PERSPEKTIF FIKIH
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam (MA)
Disusun oleh:
Arif Hamzah
01.2.00.1.01.01.0009
Pembimbing:
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam (MA)
Disusun oleh:
Arif Hamzah
01.2.00.1.01.01.0009
Pembimbing:
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008
SURAT PERNYATAAN
: Arif Hamzah
NIM
: 01.2.00.1.01.01.0009
Tmp./tgl. Lahir
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis saya berjudul Konsep Ishlah Dalam
Perspektif Fikih adalah benar karya asli saya, kecuali beberapa kutipan yang secara
akademik dapat dibenarkan. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam tesis
ini maka sepenuhnya tanggung jawab saya pribadi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan untuk digunakan
sebagaimana mestinya.
Arif Hamzah
Tesis dengan judul Konsep Ishlh Dalam Perspektif Fikih yang ditulis oleh
Arif Hamzah NIM. 01.2.00.1.01.01.0009, telah diajukan pada sidang munaqasyah
tesis pada hari Jumat, 28 Maret 2008. Tesis ini telah diperbaiki sesuai petunjuk
pembimbing dan penguji serta diterima sebagai salah satu syarat menerima gelar
Magister dalam Bidang Ilmu Agama Islam (MA) Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pembimbing/Penguji
Penguji
Penguji/Ketua Sidang
PEDOMAN TRANSLITERASI*
= Tidak dibaca
=z
=q
=b
=s
=k
=t
= sy
=l
= ts
= sh
=m
=j
= dh
=n
=h
= th
=w
= kh
= zh
=d
= ..
= dz
= gh
=y
=r
=f
Vokal Panjang
Vokal Pendek
= a
= i
Hal-hal khusus:
1. Ta marbuthah ( )mati atau mendapat harakat sukun transliterasinya menjadi (h)
2. Alif lam ( )selalu ditransliterasi dengan (al-) meskipun huruf yang menyertaimya
syamsiyah atau qamariyah, kecuali pada penggunaan nama penulis buku
mengikuti tulisan yang sebenarnya.
3. Tasydid ( ) ditransliterasikan dengan mengetik ganda huruf yang di-tasydid-kan
4. Kata-kata yang sudah baku di tulis tanpa mengikuti pedoman transliterasi,kecuali
kata al-Quran
5. Kata ditulis Ibn.
6. Diftong ditulis ai, dan ditulis au
Abstrak:
Tesis ini diberi judul Konsep Ishlh Dalam Perspektif Fikih. Penulisan tesis
ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas terjadinya berbagai konflik di Indonesia
khususnya konflik sosial yang telah banyak merenggut korban. Oleh karena itu,
penulis merasa perlu merumuskan konsep Ishlh dalam perspektif fikih demi turut
serta mewujudkan kedamaian.
Fokus dan tujuan penelitian dalam tesis ini meliputi: pertama, Ingin
mengetahui bagaimana Ishlh di masa lalu berdasarkan sumber-sumber teks
keagamaan dan sejarah. Kedua, bagaimana mendudukkan Ishlh dalam wacana ushul
fikih, berkaitan dengan signifikansi dan kedudukannya dalam mashlahat. Ketiga,
bagaimana mengembangkan konsep Ishlh dalam perspektif fikih. Dan keempat,
Bagaimana penerapan Ishlh dalam menyelesaikan konflik sosial di Indonesia.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif
analitis, yaitu mendeskripsikan secara faktual dan akurat serta sistematis data-data
dan pandangan ahli tentang konsep Ishlh dalam perspektif fikih. Konsep yang
ditemukan akan dijajagi kevalidannya dengan mencoba menerapakannnya
(membandingkannya) dalam penyelesaian konflik horisontal dalam masyarakat di
Indonesia yang pernah dilakukan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Ishlh dapat dilacak akar sejarahnya dalam
ajaran Islam, bahkan jauh sebelum datangnya risalah Islam. Ulama fikih hanya
membahas ruang lingkup Ishlh dalam hubungannya dengan jinayat qishsh diyat.
Mereka juga hanya membahas rukun Ishlh tanpa membahas syaratnya secara rinci.
Demikian pula Ishlh belum dibahas secara lebih rinci dalam konteks ushul fikih.
Dalam konteks ushul fikih, Ishlh berkaitan erat dengan mashlahat yang
merupakan tujuan utama dari penetapan hukum dalam agama Islam. Ishlh dalam
perspektif fikih merupakan suatu konsep yang terdiri dari rukun dan syarat yang
saling berkait satu sama lain secara konprehensif dan integral. Rukun Ishlh meliputi
shighat, al-aqidain, dan muhal yang terdiri dari mushalih 'anh dan mushalih 'alaih.
Mushalih 'alaih dapat bersifat bendawi dan non bendawi. Yang bersifat bendawi
seperti membayar denda berupa harta atau uang, sedangkan yang non bendawi dapat
berupa perbuatan yang meliputi menjauhi prasangka buruk, hinaan, dan fitnah,
menciptakan keadilan di segala bidang dalam masyarakat, mempererat silaturahmi
dalam rangka rehabilitasi, kemauan keras bertaubat, dan saling sabar dan memaafkan.
Konsep Ishlh dalam perbandingannya dengan poin-poin dalam deklarasi Malinojika diterapkan secara konprehensip, niscaya dapat secara signifikan menghentikan
konflik dan menciptakan perdamaian yang lestari di Indonesia.
ii
Abstract
This Thesis is entitled "The Concept of Ishlh In Fiqh perpective." It is based
on the happening of various conflicts in Indonesia, especially social conflicts which
effect so many victims. Therefore, writer is sure that it is important to formulate the
concept of Ishlh in fiqh perspective as a contribution for making peace.
The focus and the aims of this research covers: first, how to know about Ishlh
based on religious texts and history. Second, how to positionate Ishlh in ushul fiqh,
according to the significance of Ishlh and its position before mashlahat. Third, how
to formulate and develop the concept of Ishlh in fiqh perspective. And fourth, How
to implement Ishlh to solve social conflicts in Indonesia
This is a qualitative research using the analytical and descriptive method that
describes and systemizes factual and accurate data as well as the experts views on
the Ishlh concepts in the fiqh perspective. The validity of the discovered concepts is
examined by trying to apply and compare it to solve the horizontal conflicts in
society, especially in Indonesia, with the effort done.
This research concludes that Ishlh is traceable on the history in Islamic
teaching, even far before the coming of Islam. The fiqh scholars discuss about Ishlh
only on its relation with jinayat qishsh diyat. They also discuss some pillars of it
without mentioning some conditions comprehensively as well as the discourse of
Ishlh in ushul fiqh context. Meanwhile, in ushul fiqh, Ishlh is related strongly with
mashlahat in which it is the main objective of Islamic law. Ishlh in fiqh perspective
is a concept consisting of the pillars and conditions which are related to each other
comprehensively. The pillars of Ishlh cover the shighat, al-aqidain, and muhal
comprising the mushalih 'anh and mushalih 'alaih. Mushalih 'alaih can be materials
such as giving some goods or money and immaterial like doing something. Mushalih
alaih which is in the form of doing something should cover some works such as
avoiding the ugly prejudice, snubbing, and libel, creating justice in all areas of
society, tightening silaturahmi in order to rehabilitate relations and conditions,
willingness to taubat, patience and forgiveness. The ideal concept of Ishlh, in
comparison with some points in Malinos Declaration, when it is comprehensively
applied, significantly stop and end social conflicts and create the everlasting peace in
Indonesia.
iii
" " .
.
:
- .
-
.
- .
-
.
.
.
.
.
.
" " " " .
. -
-
.
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim
iv
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah. Ridha dan rahmat-Nya telah
memberikan kesempatan dan kelancaran kepada penulis untuk menyelesasikan tesis
ini.
Terimakasih tiada terhingga kepada kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Abdul
Rahman Farid (al-Marhum) dan Ibunda Siti Munawiroh. Kasih sayang mereka tak
mungkin bisa kubalas. Juga untuk adikku, Abid Syaifullah. Terima kasih atas segala
motivasi dan kepercayaan. Tak lupa untuk istriku tercinta, Desi Arisanti.
Kesetiaanmu selalu mengilhamiku.
Terimakasih pula untuk Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., MM.
sebagai pembimbing sekaligus penguji dalam penulisan tesis ini. Juga untuk Prof. Dr.
Hasanuddin AF., MA., sebagai penguji, dan Dr. H. Udjang Thalib, MA. Sebagai
penguji sekaligus ketua sidang ujian. Saran-saran mereka sangat berharga dalam
memperbaiki berbagai kekurangan dalam tesis ini.
Para Pimpinan dan Dosen sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, khusus untuk Prof.
Dr. Suwito MA. dan Ibu Nilfa Yetty Tanjung, bimbingan, jeweran dan motivasinya
sungguh tak ternilai dengan apa pun. Juga para karyawan dan karyawati Pasca yang
terlalu sering penulis repoti.
Tak lupa kepada kawan-kawan Legoso, FAI UHAMKA, dan STIE Ahmad
Dahlan, dan khusus untuk kawa-kawan satu pesantren di Qom, spesial buat ustadz
Faris yang membantu memberikan bimbingan tesis tak resmi. Juga untuk semua
teman yang tak dapat disebut satu persatu namanya. Karena mereka hidup terasa lebih
berwarna.
Ciputat, 20 April 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Pedoman Transliterasi ....................................................................................
Abstrak ...........................................................................................................
ii
Abstract ..........................................................................................................
iii
Al-Khulshah ..................................................................................................
iv
vi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................
10
11
11
KONSEP ISHLH
A. Definsi Ishlh
BAB III
BAB IV
13
14
20
30
30
32
37
39
48
50
59
FIKIH ISHLH
A. Obyek Ishlh .....................................................................
vi
89
BAB V
101
102
104
149
PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................
152
B. Saran ...................................................................................
153
vii
Tesis dengan judul Konsep Ishlh Dalam Perspektif Fikih yang ditulis oleh
Arif Hamzah NIM. 01.2.00.1.01.01.0009, telah diperbaiki sesuai petunjuk
pembimbing dan penguji serta telah diserahkan kepada para pembimbing dan penguji
masing-masing satu eksemplar hard copy tesis.
Pembimbing/Penguji
Penguji
Penguji/Ketua Sidang
BAB I
PENDAHULUAN
Hal ini menyebabkan keprihatinan mendalam dalam diri kita dan sudah
sepantasnya melakukan berbagai upaya untuk mencegah, jangan sampai
kejadian tersebut terulang kembali, dan menyelesaikan masalah yang saat ini
Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, (Jakarta:
YAPPIKA, 2003), h. 85-87. Ia menerangkan bahwa kondisi traumatis pasca kerusuhan masih
dialami oleh masyarakat termasuk anak-anak. Suatu ketika diselenggarakan lomba melukis anakanak. Sebagian anak menggambar gunung berwarna merah. Ketika ditanya kenapa gunungnya
berwarna merah, kan biasanya hijau atau biru. Maka dijawab bahwa gunungnya terbakar. Ada juga
anak yang menggambar beberapa rumah, sebagian rumah diwarnai merah dan sebagian diwarnai
putih. Mereka berkata:Yang merah rumah orang Kristen, yang putih rumah orang Islam, kalau
ada perang lagi biar gampang ketahuan.
1
belum selesai agar tidak timbul dendam di masa yang akan datang yang pada
gilirannya akan memunculkan kembali percik api konflik dan permusuhan.
Hal ini tentunya membutuhkan penyelesaian yang tepat, cepat, dan
membawa kemashlahatan bagi semua pihak yang bersengketa. Penyelesaian
yang tepat sangat diperlukan mengingat kerugian yang ditimbulkan amat besar
menyangkut nyawa dan harta benda. Adapun penyelesaian yang ingin
ditawarkan dalam tesis ini adalah perdamaian atau yang dalam khazanah Islam
biasa disebut dengan istilah ishlh, -baik melalui proses di pengadilan ataupun
tidak- dari pada menyelesaikannya secara hukum, baik pidana maupun perdata
melalui mekanisme pengadilan pidana atau perdata saja.
Dalam konteks pidana Islam, ishlh dibicarakan berkaitan erat dengan
qishsh, yaitu adanya kebolehan keluarga korban untuk memberi maaf kepada
pelaku yang -di muka pengadilan- terbukti melakukan kejahatan. Maaf ini
secara otomatis menggugurkan hukuman qishsh, terlepas dari keluarga
korban menuntut diyat (denda) atau tidak. Hal ini sebagaimana diterangkan
dalam QS. al- Baqarah (2): 178. 2
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut di
atas. Salah satunya adalah riwayat dari Qatadah, bahwa orang-orang jahiliyah
biasa melakukan kezhaliman dan memperturutkan nafsu setan karena
kesombongan dan rasa kebanggaan berlebihan terhadap kabilah atau sukunya.
2
Artinya :
Jika dua kabilah saling berperang, kemudian hamba salah satu kabilah
membunuh hamba dari kabilah musuhnya, maka kabilah yang hambanya
terbunuh akan mengatakan: Kami tidak akan membalas melainkan harus
membunuh orang merdeka dari mereka. Begitu juga bila yang terbunuh
perempuan, maka mereka akan menuntut balas dengan membunuh laki-laki
musuh. Maka turunlah ayat orang-orang merdeka dengan orang-orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. 3
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari ayat di atas, yaitu bahwa
qishsh adalah syariat Allah demi kemashlahatan hidup, qishsh diyakini akan
memperkecil frekuensi kejahatan dan menghilangkan rasa dendam antar
individu dalam masyarakat, membawa masyarakat menuju kedamain hidup
jasmani dan rohani, sehingga dalam jangka panjang dapat memelihara
kehidupan seluruh umat.
