PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di
seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30%
jumlah penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia. Kelainan ini
mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta
kesehatan fisik.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan
gejala dari berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu penentuan penyakit
dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui
penyebab yang mendasari, anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas.
Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia yang dibuat oleh Divisi
Standar Pendidikan Kolegium Dokter Indonesia, dokter umum diharapkan dapat
menegakkan diagnosis anemia (defisiensi besi, megaloblastik, aplastik, hemolitik)
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Untuk anemia
defisiensi besi, dokter umum harus mampu melakukan penanganan. Untuk anemia
megaloblastik, aplastik, hemolitik, dokter umum hanya sampai tahap merujuk serta
mengetahui komplikasi penyakit tersebut. Oleh karena itu, dalam referat ini akan
dibahas mengenai keempat jenis anemia tersebut.
BAB II
ANEMIA
2.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
2.2 Kriteria
Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga
normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologis tergantung jenis kelamin,
usia, kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.
Kriteria anemia menurut WHO adalah:
2.3 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi
morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin
Defisiensi besi
c.
Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat
Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal
d.
Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi
(misalnya: interleukin 1)
e.
Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada
keadaan hipotiroid)
Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun
dapat pula ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada
defisiensi besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan
tersebut dapat dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat
besi.
2. Gangguan pematangan
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang rendah,
gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang
abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu:
a.
Gangguan pematangan inti
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik.
Penyebab dari gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi
vitamin B12, obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti
metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan ini lebih disebabkan oleh
defisiensi asam folat.
c.
Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC) =
hemoglobin x 10
Hematokrit
(N: 33 + 2%)
C.
Leukosit (N : 4500 11.000/mm3)
D.
Trombosit (N : 150.000 450.000/mm3)
Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila > 100 dapat disebut sebagai
makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam
sintesa hemoglobin (hipokromia)
II. Sediaan Apus Darah Tepi (SADT)
SADT akan memberikan informasi yang penting apakah ada gangguan atau defek
pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan ukuran eritrosit
yang bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit
yang beraneka ragam.
III. Hitung Retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia.
Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum
tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam
waktu 24-36 jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal
retikulosit 1-2% yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8-1% dari jumlah
sel darah merah di sirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai
retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit pasien
berdasarkan usia, gender, sarta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit
prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu hidup dari retikulosit
prematur lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolaholah tinggi.
Keterangan: RI < 2-2,5% : produksi atau pematangan eritrosit yang tidak adekuat
RI > 2,5% : penghancuran eritrosit yang berlebihan
IV. Persediaan dan Penyimpanan Zat Besi
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC
dikali 100 (N: 25-50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi
transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pk 09.00 dan pk.
10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun,
feritin juga merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik
akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.
V. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada
sumsum tulang misalnya myelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit
infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel
(myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dari hitung jenis sel-sel berinti pada
suumsum tulang (ratio eritroid dan granuloid).
BAB III
Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan
terutama di negara berkembang. Penyebabnya antara lain:
o
Faktor nutrisi: rendahnya asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas
besi yang dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat, rendah daging, dan
rendah vitamin C).
o
Kebutuhan yang meningkat, seperti pada bayi prematur, anak dalam
pertumbuhan, ibu hamil dan menyusui.
o
Fase Mukosal: proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang berperan
penting pada absorpsi besi ialah duodenum dan jejunum proksimal. Namun
sebagian kecil juga terjadi di gaster, ileum dan kolon. Penyerapan besi dilakukan
oleh sel absorptive yang terdapat pada puncak vili usus. Besi heme yang telah
dicerna oleh asam lambung langsung diserap oleh sel absorptive, sedangkan untuk
besi nonheme mekanisme yang terjadi sangat kompleks. Setidaknya terdapat 3
protein yang terlibat dalam transport besi non heme dari lumen usus ke sitoplasma
sel absorptif. Luminal mucin berperan untuk mengikat besi nonheme agar tetap
larut dan dapat diserap meskipun dalam suasana alkalis duodenum. Agar dapat
memasuki sel, pada brush border sel terjadi perubahan besi feri menjadi fero oleh
enzim feri reduktase yang diperantarai oleh protein duodenal cytochrome b-like
(DCYTB). Transpor melalui membrane difasilitasi oleh divalent metal
transporter (DMT-1 atau Nramp-2). Sesampainya di sitoplasma sel
usus, protein sitosol (mobilferrin) menangkap besi feri. Sebagian
besar besi akan disimpan dalam bentuk feritin dalam mukosa sel
usus, sebagian kecil diloloskan ke dalam kapiler usus melalui
basolateral transporter (ferroportin atau IREG 1). Besi yang
diloloskan akan mengalami reduksi dari molekul fero menjadi feri
oleh enzim ferooksidase, kemudian berikatan dengan
apotransferin dalam kapiler usus.
o
Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi
oleh sel yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh.
Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas,
melainkan berikatan dengan suatu glikoprotein (-globulin) pengikat besi yang
diproduksi oleh hepar (transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas
dan dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang
membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang.
Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat tinggi
terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui
proses endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku
pembentukan hemoglobin.
Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks besiapoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum
tulang, dan otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan
tersimpan pada sel parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama
terdapat pada sel fagosit mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari
pembongkaran eritrosit. Bila jumlah total besi melebihi kemampuan apoferitin
untuk menampungnya maka besi disimpan dalam bentuk yang tidak larut
(hemosiderin). Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah
dilepaskan dari feritin, tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah
yang sangat kecil terdapat dalam plasma, bila kadar ini dapat terdeteksi
menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh.
Dijumpai bila kadar hemoglobin turun dibawah 7 gr/dl. Berupa badan lemah, lesu,
cepat lelah, dan mata berkunang-berkunang. Pada anemia defisiensi besi
penurunan Hb terjadi secara bertahap sehingga sindrom ini tidak terlalu mencolok.
2. Gejala khas defisiensi besi, antaralain:
MCHC menurun pada anemia defisiensi besi yang lebih berat dan berlangsung
lama
Konsentrasi besi serum memiliki siklus diurnal, yakni mencapai kadar puncak
pada pukul 8-10 pagi.
3. Penurunan kadar feritin serum
Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia
defisiensi besi yang paling kuat, cukup reliabel dan praktis. Angka serum feritin
yang normal belum dapat menyingkirkan diagnosa defisiensi besi, namun feritin
serum >100 mg/dl sudah dapat memastikan tidak ada defisiensi.
4. Peningkatan protoporfirin eritrosit
Angka normalnya <30 mg/dl. Peningkatan protoporfirin bebas >100 mg/dl
menunjukkan adanya defisiensi besi.
5. Peningkatan reseptor transferin dalam serum (normal 4-9 g/dl), dipakai untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia pada penyakit kronis.
6. Gambaran apus sumsum tulang menunjukkan jumlah normoblas basofil yang
meningkat, disertai penurunan stadium berikutnya.
Terdapat pula
mikronormoblas (sitoplasma sedikit dan bentuk tidak teratur. Pengecatan sumsum
tulang dengan Prussian blue merupakan gold standar diagnosis defisiensi besi yang
akan memberikan hasil sideroblas negatif (normoblas yang mengandung granula
feritin pada sitoplasmanya, normal 40-60%).
7. Pemeriksaan mencari penyebab defisiensi, misalnya pemeriksaan feses, barium
enema, colon in loop, dll.
F. Diagnosis
Tiga tahap mendiagnosa suatu anemia defisiensi besi: 1). Menentukan adanya
anemia 2). Memastikan adanya defisiensi besi 3). Menentukan penyebab
defisiensi. Secara laboratoris dipakai kriteria modifikasi Kerlin untuk menegakkan
diagnosa:
anemia hipokrom mikrositer pada SADT ATAU MCV <80 fl dan MCH < 31%
dengan satu atau lebih kriteria berikut:
1. Terdapat 2 dari parameter di bawah ini:
Oral: merupakan pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman, terutama sulfas
ferosus. Dosis anjuran 3x200mg/hari yang dapat meningkatkan eritropoiesis
hingga 2-3 kali dari normal. Pemberian dilakukan sebaiknya saat lambung kosong
(lebih sering menimbulkan efek samping) paling sedikit selama 3-12 bulan. Bila
terdapat efek samping gastrointestinal (mual, muntah, konstipasi) pemberian
dilakukan setelah makan atau osis dikurangi menjadi 3x100mg. Untuk
meningkatkan penyerapan dapat diberikan bersama vitamin C 3x100 mg/hari.
Parenteral,misal preparat ferric gluconate atau iron sucrose (IV pelan atau IM).
Pemberian secara IM menimbulkan nyeri dan warna hitam pada lokasi suntikan.
