BAB I Derajat Luka
BAB I Derajat Luka
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejarah dan perkembangan Ilmu Forensik tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan
perkembangan hukum acara pidana. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan yang
terjadi di muka bumi ini sama usia tuanya dengan sejarah manusianya itu sendiri.
Luka merupakan salah satu kasus tersering dalam kedokteran Forensik. Luka bisa
terjadi pada korban hidup maupun korban mati. Dalam sebuah survey di sebuah
rumah sakit di selatan tenggara kota London dimana didapatkan 425 pasien yang
dirawat oleh karena kekerasan fisik yang disengaja. Beberapa jenis senjata
digunakan pada 68 dari 147 kasus penyerangan di jalan raya, terdapat 12 % dari
penyerangan menggunakan besi batangan dan pemukul baseball atau benda
benda serupa dengan itu, lalu di ikuti dengan penggunaan pisau 18%, terdapat nilai
yang sangat berarti dari kasus penusukan, sekitar 47% kasus yang masuk rumah
sakit dan 90% mengalami luka yang serius. 1
Hal yang harus dicatat bahwa terdapat 2 dari 3 penyerangan terjadi di dalam
tempat tinggal atau klub-klub dengan menggunakan pisau, kaca, dan bermacammacam senjata. 40% kasus penikaman terjadi di jalan raya dan 23% di dalam
tempat tinggal dan klub-klub , 50% pasien sedang mabuk atau minum pada saat
sebelum waktu penyerangan, 27% pasien tersebut adalah penganguran. Luka-luka
yang disebabkan oleh pukulan (46%), tendangan (17%) bermacam-macam senjata
(17%), pisau dan pecahan kaca (15%) sisanya disebabkan oleh gigitan manusia dan
penyebab-penyebab lain yang tidak diketahui.1
Jumlah kejahatan di Indonesia meningkat 15 persen pada 2006. Rata-rata orang
terkena kejahatan pun naik di tahun ini. Selama 2006, jumlah kejahatan meningkat
dari 256.543 (tahun 2005) menjadi 296.119. Inilah peningkatan kejahatan yakni
sekitar 15,43 persen. Jumlah penduduk yang beresiko terkena kejahatan rata-rata
123 orang per 100.000 penduduk Indonesia di 2006. Bila dibandingkan tahun 2005
terjadi kenaikan 1,65 persen.1,2
Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa
penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli tersebut adalah Visum et
Repertum, dimana di dalamnya terdapat penjabaran tentang keadaan korban, baik
korban luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena tindak pidana.2,3
Bagi dokter yang bekerja di Indonesia perlu mengetahui ilmu kedokteran Forensik
termasuk cara membuat Visum et Repertum. Seorang dokter perlu menguasai
pengetahuan tentang mendeskripsikan luka, tujuannya untuk mempermudah tugastugasnya dalam membuat Visum et Repertum yang baik dan benar sehingga dapat
digunakan sebagai alat bukti yang bisa meyakinkan hakim untuk memutuskan
suatu tindak pidana. Pada kenyataannya dalam praktek, dokter sering mengalami
kesulitan dalam membuat Visum et Repertum karena kurangnya pengetahuan
tentang luka. Padahal Visum et Repertum harus di buat sedemikian rupa, yaitu
memenuhi persyaratan formal dan material , sehingga dapat dipakai sebagai alat
bukti yang sah di sidang pengadilan.1,2,3
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi luka?
2. Bagaimana klasifikasi luka?
3. Bagaimana dasar hukum luka terhadap kepentingan forensik?
4. Bagaimana menentukan luka berdasarkan waktu terjadinya?
C. TUJUAN PENULISAN
Dengan penyusunan referat ini kami berharap seorang dokter atau calon dokter
mampu mendeskripsikan luka secara benar sehingga mampu membuat Visum et
Repertum yang baik dan benar sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti yang
bisa meyakinkan hakim untuk memutuskan suatu tindak pidana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan oleh
trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan
dinamakan jejas jerat, khususnya bila alat penjerat masih tetap berada pada leher
korban.
b. Di dalam kasus kecelakaan lalu lintas dimana tubuh korban terlindas oleh ban
kendaraan, maka luka lecet tekan yang terdapat pada tubuh korban seringkali
merupakan cetakan dari ban kendaraan tersebut, khususnya bila ban masih dalam
keadaan yang cukup baik, dimana kembang dari ban tersebut masih tampak
jelas, misalnya berbentuk zig-zag yang sejajar. Dengan demikian di dalam kasus
tabrak lari, informasi dari sifat-sifat luka yang terdapat pada tubuh korban sangat
bermanfaat di dalam penyidikan.
c. Dalam kasus penembakan, yaitu bila moncong senjata menempel pada tubuh
korban, akan memberikan gambaran kelainan yang khas yaitu dengan adanya
jejas laras, yang tidak lain merupakan luka lecet tekan. Bentuk dari jejas laras
tersebut dapat memberikan informasi perkiraan dari bentuk moncong senjata yang
dipakai untuk menewaskan korban.
d. Di dalam kasus penjeratan dengan tangan (manual strangulation), atau yang
lebih dikenal dengan istilah pencekikan, maka kuku jari pembunuh dapat
menimbulkan luka lecet yang berbentuk garis lengkung atau bulan sabit; dimana
dari arah serta lokasi luka tersebut dapat diperkirakan apakah pencekikan tersebut
dilakukan dengan tangan kanan, tangan kiri atau keduanya. Di dalam penafsiran
perlu hati-hati khususnya bila pada leher korban selain didapatkan luka lecet seperti
tadi dijumpai pula alat penjerat; dalam kasus seperti ini pemeriksaan arah
lengkungan serta ada tidaknya kuku-kuku yang panjang pada jari-jari korban dapat
memberikan kejelasan apakah kasus yang dihadapi itu merupakan kasus bunuh diri
atau kasus pembunuhan, setelah dicekik kemudian digantung.
e. Dalam kasus kecelakaan lalu-lintas dimana tubuh korban bersentuhan dengan
radiator, maka dapat ditemukan luka lecet tekan yang merupakan cetakan dari
bentuk radiator penabrak.
3) Petunjuk dari arah kekerasan, yang dapat diketahui dari tempat dimana kulit ari
yang terkelupas banyak terkumpul pada tepi luka; bila pengumpulan tersebut
terdapat di sebelah kanan maka arah kekerasan yang mengenai tubuh korban
adalah dari arah kiri ke kanan. Di dalam kasus-kasus pembunuhan dimana tubuh
korban diseret maka akan dijumpai pengumpulan kulit ari yang terlepas yang
mendekati ke arah tangan, bila tangan korban dipegang; dan akan mendekati ke
arah kaki bila kaki korban yang dipegang sewaktu korban diseret.
membentuk sudut dengan permukaan tubuh yang terkena benda tumpul. Dengan
demikian bila luka robek tersebut salah satu tepinya terbuka ke kanan misalnya,
maka kekerasan atau benda tumpul tersebut datang dari arah kiri; jika membuka ke
depan maka kekerasan benda tumpul datang dari arah belakang. Pelukisan yang
cermat dari luka terbuka akibat benda tumpul dengan demikian dapat sangat
membantu penyidik khususnya sewaktu dilakukannya rekonstruksi; demikian pula
sewaktu dokter dijadikan saksi di meja hakim.
Luka robek atau luka terbuka akibat kekerasan benda tumpul dapat dibedakan
dengan luka terbuka akibat kekerasan benda tajam, yaitu dari sifat-sifatnya serta
hubungan dengan jaringan sekitar luka. Luka robek mempunyai tepi yang tidak
teratur, terdapat jembatan-jembatan jaringan yang menghubungkan kedua tepi
luka, akar rambut tampak hancur atau tercabut bila kekerasannya di daerah yang
berambut, di sekitar luka robek ssring tampak adanya luka lecet atau luka memar.