Dalam hal ini, jika wali atau keluarga korban memberi maaf, maka
wajib atas pelaku membayar diyat (denda) tanpa ditunda-tunda. Dengan
demikian, diyat (denda) dalam hal ini adalah sebagai hukuman pengganti
qishsh yang tidak jadi dilaksanakan karena keluarga korban memberi maaf
kepada pelaku. Meski demikian, hakim masih bisa menetapkan hukuman
tazr atas pelaku karena pelanggarannya terhadap hak-hak publik atau hak
Allah setelah hak hamba yang dominan memberinya maaf dan menggugurkan
qishsh.
Perlu digarisbawahi, bahwa di samping mensyariatkan qishsh, Allah
secara bersamaan juga mensyariatkan maaf sebagai ajakan untuk berbuat
kebajikan, bahwa memaafkan adalah lebih baik dan manusiawi dari pada
melakukan pembalasan yang destruktif. Dengan demikian, memaafkan adalah
bagian tak terpisahkan dari mekanisme hukum qishsh. Oleh karena itu,
mengingat qishsh adalah bagian integral dari Hukum Pidana Islam, maka
memaafkan juga bagian integral dari Hukum Pidana Islam.
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Quran, Terj.
Muammal Hamdi dan Imran A. Mannan, Tafsir Ayat Ahkam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), h. 123
3
Konsep ishlh muncul sebagai ganti dari qishsh yang tak jadi
dilaksanakan karena adanya maaf dari keluarga korban. Dalam hal ini,
keluarga korban merupakan pihak yang mengedepankan perdamaian dalam
menyelesaikan rasa dendam dan permusuhan. Di sinilah posisi strategis ishlh
dalam menyelesaikan permusuhan antar manusia dan kelompok. Oleh karena
itu, sudah sepantasnya konsep ishlh digali hingga ditemukan sebuah formula
penyelesaian konflik yang cepat, tepat, dan mampu menciptakan mashlahat
bagi semua pihak, berdasarkan khazanah hukum dan intelektual Islam. 4
Dalam konteks Indonesia, penyelesaian konflik horisontal agaknya tidak
bisa hanya mengandalkan penegakan hukum pidana dalam perspektif qishsh
saja, tetapi harus melibatkan perspektif ishlh. Karena dalam sebuah
kerusuhan yang menelan banyak korban, maka kedua belah pihak merupakan
korban sekaligus pelaku kejahatan. Jika hanya perspektif qishsh yang
diterapkan, maka proses hukum akan melalui jalan panjang dan berliku,
bahkan kemungkinan tidak akan menemui ujung dan pangkalnya. Sementara
jika perspektif ishlh juga diterapkan, maka dengan hati terbuka dan kerelaan
masing-masing pihak memaafkan kesalahan pihak lain akan lebih dapat
menjamin kerukunan dan perdamaian dalam masyarakat. Di sinilah urgensi
ishlh ditemukan. Sehingga, jika ishlh menjadi suatu yang urgen untuk
kemashlahatan umat, maka menjadi suatu yang perlu untuk segera
dilaksanakan.
Mengelaborasi lebih lanjut tentang berbagai kasus konflik horisontal di
berbagai daerah di Indonesia dan penyelesaiannya melalui jalan damai, kita
dapati beberapa kasus besar seperti kerusuhan Poso, Ambon dan lain-lain.
Sebagai masyarakat yang telah cukup lama dilanda konflik, baru hampir tujuh
tahun belakangan ini kabupaten Poso di Sulawesi Tengah mulai damai
kembali. Sejumlah tonggak peristiwa telah dilalui sebelum mencapai ini.
Dalam khazanah Hukum Pidana Islam terdapat satu kaidah yaitu "Apabila terjadi
pelanggaran hukum maka di dalamnya terdapat hak Allah dan hak hamba, sedangkan hak hamba
itu lebih dominan". Berdasarkan kaidah di atas, dominasi hak hamba ini berimplikasi pada
penyelesaian melalui jalan damai yaitu pihak yang dirugikan dapat memaafkan pihak yang
merugikan. Hal ini akan secara lebih luas dibahas dalam bab selanjutnya.
4
Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, 160
Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian
Jangka Panjang, (Jakarta: LIPI Proyek Pengembangan Riset Unggulan/Kompetitif LIPI/Program
Isu, 2003), h. 131
5
6
Kristen dan media Islam memihak Islam, sekarang telah sadar untuk
menggunakan media demi menegakkan perdamaian. 7
Menilik kondisi negara ini, maka pada dasarnya ada dua pilihan yang
dapat dilakukan oleh Negara kita Indonesia dalam menghadapi berbagai kasus
konflik horisontal. Yaitu melupakan masa lalu dan memberikan pengampunan
dan maaf atas segala kesalahan yang terjadi di masa lalu, atau tetap mengusut
tuntas semua tindakan kejahatan yang terjadi dan memberikan hukuman yang
setimpal dengan segala konsekuensinya. 8 Dengan kata lain, dapat ditempuh
jalur litigasi yaitu melalui jalur hukum yang dalam hal ini melalui mekanisme
peradilan, dan jalur non litigasi yaitu jalur non peradilan.
Lebih jauh mengelaborasi jalur non peradilan ini, telah terbit UU. No. 20
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alaternatif Penyelesaian Sengketa.
Sebagaimana diterangkan dalam pasal satu bahwa arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata
maupun hukum publik. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa
klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri
yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga
arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Lembaga Arbitrase adalah
badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal
belum timbul sengketa.
Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian
Jangka Panjang, h. 131
8
Munir, Transisi Politik dan Masa Depan HAM, ST. Sularto (ed.), (Jakarta: Kompas,
2000), cet. Ke-1, h. 16
7
atas yaitu dalam lingkup konflik sosial, khususnya konflik sosial bernuansa
SARA yang terjadi di Indonesia bagian timur seperti Poso.
10
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode
deskriptif analitis, 14 yaitu mendeskripsikan secara faktual dan akurat serta
sistematis data-data dan pandangan ahli tentang konsep ishlh, khususnya
dalam perspektif fikih.
Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, dilakukan studi pustaka
dengan menelusuri berbagai sumber yang relevan dengan permasalahan yang
dibahas. Kemudian untuk menganalisis data yang terkumpul, digunakan
metode analisis isi dengan menilai, mengidentifikasi data, dan menganalisanya
sehubungan dengan rumusan masalah yang diteliti sehingga didapatkan
konsep ishlh dalam perspektif fikih yang komprehensif. 15
Konsep yang ditemukan akan dijajagi kevalidannya dengan mencoba
membandingkannya dengan penyelesaian konflik horisontal dalam masyarakat
Indonesia yang pernah dilakukan. Dalam hal ini akan diambil satu contoh
penyelesaian konflik di Poso berupa deklarasi Malino. Dengan begitu,
Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 63-74
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1973), h.
14
15
76
11
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam tesis ini meliputi bab kesatu (pendahuluan)
yang berisi latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, metode penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, dan
sistematika penulisan.
12
Dilanjutkan dengan bab kedua (Ishlh dalam Islam). Bab ini terdiri dari
pembahasan definisi ishlh, Ishlh dalam al-Quran, ishlh dalam sejarah, dan
ruang ligkup ishlh.
Bab ketiga (dasar-dasar hukum ishlh), berisi kedudukan ishlh dalam
mashlahat, hukum ishlh, signifikansi ishlh, dan ishlh dalam jinayah.
Bab keempat (Konsep Ishlh dalam Perspektif Fikih) berisi
pembahasan obyek ishlh, subyek ishlh, rukun ishlh, syarat ishlh yang
terdiri dari pembahasan muatan mushalih alaih dan syarat-syarat yang
harus dimiliki oleh seorang mediator, dan penerapan ishlh dalam konflik
sosial di Indonesia yang berisi pembahasan dan pembandingan konsep
ishlh yang telah ditemukan dengan konsep ishlh yang dihasilkan dalam
deklarasi Malino yaitu perjanjian damai antar kelompok yang bertikai di
Poso.
Pembahasan ditutup dengan bab kelima (penutup) yang berisi
kesimpulan dan saran.
BAB II
KONSEP ISHLH
A. Definisi Ishlh
1. Secara Bahasa
Secara bahasa, akar kata ishlh berasal dari lafazh
yang berarti baik, yang mengalami perubahan bentuk. Kata ishlh
merupakan bentuk mashdar dari wazan yaitu dari lafazh
, yang berarti memperbaiki, memperbagus, dan mendamaikan,
(penyelesaian pertikaian). Kata merupakan lawan kata dari /
(rusak). 15 Sementara kata biasanya secara khusus digunakan untuk
menghilangkan persengketaan yang terjadi di kalangan manusia. Akan
tetapi, jika ishlh tersebut dilakukan oleh Allah pada manusia, maka
Tim Penyusun Pustaka Azet, Kamus Leksikon Islam, (Jakarta: Pustazet Perkasa,. 1998)
h. 224. lihat juga, Peter Salim dkk., Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern
English Press, 1991), cet.I, h. 581
16
Al-Rghib al-Ashfahani, al-Mufradt f Gharb al-Quran, (Beirut: Dar al-Marifah,
t.th), h. 284-285
17
Ibn Manzhr, Lisn al-'Arab, (Mesir: al-Dr al-Mishriyyah Litalf wa al-Tarjamah, t.th),
Jil. 3-4, h. 348-349
13
14
2. Secara Istilah
Secara istilah, term ishlh dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji
dalam kaitannya dengan perilaku manusia. 20 Karena itu, dalam
terminologi Islam secara umum, ishlh dapat diartikan sebagai suatu
aktifitas yang ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi
keadaan yang baik. Dengan kata lain, perbuatan baik lawan dari perbuatan
jelek. Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki
semua amal perbuatannya dan segala urusannya.21
Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan al-Zamakhsyari dalam
tafsirnya berpendapat, bahwa kata ishlh mempunyai arti mengkondisikan
sesuatu pada keadaan yang lurus dan mengembalikan fungsinya untuk
dimanfaatkan. 22
18
Ibrhm Madkr, al-Mujam al-Wajiz, (tp., t.th), h. 368. Lihat juga Ahmad
Athiyyatullah, al-Qms al-Islmi, (Mesir: Makhtabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1076), Jilid 4,
h. 321
19
Lihat Abi al-Husain Ahmad ibn Fris ibn Zakaria, Mujam Maqyis al-Lughah, (Mesir:
Maktabah al-Khabakhiy, 1981), Jil. 3, h. 303
20
E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1990), Jil.
IV, h. 141
21
Abd Salam, Mujam al-Wasth, (Teheran: Maktabat al-Ilmiyah, t.th), Jil. I, h. 522
22
Abu Ali al-Fadl ibn al-Hasan at-Thabarsi, Majma al-Bayn f tafsr al-quran, (Beirut:
Dar al-Marifah, 1986), cet I, Jil. I, II, h. 137. Lihat juga Abu al-Qasim Jarullhi Mahmd ibn
15
akan
tetapi
lebih
merupakan
suatu
upaya
untuk
16
pemikiran tajdd dalam Islam, tajdd adalah usaha dan upaya intelektual
Islami untuk menyegarkan
Ahmad Syafii Maarif, Al-quran Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah refleksi),
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), cet. I, h. 95
28
Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidyah fi Syarh al-hidyah,
(Beirut: Dar al-Fikr, t,th), Jil. 9, h. 3. Definisi ishlh dalam konteks inilah yang menjadi fokus
pembahasan dalam tesis ini.
29
Hassan Sadyli dkk, Ensikolopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 1982),
h. 1496
30
Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, terj., Kamaludin A. Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah,
(Bangdung: PT. Al-Ma'arif, 1988), jil. Ke-13, h. 189
17
ishlh lebih menekankan arti suatu proses perdamaian antara dua pihak.
Sedangkan kata shulh lebih menekankan arti hasil dari proses ishlh
tersebut yaitu berupa shulh (perdamaian/kedamaian). Dapat juga
dinyatakan bahwa ishlh mengisyaratkan diperlukannya pihak ketiga
sebagai perantara atau mediator dalam penyelesaian konflik tersebut.
Sementara dalam shulh tidak mengisyaratkan diperlukannya mediator.
Selanjutnya
perlu
dijelaskan
pula
mengapa
Sayyid
Sabiq
menggunakan istilah mushlih bagi para pihak yang hendak berishlh, dan
tidak menggunakan istilah mushlih. Agaknya, penggunaan istilah mushlih
ditujukan untuk menunjukkan adanya keinginan berdamai dari kedua
pihak yang berkonflik, dan demikianlah seharusnya dalam ishlh, bukan
salah satu pihak saja. Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan wazan
f'ala mengandung arti musyrakah atau resiprokal.
Hasbi al-Shiddieqy menerangkan lebih lanjut bahwa pengertian
ishlh atau memperbaiki hubungan manusia yang bersengketa ialah
mengeluarkan tali yang kuat dan kokoh di antara sesama manusia yang di
dalamnya telah tumbuh persengketaan, baik mengenai urusan darah,
urusan harta dan kehormatan, maupun mengenai urusan politik dan taktik
perjuangan. 31 Dari pengertian di atas, ia menegaskan bahwa di antara
amal usaha yang lazim diwujudkan oleh umat Islam adalah memperbaiki
hubungan antar orang atau antar golongan. Umat Islam tidak membiarkan
persengketaan itu berjalan terus, melainkan berusaha menghilangkannya
dan menghidupkan kembali hubungan yang baik antara orang-orang yang
bersengketa dan berselisih itu.
Lebih jauh, para ulama fikih mengartikan ishlh dengan perdamaian
antara kaum muslimin dengan ahl al-harb, antara ahl al-'adl (yang berdiri
di pihak kebenaran hukum) dengan ahl baghy (penyelewengan yang keluar
31
Hasbi al-Siddieqy, al-Islam II, (Jakarta: PT. Mutiara Bulan Bintang, 1952), cet. I, h. 448
18
dari hukum), juga antara suami dan istri ketika dikhawatirkan terjadi
perpecahan. 32 Ibn Qudamah membagi ishlh berdasarkan pihak-pihak
yang bersengketa menjadi empat macam yaitu ishlh antara ahl al- 'adl
dengan ahl al- baghy, antara suami dengan istri, antara sesama muslim,
dan antara muslim dengan ahl al- harb. 33
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam, para ulama ushul fikih
juga membahas kata ishlh dan menjadikannya sebagai salah satu metode
menemukan hukum dalam bentuk istishlh/mashlahah. Al-Ghazali
menerangkan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang
mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan madhrat. 34
Tujuan utama dari Syri' (legislator) adalah mashlahah manusia,
demikian diungkapkan oleh al-Sytibi. 35 Lebih jauh ia mendefinisikan
mashlahah sebagai sesuatu yang melindungi kepentingan-kepentingan,
yaitu mashlahah yang membicarakan substansi kehidupan manusia dan
pencapain apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektualnya dalam pengertian yang mutlak. Selanjutnya ia membagi
mashlahah dalam tiga kategori; dharriyyah, hjjiyyah, dan tahsniyah.
Mahslahah kategori dharriyyah (primer) yang tidak bisa tidak harus
terpenuhi, terdiri dari memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dengan demikian, kekuatan mashlahah sebagai dalil dapat dilihat
dari segi tujuan syara dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan
lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia tersebut, juga dari segi tingkat
kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal di atas. 36
32
Saad Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak: Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam, terj.
K.H.A. Sahal Mahfuzh dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 76 Lihat juga Hasbi al-Shiddieqy,
al-Islam II, h. 448-450.
33
Ibn Qudamah al- Maqdisi, al- Mughni, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1994), juz ke-
4, h. 339
34
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), Jil. 2, h. 324
Al- Sythibi, al- Muwfaqt f Ushl al- Ahkm, juz II, tt., t.th. h. 35-36
36
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 327
35
19
Selanjutnya,
dalam
hubungannya
dengan
keserasian
dan
37
20
21
antara
keduanya
dengan
keharusan
atas
Thumah
39
Rasyid Ridla, Tafsir al- Manr, (Kairo: al- Hayat al-Mishriyahal- 'Ammah al- Kitab,
1975), juz ke-2, h. 406-407
40
Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarr al- Thabari, Tafsr al- Thabari, (Mesir: Syirkah
Maktabah Musthafa al- Babi al- Halabi wa auladuhu, 1373), jil. ke-4, juz ke-5, h. 276
22
41
23
Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh al-Faryabi dan Ibn Abi
Hatim yang bersumber dari Mahan, 42 ia berkata bahwa pada suatu waktu
datang menghadap kepada Rasulullah saw. orang-orang yang berkata:
Kami mengerjakan dosa-dosa yang besar. Rasulullah SAW. tidak
memberikan jawaban apapun sampai kemudian turun ayat ini, yang
menjelaskan bahwa taubat orang-orang yang berbuat dosa tanpa
pengetahuan, kemudian taubat itu diikuti dengan berbuat baik akan
diterima oleh Allah swt.
42
Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Whidy al-Nisabury, Asbb al-Nuzl, (Beirut: Dar alFikr, 1994), h. 122, lihat juga al-Imam Jalluddn al-suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat suci AlQuran, terj. H.A Musthafa, (Semarang: Penerbit CV. Sy-Syifa, 1993), cet. I. h. 206-207
24
perbuatan yang baik (H.R. Ahmad dan yang lain dari Abdillah ibn
Amrin). 43
43
25
datanglah
seorang
wanita
menghadap
Rasulullah
untuk
bersabda:
Suamimu
itu
harus
diqishash
(dibalas).
Sehubungan dengan sabda itu, maka turunlah ayat 35 yang dengan tegas
memberikan ketentuan, bahwa bagi laki-laki ada hak untuk mendidik
istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri.
Setelah mendengar keterangan ayat ini, wanita itu pulang dengan tidak
menuntut qishash terhadap suaminya. 46
Diriwatkan pula oleh Ibn Mardawaih dan Ali ibn Abi Thalib bahwa
suatu waktu datang seorang laki-laki dari kalangan sahabat Anshar
menghadap Rasululah bersama istrinya. Istrinya mengadu kepada
Rasulullah: Wahai Rasulullah suamiku ini telah memukul mukaku
sehingga terdapat bekas luka. Rasulullah bersabda: Suamimu tidak hak
45
46
26
27
49
28
Diriwayatkan oleh Ibn Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa
ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan sumpah Abu Bakar untuk tidak
memberi nafkah lagi kepada Misthah (seorang fakir miskin yang hidupnya
menjadi tanggungannya). Hal ini ia lakukan lantaran Misthah termasuk
orang yang ikut serta memfitnah Siti Aisyah. Ayat tersebut turun sebagai
teguran agar sumpah itu tidak menghalangi seseorang untuk berbuat
kebajikan. 50
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah
kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.
Ada beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini. Pertama,
diriwayatkan oleh al-Syaikhan dari Anas, bahwa Nabi diminta
mengunjungi Ibn Ubay. Ketika Nabi sampai di suatu tempat bernama
Sabikhah, keledai yang dikendarai Nabi kencing. Melihat itu, Ibn Ubay
berkata: Jauhkan keledaimu dariku, sesungguhnya baunya menyakitiku.
50
29
Maka
terjadilah
dorong-mendorong
dan
Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, (Mesir: Muhammad Ali Shubaih wa
Auladuh, 1953), h. 87, lihat juga Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar
Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran), h. 472.
52
Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, h. 87
30
taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orangorang yang beriman.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasai, Ibn Hibban dan al-Hakim
dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW. bersabda: Barangsiapa yang
membunuh (musuh), ia akan mendapat sejumlah bagian tertentu dan
barang siapa yang menawan musuh, ia pun akan mendapat bagian
tertentu pula. Pada waktu itu orang-orang tua tinggal menjaga bendera,
sedang para pemuda maju ke medan jihad menyerbu musuh dan
mengangkut ghanimah. Berkatalah orang-orang tua kepada para pemuda:
Jadikanlah kami sekutu kalian, karena kami pun turut bertahan dan
menjaga tempat kembali kalian. Hal ini mereka tujukan kepada Nabi
SAW. maka turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa ghanimah itu
merupakan ketetapan Allah dan jangan menjadi bahan pertengkaran. 53
Adapun ishlh sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. adalah
sebagaimana diriwayatan oleh Abu Dawud sebagai berikut:
Artinya: Perdamaian itu boleh (dilakukan) di antara muslimin, kecuali ishlh
yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
(H.R. Abu Dawud, Hakim, dan Ibn Majah dan ia menshahihkannya
dari Abu Hurairah)
Juga hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi sebagai berikut:
Artinya: Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka terserah kepada wali
terbunuh, melakukan qishash atau mengambil diyat dengan 30
hiqqah, 30 jadzaah, dan 40 khalifah. Apa-apa yang disepakati
dalam perdamaian, maka hal itu bagi mereka.
53
Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul (Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-ayat Al-Quran), h. 219
31
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, (Clark, New Jersey: The Lawbook
Exchange Ltd., 2006), h. 231. Dalam karyanya tersebut, ia menggunakan istilah arbitrase dalam
menyelesaikan berbagai konflik. Maka dalam konteks ini, arbiter adalah mediator dari para pihak
yang berkonflik.
55
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 231
32
56
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 232-233, lihat juga Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 17
57
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 18
33
utama Yatsrib yang selalu bertikai yaitu Aus dan Khazraj. Peristiwa ini
menjadi titik tolak hijrah Rasulullah dari Mekah ke Yatsrib yang kemudian
berubah nama menjadi Madinah. Kemudian setelah sampai di Madinah,
Rasulullah mengadakan perjanjian damai dengan berbagai kabilah di
Madinah dan sekitarnya. 58 Salah satu momen penting pada awal periode
Madinah adalah terjadinya arbitrase antara Rasulullah dengan Bani
Quraizhah, salah satu suku Yahudi, di mana kedua belah pihak
mewakilkan penyelesaian perselisihan kepada seoarang mediator yang
dipilih dan disepakati kedua belah pihak. 59
Pada tahun keenam Hijrah, Nabi memimpin sekitar seribu jamaah
haji dari Madinah untuk melakukan ibadah haji ke Mekah. Penduduk
Mekah tidak mengizinkan mereka masuk kota, hingga akhirnya diadakan
sebuah perjanjian yang dinamakan perjanjian Hudaibiyah, yang isinya
antara lain, pertama, Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Kabah
pada tahun ini, tapi ditangguhkan sampai tahun depan. Kedua, Lama
kunjungan hanya dibatasi tiga hari saja. Ketiga, Kaum muslimin wajib
mengembalikan orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah.
Sebaliknya, Quraisy tidak wajib mengembalikan orang Madinah yang
kembali ke Mekah. Keempat, Selama sepuluh tahun diadakan gencatan
senjata antara penduduk Mekah dan Madinah. Kelima, Tiap kabilah yang
ingin masuk dalam persekutuan baik muslimin maupn Quraisy, bebas
melakukannya tanpa mendapat rintangan. 60
Pada tahun 41 H, yaitu masa akhir Khulafa Rasyidun, sepeninggal
Ali Ibn Abi Thalib, kekhalifahan dilanjutkan oleh anaknya Hasan. Oleh
karena kedudukannya yang lemah secara politik sementara kondisi
58
105
59
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Pustaka al- Husna, 1983), h.
34
61
35
63
Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2001), h. 194
64
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 24, Lihat juga Karen Armstrong, Muhammad
Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah, h. 195-196
36
Oleh karena itu, pada musim haji tahun 621 M., enam muslimin
baru dari Yatsrib tersebut kembali ke Mekah sesuai rencana, sambil
membawa tujuh orang, dua di antaranya dari suku Aus, mereka bertemu
dengan Nabi di Aqabah, tempat yang sama dengan pertemuan mereka
yang pertama, dan menyatakan sumpah resmi untuk menyembah Allah
dan sumpah setia kepada Rasulullah.
Isi dari sumpah setia itu, -selain bersyahadat tentunya- sebagaimana
diceritakan salah satu dari mereka adalah bahwa mereka bersumpah setia
kepada sang Rasul bahwa mereka tak akan menyembah selain kepada
Allah, tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak keturunan mereka,
membantai tetangga, akan patuh kepada Muhammad mengenai apa yang
benar. Juga, bahwa Jika mereka memenuhi sumpah ini surga akan menjadi
milik mereka. Jika mereka melakukan dosa-dosa itu maka Tuhan akan
menghukum atau memaafkan, sebagaimana Allah kehendaki. 65
Di sini terlihat kecerdasan Nabi dan juga tentunya orisinalitas ajaran
yang dibawanya dari Allah. Bahwa agama yang ia bawa tidak hanya
mensyaratkan ketundukan total kaum muslim kepada Tuhan yang satu dan
Rasul-Nya, tetapi juga menanamkan penghargaan pada orang lain sebagai
individu dengan berbagai hak yang melekat padanya. Ajaran yang
merupakan moralitas baru ini membuat masyarakat Yatsrib -dan
masyarakat manapun yang menerima dakwah Nabi- menjadi masyarakat
baru, masyarakat dengan kesadaran bahwa keberhasilan seseorang atau
suatu golongan tidak selalu berarti kerugian bagi orang atau kelompok
lain. Bahwa kemauan untuk secara bersama-sama menggapai keberadaban
dan kemajuan akan dapat menentramkan kehidupan.
Sumpah setia sekelompok masyarakat Yatsrib di Aqabah itu
kemudian biasa disebut dengan baiah al-Aqabah al-ula, dan menjadi
65
37
tonggak awal perjuangan Nabi dan para sahabat, karena setelah baiah alaqabah kedua akan dilanjutkan dengan hijrah Nabi dan para sahabat ke
Yatsrib.
3. Sosial dengan sosial dalam sosial dan negara, sosial dengan negara dalam
negara.
4. negara dengan negara dalam internasional
Agaknya pembagian ruang lingkup ishlh di atas cukup relevan jika disebut
sebagai ruang lingkup pelaku/subyek ishlh.
Adapun pembagian ruang lingkup berdasarkan lapangan terjadinya
konflik/perihal konflik yang hendak diishlhkan dapat meliputi:
1. Konflik individu
2. Konflik keluarga,
3. Konflik sosial, dan
4. Konflik negara
38
Agaknya relevan pula jika pembagian ruang lingkup ishlh dalam konteks
lapangan/perihal konflik ini disebut sebagai obyek ishlh.
Menurut penulis, ulama fikih terdahulu menekankan pembahasan
subyek dan obyek ishlh hanya dalam ishlh antar individu dalam masyarakat,
antar individu dalam keluarga, antar individu dalam hukum, dan antar negara.
Sementara mengenai konflik sosial yaitu konflik antar masyarakat atau antar
golongan yang berbeda suku, agama, dan pandangan belum dibahas.
Mengenai rukun dan syarat ishlh, para ulama fikih hanya membahas
rukunnya saja, tanpa membahas syarat dari masing-masing rukun tersebut
secara lebih rinci, demikian pula kurangnya pembahasan ulama mengenai
ishlh ini dalam konteks ushul fikih. Oleh karena itu pengembangan
pembahasan ishlh dalam fikih dan ushul fikih perlu dilakukan.
BAB III
DASAR-DASAR HUKUM ISHLH
39
40
68
Satria Efendi, "Maqashid al-Syari 'at dan Perubahan Sosial", dalam Dialog (Jakarta:
Badan Litbang Depag, No, 33 tahun XV, Januari, 1991), h. 29
41
dar'u
al-mafsid
wa
jalbu
al-manfi'.
Baginya
mashlahah
Abd. Al-Malik Ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, (Kairo:
Dar al-Anshar, 1400 H.), Jil. II, h. 923
70
al-Ghazali, Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Shibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta'lil,
(Baghdad: Mathba'at al-Irsyad, 1971), h. 159
71
al-Ghazali, al-Mustasyfa, (Baghdad: Mathba'at al-Irsyad, 1971), juz I, h. 250
72
Ibn 'Abdi al-Salam,Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (K.airo: al-Istiqamat, tth.),
Jil. I, h. 9.
42
43
berzina dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
Ia berkesimpulan bahwa oleh karena dalil-dalil yang digunakan untuk
menetapkan al-kulliyyt al-khams termasuk dalil yang qath'i, maka ia juga
dapat dikelompokkan sebagai qath'i. Dalam artian, karena landasan hukum
untuk menetapkan al-kulliyt al-khams dapat dipertanggungjawabkan, maka ia
dapat pula dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum. 74
Guna menetapkan hukum, kelima unsur pokok di atas dibedakan
menjadi tiga peringkat, dharriyyah,
hjjiyah, dan
tahsniyyah.
44
yaitu
melaksanakan
ketentuan
agama,
dengan
maksud
menghindari kesulitan, seperti shalat jama' dan qashar bagi orang yang
sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan
mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit orang
yang melakukannya. Memelihara agama dalam peringkat tahsniyyah,
yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat
manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan.
Misalnya, menutup aurat, baik di dalam maupun di luar shalat,
membersihkan badan, pakaian dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya
dengan akhlak yang terpuji. Kalau hal itu tidak dilakukan, karena tidak
memungkinkan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak
pula akan mempersulit orang yang melakukannya.
75
al-Syatibi, h. 5
45
hjjiyah,
seperti dibolehkan berburu dan menikmati makanan yang lezat dan halal.
Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi
manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya. Memelihara jiwa
dalam peringkat
46
suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar
itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami
kesulitan, karena ia harus membayar mahar mitsil. Sedangkan dalam kasus
talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak
talaknya, padahal situasi rumah tangga tidak harmonis lagi. Memelihara
keturunan dalam peringkat
47
dalam kedua sumber utama fikih itu, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui
teks yang ada. Jika ternyata kemaslahatan itu dijelaskan, maka kemaslahatan
tersebut harus dijadikan titik tolak penetapan hukumnya.
Dengan demikian menjadi jelas pula bahwa
sangat penting dalam membina kehidupan yang damai dan beradab bagi
individu dan masyarakat baik di dunia yang meliputi pemeliharaan agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta- maupun di akhirat bertitik tolak pada tujuan
memelihara ke mashlahahan dan menghindari kemafsadatan sebagaimana
tujuan disyari'atkannya hukum itu sendiri. Di samping itu, ishlh sebagai
sebuah produk hukum dalam menyelesaikan konflik dalam berbagai
bentuknya, dapat ditelusuri sumber dan dasar-dasarnya dari ayat al-Qur'an
sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya yang oleh karena itu
dipastikan dapat memelihara al-kulliyat al-khams sebagaimana tersebut di
atas. Dengan demikian, keberadaannya adalah sah dan oleh karena itu sah pula
untuk diterapkan sebagai salah satu akad yang dapat mewujudkan perdamaian.
Di sinilah posisi strategis
48
B. Hukum ishlh
Abu al-Walid ibn Rasy menyatakan bahwa apabila Ishlh dilakukan
antara dua orang dalam masalah harta benda, maka hukumnya adalah sunnah
untuk menyelesaikannya atau mendamaikannya. Iishlh itu dilakukan karena
adanya kesepakatan kedua belah pihak yang sedang bersengketa, akan tetapi
ishlh bukanlah suatu keharusan, melainkan ishlh itu dilakukan sesuai
dengan kebutuhan. Senada dengan Abu al-Walid, al-Khasyi dan Ibn Irfah
berpendapat sama bahwa ishlh itu hukumnya adalah mandub. Ishlh wajib
dilakukan apabila berkaitan dengan mashlahat umat. 76
Dengan kata lain, Hukum pelaksanaan
hal
yang
kurang
esensial
dalam
masyarakat
sehingga
49
adanya saling pengertian antar pihak, maka hukum penerapan ishlh hanya
sebatas mubah saja.
Selanjutnya, perlu diperhatikan rambu yang harus diperhatikan, bahwa
para ulama memposisikan ishlh pada dua posisi diametral. Pertama, ishlh
yang adil, yaitu ishlh yang dibolehkan dan akan mendapat ridha Allah dan
juga oleh pihak yang sedang bersengketa, karena proses ishlh dilakukan dan
didasari oleh adanya rasa keadilan, kearifan, serta keinginan yang tulus dari
kedua belah pihak. ishlh seperti inilah yang dimaksud oleh firman Allah QS.
Al-Hujurat (49): 9.
Kedua, ishlh yang ditolak (mardud), yaitu ishlh yang menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halal. Atau ishlh dalam kasus
memakan harta riba, juga pada kasus meninggalkan yang wajib sehingga tidak
dikerjakan, juga ishlh yang dilakukan oleh orang yang lebih kuat terhadap
orang yang lemah secara zhalim yang mengakibatkan ishlh dilakukan secara
terpaksa dan tidak didasarkan pada keikhlasan tiap pihak. 77
Menurut al-Sarkhasi, ishlh dengan maksud mengharamkan yang halal,
seperti suami yang membolehkan salah seorang istrinya untuk digauli
tetangganya adalah tertolak. Adapun contoh ishlh yang menghalalkan yang
haram adalah seperti membolehkan minum khamr atau memakan daging babi.
Di samping itu, menurut Wahbah al-Zuhaily, Syara menghendaki ishlh
untuk sesuatu yang umum, seperti firman Allah wa al-shulhu khair atau pun
Hadis nabi
ishlh/shulh itu boleh bagi orang Islam, kecuali ishlh yang menghalalkan
yang haram atau mengharamkan yang halal Sebagaimana Hadis
yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, Hakim dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah. 78
77
50
C. Signifikansi ishlh
Dalam ajaran Islam, Iman yang termanifestasi dalam bentuk ketaatan
kepada Tuhan mengandung arti keberpihakan kepada kebaikan dan kebenaran.
Ketaatan tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk hubungan sosial yang baik
dengan sesama manusia. Dengan demikian akan tumbuh potensi kebaikan
yang secara kontinu merangsang perbaikan dalam masyarakat.
Prinsip iman sebagai bagian paling inti dalam agama ternyata tidak
cukup sebatas pengakuan dalam hati saja, tetapi mesti diimplementasikan
dalam hubungan kemanusian. Di sinilah doktrin amal saleh mendapatkan
tempatnya. Doktrin amal saleh yang terterapkan secara benar akan
menghasilkan ishlh, yaitu perbaikan berkelanjutan dalam masyarakat.
Sebagai tindakan yang kontinu, ishlh hendaknya mulai diterapkan
dalam keluarga, karena keluarga merupakan titik berangkat komunikasi antar
manusia dalam masyarakat. ishlh diterapkan dalam bentuk kerukunan dan
kebersamaan seluruh anggota keluarga. Keluarga yang rukun dan damai akan
menlahirkan generasi yang baik dan berkualitas, karena kedamaian merupakan
iklim yang baik untuk menanamkan pendidikan dan pembinaan moral anakanak. Sebaliknya, keluarga yang penuh dengan perselisihan akan melahirkan
anak-anak yang kecewa dan penuh kebencian. Keluarga rukun, tenteram dan
damai merupakan tujuan perkawinan dalam ajaran Islam yang sering disebut
keluarga sakinah. Keluarga sakinah dimulai dari adanya pemahaman dan
pengertian antara suami dan istri, baik pemahaman fisik, karakter, dan
kebiasaan masing-masing. Dari pemahaman ini akan lahir pola komunikasi
yang saling dipahami oleh masing-masing pihak sehingga terjadi komunikasi
yang efektif di antara pihak-pihak dalam keluarga. Dari keluarga tersebut akan
yang disepakati dalam perdamaian itu adalah (baik) bagi mereka,. (HR. Turmudzi, dia
mengatakan Hadits ini adalah Hadits Hasan gharib). Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami
waadillatuhu, Juz ke-6, h. 293
51
terbentuk masyarakat dengan karakteristik yang menggambarkan keluargakeluarga yang berada di dalamnya.
Masyarakat memiliki tata nilai dan norma yang dijadikan acuan bersama
dalam menata hubungan sosial di antara anggotanya. ishlh sebagai salah satu
nilai hidup, dapat memberikan identitas pada masyarakat, yaitu masyarakat
yang mengutamakan perdamaian dan kebaikan bersama demi terciptanya
persatuan dan kesatuan serta kekompakan di antara individu dalam
masyarakat.
Di antara indikasi persatuan dan kekompakan di antara individu dalam
masyarakat ialah terjalinnya hubungan sosial yang baik di antara tetangga. Hal
ini termasuk salah satu keutamaan yang diajarkan Islam kepada umatnya
dalam rangka menciptakan jalinan erat yang mendalam di hati anggota umat
untuk membentuk suatu komunitas yang terbaik di antara komunitas lainnya
di muka bumi.
Hubungan yang baik dengan tetangga merupakan jalinan paling utama
dalam menyatukan hati umat Islam dan memadukannya, agar mereka saling
mengasihi, menyayangi, dan saling mendukung. Tetangga dapat dipahami
dalam beberapa karakter: Pertama, tetangga dekat, baik karena ada hubungan
keturunan maupun karena tempat tinggalnya yang berdekatan. Kedua,
tetangga yang berjauhan, baik jauh hubungan keturunannya maupun jauh
tempat tinggalnya. Ketiga, teman sejawat, yaitu siapa saja yang berkumpul
bersama dalam satu profesi, tugas, persahabatan, atau pun satu lembaga
pendidikan, atau dengan ungkapan lain, ia adalah teman di saat menetap di
suatu tempat dan teman di kala bepergian. 79
79
Lihat QS. Al-Nisa (4): 36, Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anakanak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat,
ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membangga-banggakan diri.
52
53
ishlh
80
Hadits tersebut kurang lebih berarti Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. Demikian Rasulullah
memberikan pedoman hidup bertetangga sekaligus sebagai tolok ukur keimanan.
81
QS. Al-Mumtahanah (60): 8-9, Allah berfirmanAllah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orangorang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka
mereka Itulah orang-orang yang zalim. Ayat tersebut memberikan ketentuan umum dan prinsip
agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara.
Kaum muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama orangorang kafir itu bersikap dan ingin bergaul baik terutama dengan kaum muslimin. Karena Allah
Yang Maha Kuasa mungkin menjadikan hubungan kaum muslimin dan kaum kafirin yang tadinya
bermusuhan menjadi hubungan yang lebih baik. Lihat juga QS. Al-Hujurat (49):1381
54
hubungan antar manusia secara universal. lintas suku, bangsa, dan agama.
Secara lebih rinci, ishlh dapat berperan dalam beberapa hal berikut ini.
55
terhadap
musibah
adalah
menerima
musibah
dan
82
83
Lihat QS. al-Anam (6): 54; al-Maidah (5): 39; dan al-Baqarah (2): 160
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1999), h. 216
56
dalam bentuk
57
Persatuan merupakan salah satu misi Islam yang harus dilaksanakan oleh
komunitas muslim dan manusia pada umumnya.
Dalam hubungan sosial, Islam mengenalkan konsep ukhuwwah dan
jamaah
yang
merupakan
konsep
persaudaraan
yang
berintikan
yang
terjadi
sehingga
tidak
sampai
menimbulkan
ishlh dapat
58
meletakan masyarakat di atas tata nilai dan norma sosial agama yang
disepekati bersama.
Dalam ajaran Islam, dorongan untuk mewujudkan masyarakat yang
aman dan tertib menjadi salah satu tujuan bermasyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya doktrin sosial Islam yang menjadi bagian
penting dalam ajaran Islam, yaitu amal saleh. Wahana amal saleh adalah
masyarakat, sedangkan dampak dari amal saleh adalah terwujudnya
masyarakat yang aman dan tertib.
Masyarakat yang aman adalah masyarakat yang terlindung baik fisik
maupun jiwanya dari segala gangguan, sedangkan tertib adalah konsistensi
dan kedisiplinan masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Kedua hal
tersebut merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat, karena tanpa adanya keamanan, maka ketentraman dan
kedamaian menjadi hilang. Padahal, Islam sesuai dengan namanya adalah
agama yang mengajarkan kedamaian dan perdamaian. Karena itu, setiap
bentuk perselisihan atau pertentangan harus selalu dihindarkan.
