Anda di halaman 1dari 20

DRAFT PROPOSAL

Kepemimpinan Transformasional dan Kreativitas Karyawan


Di Mediasi Peran oleh Creative Self-Efficacy dan di Moderasi Peran oleh Leader
Support
Didik Darmadi
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Indonesia
Jurnal acuan utama
1. Judul
: Leader behaviours and the work environment for creativity: perceived
leader support
Ditulis Oleh : Teresa M. Amabile, Elizabeth A. Schatzel, Giovanni B. Moneta, dan
Steven J. Kramer.
Tahun
: 2004
2. Judul
Ditulis oleh
Tahun
3. Judul
Ditulis oleh
Tahun
4. Judul
Ditulis oleh
Tahun

: Creative self-efficacy: its potential antecedents and relationship to


creative performance
: P. Tierney, dan S.M Farmer.
: 2002
: Transformational leadership and employee creativity: Mediating role
of creative self-efficacy and moderating role of knowledge sharing.
: Swati Mittal Rajib Lochan Dhar
: 2015
: Transformational leadership, leader support, and employee creativity.
: Millissa F.Y. Cheung dan Chi-Sum Wong.
: 2011

Introduction
Sumber daya manusia menjadi salah satu sumber daya yang penting bagi sebuah
organisasi. Ketika sebuah organisasi menghadapi persaingan yang ketat maka bisa jadi
peranan sumber daya manusia tersebutlah yang dapat menjadi solusi untuk meningkatkan
daya saing atau keunggulan kompetitif atas organisasi lainnya. Peranan penting sumber daya
manusia tersebut contohnya adalah mendapatkan ide-ide baru dari pemecahan masalah yang
berguna, yang mana hal tersebut mengenai pembentukan produk, jasa, proses maupun
prosedur dalam organisasinya. Hal tersebut juga sejalan dengan konsep kreativitas adalah
kunci untuk meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan. Kreativitas mengacu pada
generasi ide-ide baru dan berguna mengenai produk, jasa, proses, dan prosedur dalam
organisasi (Amabile, 1988; Amabile et al., 1996; Oldham dan Cummings, 1996; Zhou, 1988).
Oleh karena itu, peranan pengelolaan sumber daya tersebut juga menjadi prioritas organisasi
untuk dilakukan.
Organisasi perlu membangun lingkungan yang kreatif sehingga hasil karya kreatif
dapat membantu untuk mencapai keunggulan kompetitif atas organisasi lain (George dan
Zhou,2002; Oldham dan Cummings, 1996). Lemah atau unggulnya kreativitas manusia
dalam hal ini berarti karyawan didalam organisasi tersebut menjadi peran utama dalam

pembuatan strategi organisasi. Keunggulan kompetitiflah yang menjadi faktor utama


penentuan strategi organisasi tersebut, yang pada akhirnya, akan menentukan nasib menjadi
pemain utama, penantang, atau bahkan menjadi yang terseingkirk dalam bisnis pada industri
yang digelutinya. Seperti itulah gambaran utama secara singkat mengenai peran penting
pengelolaan sumber daya manusia utamanya dalam hal kreativitas karyawan yang memang
perlu kejelian pemimpin untuk merumuskannya.
Beberapa peneliti bahkan mempercayai bahwa kreativitas karyawan dapat berhasil dibina
oleh pemimpin dengan gaya kepemimpinan transformasional (Shin dan Zhou, 2003; Jaussi
dan Dionne, 2003). Kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai pendekatan
kepemimpinan yang dapat menyebabkan perubahan pada individu dan juga sistem sosial.
Selain itu dalam buku Leadership in Oranization edisi ke-7 karya Yulk Gary, pencetus
konsep kepemimpinan transformasional, Bass (1988) berpendapat bahwa pemimpin yang
bertrasformasi dan memotivasi pengikutnya dengan (1) membuat mereka lebih sadar akan
pentingnya hasil tugas, (2) mendorong mereka untuk melampaui kepentingan mereka sendiri
demi organisasi atau tim, dan (3) mengaktifkan kebutuhan tingkat tinggi mereka.

Transformational leadership is defined as a leadership approach that causes change in


individuals and social systems. In its ideal form, it creates valuable and positive change in the
followers with the end goal of developing followers into leaders. Enacted in its authentic
form, transformational leadership enhances the motivation, morale and performance of
followers through a variety of mechanisms. These include connecting the follower's sense of
identity and self to the mission and the collective identity of the organization; being a role
model for followers that inspires them; challenging followers to take greater ownership for
their work, and understanding the strengths and weaknesses of followers, so the leader can
align followers with tasks that optimize their performance

1. Peneliti seperti Tierney dan Farmer (2004) melaporkan bahwa untuk mempertahankan
pertumbuhan yang berkelanjutan dan sukses, organisasi perlu untuk mendukung
kreativitas karyawan dengan mengembangkan karyawan Creative Self-Efficacy
(CSE).
2.
3. Dalam menghadapi persaingan yang ketat, kreativitas adalah kunci untuk
meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan. Kreativitas mengacu pada generasi
ide-ide baru dan berguna mengenai produk, jasa, proses, dan prosedur dalam
organisasi (Amabile, 1988; Amabile et al., 1996; Oldham dan Cummings, 1996;
Zhou, 1988).
4. Organisasi perlu membangun lingkungan yang kreatif sehingga hasil karya kreatif
dapat membantu untuk mencapai keunggulan kompetitif atas organisasi lain (George
dan Zhou,2002; Oldham dan Cummings, 1996). Peneliti seperti Tierney dan Farmer
(2004) juga melaporkan bahwa untuk mempertahankan pertumbuhan yang

berkelanjutan dan sukses, organisasi perlu untuk mendukung kreativitas karyawan


dengan mengembangkan karyawan Creative Self-Efficacy (CSE).
5. Leader behavior
6. Beberapa peneliti percaya bahwa kreativitas karyawan dapat berhasil dibina oleh gaya
kepemimpinan transformasional (Shin dan Zhou, 2003; Jaussi dan Dionne, 2003).
Pemimpin terutama bekerja untuk memulai kemampuan kreatif karyawan sehingga
mereka dapat menemukan solusi kreatif untuk masalah (Boerner et al., 2007).
7. Leader Support adalah konsep lain yang berkaitan dengan kepemimpinan
transformasional. Menurut Amabile et al. (2004), perilaku dukungan pemimpin
meliputi dukungan tugas dan hubungan. Dukungan Pemimpin tugas melibatkan
memastikan kecukupan sumber daya, yang penting untuk pelaksanaan pekerjaan,
sedangkan dukungan hubungan berfokus pada perhatian pemimpin dengan kebutuhan
sosial-emosional karyawannya.
8. Self-efficacy juga dapat berfungsi sebagai ukuran untuk memprediksi kinerja kreatif
(Mumford dan Gustafson, 1988; Redmond et al.,1993). Bahkan, kepemimpinan
transformasional positif mempromosikan karyawan self-efficacy, sebagai pemimpin
transformasional memberikan persuasi verbal dan gairah psikologis untuk
mengembangkan karyawan self-efficacy (Bass, 1990; Dirks dan Ferrin2002; Rumah
dan Shamir, 1973; Podsakoff et al ., 1990).
9. Tierney dan Farmer (2002) memaparkan tentang teori Creative Self-Efficacy (CSE),
yang mengangkat ruang lingkup untuk menyertakan individu yang percaya pada
kemampuan mereka untuk menghasilkan ide-ide inovatif dan kreatif untuk hasil
organisasi.

Research Gap
Meskipun penelitian terakhir telah meneliti efek dari dukungan pemimpin umum pada
tingkat pengikut kreativitas (untuk contoh, lihat Andrews, 1967; Mumford et al.,
2002; Tierney et al., 1999), studi ini sebagian besar telah difokuskan pada isu-isu
dukungan pemimpin (Amabile et al., 2004) daripada sifat dukungan pemimpin. Barubaru ini, para peneliti telah mulai melihat ke dalam hubungan antara perilaku
kepemimpinan, seperti kepemimpinan transformasional dan kreativitas. Namun, hasil
yang beragam ditemukan (untuk contoh, Tierney, 2008, hlm 106;.Wang dan Rode,
2010).

Research Contributions
1. Temuan ini memberikan kontribusi untuk literatur kepemimpinan yang sifatnya
dukungan pemimpin mempromosikan tingkat karyawan kreativitas berbeda.
2. Penelitian ini juga memperkaya literatur kreativitas bahwa kepemimpinan
transformasional bergantung pada sifat dari dukungan pemimpin untuk
mempengaruhi tingkat kreativitas karyawan.
3. Secara praktis, temuan penelitian ini memberikan panduan yang lebih jelas untuk
praktisi pada apa yang dapat dilakukan para pemimpin dan bagaimana sifat dukungan
mereka dapat menjelaskan tingkat yang berbeda dari kreativitas karyawan.

Research Objective
1. Untuk menguji hubungan antara kepemimpinan transformasional dan kreativitas
karyawan;
2. Untuk menyelidiki efek dari dukungan tugas dan hubungan pemimpin dengan
kreativitas karyawan;
3. Untuk menguji pengaruh interaktif dari kepemimpinan transformasional dan leader
support dan creative self efficacy (CSE) pada kreativitas karyawan.

Research Model
Kepemimpinan
Transformasion
al

H1

Creative SelfEfficacy

Kreativitas
Karyawan

H2

H3
H4

H5
H6

Leader Task
Support
H7

Hipotesis

Variabel
Mediasi

Vocal
Variable

Leader
Relation
Support
Variabel
Moderator

Literature review and hypotheses development

Kreativitas (Vocal Variable)


1. Kreativitas mengacu pada kemampuan untuk menciptakan pengalaman baru dan hasil
yang konstruktif untuk masalah (Amabile,1983, 1988).
2. Kemampuan untuk menghasilkan hasil yang kreatif membutuhkan tekad untuk
menghadapi organisasi dan tantangan lingkungan (Bandura, 1986).
3. berbagai faktor berkontribusi pada generasi produk kreatif, baik di tingkat individu
dan organisasi (Mumford & Gustafson, 1988).
4.

Kepemimpinan transformasional

Konsep pertama kali mengenai kepemipinan yang bertransformasi pertama kali


dikemukakan oleh James McGregor Burns pada tahun 1878, seorang penulis buku yang
menjadi buku dengan penjualan terbaik saat itu mengenai kepemimpinan di bidang politik.
Burns sendiri adalah seroang anggota staff muda pada pemerintahan Presiden Roosevelt,
pada saat itu Burns membuat buku mengenai biografi Roosevelt, dari menulis buku itulah
maka muncul ide menulis buku mengenai kepemimpinan. Burns kemudian mengamati
beberapa pemimpin yang dianggap mempunyai kharisma dan mengasilkan karya-karya yang
luar biasa. Beberapa pemimpin yang menjadi obyek pengamatannya adalah Gandhi, Martin
Luther King, Hitler, Abraham Lincoln, dan Roosevelt. Dalam bukunya ditegaskan bahwa
pemimpin-pemimpin tersebut mentransformasikan para pengikutnya saling mengangkat satu
sama lain ke arah pencapaian yang baru dan telah terjadi pengembangan moral. Transforming
leadership appeals to the moral values of followers in an attempt to raise their consciousness
about ethical issues and to mobilize their energy and resources to reform institutions. Karya
Burns tersebutlah yang kemudian melahirkan sebuah paradigma baru mengenai
kepemimoinan. Pergeseran tersbut menjadikan cara berfikir lama (kepemimpinan
transaksional) menjadi usang, hal tersebut dikarenakan cara berfikir baru ini menjelaskan cara
berfikir lama dengan lebih baik.
Transformational leadership were strongly influenced by the ideas of Burns (1978),
but there has been more empirical research on the version of the theory formulated by Bass
(1985, 1996) than on any of the others. Transformational leadership is defined as a
leadership approach that causes change in individuals and social systems. In its ideal form, it
creates valuable and positive change in the followers with the end goal of developing
followers into leaders. Enacted in its authentic form, transformational leadership enhances the
motivation, morale and performance of followers through a variety of mechanisms. These
include connecting the follower's sense of identity and self to the mission and the collective
identity of the organization; being a role model for followers that inspires them; challenging
followers to take greater ownership for their work, and understanding the strengths and
weaknesses of followers, so the leader can align followers with tasks that optimize their
performance.
Kepemimpinan transformasional memotivasi dan menginspirasi karyawan dengan
meningkatkan kesadaran mereka mengenai arti pentingnya hasil tugas yang mereka lakukan,
mendorong mereka untuk melampaui kepenting mereka sendiri demi tujuan organisasi atau
tim, dan dengan menumbuhkan kebutuhan intriksik (kebutuhan tingkat tinggi berdasarkan
konsep Abraham Maslow) kepada karyawan (Bass, 1988). Dengan kepemimpinan
transformasional, para pengikut merasa dipercaya, merasa bangga, loyal atau setia, dan
merasa hormat kepada pemimpin, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari apa
yang diharapkan oleh pemimpin kepada mereka pada mulanya. Leadership in organization
Yulk Gary
Perumusan asli dari teori (Bass, 1985) termasuk tiga jenis perilaku transformasional:
idealized influence, intellectual stimulation, and individualized consideration.
a. idealized influence adalah perilaku yang membangkitkan emosi pengikut yang kuat
dan identifikasi dengan pemimpin. Menetapkan contoh keberanian dan dedikasi, dan
membuat diri pengorbanan untuk manfaat pengikut unit adalah contoh dari jenis
perilaku.
Pemimpin berusaha mempengaruhi bawahan dengan komunikasi langsung dengan
menekankan pentingnya nilai-nilai, komitmen dan keyakinan, serta memiliki tekad
untuk mencapai tujuan dengan tetap mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etik
dari setiap keputusan yang dibuat.