Oleh karena luka pada umumnya mendatangkan rasa nyeri yang hebat dan lambat
mendatangkan kematian, maka jarang dijumpai kasus bunuh diri dengan membuat
luka terbuka dengan benda tumpul.
sebab kaca mobil sengaja dirancang sedemikian rupa sehingga jika pecah akan
terurai menjadi bagian-bagian kecil.
3. Luka akibat tembakan senjata api
Luka tembak masuk (LTM) jarak jauh hanya dibentuk oleh komponen anak peluru,
sedangkan LTM jarak dekat dibentuk oleh komponen anak peluru dan butir-butir
mesiu yang tidak habis terbakar. LTM jarak sangat dekat dibentuk oleh komponen
anak peluru, butir mesiu, jelaga dan panas/api. LTM tempel/kontak dibentuk oleh
seluruh komponen tersebut di atas (yang akan masuk ke saluran luka) dan jejas
laras. Saluran luka akan berwarna hitam dan jejas laras akan tampak mengelilingi
luka tembak masuk sebagai luka lecet jenis tekan, yang terjadi sebagai akibat
tekanan berbalik dari udara hasil ledakan mesiu.
Gambaran LTM jarak jauh dapat ditemukan pada korban yang tertembak pada jarak
yang dekat/sangat dekat, apabila di atas permukaan kulit terdapat penghalang
misalnya pakaian yang tebal, ikat pinggang, helm dan sebagainya sehingga
komponen-komponen butir mesiu yang tidak habis terbakar, jelaga dan api tertahan
oleh penghalang tersebut.
Pada tempat anak peluru meninggalkan tubuh korban akan ditemukan luka tembak
kleuar (LTK). LTK umumnya lebih besar dari LTM akibat terjadinya deformitas anak
peluru, bergoyangnya anak peluru dan terikutnya jaringan tulang yang pecah keluar
dari LTK.
LTK mungkin lebih kecil dari LTM dari LTM bila terjadi pada luka tembak
tempel/kontak, atau pada anak peluru yang telah kehabisan tenaga pada saat akan
keluar meninggalkan tubuh. Di sekitar LTK mungkin pula dijumpai daerah lecet bila
pada tempat keluar tersebut terdapat benda yang keras, misalnya ikat pinggang,
atau korban sedang bersandar pada dinding.7,8
4. Jenis luka akibat suhu / temperatur
a) Benda bersuhu tinggi.
Kekerasan oleh benda bersuhu tinggi akan dapat menimbulkan luka bakar yang
cirinya amat tergantung dari jenis bendanya, ketinggian suhu serta lamanya kontak
dengan kulit. Api, benda padat panas atau membara dapat mengakibatkan luka
bakar derajat I, II, III atau IV. Zat cair panas dapat mengakibatkan luka bakar tingkat
I, II atau III. Gas panas dapat mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, III atau IV.
akibat ledakan udara berupa luka-luka yang mirip dengan akibat persentuhan
dengan benda tumpul.
Dapat terjadi kematian akibat efek arus listrik yang melumpuhkan susunan syaraf
pusat, menyebabkan fibrilasi ventrikel. Kematian juga dapat terjadi karena efek
ledakan atau efek dari gas panas yang ditimbulkannya. Pada korban mati sering
ditemukan adanya arborescent mark (percabangan pembuluh darah terlihat seperti
percabangan pohon), metalisasi benda-benda dari logam yang dipakai, magnetisasi
benda-benda dari logam yang dipakai. Pakaian korban terbakar atau robek-robek.9
7. Jenis luka akibat zat kimia korosif
Zat-zat kimia korosif dapat menimbulkan luka-luka apabila mengenai tubuh
manusia.
Ciri-ciri lukanya amat tergantung dari golongan zat kimia tersebut, yaitu :
(a) Golongan Asam.
