TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Inflamasi
Inflamasi (radang) biasanya dibagi dalam tiga fase : inflamasi akut,
respons imun, inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap
cedera jaringan; hal tersebut terjadi melalui media rilisnya autacoid serta pada
umumnya didahului oleh pembentukan respons imun. Respons imun terjadi bila
sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon
organisme asing atau substansi antigenik yang terlepas selama respon terhadap
inflamasi akut serta kronis. Akibat dari respons imun bagi tuan rumah mungkin
menguntungkan, seperti bilamana ia menyebabkan organisme penyerang menjadi
di-fagositosis atau dinetralisir. Sebaliknya, akibat tersebut juga dapat bersifat
merusak bila menjurus kepada inflamasi kronis tanpa penguraian dari proses
cedera yang mendasarinya. Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah
mediator yang tidak menonjol dalam respons akut (Furst dan Munster, 2002).
Salah satu dari kondisi yang paling penting yang melibatkan mediatormediator ini adalah atritis teomatoid, dimana inflamasi kronis menyebabkan sakit
dan kerusakan pada tulang dan tulang rawan yang bisa menjurus kepada
ketidakmampuan untuk bergerak dimana terjadi perubahan-perubahan sistemik
yang bisa memperpendek umur (Furst dan Munster, 2002).
Kerusakan sel yang berkaitan dengan inflamasi berpengaruh terhadap
selaput membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim-enzim
lisosomal; archidonic acid kemudian dilepas dari persenyawaan-persenyawaan
terdahulu, dan berbagai eicosanoid disintesis (Furst dan Munster, 2002).
Jalur cylooxigenase (COX) dari metabolisme arachidonate menghasilkan
prostaglandin-prostaglandin, yang mempunyai berbagai efek pada pembuluh
darah, ujung-ujung saraf, dan pada sel-sel yang terlibat dalam inflamasi.
Penemuan isoform-isoform COX (COX-1 dan COX 2) menjurus kepada konsep
bahwa isoform COX-1 yang konstitusif (bersifat pokok, selalu ada) cenderung
menjadi homeostatis dalam fungsinya, sedangkan COX-2 diinduksi selama
inflamasi dan digunakan untuk memfasilitasi respons inflamasi. Atas dasar ini,
Strategi Terapeutik
Pengobatan pasien dengan inflamasi mempunyai dua tujuan utama:
pertama, meringankan rasa nyeri, merupakan gejala awal yang terlihat dan
keluhan utama yang terus menerus dari pasien. Dan kedua, memperlambat atau
(dalam teori) membatasi proses perusakan jaringan. Pengurangan inflamasi
dengan obat-obat antiinflamasi non steroid (AINS; non steroidal antiinflammatory drugs= NSAIDs) seringkali berakibat meredanya rasa nyeri selama
periode yang bermakna. Lebh jauh lagi, sebagian besar dari non opiod analgesik
(aspirin, dll) juga mempunyai efek antiinflamasi, jadi mereka tepat digunakan
untuk pengobatan akut maupun kronis. Glukokortikoid juga memiliki efek
antiinflamasi dan ketika pertama kali diperkenalkan dianggap sebagai jawaban
terakhir untuk pengobatan artritis yang beradang. Tapi sayangnya, toksisitas yang
dihubungkan, dengan terapi cortikosteroid kronis menghambat pemakaian mereka
kecuali dalam pengendalian timbulnya gejolak akut penyakit sendi. Sehingga,
Pada
reaksi
radang
permeabilitas
kapiler
meningkat
karena
Mekanisme Inflamasi
Respons kardiovaskular pada proses radang tergantung dari karakteristik
jaringan yang mengalami pengaruh merusak pada fase akut berlangsung cepat
dimulai 1 sampai 30 menit sejak terjadi perubahan pada jaringan dan berakhir 15
sampai 30 menit dan kadang-kadang sampai 60 menit. Volume darah yang
membawa leukosit ke daerah radang bertambah, dengan gejala klinis di sekitar
jaringan berupa rasa panas dan warna kemerah-merahan (PGE2 dan PGI2). Aliran
darah menjadi lebih lambat, leukosit beragregasi di sepanjang dinding pembuluh
darah
menyebabkan
pembuluh
darah
kehilangan
tekstur.
Peningkatan
2.1.5
satu senyawa yang kehadirannya bersama diet asarn linoleat. Asam arakidonat
sendiri oleh membran sel akan diesterifikasikan menjadi bentuk fosfolipid dan
lainnya berupa kompleks lipid. Dalam keadaan bebas tetapi dengan konsentrasi
yang sangat kecil asam ini berada di dalam sel. Pada biosintesis eikosanoid, asam
arakidonat akan dibebaskan dari sel penyimpan lipid oleh asil hidrolase. Besar
kecilnya pembebasan tergantung dari kebutuhan enzim pensintesis eikosanoid.
Kebutuhan ini ditentukan dari seberapa besar respons yang diberikan terhadap
stimuli penyebab radang (Mansjoer, 2003).
yang
mengakibatkan
penghambatan
sintesis
senyawa
endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa ini merupakan prazat
semua senyawa prostaglandin, dengan demikian sintesis prostaglandin akan
terhenti. Antiinflamasi Nonsteroid tidak menghambat metabolisme asam
arakidonat melalui alur lipoksigenase. Penghambatan enzim siklooksigenase
kemungkinan akan menambah pembentukan leukotrien pada alur lipoksigenase.
Kemungkinan ini dapat terjadi disebabkan bertambahnya sejumlah asam
arakidonat dari yang seharusnya dibutuhkan enzim lipoksigenase. Selain sebagai
penghambat sintesis prostaglandin dari berbagai model eksperimen yang telah
dicoba kepada manusia untuk tujuan terapeutik, NSAID ternyata menunjukkan
berbagai kerja lain sebagai antiradang (Mansjoer, 2003).
Obat antiradang nonsteroid menurut struktur kimia dengan beberapa
pengecualian dapat dibagi dalarn delapan golongan. (1) Turunan asam salisilat:
asam
asetilsalisilat,
diflunisal.
(2)
Turunan
pirazolon:
fenilbutazon,
2.2.1
Ketersediaanbiologic: 80%
Volume distribusi: 0,81/Kg (dalam LCS sekitar 20% darikadardalam
plasma).
Ikatan protein plasma: 70% (padadosis yang lebihtinggilebihkecil),
terikatpadaTranscortin (affinitastinggi, kapasitasrendah ) danpada Albumin
(affinitasrendah, kapasitasbesar).
Waktuparuhplasma: 3 jam.
Lamanyaobatberefek: 36-72 jam
3%
(Corticosteroid-Receptor-complex
dieliminasi
renal
tanpadiubah,
Dosis
0,75 mg Dexamethason sesuaidengan 5 mg Prednison.
Untuksetiapindikasidanpenyakit yang berat 0,5 6 mg/harisebelum jam 8
pagi (ataualternatifsetiap 2 haripoatau 40-80 mg (sampaidengan 80 mg)
2.2.3
ekskresiPhospatmeningkat.
Lymphositdan
Eosinophil
berkurang,
kerentananterhadapinfeksimeningkatdenganbahayaeksaserbasidariinfe
-
Thrombophlebitis,
fragilitaskapilermeninggi,
PetechiaedanEchymosis.
KatarakdanGlaukomaberkembang.
Acne vulgaris ( Acene Steroid), Atrofikulit, Hyperpigmentasi,
gangguanovulasi da siklusmenstruasi.
BerkembangnyaUlcuspepticumdenganbahayaperforasi
bahudanpinggang),
(seringtanpa
(terutamaototpemecahan
Interaksi Obat
EfekderivatCoumarinmelemah
tetapikecenderunganperdarahanjugameningkat.
Pemberian yang bersamaandenganAntropianatauAnticholinergica yang
(karenajumlahThrombositmeninggi),
non
meningkatkaninsidenUlcuspepticumdenganbahayaperdarahan
gastrointestinal.
dansebagainya (induksienzim).
MetabolismeDexamethasondihambatoleh Estrogen danpada orang tua,
meningkatpadaHyperthyreosis.
Resorpsimenurunpadapemberian
yang
bersamaandengan
Antasida
Merek Preparat
Adrekon (tab 0,5 mg)
Bufadexon (caps 0,5 mg)
Cendomethason (tetesmata mg/ml)
Dexamethasone (inj. 5 mg/ml) (Widodo, dkk, 1993).
2.3
Metamizol/Dipiron/Noramidopirin/Methansulfonat
2.3.1
Farmakokinetik BM : 311
2.3.2
Dosis
Dosis untuk dipiron ialah 0,3-1 g tiga kali sehari. Dipiron tersedia dalam
bentuk tablet 500 mg dan larutan obat suntik yang mengandung 500 mg/ml
(Zubaidi, dkk, 1980).
2.3.3
-
Terutama pada pasien tua, terjadi retensi Natrium dan air dengan edema.
Provokasi suatu serangan Asthma pada pasien disposisi.
Pada pemberian selama kehamilan (terutama trimester terakhir), ada
bahaya terjadinya tekanan tinggi pimer sirkulasi paru-paru karena
2.3.4
Interaksi Obat
2.3.5
-
Merk Preparat
Kalpyron(Tab 500 mg)
Pyronal(Tab 500 mg)
Baralgin(Tab 500 mg/tab ; 5 mg/ml inj) (Widodo, dkk, 1993)
DAFTAR PUSTAKA
Furst, D. E. Dan Tino M. (2002). Obat-Obat Antiinflamasi Nonsteroid, Obat-Obat
Antireumatik Pemodifikasi Penyakit, Analgesk Nonopioid dan Obat-Obat
Untuk Pirai. Dalam Buku Farmakologi Dasar dan Klinik. Editor : Bertram
G. Katzung. Jakarta : Salemba Medika. Hal : 449-454.
Khan, F. A. dan Mohd F. K. (2010. Inflammation and Acute Phase Response.
International Journal of Applied Biology And Pharmaceutical Technology.
1 (2) : 315.
Mansjoer, S. (2003). Mekanisme Kerja Obat Antiradang. USU Digital Library : 16.
Mutschler, Ernst. (2010). Dinamika Obat. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 194.
Widodo, dkk. (1993). Kumpulan Data Klinik Farmakologik. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press. Hal : 177-179 ; 313-315.
Wilmana, P. Freddy dan Sulistia Gan. (2009). Analgesik-Antipiretik, Analgesik
Anti-Inflamasi Nonsteroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam
buku Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistia Gan Gunawan. Jakarta:
Universitas Indonesia. Hal.230, 232
LAMPIRAN
Hewan Percobaan
Larutan Obat