Anda di halaman 1dari 55

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Kanker serviks adalah kanker ginekologi yang paling sering terjadi pada wanita.

Sebagian besar dipicu oleh infeksi HPV (human papilloma virus), walaupun tentu saja pengaruh
multifaktorial dari pejamu memegang peranan penting dalam pertumbuhan sel kanker. Sekitar
90% kasus kanker serviks ditemukan di negara dengan pendapatan rendah dan negara yang
sedang berkembang. 1
Dengan insiden 528 000 kasus baru setiap tahun, kanker serviks adalah kanker terbanyak
keempat pada wanita di seluruh dunia, setelah kanker payudara, kolorektal, dan kanker paruparu. Kanker serviks juga merupakan penyebab paling umum keempat kematian akibat kanker,
yaitu 266 000 kematian pada tahun 2012, pada wanita di seluruh dunia. Hampir 70% terjadi di
negara miskin dan lebih dari seperlima dari semua kasus baru didiagnosis di India. Di daerah
sub-Sahara Afrika, 34,8 kasus baru kanker serviks didiagnosis per 100 000 wanita per tahun, dan
22,5 per 100 000 wanita meninggal akibat penyakit ini. Angka-angka ini dibandingkan dengan
6,6 dan 2,5 per 100 000 wanita, masing-masing, di Amerika Utara. Perbedaan drastis dapat
dijelaskan oleh kurangnya pengobatan di wilyah tersebut. 2
Di Indonesia, terdapat 13.762 kasus baru dan kematian 7493 jiwa dalam setahun. Data
dari 13 laboratorium patologi anatomi di Indonesia memperlihatkan bahwa kanker serviks
menduduki urutan pertama dari 10 kanker terbanyak. Faktor risiko kanker serviks umumnya
terkait dengan aktivitas seksual dan faktor risiko tersebut adalah aktivitas seksual terlalu muda,
multipel mitra seksual, tingkat sosial ekonomi yang rendah, merokok, pemakaian KB, penyakit
1

yang ditularkan secara seksual, dan ganguan imunitas. Penyebab utama kanker serviks adalah
virus HPV. Proses dimulai dengan lesi prakanker dan setelah bertahun tahun baru menjadi
kanker invasif. Angka kematian berkaitan dengan stadium penyakit. 3
Di Sumatera Utara diperoleh data dari Dinas Kesehatan Provinsi, jumlah penderita
kanker serviks pada tahun 2000 sebanyak 548 kasus, tahun 2001 sebanyak 683 kasus. Sedangkan
di kota Medan, prevalensi kejadian kanker serviks sebanyak 49 per 100.000 wanita.

Perjalanan

penyakit secara perlahan yang dimulai dari lesi pra kanker ( pra invasif ) hingga kanker invasif.
Dengan dilakukannya skrining pada wanita yang asimptomatik melalui pemeriksaan papsmear
menyebabkan lesi pra kanker yang masih dapat diobati dan dapat sembuh sempurna tersebut,
terdiagnosis.4
Kanker serviks merupakan penyakit yang dapat dicegah, dan mempunyai angka
kesembuhan yang baik jika ditemukan dan diobati pada stadium dini. Histerektomi radikal dan
radiasi merupakan terapi pilihan yang ekivalen untuk kanker serviks stadium IB dan IIA, yang
menghasilkan angka ketahanan hidup 5 tahun dan interval bebas penyakit yang sama. Dengan
angka kesembuhan sebesar 75% - 80% ( dapat mencapai 85% - 90% pada tumor yang berukuran
kecil ). 5,6,
Pilihan antara histerektomi radikal atau radiasi tergantung pada banyak faktor termasuk
ukutan tumor, usia pasien,ketersediaan fasilitas pelayanan, dan umber daya manusianya serta ada
tidaknya kondisi komorbid lainnya. 6
Prognosa kanker serviks sangat tergantung pada seberapa dini kasus tersebut terdiagnosis
dan dilakukan terapi yang adekuat. Terapi yang tidak adekuat baik berupa tindakan pembedahan,
radiasi maupun kemoterapi yang oleh alasan tertentu tidak sesuai dengan jadwal akan
mengurangi tingkat keberhasilan terapi. 6
Faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan prognosis pasien dan kekambuhan
2

belum ada kesepakatan, tetapi pada umumnya hampir sama yaitu invasi kelenjar getah bening
(KGB) pelvis, ukuran lesi yang besar, invasi ke pembuluh darah dan pembuluh limfe, invasi
parametrium, batas sayatan yang tidak bebas tumor, invasi endometrium, jenis histologi,
diferensiasi dan kedalaman invasi stroma. Setelah pembedahan, bila dijumpai faktor risiko
tersebut akan sangat mungkin terjadi kekambuhan. Penderita seperti ini sebaiknya mendapat
terapi radiasi adjuvan, kemoterapi, atau kombinasi keduanya. 7
Kanker serviks stadium IB-IIA tanpa keterlibatan KGB, 10%-20% dapat mengalami
kekambuhan setelah terapi primer baik tindakan histerektomi radikal atau radiasi. 6
Kasus kekambuhan merupakan keadaan tanpa harapan karena 80%-100% pederita akan
meninggal kurang dari setahun semenjak kekambuhan dan sampai saat ini belum ada terapi
pilihan yang efektif untuk mengatasinya. Secara keseluruhan eklangsungan hidup lima tahun
kasus berulang kurang dari 6% dan hampir 90% terjadi dalam 2 tahun pertama. 7
Di RSUP. H. Adam Malik, Medan, tak berbeda halnya dengan yang telah disebutkan
diatas, kebanyakan penderita datang sudah dalam stadium lanjut. Penelitian Sahil (2006),
menunjukkan 65,51% kasus kanker serviks berada pada stadium lanjut, sedangka yang masih
berada pada stadium dini hanya 14,09% kasus. Penderita yang datang dengan stadium dini,
khususnya stadium I hingga IIA dengan besar tumor < 4cm, mempunyai prognosa yang baik dan
dapat dikontrol dengan pembedahan atau radiasi. Namun oleh karena pilihan hanya satu yaitu
pembedahan atau pasien dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki sarana radiasi. 6
Pasien yang memiliki faktor risiko mengalami kekambuhan seperti adanya invasi KGB
pelvis, invasi ke pembuluh darah dan pembuluh limfe, invasi parametrium dan sebagainya, juga
tidak dapat dilakukan tindakan radiasi adjuvan oleh karena tidak tersedianya sarana. Demikian
halnya dengan keterbatasan obat-obat kemoterapi. Keterbatasan dari pihak pasien pun

merupakan kendala sehingga pasien tidak dapat dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki sarana
radiasi ataupun tidak dapat membeli obat-obat kemoterapi yang diperlukan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kanker Serviks
2.1.1

Definisi Kanker Serviks


Kanker serviks adalah penyakit keganasan primer ada serviks uterus. Dimana serviks

adalah bagian dari uterus yang bentuknya silindris, diproyeksikan ke dinding vagina anterior
bagian atas dan berhubungan dengan vagina melalui sebuah saluran yang dibatasi ostium unterus
eksternum dan internum. Kanker serviks dapat berasal dari permukaan ektoserviks atau
endoserviks. 3, 8,9,10
2.1.2

Epidemiologi Kanker Serviks


Kanker serviks merupakan kanker urutan ketiga yang paling sering didiagnosis dan

merupakan urutan keempat yang menyebabkan kematian pada wanita di seluruh dunia, terhitung
9% (529.800) dari total kasus kanker baru dan 8% (275.100) dari total kematian akibat kanker
diantara wanita pada tahun 2008 (Gambar 1.). Lebih dari 85% dari kasus ini dan kematian terjadi
di Negara Negara berkembang. India, merupakan negara kedua terbanyak yang memiliki
populasi penderita kanker serviks terbanyak di dunia, terhitung 27%(77.100) dari total kematian
akibat kanker serviks. Di seluruh dunia, angka insiden tertinggi terjadi di Afika baik Afrika
Selatan, Timur, maupun Barat sama halnya dengan Asia Selatan dan Amerika Selatan. Dan
negara yang memiliki angka terendah terdapat pada Asia Barat, Australia/New Zealand, dan
Amerika Utara. 11
5

Di beberapa negara menjadi penyebab kanker terbanyak pada wanita dengan kontribusi
20-30%. Di negara berkembang keganasan pada serviks merupakan penyebab kematian nomor
dua. Setiap tahun di seluruh dunia terdapat 600.000 kanker serviks invasif baru dan 300.000
kematian.

12

Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker serviks setiap

tahunnya.Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker


serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di Indonesia,
yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17 rumah sakit di Jakarta pada tahun1977, kanker serviks
menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan. Di Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar 76,2% di antara kanker
ginekologi. 13,14
Epidemiologi menunjukkan jumlah yang signifikan, bahwa insidensi kanker serviks pada
usia muda terus meningkat, dengan diagnosis kanker serviks invasif stadium awal,
mengharuskan mereka untuk menjalani operasi histerektomi radikal, dengan konsekuensi
kehilangan fungsi ovarium yang bermanifestasi klinis hormonal imbalance, yang akan
mempengaruhi kualitas hidup penderita, terutama yang berusia muda. 15
Berbagai laporan tentang insidensi metastasis ovarium dari kanker serviks menunjukkan
angka yang rendah, yaitu 1,41,6%,dari stadium IB adenokarsinoma serviks, terbesar dilaporkan
oleh Tabata, et al, saat meneliti pada otopsi 494 kasus dengan karsinoma sel skuamus (squamous
cell carcinoma, SCC) stadium lanjut, 54 kasus (10,9%) didapatkan invasi ke korpus uteri, dan 20
dari 54 kasus tersebut (37%) menunjukkan metastasis ke ovarium. Bahkan Woodruf, et al
melaporkan insidensi metastasis ovarium dari kanker serviks sebesar < 1%, dan sebagian besar
kasus berasal dari stadium lanjut adenokarsinoma serviks. 15

Gambar 1. Insiden Kanker Serviks dan Angka Mortalitas di Beberapa Area Dunia 11

2.1.3 Faktor Risiko Kanker Serviks


Faktor risiko adalah faktor yang memudahkan terjadinya infeksi virus HPV dan faktor
lain yang memudahkan terjadinya kanker serviks. Menurut American Cancer Society, tahun
2008, faktor-faktor yang dapat meningkatkan terjadinya kanker serviks pada wanita adalah : 17
a. Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) adalah virus yang tersebar luas menular melalui
hubungan seksual. Infeksi HPV telah diidentifikasi sebagai faktor risiko yang paling utama
untuk kanker serviks. Di antara lebih dari 125 jenis HPV terdapat jenis HPV yang agresif
(HPV 16 dan 18) yang dapat menyebabkan transformasi sel-sel menjadi ganas di serviks.
b. Kontrasepsi
Pemakaian kontrasepsi oral dalam waktu lama dari 4 atau 5 tahun dapat meningkatkan risiko
terkena kanker serviks sebesar 1,5 2,5 kali. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kontrasepsi oral menyebabkan wanita sensitive terhadap HPV yang dapat menyebabkan
adanya peradangan pada genitalia sehingga berisiko untuk terjadinya kanker serviks.
c. Merokok
Wanita yang merokok memiliki risiko dua kali lebih besar terhadap kanker serviks daripada
non-perokok. Bahan-bahan kimia yang ditemukan dalam rokok setelah terhisap melalui
paru-paru dapat terdistribusi luas ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Beberapa senyawa
tersebut dapat dijumpai pada lender serviks wanita yang merokok. Peneliti meyakini bahwa
bahan-bahan kimia tersebut dapat merusak DNA pada sel-sel serviks dan berkontribusi
terhadap berkembangnya kanker serviks. 17
d. Umur
Perempuan yang rawan mengidap kanker serviks adalah mereka yang berusia 35-50 tahun
dan masih aktif berhubungan seksual (pervalensi 5-10%). Meski infeksi HPV seiring
8

pertambahan usia, namun sebaliknya risiko infeksi menetap/persisten justru meningkat. Hal
ini diduga karena seiring pertambahn usia, terjadi perubahan anatomi (retraksi) dan
histology (metaplasia). 18
e. Frekuensi Kehamilan
Jumlah kehamilan yang pernah dialami wanita juga meningkatkan risiko terjadinya kanker
serviks. Sehingga, wanita yang mempunyai banyak anak atau sering melahirkan mempunyai
risiko terserang kanker serviks lebih besar. 17
f. Pendapatan atau status sosial ekonomi
Tingkat penghasilan secara langsung berhubungan dengan standar hidup, para wanita
berpendapatan rendah hamper lima kali lebih tinggi berisiko terkena kanker serviks daripada
kelompok wanita yang berpendapatan lebih tinggi. Kemiskinan yang mengakibat
ketidakmampuan mereka untuk mendapat pelayanan kesehatan yang baik dan tidak dapat
membayar biaya-biaya tes kesehatan yang cukup mahal.17
g. Pendidikan
Penelitian Harahap 1983 di RSCM antara tingkat pendidikan dengan kejadian kanker serviks
terdapat hubungan yang kuat, dimana kanker serviks cenderung lebih banyak terjadi pada
wanita yang berpendidikan rendah dibandingkan wanita yang berpendidikan tinggi (88,9%).
Tinggi rendahnya pendidikan berkaitan dengan tingkat sosio ekonomi, kehidupan seks dan
kebersihan.
h. Pekerjaan
Menurut Teheru dan Hidayati terdapat hubungan antara kanker serviks dengan pekerjaan,
dimana wanita pekerja kasar, seperti buruh, petani memperlihatkan 4 kali lebih mungkin
terkena kanker serviks dibandingkan wanita pekerja ringan atau bekerja di kantor. Dua

kejadian yang terpisah memperlihatkan adanya hubungan antara kanker serviks dengan
pekerjaan. Para istri pekerja kasar 4 kali lebih mungkin terkena kanker serviks dibandingkan
para istri pekerja kantor atau pekerja ringan, kebanyakan dari kelompok yang pertama ini
dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok sosial ekomoni rendah, mungkin standar
kebersihan yang tidak baik pada umumnya faktor sosial ekomoni rendah cenderung memulai
aktifitas seksual pada usia lebih muda. 19
2.1.4 Etiologi Kanker Serviks
Penyebab langsung dari kanker serviks belum diketahui secara pasti. Kanker sendiri
merupakan penyakit yang tidak hanya disebabkan oleh etiologi tunggal tetapi multifaktorial.
Namun secara umum faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab kanker adalah faktor kimia,
radiasi, virus, dan hormone.

20

Faktor etiologi kanker serviks berasal dari kelamin, maka

beberapa faktor yang ditularkan melalui hubungan seksual dapat terlibat dalam proses inisiasi
neoplastik. Ada dua faktor yang perlu mendapat perhatian yaitu, smegma dan infeksi virus. 21
Smegma adalah sel deskuamasi dan sekresi sebaseus di bawah preputium pada pria yang
tidak disunat, dahulu dianggap sebagai faktor etiologi kanker serviks, tetapi ternyata tidak
terbukti secara laboratorium maupun epidemiologik . 21
Human Papiloma Virus (HPV) memegang peranan sebagai faktor pencetus penyakit ini.
Virus ini menimbulkan proliferasi pada permukaan epidermal dan mukosa. Infeksi HPV sering
terdapat pada wanita yang aktif secara seksual. Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada
sebagian besar pengidap kanker serviks ditemukan virus HPV tersebut. 21
HPV merupakan virus DNA yang berukuran 8.000 pasang basa, berbentuk ikosahendral
dengan ukuran 55 nm, memiliki 72 kapsomer, dan 2 protein kapsid. Karena ukuran virus HPV
10

sangat kecil, virus ini bisa menular melalui mikro lesi atau sel abnormal di vagina. Penularannya
dapat terjadi saat berhubungan seksual (Samadi, 2011). Infeksi virus HPV telah dibuktikan
menjadi penyebab lesi prakanker, kondiloma akuminatum, dan kanker. Meskipun HPV pada
umumnya menyerang wanita tetapi virus ini juga mempunyai peranan dalam timbulnya kanker
pada anus, vulva, vagina, penis dan beberapa kanker orofaring. 22
Terdapat 138 strain

HPV yang sudah dapat diidentifikasi, 30 diantaranya dapat

ditularkan lewat hubungan seksual. Walaupun umumnya HPV ditularkan melalui kontak seksual,
tidak seorang dokterpun dapat memperkirakan kapan infeksi itu terjadi. Kebanyakan infeksi
HPV juga dapat mengalami remisi setelah beberapa tahun. Beberapa diantaranya akan menetap
tanpa atau dengan menyebabkan abnormalitas pada sel. 23
Beberapa tipe HPV bersifat virus risiko rendah karena jarang menyebabkan kanker.
Sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko
rendah dapat menyebabkan pertumbuhan yang abnormal pada sel tetapi secara umum hanya
HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan
melalui hubungan seksual adalah tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan
mungkin masih terdapat beberapa tipe lain. Di Indonesia tipe virus yang menyebabkan kanker
adalah tipe 16, 18, dan 52. Tipe virus risiko tinggi biasanya menimbulkan lesi rata dan tak
terlihat dibandingkan tipe risiko rendah yang menimbulkan pertumbuhan seperti jengger ayam
pada tipe HPV 6 dan 11 atau dikenal sebagai kondiloma akuminatum. Perlu dicatat mayoritas
virus HPV risiko tinggi dapat mengalami remisi secara spontan. Penelitian yang ada
menunjukkan bahwa lebih dari 90% kanker serviks disebabkan oleh HPV, yang 70% -nya
disebabkan oleh tipe 16 dan 18 sesuai dengan yang dipublikasikan dalam Lancet Oncology bulan
April 2005. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker serviks.
11

Seseorang yang sudah terkena kanker serviks sebesar 5%. Kanker serviks yang disebabkan HPV
umumnys berjenis karsinoma sel skuamosa. 23
Kemungkinan seorang wanita terpapar dengan infeksi HPV selama kehidupan seksualnya
mencapai 70%. Sedangkan faktor risiko yang dapat mempermudah terjadi karsinoma sel
skuamosa adalah hubungan seksual dini, pasangan seksual yang banyak, merokok, dan
pemakaian kontrasepsi oral. 23
HPV merupakan faktor inisiator kanker serviks. Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal dari
HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein E6 akan mengikat P53
sehingga Tumor Supresor Gen (TSG) P53 akan kehilangan fungsinya. Sedangkan onkoprotein
E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor
transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol. 24-26
2.1.5. Penyebaran Kanker Serviks
1. Melalui pembuluh limfe (limfogen) menuju ke kelenjar getah bening.
2. Melalui pembuluh darah (hematogen).
3. Penyebaran langsung (perkontinuitatum) ke parametrium, korpus uterus, vagina, kandung
kencing, dan rektum. 27,28
Melalui pembuluh getah bening dalam parametrium kanan dan kiri sel tumor dapat
menyebar ke kelenjar iliaka luar dan kelenjar iliaka dalam. Penyebaran melalui pembuluh darah
(bloodborne metastasis) jarang ditemukan. Kanker serviks umumnya terbatas pada daerah
panggul saja, Tergantung dari kondisi imunologik tubuh penderita KIS akan berkembang
menjadi mikro invasif dengan menembus membrana basalis dengan kedalaman invasi <1 mm
dan sel tumor belum terlihat dalam pembuluh limfe atau darah. Jika sel tumor sudah terdapat >1

12

mm dari membrana basalis, atau <1 mm tetapi sudah tampak berada dalam pembuluh limfe atau
darah, maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin menginfiltrasi stroma serviks, akan tetapi
secara klinis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang demikian disebut sebagai ganas
praklinik (tingkat IB-occult). Sesudah tumor menjadi invasif, penyebaran secara limfogen meuju
kelenjar limfe, regional dan menjalar menuju fornix vagina, korpus uterus, rektum dan kandung
kemih, yang pada tingkat akhir dapat menimbulkan fistula rektum atau kandung kemih.
Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju ke kelenjar regional melalui ligamentum latu,
kelenjar-kelenjar iliaka, obturator, hipogastrik, prasakral, praaorta, dan seterusnya secara teoritis
dapat melanjut melalui trunkus limfatikus di kanan dan vena subclavia di kiri mencapai paraparu, hati, ginjal, tulang dan otak. 27
2.1.6 Patofisiologi Kanker Serviks
Kanker serviks timbul dibatas antara epitel yang melapisi ektoserviks (portio) dan
endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai Squoma-Columnar Junction (SCJ). Histologik
antara epitel gepeng berlapis (squamous complex) dari porsio dengan epitel kuboid/silindris
pendek selapis bersilia dari endoserviks kanalis serviks kanalis serviks. Pada wanita muda SCJ
ini berada diluar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita berumur >35 tahun, SCJ berada
di dalam kanalis serviks. Maka untuk melakukan pap-smear yang efektif, yang dapat mengusap
zona transformasi, harus dikerjakan dengan skraper dari Ayre atau cytobrush sikat khusus. Pada
pemeriksaan dengan spekulum, tampak sebagai porsio yang erosif (metaplasia skuamosa) yang
fisiologik atau patologik. 25,26

13

Patofisiologi NIS dapat dianggap sebagai suatu spectrum penyakit yang dimulai dari
displasia ringan (NIS 1), displasia sedang (NIS 2), displasia berat dan karsinoma insitu (NIS 3)
untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. 25,26
Beberapa penelitian menemukan 30-35% NIS mengalami regresi, yang terbanyak berasal
dari NIS 1/NIS 2. Karena tidak dapat ditentukan lesi mana yang akan berkembang menjadi
progresif dan mana yang tidak, maka semua tingkat NIS dianggap potensial menjadi ganas
sehingga harus ditatalaksana sebagaimana mestinya. 25,26
Beberapa penelitian menemukan 30-35% NIS mengalami regresi, yang terbanyak berasal
dari NIS 1/NIS 2. Karena tidak dapat ditentukan lesi mana yang akan berkembang menjadi
progresif dan mana yang tidak, maka semua tingkat NIS dianggap potensial menjadi ganas
sehingga harus ditatalaksana sebagaimana mestinya. 25,26
2.1.7 Patogenesis Kanker Serviks
Kausa utama karsinoma serviks adalah infeksi virus Human Papilloma yang onkogenik.
Risiko terinfeksi HPV sendiri meningkat setelah melakukan aktivitas seksual. Pada kebanyakan
wanita, infeksi ini akan hilang dengan spontan. Tetapi jika infeksi ini persisten maka akan terjadi
integrasi genom dari virus ke dalam genom sel manusia, menyebabkan hilangnya kontrol normal
dari pertumbuhan sel serta ekspresi onkoprotein E6 atau E7 yang bertanggung jawab terhadap
perubahan maturasi dan differensiasi dari epitel serviks.7,30
Lokasi awal dari terjadinya karsinoma serviks biasanya pada atau dekat dengan
pertemuan epitel kolumner di endoserviks dengan epitel skuamous di ektoserviks atau yang juga
dikenal dengan squamocolumnar junction.31 Terjadinya karsinoma serviks yang invasif
berlangsung dalam beberapa tahap. Tahapan pertama dimulai dari lesi pre-invasif, yang ditandai

14

dengan adanya abnormalitas dari sel yang biasa disebut dengan displasia. Displasia ditandai
dengan adanya anisositosis (sel dengan ukuran yang berbeda-beda), poikilositosis (bentuk sel
yang berbeda-beda), hiperkromatik sel, dan adanya gambaran sel yang sedang bermitosis dalam
jumlah yang tidak biasa. Displasia ringan bila ditemukan hanya sedikit sel-sel abnormal,
sedangkan jika abnormalitas tersebut mencapai setengah ketebalan sel, dinamakan displasia
sedang. Displasia berat terjadi bila abnormalitas sel pada seluruh ketebalan sel, namun belum
menembus membrana basalis. Perubahan pada displasia ringan sampai sedang ini masih bersifat
reversibel dan sering disebut dengan Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) derajat 1-2.
Displasia berat (CIN 3) dapat berlanjut menjadi karsinoma in situ. Perubahan dari displasia ke
karsinoma in situ sampai karsinoma invasif berjalan lambat (10 sampai 15 tahun). Gejala pada
CIN umumnya asimptomatik, seringkali terdeteksi saat pemeriksaan kolposkopi. Sedangkan
pada tahap invasif, gejala yang dirasakan lebih nyata seperti perdarahan intermenstrual dan post
koitus, discharge vagina purulen yang berlebihan berwarna kekuningkuningan terutama bila lesi
nekrotik, berbau dan dapat bercampur dengan darah, sistisis berulang, dan gejala akan lebih
parah pada stadium lanjut di mana penderita akan mengalami cachexia, obstruksi gastrointestinal
dan sistem renal. 7
2.1.8

Klasifikasi Stadium
Penetapan stadium dilakukan dengan pemeiksaan klinik. Pemeriksan ginekologi yang

mempunyai akurasi tinggiadalah bila pemeriksaan ginekologi yang dilakukan dengan narkose.
Pemeriksaan pembantu seperti radiologi dan endoskopi dilakukan sebagai pemeriksan tambahan
untuk menetapkan stadium klinik. 29

15

Tabel 1. Stadium Kanker Seviks FIGO 2009

16

2.1.9. Grading Kanker Serviks


Grading diartikan sebagai penilaian terhadap morfologi sel yang dicurigai sebagai bagian
dari jaringan tumor.

36,37

Dalam penelitian ini, jenis histopatologi yang akan diteliti adalah

squamous cell carcinoma (SCC). Penilaian ini dilakukan oleh ahli patologi anatomi dengan
didasarkan pada (1) ukuran dari sel-sel tumor dimana semakin peomorfik sel-sel tersebut berarti

17

derajatnya makin jelek, (2) pembentukan keratinisasi per sel, (3) pembentukan mutiara tanduk,
semakin banyak sel yang mengalami keratinisasi dan membentuk mutiara tanduk semakin baik
differensiasinya, (4) jumlah sel yang mengalami mitosis, (5) invasi ke pembuluh darah maupun
pembuluh limfe, dan (6) batas tumor, semakin jelas batasan sel-sel ganasnya memiliki derajat
differensiasi yang lebih baik. 36,37
Poin utama dari penilaian ini adalah jumlah mitosis dan kemiripannya dengan sel asal.
Dua kategori ini akan memperjelas keagresifan dan prognosis dari tumor tersebut. Semakin
banyak mitosisnya menunjukan bahwa pertumbuhan sel-sel tersebut semakin tidak terkendali.
Sementara, kemiripan dengan sel asal dapat dilihat dari bentuk sel itu sendiri dan untuk jenis
skuamosa, dilihat juga dari ada tidaknya pembentukan mutiara tanduk maupun sel yang
mengalami keratinisasi. 36,37
Nomenklatur yang digunakan untuk kanker serviks jenis SCC ini sama seperti SCC pada
lokasi anatomi lainnya, yakni dengan penomoran sesuai kriteria American Joint Comission on
Cancer. Grade I untuk kanker dengan diferensiasi baik (well differentiated) di mana sel kanker
masih mirip dengan sel asalnya; Grade II untuk kanker dengan differensiasi moderat
(moderately/intermediate differentiated); Grade III untuk kanker dengan differensiasi jelek
(poorly differentiated); dan Grade IV untuk kanker anaplastik atau undifferentiated. Umumnya
Grade III dan Grade IV digabung menjadi satu dan dikategorikan sebagai high grade. Contoh
SCC dengan tiga tingkatan derajat dapat dilihat pada gambar 2, 3 dan 4. 38

18

Gambar 2. SCC Diferensiasi baik

19

Gambar 3. SCC Diferensiasi moderate

20

Gambar 4. SCC Diferensiasi jelek

Manfaat lain dari penentuan derajat differensiasi adalah untuk menentukan jenis terapi
yang akan diberikan. Pada derajat differensiasi jelek, di mana pertumbuhan dan penyebaran sel
dianggap lebih cepat atau agresif, dibutuhkan terapi tambahan selain definitif, yakni dengan
pemberian kemoradiasi. 38
2.1.10 Diagnosis Kanker Serviks
1. Gejala dan Tanda 10
Kecepatan pertumbuhan kanker ini tidak sama dari kasus dengan kasus lainnya.
Sayangnya bagaimana mekanisme keadaan ini dapat terjadi belum dapat dijelaskan. Namun,
pada penyakit yang pertumbuhannya sangat lambat bila diabaikan sampai lama juga tidak
mungkin terobati. Sebaliknya, tumor yang tumbuh dengan cepat bila dikenali secara dini hasil
pengobatannya lebih baik. Semakin dini penyakit dapat dikenali dan dilakukan terapi yang
adekuat, semakin memberi hasil terapi yang sempurna.
Walaupun telah terjadi invasi sel tumor kedalam stroma, kanker serviks masih mungkin
tidak menimbulkan gejala. Tanda dini kanker serviks tidak spesifik seperti adanya sekret vagina
yang agak banyak dan kadang kadang dengan bercak perdarahan. Umumnya tanda yang sangat
minimal ini sering diabaikan oleh penderita.
Tanda yang lebih klasik adalah perdarahan bercak yang berulang, atu perdarahan bercak
setelah bersetubuh atau membersihkan vagina. Dengan makin tumbuhnya penyakit tanda
menjadi semakin jelas. Perdaran menjadi semakin banyak, lebih sering dan berlangsung lebih

21

lama. Namun, terkadang keadaan ini diartikan penderita sebagai perdarahan haid yang sering dan
banyak. Juga dapat dijumpai sekret vagina berbau terutama dengan massa nekrosis lanjut.
Nekrosis terjadi karena pertumbuhan tumor yang cepat tidak diimbangi pertumbuhan pembuluh
darah (angiogenesis) agar mendapat aliran darah yang cukup. Nekrosis ini menimbulkan bau
yang tidak sedap dan reaksi peradangan non spesifik.
Pada stadium lanjut ketika tumor telah menyebar keluar dari serviks dan melibatkan
jaringan di rongga pelvis dapat dijumpai tanda lain seperti nyeri yang menjalar ke pinggul atau
kaki. Hal ini menandakan keterlibatab ureter, dinding panggul, atau nervus skiatik. Beberapa
penderita mengeluhkan nyeri berkemih, hematuria, perdarahan rektum sampai sulit berkemih dan
buang air besar. Penyebaran ke kelenjar getah bening tungkai bawah dapat menimbulkan oedema
tungkai bawah, atau terjadi uremia bila terjadi penyumbatan kedua ureter.
Keputihan yang berulang dan nyeri pinggang belum tenu penyakit batu ginjal. Ada
kemungkinan lain, yaitu kanker serviks. Pada 92% lesi prakanker tidak terdapat gejala, dan
kalaupun ada hanya berupa rasa kering di vagina, atau keputihan berulang/tidak sembuh
sembuh walaupun sudah diobati. Gejala klinis jika sudah menjadi kanker serviks dapat
dibedakan dalam beberapa tahapan/stadium kanker serviks, yaitu sebagai berikut:
a. Gejala Awal 10
1) Perdarahan pervagina / lewat vagina, berupa perdarahan pasca senggama atau perdarahan
spontan di luar masa haid. Perdarahan pasca senggama bisa terjadi bukan karena disebabkan oleh
adanya kanker serviks, melainkan karena iritasi mikro lesi atau luka luka kecil di vagina saat
bersenggama. Serviks yang normal konsistensinya kenyal dan permukaan licin. Adapun serviks
yang sudah berubah menjadi kanker bersifat rapuh, mudah berdarah, dan diameternya biasanya
membesar. Serviks yang rapuh tersebut akan mudah berdarah pada saat aktivitas seksual
22

sehingga terjadi perdarahan pasca senggama. Oleh karena itu, apapun bentuk perdarahan pasca
senggama, sudah seharusnya diperiksakan dengan seksama untuk melihat adakah tanda tanda
kanker pada serviks.
2) Keputihan yang berulang, tidak sembuh sembuh walaupun telah diobati. Keputihan biasanya
berbau, gatal, dan panas karena sudah ditumpangi infeksi sekunder. Artinya cairan yang keluar
dari lesi prakanker atau kanker tersebut ditambah infeksi oleh kuman, bakteri ataupun jamur.
Tidak semua keputihan terkait dengan kanker serviks. Ini penting dipahami karena bisa
menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan dan tidak pada tempatnya,
Keputihan yang normal ciri ciri seperti terjadi menjelang haid, lendir jernih, tidak berbau, dan
tidak gatal. Keputihan yang wajarnbisa terjadi pada semua wanita disebabkan karena
kelembapan serta kebersihan yang kurang pada daerah kewanitaan atau vagina. Biasanya,
disertai infeksi oleh kuman/bakteri dan jamur. Keputihan jenis ini akan sembuh dengan
pengobatan dan kalaupun kambuh perlu waktu cukup lama.
Keputihan yang harus diwaspadai adalah jika keputihan terjadi bersamaan dengan penyakit
kelamin, misalnya Gonorea dan Sifilis. Karena virus HPV bisa juga ditularkan bersamaan
dengan kuman penyebab sakit kelamin tersebut.
b. Gejala lanjut : Cairan keluar dari liang vagina berbau tidak sedap, nyeri (panggul, pinggang
dan tungkai), gangguan berkemih, nyeri di kandung kemih dan rektum. Keluhan ini muncul
karena pertumbuhan kanker tersebut menekan / mendesak ataupun menginvasi organ sekitarnya.
Kanker telah menyebar / metastatis : timbul gejala sesuai dengan organ yang terkena, misalnya
penyebaran di paru paru, liver, atau tulang.
d. Kambuh / residif : bengkak / edema tungkai satu sisi, nyeri panggul menjalar ke tungkai, dan
gejala pembuntuan saluran kencing / obsruksi ureter.

