Anda di halaman 1dari 69

SKENARIO

Seorang wanita 36 tahun datang ke dokter keluarga dengan keluhan utama sakit
kepala. Sejak tiga bulan lalu, pasien sering merasa sakit kepala dan menjadi lebih
baik setelah mengambil obat dari toko tetapi hanya untuk sementara waktu. Keluhan
lain yang kesulitan dalam tidur , sering palpitasi jantung dan dingin keringat. Pasien
tidak mengeluh tentang mual, muntah , atau demam. Keluhan merasa hampir setiap
hari sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari pasien . selama beberapa waktu
pasien tidak datang untuk bekerja.
Akhir-akhir ini, pasien sering khawatir tentang putri pertamanya mengalami
keterbelakangan mental . Saat ini putrinya adalah remaja, sudah menstruasi dan
dilanjutkan kekhawatiran tentang banyak hal.
Pemeriksaan Vital sign: T = 110/80 mmHg , N = 88 bpm , R = 20 x / menit , T = 36,5
oC
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis dalam batas normal.
I.

KLARIFIKASI ISTILAH
1. Retaradasi mental

adalah

penurunan

fungsi

intelektual

yang

menyeluruh secara bermakna dan secara langsung menyebabkan


gangguan

adaptasi

sosial

dan

perkembangan (Kaplan, 2010).


2. Anxietas adalah pengalaman

bermanifestasi
yang

bersifat

selama

masa

subjektif,

tidak

menyenangkan, tidak menentu, menakutkan dan mengkhawatirkan


akan adanya kemungkinan bahaya atau ancaman bahaya, dan
seringkali disertai oleh gejala-gejala atau reaksi fisik tertentu akibat
peningkatan aktifitas otonomik (Ibrahim, 1999).

II.

IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa pasien mengeluh sakit kepala kemudian hilang ketika minum
obat, mengalami kesulitan tidur, palpitasi jantung dan keringat dingin?
1

2.
3.
4.
5.
III.

Apakah ada hubungan dengan penyakit anaknya dengan keluhan?


Apa artinya tidak ada mual muntah dan demam dalam kasus?
Bagaimana tindakan dokter selanjutnya untuk mendiagnosis kasus ini?
Apa saja diagnosis banding pada kasus ini ?

ANALISIS MASALAH
1. Mengapa pasien mengeluh sakit kepala kemudian hilang ketika minum
obat, mengalami kesulitan tidur, palpitasi jantung dan keringat dingin?
Nyeri kepala:
Primer
nyeri yang tidak jelas kelainan anatominya
Sekunder
nyeri yang jelas kelainan anatominya
Pada kasus diskenario, kemungkinan pasien mengalami nyeri
kepala primer karena nyeri yang dirasakan tidak jelas kelainan
anatominya. Sehingga dimungkinkan etiologinya adalah karena
pengaruh dari faktor psikis. Hal ini diperkuat dengan adanya
keterangan bawha pemberian obat hanya akan menyembuhkan pasien
secara semenatara (simptomatik) akan tetapi nyeri kepala tetap muncul
hingga sekarang pasien dibawa ke dokter yang artinya penyebab
utamanya belum bisa disembuhkan.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan gejala klinis pasien ini
yaitu :
a. Faktor predisposisi
Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat berupa :
Peristiwa traumatic
Konflik emosional
Konsep diri terganggu
Frustasi
Gangguan fisik
Pola mekanisme koping keluarga
Riwayat gangguan kecemasan
Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan
b.

(benzodiazepin )
Faktor presipitasi
Stressor presipitasi kecemasan dikelompokkan menjadi dua
bagian, yaitu :

Ancaman terhadap integritas fisik, meliputi :

o Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme


fisiologis sistem imun, regulasi suhu tubuh,
perubahan biologis normal (mis : hamil).
o Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap
infeksi virus dan bakteri, polutan lingkungan,
kecelakaan,

kekurangan

nutrisi,

adekuatnya tempat tinggal.


Ancaman terhadap harga diri meliputi :
o Sumber internal
:
kesulitan

tidak

dalam

berhubungan interpersonal di rumah dan tempat


kerja,

penyesuaian

terhadap

peran

baru.

Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga


dapat mengancam harga diri.
o Sumber eksternal
: kehilangan orang yang
dicintai, perceraian, perubahan status pekerjaan,
tekanan kelompok, sosial budaya.
Faktor presipitasi atau pencetus tersebut yang menyebabkan
stressor yang kemudian dikirim ke otak kemudian informasi dikirim
ke hypothalamus untuk menstimulasi sistem saraf otonom dan
endokrin yang nantinya akan merangsang neurontransmitter yaitu
GABA (Gamma Amino Butyric Acid), serotonin, dan nonadrenergik.
Pada kasus ini yang lebih berperan adalah neurontransmitter GABA
(Gammas Amino Butyrric Acid).
Dampak kecemasan :
Simtom suasana hati
Simtom kognitif
Perasaan akan adanya Menyebabkan
hukuman dan bencana kekhawatiran
yang

mengancam. keprihatinan

Biasanya

tidak

tidur, mudah marah.

Sistem motor
Tidak tenang, gugup, kaget
dan terhadap suasana yang terjadi
pada secara

tiba-tiba.

Simtom

bisa individu mengenai hal- motor merupakan gambaran


hal

yang

menyenangkan
mungkin

tidak rangsangan

kognitif

yang

yang tinggi pada individu dan


terjadi. merupakan

usaha

untuk

Biasanya individu sering melindungi dirinya dari apa


tidak bekerja, akhirnya saja
jadi lebih cemas.

yang

dirasanya

mengancam.

(Sadock, 2007).

(Sadock, Benjamin J, 2010).


Fisiologi tidur
Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua system pada
batang otak,yaitu Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar
Synchronizing Region

(BSR). RAS di bagian atas batang otak

diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat mempertahankan


kewaspadaan

dan

kesadaran;

memberi

stimulus

visual,pendengaran,nyeri,dan sensori raba;serta emosi dan proses


berfikir. Pada saat sadar, RAS melepaskan katekolamin,sedangkan
pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari BSR
(Tarwoto,Wartonah,2003).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan bantuan alat


elektroensefalogram

(EEG),

elektro-okulogram

(EOG),

dan

elektrokiogram (EMG), diketahui ada dua tahapan tidur, yaitu nonrapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement (REM).
(a) Tidur NREM. tidur NREM disebut juga sebagai tidur
gelombang-pendek karena gelombang otak yang ditunjukkan
oleh orang yang tidur lebih pendek daripada gelombang alfa
dan beta yang ditunjukkan orang yang sadar. Pada tidur NREM
terjadi penurunan sejumlah fungsi fisiologi tubuh. Di samping
itu,semua proses metabolic termasuk tanda-tanda vital,
metabolism, dan kerja otot melambat. Tidur NREM sendiri
terbagi atas 4 tahap (I-IV). Tahap I-II disebut sebagai tidur
ringan (light sleep) dan tahap III-IV disebut sebagai tidur
dalam (deep sleep atau delta sleep).
1)
Tahap 1 NREM
Tahap meliputi tingkat paling dangkal dari tidur
Tahap berakhir beberapa menit
Pengurangan aktivitas fisiologis dimulai dengan
penurunan secara bertahap tanda-tanda vital dan

metabolisme
Seseorang dengan mudah terbangun oleh stimulus

sensori seperti suara


Seseorang ketika terbangun merasa seperti telah
melamun

2)

3)

Tahap 2 NREM

Tahap 2 merupakan periode tidur bersuara

Kemajuan relaksasi

Terbangun masih relatif mudah

Tahap berakhir 10 hingga 20 menit

Kelanjutan fungsi tubuh menjadi lamban

Tahap 3 NREM

Orang yang tidur sulit dibangunkan dan jarang


bergerak

4)

Otot-otot dalam keadaan santai penuh

Tanda-tanda vital menurun tapi tetap teratur

Tahap berakhir 15 hingga 30 menit

Tahap 4 NREM

Tahap 4 merupakan tahap tidur terdalam

Sangat sulit untuk membangunkan orang yang


tidur

Orang yang kurang tidur akan menghabiskan


porsi malam yang seimbang pada tahap ini

Tanda-tanda vital menurun secara bermakna


disbanding selama jam terjaga

Tahap berakhir kurang lebih 15 hingga 30 menit

Tidur sambil berjalan dan anuresis dapat terjadi

(b) Tidur REM. Tidur REM biasanya terjadi setiap 90 menit dan
berlangsung selama 5-30 menit. Tidur REM tidak senyenyak
tidur NREM, dan sebagian besar mimpi terjadi pada tahap ini.
Selama tidur REM,otak cenderung aktif dan metabolismenya
meninggkat hingga 20%. Pada tahap individu menjadi sulit
untuk dibangunkan atau justru dapat bangun dengan tiba-tiba,
tonus otot terdepresi,sekresi lambung meningkat,dan frekuensi
jantung dan pernapasan sering kali tidak teratur (Tarwoto,
2010).
Berikut adalah gangguan tidur menurut Internasional Classification of Sleep
Disorders :
A. Dissomnia
a) Gangguan tidur intrisik

Narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik, sindroma kaki


gelisah, obstruksi saluran nafas, hipoventilasi, post traumatik
kepala, tidur berlebihan (hipersomnia), idiopatik.
b) Gangguan tidur ekstrisik
Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi tidur,
toksik, ketergantungan alkohol, obat hipnotik atau stimulant.
c) Gangguan tidur irama sirkadian
Jet-lag sindroma, perubahan jadwal kerja, sindroma fase
terlambat tidur, sindroma fase tidur belum waktunya, bangun tidur
tidak teratur, tidak tidur selama 24 jam.
B. Parasomnia
a. Gangguan aurosal.
b. Gangguan tidur berjalan, gangguan tidur teror, aurosal konfusional
c. Gangguan antara bangun-tidur
d. Gerak tiba-tiba, tidur berbicara,kramkaki, gangguan gerak berirama.
e. Berhubungan dengan fase REM.
f. Gangguan mimpi buruk, gangguan tingkah laku, gangguan sinus
arrest.
g. Parasomnia lain-lainnya.
h. Bruxism (otot rahang mengeram), mengompol, sukar menelan,
distonia.
i. Parosismal.
C. Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan kesehatan/psikiatri
a. Gangguan mental.
b. Psikosis, anxietas, gangguan afektif, panik (nyeri hebat), alkohol
c. Berhubungan dengan kondisi kesehatan.
d. Penyakit degeneratif (demensia, parkinson, multiple sklerosis),
epilepsi,
e. status epilepsi, nyeri kepala, Huntington, post traumatik kepala,
stroke, Gilles de-la tourette sindroma.

f. Berhubungan dengan kondisi kesehatan.


g. Penyakit asma,penyakit jantung, ulkus peptikus, sindroma fibrositis,
refluks.
h. gastrointestinal, penyakit paru kronik (PPOK).
D. Gangguan tidur yang tidak terklassifikasi
Pemicu sakit kapala
a. Cuaca
Ketika cuaca berubah derastis dari panas atau dingin,
kelembaban udaran, tekana udara maka akan merubah zat
kimiawi dalam otak yang kemudian dalam memicu sakit
b.

kepala
Stress
Penyebabnya adalah hormone yang telah aktif untuk melawan
stress tiba tiba turun kemudian memicu pembuluh darah
melebar selain itu stres dapat menyebabkan ketegangan di

c.

daerah leher, bahu, dan otot kepala


Hormone
Hormone yang muncul pada saat mens, biasa karena penurunan

d.

esterogen saat mens


Diet
Beberapa makana pemicu sakit kepala seperti keju coklat buah
buahan yang asam, daging yang di awetkan, kacang, dan

MSG
Minuman
The, kopi, alcohol
f.
Telat makan
Hipoglikemi atau hiperglikemi
g.
Kurang tidur
Ikuti pola tidur yang beratur dan berimbang tidur yang cukup
e.

serta tidur dan bangun pada waktu yang sama tiap hariu
termasuk saan liburan (Elvira, 2010).
2. Apakah ada hubungan dengan penyakit anaknya dengan keluhan?
Terdapat hubungan antara dampak kecemasan simptom
suasana hati, symptom kognitif, symptom motor. Ada hubungan

karena anaknya retardasi mental akan beranjak dewasa dan menglami


gangguan mental , banyak mikir sehingga mempengaruhi dari
predisposisi keluhan pasien.
Hal ini termasuk faktor psikososial, dua bidang pikiran utama
tentang

faktor

psikososial

yang

menyebabkan

perkembangan

gangguan cemas menyeluruh adalah bidang kognitif perilaku dan


bidang psikoanalitik. Bidang kognitif perilaku menghipotesiskan
bahwa pasien dengan gangguan cemas menyeluruh berespon secara
tidak tepat dan tidak akurat terhadap bahaya yang dihadapi,
ketidakteraturan tersebut disebabkan oleh perhatian selektif terhadap
perincian negatif didalam lingkungan oleh distorsi pemprosesan
informasi, dan oleh pandangan yang terlalu negatif tentang
kemampuan seseorang untuk

mengatasinya. Bidang psikoanalitik

menghipotesiskan bahwa kecemasan adalah suatu gejala konflik


bawah sadar yang tidak terpecahkan.