Sebagai
agama
perdamaian,
Islam
meniscayakan
tumbuh
59
60
dengan
61
pelaku
kejahatan
tidak
punya
keinginan
untuk
mengulangi
62
kasihan-, maka akan rusaklah anak itu. Memberinya teguran atau jika perlu
sedikit pukulan adalah karena rasa sayang kepada si anak dan untuk kebaikan
dirinya sendiri di masa yang akan datang. Menjalankan hukuman tak ubahnya
juga seperti seorang dokter. Suntikan kepada pasiennya adalah untuk
memberikan kesembuhan. Sesaat ketika disuntik si pasien merasa sedikit
kesakitan, tapi setelah itu pasien akan berterima kasih kepada sang dokter
karena ia telah terobati. 88
Untuk itulah, guna memelihara ketenteraman dan ketertiban dalam
masyarakat, hukuman merupakan sarana yang mutlak diterapkan. Hukuman
yang sesuai dengan syariat merupakan jawaban kongkret mengingat syariat
datangnya dari Tuhan. Tuhan pula yang mengatur semuanya, dan sangat wajar
apabila manusia sebagai hamba ciptaan-Nya dituntut untuk menjalankan
syariat-Nya.
Ilustrasi di atas mengisyaratkan bahwa hukuman menjadi sarana ampuh
untuk mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat. Sehingga apabila terjadi
persengketaan,
orang
cenderung
menempuh
jalur
hukum
untuk
63
antara mana yang menjadi hak Allah dan mana yang menjadi hak hamba, Ibn
Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menyebutkan bahwa Imam Malik, alLaist dan al-Auzai telah menetapkan bahwa si pembunuh apabila dimaafkan
oleh wali al-dam, maka dia dijatuhi hukuman jilid dan penjara selama satu
tahun. Sedangkan al-Syafii, Ishak, Ibn Munzir dan Abu Tsaur berpendapat
bahwa si pembunuh boleh diberi kebebasan penuh. 89
Memperkuat pendapat Malik di atas, Abd al-Qadir Audah dalam
bukunya al-Tasyri al-Jini al-Islmi menegaskan bahwa jika pihak korban
memaafkan pembunuh, maka yang gugur hanyalah hak-hak perorangan
(private rights) yaitu hukuman qishsh atau diyat saja, sedangkan hak umum
(hak Allah) yang dilanggar harus tetap dijatuhi hukuman oleh hakim berupa
hukuman tazr, meskipun tetap saja hukuman seperti ini tidak dapat
dimaafkan begitu saja oleh keluarga korban. 90
Lebih lanjut ia menyatakan, bahwa di antara yang dapat menyebabkan
gugurnya uqbah (hukuman) dalam syariat antara lain adalah: Pertama,
pelaku kejahatan (jani) meninggal dunia. Meninggalnya pelaku menyebabkan
gugurnya uqbah. Karena yang melakukan tindak kejahatan adalah si jani,
maka apabila ia meninggal dunia tentu tidak ada lagi hukuman apapun. Akan
tetapi jika uqbah itu adalah uqbah maliyah seperti diyat, tentu saja tidak
dapat menggugurkan uqbah-nya, seperti dalam kasus tindak pidana qatl alkhata (pembunuhan tidak sengaja). Meskipun yang terkait dengan uqbah
ini adalah pelaku, maka walaupun pelaku meninggal dunia, hukuman terhadap hartanya- tetap harus dijalankan. Sedangkan pada uqbah qishsh,
89
Ibn Qudamah al-Maqdisi, al- Mughni, h. 199-204. Hal senada juga ditegaskan oleh Ibn
Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid bahwa pendapat Malik dan al-Laist yaitu memenjarakan si jani
setahun dan mencambuk 100 kali. Pendapat al-Syafii, Ahmad dan Ishak bahwa tidak
membolehkan yang demikian itu, dan pendapat Abu Tsaur yang menghukum si jani apabila dia
terkenal penjahat besar dan pelaksanaan ini terserah pada hakim. Lihat Ibn Rusyd, Bidayat alMujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz ke-2
90
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, (Beirut: Dar al-Ilmiyah, t.th.), h 260261
64
91
yang
65
Artinya: Barang siapa melakukan pembunuhan sengaja (qatl al-amd), maka
terserah kepada wali si terbunuh apakah akan menuntut qishsh
atau akan mengambil diyat, hak ishlh sepenuhnya diserahkan
kepadanya. (HR. Abu Daud dan al-Turmuzi) 94
Sedangkan sumber dari ijma adalah ijma yang terjadi pada masa
Muawiyah, yakni pada kasus Hadbah ibn Hasyram yang telah melakukan
pembunuhan, lalu Said ibn al-Ash, Hasan, dan Husein memerintahkan untuk
membayar 7 diyat kepada anak si terbunuh sebagai konpensasi maaf yang
telah diberikan anak korban, karena Hadbah telah membunuh bapaknya. 95
Ketiga, hukuman dapat gugur jika pelaku mendapat maaf (afw) dari
korban atau walinya. Adapun dalam perkara hudd tidak boleh ada maaf,
karena ia menyangkut hak Allah. Maaf yang diberikan, baik itu diberikan oleh
korban ataupun wali al-amr adalah tidak sah. Karena hudd termasuk dalam
kategori hak Allah (hak jamaah) secara murni, maka dilarang untuk
menggugurkan hukuman hudd.
Tentang perkara qishsh dan diyat -dengan memegangi pendapat
Hanafiah dan Malikiah-, syariat membolehkan kepada korban atau walinya
untuk memaafkan atau melakukan hukuman qishsh dan diyat. Hak untuk
memberi maaf dalam hal ini merupakah hak pihak korban, sedangkan hakim
hanya berhak melakukan hukuman tazr kepada si pelaku setelah terjadinya
maaf. 96 Sedangkan menurut Syafii dan Ahmad, maaf dalam perkara qishsh
94
Sulaiman ibn al-Asyast Abu Daud, Sunan Abu Daud, (tt.: Dar al-Fikr, tth.), Cet.ke-1,
Juz ke-4, h. 173
95
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 773-774
96
Untuk pembunuhan sengaja jika terjadi pemaafan dari wali terbunuh, maka menurut
Hanafiyah dan Malikiyah, menjadi hak sulthan atau penguasa untuk melakukan hukuman tazr.
Karena dalam qishas terdapat dua hak, yakni hak Allah dan hak hamba. Dalam hal tazr ini,
Malikiyah berpendapat, jika wali al-dam memberi maaf bagi pembunuhan sengaja, maka sulthan
66
merupakan konsekuensi dari qishsh atau diyat, barang siapa yang tidak
menghendaki dilakukan qishsh berarti ia telah memaafkan si pembunuh. 97
Dalam menanggapi QS. Al-Baqarah (2): 178, fuqah berbeda pendapat
dalam pemberian istilah. Sebagian ulama menggunakan istilah afw (maaf),
sementara sebagian lagi menggunakan istilah ishlh (perdamaian). Malik dan
Abu Hanifah berpendapat bahwa jika terjadi maaf terhadap perkara qishsh
atau diyat, maka sesungguhnya itu adalah ishlh/shulh bukan maaf (afw),
karena pada dasarnya wajib dilakukan qishsh atas pembunuh sengaja (qatl
al-amd). Sementara untuk perkara diyat adalah tidak wajib, kecuali jika jani
rela. Jika qishsh tidak dilakukan, sementara para pihak memilih untuk
melakukan diyat, itu berarti antara mereka telah terjadi saling rela, maka hal
seperti ini menurut Malik dan Abu Hanifah adalah
Pendapat inilah yang dipegangi oleh Abd al-Qadir Audah. Adapun Syafii dan
Ahmad berpendapat bahwa maaf dalam perkara qishsh dan diyat menjadi hak
pilih walinya, tanpa harus mendapat kerelaan terlebih dahulu dari si pelaku.
Qishsh merupakan hukuman yang sangat berat jika dibandingkan dengan
diyat. Menggugurkan qishsh lalu memilih diyat berarti kedua belah pihak
telah meninggalkan yang lebih berat dan mengambil yang lebih ringan, yakni
maaf. Boleh melakukan maaf dalam perkara qishsh, maka boleh pula maaf
dalam perkara diyat, baik diyat merupakan hukuman yang asli seperti dalam
pembunuhan khaa atau merupakan hukuman pengganti dari hukuman
qishsh. 98
Ketika menggunakan istilah ishlh pada perkara qishsh, maka
konsekuensi logisnya adalah bahwa
67
menggunakan istilah afw (maaf), maka akan bersangkut paut dengan masalah
harta. Jika terjadi maaf dalam masalah qishsh, tentu saja pihak pelaku harus
membayar diyat sebagai ganti qishsh yang tidak jadi dilakukan. Atas dasar
inilah, ulama Hanafiyah dan Malikiyah menggunakan istilah ishlh tidak
menggunakan istilah afw (maaf). Adapun alasan bagi ulama Syafiiyah dan
Hanabilah menggunakan istilah afw adalah bahwa maaf yang diberikan
berkaitan erat dengan diyat sebagai ganti (badal) dari qishsh yang tidak jadi
dilakukan. 99
Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaily, hukum yang ada pada ishlh
sama dengan hukum yang ada pada afw. Barang siapa memberi maaf maka
dia telah melakukan ishlh. Apa yang terjadi pada ishlh juga sama dengan
yang terjadi pada afw, yakni sama-sama menggugurkan qishsh. Tentu saja
hal seperti ini dapat terjadi apabila dikehendaki oleh wali si terbunuh. Lebih
jauh ia menjelaskan bahwa wali mempunyai hak penuh untuk memaafkan.
Jika ia memberi maaf maka gugurlah qishsh, jika kemudian ia menuntut
diyat, maka wajib bagi si jani untuk membayar diyat, tanpa harus meminta
kerelaan dari jani karena jani adalah terpidana. Diriwayatkan oleh Baihaqi
dari Mujahid, bahwa pada syariat nabi Musa hanya ditetapkan qishsh, pada
syariat nabi Isa dengan diyat saja, dan Allah meringankan umat Nabi
Muhammad dengan memilih mana yang lebih baik di antara dua hal, yaitu
qishsh atau diyat. Karena Pelaku dalam posisi orang yang terhukum, maka
tidak perlu lagi mendapatkan rela darinya. 100
Dalam perkara tindak pidana hudd, para ulama sepakat bahwa maaf
tidak bisa menggugurkan Hd. Maaf dalam hal ini tidak bisa diberikan baik
oleh si majnialaih maupun wali al-amr. Karena pada kasus Hd adalah
menyangkut hak Allah secara murni. Maka mereka tidak berhak untuk
99
100
68
memberikan maaf. Itu berarti maaf tidak dapat menggugurkan hukuman Hd.
Maaf dalam perkara tazr dapat dilakukan oleh wali al-amr. Karena ia yang
mempunyai hak untuk memberi maaf secara sempurna dalam tindak pidana
tazr. 101
Berkaitan dengan hak atas pidana ini, para fuqaha membagi jarmah
secara umum kepada pidana yang melanggar hak Allah dan pidana yang
melanggar hak hamba. 102 Untuk lebih jelasnya, penulis paparkan sebagai
berikut:
69
129
Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, al-Hudud fi al-Islam, (Kairo: tpn., 1974), h.
70
keji,
juga
merupakan
perbuatan
yang
menyebabkan
menimbulkan
kegoncangan
dan
kegelisahan
dalam
Tidak muhshan, maksudnya ialah perempuan yang tidak mempunyai suami yang sah
dan buan janda, atau laki-laki yang tidak mempunya istri yang sah dan bukan duda. Mengenai had
Zina ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, al-Hudud fi al-Islam., h. 81.
Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Muqni, Juz ke-8, h. 109. al-Ruway ibn Rajih al-Ruhaily, Fiqh Umar
ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1994), h.
31-56
71
107
72
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baikbaik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah
orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat
sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Orang yang menuduh perempuan yang baik-baik (muhshanat)
berzina, kemudian tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhan
mereka dengan mengHdirkan empat orang saksi yang adil yang
menyaksikan sendiri perbuatan zina itu, maka hukuman untuk mereka
ialah di dera 80 kali, karena mereka telah merusak nama baik yang
dituduh. Kemudian penuduh-penuduh itu tidak diterima kesaksiannya
selama-lamanya, kecuali, apabila melakukan taubat dengan taubat
nashuha, maka kesaksiannya dapat diterima kembali dan tidak lagi
digolongkan ke dalam orang-orang fasik, karena Allah Maha
Pengampun lagi Maha Pengasih. 108
c. Hd Syurb al-Khamr (Meminum Minuman Keras)
Dalam sejarah Islam, sebelum Nabi Muhammad hijrah, orangorang Arab, khususnya suku Quraisy Mekah, memiliki kegemaran
minum arak atau khamr hingga mabuk. Bahkan, minum arak biasa
dijadikan sebagai tradisi perlombaan. Memahami kebiasaan orangorang Arab yang begitu dekat dengan khamr berakibat pada metode
108
Mengenai had Qazaf ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,
al-Hudud fi al-Islam. h. 85, Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Muqni, h. 111, juga al-Ruway ibn Rajih
Al- Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 41. Lihat
pula Abi Umar Yusuf al-Qurtubi, al-Kafi fi Fiqh ahl al-Madinah al-Maliki, (Damaskus: Dar alFikr, 1992) Cet. Ke-2, h. 575-577
73
Lihat Q.S. al-Nisa (4): 219, QS. al-Baqarah (2):219, dan Q.S. al-Maidah (5): 90
74
110
75
Masalah pencurian ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. alMaidah (5): 38-39.
112
Ibnu al-Manzr, Lisn al-Arab. (Beirut: Dar al-Marif, t.th), Juz ke-3, h. 1998
Abd al-Qdir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 519
114
Lihat, Eggi Sujana, HAM dalam Perspektif Islam: Mencari Universalisme HAM bagi
Tatanan Modernitas yang Hakiki, (Jakarta: Nusantara Madani, 2002), h. 97
113
76
ia mengetahui bahwa
Mengenai had Sariqah ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,
al-Hudd fi al-Islm.h. 83, Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, h. 110, dan al-Ruway ibn Rajih
al-Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 33
116
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid fi Nihayat al-Muqtashid, h. 323
77
hirabah
ini
merupakan
delik
yang
paling
luas
117
78
yang
menggangu
keamanan,
mengacau
118
Mengenai had hirabah ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Suhbah,
al-Hudud fi al-Islam.h. 89, Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, h. 115, al-Ruway inm Rajih AlRuhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 56.
79
Artinya:
119
80
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi
sampai surut kembali pada perintah Allah.
Baghy
biasa
diartikan
sebagai
pemberontakan
terhadap
serta
hilangnya
ketenteraman
dalam
kehidupan
bergabungnya
hak
Allah/hak
publik
dengan
hak
120
81
dalam
diri
keluarganya.
Oleh
sebab
itu,
untuk
Abd al-Qadir Audah., al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 206, Lihat pula, Ali Hasbalah,
Ushl al-Tasyr al-Islm, h. 294.
122
Lihat Ali Hasballah, Ushl al-Tasyr al-Islm, h. 295.
82
Sumber hukum dari qishsh ini adalah firman Allah dalam Q.S.
al-Baqarah (2): 178-179, diperkuat pula dengan Hadis Nabi:
Artinya:
:
Artinya: Barang siapa mempunyai keluarga terbunuh, maka
keluarganya ada di antara dua pilihan, kalau suka maka
mereka mengambil qisas, dan kalau suka maka mereka
menerima diyat. (HR. al-Daruquthni) 125
Islam memandang bahwa hukuman qishsh adalah hukuman
yang terbaik, karena hukuman tersebut mencerminkan keadilan, di
mana pelaku diberi balasan sesuai dengan perbuatannya dalam rangka
terwujudnya jaminan keamanan dan ketertiban.
Korban atau walinya diberi wewenang untuk menuntut qishsh
atas pelaku atau mengampuni, baik dengan ganti rugi diyat atau tidak.
Tetapi, meskipun qishsh dan diyat dapat gugur, penguasa masih
mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman tazr yang sesuai. 126
123
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 663. Lihat juga Abdurrahman I
Doi, Shariah the Islamic Law, Terj. Hermaya dengan judul Syariah dan Hukum Islam, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1992), h. 24. Lihat juga H.M.K. Bakry, Kitab Jinayat: Hukum Pidana dalam Islam,
(Solo: AB. Siti Syamsiah, 1958), h. 19. Halimah, Hukum Pidana Syariat Islam Menurut Ahlus
Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 275
124
Muhammad ibn Abdullah Abu Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak al al-Shahhain,
(Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, 1990), cet. Ke-1, juz ke-1, h. 553
125
Ali ibn Umar Abu al-Hasan al-Daru Quthni, Sunan al-Druquthni, (Beirut: Dar alMarifah, 1966), Juz ke-3, h. 95
126
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet.
Ke-5, h. 282
83
84
adalah
hukuman
pokok
bagi
pembunuhan
dan
128
129
85
Artinya: Ingatlah bahwa pada orang yang terbunuh karena sengaja
keliru (semi sengaja), yaitu korban pecut dan tongkat serta
batu adalah seratus onta. (HR. Ibn Majah). 130
Meskipun bersifat hukuman, namun diyat merupakan harta yang
diberikan kepada korban, bukan kepada perbendaharaan negara. Dalam
hal ini, diyat lebih sebagai ganti rugi, apalagi besarnya bisa berbedabeda menurut perbedaan kerugian material yang terjadi dan menurut
perbedaan kesengajaan atau tidaknya terhadap jarmah.
Mungkin lebih tepat bila diyat dikatakan sebagai campuran dari
hukuman dan ganti rugi secara bersama-sama. Dikatakan hukuman
karena diyat merupakan balasan terhadap jarmah, karena jika si
korban memaafkan diyat tersebut, maka pelaku bisa dijatuhi hukuman
tazr. Sekiranya bukan hukuman, tentu tidak perlu diganti dengan
hukuman lain. Dikatakan ganti rugi, karena diyat diterima oleh korban
seluruhnya,
dan
apabila
ia
merelakannya
maka
diyat
bisa
digugurkan. 131
Meskipun diyat dapat berbeda-beda menurut perbedaan antara
semi sengaja dengan tidak sengaja, namun untuk tiap-tiap jarmah
adalah sama, baik untuk orang dewasa atau anak di bawah umur, baik
untuk golongan bangsawan atau orang biasa. Sementara bagi
perempuan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Yang
130
Muhammad ibn Yazid Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunnah Ibn Majah, (Beirut: Dar alFikr, tth.), juz ke-2, h. 877
131
Abd al-Qadir Audah. al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 669
86
87
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h. 668. Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, h. 287
133
Lihat QS. Al-Fathir (35): 18
134
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 289-291
88
orang kaya, atau hanya akan mendapat sebagian diyat, jika pelakunya
adalah orang yang sedang-sedang saja kekayaannya, atau apabila
pelaku miskin, dan memang demikianlah keadaan kebanyakan pelaku
jarmah, maka korban atau walinya tidak akan memperoleh diyat sama
sekali. Maka hilanglah keadilan antara pelaku dan korban atau
walinya.
Kedua, meskipun diyat merupakan hukuman, namun ia menjadi
hak kebendaan bagi korban atau walinya. Kalau pelaku saja yang
membayarnya, maka kebanyakan korban atau walinya tidak akan dapat
menerimanya, karena biasanya kekayaan perseorangan lebih kecil dari
pada jumlah diyat, yaitu 100 onta. Jadi meninggalkan aturan umum
dapat menjamin diterimanya hak tersebut oleh orang yang berhak
menerimanya. Dengan demikian, korban jarmah pembunuhan sengaja
tidak akan teraniaya haknya. Seperti diketahui, bahwa hukuman pokok
untuk jarmah ini adalah qisas, dan qisas tidak akan diganti dengan
diyat, kecuali jika wali atau korban memaafkannya, sedangkan korban
atau wali tidak akan memaafkan kecuali apabila sudah mendapatkan
jaminan akan mendapatkan diyat. Kalau ternyata tidak ada harta yang
cukup untuk membayar diyat, sedangkan ia memaafkannya, maka ia
tidak akan merasa dirugikan dari keadaan yang dipilihnya itu.
Ketiga, Dasar hukuman dalam jarmah tidak sengaja ialah
kelalaian dan tidak berhati-hati, sedangkan kedua keadaan ini pada
umumnya disebabkan karena salah asuh atau salah didik. Orang yang
bertanggung jawab atas pendidikan seseorang ialah orang-orang yang
mempunyai pertalian darah dengan dia, sebagaimana lazimnya bahwa
seseorang mencerminkan tingkah laku keluarganya.
Keempat,
kehidupan
keluarga
dan
masyarakat
menurut
89
sendiri
yang
menanggung
diyat
dan
harus
90
136
91
92
hukuman
Artinya: Barang siapa mencapai Hd (batas tertinggi) bukan
pada jarmah hudd, maka ia termasuk orang yang
melampaui batas, (HR. Baihaqi) 143
141
93
94
95
Artinya: Wahai Abu Zar engkau telah menghina ia dengan
ibunya, engkau adalah orang yang masih dihinggapi
sifat-sifat masa jahiliyah. (HR. Muslim) 152
Hukuman peringatan ditetapkan dalam syariat Islam dengan
jalan memberi nasihat. Hukuman ini dicantumkan dalam QS. alNisa (4) :34, sebagai hukuman terhadap istri.153
3. Hak Hamba (Hak Privat atau Hak Individu)
Al-haqq al-khlis li al-ibd (hak perorangan secara penuh), yaitu
aturan-aturan hukum yang mengatur hak perorangan (individu) yang
berkaitan dengan harta bendanya. Misalnya, kewajiban mengganti rugi
atas seseorang yang telah merusak atau menghilangkan harta orang lain,
hak seorang pemegang gadai untuk menahan harta gadai dalam
151
96
154
Abd. Al-Qadir Audah, al-Tasyr al-Jini al-Islmi, h 206. Lihat juga Ali Hasballah,
Ushl al-Tasyr al-Islm, cet. Ke-3, h. 296
97
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai al-Bayan: Tafsir Ayat al-Hakam min al-Quran,
terjemahan Muammal Hamidi dan Imran A. Manan dnegan judul Tafsir Ayat Ahkam,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1985), cet. Ke-1, h. 123
156
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai al-Bayan: Tafsir Ayat al-Hakam min al-Quran, h.
123
98
99
BAB IV
FIKIH ISHLH
A. Obyek ishlh
Sebagaimana telah dijelaskan secara singkat dalam bab II mengenai
ruang lingkup obyek ishlh, maka dalam awal pembahasan bab IV ini akan
diuraikan secara lebih detil tentang obyek ishlh tersebut.
Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa penyelesaian konflik dapat
melalui jalur hukum yaitu melalui proses pengadilan dan dapat juga melalui
proses non pengadilan. Dalam konteks penyelesaian konflik melalui jalur
hukum, maka obyek ishlh dapat dibagi dalam dua lapangan, yaitu pidana
(jinyah) dan perdata (al-ahwl al-syakhshiyah). Dalam konteks jinyah,
khususnya qishsh maka muara penyelesaian konflik oleh hakim jinyah
dapat meliputi dilaksanakannya qishsh, ditetapkannya diyat, atau hanya
ditetapkan ta'zr semata atas diri terpidana.
Khusus dalam kasus qatl al-amd yang dapat dijatuhi hukuman
maksimal berupa hukuman mati, maka jika pihak keluarga korban memilih
mengedepankan ishlh, maka 'afw dari keluarga korban dapat merubah
putusan hakim dari sedianya menjatuhkan hukuman maksimal yaitu hukuman
mati, menggantinya dengan penjatuhan diyat atau ta'zr atas terpidana dan
keluarganya. Dengan demikian, pelaksanaan ishlh dalam kasus pidana ini
memutlakkan adanya maaf dan atau denda/ganti rugi.
Demikian pula adanya dengan berbagai kasus pidana lain di bawah kasus
pembunuhan sengaja, seperti kasus pelukaan. Jika korban mengedapankan
ishlh dengan memaafkan pelaku, maka 'afw dari korban menyebabkan hakim
pidana tidak menjatuhkan hukuman maksimal, melainkan diganti dengan
hukuman diyat atau ta'zir. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan secara cukup
panjang lebar dalam pembahasan ishlh dalam jinyah.
98
99
100
ISHLH
KONFLIK
INDIVIDU
KELUARGA
SOSIAL
Kerusuhan sosial
NEGARA
Perang
Nusyuz Syiqq
Perkelahian
101
saja akan tetapi termasuk juga tindakan-tindakan ruhani dan jasmani yang
dapat memutus konflik sebagaimana akan diterangkan kemudian.
B. Subyek Ishlh
Sebagaimana telah diterangkan pula dalam bab II bahwa para subyek
yang terlibat dalam ishlh dapat terdiri dari Tuhan, individu, keluarga, sosial,
dan negara dengan perincian keberhadapan antar subyek sebagaimana
dijelaskan terdahulu. Oleh karena itu, secara ringkas para subyek ishlh
tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:
INDIVIDU
KELUARGA
SOSIAL
NEGARA
TUHAN
INDIVIDU
KELUARGA
SOSIAL
NEGARA
TUHAN
ISHLH VS
Perlu digarisbawahi, bahwa selain para subyek di atas masih ada subyek
ishlh, yang secara langsung atau tidak, sangat berperan dalam mewujudkan
ishlh antara pihak yang berkonflik. Subyek tersebut adalah mediator yang
berperan menengahi dan menjadi perantara di antara para subyek ishlh dalam
mewujudkan ishlh. Mediator ini bisa hadir dalam kapasitasnya sebagai hakim
dalam kasus hukum pidana atau perdata, hakam dalam kasus konflik rumah
tangga, dan arbiter dalam kasus konflik sosial, individu, maupun negara. Hal
ini sebagaimana telah diterangkan pula dalam pembahasan ishlh dalam
konteks sejarah. Memang kehadiran mediator ini tidak selalu diperlukan
102
dalam setiap konflik, karena memang bisa saja konflik diselesaikan oleh kedua
pihak yang bersengketa saja tanpa memerlukan bantuan mediator dalam
berbagai kapasitasnya tersebut.
Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa subyek ishlh pada dasarnya
meliputi dua pihak yang bersengketa sebagai inti dari subyek pelaksana ishlh.
Adapun mediator, meskipun berperan sangat penting, namun karena
keberadaannya tidak selalu dibutuhkan, maka kedudukannya hanya sebagai
subyek pelengkap atau penyempurna terlaksananya ishlh.