b. intellectual stimulation adalah perilaku yang meningkatkan kesadaran pengikut


masalah dan pengaruh pengikut untuk melihat masalah dari perspektif baru.
Pemimpin berusaha mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja dan
mencari cara-cara kerja baru dalam menyelesaikan tugasnya. Imajinasi, dipadu
dengan intuisi namun dikawal oleh logika dimanfaatkan oleh pemimpin ini dalam
mengajak bawahan berkreasi. Pemimpin transformasional menyadari bahwa sering
kali kepercayaan tertentu telah menghambat pola berpikir, oleh karenanya, pemimpin
transformasional mengajak bawahannya untuk mempertanyakan, meneliti, mengkaji
dan jika perlu mengganti kepercayaan itu.
c. individualized consideration termasuk memberikan dukungan, dorongan, dan
pembinaan untuk pengikut.
Pemimpin berusaha memberikan perhatian kepada bawahan dan menghargai sikap
bawahan terhadap organisasi Perilaku pemimpin transformasional, di mana ia
merenung, berpikir, dan selalu mengidentifikasi kebutuhan para bawahannya,
berusaha sekuat tenaga mengenali kemampuan karyawan, membangkitkan semangat
belajar pada para karyawannya, memberi kesempatan belajar seluas-luasnya, selalu
mendengar bawahannya dengan penuh perhatian, dan baginya adalah kunci
kesuksesan sebuah karya.
d. Inspirational Motivation
Pemimpin bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan melalui
pemberian arti, partisipasi dan tantangan terhadap tugas bawahan. Upaya pemimpin
transformasional dalam memberikan inspirasi para pengikutnya agar mencapai
kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbayangkan, ditantangnya bawahan
mencapai standar yang tinggi. Pemimpin transformasional akan mengajak bawahan
untuk memandang ancaman dan masalah sebagai kesempatan belajar dan berprestasi.
Oleh karenanya, pemimpin transformasional menciptakan budaya untuk berani salah,
karena kesalahan itu adalah awal dari pengalaman belajar segala sesuatu. Pemimpin
transformasional akan menggunakan simbol-simbol dan metafora untuk memotivasi
mereka, bicara dengan antusias dan optimis.
Revisi teori menambahkan perilaku transformasional lain yang disebut "inspirational
motivation, yang mencakup mengkomunikasikan visi menarik, dan menggunakan simbolsimbol untuk fokus upaya bawahan (Bass & Avolio, 1990a). Namun revisi lain oleh Bass dan
Avolio (1997) dibedakan antara influence behavior dan idealized influence attributions,
meskipun tidak jelas mengapa skala terakhir ini dipertahankan dalam kuesioner yang
dirancang untuk mengukur perilaku yang dapat diamati. Setiap peringkat perilaku
kepemimpinan rentan terhadap atribusi bias, terutama perilaku diyakini umumnya efektif,
sehingga perbedaan antara dikaitkan dan perilaku karisma membingungkan dan tidak perlu.

1. Studi tentang kepemimpinan transformasional telah memberikan wawasan besar ke


dalam efek pemimpin di organisasi, dengan menarik melalui perilaku visioner,
misalnya, memotivasi belajar, mendorong pertumbuhan dan memvisualisasikan masa
depan (Grant, 2012; Vera dan Crossan, 2004).
2. Faktor-Faktor Efektivitasan Kepemimpinan
a. Intrapersonal
i. Kecerdasan Kepemimpinan

Intelligensi merupakan aspek yang penting karena pemimpin


diharapkan mampu berfikir dan merespon cepat, dan memiliki
kesiapan mengakses informasi yang lebih dari orang lain
(Mangungsong, 2009).
ii. Peran Jenis Kelamin
Beberapa penulis yang menyatakan bahwa wanita mempunyai gaya
interaktif meliputi kepemimpinan yang lebih people-oriented dan
partisipatif. Mereka menyatakan bahwa wanita lebih relationshiporiented, koperatif, mengasuh, dan emosional dalam peran
kepemimpinan mereka. Lebih lanjut, mereka itu tegas dimana kualitas
ini membuat wanita khususnya cocok untuk peran kepemimpinan pada
waktu ketika perusahaan memakai perhatian lebih kuat pada tim dan
keterlibatan pekerja. Argumen ini sesuai dengan stereotipe peran seks,
yakni, bahwa pria cenderung lebih task-oriented sedangkan wanita
lebih people-oriented (Robbins, 2001).
Pemimpin pria dan wanita sama-sama people-oriented, tetapi
pemimpin wanita cenderung lebih partisipatif daripada pria. Studi
kepemimpinan pada setting bidang umumnya telah menemukan bahwa
pemimpin pria dan wanita tidak berbeda pada level task-oriented atau
kepemimpinan people-oriented (Robbins, 2001). Penjelasan utama
mengapa pria dan wanita tidak berbeda pada gaya ini adalah bahwa
dunia pekerjaan nyata memerlukan perilaku mirip dari pria dan wanita
yang sedang memegang jabatan (Robbins,2001).
Para sarjana menyatakan bahwa wanita mungkin lebih partisipatif
karena asuhan mereka telah membuat mereka lebih egalitarian dan
kurang status-oriented. Ada juga beberapa bukti bahwa wanita
mempunyai kemampuan interpersonal yang lebih baik daripada pria,
dan kemampuan ini mengubah ke dalam kegunaan gaya kepemimpinan
partisipatif yang relatif lebih besar. Penjelasan ketiga adalah bahwa
bawahan mengharapkan pemimpin wanita lebih otokratik, bawahan
mungkin mengeluh karena mereka mengharapkan eksekutif wanita
atau pemimpin tim menjadi partisipatif (Robbins, 2001). Apakah
wanita atau pria adalah pemimpin yang lebih baik tentunya bergantung
kepada individu dan pada keadaan spesifik.
iii. Faktor Edukasi
Kepemimpinan adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir.
Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi, menuju suatu
perubahan. Adanya perubahan menandakan terjadinya proses belajar.
Kepemimpinan juga memerlukan kemampuan belajar dalam
mentransformasi situasi yang sangat sulit. (Robbins, 2001).
b. Interpersonal
i. Gaya Kepemimpinan
Robbins (2001) mengemukakan pendekatan lebih baru sebagaimana
yang telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, yaitu teori Atribusi

Kepemimpinan, Kepemimpinan Karismatik dan Kepemimpinan


TransaksionalTransformasional. Teori-teori dari kepemimpinan yang
mungkin ini berasumsi bahwa pemimpin yang efektif harus memiliki
wawasan dan fleksibel. Mereka harus mampu menyesuaikan perilaku
dan gaya mereka ke situasi yang mendesak. Hal ini tidak mudah
dilakukan, namun biasanya pemimpin memiliki gaya pilihan.
Dibutuhkan banyak upaya bagi para pemimpin untuk belajar kapan dan
bagaimana untuk mengubah gaya mereka agar sesuai dengan situasi.
Seperti pemimpin harus memiliki kecerdasan emosional yang tinggi,
khususnya pemantauan kepribadian diri sendiri, sehingga mereka dapat
mendiagnosis keadaan dan menyesuaikan perilaku mereka (Hogg,
2002).
ii. Perilaku Kepemimpinan
Ketika kepribadian tidak menjadi penentu penting dalam kesuksesan
kepemimpinan, kita dapat melihat perilaku pemimpin. Dalam
serangkaian studi tentang interaksi gaya dalam kelompok, Bales
(Hogg, 2002) menyimpulkan bahwa peran dari task specialist dan
socio-emotional specialist merupakan peran kepemimpinan dalam
kelompok tetapi tidak ada individu yang dapat menempati kedua peran
secara berkesinambungan (Hogg, 2002). Task specialist cenderung
terlibat dan biasanya menawarkan pendapat dan memberikan petunjuk
dalam aspek task-oriented dalam kehidupan kelompok. Socioemotional specialist cenderung merespon dan member perhatian pada
perasaan anggota kelompok lainnya (Hogg, 2002). Pemimpin yang
tinggi dalam initiating structure menetapkan tujuan kelompok dan
mengatur kerja anggota untuk pencapaian tujuan. Pemimpin yang
tinggi dalam consideration memberi perhatian pada kesejahteraan
bawahan dan mencari hubungan harmonis dalam kelompok (Hogg,
2002). Penelitian dalam perilaku kepemmimpinan mengindikasikan
perbedaan antara orientasi kepemimpinan task dan socio-emotional.
Misumi dan Peterson mengidentifikasi dua fungsi serupa, task
performance dan group maintenance (Hogg, 2002). Mereka
menyatakan bahwa cara dimana fungsi ini diekspresikan berbeda dari
satu budaya ke budaya lain.
iii. Faktor Kultural
Pengertian kultural atau budaya mengacu pada perilaku yang dipelajari
yang menjadi karakter cara hidup secara total dari anggota suatu
masyarakat tertentu. kultur atau budaya terdiri dari nilai-nilai umum
yang dipegang dalam suatu kelompok manusia; merupakan satu set
norma, kebiasaan, nilai dan asumsiasumsi yang mengarahkan perilaku
kelompok tersebut. Kultur juga mempengaruhi nilai dan keyakinan
(belief) serta mempengaruhi gaya kepemimpinan dan hubungan
interpersonal seseorang (Nahavandi, 2000).
3. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Transformasional
Paradigma baru dari kepemimpinan transformasional mengangkat tujuh prinsip untuk
menciptakan kepemimpinan transformasional yang sinergis sebagaimana di bawah ini
(Rees, 2001) :

a. Simplifikasi
Keberhasilan dari kepemimpinan diawali dengan sebuah visi yang akan
menjadi cermin dan tujuan bersama. Kemampuan serta keterampilan dalam
mengungkapkan visi secara jelas, praktis dan tentu saja transformasional yang
dapat menjawab Kemana kita akan melangkah? menjadi hal pertama yang
penting untuk kita implementasikan.
b. Motivasi
Kemampuan untuk mendapatkan komitmen dari setiap orang yang terlibat
terhadap visi yang sudah dijelaskan adalah hal kedua yang perlu kita lakukan.
Pada saat pemimpin transformasional dapat menciptakan suatu sinergitas di
dalam organisasi, berarti seharusnya dia dapat pula mengoptimalkan,
memotivasi dan memberi energi kepada setiap pengikutnya. Praktisnya dapat
saja berupa tugas atau pekerjaan yang betul-betul menantang serta
memberikan peluang bagi mereka pula untuk terlibat dalam suatu proses
kreatif baik dalam hal memberikan usulan ataupun mengambil keputusan
dalam pemecahan masalah, sehingga hal ini pula akan memberikan nilai
tambah bagi mereka sendiri.
c. Fasilitasi
Dalam pengertian kemampuan untuk secara efektif memfasilitasi
pembelajaran yang terjadi di dalam organisasi secar kelembagaan,
kelompok, ataupun individual. Hal ini akan berdampak pada semakin
bertambahnya modal intektual dari setiap orang yang terlibat di dalamnya.
d. Inovasi
Kemampuan untuk secara berani dan bertanggung jawab melakukan suatu
perubahan bilamana diperlukan dan menjadi suatu tuntutan dengan perubahan
yang terjadi. Dalam suatu organisasi yang efektif dan efisien, setiap orang
yang terlibat perlu mengantisipasi perubahan dan seharusnya pula mereka
tidak takut akan perubahan tersebut. Dalam kasus tertentu, pemimpin
transformasional harus sigap merespon perubahan tanpa mengorbankan rasa
percaya dan tim kerja yang sudah dibangun.
e. Mobilitas
Pengerahan semua sumber daya yang ada untuk melengkapi dan memperkuat
setiap orang yang terlibat di dalamnya dalam mencapai visi dan tujuan.
Pemimpin transformasional akan selalu mengupayakan pengikut yang penuh
dengan tanggung jawab.
f. Siap Siaga
Kemampuan untuk selalu siap belajar tentang diri mereka sendiri dan
menyambut perubahan dengan paradigma baru yang positif.
g. Tekad
Tekad bulat untuk selalu sampai pada akhir, tekad bulat untuk menyelesaikan
sesuatu dengan baik dan tuntas. Untuk ini tentu perlu pula didukung oleh
pengembangan disiplin spiritualitas, emosi, dan fisik serta komitmen.
4. Karakteristik-Karakteristik Kepemimpinan Transformasional Karakteristik pemimpin
transformasional menurut Bass (dalam Yulk,1998) adalah :

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.

Menciptakan visi dan kekuatan misi


Menanamkan kebanggaan pada diri bawahan
Memperoleh dan memberikan penghormatan
Menumbuhkan kepercayaan di antara bawahan
Mengkomunikasikann harapan tertinggi
Menggunakan simbol untuk menekankan usaha tinggi
Mengeskpresikan tujuan penting dalam cara yang sederhana
Menumbuhkan dan meningkatkan kecerdasan, rasionalitas dan pemecahan
masalah secara hati-hati pada bawahan
Memberikan perhatian secara personal
Membimbing dan melayani tiap bawahan secara indivdual
Melatih dan memerikan saran-saran
Menggunakan dialog dan diskusi untuk mengembangkan potensi dan kinerja
bawahan

Devanna dan Tichy mengemukakan beberapa karakteristik dari pemimpin


transformasional yang efektif antara lain ( Luthans, 1995) :
a. Mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan
b. Mereka mendorong keberanian dan pengambilan resiko yang berhati-hati
c. Mereka percaya pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhankebutuhan mereka
d. Mereka dilandasi oleh nilai-nilai yang membimbing perilaku mereka
e. Mereka adalah seorang pembelajar sepanjang hidup (lifelongs learners)
bersifat fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dari pengalaman
f. Mereka memiliki keterampilan kognitif dan kemampuan untuk mengatasi
kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian
g. Mereka juga adalah seroang pemimpin yang visioner.

Kepemimpinan Transformasional dan kreatifitas


Hubungan antara kemepimpinan transformasional dengan kreativiras karyawan
1. Sejumlah besar penelitian telah dilakukan untuk mencoba memahami hubungan
antara gaya kepemimpinan yang berbeda dan dampaknya terhadap mempromosikan
kreativitas di kalangan karyawan (Mumford et al., 2002). Sementara sebagian besar
studi ini telah memberikan wawasan yang berharga, arah yang paling menjanjikan
telah disediakan dengan mempelajari peran kepemimpinan transformasional untuk
mempromosikan kreativitas karyawan; gaya kepemimpinan ini telah memperoleh
popularitas besar di antara para peneliti organisasi karena cara eksklusif dari inspirasi
pengikut (Gardner dan Avolio, 1998; Wang dan Cheng, 2010).
2. Menurut Bass dan Avolio (1995), kepemimpinan transformasional memiliki empat
dimensi, yaitu, pengaruh karismatik, pertimbangan individual, motivasi
inspirasional, dan stimulasi intelektual. Saya mengusulkan bahwa masing-masing
empat dimensi yang positif berkaitan dengan kreativitas pengikut.
a. Menggunakan pengaruh karismatik, pemimpin menanamkan kebanggaan,
iman, dan rasa hormat, memiliki hadiah untuk melihat apa yang benar-benar
penting, dan mengirimkan rasa misi (Hater dan Bass, 1988). Dalam situasi
seperti ini, pengikut dapat melakukan melampaui harapan dan diberi energi
untuk mencapai tujuan kerja yang lebih tinggi (Amabile et al., 1996; Amabile
et al.,2004; Jung. Et al, 2003). Dengan demikian, pemimpin transformasional