Termasuk zat kimia korosif dari golongan asam antara lain :
Asam mineral, antara lain : H2SO4, HCl dan NO3.
Asam organik, antara lain : asam oksalat, asam formiat dan asam asetat.
Garam mineral, antara lain : AgNO3 dan Zinc Chlorida.
Halogen, antara lain : F, Cl, Ba dan J.
Cara kerja zat kimia korosif dari golongan ini sehingga mengakibatkan luka, ialah:
Mengekstraksi air dari jaringan.
Mengkoagulasi protein menjadi albuminat.
Mengubah hemoglobin menjadi acid hematin.
Ciri-ciri dari luka yang terjadi akibat zat-zat asam korosif tersebut di atas ialah:
Terlihat kering.
Berwarna coklat kehitaman, kecuali yang disebabkan oleh nitric acid berwarna
kuning kehijauan.
Perabaan keras dan kasar.
(b) Golongan Basa.
Zat-zat kimia korosif yang termasuk golongan basa antara lain :
KOH
NaOH
NH4OH
Cara kerja dari zat-zat tersebut sehingga menimbulkan luka ialah:
koma enam sentimeter dan dalamnya belum dapat ditentukan pada pemeriksaan
luar sebab luka menembus dinding dada. Ketika dirapatkan panjangnya menjadi
dua koma tujuh sentimeter.
Sifatnya: Garis batas luka bentuknya teratur dan simetris, tepinya rata serta kedua
sudutnya runcing. Tebing luka rata terdiri atas kulit, jaringan ikat, jaringan lemak
dan otot. Tidak ditemukan ada-nya jembatan jaringan dan dasar luka tidak terlihat
pada pemeriksaan luar. Di sekitar garis batas luka tidak ada memar.
Gambar 13. Luka Tusuk
Dikutip dari: Color Atlas of Forensic Pathology
3. Luka Tembak Masuk
Pada pemeriksaan ditemukan luka.
Jumlahnya: Satu.
Lokasinya: Di perut bagian kanan atas, delapan sentimeter di sebelah kanan dari
garis tengah tubuh dan setinggi seratus sepuluh sentimeter dari tumit. (Pada luka
tembak selalu diukur setinggi berapa sentimeter dari tumit guna kepentingan
rekonstruksi).
Bentuknya: Terdiri atas dua bagian, yaitu bagian luar berupa cincin lecet dan bagian
dalamnya berupa lubang. Posisi lubang terhadap cincin lecet konsentris (atau
episentris).
Ukurannya: Diameter cincin lecet sebelas milimeter dan diameter lubang sembilan
milimeter.
Sifatnya: Garis batas luar dari cincin lecet bentuknya teratur (bulat) serta tepinya
tak rata dan garis batas lubang bentuknya juga teratur serta tepi-nya tidak rata.
Tebing luka tak rata, berbentuk silinder dan terdiri atas jaringan kulit, jaringan ikat,
otot dan tulang.
Dasar cincin lecet adalah jaringan ikat sedang dasar lubang tidak dapat ditentukan
pada pe-meriksaan luar sebab menembus dinding perut. Daerah di sekitar cincin
lecet terlihat memar ber-warna merah kebiruan, jelaga dan tatoase.
Gambar 14. Contoh Deskripsi Luka Tembak
Dikutip dari: Petunjuk Praktikum Pembuatan Visum Et Repertum
serta untuk penentuan keputusan oleh hakim. Dalam banyak kasus informasi
tentang waktu terjadinya kekerasan akan dapat digunakan sebagai bahan analisa
guna mengungkapkan banyak hal, teerutama yang berkaitan dengan alibi
seseorang. Masalahnya ialah, tidak seharusnya seseorsng dituduh atau dihukum
jika pada saat terjadinya tindak pidana ia berada di tempat yang jauh dari tempat
kejadian perkara.
Dengan melakukan pemeriksaan yang teliri akan dapat ditentukan :
Luka terjadi ante mortem atau post mortem
Umur luka
a. Luka ante mortem atau post mortem
Jika pada tubuh jenazah ditemukan luka maka pertanyaannya ialah luka itu terjadi
sebelum atau sesudah mati. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dicari ada
tidaknya tanda-tanda intravital. Jika ditemukan berarti luka terjadi sebelum mati
dan demikian pula sebaliknya.
Tanda intravital itu sendiri pada hakekatnya merupakan tanda yang menunjukkan
bahwa :
1. Jaringan setempat masih hidup ketika terjadi trauma.
Tanda-tanda bahwa jaringan yang terkena trauma masih dalam keadaan hidup
ketika terjadi trauma antara lain :
a. Retraksi jaringan.
Terjadi karena serabut-serabut elastis di bawah kulit terpotong dan kemudian
mengkerut sambil menarik kulit di atasnya. Jika arah luka memotong serabut secara
tegak lurus maka bentuk luka akan menganga, tetapi jika arah luka sejajar dengan
serabut elastis maka bentuk luka tidak begitu menganga.
b. Retraksi vaskuler.
Bentuk retraksi vaskuler tergantung dari jenis trauma, yaitu :
1. Pada trauma suhu panas, bentuk reaksi intravitalnya berupa:
Eritema (kulit berwarna kemerahan)
Vesikel atau bulla
2. Pada trauma benda keras dan tumpul, bentuk intravital berupa :
- Kontusio atau memar.
c. Retraksi mikroorganisme (infeksi)
Jika tubuh dari orang masih hidup mendapat trauma maka pada daerah tersebut
akan terjadi aktivitas biokimiawi berupa :
Kenaikan kadar serotinin (kadar maksimal terjadi 10 menit sesudah trauma).
Kenaikan kadar histamine (kadar maksimal terjadi 20-30 menit sesudah trauma)
Kenaikan kadar enzime yang terjadi beberapa jam sesudah trauma sebagai akibat
dari mekanisme pertahanan jaringan.
2. Organ dalam masih berfungsi saat terjadi trauma
Jika organ dalam (jantung atau paru) masih dalam keadaan berfuungsi ketika terjadi
trauma maka tanda-tandanya antara lain :
a. Perdarahan hebat (profuse bleeding)
Trauma yang terjadi pada orang hidup akan menimbulkan perdarahan yang banyak
sebab jantung masih bekerja terus-menerus memompa darah lewat luka.Berbeda
dengan trauma yang terjadi sesudah mati sebab keluarnya darah secara pasif
karena pengaruh gravitasi sehingga jumlah lukanya tidak banyak.
Perdarahan pada luka intravital dibagi 2, yaitu :
Perdarahan internal :
Mudah dibuktikan karena darah tertampung dirongga badan (rongga perut, rongga
panggul, rongga dada, rongga kepala dan kantong perikardium) sehingga dapat
diukur pada waktu otopsi.
Perdarahan eksternal :
Darah yang tumpah di tempat kejadian, yang hanya dapat disimpulkan jika pada
waktu otopsi ditemukan tanda-tanda anemis (muka dan organ-organ dalam pucat)
disertai tanda-tanda limpa melisut, jantung dan nadi utama tidak berisi darah.
b. Emboli udara.
Terdiri atas emboli udara venosa (pulmoner) dan emboli udara arterial (sistemik).
Emboli udara venosa terjadi jika lumen dari vena yang terpotong tidak mengalami
kolap karena terfiksir dengan baik, seperti misalnya vena jugularis eksterna atau
subclavia. Udara akan masuk ketika tekanan di jantung kanan negatif. Gelembung
udara yang terkumpul di jantung kanan dapat terus menuju ke daerah paru-paru
sehingga dapat mengganggu fungsinya.
