Anda di halaman 1dari 88

TRAVELIST

EDISI 7 | JANUARI-FEBRUARI 2013

SATISFYING YOUR CRAVING FOR TRAVEL

TRAVELING
THROUGH WILDLIFE

EDITORIAL
NOTES
Mendengar kalimat wisata satwa seperti melihat dua
mata pisau. Disatu sisi baik tetapi di satu sisi juga memiliki
dampak yang cukup mengerikan.
Indonesia sebagai negara yang berada di iklim tropis
menjadi daya tarik bagi hewan-hewan liar untuk tinggal
didalamnya. Berbagai hewan darat, udara dan laut menjadi
pemikat wisatawan untuk datang kesuatu tempat. Hingga
begitu menariknya Indonesia, banyak peneliti asing
menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti
endemik dan satwa di Indonesia.
Tapi apakah wisatawan ini sadar bahwasanya kegiatan
wisata satwa ini memiliki efek jangka panjang?
Traveling through wildlife ini memberi gambaran
bagaimana wisata satwa terjadi di beberapa daerah di
Indonesia. Dari gajah di Aceh hingga Kalabia di Raja
Ampat. Dari fotografer satwa liar hingga aktivis satwa
ikut berkomentar mengenai hal ini.
Memang, negara kita ini sedang menumbuhkan
kepekaan pariwisatanya dan melakukan banyak cara
untuk menaikkan citra. Program-program wisata di
televisi kian marak begitupula program jalan-jalan
gratis. Namun, apa yang kita lakukan ini selalu
memiliki efek di kemudian hari.
Satwa memang cantik, dan biarkanlah mereka hidup
sebagaimana mestinya.
Editor in Chief

TRAVELIST

DAFTAR ISI

Majalah online dua bulanan


terbitan pecinta traveling untuk
memuaskan hasrat traveling
para traveler dan calon traveler
lainya.
Silahkan download dan
sebarkan ke teman-teman kamu
supaya semakin banyak orang
Indonesia yang menjelajah
Indonesia bagian lain, mungkin
saja kita bertemu di suatu
tempat.

MAIN FEATURE
||
6 PESONA WISATA GAJAH DI ULU MASEN
18 || PHOTOSTORY
BURUNG MALEO
29 || INTERVIEW
RIZA MARLON
TALES
36 || TRAVELERS
KALABIA, SI MUNGIL DARI PAPUA BARAT
TRAVELERS TALES
||
46 APA YANG MEREKA DAPATKAN?
TALES
52 || TRAVELERS
PERJALANAN CHELONIA MYDAS
FEATURE
66 || SPECIAL
HORSING ROUND THE MASAI MARA
FOTOGRAFI
82 || TIPS
TIPS MEMOTRET BURUNG DI ALAM BEBAS

Edisi 7 | Januari-Februari 2012

REDAKSI
Editor in Chief:
Ferzya (@ferzyaya)
Editor:
Wisnu Yuwandono (@dalijo)
Digital Strategist:
Wana D. (@wana23)
Photo Manager
Wira Nurmansyah (@wiranurmansyah)
Designer:
Lingga Binangkit (@linggabinangkit)

Kontak Redaksi
E: editorial@the-travelist.com
FB: Travelist e-Magazine
T: @travelistmagz
W: www.the-travelist.com
Cover oleh Wira Nurmansyah

10
10

26
35

38
44

62

main feature
LAPUT

PESONA
WISATA GAJAH
DI ULU MASEN

TEKS OLEH HAMZAH HASBALLAH


FOTO OLEH AHMAD ARISKA

Ada sesuatu yang istimewa di sini, di tempat


kami, Aceh. Pada suatu tempat yang jauh di
pantai barat ujung Pulau Sumatera.

8|

MAIN FEATURE

uci terlihat gelisah. Ia mondar-mandir dalam sebuah


kerengkeng seukuran lapangan voli. Sesekali Suci
meringkik, suaranya menggema. Di sisinya, Putroe
Meurah Insen berlari manja. Meringsek hingga ke
tepian jeruji kayu, seperti hendak menerobos keluar.

Selain Suci dan anaknya, Meurah Insen, ada
Ida, Fena, Aziz, serta Winggo. Namun, ia bukanlah
Ida, perempuan berwajah mulus, juga bukan Winggo,
lelaki dengan wajah rupawan bak putra mahkota.
Mereka adalah sekumpulan gajah, satwa berbadan
besar dengan belalai panjang.

MAIN FEATURE


Putroe Meurah Insen Sarah Deu
lahir 18 September 2012 dari induk
bernama Suci. Ayah dari bayi yang lahir
dengan berat 83 kilogram itu adalah Genk,
panggilan untuk salah satu gajah liar yang
sering masuk ke tempat penangkaran
gajah di Sampoiniet. Ketika awal saya
mengunjungi Conservation Respon Unit
(CRU) Sarah Deu, Sampoiniet (tempat
penangkaran gajah red), Meurah Insen
masih bernama Ayu Ije Rosalina.


Kelahiran Meurah Insen merupakan
kelahiran gajah jinak pertama di Aceh.
Kelahiran gajah sumatera memang
sudah empat ekor. Tapi ini yang pertama
di CRU Aceh. Selebihnya di Tangkahan,
kata Fendra Tryshanie, Koordinator
CRU Sampoiniet, di Banda Aceh, akhir
September lalu.

Senin pagi di minggu kedua bulan
Oktober. Cuaca yang dingin di kaki
perbukitan, dekat dengan bibir Sungai

|9

10 | MAIN FEATURE

MAIN FEATURE | 11

Ligan yang mengalir jernih. Pagi masih terlalu


dini di Gampong Ie Jeureungeh. Hari itu, saya
menyambangi CRU Sarah Deu bersama
rombongan komunitas fotografi, Aceh Nature
Community (ANC). Bersama kami ikut serta
dua fotografer legendaris Indonesia; Don
Hasman dan Riza Marlon.

Don Hasman, yang biasa disapa
Om Don merupakan fotografer penjelajah
senior Indonesia, yang termasuk dalam
100 fotografer ternama dunia. Riza Marlon
adalah fotografer alam bebas dan penulis
author buku Living Treasures of Indonesia.
Fotografer kantor berita Reuters, Tarmizy
Harva juga ikut dalam rombongan kami.
Habitat gajah sumatera semakin
berkurang, bahkan bisa dinyatakan menyusut
drastis. Berkumpulnya satu keluarga kecil
yang saling menjaga ini menjadi sebuah
harapan baru, populasi gajah bisa sedikit
terjaga. Ketua Forum Konservasi Gajah
Indonesia (FKGI), Wahdi Azmi menyebutkan,
populasi gajah sumatera hingga kini
diperkirakan tinggal 2.400-2.800 ekor. Di
Aceh hanya tinggal sekitar 500-600 ekor,
katanya. Dalam 25 tahun terakhir, populasi
gajah terus tergerus. Dimana pemicunya
adalah habitatnya yang terus dibabat, bahkan
70% telah musnah. Konflik gajah kian sering
terjadi.

12 | MAIN FEATURE

Kekhawatiran tersebut ikut dirasa
oleh Don Hasman. Lelaki berperawakan
kecil itu menyayangkan banyaknya lahan
yang berubah fungsi, sehingga habitat
gajah mulai menghilang secara perlahan.
Seharusnya kita bisa sama-sama. Ini
yang harus disalahkan adalah manusia
yang serakah. Manusia itu punya akal
yang selalu menyudutkan satwa untuk
kepentingannya sendiri, gerutunya.
Don
Hasman
menambahkan,
demi
kepentingan
manusia,
satwa
seperti gajah harus tersingkirkan dengan

alasan apapun. Seharusnya, ujar Don,


manusia dan satwa harus hidup selaras.
Masing-masing punya hak. Meskipun
ia menyayangkan banyak konflik satwa
yang terjadi di kawasan Aceh Jaya, ia
tetap memuji sisa keindahan Sarah Deu.
Sangat indah. Tempatnya masih sangat
asri.

