Anda di halaman 1dari 14

Dari Nebuchadnezzar menuju Remus dan Romulus,

hingga berjumpa Pierre LEnfant


Saya sungguh terpesona dengan Roma! dan itu semua bukan
dipengaruhi oleh Dan Brown, murni karena mitologi Yunani-Romawi dan
sejarah perkembangannya. Dalam memahami kebudayaan Mesir
hingga Roma, saya mempelajari bagaimana struktur atau bentukan
yang disusun dalam pembangunan kota ternyata memiliki maksud yang
tersembunyikan. Saya menyebutnya sebagai Arsitektur Simbolik. Di
dalam arsitektur simbolik, ada maksud dibalik peletakan fungsi bangunan,
ada simbol yang dimainkan dalam struktur tata ruang, dan lebih dari itu,
selalu ada tujuan dibalik maksud yang disampaikan.
Maka petunjuk tambahan yang telah diberikan sesungguhnya
merupakan bagian dari tahapan proses pemahaman saya. Dan Brown
memberikan persepsi yang luar biasa terhadap fungsi geometrik-simetrik.
Saya cukup yakin, bagi mereka yang telah membaca trilogi Dan Brown
dengan kacamata perencanaan tata ruang, analisis geometriksimetrikini jelas memberikan maksud yang kuat dibalik penampilan
luarnya saja. Sedangkan petunjuk yang lain seperti identitas kesakralan,
tidak lain merupakan simbolisasi atas kebudayaan Romawi Kuno. Kira-kira
apa yang menghubungkan ketiga nama besar diatas?
Setiap nama yang diajukan pada judul diatas mewakili sebuah
peradaban masyarakat. Dalam hal ini, sesuai dengan petunjuk awal,
setiap nama sesungguhnya merepresentasikan kota yang dibangun oleh
masingmasing nama. Itu artinya, masing-masing kota yang mereka
bangun tentu memiliki latar belakang dan karakteristiknya sendiri-sendiri.
Nebuchadnezzar (lebih tepatnya, Nebuchadnezzar II (c.600SM), adalah
salah satu raja besar yang punya ide menarik tentang kota Babylonia
dan juga ziggura. Latar belakang kota yang saya maksud sesungguhnya
tidak hanya terkait erat dengan Babylonia (Babylon), tetapi juga kotakota unik lainnya di sepanjang perpotongan sungai Eufrat dan Tigris,
seperti Eridu, Ur, Uruk, Erech, Assur, Arbela, Niniveh, tidak ketinggalan:
Baghdad. Bisa jadi ide ziggurat bukan berasal dari Nebuchadnezzar
sendiri, tapi harus diakui kalau ziggurat punya makna simbolik yang luar
biasa seperti halnya piramida di Mesir. Ziggurat adalah bangunan tinggi
yang menjadi bagian dari titik pancang kota. Dari paparan wikipedia,
Ziggurat adalah monumen besar yang dibangun di lembah
Mesopotamia Kuno dan dataran tinggi Iran bagian barat, yang
berbentuk piramida berundak yang tersusun atas kisah atau tingkat yang
mundur.

Nebuchadnezzar membangun kota-kota Mesopotamia dengan


segenap cara, tidak hanya untuk membuat kita merinding, tapi juga
menjadi sumber cerita masa lalu kebudayaan kuno-mistis. Bangunan
tinggi seperti halnya Piramida Giza yang sudah agak retak sekarang,
atau Ziggurat di Irak dan Iran, tidak ketinggalan landmark paling indah:
Obelisk di mana-mana (dari Mesir ke Roma ke WashingtonDC), telah
dihadirkan pada zaman-zaman Mesir-Mesopotamia kuno. Mereka
ditransliterasikan dengan cara yang aneh. Di-duplikat dengan cara yang
cerdas agar generasi setelahnya terpicu untuk mempertanyakan sebab
musababnya.
Saya ingin mulai mengawali kisah ketiga nama besar (Nebuchadnezzar,
Remus-Romulus, L'Enfant) ini dari pemaknaan 'bangunan tinggi'.
Bangunan tinggi merupakan pengejawantahan usaha manusia untuk
mendekati Tuhan, tepatnya untuk menuju pada proses kemenyatuannya
terhadap Tuhan dan alam.
"Through a process of abstraction, the elementary forces were
transformed into a system of verticals and horizontals ("active" and
"passive" elements), a development which culminated in the
orthogonal structure of Egyptian architecture...." (Schulz, 1984:51).
Elemen aktif dan pasif inilah yang menjadi dasar bagaimana manusia
mempersepsikan lingkungannya. Piramida sebagai tiruan gunung
memiliki konsep 'vertical-axis' sebagai penghubung antara langit dan
bumi dan penerima sinar matahari. Kala itu Dewa Ra (Dewa Matahari)
dianggap sebagai Tuhan dan Raja dianggap sebagai titisan anak Dewa.
Piramida juga memiliki konsep 'horizontal-longitude', mengingat posisinya
yang berada di antara oasis dan gurun pasir (atau sebagai pengingat
akan konsep hidup dan mati).
Proses mendekati Tuhan ini kemudian mewadah dalam arsitektur, yakni
sebuah cara untuk mencari landasan dalam dunia riil. Peradaban Mesir
dan Mesopotamia telah mengisahkan bagaimana bangunan tinggi
dibangun sebagai sebuah bentuk 'persembahan' atau representasi atas
rasa syukur terhadap Sang Kuasa. Apresiasi tersebut diwujudkan dengan
membangun tempat sembahyang, yakni tempat untuk mengucapkan
terima kasih khususnya pada Tuhan dan nenek moyang. Kuil, patung,
hingga obelisk, merupakan bukti fisik yang menjadi saksi bisu dari rasa
syukur tadi. Manusia modern seringkali menerjemahkan rasa syukur tadi
sebagai sesembahan murni atau berhala. Pergeseran arti ini wajar terjadi,
mengingat makna berulang seringkali tidak disertai dengan

