PENULIS
1. LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki sejarah panjang penyamakan kulit dengan para produsen dalam
negeri yang sebagian besar menggunakan kulit sapi, kerbau, domba dan kambing dalam
proses produksinya. Penyamak kelas menengah hingga besar berada di sejumlah daerah
di seluruh pulau Jawa, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat (Cianjur, Bogor dan Bandung),
Jawa Tengah (Yogyakarta, Solo, Semarang) dan Jawa Timur (Malang, Pasuruan, Sidoarjo
dan Surabaya); sementara penyamakan rumahan sebagian besar berada di Jawa Barat
(Garut) dan Jawa Timur (Magetan). Perusahaan penyamakan tersebut berbeda dalam hal
besar dan kemampuan teknologinya. Sekitar 25-30% dari mereka memiliki peralatan
yang dibutuhkan untuk mengotomatiskan semua langkah penting untuk memproduksi
kulit jadi (seperti cutting, stretching, dying, buffing, dsb). Sisanya sebesar 70-75% dapat
dikategorikan sebagai penyamakan industri rumah tangga yang bergantung pada
karyawan untuk melakukan proses yang sama secara manual atau dengan tangan.
Setelah sempat terpuruk selama sepuluh tahun terakhir, industri perkulitan Indonesia
kini mulai membaik, ini dapat dilihat dari nilai ekspor tahun 2005 yang mencapai 102,8
juta dollar AS, dan naik menjadi 139,6 juta dollar AS dan sampai bulan september tahun
2007 nilai ekspor mencapai 135,9 juta dollar AS. Masa-masa sulit yang dihadapi industri
perkulitan itu bisa disebabkan berbagai faktor, antara lain karena kurang tegasnya
pemerintah dalam membuat aturan yang melarang ekspor kulit mentah dan setengah jadi.
Sementara impor bahan baku kulit sempat berkurang akibat isu penyakit pada sapi.
2. MASALAH DAN TUJUAN
- Masalah
1) Bagaimana sistem pengadaan bahan baku yang dilakukan perusahaan ?
2) Bagaimana sistem pengendalian persediaan bahan baku yang selama ini dilakukan
perusahaan ?
3) Apakah ada alternatif metode pengendalian persediaan bahan baku yang optimal
bagi perusahaan dalam rangka mencapai biaya minimum ?
-
Tujuan
Tujuan Penelitian adalah Menganalisis apakah PT. Mastrotto Indonesia telah
melakukan pengendalian persediaan bahan bakunya secara optimal, sehingga
1
diperoleh biaya pemesanan dan penyimpanan yang minimum dan Menyusun alternatif
metode pengendalian persediaan bahan baku bagi perusahaan yang lebih baik
3. PENELITIAN TERDAHULU BESERTA VARIABEL
Suprehatin (2002), melakukan penelitian tentang sistem pengadaan dan persediaan
bahan baku rotan. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode MRP terdiri dari
teknik LFL, EOQ dan teknik PPB. Berdasarkan perbandingan pengendalian persediaan
antara metode perusahaan dengan ketiga teknik tersebut, diperoleh hasil bahwa metode
perusahaaan relatif lebih besar mengeluarkan biaya persediaannya dibandingkan dengan
ketiga metyode MRP tersebut. Secara keseluruhan berdasarkan analisis perbandingan dan
analisis penghematan antar metode MRP, teknik PPB bisa direkomendasikan sebagai
alternatif pengendalian persediaan bahan baku bagi perusahaan.
Kurniasari (2000), melakukan penelitian di PT Indricipta Aditama yang bergerak
dibidang usaha produksi sepatu kulit, menganalisis system pengendalian bahan baku
menggunakan MRP derngan tiga teknik yaitu LFL, EOQ dan PPB. Kesimpulan dari hasil
penelitian ini dengan penerapan metode MRP pada perusahaan dapat menghemat jumlah
dan biaya pembelian serta pemesanannya. Dari hasil perbandingan teknik yang
digunakan, total biaya persediaan yang dapat dihemat adalah 74% dengan menggunakan
teknik LFL, 49,2 % dengan EOQ dan 69% dengan teknik PPB.
Widyastuti (2001), melakukan penelitian tentang system pengendalian persediaan
bahan baku susu kental manis di PT Indolakto, Sukabumi memperoleh hasil bahwa
system pengendalian persediaan bahan baku yang dilakukan oleh perusahaan selama ini
berdasarkan pengalaman pada masa lampau dimana perusahaan belum menggunakan
metode yang khusus seperti EOQ, MRP atau Just in Time (JIT), salah satu cara yang
dilakukan oleh perusahaan dalam hal ini adalah dengan control stock untuk masingmasing bahan baku. Penelitian ini memperoleh bahwa frequensi pemesanan yang optimal
menurut metode EOQ adalah 85 kali, gula 72 kali dan Milk Powder 21 kali. persediaan
pengaman yang ditetapkan oleh perusahaan juga melebihi persediaan pengaman yang
optimal, sehingga biaya penyimpanan tidak optimal.
4. LANDASAN TEORI
4.1 Persediaan
- Definisi Persediaan
Pengertian persediaan menurut Kusuma (2001) adalah barang yang disimpan untuk
digunakan atau dijual pada periode mendatang. Persediaan dapat berbentuk bahan
baku yang disimpan untuk diproses, komponen yang diproses, barang dalam proses
-
8)
b. Biaya pemesanan atau pembelian (ordering costs atau procurement costs) Biayabiaya ini meliputi :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
c. Biaya penyiapan (manufacturing) atau set-up cost. Hal ini terjadi apabila bahanbahan tidak dibeli, tetapi diproduksi sendiri dalam pabrik perusahaan, perusahaan
menghadapi biaya penyiapan (set-up costs) untuk memproduksi komponen tertentu.
Biaya-biaya ini terdiri dari :
1)
2)
3)
4)
d. Biaya kehabisan atau kekurangan bahan (shortage costs) Adalah biaya yang timbul
apabila persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan. Biaya-biaya yang
termasuk biaya kekurangan bahan adalah sebagai berikut :
1) Kehilangan penjualan
2) Kehilangan pelanggan
3) Biaya pemesanan khusus
4) Biaya ekspedisi
5) Selisih harga
6) Terganggunya operasi
7) Tambahan pengeluaran kegiatan manajerial dan sebagainya.
Pengendalian Persediaan
Menurut Kusuma (2004), terdapat beberapa keadaan yang memerlukan perhatian
lebih, misalkan jika besaran yang digunakan dalam rencana jumlah persediaan ideal
berubah maka solusi optimalnya juga berubah. Selanjutnya perlu dibahas penerapan
perusahaan terhadap suatu barang ditentukan oleh banyak faktor. Diantara faktorfaktor tersebut yang paling penting adalah :
1) Harga barang itu sendiri
2) Harga barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut
3) Pendapatan rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat
4) Corak distribusi pendapatan dalam masyarakat
5) Cita rasa masyarakat
6) Jumlah penduduk
7) Ramalan mengenai keadaan di masa yang akan datang
4.5 Klasifikasi Persediaan
Menurut Indrajit dan Pranoto (2003) barang persediaan dapat dibagi atas beberapa
jenis atau klasifikasi. Sekurang-kurangnya ada enam klasifikasi utama, yaitu
1) Bahan baku (raw material) Bahan mentah yang belum diolah, yang akan diolah
menjadi barang jadi, sebagai hasil utama dari perusahaan yang bersangkutan.
2) Barang setengah jadi (semi finished product) Hasil olahan bahan mentah sebelum
menjadi barang jadi, yang sebagian akan diolah lebih lanjut menjadi barang jadi,
dan sebagian kadang-kadang dijual seperti apa adanya untuk menjadi bahan baku
perusahaan lain.
3) Barang jadi (finished product) Barang yang sudah selesai diproduksi atau diolah,
yang merupakan hasil utama perusahaan yang bersangkutan dan siap untuk
dipasarkan/dijual.
4) Barang umum dan suku cadang (general materials and spare parts) Segala jenis
barang atau suku cadang yang digunakan untuk operasi menjalankan
perusahaan/pabrik dan untuk memelihara peralatan yang digunakan. Seringkali
barang persediaan jenis ini disebut juga barang pemeliharaan, perbaikan, dan
operasi, atau MRO materials (maintenance, repair and operation).
5) Barang untuk proyek (work in progress) Barang-barang yang ditumpuk menunggu
pemasangan dalam suatu proyek baru.
6) Barang dagangan (commodities) Barang yang dibeli, sudah merupakan barang jadi
pasti dari para pelanggan. Persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi
permintaan konsumen yang tidak dapat diperkirakan atau diramalkan disebut
fluctuacion stock.
2) Fungsi Economic Lot Sizing Persediaan lot size ini perlu mempertimbangkan
dapat diperkirakan dan diramalkan berdasar pengalaman atau data-data masa lalu,
yaitu permintaan musiman. Dalam hal ini perusahaan dapat mengadakan
persediaan musiman (seasional inventories).
4.7 Material Requirement Planning (MRP)
juga harus dipertimbangkan. Perlu juga diketahui bagaimana kondisi pesanan pembelian
antara perusahaan dan pemasok, kapasitas penyimpanan yang tersedia dan proses
pencatatan bahan baku yang dilakukan.
Langkah selanjutnya adalah penentuan bahan baku pokok perusahaan yang akan
sangat berguna dalam analisis pengendalian bahan baku. Hal ini dikarenakan dengan
melakukan pengendalian persediaan atas bahan baku pokok akan berarti melakukan
pengendalian atas biaya yang cukup besar.
6. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Klasifikasi Bahan Baku
Bahan yang digunakan untuk pembuatan kulit samakan adalah grain dan split. Grain
adalah bagian luar dari kulit, mempunyai pori-pori dan corak kerutan yang khas dari
kulit. Sedangkan split adalah bagian dalam dari kulit, kedua bahan tersebut dipisahkan
melalui suatu proses dengan menggunakan mesin yang disebut splitting.
Grain dan split yang digunakan selama ini terpaksa harus mengimpor dari negara luar,
karena ketidaktersediaan kedua bahan baku tersebut di dalam negeri, PT Mastrotto
Indonesia memperoleh bahan baku tersebut dari Mastrotto Italia dan Mastrotto Brasil,
selain itu ada beberapa pemasok atau suplier yang masih aktif hingga sekarang
6.2 Biaya Persediaan
Total biaya pemesanan per pesanan terbesar bahan baku yang paling besar
adalah pada biaya transportasi yaitu sebesar Rp 675.000 atau sebesar 58.2 persen dari
total biaya pemesanan. Sedangkan untuk biaya administrasi sebesar Rp 250.000 atau
21.5 persen dari total, dan biaya komunikasi sebesar Rp 235.400 atau 20.3 persen dari
total biaya pesanan untuk satu kali pesan.
Komponen biaya penyimpanan PT Mastrotto Indonesia meliputi biaya
opportunity cost, biaya gaji pegawai gudang, biaya gudang dan penyusutan serta
biaya Asuransi persediaan. opportunity cost adalah biaya yang terjadi karena
kehilangan pendapatan berupa bunga bank yang seharusnya diperoleh oleh
perusahaan karena uang yang ada digunakan untuk membeli persediaan. opportunity
cost yang dibebankan perusahaan selama tahun 2007 ditentukan oleh tingkat suku
bunga rata-rata investasi di bank, berdasarkan data dari Bank Indonesia besar suku
bunga rata-rata investasi antara bulan Januari 2007 sampai Desember 2007 sebesar
8.64 persen dengan harga rata-rata pembelian grain dan split masing-masing adalah
Rp 10.216 / sqf dan Rp 5.893 / sqf.
Komponen opportunity cost termasuk biaya yang relevan dalam perhitungan
biaya penyimpanan. Pada bahan baku grain sebesar Rp 1.120.043.208.000 /tahun, dan
split sebesar Rp 99.920.003.340 /tahun. Perbedaan nilai opportunity cost kedua bahan
7
baku ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu harga rata-rata per sqf grain (Rp 10.216)
dan per sqf split (Rp 5.893) serta jumlah persediaan kedua bahan baku setiap
bulannya. Biaya penyimpanan ini diperoleh dari perkalian jumlah persediaan bahan
baku tiap bulan dengan harga bahan baku per square feet dan nilai suku bunga pada
tahun 2007, yaitu sebesar 103,68 persen dibagi dalam periode bulan.
Biaya opportunity cost untuk grain terendah adalah pada bulan Januari dengan
nilai sebesar (Rp 11.687.585.280) dan tertinggi adalah pada bulan Desember dengan
nilai sebesar (Rp 186.603.932.500). Hal yang sama dengan opportunity cost untuk
split terendah adalah pada bulan Januari dengan nilai sebesar (Rp 169.995.465,3) dan
tertinggi adalah pada bulan Desember dengan nilai sebesar (Rp 21.679.382.910).
Biaya opportunity cost timbul karena adanya investasi persediaan bahan baku yang
sangat dipengaruhi oleh harga per sqf bahan baku dan tingkat suku bunga Bank
Indonesia.
Biaya penyimpanan pada tahun 2007, perusahaan mengeluarkan biaya sebesar
Rp 749,61 / sqf per tahun, dimana biaya opportunity cost merupakan komponen
terbesar yaitu sebesar Rp 692,63 / sqf per tahun, kemudian disusul masing-masing
oleh asuransi persediaan, gaji pegawai gudang dan biaya gudang dan penyusutan.
6.3 Pemakaian Bahan Baku
Cara pemakaian bahan baku yang ada digudang PT Mastrotto Indonesia
memakai sistem FIFO (First in First out), dimana bahan baku yang pertama kali
masuk adalah bahan baku yang pertama kali akan digunakan terlebih dahulu.
Pemakaian bahan baku PT Mastrotto Indonesia secara umum berfluktuasi setiap
bulannya.
Pemakaian bahan baku bulanan rata-rata sebesar 4.174.237,50 sqf untuk grain
sedangkan untuk split sebesar 713.666,67 sqf. Jumlah tersebut diketahui dari
departemen marketing berdasarkan pesanan dari pelanggan, pada akhirnya PPIC
membuat rencana produksi (production plan) dengan terlebih dahulu disesuaikan
ketersediaan bahan baku di gudang dan besarnya kapasitas produksi perusahaan
Tingkat pemakaian bahan baku grain dan split dapat dilihat bahwa pemakaian
terbesar untuk kedua bahan baku tersebut adalah terjadi pada grain bulan Januari,
yaitu sebesar 7.472.900 sqf dan hal yang sama terjadi untuk split adalah juga pada
bulan Januari sebesar 1.417.280 sqf. Sedangkan pemakaian bahan baku terendah grain
dan split terjadi pada bulan Februari, masing-masing sebesar 3.118. 600 sqf dan split
tidak diproduksi sama sekali.
Peningkatan jumlah pemakaian bahan baku mengidentifikasikan bahwa
adanya kenaikan jumlah permintaan produk. Jumlah permintaan meningkat
8
sqf, sehingga perusahaan mempunyai persediaan akhir sebanyak 11.400.586 sqf, dan
begitu seterusnya, untuk Perkembangan persediaan bahan baku split PT Mastrotto
Indonesia selama tahun 2007 tersaji dalam tabel 13 di bawah ini.
Jumlah persediaan rata-rata grain lebih banyak dibandingkan dengan split, hal
itu disebabkan oleh pemesanan rata-rata grain lebih tinggi sebanyak 20.677.175 sqf
dan split hanya sebanyak 4.343.313 sqf. Hal ini disebabkan karena bahan grain lebih
disukai oleh konsumen, dan banyak dibutuhkan oleh industriindustri yang
berhubungan dengan kulit.
6.6 Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada PT Mastrotto Indonesia
Sistem pengendalian persediaan bahan baku pada perusahaan dimulai dengan
perencanaan produksi dari bagian marketing dan menghitung kebutuhan bahan baku
yang telah ditetapkan sebelumnya oleh bagian PPIC. Bagian PPIC (Production
Planning and Inventory Control) beserta semua bagian yang terkait dalam proses
produksi mengadakan rapat koordinasi untuk menyusun rencana produksi agar
kegiatan proses produksi dapat berjalan dengan lancar.
Di dalam rencana produksi berisi mengenai seberapa besar kebutuhan bahan
baku setiap bulannya sesuai dengan spesifikasi dari target penjualan selama satu tahun
ke depan. setelah diketahui kebutuhan rata-rata bahan baku untuk produksi sebulan,
kemudian bagian gudang dan prepare mengecek dan menghitung persediaan bahan
baku yang ada, sehingga diketahui kebutuhan bahan baku yang harus dipesan untuk
kebutuhan produksi selama satu bulan ditambah dengan persediaan untuk antisipasi
(Anticipation Stock) untuk tiga bulan ke depan.
Pengawasan persediaan bahan baku dilakukan satu minggu sekali oleh PPIC
dan bagian prepare, untuk mengetahui jumlah bahan baku yang dibutuhkan dalam
proses produksi berikutnya, kemudian untuk mengetahui apakah ada kekurangan
bahan atau tidak. Selama tahun 2007 PT Mastrotto Indonesia melakukan pembelian
sesuai dengan kebutuhan yang telah dihitung oleh PPIC dan prepare, Frequensi
pemesanan dan kuantitas pesanan dengan metode perusahaan. Frekuensi pemesanan
bahan baku grain sebanyak 172 kali, sedangkan untuk split hanya sebanyak 46 kali.
Sehingga setiap bulannya perusahaan harus melakukan pemesanan bahan baku,
seringnya melakukan pemesanan tersebut dikarenakan perusahaan membutuhkan
banyak bahan baku untuk mengejar target produksi. Perbedaaan jumlah frekuensi
pemesanan dan penggunaannya, menyebabkan kuantitas pemesanan berbeda pula.
Kuantitas pesanan untuk bahan baku grain sepanjang tahun 2007 adalah sebanyak
248.126.100 sqf, sedangkan untuk bahan baku split sebanyak 52.119.750 sqf. Tinggi
10
tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 1.062.960 sqf. Hal ini disebabkan adanya
permintaan dari pelanggan yang bersifat musiman. Teknik Lot for Lot ini jika
dibandingkan dengan metode perusahaan memiliki kuantitas pemesanan yang lebih
rendah dibanding dengan metode perusahaan. Hal ini disebabkan karena teknik LFL
bersifat mengurangi biaya penyimpanan dan berusaha untuk melakukan pemesanan
tepat sesuai dengan kebutuhan bersihnya. Total biaya pemesanan bahan baku grain
dan split dengan metode ini sebesar masing-masing Rp 39.453.600,- dan Rp
51.040.000.,. Biaya penyimpanan tertinggi pada grain sebesar Rp 2.187.003.734,-,
sedangkan pada split sebesar Rp 543.307.524,7,-. Biaya penyimpanan LFL lebih
rendah dari metode perusahaan
6.10 Metode MRP Teknik EOQ
Kuantitas pesanan tertinggi bahan baku grain terjadi pada bulan Mei, Juli,
Agustus, September dan November sebesar 4.725.556,2 sqf, sedangkan pada split
kuantitas tertinggi terjadi pada bulan Januari, April, Mei, Agustus dan November
sebesar 976.971,9 sqf. Hal ini disebabkan adanya permintaan dari pelanggan yang
bersifat musiman. Teknik EOQ ini jika dibandingkan dengan metode perusahaan juga
memiliki kuantitas pemesanan yang lebih rendah dibanding dengan metode
perusahaan. Hal ini disebabkan karena teknik EOQ merupakan kuantitas optimal
dalam melakukan pemesanan. Total biaya pemesanan bahan baku grain dan split
dengan metode ini sebesar masing-masing Rp 34.812.000,- dan Rp 29.010.000.,
Total biaya persediaan dengan menggunakan metode MRP tenik EOQ pada
grain sebesar Rp 1.219.566.217,- lebih kecil jika dibandingkan metode MRP dengan
teknik LFL pada grain sebesar Rp 2.226.457.334,-. Sedangkan untuk split teknik EOQ
juga menghasilkan biaya persediaan yang lebih kecil yaitu sebesar Rp 184.561.393,2,dibandingkan dengan teknik LFL sebesar Rp 594.347.524,7,-. Penerapan metode
EOQ menghasilkan frekuensi pemesanan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan
teknik LFL dan metode perusahaan, yaitu sebanyak 30 kali untuk grain dan 25 kali
untuk split. Biaya penyimpanan tertinggi pada grain sebesar Rp 1.184.754.217,-,
sedangkan pada split sebesar Rp 155.551.393,2,-. Biaya penyimpanan EOQ lebih
rendah dari teknik LFL dan metode perusahaan. Hal ini karena jumlah persediaan di
tangan lebih besar akibat pemesanan kuantitas ekonomi.
6.11 Analisis Model Pengendalian Persediaan
Frekuensi pemesanan 172 kali yang dilakukan perusahaan merupakan yang
tertinggi, karena perusahaan melakukan pemesanan setiap minggunya, sedangkan
pada metode MRP teknik LFL sebanyak 34 kali, pemesanan dilakukan pada saat stok
12
persediaan habis dan jumlah pemesanan dilakukan sesuai dengan kebutuhan bersih
grain tanpa memperhatikan persediaan cadangan yang harus disimpan perusahaan.
Pada metode MRP teknik EOQ frekuensi pemesanan sebanyak 30 kali, dikarenakan
jumlah persediaan ditangan lebih besar akibat dari pemesanan kuantitas ekonomi.
Frekuensi pemesanan 46 kali yang dilakukan perusahaan merupakan yang
tertinggi, karena perusahaan melakukan pemesanan setiap minggunya, sedangkan
pada metode MRP teknik LFL sebanyak 44 kali, pemesanan dilakukan pada saat stok
persediaan habis dan jumlah pemesanan dilakukan sesuai dengan kebutuhan bersih
grain tanpa memperhatikan persediaan cadangan yang harus disimpan perusahaan.
Pada metode MRP teknik EOQ frekuensi pemesanan sebanyak 25 kali, dikarenakan
jumlah persediaan ditangan lebih besar akibat dari pemesanan kuantitas ekonomi.
Biaya pemesanan tertinggi terdapat pada metode perusahaan sebesar Rp
199.948.800 untuk grain dan Rp 53.378.400 untuk split, dan terendah terdapat pada
teknik EOQ sebesar Rp 34.812.000 untuk grain dan Rp 29.010.000 untuk split.Hal ini
disebabkan oleh frekuensi pemesanan pada teknik EOQ lebih rendah dibandingkan
dengan metode perusahaan dan teknik LFL. Biaya penyimpanan tertinggi terdapat
pada metode perusahaan sebesar Rp 79.401.225.800 untuk grain dan Rp
12.287.266.620 untuk split, sedangkan biaya penyimpanan terendah terdapat pada
teknik EOQ sebesar Rp 1.184.754.217 untuk grain dan Rp 155.551.393,2 untuk split.
Begitupun pula dengan biaya persediaan tertinggi pada metode perusahaan sedangkan
yang terendah adalah pada teknik EOQ. Hal ini disebabkan oleh jumlah persediaan
pada teknik EOQ lebih sedikit, akibat kuantitas pemesanan ekonomis.
Kedua alternatif teknik pengukuran lot dalam metode MRP memiliki
keunggulan dan kelemahan. MRP teknik LFL merupakan teknik yang konsisten
dengan ukuran lot yang kecil, pesanan berkala, persediaan tepat waktu tanpa
persediaan pengaman dan permintaan terikat yang telah diketahui sebelumnya.
7. KESIMPULAN
Persediaan bahan baku pada PT Mastrotto Indonesia berfungsi sebagai anticipation
stock, dimana persediaan bahan baku diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan
yang dapat diramalkan berdasarkan pola musiman serta untuk mengantisipasi
ketidakpastian dari pemasok. Pengendalian persediaan bahan baku pada PT Mastrotto
Indonesia dilakukan dengan menerapkan FIFO (First in First out) dimana bahan baku
yang pertama kali masuk adalah yang pertama kali diproduksi dan sejumlah bahan baku
13
akan ditambahkan agar jumlah persediaan tetap berada pada tingkat persediaan yang telah
ditentukan. Tingkat persediaan bahan baku perusahaan adalah sebesar kebutuhan tiga
bulan produksi. Rata-rata dari persediaan perusahaan selama periode pengamatan (Januari
2007- Desember 2007) adalah sebesar 105.919.142,3 sqf untuk bahan grain dan
12.340.645.020 sqf untuk bahan split.
Hasil perbandingan biaya adalah Biaya pemesanan tertinggi terdapat pada metode
perusahaan sebesar Rp 199.948.800 untuk grain dan Rp 53.378.400 untuk split, dan
terendah terdapat pada teknik EOQ sebesar Rp 34.812.000 untuk grain dan Rp
29.010.000 untuk split. Hal ini disebabkan oleh frekuensi pemesanan pada teknik EOQ
lebih rendah dibandingkan dengan metode perusahaan dan teknik LFL. Biaya
penyimpanan tertinggi terdapat pada metode perusahaan sebesar Rp 79.401.225.800
untuk grain dan Rp 12.287.266.620 untuk split, sedangkan biaya penyimpanan terendah
terdapat pada teknik EOQ sebesar Rp 1.184.754.217 untuk grain dan Rp 155.551.393,2
untuk split. Biaya persediaan tertinggi pada metode perusahaan sebesar Rp
79.600.814.600,- sedangkan yang terendah adalah pada teknik EOQ sebesar Rp
1.219.566.217,-.
Secara keseluruhan berdasarkan hasil analisis antara metode perusahaan dengan
metode MRP teknik LFL dan EOQ pada keseluruhan bahan bakunya, dapat disimpulkan
bahwa teknik EOQ mengalami penghematan yang tinggi pada biaya persediaan. Teknik
ini digunakan dalam penentuan kuantitas pesanan persediaan yang meminimumkan biaya
penyimpanan dan pemesanan. Sehingga teknik ini dapat direkomendasikan sebagai
alternatif pengendalian persediaan bahan baku grain dan split. Namun, penggunaan teknik
ini harus disesuaikan dengan kebijakan dan kondisi perusahaan itu sendiri.
14