaga biasanya segcra dapat mcmacu tcrjadinya antibodi
spesifik antiviral tersebut scbagai jawaban sistim imun tubuh
yang diperlukan untuk mclawan dan menghancurkan virion baru
dari hasil replikasi RNA dalam sitoplasma sal. Mekanisme
eliminasi virion dapat secara netralicasi, opsonisasi, aktivasi
komplemen atau ADCC yang diperankan oleh sel-sel NK (Natural Killer cells). Schingga sepintas mudah dimengcrti bahwa
infeksi oleh golongan virus RNA akan lekas sembuh, dan sering
dikatakan scbagai self limiting disease.
Golongan virus DNA ternyata agak berlainan, karena materi
genctik inti virus akan tcrus masuk ke dalam inti-sel pcndcrita,
dan sclanjutnya mengadakan replikasi DNA baru untuk membuat generasi virion-virion golongan virus DNA baru dari dalam
inti-scl dan dilengkapi envelop virus dari sitoplasma set selama
perjalanan (transport cytoplasmic); dan melalui exositosis, keluar
dari sitoplasma menembus membran plasmik sel-target penderita.
Seandainya kcadaan di luar membran plasmik set belum
menguntungkan bagi perkembangan virion selanjutnya, antara
lain salah satu faktor misalnya titer protektifAntibodi sel-HSV

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

masih tinggi, Iebih dan 1/25.600, maka parental-DNA tidak


akan mengadakan replikasi, pengepakan dan pengumpulan
(assembly) untuk membuat inti virus (Gambar 3). Selanjutnya
partiket inti-DNA virus mi tidak akan ketuar dan inti-set, tidak akan me lengkapi diii dengan envelop viral dalam transport
dan exocyto sis keluar sd menjadi virion baru. Partikel biogenetik parental- DNA virus tetap berada di dalam mu-set penderita.

Gambar 3. Monogenesis dan replikasi golongan virus DNA

Hal tersebut menyebabkan golongan virus DNA selalu


mengadakan infeksi laten dan penyakitnya selalu persisten;
kemudian sewaktu-waktu apabila Titer Ab-protektif mengalami
penurunan kurang dari 1/25.600, dimulai lagi proses packing
DNA dan assembly dan selanjutnya menjadi virion baru yang
siap menginfeksi sel-sel lain, hal ini discbut sebagai proses reaktivasi viral. Dari strategi pengobatan, maka pada saat inilah
perlu segera diberi obat antiviral atau bila mungkin melindungi
sel-sel yang masih beltim terinfeksi dengan lindungan interferon.
Apabila parental-DNA dalam status laten, maka penggunaan
antiviral tidak akan berguna sama sekali.
Reaktivasi viral yang endogenous ini sukar dibedakan
manifestasi kliniknya, dari infeksi primer HSV, atau karena reinfeksi exogenous. Tetapi berpedoman atas proses imunologik
pada infeksi persisten, maka gejala imunopatologik tetap akan
turut mewarnai manifestasi kliniknya (Gambar 4).
Dalam pengertian virologi, sel-sel tubuh penderita yang
terserang oleh virus mempunyai 3 macam nasib: Apabila virus
golongan RNA maka sel akan dimatikan seluruhnya, tetapi sisa

Gambar 5. Mekanisme masuknya virus Wilts Ayam

onkogenik tadi, sehingga sel terpacu untuk membelah diri tetapi


generasinya sel tidak seperti induk sel semula melainkan menjadi
sel tumor ganas (leukemia atau karsinoma).

Gambar 4. Infeksi viral HSV dan Reaktivasi virus yang persisten

sel-sel yang masih hidup dapat mengadakan revisi dan penyembuhan total bagi penderita akan lebih terjamin. Apabila virus
golongan DNA maka sel akan diinfeksi untuk seterusnya (persisten) yang mengakibatka adanya rekurensi; hal ini kemudian
memberi kesempatan golongan virus onkogenik masuk ke dalam sel-target tubuh, mengubah susunan gena materi genetik sel
sehingga menyebabkan generasi sel selanjutnya menjadi sel
tumor ganas (leukemia atau karsinoma).
Partikel virus dijemput oleh tonjolan-tonjolan membran-sel
dan langsung diinternalisasi di ujung tonjolan, kemudian berbondong-bondong mengitari Zona Golgi; di sini virus melepaskan
materi biogenetik asam nukleatnya ke dalamnya. Setelah Zona
Golgi mendekati inti-sel, maka program biosintesis asam nukleat
(DNA) inti turut diubah sesuai dengan asam nukleat virus

DASAR IMUNOLOGI DAN CONTOH KEMUNGKINAN


PENYEBARAN INFEICSI VIRAL
Keadaan umum di luar membran-sel yang terinfeksi golongan virus-DNA sangat ditentukan oleh kadar atau titer Ab-protektif tubuh penderita, hal ini dapat dilacak dengan sistim pemeriksaan sederhana, yaitu: Passive Hemagglutination Assay HSV
khusus terhadap komponen glikoprotein gB yang terkandung
dalam lapisan luar envelop virus HSV-1 maupun HSV-2, yang
mempunyai keistimewaan antara lain :
prosedur pemeriksaannya mudah dan cepat (3 jam),
spesifisitasnya tinggi, secermat uji Elisa, uji Netralisasi, CF,
(uji Fiksasi komplemen),
mudah dilihat hasilnya (aglutinasi) tanpa alat canggih,
tanpa ada risiko terinfeksi reagen pemeriksaan (HSV) karena yang dipakai hanya komponen glikoprotein envelop virusnya yang telah dimurnikan (Haksohusodo S., 1989).
dapat menentukan tingkat Ab anti-HSV protektif penderita.
Komponen gB dipakai sebagai sarana memantau keadaan
Ab anti HSV protektif penderita, karena gB dalam envelop virus
berfungsi sebagai pemacu penetrasi tahap-awal dari nukleokapsid virus ke dalam sel-sel target penderita (Courtney, 1984).
Peran fungsional dan sifat antigenic-determinant dari glikoprotein gB memang berlainan dengan komponen glikoprotein gA,
gC, gD dan gE, gD; misalnya hanya untuk neutralisasi viral.
Pelacakan adanya Ab anti-gB HSV dalam serum penderita
mudah dikerjakan karena pada stimulasi pertama antigen-determinan komponen glikoprotein gB akan membentuk antibodi
spesifik terhadapnya. Antibodi ini (IgG) sifat antigeniknya
sangat kuat dan bertahan lama dalam sirkulasi darah, mengingat

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 25

Seandainya serum penderita tidak mengandung IgG anti HSV


(atau disini spesifik terhadap komponen glikoprotein gB) maka
eritrosit yang terbungkus membran luarnya oleh komponen gB,
tidal( akan diikat oleh IgG yang bukan spesifik terhadap HSV,
artinya tidak ada hemaglutinasi (uji-Phassay-HSV = negatif).

A. Virus leukemia tikus


Gambar 7. Profit Umum Titer Ab anti glikoprotein g8 virus HSV

Berdasarkan data epidemiologik tentang tingginya titer Ab


anti HSV yang positif pada kelompok WTS dibandingkan kelompok masyarakat umum yang sehat/penderita penyakit apapun di RSUP Dr. Sardjito di Yogyakarta, maka dapat diperkirakan bahwa virus HSV (terutama HSV-2) tersebar melalui jalur
WTS yang memang terexpose atau kemungkinan mendapatkan
infeksi HSV lebih besar.

B. Virus Ca-mammae tikus


Gambar 6. Mekanisme masuknya virus ke dalam set-target penderita

infeksi HSV merupakan infeksi lat.en atau virusnya selalu persisten; hat ini cocok untuk menera situasi IgG dalam darah
terhadap titer Ab protektif.
Prinsip ikatan Ab anti-gB dengan antigen gB viralnya yang
dapat dipantau dengan sistim pemcriksaan Phassay-HSV: menempelkan komponen glikoprotcin gB virus (HSV-1 atau HSV2) ke permukaan scl eritrosit domba (= disensitisasikan) supaya
nanti dapat mengikat Ab anti-gB pendcrita, ikatan ini akan
menludahkan mcngendap bersama (peristiwa hemaglutinasi).

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

Gambar 8. Hubungan antara Umur dan Angka rerata Ab positif terhadap


HSV.

Dari pengalaman klinis di Bagian Obstetri/Ginekologi,


infeksi HSV (terutama HSV-2) oftalmikus ternyata memang
kebanyakan infeksi neonatal atau segera setelah bayi dilahirkan
oleh Ibu yang telah mengidap penyakit HSV sebelumnya (Titer

IgG anti-HSV telah tinggi), (pengidap infeksi TORCH +


Toxoplasma gondii, Rubella, CMV dan HSV). Maka untuk
penyakit mata yang mungkin ada kaitannya atau riwayat kemungkinan terinfeksi TORCH pada waktu bayi atau Ibunya,
perlu memonitor titer Ab anti HSV-nya lebih dahulu, kemudian
bila perlu untuk Toxoplasma, Rubella dan CMV.
Secara klinis pemantauan pertama (screening test) untuk hal
ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 1.

Infeksi HSV Oftalmikus

Tabel 2.

Kelainan yang terjadi pads janin/bayi akibat infeksi TORCH


Pada Ibu Hamil

Infeksi

Kelainan utama

Kelainan lain

Toksoplasma

Hidro/mikrosefalus
Korioretinitis
Kalsifikasi intrakranial

Hepatosplenomegali
Ikterus, limfadenopati,
retardasi psikomotor

Rubella

Katarak, tuli, kelainan


jantung bawaan,
strabismus

Hepotosplenomegali,
trombositopeni, retardasi
psikomotor

Cytomegalovirus

Mikrosefali, tali

Kalsifikasi intrakranial
hepatosplenomegali,
trombositopeni, purpura,
korioretinitis, retardasi
psikomotor

Herpes simpleks

Mikrosefali

Korioretinitis, hepatitis,
retardasi psikomotor,
intrapartum

PENGOBATAN ANTIVIRAL
Pengobatan penyakit HSV yang sudah diketahui titer Abprotektif penderitanya, berpedoman pada tingginya titer Ab tersebut, tanpa memandang apakah Ab ini berupa IgM atau IgG;
karena HSV biasanya merupakan infeksi persisten, IgG yang
menjadi topik penilaian terjadinya reaktivasi atau rekuren seandainya titer Ab penderita menurun sampai di bawah 1/25.000.
Tetapi apabilapenderita belum pemah terserang HSV, IgM harus
positif, dan kadang-kadang IgG masih rendah sekali (sekitar 1/
100 -1/6.400); ini merupakan penderita infeksi primer. Keduanya dapat langsung diberikan obat anti-viral yang sesuai (lihat
daftar). Setelah titer Ab telah cukup protektif (biasanya di atas
1/25.600) dan gejala-gejala hilang (mereda), pengobatan dianggap cukup.

Tabel 3.

Pemilihan pemeriksaan diagnostik laboratorik untuk menentukan kepastian infeksi-viral intra-uterin sesuai screening gejala

Infeksi-viral
1. Rubella virus

Persiapan spesimen
Skrining gejala :

* Isolasi virus Rubella


dari urin, usapan tenggorok, darah atau
demonstrasi IgM anti
Rubella
* Katarak, Peny. Jantung
Kongenital, mikrophthalmi, lesi tulang
panjang
2. Cytomegalo* Isolasi CMV dari urin,
virus
usapan tenggorok, darah
Cara biakan jaringan
FAT. Pewamaan secara
FAG pada sel-sel urin.
* Klinik adanya Mikrosefali, Pneumonitis,
kalsifikasi serebral
periventrikuler
3. Herpes Simplex * Amati dan bedakan
Virus (HSV)
gejala klinis HSV1,
IISV2 atau sindrom
neurologik pada anak
baru lahir s/d balita,
kalau perlu sampai
remaja
* Adanya mikrosefali,
chorioretinis, hepatitis,
retardasi psikomotor, ,
cephalgia berat
intermiten, ggn keseimbangan

Penentuan Diagnostik
Laboratorium
Demonstrasi titer Ab. anti
Rubella (I & II)
* Pengamatan IgM-IgG
Demonstrasi titer Ab. anti
CMV dan pclacakan Ab
IgM spesifik CMV, kalau
perlu IgG spesifik
Demonstrasi titer Ab. anti
HSB tanpa memperhatikan Ab IgM spesifik antiIiSV
Pemeriksaan titer Ab IgGanti HSV secara PhassayIISV telah cukup betmakna untuk pegangan
para klinisi

Haksohusodo S, 1989

Penelitian yang telah selesai untuk penentuan nilai atau Titer


Ab-protektif adalah terhadap infeksi HSV; untuk virus-virus lain
(CMV, Rubella, Measles) masih dalam program, karena hal ini
memang perlu dalam kaitannya dengan strategi pengobatan.
Obat-obat anti-viral dianggap cukup dapat mengatasi infeksi
viral, tetapi untuk pencegahan (tindakan preventif/profilaksis
secara umum) atau vaksinasi masih belum banyak dimasyarakatkan. Untuk menekan insidens infeksi-viral HSV atau CMV
neonatal telah diusahakan vaksinasi CMV untuk ibu-ibu hamil
dengan CMV hidup yang telah dilemahkan, sedangkan untuk
vaksin HSV direncanakan dibuat dari glikoprotein gB yang
tidak in feksius.

KESIMPULAN
1. Infeksi viral pada mata mempunyai manifestasi klinik beragam, merupakan perpaduan antara perbedaan biogenesis/patogenesis golongan virus DNA/RNA dan dampak imunologinya.
Hal ini dapat memberi pedoman dalam menentukan strategi
pengobatan anti-viral.
2. Profil titer Ab anti-glikoprotein gB virus HSV yang spesifik,
diperiksa dengan uji Phassay-HSV dapat memberi petunjuk akan

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 27

Tabel 4.

Beda sifat gol. virus Herpes Manusia

Tabel 6.

Infeksi Viral penyakit mata dan pengobatannya(2)

Manifestasi
klinik

Etiologi
penyakit

Adenoviral oculo &


pharyngo-conjunctivitis
Kerato conjunctivitis
epidemics
Keratitis punctata
superfisial Thygeson
(Hemorrhagic conjunctivitis akuta)

Keterangan :
*) Kadang-kadang manusia dapat terinfeksi oleh virus Herpes Rhesus-B
dengan prognosis jelek
Tabel 5.

Nekrosis retina sebagian/


sentrallperiferal,
Uveitis periferal, Retinochoroiditis dengan
nekrosis berat (seperti
gejala Toxoplasmosis
kongenital)

Varicella Zoster Ophth.:


* Conjunctivitis, scleritis
* Keratitis, iridocyclitis,
glaucoma
Trachoma
Cervicitis-urethritis +
conjunctival blennorrhea

Non-purulent
conjunctivitis
* Herpetic keratitis
(Herpes comcalis)
* Purulent conjunctivitis
* Dendritic kcratitis
(HSV rckurcns)
* Herpetic conjunctivitis
anak

Etiologi
penyakit
CMV - Rubella

VZV
(varicella zoster
virus)
a) Chlamydia trachomatis (bukan
virus)
b) Chlamydia oculogenital (bukan
virus)
Virus Measles
HSV TK (+)
kadang-kadang
oleh :
HSV TK (+)

Kemungkinan
pengobatannya
* Adenine Arabinoside
* Ganciclovir (CMV
kongenital)
* Foscamet (Phosphonoformiat)
* Vaccine (sebelum
transplantasi ginjal)
* Acyclovir
* Vidarabin) tak efektif
* Simptomatis
* Acyclovir, IDU,
Vidarabin
Sulfonamide, Oxytetracyclin, Eritromisin
Sulfonamide, Tetracyclin,
Eritromisin

Simptomatis,
suportif mumi
* Simptomatis, Acyclovir*),
* Vidarabin*)
* 5-jodo-2-deoxyuridine
& obat-obat inhibitor
sintesis DNA

Keterangan :
*) Apabila titer Ab anti HSV penderita telah melampaui titer Ab. prolektif
(1/25.600) obat anti-viral TIDAK diberikan

adanya reaktivasi karma titer Ab yang menurun di bawah nilai


Ab-protektif, sekaligus dapat menentukan kapan harus diberikan
obat anti-viral kepada penderita. Erupsi vesikel yang baru sedikit

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

Adenovirus 69, 70,


71

a) Acyclovir,
simptomatik, suportif
b) Vidarabin mungkin
dapat pada awal
infeksi, C.I. untuk
selanjttnya
c) IDU tidak efektif +
C.I. (Meskipun in vitro
sensitif)
d) Vaksinasi (hanya untuk
militer, tidak praktis
untuk masyarakat
umum

Conjunctivitis

Virus NCD (New


Castle Disease)

Simptomatik, suportif

Conjunctivitis, keratitis,
kerato-conjunctivitis
Blepharitis ulcerativa

Gol. Pox viruses :


a) MCV (Molluscum contagiosum
virus, Molluscovirus hominis)
b) virus Vaccinia,
Variola

Simptomatik, suportif
Simptomatik, Acyclovir,
Idoxuridine

Keratitis punctata
ringan/sedang,
conjunctivitis follicular
yang berair

Rubeola,
Influenza,
Mumps

Simptomatik, suportif

Hemorrhagic follicular
conjunctivitis + keratitis
punctata (pandemik)
Apollo II

Gol. Picoma virus*) Simptomatik, suportif


= Enterovirus tipe
_ Contra indikasi
69, 70, 71
, terhadap obat anti
viral o.k. terjadi pengkabutan cornea sub
Epotelial

Infeksi Viral penyakit mata dan pengobatannya(1)


Manifestasi
klinik

Adenovirus 3 + 7
kadang 1, 4-6, 14
Adenovirus 1-3,
7+8, 9, II, 19

Kemungkinan
pengobatannya

Keterangan :
*) Picornaviridae

Rhinoviruses 105 serotipe


Enterviruses = Coxsackie - A virus 23 serotipe
Coxasackie - B virus 6 serotipe
Echovirus 31 serotipe
Enterovirus 3 serotipe
69-70-71

pada infeksi primer atau proses reaktivasi dengan titer Ab antiviral lebih rendah dari 1/25.600, langsung diberi pengobatan
anti-viral yang sesuai.
3. Diagnostik laboratorik perlu diusahakan lebih cepat setelah
diagnostik klinik telah jelas, sehingga pengobatan anti-viral
(yang mahal) dapat dihindarkan, seandainya etiologi penyakit
bukan virus tetapi hanya Chlamydia yang pengobatannya cukup
antibiotika sulfonamid atau eritromisin. Sedangkan apabila golongan virus RNA yang tidak berbahaya (self limiting disease)
cukup dengan pengobatan suportif murni.
4. Proteksi terhadap infeksi viral golongan virus DNA adalah
mutlak harus diusahakan (lihat tabel pengobatan) mengingat
virus ini cepat menyebar di masyarakat (misalnya HSV/CMV)
yang dapat menyerang mata pada janin, anak, dewasa sampai
masyarakat manula. Vaksinasi untuk penyakit-penyakit ini sedang
dalam proses pemantapan.

.r

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.

Emond RTD. A Colour Atlas of Infectious Disease. Wolfe Medical Books.


Smeets, Holland. 1974.
Fenner F, White DO. Medical Virology. Second Edition. Academic Press
Inc. New York. USA. 1976.
Frenkel J. Toxoplasmosis. Pediatr Clin N Am 1985; 32(4): 91732.
Gelasso GJ, Merigea TC, Buchanan RA. Antiviral Agents and Viral
Disease of Man. New York: USA. Raven Press. 1979.
Haksohusodo S. TORCH Infection affecting the fetus and newborn.
Advanced Course on Perinatology. Yogyakarta, June 1987.

6.

Haksohusodo Set al. Seroepidemiology of HSV in Yogyakarta, Indonesia.


Microbiol. Im. 1989; 33(9): 79396.
7. Hanshaw JB, Dugeon JA, Marshall WC. Viral disease of the Fetus and
Newborn. Majorproblem in Clinical Pediatrics. Vol. 17. Philadelphia,
London: WB Saunders Co. 1985.
8. Krugman S, Ward R. Infectious Disease of Children. 4th ed. Mosby Co.,
St Louis, 1968; p. 2030; 11930; 27995; 37587.
9. Matsunaga S et al. Measurement of HSV-antibodies using Phassay-HSV.
Rinsho-Kensa-Kiki Shiyaku 1986; 9: 811815.
10. Ramsay AM, Emend RTD. Infectious Disease. Second Edition. London:
William Heinemann Medical Ltd. 1978.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 29

Rejeksi Transplan
Bondan Harmani
Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Pada beberapa keadaan, transplantasi kornea merupakan
satu-satunya cara untuk memperbaiki tajam penglihatan dan
mengembalikan seseorang pada kehidupan sosial yang normal.
Tetapi pada kenyataannya, kemungkinan untuk terjadinya kekeruhan kornea yang disebut rejeksi transplan tetap merupakan
risiko yang harus dihadapi.
Beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya rejeksi dan
cara-cara untuk menanggulanginya telah banyak diperdebatkan.
Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut maka kemungkinan rejeksi ini dapat dikurangi.
DEFINISI
Gagal transplan (graft failure)
Kekeruhan transplan yang terjadi sebelum 2 minggu pasca
transplantasi atau dalam hal ini transplan tidak pernah mengalami masa jernih setelah transplantasi. Merupakan terminologi
umum untuk kekeruhan transplan.
Gagal transplan dihubungkan dengan :
a) Kualitas donor
Terdapat kerusakan sel endotel donor sehingga sejak hari
pertama, transplan tampak menebal, dengan lipatan-lipatan
membran Descemet. Walaupun kadang-kadang reversibel, tetapi bila kerusakan sangat berat dan menetap setelah beberapa
minggu tanpa mengalami kejernihan, maka transplan dalam
kcadaan irreversible.
b) Trauma operasi
Bilik mata depan yang dangkal menyebabkan pergeseran sel
endotel dengan permukaan iris; perlekatan vitreous dengan endotel
scrta tindakan-tindakan mekanik, selama operasi atau irigasi
yang berlebihan akan menycbabkan disfungsi endotel dan edema
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di
Yogygkarta

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

kornea.
Rejeksi transplan (graft rejection)
Kekeruhan yang terjadi 23 minggu setelah transplantasi di
mana transplan mengalami masa jernih sebelumnya merupakan
terminologi yang dihubungkan dengan proses imunopatofisiologi. Perihal rejeksi transplan akan dibicarakan lebih lanjut.
Antigen
Antigen merupakan suatu protein kornea yang dapat diperoleh dengan berbagai cara, antara lain elektroforesis, imunoelektroforesis, imunodifusi dan lain-lain. Pada kornea bovine
didapatkan 615 antigen. Padapenelitian dengan kornea manusia,
IgG dan IgA didapatkan setengah sampai seperlima bagian
serum, sedangkan IgM didapatkan dalam jumlah yang lebih
sedikit.
Remky mendapatkan bahwa pada epitel kornea lebih
banyak mengandung antigen dibandingkan stroma, dengan
demikian ia berpendapat bahwa stroma kornea donor tidak berpengaruh pada proses rejeksi.
Penelitian terakhir mendapatkan antigen histocompatibility
dalam proses rejeksi. Antigen ini terdapat pada seluruh permukaan sel dan berbeda secara individu. Hal ini yang diperkirakan
mengapa pada seseorang dapat terjadi rejeksi sedangkan yang
lainnya tidak. Antigen ini disebut Human Leucocyte Antigen
(HLA). Didapatkan HLA-A, B, C dan DR. Peranan yang tepat
dari masing-masing HLA ini masih diperdebatkan, tetapi didapatkan konsensus bahwa HLA memang memegang peranan
penting dalam proses rejeksi.
MEKANISME REJEKSI
Masih menjadi tanda tanya di mana terjadi interaksi antara

antigen transplan dan sel yang tersensitisasi. Pandangan lama


menyatakan bahwa sensitisasi terjadi ketika materi antigen
transplan tersaring melalui pembuluh limfe perifer ke arah kelenjar limfe regional. Diasumsikan bahwa materi antigen dapat
pula berdifusi melalui kornea atau ke luar melalui pembuluh
limfe memasuki pembuluh limfe konjungtiva ke arah kelenjar
limfe regional.
Satu alternatif dikemukakan oleh Medawar, yaitu sensitisasi terjadi di perifer, kemungkinan pada pembuluh darah
sekitar endotel transplan. Limfosit aktif mclewati parenkhim
transplan dan berjalan melalui pcmbuluh limfe ke kelenjar
regional di mana terjadi penumpukan sc1-sel imunologi. Sel
limfoid aktif yang disebut limfosit memasuki sirkulasi secara
cepat setelah terbentuk pada kelenjar regional. Limfosit ini
berumur lama dan bersirkulasi dari pembuluh darah ke pembuluh darah limfe melalui kelenjar regional. Hidup yang lama ini
dapat menjelaskan adanya persistensi dari reaksi berulang.
Pada transplantasi kornea proses sensitisasi HLA sama
dengan proses di ginjal.
Adanya antibodi limfotoksik jaringan kornea pada pembuluh darah perifer dapat dideteksi pada pasien dengan rejeksi.
Pada tempat rejeksi terlihat sel PMN dan sel plasma yang
menandakan adanya sel antibodi dan komplemen.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


1) Vaskularisasi kornea
Seperti diketahui kelenjar limfe regional dan pembuluh
limfe berperan pada reaksi transplan.
Pada tingkat pembuluh limfe kornea diperlihatkan kemampuan host untuk mengenali antigen kornea sedangkan untuk
tingkat vaskularisasi kornea diperlihatkan kemampuan host
untuk (a) mengenal antigen, dan (b) membawa sel limfosit ke
tempat rejeksi. Pada penelitian host dengan kornea yang avaskuler, terjadi rejeksi pada 3,5% transplan dalam waktu rata-rata
10 bulan, sedangkan pada host dengan vaskularisasi sedang
(moderate) terjadi rejeksi 65%. Telah diteliti pula bahwa garis
rejeksi biasanya dimulai di tempat dengan vaskularisasi maksimal.
Trauma atau inflamasi akan menyebabakan pelebaran
pembuluh darah dan menyebabkan neovaskularisasi, yang akan
meningkatkan kemungkinan rejeksi.
2) Letak transplan
Letak transplan yang eksentrik (dekat dengan pembuluh
darah dan pembuluh limfe di limbus dibandingkan bila di sentral)
dan pemakaian transplan yang besar (dekat dengan limbus akan
membawa faktor antigen yang banyak) dapat meningkatkan
kemungkinan sensitisasi host dan dihubungkan dengan
meningkatnya kemungkinan rejeksi. Transplantasi kedua (retransplantasi) meningkatkan kemungkinan rejeksi.
3) HLA matching
Pada pasien dengan vaskularisasi yang berat dan mempunyai risiko tinggi untuk rejeksi, keberhasilan transplantasi

ditentukan adanya proporsi yang tepat pada HLA. Penderita


dengan 2 tipe HLA yang sama, tingkat kegagalan mencapai 26%
dalam 1 tahun, sementara transplan dengan hanya 1 HLA yang
cocok atau tidak sama sekali mempunyai tingkat kegagalan
57-62%.
4) Jenis transplantasi
Transplantasi tembus mempunyai kemungkinan rejeksi
sedikit lebih besar dari lamelar karena beberapa sebab :
a) Transplan lamelar hanya mempunyai sedikit materi antigen.
b) Pada transplantasi lamelar, sel endotel dalam kondisi lebih
baik.
c) Sedikit kemungkinan terjadinya kerusakan endotel berhubungan dengan tindakan bedah.
d) Endotel dan membran Descemet tetap utuh dan ini akan
mencegah sel limfoid yang tersensitisasi mencapai endotel.
TANDA KLINIS
Reaksi rejeksi pada manusia dapat terjadi antara 2 minggu
atau sampai beberapa tahun setelah transplantasi. Reaksi uvea
mula-mula ringan berupaflare dan set serta akumulasi Keratic
precipitate (Kp) pada endotel dan injeksi silier.
Pada tipe perifer, Kp terlihat pada bagian bawah transplan.
Garis rejeksi akan migrasi bergerak sentripetal dan pigmen
menumpuk pada endotel. Donor menjadi edem karena sel endotel berkompensasi akibat akumulasi sel limfoid.
Pada tipe difus, Kp menyebar difus di permukaan endotel
dan beberapa hari kemudian kornea menjadi edam.
Pada kedua reaksi ini, terbentuk membran pada permukaan
posterior kornea yang merupakan manifestasi lanjut. Pada penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa reaksi epitel,
stroma dan endotel menetap sampai beberapa tahun. Adanya
antigen ini menjelaskan mengapa rejeksi kadang-kadang lambat
terjadi.
Pemeriksaan histologi
Garis rejeksi terdiri dari sel-sel lekosit PMN dan di belakangnya terdapat limfosit. Lekosit PMN dan limfosit juga ikut
serta dalam rejeksi stroma.
Perubahan sel dapat berupa pelebaran endoplasmic reticulum, pembentukan vakuola dan gambaran materi fagositosis dan
materi kristal, intrasitoplasma yang menggantikan keratosit
sewaktu kontrak dengan limfosit. Kerusakan struktur normal
dari kolagen pada stroma transplan terjadi pada area infiltrasi
lekosit.
Pada rejeksi endotel, garis rejeksi yang terdiri dari limfosit
primer bersama-sama dengan fibrin terdapat pada permukaan
endotel. Limfosit ini menginfiltrasi sel endotel dan sering
menggantikan sel endotel yang menutupi sel Descemet pada
area yang rusak berat dan pada area di mana membran Descemet
terbuka ke arah bilik mata depan. Pada keadaan ini edema stroma
tampak pada daerah yang rusak. Nukleus sel endotel menjadi
lebih besar sedangkan hubungan antar sel akan menghilang.
Pada kerusakan sel endotel yang parah, sitoplasma tampak
mengalami banyak kerusakan. Sel limfosit, monosit dan fibrin

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 31

tampak pada endotel. Limfosit akan mencapai sel endotel melalui


membran Descemet yang terbuka dari pembuluh darah yang
memasuki stroma. Membran Descemet akan membaik dalam
beberapa bulan, dan perjalanan limfosit ini akan tertutup. Bila
terjadi rejeksi, maka penyembuhan membran ini akan tertunda.
Pada penelitian binatang kelinci, di mana sel limfoid tersensitisasi oleh antigen donor dan resipien maka sel akan memasuki
bilik mata depan dan tampak sebagai pock like areas pada sel
endotel yang rusak.
Bila sel limfoid cocok dengan transpian tetapi tidak cocok
dengan resipien, maka jaringan transplan tetap jemih tetapi dikelilingi oleh daerah endotel resipien yang rusak. Gambaran
pock like area ini berbeda pada manusia dan peneliti berpendapat bahwa sel limfosit yang tersensitisasi tersebut datang dari
pembuluh darah yang tertekan bukan berasal dari humor aquos.
Proses perbaikan tergantung dari penyebaran sel endotel di
antara donor resipien. Perbaikan ini tidak terdapat pada endotel
manusia. Bila sel endotel mengalami kerusakan yang parah,
maka akan terbentuk membran retro korneal. Sel membentuk
membran Descemet yang rusak.
Michels dan kawan-kawan berpendapat bahwa metaplasia
sel endotel mungkin berperan alas terbentuknya membran retro
korneal.
PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN
Tindakan bedah
Terdapat cara pembedahan yang dapat menurunkan risiko
rejeksi. Pembuangan lapisan epitel akan menurunkan jumlah
antigen dan menurunkan jumlah sel-sel Langerhans. Prosedur
ini jangan dilakukan bila epitel yang intak diperlukan seperti
pada kasus trauma kimia.
Penggunaan transplan yang kecil (7,5 mm) akan menurunkan
penyerbuan zat antigenik dan meletakkan jaringan donor jauh
dari pembuluh darah limbal. Peletakan ini akan lebih baik pada
posisi sentral.
Pengangkatan jahitan terputus segera setelah terlihat jaringan fibrovaskuler mencapai transplan akan menurunkan
neovaskularisasi. Jahitan jelujur akan mencegah kebutuhan
pengangkatan jahitan yang lebih awal. Nilon lebih baik dari
sutera dan akan menurunkan neovaskularisasi yang disebabkan
oleh jahitan.
Penyimpanan donor
Beberapa cara dianjurkan untuk menurunkan faktor antigen
donor. Pemakaian kornea donor yang disimpan dalam kultur
organ atau media cair lainnya akan menurunkan risiko rejeksi.
Pada kornca yang disimpan dalam media, tampak hilangnya
lapisan epitel yang berarti mengurangi faktor antigen.
Cara yang lain adalah dengan merendam kornea di dalam
scrum resipien dcngan asumsi bahwa protein donor akan larut
dan digantikan protein dari serum resipicn. Demikian pula
lekosit dan makrofag resipien disensitisasi oleh antigen donor.
Kortikosteriod
Steroid berperan pada banyak aspck dari rcaksi inflamasi.

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

Steroid akan meningkatakn adenilsiklase, siklik AMP (cAMP)


pada lekosit, meningkatkan respon cAMP yang dihasilkan oleh
prostaglandin E, dan memperkuat efek (3-adrenergic catecholamine. Semua proses di atas akan menghilangkan terlepasnya
amin vasoaktif (heparin.serotonin, histamin dan lain-lain) dari
sel mast dan sel basofil. Histamin yang terkandung dalam jaringan akan dikurangi sehingga.dapat terjadi eosinopenia.
Steroid juga menyempitkan pembuluh darah dan proses ini
akan mengurangi permeabilitas vaskuler dan neovaskularisasi
postinflamasi. Penurunan ini akan berpengaruh pada kedua faktor
aferen dan eferen dari proses fenomena rejeksi.
Khemotaksis neutrofil akan hilang dan akan dicapai kestabilan enzim lisosoma, dan akhimya akan mengurangi jumlah
nekrosis jaringan dan neovaskularisasi. Proses ini juga menurunkan sejumlah monosit.
Steroid dapat berperan langsung pada sistem imun.
Limfopenia dapat tercapai dalam 4-6 jam. Limfosit T lebih
sensitif terhadap steroid dibandingkan limfosit B. Proliferasi,
fungsi serta sirkulasi limfosit akan dihambat. Makrofag juga
terpengaruh dengan menurunkan metabolismenya.
Steroid akan mengurangi gerakan kompleks antigen antibodi yang melalui membran basalis. Sebagian atau seluruh
steroid berperanan dalam rejeksi transplantasi, sebagai contoh
bahwa fagosit pada endotel transplan akan rusak dalam 24 jam
pemakaian deksametason topikal.
Steroid topikal
Pada tingkat dini, rejeksi endotel bereaksi dengan terapi
steroid topikal, garis rejeksi pada endotel tetap di perifer, hanya
tampak beberapa Kp dan edema stroma hanya ringan atau moderate. Bila garis rejeksi makin menyebar dan lebih banyak
endotel yang rusak, steroid hanya menunda proses destruksi
tetapi tidak dapat mempertahankan kejernihan transplan.
Terapi steroid topikal yang adekuat dapat mengontrol atau
mencegah reaksi kornea. Cukup diberikan dosis rendah anti
inflamasi dan dosis tinggi yaitu 15-30 menit. Pada saat pasca
transplantasi dapat diberikan efek anti inflamasi, tetapi bila terlihat proses rejeksi maka dapat diberikan dosis imunosupresi.
Steroid subkonjungtiva
Bila diberikan subkonjungtiva maka preparat deksametason
lebih baik penetrasinya dibandingkan triamsinolon.
Steroid sistemik
Bila dibutuhkan dapat diberikan 10-12 tablet prednison setiap hari sampai 2 m inggu, bersama-sama pemberian topikal. Setelah 2 minggu dosis diturunkan dan dosis topikal ditingkatkan.
Pemberian alternating dengan dosis tinggi pada pagi hari akan
mengurangi efek samping (seperti supresi adrenal) pada
pcmakaian jangka lama.
Terapi yang lain
Saat ini yang sering dipakai adalah siklosporin A. Selain
itu dipakai pula indometasin.
Siklosporin A merupakan imunomodulator kuat yang be-

kerja pada tingkat awal dari proses sensitisasi antigen, dengan


menekan fungsi limfosit T. Siklosporin A tidak menghambat
sistim fagositosis, tidak menghambat penyembuhan luka,
meningkat.kan tekanan intraokuler atau menginduksi perubahan
lensa.
HLA matching
Pemakaian jaringan kornea yang telah dilakukan HLA matching akan berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi (vaskularisasi kornea resipien).
Retransplantasi
Bila semuanya gagal, maka retransplantasi dapat dikerjakan. Bila edem kornea menetap setelah beberapa bulan maka
penderita dipersiapkan untuk retransplantasi. Retransplantasi
mempunyai risiko rejeksi lebih besar daripada transplantasi
sebelumnya.

Efek samping pengobatan


Pengangkatan jahitan yang terlalu cepat akan menyebabkan
kebocoran dan komplikasi lainnya. Bila kornea donor diletakkan
dalam media kultur, harus diperhatikan kemungkinan kontaminasi mikroorganisme di dalam media.
Pemakaian steroid yang lama akan menimbulkan reaksi
alergi, gangguan mental Berta ulkus peptikum, diabetes, edema
dan lain-lain. Pemakaian steroid topikal dapat memperlambat
penyembuhan dan mengganggu epitelisasi. Katarak dan glaukoma
merupakan efek samping pemakaian steroid jangka panjang.
1.
2.
3.

KEPUSTAKAAN
Smolin G. Ocular Immunology. Lea & Febiger Philadelphia 1981; hal.
247-283.
Smolin G. Inmmunology, The Cornea. Little, Brown and Company,
Boston/Toronto 1983; 95-97.
Volker-Diben HJ. The Effect of Immunological and Non-Immunological
Factors on Cornea Graft Survival. Dr W Junk Publisher/The HaqueBoston-Lancester 1984; 67-77.

Kalender Kegiatan Ilmiah


November 21-24, 1993 : KONGRES NASIONAL III PERKUMPULAN ENDOKRINOLOGI INDONESIA
Hotel Patra Jasa, Semarang, Indonesia
Secr.: Sub Bagian EndokrinologiMetabolisme
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedoktcran Universitas Diponegoro/
RS Dr. Kariadi
Jl. Dr. Sutomo 16
Semarang, INDONESIA
Telp./Fax : 024 - 311759

Going to church doesn't make you. a Christian any more than going
to garage makes you an automobile
(Billy Sunday)

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 33

Aspek Genetika pada Kelainan Uvea


Hartono
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajahmada UPF. Penyakit Mata/Rumah Sakit Umum Pusat
Dr Sardjito, Yogyakarta

Key Words : genetic disease - iris abnormalities - structural abnormalities - pigmentary


abnormalities - HLA associated uveitis.

PENDAHULUAN
Dengan makin berkurangnya penyakit infeksi dan malnutrisi maka peran penyakit genetik menjadi sangat penting(1).
Kalau dahulu penyakit genetik biasanya hanya dihubungkan
dengan masalah kecacatan bawaan, maka saat ini diketahui
bahwa faktor genetik bahkan berperan pada kejadian beberapa
penyakit infeksi seperti difteri, dan adanya asosiasi antara HLA
dengan penyakit tertentu.
Penyakit genetik sangat banyak macamnya, tetapi kebanyakan frekuensi masing-masing penyakit genetik sangatlah
kecil. Namun demikian ada beberapa macam penyakit genetik
yang sering ditemukan pada etnik tertentu atau di daerah tertentu,
misalnya penyakit Tay-Sachs pada orang Jahudi Askenazik,
penyakit anemia sel sabit pada orang-orang Negro, penyakit
talasemia pada orang-orang di sekitar laut Tengah, dan anensefali
pada orang-orang Irlandia(2).
McKusick (1990) dalam edisi ke-9 bukunya yang terkenal
dengan singkatan MIM (Mendelian Inheritance in Man) atau
juga dikenal sebagai katalog McKusick, tclah mengumpulkan
kira-kira 5000 karakter monogenik atau yang diwariskan
mengikuti hukum Mendel, dan 4000 di ant9ranya adalah merupakan karakter abnormal (penyakit). Dari 5000 karakter tadi
2000 diantaranya tclah diketahui letak genanya di dalam
kromosom inti sel(3).
Disampaikan pada Seminar RED-Kornea-Uvea Perdarni XXI, 9-10 Juli 1993
di Yogyakarta

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

Kalau dahulu pembuktian bahwa suatu kelainan atau sifat


normal merupakan karakter yang diwariskan biasanya hanya
berdasarkan pada kajian silsilah keluarga, kajian anak kembar,
dan kajian saudara-saudara penyandang karakter tertentu, sekarang kajian-kajian dasar tersebut telah dikembangkan untuk
mengetahui letak genanya dalam kromosom. Beberapa kajian
untuk mengetahui letak gena dalam kromosom di antaranya
adalah (1) analisis rangkai gen, (2) hibridisasi seluler, (3) hibridisasi molekuler, (4) pemetaan endonuklease restriksi, (5) homologi, (6) kajian aberasi kromosom, dan (7) pemetaan delesi
dan efek dosis(3).
Mata merupakan organ yang sangat sering terlibat dalam
kelainan genetik baik sebagai kelainan terscndiri maupun sebagai bagian dari sindrom tertentu. Geeraets (1976) telah
mengumpulkan sebanyak 436 sindrom penyakit yang disertai kelainan mata, baik sindrom yang diwariskan (genetis) maupun
nongenetis. Pengenalan kelainan mata genetis dengan demikian
akan menjadi sangat penting agar dapat memberikan pertolongan
kepada pasien secara tcrpadu dan memadai.
Dalam tulisan ini akan dibicarakan beberapa penyakit mata
genetis, khususnya mengenai uvea. Pembicaraan hanya akan
dibatasi mengenai beberapa kelainan, untuk memberikan gambaran peran genetiknya.

PEMBAGIAN PENYAKIT GENETIK


Penyakit pada umumnya dapat digolongkan menjadi penyakit yang sebabnya karena faktor lingkungan, penyakit yang
sebabnya karena faktor genetik, dan penyakit yang sebabnya
karena gabungan antara faktor lingkungan dan faktor genetik(1).
Lamy (1975) membagi penyakit genetik menjadi penyakit gen,
penyakit kromosom, penyakit cmbriopati(4).
Penyakitgen mutan, genopati dapatdibagi menjadi genopati
malformatif, genopati tisuler, dan genopati molekuler(5). Berdasarkan sifat mutasi gen (dominan atau resesif) dan letak gen
dalam kromosom inti sel (pada autosom atau kromosom kelamin-X atau Y), maka pewarisan penyakit gen (penyakit genetik
dalam arti sempit) dapat dibagi menjadi penyakit dominan
autosom (DA), resesif autosom (RA), dominan terangkai-X
(D-X), resesif terangkai-X (R-X), dan terangkai-Y atau holandrik. Di samping gen dalam inti sel juga terdapat gen mitokondria. Mutasi gen mitokondria akan menyebabkan penyakit mitokondria, misalnya penyakit Leher. Karena pada sel benih
(garnet) mitokondria hanya terdapat pada sel telur, maka pewarisan penyakit mitokondria adalah istimewa, yaitu mengikuti garis
ibu (maternal line), artinya hanya diwariskan dari ibu yang sakit.
Penyakit kromosom disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom atau kelainan struktur kromosom. Penyakit kromosom
biasanya menyebabkan kelainan berat, baik fisik maupun mental, dan bahkan letal (menyebabkan kematian), kecuali pada kelainan kromosom kelamin bentuk tertentu. Kelainan kromosom
tidak selalu dapat dideteksi pada analisis kromosom, terutama
pada delesi yang sangat kecil. Karena kelakuan kromosom saat
pembentukan garnet juga mengikuti kaidah Mendel, maka pada
dasarnya pewarisan penyakit kromosom adalah seperti pewarisan penyakit dominan, asalkan kelainan kromosom tadi tidak
berefek letal, cacat berat, atau infertilitas.
Embriopati adalah penyakit embrio dapatan akibat terpaparnya si ibu saat kehamilan muda dengan bahan teratogenik.
Jadi embriopati bukan penyakit genetik. Tetapi karena gambaran
fenotip embriopati tertentu sering menyerupai sindrom penyakit
genetik yang dikenal (efek fenokopi), maka embriopati penting
sebagai diagnosis banding.
Mengenai risiko rekurensi (artinya munculnya kembali
penyakit yang sama setelah kelahiran anak cacat) untuk penyakit
monogenik adalah berkisar antara 25% sampai 100% (kecuali
pada mutasi baru); pada penyakit kromosom tergantung pada
kariotip anak, ayah dan ibu; dan pada embriopati risiko rekuren
tadi praktis nol. Hal ini punting pada pemberian penyuluhan
genetik, karena ada penyakit yang ringan tetapi risikonya tinggi
dan ada penyakit yang berat tetapi risiko rekurensinya sangat
rendah. Kedua keadaan tadi biasanya bisa diterima oleh pasangan suami-istri, dan mereka tidak takut untuk mempunyai anak
lagi.
Dalam menetapkan diagnosis penyakit genetik dan cara
penetapan pewarisannya, serta menentukan risiko rekurensinya
kadang-kadang tidak mudah. Beberapa penyulit untuk ini adalah
(1) jumlah anak yang semakin sedikit, (2) adanya heterogenitas
genetis, (3) adanya gen nonpenetran, (4) adanya keragaman
ekspresivitas, dan (5) adanya mutasi baru(4).

ASPEK GENETIK KF.LAINAN UVEA


Dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan beberapa kelainan uvea anterior (iris), baik mengenai kelainan bentuk, kelainan
pigmentasi (warna), dan radang pada iris.
1. Kelainan bentuk iris
a) Koloboma iris
Koloboma iris adalah cclah iris kongenital pada sektor nasal
bawah, yang terjadi karena kegagalan penutupan mangkok optik
pada daerah fisura fetalis.
Kelainan ini dapat beragam dari adanya lekukan pada pupil
sampai defek sektoral jaringan uvea yang meluas dari iris sampai
nervus optikus(6). Fisura fetalis ini secara normal menutup pada
minggu kelima dan keenam pada saat embrio berukuran 10
sampai 18 mm(7).
Mengenai pewarisan kelainan ini sebenarnya Snell pada
tahun 1908 telah memperlihatkan pewarisan koloboma iris pada
5 generasi yang menunjukkan adanya pewarisan dominan autosom. Kajian silsilah keluarga sampai saat ini tetap menyokong
adanya pewarisan dominan autosom. Kelainan ini mungkin
berbeda dengan aniridia. Gen untuk koloboma iris, khoroid, dan
retina telah diketahui berada pada kromosom nomor 2, tepatnya
pada 2pter-p25.1 dekat dengan gena aniridia-l(3).
b) Aniridia
Aniridia yang berdiri sendiri atau disertai kelainan mata
yang lain memperlihatkan ekspresivitas (penampakan) yang
sangat beragam. Aniridia biasanya disertai dengan pengurangan
visus, nistagmus, katarak, strabismus, ambliopia, dan hipolasia
nervus optikus(8). Kelainan iris sendiri dapat berupa (1) aniridia
total, (2) tersisanya sedikit iris, (3) koloboma atipik, (4) koloboma tipik dengan penipisan iris, dan (5) penipisan iris dengan
pupil yang bulat(3.8). Pada pembawa gen yang mempunyai pupil
bulat, Mintz-Hittner et al. (1992) dapat memperlihatkan adanya
ketidak sempurnaan koloret dan pengurangan zona avaskuler
fovea(9).
Pewarisan aniridia pertama kali dilaporkan oleh Macklin
pada tahun 1927, dan bersifat dominan autosom(10). Pewarisan
demikian tetap terbukti sampai sekarangdan bahkan letak genanya
dalam kromosom telah diketahui, Letak gena aniridia bisa berada
pada kromosom nomor 2, yaitu pada 2p25 dekat dengan gena
koloboma uvea, dan pada kromosom nomor 11, yaitu pada
l 1p13. Aniridia yang disebabkan oleh mutasi gena pada kromosom nomor 2 dan nomor 11 tidak dapat dibedakan. Aniridia yang
disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom nomor 2 disebut
aniridia-1, sedangkan yang disebabkan oleh mutasi gen pada
kromosom 11 disebut aniridia-2(3). Angka mutasi untuk aniridia1 dan aniridia-2 secara keseluruhan adalah 2,5 sampai 5 x 10-6 per
garnet per generasi(11). Di samping aniridia autosomal dominan,
ternyata pada orang-orang Jepang juga dijumpai aniridia autosomal resesif. Aniridia jenis ini mempunyai makula yang
baik(11).
c) Aniridia bersama dengan tumor Wilms (sindrom WAGR)
Tumor Wilms adalah tumor embrional ginjal yang analog
dengan retinoblastoma dalam arti bahwa tumor ini diwariskan
secara Mendel dan disebabkan oleh gangguan pada gen penekan

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 35

tumor atau tumor suppresor gene(11). Ternyata gen untuk timbulnya tumor Wilms ini sangat berdekatan letaknya dengan gen
untuk aniridia-2, yaitu pada 11p13. Delesi pada 11p13 ternyata
mempunyai asosiasi dengan sindrotm WAGR (Wilms tumor,
Aniridia, Genitourinary anomalies, and mental Retardation).
Keadaan demikian adalah serupa dengan asosiasi antara delesi
13q14 dengan retinoblastoma(12). Demikian pula teori dua kali
mutasi dari Knudson juga berlaku untuk tumor Wilms(11).
Kalau asosiasi antara delesi 13q14 pertama kali ditemukan
oleh Miller et al pada tahun 1964, maka asosiasi antara delesi
11p13 dengan sindrom WAGR ditemukan oleh Riccardi et at
pada tahun 1978(3). Jadi aniridia-2 dapat berdiri sendiri atau
sebagai bagian dari sindrom WAGR.
Demikian pula tumor Wilms juga bisa berdiri sendiri atau
sebagai bagian dari sindrom WAGR. Rupanya patahan pada
11p13 akan menyebabkan aniridia-2, sedangkan delesi daerah
11p13 akan menyebabkan sindrom WAGR. Dengan demikian
adanya aniridia yang disertai kelainan genitourinaria atau retardasi mental perlu dicari apakah juga menderita tumor Wilms
dengan pemeriksaan USG berkala.
d) Pupil ektopik
Pupil ektopik biasanya merupakan bagian dari ektopia lentis
dan pupil. Ektopia lentis dan pupil merupakan 719% dari keseluruhan ektopia lentis, dan ektopia lentis tanpa ektopia pupil
adalah 8190%(13).
Pada kelainan ini pupil berbentuk lonjong atau berbentuk
celah, terletak ektopik, dan sulit dilatasinya. Kelainan ini biasanya bilateral, asimetris, dan kadang-kadang terdapat mikrosferofakia. Katarak, glaukoma, dan ablasio retina dapat menyertai
kelainan ini(13). Pupil ektopik dapat pula vertikal sehingga
menyerupai mata kucing (Sorsby, 1951).
Mengenai pewarisan pupil ektopik telah diperlihatkan oleh
Waardenburg pada tahun 1932. Kelainan ini sebagian diwariskan secara dominan autosom dan sebagian diwariskan secara
resesif autosom (Sorsby, 1951; Nelson & Maumene, 1986).
e) Kelainan bentuk iris yang lain
Beberapa sindrom genik maupun kromosomik sering disertai adanya kelainan bentuk iris yang abnormal. Beberapa
sindrom yang perlu disebutkan adalah(14) :
1) Sindrom kuku-patela
Sindrom ini mempunyai tanda utama berupa displasia
kuku, hipoplasia patcla, dan spina iliaka yang menonjol. Pada
penderita ini kadang-kadang ditemukan iris yang berbentuk daun
semanggi. Sindrom kuku-patela diwariskan secara dominan
autosom.
2) Neurofibromatosis
Neurofibromatosis merupakan salah satu anggota fakomatosis (hamartoma) dengan tanda utama berupa neurofibromata
multipcl, bcrcak kulit warna kopi susu (tache cafe au tail), dan
lesi tulang. Pada iris pendcrita suing ditemukan nodula Lisch
(hamartomata iris pigmentosa). Penyakit ini diwariskan secara
dominan autosom dengan ekspresivitas yang sangat beragam.
3) Sindrom okulodentodigital
Sindrom ini ditandai oleh mikroftalmia, hipoplasi email, dan

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

kamptodaktili kelingking. Selain mikroftalmia pada mata juga


ditemukan iris yang halus dan berpori-pori. Pewarisan kelainan
ini adalah dominan autosom dengan ekspresivitas yang beragam.
4) Sindrom mata kucing (cat eye syndrome)
Sindrom ini mempunyai gejala utama berupa koloboma iris,
atresia ani, dan apendages preaurikuler. Kelainan merupakan
penyakit kromosom, yaitu suatu trisomi parsiil kromosom 22,
karena adanya tambahan 22q.
2. Kelainan warna iris
a) Albinisme
Warna mata ditentukan oleh wama iris, dan warna iris ini
merupakan salah satu kriteria penentuan kekembaran secara
fisik(15). Galton pada tahun 1889 membagi warna iris menjadi 8
kategori, yaitu: cerah, biru dan biru gelap, hijau dan hijau biru,
abu-abu gelap, coklat muda, coklat dan coklat tua, gelap, dan
hitam(10).
Albinisme termasuk dalam satu kelompok besar kelainan
okulokutaneus. Ada dua jenis albino yaitu albino okulokutaneus
dan albino okuler. Albinisme okulokutaneus disebabkan oleh
kekurangan atau ketiadaan pigmentasi pada kulit, rambut, dan
mata. Pada albinisme okuler, terutama yang mengalami gangguan pigmentasi adalah mata. Kedua bentuk albinisme ini masih
dibagi lagi menjadi beberapa bentuk. Kedua bentuk albinisme
tadi sering disertai hipoplasi fovea, fotofobia, nistagmus dan
pengurangan tajam penglihatan.
Albino okulokutaneus secara garis besar dibagi menjadi
negatip tirosinase dengan frekuensi 1 dalam 13.000 kelahiran;
positip tirosinase dengan frekuensi 1 dalam 15.000 kelainan path
Negro dan 1 dalam 40.000 pada kulit putih (Worobec-Victor et
al., 1986). Albino okuler ditandai oleh hipomelanosis terutama
pada uvea dan retina, dengan atau tanpa hipopigmentasi fokal
pada kulit. Pewarisan albino okulokutaneus sebagian besar adalah
resesif autosom. Pewarisan albino okuler dapat secara terangkaiX, resesif autosom, maupun dominan autosom (Worobec-Victor
et al., 1986).
b) Sindrom Waardenburg
Sindrom ini pertama kali dilaporkan oleh Waardenburg
pada tahun 1951. Ia menemukan sindrom ini path 1,4% dari
anak-anak yang menderita ketulian bawaan. Berdasar data ini,
maka perkiraan insidensi sindrom Waardenburg di Negeri Belanda adalah 1 per 42.000 penduduk(16). Sindrom Waardenburg
memperlihatkan ekspresivitas yang beragam.
Hageman dan Delleman membedakan 2 jenis sindrom
Waardenburg (SW) yaitu: tipe I (SW I) dan tipe II (SW II) berdasar ada tidaknya telekantus (Jones, 1988). Selanjutnya ditemukan adanya tipe III (SW III) dan tipe IV (SW IV). Gejala
pokok SW I adalah (1) distopia konmtoreum, (2) akar hidung
lebar, (3) hipertrikosis, (4) hipopigmentasi kulit dan rambut
kepala, (5) hcterokromia iris total atau parsial, (6) ketulian
kongenital unilateral atau bilateral. Gejala pokok SW II adalah
seperti SW I, tetapi tanpa telckantus. SW III disebut juga sindrom Klcin-Waardenburg atau SW yang disertai kelainan
anggota alas, sedangkan SW IV disebut pula varian SW yang
disertai megakolon(17).

c) Kelainan pigmentasi iris lain


Beberapa sindrom kromosomik juga sering ditandai oleh
kelainan wama (pigmentasi) iris. Beberapa sindrom yang perlu
dikenal adalah(12,14,16) :
1) Sindrom Angelman
Sindrom Angelman ataiu sindrom boneka gembira (happy
puppet syndrome) ditandai oleh cara berjalan seperti boneka
gembira, tertawa paroksismal, dan muka (wajah) yang khas.
Penderita ini memperlihatkan iris berwarna biru pucat. Sindrom
ini mungkin diwariskan secara resesif autosom.
2) Sindrom Down
Sindrom ini disebut pula mongolisme atau lebih tepat disebut trisomi 21. Trisomi 21 merupakan kelainan-kromesom
yang paling sering dijumpai, yaitu dengan frekuensi 1 per 700
kelahiran.
Trisomi 21 mempunyai tanda utama hipotoni, muka bulat
dan datar, celah mata miring ke samping atas, bercak Brushfield pada iris, daun telinga kecil, dan leher lebar. Bercak Brushfield tampak jelas pada mata biru, berupa bercak-bercak kecil,
putih, agak ireguler, membentuk cincin pada pertengahan sepertiga intema dan sepertiga eksterna iris.
3) Sindrom X-fragil
Sindrom X-fragil atau sindrom Martin-Bell merupakan
penyakit kromosom yang lebih sering mengenai laki-laki. Sinthorn ini ditandai dengan defisiensi mental, displasia ringan
jaringan ikat, dan makroorkhidisme. Pada mata ditemukan adanya iris yang berwarna biru pucat.
3. Uveitis dan HLA
Antigen per,mukaan pada eritrosit telah lama dikenal, yaitu
misalnya yang menentukan golongan darah ABO, MNS dan
Rhesus. Antibodi terhadap antigen AB terdapat pada individu
yang justru tidak mempunyai antigen AB, sedangkan anti Rhesus
terjadi pada kehamilan yang tidak sesuai. Kemudian ternyata
juga terdapat antigen permukaan yang terdapat pada lekosit yang
disebut HLA (Human Leucocyt Antigen atau Histocompatibility
Locus Antigen) yang merupakan bagian MHC (MajorHistocompatibility Complex). MHC sendiri merupakan seperangkat gena
yang terdapat pada kromosom nomor 6 pada lengan p(3).
MHC terdiri dari 3 kelas gena, yaitu kelas I, II, dan III. Yang
termasuk HLA adalah I dan II, sedangkan kelas III meliputi genagena untuk faktor B properdin, komplemen C2 dan C4, serta
hidroksilase-21(11,18). Selanjutnya temyata bahwa antigen HLA
tidak hanya terdapat pada dinding lekosit, tetapi juga terdapat
pada dinding sel tubuh yang lain(11).
Gena-gena kelas I meliputi HLA-A, HLA-B dan HLA-C
yang mengkode protein membran plasma sel-sel berinti. Genagena ini mengalami mutasi berkali-kali yang bersifat kodominan, sehingga terbentuk alel ganda (multiple allele), untuk HLAA (misalnya Al, A2), HLA-B (misalnya B12, B27) dan untuk HLAC (misalnya Cw1, Cw2).
Gena-gena kelas II meliputi HLA-DP, HLA-DQ dan HLADR yang mengkode antigen terutama pada limfosit B, makrofag
dan limfosit T teraktivasi; tetapi kadang-kadang juga pada selsel yang lain(11). HLA ini juga mengalami mutasi berkali-kali dan

bersifat kodominan. Secara teoritis akan terdapat kombinasi


fenotip HLA sebanyak 3 x 107. Tetapi di dalam kenyataan hanya
HLA tipe tertentu yang lebih sering dijumpai.
Antibodi-antibodi terhadap antigen HLA dapat diperoleh
dari para wanita multipara(19), tetapi tidak seperti antibodi terhadap Rhesus, maka antibodi terhadap antigen HLA tidak berpengaruh pada fetus. Pewarisan HLA adalah secara kodominan
dan gena-gena tadi diwariskan dalam satu blok, karena genagena tadi letaknya saling berdekatan (terangkai erat). Namun
demikian pindah silang juga dapat terjadi, dan pada urutan gena
tertentu maka frekuensinya lebih besar dibandingkan dengan
yang diharapkan apabila terjadi pindah silang secara normal.
Keadaan demikian disebut linkage disequilibrium(18).
Pada mulanya HLA ini diperkirakan hanya penting artinya
dalam genetika transplantasi, karena transplantasi antara dua
individu kembar identik akan berhasil baik (mempunyai kesamaan HLA praktis 100%), sedangkan pada dua individu yang
hubungan keluarganya jauh maka hasilnya buruk karena adanya
perbedaan HLA yang besar (kecuali pada transplantasi kornea
yang memenuhi syarat). Ternyata sekarang antigen permukaan
ini banyak dihubungkan dengan kejadian penyakit tertentu yang
dahulu belum diketahui penyebabnya.-Individu dengan HLA
tertentu temyata mempunyai risiko lebih tinggi untuk penyakit
tertentu dibanding individu lain. Sebenarnya adanya asosiasi
marker genetika dengan penyakit tertentu telah lama diketahui,
misalnya asosiasi antara golongan darah 0 non sekretor dengan
ulkus peptikum pada tahun 1920. Mengenai HLA, pada tahun
1960 ditemukan adanya asosiasi antara HLA dengan penyakit
Hodgkin(3).
Adanya asosiasi HLA tertentu dengan uveitis jenis tertentu
mula-mula didasarkan pada adanya beberapa jenis uveitis yang
bersifat familial. Asosiasi antara HLA tertentu dengan uveitis
tertentu misalnya adalah(20,21) :
a) Iritis pada penyakit Behcet
Penyakit ini ditandai oleh triad iritis, stomatitis aftosa, dan
ulserasi genitalia. Kelainan mata dapat pula berupa vaskulitis
retina, oklusi vena retina, uveitis posterior, neuritis dan neuroretinitis, dan akhimya timbul katarak.
Tern yata penyakit Behcet mempunyai asosiasi dengan HLAB5. Pada orang Jepang temyata 30% orang normal mempunyai
HLA-B5; sedangkan pada penderita sindrom Behcet maka 70%
mempunyai HLA-B5. Keadaan demikian juga ditemukan di
Perancis, Inggris, Israel, Turki, Jerman, dan Tunisia. Penyakit
Behcet temyata lebih berat pada kasus familial dan asosiasinya
lebih kuat pada pria daripada wanita.
b) Uveitis anterior pada spondilitis ankilosa
Penyakit ini ternyata mempunyai asosiasi kuat dengan HLAB27, dan pada adanya antigen ini menyebabkan individu mempunyai risiko terkena uveitis anterior adalah 20 kali lebih sering.
HLA-B27 adalah positip pada 58% untuk kontrol normal dan
positip pada 85% untuk penderita spondilitis ankilosa.
c) Uveitis pada sindrom Reiter
Sindrom Reiter sering terjadi pada pria, dan ditandai oleh
uretritis non-bakterial, artritis, konjungtivitis, dan iridosiklitis
rekuren. Ternyata 7580% kasus sindrom Reiter mempunyai

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 37

HLA-B27.
d) Iridosiklitis tanpa varian rematoid
Insidensi uveitis anterior akuta ternyata ditemukan lebih
sering pada keluarga derajat satu dari penderita uveitis anterior
akuta yang mempunyai HLA-B27. Di Negeri Belanda kira-kira
50% penderita uveitis anterior akuta mempunyai HLA-B27.
e) Iridosiklitis pada artritis rematoid juvenilis
Artritis ini merupakan satu bentuk artritis rematoid juvenilis, berupa monoartritis atau pausiartritis, sering terjadi pada
pria. Sebanyak 1020% kasus juga menderita uveitis anterior
akuta, dan 75% dari mereka mempunyai HLA-B27.
Mengapa HLA tertentu (misalnya HLA-B27) memperlihatkan asosiasi dengan penyakit tertentu (misalnya spondilitis
ankilosa) masih kabur. Untuk menerangkan hal ini ada dua
hipotesis(18) :
1) Hipotesis rangkai gen, misalnya kepekaan terhadap spondilitis ankilosa paling tidak sebagian disebabkan oleh satu alel
Ank, yang merupakan gen yang letaknya dekat dengan lokus
HLA-B. Diperkirakan terdapat ketidakseimbangan rangkai gen
(linkage disequilibrium) dari ank B27, artinya bahwa gen Ank
lebih sering bersama dengan HI,A-B27 dibanding dengan HLAB yang lain yang diharapkan apabila terjadi kombinasi secara
acak.
2) Hipotesis efek antigen, yang mengatakan bahwa polipeptida
yang dibentuk atas perintah (dikode oleh) alel B27 menyebabkan
individu peka terhadap penyakit spondilitis ankilosa. Mungkin
antigen B27 adalah reseptor permukaan sel untuk virus atau
patogen yang lain. Atau molekul B27 mungkin menycrupai antigen suatu patogen, sehingga antibodi yang ditunjuk untuk melawan patogen juga menyerang jaringan host yang membawa
antigen B27.

peran faktor genetik untuk kejadian beberapa bentuk uveitis tadi.


Karena kelainan uvea mungkin merupakan bagian dari sinthorn klinik yang lebih berat, maka perlu pemeriksaan yang
lebh teliti atau konsultasi ahli lain. Pemeriksaan yang seksama
pada anggota keluarga penderita adalah penting karena beberapa kelainan uvea memperlihatkan ekspresivitas yang beraneka
ragam.

RINGKASAN DAN SARAN


Telah dibicarakan beberapa kelainan uvea khususnya iris,
yang bersifat genetik, baik yang berupa kelainan bentuk, kelainan pigmentasi, maupun peradangan. Kelainan iris dapat merupakan kelainan tersendiri maupun sebagai bagian dari sindrom
genetik, baik sindrom genik maupun kromosomik.
Mengenai kelainan struktur (bentuk), iris telah diuraikan
mengenai koloboma iris, aniridia, sindrom WAGR, dan pupil
ektopik. Mengenai kelainan pigmentasi telah dibicarakan
mengenai albino okulokutaneus, albino okuler, dan sindroma
Waardenburg.
Adanya asosiasi antara (a) HLA-B5 dengan penyakit Behcet,
dan (b) HLA-B27 dengan uveitis anterior yang menyertai spondilitis ankilosa, uveitis yang menyertai sindrom Reiter, iridosiklitis tanpa varian rematoid juvenilis menunjukkan adanya

14.

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

Emery AEH, Mueller RF. Element of Medical Genetics, 7th ed. ChurchillLivingstone, Edinbvurg. 1988.
Garver KL, Nora H. Genetics of Man. Lea & Febiger, Philadelphia. 1975.
McKusick VA. The Morbid Anatomy of the Human Genome. Howard
Hughes Medical Institute, Bethesda. 1988.
Lamy M. Genetique Medicale, 2eme ed. Masson & Cie Editeurs, Paris.
1975.
Robert JM, Plauchu H. Genetique. dalam Debre R, Royer P (eds):
Collection Pediatric. Flammarion Medicine Sciences, Paris 1977. pp. 2937.
Scheie HG, Albert DM. Textbook of Ophthalmology, 9th ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia. 1977.
Barber AN. Embryology of Human Eye. St. Louis: C.V. Mosby Co., 1955.
Hittner HM, Roccardi VM, Ferrel RE, Borda RR, Justice J. Variable
expressivity in autosomal dominant aniridia by clinical electrophysiologic
and angiographic criterias. Am. J. Ophthalmol 1980; 89: 53-9.
Mints-Hittner HA, Ferrel RE, Lyons LA, Kritzer FL. Criteria to detect
minimal expressivity with families with autosomal dominant aniridia. Am.
J. Ophthalmol 1992; 114: 700-7.
Gates RR. Human Genetics. Vol. I. The Mac Milian Company, New York.
1952.
Thompson WM, Mc Innes RR, Willard HF. Thompson & Thompsor
Genetic in Medicine, 5th ed. W.B. Saunders Company, Philadephia. 1991.
DeGrouchy J, Turleau C. Clinical Atlas of Human Chromosomes, 2nd ed.
John Wiley & Sons,. New York. 1984.
Nelson LB, Maumene IH. Extopia lentis, dalam Renie WA (ed): Goldberg's Genetic and Metabolic Eye Disease, 2nd ed. Little, Brown and Co,
Boston 1986. pp. 183-195.
Gorlin RJ, Cohen MM, Levin LS. Syndromes of the Head and Neck, 3rd
ed. Oxford University Press, New York. 1990.
Fraser FC, Nora H. Genetics of Man. Lea & Febiger, Philadelphia. 1975.
Jones KL. Smith's Recognizable Pattern of Human Malformation, 4th ed.
W.B. Saunders Company, Philadelphia. 1988.
Asher JH, Friedman TB. Mouse and hamster mutants as models for
Waardenburg syndrome in human. J. Med. Genet. 1990; 27: 618-26.
Mange AP, Mange EJ. Genetics: Human Aspects, 2nd ed. Sinauer Associate Inc., Sunderland. 1990.
Bach ML, Bach FH. Genetics of Histocompatibility, dalam McKusick VA,
Claiborne R (eds): Medical Genetics. H.P. Publishing Co. Inc., New York.
1873.
Smith RE, Nozik RA. Uveitis: A Clinical Approach to Diagnosis and
Management. William & Wilkins, Baltimore. 1980.
Merim S. Inherited Eye Diseases: Diagnosis and Clinical Management.
Marcel Dekker Inc., New York. 1991.
McKusick VA. Mendelian Inheritance in Man.9th ed. The Johns Hopkins
University Press, Baltimore. 1990.

