Anda di halaman 1dari 170

KONSEP ISHLH DALAM

PERSPEKTIF FIKIH

TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam (MA)

Disusun oleh:
Arif Hamzah
01.2.00.1.01.01.0009

Pembimbing:
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008

KONSEP ISHLH DALAM


PERSPEKTIF FIKIH

TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam (MA)

Disusun oleh:
Arif Hamzah
01.2.00.1.01.01.0009

Pembimbing:
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:


Nama

: Arif Hamzah

NIM

: 01.2.00.1.01.01.0009

Tmp./tgl. Lahir

: Pati, 28 Mei 1976

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis saya berjudul Konsep Ishlah Dalam
Perspektif Fikih adalah benar karya asli saya, kecuali beberapa kutipan yang secara
akademik dapat dibenarkan. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam tesis
ini maka sepenuhnya tanggung jawab saya pribadi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan untuk digunakan
sebagaimana mestinya.

Jakarta, 24 April 2008


Yang menyatakan,

Arif Hamzah

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Tesis dengan judul Konsep Ishlh Dalam Perspektif Fikih yang ditulis oleh
Arif Hamzah NIM. 01.2.00.1.01.01.0009, telah diajukan pada sidang munaqasyah
tesis pada hari Jumat, 28 Maret 2008. Tesis ini telah diperbaiki sesuai petunjuk
pembimbing dan penguji serta diterima sebagai salah satu syarat menerima gelar
Magister dalam Bidang Ilmu Agama Islam (MA) Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 April 2008

Pembimbing/Penguji

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

Penguji

Prof. Dr. Hasanuddin AF., MA.

Penguji/Ketua Sidang

Dr. Udjang Thalib, MA.

PEDOMAN TRANSLITERASI*
= Tidak dibaca

=z

=q

=b

=s

=k

=t

= sy

=l

= ts

= sh

=m

=j

= dh

=n

=h

= th

=w

= kh

= zh

=d

= ..

= dz

= gh

=y

=r

=f

Vokal Panjang

Vokal Pendek

= a
= i

Hal-hal khusus:
1. Ta marbuthah ( )mati atau mendapat harakat sukun transliterasinya menjadi (h)
2. Alif lam ( )selalu ditransliterasi dengan (al-) meskipun huruf yang menyertaimya
syamsiyah atau qamariyah, kecuali pada penggunaan nama penulis buku
mengikuti tulisan yang sebenarnya.
3. Tasydid ( ) ditransliterasikan dengan mengetik ganda huruf yang di-tasydid-kan
4. Kata-kata yang sudah baku di tulis tanpa mengikuti pedoman transliterasi,kecuali
kata al-Quran
5. Kata ditulis Ibn.
6. Diftong ditulis ai, dan ditulis au

Abstrak:
Tesis ini diberi judul Konsep Ishlh Dalam Perspektif Fikih. Penulisan tesis
ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas terjadinya berbagai konflik di Indonesia
khususnya konflik sosial yang telah banyak merenggut korban. Oleh karena itu,
penulis merasa perlu merumuskan konsep Ishlh dalam perspektif fikih demi turut
serta mewujudkan kedamaian.
Fokus dan tujuan penelitian dalam tesis ini meliputi: pertama, Ingin
mengetahui bagaimana Ishlh di masa lalu berdasarkan sumber-sumber teks
keagamaan dan sejarah. Kedua, bagaimana mendudukkan Ishlh dalam wacana ushul
fikih, berkaitan dengan signifikansi dan kedudukannya dalam mashlahat. Ketiga,
bagaimana mengembangkan konsep Ishlh dalam perspektif fikih. Dan keempat,
Bagaimana penerapan Ishlh dalam menyelesaikan konflik sosial di Indonesia.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif
analitis, yaitu mendeskripsikan secara faktual dan akurat serta sistematis data-data
dan pandangan ahli tentang konsep Ishlh dalam perspektif fikih. Konsep yang
ditemukan akan dijajagi kevalidannya dengan mencoba menerapakannnya
(membandingkannya) dalam penyelesaian konflik horisontal dalam masyarakat di
Indonesia yang pernah dilakukan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Ishlh dapat dilacak akar sejarahnya dalam
ajaran Islam, bahkan jauh sebelum datangnya risalah Islam. Ulama fikih hanya
membahas ruang lingkup Ishlh dalam hubungannya dengan jinayat qishsh diyat.
Mereka juga hanya membahas rukun Ishlh tanpa membahas syaratnya secara rinci.
Demikian pula Ishlh belum dibahas secara lebih rinci dalam konteks ushul fikih.
Dalam konteks ushul fikih, Ishlh berkaitan erat dengan mashlahat yang
merupakan tujuan utama dari penetapan hukum dalam agama Islam. Ishlh dalam
perspektif fikih merupakan suatu konsep yang terdiri dari rukun dan syarat yang
saling berkait satu sama lain secara konprehensif dan integral. Rukun Ishlh meliputi
shighat, al-aqidain, dan muhal yang terdiri dari mushalih 'anh dan mushalih 'alaih.
Mushalih 'alaih dapat bersifat bendawi dan non bendawi. Yang bersifat bendawi
seperti membayar denda berupa harta atau uang, sedangkan yang non bendawi dapat
berupa perbuatan yang meliputi menjauhi prasangka buruk, hinaan, dan fitnah,
menciptakan keadilan di segala bidang dalam masyarakat, mempererat silaturahmi
dalam rangka rehabilitasi, kemauan keras bertaubat, dan saling sabar dan memaafkan.
Konsep Ishlh dalam perbandingannya dengan poin-poin dalam deklarasi Malinojika diterapkan secara konprehensip, niscaya dapat secara signifikan menghentikan
konflik dan menciptakan perdamaian yang lestari di Indonesia.

ii

Abstract
This Thesis is entitled "The Concept of Ishlh In Fiqh perpective." It is based
on the happening of various conflicts in Indonesia, especially social conflicts which
effect so many victims. Therefore, writer is sure that it is important to formulate the
concept of Ishlh in fiqh perspective as a contribution for making peace.
The focus and the aims of this research covers: first, how to know about Ishlh
based on religious texts and history. Second, how to positionate Ishlh in ushul fiqh,
according to the significance of Ishlh and its position before mashlahat. Third, how
to formulate and develop the concept of Ishlh in fiqh perspective. And fourth, How
to implement Ishlh to solve social conflicts in Indonesia
This is a qualitative research using the analytical and descriptive method that
describes and systemizes factual and accurate data as well as the experts views on
the Ishlh concepts in the fiqh perspective. The validity of the discovered concepts is
examined by trying to apply and compare it to solve the horizontal conflicts in
society, especially in Indonesia, with the effort done.
This research concludes that Ishlh is traceable on the history in Islamic
teaching, even far before the coming of Islam. The fiqh scholars discuss about Ishlh
only on its relation with jinayat qishsh diyat. They also discuss some pillars of it
without mentioning some conditions comprehensively as well as the discourse of
Ishlh in ushul fiqh context. Meanwhile, in ushul fiqh, Ishlh is related strongly with
mashlahat in which it is the main objective of Islamic law. Ishlh in fiqh perspective
is a concept consisting of the pillars and conditions which are related to each other
comprehensively. The pillars of Ishlh cover the shighat, al-aqidain, and muhal
comprising the mushalih 'anh and mushalih 'alaih. Mushalih 'alaih can be materials
such as giving some goods or money and immaterial like doing something. Mushalih
alaih which is in the form of doing something should cover some works such as
avoiding the ugly prejudice, snubbing, and libel, creating justice in all areas of
society, tightening silaturahmi in order to rehabilitate relations and conditions,
willingness to taubat, patience and forgiveness. The ideal concept of Ishlh, in
comparison with some points in Malinos Declaration, when it is comprehensively
applied, significantly stop and end social conflicts and create the everlasting peace in
Indonesia.

iii


" " .


.
:
- .
-
.
- .
-

.

.

.

.

.
.
" " " " .


. -
-
.
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim

iv

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah. Ridha dan rahmat-Nya telah
memberikan kesempatan dan kelancaran kepada penulis untuk menyelesasikan tesis
ini.
Terimakasih tiada terhingga kepada kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Abdul
Rahman Farid (al-Marhum) dan Ibunda Siti Munawiroh. Kasih sayang mereka tak
mungkin bisa kubalas. Juga untuk adikku, Abid Syaifullah. Terima kasih atas segala
motivasi dan kepercayaan. Tak lupa untuk istriku tercinta, Desi Arisanti.
Kesetiaanmu selalu mengilhamiku.
Terimakasih pula untuk Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., MM.
sebagai pembimbing sekaligus penguji dalam penulisan tesis ini. Juga untuk Prof. Dr.
Hasanuddin AF., MA., sebagai penguji, dan Dr. H. Udjang Thalib, MA. Sebagai
penguji sekaligus ketua sidang ujian. Saran-saran mereka sangat berharga dalam
memperbaiki berbagai kekurangan dalam tesis ini.
Para Pimpinan dan Dosen sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, khusus untuk Prof.
Dr. Suwito MA. dan Ibu Nilfa Yetty Tanjung, bimbingan, jeweran dan motivasinya
sungguh tak ternilai dengan apa pun. Juga para karyawan dan karyawati Pasca yang
terlalu sering penulis repoti.
Tak lupa kepada kawan-kawan Legoso, FAI UHAMKA, dan STIE Ahmad
Dahlan, dan khusus untuk kawa-kawan satu pesantren di Qom, spesial buat ustadz
Faris yang membantu memberikan bimbingan tesis tak resmi. Juga untuk semua
teman yang tak dapat disebut satu persatu namanya. Karena mereka hidup terasa lebih
berwarna.
Ciputat, 20 April 2008

Penulis
DAFTAR ISI
Pedoman Transliterasi ....................................................................................

Abstrak ...........................................................................................................

ii

Abstract ..........................................................................................................

iii

Al-Khulshah ..................................................................................................

iv

Kata Pengantar ...............................................................................................

Daftar Isi ........................................................................................................

vi

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................

B. Rumusan dan Batasan Masalah .........................................

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ......................................

D. Metode Penelitian ..............................................................

10

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ..................................

11

F. Sistematika Penulisan ........................................................

11

KONSEP ISHLH
A. Definsi Ishlh

BAB III

BAB IV

1. Secara Bahasa ...............................................................

13

2. Secara Istilah .................................................................

14

B. Ishlh Dalam al-Quran Dan Hadis....................................

20

C. Ishlh Dalam Sejarah ........................................................

30

1. Ishlh Pada Masa Pra Islam ..........................................

30

2. Ishlh Pada Masa Islam ................................................

32

D. Ruang Lingkup Ishlh .......................................................

37

DASAR-DASAR HUKUM ISHLH


A. Kedudukan Ishlh Dalam Mashlahah ...............................

39

B. Hukum Ishlh ....................................................................

48

C. Signifikansi Ishlh .............................................................

50

D. Ishlh Dalam Jinyah .........................................................

59

FIKIH ISHLH
A. Obyek Ishlh .....................................................................

vi

89

BAB V

B. Subyek Ishlh .....................................................................

101

C. Rukun Ishlh ......................................................................

102

D. Syarat Ishlh ......................................................................

104

E. Penerapan Ishlh Dalam Konflik Sosial di Indonesia .......

149

PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................

152

B. Saran ...................................................................................

153

vii

LEMBAR BUKTI PENYERAHAN TESIS

Tesis dengan judul Konsep Ishlh Dalam Perspektif Fikih yang ditulis oleh
Arif Hamzah NIM. 01.2.00.1.01.01.0009, telah diperbaiki sesuai petunjuk
pembimbing dan penguji serta telah diserahkan kepada para pembimbing dan penguji
masing-masing satu eksemplar hard copy tesis.

Jakarta, 29 Mei 2010

Pembimbing/Penguji

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

Penguji

Prof. Dr. Hasanuddin AF., MA.

Penguji/Ketua Sidang

Dr. Udjang Thalib, MA.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas terjadinya
berbagai kasus konflik bernuansa SARA yang berujung pada terjadinya
berbagai kerusuhan hebat dalam masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
Konflik tersebut telah memakan banyak sekali korban baik dari segi fisik
bahkan mental. Tidak sedikit harta benda bahkan nyawa melayang. Kerugian
yang dialami juga mencakup kerugian material maupun spiritual, seperti
hancurnya tatanan dalam masyarakat berupa terputusnya silaturrahmi antar
saudara, juga silaturahmi antar tetangga yang tadinya rukun dan damai, belum
lagi beban psikologis yang harus ditanggung oleh masyarakat dari yang sudah
tua sampai anak-anak. Bahkan ancaman serius bahaya hilangnya satu generasi
penerus pembangunan di wilayah bersangkutan.
Praktis bisa dikatakan, bahwa selama beberapa tahun kerusuhan
berlangsung, anak-anak tidak mendapatkan makanan yang layak, tanpa
pendidikan yang memadai, juga kondisi kesehatan yang kurang terawat,
mengingat sebagian besar dari mereka berada dalam pengungsian dengan
kondisi serba minim. 1 Pendek kata, konflik tersebut telah menelan kerugian
tidak terhitung.

Hal ini menyebabkan keprihatinan mendalam dalam diri kita dan sudah
sepantasnya melakukan berbagai upaya untuk mencegah, jangan sampai
kejadian tersebut terulang kembali, dan menyelesaikan masalah yang saat ini

Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, (Jakarta:
YAPPIKA, 2003), h. 85-87. Ia menerangkan bahwa kondisi traumatis pasca kerusuhan masih
dialami oleh masyarakat termasuk anak-anak. Suatu ketika diselenggarakan lomba melukis anakanak. Sebagian anak menggambar gunung berwarna merah. Ketika ditanya kenapa gunungnya
berwarna merah, kan biasanya hijau atau biru. Maka dijawab bahwa gunungnya terbakar. Ada juga
anak yang menggambar beberapa rumah, sebagian rumah diwarnai merah dan sebagian diwarnai
putih. Mereka berkata:Yang merah rumah orang Kristen, yang putih rumah orang Islam, kalau
ada perang lagi biar gampang ketahuan.
1

belum selesai agar tidak timbul dendam di masa yang akan datang yang pada
gilirannya akan memunculkan kembali percik api konflik dan permusuhan.
Hal ini tentunya membutuhkan penyelesaian yang tepat, cepat, dan
membawa kemashlahatan bagi semua pihak yang bersengketa. Penyelesaian
yang tepat sangat diperlukan mengingat kerugian yang ditimbulkan amat besar
menyangkut nyawa dan harta benda. Adapun penyelesaian yang ingin
ditawarkan dalam tesis ini adalah perdamaian atau yang dalam khazanah Islam
biasa disebut dengan istilah ishlh, -baik melalui proses di pengadilan ataupun
tidak- dari pada menyelesaikannya secara hukum, baik pidana maupun perdata
melalui mekanisme pengadilan pidana atau perdata saja.
Dalam konteks pidana Islam, ishlh dibicarakan berkaitan erat dengan
qishsh, yaitu adanya kebolehan keluarga korban untuk memberi maaf kepada
pelaku yang -di muka pengadilan- terbukti melakukan kejahatan. Maaf ini
secara otomatis menggugurkan hukuman qishsh, terlepas dari keluarga
korban menuntut diyat (denda) atau tidak. Hal ini sebagaimana diterangkan
dalam QS. al- Baqarah (2): 178. 2
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut di
atas. Salah satunya adalah riwayat dari Qatadah, bahwa orang-orang jahiliyah
biasa melakukan kezhaliman dan memperturutkan nafsu setan karena
kesombongan dan rasa kebanggaan berlebihan terhadap kabilah atau sukunya.
2

Ayat itu berbunyi:

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishsh berkenaan


dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
diyat (denda) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat
pedih.

Jika dua kabilah saling berperang, kemudian hamba salah satu kabilah
membunuh hamba dari kabilah musuhnya, maka kabilah yang hambanya
terbunuh akan mengatakan: Kami tidak akan membalas melainkan harus
membunuh orang merdeka dari mereka. Begitu juga bila yang terbunuh
perempuan, maka mereka akan menuntut balas dengan membunuh laki-laki
musuh. Maka turunlah ayat orang-orang merdeka dengan orang-orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. 3
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari ayat di atas, yaitu bahwa
qishsh adalah syariat Allah demi kemashlahatan hidup, qishsh diyakini akan
memperkecil frekuensi kejahatan dan menghilangkan rasa dendam antar
individu dalam masyarakat, membawa masyarakat menuju kedamain hidup
jasmani dan rohani, sehingga dalam jangka panjang dapat memelihara
kehidupan seluruh umat.
Dalam hal ini, jika wali atau keluarga korban memberi maaf, maka
wajib atas pelaku membayar diyat (denda) tanpa ditunda-tunda. Dengan
demikian, diyat (denda) dalam hal ini adalah sebagai hukuman pengganti
qishsh yang tidak jadi dilaksanakan karena keluarga korban memberi maaf
kepada pelaku. Meski demikian, hakim masih bisa menetapkan hukuman
tazr atas pelaku karena pelanggarannya terhadap hak-hak publik atau hak
Allah setelah hak hamba yang dominan memberinya maaf dan menggugurkan
qishsh.
Perlu digarisbawahi, bahwa di samping mensyariatkan qishsh, Allah
secara bersamaan juga mensyariatkan maaf sebagai ajakan untuk berbuat
kebajikan, bahwa memaafkan adalah lebih baik dan manusiawi dari pada
melakukan pembalasan yang destruktif. Dengan demikian, memaafkan adalah
bagian tak terpisahkan dari mekanisme hukum qishsh. Oleh karena itu,
mengingat qishsh adalah bagian integral dari Hukum Pidana Islam, maka
memaafkan juga bagian integral dari Hukum Pidana Islam.

Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Quran, Terj.
Muammal Hamdi dan Imran A. Mannan, Tafsir Ayat Ahkam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), h. 123
3

Konsep ishlh muncul sebagai ganti dari qishsh yang tak jadi
dilaksanakan karena adanya maaf dari keluarga korban. Dalam hal ini,
keluarga korban merupakan pihak yang mengedepankan perdamaian dalam
menyelesaikan rasa dendam dan permusuhan. Di sinilah posisi strategis ishlh
dalam menyelesaikan permusuhan antar manusia dan kelompok. Oleh karena
itu, sudah sepantasnya konsep ishlh digali hingga ditemukan sebuah formula
penyelesaian konflik yang cepat, tepat, dan mampu menciptakan mashlahat
bagi semua pihak, berdasarkan khazanah hukum dan intelektual Islam. 4
Dalam konteks Indonesia, penyelesaian konflik horisontal agaknya tidak
bisa hanya mengandalkan penegakan hukum pidana dalam perspektif qishsh
saja, tetapi harus melibatkan perspektif ishlh. Karena dalam sebuah
kerusuhan yang menelan banyak korban, maka kedua belah pihak merupakan
korban sekaligus pelaku kejahatan. Jika hanya perspektif qishsh yang
diterapkan, maka proses hukum akan melalui jalan panjang dan berliku,
bahkan kemungkinan tidak akan menemui ujung dan pangkalnya. Sementara
jika perspektif ishlh juga diterapkan, maka dengan hati terbuka dan kerelaan
masing-masing pihak memaafkan kesalahan pihak lain akan lebih dapat
menjamin kerukunan dan perdamaian dalam masyarakat. Di sinilah urgensi
ishlh ditemukan. Sehingga, jika ishlh menjadi suatu yang urgen untuk
kemashlahatan umat, maka menjadi suatu yang perlu untuk segera
dilaksanakan.
Mengelaborasi lebih lanjut tentang berbagai kasus konflik horisontal di
berbagai daerah di Indonesia dan penyelesaiannya melalui jalan damai, kita
dapati beberapa kasus besar seperti kerusuhan Poso, Ambon dan lain-lain.
Sebagai masyarakat yang telah cukup lama dilanda konflik, baru hampir tujuh
tahun belakangan ini kabupaten Poso di Sulawesi Tengah mulai damai
kembali. Sejumlah tonggak peristiwa telah dilalui sebelum mencapai ini.

Dalam khazanah Hukum Pidana Islam terdapat satu kaidah yaitu "Apabila terjadi
pelanggaran hukum maka di dalamnya terdapat hak Allah dan hak hamba, sedangkan hak hamba
itu lebih dominan". Berdasarkan kaidah di atas, dominasi hak hamba ini berimplikasi pada
penyelesaian melalui jalan damai yaitu pihak yang dirugikan dapat memaafkan pihak yang
merugikan. Hal ini akan secara lebih luas dibahas dalam bab selanjutnya.
4

Wakil-wakil pihak yang bertikai menandatangani kesepakatan perdamaian


berupa Deklarasi Malino pada Desember 2001. Sebagai hasil dari kesepakatan
tersebut dan berbagai upaya yang terus dilakukan kedua belah pihak, propinsi
tersebut kini mulai kondusif untuk rekonsiliasi dan pemulihan. Menanggapi
perkembangan positif yang dicapai melalui Deklarasi Malino, UNDP bekerja
sama dengan Menko Kesra memulai suatu proyek persiapan pada 2003.
Proyek tersebut bertujuan untuk memberikan dukungan awal terhadap proses
pemulihan dan rekonsiliasi, serta melakukan kajian dan perencanaan untuk
merancang program jangka panjang untuk mendukung perdamaian dan
pembangunan berkelanjutan. 5
Begitu pula halnya yang terjadi di Ambon. Kesepakatan damai yang
diikuti oleh pembentukan komite bersama Baku Bae yang dipimpin secara
bersama oleh pihak muslim dan pihak Kristen telah memberikan efek positif
bagi perkembangan masyarakat maluku dan Ambon khususnya. Salah satu
kegiatan untuk mempertemukan pihak muslim dan kristen adalah kursus
komputer. Di sana, selain belajar untuk memperoleh keterampilan, mereka
juga bergaul antara satu sama lain, sehingga mereka dapat saling berinteraksi,
saling mengundang, bahkan timbul kembali persahabatan. Selain kegiatan
belajar, juga diadakan konseling. 6
Di samping itu, dalam forum-forum tertentu, masyarakat yang semasa
konflik dulu saling menyelamatkan dipersilahkan mengekspos pengalaman
mereka. Yang dimaksud di sini adalah bahwa semasa konflik terjadi, banyak
orang Kristen menyelamatkan orang Islam dan begitu juga sebaliknya. Cara
menyelamatkan itu antara lain dengan saling menyelundupkan atau
membocorkan rencana penyerangan. Dengan demikian calon korban bisa
menyelamatkan diri. Ini berlaku bagi kedua belah pihak. Media massa yang
dulu juga terlibat konflik, media Kristen misalnya, sempat memihak kelompok

Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, 160
Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian
Jangka Panjang, (Jakarta: LIPI Proyek Pengembangan Riset Unggulan/Kompetitif LIPI/Program
Isu, 2003), h. 131
5
6

Kristen dan media Islam memihak Islam, sekarang telah sadar untuk
menggunakan media demi menegakkan perdamaian. 7
Menilik kondisi negara ini, maka pada dasarnya ada dua pilihan yang
dapat dilakukan oleh Negara kita Indonesia dalam menghadapi berbagai kasus
konflik horisontal. Yaitu melupakan masa lalu dan memberikan pengampunan
dan maaf atas segala kesalahan yang terjadi di masa lalu, atau tetap mengusut
tuntas semua tindakan kejahatan yang terjadi dan memberikan hukuman yang
setimpal dengan segala konsekuensinya. 8 Dengan kata lain, dapat ditempuh
jalur litigasi yaitu melalui jalur hukum yang dalam hal ini melalui mekanisme
peradilan, dan jalur non litigasi yaitu jalur non peradilan.
Lebih jauh mengelaborasi jalur non peradilan ini, telah terbit UU. No. 20
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alaternatif Penyelesaian Sengketa.
Sebagaimana diterangkan dalam pasal satu bahwa arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata
maupun hukum publik. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa
klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri
yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga
arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Lembaga Arbitrase adalah
badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal
belum timbul sengketa.
Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian
Jangka Panjang, h. 131
8
Munir, Transisi Politik dan Masa Depan HAM, ST. Sularto (ed.), (Jakarta: Kompas,
2000), cet. Ke-1, h. 16
7

Adapun Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian


sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. 9
Menurut hemat penulis, pengusutan kejahatan akibat konflik horisontal
melalui jalur pengadilan adalah hal yang amat sulit dilakukan serta
membutuhkan energi dan pengorbanan yang luar biasa sedangkan hasilnya
belum tentu memuaskan semua pihak. Pendek kata, banyak yang harus
dikorbankan, sementara kita dituntut untuk juga menatap ke depan
membangun bangsa ini menjadi bangsa yang terhormat di mata rakyat sendiri
dan dunia internasional. Oleh karena itu, penyelesaian melalui mekanisme
pengadilan meskipun tetap perlu dilakukan namun efektifitasnya sangat minim
dalam kondisi bangsa yang kurang stabil di segala bidang. Oleh karena itu,
jalur non pengadilan lebih baik untuk dikedepankan.
Kerepotan yang sama menimpa pemerintahan serupa di belahan dunia
lain. Pemerintah akhirnya berusaha menyelesaikan kejahatan berat HAM
dengan berupaya mendamaikan kecenderungan menghukum dan memberi
maaf. Pendekatan hukum dapat dipastikan sulit berhasil karena perangkat
hukum yang ada sebagian besar adalah hasil rezim lama yang tak memadai,
baik secara administratif maupun substantif. 10 Berdasar kondisi tersebut,
pemerintahan biasanya menerapkan sebuah tatanan hukum ''sementara'' yang
hanya diterapkan dalam waktu sementara pula. Di sini prinsip hukum yang
kaku ''dilunakkan'' sebagai konsekuensi logis kondisi obyektif yang ada.
Dalam konteks inilah wacana pencarian kebenaran dan pengupayaan
rekonsiliasi menjadi isu sentral yang realistis demi pembangunan.
Peristiwa menarik berkaitan dengan ishlh di Indonesia adalah
munculnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu melalui
rekonsiliasi dalam pendekatan Islam, seperti Ishlh kasus Tanjung Priok.
Terlepas dari berbagai kontroversi dan kekurangan, hal ini tentu saja
9

UU. No. 20 tahun 1999, Diktat, Tidak diterbitkan, h. 2-6


Contoh yang paling tepat untuk negara yang menerapkan pendekatan ini adalah Afrika
Selatan dengan konsep rekonsiliasinya.
10

diharapkan bisa menjadi model penyelesaian terbaik terhadap berbagai kasus


di masa lalu, sambil terus berupaya melengkapi kekurangan yang ada.
Kesepakatan damai yang dituangkan dalam sebuah piagam ishlh ini
adalah suatu penyelesaian secara damai terhadap kasus pelanggaran HAM
berat Tanjung Priok. Ishlh ini terjadi pada tanggal 7 Maret 2001 antara
mantan Panglima Kodam Jaya Jend. (Purn.) Try Sutrisno dan pejabat
keamanan yang menjabat pada waktu tragedi terjadi pada tanggal 1 September
1984, dengan pihak keluarga korban. 11
Peristiwa ini segera menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan,
khususnya praktisi hukum. Mereka berpendapat bahwa meskipun telah terjadi
ishlh, namun penyelesaian melalui jalur hukum tetap harus dilakukan melalui
proses peradilan. 12 Di samping itu, ketidaksetujuan ini juga didasarkan pada
kekhawatiran mandulnya sistem hukum yang berlaku, karena ishlh yang
disepakati terkesan menganggap enteng kejahatan berat yang telah dilakukan
di masa lalu dengan memutuskannya tanpa melalui proses peradilan terlebih
dahulu.
Ketidaksetujuan ini senada dengan adanya kaedah dalam hukum Pidana
Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Satria Effendi M. Zein, bahwa apabila
bergabung hak individu dan hak publik, sementara hak individu lebih
dominan, maka meskipun hukum qishsh bisa dimaafkan oleh keluarga
korban, namun pengadilan tetap berkewajiban mengenakan hukuman tazr
sebagai hukuman atas pelanggaran hak publik. 13
Terlepas dari berbagai komentar baik yang pro maupun kontra, perlu
disadari bersama bahwa untuk merajut masa depan Indonesia baru dan
khususnya masyarakat yang didera konflik berkepanjangan, ishlh dinilai
Al- Chaidar wa Iddatu Ashkhas Amilu Lihisabi Tapol, Mihnatul Islam Fi Indonesia, Terj.
Muhammad Thalib, Bencana Kaum Muslimin di Indonesia 1980-2000, (Yogyakarta: Wihdah
Press, 2000), cet. ke-5, h. 31. Lihat Juga Hendardi, Menghadapi Masa Lalu, Rekonsiliasi Atau
Keadilan?, Kompas (Jakarta: 10 Juni 2001), h. 6. Juga Try Sutrisno dan Korban Tanjung Priok
Berdamai, Kompas (Jakarta: 8 Maret 2001), h. 1
12
Hendardi, Menghadapi Masa Lalu, Rekonsiliasi Atau Keadilan?, h. 6
13
Satria Effendy M. Zein, Arbitrase Dalam Masyarakat Islam, dalam Arbitrase Islam di
Indonesia, (Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia Kerjasama dengan Bank Muamalat,
1994), h. 13-14. Lihat Juga Said Aqil Husin Al- Munawwar, Al- Quran Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 275
11

mampu mengobati luka rakyat. Ishlh dapat mencegah masyarakat membuka


luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam, melainkan
menutup luka itu dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban sehingga
tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.
Dengan demikian, ishlh lebih bermakna psikologi sosial-politik, demi
menjamin agar masyarakat terhindar dari kekerasan berdimensi apa pun secara
berkelanjutan. Untuk tujuan akhir itu, berarti individu, kelompok, dan negara
harus menanggung ketidakadilan yang memilukan dan membuka pintu maaf
untuk pelaku. ishlh dengan demikian adalah kesediaan memaafkan atau
melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan hidup yang lebih baik di
masa depan. Singkatnya, ishlh lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu
daripada penuntutan pidana.

B. Rumusan Dan Batasan Masalah


Tesis ini ingin mengungkap beberapa masalah sebagaimana penulis
rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana ishlh di masa lalu dengan mengutip sumber-sumber teks
keagamaan dan sejarah.
2. Bagaimana mendudukkan ishlh dalam (wacana) ushul fikih, berkaitan
dengan signifikansinya dan kedudukannya dalam mashlahat.
3. Bagaimana pengembangan ishlh dalam perspektif fikih
4.

Bagaimana penerapan ishlh dalam menyelesaikan konflik sosial di


Indonesia
Untuk itu, penulis membatasi pembahasan rumusan masalah tersebut di

atas yaitu dalam lingkup konflik sosial, khususnya konflik sosial bernuansa
SARA yang terjadi di Indonesia bagian timur seperti Poso.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian


Penulisan tesis ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pelaksanaan ishlh di masa lalu.

10

2. Menemukan dasar-dasar pijakan dalam menetapkan hukum ishlh,


berkaitan dengan signifikansi dan kedudukannya dalam mashlahat.
3. Merumuskan konsep ishlh dalam perspektif fikih
4. Menjajagi penerapan ishlh dalam menyelesaikan konflik sosial bernuansa
SARA di Indonesia.
Adapun kegunaan tesis ini adalah:
1. Melengkapi persyaratan untuk dapat meraih gelar magister Agama
2. Memberikan deskripsi yang jelas tentang konsep ishlh dan penerapannya,
sehingga bisa memberikan kontribusi secara intelektual kepada rekan
sejawat dan praktisi hukum pada umumnya.
3. Memberikan kontribusi kepada masyarakat muslim pada khususnya dan
seluruh rakyat Indonesia umumnya dalam membangun kehidupan yang
maju, damai dan beradab.

D. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode
deskriptif analitis, 14 yaitu mendeskripsikan secara faktual dan akurat serta
sistematis data-data dan pandangan ahli tentang konsep ishlh, khususnya
dalam perspektif fikih.
Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, dilakukan studi pustaka
dengan menelusuri berbagai sumber yang relevan dengan permasalahan yang
dibahas. Kemudian untuk menganalisis data yang terkumpul, digunakan
metode analisis isi dengan menilai, mengidentifikasi data, dan menganalisanya
sehubungan dengan rumusan masalah yang diteliti sehingga didapatkan
konsep ishlh dalam perspektif fikih yang komprehensif. 15
Konsep yang ditemukan akan dijajagi kevalidannya dengan mencoba
membandingkannya dengan penyelesaian konflik horisontal dalam masyarakat
Indonesia yang pernah dilakukan. Dalam hal ini akan diambil satu contoh
penyelesaian konflik di Poso berupa deklarasi Malino. Dengan begitu,
Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 63-74
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1973), h.

14
15

76

11

pemahaman yang didapatkan dari konsep tersebut adalah pemahaman yang


komprehensif dan integral.
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Beberapa kajian tentang ishlh pernah dilakukan oleh beberapa orang
dalam beberapa bentuk tulisan ilmiah. Adapun yang sampai kepada penulis
adalah tesis Muhammad Adil yang berjudul "Ishlh dalam Pelanggaran HAM
Berat". Tesis ini membahas permasalahan ishlh antara dua kubu yang
berseteru dalam kasus pelanggaran HAM berat yaitu tragedi Tanjung Priok
dan tragedi Lampung. Pembahasan dalam tesis ini lebih terfokus pada upaya
penyelesaian konflik dengan tetap berupaya menyelesaikannya secara hukum
melalui proses pengadilan, karena meskipun penulis mengakui bahwa
memang telah terjadi ishlh antara kedua belah pihak, namun tetap
dipermasalahkan keabsahan ishlh yang telah disepakati tersebut. Di samping
itu, penulis juga belum menemukan konsep ishlh secara fikih itu sendiri
secara lebih gamblang dan sistematis.
Di samping itu, penulis juga menemukan tesis dengan judul "Ishlh,
Suatu Tinjauan Tematik" karya Tuti Alawiyah. Tesis ini membahas ishlh dari
segi bahasa dan dalam tinjauan ilmu tafsir. Adapun karya ilmiah yang
berkaitan dengan ishlh dalam bentuk disertasi dan skripsi belum penulis
temukan.
Fakta bahwa baru dua tulisan ilmiah yang membahas tentang ishlh
dengan stressing yang berbeda menyebabkan penulis tertarik untuk
mengelaborasi tema ini, tentunya dengan penekanan pembahasan yang
berbeda dari karya tulis ilmiah yang telah ada.

F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam tesis ini meliputi bab kesatu (pendahuluan)
yang berisi latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, metode penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, dan
sistematika penulisan.

12

Dilanjutkan dengan bab kedua (Ishlh dalam Islam). Bab ini terdiri dari
pembahasan definisi ishlh, Ishlh dalam al-Quran, ishlh dalam sejarah, dan
ruang ligkup ishlh.
Bab ketiga (dasar-dasar hukum ishlh), berisi kedudukan ishlh dalam
mashlahat, hukum ishlh, signifikansi ishlh, dan ishlh dalam jinayah.
Bab keempat (Konsep Ishlh dalam Perspektif Fikih) berisi
pembahasan obyek ishlh, subyek ishlh, rukun ishlh, syarat ishlh yang
terdiri dari pembahasan muatan mushalih alaih dan syarat-syarat yang
harus dimiliki oleh seorang mediator, dan penerapan ishlh dalam konflik
sosial di Indonesia yang berisi pembahasan dan pembandingan konsep
ishlh yang telah ditemukan dengan konsep ishlh yang dihasilkan dalam
deklarasi Malino yaitu perjanjian damai antar kelompok yang bertikai di
Poso.
Pembahasan ditutup dengan bab kelima (penutup) yang berisi
kesimpulan dan saran.