23

Pemerikasaan fisik dengan spekulum vagina bisa menemukan lesi tumor atau benjolan yang
masih terlokalisasi di serviks atau telah meluas ke puncak vagina dengan warna kemerahan dan
mudah berdarah, dengan atau tanpa gambaran jaringan yang rapuh, disertai darah atau jaringan
yang berbau.
Pemeriksaan dalam melalui vagina dapat meraba perluasan ke vagina, sedang
pemeriksaan rektal dapt mengetahui perluasan ke dinding panggul. Kalau penyakit sudah meluas
ke luar panggul, dapat ditemukan pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati,
massa/benjolan di perut, panggul, hidronefrosis atau efusi pleura / cairan di paru paru atau
penyebaran ke tulang. 10

24

2. Skrining dan Biopsi Kanker Serviks


Perubahan dini pada serviks, khususnya CIN, bisa dideteksi sebelum berkembang
menjadi kasus karsinoma invasif dengan cara skrining dengan menggunakan Pap smear, tes HPV,
dan skrining visual dengan menggunakan asam asetat atau larutan Lugol iodin. 32 WHO
menganjurkan penggunaan tes Papanicolauo (Pap smear) sebagai skrining awal yang efektif
untuk mendeteksi lesi pada serviks atau vagina.

32

Hasil sediaan Pap smear yang representatif

untuk skrining adalah yang mengandung sel yang mewakili squamocolumnair junction.
Penafsiran hasil Pap smear dilakukan berdasar kriteria Bethesda tahun 2001. Untuk
mendapatkan diagnosis pasti keganasan dilakukan biopsi serviks. Biopsi jaringan pada
keganasan serviks dapat dipandu baik oleh suatu lesi yang jelas terlihat atau dengan kolposkopi.
Indikasi dilakukannya kolposkopi adalah temuan HGSIL (High Grade Squamous Intraepithelial
Lesion) pada Pap smear. Termasuk di dalamnya displasia sedang, berat, dan karsinoma in situ.
Indikasi lain untuk melakukan kolposkopi adalah adanya LGSIL (Low Grade Squamous
Intraepithelial Lesion) yang persisten. Macam biopsi yang dapat dilakukan antara lain punch
biopsy, incisional biopsy, LEEP (Loop Electrosurgical Excision Procedure), cold knife biopsy,
dan laser cone biopsy. Konisasi dapat digunakan juga untuk mengobati lesi pra-invasif serviks
seperti displasia berat (CIN 3), terutama jika fungsi reproduksi masih dibutuhkan. Jenis
histologik yang sering ditemukan (80%) pada sediaan biopsi adalah karsinoma sel squamosa dan
sekitar 10-15 persennya adalah jenis adenokarsinoma. 7,34,35
2.1.11 Penatalaksanaan Kanker Serviks12
Setelah diagnosis kanker serviks ditegakkan, harus ditentukan terapi apa yang tepat untuk
setiap kasus. Secara umum jenis terapi yang dapat diberikan bergantung pada usia dan keadaan
25

umum penderita, luasnya penyebaran, dan komplikasi lain yang menyertai. Untuk ini, diperlukan
pemeriksaan fisik yang seksama. Juga diperlukan kerja sama yang baik antara ginekologi
onkologi dengan radio terapi dan patologi anatomi.
Menurut Komite Nasional Penanggulangan Kanker (KPKN), Terapi lesi pra Kanker:9
1. LSIL
Dilakukan observasi ulang test 3 bulan: jika hasil negatif maka dilakukan skrining 12
bulan dan jika positif LSIL/HSIL, kemudian dilanjutkan Kolposkopi.
Test DNA HPV: jika hasil negatif lakukan skrining rutin dan jika hasil positif dilanjutkan
kolposkopi
2. HSIL
Kolposkopi memuaskan:
A. Jika negatif dilakukan observasi
B. NIS I : Test DNA HPV, jika hasil negatif /tidak dilakukan, dilakuakn observasi
Test DNA HPV, jika hasil positif dilanjutkan terapi ablasi
C. NIS II : Terapi ablasi
D. NIS III : bedah eksisi
Kolposkopi tidak memuaskan dilanjutkan konisasi

Terdapat beberapa metode pengobatan lesi prakanker serviks:


1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal
Yang termasuk pada metode terapi ini adalah krioterapi {I}, elektrokauter {II},
elektrokoagulasi, dan CO2 laser. Penggunaan setiap metode ini bertujuan untuk memusnahkan
daerah-daerah terpilih yang mengandung epitel abnormal, yang kelak akan digantikan dengan
epitel skuamosa yang baru.9

26

a. Krioterapi
Krioterapi ialah suatu usaha penyembuhan penyakit dengan cara mendinginkan bagian
yang sakit sampai dengan suhu di bawah nol derajat Celcius. Pada suhu sekurang-kurangnya 25
derajat Celcius sel-sel jaringan termasuk NIS akan mengalami nekrosis. Sebagai akibat dari
pembekuan tersebut, terjadi perubahan-perubahan tingkat seluler dan vaskuler, yaitu (1) selsel
mengalami dehidrasi dan mengerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; (3) syok
termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status umum sistem mikrovaskular. Pada
awalnya digunakan cairan Nitrogen atau gas CO2, tetapi pada saat ini hampir semua alat
menggunakan N2O.9

b. Elektrokauter
Metode elektrokauter dapat dilakukan pada pasien rawat jalan. Penggunaan elektrokauter
memungkinkan untuk pemusnahan jaringan dengan kedalaman 2 atau 3 mm. Lesi NIS I yang
kecil di lokasi yang keseluruhannya terlihat pada umumnya dapat disembuhkan dengan efektif.9

c. Diatermi Elektrokoagulasi Radikal


Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif jika
dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan anestesi umum. Tindakan ini
memungkinkan untuk memusnahkan jaringan serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi
serviks dapat dipengaruhi, terutama jika lesi tersebut sangat luas. Dianjurkan penggunaannya
hanya terbatas pada kasus NIS 1/2 dengan batas lesi yang dapat ditentukan.9

d. CO2 Laser
27

Penggunaan sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu


muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas helium, gas nitrogen, dan
gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser yang mempunyai panjang gelombang 10,6u.
Perubahan patologis yang terdapat pada serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu
penguapan dan nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena cairan
intraselular mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak di bawahnya.
Volume jaringan yang menguap atau sebanding dengan kekuatan dan lama penyinaran.9

2. Terapi NIS dengan Eksisi LEEP (Loop Electrosurgical Excision Procedures)


Ada beberapa istilah dipergunakan untuk LEEP ini. Cartier dengan menggunakan kawat
loop kecil untuk biopsi pada saat kolposkopi yang menyebutnya dengan istilah diatermi
loop.Prendeville et al. menyebutnya LLETZ (Large Loop Excisional Tranformation Zone).9
Pada umumnya kasus stadium lanjut (stadium IIb, III, dan IV) dipilih pengobatan radiasi
yang diberikan secara intrakaviter dan eksternal, sedangkan stadium awal dapat diobati melalui
pembedahan atau radiasi.
Terapi tunggal apakah berupa radiasi atau operasi merupakan pilihan bila kanker serviks
dapat didiagnosis dalam stadium dini. Namun, sayang tidak sedikit penderita kanker serviks
datang berobat setelah stadium lanjut dimana terapi yang efektif menjadi persoalan.
Pada dasarnya untuk stadium lanjut (IIb, III, dan IV) diobati dengan kombinasi radiasi eksterna
dan intrakaviter (brakhiterapi). Kombinasi radiasi ini untuk mendapatkan dosis cukup pada titik
A. Berbagai perangkat radiasi dapat digunakan untuk menghasilkan kekuatan radiasi sesuai
dengan kebutuhan. Teknologi radiasi eksterna dimulai tahun 1954 dengan ditemukannya alat
radiasi Cobalt 60 yang sudah memberikan energi 1 cm di bawah kulit. Akhir akhir ini lebih
28

disenangi Linear accelerator yang menghasilkan energi foton dan mulai memberi energi 3 4
cm di bawah kulit.
Kombinasi pemberian sisplatin mingguan bersamaan dengan radiasi memberikan respon
yang cukup baik. Akan tetapi, bila terjadi kekambuhan baik lokal maupun jauh, setelah terapi
kemoradiasi ini biasanya usaha pengobatan lain sering gagal.
Banyak penelitian tentang pemberian kemoterapi baik tunggal maupun kombinasi untuk
mengobati penderita kanker serviks stadium lanjut atau kasus berulang yang tidak mungkin
dilakukan terapi operatif atau radiasi. Kombinasi antara bleomisin, sisplatin, dan ifosfamid
tampaknya memberi respons yang lebih baik, tetapi efek samping pada sistem syaraf pusat cukup
mengganggu. Klinik Mayo melaporkan pemberian kombinasi kemoterapi metotreksat
vinblastin doksorubisin dan sisplatin memberikan hasil yang lebih baik dengan efek samping
yang lebih ringan.
Harapan hidup penderita akan menjadi lebih baik bila setelah pemberian neoajuvan
kemoterapi ini dapat dilanjutkan dengan operasi radikal. Evaluasi respons kemoterapi neoajuvan
ini dengan bantuan MRI karena MRI dapat membedakan antara gambaran jaringan fibrosis dan
jaringan tumor.
Akhir akhir ini ada kecenderungan pembedahan kanker ginekologik menjadi kurang
agresif dengan tujuan mengurangi kecacatan dan mempertahankan fungsi organ genital. Kanker
serviks stadium Ia1 cukup hanya konisasi, sedangkan untuk stadium lainnya fungsi reproduksi
terpaksa dikorbankan.
Pada tahun 1994 DArgent memperkenalkan teknik operasi radikal kanker serviks
stadium dini dengan mempertahankan uterus. Operasi radikal ini dikenal sebagai trakhelektomi
radikal, dilakukan pada penderita kanker serviks stadium dini yang masih ingin hamil. 12

29

a. Mikroinvasi Stadium Ia1


Stadium Ia1 tanpa invasi pembuluh darah dan limfe kemungkinan penyebaran ke kelenjar
getah bening regionalnya tidak lebih dari 1%. Hal ini dimungkinkan untuk dilakukan tindakan
terapi yang lebih konservatif seperti histerektomi simpel. Bahkan, bagi penderita yang masih
ingin

hamil

dapat

dilakukan

tindakan

konisasi

serviks

asalkan

pada

pemeriksaan

histopatologinya tidak dijumpai sel tumor pada tepi sayatan konisasi. Tingkat kesembuhan pada
stadium ini dapat diharapkan hingga 100%. Namun, bila dijumpai invasi pembuluh darah atau
limfe sebaiknya dilakukan histerektomi radikal atau radiasi bila ada indikasi kontra tidakan
operasi. 12

b. Stadium Ia2
Kasus dengan invasi stroma lebih dari 3mm, tetapi kurang dari 5 mm (stadium Ia2)
kemungkinan invasi pembuluh darah atau limfe sekitar 7%. Kasus pada stadium ini harus
dilakukan histerektomi radikal dengan limfadenektomi kelenjar getah bening pelvis atau radiasi
bila ada indikasi kontra tindakan operasi. Jenis pembedahan lebih bersifat individual. Bila
dijumpai invasi limfe atau vaskular sebaiknya dilakukan histerektomi dan limfadenektomi atau
radiasi karena kemungkinan adanya anak sebar ke kelenjar getah bening. 12
c. Stadium Ib
Stadium Ib1 (ukuran lesi 4 cm) pengobatannya adalah histerektomi radikal dengan
limfadenektomi kelenjar getah bening pelvis dengan / tanpa kelenjar getah bening paraaorta
memberikan hasil yang efektif. Hasil yang sama efektifnya didapat bila diberikan terapi radiasi.

30

Walau kedua modalitas terapi ini memberikan tingkat kelangsungan hidup yang sama, penderita
usia muda operasi radikal lebih disukai karena kita dapat mempertahankan fungsi ovarium. 12
d. Stadium IIa
Jenis terapi sangat individual, bergantung pada perluasan tumor ke vagina. Keterlibatan
vagina yang minimal dapat dilakukan histerektomi radikal, limfadenektomi pelvis, dan
vaginektomi bagian atas. Terapi optimal pada kebanyakan stadium IIa adalah kombinasi radiasi
eksternal dan radiasi intrakaviter. Operasi radikal dengan pengangkatan kelenjar getah bening
pelvis dan paraaorta serta pengangkatan vagina bagian atas dapat memberikan hasil yang optimal
asalkan tepi sayatan bebas dari invasi sel tumor. 12

e. Stadium IIb, III dan IVa


Pada kasus kasus stadium lanjut ini tidak mungkin lagi dilakukan tindakan peratif
karena tumor telah menyebar jauh ke luar dari serviks. Pada bulan Februari 1999, National
Cancer Institute (NCI) di Amerika Serikat mengumumkan hasil pengobatan kemoradiasi berbasis
platinum memberikan hasil yang lebih baik dibanding radiasi saja untuk penderita kanker serviks
stadium IIb IVa, stadium Ia2 Iia risiko tinggi dan stadium Ib2 lesi besar (bulky tumor). Luas
lapangan radiasi bergantung pada besar tumor serta jauhnya keterlibatan vagina. Bila dari hasil
pemeriksaan imagine dicurigai anak sebar sampai kelenjar getah bening paraaorta, lapangan
radiasi harus diperluas sampai mencakup daerah ini. Khusus stadium IVa dengan penyebaran
hanya ke mukosa kandung kemih lebih disukai operasi eksenterasi daripada radiasi. Terapi
eksenterasi juga menjadi pilihan terapi kuratif atau paliatif pada kasus persisten sentral setelah
mendapat kemoradiasi ataupun bila ada komplikasi fistula rekto vaginal. 12

31

f. Stadium IVb
Kasus dengan stadium terminal ini prognosisnya sangat jelek, jarang dapat bertahan hidup
sampai setahun semenjak di diagnosis. Penderita stadium IVb bila keadaan umum
memungkinkan dapat diberikan kemoradiasi konkomitan, tetapi hanya bersifat paliatif. 12
2.1.12 Pencegahan Primer dan Sekunder
2.1.12.1 Pencegahan Primer
1.Menunda onset aktivitas seksual
Menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun dan berhubungan secara monogami akan
mengurangi risiko kanker serviks secara signifikan. 39

2. Penggunaan Kontrasepsi Barier


Dokter merekomendasikan kontrasepsi metode barier (kondom, diafragma, dan
spermisida) yang berperan untuk proteksi terhadap agen virus. Penggunaan lateks lebih
dianjurkan daripada kondom yang dibuat dari kulit kambing. 39
3. Penggunaan Vaksinasi HPV
Vaksinasi HPV yang diberikan kepada pasien bisa mengurangi infeksi Human
Papilomavirus, karena mempunyai kemampuan proteksi >90%. 39
Vaksin HPV yang saat ini telah dibuat dan dikembangkan merupakan vaksin kapsid L1
(imunogenik mayor) HPV tipe 16 dan 18. Vaksinasi HPV merupakan upaya pencegahan primer
yang diharapkan akan menurunkan terjadinya infeksi HPV risiko tinggi, menurunkan kejadian
karsinogenesis kanker serviks dan pada akhirnya menurunkan kejadian kanker serviks uteri.
Infeksi HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada 70-80% penderita kanker serviks, sehingga sejumlah
32

itu pula yang diharapkan dapat menikmati proteksi terhadap kanker serviks uteri. Pemberian
vaksin dilaporkan memberi proteksi sebesar 89%, karena vaksin tersebut dilaporkan mempunyai
cross protection dengan tipe lain. Vaksin yang mengandung vaksin HPV 16 dan 18 disebut
sebagai vaksin bivalent, sedangkan vaksin HPV tipe 16, 18, 6 dan 11 disebut sebagai vaksin
quadrivalent. HPV tipe 6 dan 11 (HPV risiko rendah) bukan karsinogen sehingga bukan
penyebab kanker serviks. Vaksin HPV risiko tinggi tipe lainnya belum dikembangkan.
Pemberian vaksin pada laki-laki dilaporkan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Vaksin
yang saat ini akan diaplikasikan adalah vaksin profilaksis bukan vaksin terapeutik. Vaksinasi
pada perempuan yang telah terinfeksi HPV tipe 16 dan 18 kurang bahkan mungkin tidak
memberi manfaat proteksi, tetapi pemberiannya dilaporkan tidak menimbulkan efek yang
merugikan. 39
2.1.12.2 Pencegahan Sekunder
Tes pap smear merupakan tes yang dipercaya sebagai pencegahan sekunder kanker
serviks dan tidak mahal. Tes pap smear yang pertama dilakukan ketika wanita menjadi aktif
secara seksual atau mencapai usia 18 tahun. Karena tes ini mempunyai risiko false negatif
sebesar 5-6%, Tes pap smear yang kedua seharusnya dilakukan saat tahun pemeriksaan yang
pertama. Penyakit Neoplastik serviks biasanya bekembang dari displasia menjadi karsinoma
insitu kemudian menjadi karsinoma invasif. Perkembangan dari awal sampai akhir ini biasanya
membutuhkan waktu 8-30 tahun. Oleh karena itu, dokter dapat mendeteksi dan menghentikan
penyakit ini dengan mengikuti jadwal tes pap yang dianjurkan. Penurunan insiden dan kematian
akibat kanker serviks berkaitan dengan skrining. Diperkirakan sebanyak 40% kanker serviks
invasif dapat dicegah dengan skrining pap interval 3 tahun. Semakin besar jumlah hasil negatif
yang didapat, maka akan semakin kecil risiko berkembangnya tumor serviks invasif. 39

33

Tujuan utama tes pap smear adalah untuk menemukan sel-sel kanker serviks dalam
stadium dini. Secara umum pemeriksaan tes pap smear adalah untuk mengetahui sel-sel serviks:40
- Normal atau tidak
- Jenis kelainannya radang, prakanker atau kanker
- Derajat kelainan
- Evaluasi sitohormonal
Selain melihat gambaran sel-selnya, pemeriksaan sitologi juga sekaligus dapat memberikan
informasi mengenai orgasme penyebab peradangan serta memantau hasil terapi.
2.2. Histerektomi pada Kanker Serviks
Pembedahan merupakan tindakan kuratif pada kanker serviks stadium awal, dan
kebanyakan wanita penderita kanker serviks stadium IB IIA di negara berkembang dilakukan
histerektomi radikal dengan limfadenektomi sebagai terapi primer.5
Operasi sebagai terapi primer memiliki keuntungan dalam mengangkat atau membuang penyakit
primernya dan memungkinkan dilakukannya surgical staging secara akurat, sehingga
memungkinkan target dari terapi ajuvan lebih akurat. 5
Histerektomi radikal pertama kali dilakukan oleh Clark di rumah sakit Johns Hopkins
pada tahun 1895. Pada tahun 1898 Wertheim menambahkan tindakan pengangkatan KGB pelvis
dan parametrium,dan pada tahun 1905 beliau sebesar 18% dan parametrium dan pada tahun 1905
beliau melaporkan luaran 270 pasiennya dengan angka mortalitas sebesar 18% dan morbiditas
sebesar 31%.5
Pada tahun 1901, Schauta melakukan histerektomu radika pervaginam dan melaporkan
34

angka mortalitas operatif yang lebih rendah bila dibandingkan histerektom radikal perabdominal.
Pada akhir abad ke-20, radioterapi lebih dipilih dalam penatalaksanaan kanker serviks awal leh
karena tingginya angka mortalitasdan morbiditas tindakan operasi. 5
Tahun 1944, Meigs kembali mempopulerkan tindakan operasi dengan mengembangkan
modifikasi operasi Wertheim dengan mengangkat semua KGB (operasi Wertheim-Clark +
Taussig). Meigs melaporkan angka ketahanan hidup sebesar 75% untuk pasien kanker serviks
stadium I dan angka mortalitas 1% bilaprosedur ini dilakukan oleh ahli ginekologi yang terlatih.
Sepanjang abad ke-20, terdapat berbagai modifikasi prosedur tindakan histerektomi radikal,
teruama dengan semakin majunya ilmu dan teknologi di bidang anesthesia, perawatan intensif,
antibiotik, dan transfusi darah. 5
Tahun 1974, Piver dkk. Mengklasifikasikan lima tipe histerektomi yaitu: 5
1. Histerektomi ekstrafasial (tipe I)
Ini merupakan simple histerektomi. Maksud dari histerektomi tipe ini adalah untuk
mengangkat semua jaringan serviks. Defleksi dan retraksi ureterke arah lateral tanpa diseksi dari
ureteral bed memungkinkan clamping jaringan paraservikal tanpa melakukan diseksi kea rah
jaringan serviks itu sendiri. Tindakan ini sesuai untuk kanker serviks stadium IA 1.
2. Histerektomi radikal yang dimodifikasi (tipe II)
Histerektomi tipe ini diperkenalkan oleh Ernst Wertheim. Tujuannya adalah untuk
mengangkat jaringan paraservikal lebih banyak, namun tetap mempertahankan aliran darah ke
ureter sebelah distal dan kandung kemih. Ureter dibebaskan dari posisi paraservikal, namun tidak
di diseksi di luar ligamentum pubovesikal. Ligamentum uterosakral direseksi pada pertengahan
antara uterus dan pertemuannya dengan sacrum. Pertengahan medial ligamentum kardinale dan
sepertiga atas vagina diangkat. Tindakan ini biasanya dilakukan pada kanker serviks stadium

35

IA2.
3. Histerektomi radikal ( tipe III)
Tindakan operasi yang sering dilakukan pada kanker serviks stadium IB ini
diperkenalkan oleh Meigs pada tahun 1944. Tujuan prosedur ini adalah eksisi radikal yang luas
dari jaringan parametrium dan paravesikal, serta pengangkatan KGB pelvis. Arteri uterina di
ligasi dari asalnya di arteri iliaka interna. Dilakukan

diseksi ureter dari ligamentum

pubovesikal hingga ke masuknya ureter ke kandung kemih , kecuali sebagian kecil lateral dari
ligamentum dipertahankan antara ujung bawah ureter dan arteri vesikalis superior, yang akan
mempertahankan aliran darah ke ureter sebelah distal. Ligamentum uterosakral di eksisi pada
pertemuannya dengan sacrum, sedangkan ligamentum kardinale di eksisi pada dinding pelvis.
Setengah bagian vagina juga diangkat. Diseksi ligamentum uterosakral dan vagina seperti itu
biasanya dilakukan pada kanker serviks stadium IB.
4. Histerektomi radikal yang diperluas (tipe IV)
Tujuan dari operasi ini adalah pengangkatan seluruh jaringa periureteral. Tindakan ini
berbeda dari histerektomi tipe III yaitu dari tiga aspeka) dilakukan diseksi ureter seluruhnya
dari ligamentum pubovesikal, (b). arteri vesikalis superior dikorbankan dan (c). tiga perempat
vagina di diseksi. Risiko terjadinya fistula ureter meningkat dengan prosedur ini, sehingga Piver
dkk. Melakukan operasi ini pada kasus rekuren sentral yang kecil setelah radioterapi yang sudah
diseleksi.
5. Eksenterasi parsial ( tipe V)
Tujuan operasi ini adalah pengangkatan kanker yang mengalami rekuren sentral yang
melibatkan ureter sebelah distal atau kandung kemih. Organ yang bersangkutan dieksisi secara
parsial dan ureter di implantasikan kembali ke dalam kandung kemih. Prosedur ini biasanya

36

dilakukan jika tidak sengaja ditemukan kanker yang melibatkan ureter sebelah distal pada saat
dilakukan histerektomi radikal. Alternatif lain, operasi dapat dibatalkan, dan pasien diterapi
dengan radioterapi.
Pada pertemuan International Gynecologic Cancer Society ke-12 di Bangkok, Thailand,
2008 juga dibicarakan tentang usulan klasifikasi histerektomu radikal berdasarkan luas
pegangkatan jaringan paraservikal. Berdasarkan klasifikasi tersebut, histerektomi radikal dibagi
atas: 5
1. Kelas A: reseksi minimal jaringan paraservikal serviks diangkat secara intoto
2. Kelas B: reseksi jaringan paraservikal pada daerah ureter reseksi komponen fibrous
3. Kelas C: reseksi jaringan paraservikal pada daerah dinding pelvisreseksi seluruh
jaringan paraservikal.
4. Kelas D: perluasan reseksi sesuai struktur anatomi dinding pelvis prosedur
eksenterasi

2.3. Komplikasi Histerektomi pada Kanker Serviks

Komplikasi intraoperatif dan post operatif termasuk cedera pada kandung kemih, usus,
ureter, pembuluh darah pelvis, dan saraf. Bila terjadi cedera tersebut harus dapat segera diketahui
dan diperbaiki. Dapat pula terjadi banyak kehilangan darah yang kadang membutuhkan transfusi
darah. 41
Disfungsi Kandung Kemih
Jika dilakukan sistometri untuk mengevaluasi disfungsi kandung kemih, akan dijumpai dua
bentuk kelainan yaitu kandung kemih hipertonik (yang lebih sering terjadi) dan kandung kemih
37

hipotonik (yang lebih jarang). Pasien dengan kandung kemih hipertonik memiliki sensasi
pengisisan kandung kemih yang normal dan perasaan penuh apda kandung kemihnya yang akan
menghilang dengan sendirinya dalam 3 minggu setelah operasi. Prognosa akan lebih buruk pada
pasien dengan kandung kemih hipotonik, yang biasanya memerluakn kateterisasi jangka panjang.
41

Bergmark dkk. dalam suatu penelitian di Swedia 1996-1997 , terhadap pasien kanker serviks
stadium IB-IIA yang telah menjalani histerektomi radikal pada tahun 1991-1992 melaporkan
terdapat 9 kali lipat lebih banyak keluhan kesulitan mengosongkan kandung kemih dibandingkan
dengan populasi kontrol. 41

Disfungsi Seksual
Suatu penelitian di Swedia pada penderita kanker serviks, melaporkan terjadi disfungs seksual
pada 5% pasien yang telah menjalani histerektomi radikal saja tanpa radiasi. berbeda halnya
dengan yang dilaporkan oleh Grumann dkk. dimana mereka menyatakan bahwa histerektomu
radikal tidak berhubungan dengan sekuele seksual. perbedaan ini mungkin disebabkan oelh
adanya perbedaan dalam keradikalan teknik operasi. 41
Limfedema
Dalam suatu penelitian terhadap 233 pasien yang menjalani limfadenekomui pelvis, 7 pasien
(20,2%) mengalami limfedema. Onset terjadinya pembengkakan adalah 53% dalam 3 bulan,
71% dalam 6 bulan, dan 84% dalam 12 bulan. 41
Bergmark dkk. dalam suatu penelitian di Swedia 1996-1997 , terhadap pasien kanker serviks
38

stadium IB-IIA yang telah menjalani histerektomi radikal pada tahun 1991-1992 melaporkan
terdapat 8 kali lipat lebih banyak keluhan terjadinya limfedema dibandingkan dengan populasi
kontrol. 41
Behtash dkk. melalui suatu penelitian prospektif kasus-kontrol membandingkan komplikasi
cedera traktus urinarius pada 50 pasien kanker serviks yang menjalani histerektomi radikal
dengan 50 pasien tumor jinak ginekologi yang menjalani simple histerektomi , melaporkan
bahwa tidak ada perbedaan komplikasi intraoperatif dan post operatif pada traktus urinarius
diantara histerektomi radikal dan simple histerektomi. 41

39

2.4

Manajemen Kanker Serviks Post Histerektomi


Setelah dilakukannya histerektomi radikal pada kanker serviks, beberapa pasien akan

berisiko tinggi mengalami kanker berulang. Sebagai contoh, pasien dengan tumor yang besar
(lebih dari 4cm), dijumpai pembesaran KGB, invasi dalam ke jaringan serviks atau invasi ke
pembuluh darah kecil atau pembuluh limfatik, hal ini menempatkan pasien pada risiko tinggi
berulangnya kanker kembali. Oleh karena itu, untuk mencegah berulangnya kanker kembali,
pasien akan dianjurkan untuk terapi radiasi. Pemberian radiasi setelah histerektomi merupakan
tatalaksana yang sering dilakukan setelah dilakukannya histerektomi pada pasien kanker serviks.
Menurut penelitian Sobhan et.al, terdapat sekitar 120 pasien dengan kanker serviks
berdasarkan klasifikasi FIGO berada pada stadium Ib-IIa yang telah dilakukan histerektomi
radikal pada tahun 2003 pada rumah sakit yang berbeda di Bangladesh dan telah menerima
radioterapi eksternal di National Institute of Cancer Research and Hospital, Dhaka . Hingga
Desember 2007,50 (42%) pasien mengalami kekambuhan. 34(70%) pasien mengalami
kekambuhan local, 13(26%) mengalami kekambuhan jauh dan 2 (4%) kekambuhan local dan
jauh. Sebanyak 15 pasien dengan metastasis jauh, 6(40%) mengalami pembesarankelenjar
getahbening ekstra pelvic. Waktu pertengahan untuk terjadinya kekambuhan adalah 19
bulan(dengan rentng 1-10 blan) untuk kegagalan local, 33 bulan(dengan rentang 12-108 bulan)
untuk kegagalan lokasi jauh dan 25 bulan( dengan rentang 13-36 bulan) yang mengalami
keduanya local dan jauh. Delapan puluh persen kekambuhan terjadi dalam 36 bulan. 44
Menurut

pedoman

the German Arbeitsgemeinschaft Gynaekologische Onkologie

(AGO), merekomendasikan histerektomi radikal ditambah dengan radioterapi adjuvan sebagai


pendekatan tepat dalam menangani kanker serviks stadium IIB menurut FIGO. Terdapat banyak

40

kelebihan yang berhubungan dengan histerektomi dakn radioterapi radikal. Operasi primer
menajaga ovarium dan menjaga supaya tidak terjadi

menopause lebih awal, dan dapat

menurukan fibrosis vagina dibandingkan dengan radioterapi radikal. Dan juga, radioterapi dapat
diberikan pada pasien usia tua, pada pasien yang juga memiliki penyakit lain, dan ivasi ke vagina
yang diprediksikan mengalami inkontinensia urinary yang berat akibat dari histerektomi. Pada
studi sebelumnya, 5-year survival rates pasien dengan kanker serviks stadium IIB FIGO yang
diterapi dengan pembedahan radikal ditambah dengan radioterapi adjuvant dilaporkan dari
rentang 64% hingga 85,2%. Studi ini dibandingkan dengan 5-year survival rates yang diteapi
dengan radioterapi definitive (64-81,1%). Bagaimanapun juga, komplikasi juga berhubungan
dengan terapi pada pasien, yang secara signifikan berefek pada kualitas hidup pasien, sebuah
pertimbangan kritis saat memutuskan diantara dua modalitas terapi dengan angka ketahanan
hidup yang ekuivalen. Seperti yang telah dilaporkan, kombinasi pengobatan histerektomi radikal
ditambah dengan radioterapi adjuvant berhubungan dengan peningkatan tingkaan morbiditas
yang signifikan dibandingkan dengann hanya histerektomi saja. Walaupun begitu, diperkirakan
bahwa radioterapi radikal lebih menguntungkan pada kanker serviks stadium IIB yang
membutuhkan radioterapi adjuvant yang diikuti dengan histerektomi radikal. 44

Radiasi akan

menimbulkan efek samping berupa gangguan hubungan seksual yang

disebabkan karena pengecilan liang vagina, gangguan lubrikasi, vagina yang pendek sehingga
menimbulkan rasa sakit. Komplikasi lebih lanjut seperti gangguan miksi, gangguan defekasi dan
limfedema. Histerektomi akan menyebabkan adanya keluhan dispareunia yang disebabkan oleh
karena memendeknya vagina setelah operasi. 42 Dispareunia juga dapat disebabkan karena atropi
vagina sebagian atau seluruhnya setelah turunnya level estrogen akibat dari bilateral salpingo-

41

oophorectomi (BSO) oleh pemendekan dan penyempitan vagina dengan reseksi dinding vagina
dan rendahnya lubrikasi vagina selama stimulasi seksual. Salah satu penelitian terbesar
menginvestigasi kualitas hidup pada 860 pasien yang ditangani kanker serviksnya dalam follow
up 3-2 tahun. Sebanyak 56% pasien yang mengalami operasi histerektomi di monitor s=dengan
kuesioner standar. Dispareunia dilaporkan terjadi pada 44% wanita setelah histerektomi radikal.
Insiden tertinggi dispareunia dikonfirmasi terjadi pada 26-30% pasien.
Beberapa laporan menyebutkan terjadi gangguan fungsi seksual setelah dilakukan terapi
kanker serviks terutama histerektomi. Bagaimanapun juga, hal itu bergantung pada diagnosis
secara ginekologis, stadium penyakit dan modalitas terapi serta prognosis angka ketahan hidup
pasien sendiri. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa penatalaksanaan dengan histerektomi
radikal tidak memiliki efek samping pada fungsi seksual dari pasien yang menerima prosedur
tersebut. Namun, karena sampel yang digunakan bersifat heterogen hal itu tidak dapat dipastikan
bahwa apakah sebelumnya pasien pernah mengalami gangguan seksual sebelum diterapi. Barubaru ini, ergmark et al., melakukan analisis terapi pada penelitiannya dengan metode crosssectional pada stadium awal kanker serviks. Mereka melaporkan pasien mengalami perubahan
efek samping pada vagina setelah mendapatkan terapi histerektomi radikal. Sebaliknya, pada
penelitian sederhana dengan 20 pasien yang menderita kanker serviks, Grumann et al
menemukan bahwa pasien tersebut tidak pernah mengalami sekuele seksual akibat histerektomi
radikal tersebut.42
Sekitar 30% penderita kanker serviks pada akhirnya akan gagal setelah mendapatkan
pengobatan definitif. Berdasarkan laporan yang ada, tingkat kelangsungan hidup 5 tahun pasien
yang mengalami kegagalan pengobatan adalah antara 3,2% dan 13%. Penatalaksanaan
kekambuhan tergantung pada luasnya penyakit, pengobatan utama, dan status umum pasien serta
42

komorbiditas. Pengobatan primer, dan karakteristik

presentasi penyakit merupakan penentu

untuk prognosis setelah kekambuhan. Pengobatan dengan kemoradiasi secara bersamaan akan
mencapai hasil yang signifikan lebih baik daripada radiasi saja pada pasien yang mengalami
kekambuhan setelah dilakukan histerektomi radikal primer. Isolasi metastasis kelenjar getah
bening paraaortic dan kekambuhan lokal yang terbatas pada serviks dikaitkan dengan hasil yang
lebih

baik

pada

kegagalan

setelah

mendapatkan

radioterapi

definitif.

Ketika radioterapi definitif atau operasi ditambah radioterapi adjuvant menemui kegagalan,
eksenterasi panggul biasanya diperlukan untuk mereka yang mengalami kekambuhan dengan
dinding samping panggul jelas dan bebas dari metastasis jauh. Untuk pasien yang memiliki
kekambuhan melibatkan dinding panggul iradiasi, eksenterasi panggul biasanya bukan menjadi
pilihan untuk tujuan kuratif. Radioterapi intraoperatif, dikombinasikan dengan pengobatan
radioterapi dan perluasan lateral reseksi endopelvis telah banyak digunakan dan menemui angka
keberhasilan yang cukup tinggi.

Kemoterapi saja pada dasarnya hanya bersifat paliatif.

Umumnya, kombinasi kemoterapi bisa mencapai tingkat respons yang lebih tinggi dibandingkan
hanya dengan menggunakan cisplatin secara tunggal. Penyelidikan baru-baru ini menunjukkan
manfaat dari positron emission tomography (PET) yang lebih akurat dalam menentukan stadium
ulang pada penyakit berulang. Oleh sebab itu, sangat penting dilakukan berbagai strategi
pengawasan pasca perawatan dan tindakan terapi yang diberikan pada pasien untuk lebih awal
dapat mendeteksi kegagalan terapi dan harus terus dilakukan evaluasi terhadap perkembangan
pasien sehingga risiko kekambuhan dapat diatasi dengan tepat dan cepat. 43
Wanita dengan kanker serviks yang dideteksi pada tahap awal seringkali diterapi dengan
histerektomi radikal dikombinasikan dengan diseksi kelenjar getah bening pada pelvik dan atau
para aorta. Setelah pembedahan, beberapa faktor prognostik (stadium kanker serviks, jenis sel

43

dan keterlibatan kelenjar getah bening) mengindikasikan membutuhkan penanganan tambahan,


termasuk keterlibatan parametrium, invasi vagina, adanya pembesaran kelenjar getah bening
pada pelvik, invasi jarak lymphvaskular, kedalaman invasi stroma dan ukuran tumor serta yang
memiliki risiko tinggi yang membutuhkan radioterapi adjuvant. Keberadaan kelenjar getah
bening pelvik yang positif seringkali merupakan factor risio yang tinggi, dan bisanya bergantung
pada faktor prognostic. Uno et al. menemukan bahwa angka ketahanan hidup dalam 5 tahun pada
pasien dengan dan tanpa metastasis ke kelenjar getah bening pada pelvik adalah masing-masing
52% dan 89%, dan angka ketahanan hidup bebas dari kekambuhan pada pasien adalah 44 orang
(83%). Stock RG et al. melaporkan bahwa pasien yang menerima radiasi pelvik post
histerektomi secara signifikan meningkatkan kontrol pelvik, bebas penyakit. Bagaimanapun,
kebanyakan pasien dengan metastasis ke kelenjar getah bening menerima radioterapi adjuvant
post histerektomi dan platinum-based chemotherapy tanpa brakiterapi vaginal, dan radioterapi
intrakavitas hanya dikombinasikan dengan radioterapi eksternal pada beberapa institusi dan
hanya pada kasus dengan keterlibatan batas reseksi vagina.47,48
Beberapa studi menilai keluaran ketahanan hidup pasien post histerektomi dengan
metastasis pada kelenjar getah bening pelvik dengan atau tanpa brakiterapi. Walaupun, studi
terbaru menginvestigasi dampak brakiterapi vaginal pada pasien dengan metastasis kelenjar
getah bening pelvik setelah histerektomi radikal dan berusaha menentukan apakah brakiterapi
diperlukan pada pasien ini. Pada studi restrospektif ini, peneliti membandingkan pasien dengan
metastasis kelenjar getah bening yag menerima radioterapi eksternal untuk pelvik dengan
brakiterapi post histerektomi pada pasien yang hanya menerima radioterapi eksternal pelvis
(EBRT). Prognosis pasien dan pola kegagalan terapi berhubungan dengan metode terapi. Pasien
pada grup kombinasi memiliki progresi lokal yang lebih kecil dibandingkan grup yang diberikan

44

hanya EBRT saja. Pada pasien yang hanya menerima radioterapi pelvik, lokasi pertama
kekambuhan paling banyak di pelvis; kebalikannya, hanya satu pasien yang diterapi dengan
radiotepai eksternal ditambah dengan brakiterapi yang mengalami kekambuhan di pelvis,
kecurigaan bahwa terapi EBRT saja pada pelvik tidak adekuat untuk mencegah kekambuhan
lokal pelvis. 47,48
Meskipun komplikasi sering tidak dilaporkan pada laporan retrospektif, umumnya pasien
dapat menyelesaikan terapi regimen radiasi, baik radiasi eksternal dan brakiterapi, dan
kebanyakan pasien yang menerima radiasi mengalami efek samping yang minimal. Tingkat
komplikasi akut dan lambat pada studi kami telah diterima dan dibandingkan pada laporan
sebelumnya, seperti laporan Sedlis tentang keparahan dan toksisitas terapi pada 6% pasien yang
diradiasi. Lebih lagi, efek samping pada kandung kemih atau rectum dengan brakiterapi tidak
signifikan dilaporkan. Hasil ini mengindikasikan bahwa kombinasi terapi adjuvant dengan
brakiterapi ditoleransi dengan baik dan regimen terapi sebaiknya direkomendasikan sebagai
metode yang lebih efektif untuk radioterapi adjuvant post histerektomi pada metastasis ke
kelenjar getah bening kanker serviks. Bagaimanapun, dilaporkan tingkat brakiterapi yang
digunakan lebih rendah dari yang diharapkan, peralatan dan jumlah staff yang tidak cukup untuk
melaksanakan brakiterapi pada beberapa departemen ginekologi onkologi, terutama di institusi
non akademik yang kecil. 47,48
Kesimpulannya, kami mengamati bahwa kombinasi EBRT pelvik dan kemoterapi
konkomitan dengan brakiterapi vagina lebih efektif untuk terapi kanker serviks yang dijumpai
metastasis pada kelenjar getah bening, dibandingkan EBRT pelvik dan kemoterapi saja.
Keterlibatan brakiterapi menurunkan tingkat rekurensi local dari kanker serviks, yang memicu
kepada penyakit lebih parah, dan tidak meningkatkan tingkat efek samping, seperti toksisitas

45

hematologi. Sebagai tambahan, insiden efek samping yang lambat hamper sama antara dua
kelompok terapi. Studi ini mencurigai bahwa EBRT pelvik dengan brakiterapi vagina layak dan
memiliki implikasi klinis yang signifikan untuk terapi kanker serviks, lagipula, brakiterapi
sebaiknya dipertimbangkan sebagai strategi terapi masa yang akan datang pada kanker serviks
yang menjadi kandidat untuk radioterapi post histerektomi. 47,48

2.4.1 Pap Smear Post Histerektomi


The National Cervical Screening Program merekomendasikan bahwa semua wanita
dengan rentang usia 18-70 tahun yang pernah aktif berhubungan seksual sebaiknya melakukan
pemeriksaan pap smear setiap dua tahun. Wanita yang pernah mengalami histerektomi
tergantung dari jenis histerektominya juga dianjurkanuntuk melakukan pemeriksaan pap smear
post histerektomi. 46
Menurut The National Cervical Screening Program tahun 2006 membuat klasifikasi
anjuran pap smear pada pasien post histerektomi: 1) Wanita dengan riwayat histerektomi total: a.
Wanita yang mengalami histerektomi total yang memiliki riwayat hapusan normal, tidak
membutuhkan untuk pemeriksaan sitologi vagina, b. Wanita yang memiliki riwayat hapusan
yang tidak diketahui sebaiknya dilakuakan pemeriksaan sitologi vagina, jika normal, tidak
dibutuhkan pemeriksaan sitologi vagina lagi, c. Wanita dengan bukti histologi CIN 1 pada waktu
tertentu sebelumnya harus melakukan pemeriksaan vagina setiap 3 tahun berturut-turut hingga
usia 70 tahun. 2) Wanita dengan histerektomi subtotal : wanita dengan histerektomi sub total
membutuhkan screening rutin sesuai pedoman yang ada.3) Wanita dengan riwayat histerektomi
total terkait dengan CIN 2 atau 3: a. Wanita dengan bukti histologi pada high grade lesion pada
waktu tertentu sebelumnya sebaiknya melakukan pemeriksaan hapusan vagina secara rutin
46

hingga usia 70 tahun, b. tes HPV dapat dilakukan setelah 12 bulan terapi contohnya follow up
sitologi dan tes HPV secara rutin dilakukan hingga wanita tersebut mendapatkan hasil tes
negative untuk kedua tes tersebut. 4) Wanita dengan histerektomi untuk keganasan genitalia:
wanita ini sebaiknya berada dalam pengawasan ginekologi onkologi. 46

47

BAB 3
KESIMPULAN

1. Kanker serviks adalah penyakit keganasan primer ada serviks uterus. Dimana serviks adalah
bagian dari uterus yang bentuknya silindris, diproyeksikan ke dinding vagina anterior bagian atas
dan berhubungan dengan vagina melalui sebuah saluran yang dibatasi ostium unterus eksternum
dan internum.
2. Pembedahan merupakan tindakan kuratif pada kanker serviks stadium awal, dan kebanyakan
wanita penderita kanker serviks stadium IB IIA di negara berkembang dilakukan histerektomi
radikal dengan limfadenektomi sebagai terapi primer
3. Efek samping dari histerektomi radikal adalah terjadi komplikasi intraoperatif dan posoperatif
termasuk cedera pada kandung kemih, usus, ureter, pembuluh darah pelvis, dan saraf.
4. Setelah dilakukannya histerektomi radikal pada kanker serviks, beberapa pasien akan berisiko
tinggi mengalami kanker berulang. Oleh karena itu, untuk mencegah berulangnya kanker
kembali, pasien akan dianjurkan untuk terapi radiasi. Pemberian radiasi setelah histerektomi
merupakan tatalaksana yang sering dilakukan setelah dilakukannya histerektomi pada pasien
kanker serviks.
5. Oleh sebab itu, sangat penting dilakukan berbagai strategi pengawasan pasca perawatan dan
tindakan terapi yang diberikan pada pasien untuk lebih awal dapat mendeteksi kegagalan terapi

48

dan harus terus dilakukan evaluasi terhadap perkembangan pasien sehingga risiko kekambuhan
dapat diatasi dengan tepat dan cepat

49

DAFTAR PUSTAKA

1. DiSaia P, Creasman W. Invasive cervical cancer. In: Clinical gynecology oncology. ElsevierMosby; 2007. p.56115.
2. Ferlay J, Soerjomataram I, Ervik M, Dikshit R, Eser S, Mathers C, Rebelo M, Parkin DM,
Forman D, Bray, F (2013). GLOBOCAN 2012 v1.0, Cancer Incidence and Mortality Worldwide:
IARC CancerBase No. 11 [Internet]. Lyon, France: International Agency for Research on Cancer.
3. Perhimpunan Onkologi Indonesia. (2010). Pedoman Tata Laksana Kanker. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI
4. Pardede, Sumondang, Wahyuni A.S., Gumulya R.et al. Prevalensi Kanker Leher Rahim dan
Perilaku Kesehatan Reproduksi Masyarakat Kota Medan Tahun 2008. Medan: Yayasan Kanker
Indonesia Cabang Sumatera Utara, 2008
5. Hacker, N.F. Cervical cancer, dalam: Practical Gynecologic Oncology. Fourth edition. Berek
S.J, 2005, hal: 337-86.
6. Posadas, E.M. Cervical Cancer dalam: Bethesda Handbook of Clinical Oncology, second
edition. Lippincott WWilliams & Wilkina, 2005, page: 246-55
7. Edianto D, Kanker Serviks, dalam: Buku Acuan Nasional Okologi Ginekologi, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawiroahrdjo, Jakarta.2006, hal: 442-55
8.

Cervical

Cancer,

American

Cancer

Society

2002

available

in

http://cache.search.yahoo.net/search/cache?ei=UTF8&p=cervical+cancer
%2C+radical+hysterectomy&fr=yfpt501&fp_ip=ID&u=www.cancer.org/downloads/CRI/Cervic
al_Cancer_PDF_.pdf&w=cervical+cancer+cancers+radical+hysterectomy&d=ATODhg5RLMv&icp=1&.intl=us
50

9. Andrijono, Panduan Pelayanan Medik Ginekologi Onkologi, Perkumpulan Obstetri


Ginekologi Indonesia, Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia, Juni 2007, hal : 13-27.
10. Samadi, Priyanto. Yes, I Know Every Thing About Kanker Serviks. Solo : PT. Tiga Serangkai
Pustaka. 2011.
11. Jemal Ahmedin, Freddie Bray, Melissa M. Center, MPH3; Jacques Ferlay, Elizabeth Ward,
David Forman. Global Cancer Statistics. CA CANCER J CLIN 2011;61:6990
12. Aziz, Farid., Andrijono., & Saifudin, B.A. Onkologi Ginekologi. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2006.
13. Rasjidi I, Epidemiologi Kanker Serviks, Indonesian Journal of Cancer Vol. III, No. 3, 2009,
103-108
14. Nuranna L et al, SkriningKanker LeherRahimDengan MetodeInspeksi VisualDengan Asam
Asetat (IVA), Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2008
15. Yada-Hashimoto N, Yamamoto T, et al, Metastatic ovarian tumors: a review of 64 cases.
Gynecologic Oncology. 2003; 89:3147.
16.American Cancer Society, Cancer Prevention & Early Detection Facts & Figures, Atlanta:
American Cancer Society. 2008.
17.Nurwijaya, H., Andrijono, Suheimi, H. Cegah dan Deteksi Kanker serviks. Jakarta: Gramedia.
2002.
18. Wijaya, D. Pembunuh Ganas Itu Bernama Kanker Serviks, Yogyakarta : Sinar Kejora. 2010.
19. Hidayat, A. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik analisis data. Jakarta: Salemba
Medika. 2010.

51

20. Bustan, M.N., 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta : 71-80.
21. Sitopu, S.D., 2011. Hubungan Karakteristik, Pengetahuan dan Sikap Ibu Serta Dukungan
Suami dengan Tindakan Pap Smear di RSUP. H. Adam Malik Medan. Medan: FK USU.Tesis.
22. Wiknjosastro, Ginekologi Onkologi , edisi ketiga, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta, 2008.
23. Darwinian. A. 2006. Gangguan Kesehatan Pada Setiap Periode Kehidupan Wanita. Smart
living. Edisi ke 3.Jakarta.Jakarta.Mangan Y. 2003. Cara Bijak Menaklukan Kanker. Depok : PT
Agromedia Pustaka. Mega Antara, Suwi Yoga, Suastika (2008) Ekspresi p53 pada Kanker
Serviks Terinfeksi Human Papilloma Virus tipe 16 dan 18: Studi Cross Sectional_Fakultas
Kedokteran, Universitas Udayana/Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
24. Adrijono. Vaksinasi HPV merupakan Pencegahan Primer Kanker Serviks. Majalah
Kedokteran Indonesia. 2007; 57(5): 153-5.
25. Amandhari KD. Hubungan rutinitas wanita untuk melakukan pap-smear dengan keadaan lesi
prakanker maupun kanker serviks saat datang ke Poli Onkologi satu atap RSUD dr. Soetomo.
Bulletin Penelitian RSUD dr. Soetomo. 2010; 12(2): 95-6.
26. Lembahmanah L. Analisa faktor pendidikan pada wanita peserta program penapisan kanker
leher rahim dengan pendekatan See and treat: untuk deteksi lesi prakanker dan pengobatan
dengan terapi beku [internet]. c2009. [dikutip 24 September 2015]. Available from
http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/122569-S09011fk-Analisa%20faktor-Literatur.pdf
27. Mardjikoen P. Serviks uterus. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu kandungan. Edisi 2. Jakarta:
Bina Pustaka; 2009: 380-3.

52

28. Setyarini E. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kanker leher rahim di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta [internet]. c2009 [dikutip 24 September 2015]. Available
http://etd.eprints.ums.ac.id/3942/1/J410040010.pdf.
29. Pecorelli S, Chairman. Revised FIGO staging for carcinoma of the vulva, cervix, and
endometrium [internet]. c2009 [cited 24 September 2015]105: 103-4. Available from
http://www.kentmedwaycancernetwork.nhs.uk/EasysiteWeb/getresource.axd?
AssetID=85617&type=full&servicetype=Attachment
30. World Health Organization. World Cancer Report 2008. WHO Press, 2008.
31. L R Stankey, Kumar Vinay. Buku Ajar Patologi 2 Ed 4. Jakarta: EGC, 1995
32. World Health Organization. Cervical cencer screening in developingcountries: report of a
WHO consultation. WHO Press 2002.
33. World Health Organization. Progress in reproductive health research. WHO Press 2004.
34. Bergeron Christine. The 2001 Bethesda System. Salud Publica Mexico 2003;45: S340-S344.
35. Sulaini Pelsi. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. In: Aziz M Farid, Adrijojo,
Saifuddin Abdul Bari, editors. Biopsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2006. p. 239-252.
36. Damjanov Ivan. Cancer Grading Manual. Springer Science and Bussines, 2007
37.National

Cancer

Institute.

Tumor

Grade.

Available

from:

http://cancerweb.ncl.ac.uk/cancernet/600059.html. Data accessed August 13, 2009.


38. Pathology Student. Tumor Differentiation. Available at: www.pathologystudent.com/?cat=29.
Data accessed on September 24, 2015.
39.Rasjidi M. Manual prakanker serviks: kanker serviks. Edisi 1. Jakarta: CV Sagung Seto;
2008: 7-10.

53

40.Wiyono S, Mirza TI, Suprijono. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) untuk deteksi dini lesi
prakanker serviks. Media Medika Indonesiana. 2008; 43(3): 116-8.
41. Bergmark K , Dickman PW, Lymphedema and bladder-emptying difficulties after
radical hysterectomy for early cervical cander and among population controls, Int. J. Gynecol
Cancer 2006; 16;1130-39
42. Jensen, Pernille T. Early-Stage Cervical Carcinoma, Radical Hysterectomy, and Sexual
Function. CANCER. 2004.Volume 100 , Number 1.
43. Lai, Chyong-Huey. Management of Recurrent Cervical Cancer. Chang Gung Med J. 2004.
Vol. 27 No. 10
44. Sobhan Fauzia, Farzana Sobhan, Arif Sobhan. Recurrence of cancer cervix in patients treated
by radical hysterectomy followed by adjuvant external beam radiotherapy. Bangladesh Med Res
Counc Bull 2010; 36: 52-56
45.

Chai Yanlan. Et.al.

Radical hysterectomy with adjuvant radiotherapy versus radical

radiotherapy for FIGO stage IIB cervical cancer. Chai et al. BMC Cancer 2014, 14:63
46. Proposed New Guidelines for the Management of Women with Abnormal Cervical Smears.
National Cervical Screening Programme National Screening Unit Ministry of Health October
2006.
47. Li. Lei et al. Postoperative external beam irradiation with and without brachytherapy in
pelvic node-positive IB1-IIA2 cervical cancer patients: a retrospective clinical study. Li et al.
Radiation Oncology 2015, 10:189.
48. Peters 3rd WA, Liu PY, Barrett 2nd RJ, Stock RJ, Monk BJ, Berek JS, et al. Concurrent
chemotherapy and pelvic radiation therapy compared with pelvic radiation therapy alone as

54

adjuvant therapy after radical surgery in high-risk early-stage cancer of the cervix. J Clin Oncol.
2000;18:160613.

55

Anda mungkin juga menyukai