Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Inflamasi
Inflamasi (radang) biasanya dibagi dalam tiga fase : inflamasi akut,

respons imun, inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap
cedera jaringan; hal tersebut terjadi melalui media rilisnya autacoid serta pada
umumnya didahului oleh pembentukan respons imun. Respons imun terjadi bila
sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon
organisme asing atau substansi antigenik yang terlepas selama respon terhadap
inflamasi akut serta kronis. Akibat dari respons imun bagi tuan rumah mungkin
menguntungkan, seperti bilamana ia menyebabkan organisme penyerang menjadi
di-fagositosis atau dinetralisir. Sebaliknya, akibat tersebut juga dapat bersifat
merusak bila menjurus kepada inflamasi kronis tanpa penguraian dari proses
cedera yang mendasarinya. Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah
mediator yang tidak menonjol dalam respons akut (Furst dan Munster, 2002).
Salah satu dari kondisi yang paling penting yang melibatkan mediatormediator ini adalah atritis teomatoid, dimana inflamasi kronis menyebabkan sakit
dan kerusakan pada tulang dan tulang rawan yang bisa menjurus kepada
ketidakmampuan untuk bergerak dimana terjadi perubahan-perubahan sistemik
yang bisa memperpendek umur (Furst dan Munster, 2002).
Kerusakan sel yang berkaitan dengan inflamasi berpengaruh terhadap
selaput membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim-enzim
lisosomal; archidonic acid kemudian dilepas dari persenyawaan-persenyawaan
terdahulu, dan berbagai eicosanoid disintesis (Furst dan Munster, 2002).
Jalur cylooxigenase (COX) dari metabolisme arachidonate menghasilkan
prostaglandin-prostaglandin, yang mempunyai berbagai efek pada pembuluh
darah, ujung-ujung saraf, dan pada sel-sel yang terlibat dalam inflamasi.
Penemuan isoform-isoform COX (COX-1 dan COX 2) menjurus kepada konsep
bahwa isoform COX-1 yang konstitusif (bersifat pokok, selalu ada) cenderung
menjadi homeostatis dalam fungsinya, sedangkan COX-2 diinduksi selama
inflamasi dan digunakan untuk memfasilitasi respons inflamasi. Atas dasar ini,

penghambat COX-2 yang sangat selektif telah dikembangkan dan dipasarkan


dengan asumsi bahwa penghambat-penghambat selektif semacam itu akan lebih
aman daripada penghambat-penghambat COX-1 yang non selektif tetapi tentunya
tanpa kehilangan kemanjurannya (efikasi). Jalur lipoygenase dari metabolisme
dari arachidonate menghasilkan leukotrin yang mempunyai efek kemotaksis yang
kuat pada eusinofil, neutrofil, dan makrofag serta meningkatkan bronkokonstriksi
dan perubahan-perubahan dalam permeabilitas pembuluh darah (Furst dan
Munster, 2002).
Berbagai kinin, neuropeptida, dan histamine juga dikeluarkan ditempat
cedera jaringan sebagaimana juga komponen-komponen komplemen, cytokine,
dan produk-produk lain dari leukosit dan platelet. Rangsangan dari selaput
neutrofil menghasilkan radikal-radikal bebas yang berasal dari oksigen. Anion
superoksida dibentuk melalui reduksi dari oksigen molekuler yang bisa
merangsang produksi molekul-molekul lainnya seperti halnya hidrogen peroksida
dan radikal hidroksil. Interaksi dari bahan-bahan ini dengan arachidonic acid
menghasilkan pembentukan substansi-substansi kemotaksis, selanjutnya secara
berkesinambungan meneruskan proses inflamasi (Furst dan Munster, 2002).
2.1.1

Strategi Terapeutik
Pengobatan pasien dengan inflamasi mempunyai dua tujuan utama:

pertama, meringankan rasa nyeri, merupakan gejala awal yang terlihat dan
keluhan utama yang terus menerus dari pasien. Dan kedua, memperlambat atau
(dalam teori) membatasi proses perusakan jaringan. Pengurangan inflamasi
dengan obat-obat antiinflamasi non steroid (AINS; non steroidal antiinflammatory drugs= NSAIDs) seringkali berakibat meredanya rasa nyeri selama
periode yang bermakna. Lebh jauh lagi, sebagian besar dari non opiod analgesik
(aspirin, dll) juga mempunyai efek antiinflamasi, jadi mereka tepat digunakan
untuk pengobatan akut maupun kronis. Glukokortikoid juga memiliki efek
antiinflamasi dan ketika pertama kali diperkenalkan dianggap sebagai jawaban
terakhir untuk pengobatan artritis yang beradang. Tapi sayangnya, toksisitas yang
dihubungkan, dengan terapi cortikosteroid kronis menghambat pemakaian mereka
kecuali dalam pengendalian timbulnya gejolak akut penyakit sendi. Sehingga,

obat-obat antiinflamasi non-steroid memikul peran utama dalam pengobatan


artritis (Furst dan Munster, 2002).
Kelompok agen lain yang penting ditandai sebagai obat-obat antireumatik
kerja lambat (slow-antirheumatic drugs= SAARDs) atau obat-obat antireumatic
pemodifikasi-penyakit (desease-modic antirheumatisdrugs=DMARDs). Mereka
bisa memperlambat kerusakan tulang yang disebabkan artritis reumatoid dan
diperkirakan mempunyai efek pada mekanisme inflamasi yang lebih mendasar
dari pada AINS (NSAIDs). Tetapi sayangnya mereka bisa lebih toksik dari pada
agen-agen antiinflamasi nonsteroid(Furst dan Munster, 2002).
2.1.2

Obat Antiinflamasi Nonsteroid


Berbagai salicylate dan agen-agen lain yang mirip yang dipakai untuk

mengobatipenyakit reumatik sama-sama memiliki kemampuan untuk menekan


tanda-tanda dan gejala-gejala inflamasi. Obat-obat ini mempunyai efek antipiretik
dan analgesik, tetapi sifat-sifat antiinflamasi merekalah yang membuat mereka
paling baik dalam menangani gangguan-gangguan dengan rasa sakit yang
dihubungkan dengan intensitas proses antiinflamasi(Furst dan Munster, 2002).
2.1.2.1 Kimia Dan Farmakodinamika
Sekalipun ada banyak perbedaan dalam kinetika AINS, mereka
mempunyai beberapa karakteristi umum yang sama. Semua kecuali satu dari
AINS adalah asam organik lemak seperti yang disebutkan; perkecualiannya
nabumetone adalah suatu ketone prodrug yang dimetabolisme menjadi bat aktif
yang asam. Sebagian besar dari titik ini diserap dengan baik, dan makanan tidak
mempengaruhi bioavaibilitas mereka secara substansial. Sebagian besar dari AINS
sangat dimetabolisme, beberapa oleh mekanisme fase satu dan fase dua dan
lainnya hanya oleh glukuronidasi langsung (fase II) (Furst dan Munster, 2002).
Kenyataannya, tingkat iritasi saluran cerna bagian bawah berkolerasi dengan
jumlah sirkulasi enterohepatis. Sebagian besar dari AINS sebagai berikatan
protein tinggi (> 98 %), biasanya dengan albumin. Beberapa AINS (misalnya
ibuprofen) adalah campuran rasemik, sementara, naproxen, tersedia sebagai
enansiomer tunggal dan beberapa tidak mempunyai pusat chirral (misalnya
diclofenac) (Furst dan Munster, 2002).
2.1.2.2 Farmakodinamika

Aktivitas antiinflamasi dari AINS terutama perantarai melalui hambatan


biosintetis prostaglandin. Berbagai AINS mungkin memiliki mekanisme kerja
tambahan, termasuk hambatan kemotaksis, regulasi-rendah (down-regulation)
produksi interleukin-1, penurunan radikal bebas dan superoksida, dan campur
tangan denga kejadian-kejadian intraseluler yang diperantarai kalsium (Furst dan
Munster, 2002).
Dalam tingkat yang berbeda-beda semua AINS yang lebih baru adalah
analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik, dan semua (kecuali agen-agen selektif
COX-2) menghambat agregasi platelet. Mereka semua adalah iritan-iritan
lambung, sekalipun sebagai kelompok mereka cenderung kurang menyebabkan
iritasi lambung daripada aspiri. Nefrotoksisitas telah teramati untuk semua obat
yang penggunaannya secara ekstensif telah dilaporkan, dan hepatoksisitas bisa
juga terjadi dengan setiap AINS (Furst dan Munster, 2002).
Sekalipun obat-obat ini menghambat inflamasi dengan efektif, tidak ada
bukti bahwa berlawanan dengan obat-obat seperti metrotrexate, mereka mengubah
perjalanan gangguan artritis(Furst dan Munster, 2002).
2.1.3

Mediator Dan Substansi Inflamasi


Kerusakan sel akibat adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator

atau substansi radang antara lain histamin, bradikinin, kalidin, serotonin,


prostaglandin, leukotrien dan sebagainya. Histamin terdapat pada semua jaringan
juga pada leukosit basofil. Dalam jaringan, histamin disimpan dalam sel mast dan
dibebaskan sebagai hasil interaksi antigen dengan antibodi IgE pada permukaan
sel mast, berperanan pada reaksi hipersensitif dan alergi. Substans tersebut
merupakan mediator utusan pertama dari sedemikian banyak mediator lain, segera
muncul dalam beberapa detik. Reseptorhistamin adalah H1 dan H2. Stimulasi
pada kedua reseptor ini menyebabkan vasodilatasi pada arterial dan pembuluh
darah koronaria, merendahkan resistensi kapiler dan menurunkan tekanan darah
sistemik.

Pada

reaksi

radang

permeabilitas

kapiler

meningkat

karena

dibebaskannya histamin (Mansjoer, 2003).


2.1.4

Mekanisme Inflamasi
Respons kardiovaskular pada proses radang tergantung dari karakteristik

dan distribusi noksi. Dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler di sekitar

jaringan yang mengalami pengaruh merusak pada fase akut berlangsung cepat
dimulai 1 sampai 30 menit sejak terjadi perubahan pada jaringan dan berakhir 15
sampai 30 menit dan kadang-kadang sampai 60 menit. Volume darah yang
membawa leukosit ke daerah radang bertambah, dengan gejala klinis di sekitar
jaringan berupa rasa panas dan warna kemerah-merahan (PGE2 dan PGI2). Aliran
darah menjadi lebih lambat, leukosit beragregasi di sepanjang dinding pembuluh
darah

menyebabkan

pembuluh

darah

kehilangan

tekstur.

Peningkatan

permeabilitas kapiler disebabkan kontraksi sel-sel endotel sehingga menirnbulkan


celah-celah bermembran. Permeabilitas kapiler ditingkatkan oleh histamin,
serotonin, bradikinin, sistim pembekuan dan komplemen dibawah pengaruh faktor
Hageman dan SRS-A. Larutan mediator dapat mencapai jaringan karena
meningkatnya permeabilitas kapiler dengan gejala klinis berupa udem (Mansjoer,
2003).
Fase radang sub-akut berlangsung lambat, mulai dari beberapa jam sampai
beberapa hari misalnya karena pengaruh noksi bakteri. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler masih berlangsung. Karakteristik paling
menonjol adalah infiltrasi fagosit yaitu sel polimorfonuklir dan monosit ke
jaringan. Selain itu aliran darah lambat, pendarahan dan terjadi kerusakan jaringan
yang ekstensif. Proses fagosit mencapai daerah peradangan dinamakan
kemotaktik. Migrasi fagosit diaktivasi oleh salah satu fragmen dari komponen
komplemen, untuk leukosit polimorfonuklir yaitu C 3 a. Selain itu LTB4 dan PAF
ikut berperanan. Fagosit bergerak pada permukaan sel endotel, pada ujung depan
mengecil dan memanjang sehingga dapat memasuki antar sel endotel kemudian
melarutkan membran (diapedesis). Fagosit melepaskan diri dari antar sel, masuk
ke jaringan dan berakumulasi. Fagosit yang mula-mula ke luar dari dinding
pembuluh darah adalah leukosit polimorfonuklir yang menyerang dan mencerna
bakteri dengan cara fagositosis. Disusul datangnya monosit (makrofag) sebagai
petugas pembersih, mencerna leukosit polimorfonuklir dan sel jaringan yang telah
mati akibat toksin bakteri. Pada radang kronik makrofag juga ikut mencerna
bakteri (Mansjoer, 2003).
Plasma darah setelah melewati dinding pembuluh darah yang permeable
sifatnya berubah disebut limfe radang. Leukosit dan limfe radang secara bersama

membentuk eksudat radang yang menimbulkan pembengkakan pada jaringan.


Rasa sakit disebabkan tertekannya serabut syaraf akibat pembengkakan jaringan.
Selain itu rasa sakit disebabkan bradikinin dan PG. Kerusakan jaringan
disebabkan fagositosis, enzim lisosomal clan radikal oksigen. Deman oleh pirogen
endogen yang dihasilkan adalah karena kerusakan sel (Khan dan Khan, 2010).

2.1.5

Mekanisme Kerja Obat Antiinflamasi


Asam arakidonat merupakan konstituen diet pada manusia, sebagai salah

satu senyawa yang kehadirannya bersama diet asarn linoleat. Asam arakidonat
sendiri oleh membran sel akan diesterifikasikan menjadi bentuk fosfolipid dan
lainnya berupa kompleks lipid. Dalam keadaan bebas tetapi dengan konsentrasi
yang sangat kecil asam ini berada di dalam sel. Pada biosintesis eikosanoid, asam
arakidonat akan dibebaskan dari sel penyimpan lipid oleh asil hidrolase. Besar
kecilnya pembebasan tergantung dari kebutuhan enzim pensintesis eikosanoid.
Kebutuhan ini ditentukan dari seberapa besar respons yang diberikan terhadap
stimuli penyebab radang (Mansjoer, 2003).

Obat Antiinflamasi Nonsteroid lainnya sebagai penghambat enzim


siklooksigenase

yang

mengakibatkan

penghambatan

sintesis

senyawa

endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa ini merupakan prazat
semua senyawa prostaglandin, dengan demikian sintesis prostaglandin akan
terhenti. Antiinflamasi Nonsteroid tidak menghambat metabolisme asam
arakidonat melalui alur lipoksigenase. Penghambatan enzim siklooksigenase
kemungkinan akan menambah pembentukan leukotrien pada alur lipoksigenase.
Kemungkinan ini dapat terjadi disebabkan bertambahnya sejumlah asam
arakidonat dari yang seharusnya dibutuhkan enzim lipoksigenase. Selain sebagai
penghambat sintesis prostaglandin dari berbagai model eksperimen yang telah
dicoba kepada manusia untuk tujuan terapeutik, NSAID ternyata menunjukkan
berbagai kerja lain sebagai antiradang (Mansjoer, 2003).
Obat antiradang nonsteroid menurut struktur kimia dengan beberapa
pengecualian dapat dibagi dalarn delapan golongan. (1) Turunan asam salisilat:
asam

asetilsalisilat,

diflunisal.

(2)

Turunan

pirazolon:

fenilbutazon,

oksifenbutazon, antipirin, arninopirin, (3) Turunan para-aminofenol: fenasetin. (4)


Indometasin dan senyawa yang masih berhubungan: indometasin dan sulindak. (5)
Turunan asam propionat: ibuprofen, naproksen, fenoprofen, ketoprofen,
flurbiprofen. (6) Turunan asam antranilat : asam flufenamat, asam mafenamat. (7)
Obat antiradang yang tidak mempunyai penggolongan tertentu: tolmetin,
piroksikam, diklofenak, etodolak, nebumeton, senyawa emas. (8) Obat pirro
(gout), kolkisin, alopurinol(Mansjoer, 2003).
Glukokortikoid digunakan untuk menekan berbagai gejala klinis pada
proses radang yang disebabkan dilatasi kapiler, udem, migrasi leukosit, aktivitas
fagosit dan sebagainya. Selain itu glukokortikoid dapat mencegah terjadinya
perubahan-perubahan lanjutan seperti proliferasi kapiler, fibroblast dan kolagen.
Glukokortikoid juga dapat diberikan sebagai imunosupresan untuk menekan
gejala klinis pada reaksi imun. Pada penyakit yang disebabkan infeksi bakteri
glukokortikoid hanya diberikan bersama antibiotika atau khemoterapeutika.
Sebagai antiradang glukokortikoid digunakan pada penyakit reumatik (demam
reumatik akut dengan karditis, artritis reumatoid, poliartritis, osteoartritis serta
kolagenosis), reaksi alergi, udem otak, tumor ganas, radang pada kulit, mata,

telinga dan sebagainya. Termasuk obat antiradang golongan glukokortikoid antara


lain: kortison hidrokortison, prednison, prednisolon, triamsinolon, betametason,
deksametason dan sebagainya (Mansjoer, 2003).
2.2

Dexamethason (9 -Fluoriertes Glucocorticoid)

2.2.1

Farmakokinetik BM: 393

Ketersediaanbiologic: 80%
Volume distribusi: 0,81/Kg (dalam LCS sekitar 20% darikadardalam

plasma).
Ikatan protein plasma: 70% (padadosis yang lebihtinggilebihkecil),
terikatpadaTranscortin (affinitastinggi, kapasitasrendah ) danpada Albumin

(affinitasrendah, kapasitasbesar).
Waktuparuhplasma: 3 jam.
Lamanyaobatberefek: 36-72 jam

didalam inti sel).


Eliminasi:sekitar

3%

(Corticosteroid-Receptor-complex

dieliminasi

renal

tanpadiubah,

sisanyadimetabolismedidalmahati, glucuronidasidansulfatisasi (Widodo,


dkk, 1993).
2.2.2
-

Dosis
0,75 mg Dexamethason sesuaidengan 5 mg Prednison.
Untuksetiapindikasidanpenyakit yang berat 0,5 6 mg/harisebelum jam 8
pagi (ataualternatifsetiap 2 haripoatau 40-80 mg (sampaidengan 80 mg)

sebagai bolus iv).


Setelahpenggunaan yang lama penghentianharusbertahapperlahan-lahan.
Dosis yang dapatmenimbulkan Cushing-syndromsekitar0,5 mg (Widodo,
dkk, 1993).

2.2.3

Efek Yang Tak Diharapkan


(tergantung besarnya dosis dan lamanya terapi).

a. Penggunaanjangkapendek (< 2 minggu).


- Bahayaperdarahan gastrointestinal (seringberhubungandengan stress).
- Menurunnyatoleransiglukosa.
- Menurunnyaketahananterhadapinfeksi (misal Herpes Zoster) (Widodo,
dkk, 1993).
b. Pengggunaanjangkapanjangdansistemik (> 2 minggu )
- Atropikelenjarsuprarenalis.
- Cushing syndromdenganmukawajahbulan (Moonface), tengkuktebal,
penimbunanlemakpadabadan, nafsumakandanberatbadanmeningkat.

Intoleransiglukosasamapidengan Diabetes steroid.


MeningkatnyaaktifitaslipolitikdariGlukagondan Adrenalin.
ResorpsiCalsiummenurundidalamlambung-usudanginjal,

ekskresiPhospatmeningkat.
Lymphositdan

Eosinophil

berkurang,

kerentananterhadapinfeksimeningkatdenganbahayaeksaserbasidariinfe
-

ksi virus, jamuratauTuberkulosa.


LeukositdanThrombositmeningkatdenganbahayaterjadinyaThrombose
dan

Thrombophlebitis,

fragilitaskapilermeninggi,

PetechiaedanEchymosis.
KatarakdanGlaukomaberkembang.
Acne vulgaris ( Acene Steroid), Atrofikulit, Hyperpigmentasi,

Striaerubrae, penyembuhanlukaterganggudandiperlambat, Ulcuscruris.


Hirsutismus,
Hypertrichosis,
Hyperhydrosis,
Amenorrhoe,

gangguanovulasi da siklusmenstruasi.
BerkembangnyaUlcuspepticumdenganbahayaperforasi

symptom klinik yang khas), Pancreatitis akut.


Myopathiedengankelemahanotot,
ototlemas
ototekstemitasbagianproksimal,

bahudanpinggang),

(seringtanpa
(terutamaototpemecahan

protein meningkat (akibatglukoneogenesis), pembentukan Fibroblast


dansintesaKollagenterhambat, hambatanpertumbuhanpadaanak-anak.
- Osteoporosis, nekrosetulang aseptic.
- Padakehamilanadabahayainsuffisiensi Placenta.
- Dalampercobaanbinatangterdapaefekteragonik(Widodo, dkk, 1993).
c. SyndromKetagihan:
- Insuffisiensikelenjarsuprarenalis.
- Malaise, demam, Myalgia, Arthralgia.
- Jarang: Pseudotumorcerebridengan Papilledema (Widodo, dkk, 1993).
2.2.4

Interaksi Obat

EfekderivatCoumarinmelemah

tetapikecenderunganperdarahanjugameningkat.
Pemberian yang bersamaandenganAntropianatauAnticholinergica yang

lain meninggikantekanan intra okuler.


Meningkatkankebutuhan insulin atauAntidiabetis oral
DalamhubungannyadenganSalisilatdanantiradang/ Antirheumatica
steroid

(karenajumlahThrombositmeninggi),

non

meningkatkaninsidenUlcuspepticumdenganbahayaperdarahan

gastrointestinal.

Efeknyamenurunpadapemberian Phenobarbital, Phenytoin, Rifampicin

dansebagainya (induksienzim).
MetabolismeDexamethasondihambatoleh Estrogen danpada orang tua,

meningkatpadaHyperthyreosis.
Resorpsimenurunpadapemberian

yang

bersamaandengan

Antasida

(Widodo, dkk, 1993).


2.2.5
-

Merek Preparat
Adrekon (tab 0,5 mg)
Bufadexon (caps 0,5 mg)
Cendomethason (tetesmata mg/ml)
Dexamethasone (inj. 5 mg/ml) (Widodo, dkk, 1993).

2.3

Metamizol/Dipiron/Noramidopirin/Methansulfonat

2.3.1

Farmakokinetik BM : 311

Ketersediaan biologik : 100% sebagai 4-Metil-aminoantipirin (4-MAA).

Dipiron adalah suatu prodrug dengan suatu absorpsi sebesar 100%


Volume distribusi : 0,71/kg (4-MAA)
Ikatan protein plasma : 60% (4-MAA)
Waktu paruh plasma : 3 jam (4-MAA)
Eliminasi : tidak ada yang dieliminasi renal tanpa diubah, semuanya
dimetabolisme di dalam hati menjadi metabolit utama 4-Metilaminoantipirin (4-MAA). Metamizol dapat didialisa. Memberiksn warna
merah pada urin yang tak mencurigakan, oleh karena terjadinya asam
Rubazonat (Widodo, dkk).

2.3.2

Dosis
Dosis untuk dipiron ialah 0,3-1 g tiga kali sehari. Dipiron tersedia dalam

bentuk tablet 500 mg dan larutan obat suntik yang mengandung 500 mg/ml
(Zubaidi, dkk, 1980).
2.3.3
-

Efek Yang Tidak Diharapkan


Jarangtapisangat berat : Agranulositosis dengan demam, menggigil,
keluhan menelan dan sakit pada leher, peradangan mukosa, jarang :

pembengkakan Limfonodi dan Lien.


Exanthema, Uritcaria, demam, Leukopenia, Thrombopenia.
Syok anafilaksi (juga masih bisa terjadi setelah 1 jam dari pemberian).
Tekanan darah turun tanpa gejala hypersensitifitas selanjutnya, terutama

pada hiperpireksia dan/atau injeksi yang cepat.


Peninggian transaminase.

Terutama pada pasien tua, terjadi retensi Natrium dan air dengan edema.
Provokasi suatu serangan Asthma pada pasien disposisi.
Pada pemberian selama kehamilan (terutama trimester terakhir), ada
bahaya terjadinya tekanan tinggi pimer sirkulasi paru-paru karena

penutupan dini dari D. Arteriosus Botalli.


Pada kelebihan dosis : Hypotensia, Takikardia, Cyanosis, nafas terengahengah, tonus otot meninggi, rahang menutup, kehilangan kesadaran,
serangan kram/kejang cerebral (Widodo, dkk, 1993).

2.3.4

Interaksi Obat

Eliminasi dipercepat pada adanya induksi enzim, diperlambat bila

diberikan bersamaan dengan simetidin.


Pada pemberian yang bersamaan dengan klorpromazin ada bahaya
terjadinya hypothermia berat (Widodo, dkk, 1993).

2.3.5
-

Merk Preparat
Kalpyron(Tab 500 mg)
Pyronal(Tab 500 mg)
Baralgin(Tab 500 mg/tab ; 5 mg/ml inj) (Widodo, dkk, 1993)

DAFTAR PUSTAKA
Furst, D. E. Dan Tino M. (2002). Obat-Obat Antiinflamasi Nonsteroid, Obat-Obat
Antireumatik Pemodifikasi Penyakit, Analgesk Nonopioid dan Obat-Obat
Untuk Pirai. Dalam Buku Farmakologi Dasar dan Klinik. Editor : Bertram
G. Katzung. Jakarta : Salemba Medika. Hal : 449-454.
Khan, F. A. dan Mohd F. K. (2010. Inflammation and Acute Phase Response.
International Journal of Applied Biology And Pharmaceutical Technology.
1 (2) : 315.
Mansjoer, S. (2003). Mekanisme Kerja Obat Antiradang. USU Digital Library : 16.
Mutschler, Ernst. (2010). Dinamika Obat. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 194.
Widodo, dkk. (1993). Kumpulan Data Klinik Farmakologik. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press. Hal : 177-179 ; 313-315.
Wilmana, P. Freddy dan Sulistia Gan. (2009). Analgesik-Antipiretik, Analgesik
Anti-Inflamasi Nonsteroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam
buku Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistia Gan Gunawan. Jakarta:
Universitas Indonesia. Hal.230, 232

Zubaidi, J., dkk. (1980). Analgesik-Antipiretik, Antireumatik dan Obat Pirai.


Dalam Buku Farmakologi dan Terapi. Editor : Sulistia Gan Gunawan.
Jakarta : Universitas Indonesia. Hal : 168-169.

LAMPIRAN

Hewan Percobaan

Spuit 1 ml, 3 ml dan Oral Sonde

Alat Plestismometer (Tikus)


Yang Digunakan

Larutan Obat

Anda mungkin juga menyukai