Pada tingkat yang paling

primitif, kecemasan mungkin berhubungan dengan ketakutan akan


penghancuran atau fusi dengan orang lain (Nevid, 2003).
3. Apa artinya tidak ada mual muntah dan demam dalam kasus?
Arti dari tidak ada mual, muntah dan demam adalah
menunjukan

bahwa

pasien

tidak

memiliki

gangguan

pada

Cemoreseptor Trigger Zone. Karena apabila gangguan sakit kepala


yang normal atau organik. akan terjadi kenaikan kadar norepinefrin
dalam plasma darah yang memicu agregasi platelet kedalam pembuluh
darah otak, kemudian akan dilepaskan pula beberapa mediator, salah
satunya adalah serotonin dan dopamine yang akan mempengaruhi
pusat muntah dan terjadi mual dan muntah, akan tetapi pada skenario
peningkatan kadar serotonin dan dopamin disebabkan oleh stress dan
tidak seperti pada kasus kelainan organic. Serotonin dan dopamine ini
hanya sedikit merangsang pusat muntah di batang otak tetapi tidak
sampai meyalurkan impuls dari pusat muntah ke organ visceral untuk

terjadi muntah dan presepsi mual yang muncul. Perubahan zat kimia
diotak (Serotonin, Endorpin). Proses perubahn biokimia diotak akan
mengaktivkan jalur nyeri terhadap otak dan mengganggu kemampuan
otak untuk menekan nyeri (Sadock J Bejamin,2010).
4. Bagaimana tindakan dokter selanjutnya untuk mendiagnosis kasus ini?
Tindakan dokter selanjutnya untuk kasus ini adalah dengan
melakukan anamnesis yaitu dengan dua cara autoanamnesis dan
alloanamnesis. Pada umumnya anamnesis dilakukan dengan tehnik
autoanamnesis yaitu anamnesis yang dilakukan langsung terhadap
pasiennya. Pasien sendirilah yang menjawab semua pertanyaan dokter
dan menceritakan permasalahannya. Ini adalah cara anamnesis terbaik
karena pasien sendirilah yang paling tepat untuk menceritakan apa
yang

sesungguhnya

dia

rasakan.

Meskipun

demikian

dalam

prakteknya tidak selalu autoanamnesis dapat dilakukan. Pada pasien


yang tidak sadar, sangat lemah atau sangat sakit untuk menjawab
pertanyaan, atau pada pasien anak-anak, maka perlu orang lain untuk
menceritakan permasalahnnya. Anamnesis yang didapat dari informasi
orag lain ini disebut Alloanamnesis atau Heteroanamnesis. Tidak
jarang dalam praktek sehari-hari anamnesis dilakukan bersama-sama
auto dan alloanamnesis.
Setelah dilakukan anamnesis dokter perlu mencari multiaksial
diagnosis dari pasien ini ,dan dari kasus ini diagnosis multiaksial
sebagai berikut :
Diagnosis Multiaksial
Aksis I
Gangguan Klinis (F00-09, F10-29, F20-29, F30-39, F40-48,
F50-59, F62-68, F80-89, F90-98, F99). Kondisi Lain yang
Menjadi Focus Perhatian Klinis (tidak ada diagnosis Z03.2,

diagnosis tertunda R69)


Aksis II
Gangguan Kepribadian (F60-61,

gambaran

kepribadian

maladaptive, mekanisme defensi maladaptif). Retardasi Mental


10

(F70-79) (tidak ada diagnosis Z03.2, diagnosis tertunda

R46.8)
Aksis III
Kondisi Medik Umum
Aksis IV
Masalah Psikososial dan Lingkungan (keluarga, lingkungan
social, pendidikan, pekerjaan, perumahan, ekonomi, akses

pelayanan kesehatan, hukum, psikososial)


Aksis V
Penilaian Fungsi Secara Global (Global Assesment of
Functioning = GAF Scale). Biasanya untuk fungsi psikologis,
sosial dan okupasional.
Pada pasien ini diagnosis multiaksial :
Aksis I
: F 40.1 GAD (Generalized Anxiety Disorder)
Aksis II
: Belum ada diagnosis untuk kasus ini
Aksis III
: Tidak ada diagnosis untuk kasus ini
Aksis IV
: Kekhawatiran terhadap anaknya yang
mengalami retardasi mental
Aksis V
: GAF SCALE 70-61
(Maslim, 2001).

5. Apa saja diagnosis banding pada kasus ini ?


(a) Generalized Anxiety Disorder
(b) Gangguan panic
(c) Gangguan fobia
(d) Gangguan campuran anxietas dan depresi
(e) PTSD dan stress akut

11

IV.

SKEMA

12

Perempuanusia 36 tahun

GejalaPenyerta

KeluhanUtama:
NyeriKepala
Sekunder

Palpitasi

Primer

KeringatDingin

SulitTidur

Psikogenik

>>Simpatis
FaktorPresipitasi :AnakRetardasi Mental yang sudahtumbuhremaja
Cemas
Differential Diagnose
GAD (Generalized Anxiety Disorder)
Panik
Fobia
MAD (Mixed Anxiety Disorder)

Anamnesis, PF

Diagnosis Multiaxial:
Axis I : GAD
Axis II :belumdiketahui
Axis III: belumdiketahui
Axis IV: anakRetardasi Mental
Axis V : GAF scale 70-61
Penatalaksanaan

13

V.

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenai gangguan
cemas menyeluruh
2. Mahasiswa dpaat mengetahui dan memahami mengenai gangguan
panic
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenai gangguan
fobia
4. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenai gangguan
campuran anxietas dan depresi
5. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami PTSD (Post Traumatic

VI.
VII.

Stress Disorder)
6. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenai stress akut
BELAJAR MANDIRI
BERBAGI INFORMASI
1. Gangguan cemas menyeluruh
a. Definisi
Menurut DSM-IV yang dimaksud gangguan cemas
menyeluruh adalah suatu keadaan ketakutan atau kecemasan
yang berlebih-lebihan, dan menetap sekurang-kurangnya
selama enam bulan mengenai sejumlah kejadian atau aktivitas
disertai oleh berbagai gejala somatik yang menyebabkan
gangguan bermakna pada fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi fungsi lainnya.
Sedangkan menurut ICD-10 gangguan ini merupakan
bentuk kecemasan yang sifatnya menyeluruh dan menatap
selama beberapa minggu atau bulan yang ditandai oleh adanya
kecemasan tentang masa depan, ketegangan motorik, dan
aktivitas otonomik yang berlebihan(Idrus, 2006)
b.

Epidemiologi
Gangguan kecemasan umum adalah suatu kondisi yang
sering ditemukan, tetapi dengan kriteria ketat dari DSM-III-R
dan DSM-IV, gangguan kecemasan umum sekarang mungkin
lebih jarang ditemukan dibandingkan jika digunakan kriteria

14

DSM-III. Perkiraan yang diterima untuk prevalensi gangguan


kecemasan umum satu tahun terentang dari 3 sampai 8 persen.
Gangguan

kecemasan

umum

kemungkinan

merupakan

gangguan yang paling sering ditemukan dengan gangguan


mental penyerta, biasanya gangguan kecemasan atau gangguan
mood lainnya. Kemungkinan 50% dengan gangguan kecemasn
umum memiliki gangguan mental lainnya.
Rasio wanita dan laki-laki adalah kira-kira 2:1, tetapi
rasio wanita berbanding laki-laki yang mendapatkan perawatan
rawat inap untuk gangguan tersebut kira-kira adalah 1:1. Usia
onset adalah sukar untuk ditentukan, karena sebagian besar
pasien melaporkan bahwa mereka mengalami kecemasan
selama yang dapat mereka ingat. Pasien biasanya datang untuk
mendapatkan perawatan dokter pada usia 20 tahunan,
walaupun kontak pertama dengan klinisi dapat terjadi pada
hampir setiap usia. hanya sepertiga pasien yang menderita
gangguan kecemasan umum mencari pengobatan psikiatrik.
Banyak pasien pergi ke dokter umum, dokter penyakit dalam,
dokter specialis kardiologi, specialis paru-paru, atau dokter
specialis
c.

gastrointenterologi

untuk

spesifik gangguan(Kaplan,1997)
Etiologi
Seperti pada sebagian

besar

mencari

pengobatan

gangguan

mental,

penyebab gangguan kecemasan umum adalah tidak diketahui.


Seperti yang sekarang didefinisikan, gangguan kecemasan
umum kemungkinan mempengaruhi kelompok pasien yang
heterogen. Kemungkinan karena derajat kecemasan tertentu
adalah normal dan adaptif, membedakan kecemasan normal
dari kecemasan patologis dan membedakan faktor penyebab
biologis dari faktor psikososial adalah sulit. Faktor biologis
dan psikologis kemungkinan bekerja sama. (Redayani, 2010)

15

1)

Faktor biologis
Manfaat terapeutik benzodiazepin dan azapirone
sebagai contohm buspirone telah memusatkan usaha
penelitian

biologis

pada

sistem neurotrannsmiter

gamma-aminobutyric acid (GABA) dan serotonin (5hydroxytryptamine [5-HT]). Benzodiazepine (yang


merupakan agonis reseptor benzodiazepine) diketahui
menurunkan

kecemasan,

sedangkan

flumazenil

(Mazicon) (suatu antagonis reseptor benzodiazepine)


dan

beta-carboline

(agonis

kebalikan

reseptor

benzodiazepine) diketahuai menginduksi kecemasan.


Walaupun tidak ada data yang menyakinkan yang
menyatakan bahwa reseptor benzodiazepine adalah
abnormal pada pasien dengan gangguan kecemasan
umum, beberapa penelitian telah memusatkan pada
beberapa lobus osipitalis, yang memiliki kinsentrasi
benzodiazepine tertinggi diotak. Daerah otak lain yang
telah

dihipotesiskan

terlibat

didalam

gangguan

kecemasan umum adalah ganglia basalis, sistem limbik,


dan korteks frontalis. Karena buspirone adalah suatu
agonis reseptor 5-HTia, beberpa kelompokpenelitian
memusatkan pada hipotesis bahwa regulasi sistem
serotonergik pada gangguan kecemasan umum adalah
abnormal.
merupakan
kecemasan

Sistem
sasaran

neurotranmiter
penelitian

umum adalah

sistem

lainnya
pada

yang

gangguan

neurotransmiter

nonepineprine, glutamat, dan kolesistokinin. Beberapa


bukti menyatakan bahwa pasien dengan gangguan
kecemasan umum mungkin memiliki subsensitivitas
pada reseptor adrenergik-alfa2 seperti yang dinyatakan

16

oleh penumpulan pelepasan hormon pertumbuhan


setelah infus clonidine (catapres).

Hanya

sejumlah

terbatas penelitian pencitraan otak pada pasien dengan


gangguan kecemasan umum telah dilakukan. Satu
penelitian tomografi emisi positron (PET:positron
emissoion tomography) melaporkan suatu penurunan
kecepatan metabolik diganglia basalis dan substansia
putih

pada

pasien

gangguan

kecemasan

umum

dibandingkan kontrol normal. Sejumlah penelitian


genetik telah juga dilakukan dalam bidang ini. Satu
penelitian menemukan bahwa hubungan genetika
mungkin terjadi antara gangguan kecemasan umum dan
gangguan depresif berat pada wanita. Penelitian lain
menemukan adanya komponen genetik yang terpisah
tetapi sulit untuk ditentukan pada gangguan kecemasan
umum. Kira-kira 25% sanak saudara derajat pertama
dari pasien dengan gangguan kecemasan umum juga
terkena gangguan. Sanak saudara laki-laki lebih sering
menderita

suatu

gangguan

penggunaan

alkohol.

Beberapa laporab penelitian pada anak kembar


menyatakan suatu angka kesesuaian 50% pada kembar
monozigotik

dan

15%

pada

kembar

dizigotik.

(Maramis, 2004).
Berbagai kelainan elektroensefalogram (EEG)
telah ditemukan dalam irama alfa dan potensial cetusan.
Penelitian EEG tidur telah melaporkan peningkatan
diskontinuitas tidur, penurunan tidur REM (rapid eye
movement). Perubahan pada arsitektur tidur adalah
berbeda dari perubahan yang ditemukan pada gangguan
2)

depresif (Maramis, 2004).


Faktor Psikososial
17

Dua bidang pikiran utama tentang faktor


psikososial

yang

menyebabkan

perkembangan

gangguan kecemasan umum dalah bidang kognitif


perilaku dan bidang psikoanalitik. Bidang kognitif
perilaku menghipotesiskan bahwa pasien dengan
gangguan kecemasan umum adalah berespon secara
tidak tepat dan tidak akurat terhadap bahaya yang
dihadapi. Ketidakakuratan tersebut disebabkan oleh
perhatian selektif terhadap perincian negatif didalam
lingkungan, oleh distorsi pemerosesan informasi, dan
oleh

pandangan

yang

terlalu

negatif

tentang

kemampuan seseorang untuk mengatasinya. Bidang


psikoanalitik

menghipotesiskan

bahwa

kecemasan

adalah suatu gejala konflik bahwa sadar yang tidak


terpecahkan. Teori psikologis tentang kecemasan
tersebut pertama kali dianjurkan oleh Sigmund Freud
pada tahun 1909 dengan penjelasannya tentang Little
Hans, sebelumnya freud telah memandang kecemasan
sebagai memiliki dasar fisiologis (Maramis, 2004).
Suatu hierarki kecemasan adalah berhubungan
dengan berbagai tingkat perkembangan. Pada tingkat
yang paling primitif, kecemasan mungkin berhubungan
dengan ketakutan akan penghancurkan atau fusi dengan
orang lain. Pada tingkat perkembangan yang lebih
matur, kecemasan adalah berhubungan yang lebih
matur,

kecemasan

adalah

berhubungan

dengan

perpisahan dari objek yang dicintai. Pada tingkat yang


masih lebih matur, kecemasan adalah berhubungan
dengan hilangnya cinta dari objek yang penting.
Kecemasan kastrasi adalah berhubungan dengan fase

18

oedipal dari perkembangan dan dianggap merupakan


satu tingkat tertinggi dari kecemasan. Kecemasan
superego, ketakutan mengecewakan gagasan dan nilai
sendiri

(didapatkan

dari

orangtua

yang

diinternalisasikan), adalah bentuk kecemasan yang


paling matur (Redayani, 2010).
Sehubungan dengan faktor-faktor psikolgik
yang berperan dalam terjadinya anxietas ada tiga teori
yang berhubungan dengan hal ini, yaitu : teori
psikoanalitik, teori behavorial, dan teori eksistensial.
Menurut teori psiko-analitik terjadinya anxietas ini
adalah akibat dari konflik unconscious yang tidak
terselesaikan. Teori behavior beranggapan bahwa
terjadinya anxietas ini adalah akibat tanggapan yang
salah dan tidak teliti terhadap bahaya. Ketidaktelitian
ini sebagai akibat dari perhatian mereka yang selektif
pada

detil-detil

negative

dalam

kehidupan,

penyimpangan dalam proses informasi, dan pandangan


yang negative terhadap kemampuan pengendalian
dirinya . Teori eksistensial bependapat bahwa terjadinya
anxietas adalah akibat tidakadanya rangsang yang dapat
diidentifikasi secara spesifik. Ketiadaan ini membuat
orang menjadi sadar akan kehampaannya di dalam
d.

kehidupan ini. (Redayani, 2010)


Gambaran Klinis
Anxietas berlebihan sehingga mempengaruhi berbagai aspek

kehidupan pasien.
Ketegangan motorik seperti sakit kepala, kelelahan, dan
bergetar.

19

Hiperaktivitas

autonom

seperti

berkeringat,

palpitasi,

pernafasan pendek, disertai gejala saluran pencernaan (Elvira,

e.

2014).
Kewaspadaan kognitif seperti iritabilitas dan mudahnya pasien
merasa terkejut (Kaplan, 2010).
Kriteria Diagnosis
(a) Menurut PPDGJ-III
Harus menunjukan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa bulan,
tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi
tertentu

saja

(sifatnya

free

floating

atau

mengambang).
Gejala-gejala mencakup :
Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa
seperti diujung tanduk, sulit konsentrasi dan

sebagainya)
Ketegangan

gemetaran, tidak dapat santai) dan


Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan,

motorik

(gelisah,

sakit

kepala,

berkeringat, jantung berdebar, sesak napas, keluhan


lambung,

pusing

kepala,

mulut

kering,

dan

sebagainya)
Pada anak-anak telihat kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan (reassurance) dan keluhan somatik

berulang yang menonjol.


Gejala lain bersifat sementara khususnya depresi
tidak membatalkan diagnosis utama selama tidak
memenuhi kriteria lengkapdari epidode depresi

(Maslim, 2001).
(b) Menurut DSM IV-TR
Kecemasan berlebihan setiap hari selama
sekurangnya 6 bulan tentang aktivitas

atau

pekerjaan.

20

Sulit mengendalikan kekhwatirannya.


Kecemasan disertai tiga atau lebih dari enam
gejala. Catatan : pada anak hanya diperluakan

satu nomor.
1)
Kegelisahan
2)
Mudah lelah
3)
Sulit konsentrasi atau pikiran kosong
4)
Iritabilitas
5)
Ketegangan otot
6)
Gangguan tidur.
Fokus kecemasan tidak terbatas pada gangguan

aksis I.
Kecemasan membuat penderitaan secara klinis atau

fungsi penting lain.


Gangguan yang terjadi bukan efek dari suatu zat
atau kondisi medis (hipertiroidisme) (Elvira, 2014).

f.

Terapi
Farmakoterapi
(a) Benzodizepin
Merupakan pilihan obat pertama. Dimulai
dengan dosis terendah dan tingkatkan mencapai respon
terapi. Untuk mencegah efek yang tidak diinginkan
dengan penggunaan sediaan waktu peruh menengah
dan dosis terbagi. Lama pengobatan 2 sampai 6
minggu, selanjutnya tapering off selama 1 sampai 2
minggu (Elvira, 2014).
(b) Buspiron
Efektif 60-80% pada GAD dan memperbaiki gejala
kognitif pada GAD. Tidak menyebabakan withdrawl.
Kekurangannya yaitu efek klinisnya baru terasa 2
sampai 3 minggu. Dapat diguankan bersama anatara
benzodizepin

dengan

buspiron

lalu

tapering

benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat efek terapi


buspiron sudah mencapai maksimal (Elvira, 2014).

21

(c) Venlanfaksin
Efektif untuk mengobati insomnia, konsentrasi yang
buruk, kegelisahan, iritabilitas dan dan ketegangan otot
yang berlebihan akibat gangguan anxietas menyeluruh
(Kaplan, 2010)
(d) SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor)
Sertraline dan paroxetin merupakan pilihan yang lebih
baik dari fluoxetin. Fluoxetin dapat meningkatkan
anxietas sesaat. SSRI selektif terutama pada GAD
dengan riwayat depresi (Elvira, 2014).
(e) Obat lain.
Obat trisiklik dan tetrasiklik.
Antagonis -adrenergik mengurangi manifestasi
somatik anxietas tapi tidak keadaan mendasari
dan penggunaannya terbatas pada anxietas

situasional seperti ansietas penampilan.


Nefazodon (Serzone) mengurangi ansietas dan
mencegah gangguan panik (Kaplan, 2010)

Psikoterapi
Pendekatan Kogniti dan Perilaku
Pedekatan kognitif secara langsung ditunjukan pada
distorsi kognitif pasien yang didalilkan dan pendekatan
perilaku ditunjukan pada gejala somatik (relaksasi dan

g.

biofeedback).
Terapi suportif
Menawarkan pasien

keamanan

(Kaplan, 2010)
Prognosis
Merupakan keadaan kronis yang

dan

kenyamanan

mungkin berlangsung

seumur hidup. 25% penderita mengalami gangguan panik, juga


mengalami gangguan depresi mayor (Elvira, 2014).
2. Gangguan panic
a. Epidemiologi

22

Prevalensi seumur hidup untuk gangguan panik pada


seseorang adalah 1,5-5 % dan untuk serangan panik

adalah 3 5.6 %.
Sebanyak 3-6 juta orang Amerika menderita gangguan

panic
Banyak terjadi pada umur remaja dan dewasa menuju

umur 40 tahun-an
Jenis Kelamin wanita 2-3 kali lebih sering terkena dari

pada laki-laki
Lebih sering terjadi bersamaan dengan gangguan mood
b. Etiologi
Menurunnya sensitivitas terhadap reseptor 5 HT1A dan

5 HT 2A/2C
Peningkatan aktivitas discharge dari reseptor adrenergik
alfa-2 katekolamin aktivasi aksis HPA/ hipotalamus-

pituitari-adrenal
Meningkatnya aktivitas

metabolik

pada

keadaan

hipersensitivitas batang otak terhadap CO2 (riwayat

sufokasi dan genetik)


Serangan Panik dimediasi oleh eksitasi fear network
yang melibatkan amigdala-hipotalamus serta pusat

simpatis dan hormonal


c. Gejala
Ketakutan kuat
Gejala somatik : palpitasi, berkeringat, sensasi sesak
napas, gemetar, perasaan

tercekik,

nyeri

dada, mual / sakit perut, pusing seperti


akan pingsan, derealisasi /

depersonalisasi,

takut kehilangan kontrol / akan gila, takut mati,

parestesia, flushes
Pasien tidak mampu menyebutkan sumber ketakutanya
Dapat terjadi kebingungan dan kesulitan memusatkan
perhatian

23

Dapat disertai gejala depresi (beresiko terhadap

keinginan bunuh diri)


Serangan pertama sifatnya spontan, tidak diperkirakan

atau tidak memiliki tanda (DSM-IV)


Tanda
Tanda Fisik gangguan otonom : takikardia, palpitasi,
sesak napas, berkeringat
Pemeriksaan Mini Mental Status tidak spesifik.

Biasanya tidak tampak saat interview.


d. Penegakan Diagnosis
Serangan Panik, Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-IV-TR) : pengalaman kecemasan atau
ketidaknyamanan dalam periode diskret dalam keadaan
ketiadaan bahaya yang sebenarnya yang berkembang dan
memuncak dalam 10 menit dan bersamaan dengan empat atau
lebih gejala berikut :
(a) palpitasi, berkeringat, sensasi sesak napas, gemetar,
perasaan tercekik, nyeri

dada, mual / sakit

perut, pusing seperti akan pingsan, derealisasi /


depersonalisasi, takut kehilangan kontrol / akan gila,
takut mati, parestesia, flushes
(b) PPDGJ III, Gangguan Panik ditegakan
diagnosis utama bila tidak ditemukan

sebagai

adanya

gangguan anxietas fobik. Untuk diagnosis pasti :


1)
Pada keadaan dimana sebenarnya secara
2)

obyektif tidak ada bahaya


Tidak terbatas pada situasi yang diketahui atau

3)

dapat diduga sebelumnya


Dengan keadaan relatif dari gejala ansietas pada
periode

diantara

serangan-serangan

panik

(meskipun demikian umumnya dapat terjadi


ansietas

antipsikotik

(terjadi

setelah

24

membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan


akan terjadi)
e. Penatalaksanaan
Farmakoterapi obat anticemas dan depresi :
1) Golongan trisiklik
2) Monoamin oksidase inhibitor
3) SSRI (jika disertai depresi)
Terapi kognitif dan perilaku : instruksi tentang kesalahan
kepercayaan terjadap sesuatu, serangan panik yang tidak
mengancam kehidupan, mengonsentrasikan diri mengatasi
gejala ansietas. Latihan fisik
3. Gangguan fobia
Fobia adalah suatu ketakutan irasional yang jelas, menetap dan
berlebihan terhadap suatu objek spesifik, keadaan atau situasi.
Etiologi
1)
Faktor biologis
Ada 2 hipotesis neurokimiawi tentang jenis fobia penggunaan
2)

antagonis reseptor beta adrenergik.


Faktor genetic
Agorafobia
Dipicu oleh gangguan panik dengan agorafobia adalah
bentuk parah dari gangguan panik. Monozigotik >>

dizigotik
Fobia spesifik
2/3 sampai 3/4 pasien mempunyai sekurangnya satu
sanak keluarga derajat pertama dengan fobia spesifik

dari tipe yang sama.


Fobia sosial
Monozigotik >> dizigotik
Faktor psikososial
Fobia memiliki tempramen inhibisi perilaku
terhadap yang tidak dikenal dengan stress lingkungan
yang kronik.
Contoh : perpisahan orang tua, kkerasan dalam rumah
tangga
25

Perjalanan penyakit
Agorafobia

Fobia spesifik

Dicetuskan

oleh Awitan penyakit pada

gangguan
Bila

Fobia sosial

panik.
gangguan

masa
yatu

anak-anak
untuk

tipe

Awitan penyakit usia anak


atau awal usia remaja
dan cenderung menjad

panik diobati maka

hewan, lingkungan

kronik,

agorafobianya akan

alam,

menunjukkan gangguan

membaik.