Senada dengan Don Hasman, Riza
Marlon berpendapat sama. Ia melihat,
faktor populasi manusia yang kian hari
terus bertambah ikut menekan rumah
satwa. Pada dasarnya manusia dan satwa

MAIN FEATURE | 13

sama-sama butuh tempat. Kita harus cari


jalan keluar, jangan sampai bangsa kita
dihujat orang luar karena perilaku kita
yang terus menekan satwa, katanya.

Ia melihat, keseimbangan alam
haruslah selalu dijaga. Media fotografi
dipandang perlu untuk mengkampanyekan
kondisi alam. Publik harus kemari untuk
bisa melihat keindahan tempat ini, ujar
Riza Marlon.

Untuk mengundang wisatawan, kata
Riza, diperlukan kesadaran masyarakat
lokal untuk konsen dalam pengelolaan

wisata. Kekayaan alam Aceh yang masih


sangat asri sangat cocok dikelola sebagai
ecotourism.

Masyarakat pasti untung. Apalagi
tempat ini, ada wisata gajah. Sangat
bagus saya lihat. Sekarang, kita hanya
tahu beberapa tempat wisata gajah di
Indonesia, seperti sekolah gajah di Riau
dan di Taman Nasional Way Kambas,
Lampung. Untuk Aceh infonya masih
sangat kurang,padahal tempatnya sangat
bagus.
***

14 | MAIN FEATURE


Muhadi telah berusia 30 tahun. Rambut di kepalanya
dibabat habis, plontos. Ia adalah salah satu ranger yang juga
pawang gajah. Muhadi bekerja di CRU Sarah Deu awal 2009
silam. Awalnya, ia adalah pelaku illegal loging. Kepeduliannya
terhadap kelangsungan hutan berikut satwa didalamnya muncul
ketika tahun 2008, konflik satwa mulai dirasa masyarakat Aceh
Jaya.

Sejak itu saya ikut Mahout , ngelihat bagaimana merawat
gajah, dan sampai sekarang, katanya. Sosok seperti Muhadi
memang dibutuhkan untuk menjaga hutan Aceh. Baginya, merawat
gajah haruslah rutin dan telaten. Gajah itu sangat setia, apalagi
pada pawangnya. Itu suara kita sangat didengar. Kita sebulan
sekali bahkan memeriksa kuku kakinya, apa ada duri. Sampaisampai, mereka para ranger dan mahout memandikan enam ekor
gajah peliharaan tersebut dua kali sehari.

Gajah di CRU Sarah Deu berfungsi pula sebagai polisi,
yang senantiasa melindungi warga. Dimana, gajah-gajah liar
sering turun ke pemukiman warga di kawasan tersebut.

Selain bertugas, di waktu lowong, mereka adalah
kenderaan bagi para pelancong. Wisatawan yang berkunjung
kemari bisa berkeliling dengan berkenderaan gajah. Tapi, tentu
dengan kemudi para Mahout.

Biasanya itu bule yang berkunjung. Kita bawa sampai ke
Pucok Krueng, kata Samsul Rizal, salah seorang Mahout. Rute ke
Pucok Krueng haruslah melintasi bibir sungai kawasan hutan Ulu
Masen yang mengarah ke hulu Krueng Ligan. Dari sungai, tentu
akan ada sedikit guncangan, dimana gajah juga akan melalui rute
kaki perbukitan. Perjalanan ke sana memakan waktu dua jam.

Biasanya bawa logistik, jadi bermalam disana. Kita melewati
gunung dan sungai. Selain ke Pucok Krueng, ada lokasi lain,
Krueng Rundeng. Keduanya merupakan lokasi sungai dengan air
yang jernih.

Alam memang jujur, jika terpelihara dengan baik maka ia
akan memperlihatkan keindahannya. Suara burung, hutan tropis
yang hijau, sungai yang mengalir lancar melewati bebatuan, dan
langit yang biru. Hutan Ulu Masen menjadi tempat habitat banyak
satwa.

MAIN FEATURE | 15

16 | MAIN FEATURE


Menemukan CRU Sarah Deu sedikit
sulit karena tempat tersebut agak tersembunyi
dari hiruk-pikuk kota. Untuk menuju kesana,
Anda bisa berkendara dari Banda Aceh,
Ibukota Provinsi Aceh, dua sampai tiga jam
perjalanan darat. Di perjalanan, anda dijamin
tidak akan bosan. Liku jalan yang membelah
Geuruete, salah satu gunung tertinggi di Aceh,
merupakan satu pengalaman mengasikkan.
Dari puncak di ketinggian Geurutte, Lautan
Hindia membentang luas. Bila hari menjelang
sore, pendar matahari terbenam akan
memberi pemandangan langit dengan warna
oranye yang indah. (hh/f) [T]

MAIN FEATURE | 17

PHOTOSTORY

BURUNG
MALEO
Maleo adalah burung endemik dari Sulawesi. Satwa
dengan nama ilmiah Macrocephalon Maleo yang
berarti kepala besar ini termasuk satwa langka
yang dilindungi. Jumlah populasi burung maleo dari
waktu ke waktu makin sedikit karena berkurangnya
habitat tempat hidupnya karena alih fungsi hutan,
perburuan liar dan lain-lain.

FOTO DAN TEKS: RIZA MARLON-

PHOTOSTORY

oleh Ary Siary Hartanto


Pagi itu saya datang terlambat sebenarnya, sekitar jam 06:30,
suasana sudah ramai dengan pembeli ditingkahi seruan
pedagang. Para pedagang mulai menggelar dagangannya sejak
sebelum subuh. Pasar ini sudah ada sejak tahun 90-an, dulunya
menempati area sekitar pasar Blok M lama dan sekarang berada
di pelataran gedung perbelanjaan baru daerah Melawai Blok M.

20 |PHOTOSTORY

Siapa yang tidak senang bisa mengabadikan


konser musisi legendaris dalam sebuah foto yang
apik? Siapa yang tidak mau masuk ke konser
gratis, dan bisa memotret dengan nyaman dari
dalam barikade yang memagari panggung?
Siapa yang bisa menolak kesempatan mampir
ke backstage dan berfoto bersama musisi
kesayangan? Asyik sekali jadi fotografer konser,
bukan?

Burung ini biasanya bertelur secara kelompok


(komunal) di pantai atau sumber panas bumi
(geothermal). Ukuran telur burung maleo hampir
lima kali lebih besar dari telur ayam kampung.

PHOTOSTORY | 21

22 |PHOTOSTORY

Tidak seperti jenis-jenis unggas lainnya,


burung Maleo tidak mengerami telurnya.
Proses pengeraman atau inkubasi
telur secara alamiah dibantu oleh panas
pasir pantai atau panas bumi.

PHOTOSTORY | 23

22

TALENT: WHITE SHOES AND THE COUPLES COMPANY


FOTOGRAFER: PRASOJO

20 | 21

24 |PHOTOSTORY

PHOTOSTORY | 25

Setelah menetas, anak maleo harus berjuang


untuk mengeluarkan dirinya dari pasir, tak
jarang perjuangan ini hanya menemui kematian.
Uniknya, anak maleo bisa langsung terbang
sesaat setelah keluar dari tanah. Maleo kecil
yang baru lahir harus mencari makan dan
melindungi diri seorang diri tanpa bantuan dari
induknya untuk mulai hidup di alam bebas.

OPINIONS

Apa pendapat kalian tentang traveling untuk


melihat satwa?
Apakah kalian setuju karena mungkin
mengedukasi para traveler, atau malah
sebaliknya?

Menurut gue, Satwa atau Flora dan Fauna emang udah jadi daya tarik
pariwisata itu sendiri. Kita liat aja Pulau Komodo yang menawarkan
binatang Komodo sebagai point of view-nya. Begitu juga dengan
gue, sebagai backpacker gembel, gue pernah bela-belain ke Pulau
Kembang di Banjarmasin cuma buat liat satwa yang jadi ikon Provinsi
Kalimantan Selatan itu. Yah, apalagi kalo bukan si hidung besar
Bekantan.
Tapi sayang, pas kesana gue gak nemu tuh monyet Bekantan, soalnya,
kata warga sekitar, monyet itu udah langka banget, jadi susah kalo
mau lihat. Ini juga jadi point penting. Jangan cuma mau nikmatin
doang, kita juga harus bisa menjaga dan melestarikan satwa-satwa
tersebut, sob!
Nah, thats why satwa menjadi salah satu penarik minat wisatawan
dalam mengunjungi sebuah destinasi pariwisata. Apalagi di Indonesia
yang punya banyak banget satwa-satwa unik yang tersebar ke seluruh
penjuru negeri. So, tunggu apalagi, traveling-lah, selain menikmati
keindahan alam, kita juga bisa melihat keunikan satwa-satwa di
Indonesia. ;)

Adis Takdos
Pencetus Komunitas Celoteh Backpacker

Traveling untuk melihat satwa.


Kalau buat saya segala sesuatu itu walaupun kelihatannya santai
tetap ada aturannya. Yang pertama harus dibiasakan oleh para
traveller ada riset mengenai aturan-aturannya terlebih dahulu. Yang
namanya manusia yang memiliki kecerdasan dan kemampuan
komunikasi di atas satwa harusnya bisa lebih menggali hal ini. Udah
tau aturannya, ya diaplikasikan. Jangan demi majang foto satu frame
dengan komodo jadi harus bela-belain kenyamanan para satwa ini.
Penting untuk para traveller aware tentang animal welfare ini kalau
mau travelingnya aman , nyaman dan bermanfaat.
Enjoy :)

Riyanni Djangkaru
Aktivis Lingkungan, Pencetus Dive Mag Indonesia

Menurut saya sah saja, asalkan itu sesuai dengan koridor-koridor


yang sudah ditetapkan oleh pengelola. Dalam kawasan konservasi
seperti taman nasional, kami memiliki batasan jumlah orang yang
boleh berwisata, hal tersebut harus dipatuhi.
Selain itu, wisata satwa juga salah satu bentuk pendapatan Negara
karena dari uang dari tiket yang dibayarkan wisatawan masuk dalam
PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Lagipula, wisata satwa tidak cuma melihat satwa. Karena kegiatan
berburu satwa di beberapa tempat tertentu juga merupakan
kegiatan wisata. Kementerian Kehutanan sendiri sudah menetapkan
beberapa kawasan sebagai Taman Buru (TB) hal ini dilakukan untuk
mengendalikan populasi satwa-satwa yang over-population.

Dian Prasetyo
Pekerja Taman Nasional

Travelers
Tales
interview

RIZA
MARLON
TEKS OLEH WIRA NURMANSYAH

Fotografer wildlife Indonesia asal Bogor


yang juga lulusan fakultas biologi ini sudah
membidik alam liar sejak lebih dari 20 tahun
silam. Hasil jepretan keanekaragaman hayati
Indonesia telah dipublikasikan di banyak
lembaga konservasi dunia seperti WWF.
Saat ini Riza Marlon, atau biasa dipanggil
bang Caca sudah menerbitkan bukunya yang
berjudul Living Treasure of Indonesia dan tak
lama lagi akan terbit buku-buku berikutnya.

30 |INTERVIEW

Sejak kapan Bang Riza terjun di bidang wildlife photography?


Sudah 20 tahun lebih saya terjun di dunia wildlife photography, dari tahun
90-an saya memutuskan untuk terjun di dunia ini. Sekarang mungkin saya
menjadi sosok yang populer di dunia wildlife photography karena saat ini
dunia fotografi digital begitu murah dan mudah sehingga mulai banyak orang
yang mulai terjun ke dunia ini, sedangkan saya sudah memulainya dari dulu.

Bisa diceritakan kenapa Bang Riza memilih bidang ini?


Background saya dari bidang biologi jadi memang ini dunia saya. Motivasi
yang lain adalah saya orang Indonesia, suka binatang, suka gambar
binatang akan tetapi kebanyakan foto-foto binatang yang ada itu tidak
menggambarkan hewan di Indonesia, sangat sedikit foto-foto hewan di
Indonesia. Kenapa kita tidak punya? Oleh karena itu saya jadi terpacu untuk
membuat foto tentang keanekaragaman hewan di Indonesia.

Apa saja tantangan sebagai wildlife photographer?


Wildlife photography itu bisa dikatakan fotografi kering, sehabis mengambil
gambar tidak serta merta bisa langsung dijual. Kita harus nyetok banyak foto
dulu. Kalau sudah punya koleksi lengkap baru orang-orang nanya kita punya
foto apa aja. Kalau hanya punya foto satwa Sumatra saja itu masih belum
cukup, harus punya lengkap seluruh Indonesia baru orang-orang tertarik
buat ngambil. Bisa dikata uangnya datang entah kapan, padahal investasi
yang dikeluarkan untuk membeli peralatan cukup mahal, sehingga jarang
orang yang terjun di bidang ini.

Apa kesulitan wildlife photography di Indonesia?


Kesulitan wildlife photography di Indonesia itu karena hutan-hutannya gelap
sehingga menyusahkan untuk mengambil gambar, apalagi dulu saat kamera
masih menggunakan film, kecepatan harus tinggi sedangkan jika pakai film
dengan ASA tinggi akan timbul grain, sangat sulit, makanya tidak banyak
yang terjun di wildlife photography. Tapi di dunia digital seperti sekarang ini
sudah jauh lebih mudah karena teknologi yang semakin berkembang, meski
mengambil gambar dengan ISO yang tinggi tetapi kualitas tetap bagus.

INTERVIEW | 31

32 |INTERVIEW

INTERVIEW | 33

Bagaimana cara mengambil foto hewan-hewan


yang sulit dicari?
Wildlife photography menjadi mudah kalau kita sudah punya
pengetahuan dan informasi yang lengkap tentang hewan yang
akan kita ambil gambarnya. Harus riset dulu tentang obyek dan
lokasi yang akan kita foto. Ditambah keahlian fotografi yang kita
miliki maka selanjutnya akan terasa lebih mudah. Yang menjadi
masalah adalah yang tahu lokasi hewan-hewan itu adalah orangorang lokal, nah untuk mendapatkan orang-orang lokal yang
benar-benar tahu lokasi itu yang susah. Harus beberapa kali
trip baru bisa dapat orang yang kita inginkan. Karena biasanya
ketika pertama kali datang kita dibohongi oleh orang-orang yang
hanya cari keuntungan saja padahal dia tidak tahu lokasi. Jadi
riset itu sangat penting, kalau riset yang kita dapat itu akurat
dan juga orang lokal yang kita dapat juga benar, gak ada motret
hewan berhari-hari seperti yang dibayangin orang-orang.

Bang Riza kan sudah menerbitkan buku, bisa


diceritakan tentang bukunya?
Saya berfikir foto segitu banyak itu mau diapakan, kalau
cuma didiamkan saja bisa jadi monumen. Lalu kalau hanya
dimuat di majalah atau di koran itu umurnya tidak terlalu lama,
makanya saya kumpulkan dan saya buat menjadi buku biar
foto-foto itu bisa berumur lama. Foto-foto di buku ini 75% masih
menggunakan film, karena memang ini adalah stok foto saya dari
dulu. Mulai dari tahun 2004 saya baru beralih ke dunia digital.
90% foto saya ambil di alam sedangkan sisanya saya memotret
dari hewan yang dimiliki kolektor dan kebun binatang. Saya ini
sangat menikmati hidup. Saya tidak bercita-cita untuk jadi orang
kaya tetapi saya bercita-cita menerbitkan buku. Makanya saya
dulu tidak mendapatkan sponsor tapi saya beruntung dibantu
salah satu percetakan terbesar di Indonesia untuk mencetak buku
ini. Dan tanggapan masyarakat tentang buku ini cukup bagus.

34 |INTERVIEW
Apa nih project Bang Riza ke depannya?
Saya sedang membuat buku satwa per region. Indonesia kan dibagi
menjadi tiga wilayah, barat, tengah, dan timur. Jadi saya membuat buku
berdasarkan itu. Buku yang kemarin kan tentang satwa di Indonesia
secara keseluruhan, kalau di buku berikutnya lebih spesifik jadi bisa lebih
banyak fotonya dan lebih lengkap. Selanjutnya saya juga akan membuat
buku tentang ular. Mengingat banyak ular yang ada di Indonesia. Ularular tersebut harus didokumentasikan dan menjadi sangat penting untuk
dijadikan bahan pengetahuan untuk anggota Pramuka dan para pencinta
alam yang kegiatannya di outdoor.