Penatalaksanaan Infeksi Jamur


pada Mata
Bambang Susetio
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Saki: Mata Cicendo, Bandung

PENDAHULUAN
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah
kesehatan mata sebab kelainan ini menempati urutan kedua
dalam penyebab utama kebutaan. Kekeruhan kornea ini terutama
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa bakteri, jamur
dan virus dan bila terlambat didiagnosis atau diterapi secara tidak
tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan
jaringan perut yang luas(1,2,3). Infeksi jamur pada kornea atau
keratomikosis merupakan masalah tersendiri secara oftalmologik, karena sulit menegakkan diagnosis keratomikosis ini,
padahal keratomikosis cukup tinggi kemungkinan kejadiannya
sesuai dengan lingkungan masyarakat Indonesia yang agraris
dan iklim kita yang tropis dengan kelembaban tinggi(2,4). Setelah
diagnosis ditegakkan, masalah pengobatan juga merupakan
kendala, karena jenis obat anti jamur yang masih sedikit tersedia
secara komersial di Indonesia serta perjalanan penyakitnya yang
sering menjadi kronis.
INSIDENSI
Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah dilaporkan pada
tahun 1879 oleh Leber, tetapi baru mulai periode 1950-an kasuskasus keratomikosis diperhatikan dan dilaporkan, terutama di
bagian selatan Amerika Serikat dan kemudian diikuti laporanlaporan dari Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Banyak laporan
menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan
peningkatan penggunaan kortikosteroid topikal,penggunaan obat
immunosupresif dan lensa kontak, di samping juga bertambah
baiknya kemampuan diagnostik klinik dan laboratorik, seperti
dilaporkan di Jepang dan Amerika Serikat. Singapura melaporkan (selama 2,5 tahun) dari 112 kasus ulkus kornea, 22 beretiologi jamur, sedang di RS Mata Cicendo Bandung (selama 6

bulan) didapat 3 kasus dari 50 ulkus kornea, Taiwan (selama 10


tahun) 94 dari 563 ulkus, bahkan baru-baru ini Bangladesh melaporkan 46 dari 80 ulkus (kern ungkinan keratitis virus sudah
disingkirkan).
ETIOLOGI
Secara ringkas dapat dibedakan(5,6) :
1) Jamur berfilamen (filamentous fungi); bersifat multiseluler
dengan cabang-cabang hifa.
a) Jamur bersepta: Fusarium sp, Acremonium sp, Aspergillus
sp, Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
b) Jamur tidak bersepta: Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
2) Jamur ragi (yeast)
Jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida
albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
3) Jamur difasik
Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang pada media
perbiakan membentuk miselium: Blastomicessp, Coccidiodidies
sp, Histoplasma sp, Sporothrix sp.
Tampaknya di Asia Selatan dan Asia Tenggara tidak begitu
berbeda penyebabnya, yaitu Aspergillus sp dan Fusarium sp,
sedangkan di Asia Timur Aspergillus sp.
MANIFESTASI KLINIK
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai
pedoman berikut(4,5,6) :
1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid
topikal lama.
2) Lesi satelit.
3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tapi yang ireguler

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea PERDAMI XXI 9-10 Juli 1993


di Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 39

dan tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh.


4) Plak endotel.
5) Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus.
7) Lesi kornea yang indolen.
Reaksi di atas timbul akibat investasi jamur pada kornea
yang memproduksi mikotoksin, enzim-enzim serta antigen jamur sehingga terjadi nekrosis kornea dan reaksi radang yang
cukup berat.
DIAGNOSIS LABORATORIK
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif
belum menyingkirkan diagnosis keratomikosis.
Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea
(sebaiknya dengan spatulaKimura)yaitu dari dasardan tepi ulkus
dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram,
Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan
masing-masing 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%.
Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver,
tapi sayang perlu biaya yang besar.
Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari
kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup
memuaskan.
Selanjutnya dilakukan kultur dcngan agar Sabouraud atau
agar ekstrak maltosa(2,4,5,7).
OBAT-OBAT ANTI JAMUR
Pengamatan klinik dan laboratorium memperlihatkan bahwa
jamur berbeda sensibilitasnya terhadap anti jamur, tergantung
spesiesnya; hal ini sering dilupakan, ditambah lagi jenis obat anti
jamur yang terbatas tersedia secara komersial di Indonesia.
Sccara ideal langkah-langkah yang ditempuh sama dengan
pengobatan terhadap keratitis/ulkus baktcrialis(5,6) :
1) Diagnosis kerja/diagnosis klinik.
2) Pemeriksaan laboratorik :
a) kerokan kornea, diwarnai dengan KOH, Gram, Giemsa atau
KOH + Tinta India.
b) kultur dengan agar Sabouraud atau ekstrak Maltosa.
3) Pemberian antijamur topikal berspektrum luas.
4) Penggantian obat bila tidak terdapat respon.
Obat yang ideal mcmpunyai sifat berikut(6) :
1) Berspektrum luas.
2) Tidak menimbulkan resistensi.
3) Larut dalam air atau pclarut organik.
4) Stabil dalam larutan air.
5) Berdaya penetrasi pada kornca sctclah pemberian secara
topikal, subkonjungtival atau sistcmik.
6) Tidak toksik.
7) Tersedia sebagai obat topikal atau sistemik.
Jenis obat anti jamur adalah sebagai berikut :
1) Antibiotik polyene :
a) Tetraene: Nustatin, Natamycin (Pimaricin)
b) Heptaene: Amphotericin B, Trichomycin, Hamyein, Can-

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

dicidin.
2) Golongan Imidazoles: Clotrimazole, Miconazole, Ketoconazole.
3) Golongan Benzimidazole: Thiabendazoles.
4) Halogens: Yodium.
5) Antibiotik lain: Cyloheximide, Saramycetin, Griseofulvin.
6) Pyrimidine: Flucytosine.
7) Lain-lain: Thimerosal, Tolnaftate, Cu-sulfat, Gentian Violet.
Antibiotik polyene :
Berdaya anti fungi karena mengganggu permeabilitas
membran jamur sehingga terjadi ketidakseimbangan intraseluler.
Polyene dengan molekul kecil seperti Natamycin menyebabkan
lisis permanen membran dibanding perubahan reversibel oleh
yang bermolekul besar seperti Nystatin, Amphotericin B. Tidak
larut dalam air dan tidak stabil pada oksigen, cahaya, air, panas.
Golongan ini mempunyai daya antifungi spektrum luas tapi tidak
efektif terhadap Actinomyces dan Nocardia.
Nystatin semula tersedia secara komersial di Indonesia,
tetapi sekarang sedang tidak diproduksi. Mungkin bisa dibuat
dari tablet Mycostatin (500.000 unit/tablet) dengan konsentrasi
100.000 unit/ml, walaupun vehikulum talknya iritatif terhadap
kornea dan konjungtiva.
Amphotericin B 0,1% tersedia secara komersial dan bila
diragukan kestabilannya, bisa dibuat dari preparat perenteral
dengan mengencerkannya dengan akuades. Prepanat Amphotericin B iritatif terhadap kornea dan konjungtiva. Obat ini
efektif terhadap Aspergillus, Fusanium dan Candida. Pengobatan
intravena tidak dianjurkan karena toksik terhadap ginjal dan
penetrasi ke kornea minimal.
Natamycin (piramycin) berspektrum luas seperti polyene
lain, tetapi dilaporkan lebih efektif terhadap Fusanium. Di Amerika Serikat lanutan 5% sering dipakai dengan berhasil dan di
Eropa tersedia dalam bentuk salep 1% dan larutan 2,5%. Walaupun
dalam vademikum salah satu industri farmasi tercantum, tetapi
secara komersial agaknya tidak tersedia.
Griseofulvin tersedia luas secara komersial moral, sayang
preparat ini sulit mencapai cairan tubuh atau janingan dalam
konsentrasi tinggi sehingga kurang bermanfaat secara oftalmologik.
Golongan Imidazol, dan ketokonazol dilaporkan efektif
terhadap Aspergillus, Fusarium, Candida. Tersedia secara komersial dalam bentuk tablet. Mungkin bisa dibuat menjadi larutan (pernah dilaporkan), tetapi penulis bclum bcrhasil mcngaplikasikannya.
Halogen
Larutan 0,025% dilaporkan berhasil mcngobati infeksi
Candida albicans, tetapi ccpat dinonaktifkan olch air mata dan
berdaya penctrasi lemah pada kornea.
Diberikan secara kauterisasi, dapat dengan kapas lidi steril.
Thimerosal (Merthiolat)
In vitro dilaporkan baik untuk Candida, Aspergillus dan
Fusarium, tapi diduga zat Hg ini cepat diinhibisi oleh radikal
sullihidril di jaringan okuler.

Obat ini ada di Vademikum salah satu pabrik farmasi


tetapi secara komersial tidak ada.
TERAPI
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya sejawat
dim inta kreativitasnya dalam improvisasi pengadaan obat, yang
utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi; bisa dibagi(6) :
I. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
II. Jamur berfilamen.
III. Ragi (yeast).
IV. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml,
Thiomerosal (10 mg/ml), Natamycin > 10 mg/ml, golongan
Imidazole.
Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B, Thiomerosal,
Natamycin (obat terpilih), Imidazole (obat terpilih).
Untuk golongan III : Amphoterisin B, Natamycin, Imidazole.
Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.
Pemberian Amphotericin B subkonjungtival hanya untuk
usaha terakhir. Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama
pada saat terapi awal. Diberikan juga obat sikloplegik (atropin)
guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis
anterior.
Terapi bedah dilakukan guna membantu medikamentosa
yaitu :
1) Debridement
2) Flap konjungtiva, partial atau total
3) Keratoplasti tembus
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi;
kriteria penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan
(blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi
ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di
stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan
klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya
defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa

terapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

15.
16.

Marsetio M. Hasil Survai Morbidilitas dan Kebutaan di 8 Propinsi. Hasil


serta Laporan Yertemuan Kerja Upaya Kesehatan Mata dan Pencegahan di
Puskesmas dan Rujukannya. Depkes RI. Jakarta, 1983; p. 7789.
Marsetio M, Bambang G, Susilo J. Fusarium keratitis, 6th Cong Asia
Pacific Academy of Ophthalmology Transac, BaliIndonesia, 1976; p.
277-279.
Budihardjo, Gunawan, Gunawan W. The causes of bilateral blindness in
rural areas of the Yogyakarta Special Territory. Kumpulan Makalah
Kongres Nasional V Perdami, Yogyakarta. hal. 776-82.
Bambang Susetio. Diagnosis Laboratorik Keratomikosis dengan Pemeriksaan pada sediaan langsung. Tesis pelengkap untuk mendapat Ijazah
dokter spesialis mata. Universitas Padjadjaran Bandung, 1987.
Jones DB, Sextan R, Rebell B. Mycotic Keratitis in South Florida: A
review of 39 cases. Trans Ophthalmol Soc VK 89: 7812, 1969.
Halde C, Okumoto M. Ocular Mycosis: A Study of B2 cases, Proc XX
Intemat Cong Ophthalmology part 2, Amsterdam, Excerpts Medica, 1966.
pp. 703-710.
Urn KH. Corneal Ulcers in Singapore. 6th Cong Asia Pacific Acad
Ophthalmol Transac. BaliIndonesia, 1976. pp- 238-41.
Hussaini GM, Alin AH, Sugana T. Bacteriological studies on corneal
ulcers and its possible cause. &h Congr Asia Pacific Acad Ophthalmol
Transac. BaliIndonesia 1976. pp. 243-7.
Jan JH, Kang DHK, Tsai RJF. Keratomycosis - ten years review, Current
Aspects in Ophthalmology, vol 1. Amsterdam: Excerpta Medics, 1992.
hal. 339-342.
Rahman MM. Fungal Keratitis. Current Aspects in Ophthalmology, vol 1.
Amsterdam: Excerpta Medica, 1992. hal. 311-38.
Grayson M. Disease of the Cornea. St Louis: CV Mosby Co. 1983, hal. 45101.
Upadhyay MA. Keratomycosis in Nepal, 6th Congr Asia Pacific Academy
of Ophthalmology Transac, BaliIndonesia, 1976, hal. 249-263.
Wilson AL, Sexton RR. Laboratory Diagnosis in Fungal Keratitis, AJO
1968; 66: 646.
Wang KP, Hsieh YF. Clinical diagnosis of fungal comeal infection with
differential interference contrast incorporated optical microscope, Current
Aspects in Ophthalmology, vol 1. Amsterdam: Excerpta Medica 1992, hal.
343-7.
Shrestha JK, Pokkarel BM, Upadhyay MP. Optimal growth media for
fungal culture, Current Aspects in Ophthalmology, vol 1. Amsterdam:
Excerpta Medica 1992, hat. 353-358.
Jones DB. Fungal keratitis, in Clinical Ophthalmology, vol 4. Philadelphia:
Harper & Row 1987.

Patience is better than pride

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 41

Penanganan Gangguan Sistem


Ekskresi Lakrimal
Hadisudjono Sastrosatomo', Darmayanti Irwan2, Lumongga Simangunsong3
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia1,2,3, Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo1,2,3, RSMMC1 , Jakarta

PENDAHULUAN
Gangguan sistem ekskresi lakrimal mempunyai gambaran
umum yaitu timbulnya gejala epifora. Epifora ini dapat disertai
dengan tanda-tanda radang akut maupun kronis atau tanpa gejala
radang sama sekali. Pendekatan secara sistematik dan sederhana
yang dapat diterapkan dalam klinik dikemukakan dalam makalah
ini.
DIAGNOSIS KLINIS
Keadaan yang menentukan prognosis dan penanganan
gangguan sistem ekskresi lakrimal adalah derajat gangguan
sakus lakrimalis.
Tahapan pemeriksaan yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
a) Penekanan pada pangkal hidung di daerah sakus lakrimalis
dan penekanan ini akan membawa dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, keluarnya cairan dari pungtum lakrimalis
dan kemungkinan kedua tidak ada cairan yang berbalik dari
pungtum tersebut. Keluarnya cairan dari pungtum menunjukkan
adanya bendungan dan penimbunan cairan dalam sakus dan
dalam pencatatan dinyatakan bahwa uji regurgitasi positif.
b) Sondase horisontal, uji ini penting dan dilakukan hanya pada
arah horisontal. Hasil pengujian akan membedakan letak sumbatan pada daerah pra sakus atau pasca sakus. Dibedakan
mengeni tahanan yang didapat, suatu tahanan lunak (soft stop)
menunjukkan sumbatan pada kanalikulus sedangkan suatu tahanan keras (hard stop) menunjukkan hambatan pada saluran
nasolakrimalis. Pada umumnya sondase yang diteruskan ke arah
vertikal pada orang dewasa dengan tujuan membuka aliran
nasolakrimalis dianggap suatu kontra indikasi.
c) Uji yang memerlukan penggunaan zat pewarna yaitu uji
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di
Yogyakarta

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

Jones 1 dan uji Jones 2.


Pengujian ini agak rumit dan dalam penilaian klinis seharihari pada umumnya menurut penulis tidak diperlukan. Semua
pengujian di atas path dasarnya untuk memperoleh informasi
mengenai keadaan anatomis tertentu secara tidak langsung dapat
menimbulkan gangguan fungsi seperti misalnya eversi pungtum,
ektropion dan lainnya menimbulkan epifora pada pasien.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Dakriosistografi cara ini relatif mahal dan memerlukan
ketrampilan ahli radiologi untuk mendapatkan foto yang baik.
Pemilihan jenis kontras yang sesuai kepekatannya penting dan
dalam interpretasi fungsi tidak banyak manfaatnya karena
penyuntikan kontras disertai penekanan.
b) Skintilografi suatu pemeriksaan dengan menggunakan
tracer radioaktif Technetium. RS Hasan Sadikin dan RS Mata
Cicendo sudah membuat suatu prosedur yang baik dalam menjalankan pemeriksaan ini. Departemen Kesehatan akan menyediakan Gamma-Camera di beberapa RS Daerah untuk tahun
anggaran 19931994 dan ini dapat dimanfaatkan oleh para
spesialis mata. Analisis fungsi sistem ekskresi lakrimal dapat
dibuat dalam real time.
PENANGANAN GANGGUAN SISTEM EKSKRESI LAKRIMAL
a) Atresia pungtum
Bila pungtum inferior tidak terbentuk, pemeriksaan skintilografi dapat membantu penilaian sistim ekskresi keseluruhan.
Mikroskop operasi mutlak digunakan untuk mencani lokalisasi
pungtum. Insisi berbentuk bintang diteruskan dengan pemasang-

an suatu silicone plug yang dibiarkan di tempat selama tiga


bulan. Irigasi melewati plug akan memberikan hasil positif bila
saluran ekskresi memang tidak ada kelainan.
b) Sumbatan kanalikulus
Pada sumbatan kanalikulus keberhasilan tindakan sangat
ditentukan oleh penyebab sumbatan. Pada kasus senilis, sumbatan ini sering oleh penyempitan suatu saluran yang pada uji
sonde horizontal memberikan tahanan lunak. Dilatasi dengan
berbagai ukuran sonde dilakukan pada arah horizontal. Irigasi
dan pemberian tetes mata steroid dilakukan pasca sondase.
Sumbatan akibat cedera dengan terputusnya kanalikulus inferior
merupakan masalah yang lebih rumit dan memerlukan tindakan
yang khusus. Sumbatan kanalikulus komunikans juga memerlukan penanganan khusus yang lebih rumit. Konjungtivorinostomi
dengan pemakaian tabung silikon dan cangkok mukosa merupakan salah satu pilihan untuk mengatasi masalah ini.
c)

Sumbatan naso-lakrimal
Dibedakan penanganan pada anak-anak dengan penanganan
pada orang dewasa.
Epifora yang disertai hard stop menunjukkan letak sumbatan nasolakrimal. Perkembangan sistim ekskresi lakrimal,
khususnya duktus nasolakrimalis bervariasi pada anak-anak yang
mengalami kelainan pembukaan Membrana Hassner. Timbulnya epifora bersamaan dengan berfungsinya glandula lakrimalis
sebagai sistim sekresi.
Orang tua pada umumnya lebih menyukai cara yang tidak
menyakiti anak. Sondage vertikal pada pendapat penulis sebaiknya dihindari karena kemungkinan false route sangat besar.
Massage daerah lakrimal menjadi pilihan pertama. Massage
dengan tekanan pada pangkal hidung ke arah inferior dilakukan
satu-dua menit tiap hari. Bila dalam jangka waktu tiga bulan
tidak menunjukkan perbaikan maka irigasi berulang merupakan
langkah berikutnya yang dilakukan sampai anak berusia 1(satu)
tahun. Batas usia ini tidak mutlak, apabila tanda radang tidak ada
maka irigasi dapat dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun.
Suatu tindakan yang lebih agresif berupa intubasi tabung
silikon dari Jackson dapat juga dilakukan antara usia dua tahun
dengan pembiusan umum. Sumbatan nasolakrimal pada orang
dewasa pada umumnya merupakan indikasi suatu tindakan

pembedahan yaitu dakriositorinostomi. Pembedahan ini dilakukan pada keadaan peradangan tidak sedang dalam eksaserbasi
akut.
TEKNIK TINDAKAN
Pengenalan anatomi penting dikuasai dengan benar. Beberapa hal yang sederhana dan scring diamati dalam klinik sebagai
kesulitan yang sebenarnya tidak perlu.
a) Pelebaran pungtum lakrimal
Bentuk kanalikulus berawal dari suatu saluran vertikal pada
pungtum. Cara yang benar pada dilatasi adalah menempatkan
dilatator pada posisi vertikal terhadap pungtum dan setelah
mcndapat tahanan lunak diubah arahnya ke arah medial. Hal
yang sama juga dilakukan pada saat memasukkan jarum irigasi
atau sonde.
b) Intubasi tabung silikon
Aplikasi adrenalin untuk mengerutkan concha memerlukan
waktu. Sondase yang dilakukan terburu-buru akan mendapatkan
halangan visualisasi pada rongga hidung. Logam khusus lentur
tidak didorong dengan paksaan, tetapi diikuti sejauh mungkin
mengikuti kelenturan duktus nasolakrimalis belahan mukosa.
Setelah tahanan tulang dirasakan baru diberikan tekanan untuk
masuk ke dalam rongga hidung di daerah meatus inferior.
RINGKASAN
Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan suatu
pendekatan sederhana pada masalah sumbatan sistem ekskresi
lakrimal. Kasus yang lebih khusus dan tindakannya akan diajukan
pada kesempatan berikutnya.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.

Hecht SD. Lacrimal system testing. 3rd International Symposium of


Plastic and Reconstructive Surgery of the Eye and Adnexa 1982. pp. 5254.
Jackson IT. Nasolacrimal duct reconstructions. 3rd International Symposium of Plastic and Reconstructive Surgery of the Eye and Adnexa 1982.
pp. 59-63.
Hadisudjono. Dakriosistorinostomi, pemasangan tabung nasolakrimal.
Kongres Perdami. 1984.

Unlimited power is apt to corrupt the mind of those who possess it


(William Pitt)

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 43

Keratotomi Radial
Sjamsu Budiono
Universitas Airlangga, Surabaya

PENDAHULUAN
Keratotomi Radial atau yang lazim disebut Radial Keratotomy (=RK) adalah suatu operasi insisi radial pada kornea untuk
menurunkan atau mengobati miopia.
Pada tahun 1940 Dr. T. Sato mengamati penderita-penderita
keratokonus yang mengalami suatu hydrop pada kornea ternyata
hydrop ini akan diawali kekeruhan kemudian menjadi jernih
kembali disertai perubahan kerucut menjadi lebih sferis. Sato
pada penelitian klinisnya kemudian melakukan perforasi dari
membrana Descemet dengan harapan timbul suatu pengerutan
dari kerucut keratokonus. Sato telah melakukan RK melalui
endotel kornea.
Pada tahun 1972 Dr. Svyatoslav Fyodorov mendapatkan
pada seorang penderita laserasi kornea multipel setelah sembuh
temyata miopia yang dideritanya berkurang secara drastis. Pengalaman ini yang mendorong Fyodorov untuk mengembangkan
teknik insisi RK yang dikerjakan sampai saat ini.
Dengan RK maka insisi kornea midperifer menyebabkan
daerah ini menjadi lebih lengkung sehingga diharapkan kornea
sentral lebih datar dengan akibat miopia menjadi berkurang.
Walaupun sebagian para ahli bedah mata kurang menyetujui
cara`Cara RK ini terlebih dengan ditemukannya Laser ablasi/
photorefractive keratectomy = PRK serta cara bedah refraktif
yang lain namun RK ini masih merupakan bedah altematif untuk
pengobatan miopia.
PEMILIHAN PASIEN/EVALUASI PRA BEDAH
Sebelum melakukan operasi RK penting sekali untuk mcmilih
pasien yang sebaiknya dilakukan RK di samping evaluasievaluasi pra bedah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
Disampaikan pada Seminar LED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Julki 1993
di Yogyakarta

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

1) Informed Consent (I.C.) ini sangat diperlukan mengingat


bahwa RK ini adalah operasi pada jaringan kornea normal.
Pasien hams dijelaskan mengenai tujuan operasi bahkan risiko
operasi yang mungkin timbul seperti glare silau, visus yang
berfuktuasi, diplopia dan kabur di senja hari. Dr. Ellis bahkan
menunjukkan Video cara-cara operasi RK pada pasien-pasien
yang akan dioperasinya.
Penderita diterangkan pula untuk tetap memilih kaca mata
atau lensa kontak bila memungkinkan. RK tidak boleh dipaksakan, RK bukanlah operasi kosmetik.
2) Pekerjaan
Pekerjaan atau hobi seorang penderita miopia sering memaksanya tidak bisa menggunakan kaca mata tebal seperti
seorang pilot/penerbang, penggemar tenis, golf atau perenang,
di samping itu orang yang sulit menggunakan lensa kontak seperti alcrgi dan iritasi, tidak senang memakai lensa kontak takut
hilang dan lain-lain, sedang pemakai kaca mata sering merasa
terganggu akibat kaca mata tebal kosmetik tampak jelek kemungkinan pengembunan yang mengganggu pandangan.
3) Umur
Umur juga berpengaruh; seperti seorang wanita 21 tahun
efek penurunan miopia yang dideritanya setclah dioperasi RK
lebih nyata dibanding wanita berumur lebih 40 tahun.
4) Pemeriksaan mata
Pemeriksaan mata diperlukan scbclum operasi. Adanya
katarak, sikatrik kornea, penyakit-penyakit mata luardan riwayat
herpes kcratitis akan menycbabkan timbulnya penyulit-penyulit
pasca bedah.
5) Derajat miopia
Ellis membagi miopia menjadi :

Myopia ringan : -1D s/d -3D


Myopia sedang : -3D s/d -6D
Myopia berat : lebih dari -6D
Miopia ringan dan miopia sedang terutama miopia sferis
(tanpa silindris) adalah kasus yang baik untuk para pemula.
6) Tekanan intra okuler
Tekanan bola mata terbaik untuk dilakukan RK adalah
antara: 12 mmHg - 20 mmHg. Tekanan di bawah 12 mmHg
sering menyebabkan koreksi yang kurang (under correction)
akibat elastisitas yang abnormal.
7) Diameter dan kurvatura kornea
Diameter dan ketebalan kornea sangat berpengaruh terhadap hasil operasi. Diameter kornea yang normal berkisar 11
s/d 13 mm. Kornea di bawah 11 mm menyebabkan under correction, sedang di atas 13 mm menyebabkan insisi hams lebih
panjang sehingga penyulit-penyulit yang timbul juga lebih banyak. Kornea yang tipis menghasilkan koreksi yang lebih tepat.
Untuk pengukuran ketebalan kornea ini dapat digunakan
Pachymeter atau Ultrasonic Pachymeter.
INSTRUMEN/ALAT-ALAT
Alat-alat yang diperlukan untuk operasi RK saat ini telah
banyak tersedia. Alat operasi yang diperlukan di antaranya :
1. Jarum tumpul: untuk membuat optical center.
2. Optical Zone marker - bermacam-macam diameter.
3. Radial Cut marker dengan berbagai ukuran jumlah insisi.
4. Forsep fiksasi: untuk fiksasi konjungtiva.
5. Kanula irigasi: walaupun tersedia kanula irigasi tetapi sebaiknya diusahakan selama operasi daerah operasi tidak terlalu
basah karena dapat menghapus tanda yang telah dibuat.
6. Diamond Knife: pisau mata berlian yang digunakan untuk
insisi, ujung pisau ini tidak berpori sehingga perawatannya tidak
terlalu sulit.
7. Coin gauge: untuk menghisap cairan di permukaan bola
mata.
KALKULASI
Dengan adanya UltrasonicPachymeter maka kalkulasi tebal
kornea baik sentral maupun perifer dapat mudah ditentukan.
Tetapi RK adalah suatu seni bukan sekedar operasi karena kelengkungan kornea dan lain-lain sangat mempengaruhi hasil
operasi. Di samping faktor-faktor lain seperti tekanan intra
okuler dan lain-lain.
Berikut ini penulis salinkan daftar parameter Standar untuk
prosedur RK :

Tabel 1. Parameter Selection Table for Standard Radial Keratotomy


Procedure(4)
Myopia
1 Diopter
1 Diopter
1 Diopter
1 Diopter

Age
18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

Optical
Zone

Number
Incision

Peripheral
Redeepening

4.50 mm
4.75 mm
5.00 mm
5.00 mm

4
4
4
4

No
No
No
No

1.5 Diopters
1.5 Diopters
1.5 Diopters
1.5 Diopters

18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

4.25 mm
4.50 mm
4.75 mm
4.75 mm

4
4
4
4

No
No
No
No

2 Diopters
2 Diopters
2 Diopters
2 Diopters Over

18 to 25
26 to 35
36 to 40
40

4.00 mm
4.25 mm
5.50 mm
5.75 mm

4
4
4
4

No
No
No
No

2.5 Diopters
2.5 Diopters
2.5 Diopters
2.5 Diopters

18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

3.75 mm
4.00 mm
4.25 mm
4.50 mm

4
4
4
4

No
No
No
No

3 Diopters
3 Diopters
3 Diopters
3 Diopters

18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

3.50 mm
3.50 mm
3.75 mm
4.00 mm

4
4
4
4

No
No
No
No

3.5 Diopters
3.5 Diopters
3.5 Diopters
3.5 Diopters

18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

3.25 mm
3.50 mm
3.75 mm
3.75 mm

6
6
6
6

No
No
No
No

4 Diopters
4 Diopters
4 Diopters
4 Diopters

18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

3.25 mm
3.25 mm
3.75 mm
3.75 mm

8
8
8
8

No
No
No
No

4.5 Diopters
4.5 Diopters
4.5 Diopters
4.5 Diopters

18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

3.25 mm
325 mm
3.75 mm
3.75 mm

8
8
8
8

No
No
No
No

5 Diopters
5 Diopters
5 Diopters
5 Diopters

18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

3.25 mm
3.25 mm
3.25 mm
3.50 mm

8
8
8
8

No
No
No
No

5.5 Diopters
5.5 Diopters
5.5 Diopters
5.5 Diopters

18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

3.00 mm
3.25 mm
3.25 mm
3.25 mm

8
8
8
8

No
No
No
No

6 Diopters
6 Diopters
6 Diopters
6 Diopters

18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm

8
8
8
8

No
No
No
No

6.5 Diopters
63 Diopters
6.5 Diopters
6.5 Diopters

18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm

8
8
8
8

Yes
Yes
Yes
No

7 Diopters
7 Diopters
7 Diopters
7 Diopters

18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm

8
8
8
8

Yes
Yes
Yes
Yes

7.5 Diopters
7.5 Diopters
7.5 Diopters
7.5 Diopters

18 to 25
26 to 35
36 to 40
Over 40

3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm
3.00 mm

8
8
8
8

Yes
Yes
Yes
Yes

Keterangan :
Tabel diambil dari buku: Radial Keractotomy and Astigmatism Surgery, 2nd ed.
oleh William Ellis M.D., FAGS.

Untuk pemula dianjurkan melakukan 4 insisi - 8 insisi, bila


diperlukan lebih 8 insisi sebaiknya dikerjakan 3 bulan kemudian.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 45

Redeepening perifer dikerjakan bila diperlukan untuk mendapatkan efek koreksi yang lebih akurat dan dikerjakan 6 mm
senter optik.
PROSEDUR OPERASI
Operasi RK dapat dikerjakan di klinik maupun di kamar
operasi untuk menjaga sterilitas. Untuk operasi RK ini digunakan
mikroskop operasi (operating microscope). 1 jam pra bedah
penderita dapat diberikan diazepam oral.
Pupil dibuat miosis dengan pemberian pilokarpin supaya
identifikasi senter optik lebih mudah di samping mengurangi
fotofobi dan rasa silau akibat lampu mikroskop. Pupil yang kecil
juga melindungi lensa bila terjadi mikroperforasi. Setelah dilakukan desinfeksi daerah operasi dilakukan anestesi lokal/menggunakan Xylocain block (O'Brian Block). Profilaksis dapat
berupa tetes mata antibiotika 4 x 1 tetes 1/4 jam pra bedah.
Setelah ditutup duk steril mata dibuka dengan spekulum dan
pantokain tetes mata dapat diberikan. Penderita diminta melihat
lampu mikroskop dan refleks sinar ini ditandai sebagai senter
optik, selanjutnya dibuatZona Optikal (Optical Zone). Bola mata
kemudian difiksasi dengan forsep fiksasi dilanjutkan insisi
menggunakan Diamond Knife.
Arab insisi tegak lurus dapat dibuat dari Zona optikal menuju
limbus atau sebaliknya, sedang forsep fiksasi dapat digerakkan
ke kanan atau kiri sesuai kebutuhan. Setelah insisi terakhir dibuat
(baik dengan atau tanpa pendalaman/redeepening) luka operasi
diperiksa ulang dengan menggunakan spekulum insisi (=incision speeder) untuk melihat apakah kedalaman insisi telah benar
dan evaluasi barangkali terjadi mikroperforasi. Pada akhirnya
pada setiap luka insisi diirigasi dengan larutan B.S.S. untuk
menghilangkan debris atau darah yang mungkin tinggal. Insisi
sebaiknya tidak melebihi limbus.
Bila terjadi perdarahan dari daerah limbus sebaiknya cukup
diserap dengan cotton sponges dan jangan dilakukan kauterisasi.
Pada akhir prosedur diberikan suntikan gentamicin 1/2m1
sub konjungtiva, mata diberi salep antibiotika dan dibebat.

derita-penderita dengan riwayat herpes keratitis atau distrofi


epitel kornea.
2) Mikro dan makroperforasi: sering disebabkan diamond
knife tidak tegak lurus bahkan goyang ke arah lain atau membuat garis sigmoid demikian pula tekanan yang adekuat dapat
menyebabkan perforasi.
3) Endoftalmitis, katarak atau iris inkarserasi sering terjadi
setelah timbul perforasi.
4) Sikatrik yang tebal: dapat terjadi bila pisau yang dipakai
tumpul atau irisari terlalu ke daerah limbus sehingga timbul
perdarahan.
5) Diplopia monokular dan glare (silau) sering dikeluhkan
terutama pada malam hari akibat pupil yang melebar dan mencapai tepi irisan.
6) Koreksi yang kurang atau berlebih (under/overcorrection).
Hal ini masih wajar terjadi s/d 12 D. terutama pada orang dewasa muda, tetap seringkali keadaan tersebut berkurang dengan
sendirinya sampai mencapai piano.
7) Astigmatisme: sering terjadi aldbat zona optikal yang tidak
akttrat atau kedalaman insisi yang tidak merata.
PENUTUP
Demikianlah sedikit uraian mengenai keratotomi radial:
walaupun belum seluruhnya terangkum termasuk operasi-operasi RK untuk astigmatisme tetapi diharapkan dapat memberi
gambaran sedikit mengenai RK yang jarang dikerjakan.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.

PENYULIT/KOMPLIKASI
Beberapa penyulit pernah dilaporkan di antaranya :
1) Penyembuhan luka yang lama: sering terjadi pada pen-

6.

7.

Berkeley RG, Sanders DR Piccolo Marcus. Effect of incision direction on


radial keratotomy outcome. J. Cataract Refract. Surg. November 1991; 17.
Beaman J. Radial keratotomy : Factors in Medicolegal Claims: Survey of
Ophthalmology 1986; 30 (4).
Chiba K, Tzubota K et al. Morphometric analysis of corneal endothelium
following Radial Keratotomy, J. Cataract Refract Surg. May 1987; 13.
Ellis W. Textbook of Radial Keratotomy and Astigmatism Surgery, 2nd
Ed.
San Diego, California.
Grandon SC, Grandon GM. Effect of peripheral redeepening on radial
keratotomy surgery. J. Cataract Refract Surg. 1987; 13.
Jardin SL, Massin Metal. Radial Keratotomy: Efficacy of Incision Deepening from a 6 mm Optical Zone: Eur. J. Implant Ref. Surg. 1989; 1.
Jory WJ. Bacterial Keratitis in Radial Keratotomy. J. Refract Surg. 1991; 3.

Lover's quarrels are the renewal of love

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior


Hafid Ardy
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Jamil, Padang

PENDAHULUAN
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian
depan badan siliar (pars plicata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera.
Teori patogenesis uveitis anterior beragam, meliputi proses
imunologik, komponen genetik, penyakit infeksi mikroba,
reaksi kompleks imun, reaksi toksik disebabkan oleh tumbuhan
dan obat-obatan dan infeksi fokal. Selama dekade terakhir terjadi
perubahan pola etiologi uveitis anterior ditemukan penyebab
barn uveitis anterior dan akibat tindakan pembedahan dalam
bola mata dengan teknologi canggih.
Kebutaan pada uveitis anterior disebabkan oleh penyulitpenyulit yang ditimbulkan akibat kronisitas dan rekurensi perjalanan penyakit. Kronisitas dan rekurensi penyakit dipengaruhi
oleh faktor-faktor antara lain psikososial, geografi, genetik,
umur, jenis kelamin dan demografi.
Tujuan manajemen uveitis anterior ialah mencegah kerusakan struktur dan fungsi mata seperti sinekia posterior, sinekia
anterior, kerusakan pembuluh darah iris, katarak, glaukoma,
parut kornea, dan kekeruhan benda kaca.
Oleh sebab itu dalam penanganan uveitis anterior diperlukan diagnosis etiologik, mengingat keadaan yang telah dikemukakan di atas, maka untuk menemui etiologik uveitis anterior
harus dilakukan secara sistematik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan mata, pemeriksaan laboratorium dan
konsultasi antara disiplin ilmu. Dengan pendekatan ini maka
dapat dicapai maksimal 80% diagnosis etiologik pada kasuskasus uveitis anterior.
Dengan penemuan diagnosis etiologik, kebutaan disebabkan oleh penyulit dapat diatasi.

SKEMA DIAGNOSTIK ETIOLOGIK


Sesuai dengan teori patogenesis uveitis anterior dan gejala
uveitis anterior yang dapat menyertai kelainan organ lain di
sekitar maka untuk menemukan diagnosis etiologik diperlukan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Penentuan lokalisasi uveitis.
2. Pertimbangan diagnosis banding.
3. Pencatatan data laboratorium dan konsultasi.
4. Diagnosis kerja/etiologik.
5. Rencana pengobatan.
Dengan anamnesis danpemeriksaan mata dapat diperkirakan
lokalisasi uveitis (Lihat Skema 1).
Langkah selanjutnya ialah menetapkan diagnosis banding. Setelah pemeriksaan laboratorium umum dan khusus dan
konsultasi antar disiplin dapat ditentukan diagnosis kerja atau
etiologik. Rencanapengobatan telandapatdilakukan,pengobatan
spesifik untuk diagnosis etiologik telah diketahui, dan aspesifik
untuk diagnosis kerja. Bagi kasus yang etiologinya belum diketahui dilakukan evaluasi berkala terhadap gambaran klinik dan
pemeriksaan lain yang masih dibutuhkan lagi. Kemudian dilakukan pencatatan kembali gejala baru untuk pertimbangan
diagnosis etiologik.
Agar skema ini dapat digunakan dengan baik, maka pembicaraan selanjutnya mengenai klasifikasi, gambaran klinik,
patologi gejala, diagnosis banding, dan diagnosis etiologik
uveitis anterior.
KLASIFIKASI
1) Klasifikasi morfologik :
purulen.

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 full 1993 di


Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 47

GEJALA SUBJEKTIF
1)
Nyeri :
Uveitis anterior akut
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya
dan penekanan saraf siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap
atau hilang timbul.
Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita dan kraniofasial.
Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal.
Intensitas nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit
menentukan derajat nyeri.
Uveitis anterior kronik
Nyeri jarang dirasakan oleh penderita, kecuali telah terbentuk keratopati bulosa akibat glaukoma sekunder.

Skema 1. Langkah-Iangkah untuk mencari diagnosa etiologik

non purulen.
serosa : akut atau kronik.
plastik : akut atau kronik.
2) Klasifikasi patologi-anatomi :
granulomatosa.
non granulomatosa.
3) Klasifikasi klinik: menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakit :
akut : mulai mendadak perjalanan penyakit kurang 5
minggu.
kronik ; mulai berangsur-angsur, perjalanan penyakit berbulan-an atau tahunan.
4) Klasifikasi etiologik :
eksogen : trauma, bedah mata atau serangan mikroba atau
penyebab lain dari luar.
endogen : mikroba atau penyebab lain dari tubuh penderita.
sekunder terhadap penyakit sistemik.
infestasi parasit, viral dan jamur.
idiopatik.
Klasifikasi dua yang pertama merupakan klasifikasi klasik.
Oleh International Uveitis Study Group (1986) diajukan pembagian yang dapat memenuhi gambaran penyakit. Klasifikasi
tersebut meliputi :
lokasi : uveitis anterior, intermedier, posterior, dan total.
timbul penyakit : mendadak, pelan-pelan.
sifat serangan : sekali atau berulang.
lama : pendek, kurang dari 3 bulan, lama lebih dari 3 bulan.
keaktipan penyakit : tidak ada, ringan, sedang atau berat.
respon terhadap kortikosteroid : baik atau kortikodependen.
Dengan memakai klasifikasi ini maka dapat diketahui gambaran
penyakit uveitis yang sedang dihadapi.

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

2) Fotofobia dan lakrimasi


Uveitis anterior akut dan subakut
Ditandai dengan blefarospasmus. Fotofobia disebabkan
spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena sensitif terhadap cahaya. Derajat 3+4+ blefarospasmus menetap, ringan
1+2+ bila disinari dengan sinar yang kuat baru timbul bleforaspasmus. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan
siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia.
Uveitis anterior kronik
Gejala subjektif ini hampir tidak ada atau ringan.
3) Kabur
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat
atau hilang timbul, tergantung penyebab.
Uveitis anterior akut
Disebabkan oleh pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos dan badan kaca depan karena eksudasi sel
radang dan fibrin.
Uveitis anterior residif atau kronik
Disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kelainan
kornea seperti edema, lipatan Descemet, vesikel epitel dan
keratopati.
Edema kornea akibat glaukoma sekunder dapat mengalami
kalsifikasi. Pada infeksi herpes simpleks terdapat edema menetap disertai neovaskularisasi stroma perifer dan pannus kornea.
Gejala subyektif dicatat sebagai keluhan penyakit sekarang.
Anamnesis dilengkapi dengan riwayat penyakit yang pemah dialami penderita, seperti penyakit sistemik, alergi, penyakit mata
termasuk trauma, dan bedah mata. Ditanyakan juga data pribadi:
umur, jenis kelamin, pekerjaan, ras/suku, tempat tinggal, kebiasaan makanan, hobbi dan perjalanan jauh. Penyakit dalam
famili penting ditanyakan pada penderita.
Gejala obyektif
Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik
direk dan indirek, bila diperlukan angiografi fluoresen atau
ultrasonografi.
1) Hiperemi
Pemeriksaan dilakukan dengan iluminasi fokal dalam ruang
gelap.
Merupakan gambaran bendungan pembuluh darah sekitar

kornea atau limbus. Gambaran merupakan hiperemi pembuluh


darah siliar 360 sekitar limbus, berwarna ungu.
Uveitis anterior akut
Merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat
hiperemi dapat meluas sampai pembuluh darah konjungtiva.
Uveitis anterior hiperakut
Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis dan
keratitis marginalis.
Hiperemi sekitar kornea disebabkan oleh peradangan pada
pembuluh darah siliar depan dengan refleks aksonal dapat difusi
ke pembuluh darah badan siliar. Hubungan derajat hiperemi
dengan kelainan kornea mengikuti pembagian Hogan 1959.
Derajat nol : Hiperemi sekitar kornea dan kelainan kornea
tidak ada.
Derajat 1 : Hiperemi sekitar kornea dan edema kornea ringan.
Derajat 2 : Hiperemi sekitar kornea jelas dan difus, disertai
hiperemi pembuluh darah episklera dan konjungtiva. Edema
stroma dan epitel kornea difus dengan lipatan membran Descemet.
Derajat 3 : Hiperemi hebat sekitar kornea disertai hiperemi difus
episklera dan konjungtiva. Edema difus stroma dan epitel
kornea, lipatan Descemet, vaskularisasi perifer disertai permulaan fibrosis daerah tertentu stroma kornea.
Derajat 4 : Injeksi kornea, hiperemi pembuluh darah konjungtiva, kemosis. Edema hebat stroma, keratitis bulosa dan vaskularisasi perifer.
2) Perubahan kornea
Keratik presipitat
Terjadi karena pengendapan agregasi sel radang dalam bilik
mata depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi akuwos
humor, gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea.
Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah dan juga difus.
Keratik presipitat dapat dibedakan :
Baru dan lama :
baru bundar dan berwarna putih.
lama mengkerut, berpigmen, lebih jernih.
Jenis sel :
lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus
keabuan.
limfosit kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok kecil bulat batas tegas, putih.
makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat
fagositosis membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai
mutton fat.
Ukuran dan jumlah sel :
halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut,
retinitis/koroiditis, uveitis intermedia. Uveitis anterior akut dengan
etiologi penyakit sendi dan infeksi fokal.
kecil dan hanya beberapa, terdapat pada Sindrom PosnerSchlossman.
mutton fat keabuan dan agak basah. Terdapat pada uveitis
granulomatosa disebabkan oleh tuberkulosis, sifilis, lepra, VogtKoyanagi-Harada dan simpatik oftalmia. Juga ditemui pada
uveitis non granulomatosa akut dan kronik yang berat. Mutton fat
dibentuk oleh makrofag yang bengkak oleh bahan fagositosis
dan set epiteloid berkelompok atau bersatu membentuk kelom-

pok besar. Pada permulaan hanya beberapa dengan ukuran cukup


besar karena hidratasi dan tiga dimensi, lonjong batas tidak
teratur. Bertambah lama membesar, menipis dan berpigmen
akibat fagositosis pigmen uvea, dengan membentuk daerah
jernih padaendotel kornea. Pengendapan Mutton fat sulit mengecil
dan sering menimbulkan perubahan endotel kornea gambaran
merupakan gelang keruh di tengah karena pengendapan pigmen
dan sisa hialin sel.
3) Kelainan kornea :
Uveitis anterior akut
Keratitis dapat bersamaan dengan keratouveitis dengan
etiologi tuberkulosis, sifilis, lepra, herpes simpleks, herpes
zoster atau reaksi uvea sekunder terhadap kelainan kornea.
Uveitis anterior kronik
Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan
membran Descemet dan neovaskularisasi kornea.
Gambaran edema kornea bcrupa lipatan Descemet dan vesikel
pada epitel kornea. Harus dibedakan dari keratitis profunda
misalnya keratitis disciformis dengan edema menetap,
neovaskularisasi stroma perifer dan pannus.
Keratopati band akibat tekanan bola mata meninggi dan
iridosiklitis pada anak.
4) Bilik mata
Kekeruhan dalam bilik depan mata dapat disebabkan oleh
meningkatnya kadar protein, set, dan fibrin.
4.1) Efek Tyndall
Menunjukkan ada atau menetap peradangan dalam bola
mata.
Pengukuran paling tepat dengan tyndalometri, tetapi secara
klinik dapat dipakai pembagian dari IUSG 1986 (Tabel 1).
Tabel 1.