BAB II
KONSEP ISHLH

A. Definisi Ishlh
1. Secara Bahasa
Secara bahasa, akar kata ishlh berasal dari lafazh
yang berarti baik, yang mengalami perubahan bentuk. Kata ishlh
merupakan bentuk mashdar dari wazan yaitu dari lafazh
, yang berarti memperbaiki, memperbagus, dan mendamaikan,
(penyelesaian pertikaian). Kata merupakan lawan kata dari /
(rusak). 15 Sementara kata biasanya secara khusus digunakan untuk
menghilangkan persengketaan yang terjadi di kalangan manusia. Akan
tetapi, jika ishlh tersebut dilakukan oleh Allah pada manusia, maka

mengandung beberapa pengertian, kadang-kadang dilakukan

dengan melalui proses penciptaan yang sempurna, kadang-kadang dengan


menghilangkan suatu kejelekan/kerusakan setelah keberadaannya, dan
kadang-kadang pula dengan menetapkan kebaikan kepada manusia itu
sendiri melalui penegakan hukum (aturan) terhadapnya. 16
Ibn Manzhur berpendapat bahwa kata sebagai antonim dari
kata , dan biasanya mengindikasikan rehabilitasi setelah terjadi
kerusakan, sehingga terkadang dapat dimaknai dengan .. 17 Sementara
Ibrahim Madkur dalam mujamnya berpendapat bahwa yang berasal
dari kata mengandung dua makna, yaitu manfaat dan keserasian serta
terhindar dari kerusakan, sehingga jika kata tersebut mendapat imbuhan
15

Tim Penyusun Pustaka Azet, Kamus Leksikon Islam, (Jakarta: Pustazet Perkasa,. 1998)
h. 224. lihat juga, Peter Salim dkk., Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern
English Press, 1991), cet.I, h. 581
16
Al-Rghib al-Ashfahani, al-Mufradt f Gharb al-Quran, (Beirut: Dar al-Marifah,
t.th), h. 284-285
17
Ibn Manzhr, Lisn al-'Arab, (Mesir: al-Dr al-Mishriyyah Litalf wa al-Tarjamah, t.th),
Jil. 3-4, h. 348-349

13

14

Menurut Abi al-Husain Ahmad ibn Fris ibn Zakaria, kata


berasal dari kata . Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Shalh menunjuk
pada arti yang berlawanan dengan kerusakan (al-fasd). Ini berarti telah
memperbaiki dengan perbaikan. Dikatakan shalaha (yang di-fathah lamnya) sesuai dengan yang dihikayatkan oleh Ibnu al-Sukiyat bahwa shalaha
adalah shalaha-shulhan bermakna memperbaiki, sesuatu perbaikan. 19

2. Secara Istilah
Secara istilah, term ishlh dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji
dalam kaitannya dengan perilaku manusia. 20 Karena itu, dalam
terminologi Islam secara umum, ishlh dapat diartikan sebagai suatu
aktifitas yang ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi
keadaan yang baik. Dengan kata lain, perbuatan baik lawan dari perbuatan
jelek. Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki
semua amal perbuatannya dan segala urusannya.21
Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan al-Zamakhsyari dalam
tafsirnya berpendapat, bahwa kata ishlh mempunyai arti mengkondisikan
sesuatu pada keadaan yang lurus dan mengembalikan fungsinya untuk
dimanfaatkan. 22
18

Ibrhm Madkr, al-Mujam al-Wajiz, (tp., t.th), h. 368. Lihat juga Ahmad
Athiyyatullah, al-Qms al-Islmi, (Mesir: Makhtabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1076), Jilid 4,
h. 321
19
Lihat Abi al-Husain Ahmad ibn Fris ibn Zakaria, Mujam Maqyis al-Lughah, (Mesir:
Maktabah al-Khabakhiy, 1981), Jil. 3, h. 303
20
E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1990), Jil.
IV, h. 141
21
Abd Salam, Mujam al-Wasth, (Teheran: Maktabat al-Ilmiyah, t.th), Jil. I, h. 522
22
Abu Ali al-Fadl ibn al-Hasan at-Thabarsi, Majma al-Bayn f tafsr al-quran, (Beirut:
Dar al-Marifah, 1986), cet I, Jil. I, II, h. 137. Lihat juga Abu al-Qasim Jarullhi Mahmd ibn

15

Kata ishlh juga memiliki beberapa sinonim, di antaranya adalah


tajdd (pembaruan) dan taghyir (perubahan), yang keduanya mengarah
pada kemajuan dan perbaikan keadaan. 23 Dengan demikian, ishlh
bertalian erat dengan tugas para Rasul yang terus ditindaklanjuti hingga
sekarang dan seterusnya. 24 Walaupun zaman para Nabi telah berakhir,
namun pekerjaan ishlh yakni perubahan ke arah perbaikan berlanjut terus
sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan ishlh merupakan
bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi. 25
Perubahan ini bukan semata-mata untuk menambah hasil guna atau
kemakmuran,

akan

tetapi

lebih

merupakan

suatu

upaya

untuk

meningkatkan kebajikan masyarakat.


Jhon O.Voll mengemukakan bahwa dua dari pengertian-pengertian
utama dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan adalah kata ishlh dan
tajdd. Ishlh biasa diterjemahkan sebagai perubahan dan pembaruan.
Secara bersama-sama, kedua kata tersebut mencerminkan satu tradisi
berkelanjutan, yaitu tentang upaya menghidupkan kembali keimanan Islam
beserta praktek-prakteknya dalam sejarah kamunitas kaum muslimin. 26
Menurut Syafii Maarif, perkataan tajdd berarti pembaruan,
inovasi, restorasi, medernisasi, penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain
yang berkaitan dengan makna itu. Maka bila dihubungkan dengan
Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyf, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah,
1995), cet. I, Jil. I, h. 70.
23
John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlh dalam John L.
Esposito, Voices of Resurgent, (New York: Oxford University Press, 1983), h. 32-42
24
Nabi Syuaib umpamanya, berkata kepada umatnya: Saya hanya menginginkan ishlh
pada batas-batas kekuasaan saya Lihat QS. 11: 88, dan mereka yang mengerjakan ishlh
(Muslihun), sering dipuji dalam al-Quran, yang dilukiskan sebagai pelaksana perintah Tuhan dan
kepada mereka pasti diberi pahala (QS. 33: 31). Lihat Muhammad Imarah, Perang Terminologi,
Islam Versus Barat, terj. Dari Marakat al-Mushthalahat baina al-Gharb wa al-Islam, oleh
Mushthalah Maufur, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 192-194
25
John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlh dalam John L.
Esposito, Voices of Resurgent, h. 33
26
John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlh dalam John L.
Esposito, Voices of Resurgent, h. 22. Pembahasan ishlh dalam tesis ini tidak terfokus pada
definisi ini.

16

pemikiran tajdd dalam Islam, tajdd adalah usaha dan upaya intelektual
Islami untuk menyegarkan

dan memperbaharui pengertian dan

penghayatan umat Islam terhadap agamanya berhadapan dengan


perubahan dan perkembangan masyarakat. Menurutnya, kerja tajdd
adalah kerja ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan ajaranajaran Islam dalam konteks ruang dan waktu. 27
Sementara menurut ulama fikih, kata ishlh diartikan sebagai
perdamaian, yakni suatu perjanjian yang ditetapkan untuk menghilangkan
persengketaan di antara manusia yang bertikai, baik individu maupun
kelompok. 28 Sejalan dengan definisi di atas, Hasan Sadily menyatakan
bahwa ishlh merupakan bentuk persoalan di antara para pihak yang
bersangkutan untuk melakukan penyelesaian pertikaian dengan jalan baikbaik dan damai, yang dapat berguna dalam keluarga, pengadilan,
peperangan dan lain-lain. 29
Sayid Sabiq menerangkan bahwa ishlh merupakan suatu jenis akad
untuk mengakhiri permusuhan antara dua orang yang sedang bermusuhan.
Selanjutnya ia menyebut pihak yang bersengketa dan sedang mengadakan
ishlh tersebut dengan Mushlih, adapun hal yang diperselisihkan disebut
dengan Mushlih 'anh, dan hal yang dilakukan oleh masing-masing pihak
terhadap pihak lain untuk memutus perselisihan disebut dengan Mushlih
'alaih atau badal al- shulh. 30
Dari keterangan di atas dapat diterangkan lebih lanjut bahwa,
meskipun kata ishlh dan kata shulh merupakan sinonim, namun kata
27

Ahmad Syafii Maarif, Al-quran Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah refleksi),
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), cet. I, h. 95
28
Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidyah fi Syarh al-hidyah,
(Beirut: Dar al-Fikr, t,th), Jil. 9, h. 3. Definisi ishlh dalam konteks inilah yang menjadi fokus
pembahasan dalam tesis ini.
29
Hassan Sadyli dkk, Ensikolopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 1982),
h. 1496
30
Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, terj., Kamaludin A. Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah,
(Bangdung: PT. Al-Ma'arif, 1988), jil. Ke-13, h. 189

17

ishlh lebih menekankan arti suatu proses perdamaian antara dua pihak.
Sedangkan kata shulh lebih menekankan arti hasil dari proses ishlh
tersebut yaitu berupa shulh (perdamaian/kedamaian). Dapat juga
dinyatakan bahwa ishlh mengisyaratkan diperlukannya pihak ketiga
sebagai perantara atau mediator dalam penyelesaian konflik tersebut.
Sementara dalam shulh tidak mengisyaratkan diperlukannya mediator.
Selanjutnya

perlu

dijelaskan

pula

mengapa

Sayyid

Sabiq

menggunakan istilah mushlih bagi para pihak yang hendak berishlh, dan
tidak menggunakan istilah mushlih. Agaknya, penggunaan istilah mushlih
ditujukan untuk menunjukkan adanya keinginan berdamai dari kedua
pihak yang berkonflik, dan demikianlah seharusnya dalam ishlh, bukan
salah satu pihak saja. Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan wazan
f'ala mengandung arti musyrakah atau resiprokal.
Hasbi al-Shiddieqy menerangkan lebih lanjut bahwa pengertian
ishlh atau memperbaiki hubungan manusia yang bersengketa ialah
mengeluarkan tali yang kuat dan kokoh di antara sesama manusia yang di
dalamnya telah tumbuh persengketaan, baik mengenai urusan darah,
urusan harta dan kehormatan, maupun mengenai urusan politik dan taktik
perjuangan. 31 Dari pengertian di atas, ia menegaskan bahwa di antara
amal usaha yang lazim diwujudkan oleh umat Islam adalah memperbaiki
hubungan antar orang atau antar golongan. Umat Islam tidak membiarkan
persengketaan itu berjalan terus, melainkan berusaha menghilangkannya
dan menghidupkan kembali hubungan yang baik antara orang-orang yang
bersengketa dan berselisih itu.
Lebih jauh, para ulama fikih mengartikan ishlh dengan perdamaian
antara kaum muslimin dengan ahl al-harb, antara ahl al-'adl (yang berdiri
di pihak kebenaran hukum) dengan ahl baghy (penyelewengan yang keluar

31

Hasbi al-Siddieqy, al-Islam II, (Jakarta: PT. Mutiara Bulan Bintang, 1952), cet. I, h. 448

18

dari hukum), juga antara suami dan istri ketika dikhawatirkan terjadi
perpecahan. 32 Ibn Qudamah membagi ishlh berdasarkan pihak-pihak
yang bersengketa menjadi empat macam yaitu ishlh antara ahl al- 'adl
dengan ahl al- baghy, antara suami dengan istri, antara sesama muslim,
dan antara muslim dengan ahl al- harb. 33
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam, para ulama ushul fikih
juga membahas kata ishlh dan menjadikannya sebagai salah satu metode
menemukan hukum dalam bentuk istishlh/mashlahah. Al-Ghazali
menerangkan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang
mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan madhrat. 34
Tujuan utama dari Syri' (legislator) adalah mashlahah manusia,
demikian diungkapkan oleh al-Sytibi. 35 Lebih jauh ia mendefinisikan
mashlahah sebagai sesuatu yang melindungi kepentingan-kepentingan,
yaitu mashlahah yang membicarakan substansi kehidupan manusia dan
pencapain apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektualnya dalam pengertian yang mutlak. Selanjutnya ia membagi
mashlahah dalam tiga kategori; dharriyyah, hjjiyyah, dan tahsniyah.
Mahslahah kategori dharriyyah (primer) yang tidak bisa tidak harus
terpenuhi, terdiri dari memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dengan demikian, kekuatan mashlahah sebagai dalil dapat dilihat
dari segi tujuan syara dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan
lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia tersebut, juga dari segi tingkat
kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal di atas. 36
32

Saad Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak: Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam, terj.
K.H.A. Sahal Mahfuzh dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 76 Lihat juga Hasbi al-Shiddieqy,
al-Islam II, h. 448-450.
33

Ibn Qudamah al- Maqdisi, al- Mughni, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1994), juz ke-

4, h. 339

34

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), Jil. 2, h. 324
Al- Sythibi, al- Muwfaqt f Ushl al- Ahkm, juz II, tt., t.th. h. 35-36
36
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 327
35

19

Selanjutnya,

dalam

hubungannya

dengan

keserasian

dan

kesejalanannya dengan nash, mashlahah dibagi dalam tiga kategori yang


meliputi: pertama, Mashlahah mutabarah, yaitu mashlahah yang sesuai
dan berdasarkan nash. Sebagai contoh mashlahah bentuk ini adalah
haramnya khamr. Kedua, mashlahah mulghah, yaitu mashlahah yang
bertentangan dengan nash, contohnya adalah pembagian waris satu
banding satu (1:1) bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga,
mashlahah mursalah, yaitu suatu cara penetapan hukum terhadap masalah
yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijma, hanya dengan
mendasarkan pada pemeliharaan Mashlahah dengan syarat sejalan dengan
kehendak syara. 37 Apabila ia diterapkan akan dapat memelihara
kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti pemeliharaan agama, jiwa, keturunan,
akal, dan harta, serta dapat menghilangkan kesulitan. 38
Oleh karena fungsi dan tujuannya untuk memelihara kebutuhankebutuhan pokok dan dapat menghindarkan kesulitan, maka Mashlahah
merupakan tujuan syariat secara umum karena mengarah pada
terwujudnya manfaat dan kebaikan bagi umat. Maka setiap yang dapat
memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut dapat dilakukan sejauh tidak
bertentangan dengan petunjuk-petunjuk nash.
Berbagai variasi makna ishlh di kalangan para ulama sesuai
spesialisasinya masing-masing tersebut pada dasarnya berkisar pada
anjuran kepada manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jelek.
Untuk lebih luas dan dalam mengetahui konsep ishlh, maka perlu kiranya
dideskripsikan perspektif al-Quran dan perspektif sejarah mengenai
ishlh, agar didapatkan pengertian yang lebih komprehensip. Maka
pembahasan berikut akan menjelaskan beberapa ayat yang berkaitan

37

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 329-330


Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994), cet. I. h. 41
38

20

dengan term ishlh disertai penjelasan tentang sebab turun ayat-ayat


tersebut, dilanjutkan dengan pembahasan singkat mengenai sejarah ishlh
dalam rentang sejarah kemanusiaan, khususnya dalam sejarah Islam.

B. Ishlh dalam al-Quran Dan Hadis


Dari berbagai ayat yang menjelaskan tentang ishlh, akan penulis
deskripsikan beberapa ayat yang berkaitan dengan pembahasan dalam tesis
ini. Ayat-ayat tersebut antara lain adalah:

1. QS. al-Nisa (4): 114

Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,


kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia)
memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat
demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami
memberi kepadanya pahala yang besar.
Ketika menafsirkan ayat ini, Rasyid Ridla menjelaskan bahwa ayat
ini diturunkan berkenaan dengan kasus Thu'mah ibn Ubairiq yang dititipi
baju besi oleh seorang Yahudi. Ketika tiba waktunya baju tersebut diambil
oleh pemiliknya, Thu'mah berkonspirasi untuk mengingkari orang Yahudi
tersebut bahkan meremehkannya. Karena terjadi keributan, maka akhirnya
peristiwa ini sampai kepada Nabi. Hampir-hampir saja Nabi membela

21

Thu'mah. Kemudian turunlah ayat ini, menjelaskan kepada Nabi perihal


yang sebenarnya terjadi dan penyelesaiannya. 39
Al-Thabari menjelaskan makna ishlh baina al-ns yaitu
mengadakan perdamaian antara dua pihak yang sedang bertikai dalam
batas-batas yang dibenarkan syariat Islam, untuk menormalisasi
hubungan kedua belah pihak. 40 Yang dimaksud dengan batas-batas yang
dibenarkan syara' adalah tidak diperbolehkan isi perjanjian damai tersebut
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal dan yang
semisalnya. Dari ayat 114 surat al- Nisa' di atas dapat diambil istinbth
hukum antara lain: boleh berdesas-desus atau berbisik-bisik dalam hal
sedekah, amar ma'ruf nahi munkar, perdamaian, dan anjuran berlaku adil
walaupun kepada non muslim.
Jika diteliti lebih lanjut maka ayat 114 surat al- Nisa' di atas -dalam
kaitannya dengan hukum Islam- merupakan kasus perdata berupa
wanprestasi terhadap perjanjian, atau kasus pidana berupa penggelapan
yang dilakukan oleh Thu'mah terhadap teman Yahudinya. Perbuatan
Thu'mah telah menyebabkan terjadinya perselisihan antara Thumah
dengan teman Yahudinya dan diselesaikan oleh Rasulullah dengan
perdamaian

antara

keduanya

dengan

keharusan

atas

Thumah

mengembalikan baju besi milik teman Yahudinya tersebut.

2. QS. al-Anam (6): 54

39

Rasyid Ridla, Tafsir al- Manr, (Kairo: al- Hayat al-Mishriyahal- 'Ammah al- Kitab,
1975), juz ke-2, h. 406-407
40
Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarr al- Thabari, Tafsr al- Thabari, (Mesir: Syirkah
Maktabah Musthafa al- Babi al- Halabi wa auladuhu, 1373), jil. ke-4, juz ke-5, h. 276

22

Artinya: Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu


datang kepadamu, Maka Katakanlah: "Salaamun alaikum.
Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu)
bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara
kamu lantaran kejahilan, Kemudian ia bertaubat setelah
mengerjakannya
dan
mengadakan
perbaikan,
Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebab turunnya surat al-Anam ayat 54 di atas ada kaitannya dengan
ayat-ayat sebelumnya (QS. 6: 51, 52, 53) yang menerangkan tentang
larangan kepada kaum mukminin untuk mengadakan penilaian martabat
terhadap sesama manusia. Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa
pembesar Quraisy lewat di hadapan Rasulullah saw. yang sedang duduk
bersama Khabab ibn al-Arat, Suhaib, Bilal, dan Ammr (mereka adalah
para hamba sahaya yang sudah dimerdekakan). Mereka berkata: Hai
Muhammad, apakah engkau rela duduk setingkat dengan mereka, adakah
mereka itu telah diberi nikmat oleh Allah lebih dari pada kami. Sekiranya
engkau usir mereka, kami akan menjadi pengikutmu. Maka Allah
menurunkan ayat 51,52, dan 53 tersebut yang memerintahkan kepada Nabi
Muhammad untuk menyampaikan wahyu yang melarang kaum mukminin
untuk menilai derajat seseorang, karena sesungguhnya Allah lebih
mengetahui orang-orang yang bersyukur kepada-Nya. Setelah itu para
pembesar Quraish tersebut meminta maaf karena ucapan mereka itu.
Kemudian turunlah ayat selanjutnya, yaitu QS. al-Anam(6): 54 sebagai
jaminan ampunan kepada orang-orang yang taubat akibat berbuat
kesalahan karena ketidaktahuannya. 41

41

Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis


Turunnya Ayat-ayat Al-Quran), (Bandung: Penerbit CV. Diponegoro, 1985), cet. V, h. 205-206

23

Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh al-Faryabi dan Ibn Abi
Hatim yang bersumber dari Mahan, 42 ia berkata bahwa pada suatu waktu
datang menghadap kepada Rasulullah saw. orang-orang yang berkata:
Kami mengerjakan dosa-dosa yang besar. Rasulullah SAW. tidak
memberikan jawaban apapun sampai kemudian turun ayat ini, yang
menjelaskan bahwa taubat orang-orang yang berbuat dosa tanpa
pengetahuan, kemudian taubat itu diikuti dengan berbuat baik akan
diterima oleh Allah swt.

3. QS. al-Maidah (5): 39

Artinya: Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu)


sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka
sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebab turun ayat ini tidak lepas dari ayat sebelumnya yaitu ayat 38,
bahwa pada zaman Rasulullah ada seorang perempuan melakukan
pencurian. Kemudian perempuan itu dipotong tangannya sebagaimana
yang diperintahkan Allah pada ayat 38 ini. Pada suatu waktu dia bertanya
kepada Rasulullah: Adakah tobatku masih diterima wahai Rasulullah?,
Sehubungan dengan pertanyaan perempuan itu Allah SWT. Menurunkan
ayat ke-39 yang dengan tegas menyatakan bahwa Allah selalu menerima
taubat seseorang yang telah melakukan kejahatan, asalkan dia bersedia
untuk memperbaiki diri dan mengganti perbuatan jahat itu dengan

42

Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Whidy al-Nisabury, Asbb al-Nuzl, (Beirut: Dar alFikr, 1994), h. 122, lihat juga al-Imam Jalluddn al-suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat suci AlQuran, terj. H.A Musthafa, (Semarang: Penerbit CV. Sy-Syifa, 1993), cet. I. h. 206-207

24

perbuatan yang baik (H.R. Ahmad dan yang lain dari Abdillah ibn
Amrin). 43

4. QS. Ali Imran (3): 89

Artinya: Kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan


mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dikemukakan oleh al-Nasai, Ibn Hibban dan al-hakim yang
bersumber dari Ibn Abbas bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar
murtad setelah masuk Islam, dan ia menyesal atas kemurtadannya. Ia
minta kepada kaumnya untuk mengutus seseorang menghadap Rasulullah
SAW. untuk menanyakan apakah diterima taubatnya. Maka turunlah ayat
tersebut di atas (QS. 3: 89), dan disampaikan oleh utusan itu kepadanya
sehingga ia Islam kembali. 44
Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh Musaddad di dalam
musnadnya dan Abd al-Razzaq yang bersumber dari Mujahid menyatakan
bahwa al-Harts ibn Suwaid menghadap kepada Nabi SAW. dan masuk
Islam. Kemudian pulang kepada kaumnya dan kufur lagi. Maka turunlah
ayat tersebut di atas. Ayat itu dibacakan kepadanya oleh salah seorang
kaumnya. Maka berkata al-Harts: Sesungguhnya Allah yang paling benar

43

A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-quran, (Jakarta: Rajawali


Press, 1989), cet. I, h. 21
44
Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidy al-Nisabury, Asbab al-Nuzul, h. 63, Lihat juga
Qamarudin saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis Turunnya Ayatayat Al-Quran), h. 101

25

di antara tiga. Kemudian ia kembali masuk Islam dan menjadi seorang


muslim yang patuh. 45

5. QS. al-Nisa (4): 35

Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara


keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki
dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Hasan bahwa pada suatu
waktu

datanglah

seorang

wanita

menghadap

Rasulullah

untuk

mengadukan masalahnya, bahwa mukanya ditampar oleh suaminya.


Rasulullah

bersabda:

Suamimu

itu

harus

diqishash

(dibalas).

Sehubungan dengan sabda itu, maka turunlah ayat 35 yang dengan tegas
memberikan ketentuan, bahwa bagi laki-laki ada hak untuk mendidik
istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri.
Setelah mendengar keterangan ayat ini, wanita itu pulang dengan tidak
menuntut qishash terhadap suaminya. 46
Diriwatkan pula oleh Ibn Mardawaih dan Ali ibn Abi Thalib bahwa
suatu waktu datang seorang laki-laki dari kalangan sahabat Anshar
menghadap Rasululah bersama istrinya. Istrinya mengadu kepada
Rasulullah: Wahai Rasulullah suamiku ini telah memukul mukaku
sehingga terdapat bekas luka. Rasulullah bersabda: Suamimu tidak hak
45
46

Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidy al-Nisabury, Asbab al-Nuzul, h. 63


A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-quran, h. 238

26

untuk melakukan demikian, dia harus diqishash. Sehubungan dengan itu


maka diturunkanlah ayat ke 35 dari surat al-Nisa sebagai ketegasan
hukum, bahwa seorang suami berhak untuk mendidik istrinya. Dengan
demikian, hukum qishash yang hendak dijatuhkan Rasulullah menjadi
gugur, tidak jadi dilaksanakan. 47
Berkenaan dengan ayat tersebut di atas, Abd al-Razzaq dari
Ubaidah bercerita:
Aku melihat Ali ibn Abi Thalib r.a. tatkala didatangi oleh seorang
perempuan bersama suaminya, yang masing-masing diantar oleh
sekelompok orang dari golongannya. Mereka datang untuk
mengadukan perpecahan (syiqaq) yang timbul antara dua orang
suami-istri itu. Kedua golongan menunjuk orang yang mewakili
masing-masing untuk menjadi juru damai. Kepada kedua Hakam yang
diajukan itu, Imam Ali ibn Abi Thalib berucap: Apakah kamu berdua
mengetahui apa kewajiban kalian?, kewajiban kalian ialah menyelidiki
sebab perpecahan kedua suami-istri ini, jika menurut pandangan
kalian, keduanya masih dapat dipertemukan kembali maka
damaikanlah, dan sebaliknya jika kamu berdua berpendapat, untuk
kemaslahatan mereka berdua lebih baik bercerai, maka
perceraikanlah. 48

6. QS. al-Baqarah (2): 220

Artinya: Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu


tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka
secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan
mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah
mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang
47
48

A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-quran, h. 239


Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Juz 5-6, h. 54-55

27

mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki,


niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Sebab turun ayat ini adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu
Dawud, al-Nasai, dan al-Hakim yang bersumber dari Ibn Abbas yang
berkata bahwa ketika turun ayat walaa taqrab mla al-yatmi ill billat
hiya ahsan (QS. Al-Anam (6): 152) dan ayat innalladzna yakulna
amwla al-yatm zhulman, sampai akhir ayat (QS. Al-Nisa(4): 10),
orang-orang yang memelihara anak yatim memisahkan makanan dan
minumannya dari makanan dan minuman anak-anak yatim yang menjadi
tanggung jawabnya itu. Hal ini mereka lakukan karena mereka merasa
khawatir jangan-jangan mereka termasuk dalam kategori orang-orang yang
memakan harta milik anak-anak yatim. Demikian juga sisanya dibiarkan
begitu saja sampai membusuk kalau tidak dihabiskan olen anak-anak
yatim itu. Lalu mereka menghadap Rasulullah untuk menceritakan hal
tersebut. Maka turunlah ayat (QS. Al-baqarah (2): 220) yang pada
pokoknya membenarkan men-tasarruf-kan harta benda anak-anak yatim
asal dengan ketentuan dan cara yang baik, yang tidak merugikan anakanak yatim tersebut kelak ketika sudah dewasa. 49

7. QS. al-Baqarah (2): 224

Artinya: Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu


sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan
mengadakan ishlh di antara manusia. Dan Allah Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui.

49

A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-quran, h. 99

28

Diriwayatkan oleh Ibn Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa
ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan sumpah Abu Bakar untuk tidak
memberi nafkah lagi kepada Misthah (seorang fakir miskin yang hidupnya
menjadi tanggungannya). Hal ini ia lakukan lantaran Misthah termasuk
orang yang ikut serta memfitnah Siti Aisyah. Ayat tersebut turun sebagai
teguran agar sumpah itu tidak menghalangi seseorang untuk berbuat
kebajikan. 50

8. QS. al-Hujurat (49): 9

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah
kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.
Ada beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini. Pertama,
diriwayatkan oleh al-Syaikhan dari Anas, bahwa Nabi diminta
mengunjungi Ibn Ubay. Ketika Nabi sampai di suatu tempat bernama
Sabikhah, keledai yang dikendarai Nabi kencing. Melihat itu, Ibn Ubay
berkata: Jauhkan keledaimu dariku, sesungguhnya baunya menyakitiku.
50

Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis


Turunnya Ayat-ayat Al-Quran), h. 76.

29

Salah seorang sahabat yaitu Ibn Rawahah berkata: Sesungguhnya baumu


lebih busuk dari bau keledai ini. Maka salah seorang pengikut Ibn Ubay
membalas sehingga terjadi perang mulut yang akhirnya menimbulkan
perang dengan menggunakan tangan dan sandal. Maka turunlah ayat ini
sebagai perintah untuk menghentikan perkelahian dan menciptakan
perdamaian. 51
Kedua, Menurut riwayat dari Ibn Jarir dari Ibn Abi Hatim dari alSudi, dia berkata: Umran, salah seorang dari kalangan Anshar
mempunyai istri bernama Ummu Zaid. Istrinya ingin menjenguk
keluarganya tetapi tidak diizinkan oleh Umran, bahkan ia menyekap
istrinya. Kemudian istrinya mengutus seorang perempuan pembantunya
untuk melaporkan perihalnya kepada keluarganya. Maka datanglah
keluarga Ummu Zaid, menuntut agar ia dibebaskan. Tetapi Umran
mempertahankannya.

Maka

terjadilah

dorong-mendorong

dan

pertengkaran antara suami istri itu disertai oleh kaumnya masing-masing.


Maka turunlah ayat ini kepada Nabi untuk mendamaikan keduanya. 52

9. QS. al-Anfal (8): 1

Artinya: Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta


rampasan perang. Katakanlah: Harta rampasan perang
kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada
Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu; dan
51

Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, (Mesir: Muhammad Ali Shubaih wa
Auladuh, 1953), h. 87, lihat juga Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar
Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran), h. 472.
52
Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, h. 87

30

taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orangorang yang beriman.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasai, Ibn Hibban dan al-Hakim
dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW. bersabda: Barangsiapa yang
membunuh (musuh), ia akan mendapat sejumlah bagian tertentu dan
barang siapa yang menawan musuh, ia pun akan mendapat bagian
tertentu pula. Pada waktu itu orang-orang tua tinggal menjaga bendera,
sedang para pemuda maju ke medan jihad menyerbu musuh dan
mengangkut ghanimah. Berkatalah orang-orang tua kepada para pemuda:
Jadikanlah kami sekutu kalian, karena kami pun turut bertahan dan
menjaga tempat kembali kalian. Hal ini mereka tujukan kepada Nabi
SAW. maka turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa ghanimah itu
merupakan ketetapan Allah dan jangan menjadi bahan pertengkaran. 53
Adapun ishlh sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. adalah
sebagaimana diriwayatan oleh Abu Dawud sebagai berikut:



Artinya: Perdamaian itu boleh (dilakukan) di antara muslimin, kecuali ishlh
yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
(H.R. Abu Dawud, Hakim, dan Ibn Majah dan ia menshahihkannya
dari Abu Hurairah)
Juga hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi sebagai berikut:




Artinya: Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka terserah kepada wali
terbunuh, melakukan qishash atau mengambil diyat dengan 30
hiqqah, 30 jadzaah, dan 40 khalifah. Apa-apa yang disepakati
dalam perdamaian, maka hal itu bagi mereka.

53

Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul (Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-ayat Al-Quran), h. 219

31

C. Ishlh dalam Sejarah


1. Ishlh Pada Masa Pra Islam
Ishlh dalam arti perjanjian antar dua kelompok yang bertikai untuk
mengakhiri pertikaian sebenarnya telah dikenal jauh pada masa pra Islam.
Oleh karena itu, Majid Khadduri menyebutnya sebagai institusi yang
sangat tua lagi antik. Institusi ini bertujuan untuk menyelesaikan
permusuhan dengan cara damai, untuk merekonsiliasi antar pihak, dengan
berusaha mendamaikannya dengan mengadakan pernyataan persetujuan
yang bersifat kompromistis, tanpa adanya tekanan dari salah satu pihak
yang lebih kuat terhadap lawannya yang lebih lemah. 54
Dikatakan tua karena institusi ini telah ada dan diterapkan prosedurprosedurnya sejak sekitar millenium keempat sebelum masehi atau
tepatnya tahun 3100 SM., yaitu perjanjian damai antara Ennatum, raja
Lagash, salah satu negara kota terbesar di Mesopotamia dengan
masyarakat Umma, satu negara kota lainnya di Mesopotamia. Perjanjian
damai itu dapat menyelesaikan perselisihan yang telah berlangsung
lama. 55 Begitu juga yang terjadi di Mesir dan daerah sekitarnya.
Pada masa Arab pra Islam, para ketua suku dan ketua adat (dukun),
biasa memerankan diri sebagai penengah pertikaian dalam sukunya. Salah
satu yang terkenal adalah para tetua dari Bani Tamim yang mempunyai
reputasi cukup baik dalam menyelesaikan pertikaian antar suku. Orangorang dengan reputasi tinggi inilah yang biasa diminta atau berperan
sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar pihak. Mereka biasa
memanfaatkan momen budaya tahunan seperti perayaan pasar Ukz, di
mana bangsa Arab dari berbagai suku berkumpul untuk bergembira dalam
54

Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, (Clark, New Jersey: The Lawbook
Exchange Ltd., 2006), h. 231. Dalam karyanya tersebut, ia menggunakan istilah arbitrase dalam
menyelesaikan berbagai konflik. Maka dalam konteks ini, arbiter adalah mediator dari para pihak
yang berkonflik.
55
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 231

32

festival seni, budaya, dan ekonomi. Atau juga dengan memanfaatkan


momen bulan haram di mana perang dilarang selama masa itu.
Salah satu kasus peperangan antar suku yang dapat didamaikan oleh
para mediator handal ini adalah perang antara suku Abs dan suku
Dhubyan yang berhasil dimediasi oleh al-Harits ibn Auf dan Kharija.
Begitu juga Rasulullah sebelum kenabian, menjadi mediator dan arbiter
dalam menyelesaikan konflik antar pemimpin Arab dalam hal siapa yang
paling berhak meletakkan hajar aswad di tempatnya setelah proses
rehabilitasi Kabah selesai. 56
Bagi mereka, meletakkan kembali hajar aswad di tempatnya adalah
tugas terakhir dan paling prestisius. Oleh karena itu wajar kalau kemudian
mereka saling berebut untuk menempatkannya kembali. Keberhasilan
suatu suku mengembalikan hajar aswad kembali di tempatnya menjadi
kebanggaan tersendiri bagi suku tersebut. Di sinilah letak krusialnya
permasalahan peletakan kembali hajar aswad. Dengan kebijaksanaannya,
Muhammad SAW. membentangkan selembar kain dan meletakkan hajar
aswad di tengah-tengah kain, kemudian mempersilahkan tiap kepala suku
memegang ujung kain dan mengangkatnya secara bersama-sama. 57

2. Ishlh Pada Masa Islam


Dalam sejarah Islam, kita mengetahui beberapa peristiwa penting
dalam perkembangan Islam yang dilakukan oleh Rasulullah dan para
sahabat, khususnya dalam hal membuat perjanjian damai dengan pihak
luar Islam maupun mendamaikan antar pihak tertentu dalam Islam yang
sedang bertikai. Pada tahun kesepuluh dan kesebelas kenabian, tepatnya
setelah isra mi'raj, Rasulullah berhasil mendamaikan dua suku Arab

56

Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 232-233, lihat juga Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 17
57
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 18

33

utama Yatsrib yang selalu bertikai yaitu Aus dan Khazraj. Peristiwa ini
menjadi titik tolak hijrah Rasulullah dari Mekah ke Yatsrib yang kemudian
berubah nama menjadi Madinah. Kemudian setelah sampai di Madinah,
Rasulullah mengadakan perjanjian damai dengan berbagai kabilah di
Madinah dan sekitarnya. 58 Salah satu momen penting pada awal periode
Madinah adalah terjadinya arbitrase antara Rasulullah dengan Bani
Quraizhah, salah satu suku Yahudi, di mana kedua belah pihak
mewakilkan penyelesaian perselisihan kepada seoarang mediator yang
dipilih dan disepakati kedua belah pihak. 59
Pada tahun keenam Hijrah, Nabi memimpin sekitar seribu jamaah
haji dari Madinah untuk melakukan ibadah haji ke Mekah. Penduduk
Mekah tidak mengizinkan mereka masuk kota, hingga akhirnya diadakan
sebuah perjanjian yang dinamakan perjanjian Hudaibiyah, yang isinya
antara lain, pertama, Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Kabah
pada tahun ini, tapi ditangguhkan sampai tahun depan. Kedua, Lama
kunjungan hanya dibatasi tiga hari saja. Ketiga, Kaum muslimin wajib
mengembalikan orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah.
Sebaliknya, Quraisy tidak wajib mengembalikan orang Madinah yang
kembali ke Mekah. Keempat, Selama sepuluh tahun diadakan gencatan
senjata antara penduduk Mekah dan Madinah. Kelima, Tiap kabilah yang
ingin masuk dalam persekutuan baik muslimin maupn Quraisy, bebas
melakukannya tanpa mendapat rintangan. 60
Pada tahun 41 H, yaitu masa akhir Khulafa Rasyidun, sepeninggal
Ali Ibn Abi Thalib, kekhalifahan dilanjutkan oleh anaknya Hasan. Oleh
karena kedudukannya yang lemah secara politik sementara kondisi
58

105

59

Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Pustaka al- Husna, 1983), h.

Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 233-234


Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antarnusa,
1990), h. 403
60

34

permusuhan antar masyarakat Islam semakin parah dan memburuk, maka


diadakan perjanjian damai antara dirinya dengan Muawiyah ibn Abi
Sufyan. Terlepas dari apa isi perjanjian tersebut dan bagaimana sikap para
pihak dalam melaksanakan isi perjanjian di masa sesudahnya, perjanjian
ini berhasil mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan yaitu
Muawiyah. Tahun dilaksanakannya perjanjian ini kemudian disebut
dengan am jamah (tahun persatuan). 61
Setelah masa sahabat, bahkan jauh pada masa sesudahnya, sejarah
juga merekam membaiknya hubungan antara kelompok Sunni dan Syiah
pada masa khilafah Umawiyah khususnya pada masa Khalifah Umar ibn
Abd al-Aziz. Syiah -yang menjadi oposisi waktu itu- mulai berdekatan
kembali dengan pemerintah dan terjalin hubungan yang baik. Di samping
itu, berabad-abad sesudahnya, yaitu pada tanggal 2 November 1192,
dibuat perjanjian antara tentara Islam yang dipimpin Shalahuddin alAyyubi dengan tentara salib yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam
perjanjian damai itu dinyatakan bahwa orang-orang Kristen yang hendak
berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu. 62
Khusus mengenai perdamaian antara suku Aus dan Khazraj yang
dimediasi oleh Rasulullah, diterangkan bahwa berawal dari pertemuan
Nabi dengan beberapa orang dari suku Khazraj yang sedang mengunjungi
Mekah untuk berhaji dan untuk sebuah misi tertentu.
Bahwa setiap musim haji, Rasulullah menggunakannya sebagai
kesempatan berdakwah, ia masuk dari satu kemah jamaah haji ke kemah
jamaah yang lain untuk berdakwah. Hal ini juga Rasulullah lakukan
dalam rangka mencari kemungkinan dukungan baru baginya, mengingat
kedudukannya di Mekah yang semakin terjepit oleh embargo Quraisy

61

Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Penerbit Kota


Kembang, 1989), h. 64
62
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 47, 78

35

sepeninggal Khadijah dan Abu Thalib. Dalam misi dakwahnya itu,


Rasulullah bertemu dengan anggota suku Khazraj dari Yatsrib tersebut.
sekelompok orang Yatsrib tersebut berjumlah 6 orang, semuanya dari suku
Khazraj, yang membawa misi mencari bantuan kepada suku Quraisy
karena dalam peperangan terakhir dengan Aus, mereka mengalami
kekalahan. 63
Dari percakapan mereka dengan Rasulullah, terlihat bahwa mereka
amat tertarik dengan ajaran agama baru yang disampaikan oleh Rasulullah,
hingga salah satu dari mereka berkata: Bangsa kami telah lama terlibat
dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka benarbenar merindukan perdamaian. Kiranya Tuhan mempersatukan mereka
kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran yang engkau bawa. Oleh
karena itu, kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang
kami terima dari engkau ini. 64 Mereka juga sepakat untuk kembali dan
melapor kepada Rasulullah pada musim haji berikutnya.
Dari perkataan mereka di atas dapat disimpulkan bahwa
keterpesonaan dan kepercayaan mereka terhadap pribadi dan ajaran
Rasulullah telah membuat keenam orang dari suku khazraj ini berpindah
agama, dari agama berhala kepada agama tauhid sesuai ajaran Nabi. Lebih
dari itu, mereka juga berkeinginan kuat untuk menjadikan Rasulullah
sebagai penengah/mediator dalam menyelesaikan pertikaian antara mereka
dengan suku Aus. Mereka yakin kepada kenabian, ajaran, dan pribadi
Rasulullah, bahwa orang ini dapat melakukan tugas itu, bahkan lebih dari
itu, ia mampu menjadi pemimpin tertinggi bagi dua suku yang berseteru,
bahkan seluruh penduduk Yatsrib.

63

Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2001), h. 194
64
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 24, Lihat juga Karen Armstrong, Muhammad
Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah, h. 195-196

36

Oleh karena itu, pada musim haji tahun 621 M., enam muslimin
baru dari Yatsrib tersebut kembali ke Mekah sesuai rencana, sambil
membawa tujuh orang, dua di antaranya dari suku Aus, mereka bertemu
dengan Nabi di Aqabah, tempat yang sama dengan pertemuan mereka
yang pertama, dan menyatakan sumpah resmi untuk menyembah Allah
dan sumpah setia kepada Rasulullah.
Isi dari sumpah setia itu, -selain bersyahadat tentunya- sebagaimana
diceritakan salah satu dari mereka adalah bahwa mereka bersumpah setia
kepada sang Rasul bahwa mereka tak akan menyembah selain kepada
Allah, tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak keturunan mereka,
membantai tetangga, akan patuh kepada Muhammad mengenai apa yang
benar. Juga, bahwa Jika mereka memenuhi sumpah ini surga akan menjadi
milik mereka. Jika mereka melakukan dosa-dosa itu maka Tuhan akan
menghukum atau memaafkan, sebagaimana Allah kehendaki. 65
Di sini terlihat kecerdasan Nabi dan juga tentunya orisinalitas ajaran
yang dibawanya dari Allah. Bahwa agama yang ia bawa tidak hanya
mensyaratkan ketundukan total kaum muslim kepada Tuhan yang satu dan
Rasul-Nya, tetapi juga menanamkan penghargaan pada orang lain sebagai
individu dengan berbagai hak yang melekat padanya. Ajaran yang
merupakan moralitas baru ini membuat masyarakat Yatsrib -dan
masyarakat manapun yang menerima dakwah Nabi- menjadi masyarakat
baru, masyarakat dengan kesadaran bahwa keberhasilan seseorang atau
suatu golongan tidak selalu berarti kerugian bagi orang atau kelompok
lain. Bahwa kemauan untuk secara bersama-sama menggapai keberadaban
dan kemajuan akan dapat menentramkan kehidupan.
Sumpah setia sekelompok masyarakat Yatsrib di Aqabah itu
kemudian biasa disebut dengan baiah al-Aqabah al-ula, dan menjadi

65

Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, h. 200

37

tonggak awal perjuangan Nabi dan para sahabat, karena setelah baiah alaqabah kedua akan dilanjutkan dengan hijrah Nabi dan para sahabat ke
Yatsrib.

D. Ruang Lingkup Ishlh


Berdasarkan uraian definisi, asbab al-nuzul ayat, dan ishlh dalam
sejarah di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup ishlh dapat meliputi
ruang lingkup pribadi, keluarga, sosial (masyarakat), dan negara. Jika
dijabarkan lebih lanjut, maka ruang lingkup ishlh tersebut dapat
dideskripsikan lebih luas lagi, yaitu bahwa para pihak yang terlibat konflik
dapat terdiri dari:
1. individu dengan Tuhan, individu dengan individu dalam keluarga dan
sosial, individu dengan keluarga dalam keluarga dan sosial, individu
dengan sosial dalam sosial dan negara, dan individu dengan negara dalam
negara.
2.

Keluarga dengan keluarga dalam keluarga dan sosial, keluarga dengan


sosial dalam sosial, keluarga dengan negara dalam negara.

3. Sosial dengan sosial dalam sosial dan negara, sosial dengan negara dalam
negara.
4. negara dengan negara dalam internasional
Agaknya pembagian ruang lingkup ishlh di atas cukup relevan jika disebut
sebagai ruang lingkup pelaku/subyek ishlh.
Adapun pembagian ruang lingkup berdasarkan lapangan terjadinya
konflik/perihal konflik yang hendak diishlhkan dapat meliputi:
1. Konflik individu
2. Konflik keluarga,
3. Konflik sosial, dan
4. Konflik negara

38

Agaknya relevan pula jika pembagian ruang lingkup ishlh dalam konteks
lapangan/perihal konflik ini disebut sebagai obyek ishlh.
Menurut penulis, ulama fikih terdahulu menekankan pembahasan
subyek dan obyek ishlh hanya dalam ishlh antar individu dalam masyarakat,
antar individu dalam keluarga, antar individu dalam hukum, dan antar negara.
Sementara mengenai konflik sosial yaitu konflik antar masyarakat atau antar
golongan yang berbeda suku, agama, dan pandangan belum dibahas.
Mengenai rukun dan syarat ishlh, para ulama fikih hanya membahas
rukunnya saja, tanpa membahas syarat dari masing-masing rukun tersebut
secara lebih rinci, demikian pula kurangnya pembahasan ulama mengenai
ishlh ini dalam konteks ushul fikih. Oleh karena itu pengembangan
pembahasan ishlh dalam fikih dan ushul fikih perlu dilakukan.

BAB III
DASAR-DASAR HUKUM ISHLH

A. Kedudukan Ishlh Dalam Mashlahah


Pembahasan ini sangat berkait erat dengan pembahasan teori maqshid
al-syarah. Bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan fikih kontemporer,
pengetahuan tentang maqshid al-syarah mutlak diperlukan dalam rangka
memahami hakikat dan peranannya dalam penetapan hukum. Oleh karena itu
perlu dijelaskan tentang teori ini, yang kemudian diakhiri dengan melihat
hubungan antara teori ini dengan ishlh dan pererapannya.
Secara bahasa, maqshid al-syarah berarti maksud atau tujuan
disyari'atkan hukum dalam Islam. maka bahasan utama dalam teori ini adalah
masalah hikmah dan 'illah ditetapkannya hukum. 66 Kajian tentang tujuan
ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam
bidang ushul fikih. Dalam perkembangan berikutnya, kajian ini juga
merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam. Sehingga dapat
dikatakan bahwa istilah maqshid al-syari'ah identik dengan istilah filsafat
hukum Islam yang melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang tujuan
ditetapkannya suatu hukum. 67
Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum Islam guna menjawab persoalan-persoalan hukum
kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur'an dan
Hadis. Juga, tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka menetapkan, apakah
terhadap suatu kasus masih dapat diterapkan satu ketentuan hukum yang sama
atau tidak karena adanya perubahan struktur sosial. Dengan demikian,
66

Ahmad al-Raisuni, Nazhariyyal at-Maqdshid 'Inda al-Syathibi, (Rabath: Dar al-Aman,


1991), h. 67
67
Khalid Mas'ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq Al-Syathibi's Life and
Thought, (Delhi: International Islamic Publishers, 1989), h. 325-326

39

40

pengetahuan tentang Maqshid al-syarah menjadi kunci bagi keberhasilan


ijtihad. Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan persoalan hukum
disini adalah tentu persoalan hukum yang menyangkut bidang mu'amalah
yang dapat diketahui makna dan rahasianya oleh akal manusia. 68 Dalam
penelusuran terhadap masalah-masalah mu'amalah ini, mujtahid perlu
mempertanyakan, mengapa Allah SWT. dan Rasul-Nya menetapkan hukum
tertentu dalam bidang mu'amalah. Untuk selanjutnya mempertanyakan,
apakah suatu aturan hukum tertentu masih dapat diterapkan terhadap kasus
hukum yang lain.
Lebih jelasnya, dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer,
perlu diteliti lebih dahulu hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap
kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian
terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya, bahwa dalam
menerapkan nash terhadap satu kasus yang baru, kandungan nash harus
diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyari'atkan hukum tersebut.
Setelah itu perlu dilakukan studi untuk menentukan kelayakan, apakah ayat
atau Hadis tertentu layak untuk diterapkan pada kasus yang baru itu. Boleh
jadi ada kasus hukum baru yang mirip dengan kasus hukum yang terdapat
dalam Al-Qur'an dan Hadis, padahal setelah diadakan penelitian yang
seksama, ternyata kasus itu tidak sama. Konsekuensinya, kasus tersebut tidak
dapat disamakan hukumnya dengan kasus yang ada pada kedua sumber
hukum yang utama itu. Di sinilah letak pentingnya pengetahuan tentang tujuan
umum disyari'atkan hukum dalam Islam sebagaiman telah dilakukan oleh para
ahli ushul fikih terdahulu.

68

Satria Efendi, "Maqashid al-Syari 'at dan Perubahan Sosial", dalam Dialog (Jakarta:
Badan Litbang Depag, No, 33 tahun XV, Januari, 1991), h. 29

41

Seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam


Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintahperintah dan larangan-larangan, demikian ditegaskan oleh al-Juwaini.
Kemudian ia mengelaborasi lebih lanjut Maqshid al-syarah itu dalam
kaitannya dengan pembahasan 'illah dalam qiys. Menurut pendapatnya,
dalam kaitannya dengan 'illat, ashl dapat dibedakan menjadi tiga kelompok,
yaitu ashl yang masuk kategori dharuriyyah, hjjiyah mmah, dan makramah.
Dalam istilah lain kategori ketiga biasa disebut tahsniyyah. 69
Pemikiran al-Juwaini di atas agaknya dikembangkan dan diberi bentuk
oleh al-Ghazali. Ia menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan
pembahasan al-munsabah al-mashlahiyyah 70 dalam qiys, dan lebih jauh lagi
dalam pembahasan istishlh. 71 Baginya, mashlahah adalah memelihara
maksud al-Syri'. Kemudian ia memerinci mashlahah itu kepada lima hal,
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima aspek
mashlahah ini berada pada peringkat yang berbeda ditinjau dari segi
tujuannya, yaitu peringkat dharurah, hajah dan tahsinah. Agaknya, dari sini
teori Maqshid al-syarah sudah mulai terlihat bentuknya.
Selanjutnya, secara khusus aspek utama maqshid al-syarah
dikembangkan oleh 'Izzu al-Din ibn 'Abdi al-Salm dalam kitabnya, Qaw'id
al-Ahkm fi Mashlih al-Anm, ia mengejawantahkan mashlahah dalam
bentuk

dar'u

al-mafsid

wa

jalbu

al-manfi'.

Baginya

mashlahah

dunyawiyyah tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu dharuriyyah,


hjjiyah dan tatimmah atau takmilah. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa taklf
bermuara pada kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. 72
69

Abd. Al-Malik Ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, (Kairo:
Dar al-Anshar, 1400 H.), Jil. II, h. 923
70
al-Ghazali, Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Shibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta'lil,
(Baghdad: Mathba'at al-Irsyad, 1971), h. 159
71
al-Ghazali, al-Mustasyfa, (Baghdad: Mathba'at al-Irsyad, 1971), juz I, h. 250
72
Ibn 'Abdi al-Salam,Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (K.airo: al-Istiqamat, tth.),
Jil. I, h. 9.

42

Adapun ahli ushul fikih yang membahas teori Maqshid al-syarah


secara lebih khusus, sistematis dan jelas adalah al-Sythibi dari kalangan
mazhab Maliki. Ia secara tegas menyatakan, bahwa tujuan utama Allah SWT
mensyari'atkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan
di akhirat. Karena itu, pembebanan dalam bidang hukum harus bermuara pada
tujuan hukum tersebut. Sebagaimana ulama sebelumnya, ia juga membagi
peringkat mashlahah menjadi tiga peringkat, yaitu dharriyyah, hjjiyah dan
tahsniyyah. Yang dimaksud dengan mashlahah baginya adalah memelihara
lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 73
Berdasarkan pernyataan para ahli ushul fikih di atas dapat dipahami,
bahwa tujuan Allah SWT mensyari'atkan hukum adalah untuk memelihara
mashlahah manusia dan menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di
akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklf, yang pelaksanaannya
sangat tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, yaitu alQur'an dan Hdis. Untuk tujuan itu, berdasarkan penelitian para ahli ushul
fikih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta yang selanjutnya ia sebut sebagai al-kulliyyt al-khams.
Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan jika ia dapat
memelihara kelima aspek pokok itu, sebaliknya ia akan merasakan adanya
mafsadah, jika ia tidak dapat memeliharanya dengan baik. Menurut alSythibi, penetapan kelima pokok di atas didasarkan atas dalil-dalil al-Qur'an
dan Hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al-qaw'id al-kulliyyt dalam
menetapkan al-kulliyyt al-khams. Ayat-ayat Al-Qur'an yang dijadikan dasar
pada umumnya adalah ayat-ayat Makiyyah yang tidak dinaskh dan ayat-ayat
Madaniyyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makiyyah. Di antara ayat-ayat itu
adalah ayat-ayat yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan
membunuh jiwa, larangan meminum minuman yang memabukkan, larangan
73

Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (tt.: Dar-alFikr, tth.), Jil. II, h. 5

43

berzina dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
Ia berkesimpulan bahwa oleh karena dalil-dalil yang digunakan untuk
menetapkan al-kulliyyt al-khams termasuk dalil yang qath'i, maka ia juga
dapat dikelompokkan sebagai qath'i. Dalam artian, karena landasan hukum
untuk menetapkan al-kulliyt al-khams dapat dipertanggungjawabkan, maka ia
dapat pula dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum. 74
Guna menetapkan hukum, kelima unsur pokok di atas dibedakan
menjadi tiga peringkat, dharriyyah,

hjjiyah, dan

tahsniyyah.

Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya.


Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya, manakala kemaslahatan
yang ada pada masing-masing peringkat itu satu sama lain bertentangan.
Dalam hal ini peringkat dharriyyah menempati urutan pertama, disusul oleh
peringkat hjjiyah, kemudian disusul oleh tahsniyyah. Namun dari sisi lain
dapat dilihat bahwa peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua, dan
peringkat kedua melengkapi peringkat pertama.
Yang dimaksud dengan memelihara kelompok dharriyyah adalah
memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat essensial bagi kehidupan
manusia. Kebutuhan yang essensial itu adalah memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta, dalam batas jangan sampai terancamnya eksistensi
kelima pokok itu. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kebutuhankebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok di atas.
Berbeda dengan kelompok dharriyyah, kebutuhan dalam kelompok hajiyah
tidak termasuk kebutuhan yang esensial, melainkan termasuk kebutuhan yang
dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak
terpeliharanya kelompok ini tidak akan mengancam eksistensi kelima pokok
di atas, tetapi hanya akan meniimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Kelompok
ini erat kaitannya dengan rukhshat atau keringanan dalam ilmu fikih.
74

Al-Syatibi, Jil. II, h. 34-70

44

Sedangkan kebutuhan dalam kelompok

tahsniyyah adalah kebutuhan yang

menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan


Tuhannya, sesuai dengan kepatutan. 75
Guna memperoleh gambaran yang utuh tentang teori Maqshid alsyarah, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan
peringkatnya masing-masing. Uraian ini bertitik tolak dari kelima pokok
kemaslahatan, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kemudian
masing-masing dari kelima pokok itu akan dilihat berdasarkan tingkat
kepentingan atau kebutuhannya.
1. Memelihara Agama (Hifzh al-Dn)
Memelihara agama dalam peringkat dharriyyah, yaitu memelihara
dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat primer,
seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat ini diabaikan, maka
akan terancamlah eksistensi agama. Memelihara agama dalam peringkat
hajiyyat,

yaitu

melaksanakan

ketentuan

agama,

dengan

maksud

menghindari kesulitan, seperti shalat jama' dan qashar bagi orang yang
sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan
mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit orang
yang melakukannya. Memelihara agama dalam peringkat tahsniyyah,
yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat
manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan.
Misalnya, menutup aurat, baik di dalam maupun di luar shalat,
membersihkan badan, pakaian dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya
dengan akhlak yang terpuji. Kalau hal itu tidak dilakukan, karena tidak
memungkinkan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak
pula akan mempersulit orang yang melakukannya.

75

al-Syatibi, h. 5

45

2. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs)


Memelihara jiwa dalam peringkat dharriyyah, seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau
kebutuhan pokok itu diabaikan, maka akan berakibat terancamnya
eksistensi jiwa manusia. Memelihara jiwa dalam peringkat

hjjiyah,

seperti dibolehkan berburu dan menikmati makanan yang lezat dan halal.
Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi
manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya. Memelihara jiwa
dalam peringkat

tahsniyyah, seperti ditetapkannya tatacara makan dan

minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan atau etiket,


sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun
mempersulit kehidupan seseorang.
3. Memelihara Akal (Hifzh al-'Aql)
Memelihara akal dalam peringkat dharriyyah, seperti diharamkan
meminum khamr. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan
berakibat terancamnya eksistensi akal. Memelihara akal dalam peringkat
hajjiyyat, seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya
kegiatan itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan
mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu
pengetahuan. Memelihara akal dalam peringkat tahsniyyah, seperti
menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan sesuatu yang
tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akan
mengancam eksistensi akal secara langsung.
4. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)
Memelihara keturunan dalam peringkat dharriyyah, seperti
disyari'atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan,
maka akan mengancam eksistensi keturunan. Memelihara keturunan dalam
peringkat hjjiyah, seperti ditetapkan ketentuan menyebutkan mahar bagi

46

suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar
itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami
kesulitan, karena ia harus membayar mahar mitsil. Sedangkan dalam kasus
talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak
talaknya, padahal situasi rumah tangga tidak harmonis lagi. Memelihara
keturunan dalam peringkat

tahsniyyah, seperti disyari'atkan khithbah

atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka


melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan
mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula akan mempersulit orang
yang melakukan perkawinan.
5. Memelihara Harta (Hifzh al-Ml)
Memelihara harta dalam peringkat dharriyyah, seperti disyari'atkannya tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta
orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka
akan berakibat terancamnya eksistensi harta. Memelihara harta dalam
peringkat hjjiyah, seperti disyari'atkan jual beli dengan cara salam
(inden). Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam
eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan
modal. Memelihara harta dalam peringkat tahsniyyah, seperti adanya
ketentuan agar menghindarkan diri dari penipuan. Hal ini erat kaitannya
dengan etika bermu'amalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan
berpengaruh kepada kesahan jual beli itu, sebab peringkat ketiga ini juga
merupakan syarat adanya peringkat kedua dan pertama.
Jelas bahwa tujuan disyari'atkan hukum adalah untuk memelihara
mashlahah dan sekaligus menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di
akhirat. Segala macam kasus hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam
al-Qur'an dan Hadis maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik
tolak dari tujuan tersebut. Dalam kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan

47

dalam kedua sumber utama fikih itu, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui
teks yang ada. Jika ternyata kemaslahatan itu dijelaskan, maka kemaslahatan
tersebut harus dijadikan titik tolak penetapan hukumnya.
Dengan demikian menjadi jelas pula bahwa

ishlh yang berperan

sangat penting dalam membina kehidupan yang damai dan beradab bagi
individu dan masyarakat baik di dunia yang meliputi pemeliharaan agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta- maupun di akhirat bertitik tolak pada tujuan
memelihara ke mashlahahan dan menghindari kemafsadatan sebagaimana
tujuan disyari'atkannya hukum itu sendiri. Di samping itu, ishlh sebagai
sebuah produk hukum dalam menyelesaikan konflik dalam berbagai
bentuknya, dapat ditelusuri sumber dan dasar-dasarnya dari ayat al-Qur'an
sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya yang oleh karena itu
dipastikan dapat memelihara al-kulliyat al-khams sebagaimana tersebut di
atas. Dengan demikian, keberadaannya adalah sah dan oleh karena itu sah pula
untuk diterapkan sebagai salah satu akad yang dapat mewujudkan perdamaian.
Di sinilah posisi strategis

ishlh dalam konteks

mashlahah dan dalam

mewujudkan mashlahah itu sendiri.


Diterapkannya ishlh dan tereliminasinya konflik dipastikan akan dapat
memelihara kemuliaan agama. Bahwa Islam sebagai agama perdamaian dan
keselamatan mengejawantahkan ajarannya dengan menciptakan kedamaian
antar anggota masyarakat di mana Islam dipeluk dan ditegakkan. Begitu pula
ishlh dapat mencegah terjadinya pertumpahan darah yang dapat merusak dan
menghilangkan jiwa yang sangat berharga. Ishlh juga dapat memelihara
harta individu dan masyarakat agar termanfaatkan secara maksimal bagi
peningkatan kebajikan individu dan masyarakat, daripada terhamburkan dalam
persengketaan yang berlarut-larut dan menghabiskan banyak biaya dan tenaga.
Begitu pula dengan ishlh akal manusia yang bersih dapat terpelihara, karena
pada dasarnya fithrah akal manusia adalah cinta pada Tuhan sedangkan Tuhan

48

B. Hukum ishlh
Abu al-Walid ibn Rasy menyatakan bahwa apabila Ishlh dilakukan
antara dua orang dalam masalah harta benda, maka hukumnya adalah sunnah
untuk menyelesaikannya atau mendamaikannya. Iishlh itu dilakukan karena
adanya kesepakatan kedua belah pihak yang sedang bersengketa, akan tetapi
ishlh bukanlah suatu keharusan, melainkan ishlh itu dilakukan sesuai
dengan kebutuhan. Senada dengan Abu al-Walid, al-Khasyi dan Ibn Irfah
berpendapat sama bahwa ishlh itu hukumnya adalah mandub. Ishlh wajib
dilakukan apabila berkaitan dengan mashlahat umat. 76
Dengan kata lain, Hukum pelaksanaan

ishlh adalah kondisional

tergantung pada tingkat urgensi penerapannya sebagaimana keterangan di atas.


Atau dalam konteks teori maqshid al-syarah, tingkat urgensi penerapan
ishlh disesuaikan dengan tingkat krusial konflik yang hendak di ishlhkan.
Jika konflik sudah mencapai taraf darurat atau perihal yang dikonflikkan
merupakan hal yang sangat esensial dalam masyarakat sehingga terjadinya
konflik dapat mencapai taraf maksimal maka hukum penerapan ishlh menjadi
wajib. Jika konflik masih dalam taraf sedang atau perihal yang dipersilisihkan
merupakan

hal

yang

kurang

esensial

dalam

masyarakat

sehingga

dimungkinkan tidak terjadi konflik dan perpecahan, maka hukum penerapan


ishlh menjadi mandub. Jika perihal yang diperselisihkan merupakan hal yang
remeh-temeh, sehingga dapat diselesaikan dengan sendirinya dengan cukup
76

Naziyah Hammad, Aqdu al-Shulh fi al-Syariah al-Islamiyah, h. 17

49

adanya saling pengertian antar pihak, maka hukum penerapan ishlh hanya
sebatas mubah saja.
Selanjutnya, perlu diperhatikan rambu yang harus diperhatikan, bahwa
para ulama memposisikan ishlh pada dua posisi diametral. Pertama, ishlh
yang adil, yaitu ishlh yang dibolehkan dan akan mendapat ridha Allah dan
juga oleh pihak yang sedang bersengketa, karena proses ishlh dilakukan dan
didasari oleh adanya rasa keadilan, kearifan, serta keinginan yang tulus dari
kedua belah pihak. ishlh seperti inilah yang dimaksud oleh firman Allah QS.
Al-Hujurat (49): 9.
Kedua, ishlh yang ditolak (mardud), yaitu ishlh yang menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halal. Atau ishlh dalam kasus
memakan harta riba, juga pada kasus meninggalkan yang wajib sehingga tidak
dikerjakan, juga ishlh yang dilakukan oleh orang yang lebih kuat terhadap
orang yang lemah secara zhalim yang mengakibatkan ishlh dilakukan secara
terpaksa dan tidak didasarkan pada keikhlasan tiap pihak. 77
Menurut al-Sarkhasi, ishlh dengan maksud mengharamkan yang halal,
seperti suami yang membolehkan salah seorang istrinya untuk digauli
tetangganya adalah tertolak. Adapun contoh ishlh yang menghalalkan yang
haram adalah seperti membolehkan minum khamr atau memakan daging babi.
Di samping itu, menurut Wahbah al-Zuhaily, Syara menghendaki ishlh
untuk sesuatu yang umum, seperti firman Allah wa al-shulhu khair atau pun
Hadis nabi

ishlh/shulh itu boleh bagi orang Islam, kecuali ishlh yang menghalalkan
yang haram atau mengharamkan yang halal Sebagaimana Hadis

yang

diriwayatkan oleh Abu Daud, Hakim dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah. 78
77

Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Juz ke-2, h. 177


Al-Sarkhasi, al-Mabsut, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993), h. 134. Sunnah
menunjukkan bahwa ishlah adalah untuk menggugurkan qishas. Sebagaimana hadits nabi yang
lain Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka terserah kepada wali yang terbunuh,
melakukan qishsh atau mengambil diyat dengan 30 hiqqah, 30 jadzaah, dan 40 hilfah. Dan apa
78

50

C. Signifikansi ishlh
Dalam ajaran Islam, Iman yang termanifestasi dalam bentuk ketaatan
kepada Tuhan mengandung arti keberpihakan kepada kebaikan dan kebenaran.
Ketaatan tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk hubungan sosial yang baik
dengan sesama manusia. Dengan demikian akan tumbuh potensi kebaikan
yang secara kontinu merangsang perbaikan dalam masyarakat.
Prinsip iman sebagai bagian paling inti dalam agama ternyata tidak
cukup sebatas pengakuan dalam hati saja, tetapi mesti diimplementasikan
dalam hubungan kemanusian. Di sinilah doktrin amal saleh mendapatkan
tempatnya. Doktrin amal saleh yang terterapkan secara benar akan
menghasilkan ishlh, yaitu perbaikan berkelanjutan dalam masyarakat.
Sebagai tindakan yang kontinu, ishlh hendaknya mulai diterapkan
dalam keluarga, karena keluarga merupakan titik berangkat komunikasi antar
manusia dalam masyarakat. ishlh diterapkan dalam bentuk kerukunan dan
kebersamaan seluruh anggota keluarga. Keluarga yang rukun dan damai akan
menlahirkan generasi yang baik dan berkualitas, karena kedamaian merupakan
iklim yang baik untuk menanamkan pendidikan dan pembinaan moral anakanak. Sebaliknya, keluarga yang penuh dengan perselisihan akan melahirkan
anak-anak yang kecewa dan penuh kebencian. Keluarga rukun, tenteram dan
damai merupakan tujuan perkawinan dalam ajaran Islam yang sering disebut
keluarga sakinah. Keluarga sakinah dimulai dari adanya pemahaman dan
pengertian antara suami dan istri, baik pemahaman fisik, karakter, dan
kebiasaan masing-masing. Dari pemahaman ini akan lahir pola komunikasi
yang saling dipahami oleh masing-masing pihak sehingga terjadi komunikasi
yang efektif di antara pihak-pihak dalam keluarga. Dari keluarga tersebut akan

yang disepakati dalam perdamaian itu adalah (baik) bagi mereka,. (HR. Turmudzi, dia
mengatakan Hadits ini adalah Hadits Hasan gharib). Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami
waadillatuhu, Juz ke-6, h. 293

51

terbentuk masyarakat dengan karakteristik yang menggambarkan keluargakeluarga yang berada di dalamnya.
Masyarakat memiliki tata nilai dan norma yang dijadikan acuan bersama
dalam menata hubungan sosial di antara anggotanya. ishlh sebagai salah satu
nilai hidup, dapat memberikan identitas pada masyarakat, yaitu masyarakat
yang mengutamakan perdamaian dan kebaikan bersama demi terciptanya
persatuan dan kesatuan serta kekompakan di antara individu dalam
masyarakat.
Di antara indikasi persatuan dan kekompakan di antara individu dalam
masyarakat ialah terjalinnya hubungan sosial yang baik di antara tetangga. Hal
ini termasuk salah satu keutamaan yang diajarkan Islam kepada umatnya
dalam rangka menciptakan jalinan erat yang mendalam di hati anggota umat
untuk membentuk suatu komunitas yang terbaik di antara komunitas lainnya
di muka bumi.
Hubungan yang baik dengan tetangga merupakan jalinan paling utama
dalam menyatukan hati umat Islam dan memadukannya, agar mereka saling
mengasihi, menyayangi, dan saling mendukung. Tetangga dapat dipahami
dalam beberapa karakter: Pertama, tetangga dekat, baik karena ada hubungan
keturunan maupun karena tempat tinggalnya yang berdekatan. Kedua,
tetangga yang berjauhan, baik jauh hubungan keturunannya maupun jauh
tempat tinggalnya. Ketiga, teman sejawat, yaitu siapa saja yang berkumpul
bersama dalam satu profesi, tugas, persahabatan, atau pun satu lembaga
pendidikan, atau dengan ungkapan lain, ia adalah teman di saat menetap di
suatu tempat dan teman di kala bepergian. 79

79

Lihat QS. Al-Nisa (4): 36, Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anakanak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat,
ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membangga-banggakan diri.

52

Allah memulai perintah itu dengan menyembah-Nya serta larangan


untuk menyekutukan-Nya. Kemudian, dilanjutkan dengan perintah-perintah
lain yang tak kalah pentingnya yang menghajatkan perhatian penuh dari siapa
saja yang termasuk dalam perintah itu, yaitu keharusan berbuat baik terhadap
kedua orang tua, lalu meluas kepada kaum kerabat, termasuk anak yatim dan
fakir miskin, lalu tetangga yang mempunyai hubungan kekerabatan
sebagaimana yang diterangkan di atas, lalu tetangga jauh, teman dekat, orang
yang terputus hubungan dengan kaum kerabatnya ketika sedang dalam
perjalanan dan tidak lagi mempunyai perbekalan, dan hamba sahaya yang
berada dalam tanggungan tuannya.
Urgensi tetangga dan keutamaan menjaga hubungan dengannya
merupakan tanggung jawab yang besar, sehingga Rasulullah menegaskan
bahwa Jibril senantiasa mengingatkan untuk selalu menjaga hubungan baik
dengan tetangga.
Karena persatuan dan rasa cinta merupakan karakter dasar seorang
mukmin terhadap siapa saja yang dipergaulinya, khususnya terhadap
saudaranya yang beriman, maka ada beberapa hak dan kewajiban yang harus
diketahuinya yang merupakan konsekuensi logis dari ikatan ukkhuwah itu.
Di antara hak tetangga itu ialah bahwa tetangga muslim mempunyai tiga
macam hak, yaitu hak ukhuwah Islam, hak bertetangga dan hak kekerabatan.
Sedangkan tetangga muslim yang jauh mempunyai hak ukhuwah Islam dan
hak bertetangga. Adapun tetangga non-muslim mempunyai hak bertetangga
dan hak kekerabatan dengan cara yang maruf, selama tidak memusuhi Islam
dan kaum muslimin. Tetapi jika memusuhi Islam dan kaum muslimin, maka
terjadilah penyekat yang memisahkan antara keduanya. Dalam hal ini, Islam
telah menganjurkan supaya bergaul dengan baik bersama tetangga meskipun

53

ia bukan muslim. Hubungan baik dengan tetangga sebagaimana ditegaskan


Rasul adalah bukti dari keimanan itu sendiri. 80
Memahami dan mengaplikasikan ishlh dalam kehidupan masyarakat
tidak selalu hanya dapat diterapkan dalam kalangan muslim. ishlh dapat
diaplikasikan dalam masyarakat manapun. Sebab secara esensial,

ishlh

merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa


ishlh yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep Islam, tetapi dampak
sosial yang lahir dari ishlh dapat digunakan dan dirasakan oleh manusia
secara keseluruhan. 81 Termasuk dalam konteks kehidupan antar bangsa, nilai
ishlh sangat relevan untuk dijadikan nilai universal guna menyatukan umat
manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan keadilan.
Dominasi salah satu etnis atas etnis lain atau negara atas masyarakatnya
merupakan pengingkaran terhadap makna ishlh. Esensi ajaran Islam terletak
pada penghargaan pada kemanusian secara universal yang berpihak kepada
kebenaran, kebaikan, dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian,
menghindari pertentangan dan perselisihan, baik ke dalam intern umat Islam
maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa ishlh menjadi dasar bagi

80

Hadits tersebut kurang lebih berarti Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. Demikian Rasulullah
memberikan pedoman hidup bertetangga sekaligus sebagai tolok ukur keimanan.
81
QS. Al-Mumtahanah (60): 8-9, Allah berfirmanAllah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orangorang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka
mereka Itulah orang-orang yang zalim. Ayat tersebut memberikan ketentuan umum dan prinsip
agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara.
Kaum muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama orangorang kafir itu bersikap dan ingin bergaul baik terutama dengan kaum muslimin. Karena Allah
Yang Maha Kuasa mungkin menjadikan hubungan kaum muslimin dan kaum kafirin yang tadinya
bermusuhan menjadi hubungan yang lebih baik. Lihat juga QS. Al-Hujurat (49):1381

54

hubungan antar manusia secara universal. lintas suku, bangsa, dan agama.
Secara lebih rinci, ishlh dapat berperan dalam beberapa hal berikut ini.

1. Menenangkan jiwa dalam kehidupan individu


Sebagaimana telah diungkapkan dalam pembahasan terdahulu
bahwa ishlh berarti memperbaiki suatu kesalahan yang pernah dibuat,
perbaikan itu juga meliputi perbaikan kualitas diri dan sekaligus
memelihara diri dari kesalahan. Ketiga arti tersebut berkaitan dengan
upaya menghindarkan dan memperbaiki diri dari kesalahan, keburukan,
dan dosa serta meningkatkan kualitas kebaikan.
Kesalahan dan dosa merupakan perilaku yang menyimpang dari
nilai dan norma agama, sosial, maupun

budaya. Kesalahan bisa

diakibatkan oleh kekhilafan maupun karena kesengajaan. Kesalahan yang


didorong oleh kesadaran dan kesengajaan melahirkan dosa, sedangkan
Setiap dosa yang dilakukan seseorang mengandung konsekuensi terhadap
dirinya berupa kecemasan dan ketakutan yang dapat mengganggu
ketenangan jiwa.
Sementara ishlh merupakan konsep hidup dalam menyikapi suatu
kesalahan. Bagaimana seseorang yang bersalah menyadari kesalahannya,
orang yang baik meningkatkan kualitas kebaikannya, serta orang dapat
menjaga dirinya sehingga terhindar dari kesalahan dan keburukan. Ketiga
hal tersebut akan berpengaruh kuat kepada aspek kejiwaan seseorang,
yaitu dapat memberikan ketenangan dan ketenteraman hati yang berujung
pada kebahagiaan yang menjadi dambaan setiap orang.
Ketenangan dan ketenteraman jiwa tergantung kepada sikap hidup
seseorang dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan orang lain.
Hubungan dengan dirinya sendiri dilakukan dengan mengelola hatinya
sebagai tempat di mana ketenangan dan ketenteraman itu berada.

55

Pengelolaan ini dilakukan antara lain dengan mengembangkan sikap sabar


dan syukur.
Sabar dalam konteks ishlh, termasuk di dalamnya seperti sabar
untuk melaksanakan shalat, puasa dan sebagainya. Termasuk pula sabar
dalam menghindarkan diri dari perbuatan dosa dan kemunkaran. Namun,
jika perbuatan dosa dan kemungkaran itu tejadi juga, maka secara otomatis
kesabaran akan menggerakkan hati untuk segera bertaubat. 82
Sabar dalam hubungannya dengan orang lain seperti sabar terhadap
perlakuan buruk orang lain, yaitu dengan menahan diri untuk tidak
melakukan pembalasan dengan tindakan yang sama buruk. Meskipun pada
dasarnya ajaran Islam membolehkan untuk membalas, akan tetapi
kebolehan itu diikuti dengan ajaran yang lebih menganjurkan untuk
memaafkan orang yang berbuat salah. Dalam hal memaafkan orang lain
inilah hakikat sabar.
Sabar

terhadap

musibah

adalah

menerima

musibah

dan

mengembalikannya kepada kehendak Allah, apabila musibah itu tidak bisa


dihindarkan lagi, sebagaimana firman Allah: (yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa
ilaihi raaji'uun (QS. Al-Baqarah (2): 156).
Syukur merupakan sikap seseorang terhadap anugerah yang
diberikan Allah kepadanya. Al-Raghrib al-Asfahani menyebutkan bahwa
kata syukur mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan
menampakkannya ke permukaan. 83 Hakekat syukur adalah menampakkan
nikmat, dan hakekat kufur adalah menyembunyikannya. Menampakkan
nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat yang sesuai

82
83

Lihat QS. al-Anam (6): 54; al-Maidah (5): 39; dan al-Baqarah (2): 160
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1999), h. 216

56

dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat


dan pemberinya dengan indah.
Syukur dilakukan dengan tiga hal, yaitu bersyukur dengan hati,
lidah, dan perbuatan. Bersyukur dengan hati adalah kepuasan batin atas
anugerah yang diterima. Bersyukur dengan lidah adalah mengakui
anugerah dan memuji pemberinya. Sedangkan bersyukur dengan
perbuatan adalah memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan
tujuan yang menganugerahkan nikmat tersebut. 84
Dengan demikian, syukur merupakan sikap yang menunjukkan
penerimaan terhadap suatu pemberian atau anugerah

dalam bentuk

pemanfaatan sesuai dengan kehendak pemberinya. Orang yang bersyukur


akan merasakan ketenangan jiwa dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan
yang dapat membuat hati kecewa dan gelisah. Yang demikian ini, justru
akan menambah nikmat itu sendiri. Ketenangan dan ketenteraman dalam
hubungannya dengan orang lain adalah berlaku baik kepada orang lain,
meminta maaf apabila berbuat salah kepada orang lain, dan memaafkan
kesalahannya apa bila mereka bersalah. 85
Sabar dan bersyukur merupakan konsep ishlh terhadap diri sendiri,
sedangkan meminta dan memberi maaf kepada orang lain merupakan
penerapan ishlh terhadap orang lain. Dengan demikian ishlh dapat
membawa manusia kepada tujuan hidupnya, yaitu ketenangan dan
ketenteraman.
2. Mewujudkan persatuan umat
Dalam koteks sosial kemasyarakatan, ishlh berarti mendamaikan
persengketaan dan menyatukan perpecahan. Karena itu, dalam konsep
ishlh terdapat dorongan untuk mempererat dan memperkuat kesatuan.
84
85

Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, , h. 216


Lihat QS. Ibrahim (14): 7 dan al-Syura (42): 40

57

Persatuan merupakan salah satu misi Islam yang harus dilaksanakan oleh
komunitas muslim dan manusia pada umumnya.
Dalam hubungan sosial, Islam mengenalkan konsep ukhuwwah dan
jamaah

yang

merupakan

konsep

persaudaraan

yang

berintikan

kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan di kalangan


muslim dikenal dengan istilah Ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan
yang diikat oleh kesamaan aqidah. Nabi menggambarkan eratnya
hubungan muslim dengan muslim sebagaimana anggota tubuh dengan
anggota tubuh lainnya, jika salah satu anggota tubuh terluka, maka
anggota tubuh lainnya merasakan juga sakitnya. Perumpamaan tersebut
mengisyaratkan hubungan yang erat antar sesama muslim. Karena itu,
persengketaan antar muslim berarti mencederai wasiat Rasul. Tetapi
apabila hal tersebut tak dapat dihindarkan sehingga terjadi di kalangan
muslim, maka ishlh menjadi solusi yang terbaik untuk mengatasinya.
Dalam hal ini, ishlh berperan sangat penting untuk menyelesaikan
pertentangan

yang

terjadi

sehingga

tidak

sampai

menimbulkan

permusuhan. Apabila telah terjadi permusuhan, maka

ishlh dapat

berperan untuk menghilangkannya dan menyatukan kembali orang atau


kelompok yang saling bermusuhan tersebut. 86 Dengan demikian, konsep
ishlh dalam Islam dapat menjadi solusi yang tepat untuk menyelesaikan
pertentangan di kalangan umat Islam dan sekaligus menguatkan tali
persatuan di kalangan mereka.

3. Stabilitas keamanan dan ketertiban


Keamanan dan ketertiban merupakan indikasi dari masyarakat
yang bahagia. Karena aman dan tertib merupakan tujuan adanya norma
dan hukum, maka mewujudkan masyarakat yang aman dan tertib adalah
86

LIhat QS. al-Hujarat (49): 9-10

58

meletakan masyarakat di atas tata nilai dan norma sosial agama yang
disepekati bersama.
Dalam ajaran Islam, dorongan untuk mewujudkan masyarakat yang
aman dan tertib menjadi salah satu tujuan bermasyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya doktrin sosial Islam yang menjadi bagian
penting dalam ajaran Islam, yaitu amal saleh. Wahana amal saleh adalah
masyarakat, sedangkan dampak dari amal saleh adalah terwujudnya
masyarakat yang aman dan tertib.
Masyarakat yang aman adalah masyarakat yang terlindung baik fisik
maupun jiwanya dari segala gangguan, sedangkan tertib adalah konsistensi
dan kedisiplinan masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Kedua hal
tersebut merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat, karena tanpa adanya keamanan, maka ketentraman dan
kedamaian menjadi hilang. Padahal, Islam sesuai dengan namanya adalah
agama yang mengajarkan kedamaian dan perdamaian. Karena itu, setiap
bentuk perselisihan atau pertentangan harus selalu dihindarkan.
Sebagai

agama

perdamaian,

Islam

meniscayakan

tumbuh

kembangnya persaudaraan dan mengharamkan permusuhan, terutama di


kalangan sesama muslim lainnya. Maka, jika terjadi permusuhan di antara
sesama muslim, maka orang muslim dalam hal ini pihak ketiga,
mempunyai hak bahkan kewajiban untuk menciptakan kedamaian antar
saudaranya yang lain.
Bahkan, adanya perang dalam sejarah Islam selalu berkaitan dengan
pembelaan atas kaum lemah dan demi menegakkan keadilan dalam rangka
mewujudkan keamanan, ketertiban, dan perdamaian. Dengan demikian,
keamanan, ketertiban, dan perdamaian merupakan urgensi dari konsep
ishlh dalam kehidupan masyarakat maupun negara.

59

D. Ishlh Dalam Jinyah


Dalam Jinyah (hukum pidana) Islam terdapat istilah uqubah
(hukuman). Fuqaha membagi uqbah (hukuman) menjadi beberapa bagian
dilihat dari berbagai macam segi dan sudut pandang. Paling tidak ada lima
tinjauan yang bisa dicermati.
Jika ditinjau dari segi esensi hukuman, hukuman dapat terdiri atas
pertama, uqbah ashliyyah (hukuman pokok), seperti hukuman qishas untuk
jarmah (kejahatan) pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk jarmah
pencurian. Kedua, uqbah badaliyah (hukuman pengganti), yaitu yang
mengganti hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan
karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat (denda) sebagai pengganti
hukuman qishash atau hukuman tazr sebagai pengganti hukuman hd atau
hukuman qishsh yang tidak dapat dijalankan. Sebenarnya hukuman diyat itu
sendiri adalah hukuman pokok, yaitu untuk pembunuhan semi sengaja (Qathlu
syibh al-amd), akan tetapi menjadi pengganti pula bagi hukuman qishsh
(qathlu al-amd). Demikian pula hukuman tazr juga merupakan hukuman
pokok bagi jarmah-jarmah tazr sendiri, tetapi menjadi hukuman pengganti
pula bagi jarmah-jarmah hudd atau qishas-diyat yang tidak mendapat
hukuman yang sebenarnya karena ada alasan-alasan tertentu. Ketiga, uqbah
tabaiyyah (hukuman tambahan), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman
pokok tanpa memerlukan putusan secara tersendiri seperti larangan menerima
warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga, sebagai
tambahan dari hukuman qishsh (mati), atau hukuman berupa dicabutnya hak
sebagai saksi yang dijatuhkan terhadap orang yang melakukan jarmah qadzaf
(menuduh orang baik-baik berzina) di samping hukuman pokoknya, yaitu dijilid (didera) delapan puluh kali. Keempat, uqbah takmiliyah (hukuman
pelengkap), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada
keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri

60

pemisahnya dengan hukuman tambahan. Misalnya mengalungkan tangan


pencuri yang telah dipotong di lehernya.
Jika ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan beratringannya suatu hukuman, fuqaha membaginya menjadi dua macam hukuman,
yaitu pertama, Hukuman yang hanya mempunyai satu batas (satu ketentuan),
artinya tidak ada batas tertinggi atau terendah, seperti hukuman jilid sebagai
hukuman hd (80 atau 100 kali jilid). Kedua, hukuman yang mempunyai batas
tertinggi dan batas terendah, hakim diberi kekuasaan untuk memilih hukuman
yang sesuai antara kedua batas tersebut. Seperti hukuman penjara atau jilid
pada jarmah-jarmah tazr.
Jika dilihat dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan, maka
hukuman terdiri atas pertama, hukuman yang telah ditentukan macam dan
besarnya, di mana hakim harus melaksanakannnya tanpa dikurangi atau
ditambah, atau diganti dengan hukuman lain. Hukuman jenis ini disebut
dengan uqbah lazimah. Kedua, Hukuman yang diserahkan kepada hakim
untuk dipilihnya dari sekumpulan hukum-hukum yang ditetapkan oleh syara
agar bisa disesuaikan dengan keadaan pelaku dan perbuatannya. Hukuman ini
disebut uqbah makhayyarah (hukuman pilihan).
Jika ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, maka hukuman
terdiri atas pertama, hukuman badan, yaitu hukuman yang dijatuhkan atas
badan, seperti hukuman mati, dera, penjara, dan sebagainya. Kedua, hukuman
jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman,
peringatan dan tegoran. Ketiga, hukuman harta, yaitu yang dikenakan pada
harta seseorang, seperti diyat, denda, dan perampasan harta.
Adapun jika ditinjau dari segi jenis jarmah yang diancam

dengan

hukuman, terdiri atas pertama, hukuman hudd, yaitu hukuman yang


ditetapkan atas jarmah-jarmah hudd. Kedua, hukuman qishsh-diyat, yaitu
hukuman yang ditetapkan atas jarimaah-jarmah qishsh-diyat. Ketiga,

61

Hukuman kifarat, yaitu yang ditetapkan untuk sebagian jarmah serta


beberapa jarmah qishsh-diyat serta beberapa jarmah tazr. Keempat,
hukuman tazr, yaitu yang ditetapkan untuk jarmah-jarmah tazr. 87
Hukuman dalam Jinyah ini merupakan cara pertanggungjawaban
pidana yang bertujuan untuk memelihara ketenteraman dan ketertiban dalam
suatu masyarakat. Hukuman juga merupakan sarana objektif-yuridis untuk
menegakkan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh karena itu, berat ringannya
suatu hukuman yang akan diberikan kepada para pelaku kejahatan juga harus
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya.
Penegakan supremasi hukum tidak boleh dilakukan sewenang-wenang
apalagi diiringi oleh rasa benci sehingga akan menimbulkan niat dan upaya
memberatkan, atau bahkan meringan-ringankan (mengurangi) suatu hukuman
dari yang semestinya, karena hukuman yang diberikan bertujuan untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Hukuman bagi para pelaku kejahatan
dilakukan untuk membuat seseorang menjadi jera, sehingga di masa yang akan
datang

pelaku

kejahatan

tidak

punya

keinginan

untuk

mengulangi

perbuatannya. Dengan demikian, tujuan menjaga ketertiban dalam masyarakat


dapat terwujud.
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa hukuman diterapkan oleh Allah karena
-dan didasari oleh- rasa sayang kepada semua makhluk. Hukuman dilakukan
untuk mencegah manusia dari perbuatan munkar supaya mereka aman dan
tenteram, bukan untuk menimbulkan kebencian antara sesama manusia dan
berlaku sombong atas sesama makhluk. Seperti seorang ayah yang mendidik
anaknya, sekiranya ia tidak mau memberikan teguran atas anaknya sebagaimana yang diinginkan oleh para ibu, karena rasa sayang dan rasa
87

Lihat A. Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi kejahatan dalam Islam,


(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), cet.ke-2, h. 28-30. Juga Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum
pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet. Ke-5, h. h. 260-262

62

kasihan-, maka akan rusaklah anak itu. Memberinya teguran atau jika perlu
sedikit pukulan adalah karena rasa sayang kepada si anak dan untuk kebaikan
dirinya sendiri di masa yang akan datang. Menjalankan hukuman tak ubahnya
juga seperti seorang dokter. Suntikan kepada pasiennya adalah untuk
memberikan kesembuhan. Sesaat ketika disuntik si pasien merasa sedikit
kesakitan, tapi setelah itu pasien akan berterima kasih kepada sang dokter
karena ia telah terobati. 88
Untuk itulah, guna memelihara ketenteraman dan ketertiban dalam
masyarakat, hukuman merupakan sarana yang mutlak diterapkan. Hukuman
yang sesuai dengan syariat merupakan jawaban kongkret mengingat syariat
datangnya dari Tuhan. Tuhan pula yang mengatur semuanya, dan sangat wajar
apabila manusia sebagai hamba ciptaan-Nya dituntut untuk menjalankan
syariat-Nya.
Ilustrasi di atas mengisyaratkan bahwa hukuman menjadi sarana ampuh
untuk mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat. Sehingga apabila terjadi
persengketaan,

orang

cenderung

menempuh

jalur

hukum

untuk

menyelesaikannya, sehingga selalu pula diakhiri dengan vonis pengadilan


yang menjatuhkan hukuman kepada si pelaku.
Namun demikian, tidak semua vonis pengadilan selalu berakhir dengan
menimpakan suatu hukuman kepada si pelaku. Tidak jarang seorang pelaku
pembunuhan misalnya, mendapat ampunan (maaf) dari pihak korban. Hal
inilah yang oleh para fuqaha disebut sebagai ishlh. Ketika ishlh telah
dilakukan, maka masih adakah hukuman lain yang harus diberikan kepada si
pelaku pembunuhan, Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat.
Berdasarkan pembagian Hukum Pidana Islam dari sisi kemaslahatan
sebagaimana diterangkan di atas, maka dengan adanya pemisahan yang jelas
88

Ibn Taimiyah, Al-Siyasah al Syariyah fi ishlah al-Ri wa al-Raiyah, Terjemahan H.


Firdaus dengan judul Politik Penguasa dan Rakyat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 137

63

antara mana yang menjadi hak Allah dan mana yang menjadi hak hamba, Ibn
Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menyebutkan bahwa Imam Malik, alLaist dan al-Auzai telah menetapkan bahwa si pembunuh apabila dimaafkan
oleh wali al-dam, maka dia dijatuhi hukuman jilid dan penjara selama satu
tahun. Sedangkan al-Syafii, Ishak, Ibn Munzir dan Abu Tsaur berpendapat
bahwa si pembunuh boleh diberi kebebasan penuh. 89
Memperkuat pendapat Malik di atas, Abd al-Qadir Audah dalam
bukunya al-Tasyri al-Jini al-Islmi menegaskan bahwa jika pihak korban
memaafkan pembunuh, maka yang gugur hanyalah hak-hak perorangan
(private rights) yaitu hukuman qishsh atau diyat saja, sedangkan hak umum
(hak Allah) yang dilanggar harus tetap dijatuhi hukuman oleh hakim berupa
hukuman tazr, meskipun tetap saja hukuman seperti ini tidak dapat
dimaafkan begitu saja oleh keluarga korban. 90
Lebih lanjut ia menyatakan, bahwa di antara yang dapat menyebabkan
gugurnya uqbah (hukuman) dalam syariat antara lain adalah: Pertama,
pelaku kejahatan (jani) meninggal dunia. Meninggalnya pelaku menyebabkan
gugurnya uqbah. Karena yang melakukan tindak kejahatan adalah si jani,
maka apabila ia meninggal dunia tentu tidak ada lagi hukuman apapun. Akan
tetapi jika uqbah itu adalah uqbah maliyah seperti diyat, tentu saja tidak
dapat menggugurkan uqbah-nya, seperti dalam kasus tindak pidana qatl alkhata (pembunuhan tidak sengaja). Meskipun yang terkait dengan uqbah
ini adalah pelaku, maka walaupun pelaku meninggal dunia, hukuman terhadap hartanya- tetap harus dijalankan. Sedangkan pada uqbah qishsh,
89

Ibn Qudamah al-Maqdisi, al- Mughni, h. 199-204. Hal senada juga ditegaskan oleh Ibn
Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid bahwa pendapat Malik dan al-Laist yaitu memenjarakan si jani
setahun dan mencambuk 100 kali. Pendapat al-Syafii, Ahmad dan Ishak bahwa tidak
membolehkan yang demikian itu, dan pendapat Abu Tsaur yang menghukum si jani apabila dia
terkenal penjahat besar dan pelaksanaan ini terserah pada hakim. Lihat Ibn Rusyd, Bidayat alMujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz ke-2
90
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, (Beirut: Dar al-Ilmiyah, t.th.), h 260261

64

masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jika pelaku meninggal


dunia, masih wajib diyat baginya atau tidak terhadap hartanya. Imam Malik
dan Abu Hanifah berpendapat bahwa jika si pelaku meninggal sedang ia
tersangkut perkara qishsh maka sudah barang tentu gugurlah uqbah
qishsh baginya, dan tidak ada lagi diyat terhadap harta si pembunuh itu.
Karena melaksanakan hukuman qishsh dalam perkara seperti ini adalah
wajib aini, sedangkan diyat menjadi tidak wajib, karena ia merupakan
hukuman pengganti dari qishsh, kecuali jika sebelum pelaku meninggal, ada
kerelaan darinya. Tegasnya, jika pelaku meninggal dunia, maka gugurlah
kewajiban qishsh dan tidak diwajibkan lagi baginya diyat. Berbeda dengan
Imam Malik dan Abu Hanifah, Imam Syafii dan Ahmad berpendapat bahwa
jika pelaku meninggal dunia, tentu saja tetap ada kewajiban diyat pada harta si
pelaku. Jika hukuman qishsh tidak dapat dilakukan, maka ada kewajiban lain
yang harus dilakukan sebagai pengganti hukuman qishsh, yakni dengan
melakukan diyat terhadap hartanya. 91
Kedua, qishsh dan diyat menjadi gugur apabila kedua belah pihak
melakukan ishlh. 92 Fuqaha sepakat bahwa qishsh menjadi gugur jika kedua
belah pihak melakukan ishlh. Untuk perkara qishsh, jika terjadi ishlh,
maka kadar pelaksanaan ishlh boleh melebihi diyat ataupun boleh juga lebih
ringan dari pada diyat, karena ia tidak ada sangkut pautnya dengan harta.
Namun, ishlh dalam perkara diyat tidak boleh dilakukan melebihi dari yang
telah diwajibkan diyat, karena kelebihan terhadap diyat dihitung sebagai
riba. 93
Adapun dasar pelaksanaan ishlh ini, -menurut Abd al-Qadir Audahselain QS. Al-Baqarah (2):178, adalah Hadis

91

dan ijm. Hadis

Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 261


Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 773
93
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 774
92

yang

65



Artinya: Barang siapa melakukan pembunuhan sengaja (qatl al-amd), maka
terserah kepada wali si terbunuh apakah akan menuntut qishsh
atau akan mengambil diyat, hak ishlh sepenuhnya diserahkan
kepadanya. (HR. Abu Daud dan al-Turmuzi) 94
Sedangkan sumber dari ijma adalah ijma yang terjadi pada masa
Muawiyah, yakni pada kasus Hadbah ibn Hasyram yang telah melakukan
pembunuhan, lalu Said ibn al-Ash, Hasan, dan Husein memerintahkan untuk
membayar 7 diyat kepada anak si terbunuh sebagai konpensasi maaf yang
telah diberikan anak korban, karena Hadbah telah membunuh bapaknya. 95
Ketiga, hukuman dapat gugur jika pelaku mendapat maaf (afw) dari
korban atau walinya. Adapun dalam perkara hudd tidak boleh ada maaf,
karena ia menyangkut hak Allah. Maaf yang diberikan, baik itu diberikan oleh
korban ataupun wali al-amr adalah tidak sah. Karena hudd termasuk dalam
kategori hak Allah (hak jamaah) secara murni, maka dilarang untuk
menggugurkan hukuman hudd.
Tentang perkara qishsh dan diyat -dengan memegangi pendapat
Hanafiah dan Malikiah-, syariat membolehkan kepada korban atau walinya
untuk memaafkan atau melakukan hukuman qishsh dan diyat. Hak untuk
memberi maaf dalam hal ini merupakah hak pihak korban, sedangkan hakim
hanya berhak melakukan hukuman tazr kepada si pelaku setelah terjadinya
maaf. 96 Sedangkan menurut Syafii dan Ahmad, maaf dalam perkara qishsh
94

Sulaiman ibn al-Asyast Abu Daud, Sunan Abu Daud, (tt.: Dar al-Fikr, tth.), Cet.ke-1,
Juz ke-4, h. 173
95
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 773-774
96
Untuk pembunuhan sengaja jika terjadi pemaafan dari wali terbunuh, maka menurut
Hanafiyah dan Malikiyah, menjadi hak sulthan atau penguasa untuk melakukan hukuman tazr.
Karena dalam qishas terdapat dua hak, yakni hak Allah dan hak hamba. Dalam hal tazr ini,
Malikiyah berpendapat, jika wali al-dam memberi maaf bagi pembunuhan sengaja, maka sulthan

66

merupakan konsekuensi dari qishsh atau diyat, barang siapa yang tidak
menghendaki dilakukan qishsh berarti ia telah memaafkan si pembunuh. 97
Dalam menanggapi QS. Al-Baqarah (2): 178, fuqah berbeda pendapat
dalam pemberian istilah. Sebagian ulama menggunakan istilah afw (maaf),
sementara sebagian lagi menggunakan istilah ishlh (perdamaian). Malik dan
Abu Hanifah berpendapat bahwa jika terjadi maaf terhadap perkara qishsh
atau diyat, maka sesungguhnya itu adalah ishlh/shulh bukan maaf (afw),
karena pada dasarnya wajib dilakukan qishsh atas pembunuh sengaja (qatl
al-amd). Sementara untuk perkara diyat adalah tidak wajib, kecuali jika jani
rela. Jika qishsh tidak dilakukan, sementara para pihak memilih untuk
melakukan diyat, itu berarti antara mereka telah terjadi saling rela, maka hal
seperti ini menurut Malik dan Abu Hanifah adalah

ishlh bukan afw.

Pendapat inilah yang dipegangi oleh Abd al-Qadir Audah. Adapun Syafii dan
Ahmad berpendapat bahwa maaf dalam perkara qishsh dan diyat menjadi hak
pilih walinya, tanpa harus mendapat kerelaan terlebih dahulu dari si pelaku.
Qishsh merupakan hukuman yang sangat berat jika dibandingkan dengan
diyat. Menggugurkan qishsh lalu memilih diyat berarti kedua belah pihak
telah meninggalkan yang lebih berat dan mengambil yang lebih ringan, yakni
maaf. Boleh melakukan maaf dalam perkara qishsh, maka boleh pula maaf
dalam perkara diyat, baik diyat merupakan hukuman yang asli seperti dalam
pembunuhan khaa atau merupakan hukuman pengganti dari hukuman
qishsh. 98
Ketika menggunakan istilah ishlh pada perkara qishsh, maka
konsekuensi logisnya adalah bahwa

ishlh akan menggugurkan qishsh

tersebut dan tidak ada hubungan dengan diyat. Sedangkan ketika


mempunyai hak untuk menjilidnya 100 kali dan memenjarakannya selama satu tahun. Lihat
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islm wa adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1980), h. 291
97
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 774
98
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 776

67

menggunakan istilah afw (maaf), maka akan bersangkut paut dengan masalah
harta. Jika terjadi maaf dalam masalah qishsh, tentu saja pihak pelaku harus
membayar diyat sebagai ganti qishsh yang tidak jadi dilakukan. Atas dasar
inilah, ulama Hanafiyah dan Malikiyah menggunakan istilah ishlh tidak
menggunakan istilah afw (maaf). Adapun alasan bagi ulama Syafiiyah dan
Hanabilah menggunakan istilah afw adalah bahwa maaf yang diberikan
berkaitan erat dengan diyat sebagai ganti (badal) dari qishsh yang tidak jadi
dilakukan. 99
Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaily, hukum yang ada pada ishlh
sama dengan hukum yang ada pada afw. Barang siapa memberi maaf maka
dia telah melakukan ishlh. Apa yang terjadi pada ishlh juga sama dengan
yang terjadi pada afw, yakni sama-sama menggugurkan qishsh. Tentu saja
hal seperti ini dapat terjadi apabila dikehendaki oleh wali si terbunuh. Lebih
jauh ia menjelaskan bahwa wali mempunyai hak penuh untuk memaafkan.
Jika ia memberi maaf maka gugurlah qishsh, jika kemudian ia menuntut
diyat, maka wajib bagi si jani untuk membayar diyat, tanpa harus meminta
kerelaan dari jani karena jani adalah terpidana. Diriwayatkan oleh Baihaqi
dari Mujahid, bahwa pada syariat nabi Musa hanya ditetapkan qishsh, pada
syariat nabi Isa dengan diyat saja, dan Allah meringankan umat Nabi
Muhammad dengan memilih mana yang lebih baik di antara dua hal, yaitu
qishsh atau diyat. Karena Pelaku dalam posisi orang yang terhukum, maka
tidak perlu lagi mendapatkan rela darinya. 100
Dalam perkara tindak pidana hudd, para ulama sepakat bahwa maaf
tidak bisa menggugurkan Hd. Maaf dalam hal ini tidak bisa diberikan baik
oleh si majnialaih maupun wali al-amr. Karena pada kasus Hd adalah
menyangkut hak Allah secara murni. Maka mereka tidak berhak untuk
99

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islm wa adillatuh, h. 293


Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islm wa adillatuh, h. 289

100

68

memberikan maaf. Itu berarti maaf tidak dapat menggugurkan hukuman Hd.
Maaf dalam perkara tazr dapat dilakukan oleh wali al-amr. Karena ia yang
mempunyai hak untuk memberi maaf secara sempurna dalam tindak pidana
tazr. 101
Berkaitan dengan hak atas pidana ini, para fuqaha membagi jarmah
secara umum kepada pidana yang melanggar hak Allah dan pidana yang
melanggar hak hamba. 102 Untuk lebih jelasnya, penulis paparkan sebagai
berikut:

1. Hak Allah (Hak Publik atau Hak Jamaah)


Yang dimaksud dengan hukum-hukum dalam kategori ini adalah
hukum-hukum yang disyariatkan untuk melindungi kepentingan umum. 103
Oleh karena itu, hukum-hukum seperti ini disebut juga hukum-hukum
yang menyangkut hak-hak umum. Ketentuan-ketentuan hukum yang
termasuk kategori ini adalah hudd, yaitu sanksi pidana yang ketentuan
mengenai macamnya, penerapan dan kadar sanksinya telah ditetapkan
dalam nash, baik al-Quran maupun Hadis . 104 Kedudukan aparat hukum
101

Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 776-777


Ali Hasballah, Ushul al-Tasyr al-Islam, (Mesir: Dar al-Marif, 1964). Cet. Ke-3, h.
293-297, lihat juga Satria Efendi M. Zein, Arbitrase dalam Syariat Islam, dalam Arbitrase Islam
di Indonesia, (Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia Kerjasama dengan Bank Muamalat,
1994), h. 13-14. lihat pula Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi,(Beirut: Dar alIlmiyyah, t.th.), h. 204-206. Senada dengan pendapat di atas, setelah menyimpulkan berbagai
pendapat para ulama, Hasbi Al-Shiddiqy menjelaskan bahwa para ulama membagi tindak
kejahatan yang dinashkan syara kepada dua bagian yaitu: Pertama, yang mengandung
pelanggaran terhadap hak Allah secara murni dan Kedua, yang mengandung pelanggaran terhadap
hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih menonjol. Ia menambahkan, walau Islam
memberi hak muthalabah dan hak memberi maaf kepada wali majni alaih, tidak memberi hak
untuk memberi maaf kepada wali al-amar, namun wali al-amr mempunyai hak untuk menjatuhkan
hukuman siyasah atas si jani walaupun wali al-dam memberi maaf, yaitu apabila si jani seorang
penjahat ulung. Hal ini dilakukan atas dasar Uqubah tafwidiyah. Ia mengatakan, yang dimaksud
dengan hak Allah adalah segala yang berpautan dengan kemanfaatan umum manusia. Sedangkan
yang dimaksud dengan hak hamba adalah yang dengan dia berpautan manfaat yang khusus. Lihat
Hasbi al-Shiddiqy, Fiqh Islam (Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), h. 79-80.
103
Abd al-Qadir Audah menyamakan istilah hak Allah dengan hak jamaah, lihat, Abd alQadir Audah, al-Tasyri al-Jinai al-Islami, h. 205
104
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islm wa adillatuhu, Juz ke-6, h. 12
102

69

hanya sebagai pihak yang memproses penyidikan, penyelidikan,


penuntutan, dan menyelenggarakan pengadilan terhadap pelaku kasus
hudd, serta memutuskan sanksi/hukuman kepada para pelaku berdasarkan
ketetapan yang ada dalam nash. 105 Jarmah hudd dan sanksi hukumannya
meliputi:
a. Hd Zina
Dalam QS. al-Nur (24): 2, Allah berfirman

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka


deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman.
Dari dua ayat di atas, dapat diketahui bahwa zina merupakan
perbuatan keji dan harus dihindari. Bagi mereka yang berzina, baik
perempuan maupun laki-laki, sudah aqil baliqh, merdeka (bukan
dalam tanggungan orang lain), dan tidak muhshan, wajib didera seratus
105

129

Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, al-Hudud fi al-Islam, (Kairo: tpn., 1974), h.

70

kali dera, sebagai sanksi atas maksiat yang telah dilakukannya.


Sedangkan bagi para pezina muhshan, baik perempuan maupun lakilaki, sanksi hukumnya ialah dengan dirajam (dilempari batu sampai
mati). 106
Meski demikian, syarat-syarat penjatuhan sanksi pidana zina ini
tidak mudah karena harus diketahui oleh empat orang saksi (tidak
boleh kurang) yang melihat dengan mata kepala sendiri. Syarat ini sulit
dipenuhi karena sangat jarang atau mustahil dapat menemukan orang
yang sedang melakukan perbuatan mesum disaksikan oleh empat
orang. Oleh karena itu, dalam masalah zina ini, yang harus dilakukan
adalah langkah ikhtiyath (berhati-hati) karena berkaitan dengan nama
baik seseorang, agar jika tuduhan tidak terbukti, nama baik seseorang
yang diduga berbuat zina itu tetap baik.
Perbuatan zina, di samping merupakan suatu perbuatan yang
sangat

keji,

juga

merupakan

perbuatan

yang

menyebabkan

pencampuradukan keturunan, merusak ketenangan hidup berumah


tangga,

menimbulkan

kegoncangan

dan

kegelisahan

dalam

masyarakat. Selain itu, penzinahan akan merendahkan martabat


manusia dan menjadikannya sulit dibedakan dengan mahluk lain. Oleh
karena itu, perzinahan hendaknya tidak dibiarkan merajalela di tengahtengah masyarakat.
Dalam menafsirkan QS. Al-Isra: 32 di atas, Sayyid Quthub
menyatakan bahwa dalam perzinahan terdapat pembunuhan dalam
berbagai segi. Pertama, penempatan sebab kehidupan (sperma) bukan
106

Tidak muhshan, maksudnya ialah perempuan yang tidak mempunyai suami yang sah
dan buan janda, atau laki-laki yang tidak mempunya istri yang sah dan bukan duda. Mengenai had
Zina ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, al-Hudud fi al-Islam., h. 81.
Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Muqni, Juz ke-8, h. 109. al-Ruway ibn Rajih al-Ruhaily, Fiqh Umar
ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1994), h.
31-56

71

pada tempatnya yang sah. Ini biasa disusul keinginan untuk


menggugurkan janin yang dikandung. Kedua, jika janin dilahirkan
hidup maka biasanya ia dibiarkan kurang terawat, baik fisiknya,
pendidikannya, maupun spiritualitasnya. Ketiga, perzinahan yang
merupakan keburukan, jika merajalela di masyarakat maka akan
membunuh masyarakat itu secara perlahan namun pasti. Keempat,
Mudahnya melampiaskan syahwat menyebabkan kematian rumah
tangga dan tatanan kekeluargaan berkaitan dengan kebersihan
keturunan dan lain-lain yang ternoda oleh zina. 107
b. Hd Qadzaf (Menuduh Orang Lain Berzina)
Seperti yang telah diuraikan dalam tindak pidana zina di atas,
seseorang tidak dapat dituduh berzina kecuali ada empat saksi. Tanpa
itu, orang yang melontarkan tuduhan itu dapat dituntut balik dengan
tuduhan menuduh orang lain berbuat zina.
Di sinilah bukti bahwa hukum Islam itu tidak dipraktekkan
secara sewenang-wenang. Setiap orang yang melakukan tindakan yang
berimplikasi hukum harus dapat bertanggung jawab di muka hukum.
Demikian diungkapkan dalam QS. al-Nur(24): 4-5:

107

Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu Penting Hukum Islam


Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 206

72

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baikbaik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah
orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat
sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Orang yang menuduh perempuan yang baik-baik (muhshanat)
berzina, kemudian tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhan
mereka dengan mengHdirkan empat orang saksi yang adil yang
menyaksikan sendiri perbuatan zina itu, maka hukuman untuk mereka
ialah di dera 80 kali, karena mereka telah merusak nama baik yang
dituduh. Kemudian penuduh-penuduh itu tidak diterima kesaksiannya
selama-lamanya, kecuali, apabila melakukan taubat dengan taubat
nashuha, maka kesaksiannya dapat diterima kembali dan tidak lagi
digolongkan ke dalam orang-orang fasik, karena Allah Maha
Pengampun lagi Maha Pengasih. 108
c. Hd Syurb al-Khamr (Meminum Minuman Keras)
Dalam sejarah Islam, sebelum Nabi Muhammad hijrah, orangorang Arab, khususnya suku Quraisy Mekah, memiliki kegemaran
minum arak atau khamr hingga mabuk. Bahkan, minum arak biasa
dijadikan sebagai tradisi perlombaan. Memahami kebiasaan orangorang Arab yang begitu dekat dengan khamr berakibat pada metode
108

Mengenai had Qazaf ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,
al-Hudud fi al-Islam. h. 85, Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Muqni, h. 111, juga al-Ruway ibn Rajih
Al- Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 41. Lihat
pula Abi Umar Yusuf al-Qurtubi, al-Kafi fi Fiqh ahl al-Madinah al-Maliki, (Damaskus: Dar alFikr, 1992) Cet. Ke-2, h. 575-577

73

pelarangan khamr. Ayat khamr tidak diturunkan sekaligus dalam satu


ayat atau dalam satu peristiwa, melainkan diwahyukan secara bertahap
disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat ketika itu.
Pada mulanya diterangkan bahwa bagi orang yang mabuk akibat
minuman keras, dilarang mendekati salat (atau ibadah-ibadah lainnya).
Kemudian, pada tahap kedua diterangkan bahwa madharat yang
ditimbulkan oleh khamr lebih besar ketimbang manfaatnya. Baru pada
tahap berikutnya Allah menegaskan dengan jelas bahwa khamr adalah
perbuatan setan yang setingkat dengan penyembahan terhadap berhala,
judi dan sebagainya. 109
Ayat tersebut di atas juga menegaskan bahwa Islam menolak
narkoba dan minuman beralkohol yang tersimpul dalam nama
khamr. Jika dianalisa lebih jauh, ayat tersebut di atas mengandung
beberapa hal yang sangat urgen berkaitan dengan keharaman khamr
yang harus kita perhatikan, yaitu pertama, khamr disejajarkan oleh
Allah dengan berhala dan tenung yang sangat bertentangan dengan
aqidah Islam karena merupakan amalan syirik, di samping juga
disejajarkan dengan judi sebagai akhlak yang tercela. Kedua, khamr
dinyatakan sebagai sesuatu yang keji dan harus dijauhi. Ketiga,
khamr dinyatakan sebagai salah satu perbuatan setan yang
merupakan musuh agama. Keempat, khamr diharamkan, dan kita
diperintahkan untuk menjauhinya. Kelima, khamr dinyatakan
sebagai pemicu permusuhan. Oleh karena itu banyak kasus
pembunuhan, perkosaan dan lain-lain dilakukan oleh orang yang
sedang dalam pengaruh minuman keras dan atau narkoba. Keenam,
khamr dinyatakan sebagai penghalang dari mengingat Allah dan
shalat yang seharusnya tidak boleh dilalaikan oleh seorang muslim,
109

Lihat Q.S. al-Nisa (4): 219, QS. al-Baqarah (2):219, dan Q.S. al-Maidah (5): 90

74

dan ketujuh, Allah menantang orang yang tidak mau berhenti


mengkonsumsi, memproduksi, dan menjualnya. 110
Adapun sanksi pidana bagi para peminum khamr terdapat
perbedaan pendapat mengenai kadar jumlahnya. Mazhab Hanafiah
berpendapat bahwa peminum khamr diberi sanksi dera sebanyak 80
kali. Sementara Mazhab Syafii berpendapat, bahwa setiap pemabuk
karena khamr didera 40 kali. 111
Hal ihwal terjadi perbedaan di antara mereka adalah dalam
memahami adanya perbedaan sanksi yang diberikan Nabi Muhammad
dan Abu Bakar di satu pihak, dengan Umar ibn al-Khatthab di pihak
lain, berdasarkan Hadis Anas:
Ia berkata: Rasulullah didatangi seorang peminum khamr,
kemudian Nabi memukulnya dengan sandal sebanyak 40 kali. Lalu,
pemabuk itu dibawa ke Abu Bakar, dan melakukan hal yang
serupa (mendera 40 kali). Lantas, pria itu diajukan ke Umar, dan
beliau menyebar luaskan kepada (seluruh) manusia. Hd
(hukuman) yang paling sedikit adalah 80 kali dera.
Antara ketiga pemimpin Islam ini memang terjadi perbedaan
pendapat mengenai kualitas sanksi peminum minuman keras. Namun,
karena madharat yang ditimbulkannya, mulai dari mengganggu
kesehatan, merusak pikiran hingga merusak masa depan pengguna,
maka berapapun kuantitasnya adalah dalam rangka pencegahan tindak
pidana ini.
d. Hd Sariqah (Mencuri)
Secara kebahasan sarqah berarti melakukan sesuatu tindakan
terhadap orang lain secara tersembunyi, misalnya, istaraqa al-sama

110

Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu Penting Hukum Islam


Kontemporer di Indonesia, h. 234
111
Mengenai had khamr ini dapat di baca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah.,
al-hudd fi al-Islam.h. 82, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, h. 109, al-Ruway ibn Rajih AlRuhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 32

75

(mencuri dengar) dan musaraqat al-nazhara (mencuri pandang). 112


Abd al-Qadir Audah -dengan mempertimbangkan pengertian tersebutmendefenisikannya sebagai tindakan mengambil harta orang lain
dalam keadaan sembunyi-sembunyi. 113
Dalam sudut pandang Islam, berkenaan dengan hak milik
seseorang, ada tiga rambu yang harus dipatuhi oleh setiap orang, yaitu
pertama, tidak boleh memanfaatkan benda milik orang lain tanpa izin
yang mempunyai, meski tidak mengurangi kadar dan manfaat benda
tersebut (ghashb), kedua, tidak boleh mengambil manfaat dan zatnya
secara bersamaan dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi serta
memanfaatkan kelemahan si empunya (pencurian), dan ketiga,
mengambil paksa terhadap harta milik orang secara terang-terangan,
bahkan terkadang disertai kekerasan dan pembunuhan (perampokan).
Dari ketiga tindakan negatif ini, hanya kategori kedua yang relevan
dalam sub bab ini. Sementara perampokan lebih tepat bila
dianalogikan dengan hirabah yang akan dibahas sebagai bagian
tersendiri dari hudd. Sedangkan ghashb lebih dekat dengan masalah
tindakan bersalah yang ringan dan lebih dekat dengan masalah
pelanggaran etika moral. 114

Masalah pencurian ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. alMaidah (5): 38-39.

112

Ibnu al-Manzr, Lisn al-Arab. (Beirut: Dar al-Marif, t.th), Juz ke-3, h. 1998
Abd al-Qdir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 519
114
Lihat, Eggi Sujana, HAM dalam Perspektif Islam: Mencari Universalisme HAM bagi
Tatanan Modernitas yang Hakiki, (Jakarta: Nusantara Madani, 2002), h. 97
113

76

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,


potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka
barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu)
sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri,
Maka
Sesungguhnya
Allah
menerima
taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Jika seorang yang telah qil-bligh mengambil harta orang lain
dari tempat penyimpanannya tanpa seizin pemiliknya, sedangkan nilai
harta yang dicuri sekurang-kurangnya seperempat dinar, dengan
kemauannya sendiri dan tidak dipaksa,

ia mengetahui bahwa

perbuatannya itu haram, maka ia telah memenuhi syarat dikenakan


hukuman potong tangan. 115
Suatu pencurian baru dikenai hukuman hd apabila minimal
memenuhi dua unsur. Pertama, tindakan mengambil harta orang lain
secara sembunyi-sembunyi. Bahwa benda yang diambil telah
dikeluarkan dari tempat penyimpanan yang layak bagi jenisnya. Yang
dimaksud dengan penyimpanan yang layak seperti dikemukakan oleh
Ibn Rusyd adalah tempat yang pantas untuk menyimpan sejenis harta
sehingga sulit diambil orang, misalnya ditempat yang terkunci. 116
Kedua, benda yang diambil adalah berupa harta, seperti dikemukakan
115

Mengenai had Sariqah ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,
al-Hudd fi al-Islm.h. 83, Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, h. 110, dan al-Ruway ibn Rajih
al-Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 33
116
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid fi Nihayat al-Muqtashid, h. 323

77

oleh Mustafa Ahmad Zarqa, adalah sesuatu yang dicenderungi oleh


tabiat manusia, dan mungkin disimpan sampai waktu dibutuhkan. 117
e. Hd Hirbah (Merampok)
Delik

hirabah

ini

merupakan

delik

yang

paling

luas

interpretasinya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dapat


dikategorikan delik ini adalah memerangi Allah dan Rasul-Nya
(termasuk agama dan panji-panji kebesarannya), membuat kekacauan
dan kerusakan di muka bumi, dan perbuatan-perbutan yang
membahayakan dan merugikan banyak orang seperti perampokan,
termasukdi dalamnya terorisme.
Seimbang dengan delik yang telah dilakukan, sanksi hirabah
juga sangat tegas, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Maidah
(5): 33.

117

Mustafa Ahmad Zarqa, al-Fiqh al-Islam fi Tsaubih al-Jadid, (Damaskus: Mathbaah


Tharafain, 1965), Juz ke-2, h. 114

78

Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang


memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik,
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di
dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Orang-orang

yang

menggangu

keamanan,

mengacau

ketenteraman, menghalangi berlakunya hukum dan keadilan, serta


merusak kepentingan umum seperti (merusak jalan, jembatan, irigasi,
dan lain-lain) dapat dikenai sanksi yang berat, mulai dari salib, potong
tangan dan kakinya secara bersilang, hingga diasingkan. Menurut
jumhur ulama, sanksi bunuh itu dapat diterapkan atas penggangu
keamanan yang disertai dengan pembunuhan. Sedangkan sanksi
hukum salib sampai mati dilakukan bagi pengganggu keamanan yang
disertai dengan pembunuhan dan perampasan harta. Khusus sanksi
hukum potong tangan dikenakan bagi mereka yang melakukan
perampasan harta. 118
f. Hd Riddah (Keluar dari Agama Islam)
Hd riddah didasarkan atas firman Allah dalam QS. al-Baqarah
(2): 217

118

Mengenai had hirabah ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Suhbah,
al-Hudud fi al-Islam.h. 89, Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, h. 115, al-Ruway inm Rajih AlRuhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 56.

79

Artinya:

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya,


lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang
sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka
Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Definisi riddah adalah meninggalkan atau keluar dari agama


Islam (murtad). Konsep riddah hanya ada dalam Islam, dalam arti,
hanya seorang muslim yang keluar dari agamanya (Islam) yang masuk
dalam kategori pelaku jarmah riddah dan layak mendapatkan
hukuman hd riddah. Adapun hukuman bagi muslim yang murtad
terbagi dalam dua kategori yaitu hukuman asli (uqbah ashliyah)
yang dalam hal ini adalah hukuman mati, dan hukuman tambahan
(uqbah thabaiyah) yaitu penyitaan harta murtad untuk diserahkan
kepada baitul mal. Adapun mengenai jumlah harta murtad yang disita,
para fuqaha berbeda pendapat. Mazhab Maliki, Syafii dan mayoritas
Hanbali menyatakan bahwa yang disita adalah seluruh harta murtad.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi dan sebagian Hanbali menyatakan
bahwa harta yang disita hanya harta yang murtad dapatkan setelah ia
murtad saja. Adapun harta yang ia dapatkan sebelum murtad menjadi
warisan bagi keluarganya yang muslim. 119
g. Hd Baghy (Pemberontakan)
Hd baghy didasarkan pada firman Allah QS. al-Hujurat (49): 9

119

Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 661-662

80

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi
sampai surut kembali pada perintah Allah.
Baghy

biasa

diartikan

sebagai

pemberontakan

terhadap

pemerintah yang sah dan berhadap-hadapan dengan penegakan aturan


dan hukum dalam negara. Syariah menindak tegas pelaku baghy ini,
karena jika dibiarkan maka dapat mengakibatkan fitnah dan
kekacauan,

serta

hilangnya

ketenteraman

dalam

kehidupan

masyarakat, bahkan jika berlarut-larut dapat menyebabkan hancur dan


berakhirnya masyarakat dalam sebuah Negara Islam. Oleh karena itu,
wajar jika pelakunya mendapatkan hukuman terberat yaitu hukuman
mati agar dapat membuat pelakunya menjadi sadar dan berhenti serta
memalingkan niat calon pelaku dan mengurungkan niatnya melakukan
pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. 120

2. Hak Allah dan Hak Hamba


Yang dimaksud dengan hak Allah dan hak hamba adalah
bergabungnya hak Allah dan hak hamba dalam satu tindak pidana, baik
hak Allah yang dominan maupun hak hamba yang dominan. Oleh karena
itu, pada bagian ini fuqaha membaginya menjadi dua bagian, yaitu:
Pertama,

bergabungnya

hak

Allah/hak

publik

dengan

hak

hamba/perorangan sedangkan hak Allah/publik lebih dominan. Misalnya


menuduh orang lain berzina tanpa saksi. Meskipun ada unsur
membahayakan dan mengganggu kepentingan individu, yaitu karena
adanya resiko pencemaran kehormatan dan nama baik individu tersebut,
namun unsur pemeliharaan kepentingan masyarakat umum lebih dominan

120

Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmia, h. 663

81

dan penting, yaitu mencegah terjadinya kerusakan moral dan kekacauan


keturunan antara anggota masyarakat. 121
Kedua, bergabungnya hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak
hamba lebih dominan, misalnya hukuman qishsh. Hak Allah dalam hal
ini terlihat pada hal menggangu kepentingan umum. Pembunuhan, bila
dibiarkan akan membuat masyarakat tidak tenteram dan setiap orang akan
merasa terancam jiwanya. Sedangkan yang menyangkut hak perorangan
dalam hal ini adalah bahwa di samping jiwa si terbunuh telah melayang
oleh kejahatan ini, juga peristiwa pembunuhan itu telah menimbulkan
kegoncangan

dalam

diri

keluarganya.

Oleh

sebab

itu,

untuk

menghindarkan permusuhan dan balas dendam dari pihak keluarga yang


telah digoncangkan itu, maka disyariatkan hukuman yang setimpal, yaitu
hutang nyawa dibayar dengan nyawa bagi pembunuhan yang disengaja.
Hukuman ini adalah hak perorangan. Artinya, keluarga korban
berhak untuk menuntut qishsh atau memaafkannya, sehingga gugurlah
hukuman qishsh, baik kemudian keluarga korban menuntut diyat atau
tidak. Namun, oleh karena kejahatan pembunuhan itu juga menyangkut
kepentingan umum, maka meskipun hukuman qishsh bisa dimaafkan
oleh keluarga korban, hakim atau penguasa harus tetap bertindak
mengenakan hukuman tazr atas diri pembunuh. Dengan demikian,
hukum tazr ini merupakan hak umum. 122
Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan hukuman dalam jarmah
qishsh-diyat maupun tazr.
a. Hukuman Qishsh-Diyat
Qishsh adalah hukuman yang dijatuhkan atas pembuat jarmah
setimpal dengan perbuatannya, dibunuh kalau ia membunuh, dianiaya
121

Abd al-Qadir Audah., al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 206, Lihat pula, Ali Hasbalah,
Ushl al-Tasyr al-Islm, h. 294.
122
Lihat Ali Hasballah, Ushl al-Tasyr al-Islm, h. 295.

82

Sumber hukum dari qishsh ini adalah firman Allah dalam Q.S.
al-Baqarah (2): 178-179, diperkuat pula dengan Hadis Nabi:


Artinya:

Barang siapa yang menyerang seorang mukmin dengan


pembunuhan, maka dia harus dijatuhi qishshh karena
pembunuhannya, kecuali kalau wali (keluarga) korban
merelakannya. (HR. Bukhari dan Muslim) 124

Dalam Hadis yang lain, Rasulullah bersabda:

:

Artinya: Barang siapa mempunyai keluarga terbunuh, maka
keluarganya ada di antara dua pilihan, kalau suka maka
mereka mengambil qisas, dan kalau suka maka mereka
menerima diyat. (HR. al-Daruquthni) 125
Islam memandang bahwa hukuman qishsh adalah hukuman
yang terbaik, karena hukuman tersebut mencerminkan keadilan, di
mana pelaku diberi balasan sesuai dengan perbuatannya dalam rangka
terwujudnya jaminan keamanan dan ketertiban.
Korban atau walinya diberi wewenang untuk menuntut qishsh
atas pelaku atau mengampuni, baik dengan ganti rugi diyat atau tidak.
Tetapi, meskipun qishsh dan diyat dapat gugur, penguasa masih
mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman tazr yang sesuai. 126
123

Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 663. Lihat juga Abdurrahman I
Doi, Shariah the Islamic Law, Terj. Hermaya dengan judul Syariah dan Hukum Islam, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1992), h. 24. Lihat juga H.M.K. Bakry, Kitab Jinayat: Hukum Pidana dalam Islam,
(Solo: AB. Siti Syamsiah, 1958), h. 19. Halimah, Hukum Pidana Syariat Islam Menurut Ahlus
Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 275
124
Muhammad ibn Abdullah Abu Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak al al-Shahhain,
(Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, 1990), cet. Ke-1, juz ke-1, h. 553
125
Ali ibn Umar Abu al-Hasan al-Daru Quthni, Sunan al-Druquthni, (Beirut: Dar alMarifah, 1966), Juz ke-3, h. 95
126
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet.
Ke-5, h. 282

83

Pada dasarnya, korban atau walinya tidak mempunyai wewenang


untuk memberikan pengampunan dalam soal-soal kepidanaan. Akan
tetapi, untuk jarmah qishsh-diyat, ia diberi hak untuk memberikan
pengampunan terhadap pelaku sebagai pengecualian karena jarmah
tersebut sangat erat hubungannya dengan pribadi korban. Pemakaian
hak tersebut tidak dikhawatirkan mempengaruhi keamanan dan
ketenteraman masyarakat, karena meskipun jarmah pembunuhan
sengaja dan penganiayaan sengaja adalah sangat berbahaya bagi
keselamatan perseorangan, namun tidak sama bahayanya untuk
ketenteraman masyarakat.
pembunuhan atau penganiayaan tidak dikerjakan kecuali atas
dorongan perorangan. Sedangkan pencuri ditakuti oleh setiap orang,
karena yang dicuri ialah harta di manapun ia berada, bukan harta
seseorang tertentu saja. Boleh jadi, pemakaian hak pengampunan
tersebut akan mempengaruhi ketenteraman, kalau sekiranya korban
berlebih-lebihan dalam memakai hak tersebut. Akan tetapi hal ini jauh
kemungkinannya, karena eratnya hubungan antara jarmah tersebut
dengan pribadi pelaku cukup menimbulkan sikap berhati-hati, sebab
sudah menjadi sikap manusia untuk senang melakukan pembalasan
terhadap orang yang berbuat jahat terhadap dirinya dari pada
memberikan pengampunan. Jadi, eratnya hubungan jarmah dengan
diri pelaku cukup menjamin tidak dilebihkannya pemakaian hak
mengampuni sehingga hal ini tidak akan mengganggu keamanan
masyarakat. 127
Pada dasarnya, hukuman dijatuhkan untuk memberantas jarmah,
akan tetapi tidak selalu dapat menghalangi terjadinya jarmah.
Sedangkan pengampunan sering dapat menghalangi terjadinya jarmah
127

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 282

84

dalam jangka panjang, sebab pengampunan diberikan sebelum vonis


dijatuhkan, setelah pelaku dinyatakan bersalah di muka hakim,
kemudian terjadi perdamaian yang didasari oleh kebersihan hati nurani
dari unsur-unsur pembuat jarmah. Jadi, pengampunan mengisi tugas
hukuman dan mewujudkan akibat yang oleh hukuman itu sendiri tidak
bisa diwujudkan.
Tidak selamanya hukuman qishsh dapat dijalankan, meskipun
tidak ada pengampunan dari korban, karena pelaksanaan hukuman
tersebut tergantung kepada pemenuhan syarat-syaratnya (pelaku mati
misalnya). Dalam hal ini, maka hukuman diyat itulah yang dijatuhkan,
sebab penetapan hukuman diyat tidak tergantung kepada permintaan
perseorangan. Hukuman tazr baru dapat dijatuhkan, apabila dapat
terhindar sama sekali dari hukuman qishsh. Qishsh merupakan
hukuman pokok bagi jarmah pembunuhan dan penganiayaan sengaja,
sedangkan diyat dan tazr menjadi hukuman pengganti dan atau
hukuman tambahan. 128
Diyat

adalah

hukuman

pokok

bagi

pembunuhan

dan

penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja. 129 Ketentuan ini


bersumber pada firman Allah:

128

Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 667.


Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 668.

129

85

Artinya: Tidak boleh bagi orang mukmin untuk membunuh orang


mukmin, kecuai karena tidak sengaja. Barang siapa
membunuh orang mukmin karena tidak sengaja, maka
atasnya membebaskan seorang hamba mukmin dan diyat
yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali kalau mereka
memberikannya. (QS. al-Nisa, (4): 92).
dan sabda Nabi:


Artinya: Ingatlah bahwa pada orang yang terbunuh karena sengaja
keliru (semi sengaja), yaitu korban pecut dan tongkat serta
batu adalah seratus onta. (HR. Ibn Majah). 130
Meskipun bersifat hukuman, namun diyat merupakan harta yang
diberikan kepada korban, bukan kepada perbendaharaan negara. Dalam
hal ini, diyat lebih sebagai ganti rugi, apalagi besarnya bisa berbedabeda menurut perbedaan kerugian material yang terjadi dan menurut
perbedaan kesengajaan atau tidaknya terhadap jarmah.
Mungkin lebih tepat bila diyat dikatakan sebagai campuran dari
hukuman dan ganti rugi secara bersama-sama. Dikatakan hukuman
karena diyat merupakan balasan terhadap jarmah, karena jika si
korban memaafkan diyat tersebut, maka pelaku bisa dijatuhi hukuman
tazr. Sekiranya bukan hukuman, tentu tidak perlu diganti dengan
hukuman lain. Dikatakan ganti rugi, karena diyat diterima oleh korban
seluruhnya,

dan

apabila

ia

merelakannya

maka

diyat

bisa

digugurkan. 131
Meskipun diyat dapat berbeda-beda menurut perbedaan antara
semi sengaja dengan tidak sengaja, namun untuk tiap-tiap jarmah
adalah sama, baik untuk orang dewasa atau anak di bawah umur, baik
untuk golongan bangsawan atau orang biasa. Sementara bagi
perempuan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Yang
130

Muhammad ibn Yazid Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunnah Ibn Majah, (Beirut: Dar alFikr, tth.), juz ke-2, h. 877
131
Abd al-Qadir Audah. al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 669

86

sudah disepakati ialah dalam kasus pembunuhan, diyat perempuan


(yang terbunuh) adalah separuh dari diyat laki-laki.
Akan tetapi, dalam kasus penganiayaan, menurut Imam Abu
Hanifah dan Syafii, untuk perempuan dikenakan separuh dari diyat
seorang laki-laki dalam semua keadaan. Menurut Imam Malik dan
Ahmad, perempuan disamakan dengan laki-laki sampai sepertiga diyat.
Kalau diyat melebihi sepertiga, maka dikenakan separuh dari laki-laki.
Sepuluh jari kaki (tangan) dikenakan diyat lengkap yaitu seratus onta,
yang berarti untuk tiap jari dikenakan sepuluh onta. Maka, jika
perempuan terpotong tiga jarinya, maka ia mendapat diyat 30 onta
sama dengan diyat untuk jari lelaki. Akan tetapi kalau perempuan itu
terpotong jarinya delapan, maka ia mendapat 40 onta, atau terpotong
empat jarinya, ia mendapat dua puluh onta, karena empat jari juga
sudah termasuk melebihi dari sepertiga.
Syariat Islam mengadakan pemisahan antara hukuman bagi
pembunuhan sengaja (Qatl al-Amd) dengan hukuman pembunuhan
semi sengaja (Syibh al-Amd). Untuk pelaku pembunuhan sengaja
dikenakan hukuman qishsh, sedangkan untuk pelaku pembunuhan
semi sengaja dikenakan hukuman diyat. Perbedaan ini disebabkan
karena pada pembunuhan sengaja pelaku meniatkan matinya korban,
sedangkan pembunuhan semi sengaja, pelaku tidak meniatkan
demikian. Alasan lain ialah bahwa hukuman qishsh menghendaki
adanya keseimbangan antara yang diperbuat oleh pelaku dengan yang
diperbuat terhadapnya, sedang keseimbangan itu tidak ada, sebab
pelaku sendiri pada pembunuhan semi sengaja tidak meniatkan
matinya korban.
Berkaitan dengan penanggung diyat, pada umumnya fuqaha
sepakat untuk mengikutsertakan keluarga pelaku yang disebut aqilah

87

dalam pembayaran diyat. Yang dimaksud keluarga ialah sanak


saudaranya yang datang dari pihak ayah (ashabah). Keluarga yang
jauh diikutsertakan karena mereka juga bisa menjadi ahli waris
(cadangan) jika keluarga dekat tidak ada. Keluarga dalam hal ini tidak
termasuk saudara-saudara seibu dan keturunannya, suami atau istri,
dan keluarga zawi al-arham (seperti cucu perempuan atau cucu lakilaki dari anak perempuan), yakni keluarga yang tidak menerima
warisan. 132
Diikutsertakannya keluarga dalam menanggung diyat, berarti
orang-orang yang tidak melakukan kejahatan ikut menanggung akibat
kejahatan pelaku. Hal ini adalah suatu pengecualian dari aturan pokok
syariat yang umum, yaitu bahwa orang lain tidak dapat menanggung
akibat perbuatan orang lain. Sebagaimana firman Allah Dan orang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. 133
Akan tetapi, keadaan pelaku dan korban bersama-sama
menghendaki adanya pengecualian tersebut, bahkan harus diwujudkan
untuk menjamin rasa keadilan dan persamaan, dan untuk menjamin
sepenuhnya hak-hak korban. Ada beberapa alasan yang membenarkan
adanya pengecualian tersebut. 134 Pertama, jika hanya memegangi
prinsip seseorang hanya menanggung dosanya sendiri, maka
hukuman, khususnya diyat hanya dapat dikenakan terhadap pelaku
jarmah yang kaya saja sedangkan jumlah mereka lebih sedikit. Diyat
tidak dapat dikenakan terhadap pelaku jarmah yang miskin,
sedangkan jumlah mereka lebih besar. Dengan kata lain, korban atau
walinya akan mendapat diyat yang lengkap apabila pelaku adalah
132

Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 668. Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, h. 287
133
Lihat QS. Al-Fathir (35): 18
134
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 289-291

88

orang kaya, atau hanya akan mendapat sebagian diyat, jika pelakunya
adalah orang yang sedang-sedang saja kekayaannya, atau apabila
pelaku miskin, dan memang demikianlah keadaan kebanyakan pelaku
jarmah, maka korban atau walinya tidak akan memperoleh diyat sama
sekali. Maka hilanglah keadilan antara pelaku dan korban atau
walinya.
Kedua, meskipun diyat merupakan hukuman, namun ia menjadi
hak kebendaan bagi korban atau walinya. Kalau pelaku saja yang
membayarnya, maka kebanyakan korban atau walinya tidak akan dapat
menerimanya, karena biasanya kekayaan perseorangan lebih kecil dari
pada jumlah diyat, yaitu 100 onta. Jadi meninggalkan aturan umum
dapat menjamin diterimanya hak tersebut oleh orang yang berhak
menerimanya. Dengan demikian, korban jarmah pembunuhan sengaja
tidak akan teraniaya haknya. Seperti diketahui, bahwa hukuman pokok
untuk jarmah ini adalah qisas, dan qisas tidak akan diganti dengan
diyat, kecuali jika wali atau korban memaafkannya, sedangkan korban
atau wali tidak akan memaafkan kecuali apabila sudah mendapatkan
jaminan akan mendapatkan diyat. Kalau ternyata tidak ada harta yang
cukup untuk membayar diyat, sedangkan ia memaafkannya, maka ia
tidak akan merasa dirugikan dari keadaan yang dipilihnya itu.
Ketiga, Dasar hukuman dalam jarmah tidak sengaja ialah
kelalaian dan tidak berhati-hati, sedangkan kedua keadaan ini pada
umumnya disebabkan karena salah asuh atau salah didik. Orang yang
bertanggung jawab atas pendidikan seseorang ialah orang-orang yang
mempunyai pertalian darah dengan dia, sebagaimana lazimnya bahwa
seseorang mencerminkan tingkah laku keluarganya.
Keempat,

kehidupan

keluarga

dan

masyarakat

menurut

tabiatnya ditegakkan atas dasar tolong-menolong dan kerjasama. Oleh

89

karena itu, menjadi kewajiban tiap anggota keluarga untuk menolong


anggota keluarga lainnya. Demikian pula kewajiban tiap anggota
dalam masyarakat.
Kelima, ketentuan pokok syariat Islam ialah keharusan
memelihara jiwa seseorang dan tidak boleh menyia-nyiakannya. Diyat
ditetapkan untuk menjadi pengganti dan memelihara jiwa. Kalau hanya
pelaku

sendiri

yang

menanggung

diyat

dan

harus

dipertanggungjawabkan kepadanya karena perbuatannya, sedang ia


tidak mampu membayarnya, hal itu berarti jiwa si korban akan disiasiakan. Jadi, menyimpang dari aturan umum dalam hal ini justru
menjadi suatu keharusan agar jiwa seseorang tidak disia-siakan.
Perlu ditambahkan di sini, bahwa diyat yang harus dibayar oleh
pelaku dan keluarganya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu diyat
mughallazhah (diyat berat) dan diyat mukhaffafah (diyat ringan). Yang
termasuk dalam kategori berat adalah diyat atas pembunuhan sengaja
dan pembubunuhan semi sengaja. Hal ini disebabkan karena dalam
pembunuhan sengaja terdapat unsur maksud dan tujuan untuk
menghabisi nyawa korban, di samping adanya unsur perbuatan
(kekerasan) dalam mencapai maksud tersebut. Adapun dalam
pembunuhan semi sengaja, minimal terdapat unsur perbuatan
(kekerasan) membunuh meskipun perbuatan itu tidak dimaksudkan
untuk membunuh. Adapun diyat ringan berlaku atas pelaku
pembunuhan karena kesalahan (tidak sengaja). 135
Adapun diyat yang harus dibayar dalam diyat berat berupa 30
hiqqah (unta yang berumur 4 tahun), 30 jadzaah (unta yang berumur 5
tahun), dan 40 Khalifah/khilfah (unta yang sedang hamil), yang
pembayarannya harus kontan. Sedangkan yang harus dibayar dalam
135

Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 670-674.

90

diyat ringan adalah 20 bint makhadh (unta betina yang induknya


hampir melahirkan), 20 Ibn Makhadh (unta jantan yang induknya
hampir melahirkan), 20 bint labun (anak unta berumur 2 tahun), 20
hiqqah (unta berumur 4 tahun), dan 20 jadzaah (unta berumur 5
tahun). 136
b. Hukuman Tazr
Hukuman tazr ialah hukuman yang dijatuhkan atas jarmahjarmah yang tidak dijatuhkan atasnya hukuman yang telah ditentukan
oleh hukum syariat, yaitu hudd dan qishsh, dari hukuman yang
paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang
untuk memilih di antara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman
yang sesuai dengan jarmah yang dilakukan serta diri pelakunya. 137
Di antara hukuman tazr itu meliputi:
1) Hukuman Mati (uqbah al-qatl)
Pada dasarnya, menurut syariat Islam, hukuman tazr
bertujuan memberi pengajaran, bukan untuk membinasakan. Oleh
karena itu, dalam hukuman tazr, tidak boleh ada pemotongan
anggota badan atau penghilangan nyawa. 138
Dari aturan umum di atas, para ulama membuat suatu
pengecualian, yakni boleh melakukan hukuman mati terhadap
suatu tindak kejahatan yang akan membahayakan kepentingan
umum, atau suatu tindak kejahatan yang tidak dapat diberantas
kecuali dengan membunuh pelakunya. Seperti hukuman terhadap
mata-mata, pembuat fitnah, dan residivis yang berbahaya. Dengan

136

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islm wa adillatuh, juz ke-6, h. 285


Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 290-291
138
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 248, Lihat juga Muhammad Abu
Zahrah, al- Jarmah wa al-Uqbah fi Fiqh Islm, (al-Arab: Dar al-Fikr, t.tp.), h. 26
137

91

demikian aspek pendidikan dalam kasus ini lebih ditujukan pada


masyarakat secara umum. 139
Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian
dalam kasus hukuman tazr seperti di atas. Bahkan, apabila
menyangkut urusan nyawa manusia, maka hukuman mati tidak
boleh diserahkan sepenuhnya pada para hakim. Akan tetapi,
penguasa atau pemerintah harus menentukan jenis-jenis jarmah
mana saja yang dapat di jatuhi hukuman mati.
Dengan ketentuan di atas, maka hukuman mati sebagai
hukuman tazr tentu tidak banyak jumlahnya. Di luar tazr,
hukuman mati hanya dikenakan terhadap perbuatan-perbuatan zina,
gangguan keamanan, murtad, pemberontakan, dan pembunuhan
sengaja. 140
2) Hukuman Jilid (Cambuk/Dera)
Hukuman jilid merupakan hukuman pokok dalam syariat
Islam, karena untuk jarmah-jarmah hudd sudah ditentukan oleh
nash jumlahnya. Misalnya seratus kali untuk zina dan delapan
puluh kali untuk qadzaf, sedangkan untuk jarmah tazr belum
ditentukan jumlahnya. Bahkan untuk jarmah tazr yang
berbahaya, hukuman jilid lebih diutamakan.
Sebab diutamakannya hukuman tersebut, karena pertama,
hukuman jenis ini dianggap lebih efektif dan berhasil dalam
memberantas para pelaku tindak kejahatan. Kedua, hukuman jilid
mempunyai batas tertinggi dan batas terendah di mana hakim bisa
memilih jumlah jilid yang terletak antara keduanya yang lebih
139

Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 688


Ulama Hanafiyah dan Malikiyah menetapkan adanya hukuman mati dalam tazr, bagi
kasus tindak kejahatan yang membahayakan negara. Mereka memberi istilah dengan al-tazr bi
al-qatl al-siyasah. Dalam hal ini, hakim diberikan wewenang untuk menjaga kemaslahatan. Lihat
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islm wa adillatuh, juz ke-6, h. 200
140

92

sesuai dengan keadaan pelaku. Ketiga, dari segi pembiayaan, tidak


merepotkan keuangan negara dan tidak pula menghentikan aktifitas
ekonomi pelaku yang dapat menyebabkan keluarganya terlantar.
Sebab hukuman jilid bisa dilaksanakan seketika dan setelah itu
pelaku bisa bebas. Keempat, dengan hukuman jilid pelaku dapat
terhindar dari akibat-akibat buruk penjara seperti rusaknya akhlak,
memburuknya kesehatan, dan terhindar dari kebiasaan negatif
seperti menganggur dan bermalas-malasan. 141
Tentang batas tertinggi hukuman jilid, para fuqah berbeda
pendapat. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama
Malikiyah, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa, karena
hukuman tazr didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas
berat ringan jarmah. Oleh karena itu, penguasa bisa mengadakan
penelitian untuk kemudian menentukan jumlah jilid.. Sementara
Imam Malik membolehkan untuk menjatuhkan hukuman jilid
hingga 100 kali, meskipun dalam jarmah hudd,

hukuman

tersebut tidak lebih dari 100 kali. 142


Sedangkan Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa
batas tertinggi hukuman jilid dalam jarmah tazr adalah 39 kali.
Adapun menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Perbedaan pendapat
tersebut berpangkal pada Hadis Nabi berikut:


Artinya: Barang siapa mencapai Hd (batas tertinggi) bukan
pada jarmah hudd, maka ia termasuk orang yang
melampaui batas, (HR. Baihaqi) 143

141

Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 249


Abd al Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 689
143
Ahmad ibn al-Husain ibn Ali ibn Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi alKubro, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Bazi, 1994), Juz Ke-8, h. 327
142

93

Sementara dalam mazhab Syafiiyyah, terdapat tiga pendapat.


Pertama, sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan
Muhammad. Kedua, sama dengan pendapat Abu Yusuf, dan ketiga,
hukuman jilid dalam tazr boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak
sampai 100 kali. 144
3) Hukuman Penjara (al-habas)
Ada dua macam hukuman kurungan 145 dalam syariat Islam,
yaitu hukuman penjara terbatas dan hukuman penjara tidak
terbatas. Dalam hukuman penjara terbatas, batas terendah ialah
satu hari, sedangkan batas tertinggi tidak menjadi kesepakatan.
Ulama Syafiiyyah menetapkan batas tertinggi satu tahun karena
mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarmah
zina. Fuqaha lainnya menyerahkan batas tertinggi tersebut kepada
penguasa. 146
Mengenai hukuman penjara tidak terbatas, disepakati bahwa
hukuman ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan
dapat berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat
sehingga dapat dijamin telah terjadi perbaikan dalam diri
pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman tersebut ialah penjahat
yang berbahaya atau orang-orang yang berulang atau sering
melakukan kejahatan. 147
4) Hukuman Pengasingan (al-taghrb)
Mengenai masa pengasingan dalam jarmah tazr, mazhab
Syafii dan Hanbali menetapkan tidak lebih dari satu tahun agar
144

Abd al Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 694


Rasul pernah memenjarakan seorang laki-laki. Demikian pula, hal ini juga pernah
dilakukan Umar ibn al-Khattab, malah ia menetapkan hukuman penjara menjadi salah satu dari
jenis hukuman tazr. Hal ini selanjutnya diikuti pula oleh Usman dan Ali. Lihat, Wahhab alZuhaily, al-Fiqh al-Islami waadillatuhu, Juz ke-6, h. 198
146
Abd al Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h.694
147
Abd al Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 694-697
145

94

tidak melebihi masa pengasingan yang telah ditetapkan sebagai


hukuman hd. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam
Malik berdasarkan Hadis di atas. 148
Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa
pengasingan bisa lebih dari satu tahun sebab pengasingan di sini
adalah hukuman tazr, bukan hukuman Hd. Sedangkan mengenai
batas waktu, Imam Abu Hanifah menyerahkannya kepada
penguasa dalam mengakhiri masa tersebut. 149
5) Hukuman pengucilan (al-ibad)
Pengucilan sebagai hukuman telah diterapkan terhadap istri
yang nusyuz sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah dalam
QS. al-Nisa, (4):34 Istri-istri kalian yang kalian khawatirkan
nusyuz, maka nasehatilah mereka dan kucilkanlah dalam tidur.
Rasulullah juga pernah menjatuhkan hukuman pengucilan
terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu
Kaab ibn Malik, Mirarah ibn Rubaiah dan Hilal ibn Umayyah.
Mereka dikucilkan selama 50 hari tanpa diajak bicara 150 sehingga
turun firman Allah:
Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi
terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak
pula dada mereka, serta mereka mengira bahwa tidak ada
tempat berlindung dari Tuhan kecuali kepada-Nya, kemudian
Tuhan menerima taubat mereka, agar mereka bertaubat. (QS.
Al-Taubat, 9:48)
6) Hukuman Ancaman (tahdd), Teguran, dan peringatan (wazh)
Ancaman (tahdd) juga merupakan salah satu hukuman tazr
dengan syarat ancaman itu dapat memaksa pelaku menghentikan
kejahatannya, bukan sekedar ancaman kosong. Ancaman biasanya
148

Abd al Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 699


Abd al Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 699
150
Abd al Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h.700
149

95

Teguran juga merupakan hukuman tazr. Hukuman tersebut


pernah dijatuhkan oleh Nabi terhadap sahabat Abu Dzar yang
memaki-maki dan menghinakan orang lain dengan menyebutnyebut ibunya, maka Nabi bersabda:


Artinya: Wahai Abu Zar engkau telah menghina ia dengan
ibunya, engkau adalah orang yang masih dihinggapi
sifat-sifat masa jahiliyah. (HR. Muslim) 152
Hukuman peringatan ditetapkan dalam syariat Islam dengan
jalan memberi nasihat. Hukuman ini dicantumkan dalam QS. alNisa (4) :34, sebagai hukuman terhadap istri.153
3. Hak Hamba (Hak Privat atau Hak Individu)
Al-haqq al-khlis li al-ibd (hak perorangan secara penuh), yaitu
aturan-aturan hukum yang mengatur hak perorangan (individu) yang
berkaitan dengan harta bendanya. Misalnya, kewajiban mengganti rugi
atas seseorang yang telah merusak atau menghilangkan harta orang lain,
hak seorang pemegang gadai untuk menahan harta gadai dalam

151

Abd al Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 703


Muslim ibn al-Hajjaj, Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut:
Dar Ihya al-Turast al-Arabi, tth.), Juz ke-3, h. 1281
153
Di samping nasihat, boleh juga -kalau dipandang perlu- memukul istri dengan niat untuk
memperbaikinya adalah juga merupakan jenis dari hukuman tazr dalam rangka untuk mendidik
istri di jalan yang benar. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islm wa adillatuh, Juz ke-6, h. 211
152

96

Dari pembahasan di atas dapat ditarik garis merahnya bahwa dalam


hukum pidana Islam,

ishlh merupakan bagian dari qishsh yang tidak

dilakukan karena pelaku mendapatkan maaf dari pihak wali/keluarga korban.


Dalam al-Quran, ayat tentang qishsh yakni:

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash


berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat)
kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih.

154

Abd. Al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h 206. Lihat juga Ali Hasballah,
Ushl al-Tasyr al-Islm, cet. Ke-3, h. 296

97

Ayat tersebut turun karena pertama, sebagaimana diriwayatkan dari


Qatadah bahwa apabila hamba suatu kabilah yang memiliki kekuatan terbunuh
oleh hamba dari kabilah lain, maka mereka menuntut balas dengan membunuh
seorang merdeka dari pihak musush. Hal ini mereka lakukan karena adanya
kesombongan dan merasa lebih utama atas yang lain. Demikian pula ketika
yang terbunuh seorang perempuan, mereka menuntut balas dengan membunuh
seorang laki-laki dari pihak musuh. Karena kebiasaan ini, maka turunlah ayat
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita. 155
Kedua, riwayat dari Said ibn Zubair, bahwa pernah dua kabilah Arab di
masa Jahiliyah sebelum datangnya Islam saling membunuh. Masing-masing
dari mereka ada korban yang meninggal dan luka-luka, termasuk di antaranya
wanita-wanita dan hamba-hamba. Kemudian sebelum mereka saling
membalas kembali, mereka masuk Islam. Kemudian salah satu kabilah yang
bersengketa itu menyombongkan kekayaan dan perbekalan mereka, lalu
bersumpah tidak rela kalau tidak membalas pembunuhan yang dilakukan oleh
kabilah lawannya, seraya berkata: Bagi seorang hamba kami yang terbunuh,
maka kami harus dapat membunuh seorang merdeka dari kalangan mereka,
dan bagi seorang wanita, kami harus membunuh seorang laki-laki sebagai
balasannya. Kemudian turunlah ayat hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan kepada kamu qishsh berkenaan dengan orang-orang yang
terbunuh. 156
Istinbath hukum yang dapat diambil dari ayat di atas adalah, pertama,
qishsh merupakan syariat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin
demi kemaslahatan dan kebahagiaan hidup mereka. Kedua, qishsh diyakini
155

Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai al-Bayan: Tafsir Ayat al-Hakam min al-Quran,
terjemahan Muammal Hamidi dan Imran A. Manan dnegan judul Tafsir Ayat Ahkam,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1985), cet. Ke-1, h. 123
156
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai al-Bayan: Tafsir Ayat al-Hakam min al-Quran, h.
123

98

akan memperkecil volume tindak kejahatan, menghilangkan rasa dendam bagi


manusia dan bersifat mendidik, yaitu mencegah orang yang akan melakukan
tindak kejahatan serupa. Ketiga, qishsh mengandung makna kehidupan bagi
manusia, melindungi pribadi-pribadi dan masyarakat. Dan keempat, apabila
wali atau keluarga si terbunuh memberikan maaf dan mau menerima diyat,
maka si pembunuh dan keluarganya wajib menyerahkan diyat itu kepada
mereka tanpa ditunda-tunda atau diperlambat.
Disyariatkannya qishsh oleh Allah tentu saja mengandung makna yang
amat dalam, yakni dalam rangka menjaga darah manusia dan memelihara
nyawa umat manusia, serta untuk membasmi benih-benih fitnah yang ada di
antara sesama manusia. Maka mengambil tindakan kepada pelaku kejahatan,
di samping bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelakunya, juga
ditujukan kepada orang lain untuk tidak melakukan tindakan serupa, agar
semua manusia menjadi takut dan tidak mau melakukan suatu pembunuhan
atau kejahatan lainnya. Karena apabila mereka melakukan pembunuhan, ada
ancaman hukuman qishsh yang akan mereka dapatkan. Dengan demikian,
penghargaan terhadap arti kehidupan adalah sesuatu yang diutamakan. Jika
pelaku pembunuhan itu tidak diqishsh, maka akan timbul fitnah, ancaman
keamanan, dan secara tidak langsung membiarkan berkembangnya spirit untuk
saling mengalirkan darah demi membalas dendam. Qishsh diharapkan dapat
memadamkan rasa dendam yang ada dalam hati korban maupun keluarganya
dan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan.
Meski demikian, Islam di samping mensyariatkan hukuman qishsh juga
secara serentak menganjurkan bagi para pemeluknya untuk suka memaafkan.
Pemberian maaf itu dilakukan ketika vonis qishsh akan dijatuhkan. Ajaran ini
semata-mata merupakan ajakan untuk berbuat kebaikan, bukan suatu
ketetapan yang mengesampingkan fitrah manusiawi, serta mendorong orang

99

untuk berbuat sesuatu di luar batas kemampuannya. Memaafkan adalah lebih


baik daripada melakukan pembalasan yang destruktif.
Karena adanya peluang untuk memberikan maaf ini, yaitu terjadinya
ishlh antara kedua pihak yang berperkara, maka penulis menganggap bahwa
ishlh merupakan bagian integral dari hukum pidana Islam (Jinyah). Jadi,
melalui

ishlh, para pihak dianjurkan untuk lebih mengedepankan

perdamaian guna menghilangkan rasa dendam dan permusuhan yang


berkepanjangan. Para pihak lebih mengedepankan usaha-usaha persuasif
ketimbang usaha-usaha yang destruktif. Penegakan hukum bagi tindak
kejahatan dengan memberikan jaminan keadilan hukum bagi semua tanpa
mengenal kasta merupakan komitmen Islam untuk menjaga kemaslahatan
umat manusia di dunia, jauh dari kebencian dan permusuhan antar sesama
masyarakat. Maka, karena ishlh berada pada ranah kemaslahatan umat, maka
ishlh menjadi sesuatu yang relevan bahkan wajib untuk segera diwujudkan.

BAB IV
FIKIH ISHLH

A. Obyek ishlh
Sebagaimana telah dijelaskan secara singkat dalam bab II mengenai
ruang lingkup obyek ishlh, maka dalam awal pembahasan bab IV ini akan
diuraikan secara lebih detil tentang obyek ishlh tersebut.
Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa penyelesaian konflik dapat
melalui jalur hukum yaitu melalui proses pengadilan dan dapat juga melalui
proses non pengadilan. Dalam konteks penyelesaian konflik melalui jalur
hukum, maka obyek ishlh dapat dibagi dalam dua lapangan, yaitu pidana
(jinyah) dan perdata (al-ahwl al-syakhshiyah). Dalam konteks jinyah,
khususnya qishsh maka muara penyelesaian konflik oleh hakim jinyah
dapat meliputi dilaksanakannya qishsh, ditetapkannya diyat, atau hanya
ditetapkan ta'zr semata atas diri terpidana.
Khusus dalam kasus qatl al-amd yang dapat dijatuhi hukuman
maksimal berupa hukuman mati, maka jika pihak keluarga korban memilih
mengedepankan ishlh, maka 'afw dari keluarga korban dapat merubah
putusan hakim dari sedianya menjatuhkan hukuman maksimal yaitu hukuman
mati, menggantinya dengan penjatuhan diyat atau ta'zr atas terpidana dan
keluarganya. Dengan demikian, pelaksanaan ishlh dalam kasus pidana ini
memutlakkan adanya maaf dan atau denda/ganti rugi.
Demikian pula adanya dengan berbagai kasus pidana lain di bawah kasus
pembunuhan sengaja, seperti kasus pelukaan. Jika korban mengedapankan
ishlh dengan memaafkan pelaku, maka 'afw dari korban menyebabkan hakim
pidana tidak menjatuhkan hukuman maksimal, melainkan diganti dengan
hukuman diyat atau ta'zir. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan secara cukup
panjang lebar dalam pembahasan ishlh dalam jinyah.

98

99

Dalam konteks hukum perdata, sebagaimana konflik baju besi antara


Thu'mah dengan teman Yahudinya yang diselesaikan oleh Rasulullah, dapat
disimpulkan bahwa keduanya didamaikan oleh Rasulullah dengan tambahan
denda atas Thu'mah untuk mengembalikan baju besi milik temannya tersebut.
Konflik individu seperti terjadinya perkelahian juga dapat diselesaikan
dengan ishlh, yaitu dengan perantara seseorang yang dihormati kedua pihak
dan netral dapat mengajak keduanya untuk bersedia saling memahami dan
memaafkan, untuk kemudian bersedia saling memberi dan menerima demi
menyelesaikan konflik. Konflik individu dengan Tuhan dapat diselesaikan
antara individu tersebut dengan Tuhan melalui jalan taubat.
Dalam konteks keluarga, konflik yang biasa disebut dengan istilah
nusyz dan syiqq dapat terjadi antara suami dengan istri. Nusyz dapat
diselesaikan dengan beberapa langkah yaitu pertama, suami memberikan
nasehat. Kedua, berpisah tempat tidur, dan jika tetap belum ada perbaikan
maka dilakukan upaya ketiga, boleh memukul dengan kadar pukulan sebagai
suatu bentuk pengajaran (Q.S. al- Nisa' (4): 34. Jika ketiga langkah ini tidak
berhasil, maka digunakan jasa hakam untuk memediasi keduanya dalam
rangka mencegah terjadinya syiqq (35). Begitu pula ketika terjadi zhihr oleh
suami terhadap istrinya, maka hukum Islam menentukan, bahwa untuk
memutus konflik antara keduanya yang disebabkan oleh zhihr tersebut, maka
suami harus membayar kaffrah.
Dalam konteks sosial, konflik dapat terjadi antar kelompok masyarakat
baik berupa konflik antar suku dan agama, juga konflik karena masalah
kepentingan ekonomi dan politik. Sebagaimana yang akan penulis bahas
dalam sub bab terakhir dari bab ini. Adapun konflik antar negara juga dapat
terjadi sehingga mengakibatkan peperangan antar negara. Hal ini dapat
diishlhkan melalui pembuatan perjanjian damai antara keduanya.

100

Dengan demikian, obyek ishlh dapat melingkupi beberapa hal


sebagaimana digambarkan secara ringkas dalam bagan sebagai berikut:

ISHLH

KONFLIK

INDIVIDU

KELUARGA

SOSIAL
Kerusuhan sosial

NEGARA
Perang

Nusyuz Syiqq
Perkelahian

Dari pembahasan obyek ishlh di atas dapat diambil kesimpulan lain,


yaitu bahwa inti dari pelaksanaan ishlh dalam tiap obyek ishlh adalah
adanya kesediaan memaafkan ('afw) oleh pihak yang merasa dirugikan
(korban) kepada pelaku dan kesediaan membayar/memberi ganti rugi atau
denda (diyat/kaffrah) oleh pihak yang merugikan (pelaku) kepada pihak yang
dirugikan (korban). Sebagaimana dapat dilihat di atas bahwa dalam kasus
pidana, terpidana diharuskan membayar diyat sebagai imbalan 'afw dari
korban. Dalam kasus perdata, pelaku harus membayar kaffarat sebagai
imbalan 'afw dari korban. Begitu pula dalam kasus-kasus lainnya. Singkat kata
'afw dan diyat/kaffarat adalah inti dari pelaksanaan ishlh.
Perlu dijelaskan bahwa diyat/kaffarat/denda/ganti rugi yang biasanya
berupa materi berfungsi sebagai alat pemutus konflik yang harus ditunaikan
oleh pelaku, sementara korban menunaikan pemberian maaf yang sifatnya
immateri. Oleh karena itu pula, sudah semestinya denda atau apapun
istilahnya yang harus ditunaikan oleh pelaku, tidak hanya dalam bentuk materi

101

saja akan tetapi termasuk juga tindakan-tindakan ruhani dan jasmani yang
dapat memutus konflik sebagaimana akan diterangkan kemudian.

B. Subyek Ishlh
Sebagaimana telah diterangkan pula dalam bab II bahwa para subyek
yang terlibat dalam ishlh dapat terdiri dari Tuhan, individu, keluarga, sosial,
dan negara dengan perincian keberhadapan antar subyek sebagaimana
dijelaskan terdahulu. Oleh karena itu, secara ringkas para subyek ishlh
tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel ruang lingkup ishlh berdasarkan subyek konflik


SUBYEK

INDIVIDU

KELUARGA

SOSIAL

NEGARA

TUHAN

INDIVIDU

KELUARGA

SOSIAL

NEGARA

TUHAN

ISHLH VS

Perlu digarisbawahi, bahwa selain para subyek di atas masih ada subyek
ishlh, yang secara langsung atau tidak, sangat berperan dalam mewujudkan
ishlh antara pihak yang berkonflik. Subyek tersebut adalah mediator yang
berperan menengahi dan menjadi perantara di antara para subyek ishlh dalam
mewujudkan ishlh. Mediator ini bisa hadir dalam kapasitasnya sebagai hakim
dalam kasus hukum pidana atau perdata, hakam dalam kasus konflik rumah
tangga, dan arbiter dalam kasus konflik sosial, individu, maupun negara. Hal
ini sebagaimana telah diterangkan pula dalam pembahasan ishlh dalam
konteks sejarah. Memang kehadiran mediator ini tidak selalu diperlukan

102

dalam setiap konflik, karena memang bisa saja konflik diselesaikan oleh kedua
pihak yang bersengketa saja tanpa memerlukan bantuan mediator dalam
berbagai kapasitasnya tersebut.
Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa subyek ishlh pada dasarnya
meliputi dua pihak yang bersengketa sebagai inti dari subyek pelaksana ishlh.
Adapun mediator, meskipun berperan sangat penting, namun karena
keberadaannya tidak selalu dibutuhkan, maka kedudukannya hanya sebagai
subyek pelengkap atau penyempurna terlaksananya ishlh.

C. Rukum Ishlh
Setiap akan melangsungkan suatu akad, maka harus diperhatikan rukun
dan syaratnya. Rukun dan syarat merupakan instrumen menentukan sahnya
pelaksanaan suatu akad termasuk saat akan melakukan ishlh. Jika dalam
suatu akad tertinggal salah satu rukunnya, maka akad tersebut akan menjadi
tidak sah. Mengenai rukun ishlh, terjadi perbedaan pendapat. Madzhab
Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ishlh

itu hanya satu, yaitu adanya

shghah lafal ijab dan kabul saja. 157 Sayyid Sabiq juga sependapat dengan
ulama Hanafiyah, bahwa menurutnya rukun ishlh itu hanyalah ijab dan kabul
saja dengan lafal apa saja yang dapat menimbulkan perdamaian. 158 Sedangkan
Mazhab Syafiiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah (merupakan kelompok
Jumhur) berpendapat bahwa, rukun ishlh itu terdiri dari tiga yaitu: Shghah,
al-qidain, dan Muhal. 159
Yang dimaksud dengan Shghah, yakni ijab dan qabul yang dilakukan
oleh dua orang (dua belah pihak) yang bermaksud untuk melakukan ishlh.
Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syarah al-Islmiyah, (Beirut: Dar al-Syamiyah,
1996), h. 30
158
Adapun lafazhnya seperti ucapan satu pihak Aku berdamai denganmu, Aku bayar
hutangku padamu yang lima puluh dengan seratus, lalu pihak lain berkata Telah aku terima,
dapat pula dengan kalimat-kalimat lain yang serupa dengan itu, lihat Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah,
terj., H. Kamaludin A. Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah, h. 190
159
Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syarah al-Islmiyyah, h. 23
157

103

Misalnya satu pihak berkata: Aku berdamai denganmu tentang masalah


ini. Sementara yang satu menerima dengan ucapan aku terima atau aku
rela. Apabila Shghah yang sederhana ini diucapkan maka telah terjadi ishlh
antara dua orang (para pihak) yang sedang bersengketa tersebut. 160
Adapun yang dimaksud dengan al-qidain (dua orang yang berakad)
yang merupakan subyek ishlh dapat juga disebut mushlih, Sayid Sabiq
menyatakan bahwa mushlih adalah orang yang tindakannya dinyatakan sah
secara hukum. Maka tidak sah apabila orang yang akan melakukan
perdamaian itu orang gila atau anak kecil. Namun, jika ishlh itu dilakukan
oleh anak kecil yang sudah mumayyiz, hal seperti itu diperbolehkan. 161 Para
mushlih dapat terdiri atas individu atau kelompok sebagaimana telah
dijelaskan pada sub bab subyek ishlh di atas.
Adapun berkaitan dengan muhal (meliputi mushlih anh dan mushlih
alaih), 162 fuqaha menjelaskan bahwa berkaitan dengan mushlih 'anh, tidak
ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang tidak berlakunya ishlh
dalam tindak pidana yang melanggar hak Allah. Untuk itu, menjadi tidak sah
apabila ishlh dilakukan dalam perkara hudd seperti had zina, sariqah, syurb
al-khamr, qadzaf dan lainnya, karena untuk hukuman hd sudah ditentukan
batas-batas maupun kadar hukumannya oleh nash. Sedangkan dalam kasus
qishash diyat yang berkaitan dengan hak hamba, disepakati merupakan ranah
untuk melakukan ishlh.

163

Begitu pula ishlh berlaku untuk hal-hal yang

berkaitan dengan masalah mu'amalat duniawi. Sebagaimana telah dijelaskan


dalam pembahasan ishlh dalan jinayah, posisi ishlh dalam mashlahah, dan
Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syarah al-Islmiyyah, h. 23
Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, h. 191
162
Syarat mushalih anhu adalah pertama, bahwa ia dapat berbentuk harta yang mempunyai
nilai dan mempunyai manfaat. kedua, bahwa ia termasuk hak manusia yang boleh diganti
sekalipun penggantian itu berupa harta, seperti kasus qishash. Adapun mushalih alaih adalah hal
yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain untuk memutus perselisihan. Lihat Sayid
Sabiq, Fiqh al- Sunnah, h. 189
163
Ibn Qudamah al- Maqdisi, al- Mughni, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1994), juz ke4, jil. ke-7, h. 30
160
161

104

obyek ishlh. Mengenai mushlih alaih akan di bahas lebih rinci dalam sub
bab berikutnya, yaitu syarat ishlh.
Apabila ishlh telah dilangsungkan, maka ia menjadi akad yang mesti
dipenuhi oleh kedua belah pihak. Salah satu dari mereka tidak boleh atau tidak
dibenarkan mengundurkan diri dengan jalan mem-fasakh-nya. Tanpa terlebih
dahulu memberitahu kepada yang lainnya, serta harus ada kerelaan dari yang
bersangkutan. Pembatalan tidak boleh dilangsungkan sepihak. 164

D. Syarat Ishlh
Telah jelas bahwa rukun ishlh terdiri atas tiga sebagaimana telah
dipaparkan di atas. Telah jelas pula kiranya bahwa Shghah haruslah berisi
ijab dan qabul yang dilakukan oleh dua orang (dua belah pihak) yang
bermaksud untuk melakukan ishlh, bahwa Shghah bisa dalam kata-kata
sederhana asalkan jelas maknanya yaitu untuk mengadakan perdamaian.
Apabila Shghah yang sederhana ini diucapkan tentu saja telah terjadi ishlh
antara dua orang mushlih. Demikian pula telah jelas perihal para mushlih.
Oleh karena itu kedua rukun ini tidak penulis bahas lebih lanjut, karena
agaknya telah cukup pembahasan mengenai syarat-syarat Shghah dan para
mushlih, demikian juga telah jelas mengenai syarat mushlih 'anh. Yang
perlu dibahas lebih lanjut adalah syarat-syarat mushlih 'alaih karena ia
berkaitan langsung dengan hal-hal yang harus dilakukan oleh para pihak
dalam rangka memutus konflik. Juga akan dijelaskan lebih luas tentang syaratsyarat mediator.
Telah dijelaskan bahwa inti dari pelaksanaan ishlh adalah 'afw dan
diyat/kaffarat. Maka isi mushlih 'alaih haruslah berisi kedua hal tersebut.
Perlu dijelaskan pula, bahwa diyat/kaffarat dalam berbagai macam obyek
ishlh tidak hanya berupa harta benda, akan tetapi termasuk pula perbuatan164

Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, h. 191

105

perbuatan yang dapat memutuskan konflik. Demikian Sayyid Sabiq secara


umum menjelaskan pengertian mushlih 'alaih. Oleh karena itu, perlu
dirumuskan hal-hal yang perlu dilakukan para mushlih dalam rangka
memutus konflik. Dengan sendirinya, hal-hal tersebut menjadi syarat minimal
isi dari mushlih alaih.

1. Muatan Mushlih 'Alaih


a. Menjauhi Prasangka buruk, Hinaan, dan Fitnah
Ajaran ishlh yang dibawa para Nabi adalah bercirikan
kedamaian dan berusaha terlebih dahulu membawa manusia sebagai
agen ishlh- menjadi shlih. Manusia yang shlih dapat ditandai
dengan semangatnya dalam memperbaiki diri dengan berbagai amalan
positif yang diperintahkan maupun yang dianjurkan. Dengan demikian,
keshlihan manusia dengan sendirinya akan memelihara lestarinya
ishlh. Berbagai amal kebajikan yang perlu dilakukan dalam rangka
memelihara lestarinya ishlh ini dapat disarikan dari berbagai perintah
Allah yang mengiringi perintah berbuat ishlh itu sendiri.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat (49): 9-10
sebagai berikut.

106

107

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah
kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil(9) Orang-orang beriman itu Sesungguhnya
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan)
antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya
kamu mendapat rahmat(10) Hai orang-orang yang beriman,
janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan
yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari
mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.
dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan
memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburukburuk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman
dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim(11) Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencaricari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang(12) Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal(13)

108

Ayat ini berisi beberapa hal yang harus dijauhi dalam rangka
memutus konflik dan melestarikan ishlh yang meliputi larangan
saling menghina/mengolok-olok antar manusia dan kelompok,
larangan saling mencela, larangan memanggil orang lain dengan gelar
yang buruk dan memancing kemarahan apalagi dengan gelaran seperti
kafir, fasik, masuk neraka dan lain-lain yang menyakitkan hati.
Kemudian dalam ayat 12, Allah perintahkan untuk menjauhi terlalu
banyak berprasangka buruk, karena hal ini dapat mengakibatkan
timbulnya kembali rasa saling curiga dan ketidaknyamanan dalam
pergaulan. Allah juga melarang untuk mencari-cari kesalahan orang
lain, dan menggunjingkan kekurangan orang lain. Bahkan Allah
mengumpamakan gunjingan itu seperti memakan bangkai manusia.
Dari ayat di atas, terlihat bahwa berbagai perintah dan larangan
yang mengiringi perintah berbuat ishlh adalah perintah dan larangan
yang terkesan lebih teraksentuasi pada pembinaan kesalehan sosial.
Kesalehan individu secara otomatis tercakup di dalamnya. Kesan ini
semakin kuat dengan diakhirinya berbagai perintah di atas dengan ayat
13, yang menyatakan:
hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan perempuan serta menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.
Dalam konteks hubungan antar manusia, nilai-nilai ishlh
tercermin dalam keharmonisan hubungan antar mereka. Ini berarti, jika
hubungan antar dua pihak retak atau terganggu, maka telah hilang atau
minimal berkurang kemanfaatan dan kebaikan dalam hubungan
keduanya dan masyarakat pada umumnya, sehingga terjadi kerugian
dalam masyarakat karena gagal memperoleh manfaat dari kebaikan

109

hubungan tersebut. Dalam keadaan seperti ini diperlukan ishlh agar


perbaikan dan keharmonisan pulih, sehingga pulih juga hubungan
kedua kelompok, dan sebagai dampaknya akan lahir aneka manfaat
dan kemashlahatan bagi kedua kelompok dan masyarakat secara lebih
luas.
Oleh karena itu, orang beriman dituntut untuk berperan aktif
dalam menyelesaikan konflik tersebut, khususnya bagi orang beriman
yang tidak terlibat langsung dalam pertikaian, baik pertikaian itu hanya
melibatkan dua orang saja apa lagi jika pertikaian itu melibatkan dua
kelompok masyarakat. Demikian sebagaimana dinyatakan Quraish
Shihab, ketika menafsirkan QS. Al-Hujurat (49): 10. Dengan demikian
mendamaikan pertikaian atau dengan kata lain menjadi mediator antara
dua

kelompok

yang

sedang

berkonflik,

dengan

melakukan

musyawarah dan tawar menawar yang jujur dan sehat di antara semua
pihak, dalam rangka meredakan konflik adalah kewajiban atas orang
beriman. 165
Di samping itu, ketika menafsirkan ayat sebelumnya (ayat 9),
Quraish Shihab menyatakan bahwa penggunaan kata kerja lampau
iqtatal tidak harus dipahami dalam arti telah bertikai, tetapi dapat
juga diartikan hampir bertikai. Dengan demikian, ayat di atas
menuntun kaum beriman agar segera turun tangan

melakukan

perdamaian begitu tanda-tanda perselisihan telah nampak di kalangan


mereka. Jangan menunggu sampai rumah terbakar, tetapi padamkan
api sebelum menjalar. 166
Tafsiran ini mengedepankan upaya-upaya preventif yang harus
dilakukan sebelum pertikaian bahkan kerusuhan menghancurkan
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), vol. 13, h. 247
166
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, h. 244
165

110

masyarakat. Hal ni juga mengisyaratkan kepada orang beriman untuk


senantiasa memperhatikan kondisi masyarakat di sekitarnya dari waktu
ke waktu sehingga setiap saat, berbagai gerak dan gejolak negatif yang
timbul dapat segera diketahui dan segera diselesaikan sebelum menjadi
besar.
Seiring dengan tugasnya sebagai khalifah, pekerjaan memediasi
dalam mewujudkan ishlh tidak berhenti hanya pada tahap
berdamainya dua kelompok yang bertikai yang ditandai dengan
salaman atau pelukan dan tidak terjadinya lagi letupan pertikaian
setelah pelukan itu saja. Demi menjaga ishlh itu dalam jangka
panjang, perlu dilakukan upaya jangka panjang yang berkaitan dengan
merubah perilaku masyarakat tersebut menjadi shlih.
Perlu disadari bersama bahwa dalam masyarakat yang pernah
mengalami pertikaian antar kelompok, tentu mengalami luka fisik
bahkan mental yang tidak mungkin hilang. Luka ini akan terus
membayangi sehingga luapan rasa dendam, benci, kemarahan dan lainlain ingin dilampiaskan. 167 Dalam kenteks ini, dakwah untuk
membentuk masyarakat yang sabar dan pemaaf harus dilakukan.
Dengan kondisi mental masyarakat yang kuat dan stabil seperti ini
akan menjadi pijakan kokoh bagi lestarinya ishlh yang telah
disepakati dalam jangka panjang. Masyarakat yang sabar dan pemaaf
harus terwujud karena secara psikologis, masyarakat yang pernah

Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 101-102.
Sebenarnya sakit sekali hati kami kalau mau diingat-ingat kejadian lalu. Sebab orang tua dan
adik kami meninggal ketika terjadi kerusuhan. Tetapi saya sudah memaafkan, Pernyataan
masyarakat yang lain Sejujurnya saya masih ragu dengan kesungguhan orang-orang Kristen
untuk berdamai, apalagi saat kerusuhan terjadi desa kami menjadi sasaran penyerangan mereka
..............
167

111

berkonflik akan terus dihantui oleh kecurigaan dan ketidakpercayaan


terhadap mantan lawan. 168
Secara spiritual, berbagai upaya di atas dilakukan dalam rangka
menunjukkan dan membuktikan iman dan taqwa kepada Allah. Karena
berbagai aktifitas yang menuju kepada perbaikan diri dan umat, lahir
dan batin, merupakan ciri-ciri dari takwa itu sendiri, sebagaimana
firman Allah dalam QS. Ali Imran (3): 133-136 dan QS. Al-Hujurat
(49): 9-13 sebagai berikut:

Dalam sebuah dialog dengan wakil pemerintah dalam proses ishlah Poso, juru bicara
Kristen berkata: Pak Menteri, kami akan bicara dan minta maaf, dan kami mohon teman-teman
muslim juga harus minta maaf. Sebab kalau tidak, akan ada kesan oh.Cuma dorang yang salah
karena dorang so minta maaf. Kedua, kami akan berdamai tanpa syarat. Secara terpisah delegasi
Muslim menjawab menurut ajaran Islam yang saya tahu, bila ada orang salah minta maaf, maka
wajib hukumnya untuk kita maafkan. Atas nama kelompok Islam, saya maafkan asal betul-betul
sampai di hati, tidak sekedar di mulut. Dari dialog ini terlihat bahwa kekhawatiran akan
terulangnya kesalahan yang didasari oleh belum pulihnya kepercayaan masih menghantui antar
kelompok. Lihat Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h.
77-78
168

112

Artinya:

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu


dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi
yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa(133)
Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan(134)
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain
dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka Mengetahui(135) Mereka itu
balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga
yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka
kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orangorang yang beramal(136)

b. Menegakkan Keadilan dalam Masyarakat


Konflik yang terjadi antar manusia dapat disebabkan oleh
beberapa hal dan salah satu yang utama adalah karena harta atau alasan

113

ekonomi. 169 Begitu juga konflik sosial yang terjadi di berbagai daerah
lain di Indonesia tidak terlepas dari faktor ekonomi dan politik. 170 Oleh
karena itu, maka Allah pun berwasiat untuk menyelenggarakan hajat
hidup orang banyak ini dengan seadil-adilnya. Dapat dikemukakan
satu contoh dalam masalah ini yaitu kasus perebutan harta rampasan
perang di kalangan umat Islam sendiri yang menjadi sebab turunnya
QS. Al-Anfal (8): 1 sebagai berikut:

Artinya: Mereka bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang


rampasan perang. Katakanlah: rampasan perang itu untuk
Allah dan Rasul. Maka takwalah kepada Allah dan
perbaikilah keadaan di antara kamu, dan taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya, jika kamu orang-orang yang beriman.
Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa perang badar
sebagimana diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasai dari Ibn Abbas.
Bahwa sebelum perang dimulai, Rasulullah -dalam rangka membakar
semangat pasukannya- bersabda: Barang siapa berbuat begitu dan
begitu, dia akan mendapat rampasan sekian dan sekian. Mendengar
perkataan Rasulullah itu, para pemuda dengan semangat menyerbu ke
garis depan, sedangkan yang tua-tua tinggal di sekeliling bendera

169
170

Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, h. 252,


Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 41, 54

114

perang. Setelah selesai perang dan harta rampasan dikumpulkan,


datanglah yang muda-muda meminta bagian mereka. Lalu yang tua-tua
berkata: Janganlah kami diabaikan, karena kamilah sebenarnya yang
melindungi kalian ketika kalian maju. Karena kalau pecah barisan
kalian, niscaya kepada kamilah kalian akan berlindung.

Maka

timbullah perselisihan, di saat itu turunlah ayat tersebut di atas.


Dengan turunnya ayat tersebut, maka selesailah pertengkaran di antara
mereka dan pembagian harta rampasan perang diserahkan kepada
keadilan Allah dan Rasul-Nya, dan umat Islam dilarang saling
memperebutkannya. 171
Dari ayat di atas juga dapat disimpulkan bahwa pembagian
ekonomi sebagai hasil kerja bersama haruslah dapat dirasakan bersama
dengan seadil-adilnya. Ketidakadilan dalam pembagian ekonomi ini
akan berakibat sangat fatal bagi keutuhan persatuan dan kedamaian.
Dalam sebuah masyarakat yang baru mulai membangun kembali
pasca dilanda konflik, pembagian peran dalam pembangunan juga
perlu dilakukan sebijak dan seadil mungkin. Karena secara langsung
atau tidak, pembagian peran dalam pembangunan ini akan berpengaruh
pada pembagian hasilnya, kelak ketika buah pembangunan itu sudah
dapat dipetik hasilnya. Jadi, baik pembagian peran maupun hasil
pembangunan harus dilakukan serata mungkin sesuai kondisi,
kebutuhan, dan keahlian tiap segmen masyarakat.

c. Mempererat Silaturrahmi

171

Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Juz 9, h. 246-247. Lihat juga
Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayatayat Al-Quran), h. 219

115

Silaturrahmi ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan


dalam rangka memperbaiki keadaan. Allah memberikan perumpamaan
menarik sebagaiman difirmankan dalam QS. Al-Baqarah (2): 220

Artinya: Di dunia dan akhirat. Dan mereka akan bertanya kepadamu


tentang anak-anak yatim. Katakanlah: mengatur baik-baik
keadaan mereka adalah lebih baik. Jika kamu bercampur
gaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu. Dan
Allah mengetahui siapa yang merusak dan siapa yang suka
memperbaiki. Sekiranya Allah menghendaki niscaya
diberatiNya kamu. Sesungguhnya Allah maha gagah lagi
maha bijaksana.
Ayat ini turun berkaitan dengan ketakutan para sahabat
terhadap harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaan mereka akan
termakan oleh mereka. Sehingga memelihara anak yatim menjadi tidak
menyenangkan karena terlalu banyak ancaman jika ada harta anak
yatim tersebut yang bercampur dan termakan, seperti dicap sebagai
pendusta agama atau dianggap seperti memakan bara api. Maka ada
sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang bagaimana sebaiknya
memelihara mereka. Maka turunlah ayat tersebut. 172

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I-II, h. 190 Lihat juga A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul:
Studi Pendalaman al-quran, h. 99
172

116

Meskipun ayat di atas turun ketika masyarakat Islam dalam


kondisi

damai,

namun

tidak

tertutup

kemungkinan

bahwa

meningkatnya jumlah anak yatim itu disebabkan karena banyaknya


sahabat yang meninggal dalam berbagai peperangan sehingga
meninggalkan anak-anak yatim yang terlantar dan tidak terurus fisik,
mental, pendidikan, termasuk hartanya.
Dalam konteks konflik sosial di Indonesia, dengan berjatuhannya
ratusan bahkan ribuan korban dari kalangan dewasa dan orang tua,
tentu telah meninggalkan banyak sekali anak yatim yang butuh
perhatian,

rehabilitasi,

dan

pemberdayaan.

Rehabilitasi

dan

pemberdayaan dalam hal ini tidak hanya secara fisik berkaitan dengan
ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain, tapi juga dalam hal
psikis. Sebagaimana diungkapkan oleh Tahmidy lasahido dkk. bahwa
kondisi traumatis pasca kerusuhan masih dialami oleh masyarakat
termasuk

anak-anak.

Gambaran

suramnya

kondisi

psikologis

masyarakat ini dapat dilukiskan, bahwa suatu ketika diselenggarakan


lomba melukis anak-anak. Sebagian anak menggambar gunung
berwarna merah. Ketika ditanya kenapa gunungnya berwarna merah,
maka dijawab bahwa gunungnya terbakar. Ada juga anak yang
menggambar beberapa rumah, sebagian rumah diwarnai merah dan
sebagian diwarnai putih. Yang merah rumah orang Kristen, yang
putih rumah orang Islam, kalau ada perang lagi biar gampang
ketahuan. 173
Eratnya tali silaturahmi antar masyarakat akan dapat secara
langsung menumbuhkan empati terhadap berbagai ketimpangan sosial
dalam

masyarakat

yang

selanjutnya

menggerakkan

anggota

masyarakat untuk melakukan rehabilitasi yang perlu dilakukan baik


173

Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 85-87.