Emboli arterial dapat terjadi sebagai kelanjutan dari emboli udara venosa pada
penderita foramen ovale persisten atau sebagai akibat dari tindakan pneumotorak
artifisial atau karena luka-luka yang menembus paru-paru. kematian dapat terjadi
akibat gelembung udara masuk pembuluh darah koroner atau otak.
c. Emboli lemak.
Emboli lemak dapat terjadi pada trauma tumpul yang mengenai jaringan berlemak
atau trauma yang mengakibatkan patah tulang panjang. Akibatnya jaringan
jaringan lemak akan mengalami pencairan dan kemudian masuk kedalam pembuluh
darah vena yang pecah menuju atrium kanan, ventrikel kanan dan dapat terus
menuju daerah paru-paru.
d. Pneumotorak
Jika dinding dada menderita luka tembus atau paru-paru menderita luka, sementara
paru-paru itu sendiri tetap berfungsi maka luka berfungsi sebagai ventil. Akibatnya,
udara luar atau udara paru-paru akan masuk ke rongga pleura setiap inspirasi.
Semakin lama udara yang masuk ke rongga pleura semakin banyak yang pada
akhirnya akan menghalangi pengembangan paru-paru sehingga pada akhirnya
paru-paru menjadi kolap.
e. Emfisema kulit krepitasi
Jika trauma pada dada mengakibatkan tulang iga patah dan menusuk pau-paru
maka pada setiap ekspirasi udara, paru-paru dapat masuk ke jaringan ikat di bawah
kulit. Pada palpasi akan terasa ada krepitasi disekitar daerah trauma. Keadaan
seperti ini tidak mungkin terjadi jika trauma terjadi sesudah orang meninggal.
b) Umur Luka 5,9,10
Untuk mengetahui kapan kapan terjadi kekerasan, perlu diketahui umur luka. Tidak
ada satupun metode yang digunakan untuk menilai dengan tepat kapan suatu
kekerasan (baik pada korban hidup atau mati) dilakukan mengingat adanya faktor
individual, penyulit (misalnya infeksi, kelainan darah, atau penyakit defisiensi).
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memperkirakannya, yaitu dengan
melakukan :
1. Pemeriksaan Makroskopik.
Pemeriksaan dengan mata telanjang atas luka dapat memperkirakan berapa umur
luka tersebut. Pada korban hidup, perkiran dihitung dari saat trauma sampai saat
diperiksa dan pada korban mati, mulai dari saat trauma sampai saat kematiannya.
Pada kekerasan dengan benda tumpul, umur luka dapat diperkirakan dengan
mengamati perubahan-perubahan yang terjadi. Mula-mula akan terlihat
pembengkakan akibat ekstravasai dan inflamasi, berwarna merah kebiruan.
Sesudah 4 sampai 5 hari warna tersebut berubah menjadi kuning kehijauan dan
sesudah lebih dari seminggu menjadi kekuningan. Pada luka robek atau terbuka
dapat diperkirakan umurnya dengan mengamati perubahan-perubahannya. Dalam
selang waktu 12 jam sesudah trauma akan terjadi pembengkakan pada tepi luka.
Selanjutnya kondisi luka akan didominasi oleh tanda-tanda inflamasi dan disusul
tanda penyembuhan.
2. Pemeriksaan mikroskopik
Perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopik pada korban mati. Selain berari guna bagi
penentuan intravitalitas luka, juga dapat menentukan umur luka secara lebih teliti
dengan mengamati perubahan-perubahan histologiknya.
Menurut Walcher, Robertson dan hodge, infiltrasi perivaskular dari lekosit
polimorfnuklear dapat dilihat dengan jelas pada kasus dengan periode-periode
survival sekitar 4 jam atau lebih. Dilatasi kapiler dan marginasi sel lekosit mungkin
dapat lebih dini lagi, bahkan beberapa menit sesudah trauma.
Pada trauma dengan iinflamasi aseptik, proses eksudasi akan mencapai puncaknya
dalam waktu 48 jam.
Epitelisasi baru terjadi hati ketiga, sedang sel-sel fibroblas mulai menunjukkan
perubahan reaktif sekitar 15 jam sesudah trauma. Tingkat proliferasi tersebut serta
pembentukan kapiler-kapiler baru sangat variatif, biasanya jaringan granulasi
lengkap dengan vaskularisasinya akan terbentuk sesudah 3 hari. Serabut kolagen
yang baru juga mulai terbentuk 4 atau 5 hari sesudah trauma.
Pada luka-luka kecil, kemungkinan jaringan parut tampak pada akhir minggu
pertama. Biasanya sekitar 12 hari sesudah trauma, aktivitas sel-sel epitel dan
jaringan di bawahnya mengalami regresi. Akibatnya jaringan epitel mengalami
atrofi, vaskularisasi jeringan di bawahnya juga berkurang diganti serabut-serabut
kolagen. Sampai beberapa minggu sesudah penyembuhannya, serabut elastis
masih lebih banyak dari jaringan yang tidak kena trauma.
Perubahan histologik dari luka sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya infeksi karena
infeksi akan menghambat proses penyembuhan luka.
3. Pemeriksaan histokemik
Perubahan morfologik dari jaringan hidup yang mendapat trauma adalah akibat dari
fenomena fungsional yang sejalan dengan aktifitas enzim, yaitu protein yang
berfungsi sebagai katalisator reaksi biologik.
Pemeriksaan histokemik ini didasarkan pada reaksi yang dapat dilihat dengan
4. Pemeriksaan biokemik
Meskipun pemeriksaan histokemik telah banyak menolong, tetapi reaksi trauma
yang ditunjukkan masih memerlukan waktu yang relatif panjang, yaitu beberapa
jam sesudah trauma. Padahal yang sering terjadi, korban mati beberapa saat
sesudah trauma sehingga belum dapat dilihat reaksinya dengan metode tersebut.
Oleh sebab itu perlu dilakukan pemeriksaan biokemik.
Histamin dan serotinin merupakan zat vasoaktif yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya inflamasi akut, terutama pada stadium awal trauma. Penerapannya bagi
kepentingan forensik telah diplubikasikan pertama kali pada tahun 1965 oleh
Vazekas dan Viragos-Kis. Mereka melaporkan adanya kenaikan histamin bebas pada
jejas jerat antemortem pada kasus gantung. Oleh peneliti lain kenaikan histamin
terjadi 20-30 menit sesudah trauma, sedang serotonin naik setelah 10 menit.
II.6. Akibat Trauma 9,11,12
1. Aspek Medik
Berdasarkan prinsip inersia (principle of inertia) dari Galileo Galilei, setiap benda
akan tetap pada bentuk dan ukurannya sampai ada kekuatan luar yang mampu
merubahnya. Selanjutnya Isaac Newton dengan 3 buah hukumnya berhasil
menemukan metode yang dapat dipakai untuk mengukur dan menghitung energi.
Dengan dasar-dasar tadi maka dapat diterangkan bagaimana suatu energi potensial
dalam bentuk kekerasan berubah menjadi energi kinetik yang mampu menimbulkan
luka, yaitu kerusakan jaringan yang dapat disertai atau tidak disertai oleh
diskontinuitas permukaan kulit.
Konsekuensi dari luka yang ditimbulkan oleh trauma dapat berupa :
1. Kelainan fisik / organik.
Bentuk dari kelainan fisik atau organik ini dapat berupa :
- Hilangnya jaringan atau bagian dari tubuh.
- Hilangnya sebagian atau seluruh organ tertentu.
2. Gangguan fungsi dari organ tubuh tertentu.
Bentuk dari gangguan fungsi ini tergantung dari organ atau bagian tubuh yang
terkena trauma. Contoh dari gangguan fungsi antara lain lumpuh, buta, tuli atau
terganggunya fungsi organ-organ dalam.