C. Rukum Ishlh
Setiap akan melangsungkan suatu akad, maka harus diperhatikan rukun
dan syaratnya. Rukun dan syarat merupakan instrumen menentukan sahnya
pelaksanaan suatu akad termasuk saat akan melakukan ishlh. Jika dalam
suatu akad tertinggal salah satu rukunnya, maka akad tersebut akan menjadi
tidak sah. Mengenai rukun ishlh, terjadi perbedaan pendapat. Madzhab
Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ishlh
shghah lafal ijab dan kabul saja. 157 Sayyid Sabiq juga sependapat dengan
ulama Hanafiyah, bahwa menurutnya rukun ishlh itu hanyalah ijab dan kabul
saja dengan lafal apa saja yang dapat menimbulkan perdamaian. 158 Sedangkan
Mazhab Syafiiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah (merupakan kelompok
Jumhur) berpendapat bahwa, rukun ishlh itu terdiri dari tiga yaitu: Shghah,
al-qidain, dan Muhal. 159
Yang dimaksud dengan Shghah, yakni ijab dan qabul yang dilakukan
oleh dua orang (dua belah pihak) yang bermaksud untuk melakukan ishlh.
Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syarah al-Islmiyah, (Beirut: Dar al-Syamiyah,
1996), h. 30
158
Adapun lafazhnya seperti ucapan satu pihak Aku berdamai denganmu, Aku bayar
hutangku padamu yang lima puluh dengan seratus, lalu pihak lain berkata Telah aku terima,
dapat pula dengan kalimat-kalimat lain yang serupa dengan itu, lihat Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah,
terj., H. Kamaludin A. Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah, h. 190
159
Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syarah al-Islmiyyah, h. 23
157
103
163
104
obyek ishlh. Mengenai mushlih alaih akan di bahas lebih rinci dalam sub
bab berikutnya, yaitu syarat ishlh.
Apabila ishlh telah dilangsungkan, maka ia menjadi akad yang mesti
dipenuhi oleh kedua belah pihak. Salah satu dari mereka tidak boleh atau tidak
dibenarkan mengundurkan diri dengan jalan mem-fasakh-nya. Tanpa terlebih
dahulu memberitahu kepada yang lainnya, serta harus ada kerelaan dari yang
bersangkutan. Pembatalan tidak boleh dilangsungkan sepihak. 164
D. Syarat Ishlh
Telah jelas bahwa rukun ishlh terdiri atas tiga sebagaimana telah
dipaparkan di atas. Telah jelas pula kiranya bahwa Shghah haruslah berisi
ijab dan qabul yang dilakukan oleh dua orang (dua belah pihak) yang
bermaksud untuk melakukan ishlh, bahwa Shghah bisa dalam kata-kata
sederhana asalkan jelas maknanya yaitu untuk mengadakan perdamaian.
Apabila Shghah yang sederhana ini diucapkan tentu saja telah terjadi ishlh
antara dua orang mushlih. Demikian pula telah jelas perihal para mushlih.
Oleh karena itu kedua rukun ini tidak penulis bahas lebih lanjut, karena
agaknya telah cukup pembahasan mengenai syarat-syarat Shghah dan para
mushlih, demikian juga telah jelas mengenai syarat mushlih 'anh. Yang
perlu dibahas lebih lanjut adalah syarat-syarat mushlih 'alaih karena ia
berkaitan langsung dengan hal-hal yang harus dilakukan oleh para pihak
dalam rangka memutus konflik. Juga akan dijelaskan lebih luas tentang syaratsyarat mediator.
Telah dijelaskan bahwa inti dari pelaksanaan ishlh adalah 'afw dan
diyat/kaffarat. Maka isi mushlih 'alaih haruslah berisi kedua hal tersebut.
Perlu dijelaskan pula, bahwa diyat/kaffarat dalam berbagai macam obyek
ishlh tidak hanya berupa harta benda, akan tetapi termasuk pula perbuatan164
105
106
107
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah
kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil(9) Orang-orang beriman itu Sesungguhnya
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan)
antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya
kamu mendapat rahmat(10) Hai orang-orang yang beriman,
janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan
yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari
mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.
dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan
memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburukburuk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman
dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim(11) Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencaricari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang(12) Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal(13)
108
Ayat ini berisi beberapa hal yang harus dijauhi dalam rangka
memutus konflik dan melestarikan ishlh yang meliputi larangan
saling menghina/mengolok-olok antar manusia dan kelompok,
larangan saling mencela, larangan memanggil orang lain dengan gelar
yang buruk dan memancing kemarahan apalagi dengan gelaran seperti
kafir, fasik, masuk neraka dan lain-lain yang menyakitkan hati.
Kemudian dalam ayat 12, Allah perintahkan untuk menjauhi terlalu
banyak berprasangka buruk, karena hal ini dapat mengakibatkan
timbulnya kembali rasa saling curiga dan ketidaknyamanan dalam
pergaulan. Allah juga melarang untuk mencari-cari kesalahan orang
lain, dan menggunjingkan kekurangan orang lain. Bahkan Allah
mengumpamakan gunjingan itu seperti memakan bangkai manusia.
Dari ayat di atas, terlihat bahwa berbagai perintah dan larangan
yang mengiringi perintah berbuat ishlh adalah perintah dan larangan
yang terkesan lebih teraksentuasi pada pembinaan kesalehan sosial.
Kesalehan individu secara otomatis tercakup di dalamnya. Kesan ini
semakin kuat dengan diakhirinya berbagai perintah di atas dengan ayat
13, yang menyatakan:
hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan perempuan serta menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.
Dalam konteks hubungan antar manusia, nilai-nilai ishlh
tercermin dalam keharmonisan hubungan antar mereka. Ini berarti, jika
hubungan antar dua pihak retak atau terganggu, maka telah hilang atau
minimal berkurang kemanfaatan dan kebaikan dalam hubungan
keduanya dan masyarakat pada umumnya, sehingga terjadi kerugian
dalam masyarakat karena gagal memperoleh manfaat dari kebaikan
109
kelompok
yang
sedang
berkonflik,
dengan
melakukan
musyawarah dan tawar menawar yang jujur dan sehat di antara semua
pihak, dalam rangka meredakan konflik adalah kewajiban atas orang
beriman. 165
Di samping itu, ketika menafsirkan ayat sebelumnya (ayat 9),
Quraish Shihab menyatakan bahwa penggunaan kata kerja lampau
iqtatal tidak harus dipahami dalam arti telah bertikai, tetapi dapat
juga diartikan hampir bertikai. Dengan demikian, ayat di atas
menuntun kaum beriman agar segera turun tangan
melakukan
110
Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 101-102.
Sebenarnya sakit sekali hati kami kalau mau diingat-ingat kejadian lalu. Sebab orang tua dan
adik kami meninggal ketika terjadi kerusuhan. Tetapi saya sudah memaafkan, Pernyataan
masyarakat yang lain Sejujurnya saya masih ragu dengan kesungguhan orang-orang Kristen
untuk berdamai, apalagi saat kerusuhan terjadi desa kami menjadi sasaran penyerangan mereka
..............
167
111
Dalam sebuah dialog dengan wakil pemerintah dalam proses ishlah Poso, juru bicara
Kristen berkata: Pak Menteri, kami akan bicara dan minta maaf, dan kami mohon teman-teman
muslim juga harus minta maaf. Sebab kalau tidak, akan ada kesan oh.Cuma dorang yang salah
karena dorang so minta maaf. Kedua, kami akan berdamai tanpa syarat. Secara terpisah delegasi
Muslim menjawab menurut ajaran Islam yang saya tahu, bila ada orang salah minta maaf, maka
wajib hukumnya untuk kita maafkan. Atas nama kelompok Islam, saya maafkan asal betul-betul
sampai di hati, tidak sekedar di mulut. Dari dialog ini terlihat bahwa kekhawatiran akan
terulangnya kesalahan yang didasari oleh belum pulihnya kepercayaan masih menghantui antar
kelompok. Lihat Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h.
77-78
168
112
Artinya:
113
ekonomi. 169 Begitu juga konflik sosial yang terjadi di berbagai daerah
lain di Indonesia tidak terlepas dari faktor ekonomi dan politik. 170 Oleh
karena itu, maka Allah pun berwasiat untuk menyelenggarakan hajat
hidup orang banyak ini dengan seadil-adilnya. Dapat dikemukakan
satu contoh dalam masalah ini yaitu kasus perebutan harta rampasan
perang di kalangan umat Islam sendiri yang menjadi sebab turunnya
QS. Al-Anfal (8): 1 sebagai berikut:
169
170
114
Maka
c. Mempererat Silaturrahmi
171
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Juz 9, h. 246-247. Lihat juga
Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayatayat Al-Quran), h. 219
115
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I-II, h. 190 Lihat juga A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul:
Studi Pendalaman al-quran, h. 99
172
116
damai,
namun
tidak
tertutup
kemungkinan
bahwa
rehabilitasi,
dan
pemberdayaan.
Rehabilitasi
dan
pemberdayaan dalam hal ini tidak hanya secara fisik berkaitan dengan
ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain, tapi juga dalam hal
psikis. Sebagaimana diungkapkan oleh Tahmidy lasahido dkk. bahwa
kondisi traumatis pasca kerusuhan masih dialami oleh masyarakat
termasuk
anak-anak.
Gambaran
suramnya
kondisi
psikologis
masyarakat
yang
selanjutnya
menggerakkan
anggota
Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 85-87.
117
d. Taubat Nashha
Tentang Taubat Nashhaini, sebagaimana firman Allah SWT.
dalam QS. al-Tahrim (66): 8
118
119
kedurhakaan
menyadarinya
dan
yang
dilakukan
menginsyafi-
seseorang
tidak
selama
mencabut
ia
identitas
120
121
penyesalan
yang
benar
adalah
lembutnya
hati
dan
122
cara
menemui
untuk
meminta
diikhlaskan
setelah
lain, masalah pribadi seperti membunuh, memfitnah, masalah perasaan seperti mengumpat,
menggunjing, menuduh zina dan lain-lain, masalah kehormatan seperti mengkhianati kehormatan
istri dan anak, dan masalah agama seperti mengkafirkan, menuduh sesat dan lain-lain.
Kesemuanya hanya bisa diselesaikan dengan pengakuan terhadap orang tersebut, mengakui bahwa
yang dituduhkan adalah kebohongan, meminta maaf dan mohon diikhlashkan, karena bersangkut
paut dengan hak kemanusiaan. Lihat al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, h.
64-66
123
pada
alasan
bahwa
pemberitahuan
justru
akan
dengan
maksud
pembuat
syari'at
untuk
saling
124
dan
tidak
dianggap
sebagai
kesalahan,
bahkan
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan
Ruhani, h. 413,
183
125
hanya
dituntut
untuk
memaafkan
di
saat
marah,
126
127
207
oleh
Hind,
Rasulullah
bersabda:
Jika
Allah
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 331-331
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 2, h.
128
yang
mampu
menahan
amarah.
Kata
al-Kzhimn
207
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 2, h.
129
207 208
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 2, h.
130
131
menawar yang jujur dan sehat di antara semua pihak, dalam rangka
meredakan konflik adalah kewajiban atas orang beriman. 191
Pada dasarnya, musyawarah adalah sifat khas umat Islam sejak awal
agama ini diajarkan. Hal ini sebagaimana tercermin dalam QS. Al-Syura
(42): 38"...Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di
antara mereka....".
Ayat ini merupakan ayat makkiyah yang diturunkan sebelum hijrah
yang berarti diturunkan sebelum berdirinya pemerintahan Islam. Dengan
demikian, sifat suka bermusyawarah lebih melingkupi entitas seluruh
lapisan
masyarakat
muslim daripada
sekadar
melingkupi
entitas
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 13,
192
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 322
h. 247
132
atau
menolak
unluk
menerima
hukum
Allah
dalam
133
Allah secara penuh, kaum mukminin hendaknya menyelenggarakan perdamaian yang berlandaskan keadilan yang cermat sebagai wujud
kepatuhan kepada Allah dan pencarian keridhaan-Nya.
Penyelenggaraan perdamaian yang berlandaskan keadilan yang
cermat ini perlu dilakukan mengingat telah terjadi penindakan oleh
mediator terhadap kelompok yang sempat membangkang. Penindakan ini,
di samping membuat pihak pembangkang tersebut secara agak terpaksa
mengikuti hukum yang diterapkan mediator, tentu telah menimbulkan efek
psikologis tertentu yang diakibatkan oleh ancaman bahkan tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh mediator dalam rangka membuatnya patuh.
Oleh karena itu, jika perdamaian kurang dilakukan dengan cermat
sehingga jaminan keadilan dan keterwakilan kepentingan kedua pihak
tidak terpenuhi sehingga muncul kembali kekecewaan, maka perdamaian
tersebut bisa jadi tidak akan bertahan lama, bahkan berulang kembali
pertikaian dalam skala yang lebih besar.
Kewajiban menjadi penengah dalam menyelesaikan pertikaian secara
damai ini dapat dilacak akar historisnya. Sebagaimana telah dijelaskan
pada bab dua, bahwa sejak sebelum masa kenabian, Rasulullah adalah
seorang arbiter, begitu pula setelah menerima wahyu. Dan bahwa ishlh,
baik dalam bentuk arbitrase maupun yang lain tidak terbatas di antara
kaum muslimin saja tapi juga antara kaum muslim dengan non muslim.
Hal ini dapat dibuktikan, bahwa Rasulullah pernah melakukan arbitrase
dengan Yahudi Bani Quraizhah dengan menunjuk seorang arbiter/mediator
yang ditunjuk oleh kedua belah pihak, meskipun dapat disayangkan bahwa
di kemudian hari, arbitrase ini dilanggar oleh salah satu pihak yang
berbuntut pengusiran. 193
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 232-234. Khadduri
menyebutnya arbiter. Penulis menyamakan istilah arbiter dengan mediator, di samping
menyamakan dua istilah ini dengan hakam. Karena inti pekerjaan mereka sama, yaitu
193
134
yang
diberikan
oleh
Khadduri,
penulis
akan
mendamaikan dua pihak yang berseteru secara damai dan musyawarah hingga tercipta ishlah, baik
arbiter/mediator/hakam hanya seorang saja atau terdiri dari dua orang atau kalau perlu merupakan
sebuah tim.