Pada dewasa muda

tersebut

berlangsung
mengganggu

darah-luka.

penelitian

Agorafobia

tanpa

adalah untuk fobia

lama,

riwayat

panik

lain

aktivitas sehari-hari.

sering

menjadi

kronis,

adanya

gangguan

depresi

seperti

fobia

situasional.

dan ketergantungan
alkohol
memperberat
perjalanan
agorafobia

Tanda dan Gejala


Agorafobia

Fobia spesifik

Fobia sosial

26

Menghindari
situasi

sulit

Ketakutan

Adanya

ketakutan

yang jelas dan

terhadap

untuk

menetap

atau

mendapatkan

tidak beralasan

orang yang belum dikenal

bantuan

terbatas

pada

atau

objek

atau

memungkinkan ia dinilai

ditemani teman

situasi

yang

orang lain atau menjad

atau

spesifk

Lebih

suka
anggota

keluarga

dan

situasi

tampil

soaial

di

depan

situasi

yang

pusat perhatian

Tipe : hewan,

Merasa takut bahwa ia

ditempat-

lingkungan

akan

tempat tertentu

alam,

memalukan/

darah-

luka

dan

berperilaku

menampakkan

situasional.

kecemasan/ bersikap yang


dapat

merendahkan

dirinya
-

1/3 dari fobia sosial


gangguan depresi berat

Pemeriksaan

mental

didapati

adanya

ketakutan yang irasional


dan

kondisi

ego

situasi.

PEDOMAN DIAGNOSIS FOBIA

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders IV (DSM-IV-TR)
1. Fobia Spesifik

27

thd

Revisi keempat dari Diagnostic and Statistical Manual


of Mental Disorders ( DSM-IV-TR ), menggunakan
istilah fobia spesifik untuk dicocokkan dengan hasil
revisi

kesepuluh

dari

International

Statistical

Classification of Diseases and Related Health


Problems ( ICD-10 ).
DSM-IV-TR 300.29 FOBIA SPESIFIK
A. Ketakutan yang jelas dan menetap yang berlebihan

atau tidak

beralasan, ditandai oleh adanya atau antisipasi dari suatu obyek atau
situasi spesifik (misalnya, naik pesawat terbang, ketinggian, binatang,
mendapat suntikkan, melihat darah).
B.

Pemaparan stimulus fobik hampir selalu mencetuskan respon

kecemasan segera, dapat berupa serangan panik yang berhubungan


dengan situasi atau predisposisi oleh situasi.
Catatan : pada anak-anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan
menangis, tantrum, diam membeku, atau melekat erat menggendong.
C. Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tidak
beralasan .
Catatan : pada anak-anak, gambaran ini mungkin tidak ditemukan
D.

Situasi fobik dihindari atau kalau dihadapi adalah dengan

kecemasan atau dengan penderitaan yang jelas.


E.

Penghindaran, kecemasan antisipasi, atau penderitaan dalam situasi

yang ditakuti secara bermakna mengganggu rutinitas normal, fungsi


pekerjaan (atau akademik), atau aktivitas sosial atau hubungan dengan
orang lain, atau terdapat penderitaan yang jelas karena menderita fobia.
F.

Pada individu yang berusia dibawah 18 tahun, durasi paling sedikit

6 bulan.
G. Kecemasan, serangan panik, atau penghindaran fobik dihubungkan
dengan objek atau situasi spesifik tidak lebih baik dijelaskan oleh
gangguan

mental

lain,

seperti

Gangguan

Obsesif-Kompulsif

28

(misalnya,seseorang takut kotoran dengan obsesi tentang kontaminasi),


Gangguan Stres pascatrauma (misalnya,penghindaran stimulus yang
berhubungan dengan stresor yang berat0, Gangguan Cemas Perpisahan
(misalnya,menghindari sekolah), Fobia Sosial (misalnya,menghindari
situasi sosial karena takut merasa malu), Gangguan Panik dengan
Agorafobia, atau Agorafobia Tanpa Riwayat Gangguan Panik.
Sebutkan tipe :
Tipe Binatang
Tipe Lingkungan Alam (misalanya, ketinggan, badai, air)
Tipe Darah, Injeksi, Cedera
Tipe Situasional (misalnya, pesawat udara, elevator, tempat
tertutup)
Tipe Lainnya (misalnya, ketakutan tersedak, muntah, atau
mengidap penyakit ; pada anak-anak, ketakutan pada suara keras atau
karakter bertopeng).
Dalam tabel ini, kriteria A dan B telah disebutkan
didalam DSM-IV-TR untuk memberikan kemungkinan
jika suatu pajanan terhadap stimuli fobia dapat
mencetuskan

serangan

panik.

Kontras

dengan

gangguan serangan panik, serangan panik pada fobia


spesifik sangat terikat dengan stimuli penyebabnya.
Fobia darah-suntikan-sakit dibedakan dari fobia yang
lain karena didapatkan respon yang berbeda dari fobia
tersebut,

yaitu

hipotensi

yang

disusul

dengan

bradikardi. Penegakan diagnosa fobia spesifik juga


harus difokuskan pada benda yang menjadi stimulus

29

fobia. Berikut di bawah ini adalah contoh fobia spesifik


yakni :
Acrophobia
Agoraphobia
Ailurophobia
Hydrophobia
Claustrophobia
Cynophobia
Mysophobia
Pyrophobia
Xenophobia
Zoophobia
2. Fobia Sosial
Menurut

Takut akan ketinggian


Takut akan tempat terbuka
Takut akan kucing
Takut akan air
Takut akan tempat tertutup
Takut akan anjing
Takut akan kotoran dan kuman
Takut akan api
Takut akan orang yang asing
Takut akan hewan

DSM-IV-TR

untuk

fobia

sosial

dinyatakan bahwa fobia sosial dapat diikuti dengan


serangan panik. DSM-IV-TR juga menyertakan untuk
fobia sosial yang bersifat menyeluruh yang berguna
untuk menentukan terapi, prognosis, dan respon
terhadap terapi. DSM-IV-TR menyingkirkan diagnosa
fobia sosial bila gejala yang timbul merupakan akibat
dari penghindaran sosialisasi karena rasa malu dari
kelainan mental atau non-mental.
DSM-IV-TR Kriteria Diagnostik Fobia Sosial
A. Ketakutan yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial atau
memperlihatkan perilaku dimana orang bertemu dengan orang asing atau
kemungkinan diperiksa oleh orang lain. Ketakutan bahwa ia akan bertindak dengan
cara (atau menunjukkan gejala kecemasan) yang akan menghinakan atau memalukan.
Catatan : pada anak-anak, harus terbukti adanya kemampuan sesuai usianya untuk
melakukan hubungan sosial dengan orang yang telah dikenalnya dan kecemasan hanya
terjadi dalam lingkungan teman sebaya, bukan dalam interaksi dengan orang dewasa.
B.

Pemaparan dengan situasi sosial yang ditakuti hampir selalu mencetuskan

kecemasan, dapat berupa seragan panik yang berhubungan dengan situasi atai

30

dipredisposisi oleh situasi.


Catatan : pada anak-anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan menangism
tantrumm diam membeku, atau bersembunyi dari situasi sosial dengan orang asing.
C.

Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tidak beralasan.

Catatan : pada anak-anak, gambaran ini mungkin tidak ditemukan


D.

Situasi sosial atau memperlihatkan perilaku dihindari atau kalau dihadapi adalah

dengan kecemasan atau dengan penderitaan yang jelas


E.

Penghindaran, kecemasan antisipasi, atau penderitaan dalam situasi yang ditakuti

secara bermakna mengganggu rutinitas normal, fungsi pekerjaan (atau akademik),


atau aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain, atau terdapat penderitaan yang
jelas karena menderita fobia.
F.

Pada individu yang berusia dibawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan.

G.

Kecemasan atau penghindaran fobik bukan karena efek fisiologis langsung dari

zat (misalnya, penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum dan
tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain ( misalnya, Gangguan Panik
Dengan atau Tanpa Agorafobia, Gangguan Cemas Perpisahan, Gangguan Dismorfik
Tubuh, Gangguan Perkembangan Pervasif, atau Gangguan Kepribadian Skizoid).
H.

Jika terdapat suatu kondisi medis umum atau gangguan mental dengannya

misalnya takut adalah bukan gagap, gemetar pada penyakit Parkinson, atau
memperlihatkan perilaku makan abnormal pada Anoreksia Nervosa atau Bulimia
Nervosa.
Sebutkan Jika :
Menyeluruh : jika ketakutan termasuk situasi yang paling sosial (juga pertimbangkan
diagnosis tambahan Gangguan Kepribadian Menghindar)

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan


Jiwa III (PPDGJ)
1. Agorafobia
Semua kriteria ini harus dipenuhi untuk :

31

Gejala

psikologis/otonomik

yang

timbul

harus

merupakan manifestasi primer dari anxietas dan bukan


merupakan gejala lain yang sekunder seperti waham

atau pikiran obsesif.


Anxietas yang timbul harus terutama terjadi dalam

sekurang-kurangnya dua dari situasi berikut :


o Banyak orang
o Tempat-tempat umum
o Bepergian keluar rumah
o Bepergian sendiri
Menghindari situasi fobik harus/sudah merupakan
gambaran yang menonjol.
2. Fobia Khas (Terisolasi)
Semua kriteria yang dibawah ini untuk diagnosis :
(a) Gejala psikologis atau otonomik harus merupakan
manifestasi primer dari anxietas, dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti waham atau
pikiran obsesif.
(b) Anxietas harus terbatas pada adanya objek situasi
fobik tertentu.
(c) Situasi fobik

tersebut

sedapat

mungkin

dihindarinya.
3. Fobia Sosial
Semua kriteria di bawah

ini harus dipenuhi untuk

suatu diagnosis pasti:


(a) Gejala-gejala psikologis, perilaku /otonomik
harus merupakan manifestasi primer dari
anxietas dan bukan sekundari gejala lain seperti
waham / pikiran obsesif
(b) Anxietas harus hanya terbatas / menonjol pada
situasi sosial tertentu saja
(c) Penghindaran dari situasi

fobik

harus

merupakan gambaran yang menonjol


PENATALAKSANAAN FOBIA
32

Terdapat beberapa macam bentuk terapi, yakni terapi perilaku,


psikoterapi dan berbagai modalitas terapi lainnya.
(a) Terapi Perilaku
Salah satu terapi yang paling sering digunakan dan dipelajari
adalah terapi perilaku. Kesuksesan terapi ini bergantung pada :
komitmen pasien dengan terapi
permasalahan dan tujuan terapi yang jelas
berbagai strategi yang dapat digunakan untuk
menangani masalah.
Terapi perilaku yang sering digunakan adalah desensitisasi
sistematis, dimana pasien dipajankan dengan stimuli yang berkekuatan
menimbulkan cemas yang paling rendah hingga yang paling kuat.
Dengan penggunaan obat-obat antianxietas, hipnosis, dan instruksi
relaksasi otot, pasien diajarkan untuk membentuk suatu mekanisme
respon yang baru terhadap stimuli tersebut. Selain itu, terdapat terapi
perilaku yang lain yakni image flooding, dimana pasien dipajankan
dengan gambar-gambar stimulus cemas sampai pada masa dimana
pasien tidak merasakan cemas lagi.
(b) Psikoterapi
Dahulu psikiater-psikiater percaya bahwa psikoterapi
merupakan terapi yang terutama, namun dengan seiring
berjalannya waktu, psikiater dihadapkan pada kenyataan
bahwa psikoterapi tidak mengurangi kecemasan yang timbul
dari respon pasien terhadap stimulus tersebut. Kemudian para
psikiater berinisiatif untuk menghimbau pasien menghadapi
sumber-sumber kecemasannya.
(c) Terapi Lainnya
Hipnosis, terapi suportif, dan terapi keluarga berguna
pada terapi gangguan fobia. Hipnosis digunakan untuk
meningkatkan sugesti dari terapis bahwa objek fobik tidaklah
berbahaya, dan teknik hipnosis diri diajarkan pada pasien

33

sebagai metode relaksasi jika berhadapan dengan objek fobik.