3. Infeksi.
Seperti diketahui bahwa kulit atau membrana mukosa merupakan barier terhadap
infeksi. Bila kulit atau membrana tersebut rusak maka kuman akan masuk lewat
pintu ini. Bahkan kuman dapat masuk lewat daerah memar atau bahkan iritasi
akibat benda yang terkontaminasi oleh kuman. Jenis kuman dapat berupa
streptococcus, staphylococcus, Eschericia coli, Proteus vulgaris, Clostridium tetani
serta kuman yang menyebabkan gas gangren.
4. Penyakit.
Trauma sering dianggap sebagai precipitating factor terjadinya penyakit jantung
walaupun hubungan kausalnya sulit diterangkan dan masih dalam kontroversi.
5. Kelainan psikik.
Trauma, meskipun tidak menimbulkan kerusakan otak, kemungkinan dapat menjadi
precipitating factor bagi terjadinya kelainan mental yang spektrumnya amat luas;
yaitu dapat berupa compensational neurosis, anxiety neurosis, dementia praecox
primer (schizophrenia), manic depressive atau psikosis. Kepribadian serta potensi
individu untuk terjadinya reaksi mental yang abnormal merupakan faktor utama
timbulnya gangguan mental tersebut; meliputi jenis, derajat serta lamanya
gangguan. Oleh sebab itu pada setiap gangguan mental post-trauma perlu dikaji
elemen-elemen dasarnya yang terdiri atas latar belakang mental dan emosi serta
nilai relatif bagi yang bersangkutan atas jaringan atau organ yang terkena trauma.
Secara umum dapat diterima bahwa hubungan antara kerusakan jaringan tubuh
atau organ dengan psikosis post trauma didasrkan atas :
- Keadaan mental benar-benar sehat sebelum trauma.
akibat suhu/temperatur, akibat trauma listrik, akibat petir, dan akibat zat kimia
korosif.
Selain itu luka bisa diketahui waktu terjadinya kekerasan, apakah luka terjadi
antemortem atau postmortem. Terkadang dari luka kita bisa mengetahui umur luka.
Walaupun belum ada satupun metode yang digunakan untuk menilai dengan tepat
kapan suatu kekerasan dilakukan mengingat adanya berbagai macam faktor yang
mempengaruhinya; seperti faktor infeksi, kelainan darah, atau penyakit defisiensi.
Dari deskripsi luka kita sebagai dokter juga dapat membantu pihak hukum untuk
menentukan kualifikasi luka sesuai dengan KUHP Bab XX pasal 351 dan 352 serta
Bab IX pasal 90. Yang pada tindak pidana untuk menentukan hukuman yang
diberikan kepada pelaku kekerasan dengan melihat deskripsi luka yang kita buat.
Oleh karena itu diharapkan kita sebagai calon dokter yang nantinya sebagai dokter
di masyarakat umum akan banyak menemukan kasus kekerasan yang
menyebabkan luka baik pada korban hidup maupun korban mati, bisa
mendeskripsikan luka sebaik-baiknya dalam Visum et Repertum.
III.2 Saran
1. Sebaiknya seorang dokter atau calon dokter mampu mendiskripsikan luka
sehingga mampu membuat Visum et Repertum yang baik dan benar.
2. Sebaiknya seorang dokter atau calon dokter tidak hanya mempelajari ilmu
kedokteran tetapi juga mengetahui hukum kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
9. Idries, Abdul Mun'im. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa Aksara:
Jakarta 1997. Hal 85-129.
10. Turner Ralph. Forensik science. [online]. 2009. Available at :
http://www.Portalkriminal.Com/Index. [cited : 16 Desember 2009].
11. Anonim. 2010. http://www.freewebs.com/patofisiologi-luka/index.htm [cited : 07
Juni 2010).
12. Anonim. 2010. http://ayumi.inube.com/blog/34039/forensic-electric trauma/
[cited : 07 Juni 2010].