Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS SPINAL SYOK

BANGSAL BEDAH

PEMBIMBING

DR.RAHMAT, Sp.B

I. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Pekerjaan
No.CM
Tanggal masuk

: Tn. Dermawan
: 30 tahun
: Laki-laki
: Islam
: Kuli bangunan
: 04.98.14
: 04 April 2015

II. ANAMNESA
ALLOANAMNESA

Keluhan utama

Riwayat penyakit sekarang :


Os dibawa keluarga ke RSUD KOTABARU dengan penurunan
kesadaran. Os mengeluhkan sesak dan mulai dari batas dada dan
axila sampai ke tungkai tidak bisa di gerakkan setelah terkena aliran
listrik dan terjatuh dari atas bangunan setinggi lebih kurang 4 meter
pada saat bekerja. Jatuh dengan posisi terlentang, setelah dilakukan
pemeriksaan di UGD os di putuskan supaya dirawat inap dan
mendapat penanganan dari bagian bedah.
Saat terjatuh dari ketinggian os pingsan , mual (+), muntah (-).

Riwayat penyakit terdahulu : Hipertensi, asma, sakit jantung,


DM disangkal.

Riwayat pemakaian obat

: trauma listrik dan jatuh dari ketinggian.

: (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanda vital
Keadaan umum
: tampak sakit berat
Kesadaran umum : compos mentis
TD
: 90/70 mmHg
HR
: 80 x/i
RR
: 30 x/i
T
: 39C

1.

KEPALA
Mata
Telinga
Mulut
Hidung
Leher

: ikterik (-/-), anemis (-/-)


: tidak ada perdarahan
: tidak ada perdarahan
: tidak ada perdarahan
: tidak ada kelainan

2. THORAK
Dada
: simetris
Jantung : murmur (-), gallop (-)
Paru
: rhonki (-), whezing (-)

3. ABDOMEN
Hepar
Limpa
Ginjal

: tidak teraba
: tidak teraba
: tidak teraba

4.EXTREMITAS
Extremitas atas
dextra
: luka baka grade III
Sinistra
: luka bakar grade III
Extremitas bawah
Dextra
: palantar pedis luka bakar grade I dan dorsal
pedis luka bakar grade III
Sinistra
: plantar pedis luka bakar grade 1

PEMERIKSAAN PENUNJANG

EKG
DL
GDS,CHOLESTROL,SGPT/OT,CREATININ
PHOTO
: THORACO LUMBAL AP/LATERAL
PHOTO
: LUMBO SACRAL AP/LATERAL

EKG : DALAM BATAS NORMAL


GDS
: 96 mg/dl
CHOLESTROL : 147 mg/dl
SGPT
: 10 U/L
SGOT
: 27 U/L
CREATININ
: 0,88 mg/dl
Darah lengkap
WBC
RBC
PLT
HBG

: 6,46.10 (5.00-10.00) NORMAL


:5,82 ( N= 4.00-5.50) HIGH
: 154.10 (N=150-400) NORMAL
: 15,0 gr/dl

IV. DIAGNOSA KERJA


TRAUMA ELEKTRIK

V. PENAGANAN IGD

O2
RL
Norages
Neurotam
Acran
Ceftriaxone
Mecobalamin
Paracetamol

: 4-5 Lpm
: 20-25 Tpm
: 1amp/8jam
: 1gr/8jam
: 1amp/12jam
: 1amp/12 jam
: 1mpl/8jam
: 1gr/8jam

Keterangan
: rujuk ke banjarmasin tapi keluarga pasien
menolak
NB : KONSUL KE BAGIAN BEDAH

V. RESUME
Seorang pasien laki-laki, Tn.Dermawan umur 30 tahun datang
ke RSUD KOTABARU diantar keluarganya dengan keluhan
luka bakar dan badan tidak bisa digerakkan mulai dari batas
aksila sampai ke ujung kaki setelah kesetrum listrik dan
nterjatuh dari ketinggian 4 meter saat bekerja . Dari hasil
pemerikasaan yang telah dilakukan yaitu ekg , darah lengkap,
photo thoraco lumbal AP/Lateral, dan fhoto lumbo sacral
AP/Lateral pasien didiagnosa Trauma elektrik + Paraparase +
Susp.spinal syok

FOLLOW UP TANGGAL 5 APRIL 2015


S
O
A

: sesak (+), mual (-), muntah(-)