Derajat jumlah sel dan efek Tyndall dalam bilik depan mata
dengan pemeriksaan lampu cclah (IUSG 1986)

Derajat

Jumlah sel

Efek Tyndall

0
1
2
3
4

Nol mu < 5 sel/lapangan


Ringan, 510 sel/lapangan
Sedang, 1120 sel/lapangan
Agak berat, 2150 sel/lapangan
Hipopion

Nol atau sedikit


Ringan
Sedang tanpa plastik
Agak berat dengan plastik

Uveitis anterior akut


Kenaikan jumlah sel dalam bilik depan mata sebanding
dengan derajat peradangan dan penurunan jumlah sel sesuai
dengan penyembuhan pada pengobatan uveitis anterior.
Uveitis anterior kronik
Terdapat efek Tyndall menetap dengan beberapa sel menunjukkan telah terjadi perubahan dalam permeabilitas pembuluh
darah iris.
Ella terjadi peningkatan efek Tyndall disertai dengan eksudasi sel menunjukkan adanya eksaserbasi peradangan.
4.2) Sel
Sel radang berasal dari iris dan badan siliar. Pengamatan sel
akan terganggu bila efek Tyndall hebat. Pemeriksaan dilakukan
dengan lampu celah dalam ruangan gelap dengan celah 1 mm dan
tinggi celah 3 mm dengan sudut 45. Dapat dibedakan sel yang
terdapat dalam bilik mata depan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 49

Jenis sel :
limfosit dan sel plasma bulat, mengkilap putih keabuan.
makrofag lebih besar, wama tergantung bahan yang difagositosis.
sel darah berwarna merah.
pigmen kecil dan coklat.
4.3) Fibrin
Dalam humor akuos berupa gelatin dengan sel, berbentuk
benang atau bercabang, wama kuning muda, jarang mengendap
pada kornea.
Terdapat pada iridosiklitis akut dan berat karena eksudasi
fibrin ke dalam bilik depan mata (iritis plastik).
4 4) Hipopion
Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata
depan bawah. Pengendapan terjadi bila derajat sel dalam bilik
depan lebih dari 4+.
Hipopion dapat ditemui pada uveitis anterior hiperakut dengan sebutan sel lekosit berinti banyak, biasanya karena rematik,
juga pada penyakit Behcet, dan fakoanafilaktik.
Hipopion harus dibedakan dari pseudohipopion yang disebutkan juga kelompok sindrom masquerade. Untuk membedakan harus dilakukan pemeriksaan dengan pupil yang telah dilebarkan dengan midriatik. Sindrom Masquerade disebabkan
oleh iridoskisis, atrofi iris esensial, limfoma maligna, leukemi,
sarkoma sel retikulum, retinoblastoma, pseudoeksfoliatif dan
tumor metastasis.
5) Iris
5.1) Hiperemi iris
Merupakan gejala bendungan pada pembuluh darah iris.
Uveitis anterior akut
Edema dan eksudasi pada stroma iris, keadaan ini dipermudah karena iris kaya dengan pembuluh darah sehingga struktur
iris normal hilang dan gambaran iris kusam coklat keabuan.
Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang tidak terlihat karma ditutupi oleh eksudasi sel.
Gambaran hiperemi ini harus dibedakan dari rubeosis iridis
dengan gambaran hiperemi radial tanpa percabangan abnormal.
5.2) Pupil
Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma
iris karena iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter
pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat disertai nyeri.
5.3) Nodul iris
Nodul tidak sesuai karena pengendapan agregasi sel dalam
stroma tidak sclalu menimbulkan kerusakan jaringan. Dibentuk
olch limfosit, scl plasma dan jarang makrofag. Dapat ditemui
pada iritis atau iridosiklitis kronik. Nodul iris tidak selalu menunjukkan peradangan granulomatosa.
5.3.1) Nodul Kocppc :
Lokalisasi pinggirpupil, banyak, mcnimbul, bundar, ukuran
kecil, jernih, warna putih keabuan. Proses lama nodul Kocppe
mengalami pigmcntasi baik pada permukaan atau lebih dalam
mcrupakan hiasan dari iris.
5.3.2) Nodul Busacca
Merupakan agregasi sel yang tcrjadi pada stroma iris nodul
Koeppe, terlihat scbagai benjolan putih pada permukaan depan

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

iris. Juga dapat ditemui bentuk kelompok dalam liang setelah


mengalami organisasi dan hialinisasi. Nodul Busacca merupakan tanda uveitis anterior granulomatosa.
5.4) Granuloma iris
Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris.
Granuloma iris merupakan kelainan spesifik pada peradangan
granulomatosa seperti tuberkulosis, lepra dan lain-lain. Ukuran
lebih besar dari kelainan pada iris lain. Terdapat hanya tunggal,
tebal padat, menimbul, warna merah kabur, dengan vaskularisasi
dan menetap. Bila granuloma hilang akan meninggalkan parut
karena proses hialinisasi dan atrofi jaringan.
5.5) Sinekia iris
Merupakan perlengkapan iris dengan struktur yang berdekatan pada uveitis anterior karena eksudasi fibrin dan pigmen,
kemudian mengalami proses organisasi sel radang dan fibrosis
iris.
5.5.1) Sinekia posterior
Merupakan perlengketan iris dengan kapsul depan lensa.
Perlengketan dapat berbentuk benang atau dengan dasar luas dan
tebal. Bila luas akan menutupi pupil, dengan pemberian midriatika akan berbentuk bunga. Bila eksudasi fibrin membentuk
sinekia seperti cinein, bila seklusi sempurna akan memblokade
pupil (iris bombe). Kelainan ini dapat dijumpai pada uveitis
granulomatosa atau nongranulomatosa, lebih sering bentuk akut
dan subakut, dengan fibrin cukup banyak. Ditemui juga pada
bentuk residif bila efek Tyndall berat.
Uveitis anterior akut: belum terjadi proses organisasi, sehingga sinekia posterior lebih mudah lepas dengan midriatika,
dengan meninggalkan jejak pigmen sedikit banyak pada kapsul
depan lensa.
Uveitis anterior kronik: di mana sinekia posterior dibentuk
oleh jaringan fibrotik keabuan tanpa distorsi pupil tetapi dengan
perubahan pinggir pupil.
5.5.2) Sinekia anterior
Perlengketan iris dengan sudut irido-kornea, jelas terlihat
dengan gonioskopi. Sinekia anterior timbul karena pada permulaan blok pupil schingga akar iris maju ke depan menghalangi
pengeluaran akuos, edema dan pembengkakan pada dasar iris,
sehingga setelah terjadi organisasi dan eksudasi pada sudut iridokornea mcnarik iris ke arah sudut.
Sinekia anterior bukan merupakan gambaran dini dan determinan uveitis anterior, tetapi merupakan penyulit peradangan
kronik dalam bilik depan mata.
5.6) Oklusi pupil
Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan
membran radang pada pinggir pupil.
Uveitis anterior akut
Eksudasi protein dalam bilik depan mata disertai tarikan
hebat dacrah pupil.
Uveitis anterior kronik
Proses organisasi sehingga membran radang berubah menjadi membran fibrotik dengan neovaskularisasi.
Pada kasus yang berat karena kontraksi dan retraksi membran fibrovaskular dapat menyebabkan eversi epitel pigmen
sehingga terjadi ektropion uvea.

5.7) Atrofi iris


Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitcl pigmen
belakang.
Uveitis anterior kronik atau cksacrbasi akut
Terlihat derajat tertentu dari bcndungan dan hiperemi stroma,
sehingga iris kehilangan struktur normal, karena mengalami
fibrosis karena hilang dan homogenisasi struktur iris berupa
depigmentasi.
Atrofi iris dapat difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sektoral terdapat pada iridosiklitis akut disebabkan olch virus, terutama hcrpetik.
5.8) Kista iris
Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebab ialah
kecelakaan, bedah mata dan insufisiensi vaskular. Kista iris melibatkan stroma yang dilapisi epitel seperti pada epitel kornea.
Pada beberapa keadaan, epitel yang melapisi kista keratinisasi
sehingga lesi diisi oleh bahan keratin, yang terlihat seperti
mutiara.
6) Perubahan pada lensa
Dikenal 3 bentuk perubahan pada lensa akibat uveitis anterior, yaitu: pengendapan set radang, pigmen dan kekeruhan
lensa.
6.1) Pengendapan set radang
Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi
pengendapan pada kapsul lensa. Pada pemeriksaan lampu celah
ditemui kekeruhan kecil putih keabuan, bulat, menimbul, tersendiri atau berkelompok pada permukaan lensa.
6.2) Pengendapan pigmen
Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan
kapsul depan lensa, menunjukkan bekas sinekia posterior yang
telah lepas. Sinekia posterior yang meny,erupai lubang pupil
disebut cincin dari Vossius.
6.3) Perubahan kejernihan lensa
Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat
peradangan uvea dan proses degenerasi-proliferatif karena pembentukan sinekia posterior. Luas kekeruhan tergantung pada
tingkat perlengketan lensa-iris, hebat dan lamanya penyakit.
Akibat perlengketan iris terjadi pencairan serat.
Uveitis anterior kronik
Terjadi perubahan degeneratif di depan kapsul depan dan
subkapsul belakang. Predileksi daerah sentral menunjukkan
telah timbul reaksi hipersensitivitas daerah lensa tersebut terhadap stimuli toksik metabolik. Kekeruhan subkapsul belakang
dapat disebabkan pemberian kortikosteroid lokal atau sistemik.
Kekeruhan lensa (katarak) sering merupakan penyulit uveitis
anterior kronik atau residif. Reaksi radang pada uveitis anterior
lebih sering mempercepat kekeruhan pada katarak senilis.
7) Perubahan dalam badan kaca
Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel,
eksudat fibrin dan sisa kolagen, di depan atau belakang, difus,
berbentuk debu, benang, menetap atau bergerak. Agregasi terutama oleh set limfosit, plasma dan makrofag.
Iridosiklitis dapat dibedakan dari iritis dengan ditemui sel
dan kekeruhan di ruang belakang lensa dan badan kaca depan
akibat eksudasi badan siliar.

Uveitis serosa, ditemukan sebukan halus, kekeruhan putih


keabuan.
Uveitis plastik ditemukan lembaran kcabuan atau membrana siklitik di belakang lensa.
Kekeruhan badan kaca tidak berkurang melainkan akan
bertambah. Bila lcbih banyak set mclekat terlihat penebalan
benda kaca dan terpisah. Derajat kekeruhan dapat mengganggu
penglihatan (Tabel 2).
Pada kasus uveitis anterior residif dan kronik tidak terkontrol, akan mengalami regresi dan pemecahan jaringan kolagen,
pencairan dan retraksi, sehingga mengakibatkan lepas badan
kaca. Efek Tyndall dan set dalam ruang belakang badan kaca
akibat masuknya eksudasi radang melalui hialod belakang yang
rusak. Badan kaca yang mengalami kerusakan akan membentuk
perlengkctan dan kckeruhan bersama set radang dan membentuk
eksudat berupa salju, tipikal pada uveitis intermedia, dan posterior. Kekeruhan ini akan bertambah membundar, keabuan,
mengkilap bergerak di atas badan kaca perifer.
Pada uveitis anterior tidak begitu berat, terjadi perubahan
bagian depan badan kaca, tetapi dapat meluas ke seluruh badan
kaca dan setelah mengalami proses regresi organisasi dapat
menimbulkan penyulit vitreo-retina.
Tabel 2.

Derajat kekeruhan badan kaca

Derajat

Sel

0
1
2
3
4

tidak ada
112/lap
1235/lap
35100/lap
> 100/lap

Kekeruhan
jernih
sedikit
ringan
sedang
hebat

Pemeriksaan oftalmoskop
Indirek
tidak ada
belakang jelas
belakang sedikit kabur
belakang detil kurang jelas
belakang detil tidak jelas

Keterangan : lap = lapangan


8) Perubahan tekanan bola mata
Tekanan bola mata pada uveitis anterior dapat rendah (hipotoni), normal atau meningkat (hipertoni).
8.1) Hipotoni
Uveitis anterior akut
Hipotoni timbul karena sekresi badan siliar berkurang karena peradangan.
Uveitis anterior kronik
Hipotoni menetap karena perubahan badan siliar dan dapat
mengakibatkan atrofi bola mata.
8.2) Normotensi
Menunjukkan berkurangnya peradangan dan perbaikan bilik
depan mata.
8.3) Hipertoni
Hipertoni dini ditemui pada uveitis hipertensif akibat blok
pupil dan sudut irido-kornea oleh sel radang dan fibrin yang
menyumbat saluran Schlemm dan trabekula.
Hipertoni dijumpai juga pada uveitis disebabkan oleh virus
herpes simpleks, zoster dan sindrom Posner Schlossman.
DIAGNOSIS BANDING
Setelah membicarakan tentang patologi gejala uveitis
anterior, maka gejala tersebut dapat ditentukan kemungkinan

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 51

diagnosa banding.
1) Hiperemi sirkumkornea: keratitis, skleritis, konjungtivitis,
glaukoma akut.
2) Keratik presipitat :
halus banyak: iritis dan iridosiklitis akut oleh penyakit sendi
dan fokal infeksi.
kecil hanya beberapa: Sindrom Posner-Schlossman.
ukuran sedang, difus: heterokromik Fuchs.
mutton fat: tuberkulosis,, sarkoidosis, sifilis, lepra, VogtKoyanagi-Harada.
1) Fibrin: uveitis anterior plastik.
2) Hipopion :
sekunder akibat infeksi kornea karena jamur, bakteri.
sekunder terhadap uveitis endogen :
bukan infeksi: Penyakit Behcet, iridosiklitis akut, uveitis
fakoanafilaktik.
infeksi: endoftalmitis karena bakteri, jamur atau parasit.
diagnosis diferensial sindrom Masquerade.
5) Nodul Koeppe: sarkoidosis.
6) Nodul Busacca: uveitis granulomatosa.
7) Granuloma iris: sifilis tuberkulosis, lepra, sarkoidosis.
8) Kista iris: kongetital, trauma, glaukoma (pada pinggir iris,
dan uveitis anterior.
9) Atrofi iris :
difus : heterokromik Fuchs.
fokal : herpes simpleks.
segmental : herpes zoster.
penyebab lain: pasca bcdah, pasca trauma, umur tua,
glaukoma, diabetes melitus, atrofi iris esensial.
10) Iritis dengan glaukoma :
blok pupil
penyumbatan bilik depan mata dan sudut irido-kornea oleh
sinekia, sel, fibrin, bahan lensa, makrofag dan trabekulitis.
glaukoma sekunder akibat kontusio bola mata.
glaukoma sekunder akibat pemberian kortikosteroid lokal.
Sindrom Posner-Schlossman.
glaukoma karena rubeosis iridis.
11) Iritis dengan kelainan paru: tuberkulosis, sarkoidosis granulomatosis Wegener.
12) Iritis dengan kelainan kulit: sifilis, sindrom Reiter, lepra,
herpes zoster, sarkoidosis, Vogt-Koyanagi-Harada, Behcet
Wegener -granul om atosi s.
13) Iritis dengan kelainan saraf pusat: Vogt-Koyanagi-Harada,
Behcet, simpatik oftalmia, sifilis, sarkoidosis, herpes simpleks.
Iritis dcngan atritis: artritis rematoid juvenil, spondilitis
ankilosa, sindrom Reiter, Wegener granulomatosis, Bchcet, dan
sarkoidosis.
14) Iritis dcngan penyakit saluran cema: sarkoidosis, Behcet,
sindrom Reiter, spondilitis ankilosa.
15) Iritis pada anak: artritisrematoid juvenil, spondilitis ankilosa
juvenil, sarkoidosis, herpes simplcks, Bchcet.
DIAGNOSIS ETIOLOGIK
Etiologi uveitis anterior sulit ditegakkan dcngan peme-

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

riksaan klinik saja, kadang-kadang memerlukan pemeriksaan


laboratorium dan konsultasi antar disiplin.
Kesulitan disebabkan oleh :
Uvea bereaksi dengan cara yang sama terhadap berbagai
agen penyebab, hanya dengan pemeriksaan lampu celah jarang
memberikan gambaran etiologi.
Agen yang menyerang uvea anterior jarang didapat. Untuk
memudahkan menemui ctiologi dipakai skema etiologik sebagai
berikut :
bentuk eksogen: simpatikoftalmia, uveitis fakogenik, endoftalmitis karena trauma dan bedah.
bentuk endogen :
infeksi :
mikroba: sifilis, lepra tuberkulosis, viral, jamur, dan parasit.
bukan infeksi :
hipersensitivitas terhadap mikroba: virus, jamur, Behcet,
Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada.
hubungan dengan penyakit sistemik: spondilitis ankilosa,
sindrom Reiter, artritis reumatoid juvenil.
Secara garis besar untuk menentukan idiopatik dibagi menurut perjalanan penyakit. Dengan cara ini maka pemeriksaan
laboratorium dan konsultasi dapat diarahkan untuk menghindarkan pemeriksaan yang tidak diperlukan, sehingga beban biaya
penderita lebih hemat.
Tabel 3.

Diagnosis etiologik uveitis anterior akut dengan pemeriksaan


anjuran

Etiologi
Spondilitis ankilosa
Sindrom Reiter
Herpes simpleks
Herpes zoster
Artritis reumatoid
Infeksi fokal
Tuberkulosis
Siftlis
Sarkoidosis

Tabel 4.

Pemeriksaan anjuran
X-foto sakroiliaka, HLA-827, konsul rematologi
X-foto sakroiliaka, HLA-B27, antibodi antinuklir,
biakan konsul urologi dan rematologi.
Diagnosis klinik
Diagnosis klinik
Faktor Rf, antibodi antinuklir, X-foto, konsul
imunologi, dan reumatologi
Titer ASO, Imunoglobulin, Protein C reaktif,
konsul gigi, THT, kebidanan
Tes kulit PPD, X-foto toraks, konsul penyakit
dalam/paru
VDRL, FTA-ABS
Tes ACE, lisozim, X-foto toraks, tes kulit
anergi, biopsi konjungtiva. Skintigrafi Ga 67.

Diagnosis etiologik uveitis anterior kronik dengan pemeriksaan


anjuran

Etiologi
Artritis rcumatoid
Infeksi fokal
Tuberkulosa
Sifilis
Herpes zoster
Hetcrokromik Fuchs

Pemeriksaan anjuran
Faktor Rf, antibodi antinuklir,
juvcnil X-foto sendi lutut, konsul anak
Lihat uveitis anterior akut
Lihat uveitis anterior akut
Lihat uveitis anterior akut
Diagnosis klinik
Diagnosis klinik

Dengan ditemui diagnosis etiologik, maka pengobatan


spesifik untuk uveitis anterior tclah dapat dibcrikan, kecuali
etiologi idiopatik (hampir 20% dari kasus) yang masih diobati
nonspesifik.

Denganpengobatan spesifik terhadapetiologi maka kronisi


tas dan rekurensi dapat dihambat dan kebutaan karena penyulit
uveitis anterior dapat diatasi.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.

Abrams J. Therapy of Isoniazide-Theurapeutics Test in TuberculousUveitis. Amer. J. Ophthalmol 1982; 94: 511-515.
Ahonen R, Makitie J. Herpes Simplex Virus Anterior Uveitis Uveitis
Update, ed K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984. pp 157-162.
Ardy H. Kebutaan pads uveitis. Proseding Simposium Pencegahan Gang guan Fungsi Penglihatan, Padang, Agustus 1990, pp 23-35.
Ardy . H.. Peradangan dalam bola mats, masa kini masa datang serta
pencegahan dan penanggulangan kebutaan. Pidato Pengukuhan. Pusat
Penelitian Unand, Padang, Januari 1992.
Ardy H. Epidemiology of Uveitis. Proceeding X"' Afro-Asian Congress
Ophthalmology, Jakarta, July 1992. (dalam percetakan).
Baarsma GS. The Epidemiology and Genetics of Endogenous Uveitis. A
Review. Cuff. Eye. Res. 1992; 11 (suppl): 1-I1.
Ben-Ezra D, Forrester J, Nussenblatt R et al. Uveitis Scoring Systems.
Springer-Verlag, Berlin-Heidelberg, 1991 pp. 1-13.
Blagojevic M, Latkovic Z. Present Importance of Tuberculous Uveitis.
Uveitis Update Ed. K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984 pp.
275-288.
Bloch-Michel E. Uveitis allergiques. Allergiae immunologia cculare. Ed.
F.D'Ermo. Masson Italiano, Milano. 1983. pp. 49-58.
Bloch-Michel E. Difficulties in the Knowledge of Uveitis. Acta Ophthal
mol. 1984; 163: 1115-1120.
Bloch-Michel E, Dussaix E, Govot F et al. Origine des uveites evolutions
des resultats du bilan etiologiques au cours des 20 demieres annees.
(1966-1986). Bull. Soc. Ophthalmol. Fr. 1986. 6-7.
Bloch-Michel E. International Uveitis Study Group. Reccomendations for
the Evaluation of Intraocular Inflammatory Disease. Amer. J. Ophthalmol.
1986; 103: 234-235.
Bloch-Michel E. Infection et hypersensibilite microbienne. Immuno
pathologie de 1'oeil. Ed. J.P. Faure et al. Masson Cie, Paris 1988 pp.
201-208.
Boke W. Chronische vordere uveites. Die Chronische-Entzunlichen
Erkrankung des Auges. Ed. O. Lundt, Ferdinand Enke Verlag, Stuttgart
1984, pp. 94-101.
Brandt F, Malls OK, Anten JGF. Influenced of Untreated Plastic Iridocy
clitis on Intraocular Pressure in leprous patients. Brit. J. Ophthalmol. 1981;
65: 240-242.
Denis J. L'uveite herpetique primitive existe-t elle? L'herpes oculaire. Ed.
Y. Pouliquen et al. Imprime Lamy, Marseille, 1984, pp. 205-212.
Demouchamps JP. Les methode actuelles de diagnostique etiologique de
l'uveite. J. Fr. Ophthalmol. 1986; 12: 869-873.
Demouchamps JP. Uveite anterieures. Encyclopaed. Med. Chir. Ophthal
mologic. Paris, 1989.
Dua S, Dick AD, Watson J et al. A Spectrum of Clinical Science in Anterior
Uveitis. Eye 1993; 7: 68-73.
Ducasse A, Segal A, Mathot E et al. Results of Etiological Investigations in
Uveitis. Ophthalmology Today. Ed. L.N. Feirraz de Olieviera. Excerpts
Medica, Amsterdam, 1988, pp. 395-400.
Fajardo RV. Acute bilateral Anterior Uveitis Caused by Sulfa Drugs.
Uveitis Update. Ed. K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984, pp.
97-109.
Friedman AH, Luntz M, Henley WL. Diagnosis and Management of
Uveitis. An Atlas Approach. William Wilkins, Baltimore, 1982, pp. 24-43.
Fujikawa S. Advances in Immunology and Uveitis. Ophthalmology 1989;
96: 1115-1120.
Green WR. Uveal Tract. Ophthalmic Pathology, Vol. III, An Atlas and
Textbook, Ed. W.H. Spencer. W.B. Saunders Company, Philadelphia,
1986, pp. 163-184.
Hayashi S, Neves R, Belfort R Jr. Epidemiology and Etiology of Uveitis.
Curr. Opin. Ophthalmol. 1992; 3: 491-497.
Henderly DE, Genstier AJ, Smith RE, Rao NA. Changing Pattern of
Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1987; 103: 131-136.

27. Heydenreich A. Chronic Anterior Uveitis. Uveitis Update, Ed. K.M. Saari,
Excerpts Medica, Amsterdam, 1984, pp. 119-124.
28. Ho AC, Guyer DR, Yannuzi LA. Ocular Syphilis: Classic Manifestations
and Recent Observations. Semin. Ophthalmol. 8: 53-60.
29. Hoffmann A, Barth A, Brunner A et al. Die Uveitis in der Internistische
Differential diagnose un1 Diagnostik. Med. Welt. 1990; 41: 491-499.
30. Hogan MJ, Kimura S, Thygeson li'. Signs and Symptoms of Uveitis. 1.
Anterior Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1959; 47: 155-170.
31. James BG, Graham E, Hamblin A. Immunology of Multi system Ocular
Diseases. Surv. Ophthalmol. 1985; 30: 155167.
32. Kanski JJ. Uveitis, A Colour Manual of Diagnosis and Treatment. Butter
worths, London, 1987, pp. 1-11.
33. Kanski JJ. Uveitis in Juvenile Chronic Arthritis: Incidence, Clinical
Features and Prognosis. Eye 1988; 2: 641-645.
34. Kanski D. Juvenile Arthritis and Uveitis. Surv. Ophthalmol. 1990; 34;
253-267.
35. Kastler M. Uveites par allergic microbienne. L. Uveite, Phenomenons
immunologiques et allergiques. Ed. R. Campinchi et al, Masson Cie, Paris
1970, pp. 390-417.
36. Knox DL. Epidemiology of Uveitis. Transact. Ophthalmol. Soc. U.K.
1981; 101: 294-296.
37. Kraman-Kraljevic K, Stambuk K, Stambuk N, Kastelan A. A Prospective
Study on the Etiology of Uveitis. Curr. Eye. Res. 1990; 9 (suppl): 13-16.
38. Krupin T, Leblanc RP, Becker Bet aL Uveitis Association with Topically
Administered Corticosteroid. Amer. J. Ophthalmol. 1970; 70: 883-889.
39. Laatikaneen L. Vascular Changes in the Iris in Chronic Anterior Uveitis.
Brit. J. Ophthalmol. 1979; 63: 145-149.
40. Lagoutte F. Fon cs eiiniques de la ke:atouveite herpetique, L'herpes
oculaire. Ed. Y. Pouliquen, Imprime Lamy, Marseille, 1984, pp. 205-212.
41. Lamba PA, Rohatgi J, Segal VN. Evidence of Subclinical Ural Involvement in Leprosy. Acts XXV International Congress Ophthalmology,
Roma, May, 1986, Kugler Amsterdam, 1987, pp. 1707-1711.
42. Machado A, Migueis, Sera L et al. Acute Anterior Uveitis in Clinical
Practice. Ophthalmology Today, Ed. L.N. Feirraz de Olieviera. Excerpta
Medica, Amsterdam, 1988, pp. 417-420.
43. Manthey KF. Intraokulare Entzundungen. Ferdinand Enke-Verlag, Stuttgart, 1988, pp. 6-11.
44. Manthey KF. Etiologic Diagnosis of Uveitis. Ophthalmology Update. Ed.
K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984, pp. 417-420.
45. Manthey KF. Epidemiology and Etiology of Uveitis. CULT. Opin. Ophthalmol. 1991; 2: 452-457.
46. McMillin RB, Samples JR. Iritis after Herbicide Exposure. Amer. J.
Ophthalmol. 1985; 99: 726-727.
47. Michelson JB, Grossman KR, Limier JR. Iridocyclitis Masquerade Syn
drome. Surv. Ophthalmol. 1986; 31: 125-130.
48. Michelson JB. Infectious Clinical Uveitis. Curr. Opin. Ophthalmol. 1990;
1: 373-384.
49. Moller-Jensen J, Marthinsen L, Linne I. Anterior Uveitis in IgA Nephropathy. 1989.
50. Moller-Hemerlink HK. Recent Topics in the Pathology Uveitis. Pathophy
siology and Therapy Ed. Kraus-Mackiew, et al, Thieme-Straton, New
York, 1983, pp. 152-197.
51. Nozik RA. The Management of Uveitis Approach. Proceeding First World
Uveitis. Symposium. Guaruja, Sao Paolo Brazil, March 1988, Ed. R.
Belfort, Jr. et al., Livraria Roca Ltd., Sao Paolo, 1989, pp. 559-564.
52. Nozik RA, Elliot JH. Uveitis and Infectious Diseases. Curr. Opin. Ophthal
mol. 1990; 1: 371-372.
53. Nussenblatt RB, Palestine AG. Uveitis, Fundamental and Clinical Practice.
Yearbook Medical Publishers, Inc., 1989, pp. 163-184.
54. O'Connor GR. The Initiation and Inflammation of Uvea. Transact. Ophthal
mol. Soc. U.K. 1981; 101: 292-293.
55. O'Connor GR. Factors related to the Initiation and Recurrence of Uveitis.
Am. J. Ophthalmol. 1983; 96: 577-579.
56. Pavesio CE, Nozik RA. Anterior and Intermediate Uveitis. Int. Ophthal
mol. Clin. 1990; 30: 244-251.
57. Palimers GD, Papankonstatiou PG, Ladas JD. Herpes Simplex Induced
Keratouveitis. Ada XXV International Congress Ophthalmology. Roma,
May 1986, Kugler, Amsterdam, 1987, pp. 1718-1721.
58. Palmares J, Coutine MF, Castro-Correira J. Uveitis in Northern Portugal.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 53

Curr. Eye Res. 1990; 9 (suppl): 31-34.


59. Perkins ES. Uveitis in London and in Iowa. Ophthalmologica 1984; 189:
36-40.
60. Pezzi PP. Le flogosi uveali Masson Italiano, Milano, 1991, pp. 21-48.
61. Riedel KG. Fokal Infektion and Uveitis. Pathogenetische Zusammen
hange? Die Chronische-entzundlichen Erkrankungen des Auges. Ed. O.
Lundt, Ferdinand Enke-Verlag, Stuttgart, 1984, pp. 189-197.
62. Rives JM, Guigon B, Richard L et al. Trouble oculo-orbital d'origin
dentaire. Encyclopaed. Medical Chirur. 73 Numero Specialise. 1993, Paris.
63. Rothova A, Yan Vennendal WG, Linssen A et al. Clinical Features of Acute
Anterior Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1987; 103: 137-145.
64. Rothova A, Meenken C, Michels RPJ et al. Uveitis and Diabetes Mellitus.
Amer. J. Ophthalmol. 1988; 106: 17-20.
65. Rothova A, Buitenhuis HJ, Meenken C et al. Uveitis and Systemic Disease.
Brit. J. Ophthalmol. 1992; 76: 137-141.
66. Saari KM. Genetic Background of Acute Anterior Uveitis. Amer. J.
Ophthalmol. 91: 711-720.
67. Saari KM, Ainosuvo S. Changes of Intraocular Pressure in Acute Anterior
Uveitis. Uveitis Update, ed. K.M. Saari, Excerpta Medics, Amsterdam
1984, pp. 97-109.
68. Secchi AG. Cataract in Uveitis. Transact. Ophthalmol. Soc. U.K. 1982;
102: 390-398.
69. Schlaegel TFJr. Geographic and Race in Uveitis. Uveitis Update. Ed. K.M.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

Saari, Excerpta Medics, Amsterdam, 1984, pp. 7-12.


70. Silverstein AM. Perpetuation of Inflammation in Uveitis. Transact.
Ophthalmol. Soc. U.K. 1981; 101: 301-303.
71. Smith RE, Nozik RA. Uveitis. A Clinical Approach to Diagnosis and
Management. Williams Wilkins, Baltimore 1983, pp. 48-67.
72. Tessler HH. The First Episode of Uveitis. Now Extensive a Search?
Ophthalmology Debate. Ed. Th. A. Deutsch. Yearbook Medical Publishers
Inc., Chicago, 1989, pp. 160-165.
73. Vassileva P. Tuberculosis in the Etiopathogenesis of Uveitis. Ophthalmo
logy Today, ed. L.N. Ferraz de Olieveira. Excerpta Medica, Amsterdam,
1988 pp. 73-80.
74. Vergani S, Dimauro E, Davies ET et al. Complement Activation in Uveitis.
Brit. J. Ophthalmol. 1986; 70: 60-63.
75. Wakefield D, McClusky, Dunlop I, Penny R. Uveitis: Etiology and Disease
Associated in Australian Population. Aust. N.Z. J. Ophthalmol. 1986; 14:
181-187.
76. Weiner A, Benezra D. Clinical Patterns and Associated Conditions in
Chronic Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1991; 112: 151-158.
77. Witmer R. Uveites anterieur de 1'enfant. Bull. Mem. Soc. Fr. OphthalmoL
1983; 94: 335-338.
78. Witmer R. The Syndrome of Posner-Schlossman Ophthalmology Update.
Ed. K.M. Saari, Excerpta Medics, Amsterdam 1984, pp. 125-128.

Penatalaksanaan Uveitis
Soedarman Sjamsoe
Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Di Indonesia belum ada data akurat jumlah kasus uveitis,
di Amerika Serikat(1) didapatkan 10% gangguan penglihatan diakibatkan oleh uveitis dengan kerugian material 10 jutaUS dollar
per tahun. Dari survey rumah sakit di Ghana tahun 1990 uveitis
merupakan penyebab kebutaan dua mata urutan ketiga setelah
katarak dan glaukoma(2).
Banyak kelainan uvea yang dahulu kurang dimengerti patofisiologinya dengan pasti, dewasa ini sudah dapat dijelaskan bila
ditinjau dari sudut imunologi. Kemajuan teknik imunologik
juga telah dimanfaatkan dalam produksi berbagai vaksin dan
obat-obatan yang digunakan untuk memperbaiki sistem imun
dalam memerangi infeksi dan digunakan untuk menekan
fungsi sistem imun yang berlebihan (hipersensitivitas, autoimunitas dan transplantasi) pada jaringan mata.
Uveitis dapat disebabkan oleh(3,4) :
1. Infeksi: bakteri, jamur, virus, parasit
2. Non Infeksi :
a. agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan
lainnya).
b. antigen spesifik pada mata (Oftalmia simpatika, uveitis
imbas lensa).
c. penyakit sistemik (Behcet, Sarkoidosis, Vogt-Koyanagi
Harada, Reiter, Rheumatoid arthritis).
3. Tidak diketahui (unknown).
Prinsip pengobatan uveitis adalah(5) :
1. Menekan peradangan
2. Mengeliminir agen penyebab
3. Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata
dan organ tubuh di Iuar mata.

Pengobatan terhadap uveitis berdasarkan dari diagnosis


yang ditegakkan. Setelah diagnosis kerja dapat ditegakkan, maka
ada dua tindakan yang harus kita lakukan, yaitu(6) :
1. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan konsultasi
spesialistik.
2. Pengobatan inisial non spesifik.
Setelah ada hasil laboratorium dan konsultasi yang
menyokong ke arah suatu etiologi, maka diberikan pengobatan
yang spesifik terhadap etiologinya. Diagnosis yang ditegakkan
penting untuk pengobatan; pameo klasik yang terkenal no matter
what causes it, you're going to treat with steroid ini tidak
seluruhnya benar, bahkan bisa menimbulkan komplikasi yang
fatal bila tidak diberi terapi spesifik seperti pads toxoplasmosis,
tuberkulosis, sifilis, herpes, dan lain-lain.
Pada makalah ini akan dibicarakan pengobatan uveitis non
spesifik maupun spesifik pada uveitis.
OBAT-OBATAN NON SPESIFIK(6,7,8)
1. Midriatik-sikloplegik
2. Kortikosteroid
3. Imunosupresan
1) Midriatik-sikloplegik
Macam obat
Midriacyl
Fenilefrin
Homatropin
Atropin

0.5%
2.5%
1%
0.5%

1%
10%
2%
1%

Lama kerja
2%
4%
2%

5%

3 6 jam
4 10 jam
18 36 jam
10 14 jam

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di


Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 55

Nussenblatt memakai homatropin sebagai sikloplegik karena


iris akan tetap dapat berkontraksi supaya tidak terjadi sinekia
posterior(8). Apabila sudah terjadi sinekia posterior dapat dilepaskan dengan atropin atau homatropin diteteskan tiap 5 menit,
kokain dan penilefrin(9).
2) Kortikosteroid
Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi
non spesifik yang bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik
topikal maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi tidak ada
salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti
inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang dipakai dalam pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intra
okular dengan kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an(8). Ada 2
cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis(6) :
A. Lokal : 1. Tetes mata
2. Injeksi peri okular
B. Sistemik
A. Lokal
Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik
sikloplegik lokal adalah paling logis dan efektif. Dosis maksimal
dapat dicapai dengan efek samping yang minimal. Dan apabila
terjadi komplikasi, maka obat ini dapat segera distop.
1) Tetes mata
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat
topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus obat topikal akan
tergantung pada(9,10) :
a. Konsentrasi dan frekuensi pemberian
b. Jenis kortikosteroid
c. Jenis pelarut yang dipakai
d. Bentuk larutan
a) Konsentrasi dan frekuensi pemberian
Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering frekuensi
pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya.
b) Jenis steroid
Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan
preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena
penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson,
fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial.
c) Jenis pelarut
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi
obat topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma,
endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel
lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak
sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang
larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus
kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak maupun air
(biphasic). Obat-obat kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol
dan asetat bersifat biphasic.
d) Bentuk larutan
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi. Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular
lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai.
Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasi seperti: Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi
infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain(7,10).
2) Injeksi peri-okular
Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo
maupun bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi
peri-okular adalah dicapainya efek anti peradangan secara
maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal/
Indikasi injeksi peri-okular adalah(6,10) :
1. Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes
mata, maka injeksi peri-okular dapat dianjurkan.
2. Uveitis unilateral.
3. Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata.
4. Anak-anak.
5. Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis.
Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi
pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis.
Lokasi injeksi peri-okular :
a) Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior
Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository
(triamcinolone acetonide 40 mg, atau. methyl prednisolone
acetate 20 mg) efektif pada peradangan kronis segmen anterior
bolamata. Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon
adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada
jaringan intraokular selama 24 minggu sehingga tidak membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian
topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai dexametason 24 mg.
b) Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar
Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior
(sklera, koroid, retina dan saraf optik).
Komplikasi injeksi peri-okular :
1) Perforasi bola mata.
2) Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot
ektra okular dan katarak sub-kapsular posterior.
3) Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama
dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk
mengangkat steroid tersebut dari bola mata.
4) Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra.
B. Sistemik
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat
peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai
preparat prednison dengan dosis awal antara 12 mg/kg BB/hari,
yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating
single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal
selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan
dexametaxon dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama
2 minggu(8,11). Pada uveitis kronis dan anak-anak di mana bisa
terjadi komplikasi serius seperti supresi kelenjar adrenal dan
gangguan pertumbuhan badan, maka diberikan dengan cara
alternating single dose.
Indikasi kortikosteroid sistemik :

1.
2.
3.
4.
5.

Uveitis posterior
Uveitis bilateral
Edema makula
Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter)
Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik
Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama
akan terjadi efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom
Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak
lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan
lain-lain(8,10).
3) Immunosupresan
A. Sitostatika
B. Siklosporin A
A. Siklostatika
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang
refrakter terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat
klorambusil 0,10,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini dipertahankan selama 23 bulan lalu diturunkan sampai 58 mg
selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari,
sampai 612 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisin
dosis 0,5 mg1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/
hari. Selama terapi sitostatika kita hams bekerja sama dengan
Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita hams mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan
trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan.
Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik
dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini
mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, gangguan gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi
oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom(5,7,12).
Indikasi sitostatika(7,12)
1. Pengobatan steroid inefektif atau intolerable
2. Penyakit Behcet
3. Oftalmia simpatika
4. Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis) Kontra
indikasi sitostatikac'.12> :
1. Uveitis dengan etiologi infeksi
2. Bila tidak ada :
Internist/hematologist
Fasilitas monitoring sumsum tulang
Fasilitas penanganan efek samping akut
B. Siklosporin A
Pada pengobatan uveitis sering dipergunakan kortikosteroid
dengan dosis imunosupresi dan dalam jangka waktu lama, yang
dapat menimbulkan efek samping yang tidak diingini. Obat-obat
sitostatika yang dipakai sebagai imunosupresan juga dapat
menimbulkan efek samping yang lebih serius. Selain itu kedua
jenis obat tersebut tidak spesifik dalam menekan peradangan
intraokular, sehingga sering terjadi kegagalan pengobatan yang
akan berakhir dengan kebutaan. Maka perlu dicari altematif
pengobatan yang lain yang lebih efektif dan aman(13).
Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan
yang relatif ban' yang tidak menimbulkan efek samping terlalu

berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid
dan sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian besar sistem
imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit
dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi
sumsum tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti
obat sitostatika(14,15,16)
Uveitis terjadi akibat hipersensitivitas tipe III (response
imun-complex) seperti pada uveitis fakoanafilaktik dan vaskulitis pada penyakit Behcet, dan tipe IV (lambat) seperti pada
Oftalmia simpatika, penyakit Behcet, sarkoidosis dan lain-lain.
Tetapi Nussenblatt mengatakan bahwa peranan reaksi tipe III
pada uveitis terbatas, sedangkan reaksi tipe IV sangat penting
dalam menerangkan mekanisme penyakit peradangan intraokular(8).
Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah
spesifik dengan(l7) :
1) Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan
secara umum produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon,
MAF, MIF). Secara umum CsA tidal( menghambat fungsi sel B.
2) Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking sintensis IL-2.
3) Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natural killer cell) dengan menekan produksi interferon, di mana
interferon dalam mempercepat proses pematangan dan sitolitik
sel NK.
4) Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA
sehingga tidak mempengaruhi efek fagositosis, processing
antigen dan elaborasi IL-1.
Mekanisme kerja kortikosteroid dalam response imun(l7) :
1. Secara invitro menekan blastogenesis sel T.
2. Menekan produksi sel T sitotoksik secara langsung dan
blocking sintesis limfokin/lymphotoxic factor.
3. Menekan respons makrofag dan sel monosit, sehingga
menekan aktivitas fagositosis, microbicidal, digestion intracellulare partikel antigen dan elaborasi plasminogen activation
factor.
4. Respons imun humoral (imunoglobulin) relatif resisten
terhadap efek CsA.
Mekanisme kerja sitostatika dalam respons imun(l7) :
1. Menekan secara langsung produksi antibodi.
2. Menghambat fungsi sel T sitotoksik.
3. Menghambat fungsi sel T suppresor sehingga produksi
antibodi berkurang.
4. Populasi makrofag dan sel monosit relatif resisten terhadap
sitostatika walaupun obat ini menekan produksi MAF dan MIF.
Hasil penelitian prospektif CsA pada pasien uveitis yang
re rakter terhadap pengobatan konvensional di RSCM memberikan hasil yang cukup baik dalam hal memperbaiki penglihatan
dan menekan peradangan dengan efek samping minimal(18).
PENGOBATAN SPESIFIK
1) Toxoplasmosis(6,8,19) :
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 57

kombinasi.
a) Sulfadiazin atau trisulfa :
Dosis 4 kali 0.51 gr/hari selama 36 minggu.
b) Pirimetamin :
Dosis awal 75100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali
25 mg/hari selama 36 minggu.
c) Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim) :
Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim selama 46 minggu. Preparat
sulfa mencegah konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam
folaL Preparat pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya
tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon. Pada pemakaian pirimetamin
dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap
minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk
mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam
folinat 5 mg tiap 2 hari.
d) Klindamisin :
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat
menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina. Dosis:
3 kali 150300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva
klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik.
e) Spiramisin :
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek
samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi.
f) Minosiklin :
12 kapsul sehari selama 46 minggu.
g) Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi
medikamentosa.
(6,8,20)

2) Infeksi virus
:
a) Herpes simplex :
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea
intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama
antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama
23 minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari.
Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal
necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5
mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.
b) Herpes zoster :
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut
selama 1014 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang
tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis
anterior diberikan steroid dan sikloplegik topikal.
c) Sitomegalovirus :
DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian
intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus.

banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam menanggulangi


penyakit mata, khususnya uveitis, baik untuk diagnostik, maupun pengobatannya. Pengobatan kortikosteroid dan imunosupresan pada uveitis ibarat pisau bermata dua, bermanfaat bila
merupakan indikasi, di lain pihak dapat menyebabkan komplikasi yang serius bila pemakaiannya tidak pada tempatnya. Dengan adanya obat-obat barn yang lebih efektif dan lebih selektif
cara kerjanya dalam pengobatan uveitis maka kita dapat mengharapkan hasil yang lebih b3ik dibandingkan masa lampau.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

19.
20.

KESIMPULAN
Dengan kemajuan pengetahuan di bidang imunologi maka

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

U.S. DHEW, NIH. Interim reports of the National Advisory Eye Council.
Support for vision research, 1976; 20-22.
Cofie G, Tenkorang J, Thomson I. Blindness in Ghana - a hospital-based
survey. Community eye health. An International bulletin to promote eye
health worldwide, issue no 7 1991.
O'Connor GR. Endogenous uveitis. Dalam: Kraus-Mackiw E & O'Connor
GR (Eds). Uveitis. Pathophysiology and therapy 2nd ed. New York:
Thieme Medical Publ Inc, 1986; 47
BenEzra D. Disease of choroid and anterior uvea. Dalam: Michelson JC
(Ed). Michelson's Textbook of Fundus of the Eye, 3rd ed. New York:
Churchill Livingston, 1980; 435438.
BenEzra D, Nussenblatt RB, Timonen P. Optimal use of Sandimmun in
endogenous uveitis. Berlin: Springer-Verlag 1988; 7
Smith RE, Nozik RA. Uveitis. A clinical approach to diagnosis and
management, 2nd ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 1989.
Foster CS, Nussenblatt RB. Advanced immunilogy for ophthalmologists.
American Academy of Ophthalmology. San Francisco, October 1985.
Nussenblau RB, Palestine AG, Uveitis. Fundamentals and Clinical Practice. Chicago: Year book Medical Publ Inc, 1989; 125131.
Schaegel TF: Non spesific treatment of uveitis. Dalam Duane TD. (ed.):
Clinical Ophthalmology, vol. IV chapter 43. Harper & Row Publ. Philadelphia 1986.
Havener WH. Ocular Pharmacology, 5th ed The C.V. Mosby Co. 1983.
Forrester WH. Liversidge J & Towler HM. Cyclosporin A & intra ocular
inflammatory disease. Dalam: Thomson AW (Ed). Sandimmun.. Mode of
action and clinical application. DordrechtBoston/London: Kluwer Academic Publ, 1989; 159180.
Dinning WJ. Therapy-selected topics. Dalam: Kraus--Mackiw and
O'Connor GR (Eds). Uveitis. Pathophysiology and Therapy. Thiems
Medical Publ Inc. New York, 1986; 104226.
Belin MW, Bouchard CS, Frantz S, Chimielinska J. Topical Cyclosporine
in high-risk corneal transplants. Ophthalmology 1989; 96: 11441150.
Nussenblatt RB, Scher I. Effect of Cyclosporine on T-cell sub-sets in
experimental autoimmune uveitis. Invest Ophthalmol. Vis. Sci. Jan 1985;
26: 10-14.
Striph G, Doft B, Rabin B, Johnson B. Retinal S antigen-induced uveitis.
The efficacy of cyclosporine and corticosteroid in treatment. Arch
Ophthalmol. Jan 1985; 104(1): 114117.
Nussenblatt RB, Palestina AG, Chan CC. Cyclosporine A therapy in the
treatment on intra ocular inflammatory disease resistant to systemic corticosteroids and cytotoxic agents. Am. J. Ophthalmol 1983; 93: 175281.
Kaplan HJ, Waldrep JC. Immunologic insights into uveitis and retinitis.
Ophthalmology 1984; 91: 655-665.
Sjamsoe S, Marsetio M, Asyari F et al. A clinical study with low dose
Cyclosporin A (Sandimmun) in the treatment of refractory intermmediate
and posterior uveitis. Tenth Afro-Asia Congress of Ophthalmology.
Jakarta 1992.
Engstrom RE, Holland GN, Nussenblatt RB, Jabs DA. Current practices in
the management of ocular toxoplasmosis. Am. J. Ophthalmol 1991; 111:
601610.
Beyer CF, Hill JM, Kaufman HE. Antivirals and interferons. Dalam:
Stamper RL (Ed). Ophthalmology Clinics of North America. WB Saunders
Co. Philadelphia, vol 2/no. 1. March 1989; 51

Bedah Refraktif Masa kini


Istlantoro
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
UPF. Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Bedah refraktif adalah suatu bedah mata bertujuan untuk
menghilangkan atau mengurangi kelainan refraksi agar terjadi
perbaikan penglihatan. Bedah refraksi meliputi :
Bedah katarak dengan lensa intraokular.
Bedah lensa intraokular saja.
Bedah refraktif kornea.
Bedah refraktif dalam perkembangannya mengundang
keadaan yang kontroversial. Penderita dengan kelainan refraksi
yang penglihatannya normal dengan memakai kaca mata namun
tidak menghendaki kaca mata, bedah refraktif harus dilakukan
secara aman dan berisiko kecil; di lain pihak pada keadaan
kelainan refraksi yang tidak dapat dikoreksi dengan kaca mata
atau lensa kontak, bedah refraksi harus dilakukan walaupun
risikonya besar, misalnya pada keratokonus(1).
Agar dapat mengikuti Nomenklatur dan manfaat Bedah
refraktif Kornea, Waring III membuat klasifikasi sebagai berikut
(Tabel)(2,3) :
TOPOCRAFI KORNEA DAN BEDAH REFRAKTIF
KORNEA
Permukaan depan kornea dengan tearfilm-nya adalah bagian
terbesar yang menentukan kekuatan refraksi, oleh sebab itu perubahan sedikit saja pada perm ukaan kornea dapat mempengaruhi
tajam penglihatan status refraksi(4).
Dengan analisis topografi kornea dapat diketahui :
Iregularitas permukaan kornea
Besar astigmat
Kekuatan D lengkung kornea.

Tabel 1.

Bedah Refraktif Kornea

Jenis Bedah
Refraktif Kornea
Lamelar
Keratotomi
Keratektomi
Keratoplasti
tembus
Termokeratoplasti
Keratoplasti
Fotoretraktif
Excimer Laser

Teknik Bedah
Keratomileusis
Epikeratoplasti

Nama lain

Koreksi Kelainan
Refraksi

Teknik Barraquer Miopia, hipemietropia dan afakia


Epikeratofakia
Afakia, miopia,
dan keratokonus

Keratofakia
Kornea Donor Teknik Barraquer Afakia dan
Lensa Artifisial Lensa intrahipermetropia
korneal
Afakia dan
miopia
Hidrogel
Polisulfon
Keratokonus
Radial
Miopia dan
astigmat
Radial dan
Trapezoidal, Ruiz Astigmat
transversal
L, T, setengah T
dan lain-lain
Kresentik
Insisi relaksasi
Astigmat
Crescentic wedge Wedge resection Astigmat
Transplantasi
Astigmat
kornea
Keratokonus
Miopia
Keratektomi
fntoretraktif
miopia
PRK
Keratektomi
Terapetik Keraterapetik
tektomi Laser
PTK
Trepanasi kornea
Insisi linear
Laser K.R.

Kekeruhan kornea
superfisial
Keratoplasti
Miopia

Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di


Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 59

Perkembangan alat topografi kornea adalah(5) :


Placido Disk
Plaeid9 Disk Keratoscopy
Keratometer
Photokeratoscope
Computerized Videokeratography
Keratometer dipakai klinis secara luas dan sangat berharga
namun mempunyai keterbatasan(4).
1) Keratometer mengukur 4 titik pada permukaan kornea parasentral tanpa mengindahkan kornea bagian sentral dan perifer.
2) Keratometer menilai secara rata-rata dan simetris pada
titik-titik pada permukaan kornea semimeridien 180 yang berlawanan.
3) Hasil pengukuran keratometer sangat tergantung pada zona
permukaan kornea mempunyai nilai radius dan kekuatan refraksi
yang berbeda (zona diameter 4 mm mempunyai kekuatan 36 D
dan 2.88 mm berkekuatan 50 D).
4) Ketepatan ukuran keratometer akan berkurang pada permukaan kornea sangat landai (flat) dan sangat besar pada kornea
yang sangat lengkung (steep).
Computerized Videokeratography (CVK) dapat memecahkan masalah tersebut di atas. CVK dengan teknologi imaging
mampu menggambarkan 64008000 discrete points pada permukaan kornea. Berbagai contoh keadaan di mana keratometer
tidak secara tepat menggambarkan permukaan kornea dibandingkan dengan Videokeratography adalah(6) :
Astigmat asimetri
Pembacaan yang tidak tepat (Misleading keratometry)
Dari hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peranan
topografi kornea khususnya pemakaian Computerized Videokertography adalah amat penting dalam Bedah Refraktif Kornea.

Komplikasi MKM amat besar. Pada saat operasi: Mikrokeratom dan cryolathe. Pasca Bedah: Koreksi kurang atau berlebihan, astigma ireguler, gangguan reepitelisasi, sikatrik, edema
kornea.
MKM jarang dikerjakan lagi pada saat ini disebabkan oleh :
1) Teknik operasi yang rumit dan sulit
2) Banyaknya alat yang digunakan dan amat mahal harganya
3) Ketepatan koreksi yang sangat sulit dicapai
4) Komplikasi yang besar
5) Diperlukan pembedah yang amat terlatih.

BEDAH REFRAKTIF KORNEA MASA KINI


Pada saat ini Bedah Refraktif Kornea yang banyak dikerjakan adalah Keratotomi Radial dan Fotorefraktif Keratektomi
(PRK) Excimer Laser. Namun rintisan Prof. Barraquer pada
Bedah Refraktif Kornea dengan pemikiran dan idenya (Keratomileusis) merupakan dasar Bedah Refraktif masa kini dan di
masa nlendatang. Di Amerika Serikat koreksi miopia dengan
Excimer Laser diperkirakan pada tahun 2000 adalah 62% jumlah
miopia atau jumlahnya 2.500.000(7).

Pengobatan pasca bedah


Kombinasi antibiotika dan steroid topikal.

KERTOMILEUSIS BARRAQUER
Keratomileusis untuk miopia (MKM) telah dirintis oleh
Jose I. Barraquer lebih 30 tahun yang lalu. Pada MKM permukaan depan kornea di mana kekuatan refraksi terbesar pada
mata diubah kekuatannya dengan cara cryolathe agar dicapai
keadaan emetropia(8).
Indikasi MKM adalah miopia tinggi dan tak tahan lensa
kontak.
Teknik operasi MKM adalah :
1) Keratektomi lamelar dengan mikrokeratom.
2) Cryolathe dengan Barraquer Cryolathe.
3) Menjahit kembali lamel kornea yang telah diubah kekuatan
D refraksi ke kornea asal.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

EPIKERATOFAKIA
Teknik bedah refraktif ini dikembangkan oleh Kaufman
dan McDonald. Caranya adalah dengan melakukan penjahitan
precarved, lyophilized donor kornea (Kerato-Len Amo) yang
telah direhidrasi kembali pada saat operasi pada kornea penderita
yang telah dibuang epitelnya. Teknik ini berdasarkan pada teknik
Barraquer namun lebih sederhana tanpa melakukan keratektomi
dengan mikrokeratom dan kemudian cryolathe yang sangat rumit
dan teknik sangat sulit dikerjakan(9).
Indikasi
Afakia dewasa dan anak-anak
Miopia
Keratokonus.
Teknik operasi
1) Pemilihan kerato-lens AMO sesuai dengan koreksi refraksi.
2) Menentukan aksis sentral.
3) Mengupas epitel kornea.
4) Keratektomi anular.
5) Penjahitan keratolens ke kornea penderita.
6) Bandage kontak lensa.

Problem dan komplikasi Epikeratofakia


Penolakan Kerato-Len
Ketepatan koreksi hasil operasi
Pemulihan kembali visus
Re-epitelisasi terlambat
Epitel defek
Neovaskularisasi
Sisa epitel di antara kerato-len dan membran Bouwman
Jaringan ikat pra-sentral pada kerotokonus.
Pada saat sekarang karena komplikasi dan masalah produksi
keratolen terbatas (FDA) epikeratofakia jarang dikerjakan. Namun
epikeratofakia masih sangat efektif pada afakia anak.

KERATOTOMI RADIAL
Perkembangan keratotomi radial(10).
1886 : Lans
insisi radial mendatarkan kornea.
pendataran akan bertambah bila insisi makin dalam.
efek pendataran akan berkurang pada proses penyembuhan.

1939 -1955 : Sato


Keratotomi anterior dan posterior.
Edema kornea 25 tahun kemudian.
1969 1977 : Yenelev
Keratotomi radial anterior.
1232 insisi.
1972 : Fyodorov
formulasi prediksi berdasar berbagai faktor.
berbagai ukuran zona optik.
1978 - : U.S.A.
Leo Bores pioner di Amerika
Mikrometer pisau berlian.
berbagai teknilk operasi khusus dalamnya insisi.
PERK study.
Seleksi penderita
Berhubungan erat dengan teknik bedah keratotomi radial,
seleksi penderita K.R. dibagi :
Miopia rendah 1 - 3 D.
Miopia sedang 3 - 6 D.
Miopia tinggi 6 - 10 D.
Berbagai keadaan perlu dipertimbangkan pada seleksi penderita
K.R.(11).
1. Operasi K.R. harus memperbaiki fungsi penglihatan.
2. Kepentingan pekerjaan.
3. Memberikan penerangan kepada penderita.
4. Informed consent.
5. Faktor psikologis.
6. Umur 18-60 tahun. Pemeriksaan sebelum operasi(12) :
Keratometri
Visus dan refraksi dengan sikloplegia
Pakhimetri ultrasound
Tekanan intraokular
Topografi
Pemeriksaan segmen anterior dengan seksama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil keratotomi radial(13).
zona optik
dalam insisi
jumlah insisi
teknik insisi
umur penderita.
Dari faktor-faktor tersebut dirancang berbagai normogram
untuk menentukan hasil K.R. antara lain adalah Thorntorn,
Deitz, DRS formula, A Mark formula dua. Ketepatan normogram dan formula tersebut masih tergantung dari :
rancangan yang baik
ketepatan peralatan yang dipakai
teknik pemeriksaan pre-operatif
teknik operasi
teknik operator.
Evaluasi hasil Keratotomi Radial di Amerika Serikat
(PERK Study)
Di Amerika telah dilakukan penelitian prospektif untuk
menilai efektivitas Keratotomi Radial(14).

Seleksi penderita: Umur lebih 21 tahun; miopia bilateral


terbagi sebagai berikut : 2.00 3.12 D, 3.50 4.37 D,4.508.00
D. Tajam Penglihatan 20/20; refraksi stabil, perubahan tidak
lebih 0.50 D dalam satu tabula atau 1.00 D dalam 3 tahun.
Teknik operasi: Zona Optik 4.0 mm untuk miopia 2.00
3.12 D, 3.5 mm untuk miopia 3.504.37 D,3.0 mm untuk miopia
4.50 - 8.00 D. Pakhimetri intra operatif di ZO jam.9,12, 3 dan 6.
Pisau berlian mikrometerpada kedalaman 100% pembacaan
pakhimetri tertipis. Jumlah insisi 8.
Pengobatan pasca bedah: Antibiotika tetes mata tanpa
steroid.
Hasil 3 tahun pengamatan: Dan 435 operasi K.R. didapat
hasil 58% mata 1.00 D refraksi emetropia dengan 26% koreksi
kurang dan 16% koreksi 1.00 D berlebih. Hasil operasi K.R.
efektif pada mata dengan miopia antara 2.00 - 4.37 D. Terdapat
12% mata mengalami perubahan refraksi antara satu tahun
sampai tahun ketiga. Dari pengamatan pada PERK study ini
faktor-faktor yang mempengaruhi hasil (predictability) keratotomi radial adalah :
Penderita :
seleksi
sifat biologi individu
perencanaan
Peralatan :
Pakhimeter ultrasound
Micrometer Diamond Knife
Teknik operasi :
Teknik insisi sentrifugal atau sentripetal.
re-deepening insisi perifer.
Faktor pengalaman pembedah juga sangat menentukan hasil
K.R.
KERATEKTOMI FOTOREFRAKTIF (PRK)EXCIMER
LASER
Pemakaian teknologi Excimer Laser pada kornea sangat
bermanfaat untuk tujuan pengobatan dan bedah retraktif kornea(15). Teknologi bedah kornea dengan Excimer Laser merupakan puncak perkembangan bedah retraktif kornea pada saat ini.
Perkataan Excimer Laser merupakan kependekan Excited
Dimer. Dimer berarti dua dalam satu senyawa, seperti senyawa
molekul gas Zenon-Xe2, Argon-Ar2, Krypton-Kr2. Gas-gas ini
(rare gas dimer)merupakan media laser.
Secara singkatperkembangan Excimer Laser sebagai berikut:
1982 : Srinavan dkk
argon fluoride Excimer Laser mampu mengurangi partikel
terkecil tanpa menimbulkan panas. Fotoablatil").
1983 : Srinavan dick
percobaan Excimer Laser pada berbagai jaringan.
rintisan Excimer Laser bidang kedokteran.
1983 : Trokel, Srinavan
fotoablatif Excimer Laser (193 mm) pada kornea bovin(l').
1987 : L'Esperance
fotoablatif keratektomi pertama pada kornea mata buta.
histopatologi fotoablatif Excimer Laser kornea.
fase I percobaan Excimer Laser(18).

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 61

1989 : McDonald
keratektomi fotoretraktif pertama(19)
1989 : Seiler
keratektomi fotoretraktif di Eropa.
Pada saat sekarang di Amerika telah sampai tahap III percobaan keratektomi fotoretraktif versi FDA.
Seleksi penderita keratektomi fotoretraktif (PRK) miopia
Indikasi PRK untuk miopia(20,21) : miopia ringan 2.00 6.00 D,
miopia sedang 6.00 10.00 D, miopia tinggi 10.00 15.00 D,
astigmat < 1.00 D. PRK untuk astigmatismus(22): pada percobaan
FDA fase III PRK untuk miopia masih terbatas refraksi miopia
rendah dan sedang 1.00 6.00 D pada penderita umur lebih 18
tahun.
Penderita dianjurkan melepaskan lensa kontak setidaknya
dua minggu sebelum PRK.
Pemeriksaan pra PRK :
Visus dan refraksi terbaik dengan sikloplegia
Fungsi air mata
Topografi kornea: Computerized Video Keratoscope(23).
Pemeriksaan lampu celah pada kornea
Pakhimetri.
Teknik PRK
Pemberian sedativum dan analgetikum 30 menit sebelum
PRK bila diperlukan.
Anestesi topikal.
Menentukan aksis sentral kornea.
Mengerok epitel kornea secara manual.
Tes Ablasi pada PMMA.
Melakukan PRK.
Selama melakukan ablasi, mata penderita yang tidak
diablasi ditutup.
Diameter zona ablasi untuk miopia ringan 4 atau 5 mm pada
ablasi satu tahap dan untuk miopia tinggi 4.5 atau 6 mm ablasi
secara bertahap.
Pengobatan pasca PRK
Paska PRK diberikan pengobatan(20) :
Minggu pertama : Voltaren tetes (Ciba) mata, antibiotik
tetes mata.
Minggu kedua dan seterusnya :
Steroid dan antibiotik tetes mata diturunkan secara
bertahap sampai kekeruhan (haze) kornea menghilang.
Epitelisasi kornea secara penuh terjadi pada minggu pertama sampai dengan minggu kedua.
Kekeruhan kornea (haze) menghilang secara bertahap pada
minggu kedua sampai bulan kedua.
Hasil PRK
Hasil yang dilaporkan dari berbagai pusat di Amerika
(multicenter study) PRK pada penderita kelainan refraksi preoperasi minus 3.75 sampai 12.00 D hasilnya pada miopia sedang
(3.126.00 D) didapatkan 67% plano sampai minus 1.00 D,
sedangkan pada miopia tinggi 16% plano sampai minus 1.00 D
dan 26% rcfraksi minus 1.12 hingga 2.00 D. Semua penderita
mcmpunyai korcksi berlebih sampai dengan bulan pertama(20).
Hasil PRK di Eropa 90% penderita menunjukkan hasil 1.00

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

D koreksi kurang atau berlebih pada penderita preoperasi sampai


dengan minus 6.50 D(23).
Komplikasi dan efek samping PRK
Koreksi berlebih terdapat pada semua penderita sampai
dengan bulan pertama(20,21,24). Kekeruhan kornea (haze) terdapat
sampai dengan bulan pertama. Dilaporkan kenaikan tekanan
intraokular 5 mmHg pada 30% penderita(24). Gejala subyektif
Silau dankesakitan terdapat hampir semua penderita pada mingguminggu pertama dan dapat dikurangi dengan pemberian Voltaren
(Ciba) tetes mata(20).
Komplikasi berat tidak pemah dilaporkan. Pada miopia
tinggi dengan diameter ablasi rendah menunjukkan silau (glare)
pada malam hari.
Kesimpulan sementara hasil PRK
PRK pada miopia sampai dengan 6.00 sangat efektif(24,25).
Pemeriksaan histopatologi dan penyembuhan sangat baik dan
komplikasi yang didapat sangat kecil(25). Namun pada miopia
tinggi masih dikembangkan teknik PRK-nya.
KEPUSTAKAAN
1.
2.

Kaufman HE. Refractive surgery. Am. J. Ophth. 1987; 10: 3557.


Waring III GO. A Classification of Refractive Corneal Surgery: Making
Sense of Keratospeak. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Salz JJ.
Refractive Comeal Surgery. Slack Corp. New Jersey 1986, XXIXXIX.
3. Waring III GO. Classification and Terminology of Laser Comeal Surgery:
Making Sense of Keratospeak III. Refract and Corneal Surg. 1990; 6: 318
20.
4. Koch DD. From the Guest Editor. J. Cat. & Refract, Surgery 1993;
Supplement.
5. Rabinowitz YS, Wilson SE, Klyce SD. Color Atlas of Corneal
Topography, Chap. 23. Igaku-Shoin New York Tokyo. 1993.
6. Sanders DR, Gills JP, Martin RG. When keratometric measurement do not
accurately reflect Comeal Topography, J. Cat. & Refract. Surgery 1993;
19. Supplement 1315.
7. Jaimovitch L. U.S. PRK Myopia Market Potential. Infocus. The news
letter of the International Society of Refractive Keratoplasty. 11. 1993.
8. SwingerCA. Keratomileusis for Myopia. Dalam: Sanders DR, Hofman RF,
Salz JJ. Retractive Comeal Surgery. Slack Corp. 1986. hal. 46993.
9. McDonald MB, Kaufman HE. Epikeratophakia for Aphakia, Myopia, and
Keratoconus in the adult patient. Dalam: Sanders DR, Hofman RF. Salz JJ.
Refractive Comeal Surgery. Slack Corp. New Jersey, 1986. hal. 427-48.
10. Waring III GO. History of Radial Keratotomy. Dalam: Sanders DR,
Hofman RF, Salz II. Comeal Refractive Surgery. Slack Corp. New Jersey
1986. hal. 512.
11. Deitz MK. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Salz JJ. Comeal Refractive
Surgery. Slack Corp. New Jersey 1986. hal. 3548.
12. Hofman RF. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Salz JJ. Comeal
Refractive Surgery. Slack Corp. New Jersey 1986. hal. 5178.
13. Sanders DR, Deitz MR. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Sa1zJJ.
Comeal Refreacive Surgery. Slack Corp. 1986. hal. 8190.
14. Waring III GO et al. Three year result of the prospective evaluation of
Radial Keratotomy. Ophthalmol 1987; 94: 133954.
15. Trokel SL. Development of the Excimer Laser in Ophthalmology: A
personal perspective. Refract. Comeal Surg. 1990; 6: 35762.
16. Srinivasan R, Leigh WJ. Ablative photodecompensation action of far
ultra violet (193 mm) Laser radiation on poly (ethylene terephthalate)
film. J Am Chem Soc 1982; 104: 6784.
17. Trokek SL, Srinivasan R, Braren B. Excimer Laser Surgery of the cornea.
Am. J. Ophthalmol 1983; 96: 71015.
18. L'Esperance FA. History and development of the Excimer Laser. Dalam:
Thomson FB, McDonald PJ Color Atlaslfext of Excimer Laser Surgery
the Cornea. Igaku-Shoin New York-Tokyo 1993.
19. McDonald MB, Kaufman HF, Frantz JM, Shofner S, Salmeron B, Klyce

SD. Excimer Laser ablation in human eye. Arch Ophthalmol 1989; 107:
641-2.
20. McDonald MB, Leach DH. Myopic Photorefractive Keratectomy. U.S.
Experience. Dalam: Thomson FB, McDonnel PJ. Color Atlas/Iext of
Excimer Laser Surgery of Cornea. Igaku-Shoin. New York Tokyo 1993.
hal. 37-51.
21. Salz JJ, Maguen c, Macy J1, Papaioannou T, Holbauer J, Nesbum AB. One
year result of excimer laser Photorefractive Keratectomy. Refract Corneal
Surg 1992; 8: 269-73.
22. Compos M, McFDonnel PJ. Photorefractive Keratectomy: Astigmatism.
Dalam: Thomson FB, McDonncl PJ. Color Atlas/Text of Excimer Laser

Surgery the Cornea. Igaku-Shoin. New York, Tokyo 1993. hal. 53-62.
23. Rabinowitz YS, Wilson SE, Klyce SD. Corneal Topography in Photo
refractive keratectomy. Dalam: Thomson FB, McDonnel PJ. Color Atlas/
Tect of Excimer Lasr Surgery of Cornea. Igaku-Shoin. New York, Tokyo
1993. hal. 53-62.
24. Seiler T. Photorefractive Keratectomy: European experience. Dalam:
Thomson FB, McDonnel PJ. Color/Text of Excimer Laser Surgery of
25. Cornea. Igaku-Shoin, New York-Tokyo 1993. hal. 53-62.
26. Zabel RW, Sher NA, Ostros CS, Parker P, Linstrom RL. Myopic Excimer
Laser Keratectomy: A Preliminary Report. Refract and Corneal Surg 1990;
6: 329-34.

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 63

Ruang Penyegar dan


Penambah Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
Pilih jawaban yang tepat :
1. Dihasilkan oleh fibroblas
2. Dihasilkan oleh monosit
3. Dihasilkan oleh limfosit T
4. Merupakan penyebab demam endogen
5. Merupakan faktor pertumbuhan sistim
6. Mempengaruhi pertumbuhan eosinofil
7. Mempengaruhi produksi IgE
8. Dapat berperan sebagai colony
stimulating factor
9. Yang bukan sifat ulkus Mooren :
A. Kronik
B. Procresif
C. Purulen
D. Letak marginal
E. Menggaung

A. Interleukin-1
B. Interleukin-2
C. Interleukin-3
D. Interleukin-4
E. Interleukin-5
F. Interleukin-6
G. Interleukin-7
H. Interleukin-8

10. Keratokonjungtivitis epidemika mungkin disebabkan oleh :


A. Bakteri
B. Protozoa
C. Reaksi hipersensitivitas
D. Jamur
E. Reaksi autoimun
11. Kelainan mata yang dapat menyertai tumor Wilms :
A. Aniridia
B. Koloboma iris
C. Albinisme iris
D. Nodul iris
E. Pupil ektopik
12. Dakriosistografi merupakan alat diagnostik untuk deteksi
kelainan :
A. Retina
B. Lensa
C. Iris
D. Sistim lakrimal
E. Sistim saraf (n. optikus)

History is the record of an encounter between character and


circumstances

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993

Anda mungkin juga menyukai