Bagaimana perkembangan wildflife photography


di Indonesia?
Komunitas fotografi sudah banyak, begitu juga wildlife. Ditambah
sekarang dunia fotografi sudah sangat canggih. Transportasi ke daerahdaerah juga jauh lebih mudah daripada dulu. Hal-hal tersebut sangat
membantu para fotografer termasuk fotografer di bidang wildlife. Yang
menjadi masalah adalah keberadaan para hewan sendiri. Jaman dulu
hutan masih terjaga, banyak tempat yang dulu saya kunjungi masih
begitu asri tapi sekarang sudah rusak. Apalagi sekarang begitu maraknya
pembukaan lahan kelapa sawit dan pertambangan yang merusak habitat
hewan. Ini hal yang sangat menyedihkan.

Apa saja tantangan sebagai wildlife photographer?


Pertama harus punya rasa suka dan minat yang tinggi, kedua harus
sabar mengingat investasi yang tinggi tetapi hasilnya tidak langsung
didapat. Yang paling penting adalah senang binatang, senang motret,
senang jalan itulah kombinasi yang paling bagus untuk menjadi wildlife
fotografer. Tidak usah menunggu untuk mempunyai peralatan yang
canggih dan lengkap dan jago fotografi, jika minat sudah tinggi langsung
jalan saja, tak harus ke tempat yang jauh-jauh, bisa ke kebun binatang,
hutan atau gunung yang dekat, pokoknya asal jalan dulu karena hal kecil
seperti ini juga sudah membantu untuk mendokumentasikan hewan suatu
daerah. Kalau ditunda-tunda keburu hewannya sudah hilang. Tapi jangan
sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkan foto yang bagus
seperti memasukkan serangga ke dalam kulkas biar beku lalu bisa difoto
dengan bagus. Hal seperti ini tidak benar dan tidak boleh dilakukan.

INTERVIEW | 35

ADA
JAZZ
KALABIA,
DALAM
SI MUNGIL DARI
MALAM
PAPUA BARAT
Travelers Tales

TEKS DAN FOTO OLEH LAURA RESTI K

Yang unik dari hewan ini adalah mereka tidak


menggunakan siripnya untuk berenang sebagaimana ikan
pada umumnya melainkan untuk berjalan di dasar laut.

FOTO: MAHARSI W.K

38 |TRAVELERS TALES

TRAVELERS TALES | 39

aya pernah menginjakkan kaki


di sebuah tempat yang begitu
mendengar namanya, orang-orang
akan berdecak kagum. Tempat
ini begitu membanggakan bagi
Indonesia, karena keindahan dan keunikannya
begitu terkenal di seluruh dunia. Tapi karena
letaknya yang jauh dari Pulau Jawa, pulau
dengan populasi terbanyak, menyebabkan
masyarakat negeri ini yang kebanyakan tinggal
di Jawa belum mendapat kesempatan untuk
kesana, disamping itu biaya yang dibutuhkan
juga tidak sedikit. Nama tempat ini adalah Raja
Ampat. Saya cukup beruntung karena pernah
kurang lebih dua bulan tinggal disana.

Daerah yang termasuk ke dalam wilayah
Provinsi Papua Barat itu memang tidak
diragukan kapasitasnya sebagai salah satu
destinasi wisata dunia, khususnya wisata bawah
laut. Keanekaragaman hayati dan ekosistem
yang masih lestari merupakan modal utama
pariwisata di sana. Sayangnya kunjungan turis
domestik sendiri malah belum terlalu banyak,
mungkin karena faktor jarak dan biaya seperti
yang saya sebutkan di atas. Atau boleh jadi
karena faktor fasilitas. Untuk yang terakhir ini
saya punya teori sendiri. Menurut saya jika
ingin berwisata di Raja Ampat dengan fasilitas
yang mewah, seperti menginap di private resort
komplit dengan telepon satelit dan pesawat
capung, bukan hal yang sulit didapat tapi tentu

40 |TRAVELERS TALES

saja kocek yang dirogoh juga lumayan dalam atau bahkan bisa disebut dalam
sekali. Sementara untuk merencanakan perjalanan sendiri yang murah memang
sedikit lebih rumit karena tidak adanya transportasi massal, keterbatasan sinyal,
listrik dan minimnya fasilitas publik seperti hotel murah dan rumah makan. Jadi
yang tersisa hanya perjalanan menumpang kapal nelayan dengan jadwal serba
tidak tetap atau menggunakan jasa paket wisata yang seperti saya katakan tadi,
mahal. Mungkin ini yang membuat kaum wisatawan berdompet nanggung jarang
ditemukan disini. Sekali lagi ini Raja Ampat kawan, bukan Singapura. Menurut
saya kawasan ini menarik dengan tantangan wisata seperti itu.

Tempat yang saya kunjungi salah satunya adalah Kampung Sauwandarek,
kampung yang berada di Distrik Meos Mansuar tersebut terletak di Pulau Mansuar
yang hanya berjarak 1,5 jam menggunakan perahu 40 PK dari ibukota Kabupaten,
Waisai. Dari ibukota Kecamatan Yanbekwan kita masih harus berjalan kaki kurang
lebih 1,5 jam menyusuri pantai dan hutan bakau. Pulau ini termasuk salah satu

TRAVELERS TALES | 41

42 |TRAVELERS TALES
tempat yang saya rekomendasikan untuk dikunjungi, karena selain jaraknya
yang relatif dekat dari Waisai di pulau ini kita bisa mengunjungi dua kampung
wisata sekaligus dengan berjalan kaki. Hal yang cukup langka di Raja Ampat
karena biasanya akses dari kampung ke kampung hanya bisa melalui jalur
laut.

Sauwandarek sendiri merupakan kampung yang baru berdiri tahun
2003 silam, namun keindahan pantainya membuat daerah ini ditetapkan
menjadi satu dari lima kampung wisata di Distrik Meos Mansuar. Atraksi yang
ditawarkan selain snorkeling, pengamatan terumbu karang termasuk kegiatan
feeding fish. Yang unik tentu saja tidak hanya ikannya yang jinak-jinak merpati
dan pantainya yang super bersih tapi juga karena adanya salah satu spesies
endemik yang unik.

TRAVELERS TALES | 43


Masyarakat setempat menyebutnya Mandemor atau Kalabia, binatang
yang bisa ditemukan di Raja Ampat, Teluk Cenderawasih, dan Teluk Triton ini
juga dikenal dengan nama Walking Shark. Jika diperhatikan morfologi hewan
ini memang menyerupai hiu yang biasa kita lihat, yang mencolok adalah warna
kulitnya yang coklat dan berpola tutul-tutul coklat tua, seperti pada tokek. Warna
inilah yang memudahkannya menyaru dengan karang disekitarnya sehingga
sulit ditemui.

Panjang hewan ini berkisar antara 50 cm sampai 1,3 meter. Mungkin
ada yang lebih besar, tapi rata-rata ukuran Kalabia yang saya temui tidak lebih
dari 1,3 meter. Yang unik dari hewan ini adalah mereka tidak menggunakan
siripnya untuk berenang sebagaimana ikan pada umumnya melainkan untuk

44 |TRAVELERS TALES

FOTO: MAHARSI W.K

TRAVELERS TALES | 45

berjalan di dasar laut. Karena pergerakannya yang terbatas itulah


persebaran hewan ini tidak luas alias endemik. Jenis makanannya
pun jangan dibayangkan seperti hiu pada umumnya, namun
hanya yang bisa ditemukan di dasar perairan, misalnya kerang
dan hewan kecil, seperti udang dan siput laut.

Habitatnya yang tidak jauh dari terumbu karang membuat
wisatawan memungkinkan untuk mengamati hewan tersebut
tanpa perlu repot-repot menggunakan piranti penyelaman. Hewan
ini juga mudah dijumpai saat siang maupun sore hari. Namun hatihati, sedikit saja hewan tersebut merasa tidak nyaman, mereka
akan segera bersembunyi diantara karang dan tentu saja sulit
bagi kita menemukannya lagi. Belum banyak referensi maupun
penelitian yang membahas mengenai hewan ini, karena kalabia
sendiri termasuk ke dalam satu dari sebelas spesies yang baru
ditemukan di perairan Raja Ampat dan diperkenalkan oleh LIPI
sejak 2010 lalu.

Menurut data IUCN (International Union for Conservation of
Nature), populasi hewan ini belum diketahui sehingga belum bisa
digeneralisir apakah hewan ini termasuk dalam kategori langka
atau bukan. Meskipun begitu tidak berarti lantas bisa dikatakan jika
hewan ini tidak butuh perlindungan. Melihat tempat hidupnya yang
tersembunyi di antara karang, ketergantungan hewan ini terhadap
ekosistem terumbu karang cukup tinggi. Kerusakan yang terjadi di
terumbu dapat berdampak pada kelangsungan hidup mereka.

Adanya penelitian tersebut selain menemukan spesiesspesies baru juga membuka mata kita, betapa sebenarnya baru
sedikit yang kita ketahui dari alam Indonesia. Dan lebih sedikit lagi
yang kita pahami. Jadi bagaimana kalo mulai saat ini, sebelum
benar-benar terlambat, kita mulai mencari, mengenali, menyayangi
dan melindungi keanekaragaman Indonesia. (lrk/f) [T]

Travelers Tales

APA YANG
MEREKA
DAPATKAN?
TEKS: WISNU YUWANDONO
FOTO: WISNU YUWANDONO DAN FERZYA

Saya ingin sekali melihatnya di lautan lepas, di


rumah mereka.

48 |TRAVELERS TALES

ngin semilir membawa uap air dengan bau khas,


aroma laut. Perahu-perahu berjejer di pinggir pantai,
tak segaris tapi masih tetap terlihat rapi. Matahari
baru saja lepas dari persembunyiannya, belum
terlalu kuat menghalau kabut-kabut yang menutupi
barisan bukit di belakang pantai. Meski cuaca tak
terlalu cerah, gelombang air masih begitu tenang,
suasana pun tak ramai dengan pengunjung. Lovina
begitu syahdu pagi ini.

Terlihat seorang ibu penjual makanan duduk di
belakang meja kecilnya, menghidangkan beberapa
gorengan dan beberapa jenis minuman yang diseduh
dari termos airnya. Sendirian. Mau lihat dolphin dek?
sapanya sambil tersenyum ketika saya melewatinya.
Saya membalasnya juga dengan senyuman dan
mengangguk untuk menjawab iya.

TRAVELERS TALES | 49


Lovina memang terkenal dengan
wisata lumba-lumbanya. Wisata ini
mulai terkenal sejak pertengahan
tahun 90-an. Hal ini ditandai dengan
adanya monumen lumba-lumba yang
dibangun di pinggir pantai. Perahu kecil
atau bisa juga disebut jukung yang
digunakan untuk mengantar wisatawan
ke tengah laut banyak ditemui disini.
Tarif Rp60.000,- per orang menjadi
salah satu sumber pendapatan warga
sekitar yang mempunyai jukung.

Saya diantarkan oleh ibu tadi
ke bapak pengemudi jukung yang
sudah siap berangkat melaut. Selain
saya ada tiga bule yang juga menjadi
penumpangnya.

Mesin Honda GX dengan daya
9 HP yang ada di belakang jukung
sudah dinyalakan dan saat itu pula
baling-baling berputar mendorong
jukung yang terbuat dari fiber untuk
melaju. Jukung ini tak begitu besar,
dengan lebar tak lebih dari satu meter
menyebabkan penumpang tak bisa
duduk berdampingan. Panjangnya
pun tak seberapa, sekitar tujuh meter.
Lima orang penumpang termasuk
sang nahkoda itu sudah kapasitas
maksimal.

Sudah setengah jam perjalanan
dan kami sudah cukup ke tengah
laut ketika saya merasa penasaran

karena belum juga terlihat satupun


lumba-lumba.
Sempat
beberapa
kali berpapasan dengan jukung lain,
dan dari wajah-wajah mereka tak
menampakkan raut muka kecewa,
yang saya artikan bahwa mereka
habis melihat aksi lumba-lumba. Saat
itu saya masih tenang-tenang saja.

Pak Mangku Banjir, begitulah
yang
diucapkan
ketika
saya
menanyakan namanya. Biasanya
banyak sekali dek lumba-lumbanya,
karena disini itu habitat mereka jelas
Pak Mangku. Karena itu pula tak ada
musiman untuk bisa melihat lumbalumba, kita bisa melihatnya sepanjang
tahun, ini rumah mereka. tambahnya.

Tapi entah para lumba-lumba
itu sedang sembunyi di bagian rumah
yang mana atau malu untuk menemui
tamu-tamu mereka, karena sudah satu
jam jukung berputar-putar, berpindah
dari satu titik ke titik lainnya, masih
saja mereka belum terlihat.

Di dekat sini sebenarnya ada
tempat untuk melihat lumba-lumba
di kolam. Ada dua ekor lumba-lumba
kalo tidak salah, hanya saja mahal, Rp
300.000,-/orang. Pak Mangku mulai
bercerita lagi, entah yang diceritakan
ini karena dia sudah putus asa mencari
lumba-lumba atau apa, saya tak bisa
membaca pikirannya.

50 |TRAVELERS TALES
Tapi
lumba-lumbanya
tidak
berasal dari sini. Katanya dibawa pake
truk yang diisi air dari Semarang. Disini
tak ada lumba-lumba yang ditangkap.
Kami hidup dari lumba-lumba ini, kalau
mereka ditangkap, lalu kami mau makan
darimana?

Ditengah-tengah cerita Pak Mangku,
alih-alih melihat pemandangan lumbalumba, kami malah disuguhi pelangi besar
di tengah lautan.

Dulu sebelum ada wisata lumbalumba ini, masyarakat sekitar sini hidup
mencari ikan, tapi setelah wisatawan
ramai
ingin
melihat
lumba-lumba,
banyak yang beralih menjadi pengantar
wisatawan, hotel-hotel banyak dibangun,
sebagian menjadi pegawai hotel, ada
juga yang menjual suvenir. dengan jelas
Pak Mangku bercerita, sambil matanya
menatap laut memburu dimana lumbalumba terlihat.

Satu setengah jam sudah kami
berada di atas jukung dan tak jua ditemui
lumba-lumba, satupun tidak. Saya ingin
sekali melihatnya di lautan lepas, di rumah
mereka. Saya tidak berharap mereka
menampilkan atraksi memukau melompat
melewati lingkaran api, atau menyundul
bola warna-warni. Tak juga ingin difoto
saat mereka mencium pipi saya. Karena
saya tau ini bukan sirkus dan mereka juga
tidak pantas untuk dijadikan produk sirkus.
Hewan ini sangat pintar dan bukannya
terlihat seperti itu ketika mereka ada di
sirkus, mereka terlihat bodoh.

Padahal ada tiga jenis lumbalumba yang hidup di perairan Lovina,

Spinner dolphin (Stenella longirostris),


Spotted dolphin (Stenella attenuata) dan
Bottlenose dolphin (Tursiop truncatus)
lebih banyak daripada yang melewati
perairan Kiluan di Lampung. Tak satupun
dari jenis itu menampakkan dirinya.
Spinner dolphin adalah lumba-lumba
yang sering dipakai untuk atraksi di
sirkus, mereka hidup berkelompok dan
senang menari dilautan juga menyenangi
perairan tropis.

Rasanya banyak hal bergantung
pada kehidupan lumba-lumba di perairan
Lovina ini; sadar-tak-sadar sejak wisata
ini populer entah sudah berapa kali
jukung ini menyumbang minyak bakar di
perairan mereka, sudah berapa tulisan
mengenai mereka, sudah berapa foto
yang menyebarkan kecantikan mereka,
sudah berapa rupiah dan dollar yang
menyokong kehidupan manusia di Lovina.

Sedangkan mereka, lumba-lumba
itu, apa yang didapatkan sejak itu?
***

Jukung mulai menepi ke pantai lagi
karena bahan bakar sudah mulai menipis.
We are not lucky, tutup Pak
Mangku.

Terlihat wajah yang begitu kecewa
dari para bule yang duduk satu tumpangan
dengan saya. Mungkin mereka juga
melihat hal yang sama terlukis di wajah
saya. Dan sampai juga kami di pantai
Lovina tanpa oleh-oleh gambaran lumbalumba, hal itu masih menjadi harapan
kami sesuai dengan nama jukung yang
kami naiki, The Wish. (WY/F) [T]

TRAVELERS TALES | 51

Travelers Tales

PERJALANAN
CHELONIA
MYDAS
TEKS DAN FOTO OLEH ARMAN DHANI

Bisa jadi sampai Australia, Afrika sampai


Amerika. Dalam dunia penelitian penyu ini
disebut sebagai the lost year. Karena tak ada
jejak dari penyu itu berkembang,

54 |TRAVELERS TALES

TRAVELERS TALES | 55

ernyata hampir setahun telah berlalu.


Awal tahun kemarin, saya mengikuti
rombongan tim ekspedisi Nusa
Barong 2012 ke pulau Nusabarong
Jember. Kami pergi dari Jember
dan tiba di sana saat langit yang semula cerah
kebiruan telah berubah menjadi gradasi oranye
yang menyejukkan mata. Pantai selatan Jawa
menyambut kedatangan kami dengan deburan
ombak yang menggelegar keras serupa bunyi
petasan besar. Dentum suaranya terdengar
hingga puluhan meter di dalam hutan Nusa
Barong. Menimbulkan imaji teror akan sebuah
ganasnya alam yang mengamuk.

Mokhamat Rudianto, kepala resor Cagar
Alam Pulau Nusa Barong, tengah bersiap
melakukan sholat Maghrib saat langit sudah
menghitam pekat. Angin besar seolah tak
membuatnya gentar untuk melakukan panggilan
ibadah itu.

Malam itu adalah giliran pertama mereka
untuk melakukan pengamatan Penyu Hijau
(Chelonia mydas). Bagi BKSDA Bidang III
Jember, hal ini adalah kegiatan rutin yang
dilakukan untuk melakukan pengamatan
terhadap mahluk laut yang satu ini. Walau selain
pengamatan dilakukan juga patroli keamanan,
menurut Rudi terdapat indikasi peningkatan
pencurian telur penyu.

Pria berkumis lebat ini telah bertugas
sebagai jagawana Cagar Alam Pulau Nusa

56 |TRAVELERS TALES

TRAVELERS TALES | 57

Barong sejak empat tahun terakhir. Ia


bersama mitra Polisi Hutan (Polhut)
BKSDA Jember telah berulang kali
melakukan penggagalan pencurian
telur penyu dan penyu hidup. Masih
ada masyarakat yang percaya bahwa
telur penyu itu berkhasiat. Padahal
itu hanya mitos saja, katanya. Lebih
jauh ia mempunyai bukti ilmiah bahwa
telur unggas lebih berkhasiat daripada
telur penyu.

Sejak 1990 Penyu Hijau secara
khusus masuk sebagai spesies langka
yang dilindungi, melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 07 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa dan masuk kategori Appendiks
I. Sebelumnya secara umum spesies
penyu memang telah mengalami
degradasi jumlah akibat perburuan
liar. Kebanyakan dilakukan oleh
nelayan luar Jawa seperti Bali dan
Kupang untuk keperluan konsumsi.
Ada beberapa desa adat di Bali yang
masih membutuhkan penyu sebagai
bahan upacara keagamaan, jelas
Rudi. Telur penyu tersebut dijual
dengan harga Rp2.700, bahkan
di Sumatera dan Kalimantan bisa
mencapai Rp5.000 per butir.

Untuk menjembatani antara
adat
istiadat
dan
konservasi
pemerintah Indonesia melalui BKSDA,
telah
melakukan
penangkaran
penyu baik pemerintah maupun

masyarakat umum. Namun tingginya


angka konsumsi dan lambatnya
perkembangan fisik Penyu membuat
beberapa oknum menjadi nekat.
Perlu ada kesadaran masyarakat
bahwa penyu itu spesies rapuh yang
perlu dijaga. Jadi jangan hanya diburu
untuk dikonsumsi saja, lanjut Rudi.
Penyu
sendiri
sebenarnya
termasuk hewan reptilia yang berbeda
dengan jenis kura-kura lainnya.
Perbedaan ini tampak dari adanya
letak lubang hidung yang agak dekat
permukaan atas tenggorokan. Hal ini
untuk memudahkan hewan tersebut
mengambil udara dari permukaan
air laut. Kaki yang berbentuk dayung
merupakan salah satu ciri yang paling
utama yang membedakan dengan
kura-kura.

Salah satu ahli penyu yang hadir
dalam Ekspedisi Nusa Barong 2012
adalah Ir. Sunandar Trigunajasa N,
Kepala BKSDA Bidang III Jember. Dia
merupakan pria paruh baya dengan
jambang yang lebat. Tubuhnya besar
membulat dan selalu tersenyum saat
berbicara dengan siapapun. Secara
umum perbedaan yang mencolok
adalah penyu tak bisa memasukan
kepalanya jika terancam seperti kurakura, tuturnya.

Pak Nandar, begitu ia disapa,
menyampaikan jika seekor Penyu
Hijau bisa berukuran sekitar 250 cm,

58 |TRAVELERS TALES

meskipun ukuran rata-rata yang ditemui


sekarang tidak lebih dari 100 cm. Jumlah
telurnya sendiri sangat banyak yaitu
dapat mencapai 200 butir, sedangkan
yang masih muda hanya bertelur sekitar
60 butir. Tapi presentasi kesuksesan
hidupnya hanya 1% dari 1.000 telur yang
menetas. Jadi sangat sangat kecil angka
kesuksesan bertahan hidupnya, kata
Dia.

Pria dengan logat sunda kental ini
juga menyebutkan penyebaran penyu
laut terdapat di lautan tropik dan sub
tropik yang mempunyai perairan dangkal
dan pantai yang landai. Terutama di
sekitar laut Karibia, Laut Indo Pasifik
(termasuk Indonesia), laut India dan laut
selatan. Selain di Nusa Barong, Penyu
Hijau juga banyak bertelur di pantai
Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri,
katanya.

Induk penyu akan bertelur pada
pantai-pantai yang tidak jauh dari sumber
makanan. Daerah peneluran Penyu Hijau
cenderung di pantai yang berpasir, sunyi
dan landai sehingga penyu mudah untuk
mendarat. Jadi sebisa mungkin para
peneliti itu tak ramai dan tak menyalakan
lampu. Karena itu bisa mengganggu
penyu bertelur, kata pak Nandar.

TRAVELERS TALES | 59

60 |TRAVELERS TALES

TRAVELERS TALES | 61


Proses penetasan telur penyu
kini menjadi hal yang populer, semakin
banyak warga yang tertarik untuk melihat.
Beberapa orang yang belum mengetahui
bahwa Penyu tidak suka cahaya akan
memotret ibu Penyu dengan menggunakan
flash. Sayang, padahal ibu-ibu ini akan
sangat terganggu oleh cahaya di tengah
malam yang gelap.

Setelah bertelur, sang Ibu akan
kembali ke lautan. Sedangkan tukik (anak
penyu) apabila telah menetas, mereka
akan berkelana hingga puluhan ribu mil
dari tempatnya menetas. Bisa jadi sampai
Australia, Afrika sampai Amerika. Dalam
dunia penelitian penyu ini disebut sebagai
the lost year. Karena tak ada jejak dari
penyu itu berkembang, kata Pak Nandar.
Rudi juga mengatakan bahwa selama ia
bertugas menjadi Kepala Resor di Cagar
Alam Pulau Nusa Barong tak pernah
menemui anak penyu tinggal di sekitar
pulau itu. Kecuali di Sukamade karena
memang disana ada penangkarannya.
Jadi kadang ditetaskan secara khusus
dan dipelihara, kata dia.

62 |TRAVELERS TALES

TRAVELERS TALES | 63


Namun selama beberapa dekade terakhir
jumlah populasi Penyu Hijau di Nusa Barong
mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh
pencurian telur dan penangkapan penyu secara
ilegal. Menurut laporan World Wildlife Fund
(WWF), sebuah organisasi nirlaba dalam bidang
konservasi, mengatakan penurunan ini karena
meningkatnya perburuan terhadap mahluk rapuh
ini. Dikhawatirkan jika tak ada tindakan segera
bisa menyebabkan kepunahan.

Tetapi Pak Nandar dan Rudi percaya
bahwa selama ada Cagar Alam Nusa Barong,
kepunahan Penyu Hijau tak akan terjadi. Karena
di beberapa cagar alam yang ada, hewan hewan
yang awalnya terancam punah dapat kembali
pulih karena penganganan yang serius, tentunya
hal ini berkat kerjasama antara masyarakat dan
pihak Cagar Alam. (adb/f) [T]

Travelers
special feature
Tales

HORSING ROUND
THE MASAI MARA
TEXT AND PHOTO BY RICHARD POWELL

Richard Powell joins a gonzo riding outfit to trek across


Kenyas epic game reserve, camping beneath the stars and
hanging onto his horses.

68 |SPECIAL FEATURE

Its like the Garden of Eden, our guide says, just


beautiful... and we draw up our reigns to marvel
in silent reverence at the vast landscape, dotted
with every wild animal we could have hoped to
see.
Across this lush, buzzing vista, buffalo herd
around impala, eagles soar above wildebeest
and elephants charge fruit trees while lions wait
patiently in the tall savannah grass, deciding
which to eat for dinner.
Getting here is not easy... it takes days of hard
riding to earn a seat at this show.

SPECIAL FEATURE | 69

70 |SPECIAL FEATURE

SPECIAL FEATURE | 71


Our journey begins in the capital,
Nairobi, where we transfer through
gridlock traffic to a domestic airport
and board a 12-seat Cessna, heading
south-west over the Loita Plains,
above the Kikuyu Highlands and past
the volcano-studded Great Rift Valley.

An hour later were bumping
down on a dirt-strip that doubles as a
gateway to the reserve and a social
hotspot for colourfully-dressed Masai
warriors. With no phone signal and
no electricity from here on in, it also
represents the eye of a needle through
which few First-World foibles may
pass.

From here, a Land Rover bumps
us along remote red dirt roads to a
campsite set in a grove of acacia trees.
This would be the first of three such
sites, and traversing between them
for up to six hours a day on horseback
will require every inch of riding skill we
have.

72 |SPECIAL FEATURE


Theres barely time for a cold Kenyan
Tusker beer before were heading out on our first
ride when the sun hangs low enough to bring the
wildlife out to feed. Here the guides quietly make
their assessments about your riding abilities
and how closely they need to stick to you, and
whether youve been paired with the right horse.

Theyre an international bunch; a halfArgentinian, half-Austrian lifer (he started working
with Offbeat at 18, and hes still there aged 33), an
Australian polo player from Dubai, a British safari
guide from Botswana, and a student volunteer
and hunter from England. The guests were from
the UK, US, Germany, Italy and Australia.

The horses were Abyssinian, thoroughbred
and cross-thoroughbreds, reared on the owners
farm, and brought into the reserve via a sevenhour horsebox slog. Mine was a pristinely-turnedout, polo-playing gelding named Blondie, looking
decidedly bling with his dash of gold flecks and
bright yellow mane. After half an hour of sizing
each other up at the beginning, we knew wed
get on fine.

Being confident on your horse could be
the most important part of this adventure. Over
the next week, we would inch day-by-day
ever closer to prides of snarling lions, square
up to scrappy elephants and push back shorttempered bisonany of which could outrun us, if
they wanted to.

Being comfortable riding in English tack
is important too, as I noticed the countryside
Californians in our group had a hard time adjusting
to the bolt-upright British saddles which are at
odds with the Western-style armchairs they use
back home.

SPECIAL FEATURE | 73

74 |SPECIAL FEATURE

SPECIAL FEATURE | 75


The most accomplished riders tail the lead guide
as he opts to take the most daring routes, jumping
over felled trees left by head-charging pachyderm and
playing chicken with lions which may or may not have
eaten that day.

Every two to three days, camp packs up and shifts
by truck; with its canvas dining tent, shower, sleeping
and toilet tents resembling a well-appointed commune
when pitched at each of the three stunning oases.

On every moving day, there is an epic ride to
reach the next site, which can be up to 50 kilometres
away. Thats a lot of riding - at high altitude - across
challenging terrain, galloping across plains pockmarked
with aardvark holes and rocks, and cantering through
stone-bed rivers with vertigo-inducing banks.

76 |SPECIAL FEATURE


Along the way, animal burrows are a constant
hazard. But if youre lucky enough for the person
in front of you to spot one through the dust clouds,
avoid it and shout HOLE! in time, you may not fall
down it.

Organisers encourage guests to take out
medical insurance prior to arrival, but they also have
their own public liability insurance and membership
to the Flying Doctors organisation, in case of serious
injury requiring evacuation.

Nevertheless, theres a lot that can go wrong
in the middle of nowhere. The riding sections
will undoubtedly push you to your limits of selfpreservation, whether you opt to take the easy option
and stay back, or throw caution to the wind and try to
keep up with the lead guide.

Bullwhips protect guests from animal attacks,
with guides normally carrying little else. The Land
Rover variant of the trip, for non-riders, encourages
guests to get out and walk on the reserve, and here,
a guard carrying a rifle accompanies them.

The one occasion we went out armed was to a
mountain we climbed first by car, then by foot to reach
its spectacular peak. Its nooks host several families
of cheetah and leopard, which we were warned to be
on our guard against, although we didnt see any as
we clambered about on its slopes.

We did not have to wait much longer before we
did, though...

On our first night at the third campsite, while
drinking beers around the fire on the banks of the
Mara River, our lead Masai guard, Nati, came over
saying hed spotted a cheetah and asking if we wanted
to see it. Several seconds later we were careering
around the site in the Land Rover, shining a spotlight
until suddenly we caught a flash of markings bolting
into a bush.

SPECIAL FEATURE | 77

78 |SPECIAL FEATURE

SPECIAL FEATURE | 79


Nati picked out an impala with the light, leading
the cheetah out into the open to its quarry. The kill
was artistic and eloquent in its execution and despite
the graphic scene; we drove over, clutching our beers
on the roof of the car, and sat transfixed to watch it
feed.

Other night-time highlights included Masai
warriors demonstrating their mating dance around
the fire (a hit with the ladies); driving out to party on
the plains after dark with James Brown booming from
the stereo, and running semi-clothed out of my tent
at 4am as an elephant pushed down a nearby tree.

The camps 15-strong domestic staff of men
from various local tribes went above and beyond to
give the safari an extravagant feel...

Returning to my tent after dinner each evening,
I would without fail find my riding boots cleaned and
polished to perfection and my laundry scrubbed,
pressed and folded as if at a top-notch hotel.

The food and drink was impressive too, an
array of cuisine cooked up from fresh, imported and
locally-produced ingredients... Would you like your
steak rare or well-done... with a nice Malbec or a
Bloody Mary? and Breakfast eggs fried, scrambled
or poached?

Riding for hours from the crack of dawn to
emerge over a hill and find the camps chef cooking
breakfast for you, and baking fresh bread in the
middle of the plains also ranks, for me, as a new
definition of decadence.

And our midday siestas in shady glades after
picnic lunches were something to savour too... like
falling asleep on the classroom rug after having your
fill of milk and biscuits at kindergarten.

At the end of the week, it was with some sadness
that I watched my fellow guests leave; while I moved
on to see the companys guest lodge, another hours
flight west.

80 |SPECIAL FEATURE

SPECIAL FEATURE | 81


The lodge at Sosian, the Samburu
word for Wild Date Palm, combines the
tame with the wild. Its certainly a stark
contrast to Masai camping; with its solid
stone guesthouses, swimming pool and
main house that harks back to colonial
days with a snooker table, grand piano
and library.

Where the riding trip guests were in
their 20s and 30s, at the game lodge the
guests were mainly parents in their 40s
and 50s with young children.
Immediately
missed
the
unashamedly gonzo set-up of the anarchic
riding outfit, with its unpredictable, scruffy
lead guide riding in flip-flops, nights spent
dancing around the camp fire and rockhunting by moonlight on the plains to shore

up the Land Rovers wheels after wed hit


a hole (Cue the Australian guide: Lets
have a party, then fix the car!)

For many visitors, Sosian will
perhaps be the better-fitting choice;
offering a quieter, safer and more
luxurious bush experience on its 24,000acre private working ranch, set on the
Laikipia plateau.

Its a beautiful area that offers
more than 250 species of birdlife and an
abundance of game species with four of
the big five species being found there,
plus other rarities such as wild dogs,
Jacksons hartebeest and Grevys zebra.

Nonetheless, Id be back on the
mad travelling horseback safari any day...
at least for another few years. (RP) [T]

Travelers
Tales
Tips Fotografi

TIPS MEMOTRET BURUNG


DI ALAM BEBAS
OLEH WIRA NURMANSYAH

Memotret burung di alam bebas kian sulit di Indonesia. Dengan


spesies lebih dari 1500, burung menjadi salah satu objek menarik
untuk fotografi wildlife. Berikut tips dari kami:

TIPS FOTOGRAFI | 83

Menyatu dengan lingkungan


Burung adalah hewan yang memiliki rutinitas yang
pasti, kecuali ia merasa terusik dengan sesuatu. Maka
dari itu, berbaurlah dengan lingkungan. Kamuflase atau
penyamaran bisa dilakukan dengan menggunakan
pakaian dengan warna yang menyerupai lingkungan sekitar.
Biasanya, para fotografer membuat sebuah shelter dari dedaunan
dan ranting pohon untuk bersembunyi.

Bawa alat yang tepat


Robert Capa menyatakan bahwa jika fotomu kurang
bagus, maka kamu kurang dekat. Mendekatkan jarak
kita ke burung adalah hal yang sangat sulit. Bisa
dipastikan burung tersebut pasti akan kabur dengan
kehadiran kita.

Maka, cara mendekat dengan lensa panjang lebih banyak
dipilih para fotografer burung ini. Biasanya, lensa yang digunakan
adalah lensa 300 mm atau lebih. Karena, selain kita butuh jarak,
ukuran burung yang sangat kecil juga membuat kebutuhan lensa
dengan focal length yang panjang.

Dekati Subjek
Lensa-lensa panjang pun tidak menjamin keberhasilan
kita jika kita tidak tahu tingkah laku spesies yang
akan kita potret. Psikologi tiap burung berbeda saat
merespon terhadap bahaya.

Burung adalah hewan yang sangat sensitif terhadap
sekitarnya. Bahkan, sedikit goyangan dahan pohon yang
disebabkan oleh dirinya sendiri bisa membuatnya terkejut, apalagi
dengan kehadiran fotografer yang kurang bisa berkamuflase.

Hindari membuat gerakan tiba-tiba. Jangan berisik,
gunakan pakaian yang bisa menyamarkan kehadiran kita, dan
dekati secara bertahap.

84 |TIPS FOTOGRAFI

Memotret pada pagi dan sore hari


Sama seperti memotret landscape yang menunggu
golden moment saat pagi dan petang, memotret burung
juga sebaiknya dilakukan pada saat waktu tersebut.
Kenapa? Karena sebagian besar burung-burung akan
beraktivitas mulai matahari terbit dan sekitar dua jam setelahnya.
Siang hari burung-burung akan kembali ke sarangnya, dan pada
sore hari mereka akan kembali beraktivitas hingga matahari
terbenam sebelum beristirahat pada malam hari.

Bersiaplah pada jam-jam tersebut karena banyak kejutan
kecil dan momen-momen tidak terduga yang bisa ditemui.

Cari perspektif yang tepat


Foto portrait yang menarik adalah foto yang sejajar
dengan mata. Demikian pula dengan foto portrait
burung. Sudut pengambilan ekstrim seperti dari atas
atau dari bawah kurang bisa menangkap soul dari
burung tersebut. Misalnya burung tersebut ada di atas tanah,
jangan segan-segan untuk menurunkan monopod/tripod ataupun
tiduran di tanah untuk mendapatkan perspektif yang bagus.

Tarik perhatian si burung


Ada teknik lain yang bisa dilakukan. Walaupun teknik ini
masih bisa dibilang kontroversi di kalangan fotografer
wildlife. Yaitu menggunakan umpan untuk memancing
burung datang. Entah itu dengan makanan, ataupun
dengan suara-suara buatan yang bisa menarik perhatian burung.

Jelas foto yang menampilkan burung secara alami tanpa
umpan adalah yang terbaik. Karena kita tidak akan merusak
interaksi burung tersebut dengan alam bebas.

TIPS FOTOGRAFI | 85

Perhatikan dan bidik perilakunya


Foto burung yang sedang berpose
tenang memang bagus. Tapi, akan
lebih bagus jika si burung sedang
melakukan hal-hal yang menarik
seperti sedang makan, mengepakan sayap,
ataupun
membersihkan
bulunya.
Momen
saat burung elang menyambar ikan dengan
latar belakang air yang memercik dengan
indahnya saat matahari terbenam adalah juara
dibandingkan elang yang hanya diam.

Yang paling menarik adalah saat mereka
terbang, atau lebih populer dengan istilah Bird
in flight (BIF). Ini adalah jenis foto yang paling
sulit diambil. Apalagi jika burung berada dalam
kecepatan yang tinggi. Gunakan mode untuk
tracking subjek pada kamera (misalnya Ai Servo
pada kamera Canon) dan mode burst. Gunakan
kecepatan tinggi, dan arahkan lensa mengikuti
gerakan burung dengan membuka kedua mata
kita. Foto BIF membutuhkan banyak latihan, jadi
jangan cepat menyerah untuk jenis foto ini.

Tempat yang bisa dijadikan


latihan untuk memotret burung
untuk pemula adalah Kebun
Raya Bogor, Kebun Raya
Cibodas, Suaka Margasatwa
Muara Angke ataupun tempattempat tropis di dekat tempat
tinggal Anda, karena burungburung disana relatif mudah
didekati. Fotografi wildlife
memang butuh perjuangan
ekstra. Bersua dengan
kondisi alam yang menantang
terkadang membuat kita mudah
menyerah. Hormati alam dan
subyek foto kita. Kita harus bisa
menerimanya dan menjadikan
ini sebuah proses untuk lebih
mencintai alam Indonesia.

PROFIL
KONTRIBUTOR
Ahmad Ariska
@ahmad_ariska

Orang Aceh, fotografer Aceh Nature Community


(ANC). Mahasiswa tingkat akhir di salah satu
perguruan tinggi di Banda Aceh, suka jalan-jalan.

Laura Resti Kalsum


@lawraresti

Laura Resti Kalsum adalah perempuan yang


menyenangi kegiatan jalan-jalan dan menulis.
Dia telah mendaki beberapa gunung di Indonesia
dan mempunyai wisdom word I dont let my best
friend do stupid thing!...alone

Muhammad Hamzah
Hasballah
@emhahamzah

Lahir di Lamreh, Aceh Besar. Menyelesaikan studi


di diploma jurnalistik; Muharram Journalism
Collage Banda Aceh. Menulis adalah hobi dan
sehari-hari bekerja sebagai petani.

Arman Dhani Bustomi


@arman_dhani

Lulusan Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.


Penulis bebas. Editor situs jarakpandang.net situs
kritik seni rupa dan budaya visual di Indonesia.
Opini selalu personal, argumen tidak selalu manis.
Blogger yang biasa ditemui di terumbukarya.
blogspot.com

Richard Powell
A Public Relations Director Presswire who really
love to travel and life at London.

NEW
FANTASTICOR
Wisnu Yuwandono
@dalijo

Pemuda Jogja tulen yang tinggal di Bali. Penyuka


sate ayam, ga doyan pedes. Ga jago renang tapi
pengen secepatnya bisa nyelam. Suka gunung dan
pantai.

Wira Nurmansyah
@wiranurmansyah

Penikmat kesunyian malam dan matahari pagi.


Bisa berjalan lebih jauh dari siapapun asal ada
kamera di tangannya. Napak tilas perjalanannya
bisa dilihat di blog http://wiranurmansyah.com

Anda mungkin juga menyukai