117

fisik maupun mental bagi seluruh lapisan masyarakat, Karena luka


fisik dan mental ini dialami oleh seluruh lapisan masyarakat dari kedua
pihak yang bertikai.

d. Taubat Nashha
Tentang Taubat Nashhaini, sebagaimana firman Allah SWT.
dalam QS. al-Tahrim (66): 8

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah


dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan
Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai.
Taubat Nashhabiasa diartikan sebagai taubat yang semurnimurninya sebagai pintu untuk masuk ke dalam surga, sekaligus secara
fitrah- merupakan sesuatu yang menjadi kecenderungan hamba.
Nashhamerupakan bentuk mublaghah dari kata nashaha yang
berarti kejernihan/kemurnian sesuatu dari kepalsuan dan noda-noda.
Maka Nashha dalam taubat, ibadah, dan musyawarah berarti
memurnikannya dari semua kepalsuan, kecurangan, dan kerusakan,

118

kemudian menempatkannya pada sisi yang paling sempurna. Nashh


adalah lawan dari ghisysy (tipuan). 174
Pengertian ini didasarkan atas riwayat Umar ibn Khathab dan
Ubay ibn Ka'ab yang berkata "Taubat Nashha ialah bertaubat dari
dosa kemudian tidak mengulanginya lagi, seperti tidak kembalinya air
susu ke teteknya." Di samping itu, Hasan al-Bashri berkata, "Hamba
menyesali apa yang telah dilakukannya, dan bertekad bulat untuk
tidak mengulanginya lagi." Muhammad ibn Ka'ab al-Qurazhi berkata,
"Taubat Nashhameliputi empat perkara: beristighfar dengan lisan,
menghentikan tindakan dengan badan, bertekad dengan hati untuk
tidak mengulanginya, dan menjauhi teman yang buruk." 175
Keinginan kuat untuk bertaubat ini dilukiskan Allah dalam QS.
Ali Imran (3): 135
Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon
ampun terhadap dosa-dosa mereka. Siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain Allah? mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan
Ruhani, terj. Dari Madarij al-Salikin: Baina Manazil Iyyaka Nabudu wa Iyyaka Nastain,
(Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 438
175
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan
Ruhani, h. 438-439. Menurutnya taubat meliputi tiga perkara: Pertama, keumumannya meliputi
dan mencakup semua dosa, dengan tidak ada satu pun dosa yang tidak dicakup oleh taubat itu.
Kedua, membulatkan tekad, kemauan, dan kesungguhan secara menyeluruh, dengan tidak ada
ragu-ragu lagi, tidak berandai-andai, dan tidak menunda-nunda. Bahkan seluruh kehendak dan
kemauannya secara total dilaksanakan dengan serta-merta. Ketiga, memurnikan dan
membersihkannya dari kotoran dan cacat yang menodai keikhlasannya, menimbulkan rasa takut
kepada Allah, senantiasa mengharapkan rahmat-Nya, dan takut akan adzab-Nya. Tidak seperti
orang yang bertaubat demi untuk memelihara pangkat dan kehormatannya, kedudukan dan
kepemimpinannya, untuk menjaga keadaannya, untuk menjaga kekuatan dan hartanya, atau untuk
menarik perhatian orang lain, atau untuk melepaskan diri dari celaan mereka, atau agar tidak
dikuasai oleh orang-orang bodoh, atau untuk meraih keinginan duniawinya, atau karena bangkrut
dan lemah, dan lain-lain alasan yang menodai ketulusan. Jadi lingkup yang pertama berhubungan
dengan apa yang ditaubati, dan yang kedua berhubungan dengan dzat yang kepada-Nya ia
bertaubat, sedang yang ketiga berhubungan dengan pribadi orang yang bertaubat itu sendiri. Lihat
juga al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, (Jakarta: Dar al-Ulum Press, 1993),
h. 55-59. Ia menyatakan bahwa lingkup taubat mencakup tiga segi, yaitu pengetahuan, kondisi
kejiwaan, dan perbuatan.
174

119

Ayat ini menunjukkan toleransi yang diberikan Allah terhadap


makhluk.
Fhisyah biasa diartikan sebagai perbuatan keji atau dosa yang
sangat buruk dan besar. Akan tetapi, rahmat Allah tidak mengusir
orang-orang yang terjatuh ke dalamnya, dan tidak menjadikan mereka
berada sebagai kaum marginal dari ummat. Bahkan, mereka masih
diangkat ke martabat yang sangat tinggi yaitu taqwa dengan syarat
ingat kepada Allah, lalu meminta ampun atas dosa-dosanya, dan tidak
meneruskan tindakannya dengan sepenuh kesadaran. Allah selalu
membuka kesempatan untuk kembali. 176
Demikianlah Islam membimbing manusia yang lemah ini pada
saat-saat ia dalam kelemahannya. Karena, di samping kelemahan ada
kekuatan, di samping kelelahan ada semangat, dan di samping nafsu
kebinatangan terdapat kerinduan kepada Tuhan. Rahmat Allah
membimbing manusia untuk naik ke tempat yang tinggi asalkan ia mau
mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya, serta tidak meneruskan
perbuatan dosanya setelah ia tahu bahwa itu adalah dosa.
Dalam menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab menyatakan
bahwa

kedurhakaan

menyadarinya

dan

yang

dilakukan

menginsyafi-

seseorang

tidak

selama

mencabut

ia

identitas

ketakwaannya. Allah tidak mengharuskan semua orang putih bersih


tanpa cela. Allah menerima hambanya yang berlumur dosa dan
memasukkannya dalam kelompok orang bertakwa tentunya bukan
derajat takwa yang tertinggi- selama mereka menyadari kesalahannya.
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran, terj. Tim GIP, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004),
Jil. h. 245-247, Ia memberikan perumpamaan menarik berkaitan dengan rahmat Allah dalam
membimbing hamba yang tersesat ini, bahwa jika anak berbuat salah dan ia melihat di rumahnya
hanya ada cemeti, niscaya ia akan lari ketakutan dan tak akan kembali ke rumah lagi. Adapun jika
ia mengetahui bahwa di samping cemeti ada tangan halus yang akan membelai dan mengusap
kelemahannya ketika ia mengemukakan alasan berbuat dosa, dan menerima permintaan maafnya
ketika ia meminta ampun atas dosa-dosanya, niscaya ia akan kembali ke rumah.
176

120

Firman Allah tentang taubat di atas yang meliputi aktifitas pertama,


ingat pada Allah, lalu mohon ampun, kedua, tidak meneruskan
perbuatan kejinya, dan ketiga, mereka mengetahui, ketiganya telah
mencakup makna taubat. 177
Taubat seorang hamba kepada Allah diapit oleh dua penerimaan
taubat dari Allah, yaitu sebelum si hamba bertaubat dan sesudahnya.
Sehingga taubat hamba berada di antara dua penerimaan taubat dari
Tuhannya. Karena mula-mula Allah memberinya taubat berupa izin,
taufiq, hidayah dan ilham yang menarik minat dan kecenderungannya
untuk bertaubat, lalu hamba tersebut bertaubat, kemudian Allah
menerima taubatnya. Penerimaan taubat-Nya terhadap mereka telah
mendahului taubat mereka, dan penerimaan taubat inilah yang
menjadikan mereka sebagai orang-orang yang bertaubat, sehingga
menjadi sebab bagi taubat mereka. Hal ini menunjukkan bahwa
mereka tidak bertaubat sehingga Allah menerima taubat mereka.
Hukum tidak ada apabila tidak ada illat-nya. Hamba mendapatkan
petunjuk karena petunjuk-Nya. Petunjuk tersebut mengharuskan
petunjuk lain yang dengannya Allah memberinya ganjaran berupa
petunjuk di atas petunjuk-Nya, karena di antara ganjaran petunjuk
ialah petunjuk lagi sesudahnya, sebagaimana halnya di antara akibat
kesesatan ialah kesesatan lagi sesudahnya. 178
Seiring dengan pendapat di atas, Abd al-Qadir al-Jilani,
menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2000), vol. 2, h. 209, tiga hal yang merupakan lingkup taubat sebagaimana
diungkapkan oleh Quraish Shihab ini seiring dengan pernyataan al-Ghazali dan Ibn al-Qayyim alJauziyah. Lihat al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, h. 55-59, dan Ibn alQayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 438439.
178
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan
Ruhani, h. 443-444
177

121

bertaubat, yaitu pertama, menyesali berbagai kesalahan yang telah


dilakukan. Inilah makna sabda Rasulullah "Penyesalan adalah taubat."
Tanda

penyesalan

yang

benar

adalah

lembutnya

hati

dan

membanjirnya air mata. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan untuk


menjadikan orang-orang yang bertaubat sebagai teman, karena mereka
adalah orang yang berhati lembut. Kedua. meninggalkan berbagai
kesalahan pada setiap keadaan dan tempat. Ketiga, keinginan keras
untuk tidak mengulangi kesalahan dan kejahatan yang telah dikerjakan
dengan terus memperbaiki diri. 179
Di samping itu, ada beberapa amalan yang harus dilakukan dalam
rangka memperbaiki diri seperti menjaga lidah dari ghibah,
menghindari prasangka buruk, menundukkan pandangan, berlaku adil,
menyadari dan mensyukuri nikmat Allah agar tidak menyombongkan
diri, rajin berinfak, tidak membuat kerusakan, memelihara shalat, dan
berpegang teguh kepada sunnah dan jamaah. 180
Menurutnya, taubat ada dua macam, yaitu taubat dari kesalahan
antar sesama manusia dan taubat dari kesalahan serta dosa antara
manusia dengan Allah. Taubat yang kedua dilakukan dengan cara
bersitighfar secara lisan dan penyesalan dalam hati, serta berniat tidak
mengulanginva lagi. Orang yang bertaubat mesti berusaha dan
mengerahkan seluruh tenaganya untuk memperbanyak kebaikan.
Selanjutnya memperbaiki serta membina diri agar menjadi Muslim
yang sejati dan utuh. Untuk tujuan inilah, ia menetapkan syarat-syarat
di atas. 181
Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, terj. Dari al-Ghunyah li Thalabi alHaq fi al-Akhlaq wa al-Tashawwuf wa al-Adab al-Islamiyah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2001), h.
252
180
Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, h. 253-254
181
Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, h. 252, Di samping itu, al-Ghazali
menyatakan bahwa dosa antar sesama adalah dosa yang paling sukar dan berat, sebab hal itu
timbul dari lima hal, yaitu menyangkut urusan harta seperti ghasab, memeras, pemalsuan dan lain179

122

Taubat dari kesalahan terhadap sesama manusia mesti dilakukan


dengan

cara

menemui

untuk

meminta

diikhlaskan

setelah

memberitahukannya, jika hak itu berkaitan dengan harta benda atau


berupa kejahatan terhadap dirinya atau diri pewarisnya. Sebagaimana
diriwayatkan dari Nabi bahwa ia bersabda: "Barangsiapa pernah
melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, baik mengenai hartanya
maupun kehormatannya, maka hendaklah ia menyesaikannya hari ini
juga, sebelum dinar dan dirham tidak diperhitungkan lagi, kecuali
kebaikan dan kejelekan."
Jika kezhalimannya berupa mencela, mengumpat atau menuduh
berbuat zina, apakah di dalam bertaubat penuduh disyaratkan
memberitahukan kepada yang dituduh dan harus meminta kerelaannya
ataukah tidak perlu. Pendapat yang terkenal di kalangan madzhab
Syafi'i, Abu Hanifah, dan Malik mensyaratkan memberitahukan dan
meminta kerelaannya. Dengan alasan, bahwa di dalam kejahatan
terdapat dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia, maka bertaubat
darinya ialah dengan meminta pembebasan orang tersebut karena hal
itu merupakan haknya, dan menyesali apa yang terjadi antara dirinya
dengan Allah, karena ia juga merupakan hak Allah. Oleh karena itu,
taubat orang yang membunuh tidak akan sempurna melainkan dengan
memberikan wewenang mengambil tindakan terhadap dirinya kepada
ahli waris orang yang terbunuh tersebut. Jika suka ia bisa menuntut
qishas atau memaafkannya.

lain, masalah pribadi seperti membunuh, memfitnah, masalah perasaan seperti mengumpat,
menggunjing, menuduh zina dan lain-lain, masalah kehormatan seperti mengkhianati kehormatan
istri dan anak, dan masalah agama seperti mengkafirkan, menuduh sesat dan lain-lain.
Kesemuanya hanya bisa diselesaikan dengan pengakuan terhadap orang tersebut, mengakui bahwa
yang dituduhkan adalah kebohongan, meminta maaf dan mohon diikhlashkan, karena bersangkut
paut dengan hak kemanusiaan. Lihat al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, h.
64-66

123

Golongan kedua berpendapat tidak disyaratkan memberitahukan


apa yang dilakukannya itu, baik kezhaliman itu berupa menodai harga
dirinya, tuduhan, maupun umpatan, bahkan taubat itu cukup antara dia
dan Allah. Tetapi ia harus mencabut tuduhan dan membersihkan nama
baiknya di tempat-tempat yang pernah dipakai mengumpat atau
menuduh orang tersebut. Ia harus mengganti umpatan dengan pujian
dan sanjungan, atau menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Segala
tuduhan yang pernah dilontarkannya diralat atau dinyatakannya tidak
benar, kemudian meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah
dilakukannya tersebut. Demikian pendapat Ibn Taimiyah. Pendapat ini
didasarkan

pada

alasan

bahwa

pemberitahuan

justru

akan

menimbulkan mafsadat dan tidak mengandung maslahat sama sekali,


karena hanya akan menambah sakit hati, marah, dan sedih. Padahal
sebelum mendengar pemberitahuan itu, hati orang tersebut tidak
memper-masalahkannya. Tetapi setelah mendengarnya boleh jadi dia
tidak sabar menanggungnya, kemudian menimbulkan mafsadat pada
jiwa atau fisiknya. Pembuat syari'at tidak akan pernah membolehkan
hal seperti ini, apalagi mewajibkan dan memerintahkannya, karena
bertentangan

dengan

maksud

pembuat

syari'at

untuk

saling

menjinakkan antar hati manusia, saling mengasihi, saling menyayangi,


dan saling mencintai. 182
Ada perbedaan antara hak yang bersangkut paut dengan
kejahatan non fisik seperti mengumpat dan lain-lain itu dengan hak
yang menyangkut harta benda dan kejahatan fisik. Memberitahukan
hak yang menyangkut harta benda, apabila kemudian harta itudikembalikan, kadang-kadang bisa mendatangkan manfaat. Maka tidak
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan
Ruhani, h. 411-412, Ia cenderung pada pendapat yang kedua. Lihat juga al-Ghazali, Minhaj alAbidin, terj. Oleh Zakaria Adham, h. 64-66
182

124

boleh disembunyikan, karena ia murni haknya yang wajib dipenuhi.


Berbeda dengan mengumpat dan menuduh (berbuat zina atau
perbuatan jelek lainnya), karena memberitahukan hal itu tidak ada
manfaatnya sama sekali, melainkan hanya akan menimbulkan bahaya
dan membangkitkan kemarahan saja. Kedua hal tersebut jelas tak bisa
disamakan. 183
e. Sabar Dan Memaafkan
Petunjuk yang senantiasa diberikan Allah kepada hambanya yang
tersesat, sehingga dengan petunjuk itu betrtaubatlah seorang hamba,
dan Allah pun menerima taubat itu, menunjukkan toleransi luar biasa
yang diberikan Allah kepada hambanya dan menunjukkan maha
pengampunnya Allah terhadap hambanya yang mau kembali. Oleh
karena itu, wajar jika kemudian Allah menuntut toleransi hamba
terhadap kesalahan hamba yang lain, dengan bersedia memberikan
maaf atas kejahatan yang diperbuat terhadap dirinya.
Allah berfirman dalam QS. Al-Syura (42): 37, "...Dan apabila
mereka marah, mereka memberi maaf. Menurut Sayid Quthb, ayat ini
mendorong manusia bersikap toleran dan pemaaf serta menseyogyakan
kepada kaum mukminin agar apabila marah mereka memaafkan.
Namun demikian, Allah tidak membebani manusia melebihi
kekuatannya. Allah mengetahui bahwa marah merupakan emosi
manusia yang bersumber dari fitrahnya. Kemarahan bukan sematamata sebagai keburukan. Marah karena Allah, agama, kebenaran, dan
keadilan merupakan kemarahan yang dikehendaki karena mengandung
kebaikan. Karena itu, secara filosofis, esensi kemarahan tidak
diharamkan

dan

tidak

dianggap

sebagai

kesalahan,

bahkan

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan
Ruhani, h. 413,
183

125

eksistensinya dalam fitrah dan tabiat diakui keberadaannya. Namun,


pada saat yang sama, manusia dituntut untuk dapat mengalahkan
kemarahannya dan supaya memaafkan orang lain. Rasulullah, tidak
pernah marah demi dirinya sendiri, tetapi dia marah karena Allah.
Manusia

hanya

dituntut

untuk

memaafkan

di

saat

marah,

membebaskan kesalahan orang tatkala mampu, dan mengatasi


keinginan untuk membalas selama persoalannya berada dalam tataran
pribadi yang berkaitan dengan masalah individual. 184
Marah merupakan gejolak jiwa yang mengakibatkan darah dalam
hati menjadi mendidih. Jika gejolak ini sangat keras, maka ia berkobar
menjadi api kemarahan. Kalau mendidihnya darah dalam hati lebih
dahsyat lagi, seluruh urat syaraf dan otak terselimuti sehingga suasana
menjadi gelap gulita dan tidak ada tempat untuk berpikir. 185
Oleh karena itu, menahan marah saja belum memadai. Karena,
adakalanya seseorang itu menahan marah tetapi masih dendam dan
benci. Sehingga, berubahlah kemarahannya yang meledak-ledak itu
menjadi dendam yang terpendam dan tersembunyi. Padahal, sejatinya
kemarahan itu fitrah dan lebih bersih daripada dendam dalam hati.
Oleh karena itu, upaya menahan marah ini harus diikuti dan diakhiri
dengan memaafkan, berlapang dada, dan toleransi. Kemarahan akan
Sayid Quthb, Fi Zhilal al-Quran, terj. Tim GIP, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Jil.
XIX, h. 328-330. Lihat juga Suwito dkk. Kuliah Akhlaq, (Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press,
1996), h. 62. Dengan mengutip Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, Ia menyatakan bahwa marah
termasuk penyakit jiwa yang serius, walaupun pada situasi tertentu marah itu tidak tercela. Marah
yang digolongkan penyakit jiwa yang serius adalah marah yang menyebabkan munculnya banyak
sifat buruk dan perbuatan jahat.
185
Suwito dkk. Kuliah Akhlaq, h. 62-66, Menurutnya, dengan mengutip al-Ghazali,
IhyaUlum al-Din, ada dua metode yang dapat diterapkan untuk dapat menahan marah, pertama,
dengan ilmu, yaitu dengan mengetahui pahalanya atau dosanya bila ia mampu atau tidak mampu
menahan marah, mengetahui akibat marah akan memperbanyak musuh, mengetahui jeleknya
orang marah yang seperti binatang, menyadari tidak ada gunanya balas dendam, dan menyadari
bahwa marah terhadap sesuatu pada hakikatnya marah kepada Tuhan. Kedua, dengan amal
perbuatan, yaitu membaca taawudz, jika belum reda, maka hendaknya duduk jika sedang berdiri,
lalu merebahkan diri jika sedang duduk. Jika masih belum reda juga, maka hapuslah marah dengan
berwudhu.
184

126

menyakitkan hati ketika ditahan dan kobarannya dapat menghanguskan


qalbu. Akan tetapi, ketika jiwa memaafkan dan hati mengampuni,
maka lepaslah ia dari sakit hati itu.
Secara historis, pada dasarnya watak bangsa Arab adalah keras,
namun dalam periode pertama dakwah, -karena faktor regional Mekah
dan karena adanya tuntutan untuk membina masyarakat muslim
generasi pertama- menuntut Nabi mengajarkan kepada para sahabat
agar menahan diri, meningkatkan kualitas pribadi dengan mendirikan
shalat, dan meningkatkan kualitas jamaah dengan menunaikan zakat.
Ada beberapa faktor yang mendorong dipilihnya cara berdamai
dan bersabar pada periode Mekah, di antaranya adalah pertama,
disakitinya kaum muslimin generasi pertama dan diujinya mereka agar
meninggalkan agama disebabkan oleh situasi politik dan sosial di
jazirah yang merupakan situasi kekabilahan. Karena itu, kelompok
yang menyakiti seorang muslim adalah keluarganya sendiri, jika dia
memiliki keluarga. Tidak ada keluarga, suku, dan kabilah lain yang
berani menyakiti seseorang dari keluarga, suku, dan kabilah lainnya.
Rasulullah tidak ingin terjadi pertengkaran dalam setiap keluarga
antara yang muslim dan yang non muslim. Maka, pendekatannya lebih
ditujukan pada pelunakan hati daripada mengasarinya.
Kedua, lingkungan masyarakat Arab merupakan masyarakat
yang satria yang siap membela pelaku kebenaran jika dia disakiti.
Sikap kaum muslimin yang tahan uji dalam memikul gangguan dan
keteguhan mereka dalam memegang akidahnya sangat menyentuh jiwa
satria dan menimbulkan simpati terhadap kaum muslimin. Ketiga,
lingkungan masyarakat Arab merupakan lingkungan perang dan cepat
menghunus pedang. Suku-suku yang istimewa tidak tunduk kepada
sistem. Keseimbangan individual yang ditekankan Islam menuntut

127

pengendalian emosi ini secara berkesinambungan, menaklukkannya


kepada tujuan, membiasakannya supaya bersabar, dan mengendalikan
suku serta memberinya rasa bangga karena memiliki akidah ini saat
meraih kemenangan dan keuntungan. Karena itu, seruan supaya
bersabar dalam menghadapi gangguan sangat sejalan dengan manhaj
pendidikan yang bertujuan menanamkan keseimbangan pribadi muslim
dan mendidiknya bersabar, teguh, dan pantang mundur. Faktor-faktor
di atas menuntut diterapkannya kebijakan berdamai dan bersabar di
Mekah serta pengokohan watak dasar masyarakat muslim secara
berkesinambungan. 186
Khusus berkaitan dengan pelunakan sifat keras bangsa Arab dan
pengikisan kebiasaan berperang antar kabilah ini dengan ajaran sabar
dan maaf, Quraish Shihab, ketika menafsirkan QS. Ali Imran (3): 134
"...Dan, orang-orang yang menahan marahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan", menyatakan bahwa karena kesudahan peperangan adalah
gugurnya sekian banyak muslimin yang tentu saja mengundang
penyesalan bahkan kemarahan, maka sifat yang harus ditonjolkan
adalah mampu menahan marah, bahkan memaafkan kesalahan atau
kejahatan orang. Bahkan akan sangat terpuji bagi mereka yang berbuat
kebajikan terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan, karena
Allah menyukai dan melimpahkan kebajikan bagi orang yang berbuat
kebajikan. 187
Begitu pula ketika Rasulullah mengetahui gugurnya Hamzah Ibn
Abd al-Muthalib, apa lagi, setelah gugur, perutnya dibedah dan hatinya
dikunyah
186
187

207

oleh

Hind,

Rasulullah

bersabda:

Jika

Allah

Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 331-331
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 2, h.

128

menganugerahkan kepadaku kemenangan atas kaum musyrik Quraisy


pada salah satu pertempuran, maka pasti akan kubalas dengan
kematian tiga puluh musyrik. Ketika itu, Allah menegur Nabi dengan
firman-Nya dalam QS. Al-Nahl (16): 126 Jika kamu membalas, maka
balaslah dengan balasan yang persis sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya
itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar. Kiranya ayat
tersebut tidak hanya berpesan kepada Rasulullah saja tetapi kepada
seluruh umat, mengingat yang sanak keluarganya terbunuh tidak hanya
sanak keluarga Rasulullah semata. 188
Lebih lanjut, Quraish Shihab menerangkan bahwa dalam konteks
mengahadapi kesalahan orang lain, ayat di atas (ali Imran: 134)
menunjukkan tiga kelas manusia atas jenjang sikapnya. Pertama,
manusia

yang

mampu

menahan

amarah.

Kata

al-Kzhimn

mengandung makna penuh dan menutupnya rapat-rapat, seperti wadah


air yang penuh lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini
mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati
yang bersangkutan, pikirannya masih ingin menuntut balas, tetapi hati
dan pikirannya itu tidak ia perturutkan dengan menahan marah
sehingga tidak keluar kata-kata buruk dan perbuatan negatif.
Kedua, di atas tingkat menahan marah adalah yang memaafkan.
Kata al-fn terambil dari kata dasar afw yang biasa diterjemahkan
dengan maaf, selain dapat juga diterjemahkan dengan menghapus.
Seorang yang memaafkan orang lain berarti ia menghapus bekas luka
hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Jika
pada tingkatan pertama, orang yang bersangkutan mampu menahan
188

207

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 2, h.

129

marah meskipun hatinya masih sakit karena luka bahkan dendam,


maka pada tahap kedua ini, orang tersebut telah mampu menghapus
bekas luka itu, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Karena seolaholah tidak terjadi sesuatu, maka bisa jadi juga tidak lagi terjalin
hubungan di antara keduanya.
Maka tingkatan tertinggi adalah ketiga, orang yang tidak hanya
sekedar menahan marah dan memaafkan, tetapi justru berbuat baik
kepada orang yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya sehingga
terjalin kembali keharmonisan di antaranya. Demikianlah teladan dari
Rasulullah. 189
Pada dasarnya, prinsip umum dalam kehidupan adalah "Balasan
suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Inilah prinsip jinayat,
yakni keburukan dibalas dengan keburukan agar kejahatan tidak
melanda dan merajalela. Karena, manakala tidak ada pengekang yang
mencegah seseorang dari membuat kerusakan di bumi, maka dia dapat
melenggang dengan aman dan tenteram. Prinsip itu dibarengi dengan
anjuran memaafkan demi meraih pahala Allah, memperbaiki diri dari
kebencian, dan memperbarbaiki masyarakat dari kedengkian. Inilah
pengecualian dari prinsip di atas.
Perlu digarisbawahi, bahwa pemberian maaf hanya terjadi tatkala
seseorang mampu membalas keburukan dengan keburukan atau dalam
konteks peradilan adalah tatkala terpidana telah dinyatakan terbukti
bersalah di muka pengadilan dan tinggal menunggu vonis. Pada saat
itu, maaf memiliki bobot dan pengaruh dalam memperbaiki orang yang
melampaui batas. Tatkala orang yang melampaui batas mengetahui
bahwa maaf berubah menjadi toleransi dan bukan menjadi kelemahan
189

207 208

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 2, h.

130

yang mempermalukannya, dan dia merasa bahwa lawannya yang


memaafkan itu lebih mulia. Maka jiwa orang kuat yang memaafkan
menjadi bersih dan mulia dan jiwa yang dimaafkan terlunakkan oleh
maaf yang diberikan. Dalam kondisi ini, memberi maaf lebih baik
daripada membalas. Namun, tidak demikian jika dia lemah dan tidak
berdaya, maka maaf menjadi tidak ada artinya. Maaf justru menjadi
keburukan yang membuat pelakunya semakin ganas dan membuat
orang yang dizhaliminya semakin terhina, sehingga keburukan justru
semakin merebak di muka bumi. 190
Yang penting dalam hal ini adalah sikap proporsional, yaitu
pengendalian diri, bersabar, dan toleransi dalam berbagai kondisi
ketika mampu membalas. Dengan demikian, bersabar dan toleransi
merupakan kemuliaan dan keindahan, bukan kehinaan dan kenistaan,
sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Syura (42): 43 "Tetapi, orang
yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan."
2. Syarat-Syarat Mediator
Sebagaimana telah disinggung di muka ketika membahas tentang Qs.
Al-Hujurat:10-13, bahwa orang beriman dituntut untuk berperan aktif
dalam menyelesaikan konflik, khususnya bagi orang beriman yang tidak
terlibat langsung dalam pertikaian, baik pertikaian itu hanya melibatkan
dua orang saja apa lagi jika pertikaian itu melibatkan dua kelompok
masyarakat. Demikian sebagaimana dinyatakan Quraish Shihab, ketika
menafsirkan Qs. al-Hujurat: 10. Dengan demikian mendamaikan
pertikaian atau dengan kata lain menjadi mediator antara dua kelompok
yang sedang berkonflik, dengan melakukan musyawarah dan tawar
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 332-333. Lihat juga
bahasan bab III dari tesis ini tentang signifikansi ishlah dan posisi ishlah dalam jinayah.
190

131

menawar yang jujur dan sehat di antara semua pihak, dalam rangka
meredakan konflik adalah kewajiban atas orang beriman. 191
Pada dasarnya, musyawarah adalah sifat khas umat Islam sejak awal
agama ini diajarkan. Hal ini sebagaimana tercermin dalam QS. Al-Syura
(42): 38"...Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di
antara mereka....".
Ayat ini merupakan ayat makkiyah yang diturunkan sebelum hijrah
yang berarti diturunkan sebelum berdirinya pemerintahan Islam. Dengan
demikian, sifat suka bermusyawarah lebih melingkupi entitas seluruh
lapisan

masyarakat

muslim daripada

sekadar

melingkupi

entitas

pemerintahan Islam saja. Musyawarah merupakan karakter masyarakat


Islam dalam segala kondisinya, sebelum maupun sesudah berdirinya
pemerintahan Islam dengan konsepnya yang khas di Madinah. Dan dalam
kenyataannya, dalam Islam, pemerintahan itu tiada lain kecuali
pemunculan tabiat masyarakat Islam dan karakteristik individunya yang
demokratis. Masyarakatlah yang menjamin pemerintah dan mendorongnya
dalam merealisasikan ajaran Islam dan melindungi kehidupan individu dan
masyarakat secara luas. 192
Karena itu, oleh Nabi, watak musyawarah ditegakkan sejak dini
dalam masyarakat sehingga makna musyawarah lebih luas dan dalam dari
pada sekedar mencakup pemerintahan dan segala aspek hukumnya.
Musyawarah merupakan watak substansial kehidupan Islam dan indikator
istimewa masyarakat yang dipilih sebagai teladan bagi umat lain. Dan
watak inilah yang mendasari perlunya proses mediasi dalam mendamaikan
dan merukunkan kembali dua orang atau kelompok yang berselisih.
Dalam QS. Al-Hujurat (49): 9-10, Allah berfirman:
191

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 13,

192

Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 322

h. 247

132

Jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka


damaikanlah di antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan
itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada
perintah Allah), maka damaikanlah di antara keduanya dengan adil,
dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.
Karena itu, damaikanlah di antara kedua saudaramu dan bcrtakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat."
Ayat ini mencerminkan kaidah umum yang ditetapkan untuk
memelihara kelompok Islam dan masyarakat secara umum dari
perpecahan dan perceraiberaian. Kaidah itu pun bertujuan meneguhkan
kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Yang menjadi pilar bagi semua ini
ialah ketakwaan kepada Allah dan harapan akan rahmat-Nya dengan
menegakkan keadilan dan perdamaian.
Al-Qur'an menghadapi atau mengantisipasi kemungkinan terjadinya
perang antara dua kelompok mukmin. Mungkin salah satu kelompok itu
berlaku zhalim atas kelompok lain, bahkan mungkin keduanya berlaku
zhalim dalam salah satu segi. Namun, Allah mewajibkan kaum mukminin
lain, tentu saja bukan dari kalangan yang bertikai, supaya menciptakan
perdamaian di antara kedua kelompok yang berperang. Jika salah satunya
bertindak melampaui batas dan tidak mau kembali kepada kebenaran,
misalnya kedua kelompok itu berlaku zhalim dengan menolak untuk
berdamai

atau

menolak

unluk

menerima

hukum

Allah

dalam

menyelesaikan aneka masalah yang diperselisihkan, maka kaum mukminin


-dalam hal ini oleh penengah yang kuat, yang biasanya merupakan wakil
pemerintah- hendaknya menindak kelompok yang zhalim tersebut hingga
mereka kembali bersedia menghentikan permusuhan di antara kaum
mukminin dan menerima hukum Allah dalam menyelesaikan apa yang
mereka perselisihkan. Jika pihak yang zhalim telah menerima hukum

133

Allah secara penuh, kaum mukminin hendaknya menyelenggarakan perdamaian yang berlandaskan keadilan yang cermat sebagai wujud
kepatuhan kepada Allah dan pencarian keridhaan-Nya.
Penyelenggaraan perdamaian yang berlandaskan keadilan yang
cermat ini perlu dilakukan mengingat telah terjadi penindakan oleh
mediator terhadap kelompok yang sempat membangkang. Penindakan ini,
di samping membuat pihak pembangkang tersebut secara agak terpaksa
mengikuti hukum yang diterapkan mediator, tentu telah menimbulkan efek
psikologis tertentu yang diakibatkan oleh ancaman bahkan tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh mediator dalam rangka membuatnya patuh.
Oleh karena itu, jika perdamaian kurang dilakukan dengan cermat
sehingga jaminan keadilan dan keterwakilan kepentingan kedua pihak
tidak terpenuhi sehingga muncul kembali kekecewaan, maka perdamaian
tersebut bisa jadi tidak akan bertahan lama, bahkan berulang kembali
pertikaian dalam skala yang lebih besar.
Kewajiban menjadi penengah dalam menyelesaikan pertikaian secara
damai ini dapat dilacak akar historisnya. Sebagaimana telah dijelaskan
pada bab dua, bahwa sejak sebelum masa kenabian, Rasulullah adalah
seorang arbiter, begitu pula setelah menerima wahyu. Dan bahwa ishlh,
baik dalam bentuk arbitrase maupun yang lain tidak terbatas di antara
kaum muslimin saja tapi juga antara kaum muslim dengan non muslim.
Hal ini dapat dibuktikan, bahwa Rasulullah pernah melakukan arbitrase
dengan Yahudi Bani Quraizhah dengan menunjuk seorang arbiter/mediator
yang ditunjuk oleh kedua belah pihak, meskipun dapat disayangkan bahwa
di kemudian hari, arbitrase ini dilanggar oleh salah satu pihak yang
berbuntut pengusiran. 193
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 232-234. Khadduri
menyebutnya arbiter. Penulis menyamakan istilah arbiter dengan mediator, di samping
menyamakan dua istilah ini dengan hakam. Karena inti pekerjaan mereka sama, yaitu
193

134

Berkaitan dengan posisi arbiter ini, Majid Khadduri menetapkan


beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang arbiter, yaitu pertama,
harus orang yang jujur yang reputasinya diketahui secara luas. Kedua,
keadaan dan sasan-sarannya dapat diterima oleh kedua belah pihak yang
dibuktikan dengan dipilihnya ia oleh kedua belah pihak secara bebas dan
tanpa paksaan, dan ketiga, mampu berbuat atau memutuskan secara adil.
Oleh karena itu, ia tidak diperbolehkan memutuskan perkara yang
bersangkut paut dengan orang tua atau keluarganya. 194
Secara konseptual, selain keterangan ayat di atas, dalam khazanah
hukum Islam, sebenarnya para juris Islam juga tidak membatasi wilayah
Negara hanya sebatas dr al-Islm dan dr al-harb saja, tetapi juga
menawarkan sebuah konsep dr al-Ahd atau dr al-Shulh yaitu negara
yang sedang dalam perjanjian (damai) dengan Negara Islam. Meskipun
pada prinsipnya Negara bentuk ketiga ini tidak begitu diakui keberadaanya
oleh para ahli hukum Islam, namun karena Negara dalam bentuk ini
memang ada, maka secara faktual hal ini membuktikan adanya apa yang
disebut oleh Khadduri sebagai- dr al-hiyad atau world of neutrality.
Salah satu contohnya adalah Ethiopia yang merupakan Negara nonmuslim yang memiliki kategori Negara netral yang dengan demikian
memiliki kekebalan terhadap konsep jihad. 195 Berangkat dari kriteria
arbiter/mediator

yang

diberikan

oleh

Khadduri,

penulis

akan

membahasnya lebih lanjut.

mendamaikan dua pihak yang berseteru secara damai dan musyawarah hingga tercipta ishlah, baik
arbiter/mediator/hakam hanya seorang saja atau terdiri dari dua orang atau kalau perlu merupakan
sebuah tim.
194
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 234. Menurut hemat penulis,
ada beberapa syarat seorang arbiter atau mediator yang perlu diberikan penekanan, yaitu seperti
syarat reputable mesti diberikan penekanan berupa kedudukan yang kuat secara politik maupun
sosial -yang berupa jaringan yang luas di masyarakat- sehingga dihormati oleh kedua pihak, serta
cerdas dan pandai dalam membaca situasi dalam rangka penyelesaian konflik secara lestari.
195
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 251-253

135

Meskipun kedudukannya dalam ishlh bukan sebagai rukun, namun


keberadaannya dalam menyelesaikan konflik tertentu amatlah penting,
maka perlu dibahas mengenai syarat-syarat yang perlu dimiliki oleh
mediator demi suksesnya ishlh yang hendak dilakukan. Syatrat-syarat
mediator dapat terdiri atas:
a. Adil
Al-Thabari menerangkan bahwa di antara sikap adil adalah
pengakuan kepada Dzat yang memberikan segala anugerah kepada
kita, berterima kasih kepada-Nya dan meletakkan segala pujian
kepadanya. Sementara itu berhala-berhala tidak punya apa pun yang
menjadi alasan kita mengarahkan sikap-sikap tersebut kepada mereka.
Karena itu, syahadat (yang arti pertamanya adalah penafian segala
berhala atau tuhan model apa pun, dan arti keduanya peneguhan
keyakinan, itsbat, kepada Yang Satu) merupakan tindakan fair
pertama. Dengan demikian, adil bisa diartikan dalam pengertian
"seharusnya",

"selayaknya",

"semestinya".

Seperti

kalau

kita

menganggap tidak adil orang yang menuntut seorang bocah


memecahkan masalah orang dewasa. Jadi, adil adalah meletakkan
sesuatu di tempatnya, yang merupakan kebalikan dari kata zhalim.
Dengan begitu, tindakan mencegah perbuatan keji, kemungkaran dan
tindak agresif termasuk tindakan adil. Dalam artian ini, dapat
dikatakan bahwa adil merupakan suatu keniscayaan hidup. 196
Ibn al-'Arabi melihat keadilan dalam tiga posisi. Pertama, dalam
hubungan hamba dengan Tuhannya, ia tampak kalau si hamba
mengutamakan hak Allah dibanding haknya sendiri, mendahulukan
keridaan-Nya di atas hawa nafsunya, serta meninggalkan segala yang
Syubah Asa, Dalam Cahaya al-Quran, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 345
196

136

dilarang dan menunaikan segala perintah. Kedua, dalam hubungan si


hamba dengan dirinya, adil berarti melarang diri sendiri dari semua
yang mengandung bahaya dan kebinasaan. Sedangkan ketiga, adil
dalam hubungan dengan makhluk lain teraplikasi dalam tindakan
seperti pemberian urun rembuk, penghindaran diri dari laku khianat,
ketulusan dalam segala hal, tidak berbuat buruk kepada seseorang baik
dengan kata-kata maupun tindakan, baik secara sembunyi maupun
terang-terangan, kesabaran menerima tindakan buruk mereka, dan
meninggalkan perbuatan yang mengganggu. 197
Dengan demikian, adil tidak hanya menyangkut akidah,
keberislaman, dan akhlak, melainkan juga seluruh segi pelaksanaan
kehidupan duniawi yang dalam lingkup jinayat- seperti dalam
keputusan Juris yang adil terhadap kasus yang dihadapinya, yaitu
berupa penjatuhan vonis yang benar. Maka, dalam konteks ishlh,
seorang mediator harus dapat menempatkan sesuatu selayaknya, adil,
dan tidak berat sebelah.
Selain sebagai sebuah keniscayaan, adil adalah sikap berimbang
dalam segala sesuatu. Perimbangan alam ini sendiri berarti keadilan.
Keindahan musik, kecantikan wajah, mustahil mewujud tanpa
perhitungan yang cemerlang dan kerangka yang sempurna.
Khususnya dalam hal pembalasan jinayat. Jika baik, maka baik.
Jika buruk, maka buruk. Syafi'i melukiskan keadilan sebagai
perimbangan dalam konteks hukum ini dengan sangat tepat. Bahwa
seorang hakim wajib menyamakan perlakuan kepada para pihak dalam
lima hal, yaitu dari mulai cara masuk, derajat tempat duduk, cara
berdialog dengan hakim, pemberian perhatian hakim kepada masingmasing pihak, dan dalam penjatuhan vonis. Di samping itu, hakim
197

Syubah Asa, Dalam Cahaya al-Quran, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, h. 347

137

tidak dibolehkan mempengaruhi salah satu pihak maupun saksi, tidak


pula mereka boleh mempengaruhi hakim. Tidak boleh hakim menjamu
salah satu pihak tanpa kehadiran yang lain atau menghadiri perjamuan
salah satunya selama mereka masih dalam perkara di pengadilannya.
Di situ terlihat, keadilan sebagai keseimbangan mewujud dalam
prosedur, dan selanjutnya dalam vonis. Vonis dikatakan adil jika
berdasarkan keberimbangan proses dan prosedur. 198
Dalam sebuah kasus pidana maupun perdata, maka hakim
memegang peranan utama (dalam kasus ishlh, maka mediator yang
memegang peran utama). Oleh karena posisi yang strategis itu, maka
tidak diperbolehkan terdapat sentimen pribadi kepada salah satu pihak
sehingga mendorong untuk berlaku tidak adil terhadap mereka, bahkan
lalu berbuat semena-mena. 199

b. Reputabel
Reputasi yang baik dan didukung oleh kekuatan yang memadai
dapat memberi kekuatan tersendiri bagi mediator. Oleh karena itu, QS.
al-Hujurat (49): 9-10 di atas mengisyaratkan -jika perlu- pemerintah
yang langsung turun tangan dalam mendamaikan kedua belah pihak.
Sebagaimana telah diterangkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan
dengan terjadinya pertengkaran antara suami istri yang melibatkan
kabilah masing-masing. Ayat tersebut juga dalam rangka menanggapi

Syubah Asa, Dalam Cahaya al-Quran, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, h. 348-349
Muhammad Ali al-Shabuni, Cahaya al-Quran, Tafsir Tematik Surat al-Baqarah-alAnam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), Jil. 1, h. 259-260
198
199

138

pertengkaran antara suku Aus dan Khazraj yang dipicu oleh Ibn Ubay,
yang kemudian berhasil didamaikan oleh Rasulullah. 200
Dalam beberapa hal, -jika diperlukan- mediator perlu bertindak
tegas dan jika perlu melakukan show of force terhadap salah satu pihak
yang membandel apalagi menyalahi kesepakatan. Salah satu contoh
ketegasan ini adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah
terhadap pengingkaran perjanjian yang disepakati melalui arbitrase
antara Rasulullah dengan Bani Quraizhah, salah satu suku Yahudi
Madinah. Pengusiran adalah resiko yang mereka hadapi sebagai akibat
pengkhianatan mereka. 201
Dalam konteks Indonesia, ketika konflik Poso belum sepenuhnya
reda, panglima TNI memutuskan untuk menggelar latihan gabungan
pasukan pemukul reaksi cepat pada seluruh elemen pasukan TNI dan
Polri di Poso. Latihan tersebut, ternyata menimbulkan efek psikologis
yang positif. Bahwa masyarakat Poso dapat melihat dengan mata
telanjang, bagaimana jika pasukan reaksi cepat melakukan aksinya,
jauh lebih cepat, tangkas, dan mungkin lebih kejam dibandingkan
dengan aksi brutal yang telah mereka lakukan selama kerusuhan.
Demikian pula ketika mereka melihat hebatnya para penerjun dari
Kopassus dan pasukan khusus angkatan udara, serta dahsyatnya
gerakan dan gempuran pasukan marinir yang melakukan pendaratan di
pantai sekitar Poso. 202

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 13,
h. 246. Dalam kesempatan pertengkaran yang lain, gambaran sengitnya pertengkaran antara dua
suku tersebut dilukiskan oleh Aisyah RA. yang mengatakan: Dua kubu itu lalu bergerak (karena
marah), Aus dan Khazraj, hingga mereka hampir saling membunuh, sementara Rarulullah berdiri
di atas mimbar dan terus-menerus menurunkan emosi mereka hingga mereka diam (reda), dan ia
pun diam. Lihat Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, h. 199
201
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 233-234
202
Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 71
200

139

Adapun contoh paling ideal tentang reputasi dan kecerdasan


seorang mediator adalah keberadaan Nabi mendamaikan dua suku
Aus dan Khazraj. Dalam masa kurang dari 10 tahun, sejak awal
dakwah Nabi di Madinah sampai hari wafatnya, permusuhan dan
perang yang sudah 120 tahun di antara kedua kabilah boleh dikatakan
habis sama sekali.
Kecerdasan Nabi dalam hal ini adalah dalam melihat bahwa di
samping pada dasarnya mereka sendiri sudah capek dan bosan dengan
perseteruan yang tiada habisnya, juga strategi Nabi dengan membina
persaudaraan baru di antara mereka, bahwa seorang pendatang
(muhajir) dari Mekah dipertalikan dengan saudaranya yang baru,
anshar (penolong) di Madinah lewat suatu ikrar, dan dengan demikian
sang imigran memperoleh perlindungan. Maka, jika saudaranya yang
baru datang dari jauh mereka sambut dengan begitu mesra, apalagi
saudara mereka yang memang satu keturunan dan satu tanah air.203
Di samping itu, Nabi menetapkan bahwa agama yang ia bawa
mensyaratkan kaum muslim menanamkan penghargaan pada orang
lain sebagai individu dengan berbagai hak yang melekat padanya.
Ajaran yang merupakan moralitas baru ini membuat masyarakat
Yatsrib -dan masyarakat manapun yang menerima dakwah Nabimenjadi masyarakat baru, masyarakat dengan kesadaran bahwa
keberhasilan seseorang atau suatu golongan tidak selalu berarti
kerugian bagi orang atau kelompok lain. Hal ini dapat terbaca dari isi
sumpah setia mereka terhadap Nabi di Aqabah. 204

Syubah Asa, Dalam Cahaya al-Quran, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, h. 251. LIhat
juga Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah, h.
194
204
Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, h. 200
203

140

Keadilan dan reputasi yang baik sebagaimana disebutkan di atas


sangat penting karena keputusan yang diambil oleh mediator memiliki
konsekuensi hukum tersendiri bagi para pihak, khususnya ketika
mediator berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai.
Dalam hal mediator gagal mendamaikan kedua pihak, maka
menurut Malik dan Ahmad, mediator mempunyai hak untuk
menetapkan hukum, dan hukum yang ia tetapkan harus dipatuhi kedua
pihak, demikianlah Allah menamai mereka hakam (arbiter). Adapun
Syafii dan Abu Hanifah berpendapat bahwa keputusan yang ia ambil
tidak berkonsekuensi harus dipatuhi oleh kedua pihak. Hakam hanya
bertugas mendamaikan tidak lebih dan tidak kurang. 205

E. Penerapan Ishlh dalam Konflik Sosial di Indonesia


1. Sebab Konflik (Khususnya di Indonesia Timur)
Dalam konteks Indonesia pasca reformasi, baik negara maupun
komunitas sipil dalam keadaan lemah tidak berdaya. Sebagaimana
diketahui, bahwa pada masa orde baru keberadaan negara sangat dominan
sedangkan komunitas sipil terpinggirkan. Negara merambah segala aspek
kehidupan masyarakat dan berperan dominan di dalamnya dengan
meninggalkan lembaga-lembaga yang asli muncul dari masyarakat bawah
yang seharusnya terlibat secara langsung membina masyarakat termasuk
dalam mengelola konflik dalam masyarakat. Hal ini pada gilirannya
menjadi semacam bom waktu yang siap meledak, yaitu ketika kondisi
negara melemah maka komunitas sipil pun tidak lagi memiliki kekuatan
mengelola masyarakat dan berbagai konflik di dalamnya.

205

413

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 13, h.

141

Berbagai bom waktu tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa


hal sebagai berikut. 206 Pertama, ketidakadilan dan marjinalisasi ekonomi
yang berdimensi vertikal antara pusat dengan daerah (Aceh, Riau,
Kalimantan Timur dan Papua) dalam hal penjarahan surplus daerah baik
dari hasil SDA maupun dari hasil industri, dan juga ketidakadilan ekonomi
vertikal sekaligus horisontal antar kelas sosial dalam masyarakat.
Celakanya, ketidakadilan ekonomi ini melibatkan kelompok etnis dan atau
antar kelompok agama. Contoh konkret yang langsung dapat ditunjuk
adalah antara suku Dayak dengan non Dayak di Kalimantan yang
kemudian mengakibatkan tragedi Sampit, antara suku-suku pendatang
Muslim dengan penduduk asli baik di Poso Sulawesi Utara maupun di
Maluku Tengah khususnya Ambon.
Kedua, ketidakadilan dan marjinalisasi politik. Penggalangan
kekuatan politik di masa Orba hanya dilakukan di tingkat elit saja. Rakyat,
baik di kota apalagi di desa, biasanya diberi peran hanya jika diperlukan
khususnya ketika menjelang

Pemilu. Kelompok-kelompok suku dan

agama di Kalimantan, Poso, dan Ambon tersebut di atas juga tertimpa


marjinalisasi politik. Suku Dayak termajinalisasi dari posisi-posisi
strategis pemerintahan lokal dan politik lokal. Demikian juga umat Kristen
di Maluku mengalami hal yang serupa setelah Gubernur Akip Latuconsina
terpilih di tahun 1992. Di Poso, konflik komunal di wilayah ini berawal
dari dilanggarnya prinsip power sharing dalam pemerintahan yang
dipegang teguh sebelumnya.
Marjinalisasi politik berskala nasional yang sangat signifikan adalah
marjinalisasi kelompok Islam garis keras yang menolak asas tunggal.
Keterangan lengkap mengenai bom waktu ini, lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik
Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, dalam Tahmidy Lasahido dkk.,
Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 12-15
206

142

Marjinalisasi politik yang disertai dengan penanganan tangan besi


tcrhadap kelompok ini mempunyai akibat buruk. Kelompok garis keras
ini beroperasi di bawah tanah atau mengungsi ke luar negeri dan
membangun jaringan regional yang lebih luas yang dikenal sekarang ini
dengan nama Jamaah Islamiyah.
Perlu digarisbawahi bahwa dalam proses marjinalisasi politik dan
ekonomi ini, peran militer sangat dominan. Sebagaimana diketahui bahwa
aparat kepolisian, dan lebih-lebih lagi aparat militer berfungsi tidak lebih
sebagai "alat gebuk" rezim. Militer, khususnya Kopassus, pada saat yang
sama juga diperkuat posisi tawarnya di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dengan diizinkan untuk mendirikan berbagai yayasan untuk
tujuan penggalangan dana, juga adanya hadiah jabatan pangdam yang
kemudian biasanya dipromosikan menjadi gubernur. Hal ini terbukti
bahwa hampir semua pangdam dan gubernur di masa Orde Baru berasal
dari kesatuan khusus ini.
Ketiga, ketidakadilan dan marjinalisasi sosial budaya. Hal ini
mewujud dalam penghancuran sistem pemerintahan desa di luar jawa
dengan menyeragamkannya dengan model desa di jawa sehingga kaitan
yang erat antara struktur sosial desa dengan struktur pemerintahan desa
terputus. Sebagai contoh, struktur nagari di Sumatera Barat, Huta di
Sumatera Utara, dan negeri di Maluku Tengah lebih terkait ke atas
mengikuti jenjang pemerintahan dari pada ke bawah ke masyarakat
desa. 207 Juga terjadi penghancuran lembaga adat sebagai perekat sosial
yang diakrabi warga, dan pengikisan identitas budaya dari suku-suku
tertentu.

Lihat Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan
Penyelesaian Jangka Panjang, (Jakarta: LIPI Proyek Pengembangan Riset Unggulan/Kompetitif
LIPI/Program Isu, 2003)
207

143

Keselurunan bom waktu di atas mendapatkan momentumnya untuk


berkecamuk ketika negara melemah, sehingga tidak mampu menunaikan
tugasnya yang paling pokok, yaitu melindungi warganya. Celakanya,
berbagai lembaga pengelola konflik yang diasuh oleh masyarakat
(khususnya di Indonesia Timur) telah serta merta lemah sehingga negara
dan masyarakat gagal mendeteksi, mengantisipasi, dan mencarikan suatu
jalan keluar yang memuaskan bagi pihak-pihak yang bertikai.

2. Struktur Masyarakat di Indonesia Bagian Timur


a. Struktur kesukuan
Dari aspek struktur kesukuan, mozaik Nusantara ini terbagi
menjadi dua bagian utama, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia
Timur. 208 Ada beberapa perbedaan mencolok antara dua daerah ini.
Pertama, dari 656 suku di seluruh nusantara, hanya 109 suku yang
berada di Indonesia bagian Barat, sementara 547 suku berada di
Indonesia bagian Timur dengan 300 suku di antaranya berada di
Papua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman
suku dan budaya di Indonesia Timur jauh lebih beragam. Kedua, Di
Indonesia terdapat beberapa suku besar dan dominan yang terdiri dari
Aceh, Batak, Minang, Sunda, Jawa, madura, Bali, dan Bugis. Dari
susu-suku itu, hanya suku Bugis yang berada di Indonesia Timur. Suku

208

Pernbelahan sosial budaya yang dilakukan di sini mengelompokkan Jawa dan Sumatera
ke dalam Pola Sosial Budaya Indonesia Barat, sedangkan Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan
Maluku dan Papua tercakup dalam Pola Sosial Budaya Indonesia Timur. Klasifikasi ini didasarkan
pada Wallace Line yang membagi Indonesia dalam dua hagian berdasarkan ciri-ciri fauna dan
floranya. Indonesia Barat meliputi Jawa, Sumatera, dan Kalimantan mengikuti ciri-ciri fauna dan
flora Asia, sedangkan Indonesia Timur meliputi Sulawesi ke arah Timur ke Maluku sampai
dengan Papua yang sangat mirip dengan fauna dan flora Australia. Lihat Thamrin Amal Tomagola,
Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 17. Ia sedikit
merubah Wallace Line ini dengan memasukkan Kalimantan ke dalam pola Indonesia Timur,
karena yang dijadikan dasar pembagian adalah perbedaan pola sosial budayanya.

144

bugis inilah yang secara dominan mewarnai situasi khususnya politik


dan ekonomi di Indonesia Timur baik yang berakibat positif maupun
negatif. Ketiga, Setiap suku di Indonesia Barat minimal mendiami satu
propinsi secara dominan, sedangkan di Indonesia bagian Timur, dalam
satu kecamatan saja dapat ditemukan lebih dari sepuluh suku yang
hidup bersama. Kondisi ini menyebabkan potensi konflik antar suku
bahkan disintegrasi bangsa lebih mungkin terjadi di Indonesia bagian
Timur daripada di Indonesia bagian Barat. Jika disintegrasi benarbenar terjadi, maka Indonesia bagian Barat akan berubah menjadi
bongkahan-bongkahan entitas baru sedangkan Indonesia bagian Timur
akan berubah menjadi serpihan-serpihan satuan politik. Akibat
selanjutnya dari disintegrasi di Indonesia Timur adalah upaya saling
menghabisi antar suku/agama demi penguasaan wilayah. 209
b. Distribusi Wilayah Agama.
Distribusi umat beragama di Indonesia juga mengikuti suatu pola
tertentu. Indonesia Barat pada umumnya didiami oleh umat Islam
dengan beberapa kantong pemukiman umat Kristen seperti di wilayah
Tapanuli Utara, beberapa kantong di Kalimantan dan juga di Jawa
Tengah dan Timur. Wilayah umat Protestan utama terdapat di
Sulawesi Utara, Toraja, Maluku Tengah (sekitar 35%) serta di Papua
bagian utara. Umat Katholik lebih terkonsentrasi di bagian selatan dari
Indonesia Timur mulai dari pulau Flores dan Timor terus ke arah
Timur ke wilayah Maluku Tenggara dan akhirnya berhenti di Papua
bagian selatan. Baik di Indonesia Barat, dengan pengecualian suku
Jawa dan Batak, apalagi di Indonesia Timur, suku seseorang kadang-

Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 19
209

145

kadang dapat secara langsung memberitahukan agama yang dianut


oleh orang tersebut, khususnya Maluku dan Sulawesi.
Para pendatang di Maluku dan Papua pada umumnya beragama
Islam sedangkan para pendatang di Poso terdiri dari mereka yang
beragama Protestan maupun mereka yang beragama Islam. Mereka
yang disebut pertama pada umumnya berasal dari wilayah Toraja yang
masuk ke Poso dari arah selatan dan dari Minahasa serta Sangir Talaud
yang memasuki Poso dari arah utara. Pendatang Muslim memasuki
Poso baik dari arah selatan, yaitu suku Bugis yang telah mulai
bermigrasi ke Poso sejak masa pra-kolonial, maupun suku Gorontalo
dari arah utara. Karena Itu, wifayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta
wilayah Pamona Selatan cukup banyak desa-desa Kristen dan desadesa Islam berselang-seling bertetangga di satu pihak sedangkan
wilayah Pamona Utara sampai dengan wilayah yang berbatasan
dengan baik wilayah Poso Pesisir maupun wilayah Kota Poso serta ke
Barat Utara ke wilayah Lore Utara dan Lore Selatan sangat didominasi
oleh mayoritas Protestan.
Jadi secara geografis, umat Kristen yang mendiami bagian tengah
dari wilayah Poso terjepit baik dari arah utara maupun dari arah selatan
di mana proporsi umat Islam semakin membesar mendekati proporsi
umat Kristen. Keadaan ini paga gilirannya melahirkan rasa
keterancaman persis seperti yang dialami oleh umat Kristen di
Halmahera Utara. Konflik dengan kekerasan lebih banyak terjadi di
wilayah di mana tidak ada kelompok dominan dari segi suku maupun
agama, ataupun yang selisih antara kedua umat itu sangat tipis. 210
Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 20. Mengenai kondisi sosial budaya, ekonomi, serta kondisi demografis yang
mengakibatkan konflik di Halmahera, lihat Henry H. Sitohang dkk., Menuju Rekonsiliasi di
Halmahera, (Jakarta: PPRP, 2003)
210

146

c. Tingkat Pendidikan
Dari segi tingkat pendidikan, tingkat pendidikan penduduk
Indonesia berkorelasi dengan aktif tidaknya misi-misi agama di
wilayah tertentu. Di wilayah di mana misi agama Islam, khususnya
Muhammadiyah sangat aktif seperti di Sumatera Barat, Bengkulu,
Sumatera Selatan, Yogyakarta serta Sulawesi Selatan, tingkat
pendidikan umat Islam di sana sangat tinggi. Sebaliknya, di wilayahwilayah di mana Muhammadiyah tidak aktif seperti di jawa Barat,
tingkat pendidikan umat Islam di sana sangat rendah. Demikian juga
berlaku untuk wilayah-wilayah di mana misi Kristen, baik Protestan
maupun Katholik sangat aktif seperti wilayah Flores dan beberapa titik
di NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah serta Maluku Tengah,
tingkat pendidikan umat Kristen di sana sangat tinggi. Keadaan
sebaliknya tidak berlaku buat umat Kristen karena tidak ada wilayah
Kristen di mana misi Kristennya tidak aktif bergiat dalam bidang
pendidikan. Tidak ditemui kesenjangan tingkat pendidikan antara umat
Kristen dengan umat Islam di Sulawesi, dan Poso pada khususnya. 211
Kondisi politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebaran dari suku dan
agama (baik yang merupakan suku dan agama asli maupun pendatang)
yang kemudian berbagai kondisi itu saling berkait satu sama lain, dalam
jangka panjang telah merubah wajah masyarakat setempat di Indonesia
Timur, termasuk ketika menimbulkan efek negatif berupa konflik
horisontal antar anggota masyarakat yang berbeda suku dan agama.

3. Upaya Ishlh yang Telah Dilakukan (Contoh Poso)

Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 21
211

147

Upaya ishlh ini diawali adanya perkembangan positif dalam


konteks lokal, yaitu munculnya kesadaran yang tulus dan inisitif
perdamaian dari kedua belah pihak untuk kemudian meminta kepada
pemerintah pusat (Menko Polkam dan Menko Kesra) mengupayakan
perdamaian di Poso. Lobi ini disambut dan ditindaklanjuti oleh Menko
Polkam dan Menko Kesra, Yusuf Kalla. Di samping itu, dalam lingkup
nasional, kondisi pemerintahan telah mulai stabil. 212 Lebih dari itu, pada
tataran internasional ada tekanan dari pihak Amerika Serikat agar
Indonesia segera menghentikan berbagai perang komunal yang dapat
dijadikan sebagai tempat latihan dan tempat rekrutmen anggota baru oleh
jaringan teroris regional yang digalang kelompok Islam garis keras. Dalam
bingkai berbagai konteks yang kondusif seperti diuraikan di atas barulah
upaya perdamain dalam pertemuan Malino dapat berlangsung.
Sebagai mediator dari pemerintah, Jusuf Kalla selain sebagai
pebisnis juga sekaligus seorang politisi Golkar asal Bugis yang telah
berhasil membangun sejumlah jaringan di wilayah Sulawesi. la
mempunyai jaringan bisnis, sosial, dan politik yang luas dan loyal termasuk di kalangan PPP- yang telah mengakar lama. Jaringan yang luas
dan kuat inilah yang dimanfaatkannya dalam proses perdamaian Malino.
Keberanian mengambil risiko yang melekat pada dirinya sebagai seorang
pebisnis berpengalaman, juga kemampuan berkomunikasi dengan bahasa
sederhana dengan para pemimpin lapangan kedua belah pihak, juga ikut
menyumbang suksesnya deklarasi Malino.

212

Hal ini ditandai dengan telah usainya pertarungan elit politik di Jakarta dengan
diturunkannya Abdurrachman Wahid sebagai presiden, dan militer telah merasa aman karena
terakomodasi dalam kabinet Megawati pada posisi-posisi strategis, serta keinginan presiden
Megawati kala itu yang menginginkan NKRI tetap utuh dan hanya militer yang dapat menjamin
itu. Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 29-30

148

Dalam proses perdamaian, delegasi muslim mengusulkan sembilan


item perdamaian yang harus dipatuhi kedua belah pihak, sementara
delegasi Kristen tidak mengusulkan poin apapun karena mereka memang
siap untuk berdamai tanpa syarat. Kesembilan item usulan dari delegasi
muslim itu diberi judul Permufakatan Muslim Poso di Malino yang
berisi pertama, menghentikan upaya provokasi dan penyerangan terhadap
umat Islam yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, harta benda dan
pengungsian. Kedua, menerima kehadiran aparat keamanan dalam rangka
menciptakan suasana yang kondusif. Ketiga, penegakan supremasi hukum.
Keempat, menghentikan campur tangan asing dan upaya mendatangkan
intervensi negara asing. Kelima, belum saatnya memberlakukan darurat
sipil dan tindakan represif. Keenam, Sinode GKST dan Crisis Center
segera menghentikan fitnah dan upaya pemutarbalikkan fakta terhadap
umat Islam. Ketujuh, mengembalikan hak-hak kaum muslimin termasuk
menjalankan ajaran agama dengan baik. Kedelapan, setiap warga negara
Republik Indonesia berhak untuk tinggal di mana saja dalam wilayah
Republik Indonesia termasuk di bumi Poso. Kesembilan, apabila
permufakatan ini dilanggar maka umat Islam siap jihad fisabilillah. 213
Pada 19 Desember 2001, semua delegasi menuju Malino yang
berada di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Di kawasan wisata
yang berudara dingin dan sejuk, serta berjarak sekitar 80 Km dari Kota
Makassar itu berlangsung perundingan delegasi Muslim dan Kristen dalam
rangka mewujudkan perdamaian. 214
Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di
Indonesia Bagian Timur, h. 77
213

214

Mengenai proses perundingan itu secara sekilas, lihat foot note no. 164. Setelah delegasi
Islam membacakan Permufakatan Muslim Poso di Malino, Yusuf Kalla menanyakan tiga kali
kepada delegasi Kristen, namun tidak ada yang menjawab. Kemudian ia berkata: Sekarang anda
semua sebagai anggota delegasi telah bersepakat merancang suatu upaya untuk mencapai
perdamaian. Maka tiba saatnya untuk merancang naskah perdamaian . Lihat Thamrin Amal
Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 79

149

Kemudian dibentuk tim perumus untuk merancang naskah


perdamaian (Deklarasi Malino Untuk Poso). Tim Perumus itu berjumlah
tiga orang, Sulaeman Mamar mewakili pihak Islam, Pendeta J. Santo
mewakili pihak Kristen dan Hamid Awaludin mewakili pemerintah. Saat
itu pula dibentuk Komisi Keamanaan dan Penegakan Hukum yang
dipimpin oleh Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjend. Zainal Abidin Ishak,
serta Komisi Sosial Ekonomi.
Tim perumus itu akhirnya menghasilkan 10 poin kesepakatan yang
diberi nama Deklarasi Malino Untuk Poso. Sepuluh poin itu kemudian
dibacakan oleh Jusuf Kalla di hadapan seluruh delegasi untuk diberikan
persetujuan. Setelah semua delegasi setuju, maka diketoklah palu sidang
pertanda

kesepakatan

telah

tercapai.

Selanjutnya

dilakukan

penandatanganan deklarasi yang dilakukan secara berpasang-pasangan


antara delegasi Muslim dan Kristen. Masing-masing delegasi berjabatan
tangan dan saling peluk sebagai simbol perdamaian. 215
Sepuluh poin Deklarasi Malino itu berisi:
a. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
b. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung
pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
c.

Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga


keamanan.

d. Untuk terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan keadaan


darurat sipil, serta campur tangan pihak asing.
e.

Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua


.pihak dan menegakan sikap saling menghormati dan memaafkan satu
sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama.

Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 80
215

150

f. Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu,
setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang, dan tinggal
secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
g. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada
pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan
perselisihan berlangsung.
h. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asalnya masing-masing.
i.

Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana


ekonomi secara menyeluruh.

j. Menjalankan syariah agama masing-masing dengan cara dan prinsip


saling menghormati, dan menaati segala aturan yang telah disetujui,
baik dalam bentuk undang-undang, maupun peraturan pemerintah dan
ketentuan-ketentuan lainnya.

4. Peluang Ishlh
Sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan terdahulu,
bahwa upaya ishlh dalam Islam merupakan jalan panjang dalam
memperbaiki kondisi masyarakat yang rusak khususnya karena konflik
dan permusuhan menuju tujuan akhir yaitu terwujudnya masharakat yang
shlih dan bertakwa. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan demi
terciptanya ishlh secara lestari yang merupakan isi dari mushlih 'alaihadalah meliputi menjauhi prasangka buruk dan hinaan antar anggota
masyarakat khususnya yang pernah berkonflik, menciptakan keadilan
dalam masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan, mempererat
silaturrahmi dalam rangka rehabilitasi situasi, kemauan keras untuk
bertaubat dari segala kesalahan dan kejahatan dengan tidak mengulangi
perbuatan itu dan menggantinya dengan perbuatan yang lebih baik
(ishlh), dan kesediaan untuk memaafkan pihak lain yang telah berlaku

151

salah dan jahat dengan (jika perlu) disertai kemauan untuk berbuat
kebajikan kepada pihak yang telah melakukan kejahatan itu.
Di samping itu perlu diperhatikan pula terpilihnya mediator yang adil
dan kuat. Mediator hendaknya tidak hanya pihak yang ikhlas berkeinginan
untuk memediasi, tetapi juga harus memiliki kapasitas memadai sebagai
mediator yang baik dan handal. Kapasitas memadai ini tercermin dari
keadilan sikap, reputasi yang unggul dan terjaga, memiliki kekuatan baik
secara politis maupun sosial berupa jaringan yang luas, serta kecermatan
dalam bertindak. Tidak lupa, tentunya mediator ini dipilih oleh kedua
pihak yang berseteru secara sadar dan tanpa paksaan.
Di atas kerangka konsep ishlh sebagaimana diuraikan di atas lah,
bangunan ishlh bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi
masyarakat yang -baru saja- dilanda konflik komunal horisontal dapat
terwujud dengan lestari.
Dalam konteks ishlh Poso, Deklarasi Malino Untuk Poso yang
berisi sepuluh poin kesepakatan perdamaian antara kedua pihak yang
berkonflik, secara garis besar telah memuat poin-poin penting ishlh
dalam perspektif fikih sebagaimana telah dijabarkan di atas. Namun, -dari
hasil pengamatan penulis terhadap sepuluh poin tersebut- dirasa masih
perlu memberikan penekanan/penambahan terhadap poin-poin tertentu
yang penulis rasa kurang teraksentuasi dengan mantap. Hal ini perlu
mengingat isi perjanjian (mushlih alaih) haruslah dapat secara
meyakinkan menghentikan permusuhan dan menimbulkan/meningkatkan
kebaikan/kemanfaatan bagi kedua pihak secara kontinu. Secara lebih rinci,
penulis mencoba membahas sepuluh poin deklarasi Malino tersebut dalam
hubungannya dengan konsep ishlh dalam perspektif fikih dan
membandingkannya dengan lima poin mushlih alaih dalam ishlh
sebagai berikut.

152

Poin a dalam Deklarasi Malino (selanjutnya disingkat DM) sudah


cukup identik dengan poin a dalam mushlih alaih (selanjutnya disingkat
MA). Demikian juga poin b dalam DM sudah cukup identik dengan poin b
dalam MA. Poin c dan d dalam DM merupakan manivestasi dari ketaatan
aqidain terhadap mediator dari pemerintah yang telah mereka pilih
bersama.
Poin e dalam DM cukup identik dengan poin a dan c dalam MA.
Namun, klausul menghilangkan fitnah dan ketidakjujuran

kurang

memiliki penekanan arti sehingga dirasa kurang pengaruhnya bagi


penghentian permusuhan itu sendiri. Apalagi, realitas di lapangan
menunjukkan bahwa yang terjadi bukan hanya sekedar fitnah dan dusta
tapi pembantaian, penjarahan, pengusiran, dan tindakan brutal lainnya.
Jadi kata yang lebih tepat dan lebih menjamin tidak terulangnya perbuatan
keji di atas adalah kesediaan bertaubat dari segala kejahatan yang telah
dilakukan dan memperbaiki diri dengan melakukan hal-hal yang positif
sebagai ganti dari perbuatan jahat itu. Begitu juga klausul saling
menghormati dan memaafkan harus ditambah dengan klausul saling
berbuat kebajikan demi lebih menjamin terwujudnya ishlh dan
keharmonisan seperti sedia kala.
Poin f, g, dan h dalam DM cukup identik dengan poin 4 dan 5 yang
merupakan gambaran kondisi obyektif masyarakat setempat pasca konflik.
Oleh karena itu diupayakan secara serius adanya pemulihan kondisi
obyektif masyarakat setempat tersebut sebagaimana kondisi pra konflik.
Begitu juga dengan poin i dalam DM. Adapun poin j dalam DM cukup
identik dengan poin b dalam MA.
Perlu dicatat pula bahwa dalam konteks inisiatif, ternyata pemerintah
sebagai pihak yang paling layak dan kuat dalam upaya penghentian

153

konflik, kurang sigap dalam bersikap dan memprakarsai perdamaian. 216


Dari paparan mengenai tiga hal kondusif yang mengawali dan menjadi
pijakan pelaksanaan ishlh sebagaimana dijelaskan di atas, terbukti bahwa
pemerintah mulai aktif menggalang perdamaian justru setelah adanya
kekhawatiran bahwa kondisi chaos di Poso akan dimanfaatkan oleh
jaringan terorisme regional untuk merekrut anggota dan membangun
jaringan baru. Di samping itu, berkaitan dengan lambannya inisiatif
pemerintah ini, perlu dicatat pula hadirnya laskar jihad dari Jakarta yang
menyebabkan terjadinya perimbangan kekuatan antara kelompok Kristen
dan Islam. 217 Setelah terjadinya perimbangan kekuatan inilah inisiatif
damai mulai keras disuarakan.
Dari paparan di atas terlihat bahwa pada dasarnya ishlh yang
dilakukan di Poso sudah cukup identik dengan konsep ishlh dalam
perspektif fikih. Bahwa masih ada sedikit kekurangan dalam hal isi
mushlih alaih sebagaimana diterangkan di atas merupakan kewajaran
selagi ada upaya perbaikan secara kontinu dalam penerapan isi mushlih
alaih tersebut dalam masyarakat, khususnya ketika hendak menerapkan
konsep ishlh dalam perspektif fikih dalam kasus konflik komunal
horisontal yang lain yang mungkin saja timbul kembali di masa yang akan
datang. Dengan demikian, terdapat peluang yang luas bagi konsep ishlh
ini untuk memberikan kontribusi dalam menciptakan masyarakat adil dan
makmur dalam ridha Allah. Ishlh diharapkan dapat secara signifikan

216

Meskipun ada alasan bahwa dalam masa transisi demokrasi, pemerintah masih
disibukkan dengan konsolidasi ke dalam sehingga masalah kemasyarakatan khususnya yang jauh
dari pusat pemerintahan kurang terperhatikan.
217
Menurut Tomagola, inisiatif perdamaian pada awalnya muncul dari pihak Kristen yang
mulai terdesak oleh kekuatan kelompok Islam dengan hadirnya laskar jihad yang membantu
kelompok Islam. Oleh karena itu, dalam konteks ini bisa dipahami mengapa kelompok Kristen
siap terlebih dahulu meminta maaf dan bersedia untuk berdamai tanpa syarat. Lihat Tomagola h.
28-29

154

menciptakan masyarakat yang damai dan beradab dalam lingkup Negara


Kesatuan Republik Indonesia.

BAB V
PENUTUP

155

A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Di samping dalam aspek keluarga, dan hubungan antar negara, Ulama
fikih cenderung hanya membahas ishlh dalam aspek hukum yaitu dalam
hubungannya dengan jinyah qishsh diyat. Fikih juga hanya membahas
rukun ishlh tanpa membahas syaratnya secara rinci. Demikian pula ishlh
belum dibahas secara lebih rinci dalam konteks ushul fikih.
2. Dalam konteks ushul fikih, ishlh berkaitan erat dengan mashlahah yang
merupakan tujuan utama dari penetapan hukum dalam agama Islam.
3. Ishlh dalam perspektif fikih merupakan suatu konsep yang terdiri dari
rukun dan syarat yang saling berkait satu sama lain secara konprehensif
dan integral. Rukun ishlh meliputi Shghah, al-qidain, dan muhal yang
terdiri dari mushlih 'anh dan mushlih 'alaih. Mushlih 'alaih dapat
bersifat bendawi dan non bendawi. Yang bendawi dapat berupa denda
dalam bentuk harta, sedangkan yang non bendawi dapat berupa perbuatanperbuatan yang meliputi menjauhi prasangka buruk, hinaan, dan fitnah,
menciptakan keadilan di segala bidang dalam masyarakat, mempererat
silaturahmi dalam rangka rehabilitasi, kemauan keras bertaubat, dan saling
sabar dan memaafkan.
4. Ishlh adalah jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik sosial. Hal ini
terbukti dari penerapan poin-poin ishlh yang bersesuaian dengan poinpoin yang disepakati dan dilaksanakan dalam deklarasi Malino.

B. Saran
152
Ishlh dapat dijadikan solusi terbaik bagi penyelesaian konflik sosial.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai konsep ishlh dalam perspektif fikih

156

yang penulis lakukan sangat penting dalam memberikan kontribusi akademis


bagi pengembangan konsep ishlh dalam perspektif fikih di masa yang akan
datang. Juga dapat memberikan kontribusi secara praktis dalam penciptakan
tata kehidupan masyarakat yang lebih baik khususnya dalam mengatasi dan
mencegah terjadinya permusuhan bahkan kerusuhan dalam masyarakat. Oleh
karena itu, hendaknya tulisan ini mendapat apresiasi dan tanggapan berupa
pengembangan konsep ishlh yang lebih sempurna demi maksimalisasi
kontribusi yang dapat diberikan.

Anda mungkin juga menyukai