194
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 234. Menurut hemat penulis,
ada beberapa syarat seorang arbiter atau mediator yang perlu diberikan penekanan, yaitu seperti
syarat reputable mesti diberikan penekanan berupa kedudukan yang kuat secara politik maupun
sosial -yang berupa jaringan yang luas di masyarakat- sehingga dihormati oleh kedua pihak, serta
cerdas dan pandai dalam membaca situasi dalam rangka penyelesaian konflik secara lestari.
195
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 251-253
135
"selayaknya",
"semestinya".
Seperti
kalau
kita
136
Syubah Asa, Dalam Cahaya al-Quran, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, h. 347
137
b. Reputabel
Reputasi yang baik dan didukung oleh kekuatan yang memadai
dapat memberi kekuatan tersendiri bagi mediator. Oleh karena itu, QS.
al-Hujurat (49): 9-10 di atas mengisyaratkan -jika perlu- pemerintah
yang langsung turun tangan dalam mendamaikan kedua belah pihak.
Sebagaimana telah diterangkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan
dengan terjadinya pertengkaran antara suami istri yang melibatkan
kabilah masing-masing. Ayat tersebut juga dalam rangka menanggapi
Syubah Asa, Dalam Cahaya al-Quran, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, h. 348-349
Muhammad Ali al-Shabuni, Cahaya al-Quran, Tafsir Tematik Surat al-Baqarah-alAnam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), Jil. 1, h. 259-260
198
199
138
pertengkaran antara suku Aus dan Khazraj yang dipicu oleh Ibn Ubay,
yang kemudian berhasil didamaikan oleh Rasulullah. 200
Dalam beberapa hal, -jika diperlukan- mediator perlu bertindak
tegas dan jika perlu melakukan show of force terhadap salah satu pihak
yang membandel apalagi menyalahi kesepakatan. Salah satu contoh
ketegasan ini adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah
terhadap pengingkaran perjanjian yang disepakati melalui arbitrase
antara Rasulullah dengan Bani Quraizhah, salah satu suku Yahudi
Madinah. Pengusiran adalah resiko yang mereka hadapi sebagai akibat
pengkhianatan mereka. 201
Dalam konteks Indonesia, ketika konflik Poso belum sepenuhnya
reda, panglima TNI memutuskan untuk menggelar latihan gabungan
pasukan pemukul reaksi cepat pada seluruh elemen pasukan TNI dan
Polri di Poso. Latihan tersebut, ternyata menimbulkan efek psikologis
yang positif. Bahwa masyarakat Poso dapat melihat dengan mata
telanjang, bagaimana jika pasukan reaksi cepat melakukan aksinya,
jauh lebih cepat, tangkas, dan mungkin lebih kejam dibandingkan
dengan aksi brutal yang telah mereka lakukan selama kerusuhan.
Demikian pula ketika mereka melihat hebatnya para penerjun dari
Kopassus dan pasukan khusus angkatan udara, serta dahsyatnya
gerakan dan gempuran pasukan marinir yang melakukan pendaratan di
pantai sekitar Poso. 202
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 13,
h. 246. Dalam kesempatan pertengkaran yang lain, gambaran sengitnya pertengkaran antara dua
suku tersebut dilukiskan oleh Aisyah RA. yang mengatakan: Dua kubu itu lalu bergerak (karena
marah), Aus dan Khazraj, hingga mereka hampir saling membunuh, sementara Rarulullah berdiri
di atas mimbar dan terus-menerus menurunkan emosi mereka hingga mereka diam (reda), dan ia
pun diam. Lihat Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, h. 199
201
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 233-234
202
Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 71
200
139
Syubah Asa, Dalam Cahaya al-Quran, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, h. 251. LIhat
juga Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah, h.
194
204
Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, h. 200
203
140
205
413
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 13, h.
141
142
Lihat Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan
Penyelesaian Jangka Panjang, (Jakarta: LIPI Proyek Pengembangan Riset Unggulan/Kompetitif
LIPI/Program Isu, 2003)
207
143
208
Pernbelahan sosial budaya yang dilakukan di sini mengelompokkan Jawa dan Sumatera
ke dalam Pola Sosial Budaya Indonesia Barat, sedangkan Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan
Maluku dan Papua tercakup dalam Pola Sosial Budaya Indonesia Timur. Klasifikasi ini didasarkan
pada Wallace Line yang membagi Indonesia dalam dua hagian berdasarkan ciri-ciri fauna dan
floranya. Indonesia Barat meliputi Jawa, Sumatera, dan Kalimantan mengikuti ciri-ciri fauna dan
flora Asia, sedangkan Indonesia Timur meliputi Sulawesi ke arah Timur ke Maluku sampai
dengan Papua yang sangat mirip dengan fauna dan flora Australia. Lihat Thamrin Amal Tomagola,
Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 17. Ia sedikit
merubah Wallace Line ini dengan memasukkan Kalimantan ke dalam pola Indonesia Timur,
karena yang dijadikan dasar pembagian adalah perbedaan pola sosial budayanya.
144
Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 19
209
145
146
c. Tingkat Pendidikan
Dari segi tingkat pendidikan, tingkat pendidikan penduduk
Indonesia berkorelasi dengan aktif tidaknya misi-misi agama di
wilayah tertentu. Di wilayah di mana misi agama Islam, khususnya
Muhammadiyah sangat aktif seperti di Sumatera Barat, Bengkulu,
Sumatera Selatan, Yogyakarta serta Sulawesi Selatan, tingkat
pendidikan umat Islam di sana sangat tinggi. Sebaliknya, di wilayahwilayah di mana Muhammadiyah tidak aktif seperti di jawa Barat,
tingkat pendidikan umat Islam di sana sangat rendah. Demikian juga
berlaku untuk wilayah-wilayah di mana misi Kristen, baik Protestan
maupun Katholik sangat aktif seperti wilayah Flores dan beberapa titik
di NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah serta Maluku Tengah,
tingkat pendidikan umat Kristen di sana sangat tinggi. Keadaan
sebaliknya tidak berlaku buat umat Kristen karena tidak ada wilayah
Kristen di mana misi Kristennya tidak aktif bergiat dalam bidang
pendidikan. Tidak ditemui kesenjangan tingkat pendidikan antara umat
Kristen dengan umat Islam di Sulawesi, dan Poso pada khususnya. 211
Kondisi politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebaran dari suku dan
agama (baik yang merupakan suku dan agama asli maupun pendatang)
yang kemudian berbagai kondisi itu saling berkait satu sama lain, dalam
jangka panjang telah merubah wajah masyarakat setempat di Indonesia
Timur, termasuk ketika menimbulkan efek negatif berupa konflik
horisontal antar anggota masyarakat yang berbeda suku dan agama.
Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 21
211
147
212
Hal ini ditandai dengan telah usainya pertarungan elit politik di Jakarta dengan
diturunkannya Abdurrachman Wahid sebagai presiden, dan militer telah merasa aman karena
terakomodasi dalam kabinet Megawati pada posisi-posisi strategis, serta keinginan presiden
Megawati kala itu yang menginginkan NKRI tetap utuh dan hanya militer yang dapat menjamin
itu. Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 29-30
148
214
Mengenai proses perundingan itu secara sekilas, lihat foot note no. 164. Setelah delegasi
Islam membacakan Permufakatan Muslim Poso di Malino, Yusuf Kalla menanyakan tiga kali
kepada delegasi Kristen, namun tidak ada yang menjawab. Kemudian ia berkata: Sekarang anda
semua sebagai anggota delegasi telah bersepakat merancang suatu upaya untuk mencapai
perdamaian. Maka tiba saatnya untuk merancang naskah perdamaian . Lihat Thamrin Amal
Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 79
149
kesepakatan
telah
tercapai.
Selanjutnya
dilakukan
Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 80
215
150
f. Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu,
setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang, dan tinggal
secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
g. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada
pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan
perselisihan berlangsung.
h. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asalnya masing-masing.
i.
4. Peluang Ishlh
Sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan terdahulu,
bahwa upaya ishlh dalam Islam merupakan jalan panjang dalam
memperbaiki kondisi masyarakat yang rusak khususnya karena konflik
dan permusuhan menuju tujuan akhir yaitu terwujudnya masharakat yang
shlih dan bertakwa. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan demi
terciptanya ishlh secara lestari yang merupakan isi dari mushlih 'alaihadalah meliputi menjauhi prasangka buruk dan hinaan antar anggota
masyarakat khususnya yang pernah berkonflik, menciptakan keadilan
dalam masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan, mempererat
silaturrahmi dalam rangka rehabilitasi situasi, kemauan keras untuk
bertaubat dari segala kesalahan dan kejahatan dengan tidak mengulangi
perbuatan itu dan menggantinya dengan perbuatan yang lebih baik
(ishlh), dan kesediaan untuk memaafkan pihak lain yang telah berlaku
151
salah dan jahat dengan (jika perlu) disertai kemauan untuk berbuat
kebajikan kepada pihak yang telah melakukan kejahatan itu.
Di samping itu perlu diperhatikan pula terpilihnya mediator yang adil
dan kuat. Mediator hendaknya tidak hanya pihak yang ikhlas berkeinginan
untuk memediasi, tetapi juga harus memiliki kapasitas memadai sebagai
mediator yang baik dan handal. Kapasitas memadai ini tercermin dari
keadilan sikap, reputasi yang unggul dan terjaga, memiliki kekuatan baik
secara politis maupun sosial berupa jaringan yang luas, serta kecermatan
dalam bertindak. Tidak lupa, tentunya mediator ini dipilih oleh kedua
pihak yang berseteru secara sadar dan tanpa paksaan.
Di atas kerangka konsep ishlh sebagaimana diuraikan di atas lah,
bangunan ishlh bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi
masyarakat yang -baru saja- dilanda konflik komunal horisontal dapat
terwujud dengan lestari.
Dalam konteks ishlh Poso, Deklarasi Malino Untuk Poso yang
berisi sepuluh poin kesepakatan perdamaian antara kedua pihak yang
berkonflik, secara garis besar telah memuat poin-poin penting ishlh
dalam perspektif fikih sebagaimana telah dijabarkan di atas. Namun, -dari
hasil pengamatan penulis terhadap sepuluh poin tersebut- dirasa masih
perlu memberikan penekanan/penambahan terhadap poin-poin tertentu
yang penulis rasa kurang teraksentuasi dengan mantap. Hal ini perlu
mengingat isi perjanjian (mushlih alaih) haruslah dapat secara
meyakinkan menghentikan permusuhan dan menimbulkan/meningkatkan
kebaikan/kemanfaatan bagi kedua pihak secara kontinu. Secara lebih rinci,
penulis mencoba membahas sepuluh poin deklarasi Malino tersebut dalam
hubungannya dengan konsep ishlh dalam perspektif fikih dan
membandingkannya dengan lima poin mushlih alaih dalam ishlh
sebagai berikut.
152
kurang
153
216
Meskipun ada alasan bahwa dalam masa transisi demokrasi, pemerintah masih
disibukkan dengan konsolidasi ke dalam sehingga masalah kemasyarakatan khususnya yang jauh
dari pusat pemerintahan kurang terperhatikan.
217
Menurut Tomagola, inisiatif perdamaian pada awalnya muncul dari pihak Kristen yang
mulai terdesak oleh kekuatan kelompok Islam dengan hadirnya laskar jihad yang membantu
kelompok Islam. Oleh karena itu, dalam konteks ini bisa dipahami mengapa kelompok Kristen
siap terlebih dahulu meminta maaf dan bersedia untuk berdamai tanpa syarat. Lihat Tomagola h.
28-29
154
BAB V
PENUTUP
155
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Di samping dalam aspek keluarga, dan hubungan antar negara, Ulama
fikih cenderung hanya membahas ishlh dalam aspek hukum yaitu dalam
hubungannya dengan jinyah qishsh diyat. Fikih juga hanya membahas
rukun ishlh tanpa membahas syaratnya secara rinci. Demikian pula ishlh
belum dibahas secara lebih rinci dalam konteks ushul fikih.
2. Dalam konteks ushul fikih, ishlh berkaitan erat dengan mashlahah yang
merupakan tujuan utama dari penetapan hukum dalam agama Islam.
3. Ishlh dalam perspektif fikih merupakan suatu konsep yang terdiri dari
rukun dan syarat yang saling berkait satu sama lain secara konprehensif
dan integral. Rukun ishlh meliputi Shghah, al-qidain, dan muhal yang
terdiri dari mushlih 'anh dan mushlih 'alaih. Mushlih 'alaih dapat
bersifat bendawi dan non bendawi. Yang bendawi dapat berupa denda
dalam bentuk harta, sedangkan yang non bendawi dapat berupa perbuatanperbuatan yang meliputi menjauhi prasangka buruk, hinaan, dan fitnah,
menciptakan keadilan di segala bidang dalam masyarakat, mempererat
silaturahmi dalam rangka rehabilitasi, kemauan keras bertaubat, dan saling
sabar dan memaafkan.
4. Ishlh adalah jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik sosial. Hal ini
terbukti dari penerapan poin-poin ishlh yang bersesuaian dengan poinpoin yang disepakati dan dilaksanakan dalam deklarasi Malino.
B. Saran
152
Ishlh dapat dijadikan solusi terbaik bagi penyelesaian konflik sosial.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai konsep ishlh dalam perspektif fikih
156