pemahaman yang sama persis. Jadi, awalnya punya maksud sama


namun eksekusi yang berbeda dapat melunturkan makna aslinya.
"The spiritual aspect of man up to the Renaissance equalled
largely those of his religious beliefs. The world view was theocentric.
From then on, man increasingly took over the place of God as the
center of universe. The world view become anthropocentric.
Religion gradually lost its primary role in the society, and had to
share its place with art, science, philosophy, and other spiritual
endeavors. architecture could flourish under both world views,
because it could open to the Beyond; It could represent the
transcendental aspect of God and man" (Klassen, 1990:13).
Pertanyaannya, mengapa spiritualitas menjadi dasar pertama dalam
pembangunan sebuah kota? Sudah pernah membaca tulisan Christian
Norberg-Schulz, berjudul Genius Loci, Towards A Phenomenology of
Architecture? Sesungguhnya, saya mengenali konsep spiritualitas bukan
dari Schulz. Tapi berangkat dari Sudaryono, lalu berdiskusi dengan Capra,
bertemu dengan Morris, berhenti di Klassen, hingga mengaku kalah di
depan Schulz. Dalam salah satu bab berjudul Man-made Place (1984:5052), Schulz mencerna dengan baik mengapa manusia membangun
'place' sebagai bagian dari kehidupan mikrokosmos. Manusia
menginterpretasikan alam, menduplikasi alam, serta memasukkan nilainilai alami ke dalam kehidupan mereka, tidak lain karena manusia
menyadari bahwa hidup mereka tidak pernah bisa dilepaskan dari
campur tangan alam, hingga konsep Tuhan yang pada akhirnya muncul
di kemudian hari. Eksistensi mereka dihadirkan dengan pemaknaan nilai
ruang yang bersumber dari pandangan spiritualitas terhadap 'nature'
dan 'beyond of nature'. Hal senada sebenarnya juga telah diungkapkan
oleh Gallieon dan Eisner dalam buku berjudul 'Urban Pattern'. Nature
atau alam selalu menjadi cara untuk mempertemukan Tuhan dengan
hamba-Nya. Nah, kota atau desa, ataupun unit wilayah lainnya,
dipenuhi oleh sumber eksistensi manusia yang menempatkan spiritualitas
sebagai bagian dari kesadaran mereka. Spiritualitas menjadi lebih
mudah dicerna dengan adanya suatu penanda, salah satunya berupa
bangunan arsitektural. Namun demikian, arsitektur pun memiliki
alasannya sendiri untuk dilibatkan. Pertanyaannya, mengapa arsitektur?
Diatas tadi, saya sudah menyebutkan bahwa arsitektur merupakan
sebuah cara untuk mencari landasan dalam dunia riil (mikrokosmos).
Arsitektur sejatinya merupakan bagian dari bahasa dan simbol yang
hadir untuk tujuan tertentu (baca: men'cerah'kan atau menyesatkan).