Indikasi pemberian parenteral:
a. Intoleransi terhadap preparat oral
b. Kepatuhan berobat rendah
c. Gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif (dapat kambuh
B. Etilogi
1. Defisiensi asam folat
a. Asupan Kurang
Gangguan Nutrisi : Alkoholisme, bayi prematur, orang tua,
hemodialisis, anoreksia nervosa.1
Malabsorbsi : Alkoholisme, celiac dan tropical sprue, gastrektomi parsial,
reseksi usus halus, Crohns disease, skleroderma, obat anti konvulsan (fenitoin,
fenobarbital, karbamazepin), sulfasalazine, kolestiramin, limfoma intestinal,
hipotiroidisme.1 ,2
b. Peningkatan kebutuhan : Kehamilan, anemia hemolitik, keganasan, hipertiroidisme,
dermatitis eksfoliativa, eritropoesis yang tidak efektif (anemia pernisisosa, anemia
sideroblastik, leukemia, anemia hemolitik, mielofibrosis).1, 2
c. Gangguan metabolisme folat : penghambat dihidrofolat reduktase (metotreksat,
pirimetamin, triamteren, pentamidin, trimetoprin), akohol, defisiensi enzim.1,2
d. Penurunan cadangan folat di hati : alkoholisme, sirosis non alkohol,
hepatoma.1
e. Obat-obat yang mengganggu metabolisme DNA : antagonis purin (6
merkaptopurin, azatioprin, dll), antagonis pirimidin (5 flourourasil, sitosin
arabinose, dll), prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, zidovudin.
2
f. Gangguan metabolik (jarang) : asiduria urotik herediter, sindrom
Lesch-Nyhan.2
2. Defisiensi vitamin B12 (kobalamin)
a. Asupan Kurang : vegetarian
b. Malabsorbsi
- Dewasa : Anemia pernisiosa, gastrektomi total/prsial, gastritis atropikan, tropikal
sprue, blind loop syndrome (operasi striktur, divertikel, reseksi ileum), Crohn's
disease, parasit (Diphyllobothrium latum), limfoma intestinal, skleroderma, obatobatan (asam para amino salisilat, kolkisin, neomisin, etanol, KCl).
- Anak-anak: Anemi pernisiosa, ganguan sekresi faktor
intrinsik lambung, Imerslund-Grasbeck syndrome.
c. Gangguan metabolisme seluler : defisiensi enzim, abnormalitas protein pembawa
kobalamin (defisiensi transkobalamin II), paparan NO yang berlangsung lama
C. Patofisiologi
Absorbsi kobalamin di ileum memerlukan faktor intrinsik (FI) yaitu
glikoprotein yang disekresi lambung1. Faktor intrinsik akan mengikat 2 melekul
kobalamin1. Proses Absorbsi kobalamin adalah sebagai berikut3 :
- Pada ileum, kobalamin berikatan dengan FI, membetuk IF-Cbl complex
- Kemudian IF-Cbl complex berikatan dengan cubilin, reseptor lokal pada
membarana apikal sel epitel ileum, kemudian berikatan dengan megalin.
- Kobalamin masuk ke dalam sel ileum secara endositosis diikuti degradasi IF
- Kobalamin berikatan dengan transkobalamin (TC II) membentuk, TC II-Cbl
complex, untuk disekresikan ke vena porta
- Kemudian TC II-Cbl complex diuptake oleh sel, pada sel hepatosit dan sel epitel
pada tubulus proksimal ginjal, berikatan dengan TC II receptor dan kobalamin
dilepaskan ke dalam sel
- Dalam sel ini, kobalamin dirubah menjadi bentuk koenzim, koenzim inilah yang
berperan dalm sintesin DNA, methyl-Cbl dan 5'-deoxyadenosyl-Cbl berperan
dalam mengkonversi homosistein ke metionin, dan metilmalonil CoA ke suksinil
CoA.
Eritroleukemia
Hipotiroidisme
- Nefritis kronis
H. Terapi
1. Suportif : - transfusi bila ada hipoksia
- suspensi trombosit bila trombositopenia mengancam jiwa
2. Defisiensi B12 : Pemberian sianokobalamin atau hidroksokobalamin.
3. Defisiensi asam folat : Pemberian asam folat 1mg/hari selama 2-3
minggu,
kemudian dosis pemeliharaan 0,25-0,5 mg/hari
4. Terapi penyakit dasar
5. Menghentikan obat-obat penyebab anemia megaloblastik.
BAB V
Anemia Aplastik
A.Definisi
Anemia anaplastik merupakan anemia yang ditandai dengan pansitopenia
(penurunan jumlah sel-sel darah yaitu eritrosit, leukosit, dan trombosit) dan
hiposelularitas dari sumsum tulang. Anemia aplastik merupakan kegagalan
hemopoiesis yang jarang ditemukan namun berpotensi membahayakan jiwa
B. Epidemiologi
Insidesi anemia aplastik didapatkan bervariasi di seluruh dunia dan berkisar
antara 2 sampai 6 kasus per satu juta penduduk per tahun. Anemia aplastik
yang didapat umumnya uncul pada usia 15 sampai 25 tahun dan puncak
insiden kedua yaitu setelah usia 60 tahun. Pada umumnya resiko bagi pria
dan wanita untuk menderita anemia aplastik adalah sama.
C. Etiologi
Penyebab anemia aplastik pada umumnya adalah idiopatik (kurang lebih pada 75%
kasus), namun selain itu anemia aplastik juga dapat disebabkan oleh:
a. Didapat
1. Radiasi
2. Bahan Kimia : benzen, arsen
3. Obat-obatan : klorampenikol, obat-obat kemoterapi (6-merkaptopurin,
vinkristin, busulfan), fenilbutazon, antikonvulsan, senyawa sulfur, emas.
4. Infeksi: virus hepatitis (non-A, non-B, non-C), Epstein Barr Virus,
Parvovirus B19, HIV, sitomegalovirus
5. Kelainan Imunologis : eosinophillic fascitis
6. Kehamilan
d.
Kelainan Kongenital atau Bawaan
1. Sindroma Fanconi
2. Sindroma Shwachman- Diamond
3. Kongenital Diskeratosis
D. Klasifikasi
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
E. Patofisiologi
Karakteristik dari anemia aplastik adalah hiposelular dari sumsum tulang yang
digantikan oleh jaringan lemak. Anemia aplastik dihipotesiskan sebagai suatu
penyakit autoimun terhadap sel benih hematopoietik. Menurut penelitian, supresi
dari sel-sel hemopoiesis disebabkan oleh sel T sitotoksik yang teraktivasi. Sel T ini
akan menghasilkan interferon gamma (IFN-) dan tumor necrosis factor (TNF)
yang
bersifat menginhibisi langsung sel- sel hemopoietik.
Supresi hematopoietik oleh IFN- dan TNF juga merangsang reseptor Fas
pada sel hemopoietik CD34 sehingga menghasilkan tiga proses. Pertama,
perangsangan reseptor Fas akan menginduksi terjadinya apoptosis. Kedua, akan
terjadi induksi produksi dari nitric oxide synthetase dan nitrit oksida oleh sumsum
tulang sehingga terjadilah sitotoksisitas yang diperantarai oleh sistem imun.
Ketiga, perangsang reseptor Fas akan mengaktivasi jalur intraseluler yang
menyebabkan penghentian siklus sel.
Selain itu, sel T sitotoksik juga menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang
beeerfungsi mengaktifkan klon-klon sel T yang kemudian juga akan mengeluarkan
TNF dan IFN- dan menginhibisi sel-sel hemopoietik.
Diharuskan dilakukan biopsi sumsum tulang pada setiap tersangka kasus anemia
aplastik. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan keadaan hiposelularitas dan
peningkatan jaringan lemak.
2.
Trombosit: profilaksis pada penderita dengan trombosit <10.00020.000/mm3. Bila terdapat infeksi, perdarahan, demam, maka diperlukan transfusi
pada kadar trombosit yang lebih tinggi.
3.
Granulosit : tidak bermanfaat sebagai profilaksis. Dapat dipertimbangkan
pemberian 1 x 1010 neutrofil selama 4-7 hari pada infeksi bakterial yang tidak
berespon dengan pemberian antibiotik
4. Penanganan infeksi
5. Transplantasi sumsum tulang
Merupakan terapi terpilih untuk usia muda 9-40 tahun dengan anemi aplastik berat
dan HLA cocok
6. Imunosupresif
a. ATG (Anti Thymocyte Globulin)
Dosis : 10-20 mg/kgBB/hari, diberikan selama 4-6 jam dalam larutan NaCl dengan
filter selama 8-14 hari, lakukan skin test terlebih dahulu. Untuk mencegah serum
sickness, diberikan Prednison 40mg/m2/hari selama 2 minggu, kemudian
dilakukan tappering off.
Efek samping: demam, menggigil, rash, trombositopenia, serum sickness,
hipotensi.
Catatan :
4. jika trombosit <50.000/mm3 sebelum dan sesudah ATG, perlu transfusi
suspensi trombosit
5. Jika ada serum sickness : metilprednisolon 10/mg/kgBB/hari IV atau
kortikosteroid yang setara
b. Cyclosporin A
Dosis : 3-7mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, penyesuaian dosis dilakukan setiap
minggu untuk mempertahankan kadar dalam darah 400-800 mg/ml.
Pengobatan diberikan minimal selama 3 bulan, bila ada respon, diteruskan
Gambar 9 : Glikolisis
1. Pemeliharaan integritas integritas membran eritrosit bergantung pada
kemapuan eritrosit menghasilkan ATP dan NADPH dari glikolisis.
2. NADPH dihasilkan dari jalur pentosa fosfat
1. Hemolisis Ekstravaskular
Pada kebanyakan kondisi hemolitik, destruksi sel darah merah adalah di
ekstravaskular. Sel darah merah disingkirkan dari sirkulasi oleh makrofag di RES,
khususnya lien.
2. Hemolisis Intravaskular
Apabila sel darah merah terdestruksi dalam sirkulasi, hemoglobin terlepas
dan akan terikat pada haptoglobin plasma tetapi mengalami saturasi. Hb plasma
bebas yang banyak ini akan difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan masuk ke urin,
walaupun sebagian kecil direabsorbsi oleh tubulus renal. Dalam sel tubular renal,
Hb pecah dan terdeposit di sel sebagai haemosiderin. Sebagian Hb plasma yang
bebas dioksidasi menjadi methemoglobin, yang berpecah lagi menjadi globin dan
ferrihaem.
Hemopexin plasma mengikat ferrihaem namun jika kapasitas pengikatannya
melebihi maka ferrihaem bersatu dengan albumin membentuk methaemalbumin.
Hati berperan penting dalam mengeliminasi Hb yang terikat dengan haptoglobin
dan haemopexin dan sisa Hb bebas.
C. Bukti hemolisis
Peningkatan destruksi sel darah merah menyebabkan;
4. peningkatan bilirubin serum (unconjugated)
5. kelebihan urobilinogen urin ( akibat pemecahan bilirubin di intestinal)
6. penurunan haptoglobin plasma
7. kenaikan LDH serum
Peningkatan produksi sel darah merah menyebabkan ;
1. retikulositosis
2. hiperplasia eritroid dari sumsum tulang
Pada beberapa anemia hemolitik terdapat sel darah merah abnormal seperti ;
1. sferosit
2. sickle sel
Eritroleukemi
Anemia aplastik
Myelofibrosis
G. Terapi
1. Tergantung etiologi
a) Anemia Hemolitik autoimun :
Glukokortikoid : Prednison 40 mg/m2 luas permukaan tubub
(LPT)/hari. Respon biasanya terlihat
setelah
7
hari, retikulosit meningkat, Hb
meningkat 2-3 gr %/minggu. Bila Hb sudah mencapai 10 gr%, dosis steroid dapat
diturunkan dalam 4-6 minggu sampi 20 mg/m2 LPT/bari; kemudian diturunkan
salam 3-4 bulan. Beberapa kasus memerlukan prednison dosis pemeliharaan 5-10
mg selang sehari
Splenoktomi : pada kasus yang tidak berespon dengan
pemberian glukokortikoid
Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak
memungkinkan splenoktomi
Azatioprin : 80 mg/m2/hari, atau
Siklofosfamid : 60-75 mg/m2/hari
Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan. kemudian tappering off, biasanya
dikombinasikan dengan Prednison 40 mg/m2 LPT/hari. Dosis prednison
diturunkan bertahap dalam waktu 3 bulan
Obat imunosupresif intravena : 0,4 gr/kgBB/hari sampai 1
gr/kgBB/hari selama 5 hari
Danazol : 600-800 mg/hari, bila ada respon, dosis diturunkan
menjadi 200-400 mg/hari.
Diberikan bersama dengan Prednison.
Plasmaferess
b) Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan
c) Stop obat-obat yang diduga menjadi penyebab
d) Kelainan congenital, misalnya:Talas emia
Dialisis
5. TTP (Thrombotic Thrombocytopenic Purpura)
Adanya pentad : gangguan neurologik, anemia hemolitik, trombositopenia.
gangguan fungsi ginjal, demam.
Terapi : Kortikosteroid, prednison 200 mg/hari atau metil prednisolon 0,75 mg/kg IV
tiap 12 jam, bila tidak ada respon, dilakukan plasmaferesis denuan FFP 3-4 L/hari
in
Molecular
Medicine,
Accession
download
from
http://www.expertreviews.org.
Weiss G and Goodnough, 2005, Anemia of Chronic Disease, download from
www.nejm.org on june 22, 2006.
Widjanarko A dkk, 2006, Anemia Aplastik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI.