Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL

PENGARUH PENGGUNAAN PATSLIDE TERHADAP PENURUNAN


RESPON NYERI PADA PEMINDAAN PASIEN LANSIA DENGAN
TRAUMA DI IRD RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

OLEH :
RIZQI ROSYID RIDLO

(20141660077)

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga dapat terselesaikannya Skripsi dengan judul PENGARUH
PENGGUNAAN PATSLIDE TERHADAP PENURUNAN RESPON NYERI
PADA PEMINDAAN PASIEN LANSIA DENGAN TRAUMA DI IRD RSUD
DR. SOETOMO SURABAYA sebagai salah satu persyaratan akademis dalam
rangka menyelesaikan kuliah di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surabaya dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan kali ini disampaikan terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada ______________________ selaku dosen pembimbing
yang telah memberikan petunjuk, koreksi serta saran hingga terwujudnya skripsi
ini. Responden yang terhormat, Pasien lansia di IRD RSUD Dr. Soetomo yang
telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Terimakasih dan penghargaan juga disampaikan pula kepada yang
terhormat:
1. ________________ selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
muhammadiyah Surabaya.
2. ________________ selaku Direktur RSUD Dr. Soetomo Surabaya
3. ________________ selaku kepala IRD RSUD Dr. Soetomo Surabaya
4. Seluruh keluarga, terutama bapak, ibu dan adik yang telah memberikan
dukungan moral dan materi hingga selesainya penelitian
5. Seluruh teman- teman, terutama yang telah membantu proses penelitian ini
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga skripsi ini berguna baik bagi diri kami sendiri maupun
pihak lain yang memanfaatkan.

Surabaya, November 2015

DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................4


1.3. Tujuan Penelitian..........................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian.........................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6
2.1 Definisi Trauma.............................................................................................6
2.2 Prinsip Dasar Penanggulangan Trauma.........................................................6
2.3 Transportasi atau Pemindahan Pasien Trauma dengan Patslide....................9
2.4 Konsep Nyeri...............................................................................................10
2.5 Lansia...........................................................................................................21
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS...................................23
3.1 Kerangka Konseptual...................................................................................23
3.2 Hipotesis Penelitian.....................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................25

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lansia merupakan seseorang yang sudah berumur di atas 60 tahun. Secara
biologis, lansia mempunyai ciri-ciri yang dapat dilihat secara nyata pada
perubahan-perubahan fisik dan mentalnya. Proses ini terjadi secara alami yang
tidak dapat dihindari dan berjalan secara terus-menerus. Semakin bertambahnya
usia seseorang, beberapa fungsi vital dalam tubuh ikut mengalami kemunduran
fungsional. Pendengaran mulai menurun, penglihatan kabur, dan kekuatan
fisiknya mulai melemah. Kemenkes RI mencatat bahwa pada saat ini setengah
jumlah lansia di dunia (400 juta jiwa) berada di Asia, Pertumbuhan lansia pada
negara berkembang lebih tinggi dari negara yang sudah berkembang, masalah
terbesar lansia adalah penyakit degenaratif dan diperkirakan pada tahun 2050
sekitar 75% lansia penderita penyakit degenaratif tidak dapat beraktifitas. Badan
Pusat Statistik RI pada tahun 2012 mencatat bahwa penduduk lansia di Jawa
Timur menempati posisi tertinggi kedua dengan persentase 10,40% dari total 36
juta penduduk.
Transportasi merupakan suatu proses usaha untuk memindahkan pasien ke
tempat yang aman dengan atau tanpa menggunakan alat. Prinsip dalam
memindahkan pasien adalah tidak membuat cedera semakin parah pada pasien
maupun perawat. Pemindahan pada pasien lansia harus lebih diperhatikan karena
pemindahan dapat berisiko menimbukan cedera seperti nyeri pinggang bagian
bawah (low back pain) dan trauma medula spinalis (Wati, 2014).

Selama ini upaya pengangkatan dan pemindahan pasien secara optimal


belum mendapat perhatian secara khusus. Pemindahan dari tempat tidur ke
brangkar dengan menggunakan kain sprei/ perlak pada pasien lanjut usia yang
menderita trauma medula spinalis harus dilakukan dengan hati-hati, karena dapat
meningkatkan nyeri. Upaya yang dilakukan perawat dalam menurunkan nyeri
dalam proses pemindahan pasien hanya sebatas tindakan nafas dalam, intervensi
tersebut masih kurang membantu dalam mengurangi nyeri pasien saat proses
pemindahan (Potter, 2006).
Pelayanan di IRD RSUD Dr. Soetomo pada bulan Januari sampai
September 2015 mencapai 25.981 pasien dan pasien lansia dengan trauma
sebanyak 516 pasien (1,9%) dan sampai saat ini pemindahan pasien trauma masih
belum

mendapat

perhatian

petugas,

karena

pemindahan

pasien

hanya

menggunakan kain sprei/ perlak yang ditempati pasien. Padahal pasien dengan
trauma memerlukan transportasi yang baik agar tidak memperburuk kondisi yang
dapat berakibat pada kematian dan kecacatan. Berdasarkan studi pendahuluan
pada bulan September 2015 didapatkan data respon nyeri pada 15 pasien lansia
dengan trauma yang diambil secara acak di IRD RSUD Dr. Soetomo terdapat 11
orang (73%) tidak terjadi peningkatan respon nyeri saat pemindahan dengan
menggunakan Patslide.
Patslide merupakan alat untuk memindahkan pasien dengan sedikit
memiringkan tubuh pasien sehingga pasien tetap merasa nyaman dan risiko cedera
pada pasien dan staf perawat ketika memindahkan pasien dapat berkurang. Teknik
menggunakan Patslide dengan prosedur memiringkan pasien dapat berdampak
pada efisiensi pemakaian energi perawat dan pasien serta mengurangi penekanan

pada kulit, dibandingkan bila dilakukan dengan teknik memindahkan pasien


dengan menggunakan manual atau sprei. Pada penggunaan Patslide pasien akan
merasa lebih aman dan nyaman, serta mengurangi resiko nyeri, karena Patslide
menopang daerah spine, dan hampir tidak ada pergerakan kaki pasien saat
dilakukan pengangkatan (www.daniels.co.uk).
Keuntungan penggunaan Patslide adalah untuk mengurangi respon nyeri
pasien dan memudahkan perawat saat pemindahan. Penggunaan Patslide di IRD
RSUD dr. Soetomo selama ini masih jarang digunakan, sehingga banyak
menimbulkan resiko nyeri pinggang bagian bawah (low back pain) dan cedera
spine yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan secara menetap.
Kebutuhan akan rasa nyaman dan respon nyeri pasien dalam proses pemindahan
juga terganggu karena pasien dengan trauma seharusnya imobilisasi. Masalah
yang ditemui dilapangan pada Patslide yang tidak digunakan saat proses
pemindahan, karena petugas belum paham betul mengenai resiko pemindahan bila
tidak menggunakan Patslide dan belum adanya SOP penggunaan Patslide di IRD
RSUD dr. Soetomo. Oleh karena itu perlu dilakukan analisa untuk mengetahui
efek penggunaan Patslide terhadap penurunan respon nyeri saat mobilisasi dan
pemindahan pasien lansia dengan trauma dibandingkan pemindahan pasien
dengan menggunakan kain sprei/ perlak dengan harapan penelitian ini dapat
bermanfaat bagi praktek klinik keperawatan, terutama dalam mengurangi resiko
cedera dan memberikan rasa nyaman pada pasien saat transportasi pasien.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan
masalahnya sebagai berikut : Apakah ada pengaruh penggunaan patslide
terhadap penurunan respon nyeri pada pemindaan pasien lansia dengan trauma di
ird rsud Dr. Soetomo Surabaya?.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1

Tujuan Umum
Mengetahui efek atau pengaruh penggunaan Patslide terhadap respon

nyeri pada saat pemindahan pasien lansia dengan trauma di IRD RSUD Dr.
Soetomo
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi intensitas respon nyeri pasien setelah pemindahan dengan
menggunakan Patslide pada pasien lansia dengan trauma di IRD RSUD Dr.
Soetomo.
2. Menganalisis pengaruh penggunaan pat slide terhadap penurunan respon nyeri
pada pasien lansia dengan trauma di IRD RSUD Dr. Soetomo.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1

Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu
penanggulangan pasien gawat darurat (PPGD) dalam proses pemindahan
pasien.