Hal tersebut berhasil diungkapkan oleh Klassen (1990:6) dengan


mengaitngaitkan konsepsi yang dibangun oleh Charles Jenks dan trinitas
pemikiran
Vitruvius.
Interkoneksi
"symbol-thought-referent"
yang
diterjemahkan menjadi "form-function-technic" berpadu dengan
"venustas-utilitas-firmitas" atau yang lebih kita kenal dengan konsep
"beauty-function-durability". Trinitas Vitruvius seringkali mendapat
bantahan, meski tidak jarang yang mengakuinya secara terangterangan.
Tiga komponen penyusun arsitekur yang ditelurkan Vitruvius
menggambarkan nilai fungsi dan makna dibalik simbolisme arsitektur.
Dengan penggambaran seperti itu, arsitektur dapat dikatakan sebagai
suatu bentuk penerjemahan yang paling komplit dan terbukti mampu
bertahan lama. Akan tetapi, yang dimaksud dengan arsitektur disini tidak
hanya terkait dengan entitas bangunan tunggal saja, tetapi juga
kawasan (distrik tertentu), hingga area yang luas seperti kota. Melalui
arsitektur inilah, manusia mencari cara untuk menghadirkan Tuhan dalam
keseharian kita. Tolong garis bawahi ini: Arsitektur! (Cobalah untuk
mengingatnya, karena saya akan mencoba mengaitkannya pada
bahasan selanjutnya).
Sekarang mari kita memincingkan mata sebentar, melihat ke spektrum
yang lebih luas. Jika kita beranjak meninggalkan bangunan tunggal dan
melihat konstelasi wilayah yang lebih luas, maka bangunan tinggi tadi
tidak hanya berdiri di satu tanah luas (secara tunggal). Mereka
terpetakan dengan struktur ruang skala besar yang terukur. Ada satu
alasan mengapa saya tidak mengambil awal cerita dari Mesir tapi dari
Babylonia. Poin ini merupakan konsep kedua yang bercerita mengenai
"struktur ruang kota".
Konsep kedua adalah struktur ruang kota kuno. Kita akan melihat dari
lapisan terluarnya, yaitu benteng kota, atau citadel, atau fort, atau citywalled. Di Mesir, terlebih di daerah kota yang lebih banyak berada di
sebelah timur Sungai Nil, struktur kota yang terpadu tidak dikelilingi oleh
benteng. Meskipun kota-kota seperti Tel-El-Amarna dan Kahun dapat
dikategorikan sebagai kota benteng, tapi dua kota tersebut merupakan
bagian dari kota yang dilihat secara utuh. Jika dilihat dalam skala kota
yang lebih luas, yang mana tidak hanya melibatkan Tel-El-Amarna atau
Kahun sebagai entitas tunggal, maka luasan besar kota-kota di Mesir
kebanyakan tidak menggunakan konsep benteng. Nah, berbeda
dengan zaman Nebuchadnezzar. Babylonia merupakan kota benteng,
dan tidak cuma itu, tapi juga kota Ur dan Uruk. Muncul pertanyaan,

mengapa benteng muncul dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan


dari kota itu sendiri?
Kebudayaan Mesopotamia diyakini lahir sekitar 2500 tahun sebelum
masehi. Whittick (1974:43) mengungkapkan bahwa meskipun tidak ada
sumber sejarah tertulis yang menjelaskan tentang masa persiapan
perencanaan dari kota-kota yang terdapat disana, kota-kota tersebut
dibangun dengan dasar sistem tertentu yang memungkinkan suatu
perubahan dan pertumbuhan. Keunikan yang ada alam struktur ruang
kota kuno tidak hanya diawali dari konsep benteng. Tujuan akan maksud
untuk mempertahankan diri dari serangan alam (hewan buas, banjir,
ataupun angin) memang menjadi latar belakang dibangunnya benteng.
Namun itu jauuh sebelum mereka mengenal apa arti musuh yang
berasal dari jenis mereka sendiri. Nah, bagaimana jika ternyata musuh itu
ternyata bersembunyi tepat di bawah selimut mereka sendiri? Karena
pada akhirnya, itulah yang terjadi! Pernahkan kalian berpikir bahwa
konsep benteng merupakan awal mula bentuk gridiron (grid) dan
pengkastaan sosial masyarakat?
Benteng memformulasikan sesuatu. Ia berdiri untuk melindungi sesuatu. Ia
membatasi sesuatu, dan sesuatu itu bisa berarti: luasan wilayah, jumlah
penduduk, kekuasaan yang mengikat, atau barangkali rahasia tertentu!
Dalam struktur ruang kota yang dikelilingi benteng, suatu wilayah
memiliki masing-masing cara untuk membagi ruang ke dalam beberapa
fungsi. Dalam beberapa struktur ruang kota kuno, ruang yang berkaitan
dengan masa lalu (e.g. makam, kuil sembahyang) seringkali dipisahkan
dengan kehidupan masa kini (e.g. desa atau kota sebagai ruang untuk
tempat tinggal, berdagang, dll). Benteng tidak selalu memisahkan
perbedaan fungsi tersebut. Selain karena pada awalnya benteng
digunakan untuk pertahanan diri dan proteksi terhadap 'laju eksistensi',
benteng merupakan sebuah simbolisme dari kekuasaan itu sendiri. We
marked what we have! Seperti menancapkan bendera pada saat
menemukan pulau baru! Nah, disinilah perkembangan akan makna
kekuasaan berkembang, dan barangkali juga 'dikendalikan'. Di dalam
benteng sendiri, ruang dibagi berdasarkan kegunaannya, seperti hunian,
pemerintahan, perdagangan, hal-hal yang sudah tidak asing di masa
kini. Tapi, bagaimana kalau saya mengatakan ini: Jika benteng adalah
struktur itu sendiri, maka apa yang ada di dalam struktur tentulah
dimaksudkan sebagai struktur pula. Masalahnya, tidak semua orang bisa
melihat struktur yang saya maksud. Unsur organis hanyalah sebuah nilai
orisinalitasberasal dari kata 'origin'. Rasionalitas manusialah yang
menyempurnakannya ke dalam bentuk geometris.

Dengan kata lain, ruang-ruang yang ada dalam benteng tersebut harus
difungsionalkan berdasar bentuk dan luasan tertentu. Geometris juga
memiliki fungsi untuk memudahkan, baik itu yang dilihat secara
prosedural pembagian ruang, ataupun yang terkait dengan
keterbatasan ruang. Geometrisasi merupakan salah satu jawaban, agar
struktur yang saya maksud tadi tidak hanya terlihat pada kulit luar,
namun juga dalam struktur masyarakat itu sendiri. Bahkan,... geometri
yang salah satunya dapat berwujud gridiron mampu menjadi peletakan
risalah unsur kekeuasaan. Masih ingat ketika saya mengatakan bahwa
musuh itu bisa jadi adalah masyarakat itu sendiri? Bentuk arsitektural dan
ruang yang mengenal kebudayaan geometris ingin berupaya untuk
mengatur masyarakatnya, menjadikannya berkehidupan yang baik,
mencari jalan untuk memberi rasa 'kestabilan'. Namun di sisi yang lain,
juga berupaya untuk mulai 'mengendalikan', agar masyarakat tidak
menjadi musuh bagi pemerintahnya sendiri. Benteng bisa juga menjadi
alat kontrol, tapi dia tidak berdiri sendiri, ada keterkaitan antar fungsi
elemen yang menyusun geometrisasi itu sehingga dapat menjadi bentuk
yang sempurna seperti sekarang. Apakah itu? Mereka mengaitkan
elemen-elemen fungsi dengan sakralitas geometri. Apakah kita bisa
mempercayai hal ini?
Kita perlu mencari tahu lebih banyak mengenai proporsi agung dan
mengapa manusia melandaskan pada rasionalitas geometri, diskusinya
bisa lebih panjang dari apa yang kalian bayangkan. Tanpa harus
disangkal lagi, elemenelemen yang tidak lain adalah fungsi dari entitas
bangunan ternyata diletakkan dengan maksud tertentu.
The axis and the strong centerline symbolized the growing
concentration of power. Kings of France became monarchs,
wealthy merchants in Italy became autocratic dukes, large
landowners in England became Lord Barons, and the Popes
become benevolent partners of all. Louis XIV of France gave
voices: Letat, cest moi (Eisner, et.al., 1993).
Bagaimana cara kerja benteng sebagai sebuah benda tiruan? Apakah
struktur ruang kota menyesuaikan bentuk benteng, ataukah sebaliknya
benteng yang menyesuaikan struktur ruang kota? Jika benteng bisa
diduplikasi, bagaimana dengan bagian dalamnya? Ada dua hal yang
akan disampaikan disini, sebelum saya beralih ke tema yang kedua:
Roma.
Yang pertama, benteng sebagai bagian dari arsitektur kota, sebenarnya
tidak muncul secara tiba-tiba. Benteng merupakan bentuk ekstensifikasi.

Tapi tidak ada salahnya jika kita ingin memahami mengapa ekstensifikasi
itu perlu dilakukan. Hunian rumah tinggal selalu bermula dari sesuatu
yang tumbuh dengan organis, namun karena manusia beranak-pinak
dan menjalani kehidupan yang berada dalam skala otorisasi tertentu,
maka pada akhirnya manusia mengenal struktur atau sistem dalam
menyempurnakan bentuk hunian tersebut. Dalam hal ini, benteng
merupakan alat dan bahasa yang ingin disampaikan dengan cara
arsitektural. Jadi tidak masalah siapa mendahului siapa (seperti telur atau
ayam) tapi tolong lihat makna apa yang sesungguhnya hadir dibalik
benteng tersebut. Ringkasnya: Saya sedang mengajak temanteman
semua melihat struktur, dan struktur itu ada karena prioritas kepentingan.
Dari kepentingan-kepentingan yang berbeda itulah orang belajar
menempatkan fungsi dalam struktur. Bisa jadi awalnya memang terbalik,
fungsi-lah yang menghasilkan struktur. Apa benar demikian? Kita simpan
pertanyaan itu untuk kota Roma.
Yang kedua, benteng seperti juga unit arsitektural lainnya dapat
diduplikasi karena adanya kesamaan pikiran, meski belum tentu sama
dalam cara berpikir itu sendiri. Ide dasar berpikirnya sama, tapi
eksekusinya bisa sama dan bisa juga tidak. Bagaimana benteng
diduplikasi? Mengapa manusia melakukan duplikasi? Inilah yang akan
menjadi inti kronologi ketiga tema besar tulisan ini: Teknik Duplikasi dan
kepercayaan dibalik proses duplikasi tersebut. Hippodamian dari Miletus
tidak melancong tanpa tujuan ke mesir atau mesopotamia, apalagi
Thales sang maestro geometri. Semuanya memiliki tujuan, bukan hanya
karena keinginan yang timbul sebagai seorang individu manusia, namun
karena tujuan lain yang sudah saya sebutkan pada poin pertama.
Spirituality that brings us here...they want to duplicate it because they
want to do the same thing: to bring the God into the city-- with their own
belief.
Sebenarnya, saya memang melompati satu bagian masa peradaban,
yakni Yunani. Tapi itu bukan karena disengaja. Mesir dan Babilonia,
Babilonia dan Miletus, atau Babilonia dan Roma belum bisa dibuktikan
keterkaitannya melalui faktor duplikasi yang bersifat langsung.
Kecenderungannya adalah sejarah dituturkan sesuai runtutan masanya,
jadi simultansi pemahaman kita bisa sangat dipengaruhi oleh siapa
mendahului siapa, bukan apa yang menjadi landasan berpikir dari
peradaban tersebut. Jadi jangan lupa untuk mempertanyakan landasan
berpikir itu ya? Nah, sampai disini, kita sudah punya dua poin: Yang
pertama tentang spiritualitas dibalik realita fisik, dan yang kedua tentang
struktur ruang kota (yang diduplikasi).

Kota Benteng Berlanjut


Berdasarkan sejarahnya, Remus dan Romulus merupakan bagian dari
orisinalitas kota Roma yang penuh dengan peristiwa menakjubkan!
Remus dan Romulus dikisahkan sebagai dua bersaudara yang diasuh
oleh induk serigala. Dahulu, menurut legenda mereka dipelihara oleh
seekor serigala jantan hingga mereka menjadi dewasa. Dalam mitologi
Romawi, mereka adalah anak dari seorang Perawan Vesta bernama
Rhea Silvia dan dewa Mars. Coba lihat: www.mythencyclopedia.com/PrSa/Romulus-and-Remus.html
Meski legenda berkata demikian, akan tetapi bukti sejarah mengatakan
bahwa kota Roma dibangun pertama kali oleh bangsa Etruscan di
tepian Sungai Tiber sebelum akhirnya bangsa ini diusir oleh bangsa
Romawi pada abad ke 5 SM. Tapi asal kata Roma memang berasal dari
Romulus. Menurut Morris (1994:55), kota Roma didirikan pada tahun 753
SM dan dalam wacana sejarah Romawi, dikenal 3 periodesasi yakni,
masa Rajaraja (753-510 SM), masa Republik (509-27 SM), dan masa
Kerajaan-Empire (Imperialisme Roma) (27 SM-330M). Sejarah Roma yang
panjang dan berliku bisa diikuti sendiri dari Pak Morris, atau Whittick, atau
Cowell, atau sumber terpercaya lainnya. Menurut kalian, Dan Brown
termasuk sumber terpercaya tidak? Sebenarnya studi yang dilakukan
Dan Brown tentang Roma dan Vatikan cukup detil dan luar biasa, tapi
untuk konteks urban form, Morris, Carcopino, dan P. Zucker mungkin
lebih akurat.
Kita sudah sampai di struktur ruang berdasar kulit terluar berupa benteng.
Kalian tahu ada berapa lapis benteng di kota Roma? Ada tujuh benteng
dari tujuh kali masa pemerintahan. Lanciani dalam Morris (1994:62-69)
mengatakan benteng yang pertama dibangun oleh Raja Pertama,
selanjutnya oleh Servius Tullius, Aurellian, Honorius, Leo IV, Urban VIII, dan
terakhir oleh Pemerintah Italia. Jadi, bagaimana mungkin mereka tidak
punya maksud kalau terus menerus mempertahankan benteng tua
mereka? Duplikasi? Seberapa besar hal itu berperan? Duplikasi dari
Yunani, ataukah Mesir kuno? Yang sejujurnya adalah, Hippodamian dari
Miletus, dan juga sejarahwan tersohor, Herodotus, belajar buanyak hal
mengenai Mesir. Ingat juga Thales, dan bagaimana ia memberikan solusi
mengenai tinggi piramida Mesir. Jadi, bagaimanapun juga, influensi itu
mengalir seiring dengan perkembangan informasi dan ketertarikan
orang-orang Yunani tentang ide: menghadirkan Tuhan dalam kehidupan
sehari-hari. Yunani dan Mesir punya keterkaitan yang begitu erat karena
orang-orang Yunani telah belajar bagaimana menduplikasi kebudayaan
mesir kuno dengan berbagai cara. Bukan hanya soal tulisan, atau teknik

arsitektural, tapi konsep besar sakralitas ruang itu sendiri. Ingat poin
pertama kita?
Roma memang menduplikasi Yunani dengan berbagai cara. Masih ingat
bagaimana Romawi dan Yunani bersaing keras, yang satu berlombalomba di bidang militer, yang satunya lagi di bidang seni dan filsafat?
Schulz (1984: 140) mengemukakan bahwa kota Roma cukup berbeda
dengan kota-kota di Yunani. Bedanya ada pada integrasi ruang. Schulz
memiliki anggapan bahwa kota-kota di Yunani meletakkan entitas
bangunan tunggal dengan konsep yang individual. Sedangkan di kota
Roma, gedung-gedung diletakkan secara terintegrasi, as an enclosed
rather than a body. Itu sebabnya saya memilih kota Roma sebagai
tema nomor 2. Sekarang saya ingin berbagi sedikit, mengenai elemenelemen penyusun konsep integrasi ruang tersebut.
Landmark bercampur dengan Node dan Sakralitas!
Preoccupation The monumental character of the classic had
returned to the city. Every form had its CENTERLINE, and every
space its AXIS. The structural quality of the Middle Ages was
replaced by a classic sculptural form, modeled SYMMETRICALLY.
The Barbaric art of medieval cities was forsaken.(Eisner, et.al.,
1993).
Ada tiga kata yang dicetak huruf kapital. Tiga kata yang diungkap oleh
Eisner dan kawan-kawannya tersebut tolong ditandai dengan garis
merah, karena saya ingin mengantar teman-teman semua menuju
koherensi ruang yang lebih besar.
Dalam struktur ruang kuno, hingga dasar-dasar pembangunan kota
renaisans (Italy), saya menemukan suatu pola yang sangat menarik
dalam melihat tautan fungsi dan struktur elemen-elemen kota. Ada dua
hal yang ingin saya bagi. Pertama, tercetus dari apa yang dikemukakan
oleh S. Giedion (Space, Time, and Architecture) dalam Morris (1994:161).
Giedion mengatakan bahwa ada empat kecenderungan yang
menghiasi bentuk-bentuk estetis pembangunan kota pada masa
renaisans (Italy), yang mana menurut saya bentuk sebelumnya juga hadir
dalam peradaban Mesir dan Mesopotamia, hanya saja belum
mengalami pengembangan seperti pada zaman renaisans. Saya sudah
sempat menjelaskan sedikit tentang gridiron dan bagaimana gridiron
tidak hanya digunakan sebagai bentuk untuk membatasi kekuasaan.

Sekarang mari kita lihat keterkaitannya. Adapun empat kecenderungan


tersebut adalah: 1) adanya obsesi akan bentuk simetri, dimana bentuk
tersebut ditujukan untuk mendapatkan komposisi yang seimbang dari
satu garis axis atau lebih. Konsep simetris sendiri memiliki banyak makna.
Selain makna estetis, dan juga terinspirasi dari bentuk-bentuk naturalis
(bentuk yang telah disediakan oleh alam seperti butir kristal salju, daun,
bahkan tubuh hewan atau manusia), bentuk simetris memiliki banyak
misteri. Ia dapat berarti konsep yang berpasangan, idiom atas stabilitas,
dan barangkali juga merupaka suatu cara untuk menuju nilai
kesempurnaan, yakni sesuatu yang ilahiah dan bermakna absolut, atau
menuju pada spirit Tuhan. 2) pentingnya meletakkan VISTA (bangunan
tinggi) sebagai kunci penutup dengan sangat hatihati. Artinya ia tidak
diletakkan di sembarang tempat, dan bentuk vista itu sendiri memiliki
maknanya sendiri-sendiri. Seringkali kita jumpai dalam bentuk obelisk
atau patung di akhir koridor jalan. Dalam hal ini, vista menyimbolkan
seusatu, memiliki maksud dari kehadirannya di tempat itu. 3) bangunan
tunggal memang diletakkan pada struktur ruang yang koheren, dengan
pendekatan
arsitektural
yang
terkait,
melalui
bentuk-bentuk
pengulangan dari basic elevation design. 4) Giedion turut mengatakan
bahwa teori perspektif merupakan salah satu elemen dari sejarah seni,
yang merupakan suatu aturan yang tidak terpecahkan dari penampilan
Artistik Klasik.
Kedua, dari Morris (1994:162). sendiri, masih dalam cakupan wacana
yang sama. Menurut Morris, ada tiga hal utama dalam komponen desain
sebagai bagian dari pengaturan ruang: 1) Jalan Utama yang berbentuk
LURUS (sempurna), bisa dilihat di Paris (rute ke barat dari arah kerajaan),
dan juga model kota-kota baru seperti Versailles, Karlsruhe, St. Petersburg,
dan Washington! 2) bentuk gridiron, yang berbasis pada skala distrik. Ada
tiga fungsi bentuk gridiron yang dikemukakan disini: Satu, dan yang
paling umum: sebagai basis dari permukiman sub-urban, yang kedua,
membatasi pertumbuhan kota-kota baru, sedang yang ketiga, bentuk
grid merupakan bentuk kombinasi yang sesuai dengan bentuk jalan
utama yang lurus, sehingga bisa menjadi layout dari area perkotaan di
sekitarnya. Selain bentuknya yang efisien, dilihat dari aspek
keadilan dalam upaya pembagian atas penggunaan lahannya (hal ini
juga terkait dengan dunia industri di masa depan=spaciousness because
the lack of land), maka bentuk gridiron memiliki kegunaan lain dalam
mengutamakan konformitas, penyeragaman, sehingga memiliki kesan
monoton. 3) Enclosed Spaces (squares, piazza, and places), didasarkan
pada fungsi mobilitas perkotaan, maka ruang terbuka pada zaman
Renaissance dapat dikelompokkan berdasar 3 hal: 1) tempat ramai-

traffic space, sebagai elemen pergerakan dari sistem rute di perkotaan,


yg mana digunakan oleh semua pengendara/pejalan kaki; 2) kawasan
permukiman, dikhususkan pada lalu lintas untuk akses lokal dengan
tujuan fungsi sebagai tempat bagi apara pejalan kaki; 3) ruang
pedestrian, dikhususkan bagi pejalan kaki, kendaraan tidak
diperbolehkan masuk. Bangunan yang ada biasanya berupa: 1)
bangunan milik rakyat, atau tempat ibadah, 2) bangunan tempat
tinggal, 3) bangunan komersil/pasar.
Sesungguhnya, ketiga elemen (jalan utama, gridiron, dan ruang terbuka)
tadi terkait, saling terjalin dalam satu anyaman besar, dan diletakkan
atau dibangun dengan tujuan tertentu. Jalinan tersebut tidak berdiri
sendiri, melainkan koheren dan terhubung oleh sakralitas ruang.
Keterkaitan tersebut dapat memformulasikan bentuk tertentu, atau
sedang menunjukkan kita pada sesuatu. Pertama, jika jalinan tersebut
memformulasikan bentuk baru (yang biasanya cenderung berupa
bentuk geometris), maka ia memiliki tujuan untuk mengemukakan apa
yang tersembunyi di balik makna geometris tadi. Ada suatu penanda
yang biasanya terkadang diletakkan di pusat bentuk geometris tadi,
namun tidak selalu demikian adanya. Yang kedua, jalinan tiga elemen
tadi sedang memberitahukan kepada kita, siapa yang sedang berkuasa
atas masyarakat atau dengan kata lain, kekuatan apa yang sedang
mendominasi ruang tersebut? Jalanan utama yang berbentuk lurus, tidak
hanya menghubungkan satu ruang terbuka. Jalanan itu biasanya juga
menghubungkan ke fungsi bangunan yang lain, seperti gedung
pemerintahan (city hall), gereja, atau kuil sembahyang, atau entitas
yang lain. Tidakkah kalian tertarik untuk mencoba membuktikannya?
Bahkan, kita bisa melihatnya di Jogja, bukan? Setelah spiritualitas dibalik
realita fisik, struktur ruang yang dilihat daritautan fungsi dan struktur
merupakan poin kedua yang menjembatani Babylonia dan Roma (atau
sebenarnya: Mesir-Babylonia-Yunani-dan-Roma).
Seseorang yang memahami proses sejarah, tidak hanya melihat masalah
dari orientasi waktu, tempat kejadian, atau substansi (kedalaman
konteks), tapi juga AKTOR-nya. Siapakah aktor yang mampu
mengguncang dan menelusuri lorong waktu itu? Penuh konspirasi dan
misterius. Itulah kesan saya. Jika benar-benar terdapat orang atau
kelompok tertentu yang mampu memahami secara utuh tautan fungsi
dan struktur ruang, mereka pastilah bukan manusia biasa, ATAU mereka
mungkin memiliki informasi tertentu yang sengaja diturunkan sebagai
suatu ilmu, yang memang tidak bisa dipahami oleh setiap orang. Sampai
disini sudah pasti bisa menebak kan? Ini ulah Dan Brown. Pada novel

trilogi Da Vinci Code-Angles and Demonds-The Lost Symbol, Brown selalu


mengetengahkan tokoh kelompok. Biarawan Sion-Iluminati-FreeMason.
Sebagian orang menyangkal keberadaan mereka, sebagian lagi
percaya bahwa mereka punya tujuan mulia. Dalam hal ini, saya akan
menggunakan kacamata ilmu pengetahuan, alih-alih menggunakan
alasan konspirasi disini. (Tidak ada salahnya membaca trilogi ini sebagai
bagian dari pemahaman kita dalam dunia arsitektur dan juga
perencanaan kota). Apakah benar adanya, jika kelompok-kelompok
tersebut hadir, menjadi bagian dari ruang, dan pada akhirnya menjadi
bagian dari masa lalu atau bahkan masa depan kita? Itu pertanyaan
yang sulit dijawab. Tapi tidak ada salahnya jika kita belajar untuk
membaca simbol atau penanda yang mereka berikan. Faktanya,
mereka tersebar di sekeliling kita, hanya saja, tidak semua orang bisa
melihatnya. Ada dua hal disini. Yang pertama, seandainya benar
konsepsi struktur ruang suatu domain dipengaruhi oleh kelompok pemikir
tertentu, maka sudah barang tentu mereka memahami benar tautan
fungsi-struktur dalam [symbol-thought-referent], baik itu dalam semiotika
ataupun arsitektur! Mungkin tidak terlalu mengejutkan, karena saya
sudah sempat menjelaskan sebelumnya mengapa arsitektur dilibatkan
dalam hal ini. Yang saya pikirkan adalah, mengapa mereka benar-benar
ingin memindahkan kesatuan kota Roma ke tempat lain? Ke Washington,
hanya karena ingin menghadirkan Tuhan dalam kota baru mereka, atau
karena keterulangan itu sendiri merupakan sebuah simbol yang
menyiratkan sesuatu. Yang kedua, hegemoni seperti apa yang ingin
ditandaskan dari kehadiran pemikir dan konsep ruang yang dicitrakan
dengan sempurna tersebut? Duplikasi merupakan indikasinya. Duplikasi
atau keterulangan mencirikan keberlangsungan, atau dengan kata lain,
sebuah proses kelanggenan.
Washington
Charles Pierre L'Enfant dan Washington. Saya ingin teman-teman
membaca kalimat sebelumnya dengan mengintrepetasikan kata
'Washington' sebagai George Washington, Presiden Amerika paling
cerdas; dan bukan sebagai nama kota.
Disini kita melihat bagaimana aktor berperan penting, siapapun itu
aktornya. Tapi coba perhatikan baik-baik bagaimana morfologi kota ini
disusun dan ditempatkan. Washington dan Potomac River bukanlah
unsur yang kebetulan. Segitiga pengait antara Obelisk Washington
Monument, Capitol Hill, dan White House, bukan suatu kebetulan biasa.
Begitu juga dengan kota Washington dan Roma yang tidak bisa
dianggap sebagai keisengan belaka.

Sebuah Penutup
Tidak ada keterulangan yang benar-benar sama, meski maksud
besarnya sama, karena punya tujuan yang sama dalam hal penyatuan
terhadap alam atau Tuhan. Namun setiap peradaban memiliki caranya
sendiri untuk mengintrepetasikan suatu makna. Hal inilah yang sedang
dicari oleh diri kita saat ini.
Keterhubungan makna, baik itu yang berhubungan dengan masa lalu,
masa kini, dan masa depan, tersembunyi dalam peletakan simbol, belum
tentu pada simbol itu sendiri. Karena pada dasarnya simbol adalah
bagian dari keterulangan. Peletakan atau yang berkaitan dengan posisi,
memiliki unsur penting menyangkut fungsi dan struktur. Fungsi atau
kegunaan dalam suatu ruang dapat diakibatkan oleh represipersepsidan juga proses keterulangan. Pemahaman yang terulang tidak lagi
disengaja namun lebih dikarenakan oleh faktor kekuasaan yang menjadi
tradisi.
Fungsi merupakan kesepakatan dari subjektivitas keterulangan tersebut.
Fungsi tidak tercipta dengan sendirinya. Ia bersandar pada konteks
rasionalitas keruangan dan sistem berpikir dari tradisi peradaban.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana fungsi tersebut pada akhirnya
bisa distrukturkan dalam mekanisme ruang? Mengapa struktur tersebut
ada dan diperlukan? Dan ternyata, dari keterkaitan antara fungsi dan
struktur tersebut mampu menyimbolkan sesuatu? Orang-orang yang
mampu memahami tautan fungsi dan struktur mungkin akan melihat
sesuatu yang berbeda dengan orang lain. Orang-orang yang memiliki
sipnopsis utuh mengenai fungsi dan struktur akan memperlakukan simbolsimbol dengan cara yang berbeda, dan itulah sebabnya mengapa
mereka memainkan fungsi dan struktur dalam sistem keruangan!
Sebaliknya, orang-orang yang cenderung melupakan fungsi dan struktur
adalah orang-orang yang sedang berusaha mengaburkan makna
sesungguhnya; yakni hakikat diri manusia yang sesungguhnya terhadap
proses penyatuan alam, dan tentu saja pada Tuhan.
Now we are perhaps already lost of sensing;
we do not know how to feel the power of space, or the spirit of space...
do we?
--Ditulis oleh Jeki Trimarstuti (3 September 2010)
--jmars31@naver.com

References:
Anonim, 1974. Encyclopedia of Urban Planning, Editor in Chief: Arnold
Whittick. McGraw Hill Book Company. New York
Eisner, Simon, Arthur Gallieon, dan Stanley Eisner. 1993. Urban Pattern,
Sixth Edition. Van Norstrand Reinhold. New York
Klassen, William. 1990. Architecture and Philosophy. University of San
Carlos. Cebu City
Morris, A.E.J. 1994. History of Urban Form, Before The Industrial Revolutions
Third Edition. Longman Scientific and Technical. New York
Schulz, Christian Norberg. 1984. Genius Loci, Towards A Phenomenology
of Architecture. Rizzoli: New York
http://www.mythencyclopedia.com/Pr-Sa/Romulus-and-Remus.html

Anda mungkin juga menyukai