Psikoterapi suportif dan terapi keluarga berguna dalam
membantu pasien secara aktif menghadapi objek fobik selama
pengobatan. Obat-obatan seperti antagonis reseptor -2
adrenergik dapat berguna pada pasien dengan fobia spesifik,
benzodiazepine, psikoterapi, atau terapi kombinasi dapat
digunakan pada kasus fobia spesifik. Pasien dengan fobia
sosial, psikoterapi dan farmakoterapi berguna untuk menangani
gangguan fobia sosial. Menggabungkan kedua bentuk terapi
diduga meningkatkan efektivitas terapi. Obat-obatan yang
dapat digunakan pada fobia sosial berupa :
o Selective Serotonin Reuptake Inhibitor
o Benzodiazepine
o Venlafaxine
o Buspirone
4. Gangguan campuran anxietas dan depresi
a. Definisi
Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana
masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang
cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk
anxietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun
tidak terus-menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran
berlebihan. Kecemasan adalah keadaan individu atau kelompok
mengalami perasaan gelisah (penilaian atau opini) dan aktivitas
sistem saraf autonom dalam berespons terhadap ancaman yang
tidak jelas, nonspesifik. Kecemasan merupakan unsur kejiwaan
yang menggambarkan perasaan, keadaan emosional yang
dimiliki seseorang pada saat menghadapi kenyataan atau
kejadian dalam hidupnya. Gangguan depresif merupakan suatu
masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dengan gejala penyerta termasuk
perubahan pola tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,

34

anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tak berdaya dan gagasan


b.

bunuh diri (Tom, 2000).


Epidemiologi
Keberadaan ganggguan depresif berat dan gangguan
panik secara bersamaan lazim ditemukan. Dua pertiga pasien
dengan gejala depresif memiliki gejala ansietas yang menonjol,
dan dua pertiganya dapat memenuhi kriteria diagnostik
ganguan panik. Peneliti telah melaporkan bahwa 20 sampai 90
persen pasien dengan ganggguan panik memiliki episode
gangguan depresif berat. Data ini mengesankan bahwa
keberadaan gejala depresif dan ansietas secara bersamaan,
tidak ada di antaranya yang memenuhi kriteria diagnostik
gangguan depresif atau ansietas lain dapat lazim ditemukan.
Meskipun

demikian,

sejunlah

klinisi

dan

peneliti

memperkirakan bahwa pravelensi gangguan ini pada populasi


umum adalah 10 persen dan di klinik pelayanan primer sampai
tertinggi

50

persen,

walaupun

perkiraan

konservatif

mengesankanpravelensi sekitar 1 persen pada populasi umum


c.

(Tom, 2000).
Etiologi
Empat garis bukti penting mengesankan bahwa gejala
ansietas dan gejala depresif terkait secara kausal pada sejumlah
pasien yang mengalamigejala ini. Pertama , sejumlah peneliti
melaporkan temuan neuroendokrin yang serupa pada gangguan
depresif dan ansietas, terutama gangguan panik, termasuk
menumpulnya respons kortisol terhadap hormon adenokort,
kotropik, respon hormon pertumbuhan yang tumpul terhadap
klonidin ( Catapres), dan respon TSH (thyroid stimulating
hormone)

serta

prolaktin

yang

tumpulterhadap

TRH

(thyrotropin-relasing hormone). Kedua, sejumlah peneliti


melaporkan data yang menunjukkan bahwa hiperkatifitas

35

sistem noradrenergik sebagai penyebab relevan pada sejumlah


pasien dengan gangguan depresif dan gangguan ansietas.
Secara rinci, studi ini telah menemukan adanya konsentrasi
metabolit

norepnefrin

3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol

(MHPG) yang meningkat didalam urin, plasma, atau cairan


serebro spinal (LCS) pada pasien dengan serangan panik.
Seperti pada gangguan ansietas dan gangguan depresif lain,
serotonin dan asam -aminobutirat (GABA) juga mungkin
terlibat sebagaipenyebab di dalam gangguan campuran depresif
ansietas. Ketiga, banya studi menemukan bahwa obat
serotonergik, seperti fluoxetine (Prozac) dan clomipramine
(Anafranil), berguna dalam terapi gangguan depresif dan
ansietas. Keempat, sejumlah studi keluarga melaporkan data
yang

menunjukkanbahwa

gejala

ansietas

dan

depresif

berhubungan pada secara genetik sedikitnya pada beberapa


d.

keluarga (Maslim, 2001).


Manifestasi Klinis
Gambaran klinis

bervariasi,

diagnosis

Gangguan

Anxietas Menyeluruh ditegakkan apabila dijumpai gejalagejala antara lain keluhan cemas, khawatir, was-was, ragu
untuk bertindak, perasaan takut yang berlebihan, gelisah pada
hal-hal yang sepele dan tidak utama yang mana perasaan
tersebut mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya, sehingga
pertimbangan akal sehat, perasaan dan perilaku terpengaruh.
Selain itu spesifik untuk Gangguan Anxietas Menyeluruh
adalah kecemasanya terjadi kronis secara terus-menerus
mencakup situasi hidup (cemas akan terjadi kecelakaan,
kesulitan finansial), cemas akan terjadinya bahaya, cemas
kehilangan

kontrol,

cemas

akan`mendapatkan

serangan

jantung. Sering penderita tidak sabar, mudah marah, sulit tidur


(Maslim, 2001).
36

Untuk lebih jelasnya gejala-gejala umum ansietas dapat dilihat


pada tabel di bawah:
Ketegangan Motorik

1. Kedutan otot/ rasa gemetar


2. Otot tegang/kaku/pegal
3. Tidak bisa diam
4. Mudah menjadi lelah

Hiperaktivitas Otonomik

5. Nafas pendek/terasa berat


6. Jantung berdebar-debar
7. Telapak tangan basah/dingin
8. Mulut kering
9. Kepala pusing/rasa melayang
10. Mual, mencret, perut tak enak
11. Muka panas/ badan menggigil
12. Buang air kecil lebih sering

37

Kewaspadaan berlebihan dan 13. Perasaan jadi peka/mudah ngilu


Penangkapan berkurang

14. Mudah terkejut/kaget


15. Sulit konsentrasi pikiran
16. Sukar tidur
17. Mudah tersinggung

Sedangkan untuk gangguan depresif ditandai dengan suatu


mood depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan
mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja)
dan menurunnya aktivitas merupakan tiga gejala utama
depresi:
Gejala utama :
1) Afek depresi
2) Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya
keadaan mudah lelah ( rasa lelah yang nyata sesudah
kerja yang sedikit) dan menurunnya aktifitas.
Gejala lainnya dapat berupa :
1)
2)
3)
4)
5)

Konsentrasi dan perhatian berkurang


Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh

diri
6) Tidur terganggu
7) Nafsu makan berkurang.
Gejala-gejala diatas dialami oleh pasien hampir setiap hari dan
di nilai berdasarkan ungkapan pribadi atau hasil pengamatan
orang lain misalnya keluarga pasien (Kaplan, 2010).
e.

Diagnosis
Kriteria DSM-IV-TR mengharuskan adanya gejala
subsindrom ansietas dan depresi serta adanya beberapa gejala

38

somatik, seperti tremor, palpitasi, mulut kering, dan rasa perut


yang bergejolak. Sejumlah studi pendahuluan menunjukkan
bahwa sensitivitas dokter umum untuk sindrom gangguan
campuran ansietas depresi masih rendah walaupun kurangnya
pengenalan

ini

dapat

mencerminkan

kurangnya

label

diagnostik yang sesuai bagi pasien (Kaplan, 2010).


Kriteria DSM-IV-TR

Gangguan

Campuran Ansietas

Depresif
Mood disforik yang berulang atau menetap dan bertahan sedikitnya 1 bulan
Mood disforik disertai empat (atau lebih) gejala berikut selama sedikitnya 1 bulan :
1.
Kesulitan berkonsentrasi atau pikiran kosong
2.

Gangguan tidur (sulit untuk jatuh tertidur atau tetap tidur atau gelisahm tidur tidak

puas)
3.

Lelah atau energi rendah

4.

Iritabilitas

5.

Khawatir

6.

Mudah nangis

7.

Hipervigilance

8.

Antisipasi hal terburuk

9.

Tidak ada harapan (pesimis yang menetap akan masa depan)

10.
Harga diri yang rendah atau rasa tidak berharga
Gejala menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya dalam area
fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi penting lain.
Gejala tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (cth. Penyalahguanaan obat atau
pengobatan) atau keadaan medis umum
Semua hal berikut ini :
1.

Kriteria tidak pernah memenuhi gangguan depresif berat, gangguan distimik;

gangguan panik, atau gangguan ansietas menyeluruh


2.

Kriteria saat ini tidak memenuhi gangguan mood atau ansietas lain (termasuk

gangguan ansietas atau gangguan mood, dalam remisi parsial)


3.

Gejala tidak lebih mungkin disebabkan gangguan jiwa lain.


Pedoman diagnostik menurut PPDGJ-III
39

1) Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana


masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala
yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis
tersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala otonomik
harus

ditemukan

walaupun

tidak

terus-menerus,

disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.


2) Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang
lebih ringan, harus dipertimbangkan kategori gangguan
anxietas lainnya atau gangguan anxietas fobik.
3) Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang
cukup

berat

untuk

menegakkan

masing-masing

diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut dikemukakan,


dan

diagnosis

gangguan

campuran

tidak

dapat

digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat


dikemukakan satu diagnosis maka gangguan depresif
harus diutamakan.
4) Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stres
kehidupan yang jelas, maka harus digunakan kategori
F43.2 gangguan penyesuaian.
f.

Penatalaksanaan
Non-farmakologi
1) Konseling dan edukasi pada pasien dan keluarga
Karena gangguan campuran cemas depresi
dapat mengganggu produktivitas pasien, keluarga perlu
memahami bahwa hal ini bukan karena pasien malas
atau tidak mau mengerjakan tugasnya, melainkan
karena gejala-gejala penyakitnya itu sendiri, antara lain
mudah lelah serta hilang energi. Oleh sebab itu,
keluarga perlu memberikan dukungan agar pasien
mampu dan dapat mengatasi gejala penyakitnya.
Gangguan campuran anxietas dan depresi
kadang-kadang memerlukan pengobatan yang cukup

40

lama, diperlukan dukungan keluarga untuk memantau


agar pasien melaksanakan pengobatan dengan benar,
termasuk minum obat setiap hari.
2) Intervensi Psikososial
Lakukan penentraman (reassurance)

dalam

komunikasi terapeutik, dorong pasien untuk


mengekspresikan

pikiran

perasaan

tentang

gejala dan riwayat gejala.


Beri penjelasan adanya pengaruh antara faktor
fisik dan psikologis, termasuk bagaimana faktor
perilaku, psikologik dan emosi berpengaruh
mengeksaserbasi

gejala

somatik

yang

mempunyai dasar fisiologik.


Bicarakan dan sepakati rencana pengobatan dan
follow-up,bagaimana menghadapi gejala, dan

dorong untuk kembali ke aktivitas normal.


Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas dalam)
Anjurkan untuk berolah raga teratur atau
melakukan

aktivitas

yang

disenangi

serta

menerapkan perilaku hidup sehat.


Ajarkan untuk selalu berpikir positif dan

manajemen stres dengan baik.


Farmakologi:
1) Untuk gejala kecemasan maupun depresinya, diberikan
antidepresan dosis rendah, dapat dinaikkan apabila
tidak ada perubahan yang signifikan setelah 2-3 minggu
fluoksetin 1x10-20 mg/hari atau sertralin 1x25-50
mg/hari atau amitriptilin 1x12,5-50 mg/hari atau
imipramin1-2x10-25 mg/hari.
Catatan: amitriptilin dan imipramin tidak boleh
diberikan pada pasien dengan penyakit jantung, dan
pemberian berhati-hati untuk pasien lansia karena efek

41

hipotensi ortostastik (dimulai dengan dosis minimal


efektif).
2) Pada pasien dengan gejala kecemasan yang lebih
dominan dan atau dengan gejala insomnia dapat
diberikan kombinasi Fluoksetin atau sertralin dengan
antianxietas benzodiazepin. Obat obatan antianxietas
jenis benzodiazepin yaitu: diazepam 1 x 2-5 mg atau
lorazepam 1-2x 0,5-1 mg atau klobazam 2 x 5-10 mg
atau alprazolam 2 x 0,25-0,5 mg. Setelah kira-kira 2-4
minggu

benzodiazepin ditappering-off

perlahan,

sementara antidepresan diteruskan hingga 4-6 bulan


g.

sebelum di tappering-off.
Prognosis
Pada umumnya prognosis gangguan ini adalah bonam.

5. Gangguan PTSD
a. Definisi
PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder adalah
Gangguan kejiwaan pada seseorang yang dialami dan
berkembang setelah pengalaman traumatik, atau menyaksikan
suatu kejadian yang mengancam jiwa, mencederai luka, atau
ancaman terhadap integritas dari tubuh, biasanya diiringi
dengan

ketidakmampuan

seseorang

untuk

beradaptasi.

Pengertian lain dari PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)


adalah kecemasan patologis yang umumnya terjadi setelah
seseorang mengalami atau menyaksikan trauma berat yang
mengancam secara fisik dan jiwa orang tersebut. Pengalaman
traumatik ini dapat berupa:
1)
Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana
alam

(gempa

bumi,

banjir,

topan),

kecelakan,

kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh diri,


kematian

anggota

keluarga

atau

sahabat

secara

mendadak.
42

2)

Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari


interperpersonal

attack

seperti:

korban

dari

penyimpangan atau pelecehan seksual, penyerangan


atau penyiksaan fisik, peristiwa kriminal (perampokan
dengan kekerasan), penculikan, menyaksikan perisiwa
3)

penembakan atau tertembak oleh orang lain.


Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik
bersenjata seperti: tentara yang mengalami kondisi
perang, warga sipil yang menjadi korban perang atau
yang diserang, korban terorisme atau pengeboman,
korban penyiksaan (tawanan perang), sandera, orang

4)

yang menyaksikan atau mengalami kekerasan.


Trauma yang disebabkan oleh penyakit berat yang
diderita individu seperti kanker, rheumatoid arthritis,
jantung, diabetes, renal failure, multiple sclerosis, AIDS
dan penyakit lain yang mengancam jiwa penderitanya

b.

(Hibbert, 2009).
Faktor Resiko PTSD
1)
Jenis kelamin perempuan, 2 hingga 4 kali lipat
dibandingkan pada laki-laki meskipun laki-laki lebih
2)

cenderung mengalami kejadian traumatik.


Gangguan jiwa sebelumnya (preexisting

anxiety

disorder atau preexisting major depression) beresiko 2


kali lipat dibandingkan mereka yang tidak mengalami
3)

gangguan jiwa.
Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada

4)

individu yang bersangkutaan maupun keluarganya.


Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik

5)

maupun seksual.
Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau

6)

antisosial.
Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi
sosial; adanya problem menyesuaikan diri.

43

7)

Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi

8)

secara bermakna.
Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang
luar biasa sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan
dirasakan secara subjektif oleh suatu kondisi atau
peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya

c.

(Hibbert, 2009).
Epidemiologi
Pada Studi community-based yang dilakukan di AS
mendokumentasikan prevalensi seumur hidup pada PTSD
sekitar 8% dari populasi orang dewasa. Menurut National
Comorbidity Survey Replication gambaran ini sekitar 6,8 %.
Kejadian PTSD muncul paling tinggi terutama pada orang
yang mengalami trauma (muncul pada 1/3 hingga dari
mereka yang mengalami pemerkosaan, perang, penculikan,
pengasingan dengan alasan politik, dan genosida.
Studi epidemiologi menunjukkan PTSD seringkali
kronik, dengan jumlah orang yang secara signifikan bergejala
beberapa tahun setelah kejadian awal. Untuk menegaskan
pandangan ini, data epidemiologis menunjukkan frekuensi.
Sebagai contohnya,studi dari the National Vietnam Veterans
Readjustment menemukkan prefalensi seumur hidup, 30,9%
hingga 15,2 % pada pria dan 26,9% hingga 8,5% pada
perempuan. Pada populasi korban perkosaan, illpatrick dan
colleagues menemukan prevalensi seumur hidup 75,8% dan
prevalensi 39,4%. Pada studi oleh Pynoos and associates pada
anak-anak menunjukkan tingkat prevalensi 58,4% pada anakanak yang mendapat serangan sniper di AS dan 70,2% pada
mereka yang terkena gempa bumi di Armenia. Kessler and
colleagues

mendokumentasikan

1/3

dari

mereka

yang

44

terdiagnosis PTSD gagal sembuh setelah beberapa tahun


(Hibbert, 2009).
Epidemiologi

dari

PTSD

berdasarkan

studi

Community-based epidemiological menunjukkan 70% dari


individu yang mengalami trauma, yang dipengaruhi oleh
kejadian traumatik, faktor predisposisi dan faktor lingkungan
peritraumatik dalam memahami etiologi dari PTSD, terutama
pada gangguan interaksi dari 3 grup faktor. Perkembangan dari
PTSD berhubungan dengan kejadian yang dialami pasien, yang
secara konsisten memiliki keterkaitan erat dengan stress yang
dialami dan resiko perkembangan PTSD. Keterkaitan ini
terdapat pada populasi orang yang mengalami trauma.
Respon kognitif dan afektif juga penting dalam
menentukkan PTSD yang dikembangkan. Kejadian traumatik
didefinisikan dengan kejadian yang melibatkan pengalaman
atau menyaksikan kejadian nyata yang mengancam jiwa,
cedera berat, atau mengatahui kematian yang mengenaskan
yang melibatkan ketakutan yang mendalam, ketidakberdayaan,
atau kejadian mengerikan.
1)
Psikodinamika
Ego klien telah mengalami trauma berat, sering
dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik
atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat
yang

tidak

dapat

dikendalikan

oleh

ego

dan

dimanifestasikan dalam bentuk perilaku simtomatik.


Karena

ego

menghukum

menjadi
dan

rentan,

menyebabkan

superego
individu

dapat
merasa

bersalah terhadap kejadian traumatik tersebut. dapat


menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsif tidak
2)

terkendali.
Biologis

45

Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma


timbul sebagai akibat dari respons biologik dan juga
psikologik seseorang individu. Kondisi ini terjadi oleh
karena aktivitasi dari beberapa sistem di otak yang
berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada
seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang
traumatik akan menimbulkan respons takut sehingga
otak

dengan

sendirinya

akan

keberbahayaan

peristiwa

yang

menilai
dialami,

kondisi
serta

mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai.


Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang
sangat berperan besar. Amigdqala akan mengaktivasi
beberapaq

neurotransmitter

serta

bahan-bahan

neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi


peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai
respons tubuh untuk mengahdapi peristiwa tersebut.
Dalamwaktu beberapa milidetik setelah mengalami
peristiwa tersebut, amigdala dengan segera akan
bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda

darurat kepada:
Sistem saraf simpatis (katekolamin)
Sistem saraf parasimpatis
Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis
HPA)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis

segera setelah mengalami peristiwa traumatik, maka akan


terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Kondisi
ini disebutflight or fight reaction. Reaksi ini juga akan
meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot
skletal

sehingga

membuat

seseorang

sanggup

untuk

berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin


46

memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal.


Reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh,
namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan
dengan respons yang berkaitan oleh sistem saraf simpatis.
Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida
otak pada waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik.
Hipotalamus akan mengeluarkan

Cortico-Releasing Factor

(CFR) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga


kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran
adenocorticotropic

hormone

(ACTH)

yang

akhirnya

menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar


adrenal (Hibbert, 2009).
Jika seseorang mengalami tekanan maka tubuh secara
alamiah akan meningkatkan pengeluaran katekolamin dan
hormon kortisol; pengeluaran ke dua zat ini tergantung pada
derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin
berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa
organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut.
Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem
saraf simpatik dan beberapa sistem tubuh yang bersifat
defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang
dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon
kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh
dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan
menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA
tersebut.
Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu
yang cenderung untuk mengalami gangguan dalam regulasi
neuropeptida dan juga katekolamin di otak pada waktu
menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang meningkat

47

ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga


terus menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan
proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan
kondisi

ini

dikaitkan

dengan

terjadinya

konsolidasi

berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang


dialami (Hibbert, 2009).
Dari hasil penelitian, abnormalitas dalam penyimpanan,
pelepasan, dan eliminasi katekolamin yang memengaruhi
fungsi otak di daerah lokus seruleus, amigdala dan
hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus seruleus dapat
menyebabkan seseorang tidak dapat belajar. Amigdala sebagai
penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan koheren
naratif serta lokasi waktu dan ruang. Hiperaktivitas dalam
amigdala dapat menghambat otak membuat hubungan perasaan
dalam memorinya sehingga menyebabkan memori disimpan
dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik
lain (Hibbert, 2009).

d.

Etiologi
1)
Faktor Biologi
Pasien dengan
peningkatan

PTSD

norepinephrine

kronis
di

mengalami

sirkulasi

dan

peningkatan reaktifitas alpha-2-adrenergic receptors.


Perubahan ini dihipotesiskan sesuai gejala somatik
yang muncul pada individu dengan PTSD. Studi
neuroanatomi mengaitkan perubahan pada amygdala
dan hippocampus pada pasien dengan PTSD, MRI
fungsional dan positron-emmision tomography yang
menunjukkan peningkatan pada aktifitas amygdala dan
48

anterior

paralimbic

region

ke

stimulus

yang

berhubungan dengan trauma. Maka, sebagai respon


yang beerhubungan dengan trauma, terjadi penurunan
reaktifitas dari anterior cingulate dan orbitofontal
areas. Perubahan biologis ini menunjukkan gejala
neuroanatomical substrate untuk gejala yang termasuk
karakteristik dari PTSD (intrusive recollections dan
gangguan kognitif lainnya). Bagaimanapun tidak
diketahui

perubahan

sebelumnya

sebagai

hasil

terpaparnya trauma atau karena menderita PTSD


(Hibbert, 2009).
Sympathetic Nervous System Alterations.
Terdapat assosiasi positif antar diagnosis PTSD
dan akitivitas cardiovascular, terutama individu yang
telah didiagnosis PTSD dengan nadi yang tinggi pada
saat istirahat yang berkaitan dengan individu yang
terpapar trauma tanpa diagnosis PTSD dan kontrol
yang tidak terpapar trauma, hal ini menunjukkan studi
dengan sampel PSTD kronis terdapat peningkatan urin
cathecolamine 24 jam, selain itu terdapat peningkatan
aktivitas simpatis. Terdapat demonstrasi berulang
terhadap peninggian sympathetic arousal pada pasien
dengan PTSD yang direkonstruksi ulang saat trauma
(Hibbert, 2009).
Meskipun kondisi ini dapat dijelaskan dengan
keterkaitan trauma dengan respon fisiologis yang
meningkat pada pasien dengan PTSD, namun tidak
menjelaskan individu yang mengalami seseorang
individu dapat mengalami perkembangan PTSD,
sementara

individu

yang

lain

tidak.

Dapat

dihipotesiskan terdapat perbedaan suskeptibilitas untuk

49

membentuk

PTSD

pada

masing-masing

variasi

individu dibandingkan dengan individu lain, maka


individu yang mengalami kejadian traumatik lebih
sering mengalami PTSD (Hibbert, 2009).
Terdapat disfungsi otak pada individu dengan
PTSD, dimana terdapat pembangkitan potensial yang
abnormal. Pada ERP dapat menggagaskan pasien
dengan PTSD mengalami penghambatan kortikal pada
stimulus dengan intensitas tinggi, gangguan pada
memori

dan

konsentrasi,

defisit

auditorik

dan

peningkatan perhatian pada stimulus yang berkaitan


dengan trauma (Hibbert, 2009).
Respon psychophsiological pada pemaparan
trauma yang akut dapat memprediksi perkembangan
PTSD,

individu

yang

selamat

setelah

kejadian

traumatik mengalami peningkatan nadi selama 1


2)

minggi (Hibbert, 2009).


Faktor Neuroendokrin
Pada individu yang mengalami PTSD terjadi
upaya untuk mempertahankan homeostasis, terjadi
perubahan endogen, stress-responsive neurohormon,
seperti

cortisol,

vasopressin,

epinephrine,

oxytocin,

pada

stress

norepinephrine,
awal

terjadi

perubahan The hypothalamic-pituitary-adrenal yaitu


hypothalamic dan extrahypothalamic corticotropinreleasing

hormon,

monoaminergic,

dan

gamma-

amniobutyric acid/ benzodiazepine systems, stress juga


menunjukkan perubahan struktural dan fungsional pada
otak seperti depresi, dari data terlihat kelainan terutama
pada The hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis
secara ekstensif dipelajari dalam sistem neuroendokrin

50

pada pasien dengan PTSD. Penemuan penting yaitu:


berkurangnya

ekskresi

cortisol

urin

24

jam,

supersuppresion pada cortisol setelah pemberian lowdose

dexamethasone,

menumpulnya

respon

corticotropin pada corticotropin releasing-hormone dan


peningkatan

reseptor

menunjukkan

glukokortikoid,

PTSD

kronis

hal

ini

diikuti

oleh

supersuppresion pada emergency HPA response pada


stress akut. Hal ini dapat terjadi karena proteksi diri
individu pada toksisitas tingginya corticosteroid yang
muncul

pada

pemaparan

mengingatkannya

terhadap

berulang
trauma.

stress

yang

Selain

itu

perubahan aksis HPA terhadap perubahan reseptor


glukokortikoid berkaitan dengan beratnya gejala PTSD,
tetapi tidak dengan less specific anxiety dan depressive
symptoms, pada penelitian dengan sampel veteran AS
perang

vietnam

yang

bertarung

langsung

yang

mengalami PTSD memiliki cortisol yang lebih rendah


dibandingkan veteran AS perang Vietnam yang tidak
bertarung langsung yang mengalami PTSD .
Jadi faktor neuroendokrin pada

PTSD

menunjukkan abnormalitas yang spesifik, dibandingkan


gangguan jiwa lainnya, pada pasien dengan PTSD
menunjukkan negative feedback inhibiton dengan
berlebihannya respon cortisol terhadap dexamethasone,
disertai peningkatan reseptor glukokortikoid dan
cortisol basal, penemuan ini kontras terhadap pasien
dengan depresi mayor yaitu wanita dengan childhood
abuse dengan didiagnosis current major depression
menunjukkan 6 kali lipat respon adrenocorticotropic

51

hormone terhadap stress terjadi penumpulan respon


cortisol terhadap dexamethasone disertai pengurangan
jumlah reseptor glukokortikoid dan cortisol basal pada
studi biologi longitudinal terdapat penurunan kortisol
15 g/dL hingga ke 30 g/dL, selain itu efek ini juga
3)

dipengaruhi fight-or-flight reactions (Mansjoer, 2008).


Faktor Struktural dan Fungsional Pada Otak
Pada pemeriksaan MRI bila ditemukan white
matter lesion dan penurunan volume hippocampal,
abnormalitas ini menunjukkan kerentanan pretrauma
untuk berkembang menjadi PTSD bila mendapat
pengalaman traumatik, pada PET scan bila terlihat
peningkatan aktivitas metabolik hanya di bagian
hemisfer kanan saja, yang secara spesifik, pada area
emosi yaitu: amygdala, insula, dan lobus temporal
medial, selama pemaparan kejadian traumatik terjadi
juga penurunan aktivasi area frontal inferior-Broca,
yang

mempengaruhi

motor

speech,

dapat

pula

ditemukan aktivasi pada cingulate cortex pada respon


trauma related stimuli, pada individu PTSD. Pada
proyeksi amygdala ke reticularis pontis caudalis
mempengaruhi respon terkejut, rasa takut, bahaya dan
ancaman, amygdala diaktivasi dengan respon ekspresi
wajah terhadap rasa takut, dibandingkan dengan
neutral, gembira, atau ekspresi wajah lain, peranan
hippocampus

pada

PTSD

menunjukkan

fungsi

declarative memory, context dependent memory, terjadi


penurunan volume hippocampus pada pasien PTSD dan
depresi, diperkirakan karena pengalaman negative,
emosi ekstrim dan reaksi biologi yang mengingatkan
mereka

pada

trauma,

sehingga

individu

yang
52

mengalami

kerusakan

hippocamus,

cenderung

menunjukkan perubahan perilaku yang tidak sesuai


konteks. Pada individu dengan PTSD terjadi penurunan
kemampuan

aktivasi

Anterior

Cingulate

Cortex

sehingga terjadi penurunan kemampuan mengerjakan


tugas kognitif dan penguasaan emosi, pada inidividu
dengan PTSD dapat terjadi penurunan aliran darah ke
otak sehingga terjadi perubahan struktur pada left
inferior prefrontal cortex atau Broca area dan
dorsolateral prefreontal cortex, juga terjadi penurunan
akitvasi thalamus, medial frontal gyrus (Brodmanns
area), berbeda pada perempuan dengan childabuse
menunjukkan peningkatan aliran darah pada anterior
prefrontal cortex, pada pasien dengan PTSD terjadi
penurunan aktivasi pada dorsolateral frontal cortex
sehingga pasien dengan PTSD kembali mengingat
trauma dengan kesadaran yang terbatas, sehingga
hanya mengingat sebagian unsur trauma, selain itu
ditemukan juga hemispheric lateralization pada pasien
dengan PTSD yang terpapar memori negatif, pada
bagian hemisfer kanan mengembangkan terlebih
dahulu dibandingkan hemisfer kiri, yang melibatkan
ekspresi emosi nonverbal yaitu intonasi, ekspresi
wajah, komunikasi visual atau spasial, dengan kata lain
hemisfer kanan khusus mempengaruhi emosi, yang
berlawanan dengan hemisfer kiri yang memediasi
komunikasi verbal dan mengorganisasi penyelesaian
masalah, pada (gambar 1.) dapat dilihat peranan
neurotransmitter pada respon fight or flight pada
pengaktifan HPA terjadi peningkatan cortisol, tingginya

53

tingkat

cortisol

diasosiasikan

dengan

kerusakan

hippocampus dan mengubah fungsi hippocampus yang


berperan dalam gejala PTSD. Pada (gambar 2.) dapat
dilihat peranan serotonin pada respon fight or flight
melalui komunikasi secara langsung dengan limbik dan
struktur kortikal terjadi peningkatan cortisol, tingginya
tingkat

cortisol

diasosiasikan

dengan

kerusakan

hippocampus dan mengubah fungsi hippocampus yang


berperan dalam gejala PTSD, kejadian trauma dapat
menyebabkan

otak

gagal

memproses

informasi,

memori episodik menetap di sistem limbik, yang


menghasilkan gambaran kejadian traumatic (Mansjoer,
2008).

Gambar 1. Sirkuit dari noradrenergic pada respon


trauma, respon akut: fight or flight, rasa takut,
konsolidasi

memori,

gejala

ASD/

PTSD:

54

hypervigilience, arousal, fear, startle, flashback,


intrusive recollection
Locus coeruleus: pigmented

area

pada

regio

rostrolateral pontine dari fourth ventricle floor dan


memanjang hingga mesencephalon pada lateral portion
dari periaqueductal gray substance; cell dari nukleus
yang mengandung melanin.

Gambar 2. Jalur serotonergic pada traumatic stress


response. Respon akut: fight or flight, kemarahan,
melemahkan rasa takut, ASD/ PTSD; yang berkaitan
dengan gejala aggression/violence, anger, impulsivity,
anxiety, depression (Mansjoer, 2008).
e.

Gejala
Klien dengan PTSD dapat saja tidak menunjukkan
gejala-gejala khas PTSD secara kontinu dan dalam kurun
waktu yang tentu. Gejala dapat timbul sewaktu-waktu
bergantung pada stimuli yang diterima klien. Gejala PTSD,
meskipun tidak spesifik, meliputi indikasi yang khas. Terdapat
tiga tipe gejala, flight, fight, dan freeze. Ansietas dan
55

penghindaran merupakan gejala flight. Meningkatnya amarah


dan perilaku kekerasan merupakan gelaja fight, sedangkan
kekebasan, disasosiasi, dan alterasi dalam persepsi diri
merupakan karakteristik freeze (APA, 2000). Tiga tipe gejala
yang sering terjadi pada PTSD adalah:
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan:
selalu
teringat
akan
peristiwa
yang

menyedihkan yang telah dialami


flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang

menyedihkan terulang kembali)


nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-

kejadian yang membuatnya sedih)


reaksi emosional dan fisik yang berlebihan
karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa

yang menyedihkan.
2. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan
dengan:
menghindari

aktivitas,

tempat,

berpikir,

merasakan, atau percakapan yang berhubungan


dengan trauma.
kehilangan minat terhadap semua hal
perasaan terasing dari orang lain
emosi yang dangkal.
3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan:
susah tidur
mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah
susah berkonsentrasi
kewaspadaan yang berlebih
respon yang berlebihan atas segala sesuatu
f.

Akibat
Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan
sejumlah

gangguan

fisik,

kognitif,emosi,behavior

(perilaku),dan sosial.
1. Gejala gangguan fisik:
Pusing

56

gangguan pencernaan
sesak napas
tidak bisa tidur
kehilangan selera makan,
impotensi, dan sejenisnya (Maslim, 2001).
2. Gangguan kognitif:
gangguan pikiran seperti disorientasi,
mengingkari kenyataan,
linglung, melamun berkepanjangan, lupa,
terus menerus dibayangi ingatan yang tak

diinginkan,
tidak fokus dan tidak konsentrasi
tidak mampu menganalisa dan merencanakan

hal-hal yang sederhana,


tidak mampu mengambil keputusan (Maslim,

2001).
3. Gangguan emosi :
halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang
menekan,

berbahaya,

dan

memerlukan

perawatan aktif yang dini),


mimpi buruk,
marah,
merasa bersalah, malu, kesedihan yang berlarut-

larut,
kecemasan dan ketakutan (Maslim, 2001).
4. Gangguan perilaku :
menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan
tubuh yang minimal. Contoh, duduk berjam-jam
dan perilaku repetitif (berulang-ulang) (Maslim,
2001).
5. Gangguan sosial:
memisahkan diri dari lingkungan,
menyepi,
agresif, prasangka,
konflik dengan lingkungan, merasa ditolak atau
g.

sebaliknya sangat dominan (Maslim, 2001).


Kriteria Diagnosis
Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:
57

Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada


bukti bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu
peristiwa traumatik yang luar biasa berat. Kemungkinan
diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu
antara terjadinya peristiwa dan onset melebihi waktu lebih dari
6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan disertai bukti
adanya trauma yang selalu ada dalam ingatan, bayangan atau
mimpi mengenai peristiwa tersebut secara berulang-ulang,
seringkali terjadi penarikan diri secara emosional, penumpulan
perasaan, dan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin
akan mengingatkan kembali akan traumanya, gangguan
otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan perilaku
semuanya.
Berdasarkan DSM

IV, ada beberapa jenis kejadian yang

potensial mungkin akan meningkatkan gaangguan stress pasca


trauma, yaitu:
1)
Kekerasan personaal (kekerasan seksual, penyerangan
2)
3)
4)
5)
6)
7)

fisik dan perampokan)


Penculikan
Penyanderaan
Serangan militer
Serangan teroris
Penyiksaan
Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau

8)

tahanan perang
Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat

9)
10)
h.

oleh manusia
Kecelakaan mobil yang berat
Didiagnosis mengalami penyakit

berat

yang

mengancam kehidupan (Maslim, 2001).


Prognosis
Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna, 40 %
terus menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala
sedang dan 10% tidak berubah atau memburuk. Umumnya

58

orang yang sanagt muda atau sangat tua lebih mengalami


kesulitan. Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi
gangguan stres pasca traumatik muncul dalam waktu singkat,
durasinya singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan
sosial yang baikdan tidak ada kondisi penyalahgunaan zat.
Tingkat pemulihan tertinggi pada 12 bulan setelah gejala, 33i.

50% menjadi chrnoic psychiatric disorder (Maslim, 2001).


Penatalaksanaan
Psikoterapi ada dua tipe yaitu psikoterapi utama yang
dapat digunakan adalah

terapi paparan, pasien dihadapkan

pada keadaan traumatik secara perlahan- lahan dan bergradasi


untuk mencapai desentisasi. Kedua yaitu manajemen stres
dengan cara mengajari pasien cara menangani stres termasuk
teknik relaksai, seperti dengan teknik-teknik mengatur
pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran. Pendekatan
kognitif untuk mengatasi masalah. Terapi kelompok dan terapi
keluarga, serta modifikasi pola hidup, seperti diet yang sehat
mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan
lainnya (Maslim, 2001).
Farmakoterapi dengan selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRI), seperti sertralin dan paroxetin, karena cukup
efektif, dan aman.

SSRI mengurangi semua gejala pada

gangguan stres pasca traumatik berupa gejala kecemasan dan


depresi. Golongan buspirone juga dapat digunakan seperti
imipramin dan amitriptilin. Dosis yang digunakkan sama
seperti pada pasien depresi. Obat-obat lain yang digunakkan
seperti monoamine oxidaseinhibitors (MAOIS), trazodone dan
anticonvulsan. Haloperidol dapat digunakan pada kondisi
agitasi atau psikotik akut (Maslim, 2001).

59

Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus


Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pasca trauma
sebaiknya mempertimbangkan :
Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu
gangguan

yang

kronik

dan

berulang

serta

sering

berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius


lainnya.
1)
Anti depressan golongan SSRI merupakan obat pilihan
2)

pertama untuk kasus ini.


Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12

3)

bulan.
Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan
psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya
dilanjutkan selama 6 bulan (Maslim, 2001).
Penatalaksaan pada psychology pada pasien dengan

PTSD dikategorikan menjadi lima jenis yaitu:


1)
Psychodynamic Approaches
Pada terapi ini dilakukan melalui pendekatan 3
fase stress bila terjadi kegagalan dalam adaptasi 3 fase
ini akan menyebabkan PTSD, sehingga terapi ini
bertujuan agar pasien dapat beradaptasi melalui
reinterpretasi dari kejadian traumatik, mengubah atribut
kerusakan dan mengembangkan
2)

intrepretasi yang

realistis (Maslim, 2001).


Cognitive-behavioral Approaches
Terapi ini diadaptasi dari teknik penatalaksaan
untuk gangguan anxiety lain, pada learning theory
model mengemukakan incorporate classical dan
operant conditioning untuk menjelaskan perkembangan
dan menetapnya gejala PTSD. Teori Kognitif diajukan
untuk

menambahkan

learning

theory

untuk

menjelaskan kenapa perceived threat lebih kuat dalam


memicu gejala PTSD, sehingga inti dari penatalaksaan

60

ini adalah repetitive exposure to trauma-relevant fear


stimuli

unuk

mengurangi

anxiety,

terapi

ini

menekankan pada intensive exposure namun tidak


diikuti

pengaturan

pada

fear-antagonistic

state,

penatalaksaan ini dilakukan pada in vivo kembali ke


lokasi kejadian traumatik, atau berimajinasi, sehingga
3)

anxiety teratasi dan hilang potensinya (Maslim, 2001).


Flooding Techniques
Pada penatalaksanaan ini dilakukan exposure,
desensitization atau teknik exposure terarah, terapi ini
dapat mengatasi gejala intrusive dan hyperarousal,
kelemahan terapi ini adalah tidak dapat menatalaksana
avoidance symptom, dan dapat memperberat gejalanya

4)

(Maslim, 2001).
Training in Coping Skills
Pada penatalaksaan

ini

dilakukan

untuk

meningkatkan self-control symptom dan meningkatkan


adaptive respone pada anxiety, yang terbagi menjadi 2
fase yaitu: fase edukasi dan fase coping skill, fase
edukasi, memberikan pemahaman yang rasional untuk
menjaga kepercayaan diri, sedangkan pada fase coping
skill, diajarkan cara melakukan relaksasi diri, untuk
menghambat negative rumination dan mempertahankan
rasa percaya diri, penatalaksaan ini efektif mengurangi
reexperiencing, intrusive, dan avoidance symptom pada
5)

korban pemerkosaan (Maslim, 2001).


Eye Movement Desensitization Reprocessing (EMDR)
Pada terapi ini dilakukan exposure pada
kejadian traumatik dengan mata terbuka, selama
verbalisasi kognisi dan emosi yang berkaitan dengan
trauma, diikuti dengan visual saccadic eye movements
agar menghasilkan fear-antagonistic state sehingga

61

menghasilkan relaksasi dan systemic desensitization


(Maslim, 2001).
6. Gangguan stress akut
a)
Definisi
Gangguan Stres Akut (Acute Stress Disorder/ASD)
adalah sebuah kondisi psikologis yang timbul sebagai
tanggapan terhadap peristiwa yang mengerikan, hasil dari
sebuah peristiwa traumatis di mana seseorang mengalami atau
saksi suatu peristiwa yang menyebabkan korban/saksi untuk
mengalami ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut,
stres, (dan kadang-kadang rasa sakit) dan yang melibatkan atau
mengancam serius, dirasakan cedera serius (biasanya kepada
orang lain), atau kematian. Gangguan stres akut adalah variasi
dari Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan adalah pikiran
dan tubuh terhadap perasaan (baik yang dirasakan dan nyata)
a.

yang intens ketidakberdayaan (Maslim, 2001).


Epidemiologi
Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress
akut sebesar 8% sementara 5-15% mengalami bentuk
subklinis. Pada kelompok yang pernah mengalami trauma
sebelumnya, prevalensinya antara 5-75%. Wanita memiliki
risiko yang lebih tinggi (10-12%) dibandingkan pria (5-6%)

b.

pada kelompok usia dewasa muda (Maslim, 2001).


Etiologi
Stresor atau peristiwa traumatis di mana seseorang
mengalami atau saksi suatu peristiwa yang menyebabkan
korban/saksi untuk mengalami ekstrim, mengganggu atau tidak
terduga takut, stres, (dan kadang-kadang rasa sakit) dan yang
melibatkan atau mengancam, cedera serius, atau kematian
(Maslim, 2001).
Walaupun stresor diperlukan, namun stresor tidak
cukup untuk menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang harus

62

ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual, faktor


psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah
trauma. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi
tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan
apakah gangguan akan berkembang, yaitu :
(1) Adanya trauma masa anak-anak
(2) Sifat gangguan kepribadian ambang,

paranoid,

dependen, atau anti sosial


(3) Sistem pendukung yang tidak adekuat
(4) Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit
psikiatrik
(5) Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi
(6) Persepsi lokus kontrol eksternal
(7) Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai taraf
ketergantungan
Jika trauma terjadi pada masa anak-anak maka akan
terjadi

penghentian

perkembangan

emosional,

sedangkan jika terjadi pada masa dewasa akan terjadi


b)

regresi emosional (Maslim, 2001).


Manifestasi Klinis
Gejala menunjukkan variasi yang besar, tetapi biasanya
mereka menyertakan sebuah keadaan awal dari "linglung",
dengan

beberapa

penyempitan

bidang

kesadaran

dan

penyempitan perhatian, ketidakmampuan untuk memahami


rangsangan, dan disorientasi. Keadaan ini dapat diikuti baik
oleh penarikan lebih lanjut dari situasi sekitarnya, atau dengan
agitasi

dan

kecemasan

overeaktifitas.
(takikardia,

Tanda-tanda

berkeringat,

panik

kemerahan)

otonom
yang

umumnya hadir. Gejala biasanya muncul dalam beberapa menit


dari dampak dari stres rangsangan atau aktivitas, dan
menghilang dalam waktu 2-3 hari (seringkali dalam beberapa
jam). Amnesia sebagian atau lengkap untuk episode mungkin
ada (Maslim, 2001).

63

Seseorang

dengan

Gangguan

Stress

akut

dapat

mengalami kesulitan berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh


mereka, pengalaman dunia sebagai tidak nyata atau mimpi,
atau mengalami kenaikan kesulitan mengingat detail spesifik
dari peristiwa traumatik (amnesia disosiatif). Peristiwa
traumatik

yang

dialami

kembali

terus-menerus

dalam

setidaknya salah satu dari cara berikut: berulang, pikiran,


mimpi, ilusi, episode kilas balik, atau rasa menghidupkan
kembali pengalaman atau penderitaan pemaparan pada
c)

pengingat dari peristiwa traumatik (Maslim, 2001)


Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress akut menurut
PPDGJ III adalah sebagai berikut :
1)
Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara
terjadinya pengalaman stresor luar biasa (fisik atau
mental) dengan onset dari gejala, biasanya setelah
2)

beberapa menit atau segera setelah kejadian.


Selain itu ditemukan gejala-gejala :
Terdapat gambaran gejala campuran yang
biasanya berubah-ubah; selain gejala permulaan
berupa keadaan terpaku (daze), semua hal
berikut dapat terlihat : depresi, ansietas,
kemarahan, kecewa, overaktif, dan penarikan
diri. Akan tetapi tidak satupun dari gejala
tersebut yang mendominasi gambaran klinisnya

untuk waktu yang lama.


Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari
lingkup stresornya, gejala dapat menghilang
dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam hal
di mana stres menjadi berkelanjutan atau tidak
dapat dialihkan, gejala-gejala biasanya baru

64

mereda setelah 24-48 jam dan biasanya hampir


3)

menghilang setelah 3 hari (Maslim, 2001).


Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan
kambuhan mendadak dari gejala-gejala pada individu
yang sudah menunjukkan gangguan psikiatrik lainnya

4)

(Maslim, 2001).
Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan
diri memegang peranan dalam terjadinya atau beratnya

d)

suatu gangguan stres akut (Maslim, 2001).


Prognosis
Prognosis untuk gangguan ini sangat baik. Jika berkembang ke
gangguan lain (biasanya PTSD), tingkat keberhasilan dapat
bervariasi sesuai dengan spesifikasi yang terjadi pada
gangguan (Maslim, 2001).

65

KESIMPULAN
Pada skenario tutorial kali ini seorang wanita 36 tahun datang
ke dokter keluarga dengan keluhan utama sakit kepala, keluhan lain
sulit tidur, palpitasi jantung dan keringat dingin, keluhan hampir setiap
hari sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari dalam hal ini pasien
juga khawatir akan anaknya yang mengalami retardasi mental.
Pemeriksaan tanda-anda vital dan pemeriksaan neurologi dalam batas
normal. Ada beberapa penyebab yang mungkin terjadi pada pasien ini,
namun pada skenario kali ini gangguan pasien bukan termasuk
penyakit yang mendasari karena pada skenario dijelaskan pemeriksaan
fisik dalam batas normal, gangguan pasien ini termasuk gangguan
cemas karena faktor pencetus dari anaknya yang mengalami retardasi
mental.
Generelized Anxiety Disorder (GAD) merupakan kondisi
gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran yang
berlebihan, kondisi ini berlangsung hampir setiap hari. Kecemasan
yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan
gejala-gejala somatik seperti palpitasi, kesulitan tidur, keringat dingin,
kegelisahan sehingga menyebabkan penderita yang jelas dan gangguan
yang bermakna dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Penyebab
terjadinya GAD dapat dijelaskan melalui beberapa teori, antara lain
teori biologi, teori genetik, teori psikoanalitik dan teori kognitifperilaku. Gambaran klinis yang dapat muncul antara lain anxietas
berlebihan, ketegangan motorik bermanifestasi sebagai bergetar,
kelelahan, sakit kepala, hiperaktivitas otonom timbuldalam bentuk
napas pendek, berkeringat, palpitasi. Untuk pedoman diagnosis dengan
PPDGJ III F41.1 ataupun DSM-4, DSM-5 untuk menegakkan
diagnosis Generelized Anxiety Disorder pada skenario kali ini.
Penatalaksanaan GAD meliputi farnakoterapi, golongan benzodiazepin
merupakan drug of choice sebab mempunyai efek anti-anxietas,

66

spesifitas, potensi dan keamanan yang paling baik. Selain itu, pasien
juga diberikan psikoterapi, berupa terapi kognitif-perilaku (CBT),
terapi suportif dan psikoterapi berorientasi tilikan. Dalam menentukan
prognosis dari GAD, perlu diingat bahwa banyak segi yang harus
dipertimbangkan. Hal ini berhubungan dengan dinamika terjadinya
GAD serta terapinya yang begitu komplek. Keadaan penderita,
lingkungan penderita, dan dokter yang mengobatinya ikut berperan
dalam menentukan prognosis GAD agar diperoleh hasil prognosis
yang baik.

67

SARAN
Hambatan
1
2

Mahasiswa kurang mempersiapkan log book.


Mahasiswa kurang kritis sehingga kurang mendapatkan informasi lebih

lengkap dan terperinci.


Mahasiswa masih kurang menguasai materi, hanya membaca dan kurang
dapat menyampaikan kembali maksud pernyataannya.

Harapan
1
2
3

Mahasiswa mempersiapkan log book terlebih dahulu dengan baik.


Mahasiswa berusaha lebih kritis lagi dalam kegiatan tutorial.
Mahasiswa dapat lebih menguasai materi dan dapat menyampaikan materi

dengan lancar.
Mengetahui dan memahami semua Learning Objectif yang diberikan dan akan
dipresentasikan.

68

DAFTAR PUSTAKA
Elvira, S.D., Hadisukanto, G. 2010. Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas

Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Hibbert A, Godwin A, dan Dear F. Rujukan cepat psikiatri. Jakarta: Cendika.


EGC; 2009
Idrus, M. Anxietas dan Hipertensi. J Med Nus Vol. 27 No.1 Januari-Maret
2006.Jakarta
Ibrahim A. S. Dr. Sp.KJ : Cemas, Panik, Fobia, dan Stress Pasca Trauma
Layaknya Benang

Kusut, PT. Dian Ariesta, Jakarta, 1999.

Kaplan H.I, Sadok B.J. 1997. Sinopsis Psikiatri, edisi 7 jilid 1. Bina Rupa Aksara
: Jakarta
Mansjoer T, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius;
2008
Maramis, Willy F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University
Press: Surabaya.
Maslim. Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ
III: Reaksi

Akut Stres. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran

Atmajaya.
Nevid, Jefrey S et all.2003.Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid
1.Jakarta:Erlangga
Redayani, P. 2010.

GangguanCemasMenyeluruh. dalamBuku Ajar Psikiatri.

FKUI : Jakarta
Tarwoto & Wartonah. 2010.

Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses

Keperawatan. Edisi 4. Salemba Medika : Jakarta


Tomb, D. A. 2000. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal. 96-110
Wibisono S. 1990 Simposium Anxietas Konsep Diagnosis dan Terapi Mutakhir.
Jakarta; EGC

69

Anda mungkin juga menyukai