1.4.2

Praktis

1. Bagi petugas kesehatan (baik perawat atau dokter) dapat memberikan


motivasi dalam penatalksanaan yang tepat pada pasien trauma dalam
proses pemindahan pasien dengan menggunakan alat khususnya
Patslide.
2. Mensosialisasikan Patslide sebagai alat yang tepat dan efisien dalam
pemindahan pasien trauma di kalangan petugas kesehatan.
3. Bagi institusi pendidikan dan latihan (Diklat) PPGD dapat memberikan
masukan bahwa alat Patslide dapat bermanfaat mencegah cedera
lanjutan dan menurunkan respon nyeri saat pemindahan pasien.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Trauma


Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka (Cerney, dalam
Pickett, 1998). Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang
mengakibatkan cedera. Cedera atau rudapaksa yang mengenai bagian tubuh atau
seluruh ekstremitas yang mengakibatkan injury baik langsung maupun tidak
langsung (Sjamsuhidajat, 1997).

2.2 Prinsip dasar penanggulangan trauma


Prinsip dasar penanggulangan trauma adalah segera memberikan
pertolongan dan perawatan sehingga dapat menyelamatkan, mempertahankan jiwa
korban serta mencegah dan mengurangi komplikasi yang timbul. Untuk itu sistem
penanggulangan trauma meliputi :
1. Primary survey pada penanggulangan penderita gawat darurat
Primary survey adalah pendeteksian secara cepat dan koreksi segera
terhadap kondisi yang mengancam jiwa, pengkajian harus dilakukan secara cepat
dan tepat. Cara pelaksanaanya sebagai berikut (Koeshartono, 2003) :
A = Airway management (Pengelolaan jalan nafas)
Tujuan airway management adalah membebaskan jalan nafas untuk
menjamin pertukaran udara secara normal.
Diagnosa : cara mengkaji terhadap adanya gangguan jalan nafas dapat diketahui
dengan cara look (melihat mulut faring apakah gigi palsu, sumbatan jalan nafas,

melihat gerakan nafas atau pengembangan dada, dan adanya retraksi intrekosta)
listen (mendengar suara pernafasan), dan feel (merasakan adanya aliran udara
pernafasan) yang dilakukan secara stimulan dengan satu gerak.
B = Breathing management (Pengelolaan ventilasi atau pernafasan)
Tujuan dari breathing management adalah memperbaiki fungsi ventilasi
dengan cara memberikan pernafasan buatan untuk menjamin kebutuhan adanya
oksigen dan pengeluaran CO2.
Diagnosa ditegakkan bila tidak ada tanda-tanda adanya pernafasan (metode look,
listen dan feel) dan telah dilakukan pengelolaan pada jalan nafas tetapi tidak
didapatkan adanaya pernafasan..
C = Circulation management (pengelolaan sirkulasi)
Tujuan dari circulation management adalah mengembalikan fungsi
sirkulasi darah. Gangguan sirkulasi yang mengancam nyawa terutama bila terjadi
henti jantung dan syok.
a. Henti jantung ditegakkan dengan tidak adanya denyut nadi karotis dalam
5-10 detik. Henti jantung dapat disebabkan karena kelainan jantung diluar
jantung ataupun kelaianan di dalam jantung.
b. Syok secara cepat dapat ditegakkan dengan tidak teraba atau melemahnya
nadi radialis, perfusi dingin, basah dan pucat.
D = Drug (Penggunaan obat kasus gawat darurat)
Defibrilator (mengatasi fibrilasi jantung, aritmia ganas)
Disability atau disfungtion of CNS (mengatasi gangguan ssp)
Differential diagnose (diagnosa banding)

E = Exposure/ Enviromental control


Mengetahui kondisi penderita dengan membuka baju dengan prinsip
menjaga pasien agar tidak hipotermi.
2. Secondary survey pada penanggulangan penderita gawat darurat
Secondary survey adalah suatu cara untuk mencari perubahan-perubahan
yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan dapat mengancam jiwa apabila
tidak segera diatasi. Pemeriksaan dalam secondary survey sebagai berikut :
a. Riwayat kesadaran pasien
Menggunakan acuan SAMPLE (Symstoms, Allergies, Medication, Post
medical history, Last oral intake, Event preseding the accident) (Brad, 1998).
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan trauma musculoskeletal memiliki empat komponen yang
harus diperiksa : (1) Kulit, (2) fungsi neuromuskular, (3) status sirkulasi, (4)
integritas ligamentum dan tulang. Evaluasi ini mencegah adanya trauma yang
tidak terkaji di primary survey.
3. Prinsip Imobilisasi trauma ekstermitas
Membidai trauma ekstremitas bila tidak disertai ancaman nyawa, biasanya
ditunda sampai secondary survey. Walaupun demikian cedera ini harus dibidai
sebelum penderita dirujuk. Setelah pemasangan bidai dan imobilisasi dan
stabilisasi fraktur harus dilakukan pemeriksaan status neurovaskuler melalui
Pulses, Motor, Sensation (PMS). Pemasangan lama (>2 jam) pada tungkai
penderita dengan hipotensi dapat menimbulkan sindroma kompartemen. Long
spine board digunakan untuk penderita trauma multiple dengan kemungkinan atau
terdapatnya trauma spinal yang tidak stabil, namun karena keras apalagi dipakai

tanpa bantalan selama kurang lebih 4-6 jam dapat menimbulkan decubitus pada
oksiput, scapula, sacrum dan tumit. Karena itu sesegera mungkin pasien
dipindahkan secara hati-hati ke tempat yang lebih lembut dengan Patslide.

2.3 Transportasi atau pemindahan pasien trauma dengan Patslide


Transportasi pasien atau memindalikan pasien dan satu tempat ke tempat
lain seringkali diperlukan, namun perlu diingat bahwa pasien dengan sakit yang
kritis tidak mempunyai atau hanya mempunyai sedikit cadangan fisiologik.
Sehingga pemindahan pasien kritis dapat menimbulkan problem yang besar.
Alasan itulah maka pemindahan pasien kritis memerlukan perencanaan yang
cermat serta pengawasan yang ketat.
Patslide merupakan alat yang digunakan untuk memindahkan pasien dari
tempat tidur ke brangkat. Patslide di beberapa negara digunakan karena mampu
menjaga keselamatan dan kenyamanan pasien selama transfer. Permukaan atas
patslide terasa halus sehingga dapat memberikan resistensi rendah, serta
memudahkan transfer pasien. Patslide sangat mudah untuk diposisikan dan ringan
digunakan karena beratnya kurang dari 5 kilogram. Prosedur penggunaan patslide
dengan cara menyelipkan patslide pada bagian bawah tubuh pasien, perawat
mengulurkan tangan dan menggenggam patslide kemudian memiringkan pasien
sedikit. Patslide dapat dioperasikan dengan 2 orang
Spesifikasi patslide sebagai berikut :

Terbuat dari bahan termoplastik tebal semi-flesibel

Dimensi 635x1530 mm

Berat 4,5 kg

Terdapat 2 pegangan pada kanan dan kiri patslide

2.4. Konsep Nyeri


2.4.1 Definisi nyeri
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan
maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP),
nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat
terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan.
Menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai
penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi
luka. Nyeri adalah apa yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila
yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi ini tidak berarti
bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat diekspresikan melalui
menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Mc Caffrey & Beebe, 1989 dikutip
dari Betz & Sowden, 2002).

2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri


Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi
pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan
faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini

sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang
baik.
1. Usia
Menurut Potter & Perry (1993) usia adalah variabel penting yang
mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri.
2. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan
secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan
bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi
nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis dimana
seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang
dilakukan Burn, dkk. (1989) dikutip dari Potter & Perry, 1993 mempelajari
kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan
dengan pria.
3. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri
(Calvillo & Flaskerud, 1991).
Nyeri memiliki makna tersendiri pada individu dipengaruhi oleh latar
belakang budayanya (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) nyeri biasanya
menghasilkan respon efektif yang diekspresikan berdasarkan latar belakang

budaya yang berbeda. Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu
tenang dan emosi (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) pasien tenang
umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki sikap dapat
menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan berekspresi secara
verbal dan akan menunjukkan tingkah laku nyeri dengan merintih dan
menangis (Marrie, 2002).
Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari
budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup
menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau meringis
yang berlebihan. Pasien dengan latar belakang budaya yang lain bisa
berekspresi

secara

berbeda,

seperti

diam

seribu

bahasa

ketimbang

mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda
dari satu pasien ke pasien lain.
Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami
mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu
untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan harapan dan
nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan
mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih
akurat dalam mengkaji nyeri dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga
efektif dalam menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer& Bare, 2003).
4. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri,
mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak
memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga

tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif


menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau
berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri.
Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan
secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang
efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan
nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2002).
5. Pengalaman masa lalu dengan nyeri
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya,
makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan
diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri,
akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi lebih
parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui
ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat.
Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian
nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu
dapat

saja

menetap

dan

tidak

terselesaikan,

seperti

padda

nyeri

berkepanjangan atau kronis dan persisten.


Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya
menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman masa
lalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat,
individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang
dan mampu mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).

6. Efek plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau
tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar benar
bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan efek
positif.
Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan keefektifan
medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak petunjuk yang
diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi
tersebut

nantinya.

Individu

yang

diberitahu

bahwa suatu medikasi

diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan


nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang
didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan pasien perawat yang
positif dapat juga menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek
plasebo (Smeltzer & Bare, 2002).
7. Keluarga dan Support Sosial
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran
dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering
bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi.
Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri
semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting
untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 1993).
8. Pola koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit
adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien kehilangan

kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Klien
sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun
psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri.
Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan
bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien dan
menurunkan nyeri klien.
Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien mungkin
tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga atau teman.
Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan kesendirian.
Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan untuk berdoa,
memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang
(Potter & Perry, 1993).

2.4.3 Klasifikasi Nyeri


Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut
biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cidera spesifik, jika
kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya
menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri
yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan (Brunner & Suddarth, 1996).
Berger (1992) menyatakan bahwa nyeri akut merupakan mekanisme
pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan. Secara fisiologis terjadi
perubahan denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer,
tegangan otot, keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil.

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan
dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering
didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih
(Brunner & Suddarth, 1996 dikutip dari Smeltzer 2001).
Menurut Taylor (1993) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai
macam gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya,
dimulai setelah detik pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik atau
menit. Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terusmenerus atau intermitten.

2.4.4 Fisiologi Nyeri


Menurut Torrance & Serginson (1997), ada tiga jenis sel saraf dalam
proses penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut
konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf
ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri
dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat
khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh.
Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor.
Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat
kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi
p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan
menyampaikan impuls ke otak (Torrance & Serginson, 1997).

Menurut Smeltzer & Bare (2002) kornu dorsalis dari medula spinalis dapat
dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan
serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara
sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir
pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke
korteks serebri.
Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus
diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak
dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis
yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang
menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area
ini disebut gerbang. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua
input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan
mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa
perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari
neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan
mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).
Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi interaksi
antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi
tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat.
Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis mengandung eukafalin
yang menghambat transmisi nyeri (Wall, 1978 dikutip dari Smeltzer & Bare,
2002).

2.4.5 Manajenen nyeri non-farmakologi: teknis distraksi


Distraksi adalah teknis memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain
pada nyeri (Brunner & Suddarth, 1996). Distraksi diduga dapat menurunkan
nyeri, menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desendens,
yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak.
Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan
membangkitkan input sensori selain nyeri (Brunner & Suddarth, 1996).
Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan menoton sampai
menggunakan aktivitas fisik dan mental yang sangat kompleks. Kunjungan dari
keluarga dan teman-teman sangat efektif dalam meredakan nyeri. Orang lain
mungkin akan mendapatkan peredaan nyeri melalui permainan dan aktivitas yang
membutuhkan konsentrasi. Tidak semua pasien mencapai peredaan nyeri melalui
distraksi, terutama mereka yang mengalami nyeri hebat. Dengan nyeri hebat klien
mungkin tidak dapat berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta dalam aktivitas
mental atau fisik yang kompleks (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Taylor (1997), cara-cara yang dapat digunakan pada teknik
distraksi antara lain: (1) penglihatan: membaca, melihat pemendangan dan
gambar, menonton TV, (2) pendengaran: mendengarkan musik, suara burung,
gemercik air, (3) taktil kinestik: memegang orang tercinta, binatang peliharaan
atau mainan, pernafasan yang berirama, (4) projek: permainan yang menarik,
puzzle, kartu, menulis cerita, mengisi teka-teki silang.

2.4.6 Pengukuran skala nyeri pada lansia


Intensitas nyeri (skala nyeri) adalah gambaran tentang seberapa parah
nyeri dirasakan individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat
berbeda oleh dua orang yang berbeda (Tamsuri, 2007).
a. Face Pain Rating Scale
Menurut Wong dan Baker (1998) pengukuran skala nyeri untuk anak usia pra
sekolah dan sekolah, pengukuran skala nyeri menggunakan Face Pain Rating
Scale yaitu terdiri dari 6 wajah kartun mulai dari wajah yang tersenyum untuk
tidak ada nyeri hingga wajah yang menangis untuk nyeri berat.

b. Skala intensitas nyeri numerik

Keterangan :
0 = tidak nyeri
1 - 3 = nyeri ringan (sedikit menganggu aktivitas sehari-hari).
3 - 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari).
7 - 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari).
2.4.7 Pengkajian Tanda Tanda Vital
1. Pengkajian tekanan darah
Tekanan darah dewasa cenderung meningkat seiring dengan penambahan usia.
Nyeri dan stres emosi mengakibatkan stimulasi simpatik yang meningkatkan
frekuensi darah, curah jantung, dan tahanan vaskuler perifer. Efek stimulasi
simpatik dapat meningkatkan tekanan darah. Faktor faktor yang
mempengaruhi nyeri adalah ansietas, nyeri, takut, stress, medikasi, variasi
diurnal serta kelamin (Perry & Potter, 2005).
2. Pengkaji nadi
Nadi adalah aliran darah yang menonjol dan dapat diraba di berbagai tempat
pada tubuh manusia. Nadi merupakan indikator status sirkulasi. Faktor
mekanis, neural, dan kimia meregulasi kontraksi jantung dan volume
sekuncup, perubahan frekuensi jantung akan mengakibatkan perubahan pada
nadi. Karakter nadi yang dikaji adalah frekuensi, irama, kekuatan, kesamaa.
Perubahan postur menyebabkan perubahan frekuensi nadi karena volume
darah dan aktifitas simpatik, secara kontemporer frekuensi jantung meningkat
saat seseorang berubah posisi (Perry & Potter, 2005).
3. Pengkajian pernafasan
Pernafasan adalah mekanisme tubuh menggunakan pertukaran udara antara
atmosfer dan darah serta darah dengan sel, termasuk ventilasi, difusi, dan
perfusi. Keadekuatan ventilator dapat mempengaruhi difusi dan perfusi yang
pada akhirnya mempengaruhi ventilasi. Ketidaknyamanan menyebabkan

20

21

pasien bernafas lebih cepat. Kondisi klinis seperti nyeri dapat mempengaruhi
pergerakan ventilator (Perry & Potter, 2005).
Respon fisiologi terhadap nyeri akut berupa trauma mempunyai kaitan yang
mendadak ditunjukkan pasien hingga berlangsung beberapa menit. Pasien
yang tidak mengalami nyeri mungkin tidak menunjukan pernafasan yang
meningkat akan tetapi menahan nafas (Brunner & Suddarth, 2002).
2.5 Lansia
Gerontik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan lanjut usia
dengan segala permasalahannya, baik dalam keadaan sehat maupun sakit. Lansia
dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi
Anna Keliat. 1999). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13
Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa lansia adalah seseorang yang
telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
2.5.1 Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia :
1. Pralansia (prasenilis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3. Lansia resiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia 60 tahun
atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).
4. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/ atau kegiatan yang
dapat menghasilkan barang/ jasa (Depkes RI, 2003).
5. Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).
2.5.2. Karakteristik Lansia

22

Menurut Budi Anna Keliat (1999), lansia memiliki karakteristik sebagai


berikut :
1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 Ayat ( 2) UU No. 13
tentang Kesehatan).
2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif
hingga kondisi maladaptif.
3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual


Trauma
Terputusnya continuitas jaringan
PPGD (Penanggulangan Penderita Gawat Darurat)

Primary survey dan resusitasi :


1. Airway
2. Breathing
3. Circulation
4. Disability
5. Eksposure/ Environment
Control

Secondary survey :
1. Riwayat kesadaran
2. Pemeriksaan fisik head to toe
3. Imobilisasi
system
muskuloskeletal

1.
2.
3.

Stabilisasi tubu pasien


Mencegah gerak berlebihan
Mencegah kerusakan jaringan
lunak

4.

Mengurangi respon nyeri

Pemindahan dengan patslide

Tekanan Darah

Pemindahan dengan kain sprei/ perlak

Nadi

Pernafasan

Gambar 3.1 Kerangka konseptual penelitian efek penggunaan patslide terhadap


penurunan respons nyeri pada pasien trauma saat pemindahan.
Keterangan :

= diukur

= tidak diukur

23

24

Trauma merupakan keadaan gawat darurat yang perlu penanganan segera.


Penelitian ini meneliti penanggulangan penderita gawat darurat pada pasien lansia
dengan trauma. Melalui primary survey yang terdiri dari airway, breathing,
circulation, disability dan eksposure/ environment control management dan
secondary survey yang terdiri dari riwayat kesadaran, pemeriksaan fisik head to
toe dan imobilisasi sytem muskuloskeletal. Penelitian ini memfokuskan pada
tindakan imobilisasi system musculoskeletal dengan harapan terjadi stabilisasi
tubuh pasien, mencegah gerak berlebihan, mencegah gerak berlebihan, mencegah
kerusakan jaringan lunak, dan mengurangi respon nyeri pasien. Pada saat
pemindahan tempat pasien trauma ekstremitas digunakan patslide dan kain
sprei/perlak, diharapkan dapat memberikan imobilisasi yang tepat pada saat
pemindahan pasien, serta stabilisasi pada tubuh penderita saat pemindahan, yang
nantinya dapat berdampak pada tidak terjadinya peningkatan rasa nyeri yang
dapat di lihat parameter tanda vital berupa tekanan darah, nadi, pernafasan.
Dampak terhadap penghentian pada perdarahan dan mencegah kerusakan jaringan
lunak lebih lanjut pada penelitian ini tidak diteliti. Penelitian ini memfokuskan
pada penggunaan patslide pada pengurangan respon nyeri saat pemindahan pasien
trauma.

3.2 Hipotesis Penelitian


Ho : Tidak ada perbedaan penggunaan perlak/sprei dan patslide dalam
menurunkan respon nyeri saat pemindahan pasien trauma.
H1 : Ada perbedaan penggunaan perlak/sprei dan patslide dalam menurunkan
respon nyeri saat pemindahan pasien trauma.

25

DAFTAR PUSTAKA

S. Tamher, Noorkasiani. 2009. Kesehatan Lansia dengan Pendekatan Asuhan


Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
R. Siti Maryam, Mia Fatma Ekasari, Rosidawati. Ahmad Jubaedi, Irwan Batubara.
2008. Mengenal Lansia dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai