Anda di halaman 1dari 345

KerjasamaSekolah Pascasarjana Prodi Pendidikan Kebutuhan Khusus

Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakulti Pendidikan Universiti


Kebangsaan Malaysia

PRAKTIK-PRAKTIK
TERBAIK PENDIDIKAN
UNTUK SEMUA
Isu-Isu Pendidikan Khusus di
Indonesia dan Malaysia
Editor: UPI:
Ignatius Dharta Ranu Wijaya
Juang Sunanto
Zaenal Alimin
UKM:
Mohd Hanafi Mohd Yasin
Mohd. Mokhtar Tahar
Safani Bari

2010

HomePBS

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Ketua Prodi Pendidikan Khusus Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan
Indonesia
PROLOG: Inklusifitas Pendidikan di Indonesia dan Malaysia
Bagian 1
INKLUSI DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN
PRAKTIS DI MALAYSIA DAN INDONESIA

DAN

IMPLEMENTASI

1. Kemudahan dan Infrastruktur Program Integrasi Pendidikan Khas di Malaysia


Mohd Hanafi Mohd Yasin, Norani Mohd Salleh, Hasnah Toran, Mohd Mokhtar
Hj Tahar, dan Siti Nur Nadirah Ibrahim (Universiti Kebangsaan Malaysia)
2. Kesediaan Guru Melaksanakan Proses Pengajaran dan Pembelajaran Dalam Kelas
Dengan Kepelbagaian Pelajar
Mohd Mokhtar Hj Tahar, Aliza Alias, dan (Universiti Kebangsaan Malaysia)
3. Profil Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar di Kota Bandung
Juang Sunanto (Universitas Pendidikan Indonesia)
4. Indeks Inklusif di Sekolah Dasar Anak Korban Konflik Perang Timor-Timur
Munce R. Therik dan Juang Sunanto (Universitas Pendidikan Indonesia)
5. Sikap Guru Sekolah Dasar (SD) terhadap Penyelenggaraan Sekolah Inklusif
Herlina (Universitas Pendidikan Indonesia)
6. Pengembangan Model Pembelajaran Dalam Kelas Inklusif Untuk Meningkatkan
Prestasi Belajar Peserta Didik
Mohamad Sugiarmin (Universitas Pendidikan Indonesia)
Bagian 2
INDIVIDUALITAS DAN KEPELBAGIAN PELAJAR
1. Orientasi Ulang Pendidikan AnakTunagrahita (Children with Intellectual Disability)
Zaenal Alimin (Universitas Pendidikan Indonesia)
2. Punca dan Ciri-Ciri Kanak-Kanak Bermasalah Pendengaran
Safani Bari, Mohd Hanafi Mohd Yasin, dan Mohd Mokhtar Hj Tahar (Universiti
Kebangsan Malaysia)
3. Dampak Ketunanetraan terhadap Perkembangan Kompetensi Sosial Anak
Didi Tarsidi (Universitas Pendidikan Indonesia)
4. Memahami Aspek Sosio Emosi Pelajar Pintar Cerdas dan Berbakat
Rosadah Abd Majid dan Aliza Alias (Universiti Kebangsaan Malaysia) - Mohd
Zuri bin Ghani (Universiti Sains Malaysia)
5. Cabaran Ibu Bapa Yang Mempunyai Anak Autisme
Mohd Mokhtar Tahar dan Pua Yoke Fang (Universiti Kebangsaan Malaysia)

Bagian 3
KEBUTUHAN PERKEMBANGAN DALAM KEPELBAGIAN PELAJAR
1. Resiliensi Siswa di Sekolah Dasar
Ign. Dharta Ranu Wijaya (Universitas Pendidikan Indonesia)
2. Interaksi Sosial Pelajar Berkeperluan Khas dalam Program Integrasi
Safani Bari, Mohd Mokhtar Hj Tahar, dan Mohd Hanafi Mohd Yasin (Universiti
Kebangsaan Malaysia)
3. Kepentingan Aktiviti Rekreasi Kepada Kanak-Kanak Berkeperluan Khas
Manisah Mohd. Ali dan Mohd Mokhtar Hj Tahar (Universiti Kebangsaan
Malaysia)
4. Merencana Kerja Keusahawanan Bagi Golongan Orang Kurang Upaya
Norasmah Hj. Othman dan Mohd Mokhtar Hj Tahar (Universiti Kebangsaan
Malaysia)
5. Perilaku Seksual Remaja Autis
Sukinah (Universitas Negeri Yogyakarta)
Bagian 4
STRATEGI-STRATEGI PEMBELAJARAN DALAM KEPELBAGIAN
PELAJAR
1. Pencapaian Murid-Murid Pemulihan Dalam Tiga Kaedah Pembelajaran
Mohd. Hanafi Mohd Yasin, Mohd Mokhtar Hj Tahar, Hasnah Toran, dan Safani
Bari (Universiti Kebangsaan Malaysia) - Sazali Abd. Hamid, Nik Azhar Nik
Abd. Rahman, Zawawi Zahari, Bahari Abu Bakar, Aziz Jantan, dan Azman
Nordin (Kementerian Pelajaran Malaysia)
2. Pendidikan Pemulihan di Sekolah Menengah: Satu Tinjauan Keperluan Pelaksanaan
daripada Konteks Penguasaaan Kemahiran Asas Matematik
Mohd Mokhtar Hj Tahar dan Manisah Mohd Ali (Universiti Kebangsaan
Malaysia)
3. Pengaruh Kesadaran Linguistik dan Kesadaran Persepsi Visual terhadap Kemampuan
Membaca Permulaan Anak Tunagrahita
Endang Rochyadi (Universitas Pendidikan Indonesia)
4. Kemahiran Membaca Bahasa Melayu Kanak-Kanak Pra Sekolah di Malaysia
Mohd Mokhtar Hj Tahar, Mohd Hanafi Mohd Yasin, Safani Bari, dan Norma
Ibrahim (Universiti Kebangsaan Malaysia)
5. Pengembangan Kemampuan Berbahasa pada Siswa Tunarungu Melalui Aplikasi dan
Portal Pembelajaran Bahasa i-CHAT (I Can Hear and Talk)
Permanarian Somad (Universitas Pendidikan Indonesia) - Andreas W. Yanuardi,
Samudra Prasetio, Johannes Adi P (R&D Center PT. Telekomunikasi Indonesia,
Tbk.)
6. Penggunaan Sistem FM (Frequency Modulation) Dalam Kalangan Murid-muridd
Bermasalah Pendengaran
Mohd Hanafi Bin Mohd Yasin dan Choong Shee Yin (Universiti Kebangsaan
Malaysia)
7. Sensitivitas Proprioseptic dalam Menggunakan Tongkat Beroda pada Anak
Tunanetra
Juang Sunanto (Universitas Pendidikan Indonesia)

8. Pengajaran Tilawah al-Quran dalam Kalangan Kanak-Kanak Bermasalah Penglihatan


Khadijah Abdul Razak dan Norshidah Mohamad Salleh (Universiti Kebangsaan
Malaysia)
9. Pengembangan Model Pengusaha Anak Berbakat Berbasis Persaingan Usaha
Ibnu Syamsi (Universitas Negeri Yogyakarta)

10. PERMATApintar: Program Pendidikan Pelajar Pintar Cerdas Malaysia


Hamidah Yamat, Noriah Mohd Ishak, Rosadah Abdul Majid, dan Siti Fatimah
Mohd. Yasin (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Bagian 5:
ANALISIS PERILAKU TERAPAN
1. Menangani Persoalan Perilaku Siswa di Sekolah, Pengantar Bagi Guru pada
Asesmen Fungsional Perilaku dan Rencana Intervensi Perilaku
Ign. Dharta Ranu Wijaya (Universitas Pendidikan Indonesia)
2. Penerapan Prinsip-Prinsip Konseling Behavioral Dalam Pembelajaran Kemandirian
Siswa Tunagrahita
Iding Tarsidi (Universitas Pendidikan Indonesia)

EPILOG: Komitmen Bersama


Biografi Editor
Para Penulis
Daftar Indeks

Kata Pengantar
Ketua Prodi Pendidikan Khusus Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan
Indonesia
Dr. Zaenal Alimin

Selama ini hasil-hasil penelitian dalam bidang pendidikan khusus di progaram studi
Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS UPI belum tersebar secara luas. Hasil-hasil
penelitian baik penelitian yang dilakukan oleh dosen maupun oleh mahasiswa baru
dalam bentuk laporan penelitian. Tidak banyak yang dipublikasikan dalam jurnal
apalagi dibuat dalam bentuk buku.
Seminar hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 20 Nopember 2010 atas
kerjasama antara program studi Pendidikan kebutuhan Khusus Sekolah Pascasarjan UPI
dengan Pendidikan Khas Univesiti Kebangsaan Malaysia telah menghasilkan prosiding
seminar yang lengkap. Diantara sekian banyak artikel yang temuat dalam prosiding itu
terdapat sejumlah artikel yang menarik dan oleh karena itu artikel-artikel tersebut
diusulkan agar dibuat dalam bentuk buku yang akan diedarkan di Indonesia dan
Malaysia. Buku tersebut diharapkan dapat memperkaya pengetahuan para mahasiswa
dan dosen yang mempelajari pendidikan khusus baik di Indonesia maupun di malaysia.
Saya sebagai ketua program studi Pendidikan Kebutuhan Khusus Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia sangat mengahrgai dan mengucapkan terima kasih
kepada para penulis artikel yang dimuat dalam buku ini baik dari UPI maupun dari
UKM mudah-mudahan bermanfaat bagi perkembangan pendidikan khusus di Indonesia
dan Malaysia.
Semoga kerjasama yang lebih kokoh dan lebih luas lagi dapat terjalin di antara kedua
lembaga pendidikan tinggi dari negara serumpun ini.
Bandung, Desember 2010

PROLOG
PRAKTIK-PRAKTIK TERBAIK PENDIDIKAN UNTUK SEMUA:
Isu-Isu Pendidikan Khusus di Indonesia dan Malaysia

endidikan Khusus atau Pendidikan Khas adalah bidang kajian yang sangat penting
bagi setiap negara dalam mengimplementasikan pendidikan bagi semua. Melalui
Pendidikan Khusus individu dengan berbagai kebutuhan belajar yang spesifik
berpeluang mendapatkan pendidikan yang bermakna karena mereka tidak saja
mengalami pengalaman yang berharga tetapi juga akan membantu mereka menuju
kehidupan yang berkualitas. Namun tidak dinafikan bahwa pelbagai cabaran dalam
pendidikan khusus harus dihadapi demi menuju pada pendidikan yang lebih inklusif
bagi semua peserta didik. Gagasan diselenggarkannya seminar hasil penelitian antara
program studi Pendidikan Khusus Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan
Indonesia (PKKh SPS UPI) dengan Jurusan Pendidikan Khas Universiti Kebangsaan
Malaysia (UKM) pada tanggal 20 November 2010 lalu merupakan suatu upaya untuk
membangun kekuatan dan kebijaksanaan dalam menghadapi segala cabaran tersebut.
Program studi PKKh SPS UPI dan Program Pendidikan Khas di Fakulti Pendidikan
UKM berupaya senantiasa bergerak maju untuk tidak sekedar mengikut arus
perkembangan tetapi juga berupaya memberikan kontribusi dalam pendidikan khusus di
dunia.
Himpunan tulisan dalam diskursus ilmiah antara UPI dan UKM mengenai praktikpraktik terbaik dalam pendidikan untuk semua, patut kiranya untuk dipublikasikan
kembali menjadi sebuah buku ilmiah populer, supaya subtansi nya dapat lebih dipahami
oleh masyarakat luas dan secara khusus bagi para penentu kebijakan pendidikan di
Indonesia dan Malaysia. Kami kemudian bersepakat menyusun tulisan itu dengan
melakukan penyuntingan. Kami juga memilah tulisan berdasarkan pokok masalah
hingga tersusun konsep yang kemudian tertuang dalam buku ini. Sebagai editor, kami
berpendapat bahwa subtansi buku ini layak disimak oleh siapa saja yang ingin
mengetahui hakikat pendidikan bagi semua sebagaimana disampaikan melalui praktikpraktik terbaik dalam pendidikan khusus di Indonesia dan Malaysia. Sudahkah
Indonesia dan Malaysia mencapai pendidikan untuk semua, jika setelah membaca buku
ini jawaban yang ditemukan adalah belum, maka para pembaca dan utama nya praktisi
pendidikan khusus di kedua negara merefleksikan kembali setiap pengalaman dan
praktik pendidikan yang telah dijalani.
Buku editorial ini kami beri judul PRAKTIK-PRAKTIK TERBAIK
PENDIDIKAN UNTUK SEMUA: Isu-Isu Pendidikan Khusus di Indonesia dan
Malaysia. Mengapa judul buku ini demikian, dan pesan apa yang patut dijadikan
bahan diskusi bagi para pembaca?
Pertama, secara de facto maupun de jure, Lebih dari 300 peserta yang mewakili 92
pemerintah dan 25 organisasi internasional bertemu di Salamanca, Spanyol, dari
tanggal 7 sampai 10 Juni 1994, untuk memperluas tujuan pendidikan untuk semua

(Education for All) dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang


diperlukan untuk mempromosikan pendekatan pendidikan inklusif, agar sekolahsekolah dapat melayani semua anak, terutama mereka yang mempunyai kebutuhan
pendidikan khusus. Pendidikan sebagai hak untuk semua anak telah tercantum dalam
berbagai instrumen internasional mulai dari Deklarasi Universal 1948. Instrumeninstrumen selanjutnya menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tertentu, termasuk
anak penyandang cacat, sangat rentan untuk dipinggirkan. Hak untuk memperoleh
pendidikan dan tidak didiskriminasikan telah disorot dalam instrumen-instrumen yang
lebih rinci seperti deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang Hak Anak. Namun, hak
atas pendidikan tidak secara otomatis mengimplikasikan inklusi. Hak atas Pendidikan
Inklusif yang paling jelas telah dinyatakan dalam Pernyataan Salamanca dan Kerangka
Aksi yang menekankan bahwa sekolah membutuhkan perubahan dan penyesuaian.
Pentingnya penggalangan sumber-sumber yang tepat untuk inklusi dinyatakan dalam
Peraturan Standar PBB. Implementasi instrumen-instrumen PBB tersebut telah
dievaluasi oleh sejumlah LSM internasional yang menyatakan bahwa Pendidikan untuk
Semua belum terlaksana dan tidak akan terlaksana kecuali adanya partisipasi di tingkat
akar rumput dan adanya alokasi sumber-sumber secara nyata.
Kedua, inklusi adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan filosofis bahwa semua
individu memiliki hak untuk terlibat dalam pendidikan. Paradigma Inklusi menjadi
sebuah kekuatan; kekuatan kutural untuk menciptakan perbaikan mutu pendidikan.
Dalam kaitannya dengan praktik pendidikan, Pendidikan Inklusif dipandang telah
berhasil meningkatkan mutu sekolah dan pendidikan kebutuhan khusus. Peningkatan
mutu sekolah merupakan persiapan yang sangat baik untuk Pendidikan Inklusif, tetapi
sering kali tidak cukup baik untuk benar-benar menginklusikan kelompok anak yang
paling termarjinalisasi. Pendidikan Kebutuhan Khusus telah menyumbangkan keahlian
yang sangat praktis dan menjadi pendukung yang sangat kuat untuk keberlangsungan
Pendidikan Inklusif.
Ketiga, pesan moral dari nilai-nilai inklusi yang luhur harus terus direalisasikan oleh
setiap negara dengan seluruh komponen masyarakat dari zaman ke zaman. Karena itu
bangsa Indonesia dan Malaysia melalui institusi pendidikan mereka, bersama-sama
mengupayakan perhatian dan berpihak pada individu-individu yang perlu dilayani dan
masih terpinggirkan. Realitasnya, apabila masih ada negara di dunia ini, termasuk
Indonesia dan Malaysia masih melanggengkan atau sengaja membiarkan praktikpraktik yang tidak adil terhadap individu-individu yang kurang beruntung, maka kata
inklusi akan kehilangan maknanya. Kedua bangsa serumpun ini bersama-sama tengah
mengupayakan inklusi dalam pengertian yang lebih subtantif-fungsional.
Keempat, keseluruhan artikel dan hasil penelitian yang menjadi materi pokok buku ini
telah menggambarkan judul buku di atas. Untuk kepentingan sistematisasi dan
keselarasan antara subtansi dengan judul buku, maka editor sengaja menampilkan
artikel dan hasil penelitian berdasarkan tema-tema tulisan dalam setiap bagian nya.
Editor bersama-sama menggunakan Bahasa Indonesia dan Malaysia sesuai bahasa asli
dari setiap artikel dan hasil penelitian yang ditampilkan dalam buku ini. Banyak kata
yang dipakai editor untuk dapat saling menggantikan istilah yang digunakan baik dalam
Bahasa Indonesia maupun Malaysia, seperti pendidikan khusus dan pendidikan khas,

murid dan pelajar, isu dan cabaran, dan lain sebagainya. Secara garis besar
keseluruhan isi buku ini dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Tema besar pada bagian pertama adalah: Inklusi dalam Perspektif Kebijakan dan
Implementasi Praktis di Malaysia dan Indonesia. Mohd Hanafi Mohd Yasin bersama
dengan kawan-kawan (dkk.) dari Universiti Kebangsaan Malaysia melakukan penelitian
terhadap 554 guru pendidikan khas yang tersebar di Sabah. Ia mencoba menggali
informasi mengenai kemudahan dan infrastruktur yang terdapat di Sekolah Pendidikan
Khas dan Program Integrasi Pendidikan Khas di Malaysia. Hasil penelitiannya
menunjukkan adanya pengalaman para guru yang sangat variasi (mencabar) dalam
pelaksanaan program pendidikan khas di Malaysia. Pengayaan bagi para guru juga
ditemukan kurang memberikan kesan positif karena kursus dilakukan secara singkat dan
modul yang digunakan selalu sama setiap tahun nya. Mayoritas guru di Sabah juga
ternyata kurang mengetahui kebijakan dan maklumat mengenai pelaksanaan pendidikan
khas baik yang berhubungan dengan kemudahan maupun infrastruktur yang ada. Hanafi
menyampaikan bahwa kemudahan dan infrastruktur tersebut sesungguhnya dapat
membantu guru dalam mengoptimalkan proses belajar para murid. Selain menegaskan
akan perlunya peningkatan dalam kemudahan dan infrastruktur di Sekolah Pendidikan
Khas dan Program Integrasi Pendidikan Khas di Malaysia, Hanafi juga
merekomendasikan bahwa program pendidikan khas di Malaysia perlu mengembangkan
aksesibilitas murid bekeperluan agar mereka terus mendapatkan pendidikan dan tidak
diabaikan.
Mohd. Mokhtar Tahar dkk. mengawali tulisannya dengan fakta bahwa di Malaysia
sebagian besar guru-guru di sekolah tidak mempunyai keterampilan untuk membuat
pengadaptasian dalam proses pengajaran. Ini membawa kepada implikasi bahwa guruguru khas dan biasa perlu dilatih mengenai pengadaptasian proses pengajaran dan
pembelajaran dengan mengambil ciri-ciri kepelbagaian pelajar. Kepelbagaian menurut
Mokhtar adalah salah satu faktor penting yang harus dipertimbangkan oleh guru
sebelum merancang proses pengajaran dan penilaian dalam kelas. Bila ada perbedaan
gaya belajar dan kebutuhan belajar yang beragam dari para murid, maka guru wajib
melakukan pengadaptasian dalam metodologi pengajaran nya. Pengadaptasian dalam
proses pengajaran dan pembelajaran ini memberikan peluang yang sama kepada semua
murid baik yang pintar maupun pelajar berkeperluan khas. Tidak terbatas pada adaptasi
metodologi pengajaran dan penilaian saja, Mokhtar juga menambahkan bahwa guru
perlu melakukan adaptasi-adaptasi terhadap area-area perkembangan lainnya, seperti
emosi sosial, fisik dan tingkah laku. Semua itu menurutnya akan memberikan iklim
pembelajaran yang lebih adil, tepat, dan dapat melibatkan semua pelajar termasuk di
dalamnya pelajar-pelajar berkeperluan khas.
Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia disampaikan oleh Juang Sunanto yang
menampilkan gambaran pendidikan inklusi di sekolah dasar yang ada di Bandung. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa jumlah siswa dengan kebutuhan belajar yang khusus
di sekolah dasar di Bandung bervariasi antara 1 hingga 4 anak dengan jumlah total
siswa berkisar antara 20 hingga 46 siswa dalam kelas. Namun disampaikan pula bahwa
2 siswa dengan kebutuhan belajar yang khusus dalam kelas merupakan pemandangan
yang umum di Bandung. Terbersit juga kekuatiran dari Juang mengingat rasio antara
siswa dan guru yang tidak ideal ditemukan dalam penelitian nya. Ada kelas dengan

jumlah siswa yang banyak; lebih dari 25 anak termasuk siswa dengan kebutuhan khusus
tetapi hanya 1 orang guru saja yang menangani mereka. Hal inilah yang kemudian
berpengaruh terhadap indeks inklusi yang ditemukan nya, yaitu sebesar 35,58 padahal
indeks inklusi yang ideal adalah 54. Indeks inklusi yang tinggi ditemukan nya pada
sekolah-sekolah yang mempunyai lebih dari 1 orang di kelas yang menyertakan siswa
dengan kebutuhan belajar yang khusus. Sekolah-sekolah tersebut ternyata juga aktif
menyertakan guru-guru mereka dalam pelatihan-pelatihan yang bertujuan menangani
anak berkebutuhan khusus. Tidak berbeda jauh dengan penelitian Juang Sunanto,
Munce R. Therik kemudian berusaha menampilkan indeks inklusi di sekolah-sekolah
dasar yang menampung anak-anak korban konflik perang Timor-Timur di daerah
Kupang. Rata-rata indeks inklusi yang didapat nya adalah 32,44. Meski belum ideal
tetapi Munce secara optimis menyampaikan bahwa nilai-nilai pendidikan inklusif sudah
ada dan telah diterapkan di SD yang melayani anak korban konflik perang TimorTimur baik disengaja maupun tidak disengaja.
Herlina dari Indonesia mengangkat isu tentang pengaruh jenis sekolah, latar belakang
pendidikan guru, pelatihan pendidikan inklusif, jumlah siswa di kelas, dan pengalaman
menangani anak berkebutuhan khusus terhadap sikap guru SD di Kabupaten Kuningan
Jawa Barat. Hasil penelitian nya menunjukkan bahwa guru-guru SD di Kabupaten
Kuningan Jawa Barat memiliki sikap yang cukup positif terhadap penyelenggaraan
sekolah inklusif, baik dalam sikap secara umum maupun dalam komponen kognitif
sikap, komponen afektif, serta konatif; jenis sekolah tempat guru mengajar, pelatihan
pendidikan inklusif, dan jumlah siswa di kelas berpengaruh secara signifikan, tetapi
latar belakang pendidikan guru dan pengalaman menangani anak berkebutuhan khusus
ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap sikap guru SD di Kabupaten
Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif; secara umum, SLB
menjadi pilihan utama para guru sebagai tempat mendidik ABK, dan hal ini menurut
Herlina tidak konsisten dengan sikapnya yang positif terhadap penyelenggaraan sekolah
inklusif. Berawal dari kegelisahan mengenai pelaksanaan pendidikan inklusif di
Indonesia yang belum memenuhi harapan dengan ditunjukkan nya indeks inklusi yang
masih rendah, Mohamad Sugiarmin berupaya menemukan model pembelajaran yang
dapat digunakan dalam kelas di sekolah dasar penyelenggara pendididkan inklusif.
Penelitian nya dilaksanakan di kota Bandung dengan subjek peserta didik, guru, dan
kepala sekolah. Melalui tahap pertama penelitian nya, Sugiarmin kemudian
merumuskan draft model pembelajaran yang diharapkan akan dapat diimplementasikan
pada SD penyelenggara pendidikan inklusif, sehingga terjadi peningkatan inklusifitas
pembelajaran pada kelas di SD penyelenggara pendidikan inklusif .
Pada bagian kedua buku ini, tema sentralnya adalah Individualitas dan Kepelbagian
Pelajar. Bagian ini diawali dengan studi lapangan yang dilakukan oleh Zaenal Alimin
dari Indonesia yang risau akan kesan pendidikan bagi anak tunagrahita yang belum
mampu memberikan pengaruh nyata dalam kehidupan mereka di masyarakat luas.
Semua ini menurutnya terjadi karena adanya prioritas akademis dan pembelajaran yang
masih bersifat klasikal pada anak tunagrahita. Alimin kemudian menawarkan perlunya
orientasi ulang dalam pendidikan anak tunagrahita. Secara obyektif ia mengupas tuntas
mengenai individualitas anak tunagrahita yang sesungguhnya dan kemudian
menawarkan pendekatan fungsional sebagai bentuk revisi dari pendekatan formal di
Sekolah Luar Biasa (SLB) yang selalu menekankan pada 1) Kurikulum 2) Pendekatan

Pembelajaran, dan 3) Penilaian hasil belajar. Meminjam teori dari Vygotsky mengenai
zone proximal development yang pernah menjadi bahan disertasinya, Alimin yakin
bahwa pada anak tunagrahita pun dapat diupayakan. Tetapi semua itu sangat bergantung
pada kemampuan guru untuk melakukan (1) asesmen perkembangan anak, (2) adaptasi
kurikulum (bahan ajar) dengan perkembangan anak, (3) memilih lingkungan belajar,
dan terakhir (4) melaksanakan setiap tahapan pembelajaran.
Bila Zaenal Alimin sangat concern pada anak dengan ketunagrahitaan, maka Safani
Bari dkk. dari Universitas Kebangsaan Malaysia sangat concern pada anak-anak
bermasalah pendengaran. Safani Bari mengungkapkan perlu nya pemahaman yang
holistik terhadap keadaan dari anak-anak bermasalah pendengaran untuk dapat
membantu mereka secara optimal. Secara sistematis, individualitas anak bermasalah
pendengaran dikupas tuntas oleh Safani Bari. Ia mengawali dengan definisi yang
lengkap mengenai masalah pendengaran, anatomi telinga, sebab dan akibat dari setiap
jenis masalah pendengaran yang dapat dialami anak, kaidah berkomunikasi, dan startegi
pembelajaran bagi anak-anak bermasalah pendengaran. Sangat tepat kiranya pepatah:
tak kenal maka tak sayang karena informasi yang lengkap dan utuh mengenai isu anak
bermasalah pendengaran akan sangat bermanfaat dalam mendukung dan menerapkan
Program Integrasi Pendidikan Khas di Malaysia.
Didi Tarsidi dari Universitas Indonesia mengupas dampak ketunanetraan terhadap
perkembangan kompetensi sosial anak. Bagi Tarsidi, karakteristik anak yang memiliki
kompetensi sosial meliputi: mampu mempersepsi orang lain secara tepat, asertif,
responsif, berempati, memiliki rasa humor, ramah kepada teman sebaya dan santun
kepada orang dewasa. Karakteristik-karakteristik tersebut hanya dapat ditunjukkan
secara baik oleh anak yang baik fungsi kognitifnya, fungsi bahasanya serta keterampilan
sosialnya, yang dilengkapi dengan keterampilan mobilitas yang baik. Oleh karena itu, Ia
membahas bagaimana dampak ketunanetraan berpengaruh terhadap perkembangan
fungsi-fungsi dan keterampilan-keterampilan tersebut. Pembahasan dari Tarsidi
mengenai perkembangan kompetensi sosial anak tunanetra difokuskan terutama pada
anak yang mengalami kebutaan sejak lahir (congenital blindness) atau yang
ketunanetraannya terjadi pada tahun-tahun pertama masa kehidupannya dan tanpa
ketunaan tambahan, namun demikian Tarsidi juga memberi ruang dalam tulisan nya
bagi bermacam-macam tingkat ketunanetraan. Bagian akhir tulisan Tarsidi
mengungkapkan bahwa sejumlah penelitian telah berhasil dalam mengajarkan
keterampilan sosial kepada anak tunanetra, salah satunya melalui prinsip-prinsip
behavioristik. Tarsidi kemudian berharap agar bahasan dalam tulisannya dapat
dilanjutkan hingga strategi intervensi yang seharusnya dipergunakan baik oleh orang tua
maupun para pendidik dalam mengupayakan pendidikan yang tepat bagi pelajar dengan
ketunanetraan.
Rosadah Abd Majid, Aliza Alias, dan Mohd Zuri bin Ghani dari Malaysia mengajak
para pembaca untuk memahami aspek sosio emosi pelajar pintar cerdas dan berbakat.
Mereka berharap agar orang tua dan para pendidik dapat memupuk sikap yang sesuai
dan merima keunikan tingkah laku pelajar pintar cerdas. Rosadah dkk. secara rinci
menjelaskan ciri-ciri kekuatan pada pelajar pintar cerdas yang dapat menimbulkan
masalah dalam interaksi, dampak (punca) nya, tekanan-tekanan sosial yang dialami,
teman sebaya, dan persoalan underachievement yang sering terjadi pada pelajar pintar

cerdas. Pada akhir tulisan Rosadah dkk. ditegaskan bahwa pemenuhan kebutuhan
pendidikan bagi pelajar pintar cerdas menjadi tanggung jawab orang tua dan pendidik.
Pelajar pintar cerdas berhak difahami dan menerima pendidikan yang sesuai dengan
keperluan mereka dalam pelbagai domain pembelajaran.
Isu seputar orang tua yang memiliki anak dengan autisme diangkat oleh Mohd Mokhtar
Tahar dan Pua Yoke Fang. Melalui kajian deskriptif dengan menggunakan disain
penelitian subyek tunggal (single case design), mereka menyimpulkan bahwa persoalan
autisme di Malaysia perlu mendapatkan perhatian yang serius. Orang tua yang memiliki
anak dengan autisme mengalami rasa keliru, emosi terkejut, penolakan, saling
menyalahkan, dan persaan-perasaan negatif lainnya. Kompleksitas gangguan
perkembangan autisme memberikan dampak yang berat bagi orang tua sehingga
Mokhtar dan Pua Yoke Fang menegaskan perlunya kejelasan bagi orang tua untuk
melakukan intervensi bagi anak, apalagi mengingat bahwa orang tua yang memiliki
anak dengan autisme seringkali tidak tahu di mana dan bagaimana mereka mendapatkan
layanan pendidikan bagi anak mereka. Mokhtar dan Pua Yoke Fang juga berpendapat
bahwa di Malaysia tidak mudah mendapatkan layanan pendidikan yang tepat bagi anak
yang mengalami autisme. Layanan pendidikan atau intervensi yang tidak tepat tidak saja
menambah kesulitan pada anak dengan autisme tetapi juga membawa orang tua pada
masalah yang lebih besar lagi. Banyak hal yang harus dilakukan untuk membantu anakanak dengan autisme mengingat tantangan-tantangan yang mereka hadapi di usia remaja
dan dewasa nantinya.
Bagian ketiga buku ini berbicara tentang Kebutuhan Perkembangan dalam
Kepelbagian Pelajar. Bagian ini diawali dengan keprihatinan Ign. Dharta Ranu Wijaya
terhadap proses belajar dari tingkat pendidikan yang paling dasar di Indonesia yang
mengandung nilai paksaan, menakuti-nakuti, dan mengembangkan sikap mencari jalan
pintas. Fakta-fakta mengenai adanya risiko para pelajar mendapatkan pengalaman yang
negatif di sekolah itu yang kemudian mendorong Ranu Wijaya melakukan penelitian
mengenai kemampuan anak untuk sukses di sekolah sekalipun terdapat berbagai kondisi
yang menghambat perkembangan mereka (baca: resiliensi). Resiliensi menurut Ranu
Wijaya adalah salah satu area penelitian yang mempunyai implikasi penting dalam
meningkatkan kualitas pendidikan bagi pelajar yang menunjukkan risiko kegagalan di
sekolah. Penelitian mengenai resiliensi dilakukan di sekolah dasar umum baik sekolah
negeri maupun sekolah swasta yang ada di Bandung. Hasilnya kemudian menyatakan
adanya perbedaan aset-aset personal dan faktor risiko-risiko yang ditunjukkan oleh
pelajar resilien dan pelajar nonresilien. Berbagai faktor risiko yang berasosiasi pada
kegagalan pelajar di sekolah juga disebabkan oleh kondisi tertentu di lingkungan
sekolah. Pelajar resilien menunjukkan kepuasan yang lebih di kelas atau di sekolah nya
dan mereka juga mempersepsikan lingkungan sekolah secara positif. Sementara pelajar
nonresilien menunjukkan berbagai kesulitan di kelas atau di sekolah, kondisi ini
menurut Ranu Wijaya tidak dapat diterima dan harus diupayakan jalan keluar melalui
kerjasama yang baik antara guru, pengelola sekolah, universitas, dan orang tua. Ia juga
percaya bahwa pendidikan inklusif dapat memecahkan persoalan adanya risiko-risiko
kegagalan pelajar di sekolah.
Bila sebelumnya Ranu Wijaya mengangkat pola-pola yang merefleksikan proses dari
kapasitas individu manusia untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi yang menantang

atau malah situasi-situasi yang mengancam maka Safani Bari, Mohd Mokhtar Hj Tahar,
dan Mohd Hanafi Mohd Yasin secara spesifik meneliti tahap sosial antara murid khas
dan murid biasa dalam program percantuman di sekolah-sekolah negeri di Perak,
Selangor, Wilayah Persekutuan, dan Negeri Sembilan. Kajian Safani Bari dkk.
menggunakan kaedah soal selidik (studi kasus) untuk meninjau tahap integrasi sosial
pelajar berkeperluan khas bermasalah pembelajaran dengan pelajar biasa menurut
persepsi guru pendidikan khas dan guru biasa di sekolah. Hasil kajian menunjukkan
bahwa beberapa situasi yang dijalankan di sekolah ditemukan sebagai penghalang untuk
meningkatkan intergrasi sosial di kalangan pelajar khas dengan pelajar biasa walaupun
aktivitas tersebut dijalankan pada waktu yang sama. Kondisi ini menurut Bari dkk.
sangat berbeda dengan integrasi sosial pelajar khas di rumah yang menunjukkan
kegemaran dan kemampuan bersosialisasi dengan keluarga, teman, dan tetangga (jiran).
Bari dkk. kemudian merekomendasikan sebuah panduan dalam proses integrasi sosial
pelajar berkeperluan khas bagi sekolah-sekolah dan seluruh pihak yang terlibat dalam
menyediakan layanan pendidikan bagi para pelajar berkeperluan khas di Malaysia.
Tulisan dari Manisah Mohd. Ali dan Mohd. Mokhtar Haji Tahar menyampaikan adanya
kebutuhan anak-anak berkeperluan khas untuk dapat melakukan aktivitas rekreasi. Bagi
Manisah dan Mokhtar, memenuhi kebutuhan ini berati membantu anak-anak
berkeperluan khas memahami diri mereka dan dunia di sekeliling mereka. Sementara
aktivitas rekreasi yang dimaksud oleh Manisah dan Mokhtar berkaitan dengan aspek
sosial, emosi, dan fisik. Mereka juga menggunakan tiga perspektif dalam memandang
rekreasi bagi anak-anak berkeperluan khas; pertama, rekreasi merupakan aktivitas yang
dibuat di bawah keadaan-keadaan tertentu dan disertai motivasi tertentu; kedua, proses
membentuk keperibadian/personaliti seseorang; dan ketiga sebagai tempat untuk
bersosial dan mendapat ilmu pengetahuan. Rekreasi dianggap sebagai pengalaman
utama bagi anak-anak berkeperluan khas untuk mendapatkan kepuasan diri dari
keterlibatan sosial yang berhasil, kondisi itu menurut Manisah dan Mokhtar dapat
membuat individu tersebut merasa sempurna dan dapat mencapai kepuasan diri. Selain
itu gambaran diri (imej) seseorang dapat diingkatkan secara positif sehingga membantu
proses penerimaan dan penghargaan yang positif dari masyarakat terhadap individu
berkeperluan khas.
Kebutuhan kerja dan pekerjaan yang memungkinkan bagi Orang Kurang Upaya (OKU)
di Malaysia merupakan fokus tulisan Norasmah Hj. Othman dan Mohd Mokhtar Tahar.
Mereka berdua menyajikan data mengenai OKU berdasarkan jenis kecacatan tahun
20001 hingga 2007 di Malaysia yang menurut mereka terus meningkat dari tahun ke
tahun. Namun berkat peran kerajaan untuk membantu OKU dalam mendapatkan
pekerjaan dan bahkan modal untuk merencanakan usaha, maka semakin terbuka
peluang bagi OKU untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Meski demikian,
Othman dan Mokhtar menyebutkan bahwa di Malaysia masih dapat ditemukan adanya
diskriminasi Majikan dan persepsi masyarakat yang negatif terhadap OKU. Mereka
berharap agar OKU tidak dipandang sebagai golongan yang hanya mengharap simpati
dan bantuan orang lain. Kajian-kajian terhadap OKU di Malaysia menunjukkan adanya
berbagai potensi dalam bekerja yang berpeluang untuk terus ditingkatkan melalui kursus
atau program-program khas bagi mereka.

Kebutuhan perkembangan seksual pada remaja autis menjadi kajian penutup pada
bagian ini. Sukinah dari Universitas Negeri Yogyakarta. Remaja autis menurut Sukinah
adalah individu yang sama dengan individu pada umumnya dan akan melalui tahapan
perkembangan salah satunya masa pubertas atau remaja. Individu autis yang bergerak
remaja dan menunjukkan adanya perilaku seksual menunjukkan suatu kondisi yang
normal, hanya menurut Sukinah, mereka akan mengalami kebingungan bagaimana
dalam penyalurannya mengingat adanya hambatan dalam berkomunikasi, dan
berperilaku sesuai dengan tatanan sosial yang berlaku. Penelitian dari Sukinah ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi Delphi. Hasil penelitian nya
kemudian menyimpulkan bahwa pendidikan seksualitas sejak dini bagi anak autis
sangatlah penting dan dapat dilakukan melalui mekanisme penguatan (reward) dan
hukuman (punishment) serta mengajarkan kontrol perilaku anak. Sukinah juga
menambahkan perlunya upaya preventif dari orangtua dan guru terhadap perilaku
seksual remaja autis yang dimulai sejak dini, dilakukan secara kongkrit mudah dipahami
anak dan dengan pemberian pendampingan secara terus menerus.
Pada bagian keempat buku ini, membahas Strategi-Strategi pembelajaran dalam
Kepelbagian Pelajar. Bagaian ini diawali dengan adanya penelitian bersama yang
dilakukan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia dengan Kementrian Pelajaran
Malaysia. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melihat tahap pencapaian muridmurid Program Pemulihan yang diajar menggunakan tiga kaedah pengajaran yang
berbeda, yaitu: (1) kaedah tradisional, (2) kaedah bahan bantu mengajar tanpa ICT dan
(3) kaedah bahan bantu mengajar dengan ICT. Hasil kajian menunjukkan bahwa bahan
bantu mengajar merupakan salah satu faktor yang mampu menyumbang peningkatan
kemahiran membaca para pelajar. Pembelajaran membaca yang menggunakan bahan
bantu mengajar ternyata mampu mendorong proses belajar yang aktif, memudahkan
pemberian pengetahuan, dan mendukung proses belajar melalui melalui pengalaman.
Meski demikian, terdapat persoalan-persoalan dalam pelaksanaan nya di sekolah. Oleh
karena itu, penelitian ini kemudian merekomendasikan perlunya latihan-latihan bagi
guru dalam penyediaan bahan bantu mengajar dalam semua kelas program pemulihan
khas di Malaysia.
Masih berkaitan dengan Program Pemulihan Khas atau usaha di Malaysia dalam
mengatasi masalah murid-murid yang menghadapi kesulitan pembelajaran khususnya
dalam menguasai kemahiran membaca, menulis dan mengira, maka Mohd. Mokhtar Hj
Tahar dan Manisah Mohd. Ali secara spesifik menyampaikan perlunya meningkatkan
taraf pencapaian matematik di tingkat sekolah menengah melalui program pemulihan.
Hal ini didasarkan lewat penelitian yang mereka lakukan terhadap 100 orang murid
sekolah menengah biasa yang ternyata banyak responden belum menguasai konsep dan
asas matematik (penjumlahan, perkalian, pengurangan, dan pembagian). Tahar dan
Manisah juga tidak menemukan murid yang dapat digolongkan pada kategori pintar dan
superior. Murid umumnya (57%) menunjukkan pencapaian yang normal sementara
27% murid lainnya menunjukkan pencapaian sederhana hingga sangat lemah dalam
matematik nya. Tahar dan Manisah kemudian merekomendasikan agar pihak sekolah
merancang strategi untuk mengatasi masalah penguasaan asas dalam matematik dengan
membuka kelas pemulihan di tingkat menengah.
Berbeda dengan Tahar dan Manisah yang menekankan kajian nya pada kemampuan
matematik, maka Endang Rochyadi memfokuskan penelitiannya untuk mengkaji faktor-

faktor esensial dari kesadaran linguistik dan kesadaran persepsi visual yang
mempengaruhi kemampuan membaca permulaan pada anak tunagrahita. Faktor esensial
yang dikaji oleh Rochyadi adalah kesadaran linguistik (fonem,morfem, semantik dan
sintaksis) dan kesadaran persepsi visual (visual discrimination, visual spacial, visual
figure and ground, visual memory) yang menurutnya menjadi prasyarat dalam belajar
membaca permulaan. Rocyadi kemudian mengambil 32 siswa SLB (Sekolah Luar
Biasa) di Bandung sebagai subjek penelitiannya. Hasil kajiannya mendapatkan bahwa
kedua faktor tersebut memiliki hubungan kuat terhadap kemampuan membaca
permulaan anak tunagrahita. Berdasarkan Koefisien Beta secara parsial kesadaran
linguistik memiliki hubungan jauh lebih kuat dibandingkan kesadaran persepsi visual.
Nilai koefisien path kesadaran linguistik (0.72) sementara pada kesadaran persepsi
visual nilai koefisien pathnya (0.25). Akan tetapi ada faktor esensial sebagai prasyarat
membaca yang berkaitan dengan aspek kesadaran linguistik yaitu kesadaran fonem dan
sintaksis, sementara faktor esensial pada aspek kesadaran persepsi visual lebih
berhubungan dengan discrimination dan visual memory. Sebagai implikasi dalam
penelitian tersebut, Rochyadi menyatakan secara tegas bahwa pembelajaran membaca
prosesnya harus melibatkan kedua sensor yaitu auditori dan visual. Masih mengenai
kajian kemampuan membaca, Mokhtar dkk. melakukan penelitian terhadap kemahiran
membaca Bahasa Melayu anak-anak prasekolah di Malaysia. Melalui eksperimen yang
dilakukan pada 30 pelajar yang telah melewati ujian diagnostik membaca kemudian
didapatkan hasil bahwa pelajar yang mempunyai masalah dalam kemahiran membaca
mempunyai kekurangan dalam memproses dan membunyikan perkataan dan ini menjadi
faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca. Kondisi ini sesungguhnya tidak
berbeda dengan penelitian Rochyadi yang menyatakan bahwa kesadaran linguitik atau
kesadaran fonem dan sitaksis merupakan prasyarat penting dalam membaca awal.
Mokhtar dkk. berupaya meningkatkan kemampuan membaca Bahasa Melayu pada
anak-anak prasekolah di Malaysia dengan menggunakan pendekatan Mastery Learning
dan ternyata eksperimen yang mereka lakukan menunjukkan peningkatan kemampuan
membaca yang signifikan.
Pada kajian mengenai siswa tunarungu, Permanarian Somad dari Universitas
Pendidikan Indonesia mengawali tulisannya dengan dampak ketunarunguan dan
permasalahan yang dialami oleh siswa tunarungu. Selanjutnya ia mengungkapkan
pentingnya media pembelajaran yang visual bagi siswa tunarungu. Permanarian
bersama dengan Andreas W. Yanuardi dkk. dari R&D Center PT. Telekomunikasi
Indonesia, Tbk kemudian mengembangkan sebuah aplikasi dan portal yang diberi nama
i-CHAT (I Can Hear and Talk) untuk membantu siswa tunarungu mengatasi
permasalahan pengembangan kosa kata dan kemampuan membuat kalimat yang
berstruktur. Agak berbeda dengan Permanarian, Mohd Hanafi Bin Mohd Yasin dan
Choong Shee Yin dari Universiti Kebangsaan Malaysia merekomendasikan suatu
strategi bagi anak-anak bermasalah pendengaran yang masih memungkinkan
digunakannya alat bantu dengar (Assistive Listening Devices) seperti Sistem FM
(Frequency Modulation System) untuk membantu mereka mendengar dalam ruangan
kelas yang bising. Secara rinci Hanafi dan Choong Shee menjelaskan berbagai faktor
yang mempengaruhi penggunaan sistem FM, cara dan strategi penggunaan nya. Sistem
FM dapat meningkatkan kemampuan mendengar dalam lingkungan yang bising bagi
murid-murid bermasalah pendengaran. Teknologi ini, menurut Hanafi dan Choong Shee

akan membawa manfaat bagi siswa dengan masalah pendengaran dalam pembelajaran
auditori dan pertuturan serta perkembangan bahasa.
Strategi pembelajaran pada anak tunanetra diulas oleh Juang Sunanto dari Universitas
Indonesia. Penelitian yang dilakukan nya didasarkan pada kenyataan bahwa
keterampilan mengontrol gerakan anggota tubuh melibatkan keterampilan persepsi
(perceptual skills) dan keterampilan motorik (motor skills) sehingga pada saat anak
tunanetra menggunakan tongkat sebagai salah satu keterampilan orientasi dan mobilitas
kedua keterampilan tersebut sangat penting untuk mengontrol gerakan tongkat. Juang
Sunanto kemudian mempelajari peran sensitivitas propriosepsi untuk mengontrol
gerakan tongkat pada saat tongkat menyentuh rintangan melalui latihan tongkat beroda.
Ia menggunakan single case experimental design pada 3 anak tunanetra berusia 8 10
tahun. Kubus terbuat dari strereform dengan panjang sisi 10 cm digunakan sebagai
rintangan. Ketika kubus ini tertabrak oleh tongkat beroda akan bergeser tempatnya.
Jarak pergeseran rintangan sebagai indikator
sensitivitas proprioseptic untuk
mengontrol gerakan tongkat. Hasil penelitian Juang Sunanto menunjukkan bahwa
sensitivitas proprioseptic anak tunanetra dapat ditingkatkan dengan latihan
menggunakan tongkat beroda. Bila Juang Sunanto mengupayakan peningkatan
keterampilan orientasi dan mobilitas bagi tunanetra, penelitian Abdul Razak dan
Norshidah Mohamad Salleh dari Universiti Kebangsaan Malaysia selanjutnya
difokuskan pada strategi pengajaran tilawah al-Quran untuk murid tunanetra. Modifikasi
terhadap kaedah pengajaran tilawah al-Quran menurut mereka harus dilakukan agar
murid bermasalah penglihatan dapat membaca al-Quran dengan betul, berdasarkan rasm
Uthmani. Lebih lanjut dijelaskan oleh Abdul Razak dan Norshidah bahwa beberapa
kaedah pengajaran al-Quran yang dapat dilaksanakan oleh guru bagi murid bermasalah
penglihatan. Kaedah tersebut adalah: kod braille al-Quran, pita rekaman bacaan qari,
hafazan, tasmi dan bacaan senyap. Namun demikian, dalam penelitian mereka ternyata
ditemukan permasalahan-permasalahan yang dihadapi guru dalam pelaksanaannya
sehingga mereka kemudian merekomendasikan agar guru mempertimbangkan strategi
dan kaedah yang dipilih dalam pengajaran al-Quran bagi murid bermasalah penglihatan.
Ibnu Syamsi dari Universitas Negeri Yogyakarta kemudian melanjutkan bagian ini
dengan tulisan nya mengenai peran anak berbakat dalam dunia usaha. Syamsi
berpendapat bahwa anak berbakat menunjukkan kemampuan-kemampuan yang unggul
sehingga sebagian anak berbakat mempunyai potensi untuk mengembangkan usaha
yang dibutuhkan oleh masyarakat disekitarnya. Ia kemudian mengupayakan sebuah
model pengusaha yang mampu menempatkan anak berbakat pada posisi yang
semestinya. Model pengusaha anak berbakat yang dikembangkan itu dibuat dengan
rancangbangun yang sangat fleksibel dan elastis, sehingga dapat bertahan dan
berkembangan dalam persaingan. Senada dengan Syamsi yang berupaya
mengembangkan strategi pembelajaran bagi anak berbakat, maka Hamidah Yamat dkk.
dari Universiti Kebangsaan Malaysia menyampaikan suatu program pengayaan pelajar
pintar cerdas yang pertama di Malaysia yang diberi nama program PERMATApintar.
Program tersebut diusulkan oleh isteri Perdana Menteri Malaysia, YAB Datin Sri
Rosmah Mansor dan dilaksanakan sepenuhnya di Universiti Kebangsaan Malaysia. Cara
kerja PERMATApintar dimulai dengan Program Pencarian Bakat bagi semua anak di
Malaysia yang berusia antara 9 15 tahun.. Mereka akan mendapatkan ujian kecerdasan
1 dan 2 yang selanjutnya akan disaring dan dikembangkan melalui bebagai tahapan

kegiatan yang telah dirancang dalam program PERMATApintar. Sekolah bagi pelajar
pintar cerdas ini telah dimulai di Malaysia tahun 2010 ini dan diharapkan proyek Pusat
PERMATApintar akan selesai 25 tahun dari sekarang.
Analisis Perilaku Terapan adalah fokus kajian terakhir atau menjadi Bagian Kelima
dalam buku ini. Bagian ini diawali dengan tulisan dari Ign. Dharta mengenai
penanganan persoalan perilaku di sekolah. Rasionalitas yang disampaikan oleh Ranu
Wijaya adalah bahwa guru-guru telah lama menyadari bahwa persoalan perilaku dapat
menghambat siswa untuk berfungsi secara produktif di kelas dan para pendidik juga
sangat memahami bahwa terdapat hubungan antara perilaku dan belajar dalam
keberhasilan siswa di sekolah. Secara eksplisit memberikan ia mengajak para pembaca
untuk mempertimbangkan kerangka perilaku sebagai sarana pendukung dalam
memahami persoalan-persoalan perilaku yang berpengaruh pada kegiatan belajar
mengajar di sekolah. Subyek dari makalah yang dibuat oleh Ranu Wijaya ini adalah
guru atau tim guru yang bertanggung jawab terhadap Rencana Pembelajaran Individual
(RPI) setiap siswa di kelas sehingga pemahaman terhadap asesmen fungsional perilaku
dan rencana positif intervensi menurutnya mutlak diperlukan di sekolah. Untuk
memberikan gambaran, maka bagian awal tulisan nya mengupas konsep asesmen
fungsional perilaku sebagai proses dan bagaimana petunjuk dalam melaksanakannya.
Selanjutnya, ulasan mengenai rencana intervensi, termasuk penjelasan bagaimana
membangun, menerapkan, dan mengevaluasi berbagai intervensi yang telah
dilaksanakan.
Iding Tarsidi dari Universitas Indonesia kemudian secara spesifik menggunakan analisis
perilaku terapan dalam ranah pendidikan khusus bagi siswa tunagrahita. Penelitiannya
didasarkan pada pemahaman mengenai kemandirian bagi siswa tunagrahita yang
mengarah pada pengembangan keterampilan perilaku adaptif, terutama keterampilan
mengurus diri dalam kehidupan sehari-hari (personal living skills) atau activity of daily
living dan keterampilan menyesuaikan diri dengan lingkungan (social adaptif skills).
Iding Tarsidi merasa risau karena banyak menemukan anak tunagrahita yang sudah
menyelesaikan pendidikan di sekolah khusus tunagrahita (SLB C) namun belum bisan
mandiri. Hal ini tampak dari gejala perilaku, diantaranya anak belum mampu
melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian Iding ini kemudian
berupaya menemukan prinsip-prinsip pembelajaran kemandirian berbasis konseling
behavioral sekaligus model penerapannya bagi guru SLB C dalam pembelajaran
kemandirian siswa tunagrahita untuk memfasilitasi upaya pengembangan potensi
siswa mencapai kemandirian secara optimal. Pendekatan penelitiannya campuran
kualitatif dan kuantitatif. Teknik pengumpulan data wawancara, observasi,
kuesioner, dan analisis dokumen. Teknik pengolahan data deskriptif-kualitatif
digunakan untuk mendeskripsikan hakikat kemandirian siswa tunagrahita dan
lingkungan perkembangan (belajar). Hasil dari penelitiannya kemudian adalah
bahwa prinsip-prinsip pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita yang berbasis
konseling behavioral dimanifestasikan oleh: (1). Individualisasi (Individualized
Educational Program/Plan), (2). Ke-konkretan (Concrete), (3). Pengulangan (Belajar
secara berulang-ulang), (4). Pembiasaan (habituation), (5). Rutinitas dan
Ketidakberagaman aktivitas, (6). Keberurutan (Sequensial), (7). Penguasaan
Kemampuan Prasyarat (Prerequisite), (8). Belajar secara Berkesinambungan (Continues
Learning Progress), (9). Fungsional-Aplikatif (Applicative-Functional), (10). Rujukan

Kemajuan Perkembangan Diri Sendiri (Self Progress Development Refferenced), (11).


Kesederhanaan dan Kemudahan, (12). Pengawasan dan bimbingan (External control &
Guidance). Bagian akhir tulisannya, Iding Tarsidi juga merekomendasikan agar
prinsip-prinsip pembelajaran kemandirian yang berbasis konseling behavioral dapat
disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik kebutuhan belajar siswa tunagrahita
sedang dan bersifat fungsional-aplikatif sehingga dapat digunakan oleh guru SLB C
sebagai salah satu rujukan pendekatan pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita.
Demikianlah ilustrasi yang dapat disampaikan oleh editor mengenai keseluruhan isi
buku yang berjudul: PRAKTIK-PRAKTIK TERBAIK PENDIDIKAN UNTUK
SEMUA: Isu-Isu Pendidikan Khusus di Indonesia dan Malaysia. Meski tidak
sempurna semoga buku ini dapat memberikan kebaikan bagi para pembaca yang ada di
Indonesia dan Malaysia. Kami sangat menantikan berbagai saran dan masukan yang
konstruktif demi menambaik kebaikan dalam buku ini.
Selamat membaca dan menyelami buku ini.

Bandung, Desember 2010


Ign. Dharta Ranu Wijaya

Bagian 1

INKLUSI DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN


DAN IMPLEMENTASI PRAKTIS
DI MALAYSIA DAN INDONESIA

KEMUDAHAN DAN INFRASTRUKTUR PROGRAM INTEGRASI


PENDIDIKAN KHAS DI MALAYSIA
Mohd Hanafi Mohd Yasin
Norani Mohd Salleh
Hasnah Toran
Mohd Mokhtar Tahar
Siti Nur Nadirah Ibrahim
Universiti Kebangsaan Malaysia

1.

Pengenalan
Selari dengan wawasan pendidikan negara iaitu ingin membangunkan sistem
pendidikan dari segi kualiti bagi memenuhi aspirasi negara di mana dua dasar
telah diamalkan iaitu dasar pendemokrasian dan liberalisasi. Matlamat dasar ini
adalah untuk memenuhi tanggungjawab sosial kerajaan dalam bidang
pendidikan dan peningkatan dari segi kualiti pendidikan (Zarin, Safani & Soo
Boon, 2004). Kewujudan sistem pendidikan khas membuktikan masyarakat
mengakui wujudnya sekumpulan ahli yang memerlukan pengubahsuaian dan
bantuan khas untuk belajar. Selain itu, untuk meningkatkan kejayaan bagi
murid-murid kurang upaya di dalam sukatan pelajaran yang biasa, pendidik dari
kalangan murid-murid khas dan murid normal haruslah bekerjasama (Crozier &
Sileo, 2005). Hala tuju pendidikan untuk pelajar-pelajar berkeperluan khas
pada masa kini ialah ke arah mengintegrasikan mereka dengan kanak-kanak
normal. Untuk itu, pelbagai kemudahan telah disediakan dan sedang
ditingkatkan bagi merealisasikan matlamat berkenaan. Antaranya adalah
penyediaan infrastuktur, kemudahan dan program pendidikan khas yang relevan,
memperluas dan mempertingkatkan pengisian program khas integrasi
bermasalah pembelajaran, menyediakan guru pendidikan khas terlatih, dan
pembantu pengurusan pelajar yang mencukupi, menyediakan kemudahan ICT
yang sesuai, menjalin perkongsian pintar dengan badan sukarela dan
kementerian lain yang juga menyediakan perkhidmatan untuk pelajar
berkeperluan khas.
Persekitaran pembelajaran yang positif bermakna kesemua elemen yang disebut
tadi berada dalam keadaan baik dan kondusif untuk menyokong aktiviti
pengajaran dan pembelajaran. Penyediaan peluang-peluang pengajaran dan
pembelajaran yang sama rata perlu diadakan termasuk untuk pelajar
berkeperluan
khas
bagi
membolehkan
mereka
berdikari
dan
memperkembangkan potensi masing-masing (PIPP, 2003). Selain itu, menurut
Goldsmith & Goldsmith (1998) kanak-kanak yang berkeperluan khas perlu
berasa selesa, selamat dan terkawal semasa mempelajari sesuatu justeru itu
adalah penting mewujudkan kesinambungan dalam persekitaran bagi
membolehkan kanak-kanak khas memberi makna terhadap dunia sekitar mereka
dan membentuk konsep tempat mereka (Brown et al., 1998).
Pengubahsuaian persekitaran di sekolah dan bilik darjah harus dilakukan untuk
membolehkan pelajar yang mempunyai masalah fizikal dan kesihatan terlibat

dengan sepenuhnya dalam aktiviti yang dianjurkan. Pengubahsuaian penting


supaya pelajar yang kekurangan dari segi fizikal dapat terlibat dengan
sepenuhnya di sekolah terutamanya bagi pelajar yang berkerusi roda.
Pengubahsuaian yang boleh dilakukan adalah dengan meningkatkan aksesibiliti
sekolah dan bilik darjah. Menurut Gargiulo (2006), tempat di mana seseorang
pelajar bermasalah itu menerima ilmu pengetahuan dan pendidikan sebenarnya
akan memberi kesan kepada sikap, pencapaian dan perkembangan sosial
mereka. Oleh itu segala kemudahan asas yang mengikut keperluan mereka
seperti kemudahan bebas halangan dan bilik darjah yang selesa serta aspek
keselamatan perlu diambil kira bagi tujuan pengajaran dan pembelajaran.
Masalah yang sering berlaku adalah, kebanyakan bilik darjah bagi Program
Pendidikan Khas Integrasi menggunakan bilik darjah sedia ada di sesebuah
sekolah tertentu, dan ada diantaranya terpaksa berkongsi bilik darjah yang
memuatkan ramai pelajar pada satu-satu masa. Ini bermakna bilik darjah bagi
program pendidikan khas integrasi tidak dibina berdasarkan spesifikasi standard
dengan mengambil kira keperluan pembelajaran murid berkeperluan khas.
2.

Instrumen Kajian
Kajian berbentuk tinjauan ini merupakan kajian kualitatif yang bermatlamat
untuk meneroka kemudahan infrastruktur yang terdapat di Sekolah Pendidikan
Khas dan Program Integrasi Pendidikan Khas. Data bagi kajian ini diperolehi
sepenuhnya daripada temu bual tenaga pengajar program integrasi pendidikan
khas di lapan buah sekolah di Sabah. Data dari temu bual pentadbir di sekolahsekolah di Sabah dianalisis berdasarkan lima item iaitu latar belakang
responden, maklumat pengurusan, maklumat keselamatan, maklumat
kemudahan dan maklumat lokasi.

3.

Metodologi Kajian
3.1

Sampel

3.2

Populasi kajian ini terdiri daripada guru-guru serta pentadbir di sekolah


pendidikan khas dan program integrasi pendidikan khas di seluruh
negara. Sampel dalam kajian pula terdiri daripada pentadbir dan guruguru yang mengajar di sekolah pendidikan khas dan program integrasi
pendidikan khas. Dalam kajian ini penyelidik menggunakan kaedah
persampelan kelompok bagi memudahkan proses pengumpulan data.
Prosedur Pengumpulan Data

3.3

Penyelidikan dijalankan dengan menggunakan borang soal selidik,


pemerhatian, dan temubual. Borang soal selidik dan pemerhatian
dijalankan ke atas 554 orang responden yang terdiri daripada guru-guru
pendidikan khas manakala temubual dijalankan ke atas lapan orang
pentadbir di sekolah-sekolah di Sabah. Semua sesi temubual telah
dirakam dengan menggunakan pita rakaman.
Prosedur Penganalisisan Data
Dalam kajian ini, data dianalisis dengan menggunakan kaedah manual.
Temubual bersama pentadbir dan guru-guru di lakukan secara

triangulasi. Temubual digunakan untuk memperolehi maklumat


berkenaan fakta, kepercayaan, perasaan, kehendak dan sebagainya yang
diperlukan untuk mencapai sesuatu objektif penyelidikan (Mohd Majid
Konting, 2005).
4.

Dapatan Kajian
Hasil daripada dapatan temu bual menunjukkan responden yang terdiri daripada
pentadbir di sekolah-sekolah di Sabah kurang mengetahui secara mendalam
tentang maklumat berkaitan program pendidikan khas di sekolah mereka.
Kebanyakan kursus yang pernah dihadiri oleh responden berkaitan dengan
murid pendidikan khas adalah merupakan kursus jangka pendek dan responden
juga menyatakan kursus yang dihadiri merupakan modul yang sama setiap
tahun. Responden juga menyatakan pengalaman mereka dalam mengendalikan
program pendidikan khas adalah suatu pengalaman yang mencabar. Selain itu,
antara tugas yang dilakukan oleh responden adalah dengan memantau hal-hal di
sekolah, mengendalikan kemasukan data, menjaga kebajikan guru dan murid,
mengurus kewangan dan sebagai penyelaras program pendidikan khas di
sekolah mereka.
Berkaitan dengan maklumat pengurusan program pendidikan khas pula, majoriti
responden tidak mengetahui surat pekeliling berkaitan dengan pembangunan
infrastruktur yang terdapat di sekolah mereka. Selain itu, tidak ramai di antara
responden yang mengetahui maklumat tentang keluasan ruang yang diperlukan
oleh setiap murid pendidikan khas di dalam bilik darjah. Antara yang dinyatakan
adalah keluasan selebar 15 kaki, 1010 kaki persegi untuk pelajar Autisme
manakala 55 kaki persegi untuk pelajar Sindrom Down. Bagi aspek
pengetahuan berkaitan peruntukan dan dana yang diberikan dalam program
pendidikan khas pula, responden menyatakan bahawa mereka tidak diberitahu
secara terperinci tentang dana yang diberikan.
Selain daripada itu, majoriti responden menyatakan bahawa program
pendidikan khas di sekolah mereka mementingkan keselamatan bagi pelajar
berkeperluan khas dan keselamatan yang dimaksudkan adalah seperti terdapat
pelan kecemasan, peralatan tajam yang disimpan di tempat khas, pengawasan
bagi murid-murid yang pergi ke tandas dan aspek keselamatan apabila terdapat
aktiviti di luar sekolah. Seramai lima daripada lapan orang responden
menyatakan bahawa di sekolah mereka tidak pernah berlaku peristiwa yang
mencederakan murid-murid. Namun, tiga orang responden menyatakan di antara
peristiwa yang pernah mencederakan murid-murid pendidikan khas ialah
pergaduhan di antara murid hiperaktif, murid lari dari sekolah dan terjatuh ke
dalam longkang akibat longkang yang tidak bertutup. Menurut responden, di
antara kemudahan-kemudahan yang disediakan untuk kelas pendidikan khas
(bermasalah pembelajaran, pendengaran dan penglihatan) adalah seperti
kemudahan bahan bantu mengajar (BBM), kemudahan geran perkapita (BCG),
bilik menjahit, tandas, bilik masakan dan bilik multimedia.

Hampir kesemua responden menyatakan bahawa kemudahan yang terdapat


dalam program pendidikan khas di sekolah mereka berfungsi untuk kegunaan
murid-murid berkeperluan khas. Namun, kemudahan bagi proses pengajaran dan
pembelajaran didapati masih belum mencukupi. Responden juga diminta
memberikan pendapat tentang kemudahan lain yang perlu ada di dalam kelas
pendidikan khas. Di antara pendapat responden tentang kemudahan yang perlu
ada ialah LCD, bilik pengurusan diri, komputer, alat pandang dengar dan bilik
kemahiran hidup. Penggunaan bahan-bahan berteknologi dalam pendidikan
dapat membantu proses pengajaran dan pembelajaran menjadi lebih berkesan
serta dapat mewujudkan suasana pembelajaran yang interaktif dan
menyeronokkan. Elder-Hinshaw et al. (2006), menyatakan kemudahan
multimedia memberikan pelajar peluang untuk mengakses pelbagai teknologi
bagi mengembangkan dan menyampaikan sesebuah projek dan menggabungkan
media lain seperti pengimbasan teks, gambar, video dan juga laman internet.
Namun begitu, kemudahan yang sedia ada di sekolah menurut responden boleh
dikategorikan kurang sesuai dengan keperluan murid begitu juga dengan
kemudahan asesibiliti murid. Item yang terakhir di dalam soalan temubual ini
adalah berkaitan dengan maklumat lokasi bilik darjah pendidikan khas.
Majoriti responden menyatakan lokasi bilik darjah pendidikan khas mereka
sesuai dengan murid berkeperluan khas dimana bilik darjah pendidikan khas
mendapat pencahayaan yang cukup dan kedudukan bilik darjah yang
bersesuaian. Responden juga ditanya mengenai adakah terdapat
penambahbaikan bagi program pendidikan khas di sekolah mereka, dan dapatan
menunjukkan dua daripada responden menyatakan tiada sebarang
penambahbaikan di sekolah mereka, dua responden yang lain bersetuju bahawa
terdapat penambahbaikan dari segi memperluaskan bilik darjah, mengecat kelas
dan juga membina bangunan baru manakala responden lain pula tidak memberi
sebarang jawapan mengenai penambahbaikan yang terdapat di sekolah mereka.
5.

Rumusan
Secara keseluruhannya, repsonden yang terdiri daripada pentadbir dan guru-guru
di sekolah menyatakan pengalaman mereka dalam mengendalikan program
pendidikan khas merupakan suatu pengalaman yang mencabar. Responden
didapati hanya menghadiri kursus jangka pendek dan modul dalam kursus
tersebut merupakan modul yang sama digunakan setiap tahun. Oleh itu
keberkesanan kursus kurang memberikan kesan yang positif bagi memperbaiki
kualiti program pendidikan khas ini. Berkaitan pengurusan program pendidikan
khas pula, majoriti responden tidak mengetahui surat pekeliling yang melibatkan
pembangunan infrastruktur yang terdapat di sekolah mereka. Responden juga
kurang mengetahui maklumat tentang keluasan ruang yang diperlukan oleh
setiap murid pendidikan khas di dalam bilik darjah. Hal ini membuatkan ada di
antara sesetengah guru menjalankan proses pengajaran dan pembelajaran di
dalam bilik darjah yang sempit tanpa mementingkan keselesaan pelajar
bekeperluan khas. Hampir semua responden menyatakan bahawa kemudahan
yang terdapat dalam program pendidikan khas di sekolah mereka berfungsi
untuk kegunaan murid-murid berkeperluan khas kecuali bagi kemudahan bagi

proses pengajaran dan pembelajaran seperti LCD, bilik pengurusan diri,


komputer, alat pandang dengar dan bilik kemahiran hidup. Dapatan juga
menunjukkan bahawa program pendidikan khas perlu membuat
penambahbaikan terutamanya dalam aksesibiliti murid bekeperluan khas agar
hak dalam mendapatkan pendidikan tidak terus diabaikan.

Rujukan
Brown, J., Graham, T. C. N., & Wright, T. (1998). Sensori Needs, in Lacey, P. and
Ouvry. C (Eds) People With Profound and Multiple Learning Disabilities. London.
David Fulton Publishers.
Crozier, S. & Sileo, N. M. (2005). Encouraging positive behavior with social stories: An
intervention for children with autism spectrum disorders. Teaching Exceptional
Children. 37(6). 26-31.
Elder-Hinshaw, R. Manset-Williamson, G., Nelson, J. M. & Dunn, M. W. (2006).
Engaging Older Students With Reading Disabilities: Multimedia Inquiry
Projects Supported by Reading Assistive Technology. Teaching Exceptional
Children. 39 (1), 6-11.
Gargiulo, R. (2006). Special Education in Contemporary Society: An Introduction to
Exceptionality. Belmont , CA: Wadsworth / Thomson Learning.
Goldsmith, J. & Goldsmith, L. (1998) Physical Management in Lacey, P.and Ocvry
(Eds). People with Multiple Learning Disabilities. London: David Fulton
Publishers.
Mohd Majid Konting. 2005. Kaedah Penyelidikan Pendidikan. Kuala Lumpur. Dewan
Bahasa dan Pustaka.
PIPP. (2003). Pelan Induk Pembangunan Pendidikan.
Zarin Ismail, Safani Bari dan Soo Boon Seng. (2004). Integrasi sosial murid
berkeperluan khas bermasalah pendengaran dalam program inklusif dalam Zamri
Mahamod et al. Prosiding Seminar Pendidikan Khas. Bangi: Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia.

Kesediaan Guru Melaksanakan Proses Pengajaran dan Pembelajaran Dalam Kelas


Dengan Kepelbagaian Pelajar
Mohd. Mokhtar Tahar
Aliza Alias
Rohaty Mohd Majzub
Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia
Pendahuluan
Faktor kepelbagaian pelajar merupakan satu faktor yang perlu dipertimbangkan oleh guru
sebelum merancang proses pengajaran dan penilaian dalam bilik darjah. Guru perlu
mengwujudkan persekitaran pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dengan keperluan dan
tahap pencapaian akademik pelajar supaya pelbagai bentuk pengalaman pembelajaran dapat
diberikan kepada semua pelajar. Ciri-ciri kepelbagaian pelajar ini merangkumi tahap
pencapaian akademik pelajar, latar belakang keluarga, etnik dan agama, sosio ekonomi keluarga
dan keperluan-keperluan khas yang diperlukan oleh pelajar. Ciri kepelbagaian yang dititik
beratkan dalam bilik darjah selalunya berdasarkan kepada aras kecerdasan pelajar yang
memberikan tahap pencapaian pelajar dalam akademik yang berbeza (Lenz & Deshler 2004).
Tahap pencapaian akademik pelajar di sekolah, lazimnya mempunyai taburan normal seperti
yang ditunjukkan dalam Rajah 1. Ini menggambarkan senario di bilik darjah iaitu terdapat
pelbagai pelajar yang mempunyai keperluan berbeza untuk mempelajari dan memahami sesuatu
matapelajaran. Kecerdasan otak merupakan ciri kepelbagaian yang membezakan antara pelajar
yang berpencapaian tinggi (pintar cerdas), pelajar berpencapaian sederhana dan pelajar
berpencapaian rendah (masalah pembelajaran). Menurut Lewis & Doorlag (2003) sebanyak
5%-7% pelajar dari populasi pelajar di sekolah tergolong dalam tahap pencapaian rendah. Ini
termasuklah pelajar bekeperluan khas dan pelajar yang memerlukan pengajaran dan
pembelajaran pemulihan. Oleh itu guru perlu membuat pengadaptasian terhadap pengajaran dan
penilaian agar pelajar-pelajar yang mempunyai tahap pencapaian akademik yang berbeza ini
mendapat manfaat dari pengajaran dan pembelajaran yang berlaku dalam bilik darjah.

Bilangan
pelajar
Pencapaian rendah
(Masalah pembelajaran)
Pencapaian sederhana
Populasi normal

Pencapaian tinggi
(Pintar cerdas)

Tahap pencapaian pelajar

Rajah 1 Taburan normal pencapaian akademik pelajar


Kajian yang dilakukan oleh Rohaty (2001) mendapati bahawa sebahagian besar dari
guru-guru di sekolah tidak mempunyai keterampilan untuk membuat pengadaptasian dalam
proses pengajaran. Ini membawa kepada implikasi bahawa guru-guru khas dan biasa perlu
dilatih mengenai pengadaptasian proses pengajaran dan pembelajaran dengan mengambilkira
ciri-ciri kepelbagaian pelajar. Selain dari tahap pencapaian akademik dan juga keperluankeperluan khas pelajar, guru juga perlu menimbangkan gaya pembelajaran yang ditunjukkan
oleh pelajar. Ini adalah kerana gaya pembelajaran merupakan salah satu ciri kepelbagaian antara

individu mengenai cara mempelajari sesuatu (Norlena et al 2001). Gaya pembelajaran pelajar
sama ada secara visual, auditori atau kinestetik memberikan kesan terhadap perancangan
metodologi pengajaran yang hendak digunakan dalam proses pengajaran dan juga pembelajaran
di bilik darjah.
Guru-guru yang ingin membuat pengadaptasian dalam proses pengajaran perlu memilih
metodologi pengajaran yang sesuai dengan keperluan pembelajaran pelajar dan juga gaya
pembelajaran pelajar. Proses pengubahsuaian pengajaran ini hendaklah memenuhi keperluan
pembelajaran pelajar sebagai individu yang berhak mendapat pendidikan yang setara dengan
rakan sekelas. Oleh itu aspek-aspek berikut hendaklah diambilkira oleh guru yang ingin
melakukan pengadaptasian atau pengubahsuaian dalam proses pengajaran dan pembelajaran:
isi kandungan mata pelajaran
minat pelajar terhadap mata pelajaran
kemampuan pelajar melaksanakan tugasan yang diberikan
tahap kefahaman pelajar terhadap mata pelajaran tersebut
akses pelajar terhadap aktiviti pembelajaran berdasarkan keperluan pelajar sama ada
secara visual, audiotori atau kinestetik
respon pelajar terhadap pengajaran secara tulisan ke lisan
urutan kandungan kurikulum berdasarkan pemilihan topik-topik tertentu.
struktur pengajaran berdasarkan gaya belajar pelajar
masa yang diperuntukkan dalam sesi pengajaran
gaya pengajaran guru
pembahagian pelajar kepada kumpulan-kumpulan kecil
Pengadaptasian pengajaran
Pengadaptasian pengajaran bertujuan membantu guru-guru dalam proses merancang
pengajaran yang lebih berkesan terhadap kumpulan pelajar yang mempunyai tahap pencapaian
yang berbeza. Guru seharusnya peka dengan masalah yang dihadapi oleh pelajar yang pelbagai
ini dalam proses pembelajaran (Lewis & Doorlag 2003). Oleh itu, guru perlu membuat
pengubahsuaian atau pengadaptasian secara menyeluruh yang melibatkan
rancangan
pengajaran, teknik-teknik pengajaran yang hendak digunakan dalam proses pengajaran, isi
kandungan mata pelajaran dan alat bantuan pengajaran yang hendak digunakan.
Dengan melaksanakan pengadaptasian rancangan pengajaran, proses pengajaran yang
dilakukan dapat disesuaikan dengan keperluan pelajar yang pelbagai. Ini turut melibatkan
penggunaan teknik-teknik pengajaran yang dipilih dalam proses pengajaran di bilik darjah.
Teknik-teknik pengajaran yang diubahsuai memberikan penekanan kepada cara menyampaikan
isi pengajaran dengan lebih berkesan dan mudah difahami oleh pelajar yang mempunyai tahap
pencapaian sederhana dan juga rendah seperti pelajar keperluan khas dan juga pelajar
pemulihan.
Selain dari itu, isi kandungan sesuatu mata pelajaran juga memerlukan pengadaptasian
dari aspek kemahiran pelajar dalam memahami isi kandungan mata pelajaran tersebut. Guru
juga perlu mengambil kira tahap pemahaman pelajar dalam sesuatu mata pelajaran sebelum
memilih teknik pengajaran yang hendak digunakan. Ini membolehkan sesuatu teknik
pengajaran itu menyampaikan isi kandungan mata pelajaran dengan lebih berkesan termasuklah
dalam penyediaan dan pemberian tugasan-tugasan yang sesuai untuk pelbagai pelajar dalam
bilik darjah.

Secara amnya, kesesuaian aktiviti pengajaran dan pembelajaran hendaklah di fokuskan


berdasarkan perkembangan potensi murid, strategi pengajaran dan pembelajaran harus
ditumpukan kepada penggunaan strategi pemusatan murid dan bahan (Mok 2002).

Pengadaptasian penilaian
Penilaian merupakan salah satu cara untuk mengenalpasti apa yang pelajar telah faham dan
pelajari hasil dari proses pengajaran dan pembelajaran (Vaughn, Bos & Schumm 2003).
Manakala Kamaruddin (2001) mendefinisikan penilaian sebagai satu aktiviti atao proses yang
bersistematik bagi mendapatkan maklumat yang berguna untuk menentukan pencapaian sesuatu
objektif pengajaran atau pembelajaran. Dua proses penilaian akan diguna pakai iaitu penilaian
formatif dan penilai sumatif. Antara kepentingan menjalankan penilaian ialah mengenalpasti
keupayaan, kemahiran atau pengetahuan asas yang sedia ada, melihat keberkesanan pengajaran
berhasil mencapai objektif nya,, mengenalpasti kelemahan dan kelebihan pelajar dalam sesuatu
mata pelajaran dan untuk merancang program pembelajaran yang bersesuain.
Pengadaptasian penilaian yang dilakukan adalah untuk menjamin proses penilaian yang
dijalankan adil dan sesuai dengan tahap pencapaian akademik pelajar terutamanya pelajar
berkeperluan khas. Markah yang tinggi bukannya objektif sesuatu penilaian dijalankan tetapi
dilihat sebagai pencapaian sebenar pelajar dalam memahami isi kandungan mata pelajaran yang
dipelajarinya (Nitko 2004). Dengan membuat pengubahsuaian terhadap proses penilaian pelajar
guru dapat berlaku adil dalam membina item-item penilaian yang sesuai dengan keupayaan
pelajar berkeperluan khas. Ini termasuklah memilih jenis ujian yang dijalankan, iklim
persekitaran semasa ujian dijalankan, emosi pelajar dan isi kandungan pengajaran yang hendak
dinilai (Vaughn, Bos & Schumm 2003). Selain dari itu, proses pemarkahan juga perlukan
pengadaptasian agar memfokus terhadap tujuan pemarkahan dijalankan, kaedah pemberian
markah, isu pemberian markah terhadap pelajar berkeperluan khas dan penyertaan pelajar khas
dalam penilaian umum seperti UPSR, PMR, SPM dan SPVM.
Tujuan Kajian
Tujuan kajian ini adalah untuk mengkaji kesediaan guru-guru melaksanakan pengubahsuaian
metodologi pengajaran dan penilaian dalam proses pengajaran dan pembelajaran di sekolah
dengan mengambilkira ciri-ciri kepelbagaian pelajar dari aspek tahap pencapaian akademik
pelajar termasuklah pelajar-pelajar berkeperluan khas.
Metodologi kajian
Dalam kajian ini, senarai semak intervensi RAM (Rohaty, Aliza & Mohd Mokhtar, 2005) telah
diguna pakai untuk melihat sejauh mana pengubahsuaian dan pengadaptasian terhadap
metodologi pengajaran dan penilaian dalam pengajaran guru. Kajian kuantitatif ini
menggunakan responden seramai 400 orang guru khas dan guru biasa di sekolah-sekolah yang
menjalankan program integrasi kanak-kanak berkeperluan khas.
Dapatan Kajian
Hasil dapatan kajian menunjukkan bahawa kesediaan guru melakukan pengadaptasian
pengajaran dan penilaian dalam proses pengajaran dan pembelajaran adalah seperti di bawah.

Jadual 1: Kesediaan melaksanakan pengadaptasian metodologi pengajaran


Pengubahsuaian metodologi pengajaran

Melaksanakan
pengadaptasian
A. Penyampaian pengajaran dan pembelajaran
53.7
Berkuliah
51.2
Secara berkumpulan
85.4
Penyampaian secara audio-visual
85.4
Penglibatan dalam diskusi bilik darjah
95.2
Penglibatan dalam sesi soal jawab
80.5
Pembelajaran secara perseorangan
36.5
Melakukan kajian dalam makmal
34.1
Membina projek secara bebas
80.5
Suka kerja dalam kumpulan kecil
78.0
Menggunakan beraneka P & P
B. Cara persepsi pelajar
97.5
Visual
83.0
Auditory
73.1
Kinestetik

Tiada melakukan
kaedah
46.8
48.8
14.6
14.6
4.8
19.5
63.5
65.9
19.5
22.0
2.5
17.0
26.9

Jadual 1 menunjukkan bahawa lebih dari 70% guru menyatakan bahawa


pengadaptasian dalam penyampaian pengajaran dan pembelajaran telah dilakukan terhadap
aspek penyampaian secara audio-visual, penglibatan dalam diskusi bilik darjah, penglibatan
pelajar dalam sesi soal jawab, pembelajaran secara perseorangan atau individu, melakukan
tugasan dalam kumpulan kecil dan menggunakan beraneka strategi pengajaran dan
pembelajaran semasa di dalam kelas. Manakala aspek pengajaran melakukan kajian dalam
makmal dan membina projek secara bebas menunjukkan lebih 60% guru tidak melakukan
langsung kaedah pengajaran ini. Sementara itu guru juga menunjukkan kepekaan yang tinggi
terhadap persepsi pelajar semasa proses pengajaran dan pembelajaran di dalam bilik darjah.
Dari aspek persepsi pelajar pula sebanyak 97.5% guru mengenalpasti bahawa gaya
pembelajaran pelajar dalam bilik darjah adalah secara visual sementara 83% guru menyatakan
bahawa pelajar mempunyai gaya pembelajaran secara audio dan 73.1% guru turut menyatakan
ada di kalangan pelajar yang gemar belajar secara kinestetik.
Jadual 2: Kesediaan melaksanakan pengadaptasian penilaian
Pengubahsuaian Penilaian dalam bilik darjah

Melaksanakan
pengadaptasian

Tiada melakukan
penilaian

A. Format ujian yang digunakan


betul salah
sesuaikan atau padankan
isikan tempat kosong
pilih beraneka
karangan
ujian terbuka
B. Ciri-ciri seting
Ujian Lisan
Ujian salin dari papan hitam

92.6
90.2
70.0
39.1
65.9
95.1

7.4
9.8
30.0
66.9
34.1
4.9

78.1
68.3

21.9
31.7

Ujian disetkan mengikut masa yg ditetapkan


Ulangkaji dibuat sebelum ujian
Ujian ditulis dengan tangan
Ujian ditaip
C. Sistem pemarkahan
Senarai semak
Sistem kontrak
Sistem lulus / gagal
Portfolio
Sistem penggredan (A,B,C,D dan E)

68.3
78.0
65.9
53.7

31.7
22.0
34.1
46.3

75.6
41.5
58.5
58.6
70.8

24.4
58.5
41.5
41.4
29.2

Bagi proses penilaian pula, pengadaptasian dilihat dari tiga aspek iaitu format ujian
yang digunakan, ciri-ciri seting ujian yang dijalankan dan juga sistem pemarkahan yang
digunakan. Dalam aspek format ujian yang digunakan lebih 90% guru melakukan
pengadaptasian terhadap ujian betul salah, ujian padankan atau sesuaikan dan ujian terbuka.
Manakala sebanyak 66.9% guru tidak melakukan langsung ujian yang mempunyai aneka
pilihan. Bagi ciri seting penilaian pula didapati bahawa lebih 78% guru melakukan
pengadaptasian terhadap ujian secara lisan dan mengulangkaji bersama pelajar sebelum ujian
dijalankan. Sementara itu sebanyak 68.3% guru didapati membuat pengadaptasian terhadap
ujian yang memerlukan pelajar menyalin dari papan hitam dan menetapkan masa yang sesuai
dengan keperluan pelajar. Seterusnya bagi sistem pemarkahan pula, didapati lebih 70% guru
melaksanakan pemarkahan dengan menggunakan senarai semak dan sistem penggredan yang
menggunakan A, B, C, D dan E. Manakala 58.5% guru tidak menggunakan sistem pemarkahan
secara kontrak dengan pelajar. Sistem pemarkahan secara lulus gagal dan sistem penilaian yang
menggunakan portfolio pelajar pula sebanyak 58.5% dan 58.6% guru melakukan
pengubahsuaian.
Secara keseluruhannya dapatan ini dapat dirumuskan bahawa lebih 60% guru-guru
dalam program integrasi berkeperluan khas di sekolah-sekolah, telah melakukan
pengadaptasian terhadap metodologi pengajaran dan penilaian dalam proses pengajaran dan
pembelajaran di kelas seperti yang ditunjukkan dalam Jadual 3. Dapatan kajian ini
menunjukkan bahawa 71.5% guru mempunyai kesediaan dan telah melakukan pengadaptasian
terhadap metodologi pengajaran. Sementara sebanyak 64.12% guru juga didapati bersedia dan
telah melakukan pengadaptasian terhadap penilaian pelajar-pelajar mereka yang mempunyai
aras kecerdasan yang berbeza. Guru-guru yang masih belum bersedia melaksanakan
pengubahsuaian dalam metodologi pengajaran dan penilaian hanya 28.15% dan 35.88%.
Jadual 3 Pengadaptasian yang dilakukan dalam proses pengajaran dan pembelajaran

Pengadaptasian
Metodologi pengajaran
Penilaian

Melakukan
Pengadaptasian
71.85
68.84

Tidak Melakukan
Pengadaptasian
28.15
31.16

Jumlah
Keseluruhan
100
100

Perbincangan Dan Cadangan


Ciri-ciri kepelbagaian pelajar di bilik darjah yang memberikan tahap pencapaian pelajar yang
berbeza adalah dipengaruhi oleh kebolehan dan keupayaan pelajar dalam mempelajari sesuatu
tajuk mata pelajaran. Selain dari itu kuantiti dan kualiti dalam proses pengajaran turut
mempengaruhi tahap pencapaian pelajar. Kebolehan pelajar memahami pengajaran yang
dilakukan oleh guru serta masa pembelajaran yang di peruntukan dalam sesuatu proses

pengajaran juga memberikan kesan kepada pencapaian pelajar (Mok 2002) Oleh itu kesediaan
guru dalam melaksanakan pengadaptasian terhadap persekitaran pengajaran dan pembelajaran
pelajar amat penting dalam menjamin proses pembelajaran yang efektif kepada pelajar.
Pengadaptasian metodologi pengajaran dan penilaian yang digunakan ini merupakan
komponen dalam pembezaan kurikulum. Pembezaan kurikulum merujuk kepada keperluan
membentuk persekitaran pengajaran dan pembelajaran supaya pelajar dapat mengalami
pelbagai bentuk pengalaman pembelajaran bagi pelbagai jenis pelajar (Ainscow 1989).
Pembezaan kurikulum ini bertujuan untuk memberikan tumpuan kepada semua pelajar tanpa
mengabaikan keperluan-keperluan khas mereka dalam proses pembelajaran. Oleh itu guru perlu
bersifat aktif semasa berada di tahap perancangan pengajaran dan pembelajaran pelajar.
Pembezaan kurikulum yang menekankan kepada pengadaptasian penyediaan pelbagai
pendekatan dari semua aspek pembelajaran dan pengajaran kepelbagaian pelajar dapat
dilakukan. Ini termasuklah pendekatan dan pengubahsuaian dari isi kandungan pengajaran,
proses pengajaran serta hasil dari pengajaran tersebut sama ada objektif pengajaran tercapai
atau tidak. Selain itu, guru harus peka terhadap gaya pembelajaran pelajar supaya melibatkan
keseluruhan pelajar yang pelbagai dalam kelas semasa proses pembelajaran. Dengan ini
pembezaan kurikulum yang menekankan pengadaptasian akan memberi dan membentuk
pelbagai peluang dalam kurikulum yang sama agar penglibatan pelajar secara menyeluruh
berlaku.
Sungguhpun dapatan kajian ini menunjukkan bahawa ada sekolah yang menyediakan
kemudahan infrastruktur untuk pengadaptasian, tetapi pembezaan kurikulum yang memerlukan
pengadaptasian tidak dapat dijalankan dengan berkesan kerana guru tidak cukup mendapat
pengalaman, pendedahan dan latihan. Walau bagaimanapun, guru masih berusaha untuk
menguasai dan mengamalkan pengubahsuaian metodologi pengajaran dan penilaian kerana
hasil pengajaran yang diharapkan lebih menjurus kepada keperluan dan keupayaan
pembelajaran pelajar dalam mencapai objektif sesuatu pengajaran. Dapatan ini juga
menunjukkan bahawa guru bersedia untuk melaksanakan pengadaptasian walaupun tidak
mempunyai kemudahan yang diperlukan. Oleh yang demikian adalah dicadangkan:
latihan keguruan untuk menguasai kemahiran pembezaan kurikulum yang melibatkan
pengadaptasian metodologi pengajaran dan penilaian diberikan kepada guru
pentadbir pendidikan dan kakitangan pengurusan sekolah perlu mengorientasikan dan
menyediakan persekitaran pengajaran dan pembelajaran yang kondusif untuk
kepelbagaian pelajar
guru perlu kreatif dalam mempelbagaikan metodologi pengajaran dan penilaian
berdasarkan keperluan individu
guru hendaklah berkebolehan mengujudkan kumpulan dinamik rakan sebaya untuk
membentuk pelajar yang mempunyai tahap pencapaian rendah.
Guru perlu adil dalam proses pengajaran dan penilaian supaya pelajar mendapat
layanan secara individu mengikut keperluan pembelajaran
Guru perlu meningkat kemahiran mengenalpasti masalah akademik pelajar agar dapat
merancang dan memilih beberapa teknik pengajaran alternatif untuk mengatasi masalah
tersebut.
Guru merujuk kepada pihak yang berkenaan jika terdapat pelajar yang memerlukan
bantuan kepakaran atau murid yang perlu ditempatkan di program pendidikan khas.
Kesimpulan
Secara umumnya pelajar-pelajar yang mengikut proses pengajaran dan pembelajaran di dalam
kelas harus mendapat perhatian yang sepenuhnya daripada guru. Sekiranya terdapat perbezaan
penerimaan dan pemahaman pelajaran dalam kelas tersebut, guru hendaklah melakukan

pengadaptasian dalam metodologi pengajaran dan penilaian. Pengadaptasian dalam proses


pengajaran dan pembelajaran ini memberikan peluang kepada pelajar-pelajar yang pelbagai aras
kecerdasan untuk belajar dalam suasana pembelajaran yang sesuai dengan keupayaan mereka.
Selain dari pengadaptasian metodologi pengajaran dan penilaian guru juga boleh melakukan
pengadaptasian terhadap persekitaran sosio emosi, fizikal dan tingkah laku yang bakal
memberikan iklim pembelajaran yang lebih selesa dan selamat kepada pelajar-pelajar
berkeperluan khas. Diharapkan dengan kesediaan guru untuk menjalankan pengadaptasian
metodologi pengajaran dan penilaian akan memberikan peluang yang sama kepada semua
pelajar dari pelbagai aras kecerdasan termasuklah pelajar pintar cerdas dan pelajar berkeperluan
khas.

RUJUKAN
Ainscow .1993. Towards Effective Schools for All: Policy Options for Special Educational
Needs in the 1990s. NASEN.
Kamaruddin Hj Hussin. 2001. Pedagogi bahasa perkaedahan. Kuala Lumpur : Kumpulan
Budiman Sdn Berhad.
Lenz, B.K. & Deshler D.D. 2004. Teaching and academic diversity. Dlm Lenz, B.K., Deshler
D.D & Kissam, B.R.(pynt). Teaching content to all : Evidence-based inclusive
practices in middle and secondary schools, hlm.1-17.USA: Pearson Education.
Lewis, R.B. & Doorlag, D. H. 2003. Teaching special students in general education
classrooms. 6th ed. New Jersey: Merril Prentice Hall.
Mok Soon Sang. 2002. Pedagogi untuk kursus Diploma Perguruan. Subang Jaya : Kumpulan
Budiman Sdn Berhad.
Nitko, A. J. 2004. Educational assessment of students. 4th ed. New Jersey: Merril Prentice Hall.
Noraini Mohd Salleh, Faridah Serajul Haq, Manisah Mohd Ali dan Safani Bari. 2001.
Pendidikan Khas di Malaysia: Kepelbagaian pengajaran dan pembelajaran. Strategi
Pengajaran Kepelbagaian Pelajar. Prosiding Seminar Pendidikan Kebangsaan. Fakulti
Pendidikan UKM
Norlena Salamuddin, Rosadah Abd Majid, Ruhizan M. Yasin dan Ruslin Amir. 2001.
Pencapaian akademik pelajar UKM dan kepelbagaian gaya pembelajaran mereka :
Implikasi terhadap pensyarah. Strategi Pengajaran Kepelbagaian Pelajar. Prosiding
Seminar Pendidikan Kebangsaan.Fakulti Pendidikan UKM .
Rohaty Mohd Majzub. 2001. Ketrampilan guru-guru khas dalam pembezaan kurikulum.
Strategi Pengajaran Kepelbagaian Pelajar. Prosiding Seminar Pendidikan Kebangsaan.
Fakulti Pendidikan UKM .
Rohaty Mohd Majzub, Aliza Alias & Mohd Mokhtar Tahar. 2005. Pembentukan modul
pembezaan Kurikulum (RAM). Laporan Penyelidikan Jangka Pendek. Fakulti
Pendidikan UKM.
Vaughn, S., Bos, C. S. & Schumm, J.S. 2003. Teaching exceptional, diverse, and at-risk
students in the general education classroom. USA: Pearson Education.
Wood, J. W. 2002. Adapting instructions to accommodate students in inclusive settings. 4th Ed.
New Jersey: Merril Prentice Hall.
Zalizan Mohd. Jelas. 2001. Menangani kepelbagaian: Konsep dan strategi pembezaan. Strategi
Pengajaran Kepelbagaian Pelajar. Prosiding Seminar Pendidikan Kebangsaan. Fakulti
Pendidikan UKM .

PROFIL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF


DI SEKOLAH DASAR DI KOTA BANDUNG
Juang Sunanto
Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia

Abstract
The purpose of the study is to provide a picture of the implementation of inclusive
education in elementary schools in Bandung. On the basis of these objectives, the
research questions of the research are formulated as the following: (1) How is the
existence of children with special needs in elementary school running inclusive
education in Bandung? (2) How high is the inclusion index achieved by the elementary
schools running inclusive education in Bandung?, and (3) How is the achievement of
the inclusion index in elementary school running inclusive education in Bandung based
on the number of students with special needs in the classroom and the experience of
teachers following training of handling children with special needs? This descriptive
study conducted on ten classes of 4 elementary schools in Bandung. The result shows
that (1) the number of children with special needs in inclusive elementary schools
varies from 1 to 4 and the classes with 2 children with special needs are the most
common found in the field, while the overall number of the students is at least 20
students and at most is 46 students in a class. In general, the classes having children wit
special needs have more than one teacher, namely a teacher and an assistant or a special
teacher, even though in some classes there is only a teacher there; (2) the average
inclusion index is 35,58 out of the ideal inclusion index of 54. This shows that the
highest inclusion index just reaches 71,4%; (3) the higher inclusion index is obtained by
the classes with more than one teacher that often follow the training of handling
children wit special needs and the ones with fewer students.

Key Words: Inclusion index, elementary school, teaching process

Pendahuluan
Pendidikan inklusif telah disepakati oleh banyak negara untuk diimplementasikan
dalam rangka memerangi perlakuan diskriminatif di bidang pendidikan. Pendidikan
inklusif didasari oleh dokumen-dokumen internasional, yaitu Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia tahun 1948, Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, Deklarasi
Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, Jomtien tahun 1990, Peraturan Standar
tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat tahun 1993, Pernyataan
Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994.
Strategi, metode, atau cara mengimplementasikan pendidikan inklusif di masingmasing negara sangat bervariasi (UNESCO, 200; Stubbs, 2002). Keberagaman
implementasi ini disebabkan karena tiap-tiap negara memiliki budaya dan tradisi yang

berbeda. Perbedaan implementasi ini juga terjadi di tingkat provinsi, kota, bahkan
sekolah. Sebenarnya perbedaan cara implementasi ini tidak menjadi masalah asalkan
prinsip dan motivasinya sama.
Pemerintah Indonesia telah berupaya mengimplementasikan pendidikan inklusif
melalui berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Departemen
Pendidikan Nasional dan Dinas-dinas pendidikan di provinsi, Kota/Kabupaten. Dalam
praktiknya, implementasi pendidikan inklusif menemui berbagai kendala dan tantangan.
Kendala tersebut di antaranya yang sering dilaporkan adalah kesalahan pemahaman
tentang konsep pendidikan inklusif, peraturan atau kebijakan yang tidak konsisten,
sistem pendidikan yang tidak luwes dan sebagainya.
Sejak pemerintah memperkenalkan dan mengimplementasikan pendidikan inklusif
di sekolah-sekolah, wacana tentang pendidikan inklusi telah menarik perhatian banyak
kalangan, khususnya para penyelenggara pendidikan. Semakin meningkatnya perhatian
terhadap pendidikan inklusif tidak secara otomatis implementasinya berjalan secara
lancar. Akan tetapi, berbagai pandangan dan sikap yang justru dapat menghambat
implementasi pendidikan inklusi makin beragam. Oleh karena itu, pertanyaan tentang
sejauh mana implementasi pendidikan inklusif di Indonesia telah terjadi patut mendapat
perhatian.
Keterlaksanaan pendidikan inklusif khususnya di sekolah sampai sekarang belum
banyak dilaporkan. Di samping itu, implementasi pendidikan inklusif dipengaruhi juga
oleh banyak faktor, misalnya kebijakan pemerintah, sumber dukungan yang ada, sikap,
pengetahuan, dan pemahaman para praktisi pendidikan terhadap pendidikan inklusif.
Penelitian ini bermaksud menggambarkan nilai-nilai inklusi yang telah ada di Sekolah
Dasar yang memiliki siswa berkebutuhan khusus di Kota Bandung. Nilai-nilai inklusi
yang dimaksud adalah praktik-praktik yang dilakukan guru selama mengajar di kelas.
Nilai-nilai inklusi tersebut diamati menggunakan indeks inklusi (index for inclusion)
yang dikeluarkan oleh Centre for Studies on Inclusive Education (CSIE).
Upaya memperkenalkan dan mencobakan pendidikan inklusif di Indonesia telah
dimulai sejak tahun 1980-an. Meskipun demikian, belum banyak hasil penelitian yang
melaporkan tentang kualitas atau pencapaian pelaksanaan pendidikan inklusif. Sukses
pelaksanaan pendidikan inklusif dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya faktor
budaya, politik, sumber daya manusia (Kwon, 2005). Menurut Ainscow (2002)
keterlaksanaan pendidikan inklusif dapat dievaluasi menggunakan suatu indeks yang
disebut index for inclusion. Secara konseptual indeks inklusi ini dibangun dari tiga
dimensi, yaitu (1) dimensi Budaya (creating inclusive cultures), (2) dimensi Kebijakan
(producing inclusive policies), dan (3) dimensi Praktik (evolving inclusive practices).
Setiap dimensi dibagi dalam dua seksi, yaitu: Dimensi budaya terdiri atas seksi
membangun komunitas (building community) dan seksi membangun nilai-nilai inklusif
(establishing inclusive values). Dimensi kebijakan terdiri atas seksi pengembangan
tempat untuk semua (developing setting for all) dan seksi melaksanakan dukungan
untuk keberagaman (organizing support for diversity). Sedangkan dimensi praktik
terdiri atas seksi belajar dan bermain bersama (orchestrating play and learning) dan
seksi mobilisasi sumber-sumber (mobilizing resources). Penelitian ini bermaksud (1)
Mengetahui keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) di Sekolah Dasar yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung?, (2) Mengetahui indeks
inklusi (index for inclusion) di kelas pada Sekolah Dasar yang menyelenggarakan
pendidikan inklusif di Kota Bandung?, dan (3) Mengetahui indeks inklusi di kelas pada
Sekolah Dasar di Kota Bandung yang menyelenggarakan pendidikan inklusif

berdasarkan jumlah ABK, jumlah siswa, jumlah guru, dan pengalaman guru mengikuti
pelatihan penanganan ABK?

Metode
Subjek
Subjek penelitian ini adalah kelas di Sekolah Dasar yang memiliki siswa
berkebutuhan khusus yang ada di Kota Bandung. Berdasarkan data di Dinas Pendidikan
Kota Bandung ada sebanyak 15 kelas yang tersebar di 8 Sekolah Dasar. Oleh karena
itu, yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah Sekolah Dasar yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif. Dalam penelitian ini dipilih 10 kelas sebagai
subjek penelitian yang diambil secara acak dari 4 Sekolah Dasar.
Prosedur
Data keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK), jumlah siswa keseluruhan,
jumlah guru, dan pengalaman guru mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK
diperoleh melalui wawancara dengan guru kelas. Sedangkan indeks inklusi diperoleh
dengan observasi terhadap proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan daftar
observasi yang terdiri dari 18 indikator. Setiap indikator yang dengan jelas
teridentifikasi diberikan skor 3, yang ragu-ragu 2, dan yang tidak teridentifikasi 1,
maka skor maksimal indeks inklusi yang dicapai adalah 54.
Data utama dalam penelitian ini adalah (1) indeks inklusi, (2) jumlah ABK dalam
kelas, (3) jumlah siswa keseluruhan, (4) jumlah guru yang mengajar, dan (5)
pengalaman guru mengikuti pelatihan penangan ABK yang semuanya merupakan data
kuantitatif, maka untuk menganalisis data tersebut digunakan analisis statistik
deskriptif. Secara visual, analisis indeks inklusi terhadap variabel bebas dapat
digambarkan pada tabel 1.
Tabel 1
Variabel Terikat (Y) dalam hubungan dengan Variabel Bebas
Variabel Bebas
Variabel Terikat
(Y)

Indeks Inklusi
(Y)

Jumlah
ABK (X1)

Jumlah Siswa
(X2)

Jumlah Guru
(X3)

Pengalaman
Pelatihan (X4)

Y1

Y2

Y3

Y4

Hasil Penelitian
Tabel 2
Jumlah Guru, Siswa Keseluruhan, dan Siswa Berkebutuhan Khusus
Pada Sepuluh Kelas di SD Inklusif di Kota Bandung

Dalam kelas inklusi, terlihat kecenderungan jumlah ABK antara 1 dan 4 dengan
guru lebih dari 1 yang terdiri dari guru kelas dengan guru khusus atau guru pembantu.
Jenis ABK dengan learning disability (LD) lebih banyak ditemukan di samping anak
autis dan tunagrahita. Fenomena ini sesuai dengan temuan penelitian terdahulu bahwa
anak-anak dengan LD dan auitis sering tidak tampak secara kasat mata (Golis, 1995),
sehingga mereka tidak dikenali sejak masuk sekolah tetapi sering teridentifikasi setelah
mengikuti proses pembelajaran. Peristiwa semacam ini sering kali membuat sekolah
mau menerima ABK secara terpaksa pada awalnya tetapi kemudian menerima dengan
motivasi yang lebih positif.

60
51,6 49,8

Indeks Inklusi

50

47,4

45,2

39,4

38,58

40
31,4
30

29

28

K3

K4

31

33

20
10
0
K1

K2

K5

K6

K7

K8

K9

K10

Kelas

Grafik 1 Indeks Inklusi untuk Setiap Kelas dan Rata-ratanya

Dari indeks inklusi maksimal 54, ditemukan indeks tertinggi 51,6 dan terendah 28
dengan rata-rata 38,.58. Hal ini menunjukkan bahwa inklusivitas yang dicapai oleh
Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif belum optimal. Menurut
data ini, indeks inklusi tertinggi terjadi pada sekolah dengan jumlah murid 22 orang,
ABK 4 dengan guru 6 orang. Hal ini tampaknya jumlah guru yang cukup memadai
menjadi faktor utama untuk mencapai indeks inklusi yang tinggi.

60

50

50,7

45,4

40

Indeks Inklusi

Indeks Inklusi

50
35,55

30
20
10

40
29,85
30
20
10
0

0
ABK1-2

25

ABK3-4

Jumlah ABK

60

50
48,06

50

40

39,4

Indeks Inklusi

Indeks Inklusi

>25

Jumlah Siswa

40
32,56
30
20

45,2
38,68

36,8

30
20
10

10

0
GURU1-2

GURU3

Jumlah Guru

GURU>3

<5

>5

Jumlah Mengikuti Pelatihan

Grafik 2 Indeks inklusi berdasarkan jumlah ABK, siswa keseluruhan, jumlah guru,
dan pengalaman mengikuti pelatihan

Indeks inklusi pada kelas dengan jumlah ABK lebih banyak lebih tinggi dari pada
jumlah ABK lebih sedikit. Sedangkan kelas dengan jumlah siswa keseluruhan lebih
sedikit indeks inklusi lebih tinggi. Indeks inklusi tertinggi dicapai oleh kelas dengan
jumlah guru lebih banyak serta pada kelas yang dengan guru yang lebih banyak
mengikuti pelatihan. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor jumlah ABK, siswa
keseluruhan, jumlah guru, dan keikutsertaan pelatihan berdampak pada pencapaian
indeks inklusi dalam pembelajaran di kelas.

3
2,5

Skor

2
1,5
1
0,5
0
I1

I2

I3

I4

I5

I6

I7

I8

I9

I10 I11 I12 I13 I14 I15 I16 I17 I18

Indikator

Grafik 3 Indikator yang Mendapat Tinggi untuk Rata-rata

Dalam instrumen untuk menggali indeks inklusi memiliki 18 indikator. Masingmasing indikator tersebut adalah: indikator 1 perencanaan, indikator 2 saling
berkomunikasi, indikator 3 partisipasi, indikator 4 pemahaman perbedaan, indikator 5
aktivitas yang melecehkan anak, indikator 6 keterlibatan anak, indikator 7 kerja sama,
indikator 8 penilaian, indikator 9 saling menghormati, indikator 10 aktivitas kegiatan
berpasangan, indikator 11 bantuan pengajaran, indikator 12 mengambil bagian,
indikator 13 pengaturan kelas, indikator 14 sumber pelajaran, indikator 15 perbedaan
sebagai sumber, indikator 16 pemanfaatan sumber ahli, indikator 17 pengembangan
sumber, dan indikator 18 pemanfaatan sumber.
Grafik 3 menunjukkan bahwa indikator 3, 6, dan 9, yaitu tentang partisipasi anak,
keterlibatan anak dalam kegiatan, dan saling menghormati mendapat skor tertinggi.
Sementara itu indikator yang mendapat skor terendah adalah indikator 10 dan 16, yaitu
indikator yang terkait dengan kegiatan berpasangan dan penggunaan sumber daya ahli.
Pembahasan
Sesuai dengan pertanyaan penelitian yang diajukan, hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada 10 kelas yang menyelenggarakan pendidikan inklusi, jumlah ABK
bervariasi dari 1 sampai 4, di mana kelas dengan 2 ABK paling banyak ditemukan.
Sedangkan jumlah siswa keseluruhan paling sedikit 20 dan paling banyak 46. Pada
umumnya kelas yang memiliki ABK gurunya lebih dari satu, yaitu satu guru utama
dibantu oleh asisten atau guru khusus, namun beberapa kelas gurunya hanya satu. Jika
dalam kelas ada ABK, keadaan yang paling ideal jika ada guru kelas dan guru khusus.
Guru khusus ini sebaiknya guru yang memiliki latar belakang pendidikan luar biasa
(PLB) yang bertindak sebagai guru konsultan bagi guru kelas. Banyak negara di Eropa
dan Amerika mewajibkan setiap sekolah yang memiliki siswa ABK menyediakan guru
khusus. Akhir-akhir ini di Indonesia ada kecenderungan sekolah yang memiliki siswa
ABK mulai menyediakan guru khusus yang umumnya terjadi di sekolah swasta.
Ketersediaan guru khusus ini ada yang disediakan oleh sekolah sendiri ada pula yang
disediakan oleh orangtua.

Pada penelitian ini ditemukan rata-rata indeks inklusi sebesar 38,58 dengan indeks
ideal 54. Hal ini menunjukkan bahwa indeks inklusi tertinggi baru mencapai 71,4%.
Banyaknya guru yang mengajar turut mempengaruhi pencapaian indeks inklusi, di mana
jumlah guru yang lebih banyak mencapai indeks inklusi yang lebih tinggi. Di samping
itu, pencapaian indeks inklusi tinggi juga terjadi pada guru yang te lebih banyak
mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK.
Sementara itu, indeks inklusi lebih tinggi dicapai oleh kelas yang memiliki ABK
lebih banyak. Sebaliknya pada kelas yang jumlah siswa keseluruhannya lebih sedikit
indeks inklusi lebih tinggi dari pada kelas yang jumlah siswa keseluruhannya lebih
sedikit.
Kelas yang memiliki jumlah guru lebih banyak indeks inklusinya lebih tinggi
dibandingkan dengan kelas yang memiliki jumlah guru sedikit. Fenomena ini dapat
dijelaskan bahwa dengan jumlah guru lebih dari satu menyebabkan perhatian khusus
pada ABK lebih baik sehingga memungkinkan ABK dapat berpartisipasi dalam
kegiatan belajar dan berpartisipasi secara optimal di kelas.
Kelas yang memiliki guru dengan pengalaman mengikuti pelatihan tentang
penanganan ABK yang lebih banyak indeks inklusinya lebih tinggi. Hal ini
mengindikasikan bahwa kegiatan pelatihan memberikan dampak pada guru untuk
menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusif dalam proses pembelajaran di kelas.
Efektivitas pelatihan untuk mengubah perilaku seseorang dapat dijelaskan dengan
perubahan sikap seseorang di mana sikap memiliki tiga aspek yaitu, aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor. Dengan diberikan informasi yang benar pengetahuan seseorang
menjadi benar, dengan pengetahuan yang benar mempengaruhi seseorang untuk
berbuat benar pula. Dengan argumen ini, dapat diduga guru yang mengikuti pelatihan
menyebabkan mereka menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusif yang benar.
Indikator yang membentuk indeks inklusi dalam penelitian ini terdiri dari 18
indikator. Indikator yang mendapat skor tertinggi atau sering terjadi di dalam kelas
adalah indikator yang terkait dengan partisipasi, keterlibatan anak dalam belajar, dan
saling menghormati.
Daftar Pustaka

Booth, T. and Ainscow, M. (2002). Index for Inclusion. Developing Learning and
Participation in School, London: CSIE.
Golis, S. A. at al (1995) Inclusion in Elementary Schools: A Survey and policy
Analysis. A peer-reviewed scholarly electronic Journal, education policy
Analysis archives. 3,15.
Kwon, H. (2005). Inclusion in South Korea: The current situation and future directions.
International Journal of Disability, Development and Education, 52, 1, 59-68.
Stubbs, S. (2002). Inclusive Education Where There are Few Resources. Oslo: The
Atlas Alliance.
UNESCO (2002). Open File on Inclusive Education. Support Materials for Managers
and Administrators.

Indeks Inklusif di Sekolah Dasar Anak Korban Konflik Perang TimorTimur


Munce R. Therik dan Juang Sunanto

Abstrak
Penelitian ini bermaksud menggali nilai-nilai pendidikan inklusif di Sekolah Dasar
(SD) yang menampung anak-anak korban konflik perang Timor-Timur dengan studi
kasus pada tiga SD di kabupaten Kupang. Untuk mengungkap nilai-nilai pendidikan
digunakan dua instrumen, yaitu skala pengamatan untuk mendapatkan indeks inklusi
dan wawancara untuk mendapatkan data kualitatif tentang nilai-nilai pendidikan inklusi
yang ada di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks inklusi dari ketiga SD
berkisar antara 30,17 dan 34,67 dengan rata-rata 32,44 dari indeks inklusi ideal 54. Di
samping itu, berbagai nilai pendidikan inklusif telah dilaksanakan di sekolah meskipun
pelaksanaannya tidak dalam pemahaman pendidikan inklusif tetapi lebih didasarkan
atas nilai-nilai positif yang universal. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai
pendidikan inklusif sudah ada dan telah diterapkan di SD yang melayani anak korban
konflik perang Timor-Timur baik disengaja maupun tidak disengaja.
Kata kunci: Nilai-nilai pendidikan inklusif, indeks inklusi, anak korban konflik
perang Timor-Timur
A. Pendahuluan
Ketika konflik berkecamuk di Provinsi Timor-Timur dampak yang sangat tragis
pun terjadi, sebagian besar masyarakat yang memilih untuk mengikuti Negara Kesatuan
Republik Indonesia akhirnya kehilangan segalanya. Harta benda, masa depan, anak,
istri, suami akhirnya menjadi korban dari konflik pecahnya Timor-timur menjadi negara
sendiri. Kurang lebih 5000 orang anak yang menjadi korban konflik sampai saat ini
belum terlayani secara maksimal dalam memperhatikan kebutuhan pendidikan mereka.
Mereka ini berada pada beberapa tempat di sekitar kota Atambua kabupaten Belu,
Kabupaten Kupang, kabupaten Timor Tengah Utara dan Selatan Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Dampak besar yang sangat merugikan selain hal di atas adalah anakanak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Walaupun mendapatkan
pendidikan namun tidak terakomodasi secara baik. Pendidikan diharapkan dapat
memulihkan kembali kondisi anak-anak, sehingga mereka dapat menemukan kembali
kebahagiaan bahkan juga masa depan mereka yang sempat hilang akibat konflik.
Pendidikan diharapkan dapat menjadi jembatan yang lebih universal untuk
memberikan pembelajaran bagi penanganan trauma yang terjadi pada korban ketika
konflik atau setelah konflik. Selain untuk menjaga mutu pendidikan, hal ini juga amat
penting sebagai upaya mencegah terjadinya konflik susulan yang bisa saja tiba-tiba
meletup. Dengan pendidikan juga diharapkan agar seseorang dapat berpikir rasional
dalam menghadapi segala persoalan yang diakibatkan oleh adanya konflik. Dalam

semuanya itu adalah dengan pendidikan anak bisa mencapai cita-cita yang diimpikan
demi masa depan.
Dalam penelitian ini, penulis membatasi pengkajian pada anak-anak korban
kerusuhan eks provinsi Timor-Timur, yang memilih untuk berintegrasi dengan Negara
Kesatuan Repoblik Indonesia dan menuntut ilmu pada lembaga-lembaga pendidikan
formal-reguler dalam Negara Indonesia, secara khusus di Kabupaten Kupang. Sekolah
Dasar X, Y dan Z merupakan tiga sekolah dasar di kabupaten Kupang yang banyak
melayani siswa anak korban konflik Timor-timur. Penelitian awal yang dilakukan oleh
peneliti menemukan adanya indikator dalam hubungan dengan pendidikan inklusif bagi
ABK. Ketiga sekolah ini terletak diantara perkampungan para pengungsi Timor-timur
dan juga dekat dengan pusat pemerintahan dan administratif kabupaten Kupang. Oleh
sebab itu peneliti memilih sekolah Dasar X, Y, dan Z sebagai sampel penelitian.
B. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk menggambarkan nilai-nilai
pendidikan inklusif yang terjadi di SD yang menampung anak korban konflik perang
Timor-Timur. Nilai-nilai pendidikan inklusif dalam penelitian ini diungkap dengan
indeks inklusif yang diperoleh dengan cara pengamatan menggunakan skala penilaian
(Booth and Ainscow, 2002) serta wawancara kepada kepala sekolah, guru, dan siswa.
Indeks inklusi, merupakan angka yang menggambarkan seberapa besar nilai-nilai in
klusi terjadi di sekolah dengan skor ideal 54. Di samping itu, nilai-nilai inklusif juga
diungkap dengan untuk menggali nilai-nilai inklusif secara kualitatif. Penelitian ini
dilaksanakan di tiga SD di Kabupaten Kupang yang memiliki siswa dari anak pengungsi
Timur-timor.

C. Hasil Penelitian
1. Indeks Inklusi

55

Indeks Inklusi

50
45
40
35

34,67

32,5
30,17

30
25
20
X

Sekolah Dasar
Grafik 1 Rata-rata Indeks Inklusif di Tiga Sekolah Dasar di Kabupaten Kupang

Grafik 1 menunjukkan indeks inklusi yang diperoleh oleh tiga SD yang menerima
anak pengungsi di Kupang. Indeks inklusi untuk SD X, SD dan SD Z masing-masing
34.67, 30,17, dan 32.5 dengan rata-rata 32.44 dari indeks inklusi ideal 54. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan inklusi di tiga SD tersebut telah terjadi
meskipun belum ideal.

2. Pandangan Warga Setempat terhadap Pengungsi


Pada umumnya para guru dan kepala sekolah bersikap positif terhadap anak-anak
pengungsi karena mereka telah memiliki pengetahuan dan memahami tentang falsafat
negara, yaitu Pancasila. Mereka memiliki sikap positif terhadap anak-anak pengungsi,
tidak deskriminatif, dan dapat menerima anak-anak pengungsi didasarkan atas
kepercayaannya terhadap filosofi negara dan nilai nilai agama yang dianut. Dengan
sikap dan kepercayaan guru dan kepala sekolah semacam itui, anak-anak pengungsi
mendapatkan kesempatan untuk belajar dengan terbuka sebagaimana anak-anak bukan
pengungsi.
Kesamaan budaya dan kebiasaan, mendorong warga sekolah mimiliki pandangan
terhadap warga pengungsi sebagai saudara dan rasa persaudaraan inilah yang mendasari
mereka saling menerima dan bekerja sama.
Anak-anak setempat pada dasarnya memandang anak-anak pengungsi sebagai
teman dan saudaranya karena persamaan ciri-ciri fisik dan kegiatan budayanya.
Meskipun demikian sikap dan pandangan orang-orang dewasa di sekitarnya seringkali
memicu sikap emosional dan kurang bersahabat diantara anak-anak. Mereka lebih
emosioal dan tidak bersahabat menghadapi anak-anak pengungsi sehingga mudah
memicu pertengkaran dan sikap bermusuhan, meskipun mereka sering tidak mengerti
ketika ditanya mengapa mereka harus bermusuhan atau saling membeci
3. Faktor Penghambat
Niali-nilai pendidikan inklusif telah terjadi di ketiga sekolah yang manampung
anak-anak pengungsi, sekalipun pelaksanaannya belum dipahami sebagai nilai-nilai
pendidikan inklusif tetapi lebih dipahami sebagai pelaksanaan filosif negara dan
perbuatan baik yang universal. Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat atau
tidak sesuai dengan nilai pendidikan inklusif. Berikut adalah faktor-faktor tersebut dan
upaya untuk mengatasinya disampaikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1
Faktor-faktor penghambat Pelaksanaan Pendidikan Inklusif
SD X
SD Y
SD Z
Sifat anak pengungsi yang Sifat anak pengungsi
Sifat anak pengungsi
tempramental dan keras
yang tempramental dan
yang tempramental dan
keras
keras
Anak pengungsi kurang
Ruang kelas yang kurang Materi pelajaran yang
memahami bahasa
memadahi untuk jumlah belum pernah diterima
Indonesia
siswa yang banyak
dikelas sebelumnya
Tabel 2

Upaya untuk Mengatasi Hambatan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif


SD X
Menyisipkan pendidikan
sosial dan nilai-nilai
kerjasama dan kesatuan
ketika memberikan
pelajaran
Serta adanya kerjasama
dengan LSM, sehingga
lebih mudah untuk
memperbaiki mental anakanak korban konflik
Menjelaskan materi
pelajaran dengan dua
bahasa. Mengulang
menjelaskan dengan
bahasa yang dapat
dimengerti oleh siswa

SD Y
Menyisipkan pendidikan
sosial dan nilai-nilai
kerjasama dan kesatuan
ketika memberikan
pelajaran
Serta adanya kerjasama
dengan LSM, sehingga
lebih mudah untuk
memperbaiki mental anakanak korban konflik
Belum dapat
melaksanakan
pembangunan ruang kelas,
karena kendala dana

SD Z
Menyisipkan pendidikan
sosial dan nilai-nilai
kerjasama dan kesatuan
ketika memberikan
pelajaran

Menjelaskan ulang
materi yang seharusnya
diterima dikelas
sebelumnya.

D. Pembahasan
Temuan penelitian menunjukan bahwa kepala dan guru kelas SD X, SD Y, dan
SD Z kabupaten Kupang telah menerapakan beberapai nilai pendidikan inklusif
khususnya perlakuan terhadap anak pengungsi yang dipahami sebagai pelaksanaan
filosofi negara dan perbuatan baik yang universal dan bukan sebagai penerapan nilai
pendidikan inklusif karena keidak tahuan. Pelaksanaan pendidikan inklusif akan
terwujud bila paling tidak ada 9 elemen pendidikan inklusif sebagaimana dikemukakan
Abdurahman, (2002: 10). Diantara 9 elemen itu, faktor Kepala Sekolah dan Sikap Guru
yang Positif terhadap kebhinekaan siswa sangat menentukan. Selain itu
penyelenggaraan pendidikan inklusif disadari menuntut adanya interaksi promotif antar
siswa. Dan pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pada pencapaian tujuan
pembelajaran dalam bentuk kompetensi akademik, tetapi juga kompetensi sosial. Hal
tersebut tentu sangat berkaitan dengan kebijakan dan kepemimpinan kepala sekolah.
Idol dan West (dalam Abdurahman, 2002) telah mengembangkan model
konsultasi kolaboratif untuk melakukan tindakan pencegahan dan remidiasi siswa yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus di kelas regular. Berdasarkan model yang
mereka buat, GPK dan guru regular bersama anggota tim lainnya dapat melakukan
diskusi untuk menentukan sifat dan ukuran-ukuran yang digunakan untuk menentukan
masalah siswa, memilih dan merekomendasikan tindakan, merencanakan dan
menginplementasikan program pembelajaan, dan melakukan evaluasi hasil intervensi
serta melakukan perencanaan ulang jika diperlukan. Namun pada kenyataannya
mekanisme ini belum dapat dilakukan oleh kepala sekolah karena belum ada GPK di
SD X.
Skjorten, M.D, ( 2003: 39) mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus
adalah mereka yang mempunyai kebutuhan khusus, baik permanen maupun temporer,
untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang disesuaikan, yang disebabkan oleh: (1)

kondisi sosial ekonomi, dan/atau (2) kondisi ekonomi, dan/atau (3) Kondisi politik,
dan/atau (4) Kelainan bawaan maupun yang didapat kemudian
Dengan kata lain, konteks ABK tidak hanya membicarakan kelompok minoritas
yang ekslusif dan bukan hanya anak yang berkelainan saja tetapi meliputi sebagian
besar anak yang sedang belajar. Oleh karenanya, sekolah hendaknya mengakomodasi
semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, ataupun
kondisi lainnya. Sekolah harus mencari cara agar berhasil mendidik semua anak,
termasuk yang berkebutuhan khusus.
Dan semuanya bermuara pada bagaimana kepala sekolah memaknai ABK ini
secara benar. Karena kepala sekolah berfungsi dan bertugas sebagai manajer,
administrator, edukator dan supervisor. Kepala sekolah adalah penanggung jawab
pelaksana pendidikan di sekolah, termasuk di dalamnya adalah penangung jawab
pelaksanaan administrasi sekolah. Kepala sekolah mempunyai tugas merencanakan,
mengorganisasikan, mengawasi dan mengevaluasi seluruh proses pendidikan di sekolah,
meliputi aspek edukatif dan administratif yaitu pengaturan; adminstrasi kesiswaaan,
kurikulum, ketenagaan, sarana prasarana, keuangan, hubungan masyarakat dan
adminsitrasi belajar mengajar.
Sekolah merupakan salah satu tempat pembinaan mental anak-anak korban
konflik Timor-timur. Sekolah seharusnya memiliki program khusus untuk membina
anak-anak ini. Jadi selain anak-anak mendapatkan pendidikan reguler, siswa juga
mendapat pembinaan untuk pemulihan trauma mereka.
Ada kendala dalam pelaksanaan pendidikan bagi anak-anak korban konflik
dalam hal kurangnya pemahaman bahasa Indonesia. Dalam berkomunikasi, kesamaan
pemahaman bahasa sangat diperlukan bagi tercapainya komunukasi yang efektif.
Kendala semantis akan membuat komunikasi terhambat. Sama halnya dengan
komunikasi dalam kelas antara guru dengan siswa. Ketika guru menjelaskan pelajaran
dengan menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan anak-anak pengungsi Timor-timur
tidak memahami artinya, maka pelajaran yang disampaikan pun tidak akan dimengerti
oleh siswa. Di provinsi NTT, setiap suku memiliki bahasa daerahnya masing-masing,
dan penggunaan bahasa Indonesia masih sangat minim. Oleh sebab itu, anak-anak usia
sekolah pun masih belum memahami arti kata-kata dalam bahasa Indonesia. Disini perlu
guru-guru yang mengerti bahasa Indonesia sekaligus bahasa daerah setempat, agar
selain mengajarkan materi pelajaran dalam bahasa Indonesia, juga dapat
menterjemahkan kedalam bahasa daerah. Supaya seluruh siswa dapat memahami
pelajaran yang disampaikan. Namun terlebih penting lagi untuk merubah pola bahasa
mereka, supaya mereka dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Selain itu, jumlah murid yang terlalu banyak juga merupakan kendala.
Selain kendala diatas, ada kendala dalam pelaksanaan pendidikan bagi anakanak korban konflik yaitu masalah ketertinggalan anak-anak pengungsi terhadap materimateri pelajaran. Misalnya: anak pengungsi yang usianya sudah pantas untuk masuk
kelas 4, namun ketika dikelas 4 ternyata pelajaran-pelajaran dikelas 3 belum ia ketahui.
Hal ini menyebabkan kesulitan bagi guru dalam penyampaian materi. Karena umumnya
materi pelajaran selalu bertingkat dan konsisten. Maka ketika siswa belum mengerti
dasarnya, ia tidak dapat mengikuti tingkat selanjutnya.

E. Kesimpulan
Nilai-nilai Pendidikan Inklusif di SD X, SD Y dan SD Z kabupaten kupang
sudah mulai diterapkan. Hal ini nampak dari pemahaman Kepala Sekolah dan Guru
Kelas terhadap pendidikan inklusif dan ABK yang sudah cukup. Kebijakan penerimaan
siswa dan perlakuan guru dalam kelas terhadap anak pengungsi Timor-timur sudah
menunjukkan penerapan nilai-nilai inklusif. Pembelajaran dalam seting pendidikan
inklusif belum berjalan, belum ada guru pembimbing khusus (GPK), sehingga seting
pembelajaran seperti sekolah reguler pada umumnya. Belum ada program-program
khusus untuk ABK korban konflik. Siswa bukan penungsi juga sudah menerapkan nilai
inklusif, dimana mereka tidak membeda-bedakan dalam belajar dan bermain, mereka
sangat terbuka untuk bermain dan belajar bersama anak pengungsi. Siswa pengungsi
pun juga sudah merasa nyaman dengan lingkungan dan perlakuan guru maupun teman
sebaya baik ketika belajar dalam kelas maupun ketika bermain diluar kelas. Support
System terhadap SD X, SD Y dan SD Z dari pemerintah masih sangat kurang, hanya
sebatas pelatihan, belum nampak nyata berupa sarana-prasarana. Namun ada satu
kelebihan di SD X ini sudah memiliki kerjasama dengan suatu LSM yang khusus
menangani pemulihan anak-anak korban konflik Timor-timur.
Rata-rata indeks inklusif SD X adalah sebesar 34,67. Rata- rata indeks inklusif SD
Y adalah sebesar 30,17. Dan rata- rata indeks inklusif SD Z adalah sebesar 32,5. Dari
ketiga SD yang diteliti maka SD X yang memiliki indeks inklusif paling tinggi,
meskipun juga masih jauh dari indeks inklusif maksimal yang dapat dicapai, yaitu
sebesar 54.
Kendala umum dari SD X, SD Y dan SD Z yang sangat menghambat proses
pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu berkaitan dengan sifat ABK korban konflik yang
keras dan emosional. Kendala khusus yang dihadapi oleh SD X adalah kendala
komunikasi berupa ketidak mampuan ABK korban konflik Timor-timur untuk
memahami dan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Kendala khusus yang
dihadapi oleh SD Y adalah kendala jumlah murid yang banyak dan ruang kelas yang
terbatas serta tidak nyaman.Kendala khusus yang dihadapi oleh SD Z adalah kendala
ketertinggalan ABK dalam hal materi pelajaran.
Upaya yang dilakukan oleh SD X, SD Y, dan SD Z kabupaten Kupang, dalam
rangka untuk mengatasi sifat dan temperamental ABK adalah dengan cara menyisipkan
pelajaran nilai-nilai moral, sosisal, kerjasama, dan Kesatuan pada saat memberikan
pelajaran regular dalam kelas. Khusus untuk SD X telah memiliki kerjasama dengan
suatu LSM yang menangani anak-anak korban konflik Timor-timur, Jadi pembinaan
mental ABK juga diakomodasi oleh LSM tersebut.
Untuk mengatasi kendala semantik (gangguan perbedaan bahasa) maka dilakukan
dengan cara, bapak atau ibu guru memberikan pelajaran dengan bahasa Indonesia dan
mengulanginya dengan bahasa daerah. Serta memberikan pelajaran bahasa Indonesia
secara intensif.
Kendala khusus pelaksanaan pendidikan inklusif di SD Y dalam hal jumlah siswa
yang banyak dan ruang kelas yang terbatas, hendak ditanggulangi dengan pembangunan
ruang kelas, namun harapan ini masih belum dapat diwujudkan. Maka untuk pemecahan
masalah ini hanya bisa dengan mengatur jadwal masuk siswa.
Kendala khusus pelaksanaan pendidikan inklusif di SD Z berupa ketertinggalan
materi pelajaran, diupayakan diatasi seperti dengan menjelaskan kembali materi-materi
dasarnya, dengan kata lain guru mesti mengulang menjelaskan materi yang seharusnya

sudah didapatkan dikelas sebelumnya. Cara ini kurang efekti dan efisien, sebab
membuang waktu belajar.
Upaya pembinaan kompetensi kepala dan guru kelas SD X, Y, dan Z belum
memberikan hasil yang signifikan terhadap pelaksanaan nilai-nilai inklusif di ketiga SD
tersebut. Sebab meskipun materi atau bahan tentang pelaksanaan pendidikan inklusif
sudah dikuasai namun tidak terdapat sarana-prasarana pendukung, maka pelaksanaan
pendidikan inklusif pun tidak dapat dilaksanakan.

Daftar Pustaka

Abdurahman,M, 2002, Landasan Pendidikan Inklusif dan Implikasinya Dalam


Penyelenggaraan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan,Depdiknas
Booth, T. and Ainscow, M. (2002). Index for Inclusion. Developing Learning and
Participation in School, London: CSIE.
Johnsen, B & Skjorten, M.,D. (2003) Education-Special Needs Education An
Introduction. alih Bahasa Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah Pengantar,
Menuju Inklusi Buku I, Bandung: PPS UPI
Kustawan, D.(2006). Materi Sosialisasi Pendidikan Kebutuhan Khusus & Inklusi,
Bandung: Dinas Pendidikan Propinsi, Jawa Barat
Litshitz, H at.al (2004) Attitude Towards Inclusion: the Case of Israeli and Palestinian
Regular and Special Education Teachers; European Journal of Special Needs
Education vol 19, No.2 Juni 2004
Milles,M.B & Huberman,A.M. (penterjemah : Rohidi,T.R).(1992).Analisis Data
Kualitatif, Universitas Indonesia
Moleong,L.J .(2004), Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya Moran, A. at,al (2002), Developing Inclusive Schools: The Pivotal
Role of Teaching Assistants in Promoting Inclusion in Special and Mainstream
School in Nothern Ireland, European Journal of Special Need Education

SIKAP GURU SEKOLAH DASAR (SD)


TERHADAP PENYELENGGARAAN SEKOLAH INKLUSIF
Oleh: Herlina1
Abstraksi:
Makalah ini merupakan makalah yang diangkat dari hasil penelitian tentang
pengaruh jenis sekolah, latar belakang pendidikan guru, pelatihan pendidikan
inklusif, jumlah siswa di kelas, dan pengalaman menangani anak berkebutuhan
khusus terhadap sikap guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang
penyelenggaraan sekolah inklusif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa (1)
Guru-guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat memiliki sikap yang cukup
positif terhadap penyelenggaraan sekolah inklusif, baik dalam sikap secara
umum maupun dalam komponen kognitif sikap, komponen afektif, serta konatif;
(2) Jenis sekolah tempat guru mengajar, pelatihan pendidikan inklusif, dan
jumlah siswa di kelas berpengaruh secara signifikan, tetapi latar belakang
pendidikan guru dan pengalaman menangani anak berkebutuhan khusus
ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap sikap guru SD di
Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif; (3)
Secara umum, SLB menjadi pilihan utama para guru sebagai tempat mendidik
ABK, dan hal ini tidak konsisten dengan sikapnya yang positif terhadap
penyelenggaraan sekolah inklusif.
Kata kunci: pendidikan inklusif, sekolah inklusif, inklusi, sikap guru.
A. PENDAHULUAN
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Direktorat Pendidikan Luar Biasa
Departemen Pendidikan Nasionakl (2007:7), jumlah ABK usia sekolah di Indonesia
adalah 317.016 anak. Dari jumlah tersebut, 66.610 ABK atau sekitar 21 % telah
memperoleh layanan pendidikan pada sekolah luar biasa (SLB), sekolah dasar luar biasa
(SDLB), dan sekolah terpadu. Hal ini berarti bahwa masih banyak ABK, yakni sekitar
79 % atau 250.442 ABK di Indonesia belum memperoleh layanan pendidikan.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah agar semua anak, termasuk ABK,
memperoleh akses ke sekolah adalah menjadikan sekolah umum sebagai sekolah
inklusif, yaitu sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan
khusus untuk dapat belajar di kelas bersama-sama dengan siswa lain yang tidak
berkebutuhan khusus, dengan pemberian layanan khusus sehingga ABK memiliki
kesempatan yang sama dengan anak lain untuk mengikuti seluruh kegiatan
pembelajaran di sekolah tersebut. Penyelenggaraan sekolah inklusif ini didukung oleh
Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989, Konferensi Dunia tentang Pendidikan Untuk
Semua 1990, Resolusi PBB no. 48/96 th 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi
Orang Berkelainan, Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif 1994, Komitmen
Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua 2000, Deklarasi Bandung 2004 tentang
Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif, Rekomendasi Bukittinggi 2005, Undang1

Herlina, alumnus Program Magister Pendidikan Khusus Sekolah Pascasarjana Universitas


Pendidikan Indonesia (UPI) dan Dosen Jurusan Psikologi UPI.

Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 pasal 9 (1) tentang Perlindungan Anak, dan Surat
Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003
perihal Pendidikan Inklusi, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki
Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa, serta Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan Bab VII perihal Penyelenggaraan Pendidikan Khusus dan
Pendidikan Layanan Khusus.
Meskipun sudah ada legislasi dan peraturan mengenai penyelenggaraan
pendidikan inklusif, namun kenyataannya masih terdapat beberapa pandangan negatif
terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Sebagai contoh, tulisan Alimin (2008)
menyatakan bahwa dari keluhan yang disampaikan para guru saat seminar atau
workshop, disimpulkan bahwa para guru SLB merasa tidak nyaman dan merasa
terancam apabila konsep pendidikan inklusif diimplementasikan. Mereka beranggapan
SLB akan dibubarkan dan mereka akan kehilangan pekerjaan; sementara itu, seorang
guru Sekolah Dasar mengatakan "Mengajar 40 orang anak normal sudah repot, apalagi
harus menerima anak cacat, tidak mungkin bisa dilakukan." Keluhan serupa juga secara
langsung diketahui peneliti dari salah seorang guru SLB yang menyatakan tentang
rebutan murid yang terjadi antar SLB sehubungan dengan adanya perubahan
kebijakan yang dilakukan oleh SLB dalam menerima siswa, yang semula hanya
menerima siswa dengan jenis ketunaan tertentu berubah menjadi menerima siswa dari
berbagai jenis ketunaan.
Dari pengalaman dan pengamatan penulis di Kabupaten Kuningan Jawa Barat,
diperoleh gambaran bahwa ada sekolah-sekolah umum yang menerima siswa
berkebutuhan khusus setelah kepala sekolah dan guru kelas memperoleh gambaran
kebutuhan khusus anak dari orangtua anak yang bersangkutan. Mereka mau menerima
anak berkebutuhan khusus, tetapi dengan menyatakan bahwa mereka hanya akan
mengajar anak berkebutuhan khusus tersebut seperti anak-anak lainnya karena mereka
tidak memiliki kemampuan khusus untuk menangani anak berkebutuhan khusus, dan
mereka berharap agar orangtua banyak memberikan masukan mengenai cara menangani
kebutuhan khusus anak serta tidak berharap banyak kepada guru/sekolah mengenai
kemajuan belajar anak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sikap guru merupakan faktor yang
sangat penting, tidak hanya bagi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif,
namun juga bagi keberhasilan anak berkebutuhan khusus (Barnett & Kabzems, 1992;
Berryman, 1998; Darovill, 1989; Garvar Pinhas & Schmelkin, 1989; Hudson & Clunies
Ross, 1984; Larrivee & Cooke, 1979, dalam Cochran, 1998).
Dengan dilatarbelakangi oleh beberapa penelitian terdahulu, pendapat para pakar
tentang kondisi objektif yang muncul dan pengalaman serta pengamatan penulis,
khususnya di daerah Kabupaten Kuningan Jawa Barat, penelitian ini dilakukan.
B. MASALAH YANG DITELITI
Dalam penelitian ini peneliti merumuskan
permasalahan utama, yaitu:
Bagaimanakah sikap guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang
penyelenggaraan sekolah inklusif, yang meliputi komponen kognitif, afektif, dan
konatif, dilihat dari jenis sekolah, latar belakang pendidikan guru, pelatihan pendidikan
inklusif, jumlah siswa di kelas, dan pengalaman menangani anak berkebutuhan
khusus? Secara khusus, masalah penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian

sebagai berikut: (1) Apakah terdapat pengaruh jenis sekolah terhadap sikap guru SD di
Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif?; (2)
Apakah terdapat pengaruh latar belakang pendidikan guru terhadap sikap guru SD di
Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif?; (3)
Apakah terdapat pengaruh pelatihan pendidikan inklusif terhadap sikap guru SD di
Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif?; (4)
Apakah terdapat pengaruh jumlah siswa di kelas terhadap sikap guru SD di Kabupaten
Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif?; (5) Apakah terdapat
pengaruh pengalaman menangani anak berkebutuhan khusus terhadap sikap guru SD di
Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif?; (6)
Bagaimanakah pilihan guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penempatan
pendidikan bagi anak dari berbagai jenis dan tingkat kebutuhan khusus?
Dengan berbagai pertimbangan teoritis dan teknis, penelitian ini dibatasi pada
lingkup sekolah inklusif dan guru SD yang ada di wilayah Kabupaten Kuningan dengan
beberapa istilah sebagai berikut; Pertama, guru sekolah dasar adalah para guru SD
umum dan SLB di Kabupaten Kuningan Jawa Barat; Kedua, anak berkebutuhan khusus
adalah anak-anak yang berkebutuhan khusus permanen, yaitu yang tergolong memiliki
kecacatan atau berbakat istimewa; dan ketiga penyelenggaraan sekolah inklusif
menunjuk pada praktik memfungsikan elemen-elemen sekolah sesuai dengan
ciri/karakteristik inklusi di sekolah.
C. KAJIAN PUSTAKA: Sikap Guru SD tentang Penyelenggaraan Sekolah
Inklusif
Banyak definisi sikap yang dikemukakan oleh para ahli. Secara umum, definisidefinisi tersebut dapat dikelompokkan kedalam tiga kerangka pemikiran (Azwar,
2009:4). Kerangka pemikiran pertama memandang bahwa sikap adalah suatu bentuk
evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan
mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung (unfavorable)
pada objek tersebut (Berkowitz, dalam Azwar, 2009:4). Kelompok pemikiran kedua
memandang sikap sebagai kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan caracara tertentu. Yang dimaksud dengan kesiapan yaitu kecenderungan potensial untuk
bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang
menghendaki adanya respon. Sikap didefinisikan sebagai suatu pola perilaku, tendensi
atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau
secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli social yang telah terkondisikan
(LaPiere, 1934, dalam Azwar, 2009:5). Kelompok pemikiran ketiga disebut sebagai
kelompok yang berorientasi skema triadic. Berdasarkan pemikiran yang berorientasi
pada skema triadic, sikap dipandang sebagai suatu konstelasi komponen-komponen
kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan
berperilaku terhadap suatu objek (Azwar, 2009:5). Menurut Secord & Backman
(Azwar, 2009:5), sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi),
pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek
di lingkungan sekitarnya. Adapun Allport (Marat, 1982:13) mendefinisikan sikap
sebagai an attitude toward any given object, idea, or person is an enduring system with
a cognitive component, an affective component, and a behavioral tendency.
Berdasarkan skema triadic, sikap terdiri atas 3 komponen yang saling
berinteraksi, yaitu komponen kognitif, afekif, dan konatif. Komponen kognitif berisi
persepsi, keyakinan, ide, dan konsep dalam diri seseorang mengenai objek sikap.

Keyakinan seseorang mengenai suatu objek tentang apa yang telah dilihat atau
diketahuinya, yang memberinya ide tentang karakteristik umum objek tersebut. Jadi,
komponen kognitif akan menjawab pertanyaan apa yang dipikirkan atau dipersepsikan
tentang objek (Shaver, dalam Marat, 1982:21). Komponen afektif berkaitan dengan
perasaan emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Menurut Mann
(1969), dalam Azwar (2009:24), aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling
dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap
pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang. Pada umumnya
reaksi emosional terhadap suatu objek, yang merupakan komponen afektif, banyak
dipengaruhi oleh keyakinan atau apa yang diyakini benar dan berlaku bagi objek
tersebut. Berarti, komponen afektif menjawab pertanyaan tentang apa yang dirasakan
(senang/tidak senang) terhadap objek (Shaver, dalam Marat, 1982:21). Komponen
konatif merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu, yang
ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Komponen
konasi akan menjawab pertanyaan bagaimana kesediaan/kesiapan untuk bertindak
terhadap objek (Shaver, dalam Marat, 1982:21).
Ketiga komponen ini saling berinteraksi. Sikap merupakan kumpulan dari
berpikir, keyakinan, dan pengetahuan tentang suatu objek. Jadi, terdapat
penalaran/penilaian seseorang terhadap objek mengenai karakteristiknya. Penilaian
seseorang terhadap suatu objek sikap bisa diperoleh melalui pengalaman langsung
berdasarkan interaksi maupun pengalaman tidak langsung (misalnya melalui
berita/cerita). Berdasarkan evaluasi kognitif ini, komponen afektif memiliki evaluasi
negatif maupun positif yang bersifat emosional, yang muncul dalam perasaan
senang/tidak senang, atau takut/tidak takut. Pengetahuan dan perasaan akan
menghasilkan kecenderungan tingkah laku tertentu terhadap objek tersebut. Dalam
bentuk bagan, maka interaksi ketiga komponen sikap dapat digambarkan sebagai
berikut (Marat, 1982:23):
Pengalaman

Proses
belajar
(sosialisasi)

Cakrawala

Pengetahua

PERSEP
K
E
P
R
I
B
A
D
I
A
N

Kognisi

Afeksi

Evaluasi

Objek
Psikolo

Faktor-faktor
lingkungan yang
mempengaruhi

(senang/tak senang)
Konasi
SIKAP

kecenderungan
bertindak

Gambar 1. Proses Interaksi Komponen Sikap (Marat, 1982: 23)

Gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Persepsi merupakan proses


pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi. Persepsi ini dipengaruhi
oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuannya. Manusia
mengamati suatu objek psikologis dengan kacamatanya sendiri yang diwarnai oleh nilai
dari kepribadiannya. Objek psikologis ini bisa berupa kejadian, ide, atau situasi tertentu.
Faktor pengalaman, proses belajar, atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur
terhadap apa yang dilihat, sedangkan pengetahuan dan cakrawalanya memberikan arti
terhadap objek psikologis tersebut. Melalui komponen kognisi ini akan timbul ide,
kemudian konsep mengenai apa yang dilihat. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki
pribadi seseorang akan terjadi keyakinan (belief) terhadap objek tersebut. Selanjutnya,
komponen afeksi memberikan evaluasi emosional (senang atau tidak senang) terhadap
objek. Pada tahap selanjutnya, berperan komponen konasi yang menentukan
kesediaan/kesiapan jawaban berupa tindakan terhadap objek (Marat, 1982:23).
D. METODOLOGI PENELITIAN
Pemilihan wilayah Kabupaten Kuningan Jawa Barat sebagai wilayah kajian
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan: a) Pengetahuan peneliti mengenai
perkembangan penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di
Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Sekitar tahun 2005, pemerintah Kabupaten Kuningan
mulai menerapkan paham sekolah inklusif, dengan menetapkan 5 SD dan 1 SMP
sebagai sekolah inklusif, namun tidak berkelanjutan, bahkan sampai saat penelitian ini
akan dilakukan, anak-anak berkebutuhan khusus diarahkan untuk bersekolah di SLB
karena pemerintah Kabupaten Kuningan belum memiliki peraturan daerah, petunjuk
pelaksanaan, dan petunjuk teknis yang mengatur penyelenggaraan pendidikan inklusif,
serta tidak memiliki program pembinaan bagi sekolah tersebut dalam melaksanakan
pendidikan inklusif; b) aspek historis, yaitu karena peneliti berasal dari Kabupaten
Kuningan Jawa Barat, sehingga peneliti lebih paham tentang kondisi daerah tersebut,
serta sebagai salah satu bentuk perwujudan pengabdian peneliti pada daerah asal.
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random terbatas, yaitu
proportional stratified random sampling. Pada teknik ini, sampel dikumpulkan dengan
jalan membagi-bagi populasi atas kelas-kelas atau tingkat-tingkat (strata) tertentu,
kemudian ditentukan para anggota sampel dari setiap kelas atau strata secara
proporsional sehingga setiap stratum itu diwakili dalam sampel. Dengan cara tersebut di
atas, dapat diperoleh sampel yang betul-betul mencerminkan gambaran yang benar dan
baik dari populasi penarikan sampel (Kartono, 1990:144).
Dengan mempertimbangkan feasibilitas peneliti untuk melaksanakan penelitian,
maka peneliti menetapkan jumlah sampel yang akan diambil adalah 3 orang dari setiap
sekolah. Berdasarkan data dari Disdikpora Kabupaten Kuningan Jawa Barat (Risyana,
2010), jumlah total guru sekolah dasar (SD, MI, dan SLB) di Kabupaten Kuningan Jawa
Barat adalah 7369 orang, sedangkan yang akan diambil untuk menjadi sampel dalam
penelitian ini sebanyak 126 orang. Menurut Pagoso, Garcia, dan Guerrero de Leon
(Sevilla, et al, 1993) ukuran sampel untuk populasi berjumlah 7000 orang dengan batas
kesalahan 10% adalah 99, dan untuk populasi berjumlah 8000 orang dengan batas
kesalahan 10% adalah 99. Dengan demikian, jumlah sampel dalam penelitian ini
memenuhi syarat jumlah sampel minimum dengan batas kesalahan 10%.
Variabel penelitian yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sikap guru
sekolah dasar di Kabupaten Kuningan Jawa Barat terhadap penyelenggaraan sekolah
inklusif sebagai Variabel Terikat (Y) dan jenis sekolah, latar belakang pendidikan guru,

pelatihan pendidikan inklusif, jumlah siswa di kelas, dan pengalaman menangani anak
berkebutuhan khusus sebagai variabel bebas (X). Hubungan variabel bebas (variabel X)
dengan variabel terikat (variabel Y) tersebut dapat dirumuskan dalam matriks sebagai
berikut.
Tabel 1. Matriks Hubungan Variabel Bebas dengan Variabel Terikat

NO
1.
2.
3.
4.
5.

VARIABEL BEBAS (X)


Jenis Sekolah (X1)
Latar Belakang Pendidikan Guru (X2)
Pelatihan Pendidikan Inklusif (X3)
Jumlah Siswa di Kelas (X4)
Pengalaman Menangani ABK (X5)

VARIABEL TERIKAT (Y):


SIKAP TERHADAP SEKOLAH
INKLUSIF
Kognitif
Afektif
Konatif
(Y1)
(Y2)
(Y3)
X1Y1
X1Y2
X1Y3
X2Y1
X2Y2
X2Y3
X3Y1
X3Y2
X3Y3
X4Y1
X4Y2
X4Y3
X5Y1
X5Y2
X5Y3

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini dibuat instrumen
berupa kuesioner, yang terdiri atas beberapa bagian, sebagai berikut.
Pertama, Kuesioner bagian A berbentuk daftar pertanyaan dengan beberapa
pilihan jawaban, disusun untuk menggali data guru, yang meliputi jenis sekolah (tempat
guru bekerja), latar belakang pendidikan guru, pelatihan pendidikan inklusif yang
pernah diikuti, jumlah siswa di kelas yang diajar oleh guru, dan pengalaman guru
menangani anak berkebutuhan khusus. Data dari kuesioner Bagian A ini digunakan
sebagai variabel bebas untuk menguji hipotesis 1s.d.5.
Kedua, Kuesioner bagian B berupa skala sikap, untuk mengukur sikap guru
terhadap penyelenggaraan sekolah inklusif. Menurut Sudjana & Ibrahim (1989: 105),
skala adalah alat untuk mengukur nilai, sikap, minat, perhatian, motivasi, yang disusun
dalam bentuk pernyataan untuk dinilai guru dan hasilnya dalam bentuk rentangan nilai
angka sesuai dengan kriteria yang dibuat peneliti. Instrumen disusun dalam bentuk skala
sikap dari Likert, dengan pilihan jawaban Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju, Sangat
Tidak Setuju. Item pernyataan bisa bersifat favorable dan unfavorable. Pada item
favorable, jawaban diberi skor sebagai berikut: SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1. Pada
item unfavorable, jawaban diberi skor sebagai berikut: SS = 1, S = 2, TS = 3, STS = 4.
Data dari kuesioner bagian B ini akan digunakan untuk menjawab permasalahan umum
tentang arah sikap guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat terhadap
penyelenggaraan pendidikan inklusif, dan sebagai variable terikat untuk menguji
hipotesis 1 s.d. 5.
Ketiga, Kuesioner bagian C berupa daftar cek, dengan pilihan jawaban SD
Umum, SLB, dan Lainnya untuk menggali respons guru terhadap stimulus tentang
pilihan sekolah untuk berbagai jenis dan tingkat kebutuhan khusus anak, serta alasan
guru menentukan pilihan tersebut. Data dari kuesioner bagian C ini digunakan untuk
menjawab permasalahan penelitian ke-6, yaitu mengenai pendapat guru tentang pilihan
sekolah bagi anak berkebutuhan khusus.
E. HASIL YANG DIPEROLEH

Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas, diperoleh instrumen yang reliabel dan
memiliki item-item yang valid. Data yang berasal dari item-item yang valid inilah yang
kemudian diolah untuk menjawab rumusan permasalahan penelitian.
Hasil
pengolahan data hasil penelitian dipaparkan sebagi berikut.
1. Gambaran Umum Sikap Guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat terhadap
Penyelenggaraan Sekolah Inklusif.
Dari pengolahan data instrumen Bagian B diperoleh hasil bahwa skor rata-rata sikap
guru secara umum terhadap penyelenggaraan sekolah inklusif adalah sebesar 2.68,
sedangkan skor rata-rata sikap guru pada masing-masing komponen sikap berturutturut adalah sebagai berikut: pada komponen kognitif sebesar 2.51, pada komponen
afektif sebesar 2.73, dan pada komponen konatif sebesar 2.75. Jika dirangkum
dalam tabel, maka skor rata-rata sikap guru SD di Kabupaten Kuningan terhadap
penyelenggaraan sekolah inklusif adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Gambaran Umum Sikap Guru terhadap Penyelenggaran Sekolah Inklusif
NO.
SIKAP
SKOR RATA-RATA
1.
Secara umum
2.68
2.
Komponen Kognitif
2.51
3.
Komponen Afektif
2.73
4.
Komponen Konatif
2.75
2. Pengaruh Jenis Sekolah terhadap Sikap Guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa
Barat tentang Penyelenggaraan Sekolah Inklusif.
Uji statistik dengan teknik One Way Anova pada taraf signifikansi 0.05 mengenai
pengaruh jenis sekolah terhadap sikap guru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat
tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif memberikan hasil sebagai berikut:
sikap guru secara umum memiliki skor F sebesar 7.035 dengan signifikansi 0.009,
komponen kognitif memiliki skor F=4.090 dengan signifikansi 0.046, komponen
afektif memiliki skor F=4.209 dengan signifikansi 0.043, dan komponen konatif
memiliki skor F=7.127 dengan signifikansi 0.009.
3. Pengaruh Latar Belakang Pendidikan Guru terhadap Sikap Guru SD di
Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang Penyelenggaraan Sekolah Inklusif.
Uji statistik dengan teknik One Way Anova pada taraf signifikansi 0.05 mengenai
pengaruh latar belakang pendidikan guru terhadap sikap guru SD di Kabupaten
Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif memberikan
hasil sebagai berikut: sikap secara umum memiliki skor F=1.586 dengan signifikansi
0.211, komponen kognitif memiliki skor F=0.106 dengan signifikansi 0.746,
komponen afektif memiliki skor F=0.861 dengan signifikansi 0.356, dan komponen
konatif memiliki skor F=2.739 dengan signifikansi 0.101.
4. Pengaruh Pelatihan Pendidikan Inklusif terhadap Sikap Guru Sekolah Dasar di
Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang Penyelenggaraan Sekolah Inklusif.
Dari pengujian statistik dengan teknik One Way Anova pada taraf signifikansi 0.05
mengenai pengaruh pelatihan pendidikan inklusif terhadap sikap guru sekolah dasar
di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif,
diperoleh skor F=4.410 dengan signifikansi 0.015 untuk sikap secara umum, skor

F=5.241 dengan signifikansi 0.007 untuk komponen kognitif, skor F=3.545 dengan
signifikansi 0.032 untuk komponen afektif, dan skor F=3. 869 dengan signifikansi
0.024 untuk komponen konatif.
5. Pengaruh Jumlah Siswa di Kelas terhadap Sikap Guru Sekolah Dasar di
Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang Penyelenggaraan Sekolah Inklusif.
Pengujian statistik dengan teknik One Way Anova pada taraf signifikansi 0.05
mengenai pengaruh jumlah siswa di kelas terhadap sikap guru sekolah dasar di
Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif,
memberikan hasil skor F=1.324 dengan signifikansi 0.271 untuk sikap secara
umum, skor F=4.114 dengan signifikansi 0.019 untuk komponen kognitif, skor
F=0.734 dengan signifikansi 0.482 untuk komponen afektif, dan skor F=0.404
dengan signifikansi 0.668 untuk komponen konatif.
6. Pengaruh Pengalaman Menangani Anak Berkebutuhan Khusus terhadap Sikap
Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang
Penyelenggaraan Sekolah Inklusif.
Pengujian statistik dengan teknik One Way Anova pada taraf signifikansi 0.05
mengenai pengaruh jumlah siswa di kelas terhadap sikap guru sekolah dasar di
Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif,
memberikan hasil skor F=1.578 dengan signifikansi 0.199 untuk sikap secara
umum, skor F=1.105 dengan signifikansi 0.351 untuk komponen kognitif, skor
F=1.135 dengan signifikansi 0.339 untuk komponen afektif, dan skor F=2.088
dengan signifikansi 0.106 untuk komponen konatif.
7. Perbandingan Variabel-Variabel yang Berpengaruh terhadap Sikap
Karena hasil pengolahan data menunjukkan bahwa variabel Jenis Sekolah dan
Pelatihan Pendidikan Inklusif memiliki pengaruh, baik terhadap sikap secara
umum maupun terhadap tiap komponen sikap, dan variabel Jumlah Siswa di Kelas
berpengaruh terhadap sikap pada komponen kognitif, maka uji statistik dilanjutkan
terhadap variabel-variabel tersebut untuk mengetahui variabel mana yang paling
berperan dalam mempengaruhi sikap. Namun, uji lanjutan tidak dapat menggunakan
tes post hoc Tukey sebagaimana direncanakan ataupun tes post hoc lainnya, karena
terdapat variabel yang hanya memiliki dua kelompok, sedangkan tes post hoc
mensyaratkan kelompok yang diuji harus lebih dari dua. Oleh karena itu, tes
lanjutan dilakukan dengan menggunakan teknik statistic One Way Anova, dengan
cara membandingkan skor F dari masing-masing variabel. Variabel yang memiliki
skor F terbesar merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap sikap. Dari uji
lanjutan ini diperoleh hasil sebagaimana tercantum dalam tabel 8 di bawah ini:
Tabel 8
Hasil Uji Perbandingan Pengaruh antara Variabel Jenis Sekolah, Jumlah
Siswa, dan Pelatihan Pendidikan Inklusif terhadap Sikap Guru (Pada
=0.05)
SIKAP
VARIABEL
SECARA
KOMPONEN KOMPONEN KOMPONEN
NO
BEBAS
UMUM
KOGNITIF
AFEKTIF
KONATIF
F
Sig
F
Sig
F
Sig
F
Sig
1. Jenis Sekolah 1.896 0.006 2.482 0.001 1.940 0.006 1.591 0.044

2.
3.

Jumlah Siswa
di Kelas
Pelatihan
Pend. Inklusif

0.988 0.519

1.847

0.21

1.249

0.200

1.140

0.307

3.226 0.000

1.734

0.35

3.035

0.000

1.936

0.007

F. SIMPULAN DAN REKOMENDASI


Beberapa simpulan hasil penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Guruguru SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat memiliki sikap yang cukup positif terhadap
penyelenggaraan sekolah inklusif, baik dalam sikap secara umum maupun dalam
komponen kognitif sikap, komponen afektif, maupun konatif; (2) Jenis sekolah tempat
guru mengajar, pelatihan pendidikan inklusif, dan jumlah siswa di kelas berpengaruh
secara signifikan tetapi latar belakang pendidikan guru dan pengalaman menangani anak
berkebutuhan khusus ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap sikap guru
SD di Kabupaten Kuningan Jawa Barat tentang penyelenggaraan sekolah inklusif; (3)
Secara umum, SLB menjadi pilihan utama para guru sebagai tempat mendidik ABK,
dan hal ini tidak konsisten dengan sikapnya yang positif terhadap penyelenggaraan
sekolah inklusif.
Berdasarkan simpulan ini, beberapa saran yang dapat penulis sampaikan, antara
lain: (1) perlu ditingkatkan kegiatan pelatihan pendidikan inklusif dan pendampingan
bagi para guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif; (2) perlu dijalin
kerjasama dengan pihak-pihak yang berkompeten tentang penyelenggaraan pendidikan
inklusif; (3) mengembangkan SLB menjadi Resource Center; dan (4) khusus bagi
peneliti selanjutnya, bahwa sikap tidak selalu berkorelasi dengan perilaku karena ada
faktor lain yang turut berperan, yaitu perceived behavioral control dan actual
behavioral control yang ada pada pemilik sikap; oleh karena itu, jika ada peneliti yang
ingin menguji peran sikap dalam keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif,
akan sangat baik jika mempertimbangkan faktor-faktor tadi sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari pengukuran sikap.

G. DAFTAR PUSTAKA
Alimin, Z. (2008). Pemahaman Konsep Pendidikan Kebutuhan Khusus Dan Anak
Berkebutuhan
Khusus.
(Online).
Tersedia:
http://zalimin.blogspot.com/2008/03/pemahaman-konsep-pendidikankebutuhan.html. (16 Juni 2009)
Al-Zyoudi, M.(2006). Teachers Attitudes Towards Inclusive Education In Jordanian
Schools. Dalam International Journal Of Special Education. 21, (2), 55-62.
(online). Tersedia: Tersedia:
http://www.internationaljournalofspecialeducation.com/issues.cfm
(26
Februari 2009)
Aminawa, O. (2008). Sikap Kepala Sekolah dan Guru terhadap Pendidikan Inklusif.
(Studi Deskriptif terhadap Kepala Sekolah dan Guru di SD Reguler yang
Telah Melaksanakan Pendidikan Inklusif di Propinsi Jawa Barat). Tesis
Magister pada SPs UPI: tidak diterbitkan.

Direktorat Pendidikan Luar Biasa Depdiknas. (2006a). Informasi Pelayanan Pendidikan


Bagi
Anak
Tunanetra.
(online).
Tersedia:
http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=43. (27 Juli 2009)
Direktorat Pendidikan Luar Biasa Depdiknas. (2006b). Manajemen Sekolah Dalam
Pendidikan Inklusif. (0nline). Tersedia: http://www.ditplb.or.id (30 September
2009)
Elliot, S. (2008). The Effect Of Teachers Attitude Toward Inclusion On The Practice
And Success Levels Of Children With And Without Disabilities In Physical
Education. Dalam International Journal Of Special Education. 23, (3), 4855.
(online).
Tersedia:
http://www.internationaljournalofspecialeducation.com/issues.cfm.
(26
Februari 2009)
Gaad, E., & Khan, L. (2007). Primary Mainstream Teachers Attitudes Towards
Inclusion Of Students With Special Educational Needs In The Private
Sector: A Perspective From Duba. Dalam International Journal Of Special
Education.
22,
(2),
95-108.
(Online).
Tersedia:
http://www.internationaljournalofspecialeducation.com/issues.cfm.
(26
Februari 2009)
Haider, S.I. (2008). Pakistani Teachers Attitudes Towards Inclusion Of Students With
Special Educational Needs. Dalam Pakistan Journal of Medical Sciences
Quarterly.(24),
4,
632-636.
(Online).
Tersedia:
http://pjms.com.pk/issues/julsep08/article/bc2.html. (19 Juni 2009)
Lerner, J.W., & Kline, F. (2006). Learning Disabilities and Related Disorders,
Characteristics and Teaching Strategies (10th edition). Boston: Houghton
Mifflin Company.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009
Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan
Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa.
Rose, R., Kaikkonen, L., & Kiv, K. (2007). Estonian Vocational Teachers Attitudes
Towards Inclusive Education For Students With Special Educational Need.
Dalam International Journal Of Special Education. 22, (3), 97-108. (Online).
Tersedia: http://www.internationaljournalofspecialeducation.com/issues.cfm.
(26 Februari 2009)
Smith, J.D. (2006). Inclusion, School for All Student (terjemahan oleh Enrica Denis).
Bandung: Nuansa.
Catatan: Sumber rujukan tidak dituliskan semua.

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN DALAM KELAS INKLUSIF


UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PESERTA DIDIK
(Studi Pengembangan Pada Sekolah Dasar Penyelenggara Pendidikan Inklusif)
Mohamad Sugiarmin
(Universitas Pendidikan Indonesia)
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa pelaksanaan
pendidikan inklusif di Indonesia belum memenuhi harapan semua pihak terutama di
kelas pada sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusi. Pelaksanaan di tingkat sekolah
dimana pembelajaran yang dilakukan belum mengakomodasi kebutuhan peserta didik
yang beragam, seperti peserta didik berkebutuhan khusus.
Tujuan penelitian ini untuk menghasilkan Model Pembelajaran yang dapat
digunakan dalam kelas di Sekolah Dasar penyelenggara pendididkan inklusif. Penelitian
dilaksanakan di Sekolah Dasar kota Bandung dengan subjek peserta didik, guru, dan
kepala sekolah. Penelitian ini menggunakan Research and Development (R&D) dengan
tahapan pra survey, penyusunan draft model, uji coba model, dan uji validasi model.
Untuk uji coba dilakukan beberapa kali (uji coba terbatas dan uji coba luas).
Pengumpulan dan analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Hasil penelitian pra survey menunjukkan bahwa pembelajaran di Sekolah Dasar
penyelengara pendidikan inklusif belum menunjukan pembelajaran yang inklusif.
Untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran dalam kelas inklusif, penelitian ini
menggunakan indeks inklusi (index for inclusion). Dalam penelitian ini indeks inklusi
maksimal adalah 60. Artinya semakin tinggi indeks inklusi menggambarkan terjadinya
inklusifitas dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Hasil penelitian pra survey berkenaan
dengan pembelajaran menunjukkan indeks inklusi rata-rata 38,58 artinya bahwa
inklusifitas yang dicapai Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif
tergolong masih rendah.
Berdasarkan penelitain pra survey dirumuskan draf model pembelajaran yang
diharapkan akan dapat diimplementasikan pada SD penyelenggara pendidikan inklusif,
sehingga terjadi peningkatan inklusifitas pembelajaran pada kelas di SD penyelenggara
pendidikan inklusif.
Kata Kunci: Model Pembelajaran, Kelas inklusif, Kemampuan akademik dan sosial

PENDAHULUAN

Pendidikan nasional mengemban tugas untuk mengembangkan manusia


Indonesia menjadi manusia yang utuh dan sekaligus menjadi sumberdaya
pembangunan. Pendidikan nasional berusaha menciptakan keseimbangan antara
pemerataan kesempatan dan berkeadilan. Pemerataan kesempatan berarti membuka
kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga negara dari berbagai lapisan
masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Undang-Undang Dasar tahun 1945
menyatakan Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah
wajib
untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang menunjang
keberlangsungan pendidikan.
Memberikan pendidikan yang berkualitas untuk semua warga negara khususnya
anak, merupakan tantangan yang paling berat dan sekaligus merupakan isu sangat
penting dalam dunia pendidikan. Menyadari hal ini masyarakat dunia
menyelenggarakan berbagai aksi, seperti; Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
diadakan tahun 1989, yang menghasilkan deklarasi bahwa semua anak berhak
memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Deklarasi tersebut
dilanjutkan dengan Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam Pendidikan
Kebutuhan Khusus tahun 1994 yang memberikan kewajiban bagi sekolah untuk
mengakomodasi semua anak termasuk anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki
kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, maupun kelainan lainnya.
Itulah yang kemudian mengawali pemikiran munculnya pendidikan inklusif
sebagai langkah bahwa hak mendapat pendidikan merupakan hak asasi manusia yang
paling mendasar (Deklarasi Internasional tentang Hak Asasi Manusia 1948 dan
konvensi Internasional tentang Hak Anak, 1989). Konvensi ditindaklanjuti dengan
gerakan untuk mengubah hak mendapat pendidikan menjadi kenyataan melalui aksi
yang dikenal sebagai Pendidikan Untuk Semua (Education for All/EFA) dideklarasikan
dalam konferensi dunia di Jomtien Thailand tahun 1990. Konferensi ini menyimpulkan
antara lain, di banyak negara kesempatan untuk memperoleh pendidikan masih terbatas
atau masih banyak orang yang belum mendapat akses pendidikan. Selanjutnya di Dakar
Senegal tahun 2000, mereviu bahwa pendidikan untuk semua harus mempertimbangkan
kebutuhan mereka yang miskin dan tidak beruntung, termasuk yang berkebutuhan
khusus (UNESCO, 2000).
Dokumen-dokumen tersebut telah mendorong banyak negara untuk
mengimplementasikan pendidikan inklusif sebagai upaya untuk memerangi perlakuan
diskriminatif di bidang pendidikan. Masing-masing negara memiliki strategi atau cara
mengimplementasikan pendidikan inklusif secara beragam. Keberagaman implementasi
ini disebabkan tiap-tiap negara memiliki budaya dan tradisi yang berbeda. Perbedaan
cara implementasi tidak mempengaruhi maksud dari pendidikan inklusif asalkan prinsip
dan motivasinya sama. Perbedaan implementasi ini juga terjadi di setiap propinsi,
kabupaten atau kota bahkan di tingkat sekolah.
Di tingkat sekolah, sebagaimana yang disampaikan dalam pernyataan Salamanca
pada poin dua, bahwa: Sekolah dengan orientasi inklusi merupakan alat yang paling
efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah,

membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai Pendidikan untuk Semua


(UNESC0, 1994:21).
Pendidikan inklusif dalam sistem persekolahan, bermakna juga menampung
semua peserta didik yang beragam pada kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan
program pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta
didik. Lebih dari itu, sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak diterima
menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu agar kebutuhan individualnya
dapat terpenuhi.
Sebagai inti dari pelaksanaan kurikulum, pembelajaran harus dirancang dan
dipersiapkan dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik. Pembelajaran di
sekolah umum yang kondisi peserta didiknya memiliki potensi relatif sama, tidak sesulit
jika sekolah tersebut telah menerima peserta didik berkebutuhan khusus yang
merupakan bagian dari keberagaman, sehingga guru perlu menyesuaikan
pembelajarannya dengan kekhususan peserta didik tersebut.
Berdasarkan studi pendahuluan di beberapa Sekolah Dasar yang dijadikan uji
coba pendidikan inklusif diperoleh fakta, meskipun program sudah berjalan cukup
lama, namun perkembangannya belum memuaskan,
pelaksanaan pendidikan
inklusif masih jauh dari harapan. Pembelajaran yang dilaksanakan masih bersifat
klasikal dan belum memperhatikan perbedaan individu. Akibatnya masih ditemukan
peserta didik, khususnya yang berkebutuhan khusus mengalami kesulitan mengikuti
pembelajaran. Padahal menurut Freiberg (1995), melalui pendidikan inklusif, peserta
didik berkebutuhan khusus harus mendapat pendidikan bersama peserta didik lainnya
yang tidak berkebutuhan khusus untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Konsekuensinya, sekolah seharusnya mengakomodasi semua peserta didik tanpa
memandang kondisi fisik, intelektual, sosial-emosi, atau kondisi lainnya. Para guru
harus mengembangkan cara untuk membangun lingkungan kelas yang membuat semua
peserta didik mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar.
METODE PENELITIAN

Kegiatan penelitian ini dilakukan melalui tahapan penelitian dan pengembangan atau
Reseach and Development (R & D). Penelitian dan pengembangan adalah suatu produk
baru atau menyempurnakan produk yang sudah ada yang dapat dipertanggung jawabkan
(Sukamdinata, Nana Syaodih, 2005:164).
Penelitian dan Pengembangan dengan explanatory mixed research design.,
mempunyai 10 langkah pokok yaitu, (1) Penelitian dan pengumpulan informasi, (2)
Perencanaan, (3) Pengembangan model tahap satu, (4) Ujicoba lapangan terbatas tahap
satu, (5) Revisi model tahap satu (6) Ujicoba model lebih luas, (7) Revisi model
operasional, (8) Uji coba lapangan model operasional, (9) Revisi model final, dan (10)
Diseminasi dan implementasi (Borg and Gall, 1989)
Penelitian dan pengembangan ini bertujuan menghasilkan model pembelajaran
kooperatif dalam kelas inklusif, proses pelaksanaan penelitian dan pengembangan ini
membentuk siklus, yang ditempuh melalui empat tahapan yaitu: (1) Studi pendahuluan,

mencakup studi literatur dan studi lapangan yang ditujukan untuk mengetahui kondisi
objektif dan kebutuhan pembelajaran dalam kelas di sekolah dasar yang
menyelenggarakan pendidkan inklusif inklusif (2) Penyusunan Model yang ditujukan
untuk menghasilkan rumusan model pembelajaran untuk kelas inklusif yang diprediksi
dapat diimplementasikan dan meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah dasar
yang menyelenggarakan pendidikan inklusif, (3) Uji coba model yang ditujukan untuk
menghasilkan model pembelajaran inklusif yang valid dan akomodatif, serta (4) uji
validasi model yang ditujukan untuk mengetahui efektifitas Model Pembelajaran dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas inklusif pada sekolah dasar yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif.
HASIL PENELITIAN
Dari empat langkah penelitian yang direncanakan,yaitu penelitian pendahuluan,
penyusunan draft model, uji coba model, dan uji validasi model, tulisan ini hanya akan
menyampaikan hasil penelitian pra survey dan dan tahap kedua rumusan model
pembelajaran (draf model). Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dijelaskan
sebagai berikut:

1. Hasil Penelitian Pendahuluan (pra survey)


Tujuan dari penelitian pendahuluan ini adalah diperolehnya profil pembelajaran dalam
kelas inklusif yang terjadi saat ini. Adapun data yang dikumpulkan mengungkap
tentang:
a. Kondisi peserta didik dengan variasi keberagamannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan 10 kelas yang menjadi obyek
penelitian ini, ditemukan bahwa jumlah peserta didik keseluruhan dalam kelas
bervariasi antara 20 dan 46. Ditemukan bahwa jumlah rata-rata peserta didik
berkebutuhan khusus dalam kelas adalah dua anak dengan jenis yang bervariasi.
Jumlah peserta didik berkebutuhan khusus paling sedikit satu dan yang paling banyak
empat anak.
Peserta didik berkebutuhan khusus yang ada di setiap kelas sangat beragam dari
jenis dan tingkat hambatan belejar yang dialami. Mereka yang tergolong peserta
didik berkebutuhan khusus yang ada di kelas bervariasi seperti peserta didik
berkebutuhan khusus dengan autistik, peserta didik berkebutuhan khusus dengan
hambatan pemusatan perhatian, peserta didik berkebutuhan khusus dengan
keterlambatan perkembangan intelektual. Kemampuan akademik peserta didik dalam
kelas dapat dikategorikan sebagai peserta didik yang tergolong memiliki kemampuan
dia atas rata-rata, kemampuan akademik rata-rata, dan kemampuan akademik di
bawah rata-rata. Jika diurutkan kemampuan peserta didik yang rata-rata berada pada
kelompok mayoritas, diikuti kelompok di bawah rata-rata, dan terakhir kelompok di
atas rata-rata.
b. Kondisi guru yang mengajar di kelas
Jumlah guru yang mengajar di kelas yang memiliki peserta didik berkebutuhan
khusus kebanyakan lebih dari satu orang, yang terdiri; keduanya guru kelas reguler
atau satu guru kelas reguler dan satu guru khusus atau asisten guru. Guru khusus
memiliki peran sebagai guru konsultan bagi guru kelas dan kadang-kadang bertindak
juga sebagai guru yang khusus menangani peserta didik berkebutuhan khusus pada

waktu-waktu tertentu. Jika dalam kelas keduanya atau lebih merupakan guru reguler,
mereka berbagi peran sebagai guru utama dan guru pembantu.
c. Kondisi pembelajaran
Untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran dalam kelas inklusif, penelitian ini
menggunakan indeks inklusi (index for inclusion). Dalam penelitian ini indeks
inklusi maksimal adalah 54. Artinya semakin tinggi indeks inklusi menggambarkan
terjadinya inklusifitas dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Hasil penelitian
pendahuluan berkenaan dengan pembelajaran di kelas inklusif menunjukkan indeks
inklusi rata-rata 38, 58 artinya bahwa inklusifitas yang dicapai Sekolah Dasar yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif tergolong masih rendah.
d. Kebijakan kepala sekolah tentang pembelajaran di kelas
Kebijakan kepala sekolah berkenaan dengan pembelajaran menunjukan bahwa
secara keseluruhan kepala sekolah bertanggung jawab terhadap pembelajaran.
Keputusan penerimaan peserta didik termasuk yang berkebutuhan khusus dan
penyusunan program pembelajaran seluruhnya sepengetahuan kepala sekolah.
Dengan demikian segala sesuatu yang berkenaan dengan pelaksanaan pembelajaran
diketahui dan dibicarakan bersama guru-guru di bawah kendali kepala sekolah.
e. Kendalakendala yang dialami dalam kegiatan pembelajaran
Secara keseluruhan dari lima sekolah dasar yang menjadi objek penelitian memiliki
kendala yang hampir sama. Adapun kendala yang dialami mencakup keterbatasan
sumber daya manusia terutama guru, fasilitas pendukung, dan tidak jelasnya prosedur
atau mekanisme penyelenggaraan pembelajaran di kelas inklusif yang di dalamnya
terdapat peserta didik berkebutuhan khusus.
Keberadaan sumber daya manusia yang belum seluruhnya memiliki sikap positif
terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah, sangat mempengaruhi
kelancaran pelaksanaan pembelajaran. Selain itu, masih rendahnya pemahaman guru
terhadap keberagaman peserta didik yang ada di kelas merupakan tantangan yang harus
dijawab dengan pemberian pembekalan oleh pihak sekolah dan pemerintah. Kendala
lainnya adalah para guru kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman bagaimana
melaksanakan pembelajaran, dan kemana jika harus meminta bantuan berkenaan dengan
peserta didik berkebutuhan khusus. Belum adanya ketentuan yang dapat dijadikan
pedoman untuk pelaksanaan pembelajaran mengakibatkan para guru mengalami
kesulitan ketika harus merumuskan program pembelajaran di kelas yang terdapat peserta
didik berkebutuhan khusus.

2. Penyusunan Draft Model


Draft Model yang dirumuskan mempertimbangkan hasil penelitian pendahuluan
dan kajian tentang prinsip-prinsip yang terdapat dalam pendidikan inklusif dan
pembelajaran kooperatif. Komponen yang terdapat dalam Draft model meliputi: (1)
Asesmen; (2) Analisis; (3) Disain; (4) Implementasi; dan (5) Evaluasi. Seluruh
komponen tersebut merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dan dilaksanakan
secara fleksibel. Oleh karena itu setiap akhir pembelajaran diadakan refleksi dengan
maksud untuk memberi umpan balik terhadap kegiatan pembelajaran yang telah
diselesaikan. Hal-hal yang dapat disampaikan dalam refleksi diantaranya, apakah
pembelajaran sudah sesuai dengan rencana? Apakah ada hal yang belum
tersampaikan? Apakah ada peserta didik yang belum terlibat dalam kegiatan
pembelajaran? Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Asesmen

Kegiatan asesmen bertujuan untuk mengungkap tentang; (1) variasi


keberagaman peserta didik berkebutuhan khusus dan yang tidak berkebutuhan
khusus, (2) kemampuan dan hambatan belajar peserta didik, (3) kebutuhan belajar
peserta didik.
Asesmen bersifat umum untuk seluruh kelas dan asesmen bersifat khusus
terutama bagi peserta didik berkebutuhan khusus dengan kemampuan akademik di
bawah rata-rata. Bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang masuk kategori
tersebut selanjutnya dapat dibuatkan program pembelajaran individual.
b. Analisis
Kegiatan analisis bertujuan untuk mengidentifikasi kesenjangan antara
kemampuan yang diharapkan dengan kemampuan yang telah dimiliki peserta didik
berdasarkan hasil asesmen. Di dalam kelas inklusif tidak hanya peserta didik pada
umumny, akan tetapi terdapat juga peserta didik berkebutuhan khusus. dengan
demikian paling tidak akan terdapat beberapa kategori kesenjangan yang harus
mendapatkan adaptasi materi ataupun metode, yaitu mereka yang tergolong memiliki
kemampuan rata-rata, mereka yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, dan
bahkan mereka yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Melalui analisis yang
cermat diharapkan akan terjadi adaptasi atau modifikasi untuk mengakomodasi
keberagaman peserta didik yang ada dalam kelas inklusif.
c.

Disain
Disain yang dimaksud dapat diposisikan sebagai rencana pembelajaran yang
akan memberi gambaran kepada guru tentang apa yang harus dikerjakan dalam
pembelajaran. Rumusan rencana pembelajaran ini didasarkan pada hasil analisis
kesenjangan yang memberi arah kepada guru dalam mengembangkan pembelajaran
yang fleksibel. Dengan demikian maka, disain pembelajaran akan mengikuti
prosedur sebagai berikut:
(1) pembentukan kelompok, (2) presentasi materi pelajaran, (3) belajar dalam
kelompok, (4) peaksanaan kuis/tes, dan (5) pengakuan dan penghargaan
kelompok (6) Evaluasi
d. Implementasi
Pelaksanaan pembelajaran akan dilaksanakan dengan langkah sebagai berikut:
(1) Pembentukan kelompok belajar: mengidentifikasi karakteristik peserta didik,
menyusun kelompok dan membangun kohesivitas kelompok,
(2) Presentasi materi pelajaran: membuka, menjelaskan, dan mengembangkan materi
pelajaran
(3) belajar dalam kelompok: menguasai materi pelajaran, mendukung teman belajar,
dan membantu teman yang kesulitan belajar
(4) pelaksanaan kuis : melaksanakan kuis mandiri
(5) pengakuan dan penghargaan kelompok: pemeriksaan hasil kuis, predikat
kelompok, dan penghargaan/hadiah
Pelaksanaan pembelajaran dalam kelas inklusif akan menuntut terjadinya
fleksibilitas yang memungkinkan semua peserta didik terakomodasi. Untuk
memenuhi hal tersebut, maka pembelajaran harus melakukan penyesuaian dalam
hal materi atau isi, metode atau cara, dan waktu terutama bagi mereka yang
tergolong memiliki kemampuan di bawah rata-rata ataupun yang di atas rata.

Dengan demikian keterlibatan guru pendamping ataupun guru asisten


dimungkinkan akan dibutuhkan terutama ketika dalam kelas inklusif terdapat
peserta didik berkebutuhan khusus yang tingkat kekhususnya membutuhkan
bantuan dalam pembelajaran secara kelompok atau klasikal.
e. Evaluasi
Setelah pelaksanaan pembelajaran, dilakukan evaluasi untuk mengukur
keefektifan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Berdasarkan hasil evaluasi,
dilakukan revisi atau perbaikan pembelajaran. Evaluasi dilaksanakan selama proses
pembelajaran dan akhir pembelajaran. Evaluasi proses dilaksanakan untuk
mengetahui partisipasi atau aktivitas peserta didik selama proses pembelajaran
berlangsung, seperti kerjasa sama, berespon, toleransi, keaktifan menguasai materi,
keaktifan mendukung teman belajar. Sedangkan evaluasi diakhir pembelajaran
digunakan dengan skor kuis untuk mengetahui kemampuan akademik peserta didik.

Dalam model pembelajaran ini, evaluasi bukan merupakan akhir dari suatu kegiatan
proses pembelajaran, akan tetapi perlu dilakukan refleksi atau revisi untuk memberi
koreksi terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan. Tujuan dari refleksi
atau revisi adalah untuk memberi masukkan terhadap meningkatkan kualitas
pembelajaran berikutnya. Adapun langkah-langkah tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
Refleksi

Asesmen

Analisis

Desain

Implementasi

Evaluasi

Diagram Model Pembelajaran

PEMBAHASAN
Dari empat langkah penelitian yang direncanakan, yaitu penelitian pendahuluan
(pra survey), penyusunan draft model, uji coba model, dan uji validasi model, tulisan
menyampaikan hasil penelitian tahap satu pra survey dan tahap kedua rumusan model
pembelajaran (draft model). Berdasarkan kedua tahap hasil penelitian tersebut dapat
dihasilkan beberapa hal, yaitu berkenaan dengan profil pemebelajaran dan rumusan draf
model pembelajaran. Draf model pembelajaran yang sudah dinilai ternyata masih ada

beberapa catatan saran dan masukan dari penilai, selanjutnya hasil penilain tersebut
dianalisis untuk menentukan aspek-aspek model yang perlu diperbaiki. Tahap yang
dilakukan dalam penyempurnaan model pembelajaran adalah mengidentifikasi
rangkuman saran, merevisi draft model pembelajaran berdasarkan rangkuman saran,
mendiskusikan hasil revisi dengan guru-guru di lapangan, menyusun dan
mempersiapkan draft model akhir yang siap diujicobakan.
Rangkuman aspek-aspek yang disempurnakan pada draft model pembelajaran:
Asesmen sebagai langkah awal untuk merancang rencana pembelajaran perlu
memperhatikan asesmen kelas dan asesmen individu terutama untuk peserta didik
berkebutuhan khusus. Analisis yang ditujukan pada hasil asesmen, jika sudah tergambar
dalam hasil asesmen, sebaiknya tidak diperlukan lagi. Disain yang diartikan sebagai
rencana pembelajaran harus dapat mengakomodasi peserta didik berkebutuhan khusus,
meskipun rancangannya dibuat secara klasikal. Implementasi atau pelaksnaan
pembelajaran dalam prosesnya harus memperhatikan keterlibatan seluruh peserta didik.
Untuk peserta didik berkebutuhan khusus, penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan
dapat menjaga suasana kohesivitas seluruh peserta didik. Evaluasi yang dilakukan harus
dapat dibedakan antara proses dan hasil belajar untuk seluruh peserta didik. Terakhir
refleksi yang dimaksudkan sebagai umpan balik untuk perbaikan pembelajaran
berikutnya harus betul-betul dapat memberi masukan yang positif.

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (pra survey)


bahwa
pembelajaran di SD penyelenggara pendidikan inklusif masih belum
menunjukan pembelajaran yang inklusif sebagaimana yang diharapkan.
Sebagian besar yaitu delapan dari 10 kelas yang berasal dari lima Sekolah Dasar,
belum menunjukan pembelajaran yang inklusif dan ramah anak. Perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pembeajaran tidak dilakukan secara adaptif untuk
dapat memenuhi keberagaman peserta didik yang terdapat dalam kelas.
Penelitian ini telah dapat merumuskan draft model pembelajaran
(tentatif) dan siap untuk diuji cobakan. Model pembelajaran yang berhasil
dirumuskan mencakup komponen; asesmen, analisis, disain, implementasi, dan
evaluasi, yang keseluruhan komponen tersebut akan direviu melalui kegiatan
refleksi.
B. Saran
Saran yang disampaikan bersifat sementara mengingat penelitian baru berjalan
pada tahap kedua yaitu rumusan model pembelajaran. Oleh karena itu saran yang
dapat disampaikan yaitu;
Pertama; bahwa sekolah harus terus berusaha untuk meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pendidikannya, terutama untuk pelaksanaan pembelajaran. Hal ini
mengingat sekolah tersebut telah ditunjuk sebagai sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif.
Kedua; para guru harus terus berusaha menggali kekurangan dan kelebihan yang
dimiliki untuk dapat menciptakan pembelajaran yang akomodatif bagi semua
peserta didik termasuk yang berkebutuhan khusus.

DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard I ( 2004), Learning to Teach, New York: The Mc Graw Hill
Companies
Booth, T and Ainscow, (2002). Index for Inclusion Developing Learning and
Participation in School, London: CSIE
Dyah. (2007). Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak berkebutuhan khusus pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah. [Online]. Tersedia:
http://www.puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_undangan/DYAH%20SPen
gkajian%20Pendidikan%20Inklusif.pdf. [21 November 2008].
Joyce Bruce, Weil Marsha, and Bevely Showers. (1992) Model of Teaching. Boston
USA: Allyn and Bacon
Johnsen, Berith & Skjorten, Miriam, D. (2003) Education-Special Needs Education An
Introduction. alih Bahasa Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah Pengantar,
Menuju Inklusi Buku I, Bandung: PPS UPI.
June E Downing; Joanne Eichinger; Lilly J Williams. Inclusive Education for
Students With Severe Disabilities. Remedial and Special Education;
Mei/Juni 1997; 18, 3; Academic Research Library. Hal. 133
Lang, Hellmut R.et.al.(2006). Models, Strategies,and Methods for Effective Teaching.
USA; Pearson Education,Inc.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (1997) Pengembanga Kurikulum, Teori dan Praktek,


Bandung: Penerbit PT Remaja Rosda Karya.
__________________, (2005). Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: diterbitkan
oleh PPs UPI bekerjasama dengan PT Remaja Rosda Karya
Phil Foreman, dkk. (2001). Integration and Inclusion in Action (2nd ed).
Australia:Nelson Thomson Learning.
Roger, T. dan Johnson, D.W. (2000). Cooperative Learning: Two Heads Learn Better Than
One. Dalam In Context: A Quarterly of Humane Sustainable Culture. [On-line]. Tersedia:
http://www. context.org./ICLIB/IC18/Johnson.htm [20 Mei, 2008].

Sunanto, J. Dkk., (2008) Implementasi Pendidikan di Sekolah Dasar. Bandung: Pusat


Kajian Pendidikan Inklusif SPs UPI.
Smith, David J. (1988) Inclusion: School for All Student. USA. Wadsworth
Slavin E Robert (2005) Cooperative Learning. London: Allyman Bacon
Susan J. Peters. (2007). Education For All: A Historical Analysis of International
Inclusive Education Policy and Individuals With Disabilities. Journal of
Disability Policy Studies; Fall 2007; 18, 2; Academic Research Library hal.
98. [Online]. Tersedia: http://www.amazon.com/Education-historicalinternational-individuals-disabilities/dp/B000WTFBXU. [21
Stubbs, Sue. (2005). Inclusive Education Where There Are Few Resources.
[Online].Tersedia:http://www.eenet.org.uk/theory_practice/IE%20few%20re
sources%20Bahasa.pdf
UNESCO (2005) Guidlines for Inclusion, ensuring Access to Education for All, France;
UNESCO
_______. (2005). Embracing Diversity: Toolkit for Creating Inclusive, LearningFriendly Environments. UNESCO
_______. (1994). The Salamanca Statement and Framework for Action on Special
Needs Education. Geneva: UNESCO
_______. (2006). EENET Asia Newsletter. UNESCO
(2003) Overcoming Exlusion Through Inclusive Approaches in Education, A Challenge
& A vision,Conceptual Paper, Franc: UNESCO

Bagian 2

INDIVIDUALITAS DAN KEPELBAGIAN PELAJAR

Orientasi Ulang Pendidikan AnakTunagrahita


Zaenal Alimin
Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus
Sekolah Pascasarjana UPI
A. Pendahuluan
Pendidikan bagi peserta didik tunagrahita bertujuan untuk mengembangkan
potensinya secara optimal agar ia dapat mandiri dan menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Namun hasil observasi di lapangan (Alimin, 2006), menunjukan bahwa
seorang tunagrahita yang lulus dari Sekolah Luar Biasa pada umumnya belum
menunjukan perkembangan yang diharapkan. Sebagai contoh, anak tunagrahita yang
selesai mengikuti program pendidikan selama 12 tahun (SDLB, SMPLB, SMALB)
ternyata masih belum bisa mandiri dan mengurus diri. Dengan kata lain, masih cukup
tinggi ketergantungan pada orangtua atau saudaranya. Oleh karena itu muncul kesan
bahwa pendidikan yang diikuti sekian lama seolah-olah tidak memberikan pengaruh
nyata dalam kehidupan seorang anak tunagrahita.
Keadaan seperti itu bukan semata-mata karena keterbatasan yang dialami oleh
peserta didik tunagrahita, melainkan juga karena ada kesenjangan antara program
pendidikan di Sekolah Luar Biasa dengan harapan orangtua dan lingkungannya.
Masyarakat dan orangtua mengharapkan agar anak-anaknya yang mengalami
tunagrahita dapat memiliki keterampilan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan
potensinya, sementara layanan pendidikan di sekolah belum mengarah ke sana.
Kenyataan di lapangan menunjukan, program pendidikan bagi anak tunagrahita
pada saat ini masih sangat menekankan pada aspek pengajaran yang bersifat akademik
(semata-mata hanya menyampaikan bahan ajar) dan pelaksanaannya masih bersifat
klasikal, belum memperhatikan perbedaan hambatan belajar dan kebutuhan secara
individual (Alimin, 2006). Padahal esensi pendidikan bagi anak tunagrahita bersifat
individual (Suhaeri & Purwanta, 1996).
Persoalan lain yang juga penting diperhatikan yaitu program pembelajaran bagi
peserta didikk di sekolah belum terkait dengan kehidupan nyata sehari-hari. Seolah-olah
apa yang terjadi di sekolah tidak ada hubungannya dengan kehidupan anak di rumah.
Padahal sekolah seharusnya mengembangkan program-program yang terkait langsung
dengan kehidupan anak tunagrahita di lingkungannya (Miriam, 2003).
Kelemahan dalam pendidikan bagi anak tunagrahita di Indonesia selama ini
diduga sangat erat kaitannya dengan layanan pendidikan yang belum tepat, yaitu hanya
menekankan pada penyampaian bahan ajar (semata-mata mengejar target kurikulum)
namun belum memperhatikan dengan seksama perbedaan-perbedaan hambatan
perkembangan dan hambatan belajar secara individual, serta belum mengaitkan program
pendidikan di sekolah dengan kehidupan nyata tunagrahita di rumah/masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk melakukan orientaswi ulang
terhadap pendidikan bagi peserta didik tunagrahita. Tulisan ini mengupas secara singkat
tentang masalah-masalah yang dialami peserta didik tunagrahita, analisis-tentang
pendidikan bagi mereka yang berlangsung saat ini, dan membahas beberapa usulan yang
perlu dilakukan sebagai upaya perbaikan ( dipandang sebagai orientasi ulang tentang
pendidikan bagi peserta didik tunagrahita).

B. Dampak Ketungrahitaan
Secara umum individu tunagrahita mengalami dua hambatan utama yaitu
hambatan dalam perkembangan kognitif dan hambatan dalam perilaku adaptif. Kedua
hal ini menimbulkan hambatan dalam belajar, hambatan dalam belajar, hambatan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan hambatan dalam menolong diri.
Perkembangan fungsi kognitif/kecerdasan yang terhambat disertai oleh kemampuan
perilaku adaptif yang rendah, berakibat langsung kepada kehidupan mereka sehari-hari,
antara lain meliputi :
1. Hambatan dalam belajar
Aktivitas belajar berkaitan langsung dengan perkembangan kognitif dan
kecerdasan. Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan
dalam mengingat, memahami dan kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat.
Oleh sebab itu anak-anak pada umumnya dapat menemukan kaidah dalam belajar.
Setiap anak akan mengembangkan sendiri kaidah dalam mengingat,memahami dalam
mencari hubungan sebab akibat tentang apa yang sedang mereka pelajar kongki. Sekali
kaidah itu dapat ditemukan anak dapat belajar secara efektif. Setiap anak biasanya
mempunyai kaidah belajar yang berbeda satu sama lainnya.
Peserta didik tunagrahita pada umumnya tidak memiliki kaidah dalam belajar.
Mereka mengalami kesulitan dalam memproses informasi secara abstrak, belajar bagi
mereka harus terkait dengan objek yang bersifat kongkret. Kondisi seperti itu
berhubungan dengan kesulitan dalam mengingat, teritama ingatan jangka pendek.
Peserta didik tunagrahita dalam belajar hamper selalu dilakukan dengan cobacoba, mereka tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, sukar melihat objek yang
sedang dipelajari secara keseluruhan. Mereka cenderung melihat objek secara terpisahpisah. Oleh karena itu peserta didik tunagrahita mengalami kesulitan dalam mencari
hubungan sebab akibat. Hasil penelitian Alimin (1993) menunjukan bahwa individu
tunagrahita mengalami apa yang disebut dengan cognitive deficite yang tercermin pada
salah satu atau lebih proses kognitif seperti persepsi, daya ingat, mengembangkan ide,
evaluasi dan penalaran.
Hasil penelitian tersebut bersebrangan dengan pendirian para penganut psikologi
perkembangan seperti Zigler (1968) Yng menjelaskan bahwa jika anak tunagrahita
dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada CA (Cronological Age) yang
sama, sudah pasti anak tunagrahita secara kognitif akan ketinggalan, akan tetapi apabila
anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahit pada MA
(MentalAge) yang sama secara teoritis mempunyai perkembangan yang sama.
Pendirinutan para penganut teori perkembangan ternyata tidak selalu cocok untuk
menjelaskan fenomena ketunagrahitaan.ita dibandingra Sebab ternyata meskipun anak
tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahitan pada MA yang sama,
ternyata secara kognitif perkembangannya tertinggal oleh anak yang bukan tunagrahita
meskipun pada MA yang sama.
2. Hambatan dalam Penyesuaian Diri
Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam memahami dan mengartikan
norma lingkungan. Oelh karena itu mereka sering melakukan tindakan yang tidak sesuai
dengan norma lingkungan di mana mereka berada. Tingkah laku individu tunagrahita
kadang-kadang dianggap aneh oleh orang lain karena mungkin tindakannya tidak lazim
atau apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan usiannya.
Keganjilan tingkah laku yangtidak sesuai dengan ukuran normative berkaitan dengan
kesulitan dalam memahami dan mengartikan norma, sedangkan keganjilan tingkah laku

berkaitan dengan ketidaksesuaian atau kesenjangan antara perilaku yang ditampilkan


dengan prkembangan umur. Sebagai contoh anak tunagrahita yang berusia 10 tahun
berperilaku seperti anak 6 tahun. Hal ini disebabkan adanya selisih yng signifikan antara
CA dengn MA. Semakin anak tunagrahita menjadi dewasa, selisih ini akan semakin
lebar. Hal inilah yang mungkin menimbulkan persepsi yang salah dari masyarakat
mengenai tunagrahita.
3. Hambatan dalam Perkembangan Bahasa
Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh melalui proses yang
menakjubkan dengan beberapa cara. Pertama, anak belajar bahasa dari apa yang mereka
dengar setiap hari. Hampir semua anak dapat menguasai dasar aturan baku bahasa
(gramatikal) kurang lebih pada usia 4 tahun. Kedua, anak-anak belajar bahasa tidak
sekedar meniru ucapan yang mereka dengar. Anak-anak juga belajar konsep gramatikal
yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat. Anak-anak di manapun
dan belajar bahasa apapu ternyata melalui tahapan dan proses yang sama. Dapat
dipastikan bahwa perolehan bahasa dan bicara merupakan sifat aturan biologis manusia
(Ingalls, 1987).
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan gangguan proses
bahasa. Pertama, gangguan atau kesulitan bicara, dimana individu mengalami kesulitan
dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar. Kenyataan menunjukan bahwa
anak tunagrahita banyak yang mengalami kesulitan bicara dibandingkan anak pada
umumnya. Kesulitan dengan jelas bahwa terdapat hubungan positif antara hambatan
perkmbangan kognitif dengan gangguan bicara. Kedua, hal yang lebih serius adalah
gangguan bahasa dimana seorang anak mengalami kesulitan dalam memahami konsep
kosa-kata, kesulitan memahami aturan sintaksis dan gramatikal dari bahasa yang
digunakan.
Peserta didik tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak
dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara. Hasil penelitian Ingalls (1987)
tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita menunjukan bahwa 1)anak tunagrahita
pada dasarnya memperoleh keterampilan bahasa sama seperti anak pada umumnya, 2)
kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih
rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya, 3) kebanyakan anak tunagrahita
tidak dapat mencapai keterampilan berbahasa yang sempurna, 4) perkembangan bahasa
tunagrahita sangat ketinggalan dibandingkan anak pada umumnya, sekalipun pada MA
yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami gramatikal, 6)
anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam menggunakan dan memahami kalimat
majemuk.
4. Masalah Kepribadian
Anak-anak tunagrahita mempunyai ciri kepribadian yang khas, berbeda dari
anak-anak pada umumnya. Perbedaan ciri kepribadian seseorang dibentuk oleh faktorfaktor yang melatarbelakanginya. Terdapat sejumlah alasan yang menjelaskan mengapa
individu tunagrahita mempunyai hambatan dalam perkembangan kepribadian. Alasanalasan tersebut meliputi ; 1) isolasi dan penolakan, 2) labeling dan stigma, 3) stress
keluarga, 4) frustasi dan kegagalan, 5) kesadaran rendah.
a. Isolasi dan penolakan
Perilaku seorang individu tunagrahita yang dipandang ganjil dan aneh oleh
orang lain, cenderung akan dikucilkan dari pergaulan kelompok tema sebaya. Anak
tunagrahita cenderung tidak mempunyai teman, mereka menjadi tersingkirdari
pergaulan social. Penolakan dari teman sebaya bukan semata-mata disebabkan oleh

label tunagrahita , tetapi lebih disebabkan oleh perilaku yang aneh dan ganjil yang
mereka tampilkan.
Penolakan teman sebaya terhdap anak tunagrahita karena anak tunagrahita mengalami
kesulitan belajar keterampilan social. Semakin kehadiran anak tunagrahita ditolak oleh
teman sebaya, anak tunagrahita semakin mengembangkan cara yang salah dalam
berhubungan dengan teman. Penolakan dan isolasi seperti ini menyebabkan munculnya
penyimpangan dalam penyesuaian diri.
b. Labeling dan Stigma
Pemberian label tunagrahita yang bersifat permanen dapat dipandang sebagai
bentuk diskriminasi dan merupakan vonis yang harus disandang seumur hidup. Label
seperti ini telah membentuk persepsi masyarakat bahwa tunagrahita adalah kelompok
manusia yang dikategorikan sebagai manusia yang tidak normal (stigma)
Stigma seoerti itu menimbulkan pemisahan yang tajam antara manusia yang di-stigmakan sebagai tunagrahita dengan manusia lainnya. Sebagai akibat dari labeling dan
stigma seperti itu, sebagai orangtua melarang anak-anaknya bermain dengan anak
tunagrahita.
c. Stres Keluarga
Para ilmuwan psikologi, sosiologi dan pakai pendidikan sepakat bahwa keluarga
merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan anak.
Seorang anak yng dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan
kelahirannya diterima oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa
yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sementara, seorang anak yang dibesarkan
yang kehadirannya ditolak kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa
yang sulit menyesuaikan diri.
Kehadiran seorang anak tunagrahita dalam keluarga cenderung menimbulkan
stress dan ketegangan pada keluarga yang bersangkutan. Ketika orang tua mengetahui
bahwa anaknya tunagrahita, orang tua pada umumnya menglami perasaan bersalah atau
menunjukan mekanisme pertahanan diri, atau mungkin merasa kecewa yang mendalam.
Akibat stress dan ketegangan seperti itu mungkin orang tua menolak kehadiran anak
atau mungkin memberikan perlindungan yang sangat berlebihan. Sikap-sikap seperti itu
dapat menimbulkan masalah perilaku dan emosi pada anak yang bersangkutan.
d. Frustasi dan Kegagalan
Sebagai akibat dari adanya hambatan dalam perilaku adaptif, anak tunagrahita
tidak dapat memenuhi tugas-tugas yang dituntut oleh masyarakat atau oleh teman
sebayanya. Akibat dari keadaan seperti itu, anak tunagrahita cenderung mengalami
banyak kegagalan dan frustasi. Kegagalan dan frustasi yang sangat sering dialami oleh
anak tunagrahita berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian.
e. Kesadaran Rendah
Proses kognitif dan proses kepribadian merupakan dua hal yang berdiri sendiri
teteapi saling mempengaruhi. Proses kognitif terlibat erat dalam perubahan pola
kepribadian dan bahkan dalam reaksi emosi. Sangat masuk akal apabila berpegang pada
asumsi bahwa orang yang kemampuan kognitifnya tidak memadai seperti halnya
tunagrahita, kepribadiannya tidak matang dan tidak rasional.
Sebagai contoh, aspek penting dalam perkembangan kepribadian adalah control
terhadap impuls dan pengendalian diri dari tindakan impulsif. Control impuls berkaitan
dengan erat dengan perkembangan kognitif. Anak pada umumnya akan dapat mengontrol
impuls dan menunda kepuasan sejalan dengan bertambahnya umur. Akan tetapi anak
tunakgarahita mengalami kekurangan dalam perkembangan kognitif, maka anak

tunagrahita pada umumnya mengalami kesulitan dalam mengontrol impuls dan sukar
mengontrol keinginan dalam memenuhi kepuasan sesaat. Ciri kepbadian anak tunageahita
ditandai oleh dua hal yaitu a) pengendalian lokus eksternal (external locus of control),
dan b) kelemahan fungsi ego.
(1) Pengendalian Lokus Eksternal (external locus of control)
Istilah locus of control dapat dijelaskan sebagai persepsi individu terhadap
kejadian yang terjadi pada dirinya sendiri. Individu yang memiliki internal locus of
control dapat merasakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya sebagian besar ditentukan
ol.oleh tindakannya sendiri. Sementara individu yang memiliki external locus of control
merasakan bahwa apa yang akan terjadi pada dirinya ditentukan oleh tindakan orang lain.
Anak tunagrahita pada umumnya memiliki external locus of control.
External locus of control dari anak tunagrahita cenderung mengarah kepada
perasaan tidak berdaya. Sebagai contoh anak tunagrahita yang kehilangan barang, tidak
ada usaha untuk mencarinya. Anak tunagrahita pada umumnya tidak memiliki daya untuk
melakukan usaha atas kemauan sendiri, ia akan melakukannya apabila ada dorongan yang
datang dari orang lain.

(2) Kelemahan Fungsi Ego


Para peneliti seperti Robinson (1965), Stenlich (1972), dan Deutsch (1972)
(dalam Ingalls 1987) telah melakukan analisis terhadap kepribadian tunagrahita dengan
menggunakan teori psikoanalisis Sigmunf Freud. Menurut Freud, struktur kepribadian
dibagi ke dalam tiga bagian yaitu : Id sebagai tempat beradanya impul-impuls, insting
dan drive yang dibawa sejak lahir, merupakan aspek biologis. Ego, yang berfungsi
sebagai eksekutif yang bertugas untuk menguji realitas impul-impuls dari Id dan membuat
keseimbangan antara impul-impuls yang datang dari Id dengan tuntutan realitas. Ego
merupakan aspek psikologis dari kepribadian. Sementara Super Ego mrmpunyai
kepedulian terhadap aspek moralitas dan merupakan aspek moralitas dan merupakan
aspek sosiologis dan kepribadian atau sinonim dengan kesadaran.
Anak tunagrahita mengalami kelemahan dalam fungsi ego. Ego berfungsi untuk
mengenali dan mempelajari realitas, memahami akibat dari sebuah tindakan, memenuhi
dorongan insting dan drive sehingga keteganhan dapat dilepaskan dengan cara-cara yang
dapat diterima secara social. Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam proses seperti
itu. Artinya anak tunagrahita kebanyakan tidak mampu mengontrol impuls-impuls dan
oleh karena ituemosinya mudah meledak.
Kelemahan fungsi ego menyebabkan anak tunagrahita sulit untuk menyalurkan
ketegangan insting dalam bentuk perilaku yang dapat diterima. Penyaluran ketegangan
dalam mengintrol kecemasan lebih banyak bersifat primitive. Semakin primitif
mekanisme pertahanan diri semakin tidak efektif dalam mereduksi kecemasan. Semakin
canggih mekanisme pertahanan diri (yang secara social dapat diterima) semakin efektif
dalam mereduksi ketegangan. Oleh sebab itu perilaku anak tunagrahita biasanya ditandai
oleh reaksi irrasional dan kecemasan yang berlebihan.
C. Refleksi tentang Pendidikan bagi Anak Tunagrahita yang Berlangsung Saat
Ini di Indonesia
Setelah mengetahui maslah-masalah atau hambatn yang dialami oleh tunagrahita,
timbul pertanyaan apakah laynan pendidikan bagi para ADTG yng filakukan pada masa
kini fungsional sehingga dapat mengembangkn potensi mereka secara optimal? Untuk
menjawab pertanyaan seperti itu diperlukan semacam analisis dan refeleksi terhadapa
layanan pendidkan bagi peserta didik tunagrahta yang sedang berlangsung pasa masa
kini.
Hasil penelitian Alimin (2006) menunjukan, layanan pendidikan di Sekolah Luar
Biasa (SLB) lebih bersifat formal. Ini dapat dilihat dari : 1) Kurikulum yang digunakan,
2) Pendekatan Pembelajaran, 3) Penilaian hasil belajar.
1. Kurikulum yang Digunakan
Temuan penelitian Alimin (2006) menunjukan, kurikulum yang digunakan
cenderung bermuatan akademik yang bersifat formal. Isi kurikulum belum banyak
menyentuh kebutuhan dan hambatan belajar peserta didik tunagrahita, sehingga
kurikulum seperti ini kecil kemungkinannyauntuk dapat mengmbangkan potensi mereka
secara optimal. Tampaknya terdapat semacam kebijakan bahwa apa yang ada dan terjadi
di sekolah biasa, harus ada dan terjadi pula di SLB-C. oleh karena itu dalam struktur
dan isi kurikulumnya mengandung unsur-unsur yang tidak fungsional untuk memenuhi
kebutuhan belajar anak tunagrahita.

Selama ini para guru cenderung menggunakan kurikulum sebagai patokan utama
dalam melakukan proses pembelajaran. Dengan kata lain pembelajaran berorientasi
pada kurikulum (curriculum oriented, belum mempertimbangkan hambatan belajar,
hambatan perkembangan, dan kebutuhan anak tunagrahita secara individual. Para guru
cenderung melakukan pembelajaran dengan hanya menyampaikan bahan pelajaran yang
tercantum pada kurikulum dan berusaha hanya untuk menyelesaikan target berdasarkan
kurikulum itu. Guru kurang memperdulikan hal-hal yang terjadi pada diri anak
tunagrahita, misalnya : apakah telah terjadi proses belajar pada diri anak tunagrahita,
apakah anak tunagrahita sudah ke arah perkembangan yang positif. Data seperti itu
hanya akan dapat diperoleh melalui proses yang disebut assesmen. Pada saat ini
assesmen kurang diperhatikan para guru, pasahal ini sangat penting dalam pendidikan
anak tunagrahita.
Pembelajaran yang berpatokan pada lurikulum biasanya member peluang
kepada guru untuk melakukan proses pembelajaran secara klasikal dan membuat
ukuran yang klasikal pula. Padahal sesungguhnya esensi pendidikan bagi anak
tunagrahita bersifat individual.
2. Pendekatan Pembelajaran
Temuan penelitian Alimin (2006) menunjukkan, pendekatan pembelajaran
yang dilakukan kebanyakan guru lebih bersifat formal, berpusat pada kurikulum dan
para guru, belim memperhatikan perbedaan perkembangan dan hambatan belajar
peserta didik tunagrahita secara individual. Pada umumnya guru menyempaikan
bahan pelajaran langsung pada tahap abstrak. Sementara peserta didik tugrahita
memiliki kesulitan dalam memahami konsep yang abstrak, mereka aktivitas belajar
yang dimulai dari tahap kongkret. Untuk mengkongkretkan konsep yang tetapi
kebanyakan para guru SLB belum memanfaatkan media dan alat peraga dalam
pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada kurikulum menimbulkan
kesenjangan bahan pelajaran dengn hambatan belajar dan kebutuhan belajar anak
tunagrahita. Banyak prasyarat yang seharusnya menjadi dasar dalam pembelajaran
tidak dapat dipenuhi.
Secara fisik susunan kelas (classroom arrangement) lebih bersifat statis.
Kelas hampir tidak pernah berubah susunannya, sehinga anak menjadi sangat terikat
pada posisi tempat duduknya. Keterikatan seperti itu sesungguhnya tidak
menguntungkan bagi perkembangan anak tunagrahita
Dalam proses pembelajaran, sebagian guru cenderung lebih banyak member
perintah dan larangan, sangat jarang member penghargaan ketika anak tunagrahita
dapat melakukan sesuatu yang positif sekecil apapun. Ada kesan yang kuat para
guru belum berempati ketika sedang berinteraksi dengan anak tunagrahita.
Pendekatan pembelajaran seperti itu menyebabkan kesenjangan antara
perkembangan actual yang dicapai anak dengan perkembangan optimum yang
seharusnya dapat dicapai. Kesenjangan ini bukan hanya karena faktor kecerdasan
tunagrahita yang kurang, tetapi juga karena faktor lingkungan dan pendekatan
pembelajaran yang belum efektif.
Penggunaan pendekatan pembelajaran yang tepat dan lingkungan belajar yang
sesuai dengan perkembangan anak tunmagrahita dangat penting dalam
mengoptimalkan pekembangannya. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa
perkembangan yang dicapai anak tunagrahita merupakan hasil belajar yang

diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan dengan segala


perangkatnya dipandang sebagiai wahana untuk mengembangkan potensi peserta
anak tunagrahita (Vygotsky, 1988, Capuzzi, 1995, Kartadinata, 1996).
Perkembangan yang dapat dicapai anak tunagrahita sebagai perolehan hasil belajar
akan sangat tergantung pada kualitas interaksi anak dengan lingkungannya.
Pembelajaran yang akan dilakukan para guru saat ini belum memanfaatkan
lingkungan belajar secara optimal. Selama pembelajaran berlangsung belum terjadi
interaksi intensif antara guru dan anak dan sesame anak. Atmosfir kelas cenderung
kering, belum ada upaya untuk menghubungkan pengalaman anak dengajn bahan
pelajaran.

3.

Penilaian Hasil Belajar


Dari hasil wawancara dengan para guru dalam memaknai pengertian hasil
belajar, para guru cenderung mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hasil
belajar adalah penguasaan bahan pelajaran oleh anak tunagrahita melalui ujian atau
tes yang dinyatakan dalam bentuk angka (kuantitatif). Dengan demikian apa yang
dilakukan para guru dalam menilai hasil belajar anak tunagrahita hanya
menyangkut aspek penguasaan bahan palajaran secara kognitif. Penilaian seperti ini
belum dapat mengungkapkan seluruh perkembangan yang terjadi pada diri anak
tunagrahita sebagai hasil belajar. Penilaian seperti ini tidak memberikan informasi
yang memadai tentang apa yang terjadi pada diri anak tunagrahita secara utuh.
Dalam konteks pendidikan tunagrahita, hasil belajar harus dapat dilihat
secara utuh, yitu perubahan yang terjadi pada semua aspek perkembangan dan
perkembangan dipandang sebagai perolehan atau hasil belajar (Vygotsky, 1988).
Oleh karena itu penilaian seharusnya dilakukan untuk mengetahui perubahan pada
semua aspek perkembangan anak tunagrahita. Perubahan sekecil apapun yang
terjadi pada anak tunagrahita harus dapat diidentifikasi dan dicatat sebagai data
yang dapat dilaporkan sebagai lapoean kemajuan anak tun dalam belajar. Dengan
demikian perubahan dalam memaknai konsep hasil belajar oleh para guru di SLB,
dan diperlukan diversifikasi cara melakukan penilaian hasil belajar, sehingga dapat
menggambarkan kondisi obyektif setiap anak tunagrahita secara lengkap.

D. Pendekatan Fungsional dalam Pendidikan Tunagrahita sebagai Orientasi


yang Dituju
1. Makna Pendekatan Fungsional
Perkembangan yang terjadi pada diri seorang anak merupakan hasil belajar.
Dengan kata lain, perkembangan adalah akibat dari proses belajar (Vygotsky, 1978).
Oleh karena itu hasil belajar harus dipandang sebagai satu kesatuan holistic,
menyangkut semua aspek perkembangan individu. Sangat keliru apabila ada anggapan
yang mengatakan bahwa hasil belajar hanya berkenaan dengan bidang akademik
semata-mata. Dengan asumsi bahwa perkembangan adalah hasil belajar, maka proses
belajar harus membantu anak agar dapat berkembang secara optimal.
Selanjutnya Vygotsky (1988) menjelaskan, pendidikan anak tunagrahita harus
mempertimbangkan situasi social dimana anak itu berada. Pembelajaran dilakukan
untuk mendekatkan jarak antara kompetensi orang dewasa dengan perembangan anak
yang dicapai pada saat itu (zone proximal development), sehingga anak dapat mencapai
perkembangan yang lebih tinggi. Untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita
diperlukan upaya yang lebih banyak dan waktu lebih lama dibandingkan dengan anak
pada umumnya. Upaya pendidikan dan pembelajaran masih belum cukup untuk
memberdayakan tunagrahita. Masih diperlukan upaya pemberian bantuan dalam
pengembangan diri yaitu memberikan kesempatan dan kemudahan kepada anak
tunarahita untuk belajar agar dapat berkembang sebagai manusia.
Untuk mencapai perkembangan itu, sekurang-kurangnya guru harus memiliki
empat kemampuan yaitu : (1) Asesmen perkembangan anak, (2) Adaptasi kurikulum
(bahan ajar) dengan perkembangan anak, (3) Memilih lingkungan belajar, (4) Tahapan
pembelajaran. Urutan nomor dari setiap aspek, menunjukan pula urutan prosedur kerja
dari pendekatan I ini sebagai berikut :

2. Kemampuan yang Harus Dimiliki Guru


a) Asesmen Perkembangan Anak
Tahapan perkembangan seorang anak tunagrahita diketahui melalui proses
asesmen. Dalam pendekatan fungsional, perkembangan anak merupakan proses
perubahan yang bersifat progresif dan holistik. Perkembangan anak tunagrahita
tidak hanya dilihat sebagai proses yang mengikuti tahapan anak tangga (setiap tahap
harus dilewati satu demi satu) melainkan juga ke samping. Jadi perkembangan harus
dilihat sebagai proses perubahan yang mengikuti arah spiral, yaitu interaksi antara
mengikuti arah anak tangga (perkembangan vertikal) dengan mengikuti arah
lingkaran (perkembangan horizontal). Dengan demikian asesmen perkembangan
anak tunagahita dilakukan dalam bentuk perkembangan vertikan dan horizontal.
Asesmen perkembangan horizontal digunakan untuk melihat tahapan
perkembangan yang dicapai setiap anak tunagrahita. Perkembangan vertikal
difokuskan pada empat tahap perkembangan kognitif : sensorimotor, praoperasional,
formal operasional, dan dialektik (Capuzzi, 1995). Individu pda tahap sensorimotor
memerlukan bantuan untuk meningkat ke tahap perkembangan pra-operasional, dan
masih memerlukan bantuan tahap-tahap berikutnya.
Setiap tahapan perkembangan kognitif memiliki karakteristik yang khas dan
memerlukan lingkungan belajar yang khas pula. Perkembangan sensorimotor
memerlukan lingkungan yang terstruktur, dan direktif. Individu yang berada pada
tahap ini memerlukan pengalaman belajar yang kongkret. Perkembangan pra
operasional memerlukan lingkungan belajar yang semi terstruktur. Perkembangan
formal operasional memerlukan lingkungan belajar yang konsultatif, dan
perkembangan dialektik memerlukan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif.
Tehnik asesmenyang digunakan untuk mengetahui perkembangan vertikal anak
adalah wawancara terbuka dan bebas (komunikasi verbal). Ungkapan atau ekspresi
verbal dari setiap anak yang diajak bicara atau diwawancara menunjukan tahap
perkembangan kognitif yang dicapai pada tahap ini. Bila guru sudah mengetahui
sampai dimana tahap perkembangan anak, maka ia sudah dapat menentukan
lingkungan belajar yang harus disediakan.
Asesmen perkembangan horizontal adalah sebuah eksplorasi, penguasaanm dan
elaborasi sikap, emosi, dan perilaku yang berkaitan dengan tahap perkembangan
vertikal. Ini adalah proses yang digunakan untuk menjamin konstruksi dengan
landasan yang kokoh. Untuk mengetahui perkembangan horizontal yang telah
dicapai anak tunagrahita digunakan tehnik observasi dan wawancara kepada setiap
anak.
Perkembangan anak tunagrahita secara horizontal mencakup tiga aspek :
keterampilan bahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis),
keterampilan berhitung, dan perilaku adaptif. Data hasil asesmen perkembangan
horizontal dijadikan dasar dalam menentukan bahan ajar untuk disesuaikan dengan
kebutuhan anak tunagrahita. Di sinilah awal terjadi proses penyesuaian antara materi
kurikulum dengan perkembangan anak. Dengan demikian pembelajaran menjadi
berpusat pada anak dan kurikulumnya menjadi fleksibel.
2) Adaptasi Kurikulum dengan Perkembangan Anak
Data hasil asesmen perkembanan kognitif vertikal menjadi dasar dalam
menentukan lingkungan belajar dan interaksi pembelajaran yang seharusnya
dilakukan guru. Sedangkan data hasil asesmen perkembangan kognitif horizontal

memberikan informasi tentang kapasitas dan hambatan belajar yang dialami anak
tunagrahita dalam belajar bahasa, berhitung, dan perilaku adaptif. Data hasil
asesmen horizontal digunakan sebagai dasar untuk menyusun program pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita. Oelh karena itu dilakukan
penyesuaian isi kurikulum dengan kebutuhan anak tunagrhita.
Penyesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan anak tunagrahita ditempuh
melalui dua langkah. Pertama, melalui asesmen harus diketahui lebih dahulu
kemampuan dan hambatan belajar yang dialami ADTG dalam perkara tertentu,
misalnya dalam pelajaran berhitung. Kedua, menemukan pada tahap dimana dan
materi apa dalam kurikulum, misalnya dalam pelajaran berhitung, yang sesuai
dengan kemampuan dan hambatan anak tunagrahita. Jika secara eksplisit di dalam
kurikulum tidak ditemukan topik atau pokok bahasan yang diperlukan. Sangat
mungkin terjadi ada prerekuisit yang tidak secara eksplisit tercantum dalam
kurikulum, menjadi tuntunan pembelajaran.
Hasil analisisisi isi kurikulum (content analysis), memberikan informasi yang
jelas tentang urutan prrekuisit setiap topic bahasan, sehingga menjadi sangat mudah
melakukan penyesuaian antara kurikulum dengan kemampuan setiap anak
tunagrahita.
a) Memilih Lingkungan Belajar
Dakam perspektif pendekatan fungsional, lingkungan belajar yang diciptakan harus
sejalan dengan tahap perkembangan kognitif vertikal anak tunagrahita. Tahap
perkembangan sensori motor cocok dengan lingkungan belajar yang terstruktur,
tahap perkembangan pre operasional cocok dengan lingkungan belajar semi
terstruktur, tahap perkembangan formal operasional cocok dengan lingkungan
belajar konsultatif, dan perkembangan kognitif dialektik cocok dengan lingkungan
belajar yang bersifat kolaboratif.
b) Tahapan Pembelajaran
Dalam pendekatan fungsional, pembelajaran anak tunagrahita terdiri atas
tahap orientasi, tahap mediasi, dan tahap ko-konstruksi. Ketiga tahap pembelajaran
itu merupakan kesatuan yang utuh dan terintegrasi, sehingga perpindahan dari satu
tahap ke tahap selanjutnya tidak terdapat jeda dalam pelaksanannya. Pelaksanaan
pembelajaran dalam model ini memerlukan dua guru : guru urama (main teacher)
yang mengelola kelas secara keseluruhan dan guru pendamping (co-teacher) yang
memberikan perhatian dan pelayanan kepada setiap anak.
Pembelajaran pada tahap orientasi merupakan proses menghubungkan
pengalaman anak dengan bahan ajar dan lingkungan belajar. Pada tahap ini guru
menciptakan situasi yang dapat membangkitkan perhatian dan motivasi semua anak
agar terlibat dalam aktivitas yang diciptakan guru, tanpa merasa bahwa mereka
sedang belajar. Tahap orientasi dimaksudkan untuk mengawali kegiatan belajar
dengan aktivitas yang gembira dan menyenangkan. Pada tahap ini guru harus
menata posisi duduk anak. Susunan tempat duduk tidak dibuat dalam bentuk barisan
melainkan disusun dalam bentuk setengah lingkaran, kelompok, atau saling
berhadapan. Menata posisi duduk ini dilakukan guru bersama semua anak. Posisi
guru utama di tempat yang dapat dilihat oleh semua anak, sementara guru
pendamping berkeliling menghampiri setiap anak untuk memberikan bantuan yang
diperlukan setap anak. Setelah itu guru mengajak anak-anak bercerita tentang

pengalaman mereka, kemudian menghubungkannya dengan bahan ajar yang akan


disampaikan. Jadi ada kaitan antara bahan ajar dengan pengalaman anak. Dengan
kata lain pembelajaran selalu dimulai dari apa yang diketahui dan dialami anak,
sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik, menyenangkan, dan bermakna bagi
anak karena tidak ada diskontinyuitas antara pengalaman dengan pengetahuan baru.
Selanjutnya pada tahap mediasi diciptakan situasi agar terjdi interaksi
anatara anak dengan perangsang yang disediakan. Guru tidak memluai pembelajaran
dari penjelasan konsep, melainkan aktivitas. Ada tiga urutan proses yang harus
dilalui pada thap mediasi : belajar pada tahap kongkret, semi kongkret, dan belajar
pada tahap abstrak.
Proses pembelajaran tahap kongkret menghubungkan anak dengan banyak
perangsang (media) yang bersifat kongkret. Anak diberi kesempatan seluas-luasnya
untuk memanipulasi objek kongkret yang berhubungan dengan konsep yang
diajarkan. Dengan kata lain konsep yang bersifat abstrak diakses melalui proses
yang dapat diamati secara visual, auditif, kinestetik, dan tactual. Sehingga konsep
yang diajarkan bisa dipahami anak secara lengkap dan mantap.
Proses pembelajaran tahap semi kongkret sama seperti pada tahap kongkret.
Perbedaanya, pada tahap ini perangsang yang digunakan adalah media dua dimensi
(gambar). Tujuannya untuk menjembatani antara pemahaman yang bersifat kongkret
dengan abstrak.
Prose pembelajaran tahap abstrak tidak lagi menggunakan perangsang (media)
mealinkan lebih banyak menggunakan bahasa verbal. Pada tahap ini diharapkan
anak mengalami proses mengkonstruksi dan merekonstruksi pengetahuan yang
sudah dimilikinya.
Pembelajaran pada tahap ko-konstruksi merupakan kegiatan pemantapan agar
anak mengalami proses adaptasi kognitif yaitu terjadi perkembangan pada diri anak
sebagai hasil belajar. Pada tahap ini ada proses yang mengarah ke aktivitas evaluasi
dan ke aktivitas asesmen. Keduanya terjadi dan menyatu dalam proses
pembelajaran.
Evaluasi jangan sekedar dianggap sebagai tes atau ujian, tpi harus dilihat
sebagai upaya untuk melihat tahap perkembangan anak tunagrahita sebagai hasil
belajar. Sedangkan asesmen adalah upaya untuk melihat hambatan belajar yang
dialami oelh anak pada saat mengikuti proses pembelajaran.

Daftar Bacaan
Bloom, Binyamin S. (1956), Taxsonomy of Educational Obyectives, The Classifications
of educational Goal, Handbook 1 Cognitive domain New York: David Mekay
Company
Beirne-Smith Mary., Ittenback,Richard.F, Patton,James. R, (2003). Mental
Retardation, Merrill Prentice Hall: Ohio.
Browning P.L., & Keesey M, (1974) Outcame Studies on counceling with the
retarded. A Methodological critique, Springfield III.
Falvey Mary A., (1986). Community Based Curriculum Instruction Strategies For
Student With Severe Handicaps, Brookes Publishing London

Glass, Arnold Lewis., Keith James Holyoak (1986), Cognition, Mc Grow-Hill


International Editions Auckland.
Mussen Hendry Paul., John Janeway Conger, Jarome Kagan, Aletha Carol Huston,
Child Development and Personality, Harper and Row. Publishing, Inc.
Hardman and Drew., Cliford J., Donald R.Logan,Michael L, (1990), Psychomotor,
Publishing Company-Boston
Ingall Robert.P., (1978). Mental Retardation The Changing Outlooks, Published
Simultaneusly in Canada
Kenneth Dunn., Rita Dunn, (1978). Teaching Student Trough Their Individual
Learning Styles, a practical approach, Reston Publishing Company Inc. A
Prentice-Hall-Virginia
Kephart, Newell.C., In. Early George H., (1969), Perceptual Training In The
Curriculum, Charles. E, Merrill, Publishing Company.
Lynch, James., (1994). Froyection For Children With Special Education Need in Asian
Region, USA : The Word Bank
McLoughlin James.A., Rena. B. Lewis, (1986). Assessing Special Student, Marrill
Publishing Company Sedney
Mercer, Cecil.D., & Mercer, Ann.R, (1989). Teaching Student With Learning Problems,
Aus : Merill Publishing Company A Bell & Howell Information Company
MacMillan.Donal.L, (1982), Mental Retardation in School and Society, Brown and
Company : Boston-Toronto.
Mulyono Abdulrahman, (1995), Program Pendidikan Individual, Pelatihan Insevise
Guru SLb, Depdikbud, Jakarta
Payne, James S., James R.,Patton (1991), Smental Retardation, Charles Marrill
Publishing Company: Columbus, Ohio.
Popovich, Dorothy.(1981), Effective Educational and Behavioral Programing For
Severely Handicapped Students, A Manual for Teachers and Aides, Brookes
Publishing Co: London
Popovich, Dorothy., and Sandra L. Laham, (1981), The Adaptive Behavior Curriculum,
Precriptive Behavior analyses for Moderately, severely, and Profoundly
Handicapped students, Paul H. Brookes, Publishing. Co.
Sehaeri.HN, (1987), Ortodidaktik Tunagrahita III, Jurusan PLB-FIP_IKIP, Bandung
Schulz, Jane B., & Turnbull, Ann P, (1984), Mainstreaming Handicapped Student, A
Guide For Classroom Teacher, Usa. Allyn an Bacon, Inc.
Schiffman H., Richard,(1982), Sensation and Perception, John Weley and Son: New
York.
Thomas, R. Murray, (1979), Comparing Theories of Child Development, Wards Worth
Publishing Company Inc: California.
Tawney Jame.W., David, L. Gast, (1984), Single Subyect Research in Special
Education, Charles E. Merrill Publishing Comapany: Columbus.
Wiatson.J, Luke S., (1979), Child Behavior Modification, A Manual for Teacher,
Nurses, and Parents,Pergamon Press. Inc
Zaenal Alimin (1997) Aplikasi Teori Perkembangan Kognitif Piaget Dalam
Pembelajaran Anak Tunagrahita, Jurusan PLB FIP: Bandung

PUNCA DAN CIRI KANAK-KANAK BERMASALAH PENDENGARAN


SAFANI BARI
MOHD HANAFI MOHD YASIN
MOHD MOKHTAR HJ TAHAR
FAKULTI PENDIDIKAN
UNIVERSITI KEBANGSAAN MALAYSIA
PENGENALAN
Kelazimannya, semenjak seorang bayi dilahirkan ke dunia ini, salah satu cara dia belajar
mengenal alam sekitarnya adalah melalui pendengaran. Mereka mula belajar mengenali di
antara bunyi yang amat kuat dan perlahan, bunyi yang tinggi dengan yang rendah dan bunyi
yang merdu atau pun tidak. Mereka juga belajar mendengar bunyi tangisan, suara ibu bapa atau
ahli keluarga dan dari sumber-sumber bunyi yang lain di persekitaran. Tetapi hal ini tidak akan
berlaku kepada mereka yang mempunyai masalah pendengaran dalam kehidupan mereka.
Maklumat masih juga diterima oleh kanak-kanak ini tetapi hanya melalui deria lihat, rasa dan
sentuh sahaja, apa sahaja maklumat yang berkaitan bunyi tidak disedari atau diterima oleh
mereka.
Justeru, pernahkah anda bayangkan dunia ini sunyi sepi tanpa bunyi, bagaimanakah
anda hendak berkomunikasi dengan orang lain tanpa suara. Bagaimanakah hidup anda sekiranya
anda tidak mendengar apa-apa langsung sepanjang hidup anda. Adakah anda terfikir bagaimana
kanak-kanak ini membesar seterusnya belajar mengenali dunia di sekeliling mereka dalam
keadaan yang sunyi-sepi. Pernahkah juga anda terfikir di manakah titik permulaannya kanakkanak ini mula berinteraksi dengan orang lain, belajar dan seterusnya bagaimanakah mereka
melalui proses pembelajaran yang cukup berbeza berbanding kanak-kanak lain yang seusia
dengan mereka.
Segala persoalan ini adalah amat penting untuk diterokai dan dicari jawapannya
sekiranya anda benar-benar menyimpan hasrat untuk membantu kanak-kanak ini membina
kehidupan yang lebih bermakna. Sehubungan itu, perbincangan mengenai ciri kanak-kanak
bermasalah pendengaran ini akan memberi pendedahan ringkas berkaitan pengetahuan asas
yang perlu diketahui sebelum anda meneroka lebih jauh berkaitan isu tentang kanak-kanak yang
mengalami masalah pendengaran. Hal ini agar membolehkan anda semua dapat mengetahui dan
memahami ciri-ciri penting berkaitan kanak-kanak istimewa ini yang dilabel sebagai bermasalah
pendengaran.
DEFINISI DAN ISTILAH
Satu perkara yang cukup penting disedari oleh mereka yang bakal terlibat secara langsung
dengan kanak-kanak bermasalah pendengaran ialah mengetahui definisi atau maksud istilah
masalah pendengaran itu sendiri. Istilah ini kadangkala mengelirukan kerana terdapat
beberapa istilah lain yang digunakan. Hal ini penting untuk difahami secara mendalam oleh
anda sebagai bakal pendidik yang perlu berhadapan dengan kanak-kanak bermaslah
pendengaran.
Sebelum penggunaan istilah bermasalah pendengaran, istilah 'pekak dan bisu, cacat
pendengaran dan tuli sering digunakan kepada kumpulan kanak-kanak yang mengalami
kehilangan pendengaran teruk dan sangat teruk. Istilah-istilah ini kadang kala mengelirukan,
ramai yang mentafsirkannya dengan pelabgai maksud dan makna. Selain itu istilah-istilah ini
membawa satu stigma yang negatif dan kurang disenangi oleh masyarakat (Ling, 1989). Oleh
yang demikian istilah 'bermasalah pendengaran' digunakan untuk menggantikan istilah 'pekak',

'cacat pendengaran', 'tuli' dan 'pekak bisu'. Istilah bermasalah pendengaran adalah istilah yang
lazim digunakan oleh pihak perubatan kerana kanak-kanak yang dilabel sebagai pekak adalah
tidak pekak sepenuhnya kerana mereka masih mempunyai sisa (residual) pendengaran (Clark,
1999).
Walau bagaimanapun, istilah 'pekak', 'cacat pendengaran' dan 'pekak bisu' masih
digunakan dan ditujukan kepada kumpulan kanak-kanak yang sama oleh orang biasa kepada
kanak-kanak yang dikategorikan sebagai bermasalah pendengaran (Gregory, Silo & Callow
1995).Terdapat juga pelbagai pihak atau individu perseorangan yang bergiat aktif dengan kajian
berkaitan individu bermasalah pendengaran telah memberikan definisi tertentu terhadap istilah
tersebut. Antaranya menurut Cruickshank & Johnson (1975) menyatakan bahawa masalah
pendengaran boleh didefinisikan kepada kebolehan kanak-kanak menggunakan deria
pendengarannya. Definisi ini dibahagikan kepada dua kategori iaitu pekak dan separa pekak.
Pekak ialah apabila kanak-kanak tersebut memiliki deria dengar yang tidak berfungsi langsung.
Manakala, kategori separa pekak pula merujuk kepada kanak-kanak yang deria dengarnya yang
rosak masih boleh berfungsi dengan bantuan alat bantu pendengaran ataupun mana-mana
kaedah bantuan lain yang bersesuaian.
Menurut Bee (2007) pula, kanak-kanak bermasalah pendengaran adalah mereka yang
menghadapi kesukaran mendengar atau kekurangan pendengaran yang jelas. Seterusnya, wujud
juga definisi dari perspektif bahasa oleh Asmah (1986) menyatakan bahawa kanak-kanak
bermasalah pendengaran ialah individu yang dilahirkan dengan kecacatan pada deria
pendengaran yang menyebabkan ia tidak dapat mengenal bunyi bahasa dan tidak dapat
mendengar dan menghayati pemikiran serta budaya melalui bahasa.
ANATOMI TELINGA
Sesiapa sahaja yang berhasrat untuk melibatkan diri secara serius dalam usaha membantu
individu bermasalah pendengaran perlulah memahami anatomi telinga serta memiliki informasi
yang tepat berkaitan etiologi kepekakan atau jenis-jenis masalah pendengaran serta faktor-faktor
yang menyebabkan kepada berlakunya masalah pendengaran. Secara amnya, masalah
pendengaran boleh dibahagikan kepada tiga jenis iaitu masalah pendengaran konduktif, sensori
neural dan bercampur. Setiap jenis atau kategori masalah pendengaran tersebut berlaku
disebabkan beberapa faktor yang seterusnya memberi kesan kepada tahap kehilangan
pendengaran serta ciri-ciri pembawaan individu yang terlibat.

Pinna
(cuping telinga)

Salur separuh
bulat

Tulang-tulang osikel
(tukul, andas, rakap)

Jendela bujur

Saraf
auditori

Gegendang
telinga

Salur luar
telinga

Rongga telinga
tengah

Jendela
bulat
Tiub Eustachian

Koklea

RAJAH 1. ORGAN TELINGA


Memahami secara ringkas berkaitan anatomi telinga manusia adalah amat perlu sebelum
kita melanjutkan perbincangan berkaitan jenis kepekakan. Penting bagi anda untuk mengetahui
beberapa struktur-struktur utama yang terdapat di dalam telinga manusia bagi memudahkan
serta meningkatkan lagi kefahaman anda kerana perbincangan berkaitan etiologi kepekakan
akan memerlukan anda memiliki asas pengetahuan berkaitan struktur telinga manusia.

Jendela bujur

Pembahagi
koklea

Stapes

Jendela
bulat

Saraf auditori

Helik
Skala vestibul
Tiub Eustachian

Skala timpani

Rajah 2 : Struktur bahagian pada koklea


Secara ringkasnya telinga manusia terbahagi kepada tiga bahagian utama iaitu telinga
luar, telinga tengah dan telinga dalam. Nama-nama struktur yang terdapat dalam setiap bahagian
telinga serta fungsi yang dimainkan olehnya dapat diringkaskan dalam RAJAH 1 dan 2. Telinga
luar meliputi kawasan cuping telinga serta salur telinga luar hingga ke gegendang manakala
bahagian tengah meliputi kawasan yang mengandungi ketiga-tiga osikel iaitu tukul, andas dan
rakap. Bahagian telinga dalam meliputi kawasan yang menempatkan salur separuh bulat dan
koklea. Setiap bahagian telinga memainkan peranan penting dalam proses pendengaran (Jadual
1).

JADUAL 1. STRUKTUR, CIRI DAN FUNGSI TELINGA


Bahagian
Struktur
Ciri-ciri
telinga
Cuping telinga
- Berbentuk seperti kipas
Telinga luar (pinna)
dan tidak rata.
- Rawan dan diselaputi
kulit

Fungsi
- membantu mengesan
arah bunyi dengan lebih
tepat.
- memerangkap
gelombang-gelombang
bunyi.

Telinga
tengah

Salur luar telinga

- ukuran purata kira-kira


2.5 cm dan lebar
0.7cm.
- berbentuk S serta
menghubung ke
gegendang telinga.
- ditumbuhi rerambut
halus sebagai penapis
kotoran dan objek
halus.
- menghasilkan serumin
(tahi telinga).

Gegendang
telinga

- pemisah bahagian
telinga luar dengan
telinga tengah.
-nipis 0.07mm dan
berbentuk kon.
-merupakan membran
boleh lentur /anjal yang
bergetar apabila
gelombang-gelombang
bunyi memukulnya.
-terlalu atau sangat
sensitif terhadap
sebarang getaran.
- tiga tulang-tulang kecil.
- dihubungkan secara
mekanikal di antara
gegendang telinga
dengan telinga dalam.

Tulang-tulang
osikel (tukul,
andas, rakap)
atau
(malleus, incus,
stapes)

- osikel-osikel dalam
rongga tengah
dihubungkan dengan
ligamen agar
tergantung kepada
dinding rongga
- pemegang malleus
terlekat pada
gegendang dan
meliputi lebih daripada
separuh kawasan
gegendang

-sebagai medan laluan


gelombang bunyi masuk
ke gegendang telinga dan
menggetarkannya.
-sebagai pemantul dan
penguat gelombang
bunyi.
-membolehkan kita
mengesan bunyi yang
tidak dikesan sekiranya
gegendang terletak di
luar telinga.
-melindungi gegendang
telinga daripada terdedah
kepada kerosakan fizikal.
- menghasilkan getaran dari
gelombang bunyi di luar.
- getaran bunyi dipindahkan
ke osikel.

- meningkatkan jumlah
tenaga bunyi yang dibawa
ke telinga dalam
(getaran pada gegendang
dipindahkan oleh malleus
ke incus yang bersambung
dengan stapes.Tapak
stapes menutup
jendela bujur, jika
gelombang bunyi tidak
melalui tulang-tulang osikel
ini ke jendela bujur, tenaga
yang dibalikkan hanya
bersamaan dengan tenaga
yang dibalikkan oleh
permukaan yang keras).
- Penggandaan bunyi oleh
telinga tengah (osikelosikel adalah sebagai
mekanisma tuas)
- melindungi telinga dalam
daripada bunyi yang terlalu
kuat (apabila bunyi terlalu

kuat, otot gegendang akan


bergerak ke arah
gegendang dan otot stapes
akan menarik stapes keluar
dari jendela bulat.
- Pergerakan ini akan
mengurangkan kekuatan
tengah telinga dari
menyalurkan bunyi ke
dalam telinga.
Jendela bujur

Salur eustachian

- membran boleh lentur


yang meliputi sebuah
lubang bujur kecil
menuju ke rongga
telinga dalam dan
bersentuh dengan
stapes
-terletak di telinga
tengah dan rongga
mulut menghubungkan
telinga tengah dengan
udara luar.

- penghadang diantara
ronga telinga tengah
dengan telinga dalam.

- bertindak sebagai saluran


yang menghubungkan
rongga telinga tengah
dengan farinks bagi
menyamakan tekanan
udara pada kedua-dua
belah gegendang telinga.
(untuk membolehkan
gegendang bergetar bebas
maka tekanan udara di
dalam telinga tengah dan
bahagian luar telinga
mestilah sama).
-sebagai laluan udara
memasuki atau
meninggalkan bahagian
tengah telinga.

Telinga
dalam

Koklea

- satu binaan gelung


berpusar yang berupa
seakan-akan kulit siput.
-terbahagi kepada 2
bahagian yang utama
iaitu bahagian yang
berhubung dengan
jendela bujur (skala
vestibul) dan bahagian
yang berhubung
dengan jendela bulat
(skala timpani).

-rangsangan dalam koklea


bermula dari jendela bujur
melalui pergerakan atau
getaran yang dihasilkan dari
tapak stapes.
-bagi bunyi yang perlahan,
getaran akan bergerak ke
arah penghujung koklea
dan melalui ruang kecil
helikotrema menuju ke
penghujung basal melalui
skala timpani.

- kedua-dua bahagian ini


dipenuhi cecair
dinamakan perilimfa.
- bahagian tengah ialah
pembahagi koklea
antara dua skala
tersebut.

- bagi bunyi yang kuat pula,


ia akan merentas
pembahagi koklea serta
terus menyalurkan bunyi ke
saraf pendengaran. Ini
menyebabkan keseluruhan
organ pendengaran
(telinga) akan bergetar.

-di bahagian hujung


koklea terdapat ruang
terbuka dinamakan
helikotrema berfungsi
membolehkan cecair
mengalir di antara dua
skala.
- di bahagian bawah
koklea (skala timpani)
berakhir pada jendela
bulat, terdapat ruang
terbuka yang diselaputi
membran
menghubungkan
semula ke telinga
tengah.

CIRI-CIRI KANAK-KANAK MASALAH PENDENGARAN


Mengetahui ciri-ciri utama yang dimiliki oleh kanak-kanak bermasalah pendengaran adalah
merupakan antara aspek penting yang perlu anda titiberatkan. Hal ini bukan sahaja bagi
membantu anda lebih memahami permasalahan yang dihadapi oleh murid-murid anda yang
mengalami masalah pendengaran tetapi juga secara tidak langsung dapat membantu anda
mengenalpasti kanak-kanak di dalam kumpulan pelajar normal yang juga berkemungkinan
menghadapi masalah pendengaran. Pengesanan awal boleh kita lakukan dengan cara yang
mudah iaitu dengan hanya memerhatikan tindakbalas yang kanak-kanak tunjukkan terhadap
bunyi.
Kehilangan pendengaran boleh berlaku kepada kanak-kanak sejak dilahirkan atau
kehilangan pendengaran ini dinamakan pekak sejak lahir atau born deaf. Kehilangan
pendengaran jenis ini berlaku sejak bayi dalam kandungan, biasanya janin di dalam kandungan
dijangkiti serangan virus yang mengakibatkan kerosakan organ pendengaran dan faktor baka
juga boleh menyebabkan kehilangan pendengaran jenis ini. Kehilangan pendengaran yang
terjadi sejak lahir mengakibatkan kehilangan pendengaran yang teruk dan melibatkan
kerosakkan bahagian telinga dalam dan melibatkan saraf pendengaran. Kehilangan pendengaran
jenis ini juga dinamakan kehilangan pendengaran saraf / sensori, kerosakkan biasanya
melibatkan bahagian koklea dan saraf pendengaran dan tidak boleh dirawat (Lysons, 1996).
Manakala kehilangan pendengaran selepas lahir biasanya tidak mengakibatkan
kehilangan yang teruk, kadang-kadang kehilangan pendengaran jenis ini hanya bersifat
sementara, melibatkan kerosakan bahagian telinga luar dan telinga tengah. Kehilangan
pendengaran jenis ini dikenali juga sebagai kehilangan pendengaran konduktif biasanya boleh

dirawat. Kanak-kanak yang mengalami kehilangan pendengaran konduktif tidak dikategorikan


sebagai kanak-kanak bermasalah pendengaran atau pekak. Mereka masih dikategorikan sebagai
kanak-kanak biasa. Walau bagaimanapun kecederaan atau jangkitan telinga yang teruk selapas
lahir juga boleh mengakibatkan kehilangan pendengaran sensori atau kehilangan pendengaran
yang teruk dan tidak boleh dirawat.
Kelazimannya, seorang kanak-kanak yang tidak mempunyai masalah pendengaran akan
bertindakbalas terhadap bunyi yang perlahan serta boleh mendengar percakapan dengan jelas
(Clark,1999). Namun, bagaimana pula tindakbalas yang ditunjukkan oleh kanak-kanak yang
mengalami masalah pendengaran? Secara ringkasnya, tindakbalas yang ditunjukkan oleh kanakkanak bermasalah pendengaran adalah mengikut tahap keseriusan kehilangan pendengaran yang
mereka alami.
Selain kelainan yang ditunjukkan dalam aspek tindakbalas terhadap bunyi-bunyi di
persekitaran mereka, menurut Gregory, Silo, & Callow (1995), Clark (999), kanak-kanak yang
mengalami masalah pendengaran juga menunjukkan kelainan dalam beberapa aspek yang lain,
contohnya :
i.

Kurang memberi perhatian

Kanak-kanak ini tidak terkejut dengan bunyi yang kuat . Mereka juga mungkin tidak
mengalihkan pandangan ke arah sumber bunyi. Mereka juga tidak cuba meniru atau
bertindak balas pada bunyi yang didengar pada usia 12 bulan. Berkemungkinan mereka
tidak dapat mendengar atau tidak dapat memastikan bunyi yang didengarnya apabila
mereka tidak menunjukkan sebarang reaksi mahupun perhatian kepada kita.
ii.

Sukar mengikut arahan:

Kanak-kanak ini sukar mengikut arahan lisan. Mereka juga sukar memahami arahan
yang mudah. Mereka akan lebih kerap bertanya dan meminta supaya arahan diulang
atau tidak memberi perhatian kepada arahan atau pertanyaan guru.
iii.

Selalu berkhayal

Kanak-kanak yang tidak berupaya mendengar akan sering berkhayal di dalam kelas
serta kurang menumpukan perhatian terhadap sesuatu misalnya tidak memberi tumpuan
terhadap isi pengajaran yang disampaikan oleh guru.
iv.

Kurang melibatkan diri dalam aktiviti perbincangan

Kanak-kanak ini seringkali akan cuba mengelakkan diri daripada melibatkan diri dalam
aktiviti seumpama ini kerana mereka merasakan kehadiran mereka di dalam kumpulan
tersebut adalah sia-sia lantaran mereka gagal mendengar dan memahami apa yang
diperbincangkan.
v.

Topik yang berlainan

Kadangkala kanak-kanak ini akan cuba menyampuk perbualan yang sedang


berlangsung namun berkemungkinan mereka akan memperkatakan sesuatu di luar topik
perbincangan akibat daripada ketidakupayaan mendengar yang mereka alami.

vi.

Memerlukan bantuan daripada rakan-rakan

Kanak-kanak ini lebih cenderung untuk melengahkan tugasan yang diberi dan
memerhatikan seterusnya meniru tingkah laku rakan-rakannya kerana gagal mendengar
arahan guru. Kanak-kanak ini biasanya lebih suka mendiamkan diri kerana kesukaran
memahami apa yang disampaikan atau diperkatakan.

vii.

Cara percakapan yang janggal

Kanak-kanak yang mengalami masalah pendengaran tidak dapat menyebut sesuatu


perkataan dengan betul seperti kanak-kanak lain. Kadangkala sebutan mereka tidak
dapat difahami. Kebanyakkan bunyi-bunyi konsonan dalam perkataan ditinggalkan dan
pertuturan mengandungi bunyi-bunyi vokal sahaja contohnya saya di sebut sebagai
aya dan sebagainya.
viii.

Personaliti

Kanak-kanak ini seringkali dilabel sebagai kanak-kanak degil kerana tidak mendengar
kata, malas membuat kerja yang diarahkan ataupun digelar budak nakal kerana sering
mengalihkan perhatian. Hal ini berlaku disebabkan kesukaran yang dialami untuk
memahami arahan lisan yang diberikan menyebabkan mereka lebih suka membuat hal
mereka sendiri dan dilabel degil oleh guru.
ix.

Masalah kesihatan

Kanak-kanak ini mungkin sering mengadu mengalami masalah kesihatan seperti sakit
telinga, selsema, sakit tekak dan tonsilitis. Masalah-masalah ini biasanya berkaitan
dengan pendengaran.
KATEGORI KEHILANGAN PENDENGARAN
Dalam bidang perubatan dan pendidikan, murid-murid bermasalah pendengaran
dikategorikan mengikut tahap kehilangan pendengaran mereka. Ukuran kehilangan
pendengaran ditentukan mengikut keupayaan individu mendengar kekuatan bunyi
mengikut unit desibel (Williams,1991). Kehilangan pendengaran yang dialami oleh
seseorang individu boleh dibahagikan kepada lima tahap dan setiap tahap tersebut
memiliki implikasi yang tertentu terhadap individu yang terbabit sepertimana yang
dapat dilihat dalam Jadual 2. Jadual 2 menunujkkan kehilangan purata di kedua-dua
telinga mengikut ukuran dsibel (dB).
Individu yang mengalami kehilangan pendengaran di kedua-dua belah telinga yang
melebihi 71dB hingga 90dB di kategorikan sebagai mengalami masalah pendengaran teruk
(serever) manakala kehilangan pendengaran 91dB ke atas sebagai kehilangan masalah
pendengaran sangat teruk. Kehilanagan dalam kedua-dua kategori ini juga dikatakan sebagai
mengalami masalah pendegaran sensori neural atau pekak saraf. Manakala kehilangan
pendengaran di bawah daripada 70dB adalah dikategorikan sebagai kehilangan pendengaran
konduktif. Kehilangan pendengaran konduktif ini dialami oleh kanak-kanak dan juga orang
biasa, mereka tidak dikategorikan sebagai bermasalah pendengaran seperti kanak-kanak yang
dilabel sebagai kanak-kanak berkeperluan khas (Denes & Pinson, 1993 & Lysons, 1996).
Tahap ukuran kehilangan pendengaran yang digunakan di Malaysia adalah mengikut
ukuran kehilangan pendengaran yang digunakan oleh Jabatan Audiologi dan Sains Pertuturan,
Hospital Universiti Kebangsaan Malaysia (HUKM) dalam JADUAL 2. Walau bagaimana
terdapat sedikit perbezaan mengenai ukuran kategori kehilangan pendengaran antara sebuah
negara dengan sebuah negara yang lain. Perbezaan ini berlaku kerana perbezaan kekuataan
bunyi pertuturan dalam sesuatu bahasa. Oleh yang demikian spektrum pertuturan sesuatu bahasa

ditentukan melalui satu ujian terhadap kekuatan bunyi-bunyi pertuturan bahasa berkenaan
(Mischook & Cole,1996). Di Malaysia ukuran kehilangan pendengaran adalah berdasarkan
ukuran yang telah ditetapkan oleh HUKM dalam jadual 2.
JADUAL 2 : KLASIFIKASI KEHILANGAN PENDENGARAN
Darjah
Kategori
Penerangan
kehilangan
kehilangan
(desibel / dB)
pendengaran
20 dB ke bawah
Biasa (normal)
Darjah kehilangan pendengaran masih normal dan
boleh mendengar semua bunyi. Dikategorikan
sebagai biasa.
21 45 dB
Ringan
Kesukaran untuk mendengar bunyi yang perlahan
atau terlalu jauh. Di kategorikan sebagai biasa.
46 70 dB
Sederhana
Boleh mendengar bunyi dalam lingkungan 1
hingga 1.5 meter. Jika hendak berhubung dengan
mereka, kita perlu bercakap dengan suara kuat.
Kemungkinan kanak-kanak ini tidak sempurna
pertuturannya kerana pengalaman mereka
mendengar terhad. Di kategorikan sebagai biasa.
Tidak boleh mendengar bunyi pertuturan yang
71 90 dB
Teruk (severe)
normal Kanak-kanak peringkat ini hanya boleh
mendengar bunyi yang kuat sahaja. Menghadapi
masalah pertuturan yang teruk. Dikategorikan
sebagai mengalami masalah pendengaran.
91 dB ke atas
Sangat Teruk
Terlalu sukar untuk mendengar walaupun bunyi
yang kuat. Menghadapi masalah pertuturan yang
(Profound)
teruk seterusnya sukar berinteraksi secara lisan.
Dikategorikan sebagai mengalami masalah
pendengaran.

Jika seseorang kanak-kanak atau orang biasa dipanggil pekak oleh rakan-rakan atau
jiran, kanak-kanak ini mungkin mengalami sedikit masalah pendengaran konduktif sahaja.
Beliau masih boleh mendengar kebanyakan bunyi pertuturan dan boleh menguasai pertuturan
seperti biasa tetapi mungkin tidak dapat mendengar beberapa bunyi yang perlahan dan
bersekolah di sekolah biasa. Manakala kanak-kanak yang mengalami kehilangan pendengaran
melebehi 70dB ke atas, dia tidak dapat mendengar kebanyakkan bunyi-bunyi pertuturan.
Apabila kanak-kanak ini tidak dapat mendengar bunyi-bunyi pertuturan maka sukarlah baginya
untuk mempelajari pertuturan. Biasanya dia tidak dapat bertutur maka orang biasa akan melabel
kanak-kanak ini sebagai pekak dan bisu, mereka inilah yang bersekolah di sekolah pendidikan
khas masalah pendengaran.
MASALAH PENDENGARAN KONDUKTIF
Masalah pendengaran jenis konduktif adalah merupakan masalah pendengaran yang berlaku
akibat daripada wujudnya gangguan, halangan atau pun kerosakan pada bahagian telinga luar
dan telinga tengah sahaja. Bahagian telinga dalam masih berfungsi dengan baik serta dapat
memproses serta menghantar bunyi melalui saraf pendengaran ke otak.
Proses laluan bunyi ke bahagian telinga dalam sahaja mungkin berbeza daripada proses
yang biasa akibat daripada wujudnya ketidaknormalan keadaan pada bahagian telinga luar dan
telinga tengah. Dalam situasi individu yang mengalami masalah pendengaran konduktif,

rangsangan bunyi tidak akan melalui bahagian telinga luar atau tengah seperti kebiasaannya
sebaliknya ia akan terus memasuki bahagian telinga dalam melalui tulang mastoid. Getaran
yang diterima ini akan terus merangsang cecair yang terdapat di bahagian telinga dalam
(koklea). Masalah pendengaran konduktif ini biasanya berlaku selepas kelahiran dan bersifat
sementara kerana ia boleh diubati sekiranya diberi rawatan dengan segera.
PUNCA MASALAH PENDENGARAN KONDUKTIF
Terdapat pelbagai punca atau sebab yang mengakibatkan berlakunya masalah pendengaran
konduktif iaitu :
a) Halangan di dalam saluran telinga luar akibat daripada pengumpulan tahi telinga
(serumin) yang terlalu banyak atau sekatan benda asing.
b) Kemalangan yang menyebabkan kerosakan pada gegendang telinga akibat daripada
tekanan yang terlalu kuat seperti bunyi letupan atau jolokan benda tajam atau keras
pada gegendang.
c) Jangkitan kronik yang berlaku terhadap lapisan kulit telinga luar atau dalam telinga
yang dikenali sebagai Otitis External dan Otitis Media.
d) Ketumbuhan tetulang halus (otosklerosis) pada stapes (struktur di bahagian telinga
tengah). Kehilangan pendengaran berlaku kerana tulang stapes yang melekat pada
jendela bujur tidak dapat bergerak disebabkan berlakunya ketumbuhan tetulang di
sekelilingnya.
Otitis External berlaku disebabkan oleh jangkitan bakteria yang juga
dinamakan sebagai swimmers ear yang biasa berlaku pada para perenang
kerana kekerapan air terperangkap di dalam salur telinga.

Otitis Media berlaku disebabkan oleh tiub Eustachian tersumbat akibat demam
selsema, demam campak, tonsilitis dan jangkitan hidung serta tekak.

Jangkitan ini disebabkan tiub Eustachian tidak dapat berfungsi seperti biasa.
Jangkitan yang serius boleh menyebabkan bahagian telinga tengah dipenuhi
cecair seterusnya boleh menyebabkan kebocoran pada gegendang telinga
sekiranya rawatan segera tidak diberi.

Salur Eustachian juga boleh menjadi bengkak atau tersumbat disebabkan oleh
demam yang menyebabkan ketidakseimbangan tekanan udara di luar dan di
dalam telinga. Hal ini menyebabkan gegendang telinga tertekan ke dalam
seterusnya ia tidak dapat bergetar dengan bebas.

TAHAP MASALAH PENDENGARAN KONDUKTIF


Kanak-kanak yang menghidapi masalah pendengaran jenis konduktif akan mengalami tahap
kehilangan pendengaran dalam kategori biasa (kurang 20dB), ringan (21 45 dB) dan

sederhana (46 69 dB). Kehilangan pendengaran yang banyak akan memberikan kesan yang
lebih teruk kepada keupayaan kita mendengar bunyi.
CIRI KANAK-KANAK MASALAH PENDENGARAN KONDUKTIF
Kanak-kanak masalah pendengaran konduktif akan mengalami atau memperlihatkan ciri seperti
berikut :

Boleh mendengar sebahagian bunyi-bunyi pertuturan yang orang lain tuturkan.


Mendengar suara mereka sendiri dan suara orang lain melalui tulang (bone conduction).
Lazimnya dalam ujian pendengaran melalui tulang dan ujian pendengaran melalui udara
yang dijalankan terhadap kanak-kanak yang mengalami masalah pendengaran konduktif
akan menunjukkan perbezaan yang ketara di antara kedua-dua ujian tersebut.

MASALAH PENDENGARAN SENSORI NEURAL (SARAF)


Masalah pendengaran jenis sensori neural atau saraf adalah disebabkan oleh kerosakan yang
berlaku di bahagian telinga dalam dan saraf pendengaran. Istilah sensori neural yang digunakan
ini adalah merujuk kepada kerosakan yang berlaku pada sensori yang melibatkan koklea atau
saraf yang menjadi laluan ke otak. Masalah pendengaran jenis ini berlaku sebelum kelahiran
iaitu semasa janin berada di dalam kandungan ibu dan juga selepas kelahiran. Kehilangan
pendengaran yang berlaku adalah bersifat kekal.
PUNCA MASALAH PENDENGARAN SENSORI NEURAL
Terdapat pelbagai punca atau sebab yang mengakibatkan berlakunya masalah pendengaran
sensori neural iaitu :
a) Berlaku jangkitan kepada janin semasa dalam kandungan:
Jangkitan virus atau bakteria contohnya ibu menghidap penyakit rubella
semasa 3 bulan pertama mengandung.
Jangkitan virus oleh penyakit kelamin seperti herpes simplex, gonorrhea
dan siplis yang dialami oleh ibu atau bapa.
Kesan pengambilan dadah seperti alkohol, aspirin, kafein, kortison, kuinin
dan trankuiliser dan ubat-ubat tertentu seperti pil Thallidomide oleh ibu.
b) Berlaku semasa kelahiran:
Bayi lahir tidak cukup bulan atau kurang berat badan
Bayi mengalami anoksia ( kekurangan oksigen)
Bayi menghidap jaundis (demam kuning)
c) Berlaku selepas kelahiran:
Kemalangan teruk yang menyebabkan kerosakan koklea
Meningitis (demam yang teruk disebabkan oleh selaput yang meliputi otak
dan saraf tunjang)
Bunyi bising yang sangat kuat secara berterusan
Pengambilan bahan ototoxic atau bahan beracun seperti streptomycin,
neomycin dan kanamycin.
Presbyacusis iaitu kehilangan pendengaran disebabkan faktor ketuaan.
Penyakit Meniere berlaku disebabkan kesan vertigo (pening yang teruk),
tinnitus (bunyi desingan berterusan) dan kesan pendengaran yang terus
berkurangan.

d) Keturunan
Jika ibu bapa yang membawa gen dominan (pekak) maka risiko untuk
mempunyai anak pekak sensorineural ialah 50% manakala pembawa gen resesif
berisiko sebanyak 25%.

Penyakit Meniere lazimnya mula berlaku dalam julat umur antara 30 dan 50
tahun. Keadaan ini jarang sekali bermula pada usia yang tua. Penyakit ini
turut dikaitkan dengan istilah endolymphatic hydrops iaitu nama ini adalah
berpunca daripada fakta yang menyatakan bahawa tanda-tanda (simptom
penyakit) ini adalah disebabkan oleh lebihan cecair endolymphatic di
bahagian telinga dalam. Ini mengakibatkan berlakunya peningkatan tekanan
dalam skala media seterusnya menyebabkan kemerosotan sel-sel rerambut.
Secara serentak, tekanan ini akan sangat merangsang (overstimulates)
bahagian salur separuh bulat dan akhirnya menghasilkan rasa pening
(dizziness).

Tinnitus adalah merupakan istilah bahasa Latin bagi perkataan ringing


(dentingan) atau jingling (bunyi bergemerincing) yang mungkin dijelaskan
sebagai pengalaman berhadapan dengan kebisingan meskipun tidak wujud
sebarang stimulasi luar pada ketika itu. Bunyi-bunyi yang didengar adalah
bersifat senada (monotones) dan ianya digambarkan dengan pelbagai istilah
seperti buzzing, ringing, throbbing dan banyak lagi. Terdapat banyak
faktor penyebab namun tiga klasifikasi punca utama berlakunya tinnitus
ialah kewujudan halangan pada aliran bunyi (tahi telinga pada telinga luar,
gegendang telinga berlubang, otitis media, otosklerosis), wujud perubahan
patologikal dalam sel-sel sistem sensori koklea (presbyacusis, acoustic
trauma, toxic labrynthitis) dan wujud physical distortion pada sistem sensori
koklea.

TAHAP-TAHAP MASALAH PENDENGARAN SENSORI NEURAL


Kanak-kanak yang menghidapi masalah pendengaran jenis sensori neural atau saraf akan
mengalami tahap kehilangan pendengaran dalam kategori teruk (71dB hingga 90dB) dan sangat
teruk (91dB ke atas). Kanak-kanak inilah dikategorikan sebagai kanak-kanak bermasalah
pendengaran dan menerima pendidikan di sekolah pendidikan khas,
CIRI-CIRI KANAK-KANAK MASALAH PENDENGARAN SENSORI NEURAL
Kanak-kanak masalah pendengaran sensori neural biasanya mengalami atau memperlihatkan
ciri-ciri seperti berikut :

Tidak boleh mendengar bunyi-bunyi pertuturan langsung


Mereka hanya mendengar bunyi-bunyi yang kuat sahaja
Kerap menghasilkan nada suara yang tinggi dan bunyi-bunyi pertuturan yang
tidak difahami
Ujian pendengaran melalui tulang dan ujian pendengaran melalui udara yang
dijalankan terhadap kanak-kanak yang mengalami masalah pendengaran sensori
neural tidak menunjukkan banyak perbezaan.

MASALAH PENDENGARAN BERCAMPUR


Masalah pendengaran bercampur ialah masalah pendengaran yang melibatkan kehilangan
pendengaran konduktif dan sensori neural. Kanak-kanak ini mengalami masalah pendengaran

yang sangat teruk dan juga tergolong sabagai kanak-kanak bermasalah pendengaran yang
menerima pendidikan di sekolah pendidikan khas.
PUNCA MASALAH PENDENGARAN BERCAMPUR
Masalah pendengaran bercampur berlaku hasil daripada kedua-dua faktor iaitu kerosakan yang
berlaku dalam masalah pendengaran konduktif dan sensori neural. Misalnya masalah
otosklerosis yang menjadi punca masalah pendengaran konduktif. Pada peringkat awal,
kehilangan pendengaran mungkin sedikit tetapi ia boleh menjadi semakin teruk dan akhirnya
penyakit ini boleh merebak ke bahagian telinga dalam (Lysons, 1996). Keadaan ini akhirnya
menyebabkan masalah pendengaran konduktif berubah kepada masalah pendengaran bercampur
kerana ia telah melibatkan bahagian telinga dalam.
TAHAP-TAHAP MASALAH PENDENGARAN JENIS BERCAMPUR
Kanak-kanak yang menghidapi masalah pendengaran bercampur akan mengalami tahap
kehilangan pendengaran dikedua-dua bahagian telinga dan kebiasaan kehilangan pendengaran
adalah dalam lingkungan tahap kehilangan pendengaran yang teruk (71dB -90dB dan sangat
teruk (91dB ke atas).
CIRI-CIRI KANAK-KANAK MASALAH PENDENGARAN BERCAMPUR
Kanak-kanak masalah pendengaran bercampur akan mengalami atau memperlihatkan ciri-ciri
seperti berikut :

Mengalami kehilangan pendengaran yang sangat teruk


Tidak dapat mendengar bunyi pertuturan biasa.
Hanya dapat mengesan bunyi yang sangat kuat.
Kedua-dua ujian pendengaran melalui tulang dan ujian pendengaran melalui
udara yang dijalankan terhadap kanak-kanak yang mengalami masalah
pendengaran bercampur tidak menunjukkan perbezaan yang ketara.

MENGESAN DAN MENGUKUR KEHILANGAN PENDENGARAN

Ibu bapa adalah merupakan individu terawal yang paling berpotensi mengesan masalah
pendengaran yang barangkali dihadapi oleh seseorang kanak-kanak. Apabila mereka
mula mengesyaki anak mereka memiliki tanda-tanda kehilangan pendengaran maka
adalah amat penting untuk mereka mengambil langkah membawa bayi atau kanakkanak tersebut pergi menjalani pemeriksaan yang lebih teliti. Namun tiada salahnya
juga jika kita mengambil tindakan awal untuk mengesan sama ada kanak-kanak
mengalami masalah pendengaran atau tidak meskipun kanak-kanak tidak menunjukkan
sebarang masalah.
Beberapa cara mudah tanpa menggunakan peralatan boleh kita lakukan untuk
mengetahui bahawa kanak-kanak itu mengalami masalah melalui tingkahlaku kanakkanak terhadap tindakbalas terhadap bunyi seperti memerhatikan tindakbalas
tingkahlaku kanak-kanak yang didedahkan tehadap bunyi di persekitarannya. Ibu atau
penjaga sebenarnya boleh mengesan sendiri kehilangan pendengaran anak mereka tanpa
bantuan pakar. Beberapa kajian oleh Ling (1989) mendapati kebanyakan ibu bapa
menyatakan bahawa anak mereka tidak memberi sebarang reaksi sekalipun mereka

terdedah kepada bunyi yang bising di peresekiataran sewaktu tidur atau bermain. Jika
tanda-tanda awal ini boleh dikesan ibu bapa atau penjaga boleh anak-anak untuk
mendapatkan kepastian mengenai masalah yang dihadapi oleh kanak-kanak kepada
doktor. Hal ini kerana pengesanan awal yang dilakukan seawal mungkin adalah
penting. Sekiranya benar kanak-kanak tersebut disahkan mengalami masalah
pendengaran, maka ibu bapa boleh segera mengambil langkah susulan bagi
mengelakkan permasalahan yang lain pula timbul.

Pemerhatian tindakbalas terhadap bunyi oleh kanak-kanak boleh


membantu ibubapa untuk mengesan sama ada anak mereka
mengalami masalah pendengaran atau tidak.

Lazimnya, masalah pendengaran yang dialami oleh seseorang kanak-kanak boleh


dikesan sebelum ia berusia 12 bulan lagi. Rawatan awal boleh diberikan dengan segera
sekiranya pengesanan peringkat awal ini dilakukan. Terdapat dua teknik yang boleh
digunakan oleh ibu bapa untuk mengesan masalah pendengaran anak-anak mereka iaitu
dengan cara mendedahkan bunyi-bunyi kepada bayi tanpa pengetahuannya. Tindakbalas
bayi terhadap bunyi akan diperhatikan. Jika bayi mendengar bunyi tersebut maka ia
akan bertindakbalas dengan memalingkan kepala untuk mencari sumber bunyi tersebut
atau melakukan gerakbalas yang lain. Selain itu, bagi kanak-kanak yang berusia lebih
dari 12 bulan (sudah boleh memahami beberapa perkataan) pula boleh diuji dengan cara
memerhati pemahaman serta gerakbalasnya terhadap arahan mudah yang diberi secara
lisan terhadapnya.
Terdapat pelbagai bentuk ujian pendengaran digunakan oleh pakar perubatan mengikut
keperluan dan kesesuaian kanak-kanak. Ujian-ujian tersebut tentunya dilakukan oleh ahli
audiologi yang bertauliah dengan menggunakan peralatan berteknologi tinggi. Ibu bapa yang
mendapati anak mereka mengalami masalah pendengaran perlu membawanya menjalani ujian
yang dikelolakan oleh ahli profesional terlatih ini bagi mendapatkan keputusan tahap masalah
pendengaran yang dialami dengan lebih tepat.
JADUAL 3 . JENIS UJIAN KEHILANGAN PENDENGARAN
Ujian Pendengaran
Crib-o-gram

Penerangan
Ujian ini dijalankan sebagai saringan dan digunakan di hospital
bagi menguji kehilangan pendengaran pada bayi yang baru lahir
atau sedang berada di dalam rawatan rapi. Ukuran yang terhasil
tidak tepat kerana bayi yang baru lahir tidak bertindakbalas pada
bunyi perlahan contohnya bisikan. Ukuran yang diberikan
daripada ujian ini sekadar memberi gambaran kasar tentang
kehilangan pendengaran bayi.

Behavioral observation
audiometry (BOA)

Ujian dijalankan melalui pemerhatian tindakbalas bayi terhadap


bunyi.

Ujian sound field

Memperkenalkan ujian pendengaran dari rangsangan bunyi tanpa

melalui earphone atau dalam keadaan terbuka.


Ujian play audiometry

Semasa sesi ujian ini berlangsung, kanak-kanak akan duduk


bersama ibu atau individu lain yang rapat dengannya. Penguji
akan menggunakan boneka untuk menarik perhatian kanak-kanak
tersebut dan kemudian rangsangan bunyi akan diberikan. Jika
kanak-kanak tersebut boleh mendengar maka ia akan
menggerakkan kepalanya mencari arah bunyi tersebut dan
sebaliknya berlaku jika ia tidak boleh mendengar.

Ujian bunyi tulen


(pure tone)

Ujian ini sesuai dijalankan pada kanak-kanak yang berusia lebih


dari 30 bulan. Ujian dijalankan dengan rangsangan bunyi tulen
melalui earphone. Alat yang digunakan dalam ujian ini dikenali
sebagai audiometer. Hasil ujian boleh direkodkan dalam
audiogram. ( Bagi bayi yang berusia 0 24 bulan, alat yang
dikenali sebagai pediatric audiometer akan digunakan ).

Visual reinforcement
audiometry (VRA)

Ujian ini melibatkan pengukuhan tindakbalas menggunakan


rangsangan penglihatan (bagi bayi yang baru lahir).

Auditory brainstem
response (ABR)
Ujian Audiometer

Ujian ini menggunakan rangsangan mengenai laluan saraf


pendengaran (bagi bayi yang baru lahir).
Ujian ini boleh digunakan kepada kanak-kanak yang boleh
memberi tindak balas (umur 4 tahu ke atas) dan orang dewasa.
Ujian ini dapat mengukur kehilangan pendengaran yang tepat.
Pesakit diperkenalkan dengan rangsangan bunyi tulin pada
frekuensi 250 Hz, 500Hz, 1000Hz, 2000Hz, 4000Hz dan 8000Hz
pada kekuatan bunyi dari -10dB hingga ke 110 dB. Hasil ujian
dapat memenentukan kehilangan pendengaran yang sebenar.

KESAN TERHADAP PERTUTURAN


Pendengaran memainkan peranan penting untuk membantu kita menguasai pertuturan.
Kehilangan pendengaran yang dialami oleh seseorang kanak-kanak akan mengakibatkannya
tidak dapat mendengar bunyi-bunyi pertuturan. Oleh yang demikian tahap kehilangan
pendengaran akan memberikan kesan terhadap keupayaan mendengar bunyi-bunyi pertuturan.
Jadual 4 : Kesan kehilanagan pendengaran terhadap bunyi oleh kanakkanak bermasalah pendengaran
Tahap Kehilangan
Pendengaran
Ringan

Kesan kehilangan pendengaran terhadap bunyi


Kanak-kanak bertindakbalas terhadap bunyi yang kuat sedikit
daripada normal. Mereka tidak memberikan tindakbalas
terhadap bunyi yang perlahan. Kehilangan yang ringan tidak
memberikan masalah kepada kanak-kanak untuk mendengar
bunyi-bunyi pertuturan.

Kanak-kanak kategori ini tidak bertindakbalas terhadap bunyi

Sederhana

Teruk

Sangat teruk

melainkan bunyi yang kuat daripada normal. Mereka masih


dapat mendengar bunyi percakapan pada tahap normal tetapi
mungkin boleh tidak dapat mengesan setengah bunyi perlahan
(seperti konsonan tak bersuara) dalam pertuturan.
Kanak-kanak ini tidak bertindakbalas terhadap sebarang bunyi
atau menunjukkan reaksi terhadap bunyi. Mereka juga tidak
mendengar bunyi percakapan biasa. Menghadapi kesukaran
mengesan bunyi bertuturan dan sukar menguasai pertuturan.
Merlukan alat bantuan pendengaran untuk membantu
pendengaran.
Tidak dapat mendengar atau mengesan keseluruhan bunyi-bunyi
pertuturan melainkan bunyi yang sangat kuat juga menghadapi
kesukaran untuk membezakannya sumber bunyi. Sukar untuk
menguasai pertuturan dan memerlukan alat bantuan
pendengaran.

ALAT BANTUAN PENDENGARAN


Kebanyakan kanak-kanak yang mengalami masalah pendengaran sebenarnya masih mempunyai
saki baki (residual hearing) pendengaran (Bowe, 2000). Saki baki pendengaran yang adai tidak
dapat membantu kanak-kanak untuk mendengar bunyi pertuturan atau bunyi yang terdapat
persekitaran tanpa bantuan alat bantuan pendenagran. Pengunaan alat bantu pendengaran tidak
memulihkan pendengaran kanak-kanak tetapi ia amat penting digunakan sebagai alat yang boleh
menguatkan bunyi-bunyi pertuturan dan persekitaran (Oyer, Hall & Haas, 1994).
Umumnya, terdapat beberapa jenis alat bantu pendengaran seperti jenis belakang telinga
(behind the ear/BTE), jenis dalam telinga (in the ear/ITE), jenis yang dipakai pada badan (body
worn) dan alat pendengaran cermin mata (spectacle hearing aid). Alat ini berfungsi menguatkan
bunyi dan membantu kanak-kanak ini mendengar bunyi-bunyi bahasa namun ia tidak
memulihkan pendengaran. Konsepnya samalah seperti seseorang yang rabun memakai cermin
mata. Pandangannya akan kembali menjadi kurang jelas tatkala tidak memakai cermin mata.
Hal yang sama berlaku pada pemakai alat bantu pendengaran.
Alat bantuan pendengaran hanya membantu menguatkan bunyi pertuturan dan bunyi
yang terdapat di persekitaran pemakai alat tersebut sahaja. Bagi membolehkan alat bantuan
pendengaran ini berfungsi secara maksimum, kanak-kanak hendaklah memakai alat yang
bersesuaian dengan tahap kehilangan pendengaran yang dialami, memakainya sekerap yang
mungkin serta mendapat panduan daripada ahli audiologi. Memakainya tanpa mengikut
prosedur yang ditetapkan menyebakan alat tersebut tidak dapat berfungsi seoptimum yang
mungkin.
Sebaik-baiknya kanak-kanak yang telah dikenalpasti mengalami masalah
pendengaran perlulah segera dipakaikan dengan alat bantu pendengaran. Penggunaan alat bantu
pendengaran sebenarnya dapat membantu sebahagian kanak-kanak bermasalah pendengaran
mempelajari pertuturan sekiranya ia digunakan sejak awal lagi (Ling 1989 & Clark 1999). Di
samping itu, alat bantu pendengaran juga perlu dijaga dengan baik agar ia sentiasa berfungsi dan
digunakan sepanjang waktu.

KAEDAH BERKOMUNIKASI
Terdapat beberapa kaedah berkomunikasi yang digunakan oleh kanak-kanak bermasalah seperti
kaedah oral atau pertuturan, kaedah isyarat, bacaan bibir dan pertuturan kiu. Kadang-kadang
satu kaedah tunggal digunakan tetapi terdapat juga di sesetengah negara menggabungkan
beberapa kaedah dalam berkomunikasi contohnya mengabungkan kaedah oral dan bahasa
isyarat.
i.

KOMUNIKASI SELURUH

Menurut Stewart (1996), istilah Komunikasi Seluruh (KS) mula digunakan dalam Pendidikan
Khas murid-murid bermasalah pendengaran di Amerika Syarikat pada akhir tahun 1960an. Ia
merupakan kaedah berkomunikasi dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Pengasasnya
ialah Denton pada tahun 1976. Denton merupakan penguasa di Sekolah Kanak-kanak Khas
Bermasalah Pendengaran Maryland di Amerika Syarikat. Mayer dan Lowerbraun (1990),
menyatakan komunikasi seluruh merupakan gabungan kaedah pertuturan (oral) dengan bahasa
isyarat. Kaedah KS digunakan secara meluas di Amerika Syarikat oleh ibubapa yang
mempunyai anak-anak bermasalah pendengaran.
Rawlings dan Jensema (1997), menyatakan lebih 90% daripada ibubapa normal
mempunyai anak-anak bermasalah pendengaran percaya kaedah KS membantu kanak-kanak
bermasalah pendengaran berkomunikasi dengan ibubapa mereka. Kaedah KS juga membantu
kanak-kanak bermasalah pendengaran untuk berkomunikasi sesama mereka dan juga kanakkanak normal.
Kaedah KS merupakan kaedah terbaik yang menggabungkan pengajaran pertuturan,
bacaan bibir, penggunaan sepenuhnya sisa pendengaran, penggunaan isyarat-isyarat semulajadi,
dan ejaan jari yang diselaraskan dengan betul (Moress, 1996). Di Malaysia, kaedah KS
digunakan sebagai media komunikasi dalam pengajaran dan pembelajaran di kalangan muridmurid bermasalah pendengaran dimana pertuturan digunakan bersama-sama isyarat sewaktu
berkomunikasi (Jabatan Pendidikan Khas, 2000).
Groove (1979), Montogomery (1968) dan White & Stevenson (1975) dalam Bench
(1992), berpendapat sistem KS merupakan satu kaedah komunikasi yang efektif. Ia sama
dengan keberkesanan kaedah komunikasi oral. Thompson & Swisher (1985) dalam Bench
(9920, menegaskan KS adalah satu input bahasa yang segera sebelum kemahiran persepsi secara
auditori ditentukan. Input awal penting kerana ramai kanak-kanak bermasalah pendengaran
mempunyai masalah mendiskriminasi dan mempersepsikan apa yang mereka dengar.
KS juga merupakan satu kaedah pengajaran yang sesuai kerana ia tidak memerlukan
input linguistik yang panjang dan kompleks. Ia berkemungkinan sesuai untuk dijalankan kepada
bayi dan kanak-kanak bermasalah pendengaran yang muda berbanding mereka yang lebih tua.
Penyokong-penyokong KS menyatakan bahawa kanak-kanak bermasalah pendengaran perlu
mendapatkan sokongan daripada isyarat selain daripada pertuturan sahaja. Kanak-anak
bermasalah pendengaran akan mendapat maklumat linguistik yang lebih menyeluruh dengan
adanya isyarat kerana isyarat ini juga mewakili bahasa verbal. Mereka berpendapat jika hanya
pertuturan sahaja yang digunakan, ia hanya mampu menyampaikan separuh daripada maklumat
linguistik sahaja. KS dapat mengelakkan kegagalan yang dihadapi oleh sebilangan kanak-kanak
bermasalah pendengaran menguasai pertuturan (Denton, 1976 dalam Lynas, 1994 ).
Grove dan Rodda (1984) dalam Hyde & Power (1992), menyatakan terdapat bukti-bukti
bahawa kombinasi pelbagai kaedah seperti isyarat, ejaan jari, pendengaran, pembacaan bibir
dapat memperbaiki keupayaan linguistik kanak-kanak bermasalah pendengaran. kerana ia

mempunyai kesan yang berbeza-beza. Ia merupakan kaedah yang mempunyai sistem simbol
yang reseptif dan ekspresif terutamanya di tahap pra sekolah iaitu komunikasi di antara ibu bapa
dengan anak mereka adalah amat penting (Denton, 1972 dalam Heward & Orlansky, 1992).
Kenyataan ini disokong oleh Moores & Moores (1980) dalam Heward & Orlansky (1992), iaitu
mereka mendapati kanak-kanak bermasalah pendengaran yang sangat teruk pun akan
memahami dan menggunakan isyarat dengan berkesan. Namun terdapat juga pendidik yang
berpendapat bahawa isyarat ini akan menghalang keupayaan seseorang kanak-kanak bermasalah
pendengaran mengembangkan kemahiran berbahasa secara verbal. Rooney (1982) dalam
Heward & Orlansky (1992), berpendapat kebimbangan mereka ini tidak disokong oleh
keputusan kajian-kajian yang lain.
Potts (1974 ) dalam Lynas (1994), mendapati perlaksanaan kaedah KS ini juga
dipengaruhi oleh guru-guru yang kurang mengambil berat tentang pengurusan dan penjagaan
alat bantuan pendengaran. Mereka juga tidak mempunyai kemahiran dalam menggunakan
teknik-teknik yang menyumbang ke arah perkembangan sisa-sisa pendengaran dan bahasa
pertuturan untuk menyediakan suatu persekitaran pendidikan berdasarkan konsep kaedah KS
yang sebenarnya. Perlaksanaan kaedah KS juga terhalang kerana ia tidak disokong dengan
intervensi awal.

KOD TANGAN BAHASA MELAYU

Komunikasi seluruh Kod Tangan Bahasa Melayu (KTBM) mula diperkenalkan pada tahun 1978
hasil Jawatankuasa Kerja Komunikasi Seluruh yang dipengerusikan oleh Prof. Asmah Omar dan
dianggotai oleh para pendidik pelajar-pelajar bermasalah pendengaran. Komunikasi Seluruh
Kod Tangan Bahasa Melayu (KTBM) adalah bahasa isyarat yang menggunakan seluruh anggota
manusia termasuk mimik muka semasa berkomunikasi. Dalam pendahuluan buku komunikasi
Seluruh Kod Tangan Bahasa Malaysia (1985), Asmah menyatakan, KTBM diadakan menurut
asas-asas tatabahasa dari prinsip-prinsip bahasa Malaysia sebagaimana yang didengar, ditutur,
ditulis, dibaca, dan difahami oleh pengguna-pengguna bahasa Malaysia. Apabila KTBM ini
diperturunkan ke dalam bahasa tulisan, ia tidak akan terdapat apa-apa perbezaan dengan bahasa
Malaysia sehari-hari dari segi nahu atau makna bahasa itu. Ayatayat yang diberikan itu, sama
ada kepada kanak-kanak bermasalah pendengaran atau kepada kanak-kanak yang normal
pendengarannya akan sama makna dan nahunya. Seorang kanak-kanak pekak yang dapat
menguasai KTBM ini akan dapat bercakap dalam KTBM dan menulis Bahasa Malaysia yang
lazim digunakan. Ini adalah berbeza dengan isyarat-isyarat tangan yang lain.
KTBM juga mempunyai aturan dan keseragaman. Keseragaman ini memudahkan
kefahaman penggunaannya. Bahasa isyarat ini membabitkan beberapa prinsip dalam
pembentukan isyarat-isyarat baru, antaranya termasuklah cara pembentukan kod kata dasar, kata
majmuk, akronim, kata ganda, imbuhan, abjad dan angka dan ini adalah berbeza dengan isyaratisyarat lain.
Konsep asas KTBM menyerupai tatabahasa bahasa Melayu. KTBM mempunyai
imbuhan dan struktur ayat tertentu. Ini menyebabkan golongan kanak-kanak bermasalah
pendengaran sukar mematuhi arahan tersebut. Bagi kanak-kanak bermasalah pendengaran,
belajar KTBM adalah sama sukarnya dengan kanak-kanak normal belajar pembinaan ayat dan
penggunaan imbuhan. Di Malaysia KTBM digunakan di sekolah bagi tujuan pendidikan.
Manakala menurut Abdullah Yusoff (1994), KTBM merupakan bahasa standard bagi
golongan bermasalah bahasa asing. Kesukaran ini dilihat dari aspek pendengaran dan
masyarakat dalam usaha untuk membolehkan mereka berkomunikasi dengan lebih persis.
KTBM tidak digunakan secara tunggal tetapi sebagai satu komponen yang digabungkan dengan
pertuturan dalam kaedah KS. KTBM berbeza dengan bahasa isyarat lain kerana lebih
menkankan kepada struktur dan laras bahasa Melayu.
Kajian oleh Mojuntin Ebin (1997), telah mendapati bahawa muridmurid bermasalah
pendengaran yang menerima proses pengajaran dan pembelajaran KTBM menunjukkan
peningkatan tahap penguasaan kemahiran tatabahasa Bahasa Melayu yang tinggi berbanding
dengan kaedah oralisme. Sebanyak 83.33% murid-murid yang menggunakan KTBM telah
menguasai kesemua kemahiran tatabahasa berbanding dengan kumpulan pelajar yang
menggunakan kaedah oralisme. KTBM memberi implikasi positif dalam membantu para guru
dan murid-murid bermasalah pendengaran dalam pengajaran dan pembelajaran terutamanya
dalam pencapaian perbendaharaan kata dan ejaan.

PENUTUP
Pelbagai istilah digunakan terhadap murid-murid bermasalah pendengaran dan ianya boleh
mengelirukan. Oleh yang demikian, kefahaman ini boleh membantu anda mengenali siapakah
murid-murid bermasalah pendengaran. Mengetahui punca-punca berlakunya kehilangan
pendengaran dapat membantu anda memahami mengapa kejadian ini berlaku. Kanak-kanak
bermasalah pendengaran juga boleh dikenalpasti oleh ibu bapa atau guru dengan memerhati
tingkahlaku atau ciri-ciri murid seperti yang telah dinyatakan dan ini boleh membantu anda

melakukan tindakan sewajarnya sekiranya ciri-ciri tersebut terdapat di kalangan murid-murid di


dalam bilik darjah anda.

Bab ini telah membantu anda memahami bahagian-bahagian penting organ telinga.
Anda juga dapat mengetahui mengenai jenis-jenis masalah pendengaran yang dialami oleh
kanak-kanak. Di samping itu, anda juga dapat memahami punca-punca yang menyebabkan
berlakunya masalah pendengaran serta ciri-ciri kanak-kanak bermasalah pendengaran mengikut
jenis kepekakan yang dialaminya. Diharap bab ini sedikit sebanyak dapat membantu anda
memahami bagaimana berlakunya masalah pendengaran kepada seseorang kanak-kanak. Bab ini
juga membincangkan ciri dan kesan yang dialami oleh seseorang kanak-kanak yang mengalami
masalah pendengaran. Disamping itu anda juga didedahkan mengenai kategori kanak-kanak
yang dilabel sebagai bermasalah pendengaran serta kaedah berkomunikasi. Oleh yang demikian
diharap bab ini dapat membantu anda memahami ciri kanak-kanak yang dimaksudkan sebagai
murid bermasalah pendengaran
GLOSARI
Pinna
Helikotrema
Otitis Media

Otitis External

Otosklerosis
Presbyacusis
Inklusif
Kod Tangan
Bahasa Melayu
Komunikasi
seluruh

Pekak
sensorineural
Program
Percantuman
(Integrasi)

Cuping telinga
Ruang terbuka yang terdapat di bahagian hujung koklea.
Jangkitan kronik yang berlaku terhadap lapisan kulit telinga luar atau
dalam telinga disebabkan oleh tiub Eustachian tersumbat akibat demam
selsema, demam campak, tonsilitis dan jangkitan hidung serta tekak.
Jangkitan kronik yang berlaku terhadap lapisan kulit telinga luar atau
dalam telinga disebabkan oleh jangkitan bakteria yang juga dinamakan
sebagai swimmers ear yang biasa berlaku pada para perenang kerana
kekerapan air terperangkap di dalam salur telinga.
Ketumbuhan tetulang halus pada stapes.
Kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh faktor ketuaan.
Pendekatan pendidikan di mana murid-murid pendidikan khas dan biasa
belajar bersama di dalam satu kelas.
Sejenis bahasa isyarat yang direkacipta oleh
Kementerian Pelajaran
Malaysia hasil adaptasi daripada Bahasa Isyarat Amerika.
Kaedah komunikasi yang menggabungkan pelbagai komponen
penggunaan bahasa isyarat, ejaan jari, gerak badan, mimik muka, bacaan
bibir dan pertuturan secara serentak semasa berinteraksi dengan kanakkanak bermasalah pendengaran
Kepekakan yang berlaku akibat daripada kerosakan di bahagian telinga
dalam dan saraf pendengaran.
Program yang melibatkan penempatan pelajar khas di dalam kelas khas di
sekolah-sekolah harian biasa.

RUJUKAN
Abdullah Yusoff. 1992. Kesalahan struktur ayat di kalangan pelajar pekak: satu
kajian kes. Latihan ilmiah : Universiti Putra Malaysia, Serdang.
Abdullah Yusoff. 1994. Komunikasi Seluruh Bahasa Malaysia Kod Tangan
(BMKT): Bahasa Komunikasi Pelajar Pekak. Jurnal Dewan Bahasa. 38 (3) : 254 260.
Akta pendidikan dan peraturan-peraturan. Act 550 (2004) Kuala Lumpur: MDC Publishers Sdn.
Bhd.

Asmah Haji Omar (1986) Bahasa dan alam pemikiran melayu. Kuala Lumpur.
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Bender, W.N (1995). Learning Disabilities: Characteristics, identification, and teaching
strategies (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Bee, H. (1995) The developing child (7th edition). New York: HarperCollins College Publisher.
Bowe, F. G. (2000) Birth to five : Early childhood special education. (Ed. Ke-2). USA:Delmar
Thomson Learning.
Buletin Pendidikan Khas. 1997. November. Bil. 1
Clark, M. (1999) Language through daily living for hearing impaired children. London: British
Library Cataloging in Publication Data.
Cruickshank, W. M & Johnson, G. O. (1975) Education of exceptional children and youth (3rd
edition). New Jersey : Prentice Hall Inc.
Daniels, M. 1997. Benedictine roots in the development of deaf education:
Listening with the heart. Westport, CT: Bergin & Gravey.
Denes, P.B. & Pinson, E.N. 1993.The speech chain The physics and biology of
spoken language. New York: W.H. Freeman and Company.
Easterbrooks, S.R. 1999. Improving practices for student with hearing impairments.
Exceptional Children, 65(4),537-554.
Evans, L. 1988. Some effects of Total Communication as perceived by parents of deaf
children. Journal British Association Teachers of deaf 12 ( 6 ) : 142 146.

Gregory,S., Silo, J. & Callow, L. (1995) Deaf people in hearing worlds. United
Kingdom: The Open University.
Goh Ong Sing & The Kean Hoe . 1993. Bahasa Tulisan Pelajar Pekak:Analisis
Struktur Sintaksis ayat berdasarkan teori transformasi generatif. Kuala
Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Goh & Teh, 1993. Bahasa Tulisan Pelajar Pekak: Analisis Struktur Sintaksis Ayat
Berdasarkan Teori Tatabahasa TransformasiGeneratif. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hallahan, D.P & Kaufman J.M. (1997). Exeptional children: Introduction to
special education (7th ed.). Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.
Hyde, M. & Power, D. 1992 . The Receptive communication abilities oral the deaf
students under oral, manual and combined method. American Annals of the deaf 137 ( 5 )
: 389 396.
Jabatan Pendidikan Khas Kementerian Pendidikan Khas Malaysia.2000. Buku
Panduan Rancangan Pendidikan Individu (RPI) Murid-murid Berkeperluan
Khas.
Jaiprakash Gupta & Farid Ahmad. (1995) Pendidikan golongan cacat pendengaran dan sistem
perkhidmatan bahasa, pertuturan dan audiologikal. Jurnal Dewan Bahasa 39 (39):222237.
Kyle , J . & Woll, B ., 1985. Language in Sign. An International Perspective on Sign Language.
London : Croom Helm.
K.A. Razhiyah. (2006) Anak istimewa : panduan bagi ibu bapa membesarkan anak istimewa.
Bentong : PTS Professional Publishing Sdn. Bhd.
Lam Peng Kwan.(1980) Biologi lengkap. Petaling Jaya : Federal Publications
Sdn. Bhd.
Lane, H. 1989. When the mind bears: A history of the deaf. New York: Random House.
Ling, D. (1989) Foundation of spoken language for hearing impaired children. Washington,
D.C.: Alexander Graham Bell association for the Deaf.
Lysons, K. (1996) Understanding hearing loss. United Kingdom : Jessica Kingsley Publishers
Ltd.
Marshark, M. 1997. Raising and educating a deaf child: A comprehensive guide

to choices, controversies, and decisions faced by parents and educators.


New York: Oxford University Press.
Mayer , P. & Lowerbraun, S.1990. Total communication used among elementary
teachers of hearing impaired children. American Annals of the Deaf, 135,257-263.
McAnally, P. , Rose, S., & Quigley, S. 1994. Language learning practices with deaf children
(2nd ed.). Austin TX: PRO-ED, Inc.
Meier, R. 1991. Language acquition by deaf children. American Scientist. 60-70.
Mojuntin Ebin. 1997. Keberkesanan Kaedah Oralisme dengan Kaedah Komunikasi Seluruh
dalam Meningkatkan Tahap Penguasaan Tatabahasa Bahasa Melayu di Kalangan |Pelajar
pelajar Cacat Pendengaran.
Moores, D. 2000. Educating the deaf: Psychology, principles, and practices (5th
ed.). Boston: Houghton Mifflin.
Mischook, M. dan Cole, E. 1996. Auditory learning and teaching of hearing
impaired infants. The Volta Review, 88(5), 67-82.
Oyer, H.J., Hall, B.J.H., Haas, W.H. (1994) Speech, language
Massachusetts. USA: Allyn and Bacon.

and hearing disorders.

Peraturan-peraturan Pendidikan (Pendidikan Khas) (1997) [KP(PUU)S 10075/07/I/


Jld. II, PN(PU2) 569].
Paul, P.& Quigley, S., 1994. Language and Deafness.San Diego: Singular Publishing
Group.
Rawlings , J . Jensema, M. 1997. Hard of hearing in regular schools. Englewood
Cliffs, New Jersey Prentice Hall.
Romanik, S. 1990. Auditory skill program Bk 2 for students with hearing impairment. NSW:
Special Education & Focus Program Division NSW Department of Shool Education.
Schirmer, B. 2000. Language and literacy development in children who are deaf. Boston: Allyn
& Bacon.
Scouten, E. 1984. Turning points in the education of deaf people. Danville, IL:
Interstate Printers and Publishers.
Siegel, L. 2000. The educational and communication needs of deaf and hard of
hearing children: A statement of principle on fundamental educational
change. American Annnals of the Deaf, 145, 64-77.
Stewart, J 1996 . Congenital deafness. Dlm Northern, J.L. (pnyt) . Hearing
disoeders. USA: Allyn & Bacon.
Valli, C., & Lucas, C. 1995. Linguistics of American Sign Language (2nd.ed.).
Washington, DC: Gallaudet University Press.
Williams, P (1991) The special education handbook. An introductory reference. Milton
Keyness, Philadelphia: Open University Press.

Dampak Ketunanetraan terhadap


Perkembangan Kompetensi Sosial Anak
Didi Tarsidi, Universitas Pendidikan Indonesia

Karakteristik anak yang memiliki kompetensi sosial meliputi: mampu


mempersepsi orang lain secara tepat, asertif, responsif, berempati, memiliki rasa humor,
ramah kepada teman sebaya dan santun kepada orang dewasa (Benard, 1995; Lamb &
Baumrind - Budd, 1985). Karakteristik-karakteristik tersebut hanya dapat ditunjukkan
secara baik oleh anak yang baik fungsi kognitifnya, fungsi bahasanya serta keterampilan
sosialnya, yang dilengkapi dengan keterampilan mobilitas yang baik. Oleh karena itu,
untuk membahas dampak ketunanetraan terhadap perkembangan kompetensi sosial
anak, akan dikupas bagaimana ketunanetraan berpengaruh terhadap perkembangan
fungsi-fungsi dan keterampilan-keterampilan tersebut.
Dari hasil kajiannya terhadap sejumlah hasil penelitian, Stone (1999) mendapati
bahwa para peneliti tentang perkembangan dini anak tunanetra terbagi dalam
pendapatnya mengenai bagaimana ketunanetraan dapat berdampak terhadap
perkembangan anak. Berdasarkan evidensi yang diperoleh dari penelitian
longitudinalnya, Tobin (1972) menarik kesimpulan bahwa anak tunanetra cenderung
lebih lambat perkembangannya, tetapi biasanya teratasi menjelang masa remajanya,
sedangkan Fraiberg (1977) menyimpulkan bahwa anak yang tunanetra harus menempuh
rute yang berbeda untuk dapat tiba pada tahap perkembangan yang sama dengan
sebayanya yang awas. Sejumlah peneliti lain, termasuk Norris et al. (1957),
berpandangan bahwa dengan intervensi dini yang tepat, anak yang tunanetra akan
mencapai tahap perkembangan yang sama dalam tempo yang sama dengan sebayanya
yang awas. Kesimpulan yang bervariasi tersebut mungkin terjadi karena memang sulit
untuk menggeneralisasikan dampak ketunanetraan terhadap perkembangan semua anak,
karena setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda, dan faktor-faktor seperti
kepribadian, usia terjadinya ketunanetraan, tingkat ketunanetraannya, adanya atau tidak
adanya ketunaan tambahan, serta pengaruh lingkungan sosial maupun lingkungan
fisiknya, akan membuat setiap anak menjadi unik.
Pembahasan mengenai perkembangan kompetensi sosial anak tunanetra di sini
akan difokuskan terutama pada anak yang mengalami kebutaan sejak lahir (congenital
blindness) atau yang ketunanetraannya terjadi pada tahun-tahun pertama masa
kehidupannya, tanpa ketunaan tambahan, dengan memberi ruang untuk bermacammacam tingkat ketunanetraan. Perlu dikemukakan di sini bahwa sebagian besar orang
tunanetra memiliki sisa penglihatan yang hingga tingkat tertentu masih fungsional.
Hanya antara lima hingga sepuluh persen dari mereka yang tidak mampu mendeteksi
perubahan tingkat intensitas cahaya, dan jumlah mereka yang tidak mampu mendeteksi
cahaya sama sekali persentasinya bahkan lebih kecil lagi (Dodds, 1993.

Dampak Ketunanetraan terhadap Perkembangan Bahasa Anak

Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan
secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat defisiensi dalam bahasa anak
tunanetra (Hallahan & Kauffman, 1991; Kingsley, 1999; Umsted, 1975; Zabel, 1982).
Mereka mengacu pada banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra
tidak berbeda dari siswa-siswa yang awas dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka
juga mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra
dan awas tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan bahasa.
Karena persepsi auditer lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar
bahasa, maka tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah menemukan bahwa anak
tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak tunanetra
bahkan lebih termotivasi daripada anak awas untuk menggunakan bahasa karena bahasa
merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang lain.
Satu defisiensi yang oleh beberapa peneliti ditemukan pada bahasa anak
tunanetra tetapi dibantah oleh beberapa peneliti lain (Zabel, 1982) adalah tingginya
kadar verbalisme pada bahasa mereka, yaitu penggunaan kata-kata tanpa diverifikasi
dengan pengalaman konkret. Verbalisme ini, menurut DeMott (Umsted, 1975), secara
konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak awas, karena makna kata-kata
dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaanya di dalam bahasa. Sebagaimana
halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata yang didengarnya
meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata dan tak ada maknanya
baginya.
Penelitian tentang perkembangan bahasa dan bicara pada anak balita tunanetra
dan awas yang dilakukan oleh Umsted (Umsted, 1975) menghasilkan temuan-temuan
sebagai berikut. Anak tunanetra dan anak awas melalui proses yang sama dalam caranya
belajar bahasa dan bicara. Kaidah dasar bahasa sudah dikuasai oleh kedua kelompok
anak ini sebelum usia empat tahun. Sebagaimana halnya dengan semua anak, jika anak
tunanetra mengalami kelambatan dalam perkembangan fisiknya, proses perolehan
bahasanya pun akan lebih lambat pula. Pada awal perkembangan bicaranya, beberapa
anak tunanetra menunjukkan kelambatan, mungkin karena anak-anak ini tidak dapat
mengamati gerakan bibir dan mulut orang lain. Terbatasnya cara belajar mereka melalui
pendengaran tanpa masukan visual itu tampaknya mengurangi efisiensi perkembangan
bicaranya tetapi tidak mengakibatkan kesulitan yang signifikan. Kurangnya stimulasi
vokal dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan bicara. Jika bayi atau anak
tunanetra tidak diajak bicara dan tidak diperlakukan dengan kasih sayang, maka
perkembangan bicaranya secara umum akan terhambat. Banyak anak tunanetra lambat
dalam pertumbuhan kosa katanya, tetapi ini tampaknya terkait dengan cara orang
dewasa memperlakukannya. Pertumbuhan kosa katanya itu akan normal jika anak itu
diberi pengalaman konkret dengan obyek yang sama dan dilibatkan dalam kegiatan
yang sama sehingga mereka dapat turut melibatkan diri dalam percakapan mengenai
kegiatan tersebut.
Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa kalaupun anak tunanetra
mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata
akibat langsung dari ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain

memperlakukannya. Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun


pemahaman kaidah-kaidah bahasa.
Dampak Ketunanetraan terhadap Keterampilan Mobilitas Anak
Mungkin kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk
berhasilnya penyesuaian sosial individu tunanetra adalah kemampuan mobilitas - yaitu
keterampilan untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya. Keterampilan
mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan orientasi, yaitu kemampuan untuk
memahami hubungan lokasi antara satu obyek dengan obyek lainnya di dalam
lingkungan (Hill & Ponder, 1976). Para pakar dalam bidang orientasi dan mobilitas
telah merumuskan dua cara yang dapat ditempuh oleh individu tunanetra untuk
memproses informasi tentang lingkungannya, yaitu dengan metode urutan (sequencial
mode) yang menggambarkan titik-titik di dalam lingkungan sebagai rute yang
berurutan, atau dengan metode peta kognitif yang memberikan gambaran topografis
tentang hubungan secara umum antara berbagai titik di dalam lingkungan (Dodds et al. dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Metode peta kognitif lebih direkomendasikan
karena cara tersebut menawarkan fleksibilitas yang lebih baik dalam menavigasi
lingkungan. Bayangkan tiga titik yang berurutan - A, B, dan C. Memproses informasi
tentang orientasi lingkungan dengan metode urutan membatasi gerakan individu
sedemikian rupa sehingga dia dapat bergerak dari A ke C hanya melalui B. Tetapi
individu yang memiliki peta kognitif dapat pergi dari titik A langsung ke titik C tanpa
harus melalui B.
Akan tetapi, metode konseptualisasi ruang apa pun - metode urutan ataupun
metode peta kognitif - individu tunanetra tetap berkekurangan dalam bidang mobilitas
dibandingkan dengan sebayanya yang awas. Mereka kurang mampu atau tidak mampu
sama sekali menggunakan visual metaphor (Hallahan & Kauffman, 1991:310). Di
samping itu, para pelancong tunanetra harus lebih bergantung pada ingatan untuk
memperoleh gambaran tentang lingkungannya dibandingkan dengan individu yang awas
(Hollyfield & Foulke - dalam Hallahan & Kauffman, 1991).
Individu-individu tunanetra bervariasi dalam keterampilan orientasi dan
mobilitasnya, tetapi Hallahan dan Kauffman mengemukakan bahwa tidak mudah untuk
menentukan apa yang membuat satu individu tunanetra lebih baik keterampilannya
daripada individu lainnya. Misalnya, akal sehat mungkin mengatakan bahwa mobilitas
mereka yang masih memiliki sisa penglihatan akan lebih baik daripada yang buta total,
tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. Hallahan dan Kauffman mengemukakan
bahwa motivasi untuk mau bergerak merupakan faktor terpenting yang menentukan
kemampuan mobilitas individu tunanetra.
Usia terjadinya ketunanetraan juga tidak dapat memprediksi secara sempurna
keterampilan mobilitas seorang individu (McLinden - dalam Hallahan & Kauffman,
1991). Pada umumnya mereka yang kehilangan penglihatan pada usia dini tidak sebaik
mereka yang ketunanetraannya terjadi kemudian dalam keterampilan mobilitasnya,
tetapi ditemukan juga individu yang ketunanetraannya terjadi kemudian justru
mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. Namun, dengan
motivasi yang tepat, individu-individu ini dapat memanfaatkan kerangka acuan visual

yang pernah dimilikinya (Warren & Bollinger - dalam Hallahan & Kauffman, 1991).
Mereka dapat mengaitkan cara-cara non-visualnya dengan persepsi visual yang
diperolehnya dari pengalaman sebelumnya sebagai orang awas. Di samping itu, mereka
lebih beruntung daripada yang menjadi tunanetra sejak lahir karena pernah
mengembangkan dasar-dasar mobilitas, seperti keterampilan berjalan, yang
dipelajarinya pada masa kanak-kanak.
Untuk membantu mobilitas itu, Alat bantu yang umum dipergunakan oleh orang
tunanetra di Indonesia adalah tongkat, sedangkan di banyak negara Barat penggunaan
anjing penuntun (guide dog) juga populer, dan penggunaan alat elektronik untuk
membantu orientasi dan mobilitas individu tunanetra masih terus dikembangkan.
Banyak orang yang sudah lama menjadi tunanetra dan sudah berpengalaman
banyak dalam bepergian secara mandiri berhasil mengembangkan suatu kemampuan
yang mungkin turut membentuk anggapan orang bahwa individu tunanetra memiliki
indera keenam atau sekurang-kurangnya memberi kesan bahwa dia mempunyai indera
pendengaran yang luar biasa tajamnya. Kemampuan ini disebut "obstacle sense"
(Hallahan & Kauffman (1991:311) atau object perception (Tn., 1985), suatu
kemampuan yang memungkinkan individu tunanetra itu menyadari bahwa suatu benda
hadir di sampingnya atau di hadapannya meskipun dia tidak memiliki penglihatan sama
sekali dan tidak menyentuh benda itu. Fenomena ini sebagian dapat dijelaskan bahwa
dia mendengar gema langkah kakinya sendiri atau bunyi lain yang ditimbulkannya yang
dipantulkan oleh benda tersebut. Kehadiran benda itu juga dapat disadarinya melalui
penginderaan yang dihantarkan oleh kulitnya. Kemampuan persepsi obyek ini biasanya
dikembangkan oleh mereka yang buta total dan mungkin tidak dapat dimiliki oleh
mereka yang mengalami gangguan pendengaran. Pengalaman menunjukkan bahwa
mereka yang mampu menggunakan persepsi ini dengan baik dapat melindungi dirinya
dari menabrak benda-benda besar, dan mendapatkan rasa aman bila berjalan di
sepanjang pagar tinggi atau dinding bangunan tanpa menyentuhnya dengan tangannya
atau tongkatnya.
Agar anak tunanetra memiliki rasa percaya diri untuk bergerak secara leluasa di
dalam lingkungannya dalam bersosialisasi, mereka harus memperoleh latihan orientasi
dan mobilitas. Program latihan orientasi dan mobilitas tersebut harus mencakup
sejumlah komponen, termasuk kebugaran fisik, koordinasi motor, postur, keleluasaan
gerak, dan latihan untuk mengembangkan fungsi indera-indera yang masih berfungsi
(Bryan & Bryan dalam Zabel, 1982).
Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak
Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang
diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek
tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia kognitifnya,
dan citra atau "peta" dunia setiap orang itu bersifat individual. Setiap orang mempunyai
citra dunianya masing-masing karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan
oleh faktor-faktor berikut: (1) lingkungan fisik dan sosialnya, (2) struktur fisiologisnya,
(3) keinginan dan tujuannya, dan (4) pengalaman-pengalaman masa lalunya (Krech,
Crutchfield, & Ballachey, 1982). Lebih jauh Krech et al. mengemukakan bahwa

meskipun tidak ada dua orang yang memiliki konsepsi yang persis sama mengenai
dunia ini, tetapi terdapat banyak fitur yang sama dalam citra semua orang mengenai
dunia ini. Hal ini terjadi karena semua orang mempunyai sistem syaraf yang serupa,
karena semua orang menggunakan "ungkapan rasa" tertentu secara sama, dan karena
semua orang harus menghadapi persoalan tertentu yang mirip. Dunia kognitif
anggota suatu kelompok budaya tertentu bahkan memiliki tingkat kesamaan yang lebih
besar karena adanya tingkat kesamaan yang lebih besar dalam keinginan dan tujuannya,
dalam lingkungan fisik dan sosialnya, dan dalam pengalaman belajarnya.
Dari keempat faktor yang menentukan kognisi individu sebagaimana
dikemukakan oleh Krech et al. di atas, individu tunanetra menyandang kelainan dalam
struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan
dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkunganya. Banyak di antara
mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi mereka tentang
dunia ini sejauh tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya.
Perbedaan penting antara perkembangan konsep anak tunanetra dan anak awas
khususnya untuk konsep obyek fisik - adalah bahwa anak tunanetra mengembangkan
konsepnya terutama melalui pengalaman taktual sedangkan anak awas melalui
pengalaman visual. Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991) mengidentifikasi dua
jenis persepsi taktual, yaitu synthetic touch dan analytic touch. Perabaan sintetis
mengacu pada eksplorasi taktual terhadap obyek yang cukup kecil untuk dicakup oleh
satu atau kedua belah tangan. Bila obyek itu terlalu besar untuk dapat dipersepsi melalui
perabaan sintetis, maka dipergunakan perabaan analitis. Perabaan analitis adalah
kegiatan meraba bagian-bagian suatu obyek secara suksesif dan kemudian secara mental
mengkonstruksikan bagian-bagian tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Orang
awas dapat mempersepsi bermacam-macam obyek atau bagian-bagian dari satu obyek
sekaligus, tetapi orang tunanetra harus mempersepsinya satu demi satu atau bagian demi
bagian sebelum dapat mengintegrasikannya menjadi satu konsep.
Satu perbedaan penting lainnya antara perabaan dan penglihatan adalah bahwa
perabaan menuntut jauh lebih banyak upaya sadar untuk memfungsikannya.
Sebagaimana diamati oleh Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991), indera perabaan
pada umumnya hanya berfungsi bila aktif dipergunakan untuk keperluan kognisi,
sedangkan penglihatan aktif dan berfungsi selama mata terbuka. Oleh karena itu, untuk
memperkaya kognisinya, anak tunanetra harus sering didorong untuk mempergunakan
indera perabaannya untuk keperluan kognisi. Akan tetapi, di dalam masyarakat kita, di
mana obyek-obyek tertentu ditabukan untuk diraba, dorongan untuk mempergunakan
indera perabaan itu sering harus dibatasi demi menghindari perilaku yang bertentangan
dengan norma-norma sosial.
Baiknya persepsi taktual, sebagaimana halnya dengan baiknya persepsi visual,
tergantung pada kemampuan individu untuk menggunakan berbagai macam strategi
dalam memperolehnya (Berla; Griffin & Gerber dalam Hallahan & Kauffman, 1991).
Anak tunanetra yang membandingkan antara pensil dan penggaris, misalnya, dengan
menggunakan bermacam-macam strategi seperti membandingkan panjang masingmasing obyek itu dengan lengannya, dan mendengarkan perbedaan bunyinya bila
obyek-obyek itu diketuk-ketukkan ke meja, akan mendapatkan pemahaman yang lebih

baik tentang persamaan dan perbedaan antara kedua obyek tersebut. Satu strategi umum
yang sangat penting untuk pengembangan persepsi taktual adalah kemampuan untuk
memfokuskan eksplorasi pada fitur-fitur stimulus terpenting yaitu bagian-bagian yang
merupakan ciri khas dari obyek itu (Davidson dalam Hallahan & Kauffman, 1991).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin dini anak tunanetra dilatih dalam
penggunaan strategi ini, akan semakin baik perkembangan konsep taktualnya (Berla dalam Hallahan & Kauffman, 1991).
Seberapa besar perbedaannya dari anak awas, perkembangan konsep anak
tunanetra itu akan sangat tergantung pada dua faktor, yaitu tingkat ketunanetraannya
dan usia terjadinya ketunanetraan itu (Hallahan & Kauffman, 1991). Anak yang
berkesempatan memperoleh pengalaman visual sebelum menjadi tunanetra, sejauh
tertentu akan dapat memanfaatkannya untuk memahami konsep-konsep baru. Anak
yang tunanetra sejak lahir pada umumnya akan lebih bergantung pada indera taktualnya
untuk belajar tentang lingkungannya daripada mereka yang ketunanetraannya terjadi
kemudian. Demikian pula, anak yang buta total akan lebih bergantung pada indera
taktual untuk pengembangan konsepnya daripada mereka yang masih memiliki sisa
penglihatan yang fungsional (low vision).
Apakah ketunanetraan berdampak terhadap inteligensi? Kolk dan Tillman
(Kingsley, 1999) menarik kesimpulan yang berbeda. Kolk mengkaji sejumlah hasil studi
mengenai inteligensi anak-anak tunanetra dan menyimpulkan bahwa pada umumnya
skor IQ rata-rata tidak berbeda secara signifikan antara anak tunanetra dan anak awas.
Akan tetapi, Tillman menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan.
Dengan menggunakan skala verbal WISC (the Wechsler Intelligence Scale for
Children), Tillman melaporkan skor IQ rata-rata 92 untuk 110 anak tunanetra usia 7-13
tahun, dibandingkan dengan 96,5 untuk kelompok kontrol yang awas. Tillman
menganalisis hasil dari masing-masing item tes dan menemukan bahwa anak-anak yang
awas lebih tinggi daripada anak-anak yang tunanetra dalam item tes pemahaman dan
tugas-tugas yang menuntut anak untuk menemukan persamaan di antara item-item yang
disajikan; tidak ada perbedaan antara anak yang tunanetra dan anak yang awas dalam
skala informasi, aritmetika dan kosa kata; tetapi anak tunanetra dapat lebih baik
dibanding anak yang awas dalam pengerjaan soal-soal yang menggunakan rentangan
bilangan 1-10. Penjelasan yang dikemukakan oleh Tillman untuk perbedaan-perbedaan
itu adalah bahwa anak-anak tunanetra kurang mampu mengintegrasikan semua jenis
fakta yang sudah mereka pelajari, sehingga masing-masing item informasi itu seolaholah disimpan dalam kerangka acuan yang terpisah dari item lainnya. Anak-anak yang
tunanetra tidak mengalami kesulitan dalam item-item yang menuntut
informasi/pengetahuan umum, seperti item-item dalam skala aritmetika dan kosa kata,
tetapi mereka mengalami kesulitan dalam item-item seperti pada tes pemahaman atau
penilaian tentang persamaan antarobyek, yang menuntut anak menghubungkan berbagai
macam item informasi. Seolah-olah semua pengalaman pendidikan anak tunanetra itu
disimpan di dalam ruangan yang terpisah-pisah. Jika hal ini benar, maka dapat
disimpulkan bahwa, untuk pembentukan persepsi, penglihatan memfasilitasi anak untuk
menghubungkan pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda, hubungan yang
membantunya dalam memanfaatkan berbagai pengalamannya secara efektif.

Secara keseluruhan, Lowenfeld (Mason & McCall, 1999) mengemukakan bahwa


ketunanetraan mengakibatkan tiga keterbatasan yang serius pada kemampuan individu,
dan, pada gilirannya, sangat berdampak pada perkembangan fungsi kognitif. Ketiga
keterbatasan tersebut adalah: (1) keterbatasan dalam sebaran dan jenis pengalaman; (2)
keterbatasan dalam kemampuan untuk bergerak di dalam lingkungan; dan (3)
keterbatasan dalam interaksi dengan lingkungan. Akan tetapi, Kingsley (1999)
mengemukakan bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa keterbatasanketerbatasan akibat hilangnya penglihatan ini juga membatasi potensi. Ini berarti bahwa
dengan intervensi yang tepat, yang dapat meminimalkan keterbatasan-keterbatasan itu
sebagaimana telah banyak dibuktikan (Beadles et al., 2000; Jindal-Snape et al., 1998)potensi kognitif anak tunanetra itu dapat berkembang secara lebih baik. Bahwa kognisi
anak tunanetra berbeda dengan kognisi anak awas pada umumnya, itu memang
merupakan hakikat dari kognisi yang bersifat individual. Apakah dunia kognitif anak
tunanetra lebih miskin daripada anak awas? Itu memerlukan penelitian lebih lanjut, dan
tergantung pada alat ukur yang dipergunakan, karena, sebagaimana dikemukakan oleh
Krech, Crutchfield, & Ballachey (1982), kognisi individu itu diorganisasikannya secara
selektif. Hanya obyek-obyek tertentu, di antara semua obyek yang ada di "luar sana",
yang masuk ke dalam konsepsinya tentang dunia luar, dan karakteristik obyek-obyek
tersebut dapat berubah, disesuaikan dengan tuntutan psikologisnya. The cognitive map
of the individual is not, then, a photographic representation of the physical world; it is,
rather, a partial, personal construction in which certain objects, selected out by the
individual for a major role, are perceived in an individual manner (Krech, Crutchfield,
& Ballachey, 1982:20). Ini berarti bahwa seorang anak tunanetra mungkin miskin
dengan konsep-konsep tertentu tetapi kaya dengan konsep-konsep lain sesuai dengan
selektivitasnya.

Dampak Ketunanetraan terhadap Perkembangan Keterampilan Sosial Anak


Orang tua memainkan peranan yang formatif dalam perkembangan sosial anak.
Perlakuan orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan oleh sikapnya
terhadap ketunanetraan itu, dan emosi merupakan satu komponen dari sikap di samping
dua komponen lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan tindakan (Krech, Crutchfield &
Ballachey, 1982). Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan
masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa kecewa, sedih,
malu, dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa bersalah atau
saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam
berbagai cara, dan dalam kasus yang ekstrim bahkan dapat mengakibatkan perceraian.
Kingsley (1999) mengamati bahwa persoalan seperti ini terjadi pada banyak keluarga
yang mempunyai anak cacat. Pada umumnya orang tua akan mengalami masa duka
akibat kehilangan anaknya yang "normal" itu dalam tiga tahap: tahap penolakan, tahap
penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk orang tua tertentu
penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun. Proses "duka cita" ini
merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak penyandang semua jenis
ketunaan. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan di antara
mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka dengan anak itu, dan hubungan tersebut
pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.
Faktor-faktor lain, seperti tingkat pemahaman orang tua mengenai ketunanetraan
serta sikap masyarakat pada umumnya terhadap orang tunanetra, juga akan
mempengaruhi hubungan orang tua-anak pada masa dini. Elstner (Mason & McCall,
1999), dalam telaahannya mengenai kesulitan yang mungkin dihadapi orang tua dalam
berkomunikasi dengan bayinya yang tunanetra, mengemukakan bahwa kita perlu
mempertimbangkan perspektif orang-orang awas dalam lingkungan bayi tunanetra
tersebut. Secara tak sadar, untuk memicu respon kasih sayang mereka terhadap bayi
tunanetra itu, mereka mengharapkan bayi tersebut menampilkan reaksi dan pola
perilaku sebagaimana yang lazim ditampilkan oleh bayi awas. Oleh karena itu, mereka
salah tafsir terhadap wajah bayi tunanetra yang tampak tanpa ekspresi itu bila hal itu
ditafsirkannya sebagai mencerminkan penolakan atau tak berminat terhadap orangorang di sekitarnya. Kita biasanya mengharapkan bayi menatapkan pandangannya
kepada kita sebagai tanda adanya komunikasi - sesuatu yang tidak dilakukan oleh
seorang bayi tunanetra. Tidak tersambungkannya hubungan komunikasi tersebut,
menurut formulasi Wills (Kingsley, 1999) disebabkan karena anak tunanetra dan orangorang awas di sekitarnya berkomunikasi dalam panjang gelombang yang berbeda
komunikasi auditer versus visual.
Stone (1999) mengemukakan faktor-faktor berikut yang dapat mengganggu
perkembangan alami ikatan batin antara orang tua dengan bayinya yang tunanetra,
yaitu: tidak adanya kontak mata antara orang tua dan bayinya; sangat berkurangnya
kontak fisik antara orang tua dan anak pada saat-saat awal kehidupan anak (terutama
jika anak lahir prematur) karena anak harus dirawat di rumah sakit; orang tua merasa
bersalah karena sejauh tertentu mereka merasa bertanggung jawab atas ketunaan
anaknya; perasaan trauma karena orang tua harus menghadapi reaksi purbasangka dari
orang-orang di sekitarnya; perasaan tertekan dan cemas karena orang tua tidak tahu
bagaimana cara memperlakukan dan mengasuh anaknya itu.

Bila tidak memperoleh intervensi yang tepat, Stone mengemukakan bahwa


kesemua hambatan tersebut dapat mempersulit orang tua untuk mengembangkan ikatan
batin yang erat dengan anak, dan pada gilirannya hal tersebut dapat mengakibatkan
tidak terpenuhinya kebutuhan bayi tunanetra itu untuk mencapai perkembangan afektif
tahap awal, yaitu terbinanya human attachment (keterlekatan dengan orang lain). Jika
anak tidak memiliki pengalaman interaksi yang erat dengan orang lain, perasaan
keamanan pribadinya dalam berhubungan dengan orang lain dan akhirnya dengan dunia
akan berkurang. Hubungan erat yang penuh kasih sayang dengan orang tua dan saudarasaudaranya merupakan setting sosioemosional mendasar bagi perkembangan perilaku
afektif yang positif pada anak.
Masalah lain dapat timbul pada saat anak tunanetra itu menginjak usia
prasekolah dan mulai berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Arena utama untuk
interaksi sosial bagi anak adalah kegiatan bermain, dan kajian yang dilakukan oleh
McGaha & Farran (2001) terhadap sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa anak
tunanetra menghadapi banyak tantangan dalam interaksi sosial dengan sebayanya yang
awas. Agar efektif dalam interaksi sosial, anak perlu memiliki keterampilanketerampilan tertentu, termasuk kemampuan untuk membaca dan menafsirkan sinyal
sosial dari orang lain dan untuk bertindak dengan tepat dalam merespon sinyal tersebut.
Kesulitan yang dihadapi anak tunanetra untuk dapat mempersepsi isyarat-isyarat
komunikasi nonverbal (yang pada umumnya visual) mengakibatkan anak ini
membutuhkan cara khusus untuk memperoleh keterampilan sosial, seperti keterampilan
untuk mengawali dan mempertahankan interaksi. Tanpa keterampilan ini, anak
tunanetra sering kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dan menjadi terpencil dalam
kelompoknya. Kekelis & Sacks dan Preisler (McGaha & Farran, 2001) melaporkan
bahwa anak-anak awas pada mulanya berminat untuk berinteraksi dengan anak
tunanetra, tetapi lama kelamaan kehilangan minatnya itu ketika isyarat mereka tidak
memperoleh respon yang diharapkan. Selain dari itu, di kalangan sebayanya, anak
tunanetra memerlukan waktu untuk dapat diterima karena penerimaan sosial sering
didasarkan atas kesamaan. Anak cenderung mengalami penolakan sosial bila mereka
dipersepsi sebagai berbeda dari teman-teman sebayanya (Asher et al. - dalam Burton,
1986).
Mungkin karena faktor-faktor tersebut di ataslah maka McGaha dan Farran
menemukan bahwa anak tunanetra lebih sering melakukan kegiatan bermain repetitive
and stereotyped play. Mereka sering tidak mengeksplorasi lingkungannya atau obyekobyek, dan mengarahkan kegiatan bermainnya ke tubuhnya sendiri. Kegiatan bermain
manipulatif dan penggunaan barang mainan secara fungsional juga kurang sering
terlihat pada anak tunanetra meskipun banyak dari kegiatan bermain anak prasekolah
melibatkan obyek-obyek yang dapat berfungsi sebagai titik rujukan bersama. Sebagai
alternatif dari bermain dengan obyek adalah pretend play, tetapi anak tunanetra juga
ditemukan kurang sering dan kurang berhasil melakukan bermain simbolik atau bermain
peran. Dalam hal ini, anak tunanetra mengalami kerugian ganda, karena kegiatan
bermain fantasi sosial terkait dengan perkembangan kompetensi sosial. Selain dari itu,
anak tunanetra cenderung mengarahkan kegiatan bermainnya lebih banyak kepada
orang dewasa daripada kepada teman sebayanya. Anak tunanetra memilih untuk
berinteraksi dengan orang dewasa karena interaksi ini mungkin lebih bermakna dan
menstimulasi daripada interaksi dengan teman sebayanya, dan orang dewasa dapat

mengkompensasi keterbatasan keterampilan sosial anak tunanetra itu, misalnya dengan


mensubstitusi isyarat visual dengan isyarat verbal atau taktual. Kompensasi yang
dilakukan oleh orang dewasa tersebut mungkin dapat menjelaskan temuan Crocker dan
Orr (McGaha & Farran, 2001) bahwa anak tunanetra prasekolah, dalam setting sekolah
reguler maupun setting program rehabilitasi, 2,5 kali lebih tinggi kemungkinannya
daripada anak awas prasekolah untuk berada dekat gurunya, sedangkan anak awas 2,5
kali lebih tinggi kemungkinannya untuk berada dekat teman sebayanya.
Sehubungan dengan setting tempat bermain, Preisler (McGaha & Farran, 2001)
menemukan bahwa anak tunanetra lebih senang bermain di dalam ruangan daripada di
luar, dan menghindari tempat terbuka yang luas, terutama yang tidak memiliki
landmark sebagai titik rujukan. Hal ini tampaknya terkait dengan keterampilan orientasi
dan mobilitas anak tunanetra sebagaimana dikemukakan di atas.
Satu faktor penting lainnya adalah densitas sosial, yaitu jumlah anak di tempat
tertentu. Semakin banyak anak di tempat itu, semakin banyak kesempatan yang tersedia
untuk interaksi sosial (Fagot, 1977; Peck & Goldman, 1978). Akan tetapi, McGaha dan
Farran menemukan bahwa anak tunanetra lebih menyukai tempat dengan densitas sosial
yang rendah. Hal ini dapat dipahami karena semakin tinggi densitas sosial akan semakin
tinggi pula tingkat kebisingannya, sehingga isyarat-isyarat auditer yang diterimanya pun
menjadi lebih kompleks dan membutuhkan konsentrasi ekstra untuk menyaringnya.
(Bagi orang tunanetra, indera pendengaran merupakan substitusi utama untuk indera
penglihatan).
Oleh karena itu, untuk dapat diterima oleh kelompok sosialnya, anak tunanetra
membutuhkan bantuan khusus untuk mengatasi kesulitannya dalam memperoleh
keterampilan sosial, seperti keterampilan untuk menunjukkan ekspresi wajah yang tepat,
menggelengkan kepala, melambaikan tangan, atau bentuk-bentuk bahasa tubuh lainnya.
Bahasa tubuh (body language), yaitu postur atau gerakan tubuh (termasuk
ekspresi wajah dan mata) yang mengandung makna pesan, merupakan sarana
komunikasi yang penting untuk melengkapi bahasa lisan di dalam komunikasi sosial.
Menurut istilah yang dipergunakan oleh Jandt (Supriadi, 2001), ini merupakan bahasa
nonverbal kinesics. Jika bahasa tubuh anak tidak sesuai dengan bahasa tubuh kawankawannya, sejauh tertentu sosialisasinya dapat terganggu. Bahasa tubuh, sebagaimana
halnya bentuk-bentuk bahasa nonverbal lainnya, dapat menjadi sumber kesalahan
komunikasi atau justru memperlancarnya bila dipahami dengan baik (Supriadi, 2001).
Nuansa bahasa tubuh yang luwes, yang terintegrasikan ke dalam pola perilaku
sebagaimana yang dapat kita amati pada anak awas pada umumnya, sangat kontras
dengan bahasa tubuh yang terkadang sangat kaku yang dapat kita amati pada banyak
anak tunanetra.
Tiga ekspresi bahasa nonverbal lainnya yang diidentifikasi oleh Jandt, yaitu
proxemics (jarak berkomunikasi), haptics (sentuhan fisik), serta cara berpakaian dan
berpenampilan, juga memerlukan cara yang berbeda bagi anak tunanetra untuk
mempelajarinya. Bila kita menghendaki agar anak tunanetra diterima dengan baik di
dalam pergaulan sosial di masyarakat luas, mengajari mereka menggunakan bahasa
nonverbal merupakan suatu keharusan. Di dalam masyarakat dengan high-context

cultures, seperti masyarakat Indonesia dan masyarakat non-Barat umumnya, bahasa


nonverbal bahkan jauh lebih penting daripada bahasa verbal (Supriadi, 2001).
Mengajarkan keterampilan sosial (termasuk di dalamnya penggunaan bahasa
nonverbal) kepada anak tunanetra dapat merupakan tugas yang sangat menantang
karena keterampilan tersebut secara tradisi dipelajari melalui modeling dan umpan balik
menggunakan penglihatan. Bahasa nonverbal, yang pada umumnya diperoleh anak awas
secara insidental melalui proses modeling, harus diajarkan secara sistematis kepada
anak yang tunanetra. Akan tetapi, sejumlah peneliti telah berhasil dalam mengajarkan
keterampilan sosial kepada anak tunanetra melalui prinsip-prinsip behavioristik
(McGaha & Farran, 2001; Jindal-Snape et al., 1998; Hallahan & Kauffman, 1991).
Satu hambatan lain bagi tercapainya penyesuaian sosial yang baik bagi sejumlah
individu tunanetra adalah perilaku stereotipik (Stereotypic behavior). Perilaku
stereotipik (yang sering juga disebut mannerism atau blindism), adalah gerakan-gerakan
khas yang menjadi kebiasaan yang sering tak disadari, seperti menggoyang-goyang
tubuh, menekan-nekan bola mata, bertepuk-tepuk, dsb., yang dilakukan di luar konteks.
Hallahan & Kauffman (1991) mengidentifikasi tiga teori utama yang saling
bertentangan mengenai sebab-sebab berkembangnya perilaku stereotipik:
1) Kurangnya Rangsangan Penginderaan. Anak yang mengalami rangsangan indra
yang rendah, seperti anak tunanetra, berusaha mengatasi kekurangan ini dengan
merangsang dirinya dengan cara-cara lain. Thurrell dan Rice (Hallahan &
Kauffman, 1991) menemukan frekuensi yang lebih tinggi dalam gerakan menekannekan mata di kalangan anak-anak yang berpenglihatan minimal dibanding dengan
mereka yang berpenglihatan lebih banyak atau tidak berpenglihatan sama sekali.
Mereka percaya bahwa anak dengan penglihatan minimal dapat memperoleh
rangsangan dari dorongan-dorongan neural melalui tekanan pada matanya. Anak
buta total tidak demikian.
2) Kurangnya Sosialisasi. Dengan rangsangan sensoris yang cukup pun, isolasi sosial
dapat mengakibatkan individu mencari rangsangan tambahan melalui perilaku
stereotipik (Warren - dalam Hallahan & Kauffman, 1991).
3) Regresi ke pola-pola perilaku yang pernah menjadi Kebiasaannya bila mengalami
stress. Dengan berargumentasi bahwa anak-anak awas pun kadang-kadang kembali
ke pola perilaku yang kurang matang, sejumlah peneliti seperti Knight, Smith,
Chethik, dan Adelson (Hallahan & Kauffman, 1991) berpendapat bahwa perilaku
stereotipik mungkin merupakan cara yang bijaksana bagi anak untuk melarikan diri
ke tempat yang lebih aman untuk mengatasi situasi stress.
Belum ditemukan bukti untuk menyimpulkan bahwa satu dari ketiga penjelasan
di atas merupakan teori terbaik untuk menjelaskan penyebab perilaku stereotippik. Oleh
karenanya, lebih aman bila diasumsikan bahwa kombinasi dari ketiga teori tersebut
memberikan penjelasan terbaik tentang bagaimana terjadinya perilaku tersebut. Akan
tetapi, yang lebih penting adalah mencari cara untuk membantu anak tunanetra untuk
menghilangkan atau mengurangi perilaku stereotipik tersebut. Sejumlah peneliti telah
membuktikan efektivitas beberapa prosedur tertentu untuk itu. Jindal-Snape, Kato, dan
Maekawa (1998) berhasil menggunakan prosedur evaluasi diri (self-Evaluation
Procedures) untuk menghilangkan perilaku stereotipik pada beberapa orang anak
tunanetra usia SD. McAdam, O'Cleirigh, dan Cuvo (1993) menggunakan prosedur

manajemen diri (self-management procedures) untuk mengoreksi perilaku stereotipik


pada seorang dewasa yang tunanetra sejak lahir. Dalam suatu studi yang ditujukan
untuk mengurangi perilaku tak wajar, Fowler (1986) menggunakan prosedur monitoring
teman sebaya (peer monitoring procedure) untuk mengurangi perilaku stereotipik.
Seluruh paparan pada bagian ini menunjukkan bahwa ketunanetraan tidak secara
signifikan terkait dengan defisit dalam fungsi bahasa dan kognitif anak, tetapi
merupakan hambatan besar bagi perkembangan keterampilan mobilitas dan
keterampilan sosial, yang pada gilirannya juga merupakan hambatan bagi
perkembangan kompetensi sosialnya. Akan tetapi, dengan intervensi yang tepat,
hambatan tersebut dapat diminimalkan. Namun demikian, intervensi yang hanya
dialamatkan kepada anak tunanetra saja tidak cukup. Pada artikel lain akan dibahas
strategi intervensi yang seharusnya dipergunakan.

Referensi
(TN.). (1985). Independent Living for the Visually Impaired. Winnetka: The Hadley
School for the Blind
Beadles, R. J., Jr., McDaniel, R. S. & Waters, S. (2000). "Vocational Outcomes of
Sensory Impaired Graduates of an Adult Vocational Training Program". Journal
of Visual Impairment and Blindness. May 2000, 275-280
Burton, C. B. (1986). "Children's Peer Relationships". ERIC Digest. Urbana IL: ERIC
Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education.
Fowler, S.A. (1986). Peer-monitoring and self-monitoring: Alternatives to traditional
teacher management. Exceptional Children, 52, 573-581.
Hallahan, D.p. & Kauffman, J.m. (1991). Exceptional Children - Introduction to Special
Education. Virginia:Prentice-hall International, Inc.
Jindal-Snape, D.; Kato, M.; Maekawa, H. (1998). "Using Self-Evaluation Procedures
to Maintain Social Skills in a Child Who Is Blind". Journal of Visual Impairment and
Blindness, May 1998, 362-366.
Kingsley, M. (1999). The Effects of a Visual Loss, dalam Mason, H. & McCall, S.
(Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young
People. London: David Fulton Publishers
Krech, D.; Crutchfield, R. S.; & Ballachey, E. L. (1982). Individual in Society.
Berkeley: McGraw-Hill International Book Company.
Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for
Children and Young People. London: David Fulton Publishers
McAdam, D.B., O'Cleirigh, C.M., & Cuvo, A.J. (1993). Self-Monitoring And Verbal
Feedback To Reduce Stereotypic Body Rocking In A Congenitally Blind Adult.
RE:View, 26, 163-172.
McGaha, C. G. & Farran, D. C. (2001). Interactions in any Inclusive Classroom: The
Effects of Visual Status and Setting. Journal of Visual Impairments and
Blindness. February 2001, 80-94.
Stone, J. (1999). The Pre-school Child, dalam Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999).
Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People.
London: David Fulton Publishers
Supriadi, D. (2001). KONSELING LINTAS-BUDAYA: ISU-ISU DAN
RELEVANSINYA DI INDONESIA. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling Pendidikan pada Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Umsted, R. G. Children with visual handicaps. In J. J. Gallagher (Ed.) (1975. The
application of child development research to exceptional children. Reston, Va.:
The Council for Exceptional Children.
Umsted, R. G. Children with visual handicaps. In J. J. Gallagher (Ed.) (1975. The
application of child development research to exceptional children. Reston, Va.:
The Council for Exceptional Children.
Zabel, M. K. (1982). Characteristics of Handicapping Conditions. Dalam Neely, M.
A. (1982). Counseling and Guidance Practices with Special Education Students.
Homewood, Illinois: The Dorsey Press.

Memahami Aspek Sosio Emosi Pelajar Pintar Cerdas dan Berbakat


Rosadah Abd Majid
Aliza Alias
Universiti Kebangsaan Malaysia
Mohd Zuri bin Ghani
Universiti Sains Malaysia

Pengenalan
Walaupun pelajar pintar cerdas mempunyai bakat dan kecerdasan yang tinggi, mereka juga
tidak dapat lari malah turut mengalami tekanan hidup dan gangguan emosi, sosial, dan psikologi
seperti yang dialami oleh pelajar lain (Yewchuck & Jobagy 1991). Selain itu, Nik Azis (1999),
telah menyatakan bahawa pelajar pintar cerdas turut mengalami kegagalan untuk mengawal
perasaan ingin tahu kerana mereka mungkin mempunyai pelbagai minat dan aktif dalam
pelbagai aktiviti sekolah dan luar sekolah. Dalam konteks ini, mereka perlu mengawal perasaan
ingin tahu serta menggunakan tenaga dengan berkesan supaya mereka dapat menyiapkan tugas
sekolah dengan baik. Untuk itu, mereka perlu mengimbangi, aktiviti penerokaan kreatif dengan
aktiviti penemuan bersistem.
Sosio emosi merujuk kepada elemen yang wujud dalam interaksi seseorang dengan
individu lain dalam konteks sosialisasi, yang dikaitkan dengan keadaan emosinya. Emosi
merujuk kepada perasaan seseorang seperti gembira, rasa bangga, marah, rasa bersalah, kecewa
dan seumpamanya (Kyle, 1998). Noriah et.al (2006) mendefinisikan kecerdasan emosi
merangkumi kompetensi pribadi, kompetensi sosial, kesedaran rohani, dan kematangan. Emosi
yang kompleks seperti rasa bersalah, malu, dan bangga akan dialami oleh individu yang
mempunyai keupayaan kognitif aras tinggi (Kyle, 1998). Justeru pendidik dan ibu bapa perlu
memahami tingkah laku serta punca keunikan tingkah laku anak-anak pintar cerdas. Kefahaman
yang tepat mampu membantu memupuk sikap yang sesuai dalam kalangan pendidik dan ibu
bapa dan seterusnya membentuk penerimaan mereka terhadap keunikan tingkah laku pelajar
pintar cerdas.

Ciri-ciri kekuatan yang menimbulkan masalah


Elemen atau unsur sosio emosi boleh diperhatikan dalam konteks interaksi antara seseorang
pelajar dengan ibu bapanya, adik beradik, guru-guru, serta rakan sebayanya. Walau bagaimana
pun dalam proses interaksi sosial tersebut berkemungkinan tercetus masalah yang disebabkan
oleh ciri unik pelajar pintar cerdas dan berbakat. Ciri unik tersebut merujuk kepada ciri-ciri
kekuatan atau ciri-ciri khas yang memang ada pada pelajar PCB secara semula jadi (Clarck
1992; Seagone 1974). Antara ciri-ciri kekuatan dan keunikan yang dikaitkan dengan masalah
pelajar PCB adalah seperti dalam jadual 1 berikut:
Jadual 1: Kemungkinan Masalah yang Boleh Tercetus Kerana Kekuatan atau Potensi
Pelajar PCB
Kekuatan
Cepat faham dan ingatan baik.

Kemungkinan Masalah
Tidak sabar dengan orang lain yang tidak
sepantas dengannya.
Tidak suka perkara yang rutin.

Banyak persoalan, ingin mencari jawapan


yang bermakna.
Seronok meyelesaikan masalah; mampu
memahami perkara abstrak dan membuat
sintesis
Mencari-cari perkaitan sebab-musabab.
Membuat penakulan yang baik.
Menitikberatkan kebenaran, hak dan keadilan
Gemar mentadbir barang, peralatan atau
pun manusia
Perbendaharaan kata yang luas, yang
memudahkannya. Dia mempunyai
maklumat yang banyak lagi mendalam.
Pengharapan yang tinggi pada diri sendiri dan
orang lain
Kreatif, berinovasi; suka cara baru dalam
melakukan sesuatu.
Konsentrasi yang jitu; mampu memberikan
perhatian untuk jangka waktu yang panjang,
tekun dalam perkara-perkara yang diminati.
Sensitif, empati; bekeperluan mahu diterima
oleh orang lain
Bertenaga, sentiasa bersedia
Kemahuan yang kuat (eager)
Berdikari; lebih suka bekerja secara sendirisendiri; bergantung pada diri sendiri.
Minat, keupayaan serta kecekapan dalam
bidang yang pelbagai.
Keupayaan untuk berjenakan

Bertanyakan soalan yang memalukan. Minat


yang melampau.
Tidak mahu membuat latihan yang rutin.
Mencabar kaedah pengajaran.
Tidak berminat pada perkara yang tidak jelas
atau tidak logik, seperti adat atau perasaan.
Bimbang
dengan
persoalan-persoalan
kemanusiaan
Membuat peraturan-peraturan yang kompleks,
dianggap sebagai gila kuasa
Menggunakan perkataan-perkataan untuk
memanipulasi
keadaan;
jemu
dengan
persekolahan dan rakan-rakan yang seumur
dengannya.
Kurang
toleransi,
perfectionistic;
kemungkinan merasa tertekan.
Berkemungkinan dianggap mengganggu kelas,
dan tidak mengikut langkah-langkah yang
diberikan.
Tidak menghiraukan tugasnya atau individu
lain ketika menumpukan perhatian pada yang
diminatinya; menolak semua gangguan;
menampakkan kedegilan
Sensitif dengan kritikan atau diasingankan
oleh rakan sebaya
Kecewa sekiranya tiada aktiviti.
Berkemungkinan dianggap sebagai hiperaktif
Berkemungkinan menolak pandangan dari ibubapa; tidak konformis
Nampak seperti tidak terurus atau berselerak;
kecewa kerana tidak cukup masa.
Rakan-rakan tidak memahami jenakanya.
Berkemungkinan menjadi badut di dalam
kelas untuk mendapatkan perhatian.

Punca kepada masalah pelajar pintar cerdas


Selain dari ciri-ciri kekuatan yang boleh mencetuskan masalah seperti yang dipaparkan di atas,
terdapat juga beberapa ciri lain yang berpotensi mencetuskan masalah. Punca masalah berikut
boleh juga wujud dalam kombinasi. Antara punca-punca masalah yang dimaksudkan ialah:
1.

2.

Perkembangan yang tidak seimbang (Webb & Kleine 1993). Contohnya seperti
perkembangan kognitif yang terkehadapan. Misalnya seorang pelajar PCB mampu
memahami masalah kemanusiaan sejagat. namun perkembangan emosi yang
merujuk kepada kemampuan untuk menangani kekecewaan kerana tidak mampu
merubah keadaan seperti yang sewajarnya, tidak sebaik perkembangan kognitifnya.
Justeru perkara ini mengundang kekecewaan.
Hubungan rakan sebaya. Bagi sesetengah pelajar PCB mereka cenderung untuk
melihat ketekalan dalam sesuatu kumpulan. Justeru mereka sering dilihat terlalu
mementingkan peraturan. Adakalanya mereka mencipta permainan yang kompleks

3.

4.

5.

6.

7.

dan cuba mengurus kawan-kawan yang berkemungkinan tidak bersetuju dengan


mereka.
Kritikan terhadap diri sendiri yang bersangatan. Ini dikaitkan dengan kemampuan
mereka untuk memahami kemungkinan-kemungkinan yang ideal. Ini
mengecewakan mereka sekiranya mereka merasakan apa yang mereka lakukan atau
apa yang diperolehi tidak sejajar dengan apa yang sepatutnya (Adderholt-Elliot
1989; Powell & Haden 1984; Whitmore 1980).
Bersikap sentiasa mahu lakukan yang terbaik (perfectionist). Ini terhasil dari
pemikiran mereka yang mampu memikirkan bagaimanakah secara idealnya sesuatu
itu dilakukan. Justeru mereka mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap diri
mereka sendiri. Perkara sebegini kadang kala membantutkan perkembangan mereka
untuk mencapai ke tahap yang lebih berprestasi.
Mengelakkan diri dari mengambil risiko. Kemampuan kognitif yang tinggi turut
meningkatkan kemampuan pelajar PCB memikirkan kemungkinan-kemungkinan
negatif ekoran dari tindakan yanga akan diambil. Justeru mereka mengelak dari
mengambil risiko dan ini menjuruskan mereka akhirnya tidak mencapai tahap
potensi mereka yang sebenar (underachievement) (Whitmore 1980).
Mempunyai kemampuan yang tinggi dalam lebih dari satu domain kecerdasan (Kerr
1991). Keadaan ini mendesak pelajar PCB agar membuat pilihan tertentu terutama
sekiranya ia melibatkan masa depan dan kerjaya.
Pelajar pintar cerdas berbakat yang bermasalah (Gifted with disabilities).
Contohnya masalah fizikal seperti kecacatan boleh menjejaskan kesejahteraan
emosi pelajar tersebut walau pun ia berpotensi tinggi. Ini termasuk juga pelajar PCB
bermasalah penglihatan, bermasalah pendengaran, dan bermasalah pembelajaran
(Whitmore & Maker 1985).

Pelajar Pintar Cerdas Berbakat dan tekanan


Parke (1989), pula telah menyatakan bahawa pelajar pintar cerdas turut mengalami masalah
dalam mewujudkan pergaulan sosial yang baik. Oleh itu, pelajar pintar cerdas juga kadangkala
tertekan dengan keadaan ini. Kegagalan bagi mewujudkan pergaulan sosial yang baik berlaku
kerana pelajar pintar cerdas adalah terdiri daripada mereka yang suka bekerja sendiri, tidak suka
menjadi ikut-ikutan kepada kelompok rakan sebaya, dan tidak mudah tunduk kepada tuntutan
budaya (Parke 1989). Dalam konteks ini, pelajar pintar memerlukan bimbingan untuk bergaul
dengan rakan sebaya dan orang dewasa, tetapi bukan mematuhi kehendak orang lain secara
membuta tuli. Sebaliknya, mereka perlu belajar berdikari tanpa memisahkan diri daripada
masyarakat (Nik Aziz 1999).
Pada umumnya juga, pelajar pintar cerdas tidak suka diasingkan daripada rakan sebaya
mereka. Mereka juga tidak suka dijadikan contoh positif atau contoh negatif kepada kelas
mereka. Sekiranya keadaan seperti itu berlaku, guru kelas mendedahkan pelajar pintar cerdas
kepada sekatan atau tindakan sosial yang diadakan oleh rakan sebaya pelajar tersebut.
Fenomena ini boleh membuat pelajar pintar cerdas merasa takut atau kurang senang untuk
mendedahkan kebolehan intelektual mereka yang sebenar (Rogers 1986).
Selain itu, pelajar pintar cerdas juga turut tertekan dengan harapan yang diberikan oleh
ibu bapa dan guru mereka. Pelajar pintar cerdas sebenarnya cukup merasa takut jika mereka
gagal untuk memenuhi harapan ibu bapa dan guru mereka. Sesetengah ibu bapa menaruh
harapan yang tidak munasabah sehingga menimbulkan masalah emosi dan psikologi kepada
anak mereka, tidak ketinggalan juga ada ibu bapa yang memaksa anak mereka belajar sepenuh
masa tanpa waktu rehat yang cukup (Freeman, 1993). Guru pula mewujudkan iklim bilik darjah
yang tidak produktif apabila mereka membuat kesimpulan yang salah bahawa pelajar pintar
cerdas "tidak membuat kesilapan dalam pembelajaran, dan dengan itu, mereka tidak
memerlukan perhatian guru". Kita perlu sedar bahawa pelajar pintar cerdas, sama seperti pelajar
lain, mereka juga perlu memuaskan keperluan fisiologi, sosial, emosi, pencapaian, tazkiyah, dan
rohani (Nik Azis 1999).

Masalah yang dihadapi oleh pelajar pintar cerdas


Walaupun pelajar pintar cerdas mempunyai bakat dan kecerdasan yang tinggi, mereka turut
mengalami tekanan hidup dan gangguan emosi, sosial, dan psikologi yang melanda pelajar lain
(Yewchuck & Jobagy, 1991). Berikut adalah beberapa masalah yang dihadapi oleh pelajar
pintar cerdas:
1. Kegagalan untuk mengawal perasaan ingin tahu: Pelajar pintar cerdas mungkin
mempunyai pelbagai minat dan mungkin aktif dalam berbagai-bagai aktiviti sekolah
dan luar sekolah. Dalam konteks ini, mereka perlu mengawal perasaan ingin tahu dan
menggunakan tenaga dengan berkesan supaya mereka dapat menyiapkan tugas sekolah
dengan baik. Mereka perlu mengimbangi , aktiviti penerokaan kreatif dengan aktiviti
penemuan bersistem.
2. Kegagalan untuk mewujudkan pergaulan sosial yang baik: Pelajar pintar cerdas kerap
kali menghadapi masalah untuk mewujudkan pergaulan sosial yang baik. Mereka suka
kerja sendiri, tidak suka menjadi ikut-ikutan kepada kelompok rakan sebaya, dan tidak
mudah tunduk kepada tuntutan budaya (Parke 1989). Dalam konteks ini, pelajar pintar
memerlukan bimbingan untuk bergaul dengan rakan sebaya dan orang dewasa, tetapi
bukan mematuhi kehendak orang lain secara membuta tuli. Sebaliknya, mereka perlu
belajar berdikari tanpa memisahkan diri daripada masyarakat.
3. Kegagalan untuk menerima dan memahami kebolehan diri: Pelajar pintar cerdas
kadangkala merasa diri mereka bersifat "ganjil dan berbeza". Ini boleh menimbulkan
perasaan terasing daripada kebanyakan pelajar lain. Dengan itu, pelajar pintar dan
berbakat perlu diberi bimbingan dan didikan untuk membolehkan mereka memahami
konsep perbezaan individu dan menanam rasa sedar diri bahawa setiap insan
mempunyai kelebihan dan kelemahan yang tertentu. Ini semua merupakan pemberian
Allah bagi menguji tahap keimanan dan ketakwaan insan.
4. Kegagalan untuk membina sistem akhlak yang mulia: Ramai pelajar pintar cerdas
berminat untuk membincangkan isu-isu yang berkaitan dengan falsafah, nilai, dan etika
hidup. Namun tanpa bimbingan ibu bapa atau orang dewasa yang lain, mereka tidak
berupaya membina sistem nilai hidup yang memberi tempat yang sewajamya kepada
ilmu naqliyyah, pemikiran rasional, pengalaman empiris, dan intuisi intelek.
5. Kegagalan untuk memenuhi harapan ibu bapa dan guru: Sesetengah ibu bapa
menaruh harapan yang tidak munasabah sehingga menimbulkan masalah emosi dan
psikologi kepada anak mereka. Yang lain pula memaksa anak mereka belajar sepenuh
masa tanpa waktu rehat yang cukup (Freeman 1993). Guru pula mewujudkan iklim bilik
darjah yang tidak produktif apabila mereka membuat kesimpulan yang salah bahawa
pelajar pintar cerdas "tidak membuat kesilapan dalam pembelajaran, dan dengan itu,
mereka tidak memerlukan perhatian guru". Kita perlu sedar bahawa pelajar pintar
cerdas, sama seperti pelajar lain, perlu memuaskan keperluan fisiologi, sosial, emosi,
pencapaian, tazkiyah, dan rohani (Nik Azis 1999). Untuk membina skim tindakan dan
skim operasi yang canggih, pelajar pintar cerdas memerlukan persekitaran rumah dan
iklim bilik darjah yang konstruktif. Ini adalah kerana proses refleksi dan pengabstrakan
bagi membina skim tindakan dan skim operasi menjadi begitu sukar untuk dijalankan
dalam suasana yang tidak tenteram.
6. Kegagalan untuk menerima orang lain: Sesetengah pelajar pintar dan berbakat
menumpukan sepenuh perhatian kepada aktiviti sendiri, kecenderungan mengasingkan
diri, dan sentiasa dihujani pujian sehingga mereka membina sikap memandang remeh
terhadap kebolehan orang lain (Sicola 1990). Mereka menjadi sombong .dan bersifat
bangga diri secara berlebihan. Dalam konteks ini, pelajar pintar perlu diberi bimbingan
untuk memahami dan menghayati konsep kesedaran rohani, dengan A1lah sahaja yang
bersifat sempurna dan layak menerima segala pujian.
Steinberg (1993) dan Steinberg dan Belsky (1991) mengemukakan teori pergolakan dan
tekanan mengatakan masa remaja adalah satu peringkat pertikaianemosi yang tidak dapat

dielakkan. Beliau percaya perubahan hormon semasa akil baligh menyebabkan perubahan atau
pergolakan yang berlaku secara tiba-tiba dalam kalangan remaja. Pergolakan ini adalah
perubahan biologis yang tidak dapat dielakkan.
Oleh yang demikian dapatlah dirumuskan bahawa pelajar pintar cerdas juga adalah
merupakan insan biasa yang sudah pastinya tidak dapat lari dari masalah. Oleh itu, mereka juga
sudah pastinya turut mengalami tekanan seperti insan lain, cuma mungkin cara dalam
menangani tekanan itu adalah berbeza dengan pelajar normal yang lain.
Faktor Pengaruh Dan Hubungan Dengan Rakan Sebaya
Setelah meneliti kajian-kajian yang lepas, dapat dibuat kesimpulan bahawa faktor pengaruh
rakan sebaya juga merupakan faktor yang dominan dalam mempengaruhi seseorang pelajar itu
menjadi pintar cerdas dan berbakat. Kajian Gross (1993) mengenai penyesuaian dan
perkembangan pelajar pintar cerdas dan berbakat berpendapat bahawa, lebih pintar seseorang
pelajar itu maka mereka akan mengalami lebih kekurangan dari segi hubungan sosial dan juga
turut kekurangan dari segi penyesuaian emosi dengan rakan sebaya. Beliau juga berpendapat
bahawa majoriti kanak-kanak ini (IQ melebihi 160) biasanya lebih suka memendamkan masalah
mereka. Secara lahiriahnya mereka kelihatan mempunyai tahap hubungan sosial yang baik
namun secara dalamannya mereka sebenarnya lebih terasa kesunyian, terasing dan sukar untuk
bergaul dengan rakan seusia mereka.
Kajian terhadap hubungan pelajar pintar cerdas dan berbakat dengan rakan sebaya telah
menunjukkan bahawa pelajar pintar cerdas dan berbakat di peringkat umur 4 hingga 7 tahun
hanya bergaul atau mencari rakan yang dapat berkongsi sesuatu aktiviti, rakan yang dapat
memberi bantuan dan melindunginya dari sikap buruk rakan yang lain. Manakala bagi pelajar
pintar cerdas dan berbakat di peringkat umur 10 tahun dan keatas pula, mereka memilih rakan
untuk berkongsi minat, berkongsi perasaan dan rahsia peribadi, serta memilih rakan yang dapat
menunjukkan sifat menghormati dan sayang menyayangi diantara satu sama lain. Setelah pelajar
pintar ini meningkat lebih dewasa barulah mereka mula memahami bahawa hubungan diantara
rakan adalah hubungan yang bersifat saling memerlukan diantara satu sama lain
(interdependent) (Selman 1981).
Walau bagaimanapun di peringkat umur 10 tahun dan ke atas pelajar pintar cerdas dan
berbakat turut mengalami kesukaran untuk berhubung dengan rakan seusia mereka walaupun
mereka tahu bahawa hubungan diantara rakan adalah hubungan yang bersifat saling
memerlukan diantara satu sama lain (interdependent) (Selman, 1981). Hal ini terjadi kerana
tahap pemikiran pelajar pintar cerdas adalah jauh lebih terkehadapan jika dibandingkan dengan
rakan seusia mereka. Ini menyebabkan ada diantara pelajar pintar cerdas lebih gemar untuk
mencari rakan yang lebih tua daripada mereka. Sifat pelajar pintar cerdas dan berbakat yang
sentiasa terkehadapan dari segi pemikiran,tingkahlaku dan daya bersosial seterusnya
menyebabkan mereka tidak diterima oleh rakan seusia mereka (Dahlberg 1992, dan Kennedy
1995).
Selain itu, banyak perhatian telah diberi dalam mengkaji sikap dan pengaruh rakan
sebaya terhadap pencapaian akademik seseorang pelajar di peringkat remaja. Peranan rakan
sebaya sebagai agen mobiliti sosial mempunyai pengaruh yang besar terhadap perlakuan dan
pencapaian remaja dalam bidang akademik. Zaman remaja merupakan peringkat umur yang
penuh dengan cabaran. Pendapat ini di teguhkan lagi dengan kajian oleh Erickson yang
mendapati bahawa peringkat umur remaja adalah peringkat di mana golongan ini mengalami
konflik identiti. Mereka cuba membentuk identiti sendiri seperti cara berpakaian, tingkah laku,
memilih rakan sebaya dan lain-lain lagi. Semasa di zaman remaja ini, perhubungan seseorang
remaja dengan rakan sebayanya menjadi semakin penting. Semasa di peringkat sekolah lagi,
para remaja mempunyai masyarakatnya yang tersendiri, ia dikenali sebagai budaya remaja.
Budaya remaja ini boleh bertindan lapis ataupun berasingan daripada masyarakat umum.
Kumpulan rakan sebaya sememangnya mempunyai impak yang kuat keatas perkembangan
konsep kendiri remaja. Remaja juga biasanya tidak mahu ketinggalan dengan budaya remaja
yang dibawa oleh rakan-rakan mereka. Misalnya budaya bercouple, berpakaian, beridentiti,
bertindak dan berbagai-bagai lagi.

Coleman (1985) mengatakan bahawa budaya remaja merupakan satu budaya homogen
yang berasingan dan mereka cuba untuk mengasingkan atau menyingkirkan unsur-unsur
tradisional. Budaya remaja menyediakan elemen-elemen simbolik yang boleh digunakan untuk
membentuk identiti diluar lingkungan unsur-unsur kelas dan pendidikan. Ia menekankan satu
perhubungan yang tidak terikat, tidak tergolong dalam rangka pekerjaan dan satu perhubungan
yang membawa komitmen. Ia membahagikan antara remaja dengan masyarakat umum dan
membantu remaja mencari rakan sebaya yang sealiran pendapat dengan mereka serta
membentuk identiti yang berhubungan dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya tersebut.
Prinsip bahawa tingkah laku remaja amat di pengaruhi oleh rakan sebaya dan juga manusia
memilih rakan di antara satu sama lain kerana sifat-sifat yang sama adalah berlandaskan
beberapa kajian lepas tentang remaja yang membentuk budaya remaja berdasarkan persamaan
tingkah laku.
Masalah Tidak Mencapai Tahap (Underachievement)
Piirto (1999), telah menyatakan bahawa pelajar pintar cerdas mempunyai 17 jenis personaliti
iaitu seperti personaliti kreatif, berimaginasi, akal yang tajam, mempunyai gerak hati,
keterbukaan, keamatan yang tinggi dalam hal-hal tertentu, tekun, mudah membuat persepsi,
mementingkan kesempurnaan, bersungguh-sungguh, tabah hati, berani mengambil risiko,
disiplin kendiri, bertoleransi, berkemahuan yang tinggi dan mementingkan penghasilan kendiri
(self-efficacy). Kesemua ciri ini dimiliki oleh pelajar pintar cerdas yang berjaya, namun bagi
pelajar pintar cerdas yang tidak mencapai tahap (TMT), ciri-ciri tersebut tidak dapat dikenal
pasti dengan jelas. Justeru ciri-ciri unik pelajar pintar cerdas ini perlu diterokai dan difahami
bagi mengelakkan daripada berlakunya fenomena TMT. Ciri-ciri yang disenaraikan di atas
banyak dikaitkan dengan sosio emosi pelajar tersebut.
TMT secara ringkasnya merujuk kepada pelajar-pelajar yang tidak mencapai potensi
atau kebolehan secara optimum dan bakat yang ada tidak digunakan sepenuhnya dengan cara
yang betul dan berkesan (Renzulli & Park 2000). Mengikut laporan The Carnegie Corporation
(1996) dalam Davis dan Rimm (2004), fenomena TMT kebanyakannya berlaku dalam kalangan
pelajar yang miskin atau berstatus sosio ekonomi yang rendah. Bagaimanapun fenomena ini
juga turut berlaku di kalangan pelajar yang lahir dalam golongan berada (kaya) namun
jumlahnya adalah amat kurang jika dibandingkan dengan golongan SES rendah. Mengikut
Richert (1991), fenomena TMT adalah amat sukar untuk digambarkan dalam bentuk statistik,
namun fenomena ini adalah merupakan satu masalah besar yang berlaku dalam jumlah yang
agak besar. Oleh itu, bagi mengelakkan daripada fenomena ini berterusan pelajar pintar
memerlukan sokongan dan bimbingan daripada keluarga mereka. Keluarga memainkan peranan
yang penting dalam menentukan kejayaan pelajar PCA ( Rizza 1997).
Tidak ketinggalan juga fenomena TMT boleh berlaku dikalangan pelajar pintar apabila
seseorang individu seperti ibu, bapa atau guru meletakkan harapan yang terlalu tinggi terhadap
mereka. Plucker dan Stocking (2001), telah membuat kajian ke atas seorang pelajar pintar iaitu
Craig. Craig merupakan seorang pelajar yang cemerlang malah gurunya menganggap segala
hasil kerja yang dilakukan oleh Craig sebagai superb. Bagaimanapun Craig akhirnya menjadi
seorang pelajar yang gagal kerana guru dan ibu bapanya meletakkan harapan yang terlalu tinggi
ke atasnya. Berdasarkan cerita Craig itu tadi, kita sebagai ibu, bapa atau guru perlulah berhatihati dalam meletakkan harapan terhadap anak atau anak didik kita.
Selain itu, fenomena TMT turut terjadi di kalangan pelajar pintar apabila suasana
pembelajaran membosankan. Pengajaran guru tanpa mengira kebolehan dan ciri unik seseorang
pelajar akan melahirkan pelajar TMT. Ini kerana pelajar akan menjadi kurang minat dan hilang

tumpuan semasa belajar. Pelajar seterusnya akan mengabaikan pelajaran tersebut, walaupun
pada hakikatnya beliau dapat menguasai pelajaran tersebut (Hershey & Crowe 1989).
Kesimpulan
Fenomena yang diperbincangkan mengukuhkan lagi saranan agar pelajar pintar cerdas berbakat
diberi pendekatan pendidikan khas sesuai dengan keperluan pembelajaran mereka, dan juga
pembelajaran yang holistik. Tuntutan bagi memenuhi keperluan pendidikan pelajar-pelajar
tersebut adalah menjadi kebertanggungjawaban ke atas pendidik dan ibu bapa. Pelajar pintar
cerdas berhak difahami dan berhak menerima pendidikan yang sesuai dengan keperluan mereka
dalam pelbagai domain pembelajaran selari dengan domain perkembangan mereka. Memahami
dan menerima keunikan pelajar pintar cerdas adalah pra syarat kepada perancangan dan
perlaksanaan pendidikan yang sesuai untuk mereka. Salah tangani pelajar pintar cerdas akan
membawa kerugian kepada masyarakat, keluarga pelajar, dan negara. Ini kerana ia seumpama
pembaziran bakat yang bukan sahaja tidak adil kepada pelajar terbabit malah ia turut merugikan
pembangunan tamadun negara dan kemanusian sejagat.

Rujukan
Adderholt-Elliott, M. (1989). Perfectionism: What's so bad about being good? Minneapolis:
Free Spirit.
Clarck, B. (1992). Growing up gifted. New York: Merrill.
Coleman, M .1985. The Adolescent Society. New York : Free Press Of Glencoe.
Dahlberg, W. (1992). Brilliance-The childhood dilemma of unusual intellect. Roeper Review,
15, 7-10.
Davis, G.A., Rimm, S.B. (2004). Education of the gifted and talented. Englewood Cliffs,NJ:
Prentice Hall
Freeman, J. 1993. When earning interferes with learning dlm. Wallace, B. & Adams, H.B.
(Pnyt..) Worldwide Perspectives on the Gifted Disadvantaged. Bicester, Oxon: AB
Academic Publishers.
Gross, M. U. M. 1993. Exceptionally gifted children. London: Routledge
Hershey, M &; Crowe, B.. 1989. Hidden Meanings and how They Interfere: When Independent
Study Doesn't Work, Gifted Child Today (GCT), v12 n1 p31-33.
Kennedy, D.M. (1995). Glimpses of a highly gifted child in a heterogeneous classroom. Roeper
Review. 17, 164- 168.
Kyle, R.V. 1998. Children and their development. New Jersey: Prentice Hall.
Kerr, B. (1991). A handbook for counseling the gifted and talented. Alexandria, VA: American
Association for Counseling and Developmen
Nik Azis Nik Pa. 1999. Potensi intelek. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Nik Azis Nik Pa. 1994. Mitos Dan Realiti Tentang Pelajar Pintar Cerdas. Jurnal Kebajikan, Vol
16 No 2.
Noriah Mohd Ishak, Zuria Mahmud, Ramlee Mustapha & Nor Rihah Mohd. Nadzir. 2001.
Personality Profiles of College Students in technical and non-technical fields: Implication
towards mental health. Pascasidang Technology and Vocational Technical Education:
Globalization and Future Trends (Vol 1.), hlm. 300-308.
Noriah Mohd. Ishak, Ramlee Mustapha, Zuria Mahmud & Siti Rahayah. 2006. Emotional
Intelligence of Malaysian Teachers: Implications on workplace productivity.
International Journal of Vocational Education and Training, 14(2), 8-24.
Parke, B. 1989. Gifted Students In Regular Classrooms. Boston, MA.: Allyn and Bacon
Piirto, J. 1999. Talented children and adults; their development and education. Ed. ke-2. Ohio:
Merrill Prentice Hall

Plucker, J.A., and Stocking, V.B. (2001). Looking outside and inside: Self-concept
development of gifted adolescents, Exceptional Children, v67, 534-48.
Powell, P.M., & Haden, T. (1984). The intellectual and psychosocial nature of extreme
giftedness. Roeper Review, 6(3), 131-133.
Renzulli, J.S & Park, S. 2000. Gifted dropouts: The who and the why. Gifted child quarterly;
44, 261-271
Richert, E.S. 1991. Rampant problems and promising practices in identification. Dlm.
Colangelo, N. & Davis, G.A. (pnyt.). Handbook of gifted education, hlm. 81-96. Boston:
Allyn & Bacon.
Rizza, M.G. 1997. Exploring Successful learning with talented female adolescents. Tesis Ph.D.
University of Connecticut. UMI Proquest Digital Dissertations -Full Citation & Abstract.
(atas talian) http://wwwlib.umi.com/dissertations/fullcit/9806187/6 (25 Jun 2002).
Rogers, K. 1986. Do The Gifted Think And Learn Differently? A Review Of Recent Research
And Its Implications. Journal for the Educational of the Gifted, I (10): 17-40.
Selman, R.L. (1981). The child as a friendship philosopher. In S.R. Asher & J.M. Gottman
(Eds.), The development of children's friendship. (pp. 242-272). New York: Cambridge
University Press.
Sicola, P. 1990. Where Do Gifted Students Fit? An Examination Of Middle School Philosophy
As It Relates To Ability Grouping And The Gifted Learners. Journal for the Educational
of the Gifted, 14, 37-49.
Steinberg, L. 1993.Gifted Adolescence. New York: McGraw-Hill, Inc.
Stenberg, L. & Belsky, J. 1991. Infancy, Childhood, & Adolescenc: Development in Context.
New York: McGraw-Hill, Inc.
Webb, J.T., & Kleine, P.A. (1993). "Assessing gifted and talented children." In J. Culbertson
and D. Willis (Eds.), Testing young children (pp. 383-407). Austin, TX: Pro-Ed.
Whitmore, J.R., & Maker, C.J. (1985). Intellectual giftedness in disabled persons. Rockville,
MD: Aspen.
Yewchuck, C. & Jobagy, S. (1991). Gifted Adolescents at risk for suicide, European Journal
for High Ability. 2, 73-85.

Cabaran Ibu Bapa Yang Mempunyai Anak Autisme


Mohd Mokhtar Tahar
Pua Yoke Fang
Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia

Pendahuluan
Leo Kanner, merupakan orang yang pertama melapurkan tentang autisme dalam artikelnya pada
tahun 1943. Pada tahun 1944, Asperger secara berasingan telah menentukan seramai empat
orang kanak-kanak dikategorikan sebagai autisme. Lorna Wing dan Judith Gould pada tahun
1979 telah mengemukakan konsep Ketidakupayaan Tiga Segi Wing (Wings Triad of
Impairment) untuk memberi gambaran tentang ketidakupayaan yang dialami oleh kanak-kanak
autisme itu. Pada tahun 1981, setelah memerhatikan wujudnya ketidaksamaan ciri-ciri antara
kanak-kanak autisme, Lorna Wing mengemukakan pendapat bahawa autisme ini mungkin
wujud dalam satu julat (autistic continuum). Seterusnya pada tahun 1996, Lorna Wing
mengemukakan Kecelaruan Spektrum Autisme (autistic spectrum disorder) untuk memberi
definisi yang lebih luas tentang autisme.
Autisme berasal dari pada perkataan Greek auto yang bermakna diri dan ism yang
bermakna keadaan. Dengan perkataan lain, autisma merujuk kepada satu keadaan di mana
seseorang itu sentiasa bersendirian. Pada masa kini, autisme telah diterima ramai sebagai satu
kecelaruan neurologi yang kompleks yang mempengaruhi cara seseorang itu menghubungi atau
berkomunikasi dengan orang lain (Jordan,1999). Autisme biasanya juga dirujuk sebagai satu
gangguan yang berbentuk spektrum dimaana ciri-cirinya boleh wujud dalam mana-mana
kombinasi dan dengan keadaan keterukan yang berbeza. Kanak-kanak autisme boleh dijumpai
di dalam setiap negara di merata dunia tanpa mengira kaum, kumpulan etnik atau status
ekonomi (NAS,2003).
Ciri-ciri autisme mungkin atau tidak dapat dikesan pada kanak-kanak berumur dari 18 hingga
24 bulan, tetapi biasanya menjadi ketara pada 24 bulan hingga 6 tahun. Kemahiran seperti
bercakap yang telah dicapai secara perlahan-lahan merosot. Mengikut Ketidakupayaan Tiga
Segi Wing yang telah diterima ramai dalam mengesan autisme, kanak-kanak autisme
menunjukkan ketidakupayaan dalam tiga bidang yang ketara, iaitu:
i.

ii.

iii.

Interaksi sosial : Kanak-kanak autisme itu menghadapi masalah untuk


menceburi diri dalam interaksi yang berbalasan dan keadaan masalah itu boleh
berbeda dari langsung tidak menghiraukan orang lain kepada aktif tetapi ganjil.
Komunikasi dan bahasa: kanak-kanak autisme didapati kurang menghargai dan
menyukai kegiatan sosial dan komunikasi. Komunikasi dan bahasa Puan Pua
biasanya hadir dalam bentuk tertentu sahaja.
Imiginasi: Kanak-kanak autisme tidak berkeupayaan untuk bermain secara
berimgnasi dengan alat permainan, ataupun dengan budak atau orang dewasa
yang lain (Jordan,1999).

Tujuan Kajian
Tujuan kajian ini adalah untuk meliahat apakah cabaran, semasa, selepas dan tindakan
yang diambil oleh oleh ibu bapa yang mempunyai anak autisma. Tujuan lain adalah satu
perkongsian maklumat kepada ibubapa yang mempunyai anak autisme.

Metodologi Kajian
Kajian ini adalah kajian diskritif dengan menggunakan reka bentuk single case
design. Oleh itu tidak boleh dibuat generalisasi kepada sebarang populasi umum. Apa yang
boleh di dapati di sini pola cabaran dan tekanan yang dihadapi oleh itu ibubapa yang
mempunyai anak austisma melalui temu bual dan pemerhatian dilakukan.
Dapatan
A. Cabaran Ibu Bapa
Pada peringkat awal sememangnya tidak dapat dinafikan ibubapa yang mendapat anak autisme
akan mengalami rasa keliru, emosi terkejut, penafian, salah menyalahkan, kemarahan, tidak
bermaya dan kemurungan.
i.

Diagnosis Awal

Anak Puan Pua, YC dilahirkan pada 24-11-88. Dia dilahirkan dengan cara normal
dengan bantuan forcep selepas enam jam dicetuskan kelahiran di sebuah rumah bidan swasta.
Sebagai anak sulong, perkembangan awal YC adalah normal. Dia mula menyebut Oh..oh dan
pa-pa pada umur sembilan bulan dan boleh membaca perkataan dari pada kad perkataan ketika
berumur 18 bulan. Dia sangat suka didukung dan keluar bersiar-siar. Keistimewaannya mula
diperhatikan sejak umurnya 24 bulan. Oleh sebab YC merupakan anak sulong, Puan Pua tidak
mempunyai pengetahuan tentang kanak-kanak khas. Tambahan pula, tidak ada ahli keluarga
terdekatnya mempunyai kanak-kanak khas. Walaupun ciri-cirinya mungkin telah muncul
sebelum itu, tetapi pada masa itu tidak pernah terlintas dalam fikiran Puan Pua untuk memberi
perhatian lebih tentang tingkah laku anaknya yang sedikit aneh itu. Yang pasti, dia tidak bisu
dan bukan pekak. Puan Pua mempunyai tanggapan bahawa mungkin anak lelaki mempunyai
tingkah laku yang mencabar sedikit untuk dijaga dan lambat bercakap. Sehinggalah dia mula
menghadiri sebuah taska pada umur tiga. Ketika itu, ciri-ciri autismenya menjadi semakin
ketara dan barulah Puan Pua terasa bimbang untuk mengetahui apakah yang tidak kena pada
anaknya itu.
Puan Pua, sebenarnya telah membuat pemerhatian dengan lebih terperinci tingkah laku
YC. Semasa YC berumur lebih kurang dua tahun, dia mula menunjukkan temper yang lebih
dan mempunyai kelakuan yang berulan yang luar biasa. Misalnya, bila dia hendakkan sesuatu
benda seperti permainan kereta, seandainya YC tidak dapat kereta tersebut, dia akan menangis
dengan kuat dan melemparkan diri ke lantai, enggan beredar dari tempat itu. YC juga suka
membuang /sampah/ seperti daun atau apa sahaja yang dapat dikutip ke dalam longkang. YC
suka melihat air yang mengalir membawa benda itu pergi dengan berulang kali dan
berkelakuan seperti sesuatu yang mesti tidak boleh dilepaskan. Puan Pua terpaksa
mengheretnya pulang dari longkang. YC juga bersifat pemilih terhadap makanan dan pakaian,
misalnya bila sedikit cecair terkena pada pakaiannya, dia mesti menyalin pakaian itu serta
merta, walaupun Puan Pua marah atau cuba menghentikan perbuatannya dengan cuba
memukulnya. Walaupun dicuba membetulkan tingkah lakunya dengan paksaan atau dendaan
tetapi Puan Pua memerhatikan bahawa YC sentiasa menunjukkan air muka, yang menunjukkan
seolah-olah dia langsung tidak faham penjelasan yang diberikan, kemarahan yang ternyata
dalam percakapan atau reaksi muka . Dia hanya takut pada rotan atau sebarang aksi cubaan
untuk memukulnya, di mana dia akan cuba mengelakkan diri. Kadang-kadang dia akan ketawa
secara tiba-tiba tanpa henti atau menjerit ketakutan dan menangis bertalu-talu dan susah
dipujuk. Walaupun adakalanya, berasa sungguh risau dengan perangai yang aneh dan susah

dijaga. Puan Pua tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ini tidak lagi termasuk dari tindakan dan
pandangan masyarakat apabila melihat kelakuan YC seperti menjerit ditempat umum, Kalau
diikutkan hati tentunya YC tidak berpeluang keluar.
Pada Disember 1991, semasa YC berumur tiga tahun, dia dimasukkan ke sebuah taska.
Semasa berada di situ, YC menunjukkan kelakuan yang luar biasa berbanding dengan kanakkanak lain di mana dia langsung tidak dapat mengikuti rutin orang lain. Dia sentiasa berlari ke
sana ke sini dan enggan mengikuti sebarang pengajaran guru. Dia tidak pandai memakai kasut
atau baju, dan YC juga belum berkemahiran untuk pengurusan ke tandas. Selepas setengah
tahun berada disitu, pengusaha taska itu mendapati dia mungkin mempunyai ciri-ciri kanakkanak autisme lalu secara berhati-hati menasihati Puan Pua untuk membawa YC, supaya
mendapatkan diagnosis di Lions Resource Centre for Autism, Pulau Pinang.
Puan Pua dan suami tidak mempunyai pengetahuan berkenaan autisme. Puan Pua tidak
pernah dengar perkataan itu, namun bila diterjemahkan, Puan Pua sangka YC menepati istilah
autisme yang bermaksud keadaan di mana seseorang itu suka bersendirian dalam bahasa Cina.
Walaupun Puan Pua bertanyakan kepada pakar paediatrik tentang kelewatan YC dalam
pertuturan dan komunikasi serta tingkah lakunya yang bermasalah. Tiada penerangan
merujuknya untuk diagnosis selanjutnya. Persolan yang timbul di hati Puan Pua, adakah negara
kita tiada alat ujian untuk mengesan kanak-kanak bermasalah autisma, atau kepakaran pakar
paediatrik tidak mahir dengan masalah autisma, atau budaya kita yang selalunya menjaga hati
orang. Sehingga tidak mahu berterus terang, kesannya tiada satu keputusan dibuat . Puan Pua
diberitahu mungkin YC lambat bertutur dan tidak perlu bimbang. Kesan dari itu, Puan Pua
berusaha mencari pusat Lions Resource Centre for Autism, Pulau Pinang untuk membuat
diagnosis. Semasa YC berumur 4 tahun. Satu ujian diagnostik dibuat oleh sukarelawan pusat
itu. Ujian itu kemudian di hantar ke luar negara untuk mendapat kepastian. Pada Dis 1992, Puan
Pua diberitahu secara lisan bahawa YC merupakan kanak-kanak autisme dan keadaannya ialah
ringan. Puan Pua seterusnya pergi ke Hospital Besar Pulau Pinang untuk membuat diagnosis
sekali lagi dengan pakar paediatrik, sekali lagi ujian diagnosis dilakukan, barulah Puan Pua
dimaklumkan YC mempunyai ciri-ciri autisme.Permasalahan sekali lagi timbul apabila
pengkategorian dibuat oleh Jabatan Kebajikan Masyarakat mengkategorikan YC mengikut kad
OKU (Orang Kurang Upaya) berbunyi Terencat akal. Istilah ini juga satu tamparan kepada
Puan Pua. Ini menunjukkan kad OKU tidak mesra pengguna, ini menyebabkan masyarakat akan
keliru dan membuat tanggapan yang salah kepada semua kanak-kanak autisma.
B. Intervensi awal
Selepas YC disahkan kanak-kanak autisme, Puan Pua cuba sedaya upaya mencari apa sahaja
sumber maklumat dan program intervensi yang ada, melalui kawan-kawan dan ibu bapa kanakkanak autisme yang lain. Maklumat yang diperolehi pada masa itu amat terhad. Melalui
pembacaan beberapa buah buku lama dari perpustakaan Puan Pua dapat memahami kanakkanak autisme. Maklumat yang lebih menyedihkan apabila mengetahui kanak-kanak autisme
sebagai sesuatu kecacatan seumur hidup, dan tiada harapan untuk sembuh. Namun demikian,
Puan Pua masih cuba apa sahaja intervensi yang dirasakan mungkin sesuai di beberapa institusi,
seperti di Lions Resource Centre for Autism, menghadiri terapi pemulih cara kerja di HBPP,
menghadiri kelas khas di Montessori Childrens House dan mendapat bimbingan terapi
pertuturan dari profesional swasta dan juga di HUKL. Puan Pua terpaksa membuat kajian
sendiri, menilai, mendapatkan program yang sesuai untuk YC, walaupun kadang-kadang ini
menelan belanja yang agak banyak.
Pelbagai intervensi yang dicuba itu tidak menghasilkan kemajuan yang banyak. Puan
Pua mendapati bahawa Lions Resource Centre for Autism tidak memberikan sokongan yang
banyak. YC hanya diberi seminggu dua atau tiga jam terapi satu ke satu. Guru di situ sentiasa

bertukar dan hanya diberi latihan yang singkat oleh sukarelawan pusat. YC semakin jauh
ketinggalan daripada kanak-kanak lain dalam perkembangan kognitif, bahasa dan komunikasi.
Walaupun tidak mahir dalam bidang terapi Puan Pua juga cuba membimbingnya di rumah
dengan cara yang dipelajari dari pelbagai intervensi yang YC hadiri yang lebih mirip kepada
mengajarnya dengan secara paksaan dan secara tegas dalam modifikasi tingkah laku. YC
dipaksa duduk diam dan membaca serta belajar bertutur dan juga belajar dengan menggunakan
alat permainan untuk bermain secara imiginasi.

iii.

Kompetensi ibu bapa


Pada permulaannya YC akan berkerjasama semasa Puan Pua cuba mengajarnya , tetapi
lama-kelamaan sejurus selepas sesi pengajaran Puan Pua dimulakan YC akan mula menangis.
Demi kepentingannya YC Puan Pua biarkan YC menangis, dan kadang-kadang YC akan
menangis untuk selama dua jam. Walaupun dengan pengajaran secara paksaan YC
menunjukkan kemajuan dalam penjagaan diri seperti pergi ke tandas dan memakai baju tetapi
cara pengajaran ini adalah amat meletihkan bagi kedua-dua pihak di mana biasanya YC akan
menjerit atau menangis dengan sekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dan Puan Pua terpaksa
menjerit dan menggunakan paksaan secara fizikal atau menggunakan rotan supaya YC
melakukan sesuatu aktiviti pembelajaran yang diarahkah. Lama-kelamaan Puan Pua
memerhatikan bahawa bila Puan Pua menggunakan paksaan atau dendaan, YC bukan sekadar
menjerit atau menangis tetapi mula melepaskan kemarahannya dengan merosakkan benda atau
bertindak secara ganas dengan respon yang begitu mendadak terhadap adik-adiknya yang lebih
kecil. Perkembangan ini menakutkan Puan Pua dan mula terfikir untuk mencari cara intervensi
yang lebih baik untuknya. Puan Pua sentiasa dalam keadaan tidak tahu apa yang harus
dilakukan terhadap YC, perkara ini merupakan tekanan dalaman yang amat hebat.
iv.

Pendidikan Sekolah Rendah


Semasa YC mencapai umur untuk memasuki darjah satu, Puan Pua mendaftarkannya di
kelas darjah satu normal di sebuah SRJK(C). Walaupun Puan Pua mengesyaki YC mungkin
tidak dapat mengikuti pelajaran di kelas normal tetapi Puan Pua ingin juga mencuba dan itu
merupakan satu-satunya harapan terakhir Puan Pua supaya YC dapat menjadi normal. Setahun
YC di kelas normal, Puan Pua dapati bahawa YC langsung tidak dapat memahami erti pelajaran.
Semasa murid-murid lain melihat ke papan hitam, YC asyik menghitamkan bukunya dengan
pensel atau mencium dan mengetuk bukunya. Kadang-kadang YC akan tidur atau keluar
kelas untuk bermain buaian di tepi padang atau merayau-rayau di dalam kawasan sekolah
sehingga gurunya atau rakan sedarjahnya membawa YC balik ke kelas. YC akan buang air kecil
di dalam longkang, memakan makanan kawan lain dan ada kalanya akan membuang temper dan
menangis di dalam kelas. Pihak sekolah telah banyak bertolak ansur dengan keadaan YC tetapi
pada penghujung tahun satu, Puan Pua mencadangkan agar anaknya dibawa keluar dari sekolah
dengan alasan YC banyak menimbulkan masalah. Sebagai seorang ibu tentunya saya inginkan
hak anak sayamendapatkan pendidikan, dimanakah temah pendidikan untuk semua adakah
ianya cuma sedap disebut sahaja. Ini menambah tekanan sebenarnya kepada Puan Pua.
v.

Pendidikan Khas
Pada tahun yang berikutnya, YC menghadiri kelas khas di sebuah sekolah rendah
kebangsaan. Berbanding dengan kelas normal, situasi di kelas khas memang kurang membawa
masalah bagi Puan Pua kerana tingkah laku YC mendapat penerimaan di situ. Namun Puan Pua
mendapati bahawa gurunya kurang memahami keperluan khas kanak-kanak autisme.
Kakitangan di kelas khas tidak mendapat latihan yang mencukupi untuk menangani keperluan
khas pelajar. Terdapat guru yang diarah oleh guru besar untuk mengajar kelas khas, bukan
kerana minat atau ada kepakaran untuk mengajar kelas khas.

C.

Tekanan (Stress)

Untuk
membesarkan
anakautisma
bukansuatu
perkara
tidaksemudahapayangdilihat,orang yang memikulnyahanya tuhan yang tahu.
i.

yang

mudah,

Masalah Komunikasi dan bahasa

YC menunjukkan ketidakupayaan untuk memberitahu orang lain kehendaknya. YC


bukan bisu tetapi tidak dapat memberitahu orang lain apa yang dikehendakinya. YC selalu

menarik tangan Puan Pua ke suatu tempat untuk mendapatkan benda yang dikendaki. YC tidak
dapat menunjukkan kehendaknya dengan jari atau mata. Puan Pua terpaksa meneka
kehendaknya itu dan jika lama sedikit masih tidak dapat teka dengan betul, YC akan buang
temper. YC tidak faham apakah yang orang lain perkatakan kepadanya, termasuk peraturan.
Walaupun YC tidak menghiraukan percakapan dan kegiatan orang lain seolah-olah pekak dan
buta, tetapi memberi perhatian pula kepada bunyi tertentu yang diminati seperti bunyi azan atau
iklan tertentu dari televisyen atau percakapan tertentu seperti keluar untuk bersiar-siar atau
nama makanan yang diminati. Akibat ketidakupayaan komunikasinya, YC sentiasa nampak
keliru dan marah dan akan bertindak secara mendadak, di luar jangkaan dan pemahaman Puan
Pua. Walaupun YC boleh membaca banyak perkataan setelah lama diajar tetapi tidak dapat
applikasikan Puan Pua kepada situasi komunikasi, walaupun untuk meminta makanan yang
diminati.
ii.