dapat mempengaruhi kreativitas karyawandengan membuat karyawan merasa


tertantang dan energi untuk mencari pendekatan baru dalam pekerjaan
mereka.
b. Melalui pertimbangan individual, pemimpin transformasional memperhatikan
kebutuhan perkembangan para karyawandan delegasi bekerja proyek dengan
cara yang merangsang pengalaman belajar (Hater dan Bass, 1988). Mengingat
bahwa pemimpin transformasional memberikan pengikut keleluasaan untuk
memenuhi kebutuhan perkembangan mereka dan bertindak sesuai, pengikut
cenderung pada gilirannya untuk mencurahkan lebih banyak waktu untuk
pekerjaan mereka karena perasaan ditingkatkan kebijaksanaan dan
penyediaan kesempatan diperkaya untuk menguji kemampuan kerja. Dengan
demikian, para pengikut dirangsang untuk mencapai tingkat kreativitas yang
tinggi.
c. Melalui motivasi inspirasional, pemimpin transformasional menggunakan
simbol dan banding emosional untuk memfokuskan upaya anggota kelompok
', sehingga mendorong mereka untuk mencapai lebih dari mereka akan
mendasarkan pada kepentingan diri mereka sendiri. Ketika pemimpin ini
menawarkan dorongan dalam proses generasi ide (Bass dan Avolio, 1995;
Sosik. Dkk, 1998), nya pengikut mungkin cenderung untuk bebas
mengekspresikan dan mengimplementasikan ide-ide karya baru mereka.
d. Melalui stimulasi intelektual, pemimpin membangkitkan pengikut untuk
berpikir dengan cara baru dan menekankan pemecahan masalah keterampilan
dan penggunaan penalaran sebelum mengambil tindakan (Hater dan Bass,
1988). Selain itu, pengikut didorong untuk menantang status quo dan
mempertanyakan asumsi lama, merumuskan masalah, memenuhi rasa ingin
tahu intelektual mereka, dan menggunakan imajinasi tak terbatas (Bass,
1985). Dalam konteks ini, pengikut lebih mungkin daripada yang lain lakukan
untuk fokus pada tugas itu sendiri bukan pada ancaman dari lingkungan kerja
eksternal. Oleh karena itu, para pengikut ini cenderung menggunakan
pendekatan konvensional untuk memikirkan masalah dan menghasilkan ideide baru, dan dengan demikian bekerja menuju tingkat kreativitas yang tinggi.
H1. Kepemimpinan transformasional secara positif berhubungan dengan kreativitas
karyawan.
Self-Efficacy
Self-efficacy adalah proses kognitif dimana seseorang mengevaluasi kemampuannya
untuk melakukan tugas tertentu (Bandura, 1997). Self-efficacy mengacu pada persepsi tentang
kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk
menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986).
1. Dimensi Self-efficacy
Bandura (1997) mengemukakan bahwa self-efficacy individu dapat dilihat dari tiga
dimensi, yaitu :
a. Tingkat (level)
Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat
kesulitan tugas. Individu memiliki self-efficacy yang tinggi pada tugas yang
mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan

membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki self-efficacy


yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai
dengan kemampuannya.
b. Keluasan (generality)
Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas
pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki self-efficacy pada
aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu
dengan self-efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang
sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki selfefficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam
menyelesaikan suatu tugas.
c. Kekuatan (strength)
Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau
kemantapan individu terhadap keyakinannya. Self-efficacy menunjukkan
bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai
dengan yang diharapkan individu. Self-efficacy menjadi dasar dirinya
melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.
2. Proses-proses Self-efficacy
Bandura (1997) menguraikan proses psikologis self-efficacy dalam mempengaruhi
fungsi manusia. Proses tersebut dapat dijelaskan melalui cara-cara dibawah ini :
a. Proses kognitif
Dalam melakukan tugas akademiknya, individu menetapkan tujuan dan
sasaran perilaku sehingga individu dapat merumuskan tindakan yang
tepatuntuk mencapai tujuan tersebut. Penetapan sasaran pribadi tersebut
dipengaruhi oleh penilaian individu akan kemampuan kognitifnya.
Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian-kejadian
sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada
aspek kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan individu dalam analisis
dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi,
maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan
cara untuk mengontrol kejadian yang mempengaruhi hidupnya. Keahlian ini
membutuhkan proses kognitif yang efektif dari berbagai macam informasi.
b. Proses motivasi
Motivasi individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk
mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri
dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan,
merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Terdapat beberapa macam
motivasi kognitif yang dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi penyebab
yang berasal dari teori atribusi dan pengharapan akan hasil yang terbentuk dari
teori nilai-pengharapan.
Self-efficacy mempengaruhi atribusi penyebab, dimana individu yang
memiliki self-efficacy akademik yang tinggi menilai kegagalannya dalam
mengerjakan tugas akademik disebabkan oleh kurangnya usaha, sedangkan

individu dengan self-efficacy yang rendah menilai kegagalannya disebabkan


oleh kurangnya kemampuan.
Teori nilai-pengharapan memandang bahwa motivasi diatur oleh pengharapan
akan hasil (outcome expectation) dan nilai hasil (outcome value) tersebut.
Outcome expectation merupakan suatu perkiraan bahwa perilaku atau tindakan
tertentu akan menyebabkan akibat yang khusus bagi individu. Hal tersebut
mengandung keyakinan tentang sejauhmana perilaku tertentu akan
menimbulkan konsekuensi tertentu. Outcome value adalah nilai yang
mempunyai arti dari konsekuensi-konsekuensi yang terjadi bila suatu perilaku
dilakukan. Individu harus memiliki outcome value yang tinggi untuk
mendukung outcome expectation.
c. Proses afeksi
Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam
menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditujukan dengan
mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola
pikir yang benar untuk mencapai tujuan.
Proses afeksi berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang timbul
pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kepercayaan
individu Universitas Sumatera Utara terhadap kemampuannya mempengaruhi
tingkat stres dan depresi yang dialami ketika menghadapi tugas yang sulit atau
bersifat mengancam. Individu yang yakin dirinya mampu mengontrol
ancaman tidak akan membangkitkan pola pikir yang mengganggu. Individu
yang tidak percaya akan kemampuannya yang dimiliki akan mengalami
kecemasan karena tidak mampu mengelola ancaman tersebut.
d. Proses seleksi
Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi
tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang
diharapkan. Ketidakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku
membuat individu tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika
menghadapi masalah atau situasi sulit. Self-efficacy dapat membentuk hidup
individu melalui pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan
mampu melaksanakan aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang
diyakini mampu menangani. Individu akan memelihara kompetensi, minat,
hubungan sosial atas pilihan yang ditentukan.
3. Ford (1996) menempatkan self-efficacy sebagai komponen kunci motivasi dalam
model tindakan kreatif individunya. Hubungan potensial self-efficacy dengan
kreativitas memang menjanjikan, namun masih sedikit perhatian penggunaan konsep
tersebut dalam konteks kreativitas dengan pengaturan organisasional (Tierney &
Farmer, 2002)
4. Tienrey dan Farmer (2002) kemudian melakukan penelitian lebih lanjut mengenai
self-efficacy secara khusus yang melahirkan konstruk creative self-efficacy. Dengan
mengembangkan model self-efficacy Gits dan Mitchel (1992), mereka mengusulkan
seperangkat faktor penentu self-efficacy yang teoritis berasal dari inegrasi literatur
tentang self-efficacy dan kreativitas. Penelitian tersebut juga sejalan dengan proposisi
Ford (1996) bahwa persepsi self-efficacy mempengaruhi kreativitas karyawan.

5. Bandura (1997) menyatakan bahwa ada beberapa jenis self-efficacy yang berperan
dalam domain kinerja yang diberikan. Pengukuran suatu keyakinan harus disesuaikan
dengan domain yang sedang dipelajari (Tierney & Farmer, 2002). Keyakinan dalam
kapabilitas tugas merupakan prasyarat untuk penyelesaian tugas dan menjadi kreatif
memerlukan domain pengetahuan dan keahlian, upaya kreatif membutuhkan
seperangkat keterampilan khusus untuk meghasilkan kreativitas (bandura, 1986;
Amabile, 1988)
6. Seseorang dimungkinkan dapat melakukan pekerjaan umum, tetapi tidak memiliki
kemampuan atau menganggap diri mereka tidak memiliki kemampuan untuk menjadi
kreatif dalam pekerjaan tersebut. Perbedaan kapasitas keyakinan terkait dengan
domain kinerja yang dipilih karyawan (kinerja yang kreatif atau baru vs kinerja yang
rutin atau biasa). Dengan demikian penelitian terhadap keyakinan sendiri diarahkan
pada pekerjaan individu yang di gambarkannya. Oleh kerena itu, creative self-efficacy
yang dibahas disini dengan self-efficacy secara umum yang mencerminkan keyakinan
seseorang akan kemampuannya diseluruh domain secara keseluruhan.
7. Karena kreativitas dalam konteks organisasi sering dijadikan pilihan, creative selfefficacy didefinisikan sebegai keyakinan seseorang memiliki kemampuan untuk
memproduksi hasil yang kreatif (Tierney & Farmer, 2002). Tierney dan farmer (2002)
menyebutkan ada dua sumber personal creative self-efficacy, yaitu pengetahuan
pekerjaan dan job self-efficacy serta dua sumber kontekstual, yaitu perilaku
supervisor dan kompleksitas kerja.
a. .
b. .
c. .
d. .
8. Bandura (1986, 1997) juga menyebutkan ada empat sumber penilaian keyakinan
individu yang dapat mempengaruhi creative self-efficacy, yaitu:
a. Vacarious learning
b. Verbal persuasion
c. Enactive mastery
d. Physiological arousal
9. Sumber-Sumber Self-efficacy
Bandura (1986) menjelaskan bahwa self-efficacy individu didasarkan pada empat hal,
yaitu:
a. Pengalaman akan kesuksesan
Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya
terhadap self-efficacy individu karena didasarkan pada pengalaman otentik.
Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan self-efficacy individu meningkat,
sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya self-efficacy,
khususnya jika kegagalan terjadi ketika self-efficacy individu belum benarbenar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan self-efficacy
individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau
pengaruh dari keadaan luar.
b. Pengalaman individu lain
Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan
kesuksesan sebagai sumber self-efficacynya. Self-efficacy juga dipengaruhi
oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan keberhasilan
individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan self-efficacy individu
tersebut pada bidang yang sama. Individu melakukan persuasi terhadap dirinya

dengan mengatakan jika individu lain dapat melakukannya dengan sukses,


maka individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan
baik. Pengamatan individu terhadap kegagalan yang dialami individu lain
meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan penilaian individu
terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu untuk
mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan yang memungkinkan self-efficacy
individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya
pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya
pemahaman individu akan kemampuannya sendiri.
c. Persuasi verbal
Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu
memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang
diinginkan.
d. Keadaan fisiologis
Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas
sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan
fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal
yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari.
Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan
gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinya berada
di atas kemampuannya.
10. Salah satu yang menjadi mediator potensial adalah creative self-efficacy yang telah
diuji secara empiris. Berdasarkan penelitian Tierney dan Farmer (2002:2004)
menyatakan bahwa, kreativitas karyawan dapat dihasilkan melalui creative selfefficacy. Dua sumber creative self-efficacy meliputi dua sumber pribadi dan sumber
kontekstual menjelaskan bahwa kreativitas karyawan bersumber dari peran
mengetahuan, job self-efficacy, perilaku supervisor dan kompleksitas pekerjaan.

Kepemimpinan Transformasional dan Creative Self-Efficacy

Leader Support and Creativity


1. Anehnya, kepemimpinan umumnya belum diperlakukan sebagai pengaruh penting
pada kreativitas (Mumford, Scott, Gaddis, & Aneh, 2002).
2. selama 30 tahun terakhir telah mendokumentasikan pentingnya dirasakan dukungan
pemimpin untuk kreativitas bawahan. (Untuk tinjauan, lihat Mumford et al., 2002.)
3. Dalam dua dekade terakhir, para peneliti telah mendokumentasikan pentingnya
dukungan pemimpin pada kreativitas bawahan (Andrews, 1967; Mumford et al.,
2002; Tierney. Etal, 1999).
4. Pada tingkat tim, beberapa studi telah menunjukkan pandangan kolektif bahwa
anggota tim dukungan dari pemimpin mereka dikaitkan dengan keberhasilan tim
dalam usaha kreatif (misalnya, Amabile & Conti , 1999;. Amabile et al, 1996). Pada
tingkat individu, ada beberapa bukti dari hubungan antara persepsi umum bawahan
dari pemimpin mereka dan kreativitas individu mereka bawahan (Andrews, 1967;
Tierney, Farmer, & Graen, 1999). Beberapa penelitian kreativitas individu telah
menyelidiki daerah tertentu dukungan pemimpin, seperti kecenderungan pemimpin
tim untuk menyediakan arah strategis yang jelas dan otonomi prosedural dalam
melaksanakan pekerjaan (Pelz & Andrews, 1976) atau mendukung, pengawasan
pengendali non (Oldham & Cummings, 1996).
5. Tiga teori utama kreativitas organisasi; teori componential dari Amabile (1988, 1997),
teori interaksionis Woodman, Sawyer, dan Griffin (1993), dan beberapa teori domain
sosial Ford (1996).
6. Teori componential mungkin teori yang paling komprehensif dilaporkan dalam
literatur, teori tersebutlah yang mencoba untuk menggambarkan lingkungan kerja
terbaik yang dirasakan untuk kreativitas.
7. Teori componential menjadi landasan konseptual, dari model mediational dimana
perilaku pemimpin mempengaruhi persepsi bawahan atas leader sopport, yang pada
gilirannya, pengaruh kreativitas.
8. Menurut teori ini, dukungan yang diberikan oleh supervisor segera memberikan
pengaruh pada kreativitas bawahan melalui bantuan langsung dengan proyek,
pengembangan keahlian bawahan, dan peningkatan motivasi intrinsik bawahan.
9. Teori componential mengusulkan bahwa perilaku positif dari supervisor termasuk
melayani sebagai model kerja yang baik, perencanaan dan menetapkan tujuan dengan
tepat, mendukung kelompok kerja dalam organisasi, berkomunikasi dan berinteraksi
dengan baik dengan kelompok kerja, menilai kontribusi individu untuk proyek,
memberikan umpan balik yang konstruktif , menunjukkan kepercayaan dalam
kelompok kerja, dan bersikap terbuka terhadap ide-ide baru (Amabile, 1997).
10. Amabile. Et al (2004) menyatakan bahwa perilaku dukungan pemimpin harus
mencakup tindakan baik dari instrumental (task-oriented) dan sosio-emosional
(relations-oriented).
11. Leader Task Support memberi perhatian lebih pada mempertahankan atau
meningkatkan proses yang memfasilitasi pemenuhan (pengerjaan dan penyelesaian)
tugas, pemenuhan memfasilitasi proses pemenuhan tugas, seperti pengefektifan

pengorganisasian dari kegiatan dan sumber, daya pengorganisasian yang efektif dari
kegiatan dan sumber daya, mengklarifikasi peran harapan dan standar untuk kinerja
pemenuhan tugas, menyusun informasi, dan pemecahan masalah.
12. Pemimpin adalah orang dalam organisasi yang memberikan dukungan sumber daya
untuk karyawannya dalam bentuk peralatan dan informasi umpan balik dan akses ke
informasi yang berharga. Bahkan, akses ke sumber daya tersebut diperlukan untuk
memungkinkan individu mengejar pembuatan dan pelaksanaan ide-ide baru dari
pekerjaan.
13. Ekvall dan Ryhammer (1999) menemukan bahwa ketersediaan sumber daya yang
lebih memadai sangat terkait dengan produktivitas daripada iklim atau struktur. Oleh
karena itu, pemimpin harus menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk
karyawan mereka sebelum yang terakhir dapat memperoleh keterampilan yang
diperlukan untuk generasi ide-ide baru. Oleh karena itu, saya mengusulkan hipotesis
berikut:
H6: Leader Task Support secara positif berkaitan dengan kreativitas karyawan
14. Leader Relations Support, sebaliknya, mengacu pada mempertahankan atau
meningkatkan hubungan interpersonal kooperatif yang membangun kepercayaan dan
loyalitas. Pemimpin yang mendengarkan dengan cermat karyawan hanya untuk lebih
memahami perhatian mereka, memberikan dukungan, mendorong, membantu, dan
mengakui orang sebagai individu. Memberikan perbedaan suasana pekerjaan dan
dukungan relasi, kami mengusulkan bahwa setiap jenis dukungan dapat berhubungan
erat dengan kreativitas karyawan.
15. Selain Leader Relations Support, kami juga mengusulkan bahwa leader relations
support terlalu memiliki pengaruh pada kreativitas. Ketika seorang pemimpin
mengakui kontribusi dari karyawannya, yang terakhir lebih termotivasi secara
intrinsik untuk memikirkan dan menyumbangkan ide-ide baru. Mereka mungkin
mendapatkan pengakuan seperti itu dari pemimpin mereka jika mereka membantu
untuk membangun perasaan self-efficacy dan kompetensi. Pandangan ini
diilustrasikan oleh Redmond dkk. (1993), yang menunjukkan bahwa perilaku
pemimpin yang bertujuan untuk membangun perasaan karyawan dari hasil selfefficacy dalam strategi berkualitas tinggi dan keterampilan yang efektif dalam
pemecahan masalah, serta dalam pengujian bakat. Namun, kreativitas berarti
menghasilkan sesuatu yang baru, dan tidak semua ide-ide baru tentu berhasil.
Frustrasi tidak dapat dihindari dalam proses ini. Leader relations support sangat
penting untuk membantu karyawan menangani frustrasi dan emosi negatif yang
terkait dengan kegagalan ketika mencoba ide-ide baru. Selanjutnya, pemimpin selalu
salah satu dari orang-orang kunci untuk berbagi sukacita dan rasa bangga akan
prestasi yang terjadi ketika seorang karyawan berhasil dalam mencoba ide-ide baru.
Dengan demikian, leader relations support dapat meningkatkan emosi positif
berhubungan dengan kinerja kreativitas. Berdasarkan argumen ini, kita memperoleh
hipotesis berikut:
H7: Leader Relations Support secara positif berkaitan dengan kreativitas karyawan

----------------

Amabile (1988, 1997a) teori componential mungkin teori yang paling komprehensif
dilaporkan dalam literatur yang mencoba untuk menggambarkan terbaik lingkungan kerja
yang dirasakan untuk kreativitas. Ini mengusulkan bahwa dukungan positif dari pengawas
membantu dalam menetapkan tujuan yang tepat, mendukung workgroup dalam organisasi,
mengakui kontribusi individu untuk proyek-proyek pekerjaan, memberikan umpan balik yang
konstruktif, menunjukkan kepercayaan workgroup, dan menumbuhkan lingkungan yang
terbuka untuk ide-ide kerja baru ( Amabile, 1997b). Dalam dua dekade terakhir, para peneliti
telah mendokumentasikan pentingnya dukungan pemimpin pada kreativitas bawahan
(Andrews, 1967; Mumford et al., 2002; Tierney. Etal, 1999). Amabile. Et al (2004)
menyatakan bahwa perilaku dukungan pemimpin harus mencakup baik instrumental (taskoriented) dan sosio-emosional (hubungan-oriented) tindakan. Kekhawatiran dukungan tugas
pemimpin mempertahankan atau meningkatkan proses yang memfasilitasi pemenuhan tugas,
seperti pengorganisasian yang efektif dari kegiatan dan sumber daya, mengklarifikasi harapan
peran dan standar untuk kinerja tugas, menyusun informasi, dan pemecahan masalah.
Dukungan pemimpin hubungan ', sebaliknya, mengacu pada mempertahankan atau
meningkatkan hubungan interpersonal koperasi yang membangun kepercayaan dan loyalitas.
Pemimpin sehingga mendengarkan dengan cermat karyawan untuk lebih memahami
kekhawatiran mereka, memberikan dukungan, dan mendorong, membantu, dan mengakui
orang sebagai individu. Mengingat sifat yang berbeda dari tugas dan dukungan hubungan,
kami mengusulkan bahwa setiap jenis dukungan dapat berhubungan erat dengan kreativitas
karyawan.
Pemimpin adalah orang dalam organisasi yang memberikan dukungan sumber daya untuk
pengikut dalam bentuk peralatan dan umpan balik informasi dan akses ke informasi yang
berharga. Bahkan, akses ke sumber daya tersebut diperlukan untuk memungkinkan individu
untuk mengejar generasi dan pelaksanaan ide-ide pekerjaan baru. Ekvall dan Ryhammer
(1999)menggambarkan gagasan ini dan menemukan bahwa ketersediaan sumber daya yang
memadai lebih sangat terkait dengan produktivitas daripada iklim atau struktur. Oleh karena
itu, pemimpin harus menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk pengikut mereka
sebelum yang terakhir dapat memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk generasi ideide baru. Oleh karena itu, kami mengusulkan hipotesis berikut.
H2a. Dukungan tugas Pemimpin yang positif berkaitan dengan kreativitas pengikut.
Selain dukungan tugas pemimpin, kami juga mengusulkan bahwa dukungan pemimpin
hubungan terlalu memiliki pengaruh pada kreativitas. Ketika seorang pemimpin mengakui
kontribusi dari nya pengikut, yang terakhir lebih intrinsik termotivasi untuk memikirkan dan
menyumbangkan ide-ide baru. Mereka mungkin mendapatkan pengakuan seperti itu dari
pemimpin mereka jika ia membantu untuk membangun perasaan self-efficacy dan
kompetensi. Pandangan ini diilustrasikan oleh Redmond et al. (1993), yang menunjukkan
bahwa perilaku pemimpin yang bertujuan untuk membangun perasaan karyawandari hasil
self-efficacy dalam strategi berkualitas tinggi dan keterampilan yang efektif dalam
pemecahan masalah, serta dalam pengujian bakat. Namun, kreativitas berarti menghasilkan
sesuatu yang baru, dan tidak semua ide-ide baru tentu berhasil. Frustrasi dengan demikian
tidak dapat dihindari dalam proses ini. Dukungan pemimpin hubungan 'sangat penting untuk
membantu karyawan menangani frustrasi dan emosi negatif yang terkait dengan kegagalan
ketika mencoba ide-ide baru. Selanjutnya, pemimpin selalu salah satu dari orang-orang kunci
untuk berbagi sukacita dan rasa prestasi yang terjadi ketika seorang karyawan berhasil dalam
mencoba ide-ide baru.Dengan demikian, dukungan pemimpin hubungan 'dapat meningkatkan
emosi positif berhubungan dengan kinerja kreativitas.Berdasarkan argumen ini, kita
memperoleh hipotesis berikut.

---------------Anehnya, kepemimpinan belum umumnya diperlakukan sebagai pengaruh penting pada


kreativitas (Mumford, Scott, Gaddis, & Aneh, 2002), meskipun kemungkinan dampak dari
perilaku pemimpin pada lingkungan kerja yang dirasakan, dan dampak menunjukkan
lingkungan kerja yang dirasakan pada kreativitas (misalnya, Amabile et al, 1996;. Mumford
& Gustafson, 1988;. Mumford et al, 2002; Witt & Beorkrem, 1989). Masing-masing dari tiga
teori utama kreativitas organisasi; teori componential dari Amabile (1988, 1997), teori
interaksionis Woodman, Sawyer, dan Griffin (1993), dan beberapa teori domain sosial Ford
(1996) - termasuk lingkungan pekerjaan sebagai pengaruh pada kreativitas karyawan.
Dari tiga, teori componential kreativitas dari fitur lingkungan kerja yang paling
menonjol. Selain itu, satu-satunya teori kreativitas organisasi yang menentukan fitur yang
luas dari pemimpin perilaku-baik dari supervisor langsung dan dari manajer tingkat tinggi
yang berkontribusi terhadap lingkungan kerja yang dirasakan untuk kreativitas. Meskipun
teori ini menyajikan tujuh fitur lain dari lingkungan kerja organisasi, termasuk perilaku
manajemen puncak, ketersediaan sumber daya, dan kerjasama lintas organisasi, mengusulkan
leader support yang dirasakan (disebut ''dorongan pengawas'') sebagai fitur yang di bawah
kontrol yang paling langsung dari atasan langsung. Dengan demikian, menjelajahi aspek
lingkungan kerja untuk kreativitas adalah kepentingan untuk kedua alasan teoritis dan
manajerial.
Teori componential memberikan landasan konseptual untuk penelitian kami, melalui
saran nya dari model mediational dimana perilaku pemimpin mempengaruhi persepsi
karyawan leader support yang, pada gilirannya, pengaruh kreativitas. Menurut teori ini,
dukungan yang diberikan oleh supervisor segera memberikan pengaruh pada kreativitas
karyawan melalui bantuan langsung dengan proyek, pengembangan keahlian karyawan, dan
peningkatan motivasi intrinsik karyawan. Teori componential mengusulkan bahwa perilaku
positif dari pengawas termasuk melayani sebagai model kerja yang baik, perencanaan dan
menetapkan tujuan dengan tepat, mendukung kelompok kerja dalam organisasi,
berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik dengan kelompok kerja, menilai kontribusi
individu untuk proyek, memberikan umpan balik yang konstruktif , menunjukkan
kepercayaan dalam kelompok kerja, dan bersikap terbuka terhadap ide-ide baru (Amabile,
1997). Dengan demikian, perilaku leader support harus mencakup kedua tindakan
instrumental (atau tugas-oriented) dan sosioemosional (atau berorientasi pada hubungan).
Secara perlahan telah memperluas literatur yang telah selama 30 tahun terakhir
mengenai pendokumentasian pentingnya dirasakan leader support untuk kreativitas
karyawan. (Untuk tinjauan, lihat Mumford et al., 2002.) Pada tingkat tim, beberapa studi
telah menunjukkan pandangan kolektif bahwa anggota tim dukungan dari pemimpin mereka
dikaitkan dengan keberhasilan tim dalam usaha kreatif (misalnya, Amabile & Conti , 1999;.
Amabile et al, 1996). Pada tingkat individu, ada beberapa bukti dari hubungan antara persepsi
umum karyawan dari pemimpin mereka dan kreativitas individu mereka karyawan (Andrews,
1967; Tierney, Farmer, & Graen, 1999). Beberapa penelitian kreativitas individu telah
menyelidiki daerah tertentu leader support, seperti kecenderungan pemimpin tim untuk
menyediakan arah strategis yang jelas dan otonomi prosedural dalam melaksanakan
pekerjaan (Pelz & Andrews, 1976) atau mendukung, pengawasan pengendali non (Oldham &
Cummings, 1996).
Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa bawahan akan lebih kreatif
ketika mereka merasakan menerima supervisor secara langsung mendukung mereka dan
pekerjaan mereka. Tujuan pertama dari penelitian ini adalah untuk meniru temuan ini,
memperluas bukti yang ada dengan memeriksa persepi bawahan hari demi hari:

Penelitian Pertanyaan # 1: Apakah bawahan hari demi hari persepsi dari tim leader
support berhubungan dengan kreativitas keseluruhan bawahan?
-----------------------

Kepemimpinan Transformasional dan Leader Relations Support


Menyediakan tingkat tinggi leader support hubungan 'mengacu mempertahankan atau
meningkatkan koperasi hubungan interpersonal, menghormati, peduli, dan persetujuan. Hal
ini juga melibatkan mendengarkan dengan hati-hati kepada orang lain untuk lebih memahami
kekhawatiran karyawan dan mengakui orang sebagai individu. (Peneliti Amabile et al., 2004;
Amabile,1997a) menyarankan bahwa seorang pemimpin yang menunjukkan pengakuan
kontribusi karyawan untuk pekerjaan mungkin memberikan pengaruh pada kreativitas
mereka melalui peningkatan motivasi intrinsik. Ketika bawahan menganggap pemimpin
transformasional adalah mengenali pikiran mereka, ini dapat meningkatkan self-efficacy dari
bawahan. Dengan demikian, bawahan secara intrinsik termotivasi untuk mengambil risiko
dan bereksperimen dengan ide-ide inovatif. Seperti yang ditekankan oleh para peneliti
(Abbey dan Dickson, 1983; Kupferberg 2006), karyawan yang percaya pekerjaan mereka
diakui lebih bersedia untuk mengeluarkan upaya tambahan dan waktu pada menghasilkan
ide-ide kreatif. Juga, dalam situasi yang ditandai dengan tinggi daripada tingkat rendah leader
support hubungan ', pemimpin transformasional mungkin menawarkan keprihatinan empati
mereka kepada bawahan ketika mereka bertemu kemunduran dalam menguji ide-ide baru.
Ketika bawahan ini merasa pemimpin transformasional selalu siap untuk berbagi kebahagiaan
mereka dan rasa sakit, stres bawahan 'dan emosi negatif yang berkaitan dengan mencoba ideide baru dapat lega dan dihaluskan. Oleh karena itu, bawahan diberikan kepercayaan lebih
dalam memproduksi atau menguji ide-ide pekerjaan baru. Dengan demikian, hubungan antara
kepemimpinan transformasional dan karyawankreativitas diperkuat dalam situasi di mana ada
tinggi daripada tingkat rendah pemimpin hubungan' dukungan. Dengan demikian kita
mengandaikan hipotesis akhir kami, sebagai berikut.
H3b. Hubungan Pemimpin moderat dukungan hubungan positif antara kepemimpinan
transformasional dan kreativitas karyawan, sehingga hubungan ini lebih kuat ketika
ada tinggi daripada tingkat rendah dukungan tersebut.

Metode penelitian

Anda mungkin juga menyukai