: BU(+), NT(-), SENSORIS (-), MOTORIK(-)
: TRAUMA ELEKTRIK + SUSP.SPINAL SYOK

THERAPY
O2
: 3-4 Lpm
INFUS RL
: 20Tpm
Inj.Metil prednisolon
: 3vial/ jam selama 24 jam
Inj. Paracetamol
: amp/8jam
Inj. Ceftriaxone
: amp/ 12jam
Inj.Mecobalamin
: amp/8jam
Inj.Piracetam
: 3gr/8jam
BED REST TOTAL
POSISI LURUS ALAS KERAS

FOLLOW UP TANGGAL 06 APRIL 2015


S
O

: Sesak (+), mual dan muntah(-), pusing(-), BAK(+), BAB(-)


: Ekstremitas atas : motorik(+), sensorik(+), kekuatan otot(+)
Gravitasi(+),
A : Trauma elektrik + Paraparese + Susp. Spinal syok
Therapy
:
O2
: 3-4 Lpm
UFD RL
: 20 Tpm
Inj.Metil prednisolon 2vial : 20 tpm/ganti cairan
Inj.ceftriaxone
:1gr/8jam
Inj.piracetam
: 3gr/8jam

TINJAUAN PUSTAKA
SPINAL CORD INJURY

Anatomi vertebra
1. Kolumna vertebralis adalah sebuah struktur lentur yang
dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas
tulang belakang. Diantara tiap dua ruas tulang pada tulang
belakang terdapat bantalan rawan.
Fungsi ruas tulang belakang :
a. Menahan kepala dan alat-alat tubuh yang lain
b. Melindungi alat halus yang ada didalamnya (sumsum tulang
belakang)
c. Tempat lekatnya tulang iga dan tulang panggul
d. Menentukan sikap tubuh.

Menurut Syaifudin (1997), bagian-bagian dari ruas tulang belakang terdiri


dari :
a. Vertebra servikalis 7 ruas, mempunyai badan ruas kecil dan lubang ruasnya
besar. Pada taju sayapnya terdapat lubang tempat lalunya saraf yang disebut
foramen transversalis. Ruas pertama servikalis disebut prosesus odontoid
(aksis) yang memungkinkan kepala berputar ke kiri dan ke kanan.
b. Vertebra torakalis (tulang punggung) terdiri dari 5 ruas. Badan ruasnya
besar dan kuat, taju durinya panjang dan melengkung.
c. Vertebra lumbalis (tulang pnggang) terdiri dari 5 ruas. Badan ruasnya besar,
tebal dan kuat, taju durinya agak picak. Bagian ruas dari ke 5 agak
menonjol disebut promontorium.
d. Vertebra sakralis (tulang kelangkang) terdiri dari 5 ruas. Ruas-ruasnya
menjadi 1, sehingga menyerupai sebuah tulang, disamping kiri/kananya
terdapat lubang-lubang kecil 5 buah yang disebut foramen sakralis.
e. Vertebra koksigialis (tulang ekor) terdiri dari 4 ruas, ruas-ruasnya kecil dan
menjadi sebuah tulang yang disebut juga os.koksigialis. Dapat bergerak
sedikit dan membentuk sakrum.

2. Medula spinalis berfungsi sebagai pusat refleks spinal dan juga sebagai
jaras-jaras konduksi impuls dari atau ke otak. Terdiri dari :
a. Substantia alba (serabut saraf bermielin) yang berfungsi sebagai jaras
konduksi impuls aferen dan eferen antara berbagai tingkat medula spinalis
dan otak
b. Subtantia grisea (jaringan saraf tak bermielin) merupakan tempat integrasi
refleks-refleks spinal
Dalam medula spinalis ada 31 pasang saraf, terdiri dari : servikal 8 pasang,
torakal 12 pasang, lumbal 5 pasang, sakral 5 pasang, koksigeal 1 pasang.
Sebuah irisan melintang, substantia grisea tampak menyerupai huruf H
kapital. Kanalis spinalis berikut isinya yaitu cairan serebrospinal, melintas
persis di tengah-tegah huruf H tersebut. Kedua kaki huruf H menjulur ke
bagian tubuh disebut kornu anterior atau kornu ventralis. Sedangkan kaki
belakang dinamakan kornu posteriot, atau kornu dorsalis. Sum-sum tulang
belakang dibungkus oleh 3 selaput yaitu durameter, arakhnoid, dan
piameter. Diantara durameter dan arakhnoid terdapat lubang disebut
kandung durameter.

Dermatom dan myotom

Dermatom adalah daerah pada kulit yang dipersarafi oleh akson sensoris didalam
radiks saraf segmental. Level sensoris adalah dermatom terndah dengan fungsi
sensoris yang normal dan dapat dibedakan pada kedua sisi tubuh.
kunci untuk menentukan titik sensasi adalah :
1. C5 : area diatas deltoid
2. C6 : jempol tangan
3. C7 : jari tengah tangan
4. C8 : kelingking
5. T4 : papilla mamae
6. T8 : xiphisternum
7. T10 : umbilicus
8. T12 : simphisis pubis
9. L4 : bagian medial betis
10. L5 : ruang antara jari kaki pertama-kedua
11. S1 : batas lateral pedis
12. S3 : daerah tuberositas ischii
13. S4-5 : daerah perianal

Myotom
setiap saraf segmental (radiks) mempersarafi lebih dari 1 otot dan
kebanyakan otot dipersarafi oleh lebih dari satu saraf. Untuk memudahkan,
beberap otot atau kelompok otot diidentifikasi sebagai satu segmen sarah
spinal.

Otot otot yang terpenting adalah :


1. C-5 : deltoid
2. C-6 : ekstensor pergelangan tangan
3. C-7 : ekstensor siku
4. C-8 : fleksor jari-jari tangan 1-3
5. T-1 : abduktor jari kelingking
6. L-2 : Fleksor panggul
7. L-3 : ekstensor lutut
8. L-4 : dorsofleksi pergelangan kaki
9. L-5 : ekstensor jari kaki II
10.S-1 : fleksi pergelangan kaki

Setiap otot dilakukan gradiasi menjadi 6 tingkat/derajat kekuatan otot.


Dokumentasi kekuatan kelompok otot kunci untuk membantu mengetahui
perbaikan atau memburuknya keadaan neurologist.
Derajat kekuatan otot :
0
: kelumpuhan total
1
: teraba atau terasanya kontraksi
2
: gerakan tanpa menahan
3
: gerakan melawan gaya berat
4
: gerakan ke segala arah, tapi kekuatan kurang
5
: kekuatan normal

Syok spinal

Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervikalis, vertebralis, dan


lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan lalu lintas (Sjamsuhidayat, 1997).
Spinal cord injury (SCI) adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
sering kali disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Efek dari spinal cord
injury tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. Akibat yang
ditimbulkan karena cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai
mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan
fungsi defekasi dan berkemih (Fransisca, 2008).
Cedera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada medula spinalis (Brunner & Suddart, 2001)

Etiologi

Sejak tahun 2005 etiologi utama CMS antara lain kecelakaan lalu lintas
(39,2%), jatuh (28,3%), kekerasan (luka tembak 14,6%), olahraga
(terutama diving, 8,2%), akibat lainnya dari mencakup 9,7%.

Etiologi nontraumatik, antara lain gangguan vaskular, autoimun,


degeneratif, infeksi, iatrogenik, dan lesi onkogenik.

Tanda dan Gejala

Menurut Jones & Fix (2009) ada beberapa tanda dan gejala dari SCI, antara
lain:
Pada awalnya syok spinal: paralisis flaksid dengan penurunan atau tidak
adanya aktivitas refleks.
Hilangnya fungsi motorik sebagian/parsial di bawah level SCI (termasuk
pergerakan volunter & pergerakan melawan gravitasi atau tahanan).
Kehilangan fungsi sensori sebagian atau total di bawah level SCI (termasuk
sentuhan, suhu, nyeri.
Pada awalnya peningkatan HR bradikardia; pada awalnya peningkatan
TD penurunan TD.
Nyeri akut di panggul atau leher, dapat menjalar di sepanjang saraf.
Refleks tendon dalam dan aktivitas refleks perianal abnormal.
Hilangnya keringat
Hilangnya refleks-refleks sensorik, motorik dan tendon dalam di bawah
level cedera.
Retensi sekresi paru, menurun kapasitas vital, peningkatan PaCO 2,
penurunan O2 gagal nafas dan edema pulmonal.

Manifestasi klinis
Trauma konkusi sum-sum tulang belakang (neuropraksia, spinal syok)
biasanya akibat adanya kerenggangan sum-sum tulang belakang disertai
fleksi.
gambaran klinisnya adalah hilangnya sensibilitas yang bersifat sementara,
paralisis yang bersifat layu, ileus paralitik, kencing yang tertahan (retensio
urin), hilangnya refleks-refleks bersifat sementara, hilangnya refleks anus
sementara.

Klasifikasi
Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi cedera,
yaitu
1. Cedera servikal
Lesi C1-C4
Pada lesi C1 C4, otot trapezius, sternomastoideus dan otot plasma masih
berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak
ada gerakan involunter (baik secara fisik maupun fungsional). Dibawah
transeksi spinal tersebut, kehilangan sensori pada tingkat C1 C3 meliputi
oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien pada qudriplegia C1, C2, dan C3 membutuhkan perhatian penuh
karena ketergantungan pada/terhadap ventilator mekanis. Pasien ini juga
ketergantungan semua kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4
mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi
penggunaannya secara intermitten saja.

Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma
rusak sekunder terhadap pasca trauma akut. Paralisis intertinal dan dilatasi
lambung dapat disertai dengan depresi pernafsan. Quadriplegia pada C5
biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti
mandi, menyisir rambut, mencukur teapi pasien mempunyai koodinasi
tangan dan mulut yang baik.
Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis
intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanyaakan terjadi
gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada
perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan
aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan
melepaskan baju.

Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris
untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan
biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7
mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatandan perhatian khusus.
Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui
ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan
dan memasak.
Lesi C8
posisi abnormal dari ekstremitas atas tidak terjadi pada lesi C8 karena
adduktor dan rotator internal mampu meniadakan antagonis. Otot latisimus
dorsi dan trapezius cukup kuat untuk menyokokng posisi duduk. Hipotebsi
postural dapat terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena
kehilangan kontrol vasomotor. Hipotensi ini dapat diminimalkan dengan
pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan
pasien biasanya pada posisi mencengkram.

2. Cedera Thorakal
Lesi T1 T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan
diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan
lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul.Timbul paralisis
parsial seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.
Lesi T6 T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen.Dari tingkat T6
ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12,
semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian
bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara
mandiri.

Batas atas kehilangan sensori pada lesi thorakal adalah:

T2
T3
T5
T6
T7, T8
T10
T12

: Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas.


: Aksilla.
: Putting susu.
: Prosesus xifoid.
: Margin kostal bawah.
: Umbilikus.
: Lipat paha

3. Cedera Lumbal
Lesi L1

Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha& bagian belakang


dari bokong.
Lesi L2
Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
Lesi L3
Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.
Lesi L4
Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.
Lesi L5
Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah.

4. Cedera Sakral
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan
posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisisdari otot kaki.
Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis,
perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

Klasifikasi berdasarkan keparahan:


Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
Grade A
: motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen
sacral
Grade B
: hanya sensoris (+)
Grade C
: motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
Grade D
: Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
Grade E
: motoris dan sensoris normal

Patofisiologi
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus
terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera
dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada
tulang belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana,
kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera
spinal cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi
dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan
ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia,
kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat
dan akut anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi
rektum serta kandung kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman
nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan
gangguan eliminasi.

Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang
terkena:
jika cedera mengenai C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia
dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total;
jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan
kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap
aktivitas sehari-hari;
jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami tetraplegia
dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk
melakukan sebagian aktivitas sehari-hari;
jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan
mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan,
meningkat kemandiriannya;
pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan
berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik;
jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut
akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi
dan berkemih.

Komplikasi

Kematian karena gangguan organ vital


Pneumonia hipostatik
Infeksi saluran kemih
Dekubitus
Kaku sendi
Spasme dan atrofi otot
Kecatatan permanen yang menyebabkan ketergantungan pada keluarga dan
masyarakat

Pemerikasaan Penunjang

Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran,
reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi
CT-Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya
tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis
(biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
Foto rontgen torak
memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis)

Penatalaksanaan

Penanganan pra rumah sakit


prinsip awal penanganan awal di rumah sakit yaitu prinsip Advance
Trauma Life Support yang mengutamakan survei primer ABCD (Airway,
Breathing, Circulation, dan Disability) untuk merestorasi tanda-tanda vital
dan survei sekunder.
Survei sekunder pada fase ini umumnya hanya fokus terhadap gejala dan
tanda klinis CMS (nyeri di leher atau punggung, nyeri tekan pada tulang
belakang, paraplegia/tetraplegia, paraesthesia, inkontinensia, priapism,
peningkatan temperatur dari kulit atau eritema).
titik utama yang membedakan penanganan pra-ruag akit dengan di rumah
sakit adalah tindakan imobilisasi dari tulang belakang serta memindahkan
pasien ke unit gawat darurat (UGD) rumah sakit.

Penanganan di rumah sakit


penanganan di RS mencakup seluruh sistem yang mungkin mengalami
komplikasi dari CMS, yaitu mulai dari sistem respiratorik, kardiovaskular,
urologi, gastrointestinal, kulit, sampai tindakan reduksi non-operatif
maupun operatif.
1. Penanganan awal
Penanganan awal saat menerima pasien di IGD RS umumnya sama, yaitu
ditindaklanjuti seuai penanganan trauma (ATLS) yaitu survei primer dan
sekunder. Apabila pada saaat diterima di RS belum dilakukan tindakan
imobilisasi tulang belakang, maka tindakan awal yng harus dilakukan
adalah tindakan imobilisasi.
Pemeriksaan neurologis lengkap dilakukan sesuai International Standards
for Neurological Classificatio of Spinal Cord Injury revisi 2011 yang
dipublikasikan oleh ASIA. Pada saat pemeriksaan neurologis awal dapat
ditentukan level ketinggian lesi, lesi komplit atau inkomplit, dan ada
tidaknya fase syok spinal. Pemeriksaan radiologi kemudian dilakukan
untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan terjadinya CMS.

2.

Penanganan spesifik untuk komplikasi CMS


a.

Sistem respiratorik

komplikasi pada traktus respirasi merupakan penyebab morbiditas


dan mortalitas utama pada pasien CMS. Lesi yang berkaitan langsung
dengan fungsi pernapasan adalah lesi setingkat C5 ke atas, sedangkan
lesi pada tingkat torakal hanya mengganggu fungsi batuk dan lesi
dilumbal tidak mempengaruhi sama sekali. Pasien dengan lesi diatas
C5 sebaiknya diintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik karena
penurunan fungsi respirasi secara gradual dapat terjadi. Fungsi respirasi
harus di monitor secara ketat dengan memeriksa saturasi oksigen,
kapasitas vital (vital capacity/VC) paru, dan analisa gas darah berkala.
Retensi sputum umumnya terjadi dalam beberapa hari setelah cedera
diakibatkan gangguan pada fungsi batuk yang efektif, hal ini akan
menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Chest physiotherapy, assisted
cough dan latihan nafas secara reguler dapat mencegah atelektasis dan
infeksi paru.

b. Sistem kardiovaskuler
Komplikasi utama yang krusial pada sistem kardiovaskuler akibat CMS
adalah syok neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya syok
neurogenik terjadi pada lesi diatas T6 akibat hilangnya dari tonus simpatis.
Hilangnya tonus tersebut menyebabkan vasodilasi dan bradikardia yang
menyebabkan hipotensi dan syok. Syok pada CMS harus dibedakan antara
hipovolemik dan neurogenik karena apabila pada syok neurogenik
deberikan terlalu banyak cairan maka akan terjadi edema paru.
Tatalaksana syok neurogenik, antara lain pemberian cairan IV, vasopressor
dengan karakteristik alpha dan beta adrenergik (seperti norepinefrin,
epinefrin, dan dopamine), atropine untuk meningkatkan nadi, dan hindari
hipotermia akibat vasodilasi.

c. Sistem urologi
Setelah terjadinya CMS berat, buli-buli tidak dapat mengeluarkan urin
secara spontan, dan pasien yang tidak ditangani lebih lanjut akan
menyebabkan retensio urin yang berlanjut pada refluks urin dan gagal
ginjal. Segera tiba di RS harus dilakukan pemasangan kateter foley. Waktu
pulihnya refleks berkemih bervariasi, umumnya 6-8 minggu, teteapi bisa
sampai 1 tahun (ada literatur yang mengatakan bisa tidak kembali).
Program kateterisasi intermiten dimulai saat fase subakut, keika intake dan
output cairan mulai stabil. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
infeks saluran kemih. Namun bila kateter Foley dilepas terlalu dini, dapat
terjadi keruakan otot detrusor dan refluks karena tekanan pengisian bulibuli yang tinggi.
Komplikai CMS pada saluran kemih adalah terjadinya infeksi saluran
kemih (ISK). ISK simptomatik yang disertai demam, leukositosis, dan
pyuria harus dierai dengan antibiotik yang adekuat selama 7-14 hari,
sedangkan infeksi asimtomatik tidakperlu diterapi secara rutin. Penerapan
metode steril penting dilakukan untuk pencegahan ISK.

d. Sistem gastrointestinal
pasien dengan CMS setidaknya harus menerima cairan secara intravena
selama 48 jam karena umumnya terjadi ileus paralitik pada CMS berat. Pada
kondisi tersebut, nasogastric tube dipasang (NGT) dan nil per oral (NPO)
dilakukan sampau bising usus kembali normal. Total parenteral nutrition
sebaiknya diberikan. Apabila ileus paralitik terjadi lama, distensi abdomen
terjadi dan dapat menyebabkan gangguan pergerakan diafragma. Ulkus
peptikum akut dapat terjadi dengan perdarahan atau perforasi, walaupun
tidak umum terjadi, namun komplikasi ini berbahaya. Oleh karena itu,
pemberian antagonis H2 atau proton pump inhibitor (PPI) harus dimulai
secepatnya dan diberikan minimal 3 minggu setelah trauma.
Evaluasi fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan
dimulai secara agresif segera setelah timbul bising usus dan motilitas usus
normal. Ketinggian lesi menentukan fungsi defekasi, antara lain lesi diatas
T12 menyebabkan hiperrefleksia dan spatic darii sfingter ani, sedangkan lesi
dibawahnya menyebabkan arrefleksia dan flaccid dari sfingter tersebut.
Metode pengosongan usus dengan kombinasi supositoria dan stimulasi
anorektal, merangsang pola evakuasi pada kolon distal.

e. Kulit
ulkus dikubitus akan selalu menjadi komplikasi CMS, oleh karena itu
pencegahan perlu dilakukan sejak dini. Pada fase akut, pasien diposisikan
miring kiri-miring kanan setiap 2 jam untuk mencegah ulkus. Penggunaan
matras busa dan air bisa membantu mengurangi tekanan pada tonjolan
tulang, namun posisi pasien harus tetap diubah tiap 2 jam.
f. Penggunaan Kortikosteroid
penggunaan kortikosteroid (terutama metilprednisolon dosis tinggi)
sekarang ini mengalami kontroversi. Studi yang dilaksanakan oleh NASCIS
2 (National Acute Spinal Cord Injury Study) menunjukkan pemberian
metilprednisolon dosis tinggi (bolus 30 mg/kgBB dalam 15 menit kemudian
dianjurkan 5,4 mg/kgBB dalam 23 jam) yang dimulai dalam 8 jam setelah
CMS tertutup meningkatkan prognosis neurologis pasien. Studi NASCIS 3
kemudian menambahkan bahwa terapi metilpridnisolon yang dimulai dalam
3 jam setelah trauma harus dilanjutkan selama 24 jam, sedangkan yang
dimulai antar 3-8 jam pasca trauma harus dilanjutkan selama 48 jam.

consortium for spinal cord medicine tidak merekomendasikan penggunaan


neuroprotektan jenis aapapun (steroid, ganglioside GM-I, gacylidine,
tirilazad dan naloxone) karena bukti klinis peningkatan prognosis akhir
belum didapatkan secara definit.
3. Terapi reduksi non-operatif dan operatif
setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatian diarahkan pada
stabilisasi dan alignment dari tulang belakag dan medulla spinalis. Setiap
CMS yang tidak stabil harus distabilkan untuk mencegah adanya
kerusakan lebih lanjut akibat pergerakan dan juga melepaskan kompresi
medulla spinalis. Pasien dengan CMS daerah servikal dapat ditangani
dengan menggunakan skeletal traction untuk mereduksi dislokasi,
melepaskan kompresi pada medulla spinalis pada burst fracture, dan splint
tulang belakang.

Penatalaksanaan
1.

Cedera pada cervikal


Immobilisasi sederhana
Traksi skeletal
Pembedahan utuk spinal dekompresi

2. Cedera pada thoracal dan lumbal

Immobilisasi pada lokasi fraktur

Hiperektensi dan branching

Bed-rest
FARMAKOLOGI
Korticosteroid

SEKIAN

Anda mungkin juga menyukai