Masalah Emosi
YC menunjukkan emosi yang tidak menentu dan susah sehingga YC berumur 12
tahun. Emosinya umpama sebutir bom yang akan meletup bila-bila masa. YC membuang
temper tantrum yang agak kerap terutamanya bila rutin seharian diubah seperti bekalan
elektik atau air terputus, keluar melancong atau pergi ke tempat yang baru, menghadapi situasi
baru seperti berjumpa dengan doktor, makan di restaurant dan lain-lain lagi. YC akan berasa
takut pada tempat tertentu seperti tempat yang gelap atau bunyi yang kuat seperti bunyi enjin
motor. YC sensitif pada tempat tertentu seperti tempat yang ada ramai orang seperti tempat
kenduri dan juga pada benda tertentu seperti x-ray, kamera atau memakai benda seperti plaster
atau topi. YC menunjukkan tingkah laku obsesif terhadap benda atau keadaan tertentu seperti
kertas iklan, buku atau lagu tertentu. YC bersifat terlalu memilih terhadap makanan dan
pakaian. YC akan naik darah jika benda kePuan Puangannya hilang, berkelakuan ganas jika
tidak mendapat benda atau dirampas benda kePuan Puangannya. YC suka menguasai orang lain
atau benda lain seperti hendak adiknya cepat habis minum, mahu jirannya cepat tutup pintu
pagar, mahu burung lenyap dari bumbung rumah. YC akan menjadi marah atau ganas bila
perintahnya itu tidak diikuti. YC mempunyai banyak upacara amal yang mesti dilakukan.
Perkara-perkara yang orang lain anggap sebagai remeh-temeh atau boleh dilupakan, kadangkadang begitu penting baginya sehinggakan YC akan menghabiskan banyak masa untuk
melakukannya dan buang temper jika tidak dapat melaksanakannya.
iii.

Masalah Sensori Motor

YC mengalamai masalah koordinasi sensori motor yang agak teruk. YC tidak dapat
melakukan banyak pergerakan seperti lari setempat, meniup dan meludah. Masalah koordinasi
juga berlaku misalnya dalam menulis dan melukis garisan. YC juga sangat sensitif terhadap
sentuhan terutamanya pada bahagian telinga, leher, perut, lengan dan mulut. Mungkin kerana ini
YC tidak suka memotong rambut dan dirawat giginya. Ada kemungkinan besar kerana masalah
sensori motorlah YC menunjukkan tingkah laku yang aneh seperti menggaru-garu, mengetuk
kepala, cium buku dan gigit alat permainan dan buku dan menghentak-hentakkan kaki.
iv.
Masalah Kognitif
YC menghadapi masalah pembelajaran dalam kebanyakan proses pembelajaran. YC
lambat dalam memahami sesuatu yang diajarkan dan mengambil masa yang panjang untuk
menguasai sesuatu kemahiran yang mudah. Konsep seperti kotor dan bahaya amat sukar untuk
difahami. YC sukar memahami peraturan dalam penulisan seperti huruf besar, huruf
perkataannya bertindihan dan bersambungan, tidak dapat menulis ikut garisan dan saiz huruf
tidak seragam. YC terlalu memilih dalam mempelajari sesuatu. YC akan mempelajari apa yang
diminati dan hanya akan menumpukan perhatian terhadap detail tertentu sahaja. Contohnya
dalam sebuah buku yang diminati, mungkin YC hanya akan lihat gambar tertentu sahaja,
perhatikan tanda bacaan sahaja atau lihat bulatan sahaja dan bukan gambar seketul kayu.

v.

Keluarga yang Tercabar


Kekaburan dalam diagnosis dan keterukan autisme yang YC alami itu mendatangkan
banyak stress kepada Puan Pua. Puan Pua perlukan lebih pengetahuan tentang apakah etiologi,
prognosis serta rawatan yang sesuai dan berkesan. Tanpa pengetahuan yang jelas tentang ini
Puan Pua mendapati bahawa Puan Pua sudah hilang penguasaan dalam masalah ini dan Puan
Pua berasa bimbang terutamanya terhadap tingkah lakunya yang baru dan mencabar. Kadangkadang Puan Pua mendapat maklumat baru yang banyak tentang sesuatu terapi yang dikatakan
berkesan, Puan Pua terpaksa mempertimbangkan adakah Puan Pua harus berbuat seperti yang
dicadangkan. Puan Pua satiasa berasa diri Puan Pua kurang lengkap dan mampu dalam
mengendalikan keadaan YC tetapi tidak ada orang lain yang dapat membantu selain daripada
diri sendiri. Menjaga anak autisme adalah memang melesukan dari segi fizikal dan emosi.
Ketidaktentuan respon YC dalam sesuatu situasi terutamanya situasi dan rutin baru
mendatangkan kebimbangan dan kerunsingan. Keluarga Puan Pua kadang-kadang menjadi hurahara dan penuh kekacauan kerana temper YC dan ibu bapa yang letih dan stress. YC
memerlukan penjagaan dan perhatian yang lebih, ini menyebabkan Puan Pua terpaksa mencari
jalan supaya tidak mengabaikan perhatian serta penjagaan terhadap anak-anak yang lain serta
suami. Adik-adiknya yang masih kecil kadang-kadang kurang faham tentang keperluan khas YC
dan ini menyebabkan Puan Pua terpaksa menghabiskan lebih masa untuk memberi penjelasan
dan pengajaran serta bertahan dengan keadaan huru-hara akibat Puan Pua tidak memberi
kerjasama dalam hal tertentu. Misalnya YC mengkehendakkan adiknya supaya cepat
menghabiskan minuman Puan Pua atau pergi dari sesuatu tempat, jika adiknya tidak berbuat
demikian YC akan menunjukkan temper atau kadang-kadang memukul Puan Pua. Adik-adik
Puan Pua kadang-kadang akan rasa tidak senang hati kerana cemburu Puan Pua memihak
kepada YC. Puan Pua kadang-kadang terasa kesunyian kerana orang lain tidak memahami
masalah Puan Pua dan menuduh Puan Pua sebagai ibu yang terlalu melindungi anak atau
memanjakan anak.
D. Penerimaan
Sebagai ibu sayamula berfikiran positif dengan mengambil langkah yang lebih positif
untuk membantu anaknya dengan :
i.

Home-program
Pada Dis 1996, Puan Pua membawa YC ke Amerika untuk mengikuti satu program
rawatan kanak-kanak autisme, yang digelar sebagai program Son Rise selama dua minggu.
Sekembalinya dari Amerika, Puan Pua telah memulakan program intervensi ini di rumah. Pada
permulaannya bapanya menghabiskan tiga jam di sebelah pagi untuk menjalankan intervensi ini
manakala ibunya pula menghabiskan tiga jam bersamanya di sebelah petang. Setahun
kemudian, Puan Pua telah mengambil alih hampir keseluruhan program itu dan melakukannya
secara sepenuh masa. Puan Pua menghabiskan lebih kurang 5 atau 6 jam setiap hari
menjalankan program intervensi di dalam sebuah bilik yang direka khas yang dinamakan bilik
main. Pembantu rumah Puan Pua yang berbangsa Indonesia juga menyumbang kepada
intervensi YC dengan bermain dengannya selama satu atau dua jam sehari, menggantikan Puan
Pua semasa Puan Pua rehat atau ada urusan lain. Program yang berpusatkan kanak-kanak,
berdasarkan rumah dan diarah oleh ibu bapa ini dijalankan setiap hari kecuali jika Puan Pua ada
hal-hal lain yang penting sehingga pada Julai 2002, bila YC kembali mengikuti pelajaran di
kelas khas di sebuah sekolah menengah sehinggalah sekarang.
ii.

Kesan dari Program


Sejak program Son Rise dimulakan, YC menunjukkan kemajuan secara perlahan-lahan.
YC mula belajar berkomunikasi dalam situasi yang konkrit iaitu misalnya bila baling bola, YC
Diajak menyebut baling. Penerapan bahasa dan komunikasi ini adalah secara terancang di

mana banyak peluang diujudkan untuk membolehkan YC mengguna komunikasi dalam situasi
yang menyeronokkan iaitu melalui permainan (play). Ini dilakukan di dalam satu alam sekitar
yang tidak ada banyak gangguan dan di mana YC rasa selamat dan aman. Ini bermakna di
dalam alam sekitar itu, fasilitator (ibu bapanya atau pembantu lain) tidak akan menghalangnya
dari berbuat sesuatu dan tidak pula terpaksa menggunakan dendaan. Benda atau makanan
kegemaran di letak di atas rak yang tidak dapat dicapai sendiri dan YC diberitahu berulang kali
bahawa YC tidak perlu mengambilnya sendiri dan orang lain sudi menolongnya. Setiap kali YC
membuat percubaan menyebut sesuatu sebagai tanda permintaan, YC diberi ganjaran dengan
mendapat respon yang cepat, tepat dan diberi galakan seperti tepukan atau permainan yang
disukai seperti terbalikkan badan. YC dilatih melihat mata orang lain dengan secara tidak
paksa dan perbuatannya itu diberi pujian sebagai galakan. Pujian itu boleh berbentuk perbuatan
seperti tepukan atau perbuatan melakukan sesuatu yang diminati seperti menghayunkannya.
Perkataan komunikasi pertama yang dipelajari oleh YC ialah tak mahu (dont want).
Ini disebabkan mungkin YC tidak faham apa yang orang lain sebutkan, jadi adalah lebih selamat
untuk menyebut tidak mahu kerana takut dipaksa membuat sesuatu. Selepas itu barulah YC
mula belajar meminta dengan diajak sebut (prompt): Puan Pua mahu, dan kata kerja seperti
lukis, nyanyi dan lain-lain lagi dengan aksi atau kegiatan yang boleh diamati.
Selepas dua tahun YC mula memahami bahawa setiap soalan yang ditujukan patut ada
balasan atau jawapan dan mula memberi respon kepada soalan yang ditujukan dengan jawapan
yang ringkas dan kadang-kadang teragak-agak. Mulai umur 12 tahun, YC mula boleh menjawab
soalan mudah dengan tepat dengan menggunakan Ya dan tidak. Bahasa dan komunikasinya
berkembang dengan perlahan tetapi bermakna. Walaupun frekuensinya masih kurang dan
perkataan yang digunakan masih sedikit tetapi pemahaman bahasa dalam bentuk bukan lisan
jauh berkembang daripada bentuk lisan dan penulisan. Sebenarnya yang lebih penting bagi Puan
Pua ialah berikutan dengan peningkatannya dalam komunikasi dan kemahiran motor kasar dan
halus serta pengurangan dalam masalah integrasi sensori, emosi YC menjadi lebih stabil. YC
menjadi lebih yakin pada dirinya. Temper-tantrumnya berkurangan sehingga sampai tahap
hampir tidak pernah ditunjukkan. YC selalu kelihatan riang ria. YC mula boleh menerima
perubahan, kesabaran pun meningkat dan boleh bertolakansur dengan peraturan. YC rela
mengikuti peraturan seperti beratur semasa perhimpunan, tidak melawan walaupun dicubit oleh
kawan, sudah boleh tidak makan makanan yang disukai seperti coklat jika ditengah. YC mula
sanggup menerima cabaran untuk mempelajari sesuatu seperti berenang, membina ayat dan
menyelesaikan masalah matematik dan lebih rela mengikuti pengajaran guru untuk
melaksanakan sesuatu yang agak sukar baginya seperti melakukan aksi senaman, yang mana
dahulunya YC akan menjerit tidak mahu dan marah jika diajak lagi. Walaupun YC tidak tahu
mengira dengan jari tetapi mulai umur 14 tahun YC mula boleh menghitung, mendarab,
menolak dengan menggunakan kiraan secara mental dan mula boleh menyelesaikan masalah
matematik yang mudah dengan galakan dan di bawah dampingan. Ini menunjukkan YC boleh
dididik tetapi halangan awal yang memberi makna kepada interaksi social dan emosi harus di
atasi. Ini adalah satu pengajaran penting yang Puan Pua pelajari dari program.
iii.

Sesuai Program
Semasa Puan Pua mengikut latihan Program Son-Rise, Puan Pua tidak sahaja
memerhatikan bagaimana kakitangan program itu melaksanakan intervensi kepada YC tetapi
Puan Pua dan suaminya dilatih dalam mengendalikan intervensi, tetapi diberikan latihan
kaunseling untuk mengubah sikap untuk menguruskan emosi demi menjadi seorang fasilitator
yang berkesan untuk program YC. Banyak isu yang dibincangkan termasuklah mengendalikan
emosi anak yang lain. Selepas tamat latihan ini Puan Pua lebih memahami cara untuk
menangani masalah YC. Apa yang Puan Pua pelajari itu nampaknya berjaya untuk YC. Puan
Pua rasa lebih gembira dan kompeten kerana program ini mengembang minda Puan Pua dengan
satu pemahaman yang berbeza tentang kanak-kanak autisme. Daripada hanya tumpukan

perhatian terhadap tingkah laku yang luar biasa atau aneh YC, Puan Pua dibimbing supaya
tidak membuat apa-apa tanggapan tentang tingkah laku itu. Puan Pua dibimbing supaya
menerima dan cuba memahami sebab di sebalik setiap tingkah laku itu jika boleh. Dengan cara
ini Puan Pua akan rasa lebih tenang dan selesa untuk membimbing YC. YC juga lebih selesa
dan tidak mengundur(withdrawn) ke dalam dunianya sendiri. Cara mengajar ini bermula
dengan Puan Pua mula bersama(joining) YC dalam dunianya, membina satu pertalian emosi
dengannya menerusi Puan Pua membuat kegiatan yang YC gemari, menunjukkan kepadanya
Puan Pua adalah kawan setianya (sama minat dan sentiasa mendampingi dan memberi bantuan
dan sokongan). Selepas itu barulah Puan Pua mengajak YC untuk bersama Puan Pua dalam
dunia Puan Pua iaitu belajar berkomunikasi, berinteraksi dan sebagainya. Pertalian (bonding) itu
adalah sesuatu yang begitu istimewa bagi kanak-kanak autisme kerana Puan Pua dilahirkan
dengan ketidakupayaan ini dan ini merupakan prasyarat kepada Puan Pua mengajar YC
berinteraksi, bertindak secara spontan dan berminat kepada apa yang Puan Pua ingin ajarkan.
Latihan dari program ini juga membantu Puan Pua mengendalikan emosi negatif yang akan
menghalang Puan Pua daripada menjadi seorang yang gembira dan berkesan. Puan Pua juga
berkemampuan untuk mengekalkan satu keluarga yang gembira seperti keluarga lain yang tidak
ada anak khas. Puan Pua juga memperolehi kekuatan untuk membantu keluarga lain yang ada
anak autisme. Puan Pua telah melibatkan diri dalam pertubuhan sokongan ibu bapa kanak-kanak
autisme dan sering menghulurkan nasihat kepada ibu bapa yang lain yang memerlukan
sokongan.
Cadangan
Dari pengalaman Puan Pua, didapati bahawa ibu bapa kanak-kanak autisme memerlukan banyak
sokongan untuk menangani cabaran-cabaran dan jika diberi latihan yang mencukupi, Puan Pua
boleh menjadi resos yang baik untuk kanak-kanak autisme. Ibu bapa menghabiskan masa yang
paling banyak bersama kanak-kanak autisme berbanding dengan orang lain. Ibu bapa
memahami kanak-kanak autisme lebih dari professional atau guru, tambahan pula Puan Pua
mempunyai yang amat tinggi untuk membantu ibubapa lain yang mempunyai anak autisma.
Berikut adalah beberapa cadangan untuk membantu ibu bapa menangani cabaran Puan Pua:
i)
Doktor dan pakar perubatan harus mempunyai pengetahuan untuk melakukan
diagnosis yang tepat kepada kanak-kanak autisme, seawal yang mungkin supaya
kanak-kana mendapatkan intervensi yang sesuai seawal mungkin. Kempen
kesedaran autisme harus dilakukan supaya orang ramai akan lebih peka tentang
kanak-kanak autisme.
ii)
Perlu ada satu perkhidmatan yang berjenis one-stop di mana kanak-kanak yang
telah diagnosis sebagai kanak-kanak autisme, boleh memulakan intervensi dari
pelbagai displin bagi mengatasi masalah komunikasi, sensori motor, kognitif dan
mana yang dirasakan perlu.
iii)
Perlu ada satu perkhidmatan kaunseling dan pendidikan ibu bapa, supaya ibu bapa
boleh berkongsi maklumat dan menjadi rakan yang saling membantu untuk
keberkesanan intervensi anak-anak mereka. Ibu bapa harus dibekalkan dengan
maklumat yang optismistik tentang kesan autisme dan strategi yang berkesan
kepada ibu bapa yang dating dari pelbagai latar belakang ekonomi dan social,
budaya, pendidikan dan bahasa.
iv)
Melatih tenaga pengajar yang mencukupi untuk memberi intervensi awal dan
perkhidmatan intervensi kepada keluarga.
v)
Memberi cuti kepada ibu yang ingin menjalankan intervensi kepada anak sepenuh
masa. Dengan cara ini mengurangkan masalah yang dihadapi oleh ibu bapa, yang
terlalu letih tetapi ingin mengajar anak sendiri. Perkara ini juga akan membantu
kerajaan dengan pengurangan beban kerajaan dalam memberikan latihan
pendidikan khas.

Kesimpulan
Intervensi awal amat penting bagi kanak-kanak autisme (Hebbeler, Smith, Black, 1991)
. Program intervensi amat diperlukan, perkara ini membimbangkan ibu bapa, bagaimana dan
dimanakah anak mereka boleh mendapatkan perkhimatan tersebut. Ibu bapa kanak-kanak
autisme selalu kekeliruan dalam membuat program yang manakah sesuai untuk anak mereka.
Bukan mudah untuk mendapatkan satu program yang cemerlang perkhidmatannya untuk
kanak-kanak autisme. Lawson (2002) menyatakan bahawa kita boleh menjadi sebahagian
daripada penyelesaian (solution) masalah yang dihadapi oleh kanak-kanak autisme tetapi, boleh
juga menambahkan masalah kepada kesulitan yang dihadapi oleh kanak-kanak autisme ini. Cara
intervensi yang tidak sesuai bukan sahaja menambahkan lagi kesulitan kanak-kanak autisme
tetapi juga membawa lebih masalah dan cabaran kepada ibu bapa anak autisme. Banyak lagi
yang perlu kita usahakan ke arah membantu kanak-kanak autisme dan ibu bapa Puan Pua.
Kanak-kanak autisme akan membesar, dam akan menempoh alam remaja. Bagi ibu
bapa perkara ini akan mendatangkan cabaran yang baru dan berbeza daripada alam kanak-kanak
berikutan perubahan hormon. Kerana ada kes yang menuynjukkan remaja autisme akan
bertambah ganas dan susah dikawal. Perkara yang sama dialami oleh Puan Pua kerana
adakalanya YC menunjukkan kelakuan yang lebih mencabar bila dibandingkan dengan semasa
YC kecil. Namun demikian, apa yang mengerunkan ibu bapa yang mempunyai anak autisma
adalah kanak-kanak ini dewasa, soal seperti pekerjaan dan hidup berdikari menjadi cabaran
yang baru bagi ibu bapa. Lebih cepat kanak-kanak mendapatkan intervansi lebih cepat kanakkanak menguasai sesuatu kemahiran (Aliza Alias, Norshidah Mohamad Salleh dan Mohd
Mokhtar Tahar.2002).

Rujukan
Aliza Alias, Norshidah Mohamad Salleh dan Mohd Mokhtar Tahar.2002. Proceedings Of
International Conference On Education For All 2002. Kepentingan Intervensi Awal
Bagi Kanak-Kanak Keperluan Khas. Fakulti Pendidikan UKM. UKM.
Allen,K.E.1992. The exceptional child: Mainstreaming in earlychildhood education. USA:
Delmar Publisher.
Fong, L. et al. 1993. The Experience of Parenting an Adolescent with Autism. International
Journal of Disability, Development and Education. 40(2): 105-113
Hebbeler, K.M., Smith,B.J.&Black,T.L. 1991.Federal early childhood special education policy:
A modelfor the improvement of service for children with disabilities. Exceptional
Children.
Jordan, R. 1999. Autistic Spectrum Disorders: An Introductory for Practitioners. London: David
Fulton Publishers. Handbook
Lawson, w. 2002. Autism, a matter of attention. Good Autism Practice Journal, 3(2).

Bagian 3

KEBUTUHAN PERKEMBANGAN DALAM


KEPELBAGIAN PELAJAR

RESILIENSI SISWA DI SEKOLAH DASAR

Ign. Dharta Ranu Wijaya


Prodi Pendidikan Kebutuhan Khusus Universitas Pendidikan Indonesia

ABSTRACT
This study investigated resiliency in students from urban area elementary
schools in Bandung. Some differences was found like family environment and personal
asset between resilient and non resilient students. This study also found that some of the
risks associated with students failure in school are due to their particular school
environment. Resilient student shown more positive perception to the learning
environmental and satisfying more in class or school. Whereas, non resilient student
shown the existence of difficulty in the class more than resilient student. This is an
unacceptable situation, and the solution will require collaboration among teachers,
administrators, university faculty, parents, and the government. It is believe that
Inclusive Education could solve the unacceptable situation.
Key Words: resiliency, personal asset, risks, resilient and non resilient students,
inclusive education
Pendahuluan
Penelitian Yayasan Sejiwa pada tahun 2005 menyebutkan bahwa di Indonesia
kekerasan pada anak-anak di sekolah menduduki peringkat ke 2 setelah kekerasan anakanak dalam rumah tangga (Sejiwa, 2008). Kondisi ini juga didukung oleh pernyataan
Tilaar (dalam Kompas, Juni 2008) bahwa proses belajar dari tingkat pendidikan yang
paling dasar di Indonesia, mengandung nilai paksaan, menakuti-nakuti, dan
mengembangkan sikap mencari jalan pintas. Fakta-fakta di atas kemudian
mengungkapkan adanya risiko bagi siswa untuk mendapatkan pengalaman yang negatif
di sekolah. Fakta lain mengenai risiko dalam dunia pendidikan di Indonesia juga
ditunjukkan melalui kasus-kasus kekerasan pada anak didik yang terjadi pada tahun
2006, tercatat tidak kurang dari 1.000 kasus (Kompas, 14 April 2007). Ditemukan pula
adanya siswa yang depresi, masuk rumah sakit jiwa atau bahkan bunuh diri (Kompas,
17 Juli 2005).
Salah satu area penelitian yang mempunyai implikasi penting dalam
meningkatkan kualitas pendidikan bagi siswa yang menunjukkan risiko kegagalan
terfokus pada resiliensi atau kemampuan siswa untuk sukses di sekolah sekalipun
terdapat berbagai kondisi yang menghambat perkembangan mereka. Resiliensi dapat
dijelaskan sebagai pola-pola yang merefleksikan proses dari kapasitas individu manusia
atau hasil dari keberhasilan individu manusia untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi
yang menantang atau malah situasi-situasi yang mengancam (Masten, Best, &
Garmenzy, 1990: 11-13). Menurut Naglieri dan Lebuffe kombinasi dari hal positif dan

negatif serta faktor-faktor protektif maupun faktor-faktor risiko tidak sama pada setiap
individu (2005: 24-36).
Pengalaman di sekolah sudah barang tentu berkontribusi baik pada mekanisme
risiko maupun protektif pada siswa. Rutter (1985: 19-22) menyebutkan bahwa sekolah
dapat menjadi lingkungan yang protektif bila mereka dapat mempromosikan
kepercayaan diri, efikasi diri dengan memberikan kesempatan bagi siswa untuk
membangun kemampuan sosial dan kemampuan memecahkan masalah yang penting
bagi keberhasilan mereka di masa depan. Penelitian mengenai nilai pembelajaran yang
bersifat instrinsik versus ekstrinsik dari Padrn, Waxman, dan Huang (1999)
menunjukkan bahwa sekolah yang menekankan pada aspek pembelajaran yang bersifat
ekstrinsik kemudian memberikan orientasi pada sekolah bahwa secara natural memang
ada siswa yang kemudian mampu menjadi pemenang sementara siswa lainnya menjadi
pecundang. Rasa memiliki dari siswa terhadap sekolahnya ternyata mampu memberikan
perlindungan bagi para siswa terhadap olok-olok atau siksaan yang dilakukan oleh para
siswa dari kelas-kelas yang lebih tinggi (Padrn et al., 1999). Di Indonesia resiliensi
sebagai suatu konsep belum banyak dikaitkan dengan pendidikan padahal sesungguhnya
rasionalitas dan fokus utama dalam resiliensi tidak bertentangan dengan filosofis
pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif dapat dipandang sebagai pergerakan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip utama yang berkaitan
dengan anak, pendidikan, keberagaman dan diskriminasi, serta proses partisipasi dan
sumber-sumber yang tersedia (Stubb. 2002: 6). Bila koneksi itu dirumuskan, maka
dapat dikatakan bahwa pendidikan inklusif adalah upaya meningkatkan mutu sekolah
dengan menciptakan iklim yang meleluasakan siswa berkembang dan terus mekar atas
kemekarannya sendiri hingga menjadi pribadi yang resilien.
Penelitian yang dilakukan kemudian mempertimbangkan dua hal pokok,
pertama adalah perbedaan-perbedaan individual siswa dan sekolah mereka, kedua hal
tersebut akan membangun kapasitas melakukan penyesuaian dan adaptasi yang unik
dari setiap siswa. Sementara tujuan penelitian adalah mengidentifikasikan; (1) faktorfaktor risiko dan faktor-faktor protektif yang ditemukan dalam lingkungan keluarga dan
komunitas siswa, (2) aset-aset personal yang dapat ditemukan pada siswa, (3)
karakteristik lingkungan sekolah siswa, dan (4) keterkaitan antara sekolah dengan
resiliensi siswa.
Metode
Metode yang digunakan adalah metode penelitian studi kasus dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di dua sekolah dasar (SD X dan SD Y) di
Kota Bandung. Indikator untuk menemukan kasus terdiri dari faktor risiko dan faktor
protektif yang terdapat baik secara internal maupun eksternal. Siswa yang menunjukkan
kecederungan atau sering ditemukannya faktor risiko baik secara internal maupun
eksternal dianggap sebagai kasus siswa yang non resilien. Sementara siswa yang
menunjukkan kecederungan atau sering ditemukannya faktor protektif baik secara
internal maupun eksternal dianggap sebagai kasus siswa yang resilien. Berdasarkan
instrumen berupa indikator resiliensi yang dibuat peneliti bersama guru dan
kemudian diisi oleh guru wali kelas V maka dipilih 8 orang siswa kelas V sebagai
kasus penelitian. Masing-masing sekolah terdiri dari 4 orang siswa dengan indikasi 2
siswa resilien dan 2 nonresilien.

Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi


partisipasi, dan studi dokumentasi. Data diolah dengan melakukan analisis isi,
analisis domain, dan analisis taksonomi.
Tabel 1
Sumber Data dan Informasi
Sumber Data dan Informasi
Guru Wali Kelas 5 untuk mengindikasikan siswa yang akan menjadi kasus
penelitian dengan instrumen indikator resiliensi:
1. Guru SD X
2. Guru SD Y
Siswa kelas V yang telah diindikasikan sebagai:
1. Siswa resilien dari SD X
2. Siswa resilien dari SD Y
3. Siswa nonresilien dari SD X
4. Siswa nonresilien dari SD Y
Orang Tua dari siswa yang menjadi subyek penelitian:
1. Orang tua dari siswa resilien di SD X
2. Orang tua dari siswa resilien di SD Y
3. Orang tua dari siswa nonresilien di SD X
4. Orang tua dari siswa nonresilien di SD Y
Kepala Sekolah:
1. SD X
2. SD Y
Siswa kelas 5:
SD X
SD Y

Jumlah

Keterangan

1 orang
1 orang

informan
tambahan

2 orang
2 orang
2 orang
2 orang

informan utama

2 orang
2 orang
2 orang
2 orang

informan
tambahan

1 orang
1 orang

informan
tambahan

kelompok
kelompok
2 -3 orang

informan
tambahan

Temuan Penelitian
Tabel 2
Hasil Penelitian terhadap Faktor Protektif
dan Risiko Siswa pada setiap Domain
Domain
Individu:
1. Kondisi fisik & kesehatan
2. Sikap & emosi
3. Aset Personal:
a. kompetensi sosial
b. memecahkan masalah
c. kemandirian
d. tujuan dan aspirasi

Siswa Resilien
Protektif
Risiko
4
3
3
3
3
4

Keluarga
1. Kondisi sosial ekonomi
2. Kualitas hub. anak dlm keluarga
3. Perspektif orang tua thd. Anak

4
2
4

Lingkungan Sekolah
1. Akses kebutuhan dasar
2. Relasi sosial
3. Ekspektasi yang tinggi
4. Partisipasi yang bermakna
5. Perasaan siswa thd. Sekolah

2
3
3
4
3

Komunitas Siswa Tinggal


1. Akses
2. Populasi dan kepadatan
3. Bantuan ekstra di luar keluarga

4
1
4

Siswa Nonresilien
Protektif
risiko
3

1
4

2
4
4
2

1
1
1
1

2
2
1

2
1
1
1

2
2
1
1

2
4
3

2
2
4
3
3

4
3
1

4
3

Secara umum ditemukan bahwa dalam domain individu, siswa resilien


menunjukkan adanya faktor-faktor protektif berupa: kondisi fisik dan kesehatan yang
baik (semua anak), sikap dan emosi yang baik (3 anak), kompetensi sosial yang baik (3
anak), kemampuan memecahkan masalah yang baik (3 anak), kemandirian yang baik (3
anak), dan adanya tujuan serta aspirasi di masa depan dari semua siswa resilien.
Sementara siswa nonresilien meski hanya satu orang yang menunjukkan hambatan fisik
dan kesehatan karena sering sakit dan tidak masuk sekolah tetapi semua menunjukkan
kelemahan pada sikap dan emosinya sehingga hal ini berpengaruh pada aset personal
mereka. Orangtua dan para guru menganggap mereka adalah anak-anak yang tidak
stabil emosinya, tidak serius, sembarangan dan perlu diingatkan untuk dapat
menjalankan peran-peran yang diharapkan baik di rumah maupun di sekolah.
Siswa resilien umumnya menunjukkan dukungan dalam domain keluarga.
Kondisi sosial ekonomi keluarga yang baik ditunjukkan oleh semua siswa resilien.
Kualitas hubungan yang ditunjukkan dengan adanya frekuensi yang tinggi melakukan
kegiatan bersama dengan orang tua ditunjukkan secara baik oleh dua orang siswa
sementara dua siswa lainnya menganggap ayah mereka sangat sibuk dan kurang
memiliki waktu bersama. Namun demikian, semua siswa resilien menunjukkan
persepektif yang positif terhadap orang tua mereka. Mereka menganggap orang tua
sangat baik memperhatikan mereka. Pada siswa nonresilien terdapat kondisi sosial
ekonomi keluarga yang baik (2 anak) sementara dua orang siswa lain nya mendapatkan
sokongan dari pihak sekolah. Satu orang siswa nonresilien menganggap orangtua nya
sangat baik dan perhatian sehingga ia menunjukkan perspektif yang positif terhadap
orangtua. Namun demikian, seluruh siswa nonresilien menunjukkan kualitas hubungan
yang rendah antara orang tua dengan anak. Hal ini disebabkan oleh perpisahan atau
perceraian yang dialami orang tua dari sebagian besar siswa nonresilien (3 anak).
Domain lingkungan sekolah menunjukkan variasi antara siswa resilien dan
nonresilien. Akses terhadap kebutuhan dasar yang kurang dinyatakan oleh dua orang
siswa dengan alasan keran air di sekolah yang sering mati dan posisi sekolah yang
berada di pinggir jalan besar yang dirasakan tidak nyaman. Namun sebagian besar (3
anak) tetap menunjukkan adanya relasi yang positif dan perasaan positif terhadap
sekolah mereka. Hubungan mereka dengan guru dan sesama siswa lainnya dianggap
menyenangkan dan baik. Guru dan teman-teman di sekolah juga dianggap mampu
memberikan apresiasi terhadap keberhasilan yang mereka tunjukkan di sekolah. Meski
ditemukan satu orang siswa resilien yang dianggap sombong dan suka memilih teman,
namun umumnya teman-teman di sekolah dari siswa resilien (3 anak) menganggap
bahwa mereka adalah anak yang pintar, menyenangkan, dan baik hati.
Pada siswa nonresilien, meski tiga orang siswa nonresilien menyatakan adanya
partsipasi yang bermakna di sekolah karena mereka dapat terlibat dalam berbagai
kegiatan ekstra di sekolah, namun semua menganggap bahwa ekspektasi guru dan
teman-teman di sekolah terhadap mereka, rendah. Hal ini disebabkan oleh perkataan
guru yang suka menyindir kelemahan mereka dan selalu membandingkan-bandingkan
siswa. Kondisi ini juga dikuatkan dengan informasi dari teman-teman mereka di sekolah
yang menyampaikan bahwa siswa nonresilien sering disuruh-suruh guru bahkan
menjadi bahan olok-olokan di kelas. Akibatnya tanggapan mereka terhadap akses
kebutuhan dasar, relasi sosial, partisipasi yang bermakna, dan perasaan terhadap sekolah
juga dinyatakan secara negatif.
Siswa resilien menunjukkan adanya situasi dan kondisi yang baik dalam domain
komunitas siswa tinggal. Tinggal di tempat yang cukup nyaman dan tersedianya

berbagai sarana umum, seperti: tempat perbelanjaan, taman, dan tempat ibadah. Mereka
menganggap komunitas tinggal memiliki akses yang luas. Semua siswa resilien juga
mendapatkan bantuan ekstra dari luar keluarga, seperti: dukungan kelompok teman
sebaya, kelompok keagamaan, dan kelompok profesional lainnya di lingkungan tempat
tinggal mereka. Meski demikian hanya satu orang siswa yang menyatakan kenyamanan
yang optimal di lingkungan tinggal karena populasi dan kepadatan yang rendah. Semua
siswa nonresilien menunjukkan adanya populasi dan kepadatan yang tinggi dan hanya
satu siswa saja yang menyatakan adanya dukungan dan bantuan ekstra di luar keluarga
dari kelompok keagamaan yang ada di lingkungan tempat tinggal nya.
Pembahasan
Faktor risiko dan faktor protektif yang ditemukan dalam lingkungan keluarga
dan komunitas siswa tinggal tidak sama pada setiap siswa. Pada siswa-siswa nonresilien
ternyata ada risiko-risiko seperti; perceraian, kondisi ekonomi, kualitas hubungan dalam
keluarga, dan hambatan intelektual. Risiko-risiko yang dapat ditemukan dalam keluarga
siswa kemudian cenderung membawa hasil perkembangan yang negatif. Bahkan pada
siswa tertentu, memunculkan adanya persoalan-persoalan perilaku di sekolah. Kondisi
sosial ekonomi siswa yang rendah, kualitas hubungan siswa yang buruk, dan perspektif
orang tua siswa yang kurang positif menjadi penghambat resiliensi siswa. Siswa yang
memiliki atribut kuat pada domain keluarga menunjukkan kapasitas tinggi dalam
mengatasi hambatan dan tugas-tugas perkembangannya. Kualitas hubungan yang baik
dalam keluarga dan persepsi keluarga yang baik terhadap siswa melindungi siswa
bertahan dari risiko dan mendorong kompetensi serta kemampuan adaptasi mereka.
Domain lingkungan siswa tinggal juga berpengaruh pada resiliensi siswa. Populasi dan
kepadatan di lingkungan siswa tinggal serta bantuan ekstra di luar keluarga berpengaruh
pada sebagian siswa. Pelaksanaan tugas perkembangan sebagian siswa menjadi mudah
dengan adanya akses yang baik dan bantuan ekstra dari luar keluarga berupa bimbingan
belajar atau kursus
Bentuk-bentuk dalam domain individu yang menjadi aset personal siswa adalah
kompetensi sosial, kemampuan memecahkan masalah, kemandirian, dan tujuan atau
aspirasi siswa di masa depan. Ketidakberuntungan siswa dalam satu atau lebih domain
individunya menunjukkan faktor-faktor risiko yang dihadapinya. Siswa-siswa yang
memiliki aset personal kuat menunjukkan keterikatan pada norma-norma pertemanan
dan dapat memelihara persepsi diri yang positif. Mereka kemudian juga mampu
menjalankan tugas perkembangan secara positif. Siswa dengan aset personal yang
terbatas, kurang mampu menjalankan tugas-tugas perkembangannya. Siswa nonresilien
kurang memiliki persepsi yang baik terhadap orientasi tugas, perintah orang dewasa,
dan adanya ketidakmampuan mengorganisikan tugas-tugasnya. Aset-aset personal pada
siswa-siswa nonresilien ternyata tidak mengarahkan mereka untuk selalu terikat pada
pada norma-norma dan mereka juga kurang mampu memelihara persepsi diri yang
positif. Ketidakmampuan beradaptasi pada setiap proses yang berbeda situasi dan
konteksnya membuat siswa kurang mampu menjalankan tugas perkembangannya. Hal
ini secara negatif mengarahkan mereka pada kegagalan di sekolah.
Lingkungan sekolah merupakan domain yang penting dalam mempromosikan
perkembangan faktor-faktor protektif yang berasosiasi dengan resiliensi siswa.
Performa siswa belajar juga dipengaruhi oleh luas kelas dan kondisi kelas. Kelas yang
terlalu besar cenderung memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga
dapat berpengaruh terhadap proses belajar yang optimal. Kelas kecil dan sekolah yang

tidak padat dalam penelitian ini menjadi dua fasilitator struktural yang terkuat dari relasi
antara guru dan siswa, guru dengan orang tua, dan siswa dengan siswa. Pengalamanpengalaman siswa yang positif di sekolah mengembangkan kompetensi siswa dalam
menjalankan tugas perkembangannya secara positif. Siswa resilien menunjukkan
kemampuan membangun kompetensi di sekolah dalam berbagai bidang: musik, puisi,
olah raga, dan lain sebagainya. Mereka mempergunakan dan mengaplikasikan
kemampuan mereka di sekolah. Siswa resilien bahkan menjadi individu yang populer
dan memiliki kelebihan tertentu, misalnya: nilai yang baik, aktif di sekolah, dan
memiliki prestasi di bidang tertentu. Sementara siswa nonresilien menunjukkan
kesulitan di kelas dan interaksi yang kurang memuaskan dengan guru sehingga mereka
mendapatkan penilaian yang negatif. Guru-guru di sekolah menjadi model peran yang
cukup positif dalam kehidupan siswa resilien.
Siswa resilien menunjukkan kepuasan yang relatif tinggi di sekolah
dibandingkan dengan siswa nonresilien. Siswa resilien memiliki persepsi bahwa guru
mereka memiliki ekspektasi yang tinggi dan menyediakan waktu dan perhatian bagi
mereka. Mereka juga mempersepsikan kelas lebih menyenangkan daripada pesepsi
siswa nonresilien. Pemahaman dan kemampuan akademis yang ditunjukkan pun relatif
lebih tinggi daripada siswa nonresilien. Berbagai kompetensi dapat ditemukan pada
siswa resilien di sekolah. Bentuk kompetensi mereka adalah ketekunan dan perhatian
terhadap pelajaran, kemampuan memimpin, bekerja sama, inisiatif, dan selalu
mengerjakan tugas sekolah. Siswa resilien tampak lebih tekun dan perhatian,
menunjukkan kemampuan memimpin, dapat bekerja sama dengan baik dengan temantemannya, menunjukkan inisiatif bertanya, selalu mengerjakan tugas sekolah. Mereka
juga secara signifikan lebih banyak menggunakan waktu di kelas atau di sekolah untuk
berinteraksi dengan guru yang bertujuan untuk memahami tugas atau pelajaran.
Sebaliknya siswa nonresilien lebih banyak menggunakan waktunya di kelas atau di
sekolah untuk berinteraksi dengan siswa lain dengan alasan sosial maupun personal.
Siswa nonresilien mempersepsikan guru kurang peduli dan cenderung bersikap galak
terhadap mereka. Terdapat kenyataan bahwa ada siswa nonresilien yang menjadi
penggangu di kelas, baik dengan mengajak temannya mengobrol, membuat kegaduhan
atau mengerjakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan pelajaran di kelas sehingga
guru kadang menegur atau memarahi mereka.

Daftar Pustaka
Benard, B. (1991). Fostering resiliency in kids: Protective factors in the family, school,
and community. Portland, OR: Northwest Regional Educational Laboratory.
Dubow, E. F., & Luster, T. (1990). Adjustment of Children Born to Teenage Mothers:
The Contribution of Risk and Protective Factors. Journal of Marriage and the
Family, 52, 393-404.
Kompas. Edisi 25 Juni 2008 14 April 2007, dan 17 Juli 2005. Gramedia Indonesia
Garmezy, N., Masten, A.S., & Tellegen, A. (1984). The Study of Stress and
Competence in Children: A Building Block for Developmental Psychopathology.
Child Development, 55, 97-111.
Henderson, N., & Milstein, M. (1996). Resiliency in schools. Thousand Oaks, CA:
Corwin.

Luthar, S. S., & Zigler, E. (1991). Vulnerability and Competence: A review of Research
on Resilience in Childhood. American Journal of Orthopsychiatry, 6, 6-22.
Masten, A. S., Best, K. M., & Garmezy, N. (1990). Resilience and development:
Contributions from the study of children who overcome adversity. Development
and Psychopathology, 2, 44-425.
Masten, A., and Coatsworth, J. (1998). The Development of Competence in Favorable
and Unfavorable Environments: Lessons From Research on Successful Children.
American Psychologist, 53, 205-220.
Naglieri & Lebuffe. (2005, October 9). Scattered In A Storms Wake and Caught In A
Clash of Cultures. Washington Post, 20-21.
Padrn, Y. N., Waxman, H. C., & Huang, S. L. (1999). Classroom and instructional
learning: Environment differences between resilient and nonresilient elementary
school students. Journal of Education for Students Placed at Risk, 4, 63-81.
Stubbs, S. (2002) Inclusive Education Where there are few resources. UK. Atlas
Alliance.
Waxman, H. C., Huang, S. L., & Wang, M. C. (1997). Investigating the multilevel
classroom learning environment of resilient and nonresilient students from innercity elementary schools. International Journal of Educational Research, 27, 53-78.

INTERAKSI SOSIAL PELAJAR BERKEPERLUAN KHAS DALAM PROGRAM


INTEGRASI
Oleh:
SAFANI BARI
MOHD MOKHTAR HJ TAHAR
MOHD HANAFI MOHD YASIN
Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia

Abstrak

Kajian ini meninjau integrasi sosial di antara pelajar berkeperluan khas bermasalah
pembelajaran dengan pelajar biasa di dalam program percantuman di sekolah-sekolah
biasa. Sebanyak 30 buah sekolah yang menjalankan program percantuman di empat
buah di Malaysia.. Kajian ini menggunakan kaedah soal selidik sebagai instrumen
untuk meninjau tahap integrasi soisal pelajar berkeperluan khas bermasalah
pembelajaran dengan pelajar biasa menurut persepsi guru pendidikan khas dan guru
biasa di sekolah. Dalam kajian ini pengkaji juga menjalankan pemerhatian dan temu
bual dengan kumpulan fokus yang terlibat
secara langsung dengan pelajar
berkeperluan khas untuk menyokong dapatan kajian. Hasil kajian mendapati bahawa
beberapa situasi yang dijalankan di sekolah dikenalpasti sebagai penghalang untuk
meningkatkan intergrasi sosial di kalangan pelajar khas dengan pelajar biasa
walaupun aktiviti tersebut dijalankan pada waktu yang sama. Manakala hasil kajian
mengenai integrasi sosial pelajar khas di rumah menunjukkan bahawa mereka gemar
dan boleh bersosialisasi dengan ahli keluarga, rakan dan jiran. Berdasarkan hasil
kajian, satu cadangan pelan tindakan telah dirangka untuk dijadikan panduan kepada
pihak yang terlibat dalam menyediakan perkhidmatan dan pendidikan kepada pelajar
berkeperluan khas bermasalah pembelajaran.
1.1 Pengenalan
Setiap individu memerlukan sosialisasi dengan orang di sekelilingnya tanpa mengira bangsa,
jantina, umur dan faktor-faktor yang membezakan seseorang individu dengan individu yang
lain. Seseorang individu akan berasa gembira sekiranya diterima oleh orang lain ataupun dapat
menyesuaikan diri dengan kumpulan lain. Aktiviti sosial amat penting bagi semua individu
sama ada individu yang biasa ataupun individu berkeperluan khas.
Menurut Siti Hawa Munji dan Maarof Redzuan (1990) sosialisasi merupakan satu
proses di mana seseorang individu hidup secara berkelompok, bermasyarakat atau berhubung di
antara satu anggota masyarakat dengan ahli masyarakat yang lain serta mampu untuk bertindak
mengikut jangkaan-jangkaan sosial. Ribben (1975) dalam Siti Hawa Munji dan Maarof Redzuan
(1990) pula menjelaskan bahawa sosialisasi merupakan proses seseorang dididik agar
berkelakuan mengikut kehendak ramai di sekelilingnya. Antara kemahiran yang diperolehi
melalui proses sosialisasi ialah menggalakkan perkembangan mental atau kognitif, berfikiran
bebas dan kreatif, meningkatkan penyesuaian diri ke dalam masyarakat, peluang pekerjaan,
keyakinan diri, berdikari serta pemahaman bahasa dalam mengaturkan tingkahlaku dan aktiviti
harian.
Falsafah Pendidikan Khas telah menyatakan bahawa semua kanak-kanak patut diberi
peluang berkembang mengikut potensi masing-masing. Kanak-kanak berkeperluan khas juga

mempunyai hak yang sama seperti kanak-kanak biasa. Maka telah wujud sejenis sekolah iaitu
sekolah percantuman yang membenarkan kanak-kanak berkeperluan khas untuk belajar dan
bergaul dengan kanak-kanak biasa. Integrasi dalam sesebuah negara sering dikaitkan dengan
penduduk yang berbilang kaum atau dalam masyarakat majmuk (Kementerian Pendidikan
Malaysia, 1997). Konsep majmuk dalam pendidikan menggambarkan keadaan masyarakat
sekolah itu sendiri yang terdiri daripada pelbagai kelompok yang berbeza-beza, misalnya
bangsa, agama dan cara hidup. Apabila memperkatakan tentang kanak-kanak dengan keperluan
khas atau kanak-kanak 'istimewa' pula, terpapar difikiran kita bahawa mereka ini mempunyai
perbezaan yang amat nyata dari segi kecerdasan, jasmani, sosial ataupun emosi. Justeru itu
mereka ini diandaikan tidak sesuai ditempatkan bersama-sama pelajar biasa.

Pelajar Bermasalah Pembelajaran


Satu definisi yang agak awal dikemukakan yang sering dirujuk apabila membicarakan
pendidikan kanak-kanak bermasalah pembelajaran ialah definisi yang dikeluarkan oleh The
National Advisory Committee on Handicapped Children (1967) dalam Heward dan Orlansky
(1992). Menurut definisi tersebut, ketidakupayaan pembelajaran yang khas merujuk kepada
gangguan atau kekacauan dalam proses psikologi asas, yang melibatkan pemahaman atau
penggunaan bahasa, sama ada lisan ataupun tulisan. Ini mungkin dapat dikesan dalam
kemahiran dan kefahaman mendengar, berfikir, bertutur, membaca, menulis, mengeja atau
mengira. Golongan yang termasuk kekurangan persepsi, kecederaan otak, otak kurang berfungsi
(minimal brain dysfunction, dyslexia, development aphasia) dan lain-lain lagi.
Traver dan Hallahan (1976) dalam Hallahan dan Kauffman (1996) menyatakan bahawa
walaupun ada berbagai-bagai definisi tentang kanak-kanak bermasalah pembelajaran, namun
terdapat lima ciri universal dalam setiap definisi yang dihuraikan. Ciri-ciri bagi kanak-kanak
yang tidak berupaya dalam pembelajaran ialah:
(a) Ia mempunyai kerencatan akademik.
(b) Ia mempunyai pola perkembangan yang tidak sekata.
(c) Ia mempunyai atau tidak mempunyai sistem saraf tunjang yang tidak berfungsi.
(d) Masalah pembelajaran yang dialaminya tidak berpunca daripada persekitaran yang
tidak menguntungkan.
(e) Masalah pembelajaran yang dialaminya tidak berpunca daripada kerencatan otak atau
gangguan emosi.
Walau bagaimanapun, terdapat beberapa pandangan lain yang mempersoalkan definisi di
atas yang cuba mengetepikan golongan kanak-kanak bermasalah pembelajaran yang berpunca
daripada kerencatan akal, persekitaran yang tidak menguntungkan dan gangguan emosi.
Hallahan dan Kauffman (1996) telah cuba memberikan definisi baru yang lebih sesuai bagi
merangkumi semua jenis masalah pembelajaran yang dihadapi oleh kanak-kanak, dengan tidak
mengira apa puncanya. Bagi mereka, ketidakupayaan pembelajaran merujuk kepada masalahmasalah pembelajaran yang dialami oleh kanak-kanak, yang secara tradisinya dahulu dikenali
sebagai kecacatan ringan (mildly handicapped), sama ada disebabkan oleh gangguan emosi,
kerencatan akal yang sederhana atau ketidakupayaan belajar (learning disabled).
Kanak-kanak bermasalah pembelajaran adalah kanak-kanak yang mengalami
perbezaan antara pencapaian akademik dengan intelek. Mereka ini tidak termasuk kanak-kanak
yang cacat pendengaran, cacat penglihatan, masalah emosi dan sebagainya (Kirk 1962). Istilah
ini termasuklah contoh-contoh ketidakupayaan seperti kerencatan persepsi, keadaan otak,
ketidakfungsian otak yang minima, dyslexia dan afasia tidak termasuk kanak-kanak yang
mempunyai masalah-masalah dalam pembelajaran di mana pencapaian rendah yang berpunca
dari penglihatan, pendengaran atau kecacatan motor, kerencatan akal, gangguan emosi atau
persekitaran, budaya dan kelemahan ekonomi (Public Law 94-142).

Program integrasi /percantuman


Program integrasi atau percantuman boleh meningkatkan tahap pembelajaran dan
pencapaian optimum dalam perhubungan manusia untuk bersosialisasi. Menurut Hobbs (1975)
dalam Zaharah Abu Bakar (1997) sejarah sistem klasifikasi telah menunjukkan bahawa
mengelompokkan manusia mengikut kategori kecacatan merupakan satu usaha yang merugikan.
Program integrasi adalah merupakan satu proses penting yang dapat memberi peluang kepada
pelajar-pelajar berkeperluan khas menimba pengalaman dan mendapat pendidikan yang sama
seperti pelajar biasa. Ia berasaskan prinsip-prinsip normalisasi yang menegaskan pelajar-pelajar
berkeperluan khas berhak untuk mendapat pendidikan yang sewajarnya dan kini mereka diberi
peluang yang luas bersama-sama pelajar biasa.
Kirk & Gallagher (1983) dalam Wood (1993) mengatakan bahawa sebenarnya
program inklusif, integrasi dan percantuman merupakan kaedah atau program yang sama iaitu
menyediakan pendidikan untuk kanak-kanak berkeperluan khas tetapi mempunyai ciri-ciri yang
berbeza. Ia merupakan satu proses yang membawa kanak-kanak berkeperluan khas ke dalam
perhubungan harian dengan kanak-kanak biasa dalam satu persekitaran pembelajaran yang
sama. Walaupun pelaksanaan program integrasi ini bertujuan untuk memanfaatkan kanak-kanak
berkeperluan khas, namun masih ada pelbagai masalah dan halangan yang menghalang kanakkanak berkeperluan khas untuk bersosialisasi dengan golongan kanak-kanak biasa.
Pernyataan masalah
Interaksi sosial antara rakan-rakan merupakan komponen yang amat penting dalam
proses sosialisasi kanak-kanak. Antia (1994) berpendapat bahawa interaksi sosial akan
mempengaruhi kanak-kanak dalam usaha mempelajari sesuatu dalam kehidupan harian. Setiap
individu akan menghadapi masalah ketika bersosial dengan individu lain memandangkan setiap
individu mempunyai karakter yang berbeza. Maka memang tidak dapat dinafikan bahawa
kecacatan pada kanak-kanak akan mempengaruhi peluang sosialisasinya. Thomas (1978)
berpendapat bahawa kehadiran kecacatan pada kanak-kanak memungkinkan timbulnya
perbezaan dalam proses dan kesan sosialisasi yang dialami oleh kanak-kanak tersebut. Sikap
rendah diri terhadap kecacatan dan ketidakupayaan mengikut jenis dan tahap kecacatan
merupakan faktor yang mempengaruhi proses sosialisasi.
Dapatan kajian yang dijalankan oleh Zaharah Abu Bakar (1997) mengenai sosialisasi di
kalangan pelajar-pelajar bermasalah pendengaran mendapati mereka kurang bersosial dengan
pelajar-pelajar biasa walaupun mereka belajar di persekitaran yang sama. Kajian juga mendapati
penarikan diri pelajar-pelajar khas ini adalah disebabkan oleh perasaan rendah diri pelajarpelajar, di samping penerimaan pelajar-pelajar biasa terhadap pelajar khas. Aktiviti-aktiviti di
sekolah juga didapati tidak memberi peluang kepada pelajar-pelajar khas untuk bersosial dengan
pelajar biasa.
Norhayati @ Putih (1996) pula menjalankan kajian perbandingan peluang bersosialisasi
di antara murid bermasalah pendengaran, murid bermasalah pembelajaran dan murid biasa.
Kajian beliau melibatkan 210 orang murid biasa, 5 orang murid bermasalah pendengaran dan 2
orang murid bermasalah pembelajaran. Hasil kajian menunjukkan murid-murid bermasalah
pembelajaran mempunyai peluang bersosialisasi yang lebih berbanding dengan murid-murid
bermasalah pendengaran. Kajian juga mendapati bahawa masalah utama yang mempengaruhi
kurangnya peluang murid khas bersosialisasi dengan murid biasa ialah disebabkan masalah
komunikasi serta masalah untuk memahami keadaan dan keperluan murid-murid khas tersebut
oleh murid biasa.
Reed (1994) telah menjalankan kajian integrasi sosial ke atas pelajar berkeperluan khas
bermasalah pendengaran di sebuah sekolah di Britain yang bertujuan untuk melihat
perkembangan sosialisasi 15 orang pelajar. Hasil kajian tersebut menunjukkan, keberkesanan
pelajar-pelajar bersosialisasi dalam masyarakat dan belajar dalam kelas-kelas percantuman
adalah bergantung kepada beberapa faktor seperti darjah kehilangan pendengaran, kecerdasan,

personaliti, latar belakang keluarga, saiz bilik darjah, kemampuan guru serta kualiti
perkhidmatan pendidikan khas yang diterima oleh pelajar-pelajar bermasalah pendengaran ini.
Walau bagaimanapun terdapat juga trend-trend penolakan terhadap pelajar-pelajar
berkeperluan khas masih meluas. Menurut Thomas (1978) kehadiran kecacatan pada diri kanakkanak membawa maksud bahawa proses dan kesan dari segi sosialisasi yang berbeza dalam
beberapa keadaan yang dialami oleh kanak-kanak biasa. Sikap terhadap ketidakupayaan atau
kecacatan dan perbezaan mengikut jenis-jenis kecacatan merupakan faktor-faktor yang
menghalang proses sosialisasi.
Terdapat pelbagai halangan sosial yang dihadapi oleh pelajar berkeperluan khas untuk
berinteraksi dengan orang lain. Halangan sosial ini bukan sahaja menggalakkan kanak-kanak
menjadi pemalu, suka bersendirian tetapi juga takut untuk mewujudkan hubungan sosial dengan
orang lain jika mereka diberi peluang. Justeru itu mereka leka, lalai dan tidak mempunyai
banyak masa untuk bergaul dan bersosialisasi dengan orang lain dan akhirnya mereka
meminggirkan serta memencilkan diri dari orang lain.
Bryan (1978) mendapati bahawa peratusan pelajar-pelajar berkeperluan khas yang
mempunyai masalah sosial adalah tinggi. Kajian-kajian lain juga menunjukkan bahawa pelajarpelajar sekolah termasuk peringkat pra sekolah yang mengetahui tentang kecacatan yang
mereka alami dan mereka lebih berminat bergaul dengan rakan-rakan sebaya sahaja daripada
rakan biasa. Sosialisasi di dalam program integrasi juga amat terbatas (Bryan, 1978). Oleh yang
demikian, proses sosialisasi perlu diperluaskan dan diberi sokongan yang padu. Di samping itu
juga persoalan-persoalan mengenai sosialisasi di dalam pendidikan khas perlu dihuraikan satu
persatu bagi membolehkan pelajar-pelajar berkeperluan khas ini mendapat pendidikan yang
sewajarnya.
Objektif kajian
Kajian ini adalah bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji tahap sosialisasi di antara murid
khas dengan murid biasa yang belajar dalam persekitaran yang sama di sekolah dalam program
persekolahan yang dikenali sebagai program percantuman. Secara khususnya kajian ini
meninjau beberapa situasi persekolahan mengikuti persepsi guru biasa dan guru pendidikan
khas yang terlibat secara langsung dengan pelajar tersebut.
Metodologi
Kajian ini menggunakan soal selidik sebagai instrumen utama, pemerhatian dan temubual untuk
mendapatkan maklumat tentang tahap sosialisasi kanak-kanak bermasalah pembelajaran. Soal
selidik ini meninjau maklumat tentang tahap sosialisasi kanak-kanak bermasalah pembelajaran
dari persepsi guru khas dan guru biasa sewaktu pelajar dalam beberapa situasi persekolahan
seperti sewaktu sebelum waktu persekolahan, sewaktu perhimpunan, sewaktu rehat, sewaktu
relajar, sewaktu aktiviti permainan dan ko kurikulum.
Sampel terlibat ialah 140 guru pendidikan khas dan 140 guru biasa yang yang dipilih
secara rawak. Sekolah-sekolah yang terlibat dalam kajian ialah sekolah yang menjalankan
program percantuman di sekolah-sekolah negeri Perak, Selangor, Wilayah Persekutuan dan
Negeri Sembilan. Data dihuraikan dalam bentuk statistik diskriptif yang melibatkan kekerapan
dan peratus. Hasil pemerhatian dan temubual akan dianalisis dan digunakan untuk menyokong
dalam dapatan kajian.

Dapatan
Sebanyak 30 buah sekolah menengah biasa yang menjalankan program percantuman pelajarpelajar bermasalah pembelajaran terlibat dalam kajian ini. Dapatan yang diperolehi
menunjukkan terdapat seramai 947 orang pelajar bermasalah pembelajaran dan 213 orang
guru pendidikan khas terlibat dalam program percantuman di sekolah-sekolah menengah biasa
di negeri Selangor, Perak, Wilayah Persekutuan dan Negeri Sembilan. Kajian ini hanya
melibatkan 140 orang guru pendidikan khas dan 140 puluh orang guru biasa. Pelajar-pelajar di
tempatkan belajar dalam 127 buah kelas percantuman di mana pembelajaran dijalankan secara
berasingan dari kelas biasa tetapi di dalam sekolah yang sama dengan pelajar biasa.
Persepsi guru biasa dan guru khas
Jadual 1 menunjukkan persepsi guru biasa dan guru khas mengenai sosialisasi pelajar khas
dan pelajar biasa dalam beberapa situasi di sekolah. Walau pun konsep program sekolah
percantuman menekankan interaksi atau sosialisasi di antara pelajar biasa dan pelajar khas tetapi
dalam beberapa situasi hal ini tidak berlaku. Min tertinggi 0.80 persepsi guru biasa dan khas
menunjukkan bahawa waktu rehat pelajar khas dan pelajar biasa tidak sama (item 4). Diikuti
dengan min persepsi guru biasa dan guru khas 0.79 bahawa pelajar khas tidak dalam kumpulan
pelajar biasa sewaktu perhimpunan. Min yang tinggi keseluruhan soalan yang diajukan kepada
guru biasa dan guru khas menunjukkan bahawa dalam kebanyakkan situasi pelajar khas adalah
tidak bersama dengan pelajar biasa walau pun mereka ditempatkan dalam sekolah yang sama.
Jadual 1. Persepsi guru khas terhadap sosialisasi pelajar khas dan pelajar biasa
Bil Item
Guru
Guru
Biasa
Khas
Min
1.
Tidak selalu berinteraksi dengan pelajar
74%
73%
0.74
biasa
2.
Tidak bermain bersama-sama dengan pelajar
69%
53%
0.61
biasa
3.
Pelajar khas dalam kumpulan mereka waktu
80%
77%
0.79
perhimpunan
4.
Waktu rehat tidak sama pelajar biasa
80%
81%
0.80
5.
Pelajar biasa tidak membantu pelajar khas
70%
77%
0.74
6.
Tidak bergaul / bermain dengan pelajar biasa
73%
69%
0.71
7.
Pelajar khas tidak ambil tahu pelajar biasa
65%
76%
0.70
8.
Aktiviti ko kurikulum pelajar khas
72%
63%
0.68
dijalankan berasingan
9.
Pelajar khas anggotai kelab dan persatuan
76%
79%
0.78
yang berasingan
10. Aktiviti pelajar khas dijalankan oleh guru
71%
71%
0.71
khas
11. Pelajar biasa tidak terlibat aktiviti pelajar
80%
77%
0.79
khas
12. Tidak merujuk guru biasa jika menghadapi
77%
81%
0.75
masalah
13. Pelajar khas tidak mengenali guru biasa
80%
69%
0.73
14. Pelajar khas bertanding dalam acara sukan
76%
69%
0.71
yang berasingan
15. Membuat persembahan dalam kumpulan
69%
73%
0.61
pelajar khas sahaja.
Guru biasa =140 guru khas =140

Perbincangan
Pemerhatian juga dijalankan di dalam sembilan situasi persekolahan iaitu sebelum waktu
persekolahan, semasa perhimpunan, sewaktu rehat, sewaktu aktiviti ko-kurikulum, semasa
upacara sekolah, sewaktu di dalam kelas inklusif, sewaktu pelajar dengan rakan khas, dengan
guru khas dan selepas waktu persekolahan. Dari kesemua situasi tersebut terdapat beberapa
aktiviti yang menunjukkan tidak berlaku atau terdapat halangan interaksi sosial antara pelajar
khas dan pelajar biasa walaupun mereka ditempatkan belajar di dalam sebuah sekolah yang
sama. Contohnya sewaktu perhimpunan murid-murid khas biasanaya dalam kelompok mereka,
menurut guru-guru ini dilakukan adalah bertujuan untuk memudahkan kawalan terhadap muridmurid khas tersebut.
Keadaan yang sama juga berlaku kepada pelajar khas di luar kelas, pelajar- pelajar khas
lebih gemar bermain dengan kelompok rakan khas waktu di luar kelas walaupun terdapat ramai
pelajar biasa pada waktu itu. Antara faktor yang menghalang sosilaisasi berlaku ialah
kelemahan kemahiran berinteraksi dikalangan pelajar khas. Menurut guru-guru kelemahan
berkomunikasi menyebabakan pelajar khas lebih gemar bersama mereka sahaja dalam pelbagai
aktiviti yang dilakukan. Perkembangan intelek relajar khas juga tidak seimbang dengan umur
mereka, tapik-topik perbualan juga tidak menunjukkan kematangan dengan peringkat umur
mereka. Hal ini menyebabkan mereka tidak dapat mengikuti perkembangan topik-topik
perbaulan relajar biasa.
Aktiviti-aktiviti yang dijalankan juga sebenarnya tidak membantu sosialisasi mereka
dengan pelajar biasa. Secara fizikal mereka kelihatan seperti berada dalam proses pembelajaran
dan pergaulan bersama-sama pelajar-pelajar biasa tetapi jika ditinjau ke dalam situasi sebenar
kehadiran pelajar khas adalah tidak memberi kesan atau sumbangan kepada sekolah kerana
mereka masih terasing dalam kebanyakan aktiviti yang dijalankan disekolah. Hasil kajian
Zaharah Abu Bakar (1997) ke atas pelajar bermasalah pendengaran juga mendapati aktivitiaktiviti di sekolah didapati tidak memberi peluang kepada pelajar khas untuk bersosial dengan
pelajar biasa. Selain itu dapatan kajian yang diperolehi juga menunjukkan bahawa wujud situasi
yang menghalang atau tidak menggalakkan interaksi pelajar khas dan pelajar biasa sebagai
contoh waktu rehat pelajar khas tidak sama pelajar biasa, waktu pulang yang berbeza dari
pelajar biasa dan aktiviti ko-kurikulum dijalankan serentak tetapi secara berasingan.
Selain daripada terdapat situasi yang ketara menghalang interaksi sosial antara pelajar
khas dan biasa, terdapat tingkahlaku pelajar khas yang tidak sealiran dengan keperluan
tingkahlaku sebagai pelajar biasa. Pelajar-pelajar khas kerap diasingkan dalam pelabagi aktiviti
yang dijalankan di sekolah, sikap terlalu melindungi dan dilindungi juga memberi kesan yang
negatif terhadap perkembangan pelajar-pelajar khas. Mereka diasingkan dengan alasan untuk
memudahkan atau melancarkan sesuatu aktiviti yang hendak di lakukan oleh pihak guru atau
sekolah. Selain itu alasan yang kerap diberikan adalah untuk mejaga keselamatan mereka atau
mengelakkan kecederaan berlaku kepada pelajar khas. Penyisihan berterusan begini sebenarnya
tidak membantu perkembangan relajar khas kerana terdapat juga relajar khas yang
berkemampuan jika sekiranya diberi peluang contohnnya dalam aktiviti seni serta juga jasmani.
Selain dari kelemahan dan tidak keupayaan yang dialami oleh pelajar khas, pelajar lain atau
pihak sekolah juga perlu memberi kerjasama mendekati dan bersdia memamahani kelemahan
yang dihadapi oleh relajar khas dan membantu mereka agar program percantuman dapat
membantu mendekatkan relajar khas dengan pelajar biasa.
Penutup
Dalam program persekolahan integrasi, pelajar berkeperluan khas di tempatkan belajar di
sekolah-sekolah yang sama dengan pelajar biasa. Program ini bertujuan agar pelajar-pelajar
khas dapat bergaul, berinteraksi, bermain, menjalankan aktiviti dan belajar bersama-sama
pelajar yang lain. Proses persekolahan bersama-sama pelajar lain ini diharapkan agar pelajar

berkeperluan khas tidak terasing atau merasa diasingkan. Di samping itu, program integrasi
juga bertujuan agar pelajar berkeperluan khas boleh meningkatkan kemahiran berinteraksi dan
bersosial dengan pelajar biasa dari peringkat awal. Kemahiran sosialisasi ini seterusnya boleh
membantu mereka untuk hidup bersama dalam masyarakat apabila mereka telah menamatkan
alam persekolahan.
Jika pengasingan berlaku dalam kehidupan mereka setiap hari, maka lama-kelamaan
proses normalisasi di kalangan mereka akan menemui kebuntuan. Mereka akan terus berada
dalam dunia mereka sendiri (Wood, 1993). Langkah pihak kerajaan dan Kementerian
Pendidikan mewujudkan program sekolah percantuman atau program integrasi adalah satu
usaha murni dalam membawa pelajar berkeperluan khas ke dalam dunia masyarakat biasa.
Percantuman atau integrasi berasaskan prinsip bahawa kanak-kanak dengan keperluan khas
mempunyai hak untuk belajar seperti mana kanak-kanak biasa. Di bawah program integrasi ini,
perhubungan sosialisasi adalah penting untuk memberi peluang kepada pelajar-pelajar
berkeperluan khas mengambil bahagian dalam aktiviti-aktiviti pendidikan sosial dan kerjaya
supaya mereka boleh menjadi individu yang mempunyai kepercayaan pada diri sendiri dan
boleh menyesuaikan diri dalam masyarakat di sekeliling mereka.
Kanak-kanak berkeperluan khas tidak harus dipinggirkan dalam proses sosialisasi. Tidak
wajar jika mereka didiskriminasikan kerana kecacatannya. Proses ini memerlukan kesedaran di
kalangan pelajar biasa dan keperluan khas. Mereka perlu belajar untuk bantu membantu dan
bekerjasama di antara satu sama lain. Kecacatan bukanlah batu penghalang yang boleh
memisahkan mereka kepada kelompok-kelompok tertentu (Bender, 1995). Walaupun terdapat
pelbagai kesukaran dalam proses mensosialisasikan mereka tetapi program percantuman ini
dapat memberi peluang kepada relajar-pelajar berkeperluan khas bermesra, bergaul dan
bekerjasama dengan murid-murid biasa di dalam apa jua aktiviti yang dijalankan di sekolah.
Selaras dengan wawasan 2020 iaitu menuju ke arah negara maju yang diiktiraf oleh
masyarakat antarabangsa, negara kita juga perlu mengamalkan prinsip demokrasi dalam
pendidikan dan memberi hak yang sama rata kepada semua rakyatnya. Oleh yang demikian
dasar pendidikan juga perlu memberikan peluang yang sama rata kepada semua murid tidak
mengira bangsa, agama, keturunan, warna kulit dan kebbolehan. Program persekolahan yang
melibatkan murid-murid berkeperluan khas juga perlu diberikan perhatian di mana peluang
yang sama rata perlu diberi keada pelajar-pelajar khas untuk terlibat dengan pelajar biasa dalam
semua aktiviti akademik dan ko kurikulum di sekolah.
Rujukan.
Antia, S. (1985) Developing social interaction and social communication skills in hearing
impaired children. Dlm. Qwrid, L. (pnyt). The education of the deaf: current
perspectives: 1724-1727. London: Croom Helm.
Ashdown, R. (1994) Planning for their future. British Journal of Special Education. 21 (3):
110-112
Atkinson, R. L., Atkinson, R.C., Smith, E. E., Bem, P. P., & Hilgard, E. R. (1990) Introduction
to psychology. 5th ed. Florida: Harcourt Brace Jovanovich.
Bender, W.N. (1995) Learning Disabilities Characteristics. Identification and Teaching
Strategies. Boston: Allyn & Bacon.
Bryan, T. (1978) Linguistic, cognitive and social analysis of learning disabled children's social
interactions. Learning Disability Quarterly, 1, 70-79.
Chua Tee Tee (1986) Keperluan psikososial orang cacat. Journal Suara Pendidik II 4:
43-45.
Chua Tee Tee & Koh Boh Boon (1992) Pendidikan khas dan Pemulihan. Bacaan Asas:
Kuala Lumpur: Kementerian Pendidikan Malaysia & Dewan Bahasa dan Pustaka.
Choate. (1991) Successful mainstreaming. New York: Allyn and Bacon.

Hallahan, D. P., & Kauffman, J. M. (1996) Exceptional children: Introduction to special


education (6th ed.) Boston: Allyn and Bacon.
Heward, W.C. & Orlansky, M.D. (1992) Exceptional Children 2nded. Charles, E. Merrill
Publishing Company.
Jane, B. S & Dale, C. (1995) Mainstreaming exceptional students. A guide for classroom
teacher (4th. Ed.). New York: Allyn & Bacon.
Kementerian Pendidikan Malaysia (1997) Peraturan-peraturan Pendidikan (Pendidikan
Khas) 1997. Warta Kerajaan 41 (26) (Tambahan No 94 Perundangan A).
Kirk, G. (1962) Educating exceptional children (3rd. edition). Boston: Houghton Co.
Norhayati @ Putih (1996) Peluang bersosialisasi kanak-kanak cacat pendengaran, kanak-kanak
bermasalah pembelajaran dengan kanak-kanak biasa di dua buah sekolah biasa: satu
kajian perbandingan. Latihan Ilmiah: Fakulti Pendidikan UKM.
Reed, M. (1986) Educating hearing impaired children in ordinary and special school. Open
University Press.
Reed, V. A. (1994) An introduction to children with language disorders (2nd ). New York:

Maxwell Macmillan.
Siti Hawa Munji & Maarof Redzuan (1990) Pengantar psikologi. Kuala Lumpur: Fajar Bakti.
Thomas, D. C. (1978) The social psychology of childhood disability. London: Methuen & Co.
Ltd.
Wood, J. W. (1993) Mainstreaming (2nd ed.) A practical approach for teachers.
New York: Macmillan.
Wolfensberger, W. (1972) The principle of normalization in human services. Toronto:
National Institute on Mental Retardation.
Zaharah Abu bakar (1997) Integrasi sosialisasi di kalangan pelajar cacat pendengar di dalam
program integrasi pendidikan khas di Sek. Men. Sultan Abdul Samad, Klang, Selangor.
Latihan Ilmiah: Fakulti Pendidikan UKM.
Zalizan Mohd. Jelas (1990) Pendidikan pemulihan khas masa kini: Pelaksanaan dan cabaran.
Kertas kerja Seminar Pendidikan Pemulihan. Maktab Perguruan Pasir Panjang, Kuala
Terengganu.
Zalizan Jelas & Norani Salleh (2000) Pendidikan inklusif: Satu perubahan dalam paradigma
pendidikan. Kertas kerja seminar Pendidikan Khas Peringkat Kebangsaan di Institut
Aminuddin Baki, Genting Highlands. 11-14 Jun.

Kepentingan Aktiviti Rekreasi Kepada Kanak-Kanak Berkeperluan Khas


Manisah Mohd. Ali
Mohd. Mokhtar Haji Tahar
Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia

Pendahuluan
Aktiviti rekreasi luar bagi kanak-kanak berkeperluan khas merupakan satu
bentuk aktiviti untuk membantu kanak-kanak ini meneroka alam di luar dan juga untuk
membantu mereka merasa ketenangan. Secara amnya, kepentingan rekreasi kepada
manusia dilihat dari segi pencapaian individu, kemahiran dan kesukaan, kesihatan dan
kecerdassan fizikal, ekspresi kreatif dan menghayati etika, pembangunan sosial, alam
sekitar dan sumber ekonomi.
Konsep asas rekreasi ialah suatu yang menghiburkan
selain daripada pekerjaan melengkapkan tenaga untuk kerja atau sesuatu yang positif
dan diterima oleh masyarakat sebagai pengalaman di masa lapang di mana pilihan dan
penglibatan terserah pada individu (Mull, 1997) Matlamat rekreasi ialah menyediakan
seseorang dengan peluang memilih pelbagai aktiviti dan membantu peserta menambah
pengalaman positif untuk bertujuan untuk meningkat tahap kesihatan dan keselesaan di
samping menampilkan kreativiti dan keseronokan Chek Mat ( 2001 ).
Rekreasi luar boleh dilihat mengikut tiga perspektif berikut. Pertama, ia
merupakan aktiviti yang dibuat di bawah keadaan-keadaan tertentu dan disertai motivasi
tertentu. Kedua, ia dianggap sebagai proses membentuk keperibadian/personaliti
seseorang dan ketiga, ia berperanan di dalam institusi sosial sebagai tempat untuk
bersosial dan mendapat ilmu pengetahuan. Rekreasi sepatutnya dianggap sebagai
pengalaman utama bagi mendapatkan kepuasan diri yang wujud dari penglibatan yang
berjaya. Keadaan ini boleh membuatkan individu merasa sempurna dan mendapat
kepuasan diri apabila menyertainya. Di samping itu, imej diri seseorang dapat
dipertingkatkan secara positif dan ini dapat membantu dalam penerimaan dan
penghargaan yang positif masyarakat terhadap individu berkeperluan khas.
Kertas ini akan membincangkan keperluan terhadap aktiviti rekreasi luar bagi
kanak-kanak berkeperluan khas.
Konsep aktiviti rekreasi untuk kanak-kanak
berkeperluan khas dilihat dari segi kepentingan aktiviti berkenaan dalam membantu
kanak-kanak ini meneroka diri dan alam mereka secara berkesan. Kepentingan ini
dibincangkan mengikut kepentingan dari aspek sosial, emosi, sahsiah dan fizikal.
Rekreasi Luar dan Kanak-kanak Berkeperluan Khas
Rekreasi meliputi aktiviti atau tingkah laku yang dilakukan oleh individu dalam waktu
lapang seperti bersukan, berkhemah, bercuti dan sebagainya. Aktiviti rekreasi tidak
hanya terhad kepada segolongan individu sahaja tetapi meliputi mereka berkeperluan
khas. Bagi tujuan perbincangan dalam kertas ini, golongan berkeperluan khas merujuk
kepada kumpulan kanak-kanak berkeperluan khas. Dari konteks pendidikan, kanak-

kanak berkeperluan khas merupakan mereka yang mempunyai masalah penglihatan


atau masalah pendengaran atau masalah pembelajaran (Akta Pendidikan 1996) yang
telah dikenalpasti sebagai mengalami ketidakupayaan dari segi perkembangan intelek,
fizikal dan sensori (Manisah, Zalizan & Ramlee 2006).
Membangunkan kemahiran rekreasi, memahami kepentingan amalan cara hidup
yang sihat dan mengukuhkan penghargaan diri melalui kemahiran fizikal adalah sering
dirujuk sebagai faedah yang diperolehi daripada program aktiviti yang terancang
(Brewster, 1997). Kanak-kanak berkeperluan khas perlu diberi dorongan yang kuat di
dalam persekitaran mereka untuk membantu mereka meningkatkan lagi nilai mereka di
kalangan rakan sebaya. Dengan adanya aktiviti rekreasi yang terancang, penyertaan
mereka dalam aktiviti rekreasi dan aktiviti masa lapang yang lain dapat menggalakkan
berlakunya interaksi sosial disamping meningkatkan konsep kendiri yang positif. Selain
daripada itu, aktiviti rekreasi juga membolehkan kanak-kanak berkeperluan khas
meningkatkan tahap kesihatan fizikal mereka dan memupuk nilai-nilai murni di
kalangan kanak-kanak khas seperti membina kekuatan mental dan fizikal, kawalan
emosi dan semangat bekerjasama dalam kumpulan serta melahirkan perasaan dengan
betul. Antara contoh aktiviti rekreasi yang boleh dilakukan adalah aktiviti sukaneka
seperti lari dalam guni, isi air dalam botol dan aktiviti mengembara dalam hutan.
Tambahan pula, mereka boleh memingkatkan keadaan kesihatan dan kualiti kehidupan
(Modell & Valdez, 2002)

Kepentingan Menjalankan Aktiviti Rekreasi dari Aspek Sosial


Dari aspek sosial, pengalaman yang diperolehi dalam aktiviti rekreasi merupakan
sebahagian pengalaman hidup yang penting kepada setiap kanak-kanak. Dalam sesuatu
aktiviti rekreasi seperti perkhemahan, kanak-kanak berkeperluan khas mempelajari
hidup secara demokratik, dapat bergaul dengan kanak-kanak lain dari berlainan latar
belakang, serta kebolehan yang berbeza. Di samping itu, mereka juga boleh melibatkan
diri dalam merancang program-program yang akan diikuti semasa perkhemahan.
Kepentingan menjalankan aktiviti rekreasi dari aspek sosial seterusnya adalah seperti
berikut:
Memberi kesedaran kepada masyarakat
Masyarakat perlu diberi pendedahan dan kesedaran mengenai kepentingan kanakkanak berkeperluan khas supaya mereka diberi peluang berekreasi. Melalui cara ini,
masyarakat dan kanak-kanak berkeperluan khas akan dapat merasai pengalaman
yang positif bersama-sama melalui aktiviti seperti berkhemah, berkelah, bersukan
dan sebagainya.
Kanak-kanak berkeperluan khas perlu diberi hak yang sama untuk berekreasi
Kanak-kanak berkeperluan khas harus diberi peluang pengalaman yang sama seperti
kanak-kanak tipikal yang lain. Adalah satu perkara yang tidak adil jika ahli keluarga
atau masyarakat mengamalkan diskriminasi terhadap kanak-kanak ini kerana
mereka juga seperti kanak-kanak lain yang mempunyai hati dan perasaan ingin
berkongsi hidup di dunia ini.

Mengurangkan tanggapan segregasi terhadap kanak-kanak berkepeluan


khas
Ahli keluarga, rakan sebaya serta masyarakat perlu dibimbing supaya dapat
mengurangkan tanggapan segregrasi terhadap kanak-kanak ini. Kanak-kanak
berkeperluan khas tidak perlu diasingkan dalam keadaan tertentu. Contohnya
apabila berada di sekolah, mereka diberi masa rehat bersama-sama dengan kanakkanak tipikal supaya interaksi di antara kanak-kanak berkeperluan khas dan dengan
kanak-kanak tipikal dapat dilakukan.

Mengikis stigma masyarakat bahawa kanak-kanak berkeperluan khas tidak


memerlukan rekreasi
Mengurangkan anggapan bahawa kecacatan/ kekurangan yang dialami oleh kanakkanak berkeperluan khas menyebabkan mereka tidak dapat melakukan apa-apa
aktiviti yang melibatkan rekreasi. Contoh seperti kembara di hutan, memancing,
berkuda dan sebagainya.
Menggalakkan interaksi sosial
Membuka ruang atau peluang seluas yang mungkin untuk kanak-kanak berkeperluan
khas bergaul dan berinteraksi dengan kanak-kanak tipikal. Kanak-kanak tipikal perlu
dibimbing supaya mereka boleh menerima kehadiran kanak-kanak berkeperluan khas
sebagai rakan mereka. Mereka juga perlu digalakkan untuk berkomunikasi, bermain,
belajar dan melakukan pelbagai aktiviti bersama-sama.
Meningkatkan kesedaran tentang kepentingan sukan dan rekreasi
Ahli keluarga, rakan-rakan dan anggota masyarakat diberi pendidikan tentang
perkara-perkara yang berkaitan dengan kanak-kanak berkeperluan menerusi bengkel,
kursus, seminar atau sesi kaunseling berkaitan keperluan-keperluan kanak-kanak
berkeperluan khas seperti bersukan, berekreasi, bermain, belajar mengurus diri dan
lain-lain.
Kepentingan Menjalankan Aktiviti Rekreasi dari Aspek Emosi
Dari aspek emosi, penyertaan dalam aktiviti rekreasi dapat membantu kanak-kanak
berkeperluan khas dalam perkara berikut:
Mengelakkan daripada penarikan diri atau disishkan
Apabila kanak-kanak berkeperluan khas ini terpaksa berkumpul, bermain, makan,
tidur dan lain-lain bersama rakan-rakan dari pelbagai latar belakang, gender dan
etnik, maka secara tidak langsung penarikan diri dapat dielakkan. Mereka mula
berkeyakinan untuk bergaul dan berinteraksi dan tidak merasa diri mempunyai
kekurangan. Oleh itu emosi yang tidak stabil terhadap ketidakupayaan dan
kelemahan diri mereka juga dapat dikikis.
Mengikis perasaan malu
Sesetengah kanak-kanak khas malu untuk melakukan aksi-aksi seperti melompat,
berlari dan sebagainya kerana kurang berkeyakinan atau takut ditertawakan oleh
rakan. Layanan yang mesra dan sama rata yang diberikan oleh guru, rakan-rakan dan
fasilitator aktiviti dapat mengelakkan rasa rendah diri dalam kalangan mereka.
Perasaan malu akan dapat dikikis melalui aktiviti rekreasi yang dirancang dengan
teratur dan berkesan.

Melatih bertenang

Kanak-kanak berkeperluan khas yang hiperaktif dan bermasalah tingkah laku


biasanya melakukan tindakan yang terburu-buru tanpa memikirkan faedah atau
keburukan yang bakal menimpa. Melalui aktiviti rekreasi yang disertai dengan
aktif, mereka akan dapat meluahkan tenaga yang berlebihan. Mereka juga akan
belajar bertenang dan mengawal perasaan. Seperti contoh, melalui aktiviti regangan
(menarik nafas). Di samping itu mereka boleh belajar menepati masa dan boleh
sabar menunggu.
Membantu menstabilkan emosi
Apabila menyertai aktiviti rekreasi dengan aktif, kanak-kanak berkeperluan khas
boleh menyingkir perasaan tertekan, kecewa dan bosan. Secara tidak langsung
mereka juga boleh dibimbing membina azam dan semangat untuk bersaing dengan
rakan-rakan sebaya.
Mengurangkan kadar melakukan perkara di luar jangkaan
Kebanyakan pelajar-pelajar yang mengalami tekanan akan cuba membuat sesuatu di
luar jangkaan seperti bertindak melulu. Dengan berekreasi mereka mendapat kawan
rapat yang boleh berkongsi masalah dan memberi sokongan emosi.
Membina Personaliti
Mewujudkan rasa keseronokan dan penerimaan dalam kalangan kanak-kanak tipikal
dengan kanak-kanak berkeperluan khas boleh menimbulkan rasa gembira dan
seronok. Selain itu ia boleh membina personaliti yakin diri, mudah mesra, ikhlas dan
berani. Daripada rasa seronok tadi, timbullah pula keyakinan diri untuk bergaul
mesra melalui interaksi dan aktiviti. Bila interaksi berlaku contohnya dengan kanakkanak sindrom down yang mudah mesra, maka berlakulah penerimaan kehadiran
kanak berkeperluan khas dalam kalangan kanak-kanak tipikal normal secara ikhlas.
Dengan ini aktiviti rekreasi dapat membantu membina personaliti seperti yakin diri,
tegas, berani dan ikhlas amnya bagi kanak-kanak tipikal dan khasnya kanak-kanak
berkeperluan khas.
Kepentingan Menjalankan Aktiviti Rekreasi dari Aspek Sahsiah
Kanak-kanak berkeperluan khas dan kanak-kanak tipikal berpeluang meingkatkan diri
dari aspek sahsiah dengan menunjukkan sikap positif terhadap pengurusan masa,
beramanah, bertanggungjawab serta saling faham memahami. Mereka belajar menepati
masa di mana mereka melakukan aktiviti mengikut jadual yang disediakan. Sahsiah
sebegini hendaklah dikukuhkan agar ianya dapat diamalkan dalam situasi dan masa
berbeza. Selain itu, kepentingan aktiviti rekreasi dari aspek sahsiah juga meliputi yang
berikut:

Melatih pelajar untuk membuat keputusan ketika beriadah mengikut situasi dan
membina pengalaman
Lazimnya, pelbagai peringkat membuat keputusan dibangunkan melalui pengalaman.
Bagi kanak-kanak berkeperluan khas adalah penting untuk mengajar mereka tentang
proses ini supaya mereka mendapat gambaran bagaimana mahu membuat keputusan

yang teliti, bermakna dan sistematik dalam melatih keupayaan mereka untuk
membela diri.
Menimbulkan perasaan gembira dan keseronokan
Aktiviti-aktiviti yang dirancang dalam sesuatu program rekreasi dapat memberi
peluang bagi kanak-kanak berkeperluan khas untuk meluahkan perasaan,
mengurangkan tekanan, menambah keyakinan diri, dapat menerima risiko,
bersemangat, menambah keberanian dan berinisiatif. Sebagai contoh aktiviti jungle
trekking, kanak-kanak berkeperluan khas akan merasa puas dan bangga dengan
keupayaan dirinya apabila berjaya melakukan aktiviti tersebut walaupun perasaan ini
sukar dikesan.
Melatih membina moral yang positif
Program-program yang dilaksanakan akan dapat membina dan meningkatkan nilainilai moral yang baik seperti bertolak-ansur, bekerjasama, tunggu giliran (beratur),
berkongsi dan lain-lain bersama rakan-rakan.
Membina keyakinan diri dan penghargaan kendiri
Aktiviti sukan dan rekreasi perlu digalakkan dalam kalangan kanak-kanak
berkeperluan khas untuk memperkembangkan perkembangan mereka di dalam aspek
keyakinan diri, penghargaan diri dan kemahiran bekerjasama antara kumpulan.
Apabila usaha mengalakkan penyertaan kanak-kanak ini di dalam aktiviti rekreasi
yang dijalankan, perkara seperti kepelbagaian aktiviti, keseronokan, keselamatan dan
keperluan penyesuaian mengikut individu perlu diberi perhatian.
Membina kebolehan mental dan fizikal
Semasa aktiviti rekreasi dijalankan seperti berkuda, berenang, memancing, berkebun,
menari, berkhemah dan sebagainya, secara tidak langsung dapat memberi
pengalaman-pengalaman baru kepada kanak-kanak berkeperluan khas dan membina
serta meningkatkan perkembangan intelek. Dari segi fizikal pula, dapat membina
kekuatan otot serta ketahanan, imbangan, koordinasi, fleksibiliti, posisi badan serta
ketangkasan kanak-kanak berkeperluan khas.
Mengukuhkan kemahiran bersosial dan berkomunikasi
Sebahagian besar daripada kanak-kanak berkeperluan khas mengalami masalah
dalam kemahiran bersosial dan berkomunikasi. Aktiviti-aktiviti rekreasi dapat
membantu mereka mengembangkan kemahiran tersebut kerana mereka terpaksa
bekerjasama dengan rakan-rakan dan fasilitator aktiviti. Mereka juga digalakkan
untuk berinteraksi dan berkomunikasi.
Memupuk semangat kesukanan
Setiap kanak-kanak dan remaja berkeperluan khas mempunyai hak untuk mengikuti
apa sahaja aktiviti fizikal dan sukan yang tidak merbahaya kerana ia sangat mustahak
di dalam mencapai perkembangan yang optima.

Meningkatkan pengetahuan dan kemahiran memimpin


Kanak-kanak berkeperluan khas digalakkan mengikuti aktiviti-aktiviti yang
dirancang secara aktif dan terkawal. Setiap aktiviti pula memberi keutamaan kepada
langkah-langkah keselamatan. Mereka juga dapat merasa kegembiraan apabila diberi
peluang dan berjaya dalam aktiviti yang dijalankan.
Meningkatkan penyertaan aktif di dalam aktiviti rekreasi
Kanak-kanak berkeperluan khas digalakkan mengikuti aktiviti-aktiviti yang
dirancang secara aktif dan terbimbing. Setiap aktiviti pula memberi keutamaan
kepada langkah-langkah keselamatan. Mereka juga dapat merasa kegembiraan
apabila diberi peluang dan berjaya dalam aktiviti yang dijalankan.
Mendidik kanak-kanak berkeperluan khas tentang penjagaan kesihatan
Selepas setiap aktiviti dilakukan, kelazimannya kanak-kanak berkeperluan khas akan
diajar untuk membersihkan diri seperti mencuci tangan, mandi, menggosok gigi,
menyikat rambut dan lain-lain. Mereka juga boleh dibimbing untuk menggunakan
pakaian yang bersih serta diajar mencuci pakaian yang kotor.
Meningkatkan tumpuan dalam proses pembelajaran
Apabila kanak-kanak ini diberi peluang melakukan aktiviti rekreasi yang disukai dan
digemarinya, mereka akan cuba melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Secara
tidak sedar mereka akan memberi tumpuan yang semaksima mungkin terhadap
aktiviti tersebut. Dengan demikian mereka dapat meningkatkan tumpuan terhadap
sesuatu pelajaran di dalam proses pengajaran dan pembelajarannya.

Kepentingan Menjalankan Aktiviti Rekreasi dari Aspek Fizikal


Aktiviti rekreasi seperti menjalankan aktiviti perkhemahan mempunyai nilai-nilai yang
lebih berharga kepada kanak-kanak yang mengalami kesusahan untuk mempelajari
sesuatu daripada buku. Dalam keadaaan begini, pengetahuan yang didapati melalui
pengalaman sendiri adalah lebih berkesan dan bermakna. Oleh itu, dengan berekreasi
juga dapat menghasilkan personaliti yang dinamik, menyihatkan diri dari segi mental
dan fizikal, dibandingkan dengan tinggal pada satu keadaan moden yang berkurangan
dari segi rekreasi dan peluang-peluang untuk menikmati sesuatu pengalaman. Dari
aspek fizikal, aktiviti rekreasi dapat membantu dalam:

Peningkatan kemahiran motor halus

Kanak-kanak berkeperluan khas dan kanak-kanak tipikal berpeluang mengembangkan


kemahiran-kemahiran psikomotor dan meningkatkan gerak kerja semasa aktiviti
bersama. Melalui aktiviti seperti Latihan dalam kumpulan (LDK), di mana aktiviti
LDK memerlukan kemahiran motor halus seperti mengunting, melukis, mewarna,
kanak-kanak berkeperluan khas dan kanak-kanak tipikal saling bekerjasama dan saling
bantu membantu untuk menyiapkan kerja dalam LDK tersebut. Di sini timbulkan rasa
bertanggungjawab, yakin diri dan penerimaan melalui kemahiran psikomotor halus
Kebaikan kemahiran psikomotor ialah mereka berpeluang berkongsi kemahiran di
antara satu sama lain.

Peningkatan kemahiran motor kasar

Bagi kemahiran psikomotor kasar seperti melakukan aktiviti senaman pagi, bersukan,
membina khemah, jungle treaking membantu meningkatkan semangat berpasukan yang
tinggi. Kanak-kanak perlu saling bersefahaman agar aktiviti tersebut mudah dilakukan
Keadaan ini memerlukan pengurusan diri di dalam kumpulan hendaklah cekap, di mana
pengurusan masa berkait rapat dengan pengurusan diri.
Kesimpulan
Kegiatan aktiviti rekreasi bukan sahaja boleh dilihat sebagai aktiviti pengisian masa
lapang yang produktif tetapi ia boleh membentuk perilaku dan sahsiah diri yang mulia
serta melahirkan pelajar yang aktif dan agresif dari segi mental dan fizikal. Melalui
aktiviti rekreasi yang dianjurkan, ia juga dapat menjana potensi kepimpinan cemerlang,
mahir dan penerapan semangat patriotisme. Selain daripada itu, aktiviti rekreasi
merupakan salah satu cara yang boleh mengurangkan ketegangan dalam kehidupan
seharian dan penglibatan dalam aktiviti ini juga boleh meningkatkan produktiviti dan
kualiti dalam kehidupan (Chek Mat, 2001 ).
Penglibatan dalam aktiviti rekreasi juga boleh menonjolkan daya kreativiti dan
keseronokan. Kesemua aktiviti rekreasi yang dijalankan ini akan lebih bermakna lagi
sekiranya ia memenuhi segala aspek dalam kehidupan seperti melalui penerapan nilainilai murni serta galakan motivasi dalam menjalankan aktiviti-aktiviti rekreasi.
Disamping itu melalui aktiviti yang dijalankan kanak-kanak berkeperluan khas diharap
akan mencapai satu tahap yang boleh memberi keyakinan kepada diri mereka sendiri
selain membina identiti diri serta berupaya berkomunikasi dengan individu lain.
Dengan bimbingan dan dorongan yang diberi serta mempraktikkan apa yang telah
dipelajari diharap akan dapat membantu mereka untuk berdikari kelak.

Rujukan
Brewster, S. (1997).Summer camping for children with disabilities. Exceptional Parent.
71.2.
Chek Mat. (2001). Pengurusan Rekreasi. Kuala Lumpur: Utusan Publication &
Distributor Sdn Bhd.
Manisah Mohd Ali, Ramlee Mustapha & Zalizan Mohd Jelas. 2006. An empirical study
on teachers perceptions towards inclusive education in Malaysia. International
Journal of Special Education. 21(3): 36-44.
Modell, S. J. & Valdez, L. J. (2002) Beyond bowling. Teaching Exceptional Children.
34 (6): 46-51.

Mull. F. R. (1997). Recreation Sport Management Human Kinetics. New Jersey:


Leisure Press

Merencana Kerja Keusahawanan Bagi Golongan Orang Kurang Upaya


Norasmah Hj. Othman
Mohd Mokhtar Tahar
Universiti Kebangsaan Malaysia
Pengenalan
Kerjaya merupakan salah satu perkara penting yang sentiasa dalam fikiran setiap
individu. Ia telah mula dipupuk dalam fikiran seseorang seawal usia muda lagi. Ibu
bapa merupakan agen pertama yang mendedahkan seseorang dengan kepentingan
kerjaya tersebut namun di peringkat awal ianya hanya dipanggil sebagai pekerjaan.
Namun apabila usia meningkat remaja barulah individu tersebut mengerti akan maksud
dan kepentingan kerjaya dalam hidup mereka. Barulah mereka mengerti bahawa melalui
kerjaya, individu dapat memenuhi keperluan asasi diri dan keluarga. Juga, mendapat
pengiktirafan di atas pencapaian dalam kerjaya dan kedudukan yang baik dalam
masyarakat.
Dewasa ini dengan keadaan dunia yang sedang berkembang pesat serta impak
daripada globalisasi dan liberalisasi, bentuk kerjaya menjadi semakin kompleks.
Keadaan ini telah merumitkan lagi dan sering menjadi masalah utama kepada individu
untuk memilih bidang kerjaya. Maka, setiap individu perlu berfikiran terbuka dan
bersedia untuk bersaing jika ingin menceburi bidang kerjaya yang diminati. Selain itu,
menurut Teori kerjaya Holland (Holland 1985), individu hendaklah memilih bidang
kerjaya yang selaras dengan bentuk personaliti mereka supaya mereka mendapat
kepuasan kerja disamping kekal lebih lama dalam bidang yang dipilih. Justeru, proses
pemilihan kerjaya sangat penting kerana ia menetapkan hala tuju kehidupan seseorang.
Perubahan-perubahan yang berlaku dewasa ini sedikit sebanyak telah memberi
tekanan kepada golongan muda dalam pencarian kerja. Keadaan menjadi semakin sukar
lanjutan dengan peningkatan penubuhan institusi pengajian tinggi. Ini kerana dengan
peningkatan tersebut, lambakan graduan dikeluarkan setiap tahun. Masalah timbul ialah
penawaran terhadap peluang pekerjaan oleh majikan sama ada daripada sektor kerajaan
mahupun sektor awam tidak sebanyak bilangan graduan yang dikeluarkan. Akibatnya
persaingan sengit berlaku antara graduan untuk mendapatkan satu-satu pekerjaan. Ini
jelas terbukti dalam laporan Malaysia (2007), Kementerian Pengajian Tinggi (2004) dan
Norasmah (2007) apabila dalam kajian mereka mengatakan bahawa bilangan graduan
pada 2009 terus meningkat kepada 60,000 orang berbanding hanya 48,000 orang pada
tahun 2002. Senario ini merupakan satu tamparan hebat kepada golongan-golongan
tertentu kerana keistimewaan mereka. Jika golongan normal malah memiliki kelayakan
akademik yang baik menghadapi kesukaran dalam pencarian perkerjaan, bagaimana
pula jika mereka tergolong dalam kategori golongan kurang upaya dengan akademik
yang sederhana. Mereka bukan sahaja berdepan dengan pelbagai kekurangan tetapi
juga dengan persepsi masyarakat yang masih kurang percaya terhadap keupayaan
mereka, justeru, sudah tentu peluang untuk berjaya mendapatkan sesuatu pekerjaan
tersebut amatlah rendah. Persoalannya sekarang, apakah kerjaya yang berkemungkinan
boleh diterokai oleh golongan orang kurang upaya (OKU) ini?
Konsep Dan Kepentingan Kerjaya
Menurut Maanen & Schein (1977), istilah kerjaya adalah satu konsep biasa kepada
kebanyakan orang, tetapi sukar untuk mendefinisikannya. Pada keseluruhannya, kerjaya

mengandungi satu siri pengalaman yang berasingan tetapi berkaitan yang dilalui oleh
seseorang dalam hayat hidupnya. Tempohnya boleh panjang atau singkat dan individu
mungkin mempunyai beberapa kerjaya pada masa yang sama. Seseorang mungkin
memperoleh kegembiraan daripada kejayaan atau kedukaan daripada kegagalan dalam
kerjaya. Perkara kritikal berhubung dengan kerjaya ialah sejauhmana kerjaya tersebut
menjadi prinsip yang diguna seseorang untuk mengatur kehidupannya. Hal ini
tergantung kepada status, hala tuju, tempoh dan makna kerjaya tersebut kepada individu
tersebut.
Kerjaya sangat penting kepada individu pada hari ini kerana ia merupakan satu
proses yang berlaku sepanjang kehidupan individu tersebut. Kerjaya menjadi sumber
pendapatan yang mampu mencorakkan gaya kehidupan mereka. Dalam kehidupan ini
manusia ingin memenuhi berbagai keinginan. Maslow (1943) telah membahagikan
keinginan kepada lima tahap dalam teori hirarki keinginannya. Keinginan-keinginan
tersebut bermula dari fisiologi dan meningkat kepada keselamatan, sosial, penghargaan
kendiri dan diakhiri dengan kesempurnaan kendiri. Pada hari ini, kehidupan individu
semakin bertambah kompleks apabila kemahuan dan tuntutan individu turut bertambah.
Tuntutan ini bukan hanya untuk menyediakan keperluan asas diri malah lebih jauh lagi
meliputi keperluan-keperluan lain yang lebih mendesak seperti pendidikan anak-anak
dan sebagainya.
Kepentingan kerjaya dalam kehidupan individu telah menarik ramai pengkaji
dan pelbagai takrifan mengenai kerjaya dihasilkan. Schein (1978) menjelaskan kerjaya
sebagai siri pengalaman pekerjaan dan peranan yang mewarnai perjalanan hidup
individu sehingga bersara. Super (1980) pula mengatakan kerjaya individu disusun
mengikut siri pembangunan kerjaya yang merangkumi beberapa tahap perkembangan,
peningkatan, penjelajahan, pengekalan dan pemisahan di sepanjang hidup mereka. Chen
(2003) pula menganggap kerjaya merupakan satu proses kehidupan yang diintegrasikan
sebagai satu kesedaran kendiri bagi mengambarkan pengalaman individu berkembang
sebagai satu konteks konseptualisasi. Menurut Abdul Rahman (2000), kerjaya
merupakan aktiviti sosial yang mengeluarkan sesuatu yang bernilai pada manusia bagi
meneruskan kehidupan sebagai makhluk biologi yang dikurniakan oleh Allah SWT.
Manakala Sidek (2006) memberi tafsiran berdasarkan kepada definisi-definisi awal
mengenai kerjaya dan merumuskan kerjaya sebagai semua persediaan sebelum
seseorang individu memasuki dunia pekerjaan sebenar yang diikuti dengan menjalankan
peranan-peranan tertentu sehingga mereka bersara.
Perubahan pantas dalam era globalisasi dan liberalisasi turut menyebabkan
bentuk kerjaya yang wujud pada hari ini semakin bertambah kompleks. Keadaan ini
telah merumitkan proses pemilihan kerjaya sehingga sering menjadi masalah utama
kepada individu. Pada hari ini, individu perlu bersaing dan berfikiran terbuka untuk
menceburi bidang kerjaya yang diminati. Selain itu, individu perlu memilih bidang
kerjaya yang sesuai dengan personaliti mereka supaya mereka mendapat kepuasan kerja
dan kekal lebih lama dalam bidang yang dipilih. Pemilihan kerjaya individu merupakan
satu proses yang berterusan dan panjang melibatkan perancangan yang sentiasa berubah
mengikut keperluan dan situasi. Keadaan mendorong individu untuk menentukan
pilihan kerjaya yang diingini sama ada memulakan pekerjaan makan gaji atau bekerja
sendiri. Setiap individu berpeluang untuk membuat pemilihan jenis kerjaya yang ingin
diceburi sesuai dengan keperluan budaya masyarakat dan personaliti mereka.

Peranan Kerajaan Terhadap Golongan OKU


Atas alasan bahawa memiliki kerjaya merupakan satu keperluan kepada seseorang
untuk hidup didunia ini, maka pelbagai agenda telah dilaksanakan oleh kerajaan bagi
tujuan membantu golongan muda terutamanya, untuk memilih kerjaya yang
bersesuaian. Tambahan pada dekad ini, tawaran peluang pekerjaan yang amat terhad
telah membataskan peluang-peluang untuk mendapatkan pekerjaan makan gaji.
Senario ini lebih rumit jika seseorang itu tergolong dalam kategori OKU. Oleh yang
demikian, apakah cara-cara yang dilaksanakan oleh kerajaan untuk membantu golongan
OKU ini? Adakah pihak kerajaan peka dengan keperluan mereka?
Berdasarkan laporan dan maklumat-maklumat yang ditemui, didapati tahap
keperihatinan masyarakat terhadap golongan OKU telah menjadi semakin baik jika
dibandingkan sedekad yang lalu. Akta-akta bertujuan melindungi hak dan memelihara
kepentingan golongan OKU telah banyak dilaksanakan walaupun masih terdapat lagi
ruang untuk penambahbaikan. Sebagai contoh, antara deklarasi yang ditangani oleh
kerajaan Malaysia untuk menjaga kebajikan golongan OKU ialah United Nation World
Programme of Action Concerning Disable Persons (1983), The World Declaration on
Education for All (1990) dan The United Nation Standard Rules on the Equalisation of
Opportunities for Person with Disablities. Kerajaan juga menerima rangka kerja Action
on Special Needs Education yang melibatkan kerjasama dengan UNESCO pada tahun
1994 dan seterusnya telah menandatangani proklamasi mengenai The Full Participation
and Equality of the People with Disability di Rantau Asia Pasifik.
Sebagai bukti terhadap keperihatinan ini, maka Agenda Tindakan Dekad telah
dilaksanakan. Agenda ini memberi penekanan kepada kesedaran masyarakat terhadap
penyediaan kemudahan untuk kesejahteraan golongan OKU (Hassmani 2009).
Berikutan itu pada 25 Februari 1998, Majlis penasihat dan Perundingan Kebangsaan
bagi OKU dengan dianggotai oleh Kementerian dan Jabatan NGO serta orang
perseorangan yang terlibat dengan OKU telah ditubuhkan. Antara peranan majlis ini
adalah untuk merangka pelan tindakan dengan memberi tumpuan kepada 12 perkara
utama. Perkara tersebut adalah berkaitan dengan pengumpulan maklumat, penyelaras di
peringkat nasional, kesedaran awam, perundangan, kemudahan akses dan komunikasi,
pendidikan, latihan dan pekerjaan, pencegahan sebab-sebab kecacatan, pemulihan, alatalat kemudahan, pertubuhan sukarela serta kerjasama serantau.
Tumpuan terhadap peningkatan kualiti hidup OKU terus diberi tumpuan dengan
terlancarnya Dekad Orang Kurang Upaya Asia Pasifik bagi tempoh 2003-2012. Dekad
ini, Biwako Millennium Framework For Action, telah mengariskan 7 bidang tindakan
untuk menjaga kebajikan golongan OKU iaitu pertubuhan sukarela OKU, wanita kurang
upaya, pengesanan awal, intervensi awal dan pendidikan, latihan dan pekerjaan, akses
kepada persekitaran dan pengangkutan awam, akses kepada informasi dan komunikasi
serta pembasmian kemiskinan.
Dalam sektor pekerjaan, kesungguhan kerajaan membantu OKU berdikari
melalui penyediaan peluang pekerjaan jelas dilihat melalui pekeliling Perkhidmatan bil.
10/98 yang menetapkan agar kuota 1 peratus peluang pekerjaan di sektor awam
diperuntukan kepada OKU (Mohamed 2005). Seterusnya Bajet 2005 turut menyokong
sektor pekerjaan OKU melalui kenaikan kadar elaun bulanan pekerja OKU kepada
RM300 daripada RM200 sebelumnya serta potongan cukai kepada majikan yang
melakukan pengubahsuaian tempat kerja kepada OKU menerusi objektif strategi
pekerjaan untuk semua orang manakala Dasar Pekerjaan turut menitikberatkan
keutamaan pekerjaan kepada OKU.

Satu lagi sejarah telah tercipta apabila pada tahun 2007, pertama kalinya rang
undang-undang khas untuk mengiktiraf golongan OKU telah diluluskan secara
rasminya. Rang undang-undang ini dikenali sebagai Akta Orang Kurang Upaya 2007
bertujuan untuk menjaga keperluan dan hak OKU. Perkara yang ditekankan adalah
penghapusan diskriminasi OKU khususnya berkaitan peluang pekerjaan, kemudahan
reka bentuk bangunan serta kemudahan awam. Menurut perkara 45(1) Akta OKU 2007,
majikan hendaklah melindungi hak OKU dengan menyediakan suasana kerja yang
sesuai, selesa dan adil, selamat, sihat, memberi peluang sama rata serta dilindungi
daripada gangguan dan rasa tidak puas hati. Perkara 45 (2) Akta OKU 2007 pula
menekankan agar majikan melaksanakan kewajipan sosial merangkumi galakan
pekerjaan yang stabil mengikut keupayaan OKU serta penyediaan tempat kerja dan
sistem pengurusan yang sesuai dengan OKU.
Amnya, sehingga kini telah terdapat beberapa dasar dan akta yang menjaga
kesejahteraan kehidupan golongan OKU namun jika diteliti statistik, golongan OKU
merupakan antara golongan yang masih ramai berdepan dengan masalah pengangguran.
Persoalannya, kenapa senario ini berlaku? Apakah cabaran dan rintangan yang dihadapi
oleh OKU sehingga menyebabkan mereka menganggur?
Cabaran dan Rintangan Golongan OKU
Cabaran dan rintangan dalam pendidikan
Memang benar bahawa golongan OKU telah mendapat perhatian daripada pelbagai
pihak sama ada daripada pihak kerajaan mahupun swasta ataupun badan-badan bukan
kerajaan (NGO). Pelbagai dasar dan akta telah dilancarkan bagi menjaga kesejahteraan
dan keharmonian kehidupan golongan OKU. Namun realitinya golongan ini masih
berdepan dengan pelbagai cabaran dan rintangan. Walau pun kesemua kemudahan
dikatakan telah diperuntukan untuk mereka, rata-rata apabila ditemubual golongan ini,
mereka masih menegaskan bahawa mereka masih berdepan dengan pelbagai kesukaran.
Antara kesukaran yang dihadapi oleh mereka adalah dalam aspek pendidikan dan
latihan vokasional (SUHAKAM 2006).
Era globalisasi juga telah memberi impak yang besar kepada perkembangan
pesat sistem pendidikan yang akhirnya mencetuskan krisis terutama dalam aspek
pekerjaan yang akhirnya membawa kepada jumlah pengangguran yang tinggi. Sehingga
tahun 2008, angka pengangguran meningkat kepada 368,500 orang iaitu 3.30 peratus
daripada jumlah tenaga buruh negara (Jabatan Perangkaan 2008). Selain itu, usaha
kerajaan menjadikan Malaysia sebagai hab pendidikan bertaraf dunia mendorong
pembangunan pesat institusi pendidikan dan pusat latihan vokasional dan seterusnya
melahirkan lebih ramai tenaga kerja mahir dan separa mahir dalam pasaran kerja.
Keadaan ini menghasilkan penawaran buruh yang tinggi, mewujudkan persaingan
pasaran kerja yang lebih kompetitif serta meningkatkan kadar pengangguran (Anuddin
2006). Ini seterusnya memberi impak yang besar kepada peluang pekerjaan lepasan
pelatih di pusat latihan vokasional lebih-lebih lagi dalam kalangan pelatih OKU.
Dalam hal berhubung perkembangan pendidikan OKU pula, strategi utama
Pelan Induk Pembangunan Pendidikan 2006-2010 (PIPP) untuk merapatkan jurang
pendidikan telah membawa kepada perkembangan pesat program pendidikan khas dan
seterusnya meningkatkan persaingan kerjaya yang lebih tinggi di antara golongan OKU
sendiri. Menurut Ivan Ho (1999), kemajuan pendidikan khas di sekolah hingga ke
universiti telah mengubah pola pekerjaan OKU dengan ketara mulai tahun 1980an
dengan peluang pekerjaan yang lebih luas untuk menjawat jawatan yang baik seperti

pegawai tadbir, jurulatih, kaunselor, pensyarah, guru dan penasihat undang-undang.


Namun begitu, pertambahan bilangan OKU yang berjaya menamatkan pelajaran di
peringkat yang lebih tinggi telah mengundang persaingan yang sengit antara kalangan
OKU sendiri.
Diskriminasi Majikan dan Persepsi Masyarakat
Walaupun kempen penggalakan penggajian OKU dalam sektor swasta telah dilancarkan
pada 19 Mei 1990, namun ia tidak memberi makna yang signifikan kepada sektor
pekerjaan OKU. Walaupun kerajaan menyediakan pelbagai insentif untuk
menggalakkan majikan mengambil pekerja OKU sepertimana yang dinyatakan di atas,
namun kenyataannya ialah masih ramai OKU terus dipinggir dan didiskriminasikan
dalam pekerjaan walaupun mereka memiliki kelebihan tersendiri. Sebahagian majikan
tidak mahu mengambil pekerja OKU, malah memandang ringan kepada gesaan kerajaan
untuk mematuhi kod amalan penggajian OKU (Tuan Noor Rafidah 2006). Selain itu,
OKU terus didiskriminasikan dalam proses permohonan kerja serta kenaikan pangkat
menyebabkan rata-rata OKU memegang jawatan yang rendah dalam pekerjaan. Walau
pun satu peratus pekerjaan di sektor awam diperuntukkan kepada OKU, namun ia tidak
dipatuhi sepenuhnya (SUHAKAM 2006).
Majikan memberi berbagai alasan berhubung keengganan mereka mengambil
pekerja OKU. Majikan mendakwa menghadapi masalah untuk menguruskan pekerja
OKU. Penyediaan prasarana, pengubahsuaian bangunan serta peralatan seperti jalan
laluan kerusi roda, mesin dan peralatan yang mesra OKU memerlukan kos yang tinggi
(SUHAKAM 2006). Selain itu, pekerja OKU juga didakwa sering menimbulkan
masalah disiplin seperti kerap datang lewat serta tidak kekal lama dalam sesebuah
organisasi. Menurut Zinaida (2006), sikap majikan ini juga berpunca daripada faktor
lain seperti pekerja OKU memerlukan cuti sakit yang banyak, kadar insurans yang
tinggi serta gangguan keselamatan di tempat kerja.
Walau apa pun isu pekerjaan yang ditimbulkan oleh segelintir OKU, namun
mereka tidak harus dipersalahkan sepenuhnya. Ini kerana OKU terpaksa menghadapi
pelbagai masalah lantaran keupayaan yang terbatas untuk bergerak dan menggunakan
pancaindera tertentu. Umpamanya penggunaan kerusi roda serta masalah penglihatan
yang dialami membataskan keupayaan OKU daripada tiba di tempat kerja mengikut
waktu yang tepat. Walau pun kerajaan menyediakan pelbagai kemudahan khas seperti
tempat letak kereta dan tambang percuma, namun ianya masih belum mencukupi dan
hanya terdapat di bandar-bandar besar seperti di Kuala Lumpur sahaja. Keadaan ini
seterusnya menyukarkan mereka untuk bergerak dan menjalankan aktiviti seharian
khususnya di tempat-tempat awam seperti di lapangan terbang, stesen kereta api,
terminal bas, taman rekreasi dan sebagainya (Zinaida 2006). Golongan OKU
penglihatan dan cacat anggota yang menggunakan kerusi roda pula masih tidak dapat
menggunakan kemudahan OKU dengan sepenuhnya. Kekurangan kemudahan untuk
bergerak tanpa bergantung kepada orang lain seterusnya menimbulkan kesulitan dan
ketidakselesaan kepada OKU untuk berintegrasi dan berfungsi secara normal (Rohany
2003; Nor Jana 2000) termasuk di tempat kerja. Selain itu, kemudahan prasarana,
peralatan dan jentera di tempat kerja yang tidak mesra OKU turut mewujudkan
persekitaran kerja yang tidak kondusif sehingga akhirnya mencetuskan perasaan putus
asa, gagal untuk bertahan lama di tempat kerja serta terbatas daripada menunjukkan
prestasi kerja yang baik.

Senario ini menjadi lebih sukar dengan persepsi negatif masyarakat yang masih
belum banyak berubah. Kebanyakan masyarakat masih ragu-ragu dengan keupayaan
golongan OKU. Mereka masih sukar mempercayai bahawa golongan OKU boleh diberi
tanggungjawab untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan walaupun tugasan tersebut satu
tugasan yang mudah seperti menjadi pembantu rumah dan operator pengeluaran.
Peluang Mendapatkan Pinjaman
Sementara bagi yang ingin menceburi bidang keusahawanan, mereka berdepan dengan
pelbagai rintangan. Antaranya untuk mendapatkan pinjaman modal atau tambahan
modal dari institusi kewangan, mereka perlu menyediakan pelbagai dokumen yang
seringkali boleh mematahkan semangat mereka. Pihak-pihak institusi kewangan
mempunyai pelbagai syarat dan prosedur yang perlu dilengkapi oleh pemohon sebelum
boleh mendapat pinjaman tanpa mengira keistimewaan mereka. Yang pasti mereka
ingin ketentuan yang tetap bahawa pemohon mampu membayar semula pinjaman jika
diberi tanpa sebarang masalah. Rata-rata kebanyakan pemohon dari golongan OKU
akan menghadapi kesulitan untuk memenuhi syarat ini kerana mereka tidak didedahkan
dengan hal tersebut. Akibatnya peluang untuk berjaya dalam pemohonan mereka adalah
amat rendah.
Bagaimana Cara Merencana Kerjaya OKU
Dalam usaha membangunkan lebih ramai usahawan OKU di Malaysia, pusat latihan
vokasional OKU boleh dijadikan medium terbaik untuk membangunkan usahawan
OKU di Malaysia. Kajian ke atas pusat latihan vokasional OKU oleh Muhammad Nor
Zaini (2001) dan Holub (2001) turut menyarankan agar pembudayaan keusahawanan
dapat dijalankan di pusat latihan vokasional OKU.
Cadangan program keusahawanan di pusat latihan vokasional OKU merupakan
satu langkah yang bijak memandangkan kemahiran vokasional dan kemahiran
keusahawanan merupakan kombinasi terbaik yang diperlukan oleh usahawan yang
berjaya (Zaidatol Akmaliah 2007; Faridah & Nor Aishah 2001; Mohd. Shamsul 2006).
Tambahan pula, pendidikan dan latihan vokasional dikatakan paling praktikal kepada
OKU serta paling membantu dalam menyediakan peluang kerjaya yang lebih luas
kepada OKU merangkumi kerjaya keusahawanan (Asia Community Service 2006;
Mohd. Yusop 2002; Ramlee & Norani 2007). Selain itu, memandangkan kesedaran
persekitaran penting untuk mencetuskan aspirasi dan kecenderungan keusahawanan
seseorang (Ab. Aziz 2000), maka program keusahawanan juga boleh dijadikan saluran
untuk memberi pendedahan berhubung sokongan serta halangan yang wujud dalam
persekitaran agar OKU lebih bersedia untuk menguruskan peluang dan halangan
persekitaran sebagai persediaan untuk memulakan perniagaan sendiri.
Namun, walau pun kemahiran vokasional di pusat latihan vokasional telah
diakui berupaya menggalakkan minat pelatih OKU untuk bekerja sendiri sebagai
usahawan berbanding merebut peluang pekerjaan di pasaran yang semakin sempit
(Mohd. Shamsul 2006), malangnya sehingga kini belum ada sebarang usaha oleh pihak
berkepentingan untuk menjalankan program pembudayaan keusahawanan secara formal
di pusatpusat latihan vokasional. Sebagai contoh di Pusat Latihan Pemulihan dan
Perindustrian (PLPP) Bangi ada menawarkan program-program berkaitan kemahiran
namun tiada program khusus yang menekankan kepada cara pengkomensialan
kemahiran tersebut. Menurut Siti Muharyani (2006), PLPP Bangi dengan kelengkapan
yang dimiliki, mereka mampu memikul tanggungjawab untuk melahirkan lebih ramai

usahawan OKU. Namun malangnya tidak ada sebarang program keusahawanan secara
formal dijalankan di PLPP Bangi walaupun pelatih menunjukkan minat yang tinggi
terhadap kerjaya keusahawanan (Siti Muharyani 2006, Hassmani 2009). Ini amat
merugikan pelatih OKU kerana minat dan motivasi yang tinggi sahaja tanpa kemahiran
keusahawanan masih belum mencukupi untuk berjaya dalam bidang keusahawanan
(Halimah & Faridah 2001). Ketiadaan pendedahan kemahiran keusahawanan seterusnya
menyebabkan pelatih OKU kurang yakin untuk meneruskan cita-cita dalam bidang
keusahawanan (Mohd. Zuhaimi 2007, Norasmah et al. 2010). Selain itu, kajian juga
menunjukkan bahawa rata-rata usahawan OKU tidak berpeluang mengikuti latihan
vokasional dan keusahawanan menyebabkan mereka keberatan untuk menceburi bidang
keusahawanan lantaran kurang yakin dengan kebolehan sendiri. Justeru, walaupun
bilangan usahawan OKU semakin bertambah, namun tahap kemahiran keusahawanan
mereka masih rendah dan hanya mampu membuka perniagaan secara kecil-kecilan
sahaja (Muhammad Nor Zaini 2001).
Selain program keusahawanan yang dicadangkan untuk ditawarkan di pusat
latihan OKU, pihak berkepentingan seperti Jabatan Pendidikan Khas dengan kerjasama
Jabatan Kebajikan Masyarakt perlu merangka satu modul pembelajaran keusahawanan
secara formal khas kepada golongan OKU. Menurut Norasmah dan rakan-rakan dalam
kajiannya pada tahun 2010, golongan OKU perlu diberi pendidikan dan latihan
berkaitan keusahawanan agar mereka kompeten dan bersedia untuk berdepan dengan
dunia keusahawanan. Mereka perlu diberi pendedahan mengenai semua kemahiran dan
pengetahuan yang perlu dimiliki oleh seseorang jika ingin menceburi bidang
keusahawanan dengan jayanya. Justeru itu, mereka menyarankan agar setiap pusat
latihan OKU perlu menawarkan kursus atau program keusahawanan kepada semua
pelatih mereka. Kurus keusahawanan ini pula perlu menggunakan modul yang direka
khas untuk golongan OKU agar mereka dapat dilengkapkan dengan kemahiran serta
pengetahuan yang mencukupi berkaitan keusahawanan. Beza antara modul
keusahawanan khas untuk golongan OKU adalah dari segi pelaksanaannya di mana
tempoh dan pendekatan pengajaran dan pembelajarannya adalah lebih lama jika
dibandingkan dengan golongan normal. Golongan tenaga pengajarnya juga hendaklah
seorang yang peka dan pakar dalam bidang pendidikan khas serta keusahawanan.
Keperluan ini merupakan sesuatu yang amat mendesak ketika ini kerana didapati
sehingga kini tiada kursus atau modul keusahawanan khas direka untuk golongan OKU.
Lanjutan dari itu, golongan OKU seringkali berdepan dengan pelbagai masalah untuk
menceburi bidang keusahawanan. Hanya sebilangan kecil sahaja yang berjaya.
Status golongan OKU di Malaysia
Perkhidmatan OKU berkembang pesat selepas merdeka sejajar dengan dasar kerajaan
untuk menjadikan program kemajuan OKU sebagai sebahagian agenda pembangunan
negara. Mulai tahun 1970an lagi skop perkhidmatan dan skim OKU diperluaskan
merangkumi bantuan, perlindungan, pemulihan, pendidikan dan latihan vokasional
(Jabatan Kebajikan Masyarakat 2008). Latihan vokasional yang ditawarkan kepada
OKU yang merangkumi pelbagai bidang seperti kursus IT, kesetiausahaan,
penyelenggaraan komputer, elektronik serta rekaan fesyen telah memberi ruang kepada
OKU untuk memulakan perniagaan sendiri selain bekerja dengan pihak swasta
(Mahathir 2002). Seterusnya, usaha mengintegrasikan OKU ke dalam masyarakat
sebagai persediaan hidup berdikari disokong oleh Dasar Kebajikan Masyarakat Negara
yang menetapkan agar kemudahan seperti pemulihan, pendidikan serta latihan

vokasional disediakan kepada OKU. Melalui Bajet 2007, sebanyak RM302 juta telah
diperuntukkan bagi menjaga kebajikan golongan kurang bernasib baik merangkumi
golongan OKU.
Pendaftaran dan Pekerjaan OKU
Bilangan OKU yang ramai dilihat sebagai modal insan yang berharga kepada negara.
Oleh itu OKU tidak lagi boleh dianggap sebagai golongan yang hanya mengharap
simpati dan bantuan daripada orang ramai. Sebaliknya mereka merupakan aset penting
kepada kemajuan negara. Justeru, galakan dan sokongan merangkumi bantuan
pendidikan dan latihan keusahawanan perlu disalurkan kepada golongan OKU yang
sering kali menghadapi kekurangan dalam aspek tertentu berbanding golongan normal.
Untuk itu, adalah penting untuk mengetahui bilangan sebenar OKU bagi merancang
kemudahan serta program latihan pendidikan dan pemulihan yang bersesuaian dan
bertepatan dengan keperluan OKU. Bagi tujuan ini, Jabatan Kebajikan Masyarakat
(JKM) telah menganjurkan kempen besar-besaran bagi menggalakkan pendaftaran
OKU (Jabatan Kebajikan Masyarakat 2008).
Jadual 1 menunjukkan terdapat peningkatan sebanyak 87 peratus ke atas jumlah
pendaftaran OKU pada tahun 2007 berbanding tahun 2001. Ini menggambarkan bahawa
kesedaran OKU tentang peri pentingnya pendaftaran bagi melayakkan mereka
menerima hak keistimewaan OKU yang merangkumi kemudahan awam, peluang
pendidikan, latihan vokasional serta pekerjaan telah meningkat. Selain itu, Sistem
Penempatan Pekerjaan OKU yang dijalankan oleh Kementerian Sumber Manusia
(KSM) turut menggalakkan pendaftaran OKU. Sehingga Mac 2007, daripada jumlah
9,070 OKU yang mendaftar melalui sistem ini, seramai 6,799 OKU telah berjaya
ditempatkan dalam sektor pekerjaan (Kementerian Sumber Manusia 2007).

Jadual 1
Pendaftaran OKU mengikut Jenis Kecacatan bagi tahun 2001 hingga
2007
Jenis
2001 2002
2003
2004
2005 2006
2007
Kecacatan/Tahun
Penglihatan
13,968 14,738 14,154 15,364 16,211 18,258 19,241
Pendengaran
20,443 21,981 22,728 24,712 26,470 29,522 30,793
Fizikal
38,051 41,311 45,356 51,090 58,371 66,250 70,477
Akal
39,150 43,042 49,340
Masalah
57,483 66,906 76,619 82,193
Pembelajaran
Cerebral Palsy
34
623
887
1,381
Lain-lain
1,012 1,017 1,077
1,934
4,335 5,983 6,768
Jumlah
112,62 122,08 132,655 150,617 172,916 197,51 210,85
4
9
9
3
Sumber: Jabatan Kebajikan Masyarakat 2008, ms 33
Walau pun bilangan OKU berdaftar meningkat setiap tahun, namun angka ini
masih dipertikaikan. Banyak pihak mendakwa masih ramai OKU belum berdaftar

dengan JKM. Bagi menganggarkan bilangan OKU dalam sesebuah negara, banyak
pendapat telah dikemukakan berhubung kadar peratusan OKU ke atas jumlah penduduk
sesebuah negara berdasarkan aspek tertentu seperti taraf hidup dan maju mundurnya
sesebuah negara. Kebanyakan kajian yang dijalankan di negara luar mendapati bahawa
anggaran kanak-kanak cacat adalah antara l0 hingga l5 peratus daripada jumlah
keseluruhan kanak-kanak (Abdul Halim 1990). Bagaimanapun, Pertubuhan Kesihatan
Sedunia (WHO) menganggarkan jumlah OKU adalah sebanyak 5 hingga 10 peratus
daripada jumlah penduduk sesebuah negara.
Oleh itu, berdasarkan penduduk Malaysia yang berjumlah 27,173,600 pada
tahun 2007 (Jabatan Perangkaan 2008), anggaran bilangan OKU di Malaysia menurut
WHO adalah dalam lingkungan 1,358,680 hingga 2,717,360 orang. Jika dibandingkan
dengan bilangan OKU berdaftar pada tahun 2007 iaitu seramai 210,853 orang, maka
kira-kira sejuta OKU belum berdaftar dengan JKM. Bilangan ini jauh lebih rendah
daripada anggaran sebenar OKU dan sekaligus menggambarkan bahawa bilangan belia
OKU yang mampu bekerja adalah jauh lebih besar daripada 60,000 orang seperti mana
maklumat yang dikeluarkan oleh KSM (2008).
Jadual 2 pula menunjukkan jumlah pendaftaran dan penempatan OKU dengan
Jabatan Tenaga Kerja (JTK), KSM melalui Kod Amalan Penggajian OKU di Sektor
Swasta (SpOKU). Walau pun terdapat peningkatan yang ketara dalam jumlah
pendaftaran OKU melalui skim ini pada tahun 2005 dan 2006 berbanding tahun
sebelumnya, namun hanya 30 hingga 66 peratus daripada OKU berdaftar sahaja berjaya
ditempatkan dalam sektor pekerjaan. Ini menggambarkan senario sebenar dihadapi oleh
OKU dalam sektor pekerjaan yang hanya menyediakan ruang yang terbatas kepada
mereka. Walau pun kerajaan sentiasa menggalakkan sektor awam dan swasta agar
mendahulukan OKU dalam bidang pekerjaan tertentu dengan menetapkan sasaran 1
peratus pekerja OKU di sektor awam di samping menawarkan pelbagai insentif kepada
majikan seperti elaun pekerja OKU dan potongan cukai pengubahsuaian bangunan,
namun usaha ini gagal menyekat masalah pekerjaan serta pengangguran yang tinggi
dalam kalangan OKU.
Jadual 2

Pendaftaran dan penempatan kerja OKU menerusi SpOKU di JTK bagi


tahun 2000 hingga Jun 2007
Tahun
Pendaftaran SpOKU
Penempatan
2000
264
264
2001
634
504
2002
825
424
2003
792
464
2004
540
325
2005
1,666
482
2006
1,027
574
Jun 2007
404
111
Sumber: Jabatan Tenaga Kerja 2008

Kenapa Kerjaya Keusahawanan?


Penceburan dalam bidang keusahawanan merupakan salah satu jawapan bagi
penyelesaian masalah pengangguran terutama bagi golongan OKU. Bidang ini dilihat

mempunyai keistimewaan tersendiri, menawarkan sesuatu yang penting kepada


individu, masyarakat dan negara dari aspek sosio-ekonomi. Arifin, Fatimah & Fatimah
Wati (2000) menyenaraikan 7 faedah apabila seseorang menceburi bidang
keusahawanan, iaitu:
a. Mengawal destini sendiri.
b. Membuat perbezaan.
c. Mencapai potensi penuh.
d. Mengaut keuntungan tanpa had.
e. Menyumbang kepada masyarakat.
f. Mendapat penghargaan terhadap usaha.
g. Membuat perkara yang diminati.
Peluang untuk bekerja sendiri dalam bidang keusahawanan di Malaysia terbuka
luas kerana kerajaan sentiasa memberi galakkan, terutama dari kalangan OKU, untuk
membabitkan diri dalam bidang keusahawanan. Hasrat tersebut sentiasa diperkukuhkan
dari masa ke semasa. Jabatan Kebajikan Masyarakat (JKM) merupakan antara badan
kerajaan yang memainkan peranan penting menyalurkan laluan pekerjaan kepada OKU.
Bagi meningkatkan penceburan golongan OKU dalam bidang keusahawanan, JKM
telah menyediakan kemudahan seperti geran pelancaran perniagaan dengan
memperuntukkan bantuan modal sehingga RM2,700 kepada OKU. Geran ini bertujuan
untuk membantu OKU yang berpengetahuan dan berkemahiran dalam bidang teknikal
dan vokasional tetapi tidak mempunyai modal dan peralatan yang cukup untuk
memulakan perniagaan.
Norasmah et al. (2010) mengatakan bahawa sebenarnya keusahawanan bukanlah
sesuatu yang baru bagi golongan OKU di Malaysia. Ini adalah kerana ramai daripada
OKU sudah pun bergelar usahawan. Bagaimanapun dalam era globalisasi yang
memerlukan kecanggihan teknologi dan inovasi yang tinggi, usahawan OKU perlu lebih
bersiap sedia bagi menghadapi perubahan teknologi yang pantas, persaingan yang sengit
serta ketidaktentuan dalam persekitaran ekonomi, politik dan sosial. OKU juga perlu
peka menggarap peluang yang muncul dalam persekitaran mereka untuk bangun sebagai
usahawan yang berdaya maju, berdaya tahan dan berdaya saing.
Pandangan prejudis yang dilemparkan kepada OKU sebagai golongan yang
hanya mengharapkan belas ihsan masyarakat sudah tidak diterima lagi. OKU telah
membuktikan kemampuan untuk berdikari dan maju berdasarkan kejayaan-kejayaan
yang ditempah dalam beberapa bidang seperti pendidikan, sukan, pekerjaan, politik dan
keusahawanan (Tuan Noor Rafidah 2006). OKU mempunyai falsafah dan keazaman
untuk maju dalam bidang keusahawanan jika diberi peluang (Mahathir 2002). Malah,
ramai usahawan OKU telah membuktikan kejayaan mereka dalam perniagaan seperti
kontraktor binaan, peniaga runcit, akauntan serta syarikat firma guaman (Muhammad
Nor Zaini 2001). Kajian terkini ke atas usahawan OKU pula mendapati wujud tahap
tingkah laku keusahawanan yang tinggi dari aspek kognitif (Rahimah 2009) dan nonkognitif (Missuriyati 2008) (Norasmah et al. 2010) dalam kalangan OKU.
Kesimpulan
Bidang keusahawanan merupakan salah satu kerjaya yang mampu meminimumkan
masalah pengangguran yang dihadapi oleh kerajaan. Namun untuk berjaya dalam
bidang keusahawanan bukanlah merupakan satu perkara yang mudah. Ia memerlukan
keazaman yang kuat dari kalangan mereka yang ingin meneroka bidang tersebut serta

sokongan yang berterusan daripada pihak kerajaan. Individu yang ingin menceburi
bidang keusahawanan perlu melengkapkan diri dengan ilmu keusahawanan terlebih
dahulu agar mereka mampu menghadapi cabaran-cabaran keusahawanan. Keupayaan
seseorang ini hanya dapat diperolehi melalui bimbingan secara berterusan daripada
sistem pendidikan dan kursus-kursus keusahawanan yang ditawarkan oleh pelbagai
agensi sama ada agensi kerajaan ataupun swasta. Ini bermakna sesiapa sahaja yang
ingin menceburi bidang keusahawanan perlu mengikuti kursus keusahawanan tanpa
mengira keistimewaan atau kekurangan mereka, termasuk golongan OKU.
Bagi golongan OKU walau pun bidang keusahawanan bukan merupakan satu
bidang yang baru tetapi usaha yang berterusan serta lebih serius oleh pihak JKM, KSM
perlu dilakukan bagi tujuan meningkatkan jumlah penglibatan OKU dalam bidang ini.
Antara usaha yang perlu difikirkan oleh pihak JKM ataupun pihak-pihak lain yang
berkaitan dengan OKU ialah pembentukan program atau modul keusahawanan khas
untuk golongan OKU mengikut kategori mereka. Ini adalah kerana berdasarkan kajiankajian, data menunjukkan golongan OKU mempunyai potensi dalam bidang
keusahawanan dan ianya boleh ditingkatkan jika ada kursus atau program khas untuk
mereka. Disamping itu, tenaga pengajar yang mengendalikan program tersebut
hendaklah mereka yang benar-benar berkelayakan dalam bidang keusahawanan dan
juga pendidikan khas, tidak lagi setakat melepaskan batuk ditangga sahaja.

Rujukan
Ab. Aziz Yusof. 2000. Usahawan Dan Keusahawanan: Satu Penilaian. Selangor:
Prentice Hall.
Abdul Halim Abdul Jalil. 1990. Masalah Perkembangan Dan Tingkah Laku KanakKanak.
Kuala Lumpur: Publishing Sdn. Bhd.
Abdul Rahman Aziz. 2000. Pekerjaan Dalam Kehidupan Manusia. Petaling
Jaya:Prentice Hall.
Anuddin Abdul Ghani. 2006. Faktor-faktor ekonomi: kesan dan penstrukturan peluangpeluang pekerjaan abad ke-21. Dlm. Abd. Rahim, Abd. Rashid, Sufean Hussin
& Abd. Jalil Othman (pnyt.). Hala Tuju Pengurusan Sumber Manusia Dan
Kerjaya. Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd.
Arifin Hj Zainal, Fatimah Omar & Fatimah Wati. 2000. Psikologi Keusahawanan Dan
Produktiviti. Bangi: Pusat Pengajian Jarak Jauh, UKM.
Asia Community Service. 2006. Meninjau isu-isu orang dewasa kurang upaya intelek.
Laporan tentang situasi orang kurang upaya intelek di Pulau Pinang. Asia
Community Service, ISBN 983-42989-0-0.
Chen, C. P. 2003. Integrating Perpectives in Career Development Theory and Practice.
The Career Development Quarterly. Vol. 51. Hlm. 203 216.
Faridah Serajul Haq & Nor Aishah Buang. 2001. The Need for INtergrating
Entrepreneurship Course in The Vocational Training Curriculum of Individual
With Physical disabilities in Malaysia. Technological @ Vocational Technical
Education: Globalization & Future Trends. Fakulti Pendidikan, Universiti
Kebangsaan Malaysia
Halimah Harun & Faridah Karim. 2001. Budaya keusahawanan di kalangan pelajar
politeknik Malaysia. Laporan Kajian Laluan Pantas. Fakulti Pendidikan,
Universiti Kebangsaan Malaysia.

Hassmani Che Omar @ Che Hassan. 2009. Tahap Tingkah Laku Keusahawanan Pelatih
OKU di PLPP Bangi dan Hubungannya Dengan Kesedaran Persekitaran Ke
Arah Pembudayaan Keusahawanan. Tesis Sarjana Pendidikan. Fakulti
Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Holland, J.L. 1985. Making Vocational Choices: A Theory Of Vocational Personalities
And Work Environment. Ed. ke-2. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Holub, T. 2001. Entrepreneurship among people with disabilities. Adjunct ERIC
Clearinghouse on Entrepreneurship Education, Los Angeles.
Ivan Ho. 1999. The issue of employment for persons with disables in Malaysia. The
Present and Future. Conference for the Asia and Pacific Decade of Disable
Person. Kuala Lumpur, 29 Nov. 2 Dis.
Jabatan Kebajikan Masyarakat. 2008. Laporan Tahunan 2007. Kementerian
Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat.
Jabatan Perangkaan Malaysia. 2008. Perangkaan Ekonomi Malaysia. Putrajaya
Kementerian Sumber Manusia. 2007. Laporan Tahunan 2006.
Kementerian Pengajian Tinggi. 2004. Laporan kajian graduan tahun 2004 di Kolej
Komuniti. Bahagian Pengurusan Kolej Komuniti. Jabatan Pengajian Politeknik
dan Kolej Komuniti.
Mahathir
Muhammad. 2002. Koleksi arkib ucapan ketua eksekutif.
http://www.pmo.gov.my/ucapan. [1 Julai 2008].
Malaysia 2007. Bajet 2008.
Missuriyati Masnan. 2008. Tahap tingkah laku keusahawanan non-kognitif
peniaga/usahawan orang kurang upaya (OKU) di Malaysia. Tesis Sarjana.
Universiti Kebangsaan Malaysia.
Mohd. Shamsul Ahmad. 2006. Analisis keberkesanan Skim Latihan OKU. Tesis
Sarjana Muda. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Mohd. Yusop Ab. Hadi. 2002. Tesis Sarjana. Kolej Universiti Teknologi Tun Hussein
Onn.
Mohd. Zuhaimi Zulkifli. 2007. Penerapan kemahiran insaniah bagi latihan vokasional
OKU di Jabatan Kebajkan Masyarakat. Tesis Sarjana. Universiti Tun Hussein
Onn.
Maslow, A.H. 1943. A Theory of Human Motivation. Originally Published in
Psychological
Review,
Vol.50.
Hlm.
370-396.
http://psychclassics.yorku.ca/Maslow/motivation.htm. 13.6.2005.
Muhammad Nor Zaini Jaafar. 2001. Tahap kemajuan dan kemahiran keusahawanan di
kalangan individu kurang upaya anggota di Malaysia. Tesis Ph.D. Fakulti
Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Nor Jana Saim. 2000. Kajian terhadap pengangkutan awam di pusat bandar Kuala
Lumpur dari perspektif OKU. Tesis Sarjana. Universiti Pertanian Malaysia.
Norasmah Othman, Halimah Harun, Mohd Moktar Tahar, Ramlee Mustapha dan Norani
Salleh. 2010. Profil Keusahawanan Golongan Orang Kurang Upaya Malaysia
Ke Arah Pembentukan Program Pendidikan dan Latihan Keusahawanan
Golongan Kurang Upaya. Laporan Projek Penyelidikan FRGS 05-0005-2006.
Norasmah Othman. 2007. Dasar Ekonomi Baru dan proses pembudayaan
keusahawanan. Dlm. Norasmah Othman & Halimah Harun. Keusahawanan
remaja Malaysia, hlm. 24-39. Serdang: Penerbit Universiti Putra Malaysia.
Rahimah Mohd. Noh. 2009. Tingkah laku kognitif usahawan OKU di Malaysia. Tesis
Sarjana. Universiti Kebangsaan Malaysia.

Ramlee Mustapha & Norani Mohd. Salleh. 2007. Self- fulfillinrophecy and digital
divide revisited: vocational and IT Competencies of special needs popullation
in
Malaysia. Jurnal Sosial 6(1): 33-65.
Rohany Nasir. 2003. Isu-isu kaunseling dan perkembangan kerjaya. Kuala Lumpur:
Utusan Publications & Distributors Sdn. Bhd.
Sidek Mohd Noah. 2006. Perkembangan kerjaya: Teori dan Praktis. Serdang: Penerbit
Universiti Puta Malaysia.
Schein, E. H. 1978. Career Dynamics: Matching Individual and Organizational Needs.
Reading, M.A: Addison-Wesley.
Siti Muharyani. 2006. Persepsi pelatih dan tenaga pengajar terhadap program latihan
vokasional di Pusat Latihan Perindustrian Dan Pemulihan Bangi Selangor. Tesis
Sarjana Pendidikan. Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.
SUHAKAM. 2006. Laporan Mengenai Hak Orang Kurang Upaya. Selangor:
Percetakan Asni Sdn. Bhd.
Tuan Noor Rafidah Tuan Hassan. 2006. Penerimaan pihak industri terhadap pelajar
kurang upaya (pekak dan bisu) dari pendidikan teknik dan vokasional.
Tesis Sarjana. Kolej Universiti Teknologi Tun Hussein Onn.
Zaidatol Akmaliah Lope Pihie. 2007. Usahawan Dan Keusahawanan Satu Perspektif
Pendidikan. Serdang: Universiti Putra Malaysia.
Zinaida Ariffin. 2006. Kerjaya Untuk Orang Kurang Upaya. Kuala Lumpur: PST
Profesional.

PERILAKU SEKSUAL REMAJA AUTIS


Oleh
Sukinah*)
Abstrak
Penelitian ini berangkat dari permasalahan tentang perilaku seksual pada remaja
autis. Remaja autis merupakan individu yang sama dengan individu pada umumnya
akan melalui tahapan perkembangan salah satunya masa pubertas atau remaja. Orangtua
yang memiliki anak autis dalam memasuki masa remaja, memiliki lebih banyak
kekhawatiran mengingat anak tersebut memiliki hambatan dalam berkomunikasi, dan
berperilaku sesuai dengan tatanan sosial. Hambatan itu akan membayangi para
orangtua, guru sehingga mereka timbul berbagai kecemasan dan ketakutan dikarenakan
kekhawatiran masalah perilaku seksualnya. Kesulitan penanganan anak autis ketika
menginjak masa remaja, diantaranya
banyak orangtua dan guru mengalami
kebingungan dalam memberikan penanganan pada fase puber.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi Delphi.
Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, Forum Group
Discusion (FGD) dan dokumentasi dengan nara sumber orangtua, guru, orthopaedagog,
psikolog, psikiate, dokter, dan agamawan (islam, kristen, katolik, hindu dan budha).
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, analisis isi, taksonomi,
domain dan lintas perspektif.
Hasil penelitian menunjukkan perlu ada upaya pencegahan baik orangtua maupun
guru perlu memperhatikan asupan makanan. Makanan yang berlemak hendaknya
dihindarkan karena makanan membuat orang malas, lambat dan lamban. Sistem
keseimbangan dan keharmonisan untuk mengatur badan dapat ditemukan dalam sistem
rangkaian kelenjar hormon. Hormon-hormon itu mempengaruhi fungsi-fungsi seluruh
badan seperti metabolism, pencernaan, dorongan seksual dan juga jiwa. Untuk mengatur
sekresi hormon agar seimbang yang akan berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh
maka perlu adanya gerakan-gerakan tubuh. Terapi farmakologi (terapi obat-obatan)
kaitannya dengan permasalahan hormonal. Adanya kolaboratif keterbukaan antara
orangtua dengan guru dalam hal perkembangan seksualitas remaja autis sehingga ada
sinergis antara pihak sekolah dengan pihak keluarga.
Kata kunci : Upaya preventif, perilaku seksual, remaja
*) Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP UNY
PENDAHULUAN
Prevalensi jumlah anak autis semakin bertambah seperti di Canada dan Jepang
pertambahan mencapai 40 persen sejak 1980. Di California pada tahun 2002 terdapat 9
kasus per harinya. Sedangkan jumlah pasti peningkatan untuk Indonesia belum ada data
yang pasti, hanya diperkirakan lebih 400.000 anak menyandang autism pada tahun
1987, prevalensinya 1 : 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian angka berubah
menjadi 1 anak penyandang autis per 500 kelahiran dan pada tahun 2000 naik menjadi
1 : 250. (Gatra edisi 16, 1 Maret 2007). Namun berdasar studi pendahuluan dalam
penelitian ini menunjukkan jumlah lembaga pendidikan yang menangani anak-anak
autis di Yogyakarta bermula sejak tahun 1997 hanya satu sekolah khusus autis, tahun
1999 menjadi dua sekolah, tahun 2001 ada 4 sekolah dan tahun 2010 ada 8 sekolah
khusus autis, 3 SLB Negeri yang menangani anak autis serta ada beberapa klinik atau

pusat terapi untuk layanan anak autis bahkan ada SLB swasta yang memberikan layanan
bagi anak autis (Sukinah, 2010)
Anak autis merupakan individu yang sama dengan individu pada umumnya
akan melalui tahapan perkembangan salah satunya masa pubertas atau remaja. Tahapan
masa perkembangan remaja tidak dapat dihindari setiap individu termasuk di dalam
remaja autis. Masa remaja sudah mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik
pertumbuhannya maupun seksualitasnya. Perasaan seksual yang mulai muncul bisa
menakutkan, membingungkan dan menjadi sumber perasaan salah dan frustasi.
Demikian juga dari anak-anak dengan kebutuhan khusus terutama autis dalam
memasuki masa remaja, memiliki lebih banyak kekhawatiran mengingat anak tersebut
memiliki hambatan dalam berkomunikasi, dan berperilaku sesuai dengan tatanan sosial.
Hambatan itu akan membayangi para orangtua, guru sehingga mereka timbul berbagai
kecemasan dan ketakutan dikarenakan kekhawatiran berbagai tindakan pelecehan
seksual. Kesulitan penanganan anak autis ketika menginjak masa remaja, diantaranya
banyak orangtua mengalami kebingungan dalam memberikan penanganan pada fase
puber. Kesulitan memberikan pemahaman pada fase puber seperti cara menghadapi
menstruasi pertama pada anak perempuan, keadaan labilnya emosional dan
perkembangan psikoseksual anak pada masa itu membuat orangtua semakin diliputi rasa
cemas.
Curahan hati seorang ibu pada saat pertemuan orangtua secara rutin di sebuah
sekolah mengatakan : anak saya ketika muncul dorongan seksualnya meningkat,
memburu saya untuk mencari jari jempol kaki saya dipegang sampai dapat walaupun
saya sedang melakukan aktifitas apapun, memasak, di kamar mandi atau sedang tidur.
Munculnya dorongan tiba-tiba, setelah memegang jempol saya, anak lari ke kamar
kemudian menindih guling seperti main kuda-kudaan bahkan sampai ereksi dan keluar
air mani, selama ini saya bingung harus seperti apa? Sementara kondisi anak saya non
verbal, hiperaktif dan sudah besar usia menjelang 13 tahun ? saya selalu memberi
kesempatan untuk melakukan, namun dalam batin saya ada kekhawatiran bagaimana
dengan agama, juga kondisi kejiwaan anak saya ketika itu berjalan terus menerus
seumur hidup? (Sukinah: 2010).
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka perlu adanya upaya-upaya
preventif baik dari orangtua, guru maupun masyarakat terhadap perilaku seksual para
remaja autis dari berbagai perspektif nara sumber sesuai dengan keahliannya. Berangkat
dari bagaimana upaya pencegahan munculnya perilaku-perilaku seksual ketika anak
autis memasuki masa remajanya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi delphie
karena peneliti ingin membahas pandangan pribadi orang. Untuk mengetahui selisih
perbedaan maupun persamaan pandangan dari masing-masing informan peneliti ingin
menggali lebih lanjut secara mendalam bukan hanya secara garis besarnya saja.
Penelitian ini menggunakan teknik wawancara
mendalam untuk mendapatkan
penjelasan lengkap tentang pandangan nara sumber serta dapat berbagi cerita dari
pengalaman maupun pengamatan mereka sendiri. Teknik wawancara terstruktur dengan
menyusun pedoman wawancara agar lebih memudahkan dalam pelaksanaannya..
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode selain
wawancara mendalam yaitu metode dokumentasi dan observasi. Metode dokumentasi

dan observasi dilaksanakan untuk mendapatkan data tentang perilaku-perilaku seksual


yang ada ketika dorongan seksual remaja autis itu muncul. Focus Group Discusion
(FGD) dilakukan upaya pengumpulan data terhadap orangtua dan guru yang
berkecimpung dalam pendidikan remaja autis. Tujuannya untuk menemukan konsensus
bersama tentang upaya preventif terhadap perilaku seksual remaja autis.
Sumber informasi atau nara sumber dalam penelitian ini adalah orangtua, guru,
orthopaedagog, psikolog, dokter, psikiater, dan agamawan yang merupakan orang-orang
kredibel sesuai dengan bidangnya.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini analisis data deskriptif. Setelah
melalui tahap pengumpulan data yang menghasilkan transkrip wawancara, catatan
lapangan dan dokumen-dokumen pendukung, peneliti selanjutnya mengolah dan
menganalisis temuan lapangan sehingga menjadi hasil yang bermakna. Peneliti
menggabungkan metode analisis, yaitu analisis isi, analisis domain, analisis taksonomi
dan lintas perspektif.
Teknik Delphi adalah suatu cara untuk mendapatkan consensus diantara para
pakar melalui pendekatan intuitif. Dengan menggunakan teknik Delphie dalam
penelitian ini akan menemukan konsensus yang sama dalam upaya preventif guru dan
orangtua terhadap perilaku seksual remaja autis.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini tentang penanganan permasalahan perilaku seksual remaja autis,
salah satu tujuannya adalah bagaimana upaya preventif (pencegahan) dan penanganan
yang dapat dilakukan orangtua dan guru terhadap munculnya bentuk-bentuk perilaku
seksual remaja autis.
Data penelitian ini diperoleh dari berbagai nara sumber antara lain : orang tua,
guru,orthopaedagog, psikolog, psikiater, dokter, dan agamawan. Berdasarkan
wawancara mendalam dan Focus Group Discusion (FGD) bagi orangtua mendapatkan
hasil penelitian tentang upaya pencegahan dan penanganan perilaku seksual pada remaja
autis terangkum dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 1 : Rangkuman Upaya Pencegahan Orangtua
Nara sumber
Upaya Preventif
Orangtua
Selalu diberikan pengertian sejak kecil tentang normanorma,
Hindari perilaku yang memicu ke arah perilaku seksual
yang salah dan tidak baik secara moral, social dan agama,
Memberi kesibukan pada aktifitas fisik rutin (olahraga,
music),
Mengenal konsep boleh dan tidak,
Mengenal larangan, tempat privacy dan public,
Diajak komunikasi seputar organ tubuh, mengenalkan nama
kemaluan wanita (vagina) dan laki-laki (penis)
Pemberian pendidikan seksualitas sejak usia dini
Mempersiapkan sejak kecil pemahaman seputar seksualitas
Mengajarkan adab kebersihan sejak kecil,
Anak perempuan sudah dipersiapkan untuk memakai
pantilener, pembalut, BH, dan berpakaian
Mengajarkan menutup aurot

Memperhatikan asupan makanan anak


Menghindarkan rangsangan-rangsangan yang mengarah
perilaku seksual
Pendidikan agama sejak kecil
Perlu adanya pemisahan antara laki-laki dengan perempuan
jika menjelang usia remaja
Menghindarkan waktu luang (melamun)
Menemukan agen social anak
Mengembangkan interaksi dan perilaku yang normative
Mengenalkan jenis kelamin
Orangtua harus memberikan pemahaman secara terbuka
tentang seksualitas
Sedangkan upaya preventif guru terhadap perilaku seksual remaja autis
berdasarkan wawancara mendalam dan Focus Group Discusion (FGD) terhadap guruguru mendapatkan hasil penelitian terangkum dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 2 : Rangkuman Upaya Pencegahan Guru
Nara sumber Upaya Preventif
Guru
Tidak lepas dari peran pendidikan dan pengajaran dari guru
dalam mendidik tentang seksualitas.
Guru mengajarkan anak apabila mau BAB/BAK harus di
tempat tertutup (kamar mandi), tidak boleh orang lain melihat
atau memegang alat vital.
Pemberian program pendidikan seksualitas sejak dini di
sekolah
Menghindarkan faktor pemicu misal benda, suara, lingkungan
sekolah
Pemberian menu makanan di sekolah sebaiknya diatur agar
sesuai dengan kebutuhan ABK.
Menghindarkan rangsangan agar
tidak menyebabkan
munculnya perilaku seksualitas anak
Pembelajaran seksualitas secara kongkrit agar mudah dipahami
anak
Mengajarkan anak perempuan memakai softek dengan
pembiasaan agar tidak risih ketika waktunya tiba.
Bagi anak laki-laki diajarkan untuk melakukan masturbasi
secara sehat dan pada tempatnya.
Anak diberikan banyak aktifitas untuk mengurangi perilaku
seksualnya
Mengalihkan aktifitas anak ke aktifitas yang menguras tenaga
Mengenalkan jenis kelamin sejak dini
Pengenalan norma-nomra kepada anak sejak dini
Guru dalam memberikan reward hindari area erotis
Materi pendidikan seks disesuaikan dengan usia anak
Penelitian ini menunjukkan bahwa permasalahan perilaku seksual remaja autis
tidak hanya dilakukan upaya pencegahan namun perlu adanya upaya penanganan baik

dari orangtua maupun guru. Hasil penelitian dalam upaya penanganan perilaku seksual
pada remaja autis terangkum dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 3 : Rangkuman Upaya Penanganan Orangtua
Nara sumber
Upaya Penanganan
Orangtua
Melarang ketika anak melakukan dengan memberikan alasan,
Jangan dibentak, namun tegas diingatkan,
Melakukan
pengalihan
perhatian
dengan
dongeng
kesukaannya,
Menguras energi dengan membawa aktifitas positif (berenang,
main dancing game, mengajak berbelanja ke supermarket),
Diajak komunikasi secara perlahan dengan anak sekaligus
memberikan pengertian,
Apabila terpaksa perilaku seksual yang muncul tidak dapat
dikendalikan maka diarahkan ke tempat yang tertutup.
Untuk pernikahan jika memungkinkan dan anak tentu harus
dipersiapkan konsep pernikahan dan siap mental maupun
material, selalu orangtua harus siap selalu mendampingi.
Menyalurkan pada tempat yang khusus (pribadi) di kamar
mandi jika sudah tidak bisa dialihkan, sebisa mungkin
dialihkan ke aktifitas yang disukai anak
Perlu dikonsultasikan ke psikolog maupun psikiater
Sedangkan hasil penelitian dalam upaya penanganan guru terhadap perilaku seksual
remaja autis terangkum dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 4 : Rangkuman Upaya Penanganan Orangtua
Nara sumber
Upaya Penanganan
Guru
Perlu melakukan pendekatan personal/individual terhadap anak
Melibatkan semua pihak di lingkungan sekolah
Perlu adanya pendampingan dari guru secara intens
Perlu dialihkan aktifitas yang fungsional,
Saat muncul perilaku seksual diarahkan ke tempat tertutup
Perlu adanya kolaboratif orangtua, guru dan masyarakat
Ketika muncul perilaku seksual beri perkataan tidak boleh
dan
Guru memberikan aktifitas bermakna kepada anak.
Anak
diarahkan
untuk
melakukannya
dengan
bertanggungjawab dan bersih
Guru mendekati perlahan dan coba dialihkan secara perlahanlahan perhatiannya atau diajak pindah ke tempat lain dengan
halus
Guru perlu mencatat perilaku tersebut muncul setiap hari apa,
jam berapa kemudian faktor pemicunya apa.
Guru melatih anak untuk membersihkan kemaluannya dan
memasang pembalutnya
Guru perlu berkomunikasi dan berkonsultas dengan orang tua
dokter,psikolog, tokoh agama maupun psikiater
Guru mengajak anak untuk mengingat Tuhan (istiqfar)

PEMBAHASAN
Masa remaja individu autis pada umumnya memiliki banyak permasalahan yang
sama dengan individu lainnya, dalam hal perkembangan fisik, perkembangan seksual
maupun perkembangan lainnya. Perubahan perilaku pada individu remaja autis dapat
dijelaskan sebagaimana yang dikemukakan Christopher & Schaumann (1981, h.370),
bahwa anak autis akan mengalami perbaikan simptom setelah masa remaja, namun pada
saat remaja anak autis menunjukkan perilaku yang semakin memburuk seperti gangguan
perilaku, destructiveness, dan kegelisahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua dalam mempersiapkan anak autis
memasuki usia remaja sudah dimulai sejak kecil memberikan pemahaman, mengajak
ngobrol, mengajarkan adab kebersihan, konsep malu, toilet training, jenis kelamin,
norma-norma, menjaga sikap dan menjaga diri, tidak ada sesuatu yang dirahasiakan,
semua dibicarakan dengan terbuka, mengajak mandi bersama, bagi wanita dikenalkan
cara memakai pantilener, pembalut, BH bagi wanita, mengenalkan hubungan lawan
jenis,, belajar konsep boleh dan tidak, mengajarkan menutup aurot. Dari tujuh orangtua
dan tiga orang guru nara sumber menyampaikan bahwa mereka mempersiapkan
anaknya
memasuki
remaja
berbeda-beda
sebagian
mengatakan
dalam
memperlakukannya sama seperti anak yang lain, namun ada pula yang mengikuti saja
perkembangan anak. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pemahaman anak autis berbedabeda mulai dari kemampuan menangkap penjelasan, komunikasi, bahkan ada yang
masih sulit diajak ngobrol. Remaja autis menampakkan ekspresi seksual dan perilaku
seksual yang tidak wajar karena kurangnya kontrol diri.
Panuju dkk (1999), bahwa ada beberapa hal berkaitan dengan perkembangan
psikoseksual remaja, diantaranya yakni mempelajari hubungan seksual dan interaksinya
dengan lawan jenis berupa keterikatan hubungan percintaan, atau komitmen. Pada usia
remaja inilah seseorang mulai mengembangkan minat heterosexual.
Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa perspektif orangtua dalam upaya
pencegahan munculnya perilaku-perilaku seksual seperti di atas : memiliki kesamaan
antar orangtua walaupun ada beberapa orangtua yang secara mendalam dalam upaya
penanganan penyaluran dorongan seksual anaknya. Di sisi lain ada anak sudah
memasuki masa remaja belum menunjukkan perilaku-perilaku seksual, namun orangtua
tetap melakukan upaya pencegahan.
Upaya pencegahan merupakan salah satu langkah yang diambil untuk
mengendalikan perilaku seksual yang ada pada remaja autis. Perilaku seksual muncul
secara tiba-tiba, tidak mengenal waktu oleh karena itu perlu ada pencegahan agar tidak
muncul perilaku-perilaku seksual menyimpang atau menyalurkannya tidak tepat. yang
dilakukan orangtua selalu diberikan pengertian sejak kecil tentang norma-norma,
perilaku yang memicu kea rah perilaku seksual yang salah dan tidak baik secara moral,
social dan agama, memberi kesibukan pada aktifitas fisik rutin (olahraga, music),
mengenal konsep boleh dan tidak, larangan, tempat privacy dan public, diajak
komunikasi seputar organ tubuh, mengenalkan nama kemaluan wanita (bebek) dan lakilaki (burung).
Hasil berikutnya menunjukkan upaya-upaya orangtua penanganan baik intrinsik
maupun ekstrinsik terhadap remaja autis adalah melarang ketika anak melakukan
dengan memberikan alasan, jangan dibentak, namun tegas diingatkan, dilakukan
pengalihan perhatian dengan dongeng kesukaannya, berikan kegiatan menguras energi
dengan aktifitas (berenang, main dancing game, mengajak berbelanja ke supermarket),

komunikasi secara perlahan dengan anak sekaligus memberikan pengertian, dan jika
terpaksa tidak dapat dikendalikan arahkan ke tempat yang tertutup.
Menurut Rice & Dolgin (2008, h.215), orangtua adalah sumber penting dalam
memberikan pemahaman tentang nilai, sikap, dan perilaku remaja. Komunikasi individu
tentang seksualitas antara orangtua dan anak dapat membantu dalam membentuk nilainilai seksualitas yang sehat dan bertanggung jawab (Lehr, dkk dalam Kelly, 2008,
h.152).
Perspektif orangtua dalam penanganan (kuratif) perilaku seksual remaja autis
menyatakan seksualitas merupakan kebutuhan setiap individu sejak kecil, tidak
dilarang, ditekan namun tetap dialihkan maupun diarahkan jika memang sudah tidak
dapat dikendalikan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai upaya orangtua dan guru sejak
dini dalam penanaman nilai-nilai seksualitas, memberikan pemahaman, mengajak
ngobrol tentang seksualitas, mengajak aktifitas yang positif dan produktif. Namun yang
perlu diperhatikan orangtua dalam menyampaikan konsep-konsep tentang seksualitas
yang jelas, kongkrit dan mudah dipahami anak, jangan sampai malah membuat anak
bingung. Misalnya : ada orangtua dan guru yang sebenarnya sudah berupaya
mengenalkan organ tubuh anaknya, namun dalam memberikan nama organ kelamin
masih mengganggap tabu sehingga diberi nama tidak sesuai, alat kelamin wanita vagina
bukan bebek, alat kelamin laki-laki penis bukan burung.
Anak autis memiliki kekuatan meniru, merekam yang sangat kuat sehingga
orangtua harus betul-betul menanamkan konsep-konsep yang tepat. Sesuai pendapat Dr.
Rose, AP,M.Psi seorang psikolog pendidikan seks bagi anak wajib diberikan orangtua
sedini mungkin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perspektif guru dalam penanganan
penyaluran dorongan seksual remaja autis dalam upaya pencegahan munculnya perilaku
seksual memiliki kesamaan sebagai berikut pendidikan dan pengajaran seksualitas dari
keluarga, guru dan lingkungan, sebelum muncul perilaku diarahkan ke hal-hal yang
positif, orangtua mau terbuka dan tidak menutupi permasalahan seksualitas anaknya,
mengajarkan pemakaian softex bagi perempuan dan mengajarkan masturbasi secara
sehat, anak diberikan banyak aktifitas untuk mengalihkan.
Upaya pencegahan (preventif) ini dilakukan berdasarkan ekspresi dan bentuk
perilaku seksual yang muncul pada saat di sekolah. Misal : ada kasus anak yang
melakukan perilaku seksualnya kepada teman dengan menarik tangan teman sesama
laki-laki. Berdasarkan kasus di atas menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja autis
normal adanya, hanya saja anak mengalami kebingungan bagaimana dalam
penyalurannya. Ketika itu berlangsung terus menerus dan menikmati maka anak akan
selalu mengulang-ulang perilaku tersebut. Guru menganggap perilaku tersebut sebuah
penyimpangan perilaku karena dilakukan anak tanpa melihat tempat tertutup maupun
terbuka.
Perspektif guru dalam upaya penanganan (kuratif) bagi anak-anak yang sudah
sering muncul perilaku seksual sebagai berikut pendekatan personal, melibatkan semua
pihak dan pendampingan orangtua secara intens, didekati dan dialihkan aktifitas yang
fungsional, mengajarkan tempat privacy dan umum, perlu adanya kolaboratif orangtua,
guru dan masyarakat, mengajarkan pendidikan seks, menghormati lawan jenis, ketika
muncul perilaku seksual beri perkataan tidak boleh dan memberikan aktifitas
bermakna kepada anak yang lebih produktif.
Penelitian Farida Tri W (2009) menunjukkan bahhwa guru sebagai pengajar dan
pendidik di sekolah memiliki peranan yang ganda, yaitu membantu orangtua anak autis

di sekolah, membantu terapis atau pembimbing dan pelatih dalam progam


penatalaksanaan gangguan autisme agar anak autis dapat menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungan dan berperilaku secara tepat.
Perspektif guru menekankan adanya kolaboratif keterbukaan antara orangtua
dengan guru dalam hal perkembangan seksualitas anaknya sehingga ada sinergis antara
pihak sekolah dengan pihak keluarga. Upaya-upaya yang lain semua sama dengan
pendapat orangtua bahwa pendidikan seksualitas sejak dini sangatlah penting, dilakukan
dengan adanya penguatan (reward) dan hukuman (punishment) serta mengajarkan
kontrol perilaku anak.
Upaya pencegahan baik orangtua maupun guru perlu memperhatikan asupan
makanan agar menjadikan anak lebih tenang dianjurkan makan makanan yang
vegetarian (sayur-sayuran) karena makanan yang terlalu pedas, terlalu asin, terlalu
manis, terlalu asam merangsang munculnya perilaku seksual pada diri anak autis.
Demikian juga makanan yang berlemak hendaknya dihindarkan karena makanan
membuat orang malas, lambat dan lamban. Sistem keseimbangan dan keharmonisan
untuk mengatur badan dapat ditemukan dalam sistem rangkaian kelenjar hormon.
Hormon-hormon itu mempengaruhi fungsi-fungsi seluruh badan seperti metabolism,
pencernaan, dorongan seksual dan juga jiwa. Untuk mengatur sekresi hormon agar
seimbang yang akan berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh maka perlu adanya
gerakan-gerakan tubuh. Gerakan-gerakan tersebut disebut Yoga asanas. Melatih anak
untuk berpuasa, dengan berpuasa remaja autis akan mengendalikan dorongan
seksualnya. Dalam latihan berpuasa tentunya perlu didampingi para orangtua maupun
guru. Melatih sholat sejak usia 7 tahun dan memisahkan tidur sejak usia 10 tahun dalam
hal ini berkaitan dengan pembiasaan yang positif. Anak autis memiliki perilaku yang
stereotip sehingga ketika dibiasakan dengan rutinitas yang terarah dan positif
pengendalian diri anak akan lebih baik.
Terapi farmakologi (terapi obat-obatan) kaiatannya dengan permasalahan
hormonal. Namun dari psikiater mengatakan tidak disarankan menggunakan obat karena
kebutuhan seksual adalah hak asasi manusia. Perilaku seksual remaja autis dengan
masturbasi ataupun onani beberapa pendapat mengemukakan bahwa apabila anak betulbetul sudah dapat dialihkan dengan perhatian atau aktifitas yang lain, namun diarahkan
ke tempat yang tertutup. Perilaku seksual remaja autis bila sekali diberi kesempatan
untuk menyalurkan akan merasakan kenikmatan, dan secara otomatis anak selalu
mengulang-ulang sesuai dengan gejala-gejala yang muncul pada individu autis. Hasil
observasi peneliti dari kasus di sekolah X, perilaku seksual anak sudah menjadi habit
sementara anak yang lain belum faham, secara tidak langsung akan memberi stimulus
pada anak yang lain.(rekaman kasus). Anak diajak untuk memperbanyak menyebut
nama Tuhan Dzikir , nama semaranam, pengakuan, selalu ingat Tuhan. Dalam hal ini
tentu disesuaikan dengan keyakinan agama yang dianut masing-masing remaja autis.
Anak-anak autis dapat dilatih untuk meditasi agar lebih focus, konsentrasi dan
tenang untuk doanya disesuaikan dengan keyakinan dari masing-masing anak.
Pelaksanaan dapat dilakukan secara kelompok maupun individu dari mulai yang sangat
sederhana, melihat satu titik dan selanjutnya sampai ke tingkatan yang lebih sulit. Perlu
psikoterapi bagi remaja autis yang compulsive dan patologi harus dikonsultasikan ke
psikiater. Perbanyak kegiatan-kegiatan kerohanian, dengan membaca kitab al Quran,
Injil, Wreda maupunTripitaka (sesuai dengan agama keyakinan anak). Perbanyak
kegiatan-kegiatan social (kerja social) agar anak menemukan teman sebaya dan dapat
mengalihkan aktifitas yang lebih positif serta bersifat sosial.

SIMPULAN
1. Upaya preventif yang dapat dilakukan orangtua dan guru terhadap perilaku seksual
pada remaja autis dimulai sejak dini, dilakukan secara kongkrit mudah dipahami anak
dan selalu ada pendampingan secara terus menerus.
2. Individu remaja autis yang menunjukkan adanya perilaku seksual remaja autis normal
adanya, hanya saja anak mengalami kebingungan bagaimana dalam penyalurannya.
3. Adanya kolaboratif keterbukaan antara orangtua dengan guru dalam hal
perkembangan seksualitas remaja autis sehingga ada sinergis antara pihak sekolah
dengan pihak keluarga
4. Pendidikan seksualitas sejak dini sangatlah penting, dilakukan dengan adanya
penguatan (reward) dan hukuman (punishment) serta mengajarkan kontrol perilaku
anak
SARAN
1. Orangtua dan guru diharapkan selalu mengikuti perkembangan anak, mendampingi,
mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai sosial, agama, norma, seksualitas sejak dini
serta menanamkan konsep-konsep yang benar.
2. Orangtua lebih baik mencegah dari pada menangani untuk perilaku-perilaku seksual
yang sudah muncul.
3. Perlunya Management diri orangtua maupun guru dalam mengatasi perilaku
seksualitas remaja autis.
4. Guru dengan orangtua perlu kolaboratif dalam penyusunan program, yang berangkat
dari masalah anak sehingga terjadi kesepakatan, kesinambungan program pendidikan
seksualitas yang dilakukan di sekolah dapat dilanjutkan di rumah.

DAFTAR PUSTAKA
Agus,2007,
Menghadapi
Masa
Pubertas,
http://agusmupla.files.wordpress.com/2007/10/menghadapi-masa-pubertas.doc
Anonim, 2008, Fase-fase Psikoseksual dari Anak hingga Remaja,
http://gusrukhin.files.wordpress.com/2008/08/faseremaja.pdf
Budiman M, 1996, Makalah Simposium. Pentingnya Diagnosis Dini dan
Penatalaksanaan Terpadu Pada Autisme. Surabaya
Faturochman, 1989, Problem Seksual Remaja, Jawatengah, Suara Merdeka
Freud S, 2001, Pengantar Umum Psikoanalisis. Penerjemah Haris Setiowati,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fuhrmann, B. S. 1990. Adolescence, Adolescent. London, England: Scott, Foresman/
Little, Brown Higher Education. A Division of Scitt, Foresman and Company
George M Realmuto and Lisa A Ruble, 1999, Sexual Behavior in Autism : Problems
of Definition and Management, Journal of autism and developmental disorders,
Vol 29 No. 2 1999
Herini, 2004, Pendidikan Anak Autis, Yogyakarta. Makalah Seminar
Hidayat P, 2010, Perkembangan Anak Remaja, Makalah Seminar seksualitas dan
pubertas pada Individu Remaja dan Dewasa dengan Autisme, Bandung :
Universitas Kristen Maranata
Hurlock,E.B.1993. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan sepanjang Rentang
Kehidupan, penterjemah : Istiwidayanti. Jakarta : Erlangga.

Jaya Z, 2009, Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Badan Penelitian
dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Makalah
Kelly, G.. F. 2008. Sexuality Today. New York, Avenue of the America:McGraw-Hill
Higher Education.
Kira, C. S. 2006. Adolescents on the Autism Spectrum. New York, USA: PenguinGroup
(USA) Inc
Laila Kholisothul, 2006, Pendidikan Seks Islami Dalam Menanggulangi Penyimpangan
Perilaku Seksual Remaja, Semarang, IAIN Walisongo, Skripsi
Miles dan Huberman,1984, Qualitative Data Analysis, A Sourccebook of New Methods,
Sage Publications, Beverly Hills London
Monks,F.J. dan knoers,A.M.P.1987.Psikologi Perkembangan : Pengantar Dalam
Berbagai Bagiannya ; Penterjemah : Siti Rahayu Haditono. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Ozzy (2002). Kesehatan reproduksi Remaja, Terived March, 16, 2009. from the World
Wide Web : http://situs.kesrepro.info/krr/materi/remaja.htm
Panuju, P, dkk. 1999. Psikologi Remaja. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta.
Puspita D, 2007, Seksualitas pada individu remaja autis, Jakarta, Makalah
Puspita D, 2008, Pendidikan Seks Anak Autis : seksualitas pada remaja autis, Jurnal
Retrieved October, 22, 2008. From the World WideWeb :
http://terasbaca.wordpress.com/2008/2009/12/pendidikan-seks-anak-autis/
Rice, F. P & Dolgin, K. G. 2008. The Adolescencet. Development, Relationship, and
Culture. United State of America: Person Education, Inc.
Riksasiati R (2010), Penanganan Perilaku Seksual Remaja Autis di SLB N Pembina
Yogyakarta (Studi Kasus Pendekatan Model Kualitatif), Skripsi,Yogyakarta, UIN
Sunan Kalijaga
Rumini S dan Sundari S, 2004, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta : FIP UNY
Sarlito W. S, 2002, Psikologi Remaja, Jakarta, Grasindo
Sarlito W. S, 2003, Psikologi Remaja, Jakarta, Grasindo
Schweir, K. M & Hingsburger, D. 2000. Sexuality- Your Sons & Dougther with
Intellectual Disabilities. Maryland-USA; Paul. H Brookes Publising Co
Siregar RSN (2008) Perilaku seksual Remaja Autis, Skripsi, Yogyakarta, Universitas
Islam Indonesia
Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung : Alfabeta
Turoff M dan Linstone AH, 2002, The Delphi Method Techniques and Applications,
2002, With a Foreword by Olaf Helme, University of Southern California
Widyasti FT , 2009, Seksualitas Remaja Autis pada Masa Puber (Pendekatan Studi
Kasus), Semarang, Jurnal Pubertas seksualitas
Wijaya IDR, 2010, Pendidikan Pubertas bagi Individu Remaja dan Dewasa dengan
Autisme, Bandung, Universitas Kristen Maranatha
Zainun M, 2002, Makalah Pendidikan Seksual Pada Remaja, Jakarta

Bagian 4

STRATEGI-STRATEGI PEMBELAJARAN DALAM


KEPELBAGIAN PELAJAR

Pencapaian Murid-Murid Pemulihan Dalam Tiga Kaedah Pembelajaran


Mohd. Hanafi Mohd Yasin, Mohd Mokhtar Tahar, Hasnah Toran, Safani Bari
Universiti Kebangsaan Malaysia
Sazali Abd. Hamid, Nik Azhar Nik Abd. Rahman, Zawawi Zahari, Bahari Abu Bakar,
Aziz Jantan, Azman Nordin
Kementerian Pelajaran Malaysia

1.0
Pengenalan
Pendidikan peringkat rendah ialah pendidikan yang bertujuan untuk melahirkan
insan yang seimbang serta berkembang secara menyeluruh dan bersepadu dari
segi intelek, rohani, emosi dan jasmani selaras dengan falsafah pendidikan
negara. Penguasaan kemahiran asas membaca, menulis dan mengira (3M) perlu
dikuasai di peringkat awal bagi membolehkan murid-murid berkomunikasi dan
menimba ilmu pengetahuan. Kanak-kanak yang dikenal pasti mempunyai
masalah membaca, menulis dan mengira dikategorikan sebagai murid-murid
pemulihan khas. Murid-murid ini lazimnya mempunyai masalah perkembangan
kognitif yang lewat. Oleh itu, Program Pemulihan Khas telah dilaksanakan oleh
Kementerian Pelajaran Malaysia (KPM) bertujuan untuk mengatasi masalah
murid tidak menguasai kemahiran asas 3M di sekolah rendah.
Penggunaan bahan bantu mengajar (BBM) merupakan sebahagian
daripada usaha guru dalam usaha merangsang minat dan tumpuan pelajar
terhadap pengajaran yang seterusnya menjamin pemerolehan pengetahuan dan
kemahiran oleh pelajar (Rashidi & Abdul Razak, 1998). Justeru penggunaan
bahan bantu mengajar yang sesuai dan menarik dalam proses pengajaran asas
bacaan dalam kelas pemulihan adalah penting kerana ia dapat mempertingkatkan
kejayaan pembelajaran, lebih-lebih lagi untuk pengajaran mata pelajaran Bahasa
Melayu. Strategi pembelajaran menggunakan BBM dapat meningkatkan
pengetahuan dan kefahaman membaca. Banyak penyelidikan telah membuktikan
bahawa penggunaan gambaran visual sebelum, semasa dan selepas membaca
sesuatu bahan bantu mengajar akan dapat meningkatkan kefahaman (Gambrell
& Bales, 1986; Sadoski & Paivio, 2001). Sementara itu murid akan dapat
membentuk kefahaman apabila membuat penghuraian atau pengubahsuaian
secara verbal semasa membaca teks. Ia merupakan satu latihan bagi membentuk
hubungan di antara maklumat lalu dan maklumat baru menerusi imageri dan
visualisasi.
Penggunaan komputer (ICT) dalam bidang pendidikan bukanlah sesuatu
yang baru, malah telah lama diperkenalkan sejak tahun 60-an lagi di negaranegara maju seperti Amerika Syarikat dan United Kingdom. Kemahiran
penguasaan teknologi maklumat dan komunikasi khususnya dalam bidang
pendidikan pada masa ini memang tidak dapat disangkal lagi. Menurut Giesert
& Futrell (1990), dalam proses pengajaran dan pembelajaran, komputer boleh

digunakan untuk pelbagai tujuan dan teknik. Guru yang berbakat dapat
menggunakan komputer secara kreatif dan kritis untuk membantunya mencapai
objektif pembelajaran. Penggunaan ICT dalam pengajaran dan pembelajaran
bukan sahaja sesuai untuk pelajar-pelajar normal, malah turut diaplikasikan
dalam pengajaran dan pembelajaran pelajar-pelajar Pemulihan Khas dan
Pendidikan Khas. Sekiranya komputer digunakan secara sistematik dan
terancang, proses pengajaran akan berjalan lancar, masalah yang rumit dalam
penyampaian dapat diselesaikan dengan mudah (Heinich, 1996). Dengan kata
lain, kehadiran komputer sebenarnya telah memperkayakan teknik pengajaran
dan memudahkan proses tersebut di dalam bilik darjah. Oleh itu, tiga kaedah
pengajaran digunakan dalam kajian ini iaitu kaedah pengajaran secara
tradisional, pengajaran dengan menggunakan bahan bantu mengajar (BBM)
tanpa ICT dan pengajaran menggunakan kaedah BBM dengan ICT.
Tujuan kajian yang dijalankan ini adalah untuk melihat tahap pencapaian
murid-murid pemulihan yang diajar menggunakan tiga kaedah pengajaran yang
berbeza iaitu kaedah tradisional, kaedah bahan bantu mengajar tanpa ICT dan
kaedah bahan bantu mengajar dengan ICT. Selain itu, kajian ini juga bertujuan
untuk menentukan kaedah pengajaran yang lebih dominan untuk meningkatkan
penguasaan murid pemulihan dalam subjek yang diajar. Hasil kajian ini
berpotensi untuk memberi peluang kepada murid pemulihan khas untuk
meningkatkan kesedaran bahawa mereka mempunyai kelebihan dan potensi
yang setara dengan murid sebaya dengan mereka apabila didedahkan dengan
bahan bantu mengajar samada dengan kaedah tradisional atau dengan
penggunaan ICT. Selain itu, ia dapat menjana manfaat kepada pihak sekolah dan
guru-guru pemulihan khas dalam menambah baik dan meningkatkan mutu
pengajaran dan pembelajaran bagi pemulihan khas tersebut.
2.0
Instrumen Kajian
Instrumen kajian yang digunakan dalam kajian ini terdiri daripada;

2.1
Ujian Pra
Sebanyak 65 item soalan dalam Ujian Pra telah digubal meliputi:
Bahagian A - Suaikan huruf vokal awal dengan gambar (5 soalan).
Bahagian B - Lengkapkan vokal awal dalam perkataan berdasarkan
gambar (5 soalan).
Bahagian C - Tanda pada suku kata (kv) yang betul berdasarkan
gambar (6 soalan).
Bahagian D - Tuliskan perkataan (kvkv) berpandukan gambar (6 soalan).
Bahagian E - Tuliskan huruf (vokal dan konsonan) yang tertinggal pada
perkataan yang ditinggalkan (5 soalan).
Bahagian F - Suaikan perkataan (kvk dan kvkv) menjadi rangkai kata (kvk
kvkv) (5 soalan).
Bahagian G - Suaikan perkataan (kvkvk) dengan gambar (5 soalan).
Bahagian H - Lengkapkan perkataan (dengan suku kata awal kv dan suka
kata akhir kv) berpandukan gambar (6 soalan).
Bahagian I - Tuliskan ayat (vkv, kvk, kvkv) berdasarkan gambar
(6 soalan).

Baagian J - Lengkapkan ayat (kvk, kvkv, kvkvk, kvkvkv) berpandukan


gambar (6 soalan).
Bahagian K - Lengkapkan petikan (kvk, kvkv) berdasarkan gambar
tunggal (10 soalan).

Item-item ujian pra dan pasca telah dibina mengikut kemahiran-kemahiran


membaca. Perbandingan ujian ini bertujuan mengenal pasti tahap kemahiran yang
dikuasai responden sebelum dan selepas pelaksanaan eksperimen dijalankan. Ujian
yang dilakukan meliputi peringkat bacaan abjad atau huruf dan peringkat bacaan
perkataan. Sebahagian besar bahan yang digunakan untuk ujian ini direka
berdasarkan buku Panduan Huraian Sukatan Pelajaran Tahun 1 dan 2. Kemahirankemahiran yang diuji pula berasaskan senarai turutan kemahiran yang terkandung
dalam panduan pelaksanaan program pemulihan khas BPK 2008 seperti jadual
berikut.
BIL
KEMAHIRAN
SOALAN
JUMLAH
1
Kemahiran 3 ( huruf vokal)
A - 5 soalan
10 soalan
B - 5 soalan
2
Kemahiran 4 ( Suku kata KV )
C - 6 soalan
6 soalan
3
Kemahiran 5 ( Perkataan 2 suku kata
D - 6 soalan
6 soalan
KV + KV
4
Kemahiran 10 ( Perkataan 2 suku kata E - 5 soalan
5 soalan
V + KVK
5
Kemahiran 8 ( Perkataan KVK )
F - 5 soalan
5 soalan
6
Kemahiran 11 ( Perkataan KV +
G - 5 soalan
11 soalan
KVK )
H - 6 soalan
7
Kemahiran 6 hingga 12 ( Perkataan
I - 6 soalan
22 soalan
V+KV hingga KVK + KV )
J - 6soalan
K - 10 soalan
JUMLAH
65 soalan

2.2 Ujian Pos

Kesemua item soalan dalam Ujian Pos adalah bersamaan dengan Ujian Pra dari
segi aras kemahiran dan bilangan soalan.

2.3 Instrumen Kaedah Tradisional

Kapur/white board pen


Papan hitam/papan putih
Kad abjad hitam putih
Kad gambar hitam putih
Kad ayat di kertas majung
Buku tulis

2.4 Instrumen Kaedah Bahan Bantu Mengajar Tanpa ICT

Marker pen dan white board


Papan hitam dan kapur
Kad jalur abjad berwarna
Kad gambar berwarna
Kad huruf
Kad suku kata berwarna
Kad gambar dan perkataan berwarna
Kad jalur ayat berwarna
Carta ayat berwarna
Lembaran kerja

2.5 Instrumen Kaedah Bahan Bantu Mengajar Dengan ICT

2.0

CD interaktif
Kad jalur abjad berwarna
Kad gambar berwarna
Kad huruf
Kad suku kata berwarna
Kad gambar dan perkataan berwarna
Kad jalur ayat berwarna
Carta ayat berwarna
Lembaran kerja
Metodologi Kajian
Kajian ini berbentuk penyelidikan eksperimen yang dijalankan ke atas 90 orang
murid pemulihan yang telah dipilih. Pemilihan murid adalah berdasarkan skor
ujian pra yang mereka jalani. Ujian pra tersebut meliputi kemahiran membaca
dan menulis. Responden dibahagikan kepada kumpulan berdasar skor ujian pra.
Sebanyak sembilan kumpulan dibentuk mengikut jenis kaedah pengajaran dan
nisbah guru-murid.
2.1
Sampel
Sampel kajian adalah murid-murid pemulihan yang sedang mengikuti
pembelajaran pemulihan di sekolah-sekolah rendah di seluruh negara.
Responden kajian pula adalah 90 orang murid Pemulihan Khas Tahun 2 yang
telah dipilih oleh guru pemulihan berdasarkan tahap penguasaan kemahiran asas
yang diuji (Buku Panduan Pelaksanaan Program Pemulihan Khas, 1999). Hanya
murid-murid yang belum mencapai kemahiran asas Bahasa Melayu lebih
daripada 10 sahaja dipilih sebagai responden kajian. Seterusnya semua
responden dikumpulkan di Johor Bahru dan menjalani ujian pra, pengajaran
eksperimen dan melakukan ujian pasca.

2.2

Prosedur Pengumpulan Data

Penyelidikan dijalankan dengan beberapa prosedur seperti membina rancangan


pengajaran harian (RPH) sebanyak enam slot iaitu selama 7 jam 30 minit.
Seterusnya, penyelidik menyediakan instrumen kajian seperti bahan ujian pra
dan pasca, borang skor ujian pra dan pasca. Guru yang dipilih untuk mengajar
dalam kajian ini pula akan berbincang mengenai bahan bantu mengajar dan
persiapan untuk mengajar mikro. Selain itu, proses pengumpulan data juga
melibatkan pembinaan bahan bantu mengajar dan lembaran kerja mengikut
RPH. Pengajaran mikro dan latihan pengajaran akan diadakan sebanyak dua sesi
oleh Jurulatih Pemulihan Negeri Johor selama empat hari dan seterusnya
melakukan post mortem pengajaran mikro. Setelah itu, pengajaran mikro bagi
sesi kedua dilakukan serta membuat persiapan di lokasi kajian seperti
menyediakan suasana bilik darjah pemulihan di semua bilik darjah kajian.
3.3
Prosedur Penganalisisan Data
Data kajian dikumpulkan melalui ujian pra dan ujian pasca. Semua jawapan
murid dimasukkan ke dalam sistem Statistic Package foe Social Sciences
(SPSS). Penganalisaan data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 11.5.
3.0
3.1

Dapatan Kajian
Tahap Pencapaian Murid-murid Pemulihan Yang Diajar Dengan Kaedah
Tradisional
Daripada dapatan kajian yang telah dijalankan bagi menilai tahap pencapaian
murid-murid pemulihan yang diajar dengan kaedah tradisional, analisis dapatan
kajian jelas menunjukkan bahawa skor ujian pos bagi kumpulan kaedah
pengajaran biasa (tradisional) agak setara bagi ketiga-tiga kumpulan. Namun
kumpulan 10 murid adalah lebih tinggi berbanding dua kumpulan yang lain.
Kenyataan Ini dijelaskan dalam jadual dan graf pengajaran berbentuk
tradisional seperti berikut:Pengajaran berbentuk tradisional
KUMPULAN
5 MURID
10 MURID
15 MURID

MARKAH PRA
60.20
56.60
57.20

MARKAH PASCA
87.60
85.20
78.47

PERBEZAAN
27.40
28.60
21.27

Graf perbandingan antara kumpulan murid dalam pengajaran kaedah tradisional.

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
MARKAH PRA

5 MURID

MARKAH PASCA

PERBEZAAN

10 MURID

15 MURID

Graf dan
jadual di
atas

menunjukkan tiada perbezaan yang ketara antara kumpulan murid. Skor


perbezaan dapat dilihat iaitu bagi lima murid, perbezaaan antara skor pra dan
markah pasca adalah 27.40, bagi sepuluh murid adalah 28.60 dan bagi lima belas
murid adalah 21.27. Bagi kumpulan lima dan sepuluh murid hampir tiada
perbezaan skor tetapi bagi pelajar lima belas terdapat penurunan 7.33 dari skor
tertinggi.

3.2

Tahap Pencapaian Murid-murid Pemulihan Yang Diajar Dengan Kaedah


Bahan Bantu Mengajar Tanpa ICT
Kumpulan murid yang diajar dengan kaedah bahan bantu mengajar (BBM) tanpa
ICT telah menunjukkan peningkatan skor pasca berbanding dengan kumpulan
kaedah pengajaran tradisional terutama bagi kumpulan 5 dan 10 orang murid.
Analisis data jelas menunjukkan bahawa kumpulan 5 orang murid mendapat
skor lebih tinggi daripada kumpulan 10 dan 15 orang murid bagi kaedah ini.
Kumpulan 5 orang murid kaedah ini mendapat skor purata tertinggi iaitu
sebanyak 49 berbanding dengan kumpulan 10 dan kumpulan 15.
Pengajaran Kaedah BBM Tanpa ICT
KUMPULAN
5 MURID
10 MURID
15 MURID

MARKAH PRA
70.60
61.90
60.60

MARKAH PASCA
119.20
102.60
84.67

PERBEZAAN
48.60
40.70
24.07

Graf perbandingan antara kumpulan murid dalam pengajaran kaedah BBM tanpa
ICT.

Graf dan jadual di atas menunjukkan perbezaan yang ketara antara kumpulan
murid. Skor perbezaan dapat dilihat iaitu bagi lima murid, perbezaaan antara
skor pra dan markah pasca adalah 48.60, bagi sepuluh murid adalah 40.70 dan
bagi lima belas murid adalah 24.07. Ini menunjukkan kumpulan lima murid
memberi prestasi markah yang menonjol antara kumpulan yang lain dengan
perbezaan skor 7.90 bagi kumpulan sepuluh murid dan 23.93 bagi lima belas
murid.
3.3

Tahap Pencapaian Murid-murid Pemulihan Yang Diajar Dengan Kaedah


Bahan Bantu Mengajar Dengan ICT
Kumpulan murid yang diajar menggunakan kaedah BBM dengan ICT tidak
menunjukkan peningkatan skor pasca yang tinggi berbanding dengan kumpulan
kaedah pengajaran BBM tanpa ICT. Namun kumpulan 10 orang murid bagi
kaedah ini telah menunjukkan peningkatan skor pasca yang tinggi berbanding
dengan kumpulan kaedah Tradisional, BBM tanpa ICT dan BBM dengan ICT.
Kumpulan 10 orang murid bagi kaedah pengajaran ini telah mendapat skor
purata sebanyak 71.
Pengajaran Kaedah BBM Dengan ICT
KUMPULAN
5 MURID
10 MURID
15 MURID

MARKAH PRA
67.00
43.00
60.80

MARKAH PASCA
98.60
114.10
83.53

PERBEZAAN
31.60
71.10
22.73

Graf perbandingan antara kumpulan murid dalam pengajaran kaedah BBM


dengan ICT.
120
100
80
60
40
20
0
MARKAH PRA MARKAH PASCA PERBEZAAN

5 MURID

10 MURID

15 MURID

Graf dan jadual di atas menunjukkan perbezaan yang ketara antara kumpulan
murid. Skor perbezaan dapat dilihat iaitu bagi lima murid, perbezaaan antara
skor pra dan markah pasca adalah 31.60, bagi sepuluh murid adalah 71.10 dan
bagi lima belas murid adalah 22.73. Ini menunjukkan kumpulan sepuluh murid
memberi prestasi markah yang menonjol antara kumpulan yang lain dengan
perbezaan skor 39.50 bagi kumpulan lima murid dan 48.37 bagi lima belas
murid.
3.4

Perbandingan Kaedah Pengajaran bagi Murid-Murid Pemulihan


Perbandingan Kaedah Pengajaran
KAEDAH

MARKAH PRA

MARKAH PASCA

PERBEZAAN

BIASA

174.00

251.27

77.27

BBM TANPA ICT


BBM DENGAN
ICT

193.10

306.47

113.37

170.80

296.23

125.43

Graf perbandingan antara kumpulan murid dalam pengajaran kaedah


tradisional

Graf dan jadual di atas menunjukkan perbezaan yang ketara antara kaedah
pengajaran. Semua skor murid dikumpul mengikut kaedah pengajaran. Skor
perbezaan dapat dilihat iaitu bagi kaedah biasa adalah 77.27, bagi kaedah BBM
tanpa ICT adalah 113.37 dan bagi BBM dengan ICT adalah 125.43. Kajian yang
hampir sama juga telah dijalankan oleh Charlie (2008) ke atas lima orang guru
dan lima belas orang pelajar pendidikan pemulihan di lima buah sekolah daerah
Serian mengenai penggunaan bahan bantu mengajar dalam kemahiran asas
membaca di kelas pemulihan mendapati bahawa prestasi yang ditunjukkan oleh
pelajar sebelum dan selepas penggunaan alat bantu mengajar dalam kemahiran
asas bacaan amatlah ketara.

4.0

Rumusan
Penggunaan kaedah pengajaran BBM kepada lima orang murid dan kaedah
pengajaran BBM dengan ICT kepada 10 orang murid dalam kajian ini telah
menunjukkan peningkatan skor pasca yang lebih tinggi berbanding dengan
kumpulan kaedah pengajaran dan nisbah guru murid yang lain. Guru bagi
kedua-dua kumpulan ini telah menggunakan BBM secara maksimum dalam
pengajaran mereka. Manakala bagi kumpulan kaedah pengajaran BBM dengan
ICT (BBM + ICT) pula BBM telah digabungkan bersama ICT. Berdasarkan
dapatan kajian ini kaedah penggunaan BBM tanpa ICT dengan bilangan murid
seramai lima orang berupaya meningkatkan kemahiran membaca. Skor pasca
kumpulan 10 orang kaedah pengajaran BBM bersama ICT adalah lebih tinggi
berbanding dengan kumpulan lain. BBM yang dibina dan digunakan dalam
pengajaran kedua-dua kumpulan ini telah menunjukkan keberkesanan.
Kenyataan ini disokong oleh Rasihidi dan Abdul Razak (1998) yang menyatakan

bahawa BBM dapat merangsang minat dan tumpuan murid dalam memperoleh
pengetahuan.
Dapatan kajian menunjukkan bahan bantu mengajar merupakan salah satu
faktor yang mampu menyumbang kepada peningkatan kemahiran membaca.
Pembelajaran membaca menggunakan BBM dalam persekitaran pembelajaran
konstruktif menyokong pembelajaran secara aktif, menyokong pembinaan pengetahuan,
dan menyokong kaedah belajar melalui pengalaman (Kamarudin, 1998). Namun begitu,
penggunaan bahan bantu mengajar didapati mempunyai beberapa masalah dalam
melaksanakannya. Antaranya ialah pengagihan peralatan dan bahan bantu mengajar ke
semua sekolah, tiada kepakaran dalam penyediaan bahan bantu mengajar, kekangan
masa dalam menyediakan bahan bantu mengajar, tiada penyediaan modul bacaan dan
latihan yang bertulis yang standard mengikut tahap kemahiran dan banyak lagi. Oleh
itu, beberapa cadangan bagi penambahbaikan masalah tersebut dinyatakan seperti guru
pemulihan khas perlu diberi latihan kepakaran dalam penyediaan bahan bantu mengajar
agar penyediaan bahan yang disediakan lebih praktikal, pengagihan peralatan dan bahan
bantu mengajar perlu diberikan kepada semua kelas program pemulihan khas supaya
dapat menjimatkan masa guru dalam menyediakan bahan dan seterusnya membolehkan
guru fokus kepada proses pengajaran dan pembelajaran dan lain-lain lagi.

Rujukan
Charlie Anak Ungang. 2008. Penggunaan Bahan Bantu Mengajar dalam Kemahiran
Asas Membaca di Kelas Pemulihan: Kajian Kes di Lima Buah Sekolah Daerah
Serian. Jurnal Penyelidikan IPBL, Jilid 8, 2008.
Gambrell, L. B., & Bales, R.1986. Mental imagery and the comprehension-monitoring
performance of fourth and fifth grade poor readers. Reading Research Quarterly,
21(4), 454-464.
Giesert, P., & Futrell, M. 1990. Teachers, computers and curriculum. Boston: Allyn.
Heinich, P. 1996. Instructional media and the new technologies of instruction. New
York: Macmillan.
Kamarudin Hj. Husin. 1998. KBSM dan model-model pengajaran bahasa. Selangor:
Kumpulan Budiman Sdn. Bhd.
Rashidi Azizan & Abdul Razak Habib. 1998. Pengajaran dalam bilik darjah: Kaedah
dan strategi. Kajang, Selangor: Masa Enterprise.
Sadoski, M. & Paivio, A .2001. Imagery and Text.

Pendidikan Pemulihan di Sekolah Menengah: Satu Tinjauan Keperluan Pelaksanaan


daripada Konteks Penguasaaan Kemahiran Asas Matematik
Mohd. Mokhtar Haji Tahar
Manisah Mohd. Ali
Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia

Pengenalan
Program Pemulihan Khas ialah satu usaha mengatasi masalah murid-murid yang
menghadapi kesulitan pembelajaran khususnya dalam menguasai kemahiran membaca,
menulis dan mengira (Jabatan Pendidikan Khas, Kementerian Pendidikan Malaysia.
2003). Semua sekolah rendah kecuali sekolah kekurangan (under enrolment) dibekalkan
dengan seorang guru pemulihan khas untuk menjalankan program pemulihan.
Dari segi konsepnya, pendidikan pemulihan ialah sebagai suatu aktiviti
pengajaran-pembelajaran untuk membantu murid-murid dalam kelas biasa yang
mengalami kesukaran dalam pembelajaran (Eee Ah Meng, 1998). Kesukaran ini
diharapkan dapat diatasi dengan murid berkenaan menguasai kemahiran dengan
pendekatan, bahan-bahan muridan serta aktiviti yang alternatif (Eee Ah Meng, 1998)
yang bersesuaian dengan masalah yang dihadapi (Pusat Perkembangan Kurikulum,
1982).
Pelaksanaan Program Pemulihan Di Malaysia:
Objektif program pendidikan pemulihan menekankan perkara-perkara yang
berkaitan penguasaan kemahiran dan pembinaan sikap. Antara objektif program
tersebut adalah:

membolehkan murid menguasai kemahiran tertentu menerusi aktiviti


alternatif yang menggunakan kaedah dan bahan-bahan pengajaranpebelajaran yang bersesuaian minat dan kebolehan mereka;

membolehkan murid dapat menerima pengajaran mengikut kadar


perkembangan mereka;

membolehkan murid membina sifat keyakinan diri supaya dapat


berinteraksi secara berkesan;

menyediakan bahan-bahan pembelajaran yang bermakna dan bersesuaian


dengan keupayaan murid;

menyediakan persekitaran pembelajaran yang membolehkan murid


menikmati pengalaman berjaya dalam pembelajaran
Secara amnya, murid pemulihan adalah murid yang menghadapi masalah atau
kesulitan pembelajaran serta gagal menguasai sesuatu kemahiran walaupun diberi
pengajaran biasa (Chua Tee Tee, 1992). Kegagalan mereka itu bukan disebabkan oleh
sesuatu kecacatan fizikal atau mental yang serius. Ciri-ciri murid pemulihan dapat
dilihat dari lima aspek utama iaitu emosi dan tingkah laku, sosial, kesihatan, kesediaan
belajar dan pengamatan (KPM 1999). Kewujudan ciri-ciri ini dikaitkan dengan ketidak
bolehan dalam menguasai satu-satu kemahiran berbanding dengan rakan-rakan
sebayanya menyebabkan wujudnya satu jurang perbezaan antara taraf pencapaian
mereka dengan pencapaian murid-murid lain.

Pendidikan pemulihan dilaksanakan ke atas murid tahun satu hingga tiga di


sekolah rendah sahaja. Aktiviti pemulihan yang dijalankan di sekolah terdiri dari dua
jenis iaitu, pemulihan dalam kelas dan pemulihan khas. Pemulihan dalam kelas
merujuk kepada aktiviti yang dijalankan dalam masa yang singkat terhadap masalah
pembelajaran yang ringan. Ini dijalankan oleh guru kelas di dalam kelas yang
berkenaan. Pemulihan khas pula merujuk kepada aktiviti pembelajaran yang dijalankan
di kelas khas oleh guru pemulihan khas pada jangkamasa tertentu.
Aktiviti
pembelajaran bagi pemulihan khas ini bertumpu kepada masalah pembelajaran yang
lebih teruk yang berkisar kepada penguasaan kemahiran 3M, membaca, menulis dan
mengira (Kementerian Pendidikan Malaysia, 1994). Susulan kepada program ini,
program intervensi untuk Tahun 4, 5 dan 6 sekolah rendah dan Tingkatan satu sekolah
menengah dilaksanakan. Perjalanan program ini di peringkat sekolah rendah adalah
lancar namun di peringkat sekolah menengah kesulitan wujud kerana ketiadaan
peruntukan guru khas pemulihan untuk mengendalikan program berkenaan. Justeru,
kebarangkalian akan wujud cabaran berkaitan keperluan pembelajaran bagi murid yang
masih belum menguasai kemahiran asas membaca, menulis dan mengira walaupun
mereka telah berada di peringkat pembelajaran yang lebih tinggi. Bahagian seterusnya
membincangkan keperluan kepada pelaksanaan program pemulihan di sekolah
menengah dengan merujuk kepada tahap penguasaan murid sekolah menengah dalam
kemahiran asas matematik.

Keperluan Program Pemulihan Di Peringkat Sekolah Menengah


Keperluan bagi pelaksanaan program pemulihan di peringkat sekolah menengah
dilakukan menerusi satu kajian tahap penguasaan murid sekolah menengah dalam
kemahiran asas matematik yang melibatkan kemahiran mengira, menolak, mendarab,
dan membahagi. Kajian ini dilakukan berdasarkan tiga aspek kepentingan penguasaan
kemahiran matematik iaitu:

aspek pendidikan: pengetahuan asas matematik diperlukan bagi kebanyakan


murid di sekolah;
aspek penggunaan: kemahiran matematik diperlukan untuk menyelesaikan
masalah kehidupan harian; dan
matematik sebagai bahasa sains dan teknologi.

Penguasaan dan pemahaman seseorang murid dalam mata pelajaran


matematik bergantung kepada pengetahuan yang sedia ada di dalam minda murid
tersebut. Pengetahuan yang baru diperolehi memerlukan penyusunan semula
struktur pengetahuan atau pengalaman yang terbina di dalam fikiran seseorang
murid. Oleh itu adalah penting bagi seseorang guru untuk mempunyai kesedaran dan
memikirkan tentang pengetahuan sedia ada yang dikuasai oleh murid apabila beliau
ingin menyampaikan sesuatu muridan, terutamanya tajuk lanjutan yang baru yang
mempunyai kaitan dengan tajuk asas sebelumnya (Atan Long 1984). Punca
kelemahan dalam penguasaan asas matematik mungkin bermula daripada murid
menjejakkan kaki ke alam persekolahan dan seterusnya dan menengah. Pengenal
pastian penguasaan asas ini dikenal pasti di peringkat tahap satu di sekolah rendah

melalui program-program pengenal pastian penguasaan kemahiran asas antaranya


penggunaan Instrumen Penentu Penguasaan 3M (IPP3M) dan yang terkini melalui
program LINUS. Program LINUS merupakan program saringan literasi dan
numerasi yang bersepadu untuk membantu mengurangkan masalah kemahiran asas
di peringkat yang lebih awal. Di peringkat sekolah menengah, bentuk penilaian
penguasaan kemahiran asas dilaksanakan melalui PROBIM atau Program membaca,
Menulis dan Mengira dengan pelaksanaan secara rintis dalam tahun 2007.
Masalah kelemahan murid dalam matematik ini telah lama diperdebatkan dan
dilaporkan hampir 50% calon aliran sastera di sekolah menengah tidak memahami
konsep-konsep asas matematik. (Khairul Anwar Rasmani 1990). Keadaan ini memberi
petunjuk bahawa masih terdapat murid yang tidak menguasai kemahiran asas. Secara
tidak langsung ini menunjukkan bahawa pendidikan pemulihan perlu diadakan di
peringkat sekolah menengah untuk meningkatkan taraf pencapaian matematik. Selaras
dengan itu, pendidikan pemulihan di peringkat menengah harus dikaji dan definisi
pendidikan pemulihan perlu ditakrif semula, bukan sahaja sebagai penguasaan 3M
tetapi perlu diperluaskan kepada penguasaan kemahiran mengikut rakan sebaya. Ini
memberi laluan kepada sokongan dan bantuan untuk murid menguasai kemahiran asas
yang belum dikuasai supaya mereka menjadi murid yang berdaya saing.
Berdasarkan kepada arah perkembangan yang dibincangkan di atas, kajian ini
bertujuan untuk mengkaji keperluan pendidikan pemulihan berdasarkan pencapaian
matematik di peringkat menengah. Sehubungan dengan itu, kajian cuba menjawab
persoalan-persoalan berikut:
Apakah punca pencapaian lemah murid dalam matematik?
Adakah tahap penguasaan konsep asas matematik di peringkat rendah
mempunyai hubungan dengan sikap negatif murid-murid terhadap matematik?
Adakah terdapat perbezaan pencapaian matematik dengan kecerdasan murid?
Metodologi:
Kajian ini berbentuk kajian tinjauan semasa yang berfokus kepada hubungan
penguasaan konsep asas matematik di peringkat sekolah rendah menerusi Kurikulum
Baru Sekolah Rendah (KBSR) dengan pencapaian murid dalam matematik di
peringkat sekolah menengah menerusi Kurikulum Bersepadu Sekolah Menengah
(KBSM); hubungan pencapaian matematik dengan kecerdasan murid menggunakan
ujian kecerdasan SOI dan keperluan Program Pendidikan Khas Pemulihan
Sampel kajian terdiri daripada murid sekolah menengah (n= 100) yang sedang berada
tingkatan dua. Instrumen kajian yang digunakan adalah:
satu set soalan matematik berdasarkan Ujian Penilaian Sekolah Rendah (UPSR)
tahun 1997 untuk mengukur konsep asas matematik sampel.
soalan SOI (Structure of Intellect Abilities) dalam bidang matematik untuk
mengukur kecerdasan matematik murid
satu set soal selidik untuk mengenalpasti tahap keperluan program pemulihan
peringkat menengah.

Data dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif yang melibatkan kekerapan,


peratusan dan min; dan statistik inferensi yang menggunakan pekali pearson.
Dapatan dan Perbincangan:
Dapatan kajian dikumpul mengikut skop berikut:
penguasaan konsep asas matematik,
ujianan kecerdasan SOI dalam bidang Matematik,
keperluan program pemulihan di peringkat sekolah menengah.
Bagi skop pertama, penguasaan konsep asas matematik, dapatan kajian adalah dikaitkan
dengan keputusan peperiksaan matematik UPSR sampel kajian seperti yang
dipersembahkan dalam Jadual 1. Responden dapat dikategorikan kepada 4 kumpulan
mengikut keputusan matematik UPSR mereka iaitu keputusan A sebagai pencapaian
cemerlang, B sebagai pencapaian baik , C adalah pencapaian sederhana manakala D dan
E ditakrifkan sebagai pencapaian lemah. Jadual 1 menunjukkan bahawa responden
mempunyai pencapaian dalam matematik yang amat berbeza. Terdapat hanya 1 %
daripada murid-murid yang mencapai keputusan cemerlang, 24 % yang lain mendapat
keputusan baik. 9 % mencapai gred sederhana manakala 66% adalah lemah dalam
matematik.
.
Gred
A
B
C
D
E

Jadual 1 : Taburan Pencapaian Matematik UPSR


Kumpulan
Frekuensi
Peratus
cemerlang
1
1%
baik
24
24%
sederhana
9
9%
lemah
19
19%
sangat lemah
47
47%
Jumlah :
100
100%

Analisis penguasaan kemahiran konsep asas dalam soalan peperiksaan dalam Jadual 2
menunjukkan pencapaian yang berbeza.
Terdapat perbezaan peratusan yang agak
ketara yang seharusnya tidak wujud lagi di peringkat menengah. Ini menjelaskan
bahawa adanya responden yang masih belum menguasai konsep asas matematik,
campur, tolak, bahagi, darab, pecahan dan operasi serentak.
Jadual 2 : Analisis Kemahiran Asas Berdasarkan Soalan Matematik UPSR 1997 Kertas 1 dan 2
Kertas 1
Menguasai (%)
Tidak Menguasai Jumlah
(%)
responden
1. 4875 x 87
70
30
4. 496 366 / 26
60
40
Kertas 2
1. 174 + 2 653
84
16
2. 4326 - 57
78
22
100
3. 4 896 / 8
79
21
4. 5/8 +
54
46
7. 5.03 0.1
72
28
8. 18 x 114 / 6
59
41
11.RM8.00 40 sen + RM
62
38
3.24

Bagi skop kedua, ujian kecerdasan SOI dalam bidang Matematik dilakukan
untuk melihat kemampuan kognitf murid secara am, dan adakah kemampuan kognitif
dalam bidang matematik mempengaruhi pencapaian dalam matematik.
Jadual 3 : Analisis Dapatan min dan peratusan keseluruhan pencapaian
murid dalam Ujian Kecerdasan SOI (matematik)
Pencapaian 12 Item
C C C C C M M M E E N
Kecerdasan SOI Dalam
F
F
S
S
M S
S
SI S
S
S
Bidang Matematik
S
T R S
U U S
C S
S
A A
Pintar dan Superior
3
7
10 12 1
77 88 91 1
9
4
Pencapaian Sangat Baik
0
10 7
19 0
4
5
4
0
5
6
Pencapaian Normal
5
13 4
17 0
11 4
0
0
9
13
Pencapaian Sederhana
35 28 10 19 3
7
3
2
0
25 14
Lemah dan Sangat Lemah
57 42 67 33 88 1
0
1
99 52 63
Min Keseluruhan Setiap
1. 2. 1. 2. 0. 4. 4. 4. 4. 1. 1.
Item
57 12 77 58 99 49 48 78 86 90 59

N
S
I

11
5
10
13
61

0
17
57
20
6

1.
93

10
0

Min Keseluruhan Ujian SOI


2.850
Korelasi Kecerdasan dengan
0.530*
pencapaian
*Korelasi adalah signifikan pada aras keertian = 0.01 (2 hujung)

Nilai min dalam Ujian SOI =2.850 menunjukkan pencapaian keseluruhannya


adalah sederhana dan lemah. Di bawah aras keertian = 0.01 (2 hujung) yang dipilih
dan korelasi r yang diperolehi iaitu r=0.530, maka didapati ada kesignifikan p = 0.000
menunjukkan ada hubungan antara kecerdasan dengan pencapaian dalam matematik
tetapi pada aras yang sederhana sahaja.
Data di atas juga dianalisis dan dijadikan dalam bentuk peratusan pencapaian
keseluruhan menunjukkan tiada murid yang boleh digulungkan dalan kategori pintar
dan superior. Hanya 17 % mencapai pencapaian sangat baik dan 57% pula
menunjukkan pencapaian normal. Manakala 20% pencapaian sederhana dan 6% lemah
dan sangat lemah menunjukkan kemungkinan gulungan inilah yang amat memerlukan
bantuan pemulihan di peringkat sekolah menengah.
Skop ketiga pula tahap kesediaan murid mengikuti program pemulihan
diperingkat menengah berdasarkan jawapan soal selidik yang diberikan.
Jadual 4: Menunjukkan peratusan keperluan Program
Pemulihan peringkat menengah.
Kenyataan
Amat Setuju
Setuju
Kurang Setuju
Tidak Setuju
Amat Tidak Setuju

Frekuensi
35
39
18
7
1

Peratusan
35%
39%
18%
7%
1%

Dari jadual 4, seramai 74% murid secara dasarnya bersetuju mengikuti


program pemulihan seandainya mereka gagal menguasai kemahiran dalam matematik.
Kesimpulan dan Cadangan Kajian
Pendidikan pemulihan adalah satu cara untuk membantu murid mengatasi kesukaran
dalam pemelajaran mereka. Kejayaan murid mengatasi kesukaran ini bergantung pada
semua di mana yang terlibat termasuk murid itu sendiri. Faktor penyebab murid
dimasukkan ke kelas pemulihan adalah terdiri daripada perkara berikut seperti aspek
mental, aspek emosi, persekitaran, sikap sendiri, ibu bapa, guru, kedudukan dalam
kelas, dan pelbagaian murid dalam kelas.
Kajian yang dilakukan ini memberi kefahaman bahawa adanya keperluan untuk
mengadakan pendidikan pemulihan bagi murid sekolah menengah terutama di peringkat
menengah bawah. Selain daripada itu, pemahaman ini boleh menjadi asas kepada
tinjauan seterusnya dalam perhubungan antara pencapaian yang rendah dalam
kemahiran asas khususnya matematik dengan pendidikan pemulihan.
Pendidikan
pemulihan di peringkat sekolah menengah adalah perlu dilaksanakan dalam usaha untuk
membantu murid menguasai kemahiran yang diperlukan untuk menjadikan mereka
murid yang berdaya saing. Konsep pemulihan di peringkat ini perlu dilihat dari segi
membantu murid untuk berada di tahap yang setanding dengan rakan sebaya mereka.
Berdasarkan kepada hasil yang telah diperolehi dalam kajian ini, pengkaji ingin
mengemukakan beberapa cadangan untuk mengatasi beberapa masalah yang dikesan
dalam kajian ini. Pertamanya, pihak sekolah perlu merancang strategi untuk mengatasi
masalah penguasaan asas dalam matematik dengan membuka kelas pemulihan di
peringkat menengah. Seterusnya, guru kaunseling boleh turut membantu dalam usaha
menangani masalah ini dengan membentuk kumpulan pembimbing rakan sebaya untuk
membantu murid-murid yang lemah dan sering menghadapi masalah dalam mata
muridan Matematik.
Sehubungan dengan ini, konsep pemulihan perlu membawa
maksud yang lebih luas dengan melibatkan konsep setanding dengan rakan sebaya dan
membantu murid untuk berdaya saing. Untuk tujuan pelaksanaan ini, timbul keperluan
kepada pendedahan dan latihan yang berkaitan untuk guru-guru berkenaan. Kerjasama
semua pihak dalam melaksanakan pprogram pemulihan khas sekolah menengah ini
amat diharapkan.
Rujukan :
Atan Long. 1984. Pendidik dan Pendidikan. Kuala Lumpur: Pendidikan Fajar Bakti
Bahagian Perancangan dan Penyelidikan Dasar Pendidikan. 2002. Laporan Kajian
Pelaksanaan Program Pemulihan Khas Di Sekolah Rendah. Kementerian Pendidikan
Malaysia: Kuala Lumpur.
Crealock.C & Bachor.G. 1995. Instructional Strategeis for student With Special Need.
Ontario. Allyn & Bacon Canada.
Ee Ah Meng (1998) Pedagogi III: Pengujian, Penilaian, Pemulihan, Pengayaan dan
Pendidikan Inklusif (Semester IV). Shah Alam: Fajar Bakti Sdn. Bhd.
Jabatan Pendidikan Khas. Kementerian Pewndidikan Malaysia. 2003. Pelaksanaan Program
Pemulihan Khas (masalah penguasaan 3m). Buku Panduan. Jabatan Pendidikan Khas.

Kementerian Pendidikan Malaysia.


Kementerian Pendidikan Malaysia. 2000. Instrumen Penentu Penguasaan 3M. Jabatan
Pendidikan Khas, KPM: Kuala Lumpur.
Kementerian Pendidikan Malaysia. 1986. Laporan Jemaah Nazir Sekolah Persekutuan.
Kementerian Pendidikan Malaysia: Kuala Lumpur.
Khairul Anuar. 1990. Kelemahan Murid-Murid dalam Matematik Di Sekolah Menengah:
Satu Kajian Sikap, Punca-Punca Kelemahan dan Permasalahaannya. Latihan Ilmiah:
Universiti Kebangsaan Malaysia.
Mohd Mokhtar B. Hj. Tahar. 1999. Program Pendidikan Pemulihan Khas Di Sekolah
Menengah: Satu Kajian Tahap Penguasaan Konsep Asas Matematik Di Kalangan
Murid Tingkatan 2 Sekolah Menengah Kebangsaan Seri Kota Melaka. UKM. Bangi.
Norani Mohd. Salleh, Faridah Serajul Haq, Manisah Mohd. Ali & Safani Bari. 2001.
Pendidikan Khas di Malaysia: Kepelbagaian Pengajaran dan Pembelajaran.
Prosiding Seminar Pendidikan Kebangsaan 2000. Bangi: Fakulti Pendidikan,
Universiti Kebangsaan Malaysia.
Pusat Perkembangan Kurilukum (1982). Kementerian Pendidikan Malaysia.
Unit Pendidikan Khas. 2001. Program Bimbingan Khas. Penerangan Kepada Pengetua
Sekolah Menengah, Negeri Melaka. Unit Pendidikan Khas , Melaka.

PENGARUH KESADARAN LINGUISTIK DAN KESADARAN PERSEPSI


VISUAL TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN ANAK
TUNAGRAHITA
Oleh :
Endang Rochyadi
Sekolah Pascasarjana Prodi : Pengembangan Kurikulum UPI

Abstrak
Kajian ini untuk melihat faktor-faktor esensial dari kesadaran linguistik dan
kesadaran persepsi visual yang mempengaruhi kemampuan membaca permulaan pada
anak tunagrahita. Faktor-kator yang dikaji meliputi kesadaran linguistik
(fonem,morfem, semantik dan sintaksis) dan kesadaran persepsi visual (visual
discrimination, visual spacial, visual figure and ground, visual memory) yang diduga
menjadi prasyarat dalam belajar membaca permulaan. Subjek penelitian berjumlah 32
siswa dari lima SLB di Bandung.
Hasil kajian ini menunjukkan, bahwa kedua faktor tersebut memiliki hubungan
kuat terhadap kemampuan membaca permulaan anak tunagrahita. berdasarkan
Koefisien Beta secara parsial kesadaran linguistik memiliki hubungan jauh lebih kuat
dibandingkan kesadaran persepsi visual. Nilai koefisien path kesadaran linguistik
(0.72) sementara pada kesadaran persepsi visual nilai koefisien pathnya (0.25). Akan
tetapi ada faktor esensial sebagai prasyarat membaca yang berkaiatan dengan aspek
kesadaran linguistik yaitu kesadaran fonem dan sintaksis, sementara faktor esensial
pada aspek kesadaran persepsi visual lebih berhubungan dengan discrimination dan
visual memory.
Kata Kunci : Kesadaran linguistik, kesadaran persepsi visual, membaca permulaan,
tunagrahita
Abstract
this study was conducted to find the essential factors of linguistic awareness and visual
perception influencing the beginning reading skill of mentally retarded children. The factors
studied include linguistic awareness (morphemes, semantics and syntax) and visual
perception awareness (visual discrimination, visual spatial, visual figure-ground, and visual
memory) which are assumed to be the prerequisites of learning early reading. The subjects
of this research were 32 students from 5 special school in Bandung.
The results show that both of the factors have strong influence towards mentally retarded
children early reading skill. However, the Beta Coefficient it was is found that linguistic
awareness has stronger relationship compared to the visual perception aspect. The
value of the coefficient path in the linguistic awareness is 0.72, while the coefficient
path value for linguistic awareness is 0.25. This means that linguistic awareness is
influencing position as the prerequisite of early reading skill compared to the visual
perception aspect. However, if studied further, it is found that not all variables related to
either linguistic awareness aspect or visual perception have the same meaningful

171

relationship with children reading skills.


The most essential factor of reading prerequisite related to the linguistic awareness is
related to the phoneme and syntax awareness, while the essential factor in visual perception
is related to the visual discrimination and visual memory.
Key word: linguistic awareness , visual perception awareness,
skill,mentally retarded

PENDAHULUAN
Rendahnya kemampuan bernalar
anak tunagrahita sebagai faktor yang
menimbulkan
banyaknya
kegagalan
dalam belajar membaca. Harirs (1990)
mengungkapkan bahwa faktor terpenting
dalam
masalah
membaca
adalah
inteligensi umum. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang erat antara kemampuan membaca
dengan inteligensi seseorang dengan
korelasi 84. (Strang 1943, Traxler: 1939
dalam Vismaia.S;2003). Temuan Cohen
and Glass (1996) melaporkan bahwa pada
tingkat
pertama
tidak
ditemukan
hubungan signifikan antara skor IQ dan
skor kemampuan membaca, tetapi mereka
menemukan hubungan di kelas empat
diasaat MA-nya berada di bawah 6 tahun.
Lebih lanjut dilaporkan bahwa porsi
kegagalan itu menurun ketika MA-nya
naik sampai 6,5 tahun. Menurutnya antara
inteligensi dan MA merupakan faktor
yang sama. Jika hasil penelitian yang
disebutkan terakhir itu benar maka ini
merupakan isyarat bahwa kegagalan
membaca pada anak tunagrahita bukan
semata-mata karena faktor inteligensi,
melainkan ada faktor lain yang turut
mendukung terhadap kegagalan atau
keberhasilan membaca seseorang. Oleh
karena itu, sangat dimungkinkan adanya
prasyarat lain yang belum terpenuhi
berkaitan dengan soal kesiapan belajar
membaca. Faktor persepsi misalnya,
diduga menjadi bagian yang turut
menghambat
dalam
belajar
anak
tunagrahita. Oleh karena itu masalah
persepsi menjadi bagian yang diduga

beginning reading

mendukung atas kegagalan belajar


membaca mereka.
Membaca
pada
dasarnya
merupakan proses sensoris, Ahmad Slamet
dan Vismaia (2003) mengungkapkan
apapun yang dapat kita katakan tentang
membaca, tidak dapat dipisahkan dari
kenyataan bahwa awalnya membaca
merupakan proses sensoris, dimana
isyarat dan rangsangan untuk kegiatan
membaca itu masuk melalui pintu yang
disebut sensor visual dan auditori
Para ahli pendidikan sepakat
bahwa dalam belajar, khususnya yang
berkaiatan dengan aspek akademik seperti
membaca dibutuhkan adanya prasyarat
yang
berkaiatan
dengan
masalah
kematangan. Sepanjang kematangan ini
belum dipenuhi, maka akan menimbulkan
banyak kegagalan dalam proses belajar
berikutnya, dan jika hal ini dipaksakan
maka akan muncul akumulasi kegagalan
yang menyebar pada semua aspek. Oleh
karena itu, menjadi sangat layak untuk
dipertanyakan dan ditelaah lebih lanjut;
apakah kegagalan membaca yang terjadi
pada anak tunagrahita terkait erat dengan
persoalan kesiapan belajar membaca?
Asumsi tersebut didasarkan pada
banyaknya fakta dan bukti yang telah
dilakukan para peneliti tentang adanya
korelasi positif antara kemampuan
membaca dengan kematangan membaca.
Smith dan Dechant yang dikutip Ahmad
Slamet
dan
Vismaia
(2003:71)
mengungkapkan adanya kaitan erat antara
kesiapan dan kemampuan membaca.
Mereka membuktikan korelasi antara skor
tes kesiapan membaca dan MA merentang

172

antara 0,35 dan 0,80. Kesimpulan mereka


berbunyi bahwa pada umumnya tes
kemampuan
membaca,
kesiapan
membaca dan MA itu faktor yang sama.
Apabila pernyataan tersebut kita
kaitkan dengan kondisi anak tunagrahita,
maka dapat ditarik garis lurus dalam
kesimpulan sementara bahwa faktor yang
turut menghambat atas keterampilan
membaca pada anak tunagrahita diduga
terkait pula dengan masalah yang ada
dibelakangnya yaitu persoalan pemenuhan
prasyarat kesiapan belajar membaca
Di sekolah, orang yang paling
bertanggung jawab untuk melihat
persoalan apakah seorang anak telah
cukup matang atau belum untuk belajar
membaca adalah guru. Oleh karena itu,
apabila hal-hal yang berkaitan dengan
pemenuhan kesiapan tersebut tidak
terdeteksi secara tepat, akan berakibat
buruk terhadap hasil belajar mereka.
Banyak fakta yang menunjuk buruknya
hasil belajar membaca pada anak
tunagrahita berawal dari prasyarat
kesiapan belajar membaca sebagai faktor
penyebabnya.
Oleh
karena
itu,
pemahaman terhadap prasyarat ini
menjadi bagian penting yang harus
diketahui seorang guru sebelum ia
membawa anak untuk belajar membaca.
Dulu diyakini bahwa persepsi
penglihatan (visual) memiliki pengaruh
kuat
sebagai
prasyarat
terhadap
keterampilan membaca. Pandangan ini
dibangun atas asumsi bahwa persoalan
membaca lebih menyangkut kepada
masalah lambang atau symbol bahasa
(alphabet), Oleh karena itu, penekanan
utama dalam membentuk kesiapan belajar
membaca, lebih difokuskan kepada
persoalan
persepsi
visual
seperti;
melakukan diskriminasi terhadap symbol
bahasa bahkan jauh kebelakang, anak
harus dapat melakukan diskriminasi objek
baik yang berkaitan dengan masalah
bentuk, ukuran maupun posisi. Asumsi ini
sampai sekarang masih dipegang dan

dijadikan dasar untuk membangun


kesiapan belajar membaca. Hasil studi
yang dilakukan (Park & Burki; 1943;
dalam Santrock; 2007) menyimpulkan
bahwa pembaca yang baik memiliki
kelemahan penglihatan yang lebih kecil
mengenai kelompok kronologis dan
kelompok mental. Sebaliknya, pembaca
yang
lemah
memiliki
kelemahan
penglihatan untuk kelompok kronologis
dan kelompok mental. Berkenaan dengan
hal itu Spache & Tillam (1962) dalam
Vismaia.S (2003) tu berhubungan
langsung dengan ketidak mampuan
membaca. Studi lain yang dilakukan
Harris (1970) menunjukkan adanya
hubungan antara ketidak mampuan
membaca
dan
kelemahan
visual.
Meskipun demikian, sebahagian orang
mulai meragukan; bukankah masalah
bahasa
itu
sesungguhnya
lebih
menyangkut kepada persoalan bunyi ?
Dalam pandangan yang berbeda,
diyakini bahwa membaca itu lebih
merupakan persoalan bahasa, dan bahasa
itu sendiri merupakan persoalan bunyi
dimana prosesnya dilalui lewat sensori
auditoris. Jika kita merujuk kepada paham
ini maka persoalan yang harus dibangun
di dalam kesiapan belajar membaca tidak
disandarkan kepada proses persepsi
visual, melainkan lebih menyangkut
kepada proses auditory yaitu kesadaran
akan bunyi bahasa atau yang disebut
kesadaran linguistik. Bryant, dkk (1998)
mengungkapkan
bahwa
kesadaran
linguistik pada anak sekolah dasar
merupakan
salah
satu
perolehan
peningkatan keterampilan membaca yang
dapat menjadi prasyarat atau fasilitator
bagi keterampilan membaca. Hasil
penelitian
itu
menemukan
bahwa
pelatihan kesadaran fonologis yang
diberikan selama pengajaran membaca
dapat mengembangkan keterampilan
membaca anak, (Bradley & Brryant;
1991, Cunningham ;1990, Hatcher,
Hulme & Ellis; 1994). Temuan Rayner,

2000
dalam
Santrock
(2007)
menyebutkan
bahwa
membaca
membutuhkan penguasaan aturan dasar
fonologi, morfologi, sintaksis dan
semantik, anak yang buruk tata bahasanya
baik dalam kontek bicara maupun
mendengar akan mengalami kesulitan
dalam membaca.
Secara eksplisit hasil kedua studi
tersebut belum memberi gambaran yang
tegas, mana diantara kedua pendekatan
tersebut yang paling berpengaruh
terhadap keterampilan membaca,
kesadaran linguistik atau persepsi visual
?. Pertanyaan lebih lanjut apakah hasil
studi di atas dapat ditarik garis lurus bagi
siswa tunagrahita ?. Pertanyaanpertanyaan itu muncul, karena gaya
belajar pada anak tunagrahita berbeda
dengan gaya belajar anak pada umumnya.
Kesiapan belajar membaca pada anak
tunagrahita mungkin baru dicapai ketika
mereka duduk di kelas 3 atau 4. Penelitian
yang dilakukan Dewi (2007) sedikit
memberikan gambaran atas kesimpulan
yang diperolehnya bahwa anak
tunagrahita yang memperoleh hasil tinggi
pada tes kesadaran linguistik cenderung
mendapatkan nilai yang tinggi pula pada
tes keterampilan membaca, demikian
sebaliknya, anak yang memperoleh nilai
rendah pada kesadaran linguistiknya
memperoleh nilai yang rendah pula dalam
keterampilan membacanya. Masalahnya
adalah pada aspek kesadaran linguistik
yang mana keterkaitan hubungan antara
keterampilan membaca dengan kesadaran
linguistik itu terjadi. Dalam pertanyaan
lain; pada keterampilan membaca yang
mana sesungguhnya peran kesadaran
linguistik itu menjadi kuat hubungannya
dalam membaca; kesadaran akan bunyi
fonem, morfem, simantik atau sintaksis ?
Kehawatiran lebih lanjut, berkaiatan
dengan penelitian itu tidak
mempertimbangkan aspek kesadaran
persepsi visual yang nyata-nyata telah
dikuasai anak dan berperan kuat atas

penguasaan keterampilan membaca yang


dicapai mereka
Merujuk kepada hasil penelitian
yang dilakukan Goetzinger, Dirks & Baer
(1960) dalam Viasmaia.S (2003) tentang
signifikansi hubungan kesadaran bunyi
dan membaca melalui perbandingannya
pada pembaca yang baik dan yang lemah
dalam memilih keterampilan auditoris
sejalan dengan yang dilakukan (Thomson;
1963, dalam Rahim Farida ;2007)
mengungkapkan bahwa dari 24 anak
pembaca yang baik, ada 16 siswa yang
memiliki
kemampuan
diskriminasi
auditoris yang baik pula pada awal masuk
sekolah, dan dari 24 pembaca yang
terburuk, hanya satu orang yang
menunjukkan kemampuan diskriminasi
yang baik pada awal masuk di tingkat satu
Perkembangan
bahasa
anak
tunagrahita sering dikatakan tidak seluas
dan secepat yang dicapai anak pada
umumnya, pada mereka terjadi penundaan
atau keterlambatan. (Spreen; 1965, dalam
Farida; 2007) menunjukkan bahwa anak
normal usia 5 dan 6 tahun memiliki
kepekaan terhadap sifat-sifat bunyi dan
mampu membedakan sifat-sifat bunyi
(fonem), mereka juga dapat menghasilkan
sebahagian bunyi-bunyi dengan benar.
Sementara pada anak tunagrahita pada
usia mental 7 dan 8 nyaris banyak
melakukan kesalahan dalam hal bunyi,
diantara mereka juga banyak yang
mengalami kekacauan artikulasi, kualitas
suara dan irama. Oleh karena itu, anak
tunagrahita
memperlihatkan
perkembangan pengucapan yang tertunda,
mereka lebih tua dari anak pada umumnya
ketika membuat bunyi-bunyi.
Dalam hal morfologis anak-anak
yang tidak mengalami ketunagrahitaan
menguasai sejumlah morfem terikat,
demikian pula halnya pada anak
tunagrahita.
Namun,
mereka
menunjukkan tahapan yang lebih rendah
(Bredberry; 1967 dan Erwin;1964 dalam
Vismaia
:
2003)
).
Sedangkan

174

perkembangan
dalam
sintaksis
sebagaimana yang dikemukakan Williams
dan Tellman (1968 dalam Glass and
Cohen (1996) dalam penelitiannya
terhadap anak tunagrahita (ringan),
menyebutkan bahwa anak-anak normal
dan anak superior pada berbagai tingkat
usia kronologis (CA) yaitu mulai dari usia
4 s/d 11 tahun dan ketika pada mereka
diberikan
dua
tugas
yakni
menggabungkan kata dan penggunaan
kata (kata kerja dan kata keterangan),
menjelaskan
bahwa
masing-masing
kelompok pada dasarnya menunjukkan
pola perkembangan yang sama dan
memperlihatkan
kemampuan
dalam
merangkai kalimat
secara teratur,
sekalipun pada anak tunagrahita tugastugas itu diselesaikan lebih lambat.
Berkenaan dengan kesadaran linguistik,
Lyster (2002) membaginya dalam 6 aspek
yaitu ; 1) identifikasi panjang kata, 2)
identifikasi suku kata, 3) pembentukkan
kata, 4) peleburan bunyi, 5) pemisahan
fonem dan 6 ) penghapusan bunyi.
Keenam faktor inilah menurutnya yang
turut mendukung terhadap kemampuan
membaca anak. Apabila kita merujuk
kepada aspek kesadaran linguistik yang
dikemukakan Lyster, dan diduga kuat
menjadi prasyarat dalam membaca,
pertanyaannya adalah ; aspek kesadaran
linguistik mana yang paling esensial
berpengaruh terhadap kesiapan membaca
anak tunagrahita ?.
Dalam pandangan yang berbeda
dan menitik beratkan kepada masalah
sensori visual sebagai faktor prasyarat
dalam membaca menunjukkan adanya
korelasi postif terhadap kemampuan
membaca seseorang. Keyakinan yang
menekankan kepada kesadaran persepsi
visual, dibangun atas asumsi bahwa
persolanan membaca lebih menyangkut
kepada
masalah
lambang
bahasa
(alphabet), Oleh karena itu penekanan
utama dari kesiapan belajar membaca,
lebih diakibatkan karena masalah persepsi

visual. seperti; diskriminasi terhadap


symbol bahasa, visual memory, spasial,
maupun figure and ground merupakan
indikator penting dalam membaca.
Keyakinan ini sampai sekarang masih
dipegang dan dijadikan dasar dalam
membangun kesiapan belajar membaca..
Berkenaan dengan masalah persepsi
visual Lenner dalam Molyono (1999)
melihat ada lima jenis persepsi visual
yang berperan kuat dalam membaca yaitu;
1) hubungan keruangan (spasial relation),
2)
diskriminasi
visual
(visual
diskrimanation), 3) objek dan latar (figure
and ground), 4) visual closure dan 5)
mengingat (visual memory).
Dari dua cara pandang yang
terkesan kontradiktif di dalam melihat
prasyarat serta dampak yang ditimbulkan
terhadap kemampuan membaca, menjadi
menarik untuk dikaji lebih jauh dalam
bentuk penelitian deskriptif analitik Bagi
penulis, antara symbol dan bunyi dalam
aktivitas membaca merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan dan harus
dipersepsi secara bersamaan. Dalam
aktivitas membaca, symbol (huruf) itu
harus dibunyikan, dan setiap apa yang
akan dibunyikan harus sesuai dengan
symbol yang ditampilkan. Dalam
pengertian lain; kesadaran linguistik dan
kesadaran persepsi visual dalam kaitannya
dengan membaca, ibarat dua sisi mata
uang dimana sisi yang satu tidak dapat
dipisahkan dari sisi lainnya. Oleh karena
itu,
keterampilan
membaca
harus
dibangun oleh kedua aspek tersebut.
Apabila kedua prasyarat dasar
dalam membaca itu kita kaitkan dengan
proses
mental
dalam
penerimaan
informasi, ternyata stimulan yang dilihat
(persepsi visual) dan didengar (persepsi
auditoris), diolah melalui proses mental
yang sama, hanya ketika informasi itu
masuk di otak, akan diolah pada tempat
yang berbeda. Stimulan yang masuk
melalui sensori visual seperti symbol
bahasa, akan ditransfer pada hemisfer

kanan, sedangkan stimulan yang masuk


melalui sensori auditoris seperti bunyi
bahasa akan ditransfer pada hemisfer kiri.
Selanjutnya kedua informasi ini akan
direkam dan disimpan dalam memory.
Dalam teori belajar, salah satu cara agar
informasi itu tersimpan dalam memory
diperlukan
adanya
latihan
dan
pengulangan. Bagi anak tunagrahita
proses belajar melalui latihan dan
pengulangan merupakan prinsip yang
sangat mendasar.
Begitu pula halnya jika kita
kaitkan dengan teori multiple Intelligen,
dimana aspek spasial merupakan salah
satu komponen dari kecerdasan seseorang
di dalam proses kognitif, maka masalah
kesadaran persepsi visual menjadi penting
untuk dijadikan dasar pertimbangan
dalam masalah membaca. Sama halnya
dengan masalah kesadaran linguistik
sebagai sensibilitas terhadap bunyi, ritme,
arti kata-kata, dan fungsi bahasa
(Gardner,1998).Colin Rose & Malcolm J.
Nicholl (2002) sebagaimana yang mereka
jelaskan bahwa setiap orang memiliki
jenis kecerdasaan yang bervariasi, dimana
kecerdasan-kecerdasan itu berkombinasi
sebanyak wajah dan pribadi individu
manusia. Hasil penelitiannya di Harvard
menunjukkan bahwa anak-anak berusia 5
tahun menempatkan profil kekuatan dan
kelemahan khas masing-masing, dan
ketika dewasa, sebahagian orang memiliki
satu atau dua kecerdasan yang benarbenar dikembangkan dengan baik. Oleh
karena itu, menjadi sangat dimungkinkan
aspek visual dan dan auditory itulah yang
memberi dukungan kuat atas keberhasilan
anak tunagrahita dalam hal membaca,
sebab kedua aspek itu nyata-nyata
memiliki pengaruh positif terhadap
keterampilan membaca seseoarang.
Dalam perkembangannya, bahasa
ditunjukkan sejalan dengan meningkat
usianya, dan penguasaan keterampilan
berbahasa itu sendiri dibangun melalui
proses belajar. Setiap anak biasanya

memiliki kaidah sendiri-sendiri dalam


belajar, dan sekali kaidah belajar itu dapat
ditemukan, maka ia akan belajar secara
efisien dan efektif. Hal yang sama akan
terjadi pula dalam belajar membaca.
Kaidah-kaidah dalam belajar membaca
secara nyata banyak didasarkan kepada
kesadaran linguistik atau kesadaran
persepsi visual. Berkenaan dengan
pertimbangan tersebut, maka masalah
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut;
aspek-aspek kesadaran linguistik dan
kesadaran persepsi visual manakah yang
paling esensial berpengaruh terhadap
kemampuan membaca permulaan anak
tunagrahita ?. dan inilah yang menjadi
fokus dalam penelitian ini,
METODOLOGI PENELITIAN
Kajian ini bersifat deskriptif
analitik untuk mencari factor-faktor
esensial dari kesadaran linguistic dan
kesadaran persepsi visual yang paling
berpengaruh
terhadap
kemampuan
membaca
permulaan
pada
anak
tunagrahita (ringan). Dalam penelitian ini
ada dua variabel bebas yang akan dilihat,
pertama; kesadaran linguistik dengan sub
variabel; 1) kesadaran bunyi huruf
(fonem), 2) kesadaran bunyi kata
(morfem), 3) kesadaran makna kata
(simantik) dan 4) kesadaran pemahaman
kalimat atau isi cerita (sintaksis). Kedua
adalah kesadaran persepsi visual dengan
sub variabel; 1) hubungan keruangan
(spasial relation), 2) diskriminasi visual
(visual diskrimanation), 3) objek dan latar
(figure and ground), 4) mengingat secara
viasual (visual memory). Sedangkan
variable terikatnya adalah keterampilan
kemampuan membaca permulaan yang
mencakup; 1) penguasaan huruf (latter
identification), 2) suku kata (sound
blending), 3) kata (word attack) dan
memahami isi ceritera sederhana /kalimat
(syntaxis). Kedua variable yang dimaksud
dapat divisualisasikan sebagai berikut:

Subjek penelitian ini berjumlah 32


siswa yang tersebar di lima SLB kota dan
kabupaten Bandung. Oleh karena itu
penetapan sample ini bersifat purposif
atau dikenal dengan istilah purposif
sampling. Cara ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa jumlah subyek
penelitian (anak) relatif sedikit dan
tersebar dibeberapa sekolah baik di kota
maupun kabupaten Bandung, dengan
variable kontrol; MA (7-11), IQ (50-75),
tidak memiliki kelainan pendengaran dan
visual, mereka telah/sedang belajar
membaca tetapi dinyatakan gagal.
Prosedur Penelitian ini ditempuh
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menyusun
instrument
kesadaran
linguistik, kesadaran persepsi visual,
dan membaca permulaan
2. Uji coba instrumen; yang bertujuan
untuk melihat tingkat validitas isi dan
kontruksi
(validitas
kontruksi
digunakan pendapat ahli (judment
expert) sebanyak 3 orang, sedangkan
validitas isi digunakan pada siswa
sebanyak 5 orang siswa tunagrahita) .
sedangkan untuk melihat realibilitas
digunakan analisis statistik dengan
rumus K-R.21.
3. Melakukan asesmen; yang berkaiatan
dengan
kesadaran
linguistik,
kesadaran persepsi visual dan
kemampuan
membaca
sehingga
ditemukan profil kemampuan pada
setiap aspek dari ketiga variabel

(kesadaran linguistik, persepsi visual


dan membaca).
4. Menganalisis hasil asesmen; analisis
hasil asesmen dilakukan dengan
menggunakan analisis jalur (path
analysis). Melalui proses; 1) uji
normalitas
variabel
dengan
menggunakan
One
Sample
Kolmogorov-Smirnov Test. 2) Uji
kandidat, yang berfungsi untuk
memilih variable menjadi variabel
yang
dapat
dianalisis
melalui
multivariate
(Path
analisis)
berdasarkan analisis variat (uji
korelasi) dengan nilai kebermaknaan
< = 0.25 . 3) rumus yang digunakan
adalah Pearson Correlation Test. 4)
selanjutnya dianalisis lebih lanjut
dengan menggunakan perhitungan
analisis jalur (path analysis).
HASIL PENELITIAN
Secara prinsip penelitian ini untuk
menggali factor-faktor yang paling
berpengaruh dari kesadaran linguistik dan
kesadaran persepsi visual terhadap
kemampuan membaca permulaan pada
anak tunagrahita, untuk kemudian
dianalisis melalui analisis statistk,
sehingga ditemukan aspek-aspek mana
dari kedua variable (kesadaran linguistik
dan kesadaran persepsi visual) yang
paling esensial berpengaruh terhadap
membaca permulaan.
Pengambilan data tentang kesadaran
linguistik dan kesadaran persepsi visual

dan membaca permulaan kepada tiga


puluh dua subjek penelitian yang tersebar
di lima SLB Bagian C (tunagrahita)
wilayah kota dan kabupaten Bandung
dilaksanakan mulai tanggal
8 September s/d 6 November 2008.
Beberapa persiapan sebelum kegiatan
penelitian adalah sebagai berikut; (1)
mempersiapkan
instrumen,
(2)
menghubungi tim ahli untuk kepentingan
validasi instrument, (3) membuat panduan
asesmen untuk pengumpulan data, (4)
mengkoordinir para guru SLB untuk

diberikan pelatihan tentang pengambilan


data melalui kegiatan asesmen kesadaran
linguistik, kesadaran persepsi visual dan
membaca yang dilaksanakan di dua
tempat yaitu; pada tanggal 2 September
2008 dan bertempat di SLB Sumbersari
yang diikuti oleh 6 orang guru.
Selanjutnya tanggal 4 September 2008
bertempat di kampus UPI dan diikuti oleh
8 orang guru. Adapun sumber data dan
waktu pengumpulan pelaksanaan yang
tersebar di 5 sekolah seperti tampak pada
table 6 berikut;

TABEL 1. SUMBER DATA DAN PELAKSANAAN PENELITIAN


N
O

LOKASI SEKOLAH

IDENTITAS SISWA
JL
KLS
MA
H
4 5 6 7 8 9 10 11
2 2 2 - - 2 2 - 6

SLB-C Sumbersari-

3
-

SLB-C/B Buah Batu

SLB-C/B YPLB Kopo

1 5

SLB-YPLB C/BCicalengka
SLB-A/B/C Kab.Kota
Cimahi
JUMLAH

2 9

1 7

Perolehan data ini diungkap melalui


proses asesmen dengan menggunakan
instrumen yang telah diuji validitas dan
realibilitasnya . Secara umum anak yang
dijadikan subjek penelitian ini memiliki
mental age (MA) merentang dari 7 s/d 11,
dengan tingkat kecerdasan (IQ) antara 6070, mereka juga tidak memiliki gangguan
pendengaran dan penglihatan yang duduk
kelas 3, 4, 5, dan 6. Semua subjek
penelitian ini pada dasarnya telah atau
sedang
mengikuti
proses
belajar
membaca, namun berdasarkan penilaian
para guru, mereka dinyatakan gagal atau
belum dapat membaca.

TANGGAL
PELAKSANA
AN
8 s/d 19 Sept
2008
22 s/d 30 Sept
2008
6 s/d 16 Okt
2008
20 s/d 29 Okt
2008
27 Okt s/d 6
Nop 2008

32

Untuk melihat aspek mana yang


paling esensial dari kedua prasyarat
membaca yaitu; kesadaran linguistik dan
kesadaran persepsi visual terhadap
kemampuan membaca permulaan perlu
dilakukan perhitungan statistik. Untuk
kepentingan ini, peneliti menggunakan
analisis jalur (path Analysis). Berkenaan
dengan perhitungan statistik tersbut, ada
beberapa langkah yang dilakukan yaitu
sebagai berikut:
Uji normalitas
Untuk menguji normalitas variabel
tentang pengaruh aspek kesadaran

linguistik dan kesadaran persepsi visual


terhadap membaca, digunakan One
Sample
Kolmogorov-Smirnov
Test.
Berdasarkan perhitungan tersebut maka
hasil uji normalitas ini dinyatakan
berdistribusi normal dengan kisaran angka
0,303 untuk linguistik dan 0.623 untuk
visual dan 0,976 untuk membaca
permulaan dan jika ketentuan (p>0,05)
maka secara statistik ketiga variable
menunjuk pada angka distribusi normal.
Ini berarti analisis statistik dengan
menggunakan analisis
jalur
(path
analysis) dapat dilakukan sebagai
persyaratan untuk perhitungan alanisis
jalur.
Untuk sampai pada perhitungan
analisis jalur; langkah selanjutnya adalah

melakukan uji kandidat tentang pengaruh


aspek-aspek kesadaran linguistik dan
persepsi visual yang diduga paling
esensial terhadap membaca. Uji kandidat,
berfungsi untuk memilih variable menjadi
variabel yang dapat dianalisis melalui
multivariate (Path analisis) berdasarkan
analisis variat (uji korelasi) dengan nilai
kebermaknaan < = 0.25
Berdasarkanh hasil analisis uji
kandidat dengan Pearson Correlation
Test tentang pengaruh aspek-aspek
kesadaran linguistik dan kesadaran
persepsi visual yang diduga paling
esensial terhadap membaca. Berdasarkan
hasil perhitungan dapat dilihat pada table
2
di
bawah
ini.

Tabel .2
Uji Kandidat tentang pengaruh aspek-aspek kesadaran linguistik
dan persepsi visual yang paling esensial terhadap membaca
179

Variabel
Linguistik
Fonem
Morfem
Semantik
Sintaksis
Visual
Diskriminasi bentuk
Spasial
Figur Ground
Memory
*Pearson Correlation Test (p0,25)

Melihat angka-angka yang diperoleh


berdasarkan perhitungan uji kandidat
dengan Pearson Correlation Test pada
tabel 2 di atas, menunjuk pada variabel
yang diteliti lebih lanjut didasarkan
kepada pengaruh variabel independen,
yaitu aspek kesadaran linguistik dan
kesadaran persepsi visual terhadap

Uji Kandidat Pemodelan*


Nilai r
Nilai p
0,95
<0,001
0,98
0,002
0,95
<0,001
0,62
0,020
0,96
<0,001
0,96
<0,001
0,86
0,023
0,86
0,016
0,75
0,001
0,96
<0,001

variabel dependen membaca ketika


variabel-variabelnya harus memenuhi
kriteria yaitu nilai p 0,25.
Berdasarkan pada kriteria tersebut
maka semua variabel baik yang berkaitan
dengan aspek kesadaran linguistik yaitu;
kesadaran tentang bunyi fonem, morfem,
simantik dan sintaksis, maupun variabel

yang berkaitan dengan aspek kesadaran


persepsi visual yaitu; diskriminasi visual,
visual spasial, latar dan objek (figure and
ground) dan visual memori dapat
dianalisis
lebih
lanjut
dengan
menggunakan uji kolinearitas untuk
kepentingan
lebih
lanjut
dalam
perhitungan analisis jalur (path analysis).
Uji Kolinearitas
Uji
kolinearitas
(Pearson
Correlation Test) dimaksudkan untuk

melihat korelasi yang kuat antara variabel


independen
diantara
aspek-aspek
kesadaran linguistik dan kesadaran
persepsi visual yang berpengaruh
terhadap
membaca
(dependent).
Berdasarkan hasil analisis uji kolinearitas
variabel independen pada aspek-aspek
kesadaran linguistik dan persepsi visual
terhadap membaca dapat dijelaskan pada
tabel
3.
di
bawah
ini.

Tabel .3
Uji Kolinearitas Tentang Pengaruh Aspek-aspek Kesadaran Linguistik
dan Kesadaran Persepsi Visual Terhadap Membaca
180

Fonem (X1)
Morfem (X2)
Semantik (X3)
Sintaksis(X4)
Diskriminasi (X5)
Spasial (X6)
Figur Ground (X7)

(X1)
1
0,79
-0,09
0,70
0,35
0,38
0,19

(X2)
0,79
1
0,02
0,68
0,25
0,34
0,43

Uji Kolinearitas (r)*


(X3) (X4) (X5)
(X6)
-0,09 0,70 0,35 0,38
0,02 0,68 0,25 0,34
1
-0,04 0,03 0,09
-0,04
1
0,50 0,49
0,03 0,50
1
0,67
0,09 0,49 0,67
1
0,18 0,46 0,41 0,22

Memory (X8)

0,44

0,64

-0,05

Variabel

0,57

0,36

0,49

(X7)
0,19
0,43
0,18
0,46
0,41
0,22
1

(X8)
0,44
0,64
-0,05
0,57
0,36
0,49
0,62

0,62

*Pearson Correlation Test (r<0,8)

Melihat
angka-angka
yang
diperoleh berdasarkan perhitungan uji
kolineritas melalui Pearson Correlation
Test pada tabel 3 di atas, dengan kriteria
nilai r <0,80 maka data tersebut dapat
dianalisis
lebih
lanjut
dengan
menggunakan perhitungan analisis jalur
(path analysis) untuk melihat variabelvariabel mana dari kedua aspek
(kesadaran linguistik dan kesadaran
persepsi visual) yang paling esensial
berpengaruh terhadap membaca.

Pengaruh aspek kesadaran linguistik


dan persepsi visual yang paling esensial
terhadap membaca
Berdasarkaan hasil perhitungan,
secara garis besar kedua variabel dari
kesadaran linguistik dan kesadaran
persepsi visual menunjuk pada angka
koefisien korelasi yang sangat tinggi,
sekalipun
memiliki
keterhubungan
(koefisien path) yang berbeda. Pada aspek
kesadaran linguistik diperoleh nilai
korelasi sebesar ( r = 0,95) dan koefisien
path (0,72). Sedangkan dalam keadaran
persepsi visual diperoleh nilai korelasi
sebesar (r = 0,96), dengan koefisien path

(0,25). Hal ini dapat diartikan bahwa


hubungan antara kedua variabel, yaitu
kesadaran linguistik dan kesadaran
persepsi visual memiliki peran yang
sangat esensial terhadap membaca,

sekalipun memiliki koefisien beta yang


berbeda. Untuk lebih jelasnya perolehan
angka-angka tersebut dapat dilahatt pada
tabel
4
berikut.

Tabel 4
Hubungan aspek-aspek kesadaran linguistik
dan persepsi visual terhadap membaca
Variabel
Linguistik
Visual
*Path Analysis (p0,05)

Kemampuan Membaca
Koefisien Path Nilai p*) R2

0,97
0,95
0,96

0,93
0,72
0,25

Dari tabel 4 di atas, kedua variabel


baik pada kesadaran linguistik maupun
kesadaran persepsi visual terhadap
membaca secara keseluruhan diperoleh
angka sebesar (93,0) dengan koefisien
korelasi sebesar (0,97). Jika besar nilai
total
pengaruh
yang
dihasilkan
berdasarkan nilai residu dari kemampuan
membaca adalah (7,0%) maka nilai
variabel residu tersebut menunjukkan
adanya
faktor
lain
yang
turut
mempengaruhi dan tidak terdentifikasi
dalam
variabel
penelitian
atas
peningkatan atau penurunan kemampuan
membaca pada koefisien korelasi

1-R2
0,07

0,001
0,200

determinasi sebesar 0,93. Dengan


demikian, dapat disimpulkan bahwa
kedua variabel yaitu; aspek kesadaran
linguistik dan persepsi visual berpengaruh
kuat
terhadap
membaca.
Namun
demikian, jika kita lihat berdasarkan
Koefisien Beta secara parsial, tampak
bahwa aspek kesadaran linguistik
memiliki pengaruh lebih kuat, dan angka
itu menunjuk pada nilai koefisien path
sebesar (0,72) dibandingkan kesadaran
presepsi visual dengan nilai koefisien path
sebesar (0,25). Secara visual pengaruh
tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut ;

KESADARAN
LINGUISTIK

KESADARAN
VIASUAL

Gambar 1:Pengaruh aspek kesadaran linguistik dan persepsi visual terhadap membaca.
Untuk melihat lebih rinci, variabel
mana dari kesadaran linguistik seperti:
kesadaran bunyi fonem, morfem, simantik
dan sintaksis, serta variabel mana dari

kesadaran persepsi visual seperti:


diskriminasi bentuk, pemahaman akan
ruang (spasial), kemampuan melihat latar
dan obyek objek dari latar (figure and

ground), serta kemampuan mengingat


secara visual (visual memory) terhadap

membaca dapat dijelaskan pada tabel 5


berikut:

Tabel. 5
Hubungan aspek-aspek kesadaran linguistik dan
kesadaran persepsi visual yang paling esensial terhadap membaca

Variabel

Fonem
Morfem
Simantik
Sintaksis
Diskriminasi bentuk
Spasial
Figur Ground
Memori
*Path Analysis (p0,05)

Kemampuan Membaca
Koefisien Path
Nilai p*)
R2

0,99
0,98
0,95
0,62
0,96
0,86
0,86
0,75
0,96

Berdasarkan Tabel 5; maka secara


keseluruhan terlihat bahwa hubungan dari
masing-masing
variabel
kesadaran
linguistik (Fonem, Morfem, Simantik,
Sintaksis)
dan
persepsi
visual
(Diskriminasi bentuk, Spasial, figure
ground, Memory) terhadap membaca
diperoleh angka sebesar (99,0 %) dengan
koefisien korelasi yang sama yaitu sebesar
(0,99). Ini menunjukkan bahwa aspekaspek kesadaran linguistik dari (Fonem,
Morfem, Simantik, Sintaksis) dan
persepsi visual dari (Diskriminasi bentuk,
Spasial,
figure
ground,
Memory)
menunjukkan adanya hubungan yang kuat
terhadap membaca, hal ini ditunjukkan
dengan besarnya nilai total hubungan
yang
Apabila hasil perhitungan itu
merujuk pada Interpretasi Koefisien

0,99
0,23
0,00
-0,25
0,33
0,34
-0,24
0,16
0,42

1-R2
0,01

0,323
0,997
0,019
0,000
0,577
0,050
0,095
0,052

dihasilkan berdasarkan nilai residu dari


kemampuan membaca, yaitu sebesar
(1,0% ). Nilai variabel residu tersebut
menunjukkan adanya faktor lain di luar
variabel penelitian tidak teridentifikasi
dalam
penelitian
yang
turut
mempengaruhi adanya peningkatan atau
penurunan
terhadap
kemampuan
membaca dengan koefisien korelasi
sebesar 0,99. Semua ini tampak terlihat
pada aspek-aspek kesadaran linguistik
(Fonem, Morfem, Simantik, Sintaksis)
dan persepsi visual (diskriminasi bentuk,
spasial, figure-ground, Memori) yang
menunjukkan adanya hubungan sangat
kuat
terhadap
membaca.

Determinasi dari Nirwana Sk. Sitepu


(1995:18) seperti pada tebel 6 berikut.

Tabel .6 Interpretasi Koefisien Determinasi


Interval Koefisien
Tingkat Pengaruh
04
Rendah atau lemah sekali
5 16
Rendah tapi pasti
17 48
Cukup kuat
49 81
Tinggi atau kuat
82 100
Sangat tinggi atau kuat sekali
Sumber : Nirwana Sk. Sitepu, 1995: 18
Berdasarkan interpretasi koefisien
diterminasi seperti terlihat pada tabel 6 di
atas maka dalam aspek kesadaran
linguistik, terlihat bahwa variabel yang
berkaitan dengan fonem (0.23) dan
sintaksis (0.33) menjadi faktor yang
cukup esensial berpengaruh terhadap
membaca.
Sementara
pada
aspek
FONEM

kesadaran persepsi visual yaitu variabel


yang berkaiatan dengan diskriminasi
(0.34) dan visual memori (0.42)
merupakan faktor yang cukup esensial
berpengaruh
terhadap
kemampuan
membaca. Jika divisualisasikan maka
dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:

S = 1.0 %

MORFEM
SEMANTIK

Py = 99.0 %

SINTAKSIS

DISKRIMINASI
SPASIAL
FIGURE&GROUND
VISUAL MEMORY

Gambar 2. Diagram Jalur Hubungan aspek-aspek kesadaran linguistik dan persepsi


visual yang paling esensial terhadap membaca
Berdasarkan hasil pengolahan data
tersebut, peneliti menginterpretasikan
bahwa hasil analisis menunjukkan adanya
pengaruh variabel Independen yang
sangat kuat terhadap variabel dependen,
yaitu sebesar 0,99 = 99,0% dan bisa
dikatakan bahwa terdapat hubungan yang
tinggi atau sangat kuat. Dengan demikian,
dapat
disimpulkan
bahwa
secara
keseluruhan
aspek-aspek
kesadaran
linguistik dan persepsi visual memiliki
pengaruh
sangat
kuat
terhadap
kemampuan membaca dengan besar
pengaruh 99,0%. Adapun indikator

variabel yang paling esensial pada aspek


kesadaran
linguistik
terjadi
pada
kesadaran bunyi fonem dan sintaksisi,
sedangkan pada aspek kesadaran persepsi
visual indikator variabel yang paling
esensial terjadi pada diskriminasi dan
memori.
Secara rinci hubungan aspek
kesadaran linguistik dan aspek kesadaran
persepsi visual dengan aspek-aspek dari
kemampuan membaca (huruf, suku kata,
kata
dan
kalimat/Paragraf)
dapat
dijelaskan pada Tabel .7 berikut ini.

Tabel..7
Hubungan kesadaran linguistik dan persepsi visual
dengan aspek-aspek kemampuan membaca

Variabel

Huruf

Fonem
0,90
Morfem
0,89
Simantik
0,79
Sintaksis
0,80
Diskriminasi bentuk
0,90
Spasial
0,95
Figur & Ground
0,91
Memori
0,98
*Pearson Correlation Test (p0,05)

Kemampuan Membaca
Suku
Kata kalimat Keseluruhan
kata
0.92
0.91
0.87
0,90
0,92
0,91
0,87
0,89
0,55
0,94
0,92
0,80
0,98
0,97
0,95
0,92
0,81
0,82
0,74
0,81
0,80
0,80
0,72
0,81
0,68
0,68
0,58
0,71
0,92
0,93
0,86
0,92

Berdasarkan Tabel 7 tersebut,


terlihat bahwa hubungan aspek-aspek
kesadaran
linguistik(fonem,morfem,simantik,dan
sintaksisi)
dan
persepsi
visual
(Diskriminasi Bentuk, Spasial, Figur
Ground, Memori) yang paling esensial
terhadap membaca huruf yang sangat kuat
yaitu memori dari presepsi visual dengan
koefisien korelasi sebesar 0,98 sedangkan
yang paling kecil adalah simantik dari
kesadaran linguistik dengan koefisien
korelasi sebesar 0,79 sekalipun masih
termasuk pada kategori kuat.
Adapun hubungan aspek-aspek
kesadaran linguistik dan persepsi visual
yang paling esensial terhadap membaca
suku kata, yang paling kuat terletak pada
aspek sintaksis dari kesadaran linguistik
dengan koefisien korelasi sebesar 0,98,
sedangkan hubungan yang paling kecil
terjadi pada simantik dengan koefisien
korelasi 0,55 sekalipun angka itu masih
ada pada kategori kuat. Hubungan aspekaspek kesadaran linguistik dan persepsi

visual yang paling esensial terhadap


membaca kata, yang paling kuat, yaitu
ada pada aspek sintaksis dari kesadaran
linguistik dengan koefisien korelasi
sebesar 0,97 sedangkan yang paling kecil
adalah figur ground dari presepsi visual
dengan koefisien korelasi 0,68, meskipun
masih termasuk dalam kategori kuat.
Begitu pula dengan hubungan aspekaspek kesadaran linguistik dan persepsi
visual yang paling esensial terhadap
membaca kalimat, yang paling kuat yaitu
pada aspek sintaksis dari kesadaran
linguistik dengan koefisien korelasi
sebesar 0,95 sedangkan yang paling kecil
terjadi pada aspek figur-ground dari
presepsi visual dengan koefisien korelasi
0,58 meskipun masih termasuk pada
kategori kuat.
Hubungan tersebut dikelompokkan, kemudian diperbandingkan rerata
nilainya pada aspek kesadaran linguistik
dan
persepsi
visual
berdasarkan
kualifikasi membaca dapat dijelaskan
pada tabel 8 berikut :

Tabel 8
Perbandingan rerata nilai aspek kesadaran linguistik dan
persepsi visual yang paling esensial berdasarkan kualifikasi membaca

Variabel
Fonem
Morfem
Simantik
Sintaksis
Diskriminasi
Spasial
Figur
Ground
Memori

Baik
Rerata SB

Kualifikasi Membaca
Sedang
Buruk
Rerata SB Rerata SB

FHitung

Nilai p*)

0,85
0,85
0,87
0,75
0,90
0,96
1,00

0,24
0,23
0,34
0,31
0,11
0,10
0,00

0,61
0,69
1,00
0,32
0,72
0,71
0,84

0,18
0,17
0,00
0,06
0,14
0,11
0,21

0,55
0,60
0,88
0,29
0,77
0,71
0,66

0,16
0,14
0,14
0,25
0,19
0,29
0,37

6,306
5,315
1,016
9,388
2,090
2,824
3,189

0,005
0,011
0,375
0,001
0,142
0,076
0,056

0,86

0,21

0,50

0,25

0,42

0,33

5,472

0,010

*Analysis of Varians (p0,05)


Dari tabel 8, tampak bahwa rerata
pada aspek kesadaran linguistik seperti
untuk fonem dalam kualifikasi membaca
baik, diperoleh angka rata-rata 0,85,
dengan simpangan baku 0,24 dan
berdasarkan hasil uji statistik Analysis of
varians
menunjuk
pada
derajat
kepercayaan 95% ketika angka itu lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok
kualifikasi sedang dan buruk. Ini berarti
adanya perbedaan kebermaknaan rerata
dalam aspek kesadaran linguistik dalam
hal fonem berdasarkan kualifikasi
membaca dengan perolehan nilainya
adalah p=0,005 (nilai p0,05).
Sementara rerata aspek kesadaran
linguistik dalam morfem, pada kelompok
kualifikasi membaca baik, diperoleh nilai
yang sama yaitu 0,85 dengan simpangan
baku 0,23. Hasil uji statistik Analysis of
varians
menunjuk
pada
derajat
kepercayaan 95% ketika angka itu lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok
kualifikasi sedang dan buruk. Ini berarti
adanya perbedaan kebermaknaan rerata
dalam aspek kesadaran linguistik dalam

hal morfem berdasarkan kualifikasi


membaca dengan perolehan nilai p=0,011
(nilai p0,05).
Begitu pula dengan rerata aspek
kesadaran linguistik dalam simantik pada
kelompok kualifikasi membaca baik, lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok
kualifikasi sedang dan buruk, yaitu 0,87
dengan simpangan baku 0,34, namun hasil
uji statistik menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan kebermaknaan rerata
pada aspek kesadaran linguistik dalam
pada aspek simantik dimana berdasarkan
kualifikasi membaca diperoleh nilai p
=0,375 (nilaip>0,05).
Data lain menunjukkan rerata
pada aspek kesadaran linguistik dalam
sintaksis untuk kelompok kualifikasi
membaca baik, lebih tinggi dibandingkan
dengan kualifikasi sedang dan buruk
yaitu; 0.75 dengan simpangan baku 0.31.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan kebermaknaan rerata
pada aspek kesadaran linguistik dalam hal
sintaksis
berdasarkan
kelompok

kualifikasi membaca dengan nilai p


=0.001 (nilaip0.05)
Hal yang sama juga diperlihatkan
rerata pada aspek presepsi visual yaitu
pada aspek diskriminasi pada kelompok
kualifikasi membaca baik, lebih tinggi
dibandingkan dengan kualifikasi sedang
dan buruk yaitu 0.90 dengan simpangan
baku 0.11, namun hasil uji statistik
menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan kebermaknaan rerata pada
aspek presepsi visual seperti pada
diskriminasi
bentuk
berdasarkan
kualifikasi membaca dimana nilai p
=0.142 (nilaip>0.05). Hal yang sama
terjadi pada perolehan rerata dari aspek
presepsi visual dalam hal spasial pada
kelompok kualifikasi membaca baik, lebih
tinggi dibandingkan dengan kualifikasi
sedang dan buruk yaitu 0.96 dengan
simpangan baku 0.10, namun hasil uji
statistik menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan kebermaknaan rerata
dalam
aspek
spasial
berdasarkan
kualifikasi membaca dengan nilai p
=0.076 (nilai p>0.05).
Rerata aspek presepsi visual yang
berkaiatan dengan figur-ground pada
kelompok kualifikasi membaca baik, juga
lebih tinggi dibandingkan dengan
kualifikasi sedang dan buruk yaitu 1.00,
namun hasil uji statistik menunjukkan
bahwa
tidak
terdapat
perbedaan
kebermaknaan rerata pada aspek presepsi
visual pada figur-ground berdasarkan
kualifikasi membaca dengan nilai p
=0.056 (nilaip>0.05). Berbeda dengan
rerata aspek presepsi visual seperti pada
memori pada kualifikasi membaca baik,
lebih tinggi dibandingkan dengan
kualifikasi sedang dan buruk yaitu 0.86
dengan simpangan baku 0.21 dan hasil uji
statistik menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan kebermaknaan rerata pada
aspek presepsi visual dalam hal memori
berdasarkan kualifikasi membaca dengan
nilai p=0.010 (nilaip>0.05)

KESIMPULAN:
Berdasarkan analisis statistik
sebagaimana yang telah digambarkan
maka dapat ditarik simpulan bahwa pada
dasarnya kedua aspek dari prasyarat
membaca
yang
berkaitan
dengan
kesadaran linguistik dan kesadaran
persepsi visual memiliki hubungan kuat
terhadap
kemampuan
membaca
permulaan anak tunagrahita (ringan).
Namun demikinan, jika kita lihat
berdasarkan Koefisien Beta secara parsial
tampak bahwa aspek kesadaran linguistik
memiliki hubungan jauh lebih kuat
dibandingkan hubungan yang ditunjukkan
pada aspek kesadaran persepsi visual.
Nilai koefisien path pada kesadaran
linguistik menunjuk pada besaran angka
(0.72) sementara pada kesadaran presepsi
visual besaran angka nilai koefisien
pathnya menunjuk pada angka (0.25). Ini
berarti aspek kesadaran linguistik
memiliki posisi yang lebih berarti sebagai
prasyarat dalam belajar membaca pada
anak tunagrahita ringan dibandingkan
dengan aspek kesadaran persepsi visual.
Akan tetapi apabila ditelaah lebih lanjut,
ternyata tidak semua variabel yang
berkaiatan dengan aspek kesadaran
linguistik maupun kesadaran persepsi
visual memiliki kebermaknaan hubungan
yang
sama
terhadap
kemampuan
membaca anak.
Faktor yang paling esensial
sebagai
prasyarat
membaca
yang
berkaiatan dengan aspek kesadaran
linguistik ternyata hubungannya lebih
berkaitan dengan kesadaran bunyi fonem
dan sintaksis, sementara faktor esensial
yang menjadi prasyarat membaca yang
berkaiatan dengan aspek kesadaran
persepsi visual hubungannya lebih
berkaitan dengan diskriminasi bentuk
(visual discrimination) dan ingatan visual
(visual memory).

PEMBAHASAN
Berdasarkan
simpulan
yang
diperoleh tentang pengaruh kesadaran
linguistik dan kesadaran persepsi visual
yang paling esensial terhadap kemampuan
membaca, ternyata masalah kesadaran
linguistik
khususnya
pada
aspek
kesadaran bunyi fonem dan sintaksis
merupakan faktor yang berpengaruh kuat
terhadap
kemampuan
membaca,
sementara aspek yang berkaiatan dengan
morfem dan simantik sekalipun memiliki
hubungan yang kuat, ternyata tidak
memiliki kebermaknaan secara positif
terhadap kemampuan membaca. Tidak
adanya timbal balik pengaruh antara
bunyi morfem dan simantik dalam
kaitannya dengan masalah membaca,
mungkin masing-masing aspek dimaknai
secara terpisah-pisah oleh anak, sehingga
tidak memiliki kaitan dan kebermaknaan.
Jika kita amati struktur bahasa, hubungan
antara pembentukkan, morfem, dan
simantik tidak menunjukkan garis lurus
kebermaknaannya,
Sebagai
contoh;
gabungan dua bunyi morfem antara ber
sebagai morfem terikat dan main
sebagai morfem bebas` pada kata bermain, yang menunjuk pada kata
keterangan akan dimaknai sama dengan
kata main sebagai kata kerja, sehingga
makna bunyi ber yang menunjuk pada
keterangan tidak dapat dimaknai dengan
baik. Akan tetapi, makna dari kata
bermain akan berbeda dimaknai jika ada
dalam struktur kalimat misalnya, Si Amir
sedang bermain bola. Makna siapa yang
bermaian, apa yang dilakukan si Amir
menjadi lebih mudah untuk dapat
dipahami anak. Hal ini juga mungkin
berkaiatan dengan perkembangan bahasa
anak tunagrahita yang kurang sempurna
Kalimat-kalimat pada mereka sering
sekali menjadi sederhana. Kalimatkalimat seperti, Si Ahmad sedang
berlari-lari
di
halaman
akan
disederhanakan menjadi Ahmad lari di

halaman, ibu sedang membaca koran


menjadi ibu baca koran (Suhaeri: 1992)
Analogi ini juga dapat dilihat dari
proses komunikasi dengan anak. Kita
dapat melihat anak tunagrahita (ringan)
ketika mereka diajak berbicara, mereka
dapat berkominikasi dengan baik. Mereka
akan
memberikan
jawaban-jawaban
ketika ditanya, bahkan mereka dapat balik
bertanya sesuai alur pembicaraan. Akan
tetapi jika mereka diminta untuk
menjelaskan satu kata dari apa yang
dibicaraakan,
belum
tentu
dapat
menjelaskan makna dari setiap kata
tersebut. Sebagai ilustrasi; ketika mereka
dinyata sekarang kamu kelas berapa ?,
diantar siapa, naik apa ke sekolah?
bahkan pada batas tertentu mereka dapat
memberikan alasan ketika ditanya
mengapa harus diantar ibu ?. Akan tetapi
ketika mereka ditanya apa arti dari kata;
naik, ibu, sekolah, sekarang ? sukar sekali
untuk menjelaskan kata-kata itu. Dengan
demikian, sesungguhnya pemahaman
makna kata itu dimiliki atau dipahami
anak, namun tampaknya harus dalam
konteks yang menyeluruh atau utuh
seperti dalam bentuk kalimat atau prase.
Hal ini sejalan dengan teori Gestalt bahwa
suatu yang diamati (obyek) akan segera
muncul
dalam
pengamatan
anak
(seseorang) secara keseluruhan, bagianbagian dari objek itu justru akan muncul
kemudian. Jika teori ini kemudian kita
tarik kepada persoalan bahasa nampaknya
menjadi sangat logis, sebab masalah tutur
kata dalam sebuah kalimat atau prase
(sintaksis) merupakan keseluruhan makna
(Gestalt) yang utuh dan segera akan
dipahami anak.
Apabila yang menjadi faktor
esensial dari kesadaran linguistik sebagai
prasyarat dalam membaca terletak pada
penguasaan kesadaran akan bunyi fonem
dan sintaksis, maka dalam proses belajar
membaca pada anak tunagrahita harus
diawali dengan melatih terlebih dahulu
kedua persoalan yang berkaitan dengan

188

kesadaran akan bunyi fonem dan


pemahaman akan makna kalimat atau
prase (sintaksis), baru kemudia masuk
kepada
persoalan
membaca
yang
sesungguhnya.
Aspek
lain
yang
turut
berpengaruh,
terhadap
kemampuan
membaca juga terjadi pada kesadaran
persepsi visual, khususnya pada aspek
kesadaran dalam diskriminasi dan daya
ingat (visual memory). Jika kedua aspek
tersebut menjadi faktor yang cukup
esensial terhadap membaca, kemudian
kita kaitkan dengan kondisi anak
tunagrahita, maka kecenderungan itu
terjadi sebagai akibat dari kondisi anak
yang pada umumnya mereka mengalami
hambatan dalam masalah memory.
Pendeknya rentang kemampuan dalam hal
mengingat adalah ciri khas yang terjadi
pada mereka, sementara hal-hal yang
berkaiatan dengan masalah diskriminasi
pada anak tunagrahita juga sering menjadi
masalah. Sehingga banyak diantara
mereka yang sering terbalik di dalam
mempersepsi sesuatu termasuk di dalam
mempersepsi simbol bahasa (huruf). Jika
sesuatu yang dilihat berbeda dengan apa
yang dipersepsi maka akan terjadi
kesalahan makna. Apabila masalah
diskriminasi dan memori kemudian kita
kaitkan dengan persoalan membaca, maka
pada dasarnya apa yang dibaca
merupakan deretan huruf. Setiap huruf
memiliki bentuk dan bunyi yang berbeda.
Kesalahan dalam mempersepsi bentuk
huruf dapat menimbulkan kesalahan yang
bukan hanya dalam bunyi dari huruf,
melainkan juga makna dari yang
dibacanya. Sementara proses untuk dapat
memahami perbedaan huruf yang satu
dengan bentuk huruf lainnya erat
kaitannya dengan proses kognitif yang
dalam hal ini menyangkut diskriminasi
dan memory.
IMPLIKASI

Berdasarkan analisis statistik dari


kedua faktor prasyarat membaca yang
memiliki esensi kuat terhadap kesiapan
membaca
khususnya
pada
aspek
kesadaran bunyi fonem dan sintaksis
(dimensi kesadaran linguistik) serta dalam
melakukan diskriminasi dan memory
(dimensi kesadaran persepsi visual), maka
memiliki implikasi kuat dalam proses
belajar membaca permulaan dimana
sekurang-kurangnya ada dua tahapan
yang harus tempuh. Pertama; berkaiatan
dengan penguasaan prasyarat yang dalam
hal ini adalah prasyarat yang berkaitan
dengan penguasaan kesadaran bunyi
fonem,
sintaksi,kesadaran
dalam
diskriminasi bentuk dan memory, dimana
tahapan ini menjadi satu kesatuan dalam
keseluruhan proses membaca. Tahapan
kedua; pembelajaran membaca prosesnya
harus melibatkan kedua sensor yaitu
auditori dan visual. Oleh karena itu ada
dua prinsip yang perlu disarankan dalam
pelaksanaan proses membaca. Prinsipprinsip yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1)
Keterlibatan fungsi auditori-visual
sebagai
proses
terjadinya
keterlibatan
antara
kesadaran
linguistik (fonem dan sintaksis) dan
kesadaran
persepsi
visual
(diskriminasi dan memori), melalui
proses diskriminasi bentuk dan
bunyi harus terjadi dalam membaca
2)
Repetisi adalah proses belajar yang
dilakukan secara berulang-ulang
baik secara auditori maupun visual
serta hubungan diantara keduanya
menjadi bagian penting dalam
keterampilan membaca

189

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, A.F, (1990) Explicit versus implicit instruction in phonemic awareness, Journal
of Experiment Child Psychology, Nature; 189
Colin Rose & Malcolm J. Nicholl (2002), Beginning Reading Instruction, Paper presented at
the Educational Policy Group Conference, Washington.
Bryant P & Bradly.L (1998), Catagorizing sounds and learning to read-acausal connection,
Nature. 193-199.
Bradley, L., Bryant. P. (1991). Visual Memory and Phonological Skill in Reading and
Spelling Backwardness. Psychol Res. 43,
Gardner, (1998), Multiple Intellegences, Myths and massages. In A. Woolfolk (Ed), reading
in Educational Psychology. Boston Allan & Bacon
Glass and Cohen (1996). Cognition, .Singapure: McGraw-Hill Book Comapany
Herawati Dewi (2007). Kesadaran Linguistik dengan Keterampilan Membaca Permulaan
pada aak Tunagrahita, Srkipsi, plb-fip.Upi Bandung
Harris ,A.J. & Sipay,E.R. (1990). How to Increase Reading Ability: A Guide to
Developmental and Remidial Method,New York: Longman
Rahim. Farida, (2007), Pengaaran Membaca di Sekolah Dasar, Bumi Aksara, Jakarta.
Santrock. Jhon.W, (2007) Educational Psychology, McMgraw-Hill Company, Inc. All rights
reserved
Lyster, S.A.H. (2002). In Press. The effectes of Morphological Versus Phonological
Awarneness training In Kindergarten on Reading Development. Reading and Writing:
An Interdisiplinary Jurnal.
Molyono Abdurrahman, (1999). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Rineka Cipta,
Jakarta. Santrock John W. (2007). Educational Psychology, McGrow-Hill. Company,
Inc
Sk. Sitepu Nirwana, (1995), Aplikasi Statistik, Gramedia Pustaka-Jakarta
Suhaeri HN & Edi Purwanto (1992), Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa Somatri Ating
dan Sambas (2006).Aplikasi Statistika dalam Penelitian, Pustaka Setia, Bandung
Slamet Ahmad Harjasujana, Damayanti Vismaia .S (2003), Membaca dalam Teori dan
Praktek, Mutiara

190

KEMAHIRAN MEMBACA BAHASA MELAYU KANAK-KANAK PRA SEKOLAH DI


MALAYSIA
Mohd Mokhtar Tahar
Mohd Hanafi Mohd Yasin
Safani Bari
Norma Ibrahim
Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia

Pendahuluan
Membaca adalah proses yang aktif dan merupakan kemahiran bahasa yang terpenting untuk dikuasai
di peringkat awal. Penguasaan membaca bergantung kepada kebiasaan pembaca dengan huruf
(Yahya, 2003). Ketika mencapai umur 5 atau 6 tahun kebanyakan kanak-kanak sudah bersedia untuk
membaca manakala otak pula bersedia untuk menyimpan banyak perkataan (Schickedanz et.al.1990).
Menurut Mok Soon Sang (1998) kanak-kanak pada peringkat ini sentiasa didorong oleh naluri ingin
tahu terhadap persekitaran. Namun pemantauan perlu dilakukan seawal mungkin untuk melihat
perkembangan mereka.
Kesedaran tentang perkembangan secara umumnya dianggap bertanggung jawab ke arah
kesukaran pembelajaran dan kurang penumpuan. Kanak-kanak yang lewat mencapai kontinum
perkembangan dalam salah satu dari domain perkembangan memerlukan perhatian khusus (Allen dan
Schwartz, 2001). Bimbingan awal perlu diberikan. Proses memberi bimbingan kepada kanak-kanak
pra sekolah lebih merupakan pencegahan kepada kelewatan yang keterlaluan. Proses ini lebih
dinamik, fleksibel dan berbeza-beza bagi setiap individu. Ia juga merupakan proses pendidikan yang
tersusun dan sistematik (Ibrahim, 2002). Bimbingan awal yang dijalankan secara berstrategi, insentif
dan mengikut masa yang sesuai boleh mencegah ketidakupayaan membaca dengan lebih lanjut
(Coyne et. al. 2004).
Melalui bimbingan awal ini penguasaan kanak-kanak pra sekolah yang mengalami lewat
dalam perkembangan membaca dapat dipantau. Sebelum melangkah kaki ke sekolah rendah, kanakkanak tersebut sepatutnya sudah menguasai kemahiran asas membaca agar mereka tidak keterlaluan
ditinggalkan.

Penyataan Masalah
Menurut kajian yang dilakukan oleh Zalizan dan Khadijah Rohani (1993) kanak-kanak yang
berumur 5 dan 6 tahun mempunyai masalah dalam perkembangan bahasa dan didapati bahawa 1
daripada 6 kanak-kanak (15%) di Malaysia memerlukan pendidikan khas. Kanak-kanak yang
mempunyai masalah dalam perkembangan bahasa ini mencapai tahap penguasaan dan pemahaman
yang rendah. Mereka mengalami kesukaran untuk menyesuaikan situasi yang pelbagai dengan
penguasaan kemahiran bahasa yang rendah (Saigeetha dan Noris, 2000).
Kanak-kanak yang mempunyai tahap pemahaman yang rendah mengalami kesukaran untuk
membaca. Demikian mengikut Wasik dan Bond (2001) bahawa kanak-kanak yang perbendaharaan
kata banyak adalah kanak-kanak yang banyak membaca. Berdasarkan penyelidikan Bahagian
Kurikulum Pendidikan Khas, Kementerian Pendidikan Malaysia (1999), 10% hingga 15% di
kalangan murid-murid yang menghadapi kesulitan pembelajaran dan gagal menguasai asas
membaca, menulis dan mengira. Ketidakupayaan membaca memberi kesan kepada 2.8% kanakkanak sekolah rendah (http://www.Kidsource.com). Kanak-kanak yang berisiko mengalami
ketidakupayaan membaca memerlukan intervensi awal untuk berkembang (Coyne et.al.2004).Dalam
kajian yang dilakukan oleh The National Reading Panel mendapati bahawa prosedur membaca

berulang dengan bantuan guru, rakan sebaya dan keluarga memberi impak positif dan signifikan
terhadap mengenal perkataan, kelancaran dan pemahaman (Stahl dan Kuhn, 2002).
Ketidakupayaan membaca merupakan salah satu komponen penting dalam kemahiran
bahasa yang patut dikuasai oleh kanak-kanak sebelum melangkah kaki ke Tahun 1 atau pun kanakkanak ini akan ketinggalan jika terus diabaikan.

Tujuan dan Objektif Kajian


Kajian ini bertujuan mengesan masalah dan tahap kelewatan perkembangan membaca di kalangan
kanak-kanak pra sekolah. Di samping itu kajian ini juga bertujuan memberi bimbingan dan melihat
tahap penguasaan kanak-kanak yang didapati mengalami tahap tinggi kelewatan dalam kemahiran
membaca. Kajian ini juga ingin melihat peningkatan dan pencapaian kanak-kanak mengikut
kumpulan eksperimental. Kajian ini mempunyai objektifnya seperti berikut:
i.
untuk mengetahui kelewatan kemahiran membaca di kalangan kanak-kanak pra sekolah
berdasarkan Ujian Diagnostik Kemahiran Membaca peringkat pra sekolah.
ii.
Untuk menentukan perbezaan min tahap kelewatan kemahiran membaca di kalangan kanakkanak pra sekolah berdasarkan Ujian Diagnostik Kemahiran Membaca peringkat pra
sekolah.
iii.
Untuk mengenal pasti penguasaan pelajar melalui penilaian formatif berasaskan pendekatan
Mastery Learning.
iv.
Untuk mengenal pasti peningkatan pencapaian kanak-kanak pra sekolah berdasarkan Ujian
Pra dan Ujian Pos.
v.
Untuk mengenal pasti perbezaan peningkatan di antara tiga kumpulan kajian berdasarkan
Ujian Pra dan Ujian Pos.
Metodologi Kajian
Kajian ini berbentuk kualitatif. Kajian dimulakan dengan mengesan kanak-kanak yang didapati
sangat lemah dalam kemahiran membaca berdasarkan Kurikulum Pra Sekolah Kebangsaan Malaysia
(2003). Penyelidikan lebih khusus diteruskan dengan melibatkan 30 orang kanak-kanak yang telah
dikesan untuk menjalani Ujian Diagnostik Kemahiran Membaca. Proses bimbingan melibatkan 3
kumpulan kajian eksperimental yang terdiri daripada 4 orang kanak-kanak bagi setiap kumpulan dan
dengan jumlah kekerapan yang berbeza.

Alat Kajian
Penyelidikan ini dijalankan dengan menggunakan alat-alat kajian seperti berikut:
i.
Senarai Semak Perkembangan Membaca Peringkat Pra Sekolah
ii.
Ujian Diagnostik Kemahiran Membaca Peringkat Pra Sekolah
iii.
Ujian Pra dan Ujian Pos
iv.
Penilaian Formatif
Prosedur Kajian
Subjek-subjek kajian untuk mengesan pelajar-pelajar yang sangat lemah melalui Senarai Semak
Kemahiran Membaca telah dijalankan di 27 buah program pra sekolah Kementerian Pendidikan
Malaysia. Seramai 30 orang kanak-kanak daripada 9.8% yang dikesan sangat lemah daripada 5 buah
sekolah yang berdekatan telah menjalani pengesanan lebih lanjut untuk menentukan tahap kelewatan
kemahiran membaca melalui Ujian Diagnostik Kemahiran Membaca. Seramai 12 orang kanakkanak yang mengalami tahap tinggi kelewatan membaca dan dibahagikan kepada 3 kumpulan
eksperimental menjalani program bimbingan berasaskan pendekatan Mastery Learning mengikut
kekerapan yang berbeza. Tahap penguasaan kanak-kanak direkodkan menggunakan Borang

Penilaian Formatif. Ujian Pra dan Ujian Pos dijalankan untuk melihat peningkatan dan perbezaan
pencapaian di antara 3 kumpulan kajian dalam kemahiran-kemahiran yang diajar.

Dapatan Kajian
Pengesanan Awal Berdasarkan Senarai Semak Kemahiran Membaca Peringkat Pra Sekolah yang
telah ditandakan oleh guru-guru berdasarkan pemerhatian dan ujian kemahiran. Sebanyak 37 item
kemahiran diuji berpandukan Kurikulum Pra Sekolah Kebangsaan (2003). Jadual 1.1 di bawah
menunjukkan kekerapan skor berdasarkan Senarai Semak Kemahiran Membaca peringkat pra
sekolah.
Jadual 1.1 : Kekerapan skor berdasarkan Senarai Semak Kemahiran Membaca
Sekolah

Bil. Murid

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

18
36
25
25
25
25
18
49
25
50
23
25
25
25
25
50
25
25
50
25
44
25
25
24
24
50
50
836

Kekerapan Skor Kemahiran Membaca mengikut skala


1
2
3
4
5
Jumlah
0
228
275
151
12
666
225
453
411
190
53
1332
468
207
157
79
14
925
0
431
299
134
61
925
89
323
336
120
57
925
615
89
108
22
91
925
22
191
225
76
152
666
547
474
417
223
152
1813
259
275
144
150
97
925
594
390
415
216
235
1850
142
185
269
128
127
851
252
140
104
194
235
925
376
203
161
137
48
925
258
212
209
148
98
925
314
157
214
152
88
925
660
205
147
262
576
1850
269
188
257
109
102
925
506
163
191
60
5
925
541
464
434
399
162
2000
360
172
157
123
113
925
492
300
332
242
262
1628
299
216
228
182
0
925
0
288
81
459
97
925
576
102
77
58
75
888
422
165
181
105
15
888
911
292
294
254
99
1850
511
570
554
185
30
1850
9708 7083 6677
4558 3056
31082

Analisis Data Ujian Diagnostik Kemahiran Membaca


Jadual di bawah menunjukkan min skor dan kekerapan skor yang sangat lemah (skor 0) serta
peratusan .
Jadual 2: Min skor , Kekerapan dan peratusan skor 0 Ujian Diagnostik Kemahiran Membaca
Pencapaian
Bil.responden
Kemahiran
Min
N
skor 0
%
1: Mengenal Bentuk Huruf
1.1 Sebut huruf ikut urutan
i)
1 huruf selepas (3 item)
ii)
2 huruf selepas (6 item)
iii)
3 huruf selepas (9 item)
iv)
4 huruf selepas (20 item)
v)
semua huruf a-z (26 item)
vi)
sebut secara rawak (12 item)
1.2 Kaitkan huruf dengan bentuk
objek di persekitaran ( 5 item)
1.3 Kenal bentuk huruf
i)
kecil (10 item)
ii)
besar (10 item)
2

1.80
2.40
3.37
9.20
19.40
7.03

5
13
14
10
2
2

16.7
43.3
46.7
33.3
6.7
6.7

2.63

6.7

8.50
8.67

1
1

3.3
3.3

7
4

23.3
13.3

3.3

6.7

18

60.0

13.3

14

46.7

3.87

3.3

1.53

12

40.0

14

46.7

30

: Mengenal Huruf Vokal

2.1 Mengecam huruf vokal dalam perkataan


(10 item)
5.9
2.2 Membunyikan huruf vokal (6 item)
3.5

30

3 : Mengenal Huruf Konsonan


3.1 Mengecam dan membunyikan huruf
konsonan dalam perkataan (10 item)
6.80
3.2(i)Mengecam huruf konsonan awal
perkataan (5 item)
4.07
3.2(ii) Mengecam dan membunyikan
huruf konsonan awal perkataan(5 item)1.23
3.2(iii)Mengecam huruf konsonan akhir
perkataan (5 item)
3.40
3.2(iv)Mengecam bunyi huruf konsonan akhir
perkataan (5 item)
1.23
4: Mengecam dan Memadankan Gambar
dengan Perkataan
4.1 Memadankan gambar objek dengan
lakaran (4 item)
4.2 Memadankan gambar objek dengan
perkataan ( 4 item)

5: Memperkenal dan Menambah


Perbendaharaan Kata
5.1 Mengecam dan mengaitkan label pelbagai
objek dan tempat ( 5 item)
0.77
5.2 Bercerita tentang gambar yang dilihat

30

30

30

atau hasil kerja (3 item)


1.67
5.3 Mengecam perkataan melalui nyanyian atau
puisi (5 item)
0.93

26.7

14

46.7

10.0

11

36.7

16.7

17

56.7

13.3

23

76.7

23

76.7

23.3

25

83.3

25

83.3

27

90.0

27

90.0

27

90.0

29

96.7

29

96.7

6: Membina sukukata dan perkataan


6.1 (i) Mencantum sukukata terbuka
konsonan vokal (KV). (10 item)

8.57

6.1 (ii) Menyebut sukukata KV yang dicantum


(10 item)
3.33
6.2(i) Mencantum sukukata terbuka KV dan
KV (5 item)
4.10
6.2(ii)Menyebut sukukata KV dan KV yang
dicantum (5 item)
1.20
6.3(i) Mencantum sukukata V dan KV
(5item)
4.10
6.3(ii)Menyebut sukukata V dan KV yang
dicantum (5 item)
1.20
6.3(iii)Membaca sukukata terbuka VKV yang
dicantum (5 item)
1.00
6.4(i) Mencantum huruf K dan V dan K
(5 item)
3.70
6.4(ii) Menyebut bunyi sukukata KVK yang
dicantum (5 item)
0.67
6.4(iii) Membaca sukukata tertutup KVK
(5 item)
0.67
6.5(i) Membaca perkataan 2 sukukata
KV dan KVK
(5 item)
0.17
6.5(ii)Membaca perkataan 2 sukukata
KVK dan KV
(5 item)
0.17
6.5(iii)Membaca perkataan 2 sukukata
KVK dan KVK (5 item)
0.13
6.6(i) Membaca perkataan 2 sukukata
berganding KV dan VK (5 item)
0.03
6.6(ii) Membaca perkataan 2 sukukata
berganding
0.03
VK dan KV (5 item)
7 : Membaca perkataan dan rangkaikata
7.1 (i) Membaca perkataan KVKV (10 item) 1.73

22

73.3

7.1(ii) Membaca perkataan KVK (5 item)

0.73

25

83.3

7.1(iii)Membaca perkataan VKV (5 item)

0.77

25

83.3

7.1(iv) Membaca rangkaikata bermakna


(5 item)

0.73

25

83.3

0.63

25

83.3

30

30

8 : Membaca ayat dalam konteks


8.1 Membaca ayat dari cantuman
perkataan dan rangkaikata (4 item)

30

Kelewatan Kemahiran Membaca


Setelah penganalisisan data dilakukan didapati bahawa terdapat kelewatan membaca kanak-kanak
yang diuji berdasarkan peratusan skor 0 dalam kemahiran-kemahiran seperti berikut;
I. Kemahiran 1 : Mengenal Bentuk Huruf iaitu dalam kemahiran
1.1 Menyebut huruf ikut urutan
( i)
2 huruf selepas (43.3% skor 0)
(ii)
3 huruf selepas (46.7% skor 0)
(iii)
4 huruf selepas (33.3% skor 0)
II.
Kemahiran 3 : Mengenal Huruf Konsonan iaitu dalam kemahiran
3.2 (ii) Mengecam bunyi huruf konsonan awal perkataan (60.0% skor 0)
3.2 (iv)Mengecam bunyi huruf konsonan akhir perkataan (46.7% skor 0)
III.
Kemahiran 4 : Mengecam dan memadan gambar dengan perkataan (40.0% skor 0)
IV.
Kemahiran 5 : Memperkenal dan menambah perbendaharaan kata iaitu dalam kemahiran
5.1 Mengecam dan mengaitkan label pelbagai objek dan tempat (36.7% skor 0)
V.
Kemahiran 6 : Membina sukukata dan perkataan iaitu dalam kemahiran
6.1 (ii) Menyebut sukukata KV yang dicantum (36.7% skor 0)
6.2 (ii) Menyebut sukukata KV dan KV yang dicantum (56.7% skor 0)
6.3 (ii) Menyebut sukukata V dan KV yang dicantum (76.7% skor 0)
6.3 (iii) Membaca sukukata terbuka yang dicantum (76.7% skor 0)
6.4 (ii) Menyebut bunyi sukukata KVK yang dicantum (83.3% skor 0)
6.4 (iii)Membaca sukukata tertutup KVK (83.3% skor 0)
6.5 (i) Membaca 2 sukukata KV dan KVK (90.0% skor 0)
6.5 (ii) Membaca 2 sukukata KVK dan KV (90.0% skor 0)
6.5 (iii) Membaca 2 sukukata KVK dan KVK (90.0% skor 0)
6.6 (i) Membaca perkataan sukukata berganding KV dan VK (96.7% skor 0)
6.6 (ii)Membaca perkataan 2 sukukata berganding VK dan KV (96.7% skor 0)
VI.
Kemahiran 7 : Membaca perkataan dan rangkaikata iaitu dalam kemahiran
7.1 (i) Membaca perkataan KVKV (73.3% skor 0)
7.1 (ii) Membaca perkataan KVK (83.3% skor 0)
7.1 (iii) Membaca perkataan VKV (83.3% skor 0)
7.1 (iv) Membaca rangkaikata bermakna (83.3% skor 0)
VII.
Kemahiran 8 : Membaca ayat dalam konteks iaitu dalam kemahiran
8.1 Membaca ayat dari cantuman perkataan dan rangkaikata (83.3% skor 0)
Selain daripada kemahiran-kemahiran yang dinyatakan ini, terdapat juga kanak-kanak yang
mengalami kelewatan dalam kemahiran-kemahiran lain tetapi bilangannya tidak begitu ketara.

Tahap Kelewatan Kemahiran Membaca


Skor maksimum bagi Ujian Diagnostik Kemahiran Membaca adalah 295. Jadual 3.1 menunjukkan
min dan peratusan skor yang diperolehi oleh setiap subjek yang menjalani ujian tersebut.

Jadual 3.1 : Min dan Peratusan Skor Ujian Diagnostik Kemahiran Membaca
Skor
Min
Peratusan
35
1.17
11.86
46
1.53
13.56
68
2.27
23.05
78
2.60
26.44
84
2.80
28.47
97
3.23
32.88
98
3.27
33.22
101
3.37
34.24
103
3.43
34.92
105
3.50
35.59
110
3.67
37.29
114
3.80
38.64
137
4.57
46.44
139
4.63
47.12
139
4.63
47.12
140
4.67
47.46
154
5.13
52.20
156
5.20
52.88
161
5.37
54.58
161
5.37
54.58
161
5.80
58.98
174
5.80
58.98
174
5.80
58.98
174
5.80
58.98
178
5.93
60.34
191
6.37
64.75
205
6.83
69.49
232
7.73
78.64
232
7.73
78.64
236
7.87
80.00

Daripada jadual di atas, kekerapan min skor dibina untuk menjelaskan tahap kelewatan kemahiran
membaca.
Jadual 3.2 : Intepretasi Min Skor Ujian Diagnostik
Min
0 hingga 4.91
4.92 hingga 9.83

Intepretasi Kelewatan___________
Tinggi
Rendah

Berdasarkan Jadual 3.1 dan Jadual 3.2 tahap kelewatan kanak-kanak dalam kemahiran membaca
dikenalpasti.
Jadual 3.3 : Tahap Kelewatan Kemahiran Membaca berdasarkan Ujian Diagnostik
Min
Kekerapan
Peratus
Intepretasi Kelewatan
0 hingga 4.91
16
53.3
Tinggi
4.92 hingga 9.83
14
46.7
Rendah

Jumlah

30

100.0

Program Bimbingan Awal Membaca


Bimbingan awal membaca berasaskan Mastery Learning digunakan untuk mengenal pasti
penguasaan kanak-kanak dalam kemahiran membaca. Bimbingan ini dijalankan sebanyak 10 kali
pengajaran. Keputusan pengajaran dan penguasaan direkodkan ke dalam borang penilaian formatif.
Penilaian Formatif dilaksanakan terhadap 2 kumpulan kajian iaitu Kumpulan Eksperimen 1 dan
Kumpulan Eksperimen II. Jadual-jadual di bawah menunjukkan peratus penguasaan subjek-subjek
kajian dalam kemahiran-kemahiran yang diuji.
Jadual 4.1 : Penguasaan dalam Penilaian Formatif mengikut kumpulan eksperimen

Pelajar
Pelajar 1
Pelajar 2
Pelajar 3
Pelajar 4

Pelajar
Pelajar 5
Pelajar 6
Pelajar 7
Pelajar 8

Kumpulan Eksperimen 1
Peratus penguasaan dalam kemahiran
3
4
5
6
7
8
9

100
100
66.7
100

100
100
66.7
100

80
80
80
100

80
80
80
100

80
100
80
100

80
100
80
100

80
80
80
100

80
80
60
100

30
30
20
80

10
0
0
0
100

Kumpulan Eksperimen II (1 jam seminggu)


Peratus penguasaan dalam kemahiran
3
4
5
6
7
8
9
10

33.3
66.7
100
100

66.7
100
100
100

60
80
80
80

60
80
80
80

40
80
80
100

60
80
80
100

80
80
80
100

80
80
60
100

30
30
20
70

0
0
0
50

Purata
Peratusan
71%
75%
61.34%
98%

Purata
Peratusan
38%
56%
71%
88%

Jadual di atas menunjukkan subjek yang memperolehi peratus penguasaan yang tinggi dalam setiap
kemahiran yang diajar akan memperolehi purata penguasaan yang tinggi. Perbezaan dari segi
penguasaan juga menunjukkan kumpulan yang kerap diberi bimbingan mencapai purata penguasaan
yang lebih tinggi, kecuali Pelajar 3 (61.34%).

Perbandingan Peningkatan Pencapaian Ujian Pra dan Ujian Pos


Perbandingan pencapaian di antara Ujian Pra dan Ujian Pos ditunjukkan melalui graf bar.
Rajah 5.1, 5.2 dan 5.3 menunjukkan peningkatan pencapaian Ujian Pra dan Ujian Pos Kemahiran
Membaca mengikut kumpulan eksperimen.

Rajah 5.1 : Perbandingan Ujian Pra dan Ujian Pos Kemahiran Membaca
Kumpulan Eksperimen 1

Rajah 5.2 : Perbandingan Ujian Pra dan Ujian Pos Kemahiran Membaca Kumpulan
Eksperimen II

Rajah 5.3 : Perbandingan Ujian Pra dan Ujian Pos Kemahiran Membaca
Kumpulan Kawalan

Perbandingan Pencapaian Di antara 3 Kumpulan Kajian

Perbandingan pencapaian antara 3 kumpulan kajian ditunjukkan melalui


rajah graf bar.
Rajah 5.4 : Perbandingan peningkatan kemahiran membaca antara kumpulan

Pada keseluruhannya terdapat peningkatan pada ketiga-tiga kumpulan eksperimen. Kumpulan


Eksperimen mencapai peningkatan sebanyak 54.5%. Kumpulan Eksperimen II meningkat sebanyak
35.5% manakala Kumpulan Kawalan meningkat 24.5%

Perbincangan

Hasil kajian ini mendapati bahawa terdapat kelewatan dalam kemahiran membaca di kalangan
kanak-kanak pra sekolah yang dikenalpasti berdasarkan Ujian Diagnostik Kemahiran Membaca.
Kelewatan berlaku dalam kemahiran menyebut dan membunyikan huruf, sukukata KV, KVK,
perkataan KVKV, VKV, KVKVK, KVKKV, KVKKVK dan seterusnya membaca perkataan,
rangkaikata dan ayat. Pendek kata semakin tinggi kemahiran yang diuji semakin tinggi peratus
kelewatan. Hasil ini menyokong kenyataan oleh Kementerian Pendidikan Malaysia (2003) bahawa
kanak-kanak yang mempunyai masalah dalam kemahiran membaca mempunyai kekurangan dalam
memproses dan membunyikan perkataan dan ini menjadi faktor yang mengakibatkan kelewatan
membaca.Kesedaran secara fonologi seperti berupaya untuk mengenal sukukata dalam perkataan
serta membezakan bunyi serta mengekalkan imej dalam ingatan adalah aspek penting dalam
kemahiran membaca.
Tahap kelewatan membaca kanak-kanak yang dikenalpasti melalui intepretasi min
berdasarkan ujian diagnostik mendapati bahawa 16 orang kanak-kanak (53.5%) mengalami tahap
tinggi kelewatan dan 14 orang (46.7%) mengalami tahap rendah kelewatan. Tahap kelewatan yang
dikenalpasti ini membolehkan guru membuat perancangan dan menyusun strategi untuk membantu
kanak-kanak tersebut seawal mungkin. Seperti yang terdapat dalam Undang-undang Awam (PL94142) adalah menjadi satu keperluan untuk mengenalpasti kanak-kanak yang bermasalah seawal
mungkin kerana perancangan boleh dilakukan untuk memberi intervensi (Schultz et. al. 1991).
Melalui program bimbingan awal membaca, penguasaan membaca kanak-kanak direkodkan
melalui Borang Penilaian Formatif dengan berasaskan kepada pendekatan Mastery Learning.
Kriteria pendekatan ini memerlukan kanak-kanak menguasai pencapaian minima 80% bagi setiap

penilaian. Pengajaran semula dilakukan sehingga kriteria penguasaan dicapai. Ramai pengkajipengkaji bersetuju bahawa pengajaran semula sememangnya perlu diberikan kepada pelajar-pelajar
yang tidak dapat mencapai tahap penguasaan (Yap et. al. 1989, Cole & Chan, 1990, Dick & Reiser,
1994 dan Biggs & Watkins, 1995). Tetapi tidak dapat dinafikan bahawa terdapat juga di antara
subjek kajian yang tidak dapat mencapai tahap penguasaan minima dan hasilnya subjek ini
mencapai purata penguasaan yang sangat rendah.
Dapatan kajian melalui Ujian Pra dan Ujian Pos pada keseluruhannya menunjukkan
peningkatan pada setiap kumpulan. Proses bimbingan yang dilaksanakan memberikan kesan positif
kepada perkembangan kelewatan kanak-kanak kerana berdasarkan kepada kepercayaan bahawa
setiap murid mempunyai kebolehan dan kesanggupan untuk berkembang. Ini kerana proses
membimbing memerlukan satu jangkamasa yang berbeza-beza di antara individu dengan individu
yang lain (Ibrahim, 2002). Namun demikian, terdapat juga perbezaan dalam peningkatan di antara 3
kumpulan kajian di mana kumpulan yang lebih kerap diberi bimbingan (1 jam sehari) menunjukkan
peningkatan yang tertinggi (54.5%) berbanding kumpulan yang kurang kerap diberi bimbingan (1
jam seminggu) menunjukkan peningkatan 35.5% dan kumpulan kawalan 24.5% peningkatan. Jadi,
bimbingan awal yang dijalankan secara berstrategi, intensif dan menurut masa yang sesuai seperti
yang disarankan oleh Coyne et.al.(2004) sememangnya benar dan boleh diaplikasikan dalam
memberi bimbingan kepada kanak-kanak yang lewat perkembangan bukan sahaja membaca malah
kemahiran asas yang lain.
Secara keseluruhannya dapat dibuat kesimpulan bahawa bimbingan awal yang berstrategi
amat perlu diberikan kepada kanak-kanak yang mengalami kelewatan tertutama sekali
perkembangan membaca. Membaca adalah kemahiran bahasa yang terpenting yang perlu dikuasai di
peringkat awal kanak-kanak.

Cadangan
Setelah menjalani kajian yang agak komprehensif ini dalam mengesan kelewatan perkembangan
kanak-kanak dalam kemahiran membaca, dan seterusnya sehingga ke peringkat memberi
bimbingan, pengkaji merasakan terdapat aspek-aspek lain yang perlu diberikan perhatian untuk
kajian selanjutnya. Antaranya ialah;
I.
Kajian ini perlu melibatkan satu jangka masa yang lebih panjang untuk proses bimbingan
agar bimbingan yang diberikan kekal lama di dalam ingatan kanak-kanak (Coyne
et.al.2004).
II.
Kanak-kanak yang diberikan bimbingan perlu dipantau peningkatan mereka dari masa ke
semasa sehingga dapat menguasai kemahiran-kemahiran yang diajar.
III.
Kajian juga perlu melibatkan pihak pentadbir sekolah yang bertindak sebagai pentadbir
program supaya perubahan dan pengubahsuaian pengajaran dan pembelajaran dapat
dilaksanakan dengan kerjasama pihak teratas sekolah. Dengan cara ini dapat memungkinkan
program ini berjalan dengan berkesan.
IV.
Program bimbingan ini perlu dilaksanakan di peringkat sekolah agar kelewatan kanak-kanak
pra sekolah dalam kemahiran membaca dapat diatasi sebelum kanak-kanak tersebut beralih
ke Tahun 1.

Kesimpulan
Kelewatan membaca tidak dapat menyediakan kanak-kanak pra sekolah ke arah kaya perbualan dan
seterusnya kaya bahasa kerana membaca merupakan jambatan untuk mendapatkan ilmu yang lebih
meluas. Kanak-kanak yang dikesan lewat membaca ini jika diberikan bimbingan dan peluang
mengikut langkah-langkah dan strategi tertentu akan meningkat penguasaan mereka. Demikian
menurut Ibn Khaldun bahawa kanak-kanak jangan diajar dengan perkara yang sukar dahulu tetapi

perlu bermula daripada yang mudah kepada yang lebih susah serta berperingkat-peringkat. Justeru
daripada hasil kajian ini didapati bahawa program bimbingan berstrategi membuahkan hasil yang
diharapkan.

Rujukan
Allen, K.E. dan Schwartz, I.S. 2001. The exceptional child : Inclusion in early
childhood education. 4th ed. Australia : Delmar Thomson Learning.
Biggs, J. & Watkins, D. 1995. Classroom learning educational psychology for the Asian
teacher. Singapura : Prentice Hall.
Coyne, M.D.,Kameenui, E.J., Simmons, D.C. & Harn, B.A.. 2004. beginning reading
intervention as inoculation or insulin: First grade reading performance of strong
responders to kindergarten intervention. Journal of Learning Disabilities. Vol. 37 :
99-104.
Bowe, F.G. 2000. Childhood special education : Birth to eight. New York :
Delmar Thomson Learning.
Cole, P dan Chan, L. 1990. Methods and strategies for special education. New
York : Prentice Hall.
Dick, W. & Reiser, R.A. 1994. Merancang pengajaran yang efektif. Terj. Abd. Rahim
Mohd. Saad. Pulau Pinang : Universiti Sains Malaysia.
Fortson, L.R. dan Reiff, J.C. 1995. Early childhood curriculum : Open structures
for integrate learning. Boston : Allyn and Bacon.
Heward, W.L. 2000. Exceptional children : An introduction to special education.

Ohio : Merrill.
http://www.kidsource.com.
Ibrahim Ahmad. 2002. Perkhidmatan bimbingan dan kaunseling di sekolah
rendah. Kuala Lumpur: Utusan Publication and Distrbutors.
Kementerian Pendidikan Malaysia, 1993. Buku panduan pelaksanaan
pemulihan : Masalah penguasaan 3M
Kementerian Pendidikan Malaysia. 1999. Kurikulum Pendidikan Khas..
Kementerian Pendidikan Malaysia. 2003. Huraian kurikulum pra sekolah

kebangsaan.
Kementerian Pendidikan Malaysia. 2003. Kurikulum pendidikan pra sekolah
kebangsaan.
Mok Soon Sang. 1995. Asas pendidikan 1 : Pendidikan sebagai suatu proses.
Kuala Lumpur : Kumpulan Budiman.
Nik Eliani Nik Nawi dan Othman Ahmad. 1997. Siri membaca cepat : Bacalah
anakku. Selangor : One-stop language and computer consultancy.
Saigeetha, J. dan Noris, J.A. 2000. Perception of self competence in relation to
language competence among preschoolers. Child Study Journal. 30 : 90101.
Schultz, J.B., Carpenter, C.D. dan Turnbull, A.P. 1984. Mainstreaming
exceptional students : A guide for classroom teachers. Boston : Allyn and

Bacon.
Stahl, S.A. dan Kuhn, M.R. 2002. Center for the improvement of early reading
achievement : Making it sound like language developing fluency. The

Reading Teacher. 55 : 582 584.


Wasik, B.A. dan Bond, M.A. 2001. Beyond the pages of a book : Interactive
book reading and language development in preschool classroom.

Journal of educational Psychology. 93 : 243-250.


Yahya Othman. 2003. Mengajar membaca : Teori dan aplikasi panduan
meningikatkan kemahiran mengajar membaca. Selangor : PTS

Publications and Distributors


Yap Yee Khiong, Wan Chwee Seng & Ismail Abu Bakar. 1989. Pengukuran dan penilaian
dalam pendidikan. Selangor : Fajar Bakti.
Zalizan Mohd. Jelas dan Khadijah Rohani Mohd. Yunus. 1993. Development
profile of five and six years old Malaysian pre school children. Jurnal
Pendidikan. 18 : 27-39.

Pengembangan Kemampuan Berbahasa pada Siswa Tunarungu


Permanarian Somad
PKKh - UPI
20 Noverber 2010
A. Iatar belakang Permasalahan
Pengembangan aplikasi pembelajaran bahasa bagi siswa tunarungu.
Dampak spesifik dari ketunarunguan terhadap perkembangan bahasa :
a. Penguasaan Kosa kata
- Penguasaan kosakata berkembang lebih lambat .
- Lebih mudah untuk mempelajari kata-kata konkrit seperti : kucing, melompat,
lima, dan merah , dibanding dengan kata-kata abstrak seperti : sebelumnya,
setelah, sama dengan, dan cemburu. Mereka juga mengalami kesulitan
dengan fungsi kata seperti : sebuah, sedang.
- Kesenjangan antara penguasaan kosakata anak tunarungu dengan anak
mendengar bertambah jauh sesuai dengan perkembangan usianya dan ini
tidak akan terkejar tanpa intervensi terhadap pengembangan penguasaan
kosa kata secara spesifik.
- Anak-anak dengan gangguan pendengaran mengalami kesulitan memahami
makna kata dan kata - kata dengan makna ganda.
b. Struktur kalimat
- Anak-anak dengan gangguan pendengaran pada umumnya hanya mampu
memahami dan menghasilkan kalimat pendek dan sederhana.
- mereka mengalami kesulitan dalam membuat kalimat yang mengikuti pola
kalimat dalam bahasa Indonesia.
c. Berbicara
- Anak-anak dengan gangguan pendengarann tidak mendengar suara sendiri ketika
mereka berbicara. Ketika mereka berbicara biasanya terlalu keras atau lemah, nada
berbicara tinggi atau terdengar seperti bergumam.
d. Prestasi Akademik
- Anak-anak dengan gangguan pendengaran mengalami kesulitan dengan semua
bidang prestasi akademik, terutama dalam memahami isi bacaan dan konsep
matematika.
- Anak-anak dengan gangguan pendengaran ringan sampai sedang, rata-rata
mencapai 1 4 tingkatan kelas lebih rendah dari mereka yang mendengar,
kecuali hambatan mereka dimanage dengan benar.
Anak-anak dengan gangguan pendengaran berat untuk mencapai keterampilan yang
mendalam biasanya tidak lebih tinggi daripada kelas 3 atau kelas 4 mungkin , kecuali
intervensi pendidikan yang tepat yang dilakukan sejak dini.
- Kesenjangan akan lebih tampak dalam prestasi akademik dengan anak mendengar ketika
sampai pada jenjang yang lebih tinggi.

e. Fungsi Sosial
- Anak-anak dengan gangguan pendengaran berat sering terisolasi , tanpa teman, dan
tidak bahagia di sekolah, terutama ketika bersosialisasi dengan anak mendengar menjadi
terbatas.
- Masalah-masalah sosial lebih sering tampak pada anak-anak dengan gangguan
pendengaran ringan atau sedang dibandingkan mereka yang kehilangan berat .
B. Permasalahan
Anak tunarungu memahami bahasa melalui membaca ujaran atau isyarat, informasi dilihat
dari gerak pembicara. Oleh karena itu informasi yang mereka tangkap kemungkinan kurang
ditangkap secara sempurna yang diakibatkan oleh beberapa faktor. Ketidak sempurnaan
menangkap informasi tersebut berdampak terhadap kemampuan mengekspresikan dalam
bentuk tulisan ataupun lisan .
Dari hasil penelitian pada siswa tunarungu di SMPLB, pada umumnya siswa memiliki
hambatan dalam membuat kalimat, diantaranya kalimat mereka tidak beraturan (tidak
berstruktur) sehingga sulit untuk dipahami, contoh : Wulan sedang mau makan ikan, Saya
sedang dibantu kebersihan dsb.
Para guru sudah berusaha keras untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak secara
optimal akan tetapi sampai saat ini permasalahan tersebut masih sulit untuk diatasi. Beberapa
faktor yang dapat memunculkan persoalan ketidak sempurnaan menangkap informasi antara
lain :
Siswa : - Tidak terampil untuk membaca ujaran, karena ketrampilan ini harus dikembangkan
sejak ini melalui kerja keras dan kontinue.
- Siswa tidak menyadari bahwa dirinya memiliki permasalahan dalam membuat kalimat
sesuai dengan struktur kalimat.
Guru : - kurang jelas dalam pengucapan yang sesuai dengan dasar-dasar
pengucapan
- belum tersedianya dibeberapa sekolah program pengembangan yang akurat untuk
memenuhi kebutuhan tersebut
- Belum tersedianya media pembelajaran yang dapat menyadarkan siswa tentang
permasalahan yang dialami siswa tunarungu dalam permasalahan membuat kalimat
Orang tua : Tidak optimalnya keterlibatan orang tua dalam membantu perkembangan
anaknya.
Apabila tidak segera dicari solusi bagaimana mengatasi permasalahan yang dialami oleh
Anak tunarungu dalam memperbaiki kalimat yang tidak berstuktur , mereka akan kehilangan
salah satu media komunikasi yang ampuh apabila mengalami hambatan dalam melakukan
komunikasi.
C. Solusi
Media pembelajaran
Anak tuna rungu dikenal sebagai insan visual, dikembangkannya suatu media pembelajaran
yang dapat mengatasi permasalahan pengembangan kosa kata dan kemampuan membuat
kalimat yang berstruktur segera dikembangkan dengan bekerja sama dengan TELKOM
sebuah aplikasi dan portal yang diberi nama i-CHAT (I Can Hear and Talk). Saat ini portal
i-CHAT dapat diakses secara online dengan mengunjungi http://www.i-chat.web.id.
Visualisasi
Degan menggunakan strategi visual dalam pembelajaran bahasa di kelas membantu semua
siswa untuk lebih memahami apa yang terjadi di dalam kelas. Membantu memvisualkan
pembelajaran bahasa indonesia dalam membuat kalimat berstruktur yang mampu
menyadarkan siswa tunarungu, yang selama ini ketika mereka dalam membuat kalimat sulit

untuk dipahami orang lain. Melalui media aplikasi yang dikembangkan ini mereka diberi
kesempatan membuat kalimat sendiri mulai dari yang sederhana sampai kepada kalimat yang
lebih kompleks.
Dengan melalui bimbingan guru secara otomatis peningkatan perbendaharan mereka
bertambah dan ketrampilan yang lain pun akan bertambah.
Media ini telah digunakan di Sekolah luar biasa di Indonesi khususnya di jawa barat , dari
hasil beberapa penelitian yang dilakukan oleh para mahasiswa , terbukti aplikasi
pembelajaran bahasa ini secara signifikan berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan
membuat kalimat berstruktur pada siswa tunarungu.
Penggunaan aplikasi ini lebih ditekankan pada suatu latihan membuat kalimat yang
berstruktur dan berpola, dimana siswa tunarungu dilatih menyusun kata-kata kedalam
kalimat. Proses ini akan memunculkan kesadaran kepada siswa tunarungu , bahwa menyusun
kata-kata kedalam kalimat harus sesuai dengan fungsi katanya., karena kalau tidak sesuai
berarti salah.
Ketika siswa menyusun kalimat, harus memperhatikan makna kata tersebut , karena mungkin
saja kata-kata yang sudah disusun sesuai dengan pola kalimat tapi tidak bermakna.
Pada tahun 1997 Aplikasi ini masih terdapat banyak kekurangan dan sangat simple,
selanjutnya pihak TELKOM pada tahun 2009, melakukan pengembangan kearah
penyempurnaan dalam cara penggunaan atau pengembangan dalam berbagai sisi, untuk itu
dalam kesempatan ini kami akan mendemontrasikan aplikasi pembelajaran bahasa bagi siswa
tunarungu.

i-CHAT (I Can Hear and Talk)

Aplikasi dan Portal Pembelajaran


Bahasa untuk Tunarungu

Oleh:

Andreas W. Yanuardi, Samudra Prasetio, Johannes Adi P


Untuk
DISKURSUS INTERNASIONAL
Isu-Isu Terkini Pendidikan Khusus di Indonesia dan Malaysia
Bandung, 20 November 2010

R&D Center
PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk.

PENDAHULUAN
TELKOM berkomitmen untuk mendukung pengembangan kualitas hidup masyarakat secara
berkelanjutan, sehingga antara perusahaan dan masyarakat dapat tercipta hubungan yang serasi,
seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat yang
diwujudkan dalam bentuk program tanggung jawab sosial dan lingkungan atau program Corporate
Social Responsibility (CSR).
Diawali dengan keikutsertaan TELKOM dalam kegiatan APT (Asia Pacific Telecommunity) pada tahun
2007, bekerjasama dengan UPI Bandung (Dra. Permanarian Somad M,Pd) dan SLB Cicendo terlahir
satu aplikasi untuk pembelajaran bahasa dan komunikasi bagi tunarungu dengan fokus pada
penyusunan kalimat berstruktur. Selanjutnya pada tahun 2009 aplikasi tersebut dikembangkan
kembali oleh TELKOM dengan menambahkan beberapa modul, diantaranya adalah modul kamus.
Tahun 2010 ini, TELKOM bekerjasama dengan FNKTRI melakukan pengembangan lebih lanjut dalam
bentuk sebuah aplikasi dan portal yang diberi nama i-CHAT (I Can Hear and Talk). Saat ini portal iCHAT dapat diakses secara online dengan mengunjungi http://www.i-chat.web.id. Kedepannya portal
i-CHAT akan menjadi pintu gerbang dan pusat informasi berbagai hal terkait dunia tunarungu dengan
menambahkan berbagai fitur seperti forum, berita maupun artikel-artikel terkait dunia tunarungu,
maupun materi materi pembelajaran/metode pembelajaran tunarungu dan aplikasi yang dapat
menunjang pembelajaran.

DESKRIPSI
i-CHAT adalah sebuah aplikasi yang berfungsi sebagai alat bantu bagi kalangan tunarungu dalam
pemerolehan bahasa. Saat ini i-CHAT terbagi dalam 5 modul utama yaitu modul kamus, modul isyarat
abjad jari, modul isyarat bilangan, modul tematik, dan modul menyusun kalimat. (Modul 1-4
bersumber dari buku Cara Mudah Belajar SIBI yang diterbitkan oleh FNKTRI). Tiap modul akan
menampilkan 2(dua) pilihan video yaitu video ujaran (speech reading) dan video isyarat bahasa (sign
language).
i-CHAT juga dapat diakses secara online dengan mengunjungi portal i-CHAT di http://www.ichat.web.id Saat ini, portal hanya memuat aplikasi i-CHAT secara online. Kedepannya portal i-CHAT
dapat dilengkapi dengan fitur-fitur seperti forum, artikel, berita, modul social networking, dan modul
user generated content. Khusus untuk kumpulan materi/modul pembelajaran tunarungu dapat
dikemas dalam bentuk modul e-learning.
a. Modul Kamus
Modul Kamus berfungsi seperti layaknya kamus pada umumnya, namun dalam aplikasi ini modul
kamus berfungsi untuk melihat video ujaran (speech reading) dan isyarat bahasa (sign language) dari
kata yang dipilih. Pengelompokkan kata dilakukan berdasarkan urutan alfabet. Untuk melakukan
pencarian kata dapat langsung memilih pada koleksi gambar atau kata yang tersedia, atau dengan
mengetikkan kata pada fasilitas searching yang disediakan.

Gambar 1. Modul Kamus

b. Modul Isyarat Abjad Jari


Modul ini menampilkan isyarat abjad jari dari huruf A sampai dengan Z. Bentuk isyarat abjad jari
dapat ditampilkan setelah mengklik huruf yang diinginkan. Selain itu tersedia pula sub-modul untuk
menampilkan isyarat abjad jari dari kata yang diketikkan sebanyak maksimal 20 huruf.

Gambar 2. Modul Isyarat Jari

c. Modul Isyarat Bilangan


Modul Isyarat Bilangan mengajarkan isyarat bilangan dari mulai bilangan satuan, belasan, puluhan,
ratusan, ribuan dan pecahan. Untuk menampilkan video/image isyarat bilangan cukup dengan
mengklik bilangan yang telah tertulis pada layar.

Gambar 3. Modul Isyarat Bilangan

d. Modul Tematik
Modul Tematik merupakan bagian dari modul kamus. Pada modul ini kumpulan kata dikelompokkan
berdasarkan tema pokok bahasan. Disediakan pula beberapa contoh kalimat yang telah tersusun
sesuai dengan tema. Pengguna dapat melihat video isyarat bahasa maupun ujaran/speech reading
dari kalimat yang telah terbentuk tersebut.

Gambar 4. Modul Tematik

5. Modul Menyusun Kalimat


Modul Menyusun Kalimat diperuntukkan bagi siswa yang tingkat pemerolehan bahasanya sudah
cukup tinggi. Modul ini juga dapat digunakan oleh orang tua murid maupun guru yang ingin
memeragakan isyarat bahasa secara utuh dalam satu kalimat. Menyusun kalimat dapat dilakukan
dengan memilih kelompok gambar, mengetikkan kalimat baik dengan pola berstruktur S-P-O-K
maupun dengan pola selain S-P-O-K.

Gambar 5. Modul Menyusun Kalimat

ROADMAP PENGEMBANGAN APLIKASI


Secara umum aplikasi ini akan dibuat dalam dua mode yaitu mode offline, dimana user harus
melakukan instalasi program pada komputernya dan mode online dimana user dapat menjalankan
aplikasi dengan mengakses situs i-CHAT di http://www.i-chat.web.id.
Mode online adalah portal i-CHAT yang pada saat ini berisi aplikasi yang terdiri dari 5 modul seperti
telah dijelaskan sebelumnya. Modul-modul pembelajaran selanjutnya masih dapat terus
dikembangkan baik berupa aplikasi dengan animasi, video, maupun jurnal/artikel terkait pendidikan
dan metode pembelajaran bagi anak tunarungu. Keseluruhan materi pembelajaran ini dapat dikemas
dalam bentuk modul-modul dengan konsep e-learning.
Pengembangan selanjutnya dari portal i-CHAT adalah membentuk forum, media social networking,
dan konsep user generated content.

Gambar 6. Roadmap Pengembangan Aplikasi


Forum Diskusi, Artikel dan Berita
Pada halaman depan dari website sangat dimungkinkan untuk ditampilkan kolom untuk artikel dan
berita. Para pemerhati dan pakar tunarungu dapat mengirimkan artikel-artikel terkait dunia
tunarungu. Selain itu berita seputar kegiatan dari SLB, komunitas maupun forum tunarungu dapat
ditampilkan pada kolom ini.
Konsep User Generated Content
Konsep ini mengajak pengguna maupun masyarakat umum yang ingin berpartisipasi untuk
menyumbangkan karyanya dalam memperkaya content dari aplikasi ini. Dengan diterapkannya
konsep ini diharapkan content dari website aplikasi ini akan semakin kaya dan terus ter-update.
Untuk itu pada aplikasi mode online perlu ditambahkan satu modul khusus bagi user untuk dapat
meng-upload content. Agar kualitas dan kesesuaian content terjaga maka diperlukan proses verifikasi
terlebih dahulu terhadap content yang telah dikirimkan yang dilakukan oleh tim verifikator.
Beberapa bagian dari aplikasi yang memungkinkan untuk diterapkannya konsep ini adalah:
a. Gambar Foto/Clip Art sebagai representasi kosa kata
b. Video Bahasa Isyarat dan Ujaran
c. Kolom Artikel/Berita
d. Materi Pembelajaran maupun Sharing /tips tentang metode komunikasi tunarungu
Konsep Social Networking
Selain berkomunikasi melalui bicara dan isyarat, anak tunarungu dapat saling berkomunikasi melalui
tulisan. Hal ini dapat dimungkinkan dengan menambahkan satu modul untuk social networking
sehingga user yang telah terdaftar dalam aplikasi ini dapat saling berinteraksi. Selain para siswa/anak
tunarungu, guru maupun orang tua murid diharapkan dapat bergabung dalam wadah social
networking ini, karena dengan berinteraksinya anak tunarungu dengan orang normal maka bahasa
tulisan mereka akan semakin membaik.

Penggunaan Sistem FM (Frequency Modulation) Dalam Kalangan Muridmurid Bermasalah Pendengaran

Mohd Hanafi Bin Mohd Yasin


Choong Shee Yin
Universiti Kebangsaan Malaysia

PENDAHULUAN
Di Malaysia, anggaran bahawa setiap tahun lebih kurang 2,500 orang bayi yang dilahirkan
menghadapi masalah pendengaran. Secara puratanya, tiga kes bagi setiap 1000 kelahiran yang
menghadapi masalah pendengaran. Berdasarkan perangkaan dari Kementerian Kesihatan
(2009), seramai 440 ribu orang atau dua peratus daripada 22 juta rakyat Malaysia menghadapi
masalah pendengaran.
Pendengaran memainkan peranan yang penting dalam kehidupan manusia, kerana ia
merupakan komponen yang penting untuk manusia memahami dan menguasai pertuturan
dalam komunikasi. Howarth dan Shone (2006) mentakrifkan pendengaran sebagai alat deria
yang memberi amaran tentang sesuatu kejadian yang berbahaya di luar mata kasar dan ia
berfungsi dalam memberi penghargaan artistik terhadap keindahan muzik dan bunyi-bunyi
alam semulajadi. Secara amnya, pendengaran mempengaruhi keupayaan seseorang untuk
berkomunikasi dan melibatkan diri dalam aktiviti (Margaret 2009). Pendengaran yang baik
menyebabkan kita hidup sebagai manusia sempurna yang dicipta oleh Tuhan. Kita akan rasa
kekurangan dan tidak sempurna jika kita tidak mempunyai pendengaran yang sempurna,
tanpa pertuturan yang baik sudah tentu kehidupan seharian tidak dapat dijalankan dengan
sempurna.
Masalah pendengaran merupakan masalah yang tersembunyi dari segi luaran, tetapi
sangat nyata dalam bidang komunikasi. Akibatnya, keupayaan seseorang untuk mendengar
pertuturan orang lain tersekat dan seterusnya memberi impak yang dramatik dalam
perkembangan sosial dan akademik (Smith T.E.C. et al. 2006). Kebolehan murid-murid
mendengar guru bercakap di dalam bilik darjah adalah kritikal untuk pembelajaran. Muridmurid bermasalah pendengaran sering menghadapi kesukaran dalam bidang sosial dan
akademik, terutama dalam sistem pendidikan yang hanya bergantung kepada pertuturan dan
bahasa untuk menyampaikan ilmu pengetahuan (Smith J.D. 1998; Hardman et al. 2006). Data
dari Jabatan Pendidikan Khas (2009) menunjukkan bahawa hanya 5 daripada 49 orang murid
bermasalah pendengaran yang mendapat pencapaian cemerlang dalam peperiksaan awam
pada tahun 2008.
Penggunaan alat bantu pendengaran adalah sangat penting bagi murid-murid
bermasalah pendengaran untuk membantu mereka mendengar dan memahami maklumat yang
disampaikan oleh orang lain. Jan dan Raymond (2008) membuktikan bahawa ramai murid
mendapat manfaat dengan memakai alat bantu pendengaran terutama dalam situasi yang
senyap. Malah pada masa yang sama, mereka juga menghadapi kesukaran untuk mendengar
dalam persekitaran yang bising. Ini kerana alat bantu pendengaran dapat menguatkan semua
bunyi pertuturan termasuk bunyi persekitaran (Smith J.D. 1998).

Selain itu, alat bantu pendengaran dapat memberi manfaat kepada murid apabila jarak
antara guru dengan murid berada dalam dua meter sahaja (Linda Watson et al. 2001). Menurut
Crandell dan Smaldino (2000), penerimaan maklumat auditori yang tidak jelas menyebabkan
murid-murid sukar memahami pembelajaran di dalam bilik darjah seterusnya mengakibatkan
pencapaian yang lemah. Murid-murid harus diberikan arahan dan penjelasan secara kemas
dan insentif bagi memudahkan pemahaman mereka.
Jarak antara guru dengan murid yang tidak konsisten serta kesan reverberasi dalam
bilik darjah menyebabkan murid-murid bermasalah pendengaran tidak dapat memperoleh
input auditori secara maksimum walaupun dengan bantuan alat bantu pendengaran. Halangan
untuk menerima maklumat adalah disebabkan bunyi bising latar belakang (Flexer 2004).
Bunyi bising mempengaruhi pengenalpastian pertuturan, pencapaian akademik, kemahiran
membaca, perhatian, penumpuan dan tingkahlaku seseorang murid bermasalah pendengaran
mahupun dengan pendengaran normal (Smaldino & Crandell 2000). Fenomena ini menjadi
gangguan utama kepada murid-murid bermasalah pendengaran untuk berfokus kepada
pengajaran di sekolah.
Beberapa cadangan diberi untuk membantu murid-murid mendengar dalam bilik
darjah yang bising. Antaranya, pengubahsuaian keadaan akustik bilik darjah dengan
menggunakan permaidani yang menyerap bunyi di lantai bilik darjah dan mendekatkan jarak
antara guru dengan murid dalam bilik darjah, penggunaan alat tumpu dengar (Assistive
Listening Devices) seperti Sistem FM (Frequency Modulation System) dan latihan auditori
yang spesifik untuk meningkatkan kemahiran mendengar murid-murid (Dood-Murphy &
Mamlin 2002; Beck & Bellis 2007). Malah pengubahsuaian akustik bilik darjah dan latihan
auditori adalah kurang praktikal kerana ia melibatkan kos yang tinggi dan masa yang panjang.
Oleh itu, Sistem FM merupakan cara yang paling ideal untuk mengatasi masalah ini (Bellis
2003; Ciocci 2002; Weihing & Musiek 2005).
MURID-MURID BERMASALAH PENDENGARAN
Murid-murid bermasalah pendengaran di kategorikan sebagai murid berkeperluan khas.
Sebelum penggunaan istilah bermasalah pendengaran, masyarakat sering menggunakan
istilah pekak atau cacat pendengaran untuk golongan murid-murid ini. Istilah-istilah ini
membawa stigma yang negatif kepada golongan murid-murid ini. Murid-murid bermasalah
pendengaran adalah kanak-kanak yang tidak dapat menggunakan deria pendengaran mereka
untuk memahami pertuturan, walaupun mereka boleh mendengar bunyi atau dengan alat
bantu pendengaran. Dari segi fizikal, murid-murid bermasalah pendengaran ini adalah normal
maka mereka sering disalahsangka sebagai individu yang normal kerana ketidakupayaan
mereka tidak menonjol berbanding dengan murid-murid bermasalah penglihatan, Sindrom
Down, Hyperaktif dan sebagainya.
Dalam bidang perubatan dan pendidikan, murid-murid bermasalah pendengaran
dikategorikan mengikut tahap kehilangan pendengaran mereka. Ukuran kehilangan
pendengaran ditentukan mengikut keupayaan individu mendengar kekuatan bunyi yang
diukur dalam unit desibel (dB). Menurut Jabatan Audiologi dan Sains Pertuturan, HUKM
(2009), murid-murid yang mengalami kehilangan pendengaran antara 20dB hingga 40dB di
kedua-dua belah telinga diklasifikasikan mengalami masalah pendengaran yang ringan.
Murid-murid dikategorikan menghadapi masalah pendengaran pada tahap sederhana, apabila
tahap kehilangan pendengaran mereka berada diantara 41dB hingga 70dB di kedua-dua belah
telinga. Kehilangan pendengaran murid-murid yang berada di antara 71dB hingga 90dB

dikategorikan sebagai kehilangan pendengaran teruk, dan 91dB ke atas adalah tahap
kehilangan pendengaran yang teruk. Setelah murid-murid disahkan mengalami masalah
pendengaran oleh pakar perubatan, murid tersebut akan dicadangkan untuk memakai alat
bantu pendengaran dan menjalankan rawatan terapi pertuturan. Seterusnya, murid ini akan
dicadangkan bersekolah di sekolah pendidikan khas.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN SISTEM FM
ALAT BANTU PENDENGARAN
Alat bantu pendengaran sangat penting bagi murid-murid bermasalah pendengaran dalam
membantu mereka mendengar dan memahami maklumat yang disampaikan oleh orang lain.
Alat bantu pendengaran ialah sejenis alat elektronik yang berbentuk kecil dan digunakan
untuk membantu pendengaran (Smith J.D. 1998). Alat bantu pendengaran merupakan satu
alat yang digunakan oleh golongan bermasalah pendengaran untuk membantu mereka
mendengar dengan lebih baik. NIDCD (2009) melaporkan bahawa alat bantu pendengaran
dapat menguatkan bunyi di sekitar pemakai untuk membantu pendengaran. Dalam kajian
Sluari et al. (2003), alat bantu pendengaran beroperasi untuk menambahkan aras tekanan
bunyi di membran timpanum untuk meningkatkan pendengaran dan memaksimumkan
keupayaan baki pendengaran murid-murid bermasalah pendengaran. Secara amnya, alat
bantu pendengaran tidak memulihkan pendengaran tetapi menguatkan semua bunyi di sekitar
pemakai termasuk bunyi pertuturan dan bunyi persekitaran yang bising (Safani 2003). Setiap
alat bantu pendengaran mempunyai 3 komponen utama iaitu mikrofon (microphone), alat
penerima (amplifier) dan penguat bunyi (speaker). Mikrofon berfungsi untuk menerima
bunyi-bunyi di sekitar pemakai. Alat penerima akan menukarkan gelombang bunyi tersebut
ke tanda elektrik untuk dihantar ke penguat suara. Penguat suara menguatkan kuasa tanda
elektrik tersebut dan menukar kembali tanda elektrik ke gelombang bunyi untuk disalurkan
ke dalam telinga pemakai (NIDCD 2009). Di samping itu, bateri diperlukan untuk membekal
tenaga elektrik agar alat bantu pendengaran dapat berfungsi.
BILIK DARJAH AKUSTIK
Persekitaran akustik dalam bilik darjah memainkan peranan kritikal dalam persepsi
pendengaran dan pencapaian akademik dan psikososial bagi murid-murid normal mahupun
murid-murid bermasalah pendengaran (Crandell & Smaldino 2000). Bilik darjah merupakan
persekitaran yang menggunakan pendekatan auditori-verbal iaitu guru menyampaikan
pengajaran secara lisan. Dengan itu, signal auditori pertuturan yang jelas dan optimal daripada
guru amat penting untuk pembelajaran yang berkesan. Malah, bilik darjah bukan tempat
akustik yang ideal kerana ia penuh dengan bunyi persekitaran. Bunyi persekitaran akan
mengganggu persepsi pertuturan, tumpuan, kemahiran membaca dan menulis, seterusnya
mempengaruhi pencapaian akademik murid-murid bermasalah pendengaran (Smaldino &
Crandell 2000). Contoh bunyi persekitaran adalah bunyi pergerakan kerusi, bunyi kipas dan
lain-lain bunyi (Linda Watson et al. 2001).
Proses pembelajaran yang aktif dalam sebuah bilik darjah merupakan bunyi
persekitaran yang mengganggu. Tahap bunyi persekitaran yang tinggi memberi kesan negatif
kepada kanak-kanak berbanding orang dewasa. Anderson (2004) melaporkan bahawa
kehadiran bunyi persekitaran yang bising mempengaruhi persepsi pertuturan kanak-kanak
yang berumur kurang daripada 15 tahun. Kadar kebisingan dalam sesebuah bilik darjah
kosong ialah 65 dB. Apabila ia penuh dengan murid yang aktif maka kadar kebisingan dalam

bilik darjah akan mencecah 55dB hingga 85dB (Knecht et al. 2002). Mengikut tahap
antarabangsa, kadar kebisingan maksimum untuk sebuah bilik darjah adalah 35dB (ANSI
2002). Malah kebanyakan bilik darjah mencapai kadar kebisingan yang melebihi 70dB,
fenomena ini telah mengganggu proses pembelajaran dalam sesebuah bilik darjah. Dalam
persekitaran yang bising, murid-murid menghadapi kesukaran mendengar pertuturan dan
mereka hanya dapat memahami sebahagian pertuturan yang didengar (Nelson et al. 2005).
Selain itu, Johnson (2000) juga melaporkan bahawa bunyi bising dan gema bunyi akan
menjejaskan perhatian murid-murid. Fenomena ini menyebabkan murid-murid bermasalah
pendengaran salah tafsir dalam proses pengajaran dan pembelajaran.
Perhatian seseorang murid terhadap kehadiran bunyi bising bergantung kepada
kekuatan bunyi, jenis bunyi, tahap tugasan dan arahan yang diterima. Anderson (2004)
melaporkan bahawa bunyi bising memberi kesan gangguan apabila guru menyampaikan
maklumat pengajaran secara verbal. Kebolehan seseorang untuk memberi tumpuan terhadap
pertuturan semasa kehadiran bunyi bising melibatkan proses perkembangan otak dan
penguasaan bahasa. Ini kerana mekanisma auditori murid-murid belum matang sehingga
mereka mencapai umur 15 tahun. Kajian Johnson (2000) menunjukkan bahawa murid-murid
lebih memerlukan persekitaran akustik berbanding orang dewasa dalam proses mengenal
bunyi pertuturan.
Smaldino dan Crandell (2000), bilik darjah merupakan persekitaran reverberasi dalam
masa yang panjang iaitu melebihi 1.2s berbanding tahap yang dicadangkan (0.4s 0.6s).
Semakin lama masa reverberasi dalam sebuah bilik darjah, semakin banyak kesan terhadap
persepsi pertuturan (Anderson 2004). Lantunan dan gema bunyi dalam bilik darjah boleh
menopeng pertuturan dan mengganggu pemahaman pertuturan.
PENGGUNAAN SISTEM FM (FREQUENCY MODULATION) SISTEM FM
(FREQUENCY MODULATION)
Selaras dengan perkembangan teknologi, Sistem FM (Frequency Modulation) boleh
menyelesaikan masalah ini. Sistem FM merupakan alat tumpu dengar yang boleh
meningkatkan kejelasan pertuturan sebanyak 20dB (Crandell & Smaldino 2000, 2002). Ia
adalah satu sistem yang memancarkan suara penutur melalui mikrofon ke alat penerima yang
dipakai oleh pendengar secara langsung dalam keadaan tanpa wayar (Smith J.D. 1998).
Sistem FM telah dicadangkan sebagai alat habilitasi untuk murid-murid bermasalah
pendengaran (ASHA 2005; Bellis 2003; Weihing & Musiek 2005).
Sistem FM adalah sistem tanpa wayar dimana alat bantu pendengaran ini menghantar
bunyi daripada penutur kepada pendengar. Komponen Sistem FM terdiri daripada mikrofon,
alat pemancar dan alat penerima. Terdapat beberapa jenis FM, antaranya FM persendirian,
FM persendirian secara berkumpulan (loop system), FM medan suara (sound field) dan FM
persendirian-Edulink. Sistem FM persendirian dipakai oleh seorang murid pada satu masa. Ia
terdiri daripada satu mikrofon, satu alat pemancar (transmitter) dan satu alat penerima
(receiver). FM persendirian secara berkumpulan terdiri daripada satu mikrofon, satu alat
pemancar dan beberapa alat penerima. Ia sesuai digunakan untuk kumpulan kecil. Manakala
FM medan suara direka untuk meningkatkan suara guru melalui pembesar suara. ia terdiri
daripada satu mikrofon, satu alat pemancar, satu alat penerima dan pembesar suara. FM
medan suara lebih berjimat dan sesuai digunakan dalam bilik darjah (Anderson Goldstein
2004; Crandell & Smaldino 2002; Disarno et al. 2002). Edulink merupakan alat FM yang
dicipta khas untuk murid-murid yang mempunyai pendengaran normal tetapi menghadapi

masalah pembelajaran seperti hiperaktif, kurang tumpuan (ADHD), kecelaruan pembelajaran.


Komponen FM-Edulink terdiri daripada satu alat penerima, satu alat pemancar dan satu
mikrofon.
Penggunaan Sistem FM bertujuan mengatasi tiga faktor utama yang menyebabkan
kesukaran murid-murid untuk mendengar pertuturan guru dalam bilik darjah, iaitu bunyi
bising persekitaran, reverberasi bunyi iaitu pantulan gelombang bunyi dan jarak antara guru
dan murid (Merren et al. 2001; Rachel 2004). Sistem FM meningkatkan signal pertuturan
untuk sampai ke telinga pendengar berbanding bunyi persekitaran disebabkan oleh
kedudukan mikrofon FM berdekatan dengan sumber pertuturan. Kesannya, murid dapat
mendengar pertuturan guru dengan lebih kuat dan jelas berbanding bunyi bising persekitaran
(Beth Lynne 2007). Seterusnya, masalah reverberasi turut diatasi disebabkan signal
pertuturan dari sumber pertuturan terus disampaikan ke telinga pendengar. Pemancaran suara
guru secara langsung ke telinga murid dapat mengatasi kesan jarak antara penutur dengan
pendengar. Dengan itu, guru tidak perlu risau bahawa murid tidak dapat mendengar apabila
guru sambil bercakap sambil menghadap ke arah papan tulis untuk menulis. Oleh kerana
jarak antara kedudukan mikrofon FM dengan mulut penutur adalah 6 inci (15 cm) sahaja,
maka jarak antara guru dengan murid (tidak kira di mana kedudukan mereka dalam bilik
darjah) menjadi lebih efektif. Tambahan pula, sistem FM adalah tanpa wayar, maka guru
dapat bergerak dengan bebas di sekitar bilik darjah. Sistem FM membantu pendengaran
akibat perubahan jarak antara guru dengan murid, meminimakan kesan reverberasi terhadap
pemahaman pertuturan dalam bilik darjah bagi memudahkan murid-murid bermasalah
pendengaran dalam proses pengajaran dan pembelajaran (Anderson & Goldstein 2004; Bellis
2003; Katz 2002).
CARA SISTEM FM BERFUNGSI
Kemahiran mendengar boleh menjadi tugas yang sukar bagi murid-murid bermasalah
pendengaran. Bunyi suara penutur mungkin bercampur aduk dengan bunyi persekitaran yang
akan menjejaskan kemampuan mendengar murid berkenaan untuk memberi perhatian dan
berfokus kepada kandungan yang ditutur oleh guru.
Penutur menggunakan mikrofon dan alat pemancar untuk menghantar suara ke alat
penerima yang dipakai oleh murid-murid bermasalah pendengaran. Alat penerima
berhubungkait dengan alat bantu pendengaran yang dipakai oleh kanak-kanak bermasalah
pendengaran. Murid tersebut dapat mendengar bunyi yang disampaikan secara langsung.
Pada masa yang sama, bunyi bising di persekitaran dapat diminimakan. Komponen Sistem
FM terdiri daripada mikrofon, alat pemancar dan alat penerima. Mikrofon bertujuan
menerima suara penutur. Mikrofon adalah bersambung dengan alat pemancar. Alat pemancar
adalah alat yang menerima gelombang elektrik daripada mikrofon. Guru akan memakai alat
pemancar dan bercakap melalui mikrofon. Alat penerima adalah alat yang dipakai oleh
kanak-kanak bermasalah pendengaran semasa dalam kelas. Alat penerima akan menerima
gelombang dari alat pemancar. Seterusnya pengecas bateri, pegecas bateri digunakan untuk
mengecas bateri yang digunakan dalam alat pemancar dan alat penerima.
Sistem FM berfungsi untuk meningkatkan nisbah isyarat terhadap kebisingan (signalto-noise ratio or SNR). Mikrofon bersambung dengan alat pemancar dan dipakai berdekatan
dengan mulut penutur, dimana kesan jarak jauh dan bunyi persekitaran yang bising boleh
mencapai tahap minima (Samaldino & Crandell 2005). Bunyi suara penutur diterima melalui
mikrofon dan dihantar ke alat pemancar. Semasa penghantaran bunyi tersebut, alat pemancar
akan memastikan tiada tanda bunyi yang diterima melebihi 70dB. Seterusnya, alat pemancar

akan memancar bunyi yang diterima ke alat penerima melalui gelombang frekuensi radio.
Alat penerima berfungsi menukar gelombang radio tersebut kepada gelombang elektrik, dan
ia dihantar ke alat bantu pendengaran untuk bunyi dikuatkan dan diterima dengan jelas untuk
pemakai (Julia & Siti Suhaila 2008). Keadaan ini dapat mengurangkan masalah jarak jauh dan
gema bunyi yang wujud semasa penutur bercakap.

Isyarat

Telinga

Pertuturan
Mikrofon

(Jarak 15cm)

Pemancar
(penutur)

Penerima
(pendengar)

STRATEGI PENGGUNAAN SISTEM FM


Terdapat beberapa strategi dalam penggunaan Sistem FM demi keberkesanannya. Semasa
pelaksanaan Sistem FM dalam bilik darjah, kedudukan murid adalah penting. Kedudukan
yang sesuai adalah dalam bentuk bulatan, ini membolehkan murid-murid bermasalah
pendengaran berpeluang melihat penglibatan keseluruhan bilik darjah dan mendengar bunyi
pertuturan dengan lebih jelas. Sekiranya kedudukan tempat duduk dalam bilik darjah
berbentuk barisan, guru perlu memastikan bahawa murid-murid bermasalah pendengaran
duduk di bahagian hadapan bersama jurubahasa. Pada masa yang sama, setiap ahli dalam
kumpulan yang bercakap perlu menggunakan mikrofon secara bergilir-gilir. Penutur
digalakkan mengulang semula soalan, cadangan dan komen yang diberikan kepada muridmurid yang duduk di bahagian barisan belakang supaya mereka dapat memberi tumpuan
kepada penutur. Selain itu, guru perlu memberi galakan kepada murid-murid bermasalah
pendengaran untuk bertindak balas secara lisan dalam perbincangan bilik darjah (Julia & Siti
Suhaila 2008).
KEBAIKAN SISTEM FM
Penggunaan Sistem FM membantu pendedahan awal bayi atau murid-murid bermasalah
pendengaran kepada bunyi pertuturan dan bahasa (Sandra Abbott 2003). Pendedahan awal
kepada bunyi adalah sangat penting untuk bayi atau kanak-kanak bermasalah pendengaran
dalam menguasai pertuturan dan bahasa (Safani 2003). Teknologi Sistem FM dapat
meningkatkan persepsi pertuturan dalam keadaan bising sebanyak 10dB hingga 20dB,
berbanding tidak menggunakan Sistem FM bagi murid-murid bermasalah pendengaran
(Samantha 2004). Dengan itu, murid-murid bermasalah pendengaran yang menggunakan
Sistem FM dapat mengenal dan mendengar bunyi pertuturan dengan lebih baik walaupun
mereka berada dalam persekitaran yang bising. Pendengaran yang baik dapat meningkatkan
penguasaan bahasa dan pertuturan (Safani 2003). Apabila murid-murid bermasalah
pendengaran dapat menguasai bahasa dan pertuturan, mereka dapat memupuk keyakinan diri
dan sikap berdikari.

Sistem FM mewujudkan situasi yang sesuai untuk murid-murid mendengar. Sistem


FM dapat menguatkan suara penutur dalam persekitaran bising (Disarno et al. 2002), maka
murid-murid bermasalah pendengaran dapat mendengar dengan lebih baik dan jelas
berbanding hanya menggunakan alat bantu pendengaran. Selain itu, Sistem FM dapat
menghantar signal bunyi pada jarak sejauh 45 meter. Dengan itu, masalah sukar untuk
mendengar dalam jarak jauh dapat diatasi. Murid-murid bermasalah pendengaran dapat
mendengar suara penutur dengan lebih baik dan jelas walaupun mereka berada di belakang
kelas atau dalam persekitaran yang bising (Jean 2001).
Justeru, Sistem FM dapat mengurangkan pergerakan penutur. Sebagai contoh, apabila
guru perlu menghadap ke arah papan putih untuk menulis atau mencatat semasa proses
pengajaran dan pembelajaran. Murid-murid bermasalah pendengaran mungkin tidak dapat
mendengar atau berfokus kepada apa yang ditutur oleh guru kerana mereka tidak dapat
nampak bacaan bibir dan mimik muka guru tersebut. Dengan bantuan Sistem FM, muridmurid bermasalah pendengaran masih boleh mendengar suara guru tersebut dengan jelas
walaupun mereka tidak nampak mimik muka guru tersebut.
Akhirnya, Sistem FM dapat mengurangkan reverberasi bunyi. Alat bantu pendengaran
yang dipakai oleh murid-murid bermasalah pendengaran berfungsi membesarkan bunyi,
akibatnya wujud reverberasi bunyi iaitu pantulan bunyi yang boleh menganggu pendengaran
pemakai. Sistem FM boleh mengatasi masalah ini. Disebabkan penutur bercakap dengan
menggunakan mikrofon, gelombang radio dari alat pemancar pancar terus ke alat penerima
dan bertukar menjadi gelomabang elektrik seterusnya sampai ke alat bantu pendengaran
pemakai. Keadaan ini dapat mengurangkan reverberasi bunyi yang wujud sebelumnya.
Justeru, penggunaan Sistem FM membantu murid-murid bermasalah pendengaran
mengembangkan bahasa dengan mempelajari perkataan baru dan memahami makna bunyi
dan penggunaan bahasa akibat daripada tahap pendengaran yang lebih baik berbanding
sebelumnya. Dengan bantuan Sistem FM, murid-murid bermasalah pendengaran dapat
berfokus kepada pengajaran guru. Keadaan ini membantu pencapaian akedemik, sosial dan
interaksi mereka.
BATASAN SISTEM FM
Terdapat beberapa batasan yang wujud dalam penggunaan Sistem FM. Antaranya, Sistem FM
memerlukan penyeliaan harian yang kerap demi penggunaan yang efektif. Sebelum
pengajaran bermula, guru perlu memastikan murid-murid bermasalah pendengaran memakai
alat bantu pendengaran dab Sistem FM yang berfungsi. Selain itu, guru perlu memastikan alat
pemancar, alat penerima dan mikrofon adalah dalam keadaan yang berfungsi dan baik. Selain
itu, penggunaan Sistem FM memerlukan kerjasama antara murid-murid bermasalah
pendengaran dan guru. Guru perlu memakai alat pemancar dan bercakap dengan
menggunakan mikrofon semasa proses pengajaran dan pembelajaran dijalankan. Sesetengah
guru mungkin tidak selesa memakai alatan sistem ini semasa pengajaran dan pembelajaran
dalam persekitaran bilik darjah.
Dalam usaha berinteraksi sosial dengan kumpulan murid bermasalah pendengaran
yang besar, Sistem FM memerlukan alatan yang berlainan. Sistem FM kini hanya
berpandukan mikrofon, alat pemancar dan alat penerima. Apabila komunikasi berlaku dalam
kumpulan yang agak besar, alatan yang sedia ada mungkin tidak cukup dan berkesan dalam

penghantaran gelombang bunyi ke alat penerima pemakai. Keadaan ini akan menganggu
kemampuan mendengar murid-murid tersebut.
Penggunaan Sistem FM juga mewujudkan komunikasi yang terhad kepada muridmurid bemrasalah pendengaran yang tidak memakai alat penerima semasa proses komunikasi.
Sistem FM dicipta khas untuk murid-murid bermasalah pendengaran. Dengan itu, satu set
Sistem FM hanya mengandungi beberapa alat penerima sahaja maka bagi kumpulan murid
yang besar ia adalah tidak cukup. Bagi murid-murid bermasalah pendengaran yang tidak
memakai alat penerima, mereka tidak dapat mendengar apa yang ditutur oleh penutur. Muridmurid bermasalah pendengaran yang menggunakan Sistem FM tidak dapat mendengar bunyi
suara sendiri dalam proses komunikasi. Pemakai hanya dapat mendengar suara penutur,
kerana penutur bercakap melalui mikrofon yang bersambung kepada alat pemancar. Suara
penutur yang bercakap melalui mikrofon sahaja akan sampai ke telinga pemakai. Disebabkan
pemakai tidak bercakap melalui mikrofon, maka mereka hanya mendengar bunyi suara
penutur dan tidak dapat mendengar bunyi suara sendiri.
Pendedahan tentang cara mengguna, memakai dan menjaga alatan Sistem FM kepada
pengguna Sistem FM. Pengguna Sistem FM perlu mengetahui cara mengguna, memakai dan
menjaga alatan Sistem FM. Sekiranya alatan Sistem FM tidak dijaga atau diguna dengan baik,
ia akan mempengaruhi tahap fungsi alatan tersebut dan seterusnya menjejaskan keberkesanan
Sistem FM dalam proses pengajaran dan pembelajaran.

CADANGAN
Latihan dan khidmat sokongan untuk ibubapa. Peranan ibubapa adalah komponen yang
penting dalam pelaksanaan Sistem FM. Ibubapa perlu didedahkan kemahiran dan cara
pengendalian alatan Sistem FM. Selain itu, proses menyemak alat bantu pendengaran bersama
alatan FM juga memberi kesan terhadap penggunaan Sistem FM. Sekiranya ibubapa dapat
mengendalikan Sistem FM, maka murid-murid bemasalah pendengaran bukan saja dapat
menggunakan sistem ini di sekolah mahupun di rumah. Keadaan ini akan menambah prestasi
penguasaan bunyi, pertuturan dan bahasa bagi murid-murid yang terlibat. Menurut Sandra
(2003), demostrasi dan latihan praktikal dalam pengendalian alatan Sistem FM secara klinikal
akan meningkatkan keselesaan dan kemahiran ibubapa dalam menggunakan teknologi Sistem
FM.
Peranan NGO (Non-government Organization) dan ahli audiologi. Peranan NGO dan
ahli audiologi adalah penting dalam mendedahkan penggunaan Sistem FM kepada lebih ramai
golongan bermasalah pendengaran dan masyarakat. Dalam kajian Theresa (2003)
menunjukkan, populasi penggunaan teknologi Sistem FM bagi golongan bermasalah
pendengaran adalah sangat terhad.
Peranan guru di sekolah. Dawna (2003) menyatakan bahawa guru merupakan
komponen utama dalam pelaksanaan Sistem FM. Penerimaan guru terhadap Sistem FM
memberi kesan terhadap penggunaan sistem ini. Sekiranya guru tidak dapat menerima
pelaksanaan Sistem FM di sekolah, maka murid-murid bermasalah pendengaran tidak akan
berpeluang menikmati manfaat daripada sistem ini.

Latihan dan khidmat sokongan untuk guru. Latihan dan kemahiran tentang
pelaksanaan Sistem FM dalam bilik darjah amat diperlukan bagi guru. Guru perlu didedahkan
cara mengguna dan menjaga alatan FM demi menjamin kefungsian alatan Sistem FM di
samping teknik pengajaran dan pembelajaran. Murid-murid bermasalah pendengaran
mendapat lebih banyak input di sekolah berbanding tempat lain. Guru yang mahir dalam
pelaksanaan Sistem FM dapat membimbing dan mengaplikasikan murid-murid berkenaan
dalam suasana pembelajaran yang lebih berkesan.
Peranan ahli audiologi amat penting dalam membantu penggunaan Sistem FM dalam
kalangan murid-murid bermasalah pendengaran. Setiap unit Sistem FM memerlukan seting
yang berbeza mengikut alat bantu pendengaran yang berbeza. Dengan itu, ahli audiologi perlu
diagihkan ke sekolah bagi memantau dan membimbing penggunaan Sistem FM dalam bilik
darjah.
Persekitaran pembelajaran bagi murid-murid bermasalah pendengaran. Persekitaran
pembelajaran bagi seseorang murid memainkan peranan yang kritikal dalam proses pemilihan
Sistem FM yang sesuai. Saiz dan organisasi bilik darjah boleh memberi kesan terhadap
penggunaan Sistem FM, sama ada menjejaskan atau memanfaatkan kemampuan untuk
mendengar bagi murid-murid tersebut (Dawna 2003). Seterusnya, menjadi garis panduan bagi
ahli audiologi dalam proses menentukan Sistem FM yang sesuai.
Sokongan daripada pihak kerajaan. Dalam usaha melaksanakan pendidikan untuk
semua murid termasuk murid-murid berkeperluan khas, kerajaan telah memberi banyak
peruntukkan dalam penyediaan kemudahan dan infrastruktur di sekolah. Bagi murid-murid
bermasalah pendengaran, kerajaan memperuntukkan alat bantu pendengaran secara percuma
kepada murid-murid bermasalah pendenagaran yang miskin. Manakala Sistem FM tidak
pernah disyorkan dan dihantar ke sekolah-sekolah yang memerlukannya (Jabatan Pendidikan
Khas 2002). Sebenarnya sokongan daripada kerajaan adalah komponen yang paling memberi
kesan dalam usaha menyeru penggunaan Sistem FM di sekolah.

KESIMPULAN
Pendengaran sangat penting untuk murid-murid bermasalah pendengaran dalam pembelajaran
auditori, pertuturan dan perkembangan bahasa. Alat bantu pendengaran yang biasa digunakan
oleh murid-murid bermasalah pendengaran supaya membantu mereka untuk mendengar
semua bunyi dengan kuat dan jelas, termasuk bunyi persekitaran yang boleh menganggu
tumpuan pendengaran mereka. Teknologi Sistem FM dapat mengatasi masalah tersebut.
Sistem FM dapat meningkatkan kemampuan mendengar dalam persekitaran yang bising bagi
murid-murid bermasalah pendengaran. Teknologi ini memberi manfaat kepada murid-murid
bermasalah pendengaran dalam usaha pembelajaran auditori dan pertuturan serta
perkembangan bahasa. Fenomena ini dapat memberi input dalam meningkatkan pencapaian
akademik murid-murid bermasalah pendengaran. Dalam usaha menjayakan penggunaan
Sistem FM, ia melibatkan strategi penggunaan yang betul dan hemah serta kerjasama pelbagai
pihak. Antaranya, kanak-kanak bermasalah pendengaran, ibubapa, guru-guru, pihak sekolah
dan kerajaan serta masyarakat.

RUJUKAN
ANSI. 2002. Acoustical Performance Criteria, Design Requirements and Guidelines for
Schools. New York: Acoustical Society of America. American National Standards
Institute.
ASHA. 2005. Auditory Processing Disorder. Working Group on Auditory Processing
Disorders Technical Report. American Speech-Language Hearing Association
Anderson, K. 2004. The Problem of Classroom Acoustic: The Typical Classroom
Soundscape Is A Barrier to Learning. Seminar in Hearing 25(2):117-129.
Anderson, K.L. & Goldstein, H. 2004. Speech Perception Benefits of FM and Infrared
Devices to Children With Hearing Aids in A Typical Classroom. Language-Speech &
Hearing Services in Schools 35(2): 169-184.
Beck, D.I. & Bellis, T.J. 2007. Auditory Processing Disorder: Overview and Amplification
Issues. The Hearing Journal 60(5): 44-47
Bellis, T.J. 2003. Assessment & Management of Central Auditory Processing Disorders in
The Educational Setting From Science To Practice. Ed ke-2. San Diego, Ca: Singular
Publishing Group.
Beth Lyne. 2007. Students Who Are Hearing Impaired Can Benefit From New Technologies.
Technology for Hearing Impaired.
Brent Edwards. 2007. The Future of Hearing Aid Technology. Trends,in Ampuricalion Vol.
11, No. 1,31-45
Ciocci, S.R. 2002. Auditory Processing Disorders: An Overview http://www.ericec.org [14
Mac 2007].
Crandell, C.C. & Smaldino, J.J. 2000. Classroom Acoustics for Children With Normal
Hearing and With Hearing Impairment. Language-Speech and Hearing Services in
Schools 31: 362-370.
Crandell, C.C & Smaldino, J.J. 2002. Room Acoustics and Auditory Rehabilitation
Technology. Dlm. Katz J., Burkard R. F. & Medwetsky L. Handbook of Clinical
Audiology. Edisi Ke-5. Baltimore, Williams MD. & Wilkins.
Dawna, E.L. 2003. One Size Does Not Fit All: Rationale and Procedures For FM System
fitting. Proceedings of Phonak, The Hearing System.
Disarno, N.J., Schowalter, M. & Grassa, P. 2002. Classroom Amplification to Enhance
Students Performance. Teaching Exceptional Children 34(6):20-26.
Dood-Murphy, J. & Mamlin, N. 2002. Minimizing Hearing Loss in The Schools: What Every
Classroom Teacher Should Know. Preventing School Failure 46(2): 86-92.
Flexer, C. 2004. The Impact of Classroom Acoustic: Listening, Learning and Literacy.
Seminar in Hearing 25(2): 131-139.
Hardman, M.L., Drew, C.J. & Egan, M.W. 2006. Human Exceptionality School, Community
and Family. IDEA 2004 Update Edition, Pearson Allyn & Bacon.
Howarth, A. & Shone, G.R. 2006. Ageing and The Auditory System. Post Graduate Medical
Journal 82:166-171.
Jabatan Audiologi dan Sains Pertuturan. 2009. Penggunaan dan Penjagaan Alat Bantu
Pendengaran. Unit Audiologi, Hospital Universiti Kebangsaan Malaysia.
Jabatan Pendidikan Khas. 2009. Maklumat Pendidikan Khas. Pusat Bandar Damansara, Kuala
Lumpur.
Jan, A., Raymond, M. 2008. Improvement of Speech Recognition in Noise Using the Phonak
Wireless Personal FM Hearing System. Phonak Focus 28, The Hearing Systems.

Jean-Pierre Gagne. 2001. Audiovisual-FM System Is Found More Beneficial in Classroom


Than Auditory-only. The Hearing Journal Volume 54, Number 1.
Johnson, C.E. 2000. Childrens Phoneme Identification in Reverberation and Noise. Journal
of Speech Language and Hearing Research 43(1):141-157.
Julia Jantan & Siti Suhaila Samian. 2008. Audiologi dan Habilitasi Auditori. Open Universiti
Malaysia.
Katz, J., Burkard, R.F. & Medwetsky, L. 2002. Handbook of Clinical Audiology. Edisi Ke-5.
USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Kementerian Kesihatan Malaysia. 2009. Pusat Pentadbiran Kerajaan Persekutuan. Putrajaya,
Malaysia
Knecht, H., Nelson, P., Whitelaw, G. & Feth, L. 2002. Structural Varisbles and Their
Relationship to Background Noise Levels and Reverberation Times in Unoccupied
Classrooms. American Journal of Audiology 11: 65-71.
Linda Watson, Susan Gregory & Stephen Powers. 2001. Deaf and Hearing Impaired Pupils
in Mainstream Schools. David Fulton Publishers, London.
Margaret, I. Wallhagen. 2009. The Stigma of Hearing Loss. The Gerontological Society of
America.
Merren, G. Lubna Yellon, Suzanne, C. 2001. Speech-in-Noise Perception of Children Using
Cochlear Implants and FM Systems. The Australian And New Zealand Journal of
Audiology Volume 23
Nelson, P., Kohnert, K., Sabur, S. & Shaw, D. 2005. Classroom Noise and Children Learning
Through A Secong Language: Double Jeopardy? Language-Speech and Hearing
Services in Schools 36: 219-229.
NIDCD. 2009. What is a hearing aid? National Institute on Deafness and Other
Communication Disorders National Institutes of Health 31 Center Drive.
Rachel McArdle. 2004. Goals and Outcomes of FM Use by Adults. The Hearing Journal
Volume 57, Number 11.
Safani Bari. 2003. Penggunaan Alat Bantuan Pendengaran Di Kalangan Murid-murid
Bermasalah Pendengaran. Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Samantha, M.L. 2004. Speech Perception in Noise: Directional Microphones versus
Frequency Modulation (FM) Systems. Journal of the American Academy of Audiology
Volume 15, Number 6.
Sandra Abbott Gabbard. 2003. The Use of FM Technology for Infants and Young Children.
http://www.phonak.itcom_2003proceedings_chapter7.pdf
Sluari OaU'liuuse, Graham Naylor, Claus Elberling. 2003. Benefits From Hearing Aids in
Relation to The Interaction Between The User and The Environment Intertiational
Journal of Audiology 42: S77-S85.
Smaldino, J.J. & Crandell, C.C. 2000. Classroom Amplification Technology: Theory and
Practice. Languge-Speech and Hearing Services in Schools 31(4):371-374.
Smaldino, J.J. & Crandell, C.C. 2005. Speech Perception in The Classroom. Dlm. Crandell,
C.C., Smaldino, J.J. & Flexer, C. 2005. Sound-field FM Amplification: Applications
to Speech Perception and Classroom Acoustics Edisi Ke-2. Thomson Delmar
Learning.
Smith, J.D. 1998. Inclusion Schools for All Students. Wadsworth Publishing Company.
Smith, T.E.C., Polloway, E.A., Patton, J.R. & Dowdy, C.A. 2006. Teaching Students with
Special Needs In Inclusive Settings. IDEA 2004 Update Edition. Pearson.
Theresa Hnath Chisolm. 2003. FM Technology Use In Adults With Significant Hearing Loss
Part II: Outcomes http://www.phonak.itcom_2003proceedings_chapter13.pdf
Weihing, J. & Musiek, F.E. 2005. FM Systems as A Treatment For CAPD. The Hearing
Journal Volume 58:74, Number 10.

Sensitivitas Proprioseptic dalam Menggunakan Tongkat Beroda


pada Anak Tunanetra
Juang Sunanto
Pendidikan Luar Biasa, FIP UPI
Abstrak
Keterampilan mengontrol gerakan anggota tubuh melibatkan keterampilan persepsi
(perceptual skills) dan keterampilan motorik (motor skills). Pada saat anak tunanetra
menggunakan tongkat sebagai salah satu keterampilan orientasi dan mobilitas kedua
keterampilan tersebut sangat penting antara untuk mengontrol gerakan tongkat. Penelitian ini
bermaksud mempelajari peran sensitivitas propriosepsi untuk mengontrol gerakan tongkat
pada saat tongkat menyentuh rintangan melalui latihan tongkat beroda. Dengan single case
experimental design penelitian dilakukan pada 3 anak tunanetra berusia 8 10 tahun. Kubus
terbuat dari strereform dengan panjang sisi 10 cm digunakan sebagai rintangan. Ketika kubus
ini tertabrak oleh tongkat beroda akan bergeser tempatnya. Jarak pergeseran rintangan
sebagai indikator sensitivitas proprioseptic untuk mengontrol gerakan tongkat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas proprioseptic anak tunanetra dapat ditingkatkan
dengan latihan menggunakan tongkat beroda.
Kata Kunci: Sensitivitas proprioseptic, tongkat beroda, anak tunanetra
Pendahuluan
Akibat rusaknya indera penglihatan, orang tunanetra memiliki tiga keterbatasan
utama, yaitu (a) keterbatasan dalan hal luas dan variasi pengalaman, (b) keterbatasan dalam
bergerak, dan (c) keterbatasan dalam melakukan kontak dengan lingkungan (lowenfeld,
1973). Keterbatasan keterampilan bergerak pada orang tunanetra disebabkan bukan karena
ada gangguan pada kemampuan organ motorik itu sendiri melainkan lebih disebabkan karena
hambatan keterampilan persepsi yang terkait dengan hilangnya informasi visual.
Keterampilan bergerak atau berpindah tempat pada orang tunanetra ini disebut
keterampilan Orientasi dan Mobilitas (O&M). O&M adalah proses penggunaan indera untuk
menentukan posisi dan hubungan dirinya terhadap obyek-obyek yang berarti di lingkungan
dan mobilitas merupakan keterampilan bergerak atau berpindah dari suatu posisi ke posisi
lain yang diinginkan (Suterko dalam Lowenfeld, 1973). Pengertian ini menunjukkan bahwa
dalam keterampilan O&M mengandung dua keterampilan , yaitu keterampilan persepsi
(perceptual skills) dan keterampilan motorik (motor skills).

Sejalan dengan pengertian di atas, (Sleeuwenhoek, Boter, dan Vermeer, 1995)


menggambarkan hubungan antara keterampilan orientasi dan mobilitas dengan integrasi
sosial yang ditampilkan dalam model konsep (conseptual model) yang dapat diringkas
sebagai berikut.

Adanya kerusakan penglihatan berakibat pada keterampilan persepsi

(perceptual skills) dan keterampilan motorik (motor skills). Keterampilan persepsi merupakan
inti dari keterampilan orientasi sedangkan
keterampilan

keterampilan motorik merupakan inti dari

mobilitas. Selanjutnya keterampilan orientasi

dan mobilitas

akan

mempengaruhi penampilan (motor performance) seorang tunanetra dalam kegiatan seharihari dan pada gilirannya penampilan ini berdampak pada proses integrasi sosialnya (social
integration). Orientasi (orientation) merupakan aktivitas menerima (receiving), memproses
(processing), dan bereaksi (reacting) terhadap informasi yang datang dari lingkungan yang
diperlukan untuk berperilaku dan komunikasi. Mobilitas (mobility) merupakan kemampuan
untuk bergerak secara efektif dalam lingkungan dengan menggunakan alat bantu seperti
tongkat atau alat elektronik yang lain. Integrasi sosial (social ingration) merupakan hasil dari
kemampuan berpartisipasi dan membina hubungan sosial dengan orang lain.
Sedemikan pentingnya keterampilan O&M pada orang tunanetra, maka setiap
lembaga yang mendidik anak tunanetra, seperti sekolah dan panti rehabilitasi merasa perlu
memberikan program latiham O&M. Menurut ketentuan KTSP, pada kurikulum SLB, O&M
merupakan salah satu keterampilan khusus yang wajib diajarkan kepada siswa tunanetra.
Sedangkan pada semua panti rehabilitasi cacat netra di Departemen Sosial keterampilam
O&M juga diberikan secara khusus. Keterampilam O&M ini diberikan kepada setiap
lembaga yang mendidik anak tunanetra didasari pada asumsi bahwa O&M merupakan
keterampilan dasar yang melandasi kegiatan belajar anak tunanetra.
Menurut (Ferrel, 1979), kurikulum pengajaran OM, khususnya untuk anak-anak,
meliputi pengembangan motorik (motor development),keterampilan sensoris (sensory skills),
pengembangan konsep (concept develpment), dan keterampilan mobilitas (mobility skills).
Hill (1998) mengembangkan kurikulum formal OM bagi anak-anak prasekolah termasuk di
dalamnya adalah keterampilan menggunakan tongkat.

Sebelum mengajarkan keterampilan tongkat yang sebenarnya, para instruktur OM


telah menyadari bahwa nilai pengajaran teknik tongkat dapta diajarkan pada anak-anak
(prasekolah) dari usia dua sampai lima tahun (Proground dan Rosen, 1989).Mereka tidak
secara langsung mengajarkan

teknik tongkat tetapi memperkenalkan benda-benda yang

mempunyai fungsi mirip tongkat seperti misalnya keranjang dorong, hula hoops,tongkat

dengan bumper,atau tongkat beroda dan lain-lain. Benda benda ini sangat berguna untuk
memberikan keterampilan keterampilan sebelum menggunakan tongkat sebenarnya, antara
lain berfungsi membiasakan anak untuk merasakan ada tidaknya hambatan yang tersentuh,
merasakan permukaan yang berbeda-beda, menggunakan reflek untuk menghindari
hambatan, menggunakan reflek untuk mrenghindari agar bagian atas tongkat tidak menusuk
perut terlalu keras dan lain-lain.
Penelitian ini bermaksud untuk mempelajari penggunaan tongkat beroda dalam
meningkatkan sensivitas penggunaan reflek untuk menghindari agar ujung tongkat bagian
atas tidak mendorong bagian perut lebih keras ketika ujung tongkat menyentuh benda sebagai
hambatan. Dasar pemikiran yang melandasi penelitian ini antara lain bahwa keterampilan
teknik tongkat dalam OM memerlukan keterampilan motorik dan sensoris.Keterampilan
motorik ini misalnya diperlukan untuk mengayun tongkat ke kanan dan ke kiri secara teratur,
sedangkan keterampilan sensoris misalnya untuk mengenali berbagai perbedaan permukaan
yang disentuh ujung tongkat misalnya aspal, tanah, rumput, ubin,dan lain-lain.

Metode
Subyek.
Tiga anak tunanetra laki-laki, dua orang berusia 10 tahun dan seorang 8 tahun, duduk
di kelas dua sekolah dasar SLB, berpartisipasi sebagai subyek dalam penelitian ini. Dua anak
mengalami ketunanetraan sejak lahir dan satu anak sejak usia 6 bulan. Berdasarkan kajian
psikologi, ketunanetraan yang terjadi sebelum usia 5 tahun dipandang tidak tidak memiliki
pengalaman visual (visual experience). Ketiga subyek tidak memiliki kelainan lain selain
penglihatan. Berdasarkan pengamatan guru, ketiga subyek memiliki kecerdasan normal.
Semua subyek belum memiliki keterampilam menggunakan tongkat.

Tabel 1. Subyek Penelitian


Subyek Kelamin

Usia

Terjadi Tunanetra

S1

10 th

Sejak lahir

Kondisi
Penglihatan
Total

S2

10 th

Sejak lahir

Total

S3

8 th

6 bln

Total

Desain.
Penelitian ini dilakukan hanya pada 3 orang subyek dengan metode eksperimen, oleh
karena itu cocok menggunakan Single Case Experiemntal Design (Tawney dan Gast, 1984).
Sedangkan disain eksperimen yang digunakan adalah desain AB dengan prosedur
pengukuran variabel terikat (target behavior) beberapa kali pada fase baseline baru kemudian
diberikan perlakuan (intervention) dan pengukuran kembali pada fase intervensi.

Alat Penelitian
Sebuah tongkat yang terbuat dari kayu dengan panjang kurang lebih 80 cm atau
disesuaikan dengan tinggi badan subyek. Tongkat tersebut diberi roda yang terbuat dari
plastik dengan panjang as kira-kira 13 cm dipasang pada ujung tongkat sehingga tongkat
menyerupai huruf T (Fig.1a). Dengan cara ini, tongkat dirasakan oleh anak sebagai mainan
yang menarik minat anak untuk menggunakannya.
Kubus terbuat dari kertas stereoform dengan panjang sisi-sisinya 10 cm dengan berat
sekitar 10 gram digunakan sebagai hambatan. Jika anak menggunakan tongkat dan menabrak
rintangan ini, maka rintangan akan bergeser (pindah tempat). Jarak pergeseran rintangan ini
sangat tergantung seberapa kuat anak menabrak. Jika subyek belum memiliki reflek atau
sensitivitas propriceptic yang baik, ketika tongkat menabrak rintangan secara tiba-tiba
kekuatan dorongnya menjadi kuat dan rintangan bergeser lebih jauh.
Eksperimen dilakukan di halaman sekolah yang biasa digunakan untuk latihan
orientasi dan mobilitas. Pelaksanaan eksperimen disesuaikan dengan pelajaran orientasi
mobilitas di sekolah yang dikondisikan dalam situasi bermain. Dengan demikian, subyek
merasa senang melakukannya. Selain eksperimen berlangsung, peneliti didampingi oleh guru
orientasi mobilitas.

(a)

(b)

(c)
Fig. 1 Alat dan setting penelitian

Target Behavior (Variabel Terikat)


Protective reflek yaitu gerakan spontan subyek untuk mengendalikan tongkat beroda
ketika

menabrak atau menyentuh rintangan. Pada saat ujung ongkat menyentuh atau

menabrak rintangan,
Seberapa jauh

maka rintangan yang terbuat dari stereoform tersebut bergeser.

pergeseran benda ini sangat tergantung pada kekuatan

dan sensitivitas

proprioceptic subyek pada saat tongkat menabrak rintangan. Jika reflek atau sensitivitas
subyek baik, segera setelah ujung tongkat menyentuh rintangan, subyek subyek segera
mengontrolnya, sehingga tenaga dorong tongkat terhadap rintangan

relatif kecil dan

rintangan sedikit atau bahkan tidak bergeser. Jarak pergeseran rintangan (dalam cm) inilah
yang dijadikan indikator target behaviornya.

Pengukuran
Subyek diminta untuk berjalan menggunakan tongkat beroda pada ruang terbuka di
halaman sekolah dengan ukuran kira-kira 10x15 m. Dalam ruang tersebut tersebut diletakkan
antara 5 sampai dengan 10 rintangan (kubus stereoform) yang disusun secara acak sehingga
dimungkinkan subyek menabrak atau menyentuh beberapa rintangan (Fig. 1c). Rintangan
yang tersentuh atau tertabrak oleh tongkat dicatat jarak pergeserannya dari tempat semula
dalam satuan cm. Jarak pergeseran rintangan sangat tergantung pada kekuatan atau daya
dorong tongkat serta reflek pada tangan subyek segera setelah ujung tongkat menabrak
rintangan.

Selama fase base line, subyek diminta berjalan dari ujung satu ke ujung lain dalam
lokasi tersebut sebanyak 5 kali selama lima hari. Rata-rata jarak pergeseran rintangan dari
sejumlah rintangan yang tertabrak dihitung skor rata-ratanya.
Pada fase intervensi,

subyek diminta melakukan hal yang sama 1 hari dalam

seminggu selama pelajaran O&M. Selama fase intervensi ini, peneliti bersama para guru
OM memberikan respon serta bimbingan agar subyek berlatih meningkatkan sensitivitas
propriosepticnya untuk mengontrol gerakan tongkat pada saat menabrak rintangan. Ketika
menabrak rintangan, sunyek diminta agar pergeserannya sedikit mungkin. Kegiatan ini
dilakukan dalam suasana bermain dan diberikan penguatan dengan pujian verbal, misalnya
bagus atau bagus sekali ketika subyek berhasil tidak mendorong rintangan terlalu jauh.
Untuk menghindari kebosanan, tidak semua waktu pelajaran O&M digunakan untuk
eksperimen ini, tetapi juga diberikan materi lain selain latihan tongkat. Eksperimen ini
dilakukan selama 12 minggu, setiap latihan tongkat dilaksanakan selama 10 sampai 15 menit.
Pengukuran atau pencatatan data pada fase intervensi dilakukan 5 kali pada setiap akhir
latihan selama 12 minggu.
Hasil Penelitian
Pergeseran Rintangan (Cm)

15
12
9
6
3
0
0

10

12

14

16

Sesi (Minggu)

Fig. 2 Pergeseran rintangan pada fase baseline dan intervensi untuk Subyek 1
Pergeseran Rintangan (Cm)

15

12

0
0

10

Sesi (Minggu)

12

14

16

Pergeseran Rintangan (Cm)

Fig. 3 Pergeseran rintangan pada fase baseline dan intervensi untuk Subyek 2
15
12
9
6
3
0
0

10

12

14

16

Sesi (Minggu)

Fig. 4 Pergeseran rintangan pada fase baseline dan intervensi untuk Subyek 3
15
Pergeseran Rintangan (Cm)

Baseline
12

Intervensi

9
6
3
0
Subyek 1

Subyek 2

Subyek 3

Fig. 5 Rata-rata pergeseran rintangan pada fase baseline dan intervensi untuk
Subyek 1, 2, dan 3
Fig. 2 adalah pergeseran rintangan pada fase baseline dan intervensi untuk Subyek 1.
Pada fase baseline, pergeseran rintangan paling jauh 9 cm dan paling dekat 6 cm dengan
rata-rata 7.70 cm. Setelah intervensi diberikan, jarak pergeseran rintangan menurun menjadi 6
cm pada sesi pertama intervensi. Pada sesi berikutnya naik menjadi 8.2 cm, kemudian
cenderung menurun menjadi sampai sesi terakhir, kecuali pada sesi ke 10 , ke 11, ke 15 dan
ke 17. Secara umum, pergeseran rintangan pada fase intervensi menurun.
Berdasarkan analisis kecenderungan arah grafik, pergeseran rintangan pada fase
baseline dan fase intervensi menunjukkan arah menurun
Meskipun demikian,

secara variatif (tidak stabil).

tidak ada data yang overlap antara kedua fase. Perubahan level

pergeseran dari fase baseline pada sesi terakhir ke fase intervensi pada sesi pertama terjadi
penurunan 2 cm (8 ke 6 cm). Di samping itu, Fig. 4 untuk subyek 1. menunjukkan bahwa
terjadi perubahan rata-rata pergeseran rintangan yang menurun dari fase baseline ke fase
intervensi (7.70 ke 3.89). Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh intervensi terhadap
penurunan pergeseran rintangan.
Fig. 3 menggambarkan pergeseran rintangan pada fase baseline dan intervensi untuk
Subyek 2. Selama fase baseline, rata-rata jarak pergeseran rintangan sebesar 10.82 cm,
dengan rentang antara 9.2 dan 14 cm. Sedangkan pada fase intervensi diperoleh rata-rata
pergeseran rintangan 6.23 cm dengan rentang antara 2.5 dan 9 cm.
Berdasarkan analisis kecenderungan arah grafik, pada fase baseline dan intervensi
keduanya menurun secara variatif dan tidak ada data yang overlap. Perubahan level
pergeseran antara sesi terakhir fase baseline (11.4 cm) dengan sesi pertama pada fase
intervensi (9 cm) terjadi penurunan. Dan lagi, Fig. 4 untuk subyek 2 menunjukkan bahwa
rata-rata pergeseran rintangan pada fase intervensi lebih rendah dari pada fase baseline (10.82
dan 6.23). Hal ini mengindikasikan bahwa intervensi mempengaruhi penurunan pergeseran
rintangan.
Fig. 4 menggambarkan hasil penelitian untuk subyek 3. Pada fase baseline sebanyak
empat sesi, jarak pergeseran rintangan masing-masing 11, 13, 10, 8, dan 11.5 cm. Dengan
rata-rata 10.70 cm. Pada fase intervensi sebanyak dua belas sesi, pergeseran paling dekat 2.5
cm dan paling jauh 8.2 cm dengan rata-rata 4.58 cm.
Analisis kecenderungan arah grafik menunjukkan bahwa baik pada fase baseline
maupun fase intervensi menurun namun tidak ada data yang overlap. Dengan perubahan level
sebesar 5.5 cm (11.5 ke 6) untuk sesi terakhir fase baseline dan sesi pertama fase intervensi.
Hal ini menunjukkan adanya pengaruh intervensi tehadap penurunan jarak pergeseran
rintangan.
Fig. 5 menunjukkan perbandingan rata-rata pergeseran rintangan antara fase baseline
dan fase intervensi untuk tiga subyek. Data dari ketiga subyek memiliki pola yang sama
dimana rata-rata pergeseran pada fase intervensi lebih kecil dari pada fase baseline. Fakta ini,
secara umum dapat disimpulkan bahwa intervensi yang berupa latihan berjalan dengan
tongkat beroda dapat mempengaruhi sensitivitas propriseptic untuk mengontrol gerakan
tongkat.

Pembahasan
Keterampilan menggunakan tongkat melibatkan keterampilan persepsi (perceptual
skills) dan keterampilan motorik (motor skills). Keterampilan motorik berkaitan dengan
menggerakan tongkat, misalnya gerakan ke kanan dan ke kiri. Sedangkan keterampilan
persepsi berfungsi untuk merasakan bentuk dan sifat beragam benda, misalnya untuk
merasakan halus-kasar dan keras-lunak permukaan yang tersentuh oleh ujung tongkat.
Perbandingan rata-rata pergeseran rintangan pada fase baseline dan fase intervensi
untuk ke tiga subyek menunjukkan bahwa rata-rata pergeseran rintangan pada fase intervensi
lebih kecil daripada fase baseline. Data ini dapat dikaitkan dengan terjadinya sensitivitas
pengontrolan oleh propriosepsi dalam menggerakan tongkat pada saat tongkat menabrak
rintangan. Jarak pergeseran rintangan yang menurun dari sesi ke sesi khususunya pada fase
intervensi menunjukkan bahwa dengan latihan yang terus menerus (pembiasaan) subyek
mampu meningkatkan sensitivitasnya dalam mengontrol gerakan tongkat.
membenarkan prinsip bahwa dalam kegiatan motrik,
diperlukan

latihan

yang

kontinyu

untuk

Hal ini

seperti menggunakan tongkat,


mendapatkan

pembiasaan

(Mettler,1994;Palazesi,1986).
Eksperimen ini dilakukan pada siswa tunanetra yang berusia 8 dan 10 tahun dengan
hasil terjadi peningkatan dalam sensitivitas proprioseptic untuk mengontrol gerakan tongkat.
Hal ini mengindikasikan bahwa dasar-dasar keterampilan tongkat seperti kebiasaan
menggerakan tangan, merasakan berbagai permukaan menggunakan benda, penanaman rasa
percaya diri, dan lain-lain dapat diajarkan pada anak tunanetra sedini mungkin (Skellenger
dan Hill,1991;Bosbach,1998).

DAFTAR PUSTAKA
Bosbach,S.R. (1998). Precane Mobility Devices. Journal of Visual Impairment & Blindness.
82.338-339.
Ferrell,K.A. (1979). Orientation and Mobility for Preschool Children: What we have and
What We Need. Journal of Visual Impairment & Blindness. 73, .147-150.
Hill,E.W. Dan Dodson-Burk, B.(1998). An Orientation and Mobility for Families and Young
Children. New York: American Foundation for the Blind.
Lowenfeld,B. (ed.).(1973). The Visually Handicappep Child in School. New York:The John
Day Company.
Mettler,R. (1994). A Cognitive Bais for Teaching Cane Travel. Journal of Visual
Impairment & Blindness. 88, 338-356.
Palazesi,M.A. (1986). The Need for Motor Development Programs for Visually Impaired
Preschoolers. Journal of Visual Impairment & Blindness. 80, 573-576.
Pogrund,R.L. dan Rosen,S.J. (1989). The Preschool Blind Child Can Be a Cane User.
Journal of Visual Impairment & Blindness. 83, .431-438.

Skellenger, A. C. dan Hill,E.W.(1991). Current Practices and Conciderations Regarding


Long Cane Instruction with Preschool Children. Journal of Visual Impairment &
Blindness. 85, 101-104.
Sleeuwenhoek, H. C., Boter, R. D. , dan Vermeer, A. (1995). Perceptual-Motor Performance
and the Social Development of Visually Impaired Children. Journal of Visual Impairment
& Blindness. 89, 4, .359-367.

Pengajaran Tilawah al-Quran dalam Kalangan Kanak-Kanak Bermasalah Penglihatan


Khadijah Abdul Razak
Norshidah Mohamad Salleh
Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia
Pendahuluan
Al-Quran merupakan nama yang paling masyhur bagi kitab yang diturunkan oleh Allah
kepada Junjungan Besar Nabi Muhammad s.a.w. Umat Islam digalakkan membaca al-Quran
kerana dengan membaca al-Quran dapat mendatangkan rahmat serta manfaat kepada umat
Islam. Quran berasal daripada perkataan qaraa yang bermaksud bacaan. Perkataan alQuran itu merupakan kata nama terbitan yang bererti bahan yang dibaca. Ini selaras dengan
apa yang disebut dalam al-Quran Surah al-Qiyaamah 75:17 dan 18 yang bermaksud:
sesungguhnya mengumpulkan al-Quran (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami. Kerana
itu, jika kami telah membacanya, hendaklah kamu ikut bacaannya.
(Tafsir Pimpinan ar-Rahman 1998)
Mohd Ali Abu Bakar (1991) dan Haron Din (1992) berpendapat bahawa membaca alQuran adalah ibadah yang diberi pahala oleh Allah kepada pembacanya jika dibaca dengan
sebutan yang betul mengikut kaedah bacaan dan hukum tajwid. Oleh itu, mempelajari
membaca al-Quran perlu diterapkan dalam diri kanak-kanak semenjak awal usia mereka. Ini
bertepatan dengan pandangan Ibnu Khaldun (2000) dalam kitabnya Mukadimah menyatakan
bahawa al-Quran perlu dipelajari dan dibaca oleh kanak-kanak pada peringkat awal kerana
membaca al-Quran dapat menanamkan benih-benih keimanan ke dalam jiwa kanak-kanak.
Abdul Halim (1992) pula menjelaskan bahawa adalah menjadi satu tuntutan agama ke atas
setiap muslim agar membaca al-Quran dengan betul dari segi makhraj dan tajwidnya supaya
tidak terpesong maksud ayat-ayat suci yang dibaca. Pandangan ini dipersetujui oleh Mohd.
Yusuf (2000) yang menegaskan bahawa menurut falsafah pendidikan Islam, anak-anak yang
diajarkan al-Quran pada masa kecilnya memberi kesan yang mendalam dari segi akidah dan
pembentukan akhlaknya. Oleh itu, kemahiran membaca al-Quran perlu ditekankan kepada
kanak-kanak bermula daripada awal pendidikan sehingga ke peringkat yang lebih tinggi.
Kurikulum Baru Sekolah Rendah (KBSR) yang dilaksanakan pada tahun 1982 telah
menekankan dua bahagian yang penting dalam Pendidikan Islam iaitu Tilawah al-Quran dan
Ulum Syariah. Dalam bahagian Tilawah, penekanan diberikan kepada mengenal huruf-huruf
abjad berbaris, mengenal tanda bacaan, menghafaz surah-surah tertentu dan membaca ayatayat dari beberapa surah yang mudah (Zainal Abidin Abdul Kadir 1993). Dalam sukatan
pelajaran Pendidikan Islam ada dinyatakan bahawa objektif pengajaran membaca al-Quran
ialah supaya para pelajar dapat menghafaz beberapa ayat tertentu serta dapat menyebut ayatayat dengan betul mengikut hukum tajwid (Kementerian Pendidikan 1988). Oleh itu, untuk
mencapai objektif tersebut, guru bertanggungjawab menggunakan pelbagai kaedah dan
pendekatan serta melaksanakan pelbagai usaha untuk meningkatkan lagi mutu bacaan pelajar.

Kepentingan Pendidikan al-Quran


Perkataan al-Quran yang berasal daripada Qarain yang bererti pertalian kebenaran. AlQuran diambil dari kata sumber yang seerti dengan Qiraah bermaksud bacaan. Menurut asSabuni (1970), pengertian al-Quran dari segi istilah bermaksud firman Allah yang bersifat
Mujiz, diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. melalui Malaikat Jibrail a.s. ditulis ke
dalam mashaf dan disampaikan secara mutawatir. Pendidikan al-Quran bermula sejak wahyu
yang pertama diturunkan selama dua puluh tiga tahun yang berlangsung di Mekah dan
Madinah. Pendidikan al-Quran yang bermula dengan peristiwa di Gua Hira dengan
kedatangan malaikat Jibrail sebagai pendidik pertama untuk mengajar Rasulullah membaca.
Pendidikan ini berterusan pada zaman sahabat, tabii, seterusnya hingga kini dan hinggalah
hari kiamat.
Sewaktu al-Quran diturunkan pada empat belas abad yang lalu, di dunia sudah
terdapat banyak agama dan banyak kitab-kitab yang dianggap suci oleh pengikut-pengikutnya
di dunia ini. Namun al-Quran tetap diturunkan kepada umat akhir zaman kerana al-Quran
adalah kitab yang menjadi panduan bagi seluruh manusia amnya dan orang Islam khasnya
sehingga akhir zaman. Pendidikan yang sebenar melalui al-Quran akan berlaku apabila
manusia menguasai pembacaan ayat-ayat suci al-Quran dan menghayati segala ajarannya.
Bagi ahli pendidikan, segala kaedah pengajaran dan pembelajaran banyak dipaparkan di
dalam al-Quran. Ahli falsafah pula mengambil panduan daripada al-Quran sebagai asas
dalam dunia falsafahnya dalam usaha mendekatkan diri kepada Pencipta yang Maha Agung.
Ahli sains dan astronomi banyak mengkaji al-Quran dalam usaha mendalami ilmu-ilmu yang
tersirat dalam al-Quran. Pendidikan di dalam al-Quran merangkumi segenap bidang hidup
manusia.
Sesunguhnya pendidikan al-Quran menjurus kepada matlamat hidup manusia yang
unggul iaitu beribadat kepada Allah. Ini jelas daripada Firman Allah s.w.t dalam Surah azZariyat: 56 iaitu:
Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk
menyembah dan beribadat kepadaKu
(Tafsir Pimpinan ar-Rahman 1998)
Al-Qutb (1983) berpendapat bahawa kualiti insan yang soleh yang dikehendaki dalam
pendidikan al-Quran adalah manusia yang beriman kepada Allah dan membersihkan dirinya
daripada syirik dan manusia yang memiliki akhlak yang mulia adalah ibarat buah daripada
iman yang sahih dan amal yang soleh. Pendidikan al-Quran menurut Abdul Hayei Abdul
Shukur (1981) terbahagi kepada tiga bidang, iaitu pertama, akidah yang bertujuan untuk
membersihkan jiwa manusia daripada syirik, kedua, akhlak untuk mendidik manusia agar
bertanggungjawab terhadap tugasnya dan ketiga, hukum yang berkaitan hubungan manusia
sesama manusia dalam masyarakat.
Islam amat menggalakkan penganutnya membaca al-Quran kerana membaca al-Quran
dapat mendatangkan rahmat serta manfaat kepada umat Islam. Walau bagaimanapun
kesalahan dalam membaca al-Quran akan menyebabkan satu dosa kepada para pembaca. Ini
selaras dengan sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud:
Berapa ramai yang membaca al-Quran sedangkan al-Quran melaknatinya
Oleh itu al-Quran sepatutnya dibaca oleh Muslim dengan penuh tartil dan fasih sebutan setiap
kalimah dan ayat. Dengan itu, generasi muslim yang beriman dengan iman yang sahih dan
beramal dengan ilmu yang bemanfaat akan dapat dijana.

Strategi Pengajaran al-Quran


Penguasaan pembacaan al-Quran bukan sahaja berpunca daripada ketokohan guru bahkan
berpunca daripada kurikulum yang mantap serta disokong oleh strategi pengajaran yang
efektif. Strategi pengajaran yang baik dan berkesan akan dapat membantu murid
memperolehi ilmu, kemahiran, mengubah sikap dan tingkah laku murid serta dapat
menanamkan minat dan nilai-nilai yang diingini oleh guru. Terdapat pelbagai pendekatan dan
kaedah yang boleh digunakan oleh guru Pendidikan Islam untuk mengajar Tilawah al-Quran
sama ada kepada pelajar normal atau pelajar keperluan khas. Namun begitu, guru-guru
Pendidikan Islam tidak dapat lari daripada menggunakan kaedah yang asal iaitu mengikut
sunnah seperti yang dilakukan oleh Malaikat Jibril ketika menyampaikan wahyu kepada Nabi
Muhammad s.a.w. Kaedah ini kemudiannya diindoktrinasikan oleh Rasulullah kepada para
sahabat dan berkekalan hinggalah ke generasi kemudian (Abdullah 1995). Di antara kaedahkaedah pengajaran yang boleh dilaksanakan oleh guru Pendidikan Islam dalam mengajar
Tilawah al-Quran ialah:
a.
Kaedah Talaqqi dan Musyafahah
Talaqqi dan musyafahah bermaksud pengambilan bacaan al-Quran dari mulut ke mulut
(Norasikin et. al 2003). Kaedah ini merupakan kaedah tradisi yang memerlukan murid
berinteraksi secara bersemuka dan menerima bacaan secara langsung daripada guru (Mohd.
Yusof 2000; Rosseni et. al 2003). Ini bertepatan dengan firman Allah dalam surah alQiamah; ayat 16 19 yang bermaksud:
Janganlah engkau (wahai Muhamad) menggerakkan lidah kerana hendak
cepat membaca al-Quran. Sesungguhnya Kami akan menghimpunkannya
(dalam dadamu dan menetapkan bacaan di lidahmu). Maka apabila Kami
membacakannya (melalui Malaikat Jibril) maka hendaklah kamu ikut
membacanya. Kemudian sesungguhnya Kamilah yang akan menerangkan
maksudnya.
b.
Bacaan Murid
Bacaan murid boleh dilaksanakan dengan tiga cara. Pertama, setelah selesai bacaan guru,
semua murid hendaklah mengikut bacaan guru secara serentak. Kedua, bacaan secara
individu. Perlaksanaan kaedah ini ialah dengan murid membaca secara berseorangan dan
didengar dengan teliti oleh guru. Pada masa yang sama, guru meminta murid lain meneliti
bacaan rakan dan mereka diberi peluang untuk memperbetulkan bacaan yang salah. Cara
bacaan murid yang ketiga ialah bacaan secara kumpulan kecil. Guru boleh membahagikan
murid kepada beberapa kumpulan kecil mengikut kesesuaian suasana bilik darjah dan
bilangan murid. Murid akan membaca ayat-ayat al-Quran bersama-sama guru dan
kemudiannya membaca secara berkumpulan.
c.
Hafazan
Dalam sukatan pelajaran Tilawah al-Quran, hafazan merupakan satu proses mendidik murid
menghafaz ayat-ayat tertentu dalam al-Quran mengikut bacaan tadwir. Tilawah hafazan
bertujuan untuk melatih murid membaca dengan betul, fasih, mahir dan bertajwid serta untuk
memperkukuhkan minat dan amalan membaca al-Quran (Kementerian Pendidikan Malaysia
2002). Kekuatan kaedah hafazan ialah dapat mencungkil dan memperkembangkan potensi
serta daya ingatan murid. Kaedah ini juga mampu mengasah ketajaman minda murid kerana
kaedah ini merupakan suatu aktiviti pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan ingatan
secara langsung (Khadijah et. al 2003).

d.
Tasmi Hafazan (Mendengar Hafazan)
Tasmi hafazan merupakan salah satu kaedah pengajaran yang sesuai dilaksananakan oleh
guru Pendidikan Islam bagi pengukuhan ayat-ayat hafazan. Tasmi boleh dilaksanakan
dengan guru memberi tugasan menghafaz ayat-ayat tertentu di bilik darjah, atau di luar waktu
persekolahan.
Selain daripada kaedah-kaedah yang dinyatakan di atas terdapat pelbagai lagi kaedah
yang boleh diimplimentasikan oleh guru Pendidikan Islam untuk menarik minat murid
normal menguasai dan mendalami al-Quran. Contohnya penggunaan alat-alat teknologi
seperti penggunaan komputer dan perisian multimedia memungkinkan pengajaran dan
pembelajaran al-Quran lebih menarik dan berkesan. Namun begitu, guru Pendidikan Islam
tidak boleh mengabaikan dua prinsip asas dalam melaksanakan strategi pengajaran iaitu yang
pertama, perancangan kaedah pengajaran yang bersesuaian dengan objektif yang ingin
dicapai, tajuk isi kandungan serta keperluan pembelajaran murid. Kedua ialah kepelbagaian
dan pengubahsuaian kaedah yang dipilih sesuai dengan konteks keperluan murid dan situasi
pengajaran dan pembelajaran di bilik darjah (Norshidah et.al 2004).
Kurikulum dan Strategi Pengajaran Untuk Murid Bermasalah Penglihatan
Sistem pendidikan di Malaysia merangkumi perkhidmatan pendidikan yang disediakan untuk
murid-murid keperluan khas. Akta Pendidikan 1996 (1998) menggariskan peraturanperaturan pendidikan yang disediakan untuk murid-murid keperluan khas yang terdiri
daripada murid-murid yang mengalami masalah penglihatan, masalah pendengaran dan
masalah pembelajaran. Bagi murid yang dikategorikan mengalami masalah penglihatan,
program pendidikan yang disediakan untuk mereka ialah di sekolah-sekolah pendidikan khas
dan program percantuman di sekolah-sekolah biasa.
Murid-murid bermasalah penglihatan yang ditempatkan di sekolah-sekolah
pendidikan khas dan sekolah-sekolah biasa yang menjalankan program percantuman,
menjalani pembelajaran sama seperti mana murid-murid yang lain. Kurikulum yang sama
digunapakai untuk murid bermasalah penglihatan. Namun begitu, pengubahsuaian terhadap
Kurikulum Kebangsaan perlu dilakukan untuk memenuhi keperluan khas mereka (Norshidah
Mohd. Salleh 2009: 239). Pengubahsuaian kurikulum untuk semua murid keperluan khas
adalah berdasarkan peraturan-peruturan dalam Akta Pendidikan 1996 (1998) yang
menyatakan:
Dalam melaksanakan kurikulum pendidikan khas, guru-guru boleh
mengubahsuai kaedah atau teknik pengajaran atau pembelajaran, masa
bagi aktiviti dan susunan aktiviti, mata pe;ajaran dan bahan bantu
mengajar bagi mencapai tujuan dan matlamat pendidikan khas.
Mengikut Ashman & Elkins (1998), murid bermasalah penglihatan tidak memerlukan
kurikulum yang khusus dan mereka berkeupayaan belajar bersama-sama dengan murid-murid
tipikal sekiranya dilakukan sedikit modifikasi terhadap kurikulum yang digunakan. Batasan
yang disebabkan ketidakupayaan penglihatan yang dihadapi oleh murid bermasalah
penglihatan boleh diatasi dengan menggunakan bahan dan alatan yang berbeza atau yang
telah dimodifikasi. Ini membolehkan mereka dapat belajar melalui deria yang lain seperti
pendengaran dan sentuhan.
Bagi tujuan pendidikan, kanak-kanak yang mengalami masalah penglihatan
dibahagikan kepada dua kategori iaitu buta dan berpenglihatan terhad atau rabun. Bagi

kategori buta atau tiada penglihatan langsung, pengajaran dan pembelajaran dijalankan
dengan menggunakan braille. Selain menggunakan kod-kod braille piawai yang digunakan di
peringkat antarabangsa, Kementerian Pendidikan Malaysia telah mengorak langkah
memperkenalkan kod braille Bahasa Melayu dan kod Braille al-Quran. Pengenalan dan
penggunaan kedua-dua kod braille tersebut adalah bertujuan memudahkan murid bermasalah
penglihatan menguasai Bahasa Melayu dan bacaan al-Quran setanding dengan murid-murid
yang lain.
Pendekatan Pengajaran al-Quran untuk Murid Bermasalah Penglihatan
Keperluan pengajaran dan pembelajaran Pendidikan Islam sama ada di peringkat rendah
mahu pun menengah tidak membezakan di antara pelajar biasa dengan pelajar berkeperluan
khas. Modifikasi terhadap kurikulum dari segi kaedah pengajaran dan pembelajaran, teknik,
masa, mata pelajaran dan bahan bantu mengajar dalam mencapai objektif dan tujuan
pendidikan khas (Akta Pendidikan 1998) perlu dilakukan oleh guru mata pelajaran.
Modifikasi terhadap kaedah pengajaran tilawah al-Quran untuk murid bermasalah
penglihatan perlu dilakukan untuk membolehkan mereka membaca al-Quran dengan betul
iaitu berdasarkan rasm Uthmani. Terdapat beberapa kaedah pengajaran al-Quran boleh
dilaksanakan oleh guru khususnya dalam mengajar al-Quran kepada kanak-kanak bermasalah
penglihatan. Antaranya ialah:
a)
Kod Braille al-Quran
Bagi memenuhi tuntutan pengajaran dan pembelajaran tilawah al-Quran untuk kanak-kanak
yang menghadapi masalah penglihatan, Unit Pendidikan Khas, Bahagian Sekolah,
Kementerian Pendidikan Malaysia (sebelum tertubuhnya Jabatan Pendidikan Khas pada
Oktober 1995) dipertanggungjawab bagi menyediakan kod braille al-Quran dengan
mengembangkan sistem kod braille sedia ada. Kod braille al-Quran dapat membantu muridmurid yang bermasalah penglihatan membaca serta menyalin ayat-ayat al-Quran ke dalam
bentuk braille dengan cepat, ringkas, betul dan tepat.
Tujuan dan tumpuan sistem Kod Braille bacaan al-Quran ini adalah untuk memberi
kemudahan membaca dengan sempurna, cepat, lancar dan teratur. Ia dapat menjimatkan masa
membaca dan ruang semasa membaca dan menulis, mengurangkan bilangan jilid bagi
menyalin keseluruhan al-Quran dan mengurangkan penggunaan bahan, ruang penyimpanan,
mudah dibawa serta mengurangkan belanja.
Bagi memastikan tidak wujudnya sesuatu kelainan antara pengguna biasa al-Quran
dengan pengguna bermasalah penglihatan menggunakan versi braille, istilah-istilah yang
digunakan diselaraskan dan disamakan. Contohnya simbol-simbol harakah dan huruf
(www.moe.gov.my/braile.htm).
b)
Kaedah Ulangan Bacaan
Selain hafazan, kaedah ulangan bacaan juga mampu membantu kanak-kanak bermasalah
penglihatan mengingati semula ayat yang telah dipelajari. Namun kaedah ini akan
menimbulkan kebosanan jika terlalu kerap digunakan. Oleh itu, guru perlu mengambil kira
kekerapan penggunaannya.
Kajian Kes Pengajaran Tilawah al-Quran dalam kalangan Kanak-Kanak Bermasalah
Penglihatan.

Memandangkan kepentingan penguasaan membaca al-Quran dalam kehidupan Muslim,


kajian perlu dijalankan bagi mengenal pasti bagaimana murid bermasalah penglihatan
mempelajari kemahiran membaca al-Quran. Berikut adalah carikan kajian yang dijalankan
oleh Khadijah, Norshidah dan Norani (2005) tentang pengajaran al-Quran dalam kalangan
kanak-kanak bermasalah penglihatan. Kajian ini juga berkepentingan dalam mengkaji
masalah yang dihadapi oleh guru Pendidikan Islam dalam melaksanakan pengajaran dan
pembelajaran al-Quran untuk murid bermasalah penglihatan. Justeru, kajian ini diharapkan
dapat memberi maklumat kepada pihak yang berkepentingan dalam mengenal pasti keperluan
murid bermasalah penglihatan yang perlu diambil perhatian dan dipenuhi dalam
meningkatkan tahap penguasaan kemahiran membaca al-Quran.
a.
Tujuan Kajian
Kajian ini dijalankan dengan tujuan untuk meninjau bagaimana pengajaran membaca alQuran dilaksanakan dalam kalangan murid bermasalah penglihatan. Kajian ini dilaksanakan
dengan berpandukan persoalan kajian seperti berikut:
1) Bagaimanakah pengajaran dan pembelajaran al-Quran dilaksanakan dalam kalangan
murid bermasalah penglihatan?
2) Apakah kaedah yang berkesan dalam pengajaran al-Quran?
3) Apakah masalah yang dihadapi oleh guru-guru Pendidikan Islam dalam pengajaran alQuran untuk murid bermasalah penglihatan?
4) Apakah cadangan guru Pendidikan Islam untuk meningkatkan tahap penguasaan
kemahiran membaca al-Quran dalam kalangan murid bermasalah penglihatan?
b.
Reka bentuk kajian
Kajian ini adalah satu tinjauan awal yang bertujuan untuk mengkaji pengajaran Tilawah alQuran dalam kalangan kanak-kanak bermasalah penglihatan. Kajian ini adalah kajian
kualitatif yang menggunakan kaedah kajian kes. Menurut Marohaini (2001), kaedah kajian
kes yang mampu mewujudkan batasan dari skop, masa, peserta kajian dan tempat dapat
memungkinkan sesebuah kajian dijalankan secara mendalam dan menyeluruh.
i.
Lokasi Kajian
Mengikut Spradley (1980), penyelidik bagi sesuatu kajian mempunyai alasan yang berbeza
dalam memilih tempat kajian. Nueman (1997: 351) mencadangkan tiga faktor untuk
dipertimbangkan dalam pemilihan tempat kajian iaitu richness of data, unfamiliarity and
suitability. Sebagaimana yang telah dinyatakan, kajian ini bertujuan untuk mengenal pasti
pelaksanaan pengajaran al-Quran dilaksanakan dalam kalangan kanak-kanak bermasalah
penglihatan. Untuk memenuhi keperluan pengumpulan data kajian, sebuah sekolah
pendidikan khas untuk kanak-kanak bermasalah penglihatan (SKPK) telah dipilih sebagai
tempat kajian. Di Malaysia terdapat hanya enam buah sekolah pendidikan khas untuk kanakkanak bermasalah penglihatan. Empat buah di Semenanjung dan dua buah sekolah lagi di
Malaysia Timur. Penyelidik telah memilih salah sebuah sekolah pendidikan khas sahaja
untuk memudahkan kajian dijalankan.
ii.
Sampel Kajian
Kajin ini menggunakan persampelan bertujuan (purposive sampling) dalam menentukan
peserta kajian. Peserta kajian yang dipilih untuk tujuan pengumpulan data terdiri daripada
guru PI (Pendidikan Islam). Dua kriteria telah digunakan untuk pemilihan peserta. Kriteria
pertama ialah individu yang terpilih sebagai peserta perlu terdiri daripada guru Pendidikan
Islam yang mengajar kanak-kanak bermasalah penglihatan. Guru-guru ini perlu mempunyai
kelulusan sama ada sijil atau diploma perguruan dalam bidang Pendidikan Islam. Di SKPK

kajian ini dijalankan, terdapat hanya hanya dua orang guru PI dan kedua-duanya memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan.
iii.
Kutipan dan Analisis Data
Dalam kajian ini, teknik temu bual telah digunakan untuk menghasilkan seberapa banyak
data deskriptif bagi mendapatkan gambaran yang holistik tentang pengajaran al-Quran di
SKPK. Menurut Merriam (1998), dalam sesebuah kajian kualitatif, cara yang lazim
digunakan untuk mengutip data deskriptif adalah melalui temu bual. Kelebihan dan
kerasionalan teknik ini digunakan ialah kerana temu bual boleh disifatkan sebagai saluran
kepada penyelidik untuk mendekati dunia peserta dan memahami apa sebenarnya yang
dialami dan difikirkan oleh mereka (Patton 1980). Perkara ini penting bagi kajian ini
memandangkan tujuan kajian adalah untuk memahami pengajaran al-Quran berdasarkan
pengalaman dan persepsi guru tersebut.
Penggunaan teknik temu bual juga membolehkan penyelidik mengumpul pendapat,
pemikiran, pandangan dan pengalaman dalam bentuk pernyataan langsung daripada peserta
kajian. Rakaman dijalankan bagi setiap sesi temu bual dengan menggunakan perakam suara
untuk mengumpulkan maklumat dan data berdasarkan cadangan Bogdan dan Biklen (1992:
128) when a study involves extensive interviewing or when interview is the major technique
in the study, we recommend using a tape recorder. Teknik temu bual juga digunakan kerana
ia merupakan satu cara yang cepat untuk mendapatkan maklumat yang banyak dalam satu
masa yang singkat (Merriam 1998). Temu bual separa struktur digunakan dalam kajian ini
untuk mendapatkan maklumat berkaitan pengajaran Tilawah al-Quran, masalah yang
dihadapi oleh guru serta cadangan guru untuk meningkatkan tahap penguasaan kemahiran
membaca al-Quran dalam kalangan murid bermasalah penglihatan. Satu protokol temu bual
berdasarkan persoalan kajian disediakan sebagai satu garis panduan. Mengikut Merriam
(1998), penggunaan protokol temu bual dapat menambahkan keyakinan dan pengalaman
seorang penyelidik novis dalam mengendalikan sesuatu temu bual.
Temubual dengan peserta kajian dijalankan secara individu setelah temu janji dibuat.
Temu bual mengambil masa antara 30 40 minit sahaja disebabkan kekangan waktu
pengajaran guru. Rakaman temu bual daripada pita rakaman dipindahkan kepada tulisan dan
dikelompok-kelompokkan mengikut tema. Pembentukan tema adalah berasaskan kepada
persoalan kajian. Proses analisis data dalam kajian ini melibatkan tiga tugas iaitu trankripsi
data, memahami data dan menghasilkan kategori dan tema yang muncul daripada data.
c.

Dapatan Kajian
Berdasarkan kepada data yang telah dirakam dan dianalisa, terdapat empat tema utama
iaitu pertama, pelaksanaan pengajaran al-Quran dengan menggunakan pelbagai kaedah
pengajaran. Kedua, kaedah pengajaran yang kerap digunakan oleh guru di bilik darjah.
Ketiga ialah, masalah yang dihadapi oleh guru ketika mengajar al-Quran kepada kanakkanak bermasalah penglihatan dan keempat ialah cadangan yang diutarakan oleh guru
untuk mempertingkatkan kemahiran bacaan al-Quran dalam kalangan murid bermasalah
penlihatan. Berikut adalah perbincangan lanjut dapatan kajian.

i.
Latar Belakang Guru
Kajian ini merupakan kajian kes yang melibatkan dua orang guru Pendidikan Islam di
SKPK. Daripada temu bual yang dijalankan didapati guru pertama (GP) adalah guru
perempuan yang mempunyai kelayakan ikhtisas dalam Pendidikan Islam. Beliau telah
mengajar di SKPK selama tiga tahun. Walaupun di tempatkan di sekolah pendidikan khas,

GP sebenarnya tidak mempunyai pengkhususan dalam bidang masalah penglihatan. Malahan


beliau tidak pernah mengikuti kursus berkaitan penggunaan kod Braille al-Quran. Menurut
beliau Braille al-Quran tak pernah belajar, tak ada kursus mana-mana dihantar (GP70).
Oleh itu, GP agak kurang mahir dalam menguasai kod braille al-Quran. Beliau menjelaskan
saya dari segi tu yang baris ka, apa ka, kurang lagi la... (GP- 81).
Guru kedua (GL) pula merupakan seorang guru lelaki yang telah ditempatkan di
SKPK sejak tahun 1999. GL merupakan guru yang mempunyai masalah penglihatan iaitu
seorang guru buta. GL mempunyai kelayakan ikhtisas dalam bidang Pendidikan Islam dan
bahasa Arab. Seperti mana GP, GL juga tidak mempunyai kelayakan ikhtisas dalam bidang
pendidikan khas. Namun situasi dirinya yang mengalami masalah penglihatan dan juga hasil
daripada kusus-kursus yang diikuti menyebabkan beliau dapat menguasai kod braille alQuran. Bahkan adakalanya beliau turut menjadi fasilitator secara tidak rasmi dalam sesuatu
kursus kerana kemahiran yang dimiliki oleh beliau. Menurut beliau ...sepanjang tahun ada
tiga kali dan ketiga-tiganya saya dijemput untuk jadi fasilitator tapi secara tidak rasmi sebab
surat jemputan tu sebagai peserta, tapi orang lain tak tahu, saya je yang tahu (GL - 143147).
ii. Pelaksanaan Pengajaran al-Quran dalam Kalangan Murid Bermasalah Penglihatan
Hasil kajian menunjukkan bahawa guru Pendidikan Islam di SKPK menggunakan pelbagai
kaedah dalam pengajaran Tilawah al-Quran untuk murid bermasalah penglihatan. Walau
bagaimanapun adakalanya penggunaan kaedah tersebut dilakukan dengan membuat
pengubahsuaian bergantung kepada kemampuan murid ...tulah saya ubahsuai ikut
kemampuan murid la (GL-135). Namun begitu guru masih menitikberatkan pembacaan alQuran yang betul dan mengikut hukum tajwid. Guru akan memperbetulkan bacaan murid
yang salah dari sudut makhraj dan tajwid. Seperti mana yang dinyatakan oleh GP-18 ...kita
dengar bacaan betul atau tidak, tegur kalau salah.
Kaedah pengajaran yang digunakan oleh guru-guru tersebut di dalam pengajaran al-Quran
adalah seperti berikut:
a. Braille al-Quran
macam dua orang tu la, kita dah bagi yang Braille Muqaddam, maknanya kita bagi ayat
mana, kita suruh dia rasa, maknanya selain dia hafal dia merasa (GP-37)
jadi saya gunakan Braille dan kaset (GL-30)
b. Pita Perakam (Kaset)
Kaset bacaan al-Quran yang digunakan oleh guru mengandungi surah-surah yang terdapat
dalam sukatan pelajaran. Guru menjelaskan pengajaran adakalanya dilakukan dengan
menggunakan pita rakaman ... dengar pita rakaman (GP-4). Pita rakaman ini sama ada
dibeli sepertimana yang dilakukan oleh GP kita beli di kedai (GP-11) atau dirakamkan
sendiri oleh guru seperti yang dinyatakan oleh GL; apabila disoal berkaitan bagaimana
dia mendapat pita rakaman tersebut saya sendiri. (GL- 241).
c. Talaqqi musyafahah
Guru juga menggunakan kaedah yang telah dipelopori oleh Rasulullah ketika mengajar
al-Quran kepada para sahabat. Kaedah ini dilaksanakan dengan guru memperdengarkan
bacaan contoh dan kemudiannya diikuti bacaan murid. Menurut guru masa bacaan kita
guna kaedah talaqqi musyafahah (GP-3).

d. Hafazan
Kaedah hafazan turut digunakan oleh guru. Namun kaedah ini pada kebiasannya
digunakan apabila murid telah menguasai kemahiran dengan membaca ayat secara lancar.
GL menyatakan lepas dah lancar bacaan dan betul tajwid barulah hafazan (GL-34).
e. Bacaan senyap dan diikuti bacaan beramai-ramai
Menurut GL, secara keseluruhan beliau menggunakan empat pendekatan untuk mengajar
al-Quran. Pendekatan pertama yang diambil ialah bacaan secara senyap oleh pelajar dan
diikuti dengan bacaan kuat secara beramai-ramai(GL-7).
f. Bacaan tasmi
Bacaan tasmi merujuk kepada keadaan di mana murid memperdengarkan bacaan
sementara guru mendengar dan membetulkan bacaan yang salah. Kata GL-9 lepas tu
bacaan untuk tasmik iaitu diperdengarkan kepada guru.
g. Kaedah Iqra
Kaedah ini biasanya digunakan oleh guru Pendidikan Islam untuk pelajar yang berada
pada tahap satu. Seperti mana penjelasan GP- 96 macam saya mengajar tahun satu kan
ada Iqra dan GL berbeza sikit untuk tahap satu, dia perlu latihan membaca yang lebih
jadi saya guna Iqra (GL- 133).
h. Latih tubi
Kaedah latih tubi digunakan oleh guru terutamanya untuk murid menguasai sebutan
kalimah al-Quran. Ini dijelaskan oleh GP-123 Kelas tu, latih tubi sebut perkataan
iii.
Kaedah yang Paling Berkesan dalam Pengajaran al-Quran
Dapatan kajian menunjukkan bahawa bersesuaian dengan keadaan murid yang mengalami
masalah penglihatan, menggunakan pita rakaman merupakan kaedah yang paling berkesan
dalam mengajar Tilawah al-Quran. GL menjelaskan dengar melalui kaset, sebab ramai
yang saya jumpa yang boleh belajar ni ingatan dia baik (GL-231). GP turut menyatakan
bahawa macam bagi tape la, bagi suruh diorang dengar kat rumah dulu ka, biasanya
mendengar la, dari segi baca susah juga, biasanya tapelah (GP-119)
iv.

Masalah yang Dihadapi oleh Guru-guru Pendidikan Islam dalam Pengajaran Tilawah
al-Quran
Hasil kajian menunjukkan terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh guru-guru dalam
pengajaran Tilawah al-Quran untuk murid bermasalah penglihatan. Dua masalah utama yang
dihadapi ialah; pertama, masalah berkaitan dengan murid iaitu murid tidak mahir kod braille
al-Quran. Dapatan kajian mendapati kedua-dua guru Pendidikan Islam berpendapat bahawa
masalah utama yang dihadapi oleh mereka dalam mengajar al-Quran ialah murid yang lemah
dalam pencapaian akademik sukar untuk menguasai pelajaran apatah lagi menghafal kod-kod
braille al-Quran. Seperti yang dijelaskan oleh GP-105) Mudah lupa la dan GL-186 sebab
murid yang tak dapat ni memang murid yang agak slowlah, sebab bukan sekadar dia tak
dapat baca Quran Braille, tapi contraction Braille untuk Bahasa Melayu dan Bahasa
Inggeris pun dia tak dapat. Pada pandangan guru, murid yang baik pencapaian akademik,
tidak mempunyai masalah untuk menguasai kod braille al-Quran. Contohnya seorang murid
tahun 4 yang telah menjadi wakil sekolah untuk pertandingan tilawah peringkat Wilayah
(GL-200).

Masalah kedua pula ialah masalah yang dihadapi oleh guru di mana salah seorang
guru tidak mahir dalam kod braille al-Quran. Oleh itu guru terpaksa menggunakan
pendekatan pengajaran yang lain untuk murid yang buta. Dapatan kajian juga menunjukakan
pada pandangan guru masa pengajaran Tilawah al-Quran satu kali seminggu tidak
mencukupi. Tanpa menghadiri kelas tambahan Tilawah al-Quran pada waktu petang atau
malam, murid kurang mahir menguasai dan membaca al-Quran braille. Menurut GL-81
Setakat ni memang boleh buat hanya waktu sekolah saja, sebab sekolah bukan sekolah
asrama, bukan macam sekolah asram. Sini bukan asrama, jadi lunch hour tulah parents
berkejar-kejar untuk ambil anak dia, bawa balik, ada yang bawa balik ke office petang, untuk
balik sama parentla. Jadi macam ada masalah, bukan setakat nak ada kelas petang, aktiviti
kokurikulum pun bermasalah. Keadaan ini menimbulkan masalah kepada guru kerana
pengajaran dan pembelajaran Tilawah al-Quran tidak dapat dijalankan mengikut perancangan
dan sukatan pelajaran tidak dapat dihabiskan Kalau ikut masa tilawah yang ditetapkan,
memang rasa tak cukup. Nak habis silibus lagi (GP-108).
Selain itu, kedua-dua peserta kajian turut menyuarakan bahawa mereka turut
menghadapi masalah ketiadaan teks ayat-ayat al-Quran di dalam kod Braille al-Quran di
sekolah. Untuk mengajar dengan menggunakan kod braille, guru terpaksa menyediakan teks
ayat atas inisiatif sendiri. GP menjelaskan bahawa terpaksa buat Braille sendiri. sekolah
tak sedia kan Iqra, macam Muqaddam pun ustaz buat sendiri (GP-96).
v.

Cadangan Guru-Guru Pendidikan Islam untuk Meningkatkan Tahap Penguasaan


Kemahiran Membaca al-Quran

Walaupun menghadapi pelbagai cabaran dalam pengajaran Tilawah al-Quran untuk murid
bermasalah penglihatan, namun guru turut memberikan cadangan agar tahap penguasaan
kemahiran membaca al-Quran dalam kalangan murid bermasalah penglihatan dapat
ditingkatkan. Antara cadangan yang dikemukakan oleh guru-guru tersebut ialah:
a. Guru-guru Pendidikan Islam yang mengajar murid keperluan khas perlu
mendapatkan latihan dalam bidang pendidikan khas. Tanpa latihan dalam bidang
pendidikan khas guru-guru menghadapi kesulitan dalam memenuhi keperluan
pembelajaran murid keperluan khas.
menambahkan lagi guru Pendidikan Islam dan Pendidikan Khas, maknanya
kombinasi untuk Pendidikan Islam dan Pendidikan Khas tak ada, menyebabkan
guru-guru Pendidikan Islam yang dihantar ke Sekolah Khas memang langsung
tak tahu Braille, tak tahu Pendidikan Khas (GL-263)
b. Menempatkan murid bermasalah penglihatan di sekolah-sekolah pendidikan khas
atau sekolah berasrama supaya kelas pengajian al-Quran dapat dijalankan selepas
waktu sekolah iaitu pada waktu petang ataupun malam.
sekolah asrama untuk murid-murid yang cacat penglihatan, sebab murid yang
cacat penglihatan perlukan masa pembelajaran yang lebih dibandingkan dengan
orang yang nampak, jadi kalau ada asrama, bimbingan dan latihan dapat
memajukan murid-murid la (GL-293).
c. Memberi peluang kepada murid bermasalah penglihatan yang mempunyai
kecenderungan untuk meneruskan pengajian dalam aliran agama di peringkat
sekolah menengah memasuki sekolah menengah agama.
adakan aliran agama untuk sekolah khas, macam sekolah biasa (GL-284)

d.
Perbincangan Kajian Kes
i.
Kaedah Pengajaran al-Quran
Dapatan kajian menunjukkkan bahawa guru Pendidikan Islam di sekolah pendidikan khas
masalah penglihatan menggunakan pelbagai kaedah dan pendekatan dalam menyampaikan
pengajaran al-Quran di bilik darjah. Kaedah pengajaran yang digunakan dipelbagaikan dan
digabungkan mengikut keperluan dan kesesuaian pelajar serta bertujuan untuk menarik minat
murid terhadap pengajaran guru. Antara kaedah yang digunakan oleh guru ialah kod braille
al-Quran, pita rakaman bacaan qari, hafazan, tasmi dan bacaan senyap.
Kajian ini bertepatan dengan kajian oleh Ab. Halim dan rakan-rakan (2004).
Walaupun kajian Ab Halim dijalankan di sekolah menengah biasa, namun dapatan
menunjukkan bahawa guru Pendidikan Islam turut menggunakan pelbagai kaedah dalam
mengajar Tilawah al-Quran. Empat kaedah yang sering digunakan oleh guru-guru dalam
pengajaran Tilawah al-Quran ialah kaedah kuliah (min 3.04), diikuti kaedah Tasmi (min
3.03), kaedah bacaan beramai-ramai (min 2.99) dan kaedah latih tubi (min 2.88). Selain itu,
kajian Ab Halim et. al turut mendapati guru-guru Pendidikan Islam juga menggunakan
kaedah-kaedah lain seperti perbincangan, kaedah Talaqqi dan Musyafahah serta kaedah
Halaqah dan Tadarus.
ii.
Kaedah Paling Berkesan dalam Pengajaran al-Quran
Dapatan kajian ini juga menunjukkan bahawa pada pandangan guru, penggunaan pita
rakaman merupakan kaedah paling efektif dan berkesan dalam pengajaran al-Quran kepada
kanak-kanak bermasalah penglihatan. Warren (1989) berpendapat apabila hilangnya deria
penglihatan, secara automatik deria-deria yang lain seperti deria pendengaran dan deria
sentuhan menjadi lebih kuat dan berkesan kerana selalu digunakan. Oleh yang demikian,
kaedah memperdengarkan bacaan qari dengan menggunakan pita rakaman merupakan kaedah
yang sangat berkesan dalam pengajaran Tilawah al-Quran untuk murid bermasalah
penglihatan. Selain itu, dengan menggunakan pita rakaman, murid dapat membuat ulang kaji
pelajaran di rumah tanpa bergantung kepada guru semata-mata. Melalui pita rakaman yang
memperdengarkan bacaan ayat-ayat al-Quran dan kaedah hafazan dapat membantu muridmurid bermasalah penglihatan untuk menguasai kemahiran membaca al-Quran.
iii.
Masalah yang dihadapi oleh guru
Kajian ini mendapati guru-guru Pendidikan Islam di SKPK hadapan dengan pelbagai masalah
terutamanya terdapat guru yang tidak pernah mengikuti sebarang kursus berkaitan dengan
pendidikan khas dan kurang mahir membaca Braille. Di antara masalah-masalah yang
diutarakan oleh guru-guru tersebut ialah:
a)
Guru tidak mahir membaca al-Quran Braille. Sukar untuk mengajar murid yang
buta untuk membaca al-Quran dan terpaksa menggunakan pendekatan yang lain.
b)
Masa untuk pengajaran Pendidikan Islam bagi murid bermasalah penglihatan
adalah tidak mencukupi berbanding dengan murid biasa.
c)
Tiada teks / al-Quran Braille di beberapa buah sekolah, sukar untuk guru dan
murid mendapatkan teks yang berkaitan untuk rujukan.
Kajian menunjukkan bahawa dalam kalangan guru-guru Pendidikan Islam yang
mengajar murid bermasalah penglihatan, adalah terdiri daripada mereka yang juga
mengalami masalah penglihatan. Walaupun mereka tidak mempunyai latihan dan kursus
dalam bidang pendidikan khas, guru ini mempunyai kelebihan kerana mereka mempunyai
kemahiran untuk membaca dan membraille jawi, braille Bahasa Melayu dan braille al-Quran.
Kajian oleh Norshidah dan Aliza (2002), mendapati guru-guru bermasalah penglihatan tidak

mempunyai masalah dalam pengajaran walaupun terpaksa mengajar mata pelajaran yang
bukan bidang pengkhususan mereka.
Latihan dalam bidang Pendidikan Islam semata-mata tidak mencukupi bagi guruguru Pendidikan Islam yang mengajar di sekolah-sekolah pendidikan khas bermasalah
penglihatan. Mereka juga perlu mempunyai latihan dan kursus dalam bidang pendidikan khas
supaya dapat memenuhi keperluan pembelajaran murid. Selain itu mereka juga perlu
mempunyai kemahiran membaca Braille dan berkebolehan membraille. Ini dapat memenuhi
keperluan pembelajaran murid yang menggunakan medium yang khusus dan berbeza dengan
murid tipikal.
e. Implikasi Kajian
Kajian ini mempunyai implikasi berikut:
a) Secara teorinya, penggunaan pelbagai kaedah dan strategi pengajaran diperlukan
dalam pengajaran Tilawah al-Quran untuk pelajar bermasalah penglihatan.
Penggunaan pelbagai kaedah ini membolehkan mereka menguasai kemahiran
membaca al-Quran sama seperti pelajar biasa. Walaupun pelajar bemasalah
penglihatan mempunyai limitasi tertentu, namun penggunaan deria sentuhan dan
pendengaran memungkinkan mereka menerima pengetahuan seperti mana pelajar
tipikal. Kemahiran dan kemampuan murid bermasalah penglihatan membaca al-Quran
dapat ditingkatkan setara dengan pencapaian murid yang lain sekiranya mereka dilatih
dengan kaedah dan strategi bacaan yang sesuai . Selain itu penyelesaian terhadap
pemasalahan yang dihadapi oleh murid bermasalah penglihatan berkaitan
pembelajaran tilawah al-Quran, turut menyumbang kepada peningkatan kemahiran
bacaan al-Quran.
b) Guru-guru Pendidikan Islam yang ditugaskan untuk mengajar di sekolah pendidikan
khas sepatutnya diberi pendedahan melalui kurus dalam pendidikan khas agar mereka
dapat melakukan modifikasi kurikulum secara lebih efektif.
Kesimpulan
Dalam membuat perancangan pengajaran, guru perlu memberi pertimbangan kepada
pemilihan strategi dan kaedah yang sesuai bagi mencapai objektif pengajaran. Murid-murid
yang mengalami masalah dan ketidakupayaan dari segi fizikal, mental dan sensori berbanding
dengan murid yang normal, memerlukan strategi dan pendekatan pengajaran yang berbeza
dan bersesuaian dengan kebolehan dan keupayaan mereka. Begitu juga dengan strategi
pengajaran al-Quran yang digunakan oleh guru-guru Pendidikan Islam untuk murid-murid
keperluan khas perlu bersesuaian dengan keupayaan murid. Guru Pendidikan Islam boleh
mengintegrasikan beberapa kaedah pengajaran dalam pengajaran dan pembelajaran di bilik
darjah. Strategi pengajaran yang digunakan adalah berkait rapat dengan beberapa perkara
seperti kurikulum, peruntukan masa, objektif yang ingin dicapai dan keperluan pembelajaran
murid. Pengajaran al-Quran yang dilaksanakan tanpa mengambil kira perkembangan,
kematangan dan keupayaan murid akan membawa implikasi negatif seperti kerumitan murid
memahami dan menguasai pelajaran serta rasa bosan murid terhadap pelajaran.
Usaha berterusan perlu dilakukan untuk membantu murid bermasalah penglihatan
agar mereka tidak terus ketinggalan dan dapat menguasai kemahiran membaca al-Quran.
Saranan oleh guru-guru Pendidikan Islam yang ditemu bual perlu diteliti oleh semua pihak
bagi mempertingkatkan lagi penguasaan kemahiran membaca al-Quran dalam kalangan
murid-murid bermasalah penglihatan. Tanpa kebolehan membaca al-Quran adalah satu

kerugian yang amat besar bagi murid-murid ini kerana kehilangan deria penglihatan tidak
harus dijadikan alasan untuk tidak menguasai al-Quran.

Rujukan
Tafsir Pimpinan ar-Rahman. 1998. Bahagian Hal Ehwal Islam Jabatan Perdana Menteri
Ab. Halim Tamuri, Adnan Yusopp, Kamisah Osman, Shahrin Awaluddin, Zamri Abd. Rahim
& Khadijah Abd. Razak. 2004. Laporan Penyelidikan GG002/2004: Keberkesanan
kaedah pengajaran dan pembelajaran Pendidikan Islam ke atas pembangunan diri
pelajar. Bangi: Fakulti Pendidikan UKM
Abdul Halim El-Muhammady. 1992. Pendidikan Islam dan peranannya dalam pembangunan
ummah. Kuala Lumpur: Budaya Ilmu Sdn. Bhd.
Abdul Hayei Abdul Sukur. 1981. Pengajian al-Quran sebagai asas pendidikan. Kuala
Lumpur: Utusan Qiblat, Utusan Melayu (Malaysia) Sdn. Bhd.
Abdullah Ishak. 1995. Pendidikan Islam dan pengaruhnya di Malaysia. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka
Akta Pendidikan 1996 (Akta 550) dan Peraturan Terpilih. 1998. Susunan oleh Lembaga
Penyelidikan Undang-Undang. Kuala Lumpur: International Law Books Services.
Ashman, A. & Elkins, J. 1998. Educating children with special needs. Eds. Ke-3. Sydney:
Prentice Hall.
Bogdan, R. C. & Biklen, S. K. 1992. Qualitative research for education. An introduction to
theory and methods. Needham Height, MA: Allyn and Bacon
Haron Din. 1992. Tasawur Islam. Shah Alam : Hizbi
Ibn Khaldun. 2000. Mukadimah Ibn Khaldun (terj). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka
Khadijah Abdul Razak, Norshidah Mohd. Salleh & Mohd. Aderi Che Noh. 2003.
Pendidikan al-Quran kepada kanak-kanak bermasalah penglihatan. Prosiding Wacana
Pendidikan Islam (Siri 3) : Perkaedahan Pengajaran Pendidikan Islam Antara Tradisi dan
Inovasi. Bangi : Fakulti Pendidikan, UKM, hlm. 407 416.
Khadijah Abdul Razak, Norshidah Mohd. Salleh dan Norani Mohd Salleh. 2005.
Pengajaran al-Quran di kalangan kanak-kanak bermasalah penglihatan. Laporan Kajian
GG/013/2003. Fakulti Pendidikan UKM.
Khadijah Abdul Razak dan Norshidah Mohd. Salleh. 2009. Kemahiran membaca al-Quran
dalam kalangan murid bermasalah penglihatan. Prosiding Persidangan serantau
Pendidikan inklusif dan Pendidikan Kanak-kanak Berkeperluan Khas. Bangi: Fakulti
Pendidikan UKM.
Norshidah Mohd. Salleh, Khadijah Abdul Razak dan Norani Mohd Salleh. 2004. Strategi
pengajaran al-Quran dalam kalangan murid bermasalah penglihatan. Prosiding Seminar
Kebangsaan Pendidikan Khas. Bangi: Fakulti Pendidikan, hlm. 452-463
Kementerian Pendidikan Malaysia. 2002. Sukatan Pelajaran Pendidikan Islam KBSM.
Marohaini Yusoff. 2001. Pengutipan dan Pengumpulan data perlakuan dan proses menulis
karangan dalam bilik darjah. Dlm. Marohaini Yusoff (pnyt.). Penyelidikan kualitatif:
Pengalaman kerja lapangan kajian. Kuala Lumpur: Penerbit Uni. Malaya, hlm. 87120
Merriam, S. B. (1998). Qualitative research and case study application in education. San
Francisco: Josey-Bass
Mohd Ali Abu Bakar. 1991. Seni lagu al-Quran. Kuala Lumpur: Darul Fikr
Mohd. Yusuf Ahmad. 2000. Sejarah dan kaedah Pendidikan al-Quran. Kuala Lumpur:
Penerbit Universiti Malaya

Neuman, W. L. (1997). Social research methods. Boston: Allyn and Bacon


Norashikin Fabil et. al. 2003. Teknologi Multimedia: Satu Inovasi Pendekatan Talaqqi dan
Musyafahah. Prosiding Wacana Pendidikan Islam (Siri 3) : Perkaedahan Pengajaran
Pendidikan Islam Antara Tradisi dan Inovasi. Bangi : Fakulti Pendidikan, UKM,
hlm. 298 - 315
Norshidah Mohd Salleh dan Aliza Alias. 2002. Cabaran dan harapan guru-guru masalah
penglihatan dalam profesion perguruan. Prosiding Seminar Kebangsaan Profesion
Perguruan. Bangi, Fakulti Pendidikan UKM, hlm.479-487.
Norshidah Mohd. Salleh. 2009. Kanak-kanak bermasalah penglihatan. Dalam Zalizan mohd.
Jelas. Pendidikan kanak-kanak berkeperluan khas: konsep dan amalan. Bangi:
Penerbit UKM
Patton, M. Q. (1980). Qualitative evaluation methods. Beverly Hills: Sage
al-Qutb, Muhammad. 1983. Minhaj at-tarbiyyah al-Islamiyyah. Bierut: Dar al-Sharq
Rosseni Din et. al. 2003. Komputer dalam pengajran al-Quran. Prosiding Wacana Pendidikan
Islam (Siri 3) : Perkaedahan Pengajaran Pendidikan Islam Antara Tradisi dan
Inovasi. Bangi : Fakulti Pendidikan, UKM, hlm. 385 394
as-Sabuni, Muhammad Ali. 1970. Al-Tibyan fi ulum al-Quran. Beirut: Daral-Irsyad.
Spradley, J. P. (1980). Patricipant observation. New York: Holt, Rinehart and Winston
Tafsir pimpinan rahman 1998
Warren, D. H. 1989. Blindness and early childhood development. Ed. ke 2. New York:
American Foundation for the Blind.
Zainal Abidin Abdul Kadir. 1993. reformasi Pendidikan Islam di sekolah: matlamat dan
harapan. Dlm Ismail Abd. Rahman et. al (pnyt). Isu-isu Pendidikan Islam di Malaysia:
Cabaran dan harapan. Kuala Terengganu: KUSZA, hlm. 18 29
(www.moe.gov.my/braile.htm).

Abstrak

PENGEMBANGAN MODEL PENGUSAHA ANAK


BERBAKAT BERBASIS PERSAINGAN USAHA
Ibnu Syamsi, Dr
Dosen PLB FIP UNY
Alamat e-mail Pastuti2001@Yahoo. Com
Anak berbakat, transisi dan peluang kerja
Tulisan ini bertujuan untuk mencari solusi yang tepat penempatan anak-anak berbakat
pada posisi yang sebenarnya. Karena sebagian anak berbakat mempunyai potensi untuk
mengembangkan usaha yang dibutuhkan oleh masyarakat disekitarnya. Persaingan usaha
merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindarkan lagi. Masyarakat modern menghendaki
hasil usaha yang mempunyai kualitas tinggi. Oleh karena itu, perlu dicarikan model
pengusaha yang mampu menempatkan anak berbakat pada posisi yang semestinya dan model
itu mampu untuk mengadakan persaingan di dalam pasar lepas-lepas. Model pengusaha anak
berbakat yang akan dikembangkan itu dibuat dengan rancangbangun yang sangat fleksibel
dan elastis, sehingga dapat bertahan dan berkembangan dalam persaingan lepas-lepas. Model
ini diperkirakan akan mampu digerakan oleh anak berbakat yang mempunyai kemampuan
untuk menggerakan usaha-usaha dalam masyarakat lepas-lepas.
Kata Kunci : model, berbakat, pengusaha, persaingan.
Abstract
DEVELOPMENT OF TALENTED CHLID ENTREPRENEUR MODEL BASED ON
BUSINESS COMPETITION
Ibnu Syamsi, Dr
Dosen PLB FIP UNY
Alamat e-mail Pastuti2001@Yahoo. Com
Anak berbakat, transisi dan peluang kerja
This article aim to look for correct solution of location of children haves a turn for
position that is actually. Because some of talented childs has potency to develop business
required by public is around [by] it. Competittion of business was demand which cannot be
obviated again. Modern public wanted business result having quality of height. Therefore,
need to be looked for entrepreneur model capable to place chlid to have a turn for position
which its and the model able to perform [a] competition in free market. Talented chlid
entrepreneur model which will be developed that is made with prototipe a real elastic and
flexible, causing can stay and having flower in free competition. Talented chlid entrepreneur
model which will be developed that is made with prototipe a real elastic and flexible, causing
can stay and having flower in free competition of talented chlid entrepreneur which will be
developed that is made with prototipe a real elastic and flexible, causing can stay and having
flower in free competition. This model estimated will be able to be movement by talented
chlid having movement ability to effort for in free publics.
Key words : model, talented, entrepreneur, competition.
A. PENDAHULUAN
Pengusaha adalah orang yang melakukan suatu usaha untuk mendapatkan keuntungan
yang saling menguntungkan antara pengusaha dan konsumen. Berbagi keuntungan antara
pengusaha dan konsumen merupakan pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang
pengusaha. Proses kerja pengusaha memberikan keuntungan yang layak di antara keduanya,
inilah yang disebut keuntungan ganda. Pengusaha ingin mendapat upah dengan jasa-jasa yang

dikerjakannya, dan konsumen ingin mencari kebutuhan-kebutuhan yang sedang


diperlukannya. Dalam hal seperti inilah pengusaha dikatakan sebagai seorang pemimpin yang
dapat mendistrubusikan kebutuhan-kebutuhan orang banyak. Dia melakukan pekerjaanpekerjaan yang kreatif untuk mendapatkan sesuatu yang berguna bagi orang lain.
Kelahiran seorang pengusaha sudah mempunyai karakteristik tersendiri. Karakteristik
ini membedakan seorang pengusaha dengan orang-orang pada umumnya. Pengusaha ingin
membantu konsumen semaksimal mungkin, dari jasa membantu orang lain ini, ia
mendapatkan jasa yang sesuai. Dengan membantu orang lain ini, muncul kreatifitas berpikir
dari seorang pengusaha dan pengusaha akan berpikir kearah yang lebih inovatif. Dari hasil
berpikir inovatif muncul model-model pengembangan dalam rangka persaingan usaha di
kalangan pengusaha untuk merebut kebutuhan-kebutuhan konsumen. Dan pada akhirnya akan
dihasilkan produk yang berkualitas dan sehat untuk kebutuhan konsumen. Karakter
pengusaha banyak terdapat dalam masyarakat Indonesia, akan tetapi mereka kurang dapat
berkembang sebagaimana mestinya. Indonesia masih mempunyai pengusaha yang kurang,
bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Sebaiknya perbandingan pengusaha dengan
penduduk itu berkisar diantara tiga persen sampai dengan lima persen, seperti yang terdapat
di negara-negara maju.
Anak-anak berbakat mempunyai karakteristik yang spesifik, seperti yang dikatakan
oleh pakar, yaitu (1) menunjukan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap banyak hal, (2)
memiliki perbendaharaan kata yang banyak dan menggunakan kalimat lengkap saat
berkomunikasi, (3) memiliki sense of humor dan berpikir dengan cerdas, (4) menyelesaikan
masalah dengan cara yang unik atau tidak biasa, (5) memiliki ingatan yang bagus, (6)
menunjukkan bakat yang menonjol dalam seni, musik atau drama, (7) menunjukkan imajinasi
yang orisinil, (8) bekerja secara mandiridan berinisiatif, (9) memiliki minat dalam membaca,
(10) memiliki perhatian yang menetap atau keinginan yang menetap dalam tugas yang
dikerjakan, (11) merupakan anak yang dapat belajar dengan cepat. Bila di perhatikan
kesebelas karakteristik anak-anak berbakat ini, semuanya fokus pada kelebihan-kelebihan
yang dimiliki anak-anak berbakat. Potensi yang berlebih ini yang akan dianalisis dalam
tulisan ini, karena potensi ini akan mampu untuk mengembangkan dan atau meningkatkan
kenirja yang ada dalam masyarakat. Ciri-ciri yang lain yang dikemukakan oleh pakar, yaitu
kemampuan anak berbakat di atas rata-rata, kreativitas tinggi, pengikatan diri atau
tanggungjawab terhadap tugas (task commitment). Pendapat pakar mengenai karakteristik
atau ciri-ciri anak berbakat pada umumnya mengatakan, bahwa anak berbakat mempunyai
kemampuan yang lebih dan ada spesifikasi kelibihan yang dimiliki oleh anak-anak ini.
Anak berbakat mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam mengembangkan
potensi yang dimilikinya. Potensi anak berbakat bervariasi sifatnya, penelitian ini akan
mencari pengembangan potensi yang dimiliki anak berbakat. Potensi untuk menjadi seorang
pengusaha pada anak berbakat, seharusnya dikembangkan dan dicarikan akses yang luas.
Para pakar juga mengelompokan anak berbakat berdasarkan wilayah atau area
kecerdasannya, yaitu (1) berbakat global adalah anak berbakat pada semua atau hampir
semua area, misalnya matematika dan verbal, (2) berbakat matematika adalah anak dengan
kemampuan matematika tinggi, anak ini akan baik dibidang spesial, sebab-sebab nonverbal,
daya ingatan, (3) berbakat verbal adalah anak dengan kemampuan bahasa yang kuat, anak ini
mampu berbahasa yang lebih bila dibandingkan dengan anak seusianya, penampilan
verbalnya lebih baik. Pendapat pakar ini, terlihat lebih luas bila dibandingkan dengan
pendapat-pendapat yang lain. Terlihat pendapat ini lebih menjurus ke arah yang lebih
akademik, karena pakar ini lebih fokus pada permasalahan pendidikan.
Pengembangan model adalah mengembangkan suatu bentuk berusaha untuk
pengusaha anak berbakat berbasis persaingan usaha. Pengembangan menurut Sudjana (2004)
adalah upaya memperluas atau mewujudkan potensi-potensi, membawa suatu keadaan secara

bertingkat kepada suatu keadaan yang lebih lengkap, lebih besar, atau lebih baik,
mewujudkan sesuatu diri yang lebih awal kepada yang lebih akhir atau dari yang sederhana
kepada tahapan perubahan yang lebih kompleks. Mencari-cari model yang kreatif untuk
mengembangkan model pengusaha anak berbakat, dalam rangka menggali keberbakatannya
untuk menjadi pengusaha yang andal.
Persaingan usaha adalah melakukan persaingan dalam berusaha untuk
memperebutkan konsumen yang sebanyak-banyaknya. Untuk itu diperlukan model
pengusaha yang mampu melakukan persaingan di pasar lepas. Menciptakan model pengusaha
yang tangguh dan mampu leading di antara pengusaha-pengusaha lainnya memerlukan
pemikiran yang mendalam. Harus berani menganalisis secara tajam semua permasalahan
yang terdapat dilapangan dan mengkaitkannya dengan harapan-harapan yang diinginkan.
Secara lebih tajam lagi, pengusaha yang mampu menghasilkan produk yang dibutuhkan oleh
konsumen.
Tujuannya adalah (1) menemukan pola struktur organisasi, pendanaan, aksi model, dan
evaluasi, terhadap pelaksanaan model pengusaha anak berbakat berbasis persaingan usaha di
sekolah-sekolah. (2) Untuk mengetahui sumber-sumber potensi di sekolah-sekolah dan
masyarakat baik daya maupun dana, serta sarana-prasarana yang dapat dimanfaatkan dalam
rangka terciptanya pengembangan model pengusaha anak berbakat berbasis persaingan usaha
di sekolah-sekolah. (3) Menguji efektifitas pengembangan model pengusaha berbasis
persaingan usaha di sekolah-sekolah, dipandang dari aspek pola struktur organisasi,
pendanaan, aksi model, dan evaluasi pelaksanaan model. (4) Dihasilkan model dan alternatif
kebijakan tentang pengembangan model pengusaha berbasis persaingan usaha.
Keutamaan yang dilakukan adalah (1) pengembangan model pengusaha anak berbakat
berbasis persaingan usaha di sekolah-sekolah yang akan diujicobakan dan dikembangkan,
sebagai upaya pengembangan model pengusaha anak berbakat secara sinergis dan
menyeluruh. (2) Model yang akan diujicobakan dimungkinkan peningkatan peran instansi
terkait secara lebih jelas dan operasional, sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih. (3)
Ujicoba model pengusaha anak berbakat dengan pengembangan berbasis persaingan usaha ini
akan mempunyai manfaat yang sangat penting bagi upaya mempercepat meningkatkan
kualitas calon pengusaha dan pengusaha dalam masyarakat.(4) Model pengusaha anak
berbakat dengan berbasis pengembangan usaha disamping menguntungkan pemerintah, juga
sekaligus mendorong inisiatif dan kreatifitas serta kepedulian masyarakat untuk menggali
sumber daya dan dana yang ada di lingkungannya untuk difungsikan dalam program nyata
meningkatkan mutu pengusaha anak berbakat di sekolah-sekolah dan dalam masyarakat. (5)
Model yang akan diujicobakan memungkinkan meningkatnya peran. (7) Melakukan ujicoba
model pengusaha anak berbakat, pihak anak berbakat dapat menyalurkan keberbakatannya
dan mensejahterakan diri sendiri dan masyarakat pada umumnya, menjadi manusia yang
berguna untuk melindungi masyarakat lainnya, produktif dan mandiri, sesuai dengan
potensinya. (8) Model yang akan dikembangkan dapat bermanfaat mengubah peran
masyarakat sebagai penerima pelayanan, menjadi pelaku dalam program-program usaha
kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan.
B. PEMBAHASAN
Anak Berbakat
Apa yang dimaksud dengan konsep anak-anak berbakat ? Konsep anak-anak berbakat
berbeda-beda menurut para ahli, dan ini tergantung dengan latar belakang keahlian ahli
tersebut. Dalam tulisan ini penulis akan membahas konsep sederhana mengenai anak-anak
berbakat, yaitu pengertian mengenai anak berbakat, karakteristik, ciri-ciri masa kecil anakanak berbakat, pembagian anak berbakat, dan kelompok anak berbakat. Anak-anak berbakat
menurut Wahab R (2009) adalah mereka yang menurut para ahli atau profesional
diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena mempunyai

kemampuan-kemampuan yang unggul. Pencapaian prestasi tinggi atau tertinggi dari orangorang cerdas mempunyai keuntungan banyak atau multiganda bagi masyarakat disekitarnya.
Terutama prestasi yang dapat berguna untuk kehidupan masyarakat luas, dan tidak banyak
prestasi-prestasi ini ada dalam kehidupan. Hanya anak-anak unggul yang mempunyai
kemampuan ini. Memiliki potensi untuk berprestasi unggul dalam bidang kemampuan umum
atau spesifik, kreativitas, dan komitmen akan tugas yang memerlukan layanan pendidikan
khusus untuk berkembang optimal, sehingga dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan
masyarakat.
Karakteristik Anak Berbakat
Bagaimana karakteristik anak berbakat ? Anak-anak berbakat mempunyai
karakteristik yang spesifik, seperti yang dikatakan oleh pakar (Wahab R), yaitu (1)
menunjukan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap banyak hal, (2) memiliki perbendaharaan
kata yang banyak dan menggunakan kalimat lengkap saat berkomunikasi, (3) memiliki sense
of humor dan berpikir dengan cerdas, (4) menyelesaikan masalah dengan cara yang unik atau
tidak biasa, (5) memiliki ingatan yang bagus, (6) menunjukkan bakat yang menonjol dalam
seni, musik atau drama, (7) menunjukkan imajinasi yang orisinil, (8) bekerja secara
mandiridan berinisiatif, (9) memiliki minat dalam membaca, (10) memiliki perhatian yang
menetap atau keinginan yang menetap dalam tugas yang dikerjakan, (11) merupakan anak
yang dapat belajar dengan cepat. Bila di memperhatikan kesebelas karakteristik anak-anak
berbakat ini, semuanya fokus pada kelebihan-kelebihan yang dimiliki anak-anak berbakat.
Potensi yang berlebih ini yang akan dianalisis dalam tulisan ini, karena potensi ini akan
mampu untuk mengembangkan dan atau meningkatkan kenirja yang ada dalam masyarakat.
Ciri-ciri yang lain yang dikemukakan oleh pakar, yaitu kemampuan anak berbakat di atas
rata-rata, kreativitas tinggi, pengikatan diri atau tanggungjawab terhadap tugas (task
commitment). Pendapat pakar mengenai karakteristik atau ciri-ciri anak berbakat pada
umumnya mengatakan, bahwa anak berbakat mempunyai kemampuan yang lebih dan ada
spesifikasi kelibihan yang dimiliki oleh anak-anak ini.
Ciri-Ciri Masa Kecil Anak Berbakat
Bagaimana ciri-ciri masa kecil anak berbakat ? Para ahli juga berpendapat bahwa
ciri-ciri masa kecil anak-anak berbakat, yaitu (1) pada usia dini tidak nyaman menghadapi hal
yang sama (rutin) dengan waktu yang lama, (2) sangat siaga (alert), (3) tidurnya sedikit, (4)
tahapan tumbuh kembang untuk berjalan dan mengucapkan satu kata lebih cepat dibanding
anak seusianya, (5) dapat ditemukan keterlambatan bicara, tetapi kemudian bicara dengan
kalimat penuh, (6) mempunyai keinginan kuat untuk eksplorasi, investigasi, lingkungan, (7)
sangat aktif dan bertujuan, (8) dapat membedakan antara fantasi dan realitas. Masa
perkembangan anak-anak berbakat ini ada perbedaannya dengan anak-anak pada umumnya,
anak berbakat terlihat lebih cepat perkembangannya dan kadang-kadang terlihat nyentrik dan
aneh. Akan tetapi anak berbakat sarat dengan perkembangan yang lebih individual dan fokus
pada keinginan-keinginannya sendiri.
Intelegence Quetions Anak Berbakat
Bagaimana intelegence quetions anak berbakat ? Anak-anak berbakat dapat dilihat
pembagiannya berdasarkan intelegence quetions atau IQ yang mana para ahli membaginya,
atas (1) ringan atau mild dengan IQ 115-129, (2) sedang atau moderate dengan IQ 130-144,
(3) tinggi atau high dengan IQ 145-159, (4) kekecaualian atau exeptional dengan IQ 160-179,
(5) amat sangat tinggi atau profound dengan IQ 180. Bila dilihat pendapat pakar ini, dia
membagi anak berbakat berdasarkan kecerdasan. Anak berbakat yang lebih berpotensi
mereka yang mempunyai skor kecerdasan yang lebih tinggi. Akan tetapi apakah
pengelompokan ini mempunyai karakteristik tersendiri untuk tiap kelompok anak ini, sebab
skor angka yang terlihat dari awal sampai akhir sangat tinggi selisihnya.
Pengelompokan Anak Berbakat Berdasarkan Kecerdasan

Bagaimana pengelompokan anak berbakat berdasarkan kecerdasan ? Para pakar juga


mengelompokan anak berbakat berdasarkan wilayah atau area kecerdasannya, yaitu (1)
berbakat global adalah anak berbakat pada semua atau hampir semua area, misalnya
matematika dan verbal, (2) berbakat matematika adalah anak dengan kemampuan matematika
tinggi, anak ini akan baik dibidang spesial, sebab-sebab nonverbal, daya ingatan, (3) berbakat
verbal adalah anak dengan kemampuan bahasa yang kuat, anak ini mampu berbahasa yang
lebih bila dibandingkan dengan anak seusianya, penampilan verbalnya lebih baik. Pendapat
pakar ini, terlihat lebih luas bila dibandingkan dengan pendapat-pendapat yang lain. Terlihat
pendapat ini lebih menjurus ke arah yang lebih akademik, karena pakar ini lebih fokus pada
permasalahan pendidikan.
Pengusaha
Apa yang dimaksud dengan pengusaha ? Overton R (0000) mengatakan, pengusaha
adalah orang yang membentuk ulang atau merevolusir pola produksi dengan memanfaatkan
suatu penemuan, secara lebih umum, sebuah kemungkinan teknologis yang belum pernah
dicoba untuk menghasilkan suatu komoditi baru ataupun memproduksi suatu bentuk lama
dengan cara baru, (JB Say, abad 19). Tindakan ini akan membuka suatu sumber baru yang
menyediakan bahan atau outlet baru untuk produk dengan mengorganisir ulang suatu industri.
Apakah anda memilki atribut-atribut itu ? Beberapa isu kritis untuk dipertimbangkan,
rentang waktu untuk beberapa inovasi mayor, perubahan di pasar, studi kasus.
Memulai Suatu Bisnis
Mengapa anda memulai usaha sendiri ? Meredith, G.G. (2005) Tujuan pribadi, untuk
menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri, membangun perusahaan yang sukses dan
menjualnya dengan tujuan menghasilkan uang, membangun dan menjalankan sebuah
perusahaan yang berkembang, mendapat penghidupan yang lebih baik ketimbang hanya
bekerja untuk mendapatkan upah, membangun suatu usaha/lapangan kerja untuk anggota
keluarga.
Tujuan perusahaan dalam bisnis, Meredith G.G (2005) memulai dengan lingkup jasa
yang luas namun mengembangkan ceruk untuk pasar, produk yang kecil dengan sasaran
berkembang menjadi pemimpin pasar, menyediakan jasa spesialis untuk menetapkan
kelompok industrinya. Tujuan perusahaan dalam pertumbuhan, pertumbuhan maksimum dan
menekan pasar dengan penahanan keuntungan, membuka jaringan cabang nasional dan/atau
menunjuk beberapa distributor, perkembangan terus menerus dan terkendali serta perluasan
sejumlah x % per tahun, batasan ukuran usaha untuk membatasi jumlah konsumen dan
pegawai.
Tujuan perusahaan dalam staf, Meredith G.G (2005) mempekerjakan keluarga dan
teman-teman saja, membangun tim berdedikasi yang terdiri dari penampil berkualitas tinggi
dengan penekanan pada loyalitas, menawarkan bayaran dan kondisi yang sangat baik untuk
mereka yang berprestasi tanpa menyediakan tempat bagi mereka yang tidak dapat bekerja
dengan baik.
Beberapa bahaya yang mengancam, meluncurkan produk, jasa atau ide baru anda,
dalam bisnis apa anda sebenarnya berada ? adakah isu-isu ini berhubungan dengan bisnis
anda ? surat langsung, sebuah bisnis baru atau peluncuran produk, suatu penemuan, produk
atau ide baru, merencanakan usaha anda.
Pengembangan Produk Baru
Overton R (0000) mengatakan, penelitian pasar bagi para pengusaha dapat melibatkan
penentuan, ukuran pasar yang telah ada, ukuran potensial sebuah pasar, lokasi pasar mana
yang benar-benar diinginkan, apakah terdapat kebutuhan untuk produk atau jasa, apakah
sasaran yang dituju akan membeli produk atau jasa, cara terbaik untuk mengemas produk
atau jasa, harga yang tepat agar produk dapat terjual.

Menjual produk baru, mengapa produk saya tidak akan terjual, sebuah analisa SWOT,
tingkatkan mayor dalam pengembangan produk baru, membangkitkan ide, menargetkan
konsumen: bagaimana pengusaha menemukan konsumen ? nama dagang, bertahan dalam
keuntungan kompetitif, properti intelektual: apa itu ? ekspresi minat, para pengusaha dan
manajemen, citra perusahaan, kriteria utama dalam memilih produk, kontribusi pada total
biaya, pengembangan produk baru, pencampuran pemasaran, konsep pemasaran total, tiga
level produk, ceruk pasar.
Keberhasilan Usaha
Apa yang membuat perusahaan berhasil ? Overton R (0000) mengatakan, dari
pengumpulan pendapat terbaru mengenai manajemen, menghasilkan sebuah prasangka
terhadap tindakan lakukan perbaiki coba, bentuk sederhana dan staf sedikit, kontak yang
berkesinambungan dengan konsumen, produktifitas yang meningkat melalui orang-orang,
otonomi operasional untuk mendorong semangat usaha, tekanan pada nilai bisnis kunci,
penekanan pada mengerjakan apa yang menjadi keahlian terbaik, kendali tarik-ulur yang
simultan, komitmen pada konsumen mereka, sikap bisa dilakukan, komitmen untuk mencapai
kepuasan konsumen, fleksibilitas dalam memenuhi permintaan khusus, tanggapan pada
permintaan khusus, hal-hal yang amat baik (outsome) jika diperlukan, tempatkan hadiah pada
jasa, pengawasan jasa untuk melihat apakah orang melakukannya secara benar, memonitor
aktivitas pesaing, menampakan teknologi terbaru, menjadi yang terbaik, berpusat pada
pelayanan konsumen.
Manajemen waktu, manajemen waktu memiliki tiga komponen-kebutuhan untuk
prioritas yang mapan, menggunakan penjadwalan atau pemograman yang realistis, belajar
membuat keputusan dasar dan bertindak sesuai keputusan tersebut.
Manajemen waktu yang efektif mengenai merencanakan dan menyusun prioritas, apa
hal paling penting untuk dilakukan hari ini ? Apa yang harus dikerjakan hari ini ? Daftarkan
sesuai urutannya dalam agenda harian atau selembar kertas, dan kerjakan sesuai urutan.
Mengelola prioritas. klasifikasikan tugas-tugas dalam kelompok, seperti kategori A
prioritas utama, memerlukan perhatian pribadi anda. Kategori B penting, namun bukan
prioritas utama. Kategori C dapat dikerjakan setelah selesai dengan kategori A dan B.
Kategori D delegasikan pada orang lain.
Risiko, tertawa berisiko tampak bodoh, mengisak berisiko tampak sentimentil,
mengekspresikan perasaan berisiko menampilkan diri anda yang sebenarnya, menempatkan
banyak ide dan mimpi anda di depan umum berisiko kehilangan hal-hal itu, hidup berisiko
kematian, berharap berisiko patah harapan, mencoba berisiko gagal, namun resiko harus
diambil karena bahaya terbesar dalam hidup adalah tidak memiliki risiko, orang yang tidak
memiliki risiko tidak memiliki apa-apa dan bukan siapa-siapa, ia mungkin menghindari
penderitaan dan kesedihan namun ia tidak dapat belajar merasa berubah tumbuh maupun
hidup, dirantai oleh kepastiannya ia adalah seorang budak ia telah mengorbankan
kebebasannya, hanya orang yang memiliki risikolah yang bebas.
Bagaimana jika kita menaikan harga, banyak perusahaan menggunakan harga sebagai
titik keberhasilan. Mereka menurunkan harga untuk menyaingi harga pesaing. Ini dapat
menjadi siklus ganas yang mengurangi margin keuntungan semua perusahaan.
Citra, ada beberapa pertimbangan yang dipikirkan disini, yaitu apakah toko atau kios
anda memiliki konsep total ? dapatkah kemasan produk anda diperbaiki ? bagaimana produk
anda dikemas ? apakah kondisi bisnis anda memiliki brosur perusahaan yang menarik, yang
dapat anda berikan pada prospektif klien anda ? apakah itu memaparkan pengalaman,
ketrampilan, kualifikasi, produk, jasa, garansi, spesialisasi, fitur, keuntungan perusahaan anda
?
Pelajaran dari masa lalu, apa yang akan anda investasikan ? maukah penanam model
mendukung ide anda ? toko komputer pribadi, tempat sampah plastik beroda, toko vidio atau

kedai vidio, kedai fast food hamburger dan pizza, minuman botol, bengkel, bengkel
spesialisasi. Mengapa ide-ide di atas berhasil ? Fokus, mengidentifikasi kebutuhan pasar, dan
menyediakan kebutuhan itu dalam bentuk yang dapat diterima konsumen. Benang merah
semua bisnis ini adalah beroperasi dalam produk spesialis yang dihantarkan dengan baik dan
mudah di akses. Dan mereka semua banyak diakses.
Audit pemasaran, anda sebenarnya ada dalam bisnis apa ? apa sasaran bisnis anda ?
apa sasaran pribadi anda ? apa kekuatan bisnis anda ? apa kelemahannya ? apa kesempatan
yang dimilikinya ? apa ancaman yang ada sekarang dan di masa depan ? apakah bisnis anda
musiman ? apakah anda menindaklanjuti konsumen dengan menanyakan apakah mereka
cukup puas ? berapa penjualan anda rata-rata sebulan ? apakah ada produk yang secara
menonjol lebih menguntungkan dari yang lain ? apakah ada produk yang secara menonjol
kurang menguntungkan ? apakah isu kritis yang sekarang ini mempengaruhi bisnis anda ?
periklanan ? promosi ? distribusi ? pelayanan apa yang akan menjadi keuntungan khusus ?
Periklanan-10 butir kilat, apa yang anda iklankan ? apa yang seharusnya menjadi
pesan sentral ? apakah iklan kooperatifnya sesuai ? haruskah anda menggunakan iklan yang
sama di semua media ? apakah itu menarik dan menahan perhatian ? apakah iklan itu
memiliki headline yang menarik ? baru, gratis adalah kata-kata yang bagus untuk digunakan
pada salinan anda. Beberapa foto dan gambar menambah daya tarik. Pemilihan media sangat
penting. Promosi integral apa yang dapat anda lakukan sebagai pendukung.
Di mana anda akan bertemu, toko kimia atau pengecer, pengusaha dan komunikasi
bisnis, Pencapaian tujuan, Ingin mengendarai mobil balap, sepuluh faktor sukses, sepuluh tip
untuk menemukan uang, tips dan trik dari para penanaman modal.
Perencanaan Dan Strategi Usaha
Srategi dan keuntungan usaha, apa yang diinginkan konsumen ? Overton R (0000)
berpendapat, konsumen menginginkan nilai dan kenyamanan. McDonald, mengklaim bahwa
sebagian sukses mereka adalah dari menjadi lebih dari sekedar fast food itu adalah
pengalaman dan perasaan yang anda dapat saat mengunjungi toko mereka. Banyak nama
merek produsen pakaian mengklaim bahwa produk mereka hanyalah kedua yang terpenting
setelah citra yang sebenarnya ingin dibeli oleh pembeli dan lebih penting lagi untuk
dikenakan dan tampil. Menangkap pangsa pasar adalah mengenai memenangkan bagian dari
pikiran konsumen.
Merencanakan bisnis anda, Meredith, G.G. (2005) pertimbangkan memulai sebagai
penyalur tunggal atau partnership sederhana. Evaluasi sebagai kesempatan dan ide anda.
Tentukan apakah bisnis anda akan merupakan kegiatan konsultasi, menjual eceran, menjual
produk, kombinasi beberapa hal yang disebutkan sebelumnya atau suatu jenis bisnis yang
tidak tradisional. Tentukan apakah anda akan mengembangkan sendiri bisnis anda, membeli
bisnis yang sudah ada, atau membeli franchise. Tulislah garis besar konsep bisnis anda. Jika
anda perlu melindungi ide produk atau jasa anda, tulislah outline anda dalam surat tertutup,
catumkan rincian kerja dan penelitian yang telah anda selesaikan per hari itu, beri tanggal,
daftarkan pada notaris. Simpanlah di tempat yang aman. Sebagai perlindungan lanjut, simpan
jurnal aktivitas awal dalam pengembangan ide anda menjadi produk atau jasa yang aktif
untuk bisnis anda. Pilih dan tentukan visi dan tujuan bisnis anda. Tentukan pasar umum yang
akan diraih. Tentukan produk atau jasa awal yang akan ditawarkan. Perkirakan biaya
pembukaan bisnis. Kenali sumber daya yang anda miliki dan sumber pendanaan yang
tersedia. Miliki ide berapa banyak kredit yang dapat anda peroleh dari supplier potensial
anda. Tentukan sumber dan/atau keahlian apa yang tidak anda miliki dan susun outline
mengenai kemungkinan mengisi gap ini. Putuskan apa yang anda inginkan dari bisnis ini,
sekarang dan di masa mendatang.

Format sebuah rencana bisnis, tujuan rencana, rangkuman eksekutif, evaluasi bisnis,
evaluasi produk, pasar, rencana pengoperasian, hukum, personal/manajemen, perencanaan
finansial, rencana tindakan, indikasi kunci, tambahan.
Dibayar, mengelola di masa depan, beberapa bahaya yang mengancam mulainya
bisnis baru, seberapa besarkah pasar, malaikat-malaikat bisnis, mempersiapkan bisnis anda
untuk investasi ekuitas, analisa kemungkinan, kegagalan bisnis, haruskah anda membentuk
perusahaan sendiri.
BAGAN
PENGEMBANGAN MODEL PENGUSAHA ANAK BERBAKAT BERBASIS
PERSAINGAN USAHA

ANAK BERBAKAT

MEMULAI SUATU
BISNIS
MENGEMBANGKAN
PRODUK BARU
KEBERHASILAN
USAHA
PERENCANAAN
DAN STRATEGI
USAHA

PENGUSAHA

Ibnu Syamsi, (2010)


C. KESIMPULAN
1. Anak Berbakat adalah mereka yang menurut para ahli atau profesional diidentifikasikan
sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena mempunyai kemampuankemampuan yang unggul. Dia mempunyai karakteristik spesifik, ciri-ciri masa kecil,
Intelegence Quetions di atas rata-rata, dapat di kelompokan berdasarkan kecerdasan,
2. Pengusaha adalah orang yang membentuk ulang atau merevolusir pola produksi dengan
memanfaatkan suatu penemuan, secara lebih umum, sebuah kemungkinan teknologis
yang belum pernah dicoba untuk menghasilkan suatu komoditi baru ataupun
memproduksi suatu bentuk lama dengan cara baru. Dengan cara memulai suatu bisnis,
mengembangkan produk baru, keberhasilan usaha, perencanaan dan strategi usaha,
3. Model pengusaha anak berbakat berbasis persaingan usaha adalah sebagai berikut :

pengusaha

memulai suatu bisnis


mengembangkan produk baru
keberhasilan usaha
perencanaan dan strategi usaha

anak berbakat

DAFTAR PUSTAKA
Ashton, R. 2006. Berwiraswasta itu Mudah, 1000 Tips untuk Memulai dan
Menumbuhkembangkan Bisnis Anda, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Astamoen, M.P. 2005. Entrepreneurship, dalam Perspektif Kondisi Bangsa Indonesia,
Alfabeta, Bandung.
Ciputra. 2007. Pentingnya Kewirausahaan dalam Pendidikan Tinggi dan Pemecahan
Masalah Bangsa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Desmon. 2006. Model Pelatihan dan Pembinaan Kewirausahaan Berkelanjutan Sebagai
Upaya Pemberdayaan Perempuan, Studi Pengembangan Model Pelatihan dan
Pembinaan Kewirausahaan Berkelanjutan bagi Perempuan di Kabupaten Solok,
Disertasi UPI, Bandung.
Hantoro, S. 2005. Kiat Sukses Berwirausaha, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Hisrich, DR and Peters, PM. 2002. Entrepreneurship, Mc Graw Hill Irwin, Boston.
Kasmir. 2006. Kewirausahaan. Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Kuswara. 2005. Buku Pendidikan Luar Sekolah, Kewirausahaan, untuk Paket C, PT
Indahjaya Adipratama, Bandung.
Lambing, AP and Kuehl, RC. 2003. Entrepreneurship, Prentice Hall, Upper Saddle River,
New Jersey.
Longenecker, JG and Moore, Carlos W and Petty J W. 2001. Kewirausahaan, Manajemen
Usaha Kecil, Salemba Empat, Jakarta.
Meredith, G.G. 2005. Kewirausahaan, Teori dan Praktek, Seri Mamajemen Strategis No.1,
PT Pustaka Bimanan Pressindo,Jakarta.
Munandar U, 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Jakarta, PT Rineka Cipta.
Osborne, David and Gaebler, Ted. 2000. Mewirausahakan Birokrasi, Reinventing
Government. Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik, PT
Pusataka Binaman Pressindo, Jakarta.
Overton R. 0000. Are you an entrepreneur ? Anda sang wirausahawan ? PT Gramedia,
Jakarta.
Soemanto, W. 2002. Sekuncup Ide Operasional, Pendidikan Wiraswasta, PT Bumi Aksara,
Jakarta.
Suparno, 2008. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Sudjana, S HD. 2004. Manajemen Program Pendidikan, untuk Pendidikan Nonformal, dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia, Falah Production, Bandung.
Suryana. 2006. Kewirausahaan, Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses, Penerbit
Salemba Empat, Jakarta.
Wahab R, 2009. Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pendidikan Anak Berbakat di Indonesia
dan Arah Pengembangannya ke Depan Sebagai Implementasi Education for All,
Pengurus Pusat Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI), UNS
Surakarta.

PERMATApintar: Program Pendidikan Pelajar Pintar Cerdas Malaysia


Hamidah Yamat
Noriah Mohd Ishak
Rosadah Abdul Majid
Siti Fatimah Mohd. Yasin
Universiti Kebangsaan Malaysia
Pengenalan
Kajian ke atas profil pelajar-pelajar pintar cerdas menunjukkan bahawa terdapat seorang
pelajar pintar cerdas bagi setiap 10,000 orang kanak-kanak (Tidwell, 1980). Kebanyakan
negara pada amnya menganggarkan bilangan pelajar pintar cerdas yang ada di negara mereka
adalah antara dua hingga lima peratus. Di Malaysia, terdapat seramai 4.5 juta pelajar-pelajar
dari umur sembilan hingga 15 tahun. Berdasarkan peratusan ini, dianggarkan bilangan
pelajar-pelajar pintar cerdas di Malaysia adalah seramai 450,000 orang. Walau pun nilai
450,000 itu merupakan satu jumlah yang besar, nisbah tersebut merupakan satu angka yang
konservatif. Namun, hakikatnya pelajar-pelajar pintar cerdas ini mempunyai keperluan yang
berbeza dari pelajar biasa. Secara umumnya, mereka mempunyai kebolehan kognitif yang
jauh lebih tinggi daripada kalangan rakan sebaya. Pelajar-pelajar ini memerlukan
pembelajaran yang mencabar yang tidak dapat dijangkau oleh pelajar-pelajar biasa. Ini adalah
kerana pelajar pintar cerdas adalah berbeza dari pelajar-pelajar biasa dalam banyak aspek
(Davis & Rimm 1989; Touron, Touron & Silvero, 2005) termasuk perkembangan jasmani
dan psikomotor, emosi, rohani, intelek dan sosial. Mereka mempunyai keperluan-keperluan
tertentu yang boleh membantu mereka meningkatkan potensi diri ke tahap yang lebih
cemerlang. Pengabaian terhadap keperluan tersebut bukan sahaja boleh menyebabkan mereka
tidak mencapai potensi sebenar, bahkan boleh menyebabkan mereka mengalami keciciran
akademik dan dikategorikan sebagai underachievers. Oleh itu, pelajar-pelajar pintar cerdas
ini perlu dikenalpasti dan didedahkan kepada satu bentuk pendidikan khusus (khas) untuk
memastikan potensi mereka digilap dan ditonjolkan untuk menjana modal insan negara dan
dunia. Mereka ini adalah aset negara yang dapat membantu negara berdaya saing dalam dunia
maju ini.

Pendidikan Pintar Cerdas di Malaysia


Akta Pendidikan 1996 Malaysia menyebut Menteri hanya akan menyediakan
pendidikan khas dalam sekolah-sekolah khas. Bagaimanapun, takrif pendidikan khas itu
telah dihadkan kepada perkhidmatan pendidikan bagi kanak-kanak dengan ketakupayaan
berikut: (a) kecacatan fizikal yang teruk, (b) rencatan teruk dan sederhana, (c) pelbagai
ketidakupayaan dan (d) ketakupayaan yang tidak membenarkan kanak-kanak untuk belajar di
sekolah-sekolah yang disediakan oleh Kementerian Pelajaran Malaysia. Kementerian itu juga
menyediakan perkhidmatan pendidikan untuk pelajar-pelajar berkeperluan khas penglihatan,
pendengaran dan pembelajaran serta pelajar-pelajar pemulihan khas. Kategori untuk kanakkanak dengan ketakupayaan pembelajaran dalam skop Kementerian Pelajaran Malaysia ialah:
Down syndrome, Mild Autism, Attention Deficit Hyperactivity Disorder, Minimal Mental
Retardation, and Specific Learning Disability (e.g. Dyslexia) (Akta Pendidikan Malaysia,
1996). Buat masa ini, tidak wujud satu akta yang menekankan kepada proses pembelajaran
pelajar-pelajar pintar cerdas.

Senario pendidikan di Malaysia pula tidak menekankan kepada pembezaan


pembelajaran (differentiated learning) yang dapat dimanfaatkan oleh pelajar pintar cerdas.
Namun, pelajar pintar cerdas pernah diberi peluang untuk belajar ditahap yang lebih tinggi
melalui Sistem Kelas Ekspres yang telah dilaksanakan pada tahun 1962. Pelajar-pelajar
tersebut dikenalpasti dahulu sebelum diberikan peluang untuk memendekkan tempoh
pembelajaran di sekolah rendah dari enam kepada lima tahun. Bagaimana pun sistem ini
diberhentikan selepas beberapa tahun dan disambung semula pada tahun 1967 hingga ke awal
1970an di mana ianya diberhentikan sekali lagi. Dari tempoh tersebut sehingga ke awal
1980an, Kementerian Pelajaran Malaysia tidak menyediakan satu program yang khusus untuk
memenuhi keperluan pembelajaran pelajar-pelajar pintar cerdas sehinggalah Persatuan
MENSA Malaysia ditubuhkan pada tahun 1983 dengan keahlian seramai 140 orang pelajar.
Oleh kerana keperluan untuk menyediakan satu bentuk pendidikan bagi pelajar pintar
cerdas wujud, maka pada tahun 1985, Prof. Madya Azman Wan Cik, pensyarah Fakulti
Pendidikan, Universiti Malaya telah memperkenalkan program Pintar Cerdas BAKA melalui
penyelidikan beliau. Program berbentuk penyelidikan tersebut telah menggunakan satu ujian
dinamakan BAKA untuk mengenalpasti pelajar-pelajar pintar cerdas yang ada di Malaysia.
Ini seterusnya di susuli dengan penubuhan Persatuan Kanak-Kanak Bergeliga Malaysia pada
tahun 1987. Persatuan ini kemudiannya telah menjadi pentas perbincangan dan perkongsian
para individu termasuk guru, para akademik dan ibu bapa yang berminat atau terlibat dengan
pendidikan pelajar-pelajar pintar cerdas.
Perkembangan ini seterusnya diikuti dengan Simposium Pintar-Cerdas Kebangsaan
yang pertama pada tahun 1990 yang dianjurkan oleh Pusat Perkembangan Kanak-Kanak,
Universiti Malaya di Kuala Lumpur. Satu resolusi telah dibentuk hasil dari perbincangan di
symposium tersebut untuk merancang secara sistematik pendidikan pelajar-pelajar pintar
cerdas di Malaysia.
Pada tahun 1996, Kementerian Pelajaran Malaysia telah memperkenalkan Ujian
Penilaian Tahap Satu (PTS) untuk pelajar-pelajar darjah tiga bagi mengenal pasti pelajarpelajar pintar cerdas. Pemilihan tersebut berdasarkan pencapaian akademik, dan pelajarpelajar yang cemerlang diberi peluang untuk terus ke darjah lima. PTS dilaksanakan sehingga
tahun 2001 dan kemudian ditamatkan kerana beberapa masalah. Sehingga akhir tahun 2006,
belum ada sebarang usaha, peruntukan, mahu pun program yang dirangka khusus bagi
membantu pelajar-pelajar pintar cerdas untuk meningkatkan potensi diri mereka dalam
bidang akademik dan kehidupan.
Namun, sejarah pendidikan pelajar pintar cerdas di Malaysia bermula semula pada
tahun 2007 apabila seorang kanak-kanak pintar cerdas Matematik, Adi Putra Abd. Ghani
menjadi perhatian media massa. Beliau telah diuji tahap kepintarannya oleh Prof. Madya Dr.
Noriah Mohd. Ishak seorang pakar kaunseling dan psikologi dan Dr. Rosadah Abd. Majid
seorang pakar bidang pendidikan khas untuk kanak-kanak pintar cerdas dari Universiti
Kebangsaan Malaysia. Adi Putra didapati mempunyai kepintaran yang superior dalam
beberapa bahagian matematik. Adi seterusnya telah ditawarkan beberapa pilihan program
pembelajaran berbentuk pecutan dan pengayaan oleh beberapa buah universiti tempatan. Ini
merupakan titik tolak kepada permulaan program pendidikan kanak-kanak pintar cerdas di
Malaysia selepas program BAKA yang diperkenalkan pada awal tahun 1970an. Bertitik dari
Adi Putra dan dengan sokongan padu YAB Datin Seri Paduka Rosmah Mansor yang ketika
itu adalah isteri kepada Perdana Menteri Malaysia, projek PERMATApintar seterusnya telah
digarap dengan teliti. Adalah menjadi harapan negara supaya projek ini dapat menyungkil

lebih ramai pelajar-pelajar pintar yang berada di seluruh pelusuk negara tanpa mengira
bangsa, agama, latar belakang keluarga dan budaya.
Untuk memenuhi keperluan pelajar-pelajar pintar ini, beberapa program berbentuk
pengayaan, dan pecutan di beberapa institusi seluruh dunia telah dikenalpasti untuk dikaji
program mereka. Antaranya adalah Universiti Mahidol di Thailand, High School for Maths
and Science di National University Singapore, Beijing Number 8 High School di Beijing,
Center for Talented Youth, Johns Hopkins University, dan Lita Hollingworth Gifted Center
di University of Columbia, New York. Program yang dipilih dan dirasakan bersesuaian
adalah yang dijalankan oleh Centre for Talented Youth, Johns Hopkins University yang telah
menyediakan program-program berbentuk pengayaan di 23 buah tempat seluruh Amerika
Syarikat (Ybarra, 2005). Pusat ini menyediakan kursus-kursus seperti bioteknologi,
neurosains, genetik, farmakologi dan taksologi, kursus-kursus sains (biologi, kimia, fizik) dan
matematik berbentuk pecutan, sains komputer, struktur data dan algorithma, kriptologi, dan
kursus-kursus penulisan kreatif. Menurut Ybrra (2005) dan Frost (2005) kursus-kursus
sedemikian adalah penting bagi memastikan minda pelajar-pelajar pintar cerdas terus
dirangsang agar sentiasa dapat menjana idea yang kreatif dan inovatif.
Pengalaman, kepakaran dan model program pengayaan yang ada di Centre for
Talented Youth, Johns Hopkins University telah diambil bagi membantu memulakan
Program PERMATApintar Malaysia yang dilancarkan oleh isteri Perdana Menteri Malaysia,
YAB Datin Sri Rosmah Mansor. Program ini merupakan program pengayaan pelajar pintar
cerdas yang pertama di negara ini dan Universiti Kebangsaan Malaysia telah diberikan
kepercayaan untuk melaksanakan program PERMATApintar Negara. Asas kepada
pembinaan program ini ialah Falsafah Pendidikan Negara:
Pendidikan di Malaysia adalah satu usaha berterusan ke arah
memperkembangankan lagi potensi individu secara menyeluruh dan
bersepadu untuk mewujudkan insan yang seimbang dan harmonis dari segi
intelek, rohani, emosi, dan jasmani berdasarkan kepada kepercayaan dan
kepatuhan kepada Tuhan. Usaha ini adalah bagi melahirkan rakyat Malaysia
yang berilmu, bertanggungjawab dan berkeupayaan mencapai kesejahteraan
diri serta memberi sumbangan terhadap keharmonian dan kemakmuran
masyarakat dan Negara.
Falsafah Pendidikan Negara menekan kepada perkembangan holistik pelajar dari aspek
jasmani, emosi, rohani, intelek dan sosial (JERI). Namun satu lagi aspek perkembangan yang
perlu diberi perhatian ialah aspek sosial termasuk: kebolehan berkomunikasi, bekerja sebagai
satu pasukan, memahami dan membantu orang lain, mengurus konflik dan kebolehan
memimpin dalam kalangan pelajar-pelajar pintar cerdas. Perkembangan dalam aspek ini
boleh dilihat melalui tingkahlaku yang ditunjukkan oleh pelajar-pelajar sepanjang mereka
menjalani aktiviti-aktivit program PERMATApintar.
Dalam membina kerangka konsep program PERMATApintar, pusat PERMATApintar
Negara telah mengambil kira beberapa aspek: (a) Kesesuaian ujian saringan yang diguna
pakai untuk memilih pelajar-pelajar pintar cerdas di Malaysia, (b) pencarian pelajar pintar
cerdas yang mempunyai latar belakang yang berbeza dan berada di beberapa lokasi termasuk
di kawasan pendalaman, (c) pengalaman pendidikan inklusif yang dialami oleh pelajarpelajar pintar cerdas semasa mereka di sekolah masing-masing, (d) program pengayaan yang
dapat membuka minda mereka untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif, (e) program pecutan
yang boleh di sepadukan dengan kurikulum kebangsaan, (f) Falsafah Pendidikan Negara yang

menekankan kepada perkembangan kendiri yang holistik merangkumi jasmani, emosi,


rohani, intelek dan sosial, dan (g) program pecutan yang dapat melonjakkan kebolehan
pelajar untuk menjadi lebih inovatif melalui penyelidikan bersama pakar.
Keistimewaan program PERMATApintar di Malaysia adalah kesinambungan
programnya serta penyesuaiannya dengan sistem pendidikan yang sedia ada. Program ini
bermula dengan Program Pencarian Bakat bagi mengenalpasti pelajar pintar berumur antara
sembilan hingga 15 di seluruh Malaysia. Mereka akan menduduki ujian kecerdasan UKM 1
dan UKM 2 dan mereka yang melepasi ujian kecerdasan UKM 2 akan ditawarkan untuk
mengikuti Program Perkhemahan Cuti Sekolah yang dijalankan selama tiga minggu semasa
cuti sekolah pada bulan November hingga Disember. Pelajar berusia 15 tahun yang layak
menduduki pemilihan khas matematik dan sains serta menepati syarat-syarat kemasukan,
akan mengikuti Persekolahan Menengah Tinggi di Pusat PERMATApintar selama dua tahun.
Ini dikiuti oleh Program ASASIpintar selepas mereka berjaya menduduki Peperiksaan Sijil
Am pelajaran (SPM).
Program Pencarian Bakat Ujian UKM1 dan UKM 2
Dalam usaha mencari dan mengenalpasti pelajar untuk penyertaan dalam program
PERMATApintar Negara, ujian-ujian psikologikal intelek atau intelligence quotient (IQ)
digunakan. Ujian-ujian yang digunakan ialah ujian-ujian PERMATApintar UKM1 dan
UKM2. Ujian PERMATApintar UKM1 merupakan ujian saringan peringkat pertama yang
setara dengan ujian Ravens Standard Progressive Matrices
Plus Version and Mill
Vocabulary. Ia terdiri daripada 3 konstruk iaitu Pencarian Simbol dan Perbendaharaan KataSoalan Terbuka dan Perbendaharaan Kata-Soalan Aneka Pilihan (Ravens, 1960).
Manakala ujian saringan kedua PERMATApintar UKM2 pula adalah setara dengan
ujian Wechsler Intelligence Scale for Children edisi ke empat (WISC-IV). Ia mempunyai 4
konstruk utama iaitu Indeks Pemahaman Lisan, Indeks Penaakulan Persepsi, Indeks Daya
Ingatan Bekerja dan Indeks Kelajuan Memproses Maklumat (Flanagan & Kaufman 2004).
Indeks Pemahaman lisan menguji perbendaharaan kata, persamaan, pemahaman, maklumat
dan penaakulan perkataan. Indeks Penaakulan Persepsi terdiri daripada sub ujian reka bentuk
blok, penaakulan matriks, konsep gambar, penyiapan gambar. Indeks Daya Ingatan Bekerja
terdiri daripada rentangan digit, jujukan huruf-nombor dan arithmetik. Manakala Indeks
Kelajuan Pemprosesan Maklumat terdiri daripada pengekodan, pencarian simbol dan
pembatalan.
Jawatankuasa pembina ujian saringan di Pusat PERMATApintar Negara mengambil
keputusan untuk tidak menggunakan ke dua-dua ujian Ravens Standard Progressive Matrices
Plus Version and Mill Vocabulary dan Wechsler Intelligence Scale for Children edisi ke
empat (WISC-IV) dalam versi asal mereka kerana kajian yang dijalankan oleh Noriah, Siti
Rahayah, Saemah, Zuria, dan Rosadah (2000) menunjukkan kebanyakan item yang
digunakan dalam ujian tersebut mempunyai elemen bias budaya. Pelajar yang diuji
menggunakan WISC-III asal telah mengalami kekeliruan dalam memberikan respon kerana
elemen bias budaya item-item tersebut. Walau pun WISCIII telah diedit dan diperbaharui
kepada WISC-IV, namun masih terdapat banyak item-item asal WISC-III yang dikekalkan.
Item WISV-IV yang didapati menunjukkan bias budaya yang tinggi adalah seperti berikut:
i.

John has 4 pennies and his mother gave him two more. How many pennies
did he has altogether

ii.
iii.
iv.

What are the four seasons of the year?


What is the Winter Solstice?
How far is it from London to New York?

Justeru, untuk menangani masalah item bias budaya, dua set item (untuk setiap ujian)
telah dibina semula menggunakan prinsip pengukuran dan penilaian yang diguna pakai oleh
ke dua-dua ujian tersebut. Ujian yang dibangunkan telah dirintis ke atas 250 orang pelajar
pintar akademik dari beberapa buah sekolah berasrama penuh (SBP) di sekitar Selangor dan
Seremban dan dinilai kebolehpercayaan dan kesahannya secara statistik.
Kedua-dua jenis ujian iaitu Ujian PERMATApintar UKM1 dan Ujian
PERMATApintar UKM2 telah dibangunkan secara dalam talian berasaskan web untuk
mencari secara menyeluruh pelajar-pelajar pintar cerdas di seluruh pelosok negara dan boleh
dicapai melalui laman web http://www.permatapintar.com.my. Di luar negara, hanya pelajarpelajar yang berpotensi sahaja menduduki ujian IQ secara bertulis kerana ia adalah mahal dan
memakan masa serta tidak perlu diambil oleh semua pelajar (Palmer 2006). Namun, di
Malaysia, pelajar tidak dikenakan bayaran untuk mengambil ujian ini dan ke dua-dua ujian
dibuka kepada semua pelajar berusia 9 hingga 15 tahun. Ini merupakan usaha yang
dijalankan oleh Pusat PERMATApintar untuk mengesan pelajar pintar cerdas di Malaysia
seramai yang mungkin dan meliputi seluruh negara supaya prinsip no child is left behind
dalam pencarian ini dapat didokong dengan sempurna.
Program Perkhemahan Cuti Sekolah PERMATApintar
Program Perkemahan Cuti Sekolah dijalankan selama tiga minggu semasa cuti
persekolahan bulan November hingga Disember. Perkhemahan pertama dijalankan pada 30
November hingga 18 Disember 2009 yang lalu. Pelajar-pelajar berumur antara 9 hingga 15
tahun yang telah dipilih melalui ujian saringan yang di adakan, akan dibahagikan kepada 27
kumpulan mengikut kumpulan umur dan kursus yang diajar. Mereka ditempatkan di dua
asrama di UKM. Perkemahan tersebut dirasmikan oleh YAB Dato Seri Najib Tun Razak,
Perdana Menteri Malaysia diiringi oleh penaung Projek PERMATApintar iaitu YAB Datin
Seri Paduka Rosmah Mansor. Sepanjang perkemahan pelajar didedahkan dengan aktiviti
akademik, aktiviti kokurikulum berbentuk kesenian dan sukan, program-program kerohanian
mengikut agama masing-masing dan lawatan ke beberapa tempat seperti Pusat Sains,
Planetarium, Petrosains dan Taman Paku Pakis di UKM
Program yang dijalankan dalam tempoh 3 minggu ini juga dikendalikan oleh
pengajar, pembantu pengajar dan pembantu pelajar yang dilatih khusus oleh instructor
yang telah mendapat latihan di Johns Hopkins University Center for Talented Youth.
Perkemahan ini telah diurus oleh pihak pengurusan yang dibentuk berdasarkan struktur
organisasi yang diguna pakai oleh JHU-CTY dan diubah suai mengikut kesuaian UKM
khususnya dan keperluan pelajar pintar cerdas Malaysian amnya. Pendekatan yang digunakan
adalah pembelajaran secara experiential dan hands-on di mana setiap kelas terdiri di antara
15 -16 orang pelajar yang diajar oleh seorang Pengajar dan dibantu oleh seorang Pembantu
Pengajar.
Kursus-kursus yang ditawarkan seperti yang di dalam jadual berikut berbentuk
pengayaan dan pecutan (Fast-paced Biology) dan dijalankan dalam dwibahasa; bergantung
kepada keperluan pelajar.

KURSUS UNTUK PELAJAR


BERUMUR 13 15 TAHUN

KURSUS UNTUK PELAJAR


BERUMUR 9 12 TAHUN

Biologi Pecutan (Fast-Paced


High School Biolog)y

Menjadi Saintis (Be A Scientist)

Kriptologi (Cryptolog)y

Penaakulan Mantik
(Mathematical Reasoning)

Bioteknologi (Biotecnolog)y

Pengenalan kepada Robotik


(Introduction To Roboti)c

Mengarang penulisan
(The Crafting The Essay)

Penulisan dan Imaginasi


(Writing and Imasgination)

Rekacipta
(Invention)

Rekacipta
(Invention)

Sains penerbangan
(Flight Science)
Kristal dan Polimer
(Crystal and Polymer)
Kebarangkalian dan Teori
Permainan
(Probability and Game Theory)
Pengenalan kepada Green
Technology
(Introduction to Green
Technology)

Untuk memastikan perkembangan pelajar secara meyeluruh, aktiviti-aktiviti


kokurikulum seperti permainan dan aktiviti kesenian, kerohanian dan Program Ucapan
Umum dan Kepimpinan diterapkan di dalam jadual harian pelajar. Maklumat lanjut boleh
dicapai melalu laman web www.permatapintar.edu.com.my

Sekolah PERMATApintar UKM


Universiti Kebangsaan Malaysia juga telah diberi kepercayaan untuk melaksanakan
projek Sekolah PERMATApintar UKM yang akan bermula pada bulan Januari 2011. Sekolah
ini hanya mengambil pelajar-pelajar yang telah tamat tingkatan tiga dari mana-mana sekolah
yang berdaftar dengan Kementerian Pelajaran Malaysia. Pada tahun pertama, sekolah ini
memuatkan sejumlah 150 orang pelajar pintar cerdas berumur 16 tahun dari seluruh
Malaysia. Sekolah ini terletak dalam UKM bersebelahan dengan Institut INBIOSIS yang
sedia ada di UKM.
Sekolah ini menawarkan program berbentuk pecutan dan pengayaan, bersandarkan
kurikulum kebangsaan, Falsafah Pendidikan Negara dan konsep Satu Malaysia yang

diperkenalkan oleh Perdana Menteri Malaysia, YAB Dato Seri Najib Tun Razak. Pelajarpelajar yang terpilih adalah mereka yang telah melalui ujian saringan yang ketat dikendalikan
oleh Pusat PERMATApintar Negara, UKM. Sekolah ini boleh dianggap sebagai satu makmal
pengajaran dan pembelajaran pelajar pintar cerdas dimana kaedah pengajarannya lebih
tertumpu kepada pembelajaran berbentuk differentiated learning. Pelajar-pelajar belajar
mengikut kemampuan diri sendiri dengan dibantu oleh guru pakar yang memang mahir dalam
setiap bidang yang diajar.

Ilustrasi Pelukis Untuk Sekolah PERMATApintar UKM


Sebelum mula merancang pembinaan Sekolah PERMATApintar UKM, beberapa siri
lawatan di beberapa buah sekolah di dunia telah dilakukan bersama dengan YAB Datin Seri
Paduka Rosmah Mansor untuk meninjau sekolah-sekolah pelajar pintar cerdas yang sedia
ada. Pengalaman dari siri lawatan tersebut telah dapat memberikan pihak pengurusan Pusat
PERMATApintar, UKM dan jawatan kuasa pemandu projek PERMATApintar gambaran
tentang konsep yang boleh diguna pakai bagi membantu pembinaan sekolah tersebut di
UKM.
Program ASASIPintar UKM
Untuk melengkapkan program-program yang ditawarkan oleh Pusat PERMATApintar
Negara, pihak pengurusan UKM telah meminta pusat mengendalikan program ASASIpintar
yang akan dimulakan pada bulan Jun 2010 dengan kohort pertama seramai 250 orang pelajar.
ASASIpintar merupakan program pra-universiti yang mengambil masa selama setahun.
Program ini akan dikendalikan di UKM dengan menggunakan tenaga pengajar pakar di UKM
sendiri dan bidang pengajian lebih tertumpu kepada bidang Sains, Teknologi dan Matematik.
Buat masa kini, satu kurikulum khas telah dibina dan pelajar akan mengambil
sejumlah 40 jam kredit kursus-kursus yang dapat membantu mereka: (a) membina jati diri
yang mantap, (b) meningkatkan kebolehan menjalankan penyelidikan, dan (c) meningkatkan
pengetahuan dalam bidang Sains (Biologi, Kimia dan Fizik) dan Matematik. Pengendalian
program ini akan melibatkan semua fakulti di UKM yang berasaskan Sains dan teknologi

termasuk Fakulti Pendidikan, Fakulti Kejuruteraan, Fakulti Sains dan Teknologi, Fakulti
Perubatan, Fakulti Pergigian dan Fakulti Sains Kesihatan Bersekutu.
Pelajar yang tamat program ASASIpintar dan mencapai tahap kecemerlangan yang
ditetapkan oleh UKM akan diterima masuk ke pelbagai fakulti di UKM. Oleh kerana mereka
telah mengambil sebanyak 20 jam kredit kursus-kursus wajib university yang ditawarkan di
UKM, mereka akan dapat memendekkan tempoh pengajian mereka dari tempoh yang
diberikan untuk sesuatu bidang pengajian. Justeru, mereka akan dapat menamatkan pengajian
mereka lebih awal dari pelajar biasa.
Kesimpulan
Program PERMATApintar Negara yang dijalankan di Universiti Kebangsaan Malaysia
adalah satu program yang komprehensif ditujukan khusus untuk pelajar-pelajar pintar cerdas
di Malaysia bagi membantu perkembangan jasmani, emosi, rohani, intelek dan sosial mereka.
Pelajar-pelajar pintar cerdas di Malaysia merupakan aset negara yang perlu dipelihara melalui
pelbagai aktiviti yang boleh merangsang minda mereka untuk menjadi lebih kreatif dan
inovatif. Justeru, Program PERMATApintar Negara, UKM mengadunkan beberapa program
termasuk Pencarian Bakat, Perkemahan Cuti Sekolah, Sekolah PERMATApintar dan
Program ASASIpintar agar wujud kesinambungan antara program-program tersebut bagi
menampung keperluan pembelajaran pelajar-pelajar pintar cerdas yang unik.
Adalah diharapkan agar program PERMATApintar Negara boleh menghasilkan
sekurang-kurangnya seorang penerima anugerah nobel, saintis, atau ahli matematik yang
boleh menjadi kebanggaan Negara dimasa hadapan. Diharap, mereka ini akan menjadi saksi
semasa pembukaan kapsul harapan yang mengandungi kepingan-kepingan kertas bersama
coretan yang membawa harapan pelajar-pelajar pintar cerdas, tenaga pengajar dan semua
pembantu yang terlibat dalam perkemahan cuti sekolah tahun 2009, pihak pengurusan UKM
dan Pusat PERMATApintar Negara, dan pihak-pihak lain yang terlibat secara langsung
dengan projek PERMATApintar Negara, serta YAB Perdana Menteri dan isteri yang telah
ditanam semasa acara pecah tanah tapak Pusat PERMATApintar yang akan dibuka 25 tahun
dari sekarang.

Rujukan
Davis, G., & Rimm, S. 1998. Education of the gifted and talented. 4th Edition. Allyn & Bacon
: New York
Flanagan, D. P. & Kaufman A. S. 2004. Essentials of WISC-IV Assessment. New Jersey:
John Wiley & Sons.
Frost (2005) The CTY summer school model: evolvement, adaptation and extrapolation at the
National Academy for Gifted and Talented Youth (England), High Ability. 17, 137-153
Gilheany, S. 2005. The Irish Center for Talented Youth. High Ability Studies, 16,1, 113-120.
Nasca, D. 1978. Educational Consultant for Gifted Program Development. American
Educational Research Journal, 15, 175-199
Noriah, M.I., Siti Rahayah, A., Saemah A. R., Zuria, M. & Roshadah, A.M. 2000. The use of
WISC Intelligent Test among Malaysian children: A comparison study. Proceeding for
Learning Conference, RMIT, Melbourne.

Olszewski-Kubilius, P. 2005. The Center for Talent Development at Northwestern


University: an example of replication and reformation. High Ability Studies, 16,1, 5570.
Palmer, D. 2006. Parents Guide to IQ Testing and Gifted Education: with a Special Section
on Bright Kids with learning problems. Long Beach: Parent Guide Books.
Ravens, J. C. 1960. Standard progressive Matrices: Sets A. B. C. D. and E. A non - verbal
test of a person's present capacity for intellectual activity, and the Mill Hill
Vocabulary Scale. A Definition and Synonym Selection Test of a person's general
culture level relative to other people. London: H. K. LEWIS & Co. Ltd.
Tuttle, F.B. & Becker, L.A. 1980. Characteristics and identification of gifted and talented
students. National Education Association, Englewood Cliffs: NJ,
Tidwell, R. 1980. A psycho-educational profile of 1,593 Gifted High School Students. Gifted
Child Quarterly, 24, 2, 63-68
Tourn, J, Tourn, Silvero, M. 2005. The Center for Talented Youth Spain: an initiative to
serve highly able students. High Ability, 15,121-135
Ybarra, L. 2005. Beyond national borders: the Johns Hopkins University Center for Talented
Youth reaching out to gifted children from throughout the world. High Ability, 12, 1526.

Bagian 5

ANALISIS PERILAKU TERAPAN

Menangani Persoalan Perilaku Siswa Di Sekolah


Ign. Dharta Ranu Wijaya Universitas Pendidikan Indonesia

Pendahuluan
Guru-guru telah lama menyadari bahwa persoalan perilaku akan menghambat siswa untuk
berfungsi secara produktif di kelas. Para pendidik sangat memahami bahwa terdapat
hubungan antara perilaku dan belajar dalam keberhasilan siswa di sekolah. Undang-Undang
mengenai Sistem Pendidikan Nasional 2006 yang membuka peluang pendidikan yang sama
bagi setiap individu termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di dalamnya dan PP
19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, meski tidak eksplisit, namun memberikan
arahan bagi seluruh staf sekolah untuk mempertimbangkan kerangka perilaku sebagai sarana
pendukung dalam memahami persoalan-persoalan perilaku yang berpengaruh pada kegiatan
belajar mengajar di sekolah. Mendukung semua kebutuhan para siswa di sekolah, baik yang
tipikal maupun mereka yang mengalami hambatan perkembangan dan hambatan belajar di
sekolah adalah prioritas pendidikan kita dewasa ini.
Subyek dari makalah ini adalah dukungan bagi para guru atau tim guru yang bertanggung
jawab terhadap Program Pembelajaran Individual (PPI) setiap siswa di kelas sehingga
pemahaman terhadap asesmen fungsional perilaku dan rencana positif intervensi mutlak
diperlukan di sekolah. Makalah ini bertujuan untuk membangun wacana didaktis serta
mengimplementasikan asesmen fungsional perilaku dan rencana intervensi dalam
mengembangan PPI oleh tim guru di sekolah. Untuk memberikan gambaran yang jelas,
bagian awal akan mengupas konsep asesmen fungsional perilaku sebagai proses dan petunjuk
dalam melaksanakannya. Selanjutnya, adalah ulasan mengenai rencana intervensi, termasuk
penjelasan bagaimana membangun, menerapkan, dan mengevaluasi berbagai intervensi yang
telah dilaksanakan.
Makalah ini menggunakan terminologi umum dan teknis untuk membantu para pembaca
memahami teknik-teknik yang ada dan memberikan kosa kata yang diperlukan untuk mencari
informasi mendalam mengenai suatu subyek. Makalah ini tidak ditujukan sebagai suatu
bentuk pelatihan lengkap karena hanya menawarkan sebuah gambaran umum mengenai
teknik-teknik yang digunakan. Tidak ditujukan pula untuk memberikan suatu advokasi dari
dasar filosofis tertentu karena selalu dibutuhkan kombinasi berbagai teknik untuk memahami
fungsi-fungsi perilaku, kognisi, dan afeksi seorang siswa agar dapat dikembangkan intervensi
positif dari setiap perilaku siswa.
Siswa Berkebutuhan Khusus Dan Inklusi
Anak Berkebutuhan khusus adalah kumpulan istilah yang digunakan untuk menjelaskan anak
dengan hambatan/gangguan fisik atau intelektual yang membutuhkan bantuan dan peralatan
tertentu untuk memfasilitasi pendidikan mereka. (Friel, J. 1997). Secara nasional data ABK
di Indonesia ada 1,48 juta atau 0,7 persen (BPS 2005) dari jumlah penduduk. Usia sekolah, 518 tahun, ada 21,42 persen, atau 317.016 anak. ABK yang sudah memeroleh layanan
pendidikan baik di sekolah maupun inklusi baru 28.897 atau 26,15 persen. Data itu berarti
ada 234.119 atau 73,85 persen ABK di Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan.
Sementara jumlah total Sekolah Luar Biasa (SLB) ada 1.311 sekolah, dengan status negeri
23 persen, atau 301 sekolah. Swasta 77 persen, atau 1.010 sekolah, hal ini menunjukkan
bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan bagi ABK masih belum mendapatkan perhatian
yang layak.

Undang-undang tentang sistem pendidikan nasional menjelaskan bahwa setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang
dimaksud adalah mereka yang memiliki bakat dan kecerdasan istimewa, mereka yang
memiliki kelainan fisik, emosi, mental, intelektual dan sosial. Di Indonesia pendidikan yang
merangkul semua (inklusif) anak dipayungi oleh UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Meski keduanya tidak secara
eksplisit mengarahkan sekolah dan para guru untuk fokus pada persoalan-persoalan perilaku
ABK, namun setidaknya, sekolah dan para guru berkewajiban meningkatkan kualitas
pendidikan semua siswa dengan:
1. mengeksplorasi strategi-strategi dan sistem-sistem dukungan yang dibutuhkan dalam
memahami setiap perilaku yang berpengaruh pada pembelajaran siswa
2. menempatkan setiap siswa berkebutuhan khusus di dalam setting-setting yang dipilih
dengan memperhatikan individualitas dan kemampuannya untuk mendapatkan
pembelajaran yang berarti
3. membangun level kenyamanan emosi dan komunikasi antara guru dan siswa demi
mendukung proses pembelajaran
4. membangun kerjasama tim bersama seluruh guru di sekolah dan mendapatkan
dukungan dari para praktisi dan profesional dalam bidang pendidikan khusus untuk
memberikan bantuan dan evaluasi obyektif
Peran Dan Tanggungjawab Tim Pembuat Program Pembelajaran Individual (PPI)
Hingga saat ini, sering ditemui adanya Guru Pendamping Khusus (GPK) di kelas yang
memberikan bantuan dan instruksi langsung bagi para ABK. Belakangan ini, tanggung jawab
GPK sebagaimana guru-guru di sekolah umum semakin meluas sehingga melibatkan
kerjasama profesional dalam mendukung setiap partisipasi ABK dalam menghadapi
kurikulum pendidikan. Perubahan ini membawa seluruh staf sekolah untuk tidak hanya fokus
pada pengajaran ABK menggunakan kurikulum saja, tetapi juga melakukan asesmen dan
evaluasi terhadap setiap progres yang dihasilkan siswa sebagaimana yang diamanatkan dalam
UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP 19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Hingga hari ini, terlihat semakin meningkat adanya kebutuhan para
guru untuk bekerjasama dengan bidang-bidang pendidikan yang terkait dalam rangka
memecahkan berbagai persoalan perilaku siswa yang mempengaruhi kemajuan akademisnya
di kelas. Sebagai penentu dalam merancang PPI, guru kelas sangat berperan dalam
mengembangkan manajemen kelas yang komprehensif dan membangun target-target serta
rencana-rencana pembelajaran bagi ABK di sekolah masing-masing.
Perlunya Asesmen Fungsional Perilaku
Meski para profesional dan praktisi pendidikan menganut berbagai keyakinan filosofis yang
berbeda, tetapi umumnya mereka sepakat bahwa tidak ada penyebab tunggal dari suatu
persoalan perilaku. Beberapa ilustrasi kasus berikut ini menunjukan berbagai penyebab dari
perilaku-perilaku yang dianggap mengganggu:
Adi, anak laki-laki usia 14 tahun kemampuan menulis dan membacanya seperti anak
kelas 1 SD. Ia akan menolak tugas membaca dan menulis yang diberikan gurunya
dengan melempar atau merobek buku sambil berkata, tidak mau, tidak mau, tidak
mau... untuk menginformasikan pada guru bahwa ia tidak mau menyelesaikan
tugasnya.

Beni, usia 11 tahun menjadi sangat frustrasi dan akan mengamuk bila diberikan soal
perkalian bersusun ke bawah. Gurunya menganggap sangat sulit mengajarkan
perkalian dengan cara ini.
Cica, anak perempuan berumur 9 tahun suka sekali membaca novel Hary Potter di
rumah. Ia menyatakan tugas membaca dan menulis di sekolah sangat menjenuhkan, ia
bahkan selalu menggambar-gambar dan menulis-nulis narasi yang dibuatnya sendiri
di dalam buku tugas. Gurunya sering menegur karena Cica senang mencoret-coret
buku dan tidak mengerjakan tugas dengan benar.
Dudi, usia 12 tahun, menurutnya gurunya memiliki persoalan konsentrasi dan
perhatian. Dudi dapat menjadi sangat terganggu ketika melihat sesuatu di luar jendela
kelasnya dan mendengar suara di sekitarnya. Ia akan memukul-mukul meja dan
berteriak bahwa ia tidak dapat mengerjakan tugasnya.

Beberapa contoh di atas menunjukan adanya kemiripan topografi perilaku (yang terlihat dan
dapat didengar), namun pada setiap kasus di atas penyebab atau fungsi dari perilakuperilaku di atas berbeda. Bila fokus kita hanya pada topografi perilaku saja maka sedikit
informasi yang dapat dikembangkan untuk membangun intervensi yang efektif.
Mengidentifikasikan penyebab perilaku siswa atau lebih tepatnya mengetahui apa yang
didapatkan atau dihindari siswa melalui perilakunya dapat menyediakan informasi yang
diperlukan bagi para guru dalam mengembangkan PPI. Memahami persoalan perilaku pada
siswa memungkinkan terjadinya strategi-strategi pembelajaran yang proaktif sehingga
berpengaruh positif pada aspek akademis siswa di sekolah. Menghukum dengan cara
memarahi, menegur, atau bahkan pemberian hukuman fisik, hanya mengatasi gejala-gejala
dari persoalan perilaku yang timbul, tetapi tidak menyelesaikan persoalan yang dirasakan
Adi, frustrasi dari Beni, kejenuhan Cica, dan persoalan stimulasi yang berlebihan pada Dudi.
Dengan demikian persoalan tersebut akan terus terjadi, kecuali bila penyebab dari persoalanpersoalan perilaku di atas diselesaikan oleh para guru.
Asesmen Fungsional Perilaku adalah suatu pendekatan yang menggabungkan berbagai teknik
dan strategi untuk mengetahui penyebab-penyebab dan kemudian mengidentifikasikan
intervensi yang tepat untuk mengatasi persoalan perilaku yang ada. Prosedur ini akan melihat
lebih dari sekedar perilaku yang tampak (overt) melalui topografi perilaku, tetapi lebih jauh
akan mempertimbangkan aspek-aspek biologis, sosial, afeksi, dan lingkungan yang mungkin
mendorong, dipertahankan atau diakhirinya suatu bentuk perilaku tertentu. Pendekatan ini
sangat penting karena mendorong para guru untuk mengobservasi perilaku siswa lebih jauh
melalui analisi fungsional dalam mencari akar persoalan perilaku pada siswa. Penggunaan
pertanyaan mengapa sejak dulu telah terbukti efektif mengatasi dan mencari alternatif
penyelesaian dari berbagai persoalan dalam hidup.
Pertimbangan wajar/tepat tidaknya suatu bentuk perilaku tidak selalu sama dengan apa yang
disebut sebagi fungsi dari perilaku. Misalnya, mendapatkan nilai-nilai yang bagus di kelas
dapat berfungsi sama dengan perilaku usil/jahil di kelas yang bertujuan untuk mendapatkan
perhatian dari teman sebaya atau guru kelas. Namun kita semua yakin bahwa jauh lebih wajar
atau tepat bagi seorang siswa mendapatkan nilai bagus di kelas daripada mengganggu di
kelas. Bila para guru mengembangkan PPI melalui asesmen fungsional perilaku maka
dimungkinkan adanya informasi bahwa siswa mencari perhatian di kelas dengan cara-cara
yang kurang tepat sehingga kebutuhan akan hal ini dapat diarahkan pada perilaku alternatif
yang memiliki fungsi sama dengan persoalan perilaku siswa. Menggunakan asesmen
fungsional perilaku dalam membangun PPI memungkinkan seluruh tim merancang rencana
pembelajaran yang mendukung terciptanya perilaku pengganti yang fungsinya sama dengan

persoalan perilaku yang ditunjukan (misal pada kasus di atas adalah mengajarkan Beni
menyampaikan pemintaan tolong/bantuan pada guru dengan suara jelas dan tenang ketika
mendapatkan soal perkalian yang dianggapnya sulit). Di sisi lain, menggunakan pendekatan
ini juga memungkinkan tim membangun strategi untuk menurunkan bahkan menghilangkan
peluang terjadinya lagi persoalan perilaku di sekolah sehingga berpengaruh pada hasil
akademis (memastikan bahwa Cica mendapatkan tugas bahasa yang sesuai dengan kebutuhan
perkembangannya).
Melaksanakan Asesmen Fungsional Perilaku
Meski banyak teknik dan variasi dalam melakukan asesmen fungsional perilaku tetapi tidak
berarti harus menggunakan teknik atau strategi yang spesifik dalam asemen perilaku. Hal
pertama yang perlu dilakukan dalam prosesnya adalah mendefinisikan perilaku secara
konkret.
Mengidentifikasikan Persoalan Perilaku
Sebelum melakukan asesmen fungsional perilaku, guru perlu mencari kejelasan mengenai
perilaku yang menghambat proses belajar siswa atau yang menimbulkan persoalan dan
pelanggaran aturan serta tata-tertib di kelas dengan cara mendefinisikan perilaku secara
konkret dan mudah dikomunikasikan serta mudah dicatat dan diukur. Bila definisi perilaku
tidak jelas (abstrak), maka sulit menentukan intervensi yang tepat. Berbagai istilah yang tidak
operasional cenderung mengarahkan pada proses labeling yang tidak membawa manfaat
sama sekali dalam proses belajar mengajar di sekolah.
Contoh definisi yang konkret:
Persoalan Perilaku
Edi anak yang hiperaktif

Definisi Konkret
Edi keluar dari kursi dan berjalan-jalan di kelas tanpa
meminta ijin guru
Edi tidak selesai mengerjakan tugas matematika dan hanya
sebagian tugas yang dikerjakannya

Fahri anak yang suka ribut di kelas

Gunadi anak yang kasar

Edi spontan berteriak menjawab pertanyaan yang dilontarkan


guru di muka kelas tanpa menunjuk jari lebih dulu
Fahri memberikan komentar-komentar yang tidak relevan dan
berbicara tidak sesuai topik selama belajar dan diskusi
kelompok di kelas
Gunadi memukul siswa lain yang menyenggolnya tanpa
sengaja sewaktu istirahat

Jika persoalan perilaku sudah didefinisikan secara jelas, maka tim dapat memulai
merencanakan asesmen fungsional perilaku untuk menentukan fungsi-fungsi dari perilaku
tertentu. Diperlukan observasi yang obyektif di lokasi, situasi, dan kegiatan-kegiatan yang
berbeda. Bahkan perlu juga dilakukan diskusi bersama staf guru lainnya untuk mendapatkan
kejelasan dari suatu bentuk perilaku yang spesifik pada salah seorang siswa yang dianggap
bermasalah.
Strategi-Strategi Alternatif dalam Asesmen
Menggunakan berbagai variasi teknik-teknik asesmen akan mengarahkan tim guru pada
pemahaman yang lebih baik mengenai persoalan perilaku siswa di sekolah. Sumber-sumber
dan metode yang bervariasi wajib dicari dan dicobakan untuk mendapatkan informasi yang
tepat, apalagi bila persoalan perilaku yang diteliti memiliki beberapa fungsi yang berbeda,
sesuai dengan situasi serta kondisi tertentu. Misal: memberikan komentar-komentar spontan
yang tidak berhubungan selama guru menjelaskan di kelas mungkin berfungsi mendapatkan

perhatian dari teman-teman sekelas, namun pada kondisi lain bertujuan agar siswa tidak
disuruh-suruh atau dipanggil guru ke depan kelas. Faktor-faktor yang kontekstual tersebut
sesunguhnya lebih dari sekumpulan data hasil observasi perilaku siswa, tetapi juga
melibatkan fungsi afeksi dan kognitif siswa. Secara sederhan; pencetus (antecedent) suatu
persoalan perilaku tidak selalu dapat diobservasi langsung sehingga guru perlu melakukan
penelitian secara tidak langsung dengan melibatkan siswa untuk berdiskusi dan
membicarakan persoalannya. Jika seorang siswa mencoret-coret buku tugasnya ketika harus
menyelesaikan tugas di papan tulis, tidak berarti kemudian siswa itu adalah anak bandel yang
tidak mau mengikuti instruksi guru, tetapi mungkin adanya kenyataan bahwa siswa tidak tahu
apa yang harus dilakukan dan bagaimana caranya mengantisipasi kebingungan atau
ketidakmampuannya memahami soal di papan tulis.
Persoalan perilaku memiliki cabang-cabang yang menyebabkannya sehingga perlu dilakukan
observasi dan penilaian dari berbagai variabel yang memungkinkan. Tim guru perlu
mempertimbangkan mengenai apa yang terjadi setelah suatu perilaku ditunjukan siswa,
apakah siswa mendapatkan sesuatu, atau menghindari /melarikan diri dari sesuatu. Proses
ini akan memudahkan tim mengidentifikasikan teknik-teknik yang sesuai dalam melakukan
asesmen fungsional perilaku dan kemudian menyusun sebuah rencana intervensi. Beberapa
pertanyaan di bawah ini dapat memberikan petunjuk bagi para guru untuk memahami
persoalan perilaku siswa.
Apakah persoalan perilaku berhubungan dengan tidak ditunjukannya (defisit) kemampuan
tertentu pada siswa?
Apakah ada bukti yang menunjukkan bahwa siswa tidak tahu sehingga tidak mampu
melakukannya? Siswa yang menunjukan perfoma perilaku yang rendah di satu bidang
tertentu mungkin menunjukan perilaku-perilaku yang dapat membantu mereka menghindari
atau melarikan diri dari tugas tersebut. Bila para guru mencurigai adanya bukti bahwa
seorang siswa tidak dapat melakukan tugasnya karena ada kemampuan siswa yang belum
terbangun, maka pertanyaan-pertanyaan berikut dapat dikembangkan:
Apakah siswa memahami situasi-situasi tertentu dimana ia harus menjukan perilaku
tertentu?
Apakah siswa menyadari bahwa ia tengah melakukan perilaku yang tidak dapat
diterima oleh lingkungan atau malah perilaku itu hanya sekedar kebiasaan?
Apakah kontrol perilaku ada dalam diri siswa sendiri atau siswa tersebut sama sekali
tidak menyadarinya sehingga memerlukan bantuan orang lain?
Apakah siswa memiliki keterampilan lain (perilaku baru/pengganti) yang diperlukan
untuk menampilkan perilaku yang diharapkan?
Apakah siswa mempunyai kemampuan dan keterampilan tertentu tetapi karena alasan lain ia
tidak menunjukan keinginan untuk mengubah perilakunya?
Terkadang seorang siswa memiliki kemampuan pada bidang pelajaran tertentu, tetapi karena
suatu alasan, ia tidak menunjukan secara konsisten dalam situasi dan kondisi tertentu.
Kondisi ini sering disebut sebagai rendahnya perfoma perilaku. Siswa yang mampu tetapi
tidak menunjukan kemampuannya secara konsisten mungkin mengalami kondisi dimana ia
mendapatkan berbagai konsekuensi yang kemudian mempengaruhi perilakunya. Perilaku
yang tidak diharapkan mendapatkan imbalan dari teman atau guru sementara perilaku yang
diharapkan tidak pernah atau kadang saja mendapatkan imbalan. Bila kondisi ini terjadi,
maka pertanyaan-pertanyaan berikut dapat dikembangkan guru.

Apakah mungkin ada ketidakjelasan perilaku? Misal: berteriak dan bertepuk tangan
keras-keras dilakukan siswa selama pelajaran olah raga di luar kelas, tetapi apakah
perilaku ini juga ditunjukan siswa selama kegiatan belajar mengajar di kelas?
Apakah siswa memiliki pemahaman mengenai suatu nilai ketika ia menunjukan
perilakunya?
Apakah persoalan perilaku itu berasosiasi dengan kondisi sosial atau lingkungan
tertentu?
Apakah siswa berusaha menghindari tugas yang kurang diminati atau malah
menghindari tugas yang menjadi tuntutan guru?
Apakah di kelas ada aturan, rutinitas, dan harapan yang dianggap oleh siswa tidak
masuk akal?

Mempertimbangkan berbagai pertanyan di atas dapat membantu guru dalam menentukan


komponen-komponen asesmen yang tepat sehingga intervensi yang akan direncanakan pun
dapat efektif.
Berbagai Teknik dalam Asesmen Fungsional Perilaku
Asesmen tidak langsung: sering juga disebut asesmen informan, asesmen ini sangat
bergantung pada penggunaan pertanyaan terstruktur yang berkaitan dengan siswa. Para guru
perlu menstrukturkan berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan informasi-informasi,
seperti:
Setting-setting mana saja observasi akan dilakukan?
Adakah setting tertentu dimana perilaku tidak ditunjukan siswa?
Siapa saja orang-orang yang ada pada saat siswa menunjukan persoalan perilakunya?
Aktivitas atau interaksi apa yang sedang terjadi sebelum perilaku ditunjukan?
Apa yang biasanya terjadi kemudian setelah persoalan perilaku ditunjukan?
Perilaku apa saja yang dianggap lebih tepat, dapat diterima, dan mungkin mampu
menggantikan persoalan perilaku?
Interview dengan siswa sangat membantu guru untuk mengidentifikasikan persepsi siswa
terhadap situasi tertentu yang menyebabkan mereka merespon secara negatif melalui perilaku
mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat disampaikan guru adalah:
Apa yang kamu pikirkan sebelum kamu memukul wajah temanmu?
Bagaimana soal perkalian ini menurutmu?
Apakah kamu tahu apa yang diharapkan oleh Ibu Guru X kepada mu selama pelajaran
matematika di kelas?
Sewaktu kamu berteriak, menangis, dan menjerit di kelas, apa yang biasanya terjadi
sesudah itu?
Kuesioner, skala, dan checklist juga dapat digunakan dalam asesmen tidak langsung.
Informasi mengenai penggunaan Instrumen-instrumen dapat ditemukan dalam berbagai
literatur pendidikan.
Asemen langsung: meliputi observasi dan pencatatan situasional berbagai faktor yang
berhubungan dengan persoalan perilaku, misalnya kejadian-kejadian dari antecedent dan
consequent. Para guru dapat melakukan observasi pada setting tertentu dimana perilaku
terjadi dan mencatat menggunakan lembaran data Antecedent-Behavior-Consequence (ABC).

Guru yang melakukan observasi juga dapat menggunakan matriks atau grafik untuk
menunjukan hubungan antara variabel-variabel instruksional tertentu dan respon-respon yang
ditunjukan siswa. Teknik-teknik ini sangat berguna dalam menampilkan: faktor-faktor
lingkungan fisik (pengaturan tempat), kegiatan-kegiatan (mata pelajaran tertentu), atau
faktor-faktor temporer lainya (sakit) yang mungkin mempengaruhi perilaku siswa. Alat-alat
tersebut dapat dikembangkan untuk mengetahui variabel-variabel tertentu dalam pertanyaan
dan dapat diperluas untuk menganalisa perilaku dan situasi-situasi lain. Misalnya dengan
pembagian waktu (inkrimen) setiap 5 menit, 30 menit, 1 jam, atau bahkan satu hari.
Observasi yang secara konsisten dilakukan lintas waktu dan situasi mampu merefleksikan
pengukuran yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif sehingga observasi ini sangat
direkomendasikan untuk dilakukan oleh para guru.
Analisa data: ketika tim sudah cukup puas dengan data yang terkumpul, langkah berikutnya
adalah membandingkan dan menganalisa informasi. Analisa data akan menentukan ada atau
tidaknya pola-pola yang berasosiasi dengan perilaku (saat Gunadi tersenggol atau tertabrak
anak lain, ia akan bereaksi dengan memukul). Jika pola-pola tidak dapat ditemukan, tim guru
wajib mengkaji ulang asesmen fungsional perilaku dan menggunakan metode lainnya untuk
meneliti perilaku siswa.
Membangun hipotesis: dilakukan dari hasil analisa informasi yang didapat. Guru dapat
membuat suatu hipotesis berdasarkan fungsi perilaku yang ditemukannya. Hipotesis ini akan
memprediksikan kondisi-kondisi umum dimana perilaku sering terjadi (antecedent) serta
konsekuensi yang menyertainya hingga kemudian akan melanggengkan persoalan perilaku di
kemudian hari. Melalui asesmen fungsional perilaku dapat diketahui apakah komentarkomentar Fahri yang tidak relevan selama belajar di kelas mempunyai fungsi untuk mencari
perhatian (persetujuan verbal dari teman sekelas), menghindari instruksi (tugas yang sulit),
mendapatkan sesuatu yang bersifat sensoris (stimulasi internal), atau malah semuanya, untuk
mendapatkan perhatian dan menghindari subyek-subyek tertentu yang tidak diiminatinya.
Bila perilaku yang diteliti sudah diketahui fungsinya, maka rencana intervensi perilaku
individual dapat dilakukan. Namun sebelum semua rencana intervensi itu dilakukan, para
guru wajib membangun suatu hipotesis (penjelasan yang mungkin) dari perilaku Fahri. Para
guru mungkin memberikan hipotesis bahwa perilaku Fahri memberikan komentar-komentar
yang tidak relevan selama belajar bertujuan untuk mendapatkan perhatian teman sekelasnya.
Tim guru perlu mengakomodasikan kebutuhan ini dalam lingkungan kelas Fahri dan
memastikan bahwa ia mendapatkan perhatian dari teman sekelasnya dengan cara-cara yang
wajar. Bila perubahan perilaku Fahri terjadi melalui manipulasi yang dilakukan guru, maka
dapat dipastikan bahwa hipotesis tadi benar, tetapi bila perilakunya tetap sama sekalipun
lingkungan sudah dimanipulasi maka hipotesis baru perlu dibuat kembali berdasarkan datadata yang telah dikumpulkan dari proses asesmen. Meski alat dalam asesmen fungsional
perilaku dan informasi-informasi lain juga dilampirkan diakhir makalah, namun hal penting
yang perlu dicatat oleh para guru adalah bahwa dalam setiap kasus-kasus perkembangan
belajar siswa di sekolah, intervensi tidak didasarkan pada satu jenis pengukuran dan satu
observer saja. Melalui berbagai percobaan dan pengalaman maka banyak komponen dalam
asesmen dapat dilakukan oleh para guru di sekolah.
Rencana Intervensi Perilaku
Setelah analisa data dan menyusun hipotesis dari suatu fungsi perilaku tertentu, maka tim
guru dapat menyusun rencana intervensi perilaku yang mungkin dapat dilakukan. Rencana
intervensi dapat meliputi: strategi-stragtegi instruksional yang positif, modifikasi program
pembelajaran (kurikulum), tambahan alat bantu pengajaran, dan dukungan lainnya yang

diperlukan dalam menangani persoalan perilaku yang ditemukan di kelas. Data-data yang
dikumpulkan selama asesmen memberikan informasi mengenai kondisi aktual siswa dan
perilaku yang diharapkan (target) sehingga mampu memberikan obyektivitas bagi para guru
di sekolah umum (reguler) ketika ABK di-inklusikan dalam kelas/sekolahnya. Guru tidak
hanya menggunakan informasi tersebut untuk membangun target-target perilaku yang
diharapkan selama belajar di sekolah tetapi mereka juga dapat meneliti kondisi-kondisi
lingkungan kelas dan kurikulum untuk dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan
perkembangan siswa yang bersangkutan.
Rencana-rencana intervensi menekankan kemampuan yang dimiliki siswa agar ia dapat
berperilaku sesuai dengan yang diharapkan oleh lingkungan di sekitarnya. Rencana intervensi
juga dapat berisi tentang bagaimana memberikan dukungan dan motivasi pada siswa untuk
mencapai suatu standar perilaku yang diharapkan. Suatu rencana intervensi yang hanya
menekankan pada kontrol perilaku berpeluang mengalami kegagalan mencapai generalisasi
(kemampuan memecahkan masalah di berbagai setting dan situasi yang berbeda), situasi ini
akan mengesampingkan kebutuhan belajar siswa yang sesungguhnya. Rencana-rencana
positif dalam intervensi perilaku dapat mengakomodasikan antara sumber persoalan dan
persoalan perilaku itu sendiri, sehingga tim guru perlu mempertimbangkan hal-hal berikut
ketika merencanakan dukungan dan intervensi bagi siswa mereka.
manipulasi antecedent dan, atau kosekuensi dari perilaku
mengajarkan perilaku pengganti yang dapat diterima oleh lingkungan dan berfungsi
sama dengan persoalan perilaku yang ditunjukan siswa
implementasi perubahan strategi pengajaran dan kurikulum
modifikasi lingkungan fisik
Bagian selanjutnya akan menguraikan beberapa kondisi yang mungkin terjadi pada siswa dan
bagaimana upaya guru dalam mengembangkan rencana intervensi.
Bila Siswa Tidak Menunjukan (Defisit) Kemampuan yang diharapkan
Asesmen dapat mengindikasikan adanya ketidakmampuan siswa untuk menunjukan
keterampilan tertentu dan siswa tidak mengetahui bagaimana menampilkan kemampuan yang
diharapkan. Asesmen fungsional perilaku akan menunjukan bahwa siswa cenderung akan
menghindari atau melarikan diri dari: (a) situasi-situasi tertentu dimana ia tidak mampu
menampilkan kemampuan yang diharapkan (b) karena tidak mampu menampilkan perilaku
yang diharapkan, maka siswa akan menunjukan perilaku alternatif yang diyakini dapat
memenuhi kebutuhannya. Contoh, seorang siswa dapat menunjukan perilaku yang kasar
dengan memukul, mendorong, atau menjitak kepala temannya untuk mengakhiri situasi
konfrontasional yang dihadapinya di sekolah. Bila kemudian siswa diajarkan kemampuan
memecahkan masalah secara tepat, maka siswa tersebut akan menggunakan cara-cara yang
tidak lagi kasar jika menghadapi situasi konfrontasional lainnya. Dalam kasus ini, para guru
perlu menyertakan berbagai rencana dan deskripsi mengenai bagaimana mengajarkan
kemampuan memecahkan masalah yang menjadi kebutuhan perkembangan siswa saat itu.
Menjelaskan kepada siswa mengenai perilaku yang diharapkan dengan cara-cara yang
konkret, baik melalui penggunaan alat bantu, strategi pengajaran tertentu, dan modifikasi
yang diperlukan, akan memberikan pengetahuan dan pemahaman bagi siswa yang tidak tahu
harus berbuat apa dalam situasi tertentu. Kalau perilaku yang diharapkan dari siswa adalah
untuk mendengarkan secara aktif penjelasan guru dalam Pelajaran PPKN, contoh rencana
intervensinya:

Target Perilaku: Selama guru menjelaskan pelajaran PPKN di depan kelas, Anton akan
membuat komentar dan pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran hingga 80 prosen
kesempatan.
Tujuan: Selama 30 menit pelajaran di kelas besar (lebih dari 20 siswa), Anton akan
menyampaikan 3 pertanyaan dan 2 di antaranya berhubungan (relevan) dengan materi yang
disampaikan guru.
Aktivitas-aktivitas untuk mencapai target perilaku dan tujuan yang diharapkan:
guru memberikan contoh model dan situasi-situasi dimana Anton harus mendengar
dan membantu Anton mengidentifikasikan komponen-komponen dari kemampuan
mendengar aktif (misal: tangan di atas meja, kaki diam tidak bergerak, mata melihat
pada guru yang sedang berbicara, bibir tertutup, memikirkan semua yang telah
dikatakan guru dan menentukan perlu tidaknya informasi tambahan, mengenali
perasaan yang muncul selama guru menerangkan, dan memberikan komentar atau
pertanyaan bila perlu)
Anton akan membuat daftar situasi di mana kemampuan mendengarkan aktif
diperlukan kemudian menjelaskan perilaku-perilaku yang sesuai dalam setiap
situasinya
Anton akan berpartisipasi dalam role-play di mana ia harus menunjukan
kemampuan mendengarkan aktif
Anton akan berlatih kemampuan mendengar aktif sesuai dengan daftar situasi-situasi
yang telah dibuatnya dan akan melaporkan hasilnya pada guru, konselor, atau orang
tua
Guru dan Anton bersama-sama memonitor sejauh mana kemampuan mendengar aktif
selama pelajaran dan akan mendapatkan penguatan personal seperti: Saya sudah
mendengarkan dengan baik
Anton akan mengidentifikasikan dan menggunakan kemampuan mendengar aktif
dalam situasi-situasi yang berbeda
Bila kemudiana ada siswa yang tidak menyadari perilakunya dan bertindak berdasarkan
kebiasaan, maka guru dapat merencanakan penggunaan petunjuk sebagai bantuan. Bantuan
ini dapat sangat personal dan mungkin hanya diketahui oleh guru dan siswa sendiri. Beni
yang secara impulsif suka menjawab pertanyaan guru di kelas tanpa tunjuk jari, maka perlu
ada kesepakatan bila hal ini dilakukan Beni di kelas. Misal, guru akan melihat langsung pada
Beni dan kemudian memberikan petunjuk dengan mengangkat tangan kanan. Jika kemudian
Beni menyadari lalu kemudian ia tunjuk jari, maka guru memperbolehkan Beni untuk
menjawab pertanyaan yang diberikan.
Ada juga kemungkinan siswa tidak mampu mengontrol perilakunya jika tidak dibantu oleh
guru. Hal ini dapat terjadi karena alasan yang bersifat biologis atau medis. Meskipun tim guru
tidak melakukan diagnosa medis dalam PPI tetapi dapat dicantumkan rujukan atau referal
untuk mendapatkan evaluasi medis lebih lanjut.
Modifikasi pembelajaran dan penggunaan alat bantu seringkali diperlukan dalam
mengajarkan kemampuan akademis (sama halnya dengan perilaku dan kognitif) sehingga
menuntut guru melakukan task analysis (memecah tugas dalam unit-unit kemampuan yang
dapat diajarkan). Jika kemampuan yang hendak diajarkan adalah menalar dan memecahkan
masalah sosial, maka kemampuan individual yang dapat diajarkan adalah:

Mendeskripsikan persoalan (Apa yang menjadi tujuan? Apa hambatannya?


Menuliskan semua kemungkinan penyelesaian masalah
Menentukan konsekuensi dari setiap penyelesaian masalah
Mengevaluasi tiap penyelesaian masalah dan menentukan cara terbaik yang dapat
berlaku dalam jangka panjang
Memilih solusi terbaik
Merencanakan bagaimana menerapkannya
Mengevaluasi

Sementara metode pengajarannya dapat dibagi dalam komponen-komponen berikut:


Mengidentifikasikan tahapan-tahapan yang diperlukan dalam penyelesaian masalah
Mengenali tahapannya ketika guru dan teman sebaya memberikan model
Berpartisipasi dalam role-play yang menuntut kemampuan memecahkan masalah
Berlatih memecahkan masalah dalam situasi-situasi kehidupan nyata
Teknik di atas umumnya disebut sebagai integrasi kurikulum yang mendasarkan pada
kosep: suatu keterampilan akan mudah dipelajari bila diajarkan dalam konteks di mana
keterampilan tersebut digunakan.
Bila Performa Siswa Tidak Konsisten Ditunjukan
Asesmen yang mengindikasikan adanya kemampuan siswa tetapi ia tidak menunjukannya
secara konsisten, maka rencana intervensi akan meliputi berbagai teknik, strategi, dan
dukungan motivasi agar siswa dapat menunjukan kemampuannya.
Bila hasil analisa menunjukan bahwa siswa melakukan perbuatannya untuk mendapatkan
kesenangan tertentu (reinforcing), maka intervensi yang direncanakan harus dapat membuat
perilaku yang diharapkan dari siswa memiliki konsekuensi yang menyenangkan. Ketika
seorang siswa sengaja membuat komentar yang tidak pantas di kelas agar semua temantemannya tertawa, maka rencana intervensinya adalah memberikan imbalan yang
menyenangkan pada siswa tersebut hanya jika ia membuat komentar yang tepat/wajar.
Kontrak perilaku atau token ekonomi dapat juga diterapkan untuk mengubah perilaku
tersebut.
Beberapa siswa kadang menunjukan persoalan perilakunya manakala mereka tidak melihat
nilai yang sesungguhnya. Bila Charlie ingin menjadi pemusik ketika dewasa nanti, mungkin
ia tidak melihat nilai positif dalam pelajaran matematika untuk bekalnya di kemudian hari
sebagai pemusik. Dengan demikian, intervensi yang dilakukan juga harus meliputi strategi
meningkatkan motivasi Charlie, misalnya dengan menunjukan bahwa ia harus lulus
matematika untuk dapat diterima sebagai pemusik di komunitas lokal di sekitar tempat
tinggalnya.
Teknik lainnya ketika bekerjasama dengan siswa yang minim motivasi internalnya adalah
memberikan motivasi eksternal. Siswa yang tidak mampu melihat nilai intrinsik dari setiap
perilakunya, setidaknya mendapatkan dukungan dari berbagai jenis imbalan ektrinsik, seperti:
waktu bebas, kegiatan yang menyenangkan, token, dsb. Tentu saja hal ini secara gradual akan
dihilangkan (fading out) dan disesuaikan dengan kondisi natural siswa sendiri. Semua ini
dilakukan melalui proses yang disebut pairing.

Bila Ditemukan Keduanya Pada Siswa Tidak Konsisten Ditunjukan


Beberapa persoalan siswa mungkin akan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan siswa
lainnya sehingga memerlukan kombinasi teknik-teknik dan bantuan tertentu. Misalnya,
seorang siswa yang sulit mengontrol kemarahannya sehingga ia dapat menyakiti dirinya
sendiri dan orang lain, maka ia perlu diajarkan untuk:
Mengenali tanda-tanda fisik ketika ia akan marah
Mengunakan teknik relaksasi
Mengaplikasikan kemampuan memecahkan masalah
Melatih kemampuan berkomunikasi (dengan dukungan alat bantu bila diperlukan)
Menemui konselor sekolah secara rutin
Modifikasi kurikulum atau lingkungan belajar, dsb.
Pemberian imbalan eksternal dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan ketidakmampuan
mengontrol kemarahan siswa. Para ahli dan praktisi pendidikan sepakat untuk tidak
menggunakan pendekatan yang kasar (aversive) sebagai teknik mengontrol perilaku yang
dianggap menganggangu, namun dalam kasus dan situasi tertentu, hal tersebut dapat
dibenarkan, bila:
Perilaku itu membahayakan nyawa siswa sendiri dan nyawa orang lain
Perilaku yang ditunjukan mengancam dan membatasi peluang siswa sendiri dan siswa
lain untuk belajar dan bersosialisasi
Segala bentuk intervensi positif telah dicoba dalam waktu yang panjang dan ternyata
tidak efektif
Para guru wajib mempertimbangkan berbagai pendekatan positif sebelum mengambil
keputusan untuk menggunakan hukuman (punishment). Hukuman pada kenyataannya selalu
membuat perilaku bertambah buruk dan tidak menimbulkan proses belajar yang benar.
Hukuman juga hanya menghasilkan kontrol sesat pada gejala permasalahan perilaku dan
tidak mengakomodasikan fungsi perilaku serta kebutuhan perkembangan anak sendiri.
Sebagai tambahan selain faktor kemampuan dan motivasi siswa, asesmen fungsional perilaku
dapat mengungkapkan kondisi-kondisi dalam lingkungan belajar siswa yang berasosiasi
dengan persoalan perilaku yang ditunjukan. Faktor-faktor tersebut sangat bergaman dan dapat
meliputi penataan fisik kelas yang tidak tepat, tugas-tugas pembelajaran dari guru yang
terlalu menuntut atau itu-itu saja, iklim sosial sekolah yang tidak sehat, dsb. Namun sekali
lagi, modifikasi kurikulum dan lingkungan belajar yang ramah terhadap semua siswa akan
selalu mampu mengatasi persoalan-persoalan di atas. Dukungan positif selalu diperlukan agar
siswa menunjukan perilakunya secara tepat, baik melalui kehadiran konselor maupun
psikolog sekolah, atau sumber-sumber lainnya, misalnya:
Teman sebaya yang mendukung perilaku maupun kompetensi akademis siswa yang
bermasalah melalui tutoring dan aktivitas-aktivitas dalam resolusi konflik yang akan
mengakomodasikan kebutuhan sosial siswa
Dukungan keluarga melalui pola pengasuhan dan kebiasaan-kebiasaan positif dalam
keluarga, misal melalui pembuatan jadwal terstruktur di rumah, kebiasaan
mengerjakan PR, dan peluang-peluang untuk memilih dan mengambil keputusan
Guru dan Guru Pendamping Khusus yang selalu mengupayakan dukungan akademis,
modifikasi kurikulum dalam meningkatkan peluang siswa berpartisipasi di sekolah
sehingga perilakunya menjadi semakin prososial

Praktisi lain yang ada di sekolah, seperti: terapis wicara dan terapis okupasi yang
dapat mengembangkan kemampuan siswa baik secara internal maupun ekspektasi
yang diharapkan

Apapun pendekatan yang dilakukan oleh guru, bila rencana intervensi berkembang semakin
proaktif dan inklusif serta merefleksikan kebutuhan perkembangan siswa yang sesungguhnya,
maka semakin besar peluang keberhasilan intervensinya.
Secara singkat, menggunakan intervensi positif berarti:
Menggantikan persoalan perilaku dengan perilaku yang dapat diterima lingkungan
dan berfungsi sama dengan persolan perilaku yang ditunjukan
Meningkatnya intesitas perilaku-perilaku yang prososial
Membuat perubahan pada lingkungan dengan mengeliminasi faktor-faktor yang
mencetuskan berbagai persoalan perilaku
Memberikan dukungan dan bantuan yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan
siswa
Mengevaluasi Rencana Intervensi
Dua prosedur yang perlu dilakukan dalam menyusun rencana intervensi adalah: (1) prosedur
monitoring berupa manajemen kelas dalam implementasi setiap rencana kegiatan, (2)
prosedur dalam mengukur perubahan perilaku. Tim guru harus menentukan batas waktu
dalam mengiplementasikan dan melakukan asesmen ulang dari suatu perubahan perilaku
tertentu yang konsisten dengan keseluruhan target intervensi. Agar semakin berarti, PPI harus
diriview secara berkala atau jika tim perumus PPI merasa perlu meninjau kembali. Situasisituasi yang mungkin mengarahkan pada perlunya perubahan PPI, diantaranya adalah:
Perilaku yang diharapkan dari siwa sudah mencapai target dan tujuan sehingga targettarget baru perlu disusun dan direncanakan
Perubahan kondisi/situasi; intervensi perilaku sudah lagi tidak diperlukan dalam
mengakomodasikan kebutuhan belajar siswa
Perubahan penempatan belajar siswa yang disepakati bersama seluruh anggota tim
penyusun PPI
Intervensi perilaku yang sesungguhnya tidak sekedar membawa perubahan-perubahan
yang baik pada setiap perilaku siswa tetapi juga memberikan evaluasi terhadap
seluruh keberhasilan siswa
Rangkuman
Pelaksanaan asesmen fungsional perilaku berkaitan dengan hasil belajar siswa
memungkinkan para guru menyusun PPI lebih efektif dan efisien. Kapasitas dan peluang
belajar siswa merupakan pertimbangan utama sehingga semuanya dapat dicapai melalui
rancangan intervensi yang spesifik, tidak saja berisi tentang perilaku yang harus ditunjukan
siswa tetapi juga mengajarkan alternatif perilaku, pemberian dukungan, peluang, dan
motivasi untuk mencapai kemampuan tertentu. Jika semua itu dilakukan dengan tepat maka,
seluruh staf di sekolah berpeluang menciptakan lingkungan belajar yang mengakomodasikan
kebutuhan belajar seluruh siswanya.

Bahan Bacaan
Alberto, P.A., & Troutman, A.C. (1995). Applied behavior analysis for teachers (4th
ed.).Englewood Cliffs, NJ: Merrill/Prentice-Hall.
Bullock, L.M., & Gable, R.A. (Eds.) (1997). Making collaboration work for children,
youth,families, schools, and communities. Reston, VA: Council for Children with Behavioral Disorders
&Chesapeake Institute.
Durand, V. M. (1993). Functional assessment and functional analysis. In M. D. Smith (Ed.).
Behavior modification for exceptional children and youth. Boston: Andover Medical Publishers.
Gable, R. A., Sugai, G. M., Lewis, T. J., Nelson, J. R., Cheney, D., Safran, S. P., & Safran,
Iwata, B. A., Vollmer, T. R., & Zarcone, J. R. (1990). The experimental (functional) analysis
of behavior disorders: Methodology, applications, and limitations. In A. C. Repp & N. Singh (Eds.),
Aversive and nonaversive treatment: The great debate in developmental disabilities (pp. 301-330).
DeKalb, IL: Sycamore Press.
Kaplan, J.S. (with Carter, J.) (1995). Beyond behavior modification: A cognitive-behavioral
approach to behavior management in the school (3rd edition). Austin, TX: Pro-Ed.
Kerr, M.M., & Nelson, C.M. (1998). Strategies for managing behavior problems in the
classroom (3rd edition). New York: MacMillan.
Lawry, J. R., Storey, K., & Danko, C. D. (1993). Analyzing behavior problems in the
classroom: A case study of functional analysis. Intervention in the School and Clinic, 29, 96-100.
Rutherford, R.B., Quinn, M.M., & Mathur, S.R. (1996). Effective strategies for teaching
appropriate behaviors to children with emotional/behavioral disorders. Reston, VA: Council for
Children with Behavioral Disorders.
Schmid, R. E., & Evans, W. H. (1997). Curriculum and instruction practices for students with
emotional/behavioral disorders. Reston, VA: Council for Children with Behavioral Disorders.
Sugai, G. M., & Tindal, G. A. (1993). Effective school consultation: An interactive approach.
Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.
Walker, H. M., Colvin, G., & Ramsey, E. (1995). Antisocial behavior in school: Strategies
and best practices. Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.

PENERAPAN PRINSIP-PRPINSIP KONSELING BEHAVIORAL DALAM


PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN SISWA TUNAGRAHITA

OLEH: IDING TARSIDI, M.PD.


PLB FIP UPI BANDUNG
ABSTRAK
Kemandirian bagi siswa tunagrahita mengarah kepada pengembangan keterampilan
perilaku adaptif, terutama keterampilan mengurus diri dalam kehidupan sehari-hari (personal
living skills) atau activity of daily living dan keterampilan menyesuaikan diri dengan
lingkungan (social adaptif skills). Kenyataan menunjukkan bahwa saat ini masih banyak anak
tunagrahita yang sudah menyelesaikan pendidikan di sekolah khusus tunagrahita (SLB C)
namun belum bisan mandiri. Hal ini tampak dari gejala perilaku, diantaranya anak belum
mampu melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upaya membantu
mengembangkan potensi siswa tunagrahita mencapai kemandirian secara optimal, guru
seyogyanya mampu mengoptimalkan dan merekayasa lingkungan belajar sedemikian rupa
sehingga kondusif bagi siswa untuk belajar, mampu memilih pendekatan, metode dan
teknik atau strategi intervensi yang sesuai dengan karakteristik kebutuhan belajar siswa
tunagrahita, dan mampu melakukan re-orientasi pendekatan pembelajaran, yaitu
mensinergikan antara pendekatan pengajaran dengan pendekatan psycho-education (nilainilai konseling) dalam proses pembelajaran siswa.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip pembelajaran
kemandirian berbasis konseling behavioral sekaligus model penerapannya bagi guru SLB
C dalam pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita untuk memfasilitasi upaya
pengembangan potensi siswa mencapai kemandirian secara optimal. Pendekatan
penelitian adalah campuran kualitatif dan kuantitatif. Teknik pengumpulan data
wawancara, observasi, kuesioner, dan analisis dokumen. Teknik pengolahan data
deskriptif-kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan hakikat kemandirian siswa
tunagrahita dan lingkungan perkembangan (belajar). Prosedurnya: temuan data
digeneralisasikan (dikonfirm dengan analisis teoretis konseling behavioral), dilakukan
reduksi data, dikonseptualisasikan atau abstraksi untuk menghasilkan prinsip-prinsip
pembelajaran kemandirian berbasis konseling behavioral.
Prinsip-prinsip pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita berbasis konseling
behavioral sebagai temuan penelitian, sebagai berikut: (1). Individualisasi (Individualized
Educational Program/Plan), (2). Ke-konkretan (Concrete), (3). Pengulangan (Belajar secara
berulang-ulang), (4). Pembiasaan (habituation), (5). Rutinitas dan Ketidakberagaman
aktivitas, (6). Keberurutan (Sequensial), (7). Penguasaan Kemampuan Prasyarat
(Prerequisite), (8). Belajar secara Berkesinambungan (Continues Learning Progress), (9).
Fungsional-Aplikatif (Applicative-Functional), (10). Rujukan Kemajuan Perkembangan Diri
Sendiri (Self Progress Development Refferenced), (11). Kesederhanaan dan Kemudahan,
(12). Pengawasan dan bimbingan (External control & Guidance).
Rekomendasinya, temuan penelitian berupa prinsip-prinsip pembelajaran
kemandirian berbasis konseling behavioral diasumsikan sesuai dengan kondisi dan
karakteristik kebutuhan belajar siswa tunagrahita sedang dan bersifat fungsional-aplikatif.
Dengan demikian, dapat digunakan guru SLB C sebagai salah satu rujukan pendekatan
pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita sedang untuk membantu mengembangkan
potensi siswa mencapai kemandiriannya secara optimal. Dalam arti memfasilitasi

kepemilikan keterampilan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari siswa tunagrahita


sedang.
Kata kunci: Behaviorisme, Konseling behavioral, Prinsip-prinsip pembelajaran,
kemandirian siswa tunagrahita
ABSTRACT

Autonomy or independency for children with special need (mental retardatioan) lead to
developmental adaptif behavior, especially to develop personal living skills or activity in
daily living and social adaptif skills. In fact, recently is more children with mental
retardatioan whom graduate special school for children with mental retardation not yet
autonomy. Those are manifested fenomena, i.e maladaptive or not yet to activity in dailiy
living. Therefore, to help develop children with mental retardation potencial to reach
optimally autonomy (self care, self-help), ones need to re-orientation approach or
intervention strategy in instructional process of autonomy for children with mental
retardation. This contex, teaher-guided need to have ability to selection and application
approach, methode and technic or strategy suite for children with special need (mental
retardation) characteristic. This article talked behavioral values or principles whose
assumpted give many contribution and functionally, enhance ones can used teachers as
approach inferences or intervention strategy in instructional process of autonomy for
children with mental retardation.
Key word: Behavioral Principles, Mental Retardation (Trainable) Autonomy of
Instructional

A. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sekolah luar biasa tunagrahita (SLB C) merupakan lembaga formal yang bertugas
menyelengarakan pendidikan (pengajaran, latihan, dan bimbingan) bagi peserta didiknya
untuk mencapai tujuan pendidikannya secara optimal, terutama kemandiriannya dalam
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak
kesenjangan dalam mengantarkan anak untuk mencapai tugas perkembangan tersebut, antara
lain tampak dari gejala belum terkuasainya activity in daily living, malajustment, dan
kesulitan berinteraksi dengan orang lain, sehingga potensi dan bakat anak pun belum dapat
dikembangkan secara optimal.
Menurut Alimin (2006), bagi anak tunagrahita sekurang-kurangnya diperlukan dua
bidang kemandirian yang harus dimiliki, yaitu: (1). Keterampilan dasar dalam hal membaca,
menulis, komunikasi lisan dan berhitung, (2). Keterampilan perilaku adaptif, yaitu
keterampilan mengurus diri dalam kehidupan sehari-hari (personal living skills) dan
keterampilan menyesuaikan diri dengan lingkungan (social adaptif skills).
Belum berhasilnya sekolah SLB C membantu mewujudkan kemandirian siswa
tunagrahita secara optimal, kemungkinan dapat disebabkan oleh berbagai faktor (merujuk
kepada penelitian sebelumnya), antara lain: (1). Program pembelajaran untuk membantu
mengembangkan potensi siswa tunagrahita mencapai kemandiriannya secara optimal belum
dijalankan sebagaimana mestinya dan belum efektif (Soendari, T (2002); (2). Proses

pembelajaran kurang bernuansa tugas perkembangan dan ekologi perkembangan (belajar)


siswa. (Astati, 1999); (3). Kecenderungan perilaku guru dan orang tua yang kurang
proporsional dalam memperlakukan anak, sikap orang tua cenderung melindungi anak secara
berlebihan (over protektif) atau sebaliknya membiarkannya (Efendi, J., 2002); (4). Proses
pembelajaran siswa tidak secara sungguh-sungguh didasarkan atas hasil asesmen dan
individualisasi, dimana baru pada tahap orientasi (memperoleh informasi) atau sedang
mempelajari sebagai orientasi nilai tuntutan guru (Rochyadi, E., 2001) .
Perubahan cara pandang masyarakat dunia terhadap pendidikan anak berkebutuhan
khusus, berdampak pada orientasi penyelenggaraan pendidikan anak tunagrahita yang lebih
diarahkan berdasarkan prinsip the Least Restrictive Environment, Ecological Oriented dan
atau Behavioral Oriented. Pendekatan ini mengandung arti bahwa dalam mendidik anak
tunagrahita diupayakan dalam lingkungan yang tidak terpisah, tidak dibatasi dan memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya, dengan berorientasi kepada tingkah laku dan ekologisnya,
melalui layanan pendidikan khusus sesuai kebutuhan anak.
Mengingat peran guru SLB C dalam pembelajaran siswa tunagrahita cukup besar,
maka dalam upaya membantu mengembangkan potensi siswa tunagrahita mencapai
kemandiriannya secara optimal, guru dituntut mampu memilih pendekatan, metode dan
teknik atau strategi intervensi yang sesuai dengan karakteristik kebutuhan belajar siswa
tunagrahita, merekayasa dan mengoptimalkan lingkungan belajar sedemikian rupa
sehingga kondusif bagi siswa untuk belajar, serta mensinergikan antara pendekatan
pengajaran dengan pendekatan psycho-education (nilai-nilai bimbingan dan konseling)
dalam proses pembelajaran siswa.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah dirumuskan sebagai berikut Prinsipprinsip konseling behavioral yang bagaimana yang dapat digunakan guru SLB C dalam
pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita untuk membantu mengembangkan potensi siswa
mencapai kemandiriannya secara optimal?
Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling
(behavioral) yang sesuai dengan karakteristik kebutuhan belajar siswa tunagrahita sekaligus
model penerapannya yang dapat digunakan guru SLB C untuk membantu memfasilitasi
upaya mengembangkan potensi siswa tunagrahita sedang mencapai kemandiriannya secara
optimal.
Temuan penelitian diharapkan memberikan manfaat baik secara teoretis maupun
praktis bagi pihak-pihak terkait dengan pendidikan anak tunagrahita terutama guru SLB C,
sebagai berikut: (1). Secara teoretis, menambah wawasan keilmuan bidang pendidikan anak
tunagrahita terutama dalam hal mendeskripsikan konsep kemandirian dan pencapaian
kemandirian siswa tunagrahita, serta prinsip-prinsip pembelajaran kemandirian siswa
tunagrahita sedang berbasis bimbingan dan konseling behavioral untuk membantu
mengembangkan potensi siswa mencapai kemandirian secara optimal; (3). Secara praktis,
dapat dijadikan rujukan pendekatan atau strategi intervensi bagi guru SLB C dalam proses
pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita sedang berbasis konseling behavioral
(Keyakinan filosofis, tujuan dan fungsi, asumsi-asumsi, prinsip-prinsip, pendekatan, metode
dan teknik atau strategi intervensi, dan kompetensi guru SLB C yang dibutuhkan) untuk
memfasilitasi perolehan keterampilan siswa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari untuk
memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

B. TINJAUAN TEORETIS
Hakikat Ketunagrahitaan dan Kemandiriannya
Kajian konsep kemandirian siswa tunagrahita merujuk kepada konsep-konsep: Hakikat
tugas perkembangan anak, Hakikat ketunagrahitaan, Perilaku adaptif dan hubungannya dengan
intelegensi, dan Program pendidikan khusus bina diri.
Hakikat Tugas Perkembangan Anak Tunagrahita
Tugas perkembangan, adalah tugas yang muncul sekitar periode kehidupan individu
tertentu. Tugas perkembangan mencapai kemandirian pribadi (siswa tunagrahita) diadopsi
dari tugas perkembangan masa anak usia 6 sampai 12 tahun dari Havighurst, meliputi:
mampu mengurus diri sendiri, mampu merencanakan kegiatan hidup sehari-hari tanpa
bantuan orang lain, dan mampu melaksanakan rencana secara konsekuen. Hal ini berdasarkan
asumsi bahwa pencapaian tugas-tugas perkembangan anak tunagrahita (ringan) maksimal
diperkirakan mendekati anak normal usia 12 tahun, sedangkan anak tunagrahita sedang
maksimal mendekati anak normal usia 7-9 tahun. Meskipun hal ini tentu tidak sama persis
dalam banyak hal, karena jelas berbeda karakteristiknya
Sehubungan dengan tugas-tugas perkembangan (kemandirian), bagi siswa tunagrahita
pencapaian atas tugas-tugas perkembangan sebagai dasar untuk mencapai perkembangan
yang optimal besar kemungkinan mengalami hambatan mengingat karakteristik
intelektualnya berada di bawah rata-rata secara signifikan disertai hambatan adaptasi sosialpribadinya. Untuk membantu mengatasi hambatan yang dihadapi sekaligus memfasilitasi
upaya pengembangan potensinya mencapai kemandiriannya secara optimal, diperlukan antara
lain, pendekatan, metode, dan teknik atau strategi intervensi pembelajaran yang sesuai
dengan kondisi dan karakteristik kebutuhan belajar siswa tunagrahita.
Karakteristik Siswa Tunagrahita
(1). Karakteristik siswa tunagrahita ringan dapat digambarkan sebagai berikut, antara
lain: pada umumnya banyak yang lancar bicara tetapi kurang perbendaharaan kata-katanya,
mengalami kesukaran berpikir abstrak, pada umur 16 tahun baru mencapai umur kecerdasan
yang sama dengan anak umur 12 tahun, tetapi itu hanya sebagian dari mereka (Amin,
1995:37). Mereka memiliki tingkat kecerdasan berkisar 5070, meskipun kecerdasan dan
adaptasai sosialnya terhambat, namun mereka mempunyai kemampuan untuk berkembang
dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja. Dalam mata
pelajaran akademik umumnya mereka dapat mengikuti mata pelajaran tingkat sekolah
lanjutan maupun di sekolah biasa dengan program khusus sesuai berat-ringan
ketunagrahitaannya. Dalam penyesuaian sosial mereka dapat bergaul, dapat menyesuaikan
diri dalam lingkungan sosial yang lebih luas, bahkan kebanyakan dapat hidup mandiri dalam
masyarakat. Dalam kemampuan bekerja mereka dapat melakukan pekerjaan semi skill dan
pekerjaan sosial sederhana, bahkan sebagian besar dari mereka mandiri dalam melakukan
pekerjaan sebagai orang dewasa.
(2). Karakteristik siswa tunagrahita sedang dapat digambarkan sebagai berikut, antara
lain: pada umumnya hampir tidak bisa mempelajari pelajaran-pelajaran akademik, umumnya
belajar secara membeo, perkembangan bahasanya lebih terbatas daripada anak tunagrahita
ringan, hampir selalu bergantung pada perlindungan orang lain, masih dapat membedakan
bahaya dan bukan bahaya, masih memiliki potensi untuk belajar memelihara diri dan
menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dapat mempelajari beberapa pekerjaan yang
mempunyai arti ekonomi. Pada umur dewasa baru mencapai kecerdasan yang sama dengan
anak normal umur 7 9 tahun.

Meskipun terdapat pro-kontra mengenai dapat tidaknya perkembangan kecerdasan


anak tunagrahita diperbaiki, secara universal proposisi yang menyatakan bahwa melalui
layanan pembelajaran yang tepat manusia dapat meningkatkan performansi intelektual anak
(tunagrahita) dapatlah diterima. Karena, pada dasarnya fungsi intelektual tidaklah statis,
khususnya bagi anak dengan perkembangan kemampuan kecerdasan ringan dan sedang.
Perintah/latihan, tugas, pengalaman, motivasi, dan lingkungan sosial sangat besar
pengaruhnya pada kemampuan adaptif seseorang tunagrahita.
Perilaku Adaptif dan Hubungannya dengan Intelegensi
Hasil penelitian Browing, P.L & Herbert, R (1974, dalam Rochyadi dan Alimin:
2005) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku adaptif dengan
intelegensi, baik pada anak pada umumnya maupun pada anak tunagrahita. Artinya semakin
ringan tingkat ketunagrahitaan seseorang, semakin ringan pula hambatan perilaku
adaptifnya, dan sebaliknya.
Terdapat beberapa istilah yang merujuk kepada pengertian konsep yang sama dengan istilah
perilaku adaptif, yaitu: Kompetensi sosial atau social competency (Cain, Levine & Elzy, 1963;
dalam Delphie, 2005: 77), social maturity (Doll, 1953), adaptive capacity (Fullon & Louber, 1973),
dan adaptive fitting (Cassel, 1976).
Menurut definisi tunagrahita dari AAMD (1983: 157, dalam Patton, et al., 1986:133; Smith,
M.B., Ittenbach, R.F., & Patton, J.R., 2002:93; Delphie: 2005: 77 ), perilaku adaptif adalah
keefektifan atau derajat terpenuhinya standard kemandirian personal sesuai dengan yang diharapkan
oleh kelompok usia dan budayanya. Menurut definisi dari AAMR (Smith, 2002: 95, dalam
Delphie: 2005: 82) perilaku adaptif adalah keterampilan-keterampilan perilaku yang
didemonstrasikan melalui suatu respon sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Menurut
Leland (1978, dalam Patton , 1986: 135), perilaku adaptif merupakan bentuk kemampuan seseorang
berkaitan dengan fungsi kemandirian atau independent functioning, tanggung jawab peribadi atau
personal responsibility, dan tanggung jawab sosial atau social responsibility. Pendapat yang hampir
sama juga dikemukakan oleh Nihira (1969), bahwa perilaku adaptif merupakan kemampuan
seseorang untuk dapat melakukan independensi pribadi (personal independence), dan adaptasi
personal (personal adaptation) (Nihira, 1969). Demikian pula pendapat senada dikemukakan oleh
Lambert & Nicoll (1976), bahwa perilaku adaptif merupakan kemampuan otonomi fungsional atau
functional autonomy, tanggung jawab sosial atau social responsibility, dan penyesuaian intrapersonal
atau intrapersonal adjustment (Lambert & Nicoll, 1976).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik pemahaman bahwa keterampilan perilaku
adaptif siswa tunagrahita adalah keterampilan dalam aktivitas sehari-hari (activity of daily
living), keterampilan mengurus diri (personal living skills), atau keterampilan menolong diri
(self help skill) dan keterampilan menyesuaikan diri dengan lingkungan (social adaptif skills).
Hal ini sesuai dengan Bagan Asesmen Kemajuan Perkembangan Sosial Utama, bahwa
indeks kompetensi sosial tunagrahita meliputi empat komponen, yaitu: menolong diri
(self-help), komunikasi, sosialisasi, dan okupasi. Dalam konteks pendidikan anak
tunagrahita (sedang), bina diri merupakan program utama dalam pembelajaran
kemandirian anak. Meliputi: Self-help: makan-minum (eating), mobilitas-pergerakan
(movement-mobility), mandi-cuci-kakus (Toilet & washing), berpakaian (dressing)
(Bailey, 1982; 27). Pendapat yang sama dikemukakan Wehman (1981: 185), bahwa
kemandirian tunagrahita (sedang) merujuk kepada bidang-bidang kemampuan
kebersihan, keamanan, dan keterampilan kesehatan.
Kecakapan Hidup dan Pendidikan Bina Diri Siswa Tunagrahita
Kecakapan hidup merupakan kecakapan praktis-fungsional sebagai unsur penting
bagi siswa tunagrahita untuk hidup mandiri. Dengan demikian, guru SLB C seyogyanya

mampu memfasilitasinya dalam program pembelajaran kemandirian melalui pendekatan


atau strategi intervensi yang sesuai guna memberikan jaminan kepemilikan kecakapan
hidup sehari-hari (Activity of Daily Living or Living Skill) atau kecakapan hidup untuk
menolong diri sendiri (Self Help Skill).
Kompetensi Bina Diri adalah kualifikasi kemampuan minimal siswa tunagrahita
(sedang) yang bertujuan agar siswa memiliki kemampuan: (1). Mengenal cara-cara
melakukan bina diri (merawat diri, mengurus diri, menolong diri, berkomunikasi dan
beradaptasi); (2). Melakukan sendiri kegiatan bina diri secara minimal dalam hal merawat
diri, mengurus diri, menolong diri, berkomunikasi dan adaptasi, serta melakukan kegiatan
bina diri untuk orang lain dalam kehidupan sehingga dapat menyesuaikan diri baik di
keluarga, sekolah dan masyarakat.
Konstruk Kemandirian Siswa Tunagrahita
Dalam memaknai dan menjelaskan kemandirian terdapat berbagai sudut pandang,
istilah, dan rujukan, antara lain: menurut Loevinger kemandirian merujuk kepada istilah
perkembangan diri (self development), karena diri merupakan inti dari kemandirian.
Menurut Steinberg (1993: 28b-304), kemandirian merujuk kepada istilah independensi atau
autonomy, menurut Maslow, dalam teori hirarkhi kebutuhan manusia kemandirian merujuk
kepada konsep aktualisasi diri (self actualization).
Dalam konteks pembelajaran siswa tunagrahita kemandirian lebih mengarah
kepada konsep perilaku adaptif (adaptive behavior), yang secara operasionalnya
diwujudkan dalam bentuk program pendidikan khusus bina diri, sebagai berikut: (1).
Merawat diri meliputi: mengenal tata cara makan dan minum, melakukan makan dan minum,
melakukan/menyajikan minuman, dan menjaga kesehatan badan; (2). Mengurus diri,
meliputi: memakai pakaian dalam, memakai pakaian luar, memakai sepatu, merawat pakaian,
merias wajah, dan memelihara rambut; (3). Menjaga keselamatan diri, meliputi: mengenal
jenis-jenis benda bahaya, mengatasi/menghindar dari bahaya; (4). Berkomunikasi dengan
orang lain, meliputi: berkomunikasi secara lisan (verbal), berkomunikasi secara nonverbal
(menggunakan gambar dan isyarat), menggunakan kata-kata social; dan (5). Melakukan
adaptasi di lingkungan, meliputi: bermain kelompok dengan teman di rumah, dan bermain
kelompok dengan teman di sekolah, mengunjungi tempat-tempat pelayanan umum,
menggunakan fasilitas pribadi, menggunakan fasilitas umum, menggunakan waktu luang.
Kondisi-kondisi yang Mempengaruhi Perkembangan Kemandirian
Memperoleh kemandirian merupakan suatu tugas bagi individu (termasuk siswa
tunagrahita). Kemandirian sebagaimana aspek psikologis lainnya, dapat berkembang dengan
baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan secara kontinyu dan
berkesinambungan. Latihan tersebut dapat melalui pemberian tugas-tugas tanpa bantuan. Pada
tunagrahirta sedang, misalnya latihan untuk memilih berbagai kegiatan yang diminatinya, atau
memberikan kesempatan untuk memutuskan sendiri tentang apa yang akan dilakukannya.
Dalam hubungan ini, guru atau orang tua perlu peduli mengawasi agar latihannya benar-benar
efektif. Melalui latihan atau tugas yang diberikan seiring dengan bertambahnya pengalaman
belajar anak, diharapkan meningkat pula derajat atau kualitas pencapaian kemandirian siswa
tunagrahita secara optimal.
Peranan Guru dalam Pengembangan Perilaku Siswa Tunagrahita
Pada dasarnya, profesi seorang pendidik (guru-pembimbing) siswa tunagrahita
senantiasa berkaitan dengan perubahan perilaku (behavior modification) anak didiknya. Oleh
karena itu dalam kegiatan mendidik (mengajar, membimbing) guru akan terlibat dalam proses
menganalisis perilaku atau kinerja siswanya dalam menentukan tujuan pembelajaran secara

spesifik, yang meliputi kondisi, faktor penyebab (stimulus), perilaku atau kegiatan secara
operasional (behavior) sekaligus menentukan kriteria keberhasilannya. Secara umum
keterkaitan guru-pembimbing dengan perubahan perilaku siswa tunagrahita yaitu dalam dua
hal: (1). Membentuk, membangun atau mempertahankan perilaku positif pada diri siswa, (2).
Mengurangi, mencegah atau meniadakan perilaku negatif (tidak baik atau tidak diinginkan)
lingkungannya.
Konsep dan Asumsi Konseling Behavioral
Perspektif teori konseling behavioral memandang individu memiliki kemampuan
untuk memperoleh pengalaman (tingkah laku) baru melalui pengamatan terhadap
lingkungannya dan sekaligus mengembangkan potensi individu dalam konteks
lingkungannya.
Kecenderungan terhadap pendekatan konseling behavioral sebagai rujukan
pendekatan atau strategi intervensi guru dalam pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita
untuk membantu mengembangkan potensi siswa mencapai kemandiriannya secara optimal,
didasarkan alasan-alasan sebagai berikut,: (1). Konseling behavioral memandang individu
memiliki kemampuan untuk memperoleh pengalaman (tingkah laku) baru melalui
pengamatan terhadap lingkungannya sekaligus mengembangkan potensi individu dalam
konteks lingkungannya, (2). Bimbingan dan konseling bagi siswa tunagrahita di SLB C
pelaksanaannya secara terpadu dalam proses pembelajarannya, (3). Konseling behavioral
bernilai fungsional-sosial
Asumsi yang melandasi pendekatan behavior sebagai berikut: (1). Semua tingkah
laku adalah pengaruh lingkungan yang dilestarikan oleh respon, (2). Tingkah laku dapat
dibentuk dengan memberikan penguatan kepada uraian tingkah laku, (3). Tingkah laku
yang mendapat penguatan positif akan memperkuat kemungkinan terjadinya pengulangan
perilaku (berpotensi membiasakan) daripada penguatan negatif, (4). Terfokus pada
pemberian pengaruh-pengaruh nyata (current influences), bukan pada penentu-penentu
historis, (5). Menekankan pengamatan pada perubahan tingkah laku lahiriah sebagai
kriteria penilaian, (6). Mengkhususkan pada tujuan perlakuan yang kongkret dan objektif
supaya dapat direplikasikan, (7). Merumuskan secara spesifik masalah-masalah yang akan
ditangani untuk memudahkan perlakuan dan pengukuran.
Prinsip-Prinsip Operant Conditioning dalam Pembelajaran
(1). Penguatan (Reinforcement), menunjuk pada suatu peningkatan frekuensi
respons jika respons tersebut diikuti dengan konsekuensi tertentu. Ada dua macam
reinforce, yaitu: (a). Positive reinforcer disebut juga reward dan (b). Negative reinforcer;
(2). Hukuman (Punishment), yaitu menghadirkan suatu peristiwa yang tidak
menyenangkan atau menghilangkan peristiwa yang menyenangkan yang mengikuti suatu
respons yang dapat mengurangi frekuensi respons tersebut; (3). Shaping and Chaining,
yaitu memecah-mecah tugas menjadi bagian-bagian kecil yang dapat dilakukan anak setahap
demi setahap (analisis tugas); (4). Menganjurkan dan Memudarkan (Prompting and
Fading). Pengembangan perilaku sering dipermudah oleh pengembangan isyarat (cues),
perintah (instruction), gerak isyarat (gesture), pengarahan (direction), pemberian contoh dan
model untuk memulai suatu respons. Ada beberapa macam prompt: (a). Visual prompt, (b).
Physical prompt, (c). Verbal prompt, dan (d). Modeling; (5). Diskriminasi (Discrimination)
menunjuk pada perilaku atau kemampuan individu untuk merespons secara berbeda-beda
terhadap stimulus yang berbeda, dan kontrol rangsangan (Stimulus control), menunjuk
kepada perilaku individu untuk merespons secara berbeda yang dikontrol oleh stimulus yang
mendahuluinya (antecedent stimuli), (6). Generalisasi, merupakan fungsi dari kesamaan
stimulus atau situasi baru dengan stimulus yang berkaitan dengan respons yang dilatihkan,

yaitu lawan dari discrimination.


Pendekatan, Metode dan Teknik atau Strategi intervensi dalam Pembelajaran
Kemandirian Berbasis Konseling Behavioral
Pendekatan. Pada prinsipnya tidak ada satu pendekatan, metode dan teknik atau
strategi yang cocok untuk segala situasi dan kondisi pembelajaran siswa tunagrahita.
Mengacu kepada paradigma baru pendidikan berkebutuhan khusus, kini pembelajaran anak
tunagrahita lebih berorientasi kepada educational approach, ekological oriented, dan atau
behavioral oreinted.
Metode. Kecenderungan pendekatan behavioral mengacu kepada metode-metode:
(1). Operant Learning, dimana penguatan memunyai peran penting untuk menghasilkan
perilaku siswa yang dikehendaki. (2). Unitative Learning atau Social modeling, yaitu
merancang suatu perilaku adaptif yang dapat dijadikan model oleh siswa, dan (c). Cognitif
Learning, yaitu melakukan pembelajaran secara verbal, melakukan kontak dan membangun
hubungan baik dengan siswa, serta bermain peran tentang perilaku yang akan dibentuk.
Teknik. Mengkombinasi antara teknik-teknik modeling atau imitasi dengan teknik
penguatan dalam bentuk verbal, sentuhan dan Token Ekonomi.
Strategi Intervensi. Dalam pengembangan potensi anak tunagrahita tidak menganut
satu model program tunggal intervensi, melainkan memadukannya dengan berbagai elemen
dari berbagai jenis program intervensi. Menurut Lerner (1988: 240; dalam Abdurahman,
1996: 254) ada empat model program intervensi dini, yaitu: (1). Pengayaan, (2). Pengajaran
langsung, (3). Menekankan kognitif, dan (4). Kombinasi.
Salah satu strategi program inetrvensi yang didasarkan atas psikologi behavioral
adalah pengajaran langsung. Di sini peran guru memusatkan perhatian pada pengajaran
langsung berbagai keterampilan belajar khusus, erancang dan menstrukturkan pengalaman
belajar siswa untuk kepemilikan suatu keterampilan tertentu (menolong diri sendiri). Artinya
anak-anak belajar mengurus dirinya sendiri melalui berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari,
misalnya: mandi, berpakaian, makan dan minum, serta kebersihan diri.
C. METODE PENELITIAN
Pendekatan, Metode, Subyek, Instrumen, Teknik Analisis Data. Sesuai
permasalahan penelitian yaitu menemukan dan merumuskan prinsip-prinsip bimbingan dan
konseling behavioral dalam pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita sekaligus model
penerapannya, metode penelitian yang dianggap relevan adalah deskriptif kualitatif. Unit
analisisnya adalah sekolah luar biasa tunagrahita (SLB C), sedangkan sumber data/informan
terutama adalah guru dan siswa tunagrahita, kepala sekolah, dan orang tua/keluarga anak
tunagrahita. Pengumpulan data menggunakan teknik: observasi, wawancara, kuesioner dan
studi dokumentasi. Teknik analisis data adalah perpaduan (mix methode) antara deskriptifkualitatif dan kuantitatif.
Prosedur Penelitian. Berdasarkan Temuan faktual/empiris (berupa konsep, tema)
yang diperoleh melalui panduan instrumen wawancara, observasi, dan studi dokumentasi,
serta kuesioner, kemudian digeneralisasikan, direduksi, dikonseptualisasikan/abstraksi untuk
menghasilkan rumusan prinsip-prinsip pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita berbasis
konseling behavioral. Selanjutnya dirumuskan konstruk desain atau model penerapannya
yang dapat digunakan guru SLB C untuk membantu memfasilitasi upaya mengembangkan
potensi siswa tunagrahita sedang mencapai kemandiriannya secara optimal.

D. PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Persepsi guru tentang hakikat kemandirian siswa tunagrahita. Kemandirian bagi
siswa tunagrahita sangatlah penting, karena dalam hidup manusia dituntut untuk dapat
menghidupi dirinya tanpa menyusahkan orang lain. Mereka tidak dapat tergantung seumur
hidup pada orang tertentu terutama orang tua, dan saudara-saudaranya. Kemandirian bagi
siswa tunagrahita terutama berhubungan dengan kemampuan mengurus dirinya sendiri
(Activity Daily Living Skill) sehingga tidak tergantung pada orang lain.
Pencapaian (aktual) kemandirian siswa tunagrahita. Bagi siswa tunagrahita ringan
tingkat ketergantungannya terhadap orang lain lebih rendah, dapat bersosialisasi dengan
anak-anak pada umumnya, dapat mengikuti pelajaran akademik (membaca, menulis, dan
berhitung) walaupun harus sering diawasi dan dibimbing karena mereka memiiki rasa kurang
percaya diri yang tinggi. Dapat mandi sendiri, pergi ke WC sendiri, berpakaian sendiri,
menalikan tali sepatu sendiri, mampu menghindari bahaya, berhias, mampu menuliskan
namanya sendiri, nama orang tua dan alamat tempat tinggalnya, mampu mencuci kendaraan,
membuat keset, sapu, dan merawat taman. Mampu belajar menyulam, menjahit, membuat
jus, memasak sederhana (gorengan), menyapu, dan mengepel. Bahkan dapat diajarkan
mengendarai sepeda, sepeda motor dan mobil. Membuat produk keterampilan, jasa, produksi,
dan kerajinan tangan, membuat bata merah, batako, membuat layang-layang, dan membuat
telor asin. Mampu berkomunikasi dengan baik, sehingga ia dapat bekerja sebagai penjaga
warung atau pelayan. Bagi siswa tunagrahita sedang, aktivitas yang dapat dilakukan lebih
kepada aktivitas kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri siswa
(misalnya: makan, minum, mandi, pergi ke toilet, mencuci tangan, menggoasok gigi,
memakai baju, memakai kaos kaki dan sepatu). Untuk melakukan aktivitas kehidupan seharihjari diawali dengan bimbingan secara kontinyu, melalui pembiasaan-pembiasaan, dan
latihan-latihan.
Pihak-pihak yang berperan untuk memandirikan siswa tunagrahita. Pihak yang
paling berperan terutama adalah orang tua (keluarga), karena orang yang paling dekat dan
mengetahui kemampuan anak. Karena aktivitas anak lebih banyak bersama orang tua,
daripada guru atau masyarakat. Apa yang telah didapat di rumah dilanjutkan di sekolah, dan
didukung orang tua/keluarga. Selanjutnya, pihak-pihak yang berperan kecuali anak itu sendiri
adalah guru/pembimbing, kepala sekolah, tetangga, lingkungan/masyarakat, pemerintah, para
pengusaha, dan profesional terkait (misalnya: medis, psikolog, fisioterapies, terapis bicara).
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan guru (sekolah) dan tahapan kegiatannya.
Untuk siswa tunagrahita ringan diberikan pelayanan pendidikan dari tingkat dasar ke tingkat
yang lebih tinggi, dilakukan dari yang mudah ke yang sukar, dari yang konkrit ke yang
abstrak. Proses pembelajaran untuk setiap mata pelajaran diusahakan ada prakteknya,
terutama dalam KMD (Keterampilan Menolong Diri). Pembelajaran disesuaikan dengan
kurikulum dan karakteristik kebutuhan belajar anak itu sendiri, juga diberikan latihan
keterampilan (produktif) seperti membuat kesed, batako, batu bata, memasak, menyeterika,
mengepel, berbelanja, menyapu, dan menjahit. Untuk anak tunagrahita sedang dilatih
keterampilan mengurus diri seperti: makan, minum, menggosok gigi, berpakaian, memakai
sepatu, memasak sederhana, menyapu, .
Tahapan-tahapan kegiatannya sebagai berikut: (1). Melakukan asesmen, untuk
mengidentifikasi kemampuan dan ketidakmampuan anak dalam berbagai aspek, minat dan
bakat (2). Mengadakan pertemuan dengan orang tua siswa untuk mendiskusikan program
yang akan diberikan kepada anak, (3). Guru memberi pengetahuan/teori; (4). Siswa
mempraktekkannya dengan bimbingan guru, kemudian mempraktekkannya sendiri, (5).
Pelaksanaan (membawa siswa ke dunia nyata secara langsung dengan bimbingan, misalnya:
membawa siswa ke pasar tradisional dan modern, siswa membawa catatan belanjaan (praktek

berbelanja), ke rumah makan (belajar memilih makanan yang disukai, belajar mengantri, dan
membayar sendiri), ke toko buku, ke Bank untuk belajar menabung/siswa menjadi nasabah
Bank tertentu (terdekat), dan belajar naik angkutan umum, (6). Evaluasi dan tindak lanjut.
Kendala-kendala yang dihadapi guru (sekolah) beserta upaya penanganannya.
Kendala yang dihadapi adalah kurangnya kesadaran orang tua murid terhadap anaknya dan
minimnya perhatian orang tua itu sendiri, orang tua dan masyarakat masih menganggap
anak tunagrahita merupakan beban hidupnya, masih terjadi perlakuan masyarakat yang
kurang sesuai terhadap anak tunagrahita yang ada di lingkungannya. Orang tua tidak
menjalankan program yang telah diajarkan kepada anak di sekolah, alasannya karena orang
tua sibuk. Kendala lainnya dar faktor psikologis siswa seperti: anak kadang mogok sekolah,
psikomotor anak yang kurang baik, sering malas, manja dan mudah bosan dalam belajar
sehingga memerlukan waktu yang lebih lama dalam belajarnya. Kendala keuangan, untuk
menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang kemandirian anak. Kendala lain
terkadang teori yang diterima guru tidak sama dengan praktek di lapangan, guru tidak diberi
pelatihan khusus untuk menangani masalah tertentu siswa. Guru dituntut harus memiliki
kesabaran dan keberanian terutama saat membawa siswa ke tempat-tempat umum atau
keramaian.
Upaya guru (sekolah) untuk mengatasi kendala kurangnya kesadaran (orang tua,
masyarakat) adalah memberikan penyuluhan kepada orang tua murid secara rutin, serta
mengimbau orangtua memberi kepercayaan kepada anaknya terutama hal-hal yang sederhana
yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari, mengadakan case conference untuk
membahas berbagai hambatan, tantangan, dan peluang secara bersama (guru, orang tua,
kepala sekolah), dan bekerjasama dengan stakeholder terdekat. Upaya guru (sekolah) untuk
membantu memandirikan anak tunagrahita adalah membuat program yang sesuai dengan
kemampuan anak, memperbaiki program ke arah yang lebih baik lagi, lebih memahami
karakter, jenis kelainan atau hambatan anak, serta cara mengajar (pendekatan) dalam
pembelajaran dan memberikan follow up, menyediakan fasilitas untuk menunjang
kemandirian anak, mendatangkan ahli terkait (ke-PLB-an, ahli bimbingan, psikolog,
fisioterapis) pada saat-saat tertentu, mengenalkan hasil karya anak dan mengikutsertakannya
dalam kegiatan di masyarakat. Untuk mengatasi kendala keuangan, mencari donatur yang
mau peduli pada pendidikan anak tunagrahita.
Pendekatan, metode dan teknik atau strategi intervensi dalam pembelajaran
tunagrahita. Pendekatan pembelajaran mengacu kepada prinsip-prinsip individualisasi
pengajaran, metode pembelajaran merupakan pengajaran langsung melalui latihan,
mengalami, pembiasaan, dengan strategi pembelajarannya melalui penguatan dan reward
(pujian), sentuhan maupun isyarat.
Kompetensi guru yang dibutuhkan dalam upaya memandirikan siswa
tunagrahita. Kompetensi guru SLB C yang dibutuhkan dalam upaya memfasilitasi
pengembangan potensi siswa tunagrahita mencapai kemandiriannya secara optimal meliputi
aspek dan indikator-indikator kompetensi sebagai berikut: (1). Melakukan asesmen dan
mengidentifiksi kebutuhan awal siswa; (2). Berkomunikasi secara empatik dengan siswa,
meliputi: membangun hubungan baik dengan siswa, menggunakan bahasa sederhana,
menunjukkan perhatian, menunjukkan sikap bersahabat dan ramah, menunjukkan sikap
kasih sayang, menunjukkan sikap mau mendengarkan pendapat/keluhan siswa, dan
memahami ekspresi lisan, tulisan, tindakan maupun nonverbal; (3). Menumbuhkan
kepercayaan diri, meliputi: mengembangkan kerjasama dengan siswa, bersikap sabar,
ngemong, antusias, telaten menghadapi siswa, memahami kesulitan siswa, peka terhadap
perasaan, kemauan dan pikiran siswa, (4). Memberikan dorongan dan motivasi, meliputi:
menata lingkungan untuk memotivasi belajar siswa, menerima dan mempercayai usaha
siswa, mendorong siswa untuk mau mencoba melakukan, memberikan penghargaan atas

prestasi siswa, memberikan penguatan (pujian) atas hasil yang dicapai siswa, memberikan
hukuman atas kesalahan siswa; (5). Mengembangkan sikap positif dan terbuka, meliputi:
mau mendengarkan pendapat, keluhan siswa, bersikap terbuka terhadap pendapat siswa,
ramah dan penuh pengertian, bergairah dan menerima siswa apa adanya.
Dengan demikian, berdasarkan temuan data yang kemudian dilakukan proses
generalisasi, reduksi, dan konseptualisasi atau abstraksi, maka dihasilkan rumusan prinsipprinsip bimbingan dan konseling (behavioral) yang diasumsikan sesuai dengan
karakteristik kebutuhan belajar siswa tunagrahita sedang, yang dapat digunakan guru SLB C
sebagai pendekatan atau strategi intervensi dalam pembelajaran kemandirian untuk
membantu mengembangkan potensi siswa mencapai kemandiriannya secara optimal, sebagai
berikut: (1). Prinsip Individualisasi (Individualized Educational Program/Plan), (2). Prinsisp
ke-konkretan (Concrete), (3). Prinsip Pengulangan (Belajar secara berulang-ulang), (4).
Prinsip Pembiasaan, (5). Prinsip Rutinitas, dan Ketidakberagaman aktivitas, (6). Prinsip
Keberurutan (Sequensial), (7). Prinsip Penguasaan Kemampuan Prasyarat (Prerequisite), (8).
Prinsip Belajar Berkesinambungan (Continues Learning Progress), (9). Prinsip FungsionalAplikatif (Applicative-Functional), (10). Prinsip Rujukan Kemajuan Perkembangan Diri
Sendiri (Self Progress Development), (11). Prinsip Kesederhanaan dan Kemudahan, (12).
Prinsip Pengawasan dari Pihak lain (External control).
Implikasinya dalam Pembelajaran Kemandirian Siswa Tunagrahita Sedang
Tujuan Pembelajaran Kemandirian Berbasis Konseling Behavioral. Penentuan
tujuan pembelajaran kemandirian berbasis konseling behavioral harus memperhatikan
kriteria-kriteria sebagai berikut: (a). Tujuan harus diinginkan oleh siswa, (b). Guru harus
berkeinginan untuk membantu siswa mencapai tujuan, dan (c). Tujuan harus mempunyai
kemungkinan untuk dinilai pencapaiannya bersama siswa. Urutan pemilihan dan penetapan
tujuan sebagai salah satu bentuk kerjasama antara guru-pembimbing dengan siswa
tunagrahita, sebagai berikut: (1). Guru menjelaskan maksud tujuan, (2). Siswa
mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil pembelajaran, (3). Siswa
dan guru menetapkan tujuan yang diinginkan, (4). Bersama-sama menjajagi apakah tujuantujuan itu realistik, (5). Guru dan siswa mendiskusikan kemungkinan manfaat-manfaat
tujuan.
Proses Pembelajaran Kemandirian Berbasis Konseling Behavioral. Proses
pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita berbasis konseling behavioral digambarkan
sebagai berikut: dilakukan berdasarkan prinsip individualisasi pengajaran yang didahului
oleh asesmen, bahan disajikan dari hal-hal konkret menuju ke abstrak, didemonstrasikan
oleh guru (sebagai model) melalui urutan pelaksanaan secara analisis tugas, siswa belajar
secara berulang-ulang, melalui latihan dan pembiasaan, memberikan penghargaan
(reward) dan penguatan (reinforcement), serta hukuman (jika diperlukan), lingkungan
ditata/dikelola sedemikian rupa secara kondusif untuk belajar siswa. Dengan demikian,
proses pembelajaran kemandirian diharapkan dapat memfasilitasi siswa tunagrahita
memperoleh keterampilan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari untuk
menolong diri sendiri atau memenuhi kebutuhannya.
Dalam konteks pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita sedang, prinsip-prinsip
bimbingan dan konseling behavioral sebagai salah satu rujukan pendekatan guru dalam
proses pembelajaran kemandirian untuk membantu memfasilitasi perolehan keterampilan
siswa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, pada dasarnya merupakan suatu kesatuan
yang saling terkait dan saling menunjang dengan prinsip-prinsip lainnya dalam
penerapannya.

1. Prinsip Individualisasi (Individualized Educational Program/Plan).


Merujuk kepada karakteristik kemampuan belajar siswa tunagrahita sedang, maka
layanan proses pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita sedang perlu disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing individu siswa. Implikasinya guru perlu membuat program
pembelajaran kemandirian yang kedalaman dan keluasan materinya disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap anak, meskipun pelaksanaannya dapat dilakukan di kelas
secara bersama-sama. Untuk mampu membuat program pendidikan yang diindividualisasikan
tersebut, guru perlu melakukan asesmen untuk memperoleh informasi/data tentang
kemampuan dan kelemahan yang dimiliki siswa tunagrahita sedang.
2. Prinsisp ke-konkretan (Concrete)
Karakteristik siswa tunagrahita sedang adalah mengalami hambatan untuk memahami
bahan ajar yang bersifat abstrak. Oleh karena itu dalam pembelajaran perlu diberikan contohcontoh konkret. Di samping itu anak tunagrahita juga lebih cenderung atau mudah untuk
meniru terhadap apa-apa yang menarik dilihat dan yang terjadi di sekitarnya. Implikasinya,
dalam proses pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita, guru lebih menekankan pada
praktek langsung, mampu memilih alat bantu atau media pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik kebutuhan belajar siswa, memberian contoh, serta mendemonstrasikan tingkah
laku (keterampilan tertentu).
3. Prinsip Pengulangan (Belajar secara berulang-ulang).
Karakteristik fungsi mental siswa tunagrahita diantaranya adalah jangkauan atau
rentang perhatiannya pendek atau terbatas, kesukaran dalam memusatkan perhatian, cepat
beralih perhatian, pelupa dan mengalami hambatan mengungkapkan kembali suatu ingatan
(memory). Implikasinya, guru di dalam proses pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita
memerlukan pengulangan-pengulangan. Artinya suatu aktivitas (keterampilan tertentu) yang
dilatihkan dan dibimbingkan kepada anak untuk dapat dikuasai anak sering kali
membutuhkan waktu yang lebih lama dan dilakukan berkali-kali secara rutin dan periodic,
sampai anak tunagrahita benar-benar dapat mengerjakannya secara mandiri. Oleh karenanya,
guru SLB C seyogyanya memiliki keunggulan dalam hal kesabaran, kepedulian, optimistis,
antusias, dan kreatif sehingga tidak merasa jenuh dalam menghadapi anak.
4. Prinsip Pembiasaan
Merujuk kepada karakteristik siswa tunagrahita sedang diantaranya mengalami
hambatan untuk melakukan aktivitas yang memerlukan kemampuan kecerdasan (berpikir,
bernalar, pemahaman), kurang mampu membuat asosiasi dan sukar membuat kreasi serta
cenderung menghindar dari berpikir. Mengingat upaya pembelajaran (kemandirian) siswa
tunagrahita sedang lebih ditekankan kepada kemampuan/keterampilan melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, maka guru-pembimbing
sebaiknya mampu menciptakan iklim dan suasana kondusif dengan cara menata, merekayasa
lingkungan belajar sedemikian rupa, sehingga memungkinkan siswa belajar atau melakukan
latihan-latihan (drill) secara intensif, sistematis dan berkesinambungan, sehingga terbentuk
pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi atau melayani kebutuhan diri
sendiri.
5. Prinsip Rutinitas, dan Ketidakberagaman aktivitas
Siswa tunagrahita sedang mengalami hambatan fungsi mental dalam hal kemampuan
berpikir, kemampuan mengingat dan mengasosiasikan sesuatu, oleh karena itu berdampak
pula pada kemampuan siswa untuk melakukan aktivitas yang bersifat berdifferensiasi. Anak
tunagrahita sedang diasumsikan dapat melakukan secara efektif satu macam jenis pekerjaan
yang dilakukannya secara rutin atau terus-menerus dari waktu ke waktu (misalnya melakukan
pekerjaan khusus: pengepakan, mencap surat pos, mengantar minuman). Implikasinya dalam

proses pembelajaran kemandirian siswa, guru-pembimbing perlu mengupayakan untuk


menspesifikasikan bahan ajar yang akan dibelajarkan atau dilatihkan kepada anak sehingga
tidak membingungkan dan dapat diikuti serta dilakukan anak.
6. Prinsip Keberurutan (Sequensial).
Karakteristik fungsi mental siswa tunagrahita sedang diantaranya mengalami
hambatan untuk berkonsentrasi atau memusatkan perhatian pada suatu objek dan hambatan
untuk melakukan sesuatu (pekerjaan, kegiatan, tugas) secara sekaligus. Sehubungan dengan
ini, perlu upaya untuk memfasilitasinya, dengan cara memilih, menentukan dan menerapkan
suatu teknik atau strategi intervensi yang sesuai dengan karakteristik kebutuhan belajar siswa.
Implikasinya, dalam proses pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita sedang gurupembimbing sebaiknya memiliki kemampuan untuk melakukan analisis tugas (task analysis),
yaitu dengan cara memerinci suatu (pekerjaan, tugas) yang akan dilakukan siswa tunagrahita
dalam bentuk kegiatan-kegiatan atau tugas-tugas yang lebih kecil dan sederhana, sehingga
lebih mempermudah anak untuk memahami, mengikuti dan mengerjakannya. Dalam
pengembangkan aspek tingkah laku (keterampilan tertentu) siswa dapat menempuh
langkah-langkah sebagai berikut: (1). Tentukan tingkah laku yang ditargetkan dari anak
untuk dicapai, (misalnya: makan, minum; memakai baju, sepatu, menerima telepon); (2).
Tentukan apa yang akan dibelajarkan, dan dilatihkan kepada anak, apakah pelanggaran
atau ketepatan melakukan sesuatu, (3). Bandingkan catatan hari ini dengan catatan hari
sebelumnya.
7. Prinsip Penguasaan Kemampuan Prasyarat (Prerequisite)
Merujuk kepada karakteristik siswa tunagrahita sedang dimana pencapaian kemajuan
atau keberhasilan belajarnya mengacu kepada kemajuan diri sendiri, maka penguasaan
kemampuan yang menjadi prasyarat (prerequisite) bagi kemampuan yang lebih tinggi mutlak
harus dipenuhi. Dengan demikian, diharapkan siswa tunagrahita sedang dalam proses
pembelajarannya dapat berjalan lancar dan mencapai hasil yang optimal. Implikasinya, gurupembimbing di dalam proses pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita sedang terlebih
dahulu perlu mamahami, mengenal dan memiliki informasi (data) yang lengkap dan akurat
mengenai kemampuan dasar yang dimiliki siswa (kemampuan melakukan asesmen). Dengan
demikian, guru mengetahui apa sebenarnya yang dibutuhkan siswa tunagrahita sedang,
skaligus sebagai dasar bagi guru untuk merancang program kemandirian siswa tunagrahita
sedang secara tepat.
8. Prinsip Belajar Berkesinambungan (Continues Learning Progress).
Karakteristik fungsi mental siswa tunagrahita sedang adalah daya memorinya sangat
rendah (sehingga mudah lupa), lemah dalam memahami suatu peristiwa, serta kurang mampu
untuk mengasosiasikan sesuatu secara kontekstual. Dengan demikian, harus ada
kesepahaman, kesesuaian, serta jalinan komunikasi yang baik, intens dan berkesinambungan
antara pihak sekolah (terutama guru-pembimbing) dengan pihak keluarga (orang tua) siswa.
Dengan demikian, diharapkan perilaku baru (keterampilan-keterampilan) yang sudah
terbentuk, dikuasai atau dapat dilakukan oleh siswa di sekolah dapat dijaga, dipelihara atau
dipertahankan secara berkesinambungan untuk diterapkan dalam melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri.
9. Prinsip Fungsional-Aplikatif (Applicative-Functional)
Pada siswa tunagrahita sedang, upaya pengembangan potensinya lebih ditekankan
kepada pengembangan yang bersifat horizontal. Dalam arti penguasaan keterampilan perilaku
adapatif untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari untuk membina dan menolong

dirinya sendiri. Seperti: (1). Merawat diri, mengurus diri, menjaga keselamatan diri,
berkomunikasi dengan orang lain, dan melakukan adaptasi di lingkungan.
Sehubungan dengan hal ini, siswa tunagrahita sedang perlu diajarkan, dibimbing dan
dilatihkan bahan ajar (keterampilan) yang berguna (meaningful) untuk kehidupan sehari-hari.
Implikasinya, segala hal (aktivitas) yang dibelajarkan dan dilatihkan guru-pembimbing
kepada siswa tunagrahita sedang adalah sesuatu yang bermanfaat, fungsional, atau aplikatif
bagi kehidupan sehari-hari anak. Dalam arti dapat diterapkan oleh siswa dalam kehidupan
sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, sehingga tidak selalu bergantung kepada
pihak lain.
10. Prinsip Rujukan Kemajuan/Perkembangan Diri Sendiri (Self Progress
Development).
Dalam konteks pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita sedang, norma-norma
acuan penilaian yang ada perlu dimodifikasi dalam penerapannya, sehingga dapat memenuhi
rasa keadilan dalam menilai dari sisi perkembangan diri siswa tunagrahita sedang.
Implikasinya, guru-pembimbing dalam menilai (menggambarkan kemampuan)
kemajuan atau keberhasilan belajar siswa tunagrahita sedang lebih mengupayakan untuk
mengacu kepada perkembangan diri siswa sendiri, dalam arti penilaian atas kemajuan
(pencapaian) belajar siswa saat ini dirujuk dengan kemampuan atau kemajuan yang dicapai
oleh siswa yang bersangkutan sebelumnya.
11. Prinsip Kesederhanaan dan Kemudahan
Merujuk kepada karakteristik fungsi mental siswa tunagrahita sedang diantaranya
adalah mengalami hambatan dalam berpikir rasional, sukar memusatkan perhatian, cepat
beralih perhatian, penguasaan bahasa dan kosakatanya terbatas, sehingga daya pemahaman
terhadap bahan pembelajaran pun sangat kurang. Implikasinya, guru di dalam proses
pembelajaran kemandirian siswa tunagrahita sedang perlu memperhatikan rambu-rambu
sebagai berikut: (a). Bahasa yang digunakan mudah dimengerti anak, yaitu dalam jangkauan
kemampuan berpikir dan penguasaa bahasa anak, (b). Cara penyajian bahan ajar jelas tidak
membingungkan dan mudah diikuti anak, (e). Penampilan diri (guru) tidak berlebihan atau
mencolok (berpakaian, asesoris), sehingga tidak mengganggu (memecah, mengalihkan)
perhatian atau konsentrasi anak terhadap bahan ajar yang sedang dibelajarkan atau dilatihkan
kepada anak.
12. Prinsip Pengawasan dan Bimbingan (External control & Guidance.
Secara umum siswa tunagrahita sedang mengalami hambatan kemampuan berpikir,
kemampuan mempertimbangkan sesuatu kejadian, dan kemampuan memperkirakan sebab
akibat dari suatu perbuatan. Anak tunagrahita sedang cenderung mudah terprovokasi atau
terpengaruh oleh peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Salah satu dampaknya mereka
mudah terjerumus kepada tingkah laku asusila (amoral), atau mudah dipengaruhi oleh pihakpihak yang tidak bertanggung jawab. Implikasinya, perlu upaya orang dewasa (guru) untuk
senantiasa melakukan pengawasan, memberikan bimbingan, petunjuk, arahan secara
berkesinambungan, dan memberikan suri tauladan yang baik, melalui penataan lingkungan
perkembangan (belajar) siswa secara kondusif. Dalam hal ini (guru-pembimbing) perlu
memonitor aktivitas siswa dan senantiasa membimbing dalam proses pembelajaran
kemandiriannya, sehingga aktivitas (latihan keterampilan) yang dilakukan siswa berjalan
lancar, efektif dan mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mampu melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Guru-pembimbing dapat
pula menerapkan aturan/kedisiplinan melalui penerapan hukuman (punishment) untuk
meniadakan perilaku atau tindakan yang tidak diinginkan.

Contoh Model Penerapan Prinsip-Prinsip Konseling Behavioral dalam Pembelajaran


Kemandirian Siswa Tunagrahita Sedang di SLB C
Mencuci Tangan (tanpa menggunakan air kran)
a. Merumuskan Tujuan Pembelajaran (Behavioral)
Setelah melalui proses pembelajaran, bimbingan dan latihan kemandirian mencuci
tangan berakhir, siswa tunagrahita sedang dapat mencuci tangan sendiri (tanpa menggunakan
air kran) secara benar (bersih).
b. Kemampuan Awal
Kemampuan awal yang perlu dimiliki anak tunagrahita sedang untuk mencuci tangan
dengan benar (tanpa menggunakan air kran) adalah kemampuan motorik halus (misalnya
mampu memegang gayung, memegang atau memijit sabun).
c. Pengantar (Materi)
Tangan merupakan anggota tubuh yang sangat penting. Melalui tangan kita dapat
melakukan sesuatu seperti makan, minum, menulis dan bekerja, Jika pada waktu makan
kalian menggunakan tangan yang kotor, maka makanan yang masuk kedalam perut sudah
tercampur kuman atau bakteri sebagai sumber penyakit, sehingga dapat mengakibatkan sakit
perut. Agar tangan kita tetap bersih, maka perlu dibiasakan mencuci tangan secara bersih.
Bagi anak tunagrahita sedang perlu diajarkan bagaimana mencuci tangan secara benar,
sehingga pada waktu makan, tangan tetap bersih. Selain itu, kepada anak perlu dijelaskan
tempat-tempat untuk mencuci tangan seperti di kamar mandi, tempat untuk mencuci piring,
washtafel, sumur, kran yang terletak di taman, dan sejenisnya.
Perlengkapan yang dibutuhkan dalam pembelajaran kemandirian mencuci tangan
sendiri tanpa menggunakan air kran secara bersih, meliputi: (1). Ember yang berisi air, (2).
Gayung, (3). Sabun (batangan, cair dan atau cream/colek), (4). Handuk (khusus) atau lap
tangan kering
d. Pendekatan dan Prinsip
Pembelajaran kemandirian (mencuci tangan tanpa menggunakan air kran) pada anak
tunagrahita sedang dimaksudkan agar anak dapat mencuci tangan secara benar (bersih).
Pelaksanaan pembelajaran menggunakan pendekatan konseling behavioral dengan landasan
kerja berdasarkan prinsip-prinsip: konkret, sequensial, pengulangan dan pembiasaan serta
individualisasi pengajaran. Implikasinya, guru-pembimbing perlu membuat atau
merencanakan satuan layanan pembelajaran yang materinya disesuaikan dengan kemampuan
setiap anak tunagrahita sedang, dilakukan melalui tahapan-tahapan yang mempermudah anak
untuk mempelajari, mengikuti dan melakukannya.
e. Metoda, Teknik dan Strategi Intervensi
Metode-metode yang dapat digunakan untuk membelajarkan cara mencuci tangan
tanpa menggunakan air kran pada anak tunagrahita sedang sebagai berikut: (1). Metode
verbal, digunakan guru untuk menjelaskan manfaat dan tujuan pentingnya kebersihan
mencuci tangan. Menjelaskan langkah-langkah cara mencuci tangan tanpa menggunakan kran
sehingga tangan tetap bersih, dan cara mengeringkannya, (2). Metode pemberian tugas
digunakan untuk memberikan tugas kepada anak untuk mencuci tangan tanpa menggunakan
kran secara benar, serta mengeringkannya sesuai dengan tahap-tahap yang sudah diajarkan
guru. Adapun teknik yang digunakan, yaitu: (1). Pemodelan (modeling). Guru-pembimbing
memberikan contoh atau memperagakan cara-cara mencuci tangan tanpa menggunakan kran
secara bersih, dan cara mengeringkannya dengan menggunakan handuk/lap kering, (2).
Latihan, digunakan untuk melatih agar anak terbiasa melakukan mencuci tangan tanpa
menggunakan kran secara bersih, misalnya, ketika akan makan siang dan sesudah makan

menggunakan tangan, (3). Analisis tugas, dimana suatu materi tertentu yang akan
dipelajari/dikerjakan anak dipenggal-penggal menjadi bagian-bagian kecil, agar mudah
diikuti dan dilakukan anak. Adapun strategi intervensinya melalui pengajaran langsung
kepada anak, dan melalui pemberian penghargaan/hadiah dan penguatan setiap kali siswa
berhasil melakukan suatu tugas tertentu (mencuci tangan tanpa menggunakan air kran secara
benar) sesuai kebutuhan anak. Tujuannya untuk memotivasi munculnya perilaku yang
diinginkan, dan memelihara atau mempertahankan perilaku yang sudah dapat dilakukan anak
secara benar. Hukuman diberikan (jika diperlukan) untuk menghilangkan tindakan-tindakan
anak yang tidak diinginkan.
f. Sekuensi Cara Mencuci Tangan tanpa Menggunakan Air Kran
Langkah-langkah (analisis tugas) mengerjakan cara mencuci tangan tanpa
menggunakan air kran secara benar (bersih) sebagai berikut: (1). Menyediakan air di ember
atau tempat air lainnya, (2). Mengambil air di ember menggunakan gayung, (2). Menyirami
kedua belah tangan dengan air secara merata, (3). Mengambil sabun pada tempatnya (sabun
batangan, jika sabun cair, penutupnnya ditekan sehingga sabun bisa keluar, jika sabun
cream/colek dicolek menggunakan ujung jari secukupnya), (4). Menggosok-gosokan sabun
tersebut atau membilasnya pada kedua belah (telapak) tangan sampai berbusa, sambil
membersihkan kotoran yang ada di tangan, (5). Mengambil air menggunakan gayung,
kemudian menyirami kedua belah tangan sampai bersih (tidak terasa licin), selanjutnya (6).
Mengeringkan kedua belah tangan menggunakan handuk (khusus) atau lap kering.

g. Proses Pembelajaran Mencuci Tangan tanpa Menggunakan Air Kran


Kegiatan Guru-Pembimbing
Proses pembelajaran kemandirian (mencuci tangan tanpa menggunakan air kran
secara bersih) sebagai berikut: (1). Guru menjadi model dengan cara memperagakan atau
memberikan contoh perilaku cara-cara mencuci tangan tanpa menggunakan air kran dengan
bersih, (2). Guru melatih anak satu persatu sehingga dapat diketahui kekurangan maupun
kelebihan dari setiap anak, juga agar pada waktu pelaksanaan latihan dapat memperhatikan
keadaan anak. Jika pada waktu latihan anak belum dapat melakukannya dengan baik, maka
guru dapat melatih anak tersebut secara berulang terutama pada tahap yang dianggap sulit,
(3). Setiap anak dibimbing melakukannya (sesuai kebutuhan anak) dengan mengikuti
langkah-langkah (analisis tugas), sampai anak dapat melakukannya sendiri, mencuci tangan
tanpa menggunakan air kran secara bersih, (4). Guru memberikan penghargaan dan
penguatan dengan segera setiap kali siswa berhasil melakukan suatu tugas tertentu (mencuci
tangan tanpa menggunakan air kran secara bersih). Tujuannya untuk memotivasi munculnya
perilaku yang diinginkan dan mempertahankan perilaku yang sudah dapat dilakukan siswa
secara benar. Hukuman diberikan (jika diperlukan) untuk menghilangkan tindakan-tindakan
anak yang tidak diinginkan.
Kegiatan Siswa
Dalam pembelajaran kemandirian (cara-cara mencuci tangan tanpa menggunakan air
kran) kegiatan yang dilakukan siswa sebagai berikut:
1) Mengambil air dari dalam ember dengan menggunakan gayung
2) Tangan yang memegang gayung yang berisi air menyirami kedua belah tangannya.
3) Mengambil sabun pada tempatnnya
4) Menggosok kedua belah tangannya dengan sabun, sampai tangan berbusa
5) Mengembalikan sabun pada tempatnnya
6) Kedua belah tangan digosok-gosok sehingga kotoran keluar

7) Tangan anak memegang gayung dan mengambil air kemudian menyirami kedua belah
tangan yang berbusa sampai bersih (tidak terasa licin)
8) Bila kedua tangan belum bersih, dapat disiram lagi dengan air sampai bersih
9) Kedua belah tangan yang sudah bersih dapat dikeringkan dengan menggunakan handuk
atau lap kering
10) Mengambil handuk atau lap kering
11) Mengeringkan tangan dengan menggunakan handuk/lap
12) Mengembalikan atau menyimpan kembali handuk/ lap pada tempatnya.
Jika siswa belum juga dapat melakukannya, guru-pembimbing dapat melakukan
prompfting yaitu pemberian arahan, dorongan dan bimbingan untuk membantu siswa
tunagrahita menghasilkan/melakukan respon secara tepat. Prompt ini bersifat insidental, dan
berangsur-angsur dikurangi (prompt fading) untuk menghindari ketergantungan anak,
sehingga respon yang benar muncul dibawah kontrol perintah (guru).
h. Evaluasi
Dilakukan untuk mengukur dan menggambarkan kemajuan atau pencapaian belajar
actual masing-masing siswa tunagrahita sedang, setelah menjalani proses pembelajaran
kemandirian (cara-cara mencuci tangan tanpa menggunakan air kran) secara benar. Penilaian
atas pencapaian tujuan (behavioral) kemandirian siswa pada dasarnya dilakukan berdasarkan
prinsip penilaian rujukan kemajuan atau perkembangan diri sendiri siswa tunagrahita sedang.
Dalam hubungan ini, anak dikatakan berhasil dalam pembelajaran kemandirian jika dapat
mengerjakan tugas (mencuci tangan tanpa menggunakan air kran secara bersih), sesuai
tahapan urutan pengerjaan melalui analisis tugas. Jika siswa belum dapat melakukannya
dengan benar atau tepat, maka guru dapat mengulanginya lagi (membimbingnya) sesuai
tahapan urutan pengerjaan yang sudah diajarkan/dilatihkan kepada anak, sampai anak dapat
melakukannya sendiri (mencuci tangan tanpa mengunakan air kran secara bersih).
E. KESIMPULAN
Pada dasarnya kemandirian bagi siswa tunagrahita sedang adalah kemampuan
berperilaku adaptif, dalam arti mampu melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari untuk
memenuhi kebutuhannya. Dalam upaya memfasilitasi siswa memperoleh keterampilan
hidup sehari-hari dimaksud, guru dapat menerapkan suatu pendekatan atau strategi
intervensi pembelajaran yang bertolak dari pendekatan behavioral yaitu modifikasi
perilaku (behavior modification). Dalam hal ini guru dituntut mampu merumuskan tujuan
pembelajaran secara spesifik dan operasional, mengenali dan menganalisa kemampuan
awal (entering behavior), serta menentukan kriteria penilaianya. Dalam penerapannya,
guru perlu mempertimbangkan dan memilih prinsip-prinsip behavioral yang sesuai
dengan karakteristik kebutuhan belajar siswa tunagrahita sedang.
Prinsip-prinsip pembelajaran kemandirian berbasis konseling behavioral yang
diasumsikan sesuai dengan karakteristik pembelajaran siswa tunagrahita sedang, sebagai
berikut: (1). Individualisasi (Individualized Educational Program/Plan), (2). Ke-konkretan
(Concrete), (3). Pengulangan (Belajar secara berulang-ulang), (4). Pembiasaan (habituation),
(5). Rutinitas dan Ketidakberagaman aktivitas, (6). Keberurutan (Sequensial), (7).
Penguasaan Kemampuan Prasyarat (Prerequisite), (8). Belajar secara Berkesinambungan
(Continues Learning Progress), (9). Fungsional-Aplikatif (Applicative-Functional), (10).
Rujukan Kemajuan Perkembangan Diri Sendiri (Self Progress Development Refferenced),
(11). Kesederhanaan dan Kemudahan, (12). Pengawasan dan bimbingan (External control &
Guidance).
Penerapannya oleh guru SLB C dalam proses pembelajaran kemandirian siswa
tunagrahita sedang untuk memfasilitasi upaya mengembangkan potensinya mencapai

kemandiriannya secara optimal, dalam arti siswa mampu melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari dapat digambarkan sebagai berikut: pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip
individualisasi pengajaran, asesmen, bahan disajikan dari hal-hal konkret menuju abstrak,
didemonstrasikan oleh guru (sebagai model), dilaksanakan secara analisis tugas,
dipelajari secara berulang, latihan dan pembiasaan, serta didukung adanya penghargaan
(reward), penguatan (reinforcement), dan hukuman (jika diperlukan) sehingga respon
(tingkah laku baru) yang diinginkan (positif) dapat dibentuk, dibangun dan dipertahankan.
Meskipun ada kritik pentingnya hubungan pribadi (relationship) antara guru
dengan siswa dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan behavior terkesan dingin,
guru seyogyanya mampu mengupayakan terbentuk dan terbinanya hubungan baik dengan
anak didiknya, mampu mensinergikan antara prinsip-prinsip pembelajaran kemandirian
berbasis behavioral dengan pendekatan psycho-education (nilai-nilai bimbingan dan
konseling), dan mampu merekayasa atau mengelola lingkungan sedemikian rupa agar
siswa tunagrahita sedang mau belajar. Dengan demikian, diharapkan upaya tersebut dapat
memfasilitasi upaya mengembangkan potensi siswa tunagrahita mencapai
kemandiriannya secara optimal. Dalam arti siswa tunagrahita memiliki keterampilan dan
mampu menerapkannya dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari untuk
memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. (1996). Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar: Jakarta: Dirjen DiktiDepdikbud.
Amin, M. (1984). Pedoman Bimbingan Anak Luar Biasa. Jakarta: Depdikbud Tidak
diperdagangkan.
Anwar. (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education). Bandung: Alfabeta
Alimin, Z. (2006). Model Pembelajaran Anak Tunagrahita Melalui Pendekatan
Kanseling. Disertasi SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Amin, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagtahita. Jakarta: Depdikbud.
Astati. (1999). Program Laytanan Dasar Bimbingan Dalam Meningkatkan Persiapan
Pekerjaan Anak Tunagrahita R'ingan ( Penjajakan Model Bimbingan dan Konseling
Pendekatan Ekologis) pada Siswa Sekolah Menengah Tunagrahita Ringan di SPLB-C
Bandung. Tesis PPS UPI Bandung.
Beirne-Smith, Ittenbach & Patton. (2002). Mental Retardation, Sixth Edition. New Jersey:
Pearson Education, Inc.
Delphie, B. (2005). Bimbingan Konseling untuk Perilaku Adaptif. Bandung: Pustaka
Bani Quraisy.
Depdikbud. (1999). Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan di SLB-C. Jakarta: Depdikbud.
Dharma, A. (Ed.).(1991). Child Development (Perkembangan Anak). Jilid 1,
Cetakan Kedua, Alih Bahasa: Tjandrasa dan Zarkasih. Jakarta: Erlangga.
Efendi, J. (1999). Pengembangan Program Bimbingan Konseling Perkembangan Melalui
Kegiatan Belajar Mengajar dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Tunagrahita
Ringan. Tesis, PPS UPI Bandung.
Havighurst, Robert. (1961). Human Development. New York: David Mckay Company, Inc.
Hurlock, E.B. (1978). Child Development, Sixth Edition, New York: McGrawHill,. Inc.
_________. (1993). Child Development (Perkerrrbangan Anak). Jilid 2, Cetakan Keempat,
Alih Bahasa: Tjandrasa. Jakarta: Erlangga.
Kartadinata, S. (1988). Profit Kemandirian dan Orientasi Timbangan Sosial Mahasiswa
serta Kaitannya dengan Perilaku Empatik dan Orientasi Niai Rujukan (Studi.

435

Deskriptif-Analitik tentang Kemandirian Para Mahasiswa Beberapa Perguruan


Tinggi Negeri dan Swasta di Kotamadya Bandung). Disertasi PPs IKIP
Bandung: Tidak Diterbitkan.
Liando, J. (1993). Kesesuaian antara Pelaksanaan Bimbingan oleh Guru dengan Harapan
Orang Tua di SLB C Cipaganti Bandung. Tesis PPS IKIP Bandung: Tidak
Diterbitkan.
Maslow, A.H. (1970J19B4). Motivasi dan Kepribadian (Penterjemah Nurul Iman).
Jakarta: Gramedia.
Neely, A.M. (1982). Counseling and Guidance Practices with Special Education Students.
Homewood, Illionois: The Dorsey Press.
Rochyadi dan Alimin (2005). Pengembangan Program Pembelajaran Individual bagi Anak
Tunagrahita. Jakarta: Depdiknas.
Wantah, M.J. (2007). Pengembangan Kemandirian Anak Tunagrahita Mampu Latih. Jakarta:
Depdiknas.

EPILOG:
INDONESIA MENUJU PENDIDIKAN INKLUSIF
DEKLARASI
Bahwasanya keberadaan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya di
Indonesia untuk mendapatkan kesamaan hak dalam berbicara, berpendapat, memperoleh
pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan, sebagaimana
yang dijamin oleh UUD 1945;
mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh sebagai warga negara, sebagaimana tertuang
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), diperjelas oleh Konvensi Hak Anak
(1989), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990), Peraturan Standar PBB
tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993), Pernyataan Salamanca
dan Kerangka Aksi UNESCO (1994), Undang-undang Penyandang Cacat (1997), Kerangka
Aksi Dakar (2000), Undang-undang RI Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(2003), dan Deklarasi Kongres Anak Internasional (2004). Seluruh dokumen tersebut
memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus
lainnya dalam memperoleh pendidikan yang bermutu dan berpartisipasi aktif dalam
kehidupan masyarakat. Menyadari kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang beragam,
maka kami sepakat menuju Pendidikan Inklusif.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kami, peserta Lokakarya Nasional tentang
Pendidikan Inklusif yang diselenggarakan di Bandung, Indonesia, tanggal 8-14 Agustus
2004, menghimbau kepada pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan
industri serta masyarakat untuk dapat:
1. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan
kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan,
sosial, kesejahteraan, keamanaan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi
penerus yang handal.
2. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya, sebagai
individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan
yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan tuntutan masyarakat, tanpa perlakuan
deskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis,
ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun kultural.
3. Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif yang ditunjang
kerja sama yang sinergis dan produktif di antara para stakeholders, terutama pemerintah,
institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta
masyarakat.
4. Menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pemenuhan kebutuhan anak berkelainan
dan anak berkebutuhan khusus lainnya, sehingga memungkinkan mereka dapat
mengembangkan keunikan potensinya secara optimal.
5. Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya untuk
berinteraksi baik secara reaktif maupun proaktif dengan siapapun, kapanpun dan di
lingkungan manapun, dengan meminimalkan hambatan.
6. Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif melalui media
masa, forum ilmiah, pendidikan dan pelatihan, dan lainnnya secara berkesinambungan.

7. Menyusun Rencana Aksi (Action Plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan aksesibilitas
fisik dan non-fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi,
kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya.
Pernyataan ini dibuat dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab untuk Menuju
Pendidikan Inklusif di Indonesia.

Bandung, 11 Agustus 2004

PENDIDIKAN KHAS DI MALAYSIA


KEMENTERIAN PELAJARAN MALAYSIA
(http://www.moe.gov.my/?id=49&lang=my)
Pendidikan Khas
Program Pendidikan Khas :-Program Pendidikan Khas Kementerian Pelajaran Malaysia
dilaksanakan melalui: Sekolah Khas bagi murid bermasalah penglihatan dan bermasalah
pendengaran dan pembelajaran (menengah). Program Pendidikan Khas Integrasi untuk
murid-murid berkeperluan khas bermasalah pembelajaran, bermasalah pendengaran dan
bermasalah penglihatan. Program ini diwujudkan di sekolah.
Sistem Pendidikan
Sistem Pendidikan Kebangsaan di peringkat sekolah di bawah Kategori Institusi Pendidikan
Kerajaan terdiri daripada:-(a) Pendidikan PrasekolahProgram pendidikan bagi murid yang
berumur dari empat hingga enam tahun; (b) Pendidikan RendahKursus pengajian pada
peringkat rendah yang direncanakan bagitempoh enam tahun tetapi yang boleh tamat diikuti
dalam tempoh antaralima hinggah tujuh tahun.
Perkhidmatan Pendidikan Khas
PENGENALAN :-Perkhidmatan kepada kanak-kanak kurang upaya adalah tanggungjawab
tiga Kementerian, Kementerian Kesihatan, Kementerian Pembangunan Wan ita, Keluarga
dan Masyarakat dan Kementerian Pelajaran Malaysia.Pendidikan bagi kanak-kanak tersebut
dikendalikan oleh dua Kementerian iaitu Kementerian Pelajaran Malaysia dan Kementerian
Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat.
Dasar Pendidikan
Program yang dijalankan berlandaskan kepada dasar-dasar berikut: Akta Pendidikan 1996,
Bab 8. Akta Pendidikan (Pindaan) 2002. Peraturan -Peraturan Pendidikan (Pendidikan Khas)
1997. Keputusan Jawatankuasa Dasar, Kementerian Pelajaran Malaysia [Jawatankuasa
Perancang Pendidikan (JPP), Mesyuarat Pengurusan Kementerian Pelajaran Malaysia, dan
Jawatankuasa Kurikulum Pusat (JKP).

Program Pendidikan
Program Pendidikan Khas Kementerian Pelajaran Malaysia dilaksanakan melalui: Sekolah
Khas bagi murid bermasalah penglihatan dan bermasalah pendengaran dan pembelajaran
(menengah). Program Pendidikan Khas Integrasi untuk murid-murid berkeperluan khas
bermasalah pembelajaran, bermasalah pendengaran dan bermasalah penglihatan. Program ini
diwujudkan di sekolah harian biasa rendah dan menengah.
Program Pendidikan Khas Kementerian Pelajaran Malaysia dilaksanakan melalui:
Sekolah Khas bagi murid bermasalah penglihatan dan bermasalah pendengaran dan
pembelajaran (menengah).
Program Pendidikan Khas Integrasi untuk murid-murid berkeperluan khas bermasalah
pembelajaran, bermasalah pendengaran dan bermasalah penglihatan. Program ini
diwujudkan di sekolah harian biasa rendah dan menengah dan sekolah menengah
teknik/vokasional yang menggunakan pendekatan pengajaran pembelajaran secara
pengasingan dan separa inklusif.
Program Sekolah Pendidikan Khas ditadbir sepenuhnya oleh Jabatan Pendidikan Khas
manakala Program Pendidikan Khas Integrasi dan Program Pemulihan Khas ditadbirkan
sepenuhnya oleh Jabatan Pelajaran Negeri.
Program Pendidikan Khas Integrasi Teknik dan Vokasional pula ditadbirkan oleh Jabatan
Pendidikan Teknikal manakala Jabatan Pendidikan Khas bertanggungjawab terhadap perkaraperkara yang berkaitan dengan dasar dan pengisiannya.
Program Pendidikan Khas di Malaysia yang dijalankan berlandaskan kepada perkara-perkara
berikut:

Akta Pendidikan 1996, Bab 8.


Akta Pendidikan ( Pindaan) 2002
Peraturan-Peraturan Pendidikan ( Pendidikan Khas ) 1987
Keputusan Jawatankuasa Dasar, Kementerian Pelajaran Malaysia [ Jawatankuasa
Perancang Pendidikan (JPP), Mesyuarat Pengurusan Kementerian Pelajaran Malaysia,
Jawatankuasa Kurikulum Pusat (JKP) dan Mesyuarat Pengurusan Jabatan Pendidikan
Khas 1.
Deklarasi Antarabangsa:
- Union Nation's World Programme Of Action Concerning Disabled Persons
(1983).
- The World's Declaration On Education for All (1990).
- The United Nation's Standard Rules On the Equalization of Opportunities for
Person With Disabilities (1993).
- The Framework For Action on Special Needs Education (Salamanca Statement)
1984.
- Biwako Millennium Framework For Action Towards an Inclusive -- Barrier - Free
and Rights - Based Society for Persons with Disabilities in Asia and the Pacific
(2002 ).

Biografi Editor
Ignatius Dharta Ranu Wijaya, lahir 28 Desember tahun 1972 di Jakarta.
Anak ke enam dari tujuh bersaudara ini lahir dari keluarga tentara. Tahun 1999 melamar
kerja di sebuah institusi pendidikan khusus di Jakarta dan ternyata diterima menjadi terapis
bagi anak autis. Merangkak dari terapis, senior terapis, case manager, dan akhirnya konsultan
selama 7 tahun bekerja di Jakarta. Tahun 2006 diminta memberikan Mata Kuliah Sertifikasi
Applied Behavior Analysis di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Hijrah ke
Bandung sejak tahun 2006 karena sadar bahwa pendidikan S1 tidak cukup untuk menjadi
dosen. Tahun 2006 memutuskan masuk sekolah pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia dengan Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus dan kemudian dapat
menyelesaikan studi 2 tahun lebih 3 bulan di Universitas Pendidikan Indonesia dengan tesis
Resiliensi Siswa Sekolah Dasar di Bandung. Sejak 2002 telah merintis Lembaga Studi dan
Penelitian Autisme bersama teman-temannya di Bandung. Menjadi konsultan dan redaktur
jurnal ilmiah autisme bernama Jurnal Percik Automatia. Belum menerbitkan buku tetapi
cukup banyak menulis artikel dan beberapa kali menjadi editor. Aktif memberikan
pendampingan bagi individu berkebutuhan khusus usia remaja dan dewasa, pemberdayaan
keluarga, seminar dan workshop bagi orang tua, terapis, guru pembimbing khusus, dan guruguru di sekolah umum. April 2009, mendirikan lembaga advokasi, praktik, dukungan dan
peluang inklusi serta pemberdayaan anak berkebutuhan khusus dan keluarga dengan nama
Home PBS. Dinamakan seperti itu karena ia sangat yakin bahwa rumah adalah awal
pendidikan yang menggunakan pendekatan positif terhadap perilaku. Sekarang menjadi
konsultan perilaku di Kezia School & Learning Center Bandung dan juga aktif membantu di
almamaternya sebagai dosen tidak tetap yang Non Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ditunjuk
menjadi Ketua Presidium IPSPI (Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia) Jawa Barat
untuk masa bakti 2009 2011. Saat ini tengah mengembangkan family education center
bersama teman-teman di Home PBS.

Juang Sunanto adalah anak kedua dari enam bersaudara, lahir pertengahan September
tahun 1961 di kota Blora, Jawa Tengah.
Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), bermaksud melanjutkan ke
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) namun ditolak lebih cepat sebelum mengikuti seleksi masuk
karena alasan fisik yang tidak sempurna. Sekolah Menengah Atas (SMA) akhirnya menjadi
tempat menempuh pendidikan lanjutan, meskipun itu bukan pilihan nya dan merasa agak
terpaksa. Semula bercita-cita ingin menjadi guru tetapi setamat SMA, ia mengubah cita-cita
nya untuk menjadi insinyur meskipun akhirnya juga tak kesampean. Tahun 1981 terdaftar
sebagai siswa di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) dan terpaksa lulus tahun
1983. Semua itu di luar perkiraan nya seperti kata pepatah: nasib orang memang tidak dapat
diduga. Darah guru yang diturunkan dari sang Ayah tanpa disadari mengalir semakin deras
setelah ia diterima di IKIP Bandung tahun 1983 pada Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB).
Tahun 1986 mendapat gelar Sarjana (Drs.) Pendidikan Luar Biasa dan diangkat sebagai PNS
tahun 1987 untuk mengabdikan diri di almamater nya. Bersama beberapa Dosen dari
berbagai Universitas di Indonesia, tahun 1991 mendapat beasiswa dari Pemerintah Jepang
(Monbusho) untuk melanjutkan program Magister. Tahun 1995 mendapat gelar Magister
(M.A.) Special Education dari University of Tsukuba, Jepang. Tiga tahun kemudian, 1998,
menyelesaikan program doktoral dengan gelar Ph.D. di bidang Special Education di
Universitas yang sama. Sejak di SGPLB, kemudian di IKIP Bandung, dan Universitas of
Tsukuba menekuni bidang pendidikan bagi anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra).
Karya tulis yang pernah diterbitkan nya dalam bentuk buku adalah Mengembangkan potensi

anak dengan hambatan penglihatan dan Penelitian dengan subjek tunggal serta beberapa
artikel penelitian tentang pendidikan bagi tunanetra dan pendidikan inklusif. Sejak 2003,
Juang Sunanto menjadi pemimpin redaksi Jurnal ilmiah Jurnal Asesmen dan Intervensi
Anak Berkebutuhan Khusus yang disingkat JASSI Anakkhu. Tahun 2002 hingga sekarang
ia diminta menjadi konsultan pendidikan di Yayasan Rawinala penyelenggara pendidikan
bagi anak tuna ganda dengan tunanetra. Terkait dengan tugas tersebut, ia mendapat
kesempatan mengikuti pelatihan pendidikan bagi anak tuna ganda dengan tunanetra (Multiple
Disabilities with Visual Impairment/MDVI) dari Helen Keller International di Perkins School
for the Blind di Boston, USA. Saat ini, ia tengah mengembangkan mata kuliah pendidikan
anak tuna ganda (MDVI) bersama beberapa teman nya di UPI.

Zaenal Alimin, lahir di Garut Jawa-Barat pada tanggal 24 Maret 1959.


Menyelesaikan S1 (sarjana) di IKIP Bandung jurusan Pendidikan Luar Biasa pada tahun
1983, program S2 (master degree) Special Education Uiniversity of Tsukuba Japan
diselesaikan pada tahun 1993, dan S3 (Doktor) bidang konseling di Univessitas Pendidikan
Indonesia (UPI) Bandung pada tahun 2006.
Kegiatan internasional pernah diikiuti adalah menjadi: 1) peneliti tamu di University of Oslo
Norway pada tahun 2003 untuk mempelajari pendidikan inklusif selama 4 bulan,
2) Pembicara dalam Regional Conference on Inclusion and Special Educational Needs
(RCISEN) di Kulalumpur tahun 2009, 3) Pembicara pada International Symposium on
Incuive Education Bukittinggi 2005, 4) Peserta program Australian Leadership Award
(ALA) di Flinder Uninersity, khusus mempelajari pendidikan inklusif dalam konteks
Australia selama 2 bulan pada tahun 2011, diseponsori oleh AUSAID.
Saat ini bekerja sebagai dosen di jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu pendidikan
dan diberi tugas tambahan sebagai ketua program studi Pendidikan Kebutuhan Khusus
Sekolah Pascasarjana UPI sejak tahun 2007-2010 dan 2011-2012.
Penelitan yang dilakukan fokus pada area perkembangan dan pembelajaran anak tunagrahita,
dan pendidikan inklusif. Menulis beberapa jurnal/artikel yang dimuat dalam jurnal online.
Sejak tahun 2006-sekarang ditunjuk sebagai konsultan pendidikan inklusif di Dinas
Pendidikan Provinsi Sumatra Selatan.

Mohd Mokhtar Tahar, di lahirkan di Melaka pada 12 Oktober 1963.


Melibatkan diri dalam bidang pendidikan mulai 1983 apabila terpilih mengikuti Sijil
Perguruan di Maktab Perguruan Ipoh, Hulu Kinta, Mempunyai Siji Pemulihan Khas dan
Pendidikan Khas Kanak-Kanak Bermasalah Pembelajaran. Menyambung Sarjana Muda dan
Sarjana dalam Pendidikan Khas di UKM. Mula mengajar sebagai guru dari tahun 1986.
Pernah mengajar di sekolah rendah dan menengah untuk murid kelas tapikal, pemulihan,
dan kanak-kanak bermasalah pembelajaran. Sebagai guru pernah di anugerahkan Tokoh
Guru Pendidikan Khas, Peringkat Negeri Melaka dan Kebangsaan sempena hari Kualiti
Jabatn Pendidikan Khas.Kementerian Pelajaran Malaysia. Mulai 2002 beliau menyertai
UKM sebagai pensyarah di Fakulti Pendidikan UKM. Di UKM beliau dianugerahkan
Anugerah Khidmat Masyarakat dan Anugerah Pengajar Cemerlang pada tahun 2007. Di
UKM beliau mengajar pelajar sarjana muda kursus Pengenalan Kepada Pendidikan Khas,
Pengkhususan Pendidikan Khas : Ciri-ciri Pelajar Pendidikan Khas, Kurikulum Khas,
Modul dan Strategi Pengajaran Pendidikan Khas, Kemahiran Kreativitit dan Kraftangan,
Rekreasi Dalam Komuniti dan Pemulihan Dalam Komuniti. Di Peringkat sarjana beliau
mengajar Kerja Lapangan dan Penaksiran Dalam Pendidikan Khas. Banyak kajian dan

penulisan beliau telah di terbitkan dalam prosiding, jurnal dan bab dalam buku disamping
itu menjadi rujukan guru-guru, kementerian, dan OUM dalam bidang pendidikan Khas.

Mohd Hanafi Mohd Yasin, dilahirkan di Alor Gajah, Melaka pada 3 September 1963.
Pada tahun 1986 memperolehi Sijil Perguruan Asas di Maktab Perguruan Teknik, Ceras,
Kuala Lumpur dalam pengkhususan Seni Perusahaan Pendidikan Peringkat Awal Remaja.
Memperolehi Sijil Perguruan khas dalam bidang Kanak-Kanak Bermasalah Pendengaran dari
Maktab Perguruan Ilmu Khas, Ceras, Kuala Lumpur dalam tahun 1992. Tahun 1997
mendapat Ijazah Sarjanamuda Pendidikan (Pendidikan Khas) dari Universiti Kebangsaan
Malaysia.
Menyiapkan Ijazah Sarjana Pendidikan (Pendidikan Khas) di Universiti
Kebangsaan Malaysia pada tahun 1999 dan seterusnya memperolehi Ijazah Doktor Falsafah
dalam bidang Pendidikan Khas dalam tahun 2005 di universiti yang sama.
Kegiatan diperingkat antarabangsa ialah 1) membentangkan kertas kerja di Persidangan
WCLTA di Universiti Amerika Cairo pada 29-31 Oktober 2010. 2) Diundang sebagai
pembicara di Universitas Pendidikan Indonesia dalam Persidangan Pendidikan Inklusif pada
tahun 2009. 3) Pada 19-23 November 2010 sekali lagi dijemput sebagai pembicara dalam
persidangan Internasional Pascasiswazah Pendidikan Khas di Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. 4) Pada tahun 2008 mengadakan jaringan
kerjasama selama 7 hari di Fakulti Pendidikan Universiti Aucland, New Zealand.
Ketika ini bertugas di Jabatan Asas Pendidikan Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan
Malaysia dalam bidang Pendidikan Khas (Pengkhususan Bermasalah Pendengaran). Dilantik
menjadi penyelaras Pusat Sumber Fakulti Pendidikan mulai 2010 hingga 2013.
Bidang penyelidikan adalah pendidikan dan perkembangan Pendidikan Khas dan Pendidikan
Khas Bermasalah Pendengaran. Menghasilkan beberapa artikel yang diterbitkan dalam jurnal
di dalam dan luar negara. Menerbitkan beberapa hasil tulisan dalam beberapa buah buku
berkaitan Bidang Pendidikan Khas. Kini dilantik sebagai penasihat dan pakar rujuk beberapa
agensi di Kementerian Pelajaran Malaysia dan Open University of Malaysia.

SAFANI BARI : memulakan kerjaya dengan mengikuti kursus pendidikan sebagai guru
dalam bidang pendidikan bahasa Inggeris sebagai bahasa kedua (TESL) di maktab perguruan
Lembah Pantai Kuala Lumpur pada tahun 1976 hingga 1977. Tamat pengajian di maktab
perguruan, mula mengajar di S.K. Parit Empat Sekinchan, Selangor sebagai guru bahasa
Inggeris. Pada tahun 1987 melanjutkan pengajian dalam bidang pendidikan khas masalah
pendengaran di Maktab Perguruan Ilmu Khas. Setelah tamat pengajian pada akhir tahun
1987 di tempatkan mengajar di S. K. Sultan Alam Shah II, Petaling Jaya Selangor. Pada awal
tahun 1990 menyambung pengajian di Maktab Perguruan Temenggung Ibrahim, Johor
Baharu dalam bidang Pendidikan Jasmani dan Kesihatan selama setahun. Pada awal tahun
1991 menyambung pengajian di peringkat Sarjanamuda di Victoria College, Melbourne,
Australia dalam bidang Pendidikan Khas. Selepas tamat pengajian di peringkat Sarjanamuda,
pada tahun 1993 menyambung pengajian di peringkat sarjana di The University of
Melbourne, Australia dalam bidang Masalah Pendengaran. Selepas tamat pengajian pada
akhir tahun 1994, kembali bertugas sebagai guru di S.M.K. Lelaki Methodist, Kuala Lumpur
sehingga 1996. Pada tahun 1997 bertugas sebagai Penolong Pengarah di Jabatan Pendidikan
Khas, Kementerian Pendidikan Malaysia dan pada awal 1998 telah berpindah ke Universiti
Kebangsaan Malaysia sebagai pensyarah. Sepanjang kerjaya sebagai pensyarah telah terlibat
dalam penyelidikan berkaitan kanak-kanak bermasalah pendengaran, membentangkan kertas
kerja di seminar kebangsaan dan antarabangsa, penulisan akrtikel dalam jurnal dan buku.
Pada ketika ini sedang menyiapkan pengajian dalam peringkat PhD.

Para Penulis
Aliza Alias (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Andreas W. Yanuardi (R&D Center PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk.)
Aziz Jantan (Kementerian Pelajaran Malaysia)
Azman Nordin (Kementerian Pelajaran Malaysia)
Bahari Abu Bakar (Kementerian Pelajaran Malaysia)
Choong Shee Yin (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Didi Tarsidi (Universitas Pendidikan Indonesia)
Endang Rochyadi (Universitas Pendidikan Indonesia)
Hamidah Yamat (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Hasnah Toran (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Herlina (Universitas Pendidikan Indonesia)
Ibnu Syamsi (Universitas Negeri Yogyakarta)
Iding Tarsidi (Universitas Pendidikan Indonesia)
Ign. Dharta Ranu Wijaya (Universitas Pendidikan Indonesia)
Johannes Adi P (R&D Center PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk.)
Juang Sunanto (Universitas Pendidikan Indonesia)
Khadijah Abdul Razak (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Manisah Mohd. Ali (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Mohd Hanafi Mohd Yasin (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Mohd Mokhtar Hj Tahar (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Mohamad Sugiarmin (Universitas Pendidikan Indonesia)
Mohd Zuri bin Ghani (Universiti Sains Malaysia)
Munce R. Therik (Universitas Pendidikan Indonesia)
Nik Azhar Nik Abd. Rahman (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Norasmah Hj. Othman (Universitas Pendidikan Indonesia)
Norma Ibrahim (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Norani Mohd Salleh (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Noriah Mohd Ishak (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Permanarian Somad (Universitas Pendidikan Indonesia)
Pua Yoke Fang (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Rosadah Abd Majid (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Safani Bari (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Sazali Abd. Hamid (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Siti Fatimah Mohd (Universiti Kebangsaan Malaysia)
Sukinah (Universitas Negeri Yogyakarta)
Zaenal Alimin (Universitas Pendidikan Indonesia)
Zawawi Zahari (Kementerian Pelajaran Malaysia)

DAFTAR INDEKS
A
adaptasi
anak
anak autis
anak berbakat
anak berkebutuhan khusus (ABK)
anak berkeperluan khas
anak tunagrahita
analisis
aktivitas
aktiviti
aksesibiliti
alternatif
al-Quran
aplikasi
asesmen
aset personal
autis
autisme
azaz
B
bahasa
bandung
bahan bantu mengajar
behavioral
behaviorisme
berbakat
berdikari
berkualitas
bermasalah pembelajaran
bermasalah penglihatan
bina diri
C
cabaran
cerdas
D
dampak
defisit
deklarasi
diagnostik
diskriminasi
disain

E
education for all
eksperimen
F
frequency modulation (FM)
fungsional
G
golongan
guru
I
ibu bapa
i-Chat
implementasi
implikasi
indeks
inklusi
indeks inklusi
indikator
indonesia
infrastruktur
integrasi
interaksi sosial
K
kaedah
kajian
kalangan
kanak-kanak bermasalah pendengaran
kebutuhan belajar
kelas
kemandirian
kemahiran
kementerian pendidikan malaysia
kemudahan
kepelbagaian pelajar
kepentingan
keperluan
kesadaran
kerja
ketunanetraan
keusahawanan
kompetensi sosial
konteks
konseling
korban konflik

L
linguistik
M
malaysia
matematik
melayu
merencana
membaca
membaca permulaan
metodologi
model pembelajaran
modul
murid
N
nilai
nilai pendidikan inklusif
nonresilien
O
orientasi
orang kurang upaya (OKU)
P
pelajar
pelajar pintar cerdas
pelaksanaan
pemulihan
pencapaian
pendidikan inklusif
pendidikan khusus
pendidikan khas
pengadaptasian
pengaruh
penguasaan
pengusaha
penyelenggaraan
PERMATApintar
perang timor-timur
persaingan
persepsi
prefentif
prestasi belajar
prinsip
peserta didik
perilaku
pintar
portal
program integrasi pendidikan khas

profil
propiroseptic
proses pengajaran
punca
Q
Quran
R
rekreasi
remaja autis
resiliensi
risiko
S
salamanca
sekolah
sekolah dasar penyelenggara
sekolah luar biasa
sekolah menengah
sekolah pendidikan khas
seksual
sikap
sikap guru
sensitivitas
sistem
siswa
sosial
sosio emosi
strategi
studi pengembangan
siswa resilien
siswa nonresilen
T
target
telkom
terapan
tilawah al-Quran
tiga kaedah pembelajaran
timor-timur
tinjauan
tongkat beroda
tunagrahita
tunarungu
tunanetra
U
uji
ujian

upaya
usaha
V
visual
visuo sptial

Anda mungkin juga menyukai