Anda di halaman 1dari 53

SINDROM NEFROTIK

Batasan:
Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas:
1. Edema.
2. Proteinuria masif ( 40 mg/m2/jam atau proteinuria +3 atau lebih).
3. Hipoalbuminemia ( 2,5 g/dl).
4. Hiperkolesterolemia 200 mg/dl.
5. Kadang-kadang hipertensi, hematuria, azotemia.
Etiologi:
1. SN Primer / Idiopatik.
2. SN Kongenital
3. SN Sekunder berhubungan dengan penyakit-penyakit tertentu.
a. Penyakit infeksi: malaria, hepatitis B, AIDS, paska infeksi streptokokus.
b. Penyakit vaskulitis sistemik: SLE, purpura Henoch-Schonlein.
c. Intoksikasi obat/logam berat, penisilamin, probenesid, timbal.
d. Keganasan: tumor Wilms, Hodgkin, leukemia.
e. Penyakit metabolik: diabetes mellitus, amiloidosis.
Patogenesis:
Permeabilitas
kapiler
glomerulus

Proteinuria
masif

Hipoalbuminemia

Katabolisme
lipoprotein

LDL
&VLDL

Hiperkolestrolemia

Tekanan
Onkotik

Hipovolemia

Tekanan perfusi
ginjal

Trigliseride

Aktivasi renin dan


angiotensin II
Aldosteron
Reabsorpsi Na di
tubulus distalis
Hipertensi

Retensi garam
dan air

Klasifikasi:

Edema

Masukan
air,garam

a. Berdasarkan etiologi:
Sindroma nefrotik primer
Sindroma nefrotik kongenital
Sindrom nefrotik sekunder
b. Berdasarkan kelainan histopatologi:
SN kelainan minimal (SNKM).
Glomerulosklerosis:
- Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS).
- Glomerulosklerosis fokal global (GSFG).
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD).
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif.
Glomerulonefritis kresentik (GNK).
Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP):
- GNMP tipe I dengan deposit subendotelial.
- GNMP tipe II dengan deposit intramembran.
- GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial.
Glomerulonefritis membranosa (GNM).
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL).
c. Berdasarkan respon terhadap terapi steroid:
Steroid responsif (umumnya SNKM)
Steroid dependen (umumnya juga SNKM)
Steroid non responsif (umumnya GSFS, GSFG, GNMP, dan GNMP) atau SN sekunder.
Komplikasi:
Infeksi, trombosis, hiperlipidemia hipovolemi, gagal ginjal akut, retardasi pertumbuhan
Prognosis:
SNKM: 4-5% menjadi gagal ginjal terminal pada pengamatan selama 20 tahun. GSFS: 25%
menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun.
SN primer (SNKM) /kortikosteroid responsif umumnya baik.
Pada kortikosteroid non responsif prognosis kurang baik, mortalitas pada jenis GSFS 50% 16
tahun setelah diketahui, pada GNMP 50% 11 tahun setelah diketahui. SN sekunder tergantung
penyakit primer.
Diagnosis
Dasar Diagnosis
SN: edema, hipoproteinemia (kadar protein serum 5,5 g/dl), hipoalbuminemia (kadar albumin
serum 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia (kadar kolesterol serum 200 mg/dl), proteinuri masif (kadar
proteinuri 0,05-0,1 g/kgBB/24 jam atau +++ pada pemeriksaan semi kualitatif).
SNI: bila etiologi SN tidak diketahui.
SN kongenital: bila gejala-gejala ditemukan 3 bulan pertama dari kehidupan.
SN sekunder: bila ditemukan penyebab.
Kortikosteroid responsif: urin bebas protein (<4 mg/jam/m 2 LPT) atau negatif/trace dengan
pemeriksaan asam sulfosalisilat 3 hari berturut-turut.
SN resisten steroid: remisi tidak terjadi setelah akhir minggu kedelapan pengobatan steroid
alternating.

Relaps jarang: Proteinuria +2 - +3 muncul kembali (kurang dari 2 kali) dalam setahun setelah
pengobatan steroid dihentikan.
Relaps sering: Proteinuria muncul 2 kali dalam 6 bulan atau 3 kali dalam setahun setelah
pengobatan steroid dihentikan.
Dependen steroid: relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah
pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.

Langkah Diagnosis
Tegakkan diagnosis SN dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Cari gejala lainnya, terutama gejala sindroma nefritis.
Cari komplikasi (hipotensi /syok, trombosis, infeksi, gagal ginjal).
Cari faktor penyebab.
Pemeriksaan rutin:
Darah tepi: Hb, jumlah leukosit, trombosit, hitung jenis, LED.
Urinalisis/biakan urine.
Kimia darah (kolesterol, trigliserida, LDL. VHDLalbumin/globulin, ureum,kreatinin, asam urat,
Na, K, Ca dan P)
Klirens Kreatinin (Rumus Schwart):
Tinggi Badan (Cm)
K X
Kreatinin Serum (mg/dl)
Nilai K pada:

BBLR
: 0,33
Aterm <1 tahun
: 0,45
1-12 tahun
: 0,55
Perempuan 13-21 tahun : 0,57
Lelaki 13-21 tahun
: 0,70
Tes Mantoux (sebelum terapi steroid dimulai).
Pemeriksaan atas indikasi:
Foto toraks, EKG bila dijumpai edema berat.
ASTO dan C3 bila dijumpai tanda-tanda nefritis.
CRP dan biakan urin bila dijumpai LED , hematuria, leukositosis, leukosituria dan
silinderuria.
ANA, anti dsDNA, C3, C4 bila dicurigai SLE (sindroma nefrotik sekunder).
Indikasi biopsi ginjal pada penderita SN :
1.SN kongenital
2.SN dengan manifestasi nefritis
3.SN dependent / relaps sering
4.SN resisten steroid

Indikasi Rawat:
Sindroma nefrotik serangan pertama kali.

SN relaps dengan edema anasarka atau penyulit (infeksi berat, muntah-muntah, diare, hipovolemia,
hipertensi, tromboemboli, GGA).
Sindroma nefrotik steroid resisten.
Sindroma nefrotik steroid kambuh sering dengan indikasi untuk terapi sitostatika tambahan.
Penatalaksanaan:
a. Sindroma Nefrotik Primer
1) Aktivitas
Aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien, jika ada: edema anasarka, dispneu,
hipertensi tirah baring.
2) Dietetik
Protein normal sesuai RDA yaitu 2 g/kg/hr.
Rendah garam (1-2 g/hr) selama edema/mendapat terapi steroid.
3) Cairan dan Diuretika
Retriksi cairan (30 ml/kgBB/hari) selama ada edema berat dan oliguri.
Loop diuretic (furosemid 1-2 mg/kgBB/hr), bila kadar kalium rendah <3,5 mEq/L dapat
dikombinasi dengan spironolakton (1-2 mg/kgBB/hr) diberikan pada edema
berat/anasarka. Diuretika lebih dari 1 minggu periksa ulang natrium dan kalium plasma.
Bila SN disertai hipovolemia (hipoalbuminemia berat kadar albumin 1,5 gr/dl) berikan
infus albumin rendah garam 20-25% 1 g/kgBB atau plasma sebanyak 15-20 ml/kgBB
dalam 1-2 jam, 15-30 menit setelah infus albumin/plasma selesai diberikan furosemid 1-2
mg/kgBB IV.
4) Antibiotika/antiviral
Antibiotika diberikan bila:
Edema anasarka + laserasi kulit Amoksisilin, Eritromisin, atau Sefaleksin.
Infeksi beri antibiotika yang disesuaikan dengan derajat berat infeksi.
Bila terjadi infeksi varicella Asiklovir 80 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis 7-10 hari,
pengobatan kortikosteroid stop sementara.
5) Imunisasi
Vaksin virus hidup baru diberikan setelah 6 minggu pengobatan steroid selesai.
Kontak dengan penderita varicella Imunoglobulin varicella-zoster dalam waktu <72
jam.
6) Tuberkulostatika
Test Mantoux (+) beri INH profilaksis.
TBC aktif beri OAT.
7) Pengobatan Kortikosteroid
Pengobatan steroid untuk sementara tidak boleh diberikan bila dijumpai hal-hal sebagai
berikut: hipertensi, infeksi berat (viral/ bakteri), azotemia.
Pengobatan inisial:
Dosis inisial Prednison atau Prednisolon 60 mg/m 2/hari atau 2 mg/kgBB/hari sesuai
dengan BB ideal (BB/TB) dibagi 3 dosis (maksimal 80 mg/hari) selama 4 minggu.
Remisi (+) pada 4 minggu pertama, dosis alternating 40 mg/m 2/hr (2/3 dosis initial)
selang sehari pada pagi hari sudah makan selama 4 minggu lalu stop. Bila remisi
terjadi antara minggu ke-5 sampai dengan akhir minggu ke-8, steroid alternating
dilanjutkan 4 minggu lagi.
Remisi (-) sampai akhir minggu ke 8 resisten steroid (lihat gamba

Prednison FD:60 mg/m2LPB/hr


Prednison AD:40 mg/m2LPB/hr
4 minggu I

4 minggu II

4 minggu III

Remisi (+)

Remisi (+)

Remisi (-): Resisten Steroid

Prednison FD inisial

2/3 dosis inisial

Gambar 1. Pengobatan Kortikosteroid pada Pasien Baru

Pengobatan SN Relaps:
Bila dijumpai proteinuria (+2) setelah pengobatan steroid selesai, perlu dicari faktor
pemicunya (biasanya infeksi) dan diobati dengan AB selama 5-7 hari. Bila proteinuria
jadi negatif tidak perlu diberi prednison, bila proteinuria masih tetap (+2) atau tidak
ditemukan fokus infeksi mulai dengan prednison dosis penuh sampai remisi
(proteinuria negatif atau trace 3 hari berturut-turut) (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dosis alternating selama 4 minggu stop.
Bila pada FD selama 4 minggu remisi (-), alternating 4 minggu remisi (-) resisten
steroid (lihat skema pengobatan resisten steroid).

Prednison FD:60 mg/m2LPB/hr


Prednison AD:40 mg/m2LPB/hr

Remisi
FD*

AD

5
* 4 minggu remisi langsung AD
Gambar 2. Pengobatan Sindroma Nefrotik Relaps

Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:


Ada 4 pilihan:
1. Dicoba pemberian steroid jangka panjang.
2. Pemberian Levamisol.
SN Relaps Frekuen / Dependen Steroid
3. Pengobatan CPA.
4. Pengobatan Siklosporin (terakhir).
Cari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi atau kecacingan.
Prednison FD Remisi
1. Steroid jangka panjang
Prednison AD + CPA
Dimulai dengan Prednison atau Prednisolon dosis penuh (4 minggu) sampai terjadi
remisi. Lanjutkan dengan
steroid alternating (4 minggu), kemudian dosis
Remisi
diturunkan perlahan 0,5
mg/kgBB
4 minggu Ad setiap 4 minggu sampai dosis terkecil yang
tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating, dapat
diteruskan selama 6-12 bulan coba dihentikan (gambar 3).
Bila relaps terjadi pada dosis Prednison rumat >0,5 mg/kgBB/alternating, tetapi <1
Diturunkan
mg/kgBB/alternating tanpa
efek samping yang berat dapat dicoba dikombinasi
sampai
threshold
dengan Levamisol selangdosis
sehari
2,5 mg/kgBB selama 4-12 bulan atau langsung
0,1-0,5
mg/kgBB
AD
diberi CPA.
(6-12 bulan)
Bila pasien:
1) Relaps pada dosis rumat
(1) >1 mg/kgBB/alternating atau
2) Meskipun dosis rumat <1 mg/ kgBB tetapi disertai:
a) Efek samping steroid yang berat.
Relaps pada Prednison
Relaps pada Prednison >1 mg/kg
b) Pernah relaps dengan
gejala yang berat antara lain hipovolemia,
>0,5 mg/kg AD
AD atau efek samping steroid
trombosis, sepsis: diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari selama
8-12 minggu.
(2)
2. Sitostatika:
1) Siklofosfamid (CPA oral) 2-3 mg/kgBB/hari atau intravena 500 mg/m 2/hari atau
2) Klorambusil 0,2 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
(3)
Levamisol 2,5Pemantauan
mg/kgBB AD
(4- pemeriksaan
CPA
2-3Hb,
mg/kgBB
dengan
darah
tepi:
lekosit,8-trombosit 1-2 X seminggu.
12 minggu
12Obat
bulan)
dihentikan bila jumlah lekosit <3.000/l,
Hb <8 g/dl atau trombosit <100.000/l
dan diteruskan kembali setelah lekosit >5.000/l.
3. Siklosporin (CPA):
Relaps pada:
Prednison standar
Siklosporin dosis 5 mg/kgBB/hari dipakai
1) Pada SN idiopatik yang tidak respon dengan pengobatan steroid atau sitostatika
(Gambar 3).
2) Pada SN relaps sering/dependen steroid:Relaps pada
Prednison >0,5 mg/kgBB AD

Siklosporin 5 mg/kgBB/hari
selama 1 tahun
Keterangan:
(1). Langsung diberi CPA (+ Prednison AD)
(2). Sesudah Prednison jangka6panjang CPA
(3). Sesudah Prednison jangka panjang + Levamisol CPA
Gambar 3. Skema Pengobatan Prednison Jangka Panjang

Pred
+
CPA
Puls

AD 6 bulan

Tap Off

Pengobatan SN resisten steroid:


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Lakukan
bulan Obat-obat yang digunakan bisa siklofosfamid puls
biopsi sebelum pengobatan 6dimulai.
2
500 mg/m /bulan + metilprednisolon 40 mg/m2/hari ALT
2
selama
Pred 6 bulan atau Siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari + Metilprednisolon 40 mg/m /hari ALT
selama
+ 3-6 bulan.
AD 6 bulan

CPA
Oral

Tap Off

3-6 bulan
CPA Pulse
Prednison
Tapering off

: 500 mg/m2/bulan
: 40 mg/m2/hari (1x pagi hari)
7
: 1 mg/kgBB/hari (1 bulan) 0,5 mg/kgBB/hari (1 bulan)

Gambar 4. Skema Pengobatan SN Resisten Steroid

b. Sindroma nefrotik kongenital


Steroid tidak diberikan.
Pengobatan konservatif lainnya (dietetik, penanggulangan infeksi, koreksi hipovolemia).
ACE inhibitor: Enalapril 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis atau Captopril 0,3 mg/kgBB/kali
dinagi 2-3 dosis dengan tujuan untuk menghilangkan proteinuria dan menghambat terjadi
gagal ginjal terminal.
Transplantasi ginjal
c. Sindroma nefrotik sekunder
Disamping penanganan terhadap sindroma nefrotiknya, perlu pengobatan terhadap penyakit yang
mendasarinya tergantung pada SP masing-masing dari jenis penyakit yang menimbulkan
sindroma nefrotik.
d. Pengobatan komplikasi
Infeksi (telah dibicarakan di atas).
Tromboemboli.
Pencegahan tromboemboli pada SN relaps sering/dependen steroid/steroid resisten:
Aspirin atau Dipiridamol selama pengobatan steroid.
Heparin diberikan bila sudah terjadi trombosis.
Hipovolemia.
Diatasi dengan infus NaCl fisiologis, lalu disusul dengan infus Albumin 1 gr/kgBB/ atau
plasma 20 ml/kgBB (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi,
penderita masih oliguria diberikan Furosemid 1-2 mg/kgBB intravena.
Hipokalsemia.
Suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D.
Bila terjadi tetani diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgBB intravena.
Tindak lanjut:
Dilakukan pemeriksaan berat badan. intake-output, lingkaran perut, tekanan darah setiap hari.
Pemeriksaan darah tepi 1 kali seminggu. Urinalisa dan pemeriksaan protein semikuantitatif 2 kali
seminggu (jika sudah trace, diulangi 3 kali berturut-turut). Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit
selama perawatan sekali dua minggu. Awasi efek samping obat dan komplikasi yang mungkin terjadi
selama pasien dirawat. Bila ditemukan, harus ditanggulangi.
Indikasi pulang:
Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik, komplikasi teratasi, dalam keadaan remisi.

Selama mendapat steroid kontrol sekali seminggu secara berobat jalan. Setelah steroid dihentikan
kontrol sekali sebulan selama 3-5 tahun bebas gejala.

SINDROM NEFRITIS AKUT (SNA)


Batasan:
SNA adalah kumpulan gejala-gejala nefritis yang timbul secara mendadak, terdiri atas hernaturia
proteinuria, silinderuria (terutama selinder eritrosit), dengan atau tanpa disertai hipertensi, edema,
kongestif vaskuler atau gagal ginjal akut sebagai akibat dari suatu proses peradangan yang lazimnya
ditimbulkan oleh reaksi imunologik pada ginjal yang secara spesifik mengenai glomeruli.
Etiologi:
a. Faktor infeksi
Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus (Glomerulonefritis akut
paska streptococcus).
Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain endokarditis bakterialis subakut dan
shunt nepritis.
b. Penyakit multisistemik antara lain:
Lupus eritematosus sistemik (LES).
Purpura Henoch Schonlein (PHS) .
c. Penyakit ginjal primer.
d. Nefropati IgA.
Patofisiologi:
Komplek imun atau anti glomerular basement membrane (GBM) antibodies yang
mengendap/berlokasi pada glomeruli-aktivasi komplemen jalur klasik atau altenatif dan sistem
koagulasi peradangan glomeruli
a. Hematuria proteinuria dan silinderuria (terutama silinder eritrosit)
b. Aliran darah ginjal laju filtrasi glomeruler (LFG) oliguria retensi air dan garam
edema, hipervolemia, kongesti vaskuler (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak napas, ronki,
kardiomegali). Azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia dan
hiperposfatemia semakin nyata, bila LFG sangat menurun.
c. Hipoperfusi aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2 yang bersifat vasokonstriksi
perifer perfusi ginjal makin menurun. LFG makin turun disarnping timbulnya hipertensi.
Angiotensin 2 yang meningkat merangsang kortek adrenal melepaskan aldosteron retensi air
dan garam hipervolemia hipertensi.
Bentuk Klinik:
a. SNA dengan hipokomplemenemia, dapat asimptomatis atau simtomatis. Termasuk kelompok ini
antara lain adalah:
1) Glomerulonefritis akut paska infeksi streptococcus.
2) Glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik seperti:
a) Endokarditis bakterialis akut/subakut.
b) Shunt nephritis.
3) Glomerulonefritis proliferatif membranosa.
4) Nefritis yang berhubungan dengan LES (nefritis lupus).
b. Sindroma nefritis akut dengan normokomplemenemia (dapat asimptomatis atau simtomatis).
Termasuk kelompok ini antara lain adalah:

1) Nefritis yang berhubungan dengan PHS.


2) Nefropati IgA.
Komplikasi:
1. Fase akut:
Ensefalopati hipertensif.
Payah jantung kongestif.
Gagal ginjal akut.
2. Jangka panjang:
Gagal ginjal kronik.
Prognosis:
SNA dengan hipokomplemenemia tergantung pada penyebabnya:
GNAPS: Prognosis baik, 95% sembuh sempuma, 3% meninggal karena komplikasi. 2%
berkembang menjadi GGK.
Nefritis yang berhubungan dengan endokarditis bakterialis akut/sub akut. Prognosis baik bila
pengobatan terhadap penyebab dilakukan secara intensif dengan antibiotika yang cocok dan
kadar komplemen kembali normal. Bila pengobatan terlambat, dapat terjadi gagal ginjal.
Shunt nephritis. prognosis umumnya baik, 50% dari kasus dilaporkan sembuh bila shunt yang
mengalami infeksi segera diangkat dan antibiotika yang cocok segera diberikan, 20% meninggal
disebabkan oleh penyakit neurologik primer, atau komplikasi pembedahan, sisanya dengan
gejala sisa berupa gangguan faal ginjal, hematuria dan proteinuria.
Nefritis lupus eritematosus sistemik (NEFLES). Prognosis berkorelasi dengan persentase klinik
saat serangan dan kelainan histologi dari glomeruli. Penderita NEFLES dengan kelainan minimal
mempunyai prognosis baik sedangkan penderita NEFLES dengan tanda sindroma nefritik
nefrotik yang berat (adanya hematuri, hipertensi dan insufisiensi ginjal) mempunyai prognosis
jelek.
Sindroma nefritis akut dengan normokomplemenemia
Nefritis Henoch Schnonlein (NHS)
Prognosis bergantung pada berat dan luasnya keterlibatan ginjal saat serangan penyakit Pada
anak dengan hematuria dengan/tanpa proteinuria ringan, prognosis baik, dimana kelainan
urinalisis akan menghilang sekitar 2-4 bulan, meskipun pengamatan jangka panjang
menunjukkan 5-10% dari penderita timbul gagal ginjal kronik. Penderita dengan gambaran
sindroma nefritis akut kelainan urinalisis terus berlanjut. Sebagian GGK timbul dalam beberapa
bulan pertama dari onset, sebagiannya lagi sekitar 5 sampai 15 tahun pengamatan. Indikator
buruknya prognosis meliputi dijumpai pula sindroma nefrotik, hipertensi gagal ginjal saat
seragan dan terdapatnya gambaran glomerular crescent (bulan sabit) pada biopsi ginjal.
Nefropati IgA.
Prognosis umumnya baik. Pada pengamatan dalam tempo yang singkat tidak pernah dijumpai
gagal ginjal progresif, meskipun kelainan urine tidak termasuk hematuria berulang biasanya
menetap. Pada pengamatan jangka panjang yang dilakukan dari 1 sampai 15 tahun, angka
kejadian gagal ginjal kronik dijumpai antara 5-9%, dikaitkan dengan dijumpai gambaran
glomerullar crescents pada biopsi ginjal.
Diagnosis:
Dasar diagnosis
SNA hipokomplemenemia:

10

Hematuria (makroskopis atau mikroskopis), proteinuria, silinderuria (terutama silinder eritrosit),


dengan atau tanpa edema, hipertensi, oliguria yang timbul secara mendadak disertai merendahnya
kadar sejumlah komplemen.
SNA hipokomplemenemia asimptomatis
Hanya menunnjukkan kelainan urinalisis minimal (hematuria mikroskopis, selinder eritrosit,
proteinuria trace atau 1) tanpa gejala lain.
SNA dengan hipokomplementemia simtomatis
Kelainan urinalisis yang nyata dengan gejala-gejala.
Langkah diagnosis
Cari penyebab dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia
GNAPS
Dicurigai sebagai penyebab SNA tanpa gejala bila pada anamnesis dijumpai riwayat kontak
dengan keluarga yang menderita GNAPS (pada suatu epidemi). Kelainan urinalis minimal,
ASTO >200 I, Titer C3 rendah (<80 mg/dl). Dicurigai sebagai penyebab SNA dengan gejala
bila ditemukan riwayat ISPA atau infeksi kulit, dengan atau tanpa disertai oliguria. Sembab
pada muka sewaktu bangun tidur, kadang-kadang ada keluhan sakit kepala. Pada pemeriksaan
fisik dapat dijumpai edema, hipertensi, kadang-kadang gejala-gejala kongesti vaskuler (sesak,
edema paru, kardiomegali), atau gejala-gejala gabungan sistem saraf pusat (penglihatan kabur,
kejang; penurunan kesadaran). Hasil urinalisis menunjukkan hematuria, protenuria (+2)
silinderuria. Gambaran kimia darah menunjukkan kadar BUN, kreatinin serum, dapat normal
atau meningkat, elektrolit darah (Na, K, Ca, P, Cl) dapat normal atau terganggu. Kadar
kolesterol biasanya normal, sedang kadar protein total dan albumin dapat normal atau sedikit
merendah, kadar globulin biasanya normal. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan
apusan tenggorok /keropeng kulit positif untuk kuman Streptococus B hemoliticus atau ASTO
>200 I. Hematuria, proteinuria dan silinderuria. Kadar CH50 dan C3 merendah (<80 mg/dl),
yang pada evaluasi lebih lanjut menjadi normal 6-8 minggu dari onset penyakit. Kadar C4
biasanya normal.
Endokarditis Bakterialis Subakut
Dicurigai sebagai penyebab SNA bila pada anamnesis didapatkan riwayat panas lama, adanya
penyakit jantung kongenital/didapat, yang diikuti oleh kemih berwarna seperti coca cola
(hematuria makroskopis). Pada pemeriksaan fisik ditemukan panas, rash, sesak, kardiomegali,
takikardi, suara bising jantung, hepatosplenomegali artritis/artralgia jarang dijumpai. Pada
urinalisis dapat ditemukan hematuria, proteinuria atau kelainan pada sedimen urine berupa
hematuria mikroskopis, lekosituria, selinderuria. Fungsi ginjal lazimnya mengalami gangguan
(BUN dan kreatinin serum). Gambaran darah tepi berupa lekositosis, LED meningkat, CRP
(+), titer komplemen (C3, C4) turun, kadang-kadang ditemukan pula peningkatan titer faktor
rematoid, kompleks imun dan krioglobulin dalam serum. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
temuan di atas disertai hasil kultur darah (+) terhadap kuman penyebab infeksi dan pada
ekokardiografi dijumpai vegetasi pada katup jantung.
Shunt Nefritis
Diagnosis dibuat berdasarkan adanya riwayat pemasangan shunt atrioventrikuloatrial/peritoneal untuk penanggulangan hidrosefalus, panas lama, muntah, sakit kepala,
gangguan penglihatan, kejang-kejang, penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
hidrosefalus dengan shunt yang terpasang, suhu tubuh meninggi, hipertensi, edema, kadangkadang dengan asites dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Urinalisis
menunjukkan hematuria, proteinuria, silinderuria. Fungsi ginjal biasanya terganggu. Kadar
total protein dan albumin serum biasanya rendah. Kadar elektrolit darah dapat terganggu. CRP
(+), titer komplemen (C3,C4) rendah. Kultur yang diperoleh dari shunt terinfeksi (+).

11

Lupus Eritematosus Sistemik (LES)


- Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan keluhan yang dijumpai pada anamnesis dapat berupa
panas lama, berat badan turun, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, depresi, psikosis,
kejang, ruam pada kulit. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan alopesia, butterfly rash,
lesi discoid, fotosensitivitas, ulkus pada mulut/nasofaring, pleuritis, perikarditis, hepatitis,
nyeri abdomen, asites, splenomegali.
- Pemeriksaan laboratorium:
Darah tepi: anemia normositik normokhrom, retikulositosis, trombositopenia, leukopenia,
waktu protrombin/waktu tromboplastin partial biasanya memanjang.
- Immunoserologis: Uji Coomb (+). Sel LE (+) persisten. Keterlibatan ginjal ditandai dengan
sindroma nefritis akut dengan atau tanpa disertai gagal ginjal akut atau sindroma nefrotik.
- Diagnosis: dari nefritis lupus ditegakkan berdasarkan kelainan diatas, dengan gambaran
biopsi ginjal, mulai dari yang ringan berupa GN proliferatif fokal ringan sampai yang berat
berupa proliferatif difusa.
b. SNA dengan normokomplenemia
Purpura Henoch-Schonlein (PHS)
- Diagnosis PHS sebagai penyebab, SNA ditegakkan berdasarkan riwayat ruam pada kulit,
sakit sendi dan gangguan gastrointestinal (mual, muntah, nyeri abdomen, diare berdarah atau
melena) dan serangan hematuria.
- Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai edema, dan hipertensi, ruam pada daerah bokong dan
bagian ekstensor dan ekstremitas bawah, arthralgia/arthritis, nyeri abdomen. Pada urinalisis
dijumpai hematuria, proteinuria dan silinderuria. BUN kreatinin serum dapat normal atau
meningkat dapat terjadi penurunan fungsi ginjal yang progresif yang ditunjukkan dengan
meningkatnya kadar ureum dan kreatinin serum. Kadar protein total, albumin, kolesterol
dapat normal, atau menyerupai gambaran sindroma nefrotik. ASTO biasanya meningkat
sedangkan IgM normal. Trombosit, waktu protombin dan tromboplastin normal. Pada PHS
dengan kelainan ginjal berat biopsi ginjal perlu dilakukan untuk melihat morfologi dari
glomeruli pengobatan dan untuk keperluan prognosis.
Nefropati IgA
- Kecurigaan kearah nefropati IgA pada seorang anak dibuat bila timbulnya serangan
hematuria makroskopis secara akut dipicu oleh suatu episode panas yang berhubungan
dengan ISPA.
- Hematuria makroskopis biasanya bersifat sementara dan akan hilang bila ISPA mereda,
namun akan berulang kembali bila penderita mengalami panas yang berkaitan dengan ISPA.
Diantara 2 episode, biasanya penderita tidak menunjukkan gejala kecuali hematuria
mikroskopis dengan proteinuria ringan masih ditemukan pada urinalisis. Edema, hipertensi
dan penurunan fungsi ginjal biasanya tidak ditemukan. Kadar IgA serum, biasanya
meningkat pada 10,2% dari jumlah kasus yang telah dilaporkan, kadar komplemen (C2, C4)
dalam serum biasanya normal. Diagnosis pasti dibuat berdasarkan biopsi ginjal.

Penatalaksanaan:
Semua SNA simtomatik perlu mendapat perawatan. Pengobatan ditujukan terhadap penyakit yang
mendasarinya dan komplikasi yang ditimbulkannya.
1) Tindakan umum:
Istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala edema, kongesti vaskuler (dispnu, edema paru,
kardiomegali, hipertensi) menghilang.
Diet.
Masukan garam (0,5-1 g/hari) dan cairan dibatasi selama edema, oliguria atau gejala kongesti
vaskuler dijumpai. Protein di batasi (0,5 g/kgBB/hari) bila kadar ureum di atas 50 gram/dl.

12

2) Pengobatan terhadap penyakit penyebab


a. GNAPS tanpa komplikasi berat
a) Diuretika:
Untuk penanggulangan edema dan hipertensi ringan disamping diit rendah garam,
diberikan furosemide 1-2 mg/kgBB/hari oral dibagi atas 2 dosis sampai edema dan tekanan
darah turun.
b) Antihipertensif
Bila hipertensi dalam derajat sedang sampai berat disamping pemberian diuretika
ditambahkan obat antihipertensif oral (Propranolol atau Kaptopril). (lihat standar profesi
hipertensi pada anak).
c) Antibiotika
PP 50.000 I/kgBB/hari atau Eritromisin oral 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10
hari untuk eradikasi kuman.
Pengobatan GNAPS dengan komplikasi berat:
a) Kongesti vaskuler (edema paru, kardiomegali, hipertensi)
Pemberian oksigen
Diuretika furosemide parenteral (1-2 mg/kgBB/kali)
Antihipertensi oral (Kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali 2-3 kali pemberian/hari).
Bila disertai gagal jantung kongestif yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian
digitalis.
b) Gagal ginjal akut (lihat standar profesi GGA).
c) Ensefalopati hipertensi (lihat standar profesi hipertensi).
d) Glomerulonefritis progresif cepat (GN kresentik). Merupakan bentuk GNAPS berat yang
ditandai serangan hematuria makroskopis, perburukan fungsi ginjal yang berlangsung
cepat dan progresif, dan pada biopsi ginjal dijumpai gambaran glomerular crescent.
Disamping penanggulangan hipertensi gagal ginjal diberikan pula pulse
Methylprednisolon.
15 mg/kgBB Metilprednisolon (tidak boleh melebihi 1 gram) perinfus sekitar 60-90
menit setiap hari selama 5-6 hari. Perlu dipantau:
Tanda-tanda fungsi vital (denyut nadi, tekanan darah, pernafasan).
Kadar elektrolit.
Lanjutkan dengan Metilprednisolon oral, 2 mg/kgBB/hr selama 1 bulan. Lalu dosis
prednisolon diberikan secara alternate 2 mg/kgBB/2 hari selama 1 bulan, kemudian
dilanjutkan separo dosis dengan interval 1 bulan, setelah diberikan 0,2 mg/kg sekali 2
hari selama 1 bulan lalu obat dihentikan.
Tindak lanjut:
Timbang berat badan 2 kali seminggu.
Ukur masukan cairan dan diuresis setiap hari.
Ukur tekanan darah 3 kali sehari selama hipertensi masih ada, kemudian 1 kali sehari bila
tekanan darah sudah normal.
Pemeriksaaan darah tepi dilakukan pada saat penderita mulai dirawat, diulangi 1 kali
seminggu atau saat penderita atau saat penderita mau dipulangkan. Urinalisis minimal 2 kali
seminggu selama perawatan. Perlu dilakukan biakan urine untuk mencari kemungkinan
adanya ISK. Bila ditemukan diobati sesuai dengan hasil sensitivitas.
Pemeriksaan kimia darah dilakukan saat dirawat dan waktu dipulangkan. Penderita dengan
komplikasi berat pemeriksaan darah terutama ureum/kreatinin dan elektrolit lebih sering
dilakukan. Pemeriksaan EKG, foto toraks perlu dilakukan terutama pada penderita dengan
segala kongestif vaskuler saat dirawat. Pemeriksaan EKG perlu dilakukan secara serial,

13

sedang foto toraks diulangi bila gejala-gejala kongesti vaskuler sudah menghilang pada saat
penderita mau dipulangkan. Pemeriksaan funduskopi secara serial perlu dilakukan bila
penderita datang dengan berdasarkan indikasi terjadinya perburukan faal ginjal secara cepat
dan progresif (GN progresif cepat).
Indikasi pulang:
Keadaan penderita baik. Gejala-gejala SNA menghilang. Pengamatan lebih lanjut perlu
dilakukan di poli khusus ginjal anak minimal 1 kali 1 bulan selama 1 tahun. Bila pada
pengamatan ASTO (+) dan C3 masih rendah setelah 8 minggu dari onset, proteinuria masih +
setelah 6 bulan dan hematuria mikroskopis masih dijumpai setelah 1 tahun, atau fungsi ginjal
menurun secara insidius progresif dalam waktu beberapa minggu atau bulan kemungkinan
penyakit jadi kronik perlu dilakukan biopsi ginjal.
b. Endokarditis bakterialis akut/sub akut
Pengobatan ditujukan terhadap endokarditis dan penyakit yang ditimbulkannya pengobatan
terhadap endokarditis serta tindak lanjut (lihat SP endokarditis).
Pengobatan komplikasi:
Gagal ginjal akut (lihat SP gagal ginjal akut).
Dekompensasi kordis (lihat SP dekompensasi kordis yang berhubungan dengan
endokarditis).
Tindak lanjut:
Serupa dengan SNA GNAPS.
Indikasi pulang:
Keadaan umum baik, infeksi teratasi, gejala-gejala endokarditis membaik, kelainan urinalisis
minimal, fungsi ginjal menunjukkan perbaikan, gejala dekompensasi menghilang. Untuk
evaluasi lebih lanjut penderita perlu kontrol berobat jalan ke poli khusus ginjal anak/kardiologi
anak, minimal sekali sebulan.
c. Shunt nefritis
Pengobatan ditujukan terhadap kuman penyebab dan mengangkat shunt yang terinfeksi
terhadap komplikasi dari shunt nefritis.
AB diberikan sesuai dengan hasil tes sensitivitas.
Atasi gejala yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intra kranial (lihat SP peningkatan
tekanan intra kranial).
Bila dijumpai gejala ensefalopati hipertensi diatasi sesuai dengan SP.
Bila dijumpai komplikasi gagal ginjal akut diatasi sesuai dengan SP.
Indikasi pulang:
Keadaan anak baik, gejala-gejala dari nefritis minimal, komplikasi yang terjadi terkontrol
dengan baik. Untuk evaluasi perlu kontrol berobat jalan ke poli khusus ginjal/neurologi anak
paling kurang sekali sebulan.
d. Nefritis yang berhubungan dengan lupus eritematosus
Pengobatan terdiri dari pemberian kortikosteroid prednisolon 2 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis
selama 4-6 minggu, kemudian dosis diturunkan secara bertahap sedikit demi sedikit sampai
mencapai dosis 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan dipertahankan selama 4-6 minggu.
Setelah itu diberikan secara alternat.
Bila selama perawatan penderita menunjukkan perburukan fungsi ginjal secara progresif atau
dengan sindroma nefrotik diobati dengan pulse Methilprednisolon terapi, diuretika dan obat
anti hipertensi.

14

Indikasi pulang:
Keadaan umum baik, gejala-gejala nefritis membaik atau menunjukkan kelainan minimal.
Perlu kontrol secara berobat jalan ke poli khusus ginjal anak.
e. Nefritis yang berhubungan dengan Purpura Henoch Schonlein
Steroid diberikan dalam waktu pendek untuk menghilangkan gejala nyeri perut. Penderita
PHS berat dengan manifestasi ginjal berat (NS,GGA dan hipertensi) membutuhkan
pengawasan yang ketat.
Biopsi ginjal perlu dilakukan pada keadaan ini.
Obat yang digunakan dalam hal ini adalah prednison oral, methyl prednisolon, bolus intra
vena, obat-obal sitostatika (siklofosfamid, azatioprin), antikoagulan, antiplatelet dan
plasmapheresis. Disamping penanggulangan terhadap GGA dan hipertensi.
Tindak lanjut:
Semua pasien dengan HSP yang dirawat perlu dilakukan pengamatan terhadap hipertensi dan
perburukan faal ginjal secara progresif, merupakan indikasi untuk biopsi ginjal.
Indikasi Pulang:
Keadaan umum baik, urinalisis normal atau menunjukkan kelainan minimal, tekanan darah dan
fungsi ginjal normal. Dianjurkan kepada penderita untuk kontrol berobat jalan ke poli khusus
ginjal anak.
f. Nefropati IgA
Pengobatan yang spesifik untuk Nefropati IgA asimptomatis belum ada. Pengobatan hanya
berupa pemberian antibiotika bila dijumpai ISPA atau tonsilektomi untuk mengurangi episode
dari hematuria makroskopis.
Tindak lanjut:
Penderita IgA tidak perlu dirawat, namun memerlukan pemantauan terus menerus terhadap
kemungkinan terjadinya hipertensi dan perburukan fungsi ginjal.

INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)


Batasan:
ISK adalah infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme, terutama bakteri, dalam jumlah yang
bermakna.
Etiologi:
Terutama bakteri gram negatif (terbanyak E. coli), bisa juga disebabkan bakteri gram positif, virus dan
jamur.
Patogenesis:
Kompleks, dipengaruhi banyak faktor: faktor host dan faktor mikroorganisme penyebab. Faktor
prediposisi antara lain: fimosis, refluks vesico-ureter, batu atau benda asing disaluran kemih, jenis
kelamin dll. Penyebaran melalui 2 cara:
a. Penyebaran hematogen: fokus infeksi di tempat lain septikemia pielonefritis.
b. Penyebaran ascenden: flora usus uropatogenik kolonisasi di perineal dan uretra anterior bulibuli menembus barier mukosa normal sistitis adanya faktor predisposisi (virulensi bakteri
atau faktor pejamu) pielonefritis.
Pielonefritis urosepsis/refluks intra renal skar ginjal gagal ginjal kronis/hipertensi.
Bentuk Klinis:
a. Berdasarkan ada tidaknya gejala: simtomatis dari asimptomatis.
b. Berdasarkan konfirmasi mikrobiologik.

15

Tersangka ISK: gejala ISK tanpa dukungan mikrobiologik.


ISK: ditemukan mikroorganisme.
c. Berdasarkan lokasi: ISK atas (pielonefritis) dan ISK bawah (sistitis dan sistouretritis) serta
kombinasi.
d. Berdasarkan derajat gejala klinis dibagi atas ISK ringan dan ISK berat.
e. Berdasarkan adanya kelainan radiologik dibagi atas ISK komplikata dan ISK non komplikata.
Komplikasi:
Refluks vesikoureter (20-30%), skar pielonefritik (10-20%), hipertensi, gagal ginjal.
Prognosis:
ISK non komplikata dan belum disertai komplikasi prognosis baik. ISK komplikata atau yang sering
kambuh akan berlanjut menjadi gagal ginjal kronik kemudian hari.
Diagnosis:
Dasar diagnosis:
Bakteriuria bermakna: didapatkan koloni kuman >100.000 koloni/ml urin pada pengambilan urin
secara pancaran tengah, atau beberapa kuman saja pada pengambilan sampel urin secara SPP
ISK asimptomatis: bakteriuria bermakna yang ditemukan pada uji tapis pada anak sehat atau tanpa
gejala. Keadaan ini bersifat ringan dan biasanya tidak menimbulkan kerusakan ginjal, kecuali pada
wanita hamil kalau tidak diobati dapat menimbulkan ISK simtomatik.
ISK simptomatis: terdapatnya bakteriuria disertai gejala klinik
ISK atas: ISK bagian atas terutama parenkim ginjal, lazim disebut sebagai pielonefritis dengan gejala
utama demam dan sakit pinggang.
ISK bawah: bila infeksi di vesika urinaria (sistitis) atau uretra dengan gejala utama berupa gangguan
terbatas miksi seperti disuria, polakisuria, kencing mengedan (urgency).
ISK ringan: gejala ringan, panas (-).
ISK berat: gejala berat, panas tinggi, kejang, kesadaran turun, muntah, diare, pada neonatus sesuai
dengan tanda-tanda sepsis.
ISK dengan gejala sepsis: ditemukan gejala sepsis sesuai SP-nya.
ISK nonkomplikata/simpleks: ISK yang tanpa kelainan struktural maupun fungsional
ISK komplikata/kompleks: ISK dengan ditemukan juga kelainan anatomik maupun fungsional
saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih
dapat berupa batu saluran kemih, obstruksi, anomali saluran kemih, buli-buli neurogenik dan
sebagainya.
ISK berulang/relaps: bakteriuria yang timbul kembali setelah pengobatan dengan jenis kuman yang
sama dengan kuman saat biakan urin pertama kalinya. Kekambuhan dapat timbul antara 1 sampai 6
minggu setelah pengobatan awal.
ISK rekuren/reinfeksi: bakteriuria yang timbul setelah selesai pengobatan dengan jenis kuman yang
berbeda dari kuman saat biakan pertama.
Langkah diagnosis:
ISK asimptomatis diketahui pada skrining.
ISK simtomatis: anamnesis dan pemeriksaan fisik umum. Khusus pada neonatus perlu ditanyakan
riwayat kehamilan dan persalinan dan faktor risiko infeksi lainnya.
Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan penyaring bakteriuria (piuria, pengecatan Gram, tes kimiawi),
darah tepi, CRP, dan urinalisis lengkap, ureum dan kreatinin.
Radiologi: USG dan MCU bila ada kelainan dilanjutkan dengan pemeriksaan IVP.
Berdasarkan pola pemikiran evidence base dan perhitungan untung-ruginya pemeriksaan pencitraan,
Stark (1997) mengajukan alternatif pilihan sebagai berikut:

16

1) Anak yang diduga menderita pielonefritis akut dan semua bayi yang menderita ISK perlu
pemeriksaan USG dan MSU. Bila ditemukan RVU, pemeriksaan pielografi intravena (PIV) atau
sintigrafi DMSA dapat dilakukan, meskipun tidak langsung terkait dengan penanganan pasien.
Bila pada pemeriksaan USG dicurigai adanya kelainan anatomik maka PIV lebih disarankan.
2) Anak perempuan dengan ISK bawah (sistitis) berulang sampai 2 atau 3 kali atau ISK pertama
dengan adanya riwayat RVU dalam keluarga, diperlakukan seperti pilihan no.1 di atas.
3) Sebagian besar anak perempuan dengan ISK serangan pertama atau ISK bawah saja tidak
memerlukan pemeriksaan pencitraan. Kelompok ini cukup dipantau tiap 6-12 bulan dan biakan
urin bila ada demam.
4) Khusus untuk neonatus laki-laki sampai usia 8 minggu disarankan pemeriksaan USG dan MSU
rutin pada ISK pertamakalinya. Bila ditemukan kerusakan parenkim ginjal ataupun refluks
derajat 3 atau lebih, dilanjutkan dengan pemeriksaan skintigrafi radionuklid. Pada anak yang
lebih besar USG dipakai sebagai penyaring dan bila dicurigai ada kelainan dapat dilanjutkan
dengan pemeriksaan lain seperti PIV, MSU maupun skintigrafi radionuklid.
Pemeriksaan atas indikasi: biakan darah, foto thoraks.
Indikasi rawat:
ISK dengan penyulit.
Penatalaksanaan:
ISK asimptomatis diobati sesuai hasil uji sensitivitas.
Sementara menunggu hasil kultur datang, tersangka ISK simptomatis ringan diobati dengan
antibiotika oral Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari atau Trimetoprim/Sulfametoksazol (Kotrimoksazol)
8/40 mg/kgBB/ hari.
Tersangka ISK berat diobati dengan antibiotika parenteral berupa Ampisilin 200 mg/kgBB/hari
dibagi atas 4 dosis + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Setelah kultur datang diobati sesuai
dengan hasil tes sensitivitas. Lama pengobatan 10-14 hari.
ISK dengan komplikasi diobati sesuai komplikasi.
ISK dengan sepsis diobati sesuai SP.
Diupayakan mengoreksi/mengobati faktor predisposisi.
Tindak lanjut:
Selama perawatan urinalisis dilakukan 2 kali seminggu. Darah tepi sekali seminggu. Dua hingga tiga
hari setelah pengobatan dimulai dilakukan biakan ulang,bila biakan steril obat diteruskan,bila biakan
masih positif atau kondisi penderita tidak membaik obat diganti. Untuk mendeteksi infeksi ulangan
dilakukan kultur urin setelah 1 minggu pengobatan selesai. Bila positif diobati sesuai dengan hasil
tes sensitivitas. Jika hasil kultur urin steril maka kultur urin selanjutnya dilakukan sekali sebulan
dalam 6 bulan pertama, kemudian sekali 2 bulan untuk 6 bulan, lalu, sekali 3 bulan untuk tahun ke-2
dan ke-3. ISK simtomatis berat segera dilakukan pemeriksaan radiologi dan faal ginjal. Untuk yang
ringan atau simtomatis pemeriksaan radiologi dilakukan 1 bulan setelah pengobatan selesai dengan
indikasi: semua anak <3 tahun, semua anak laki-laki, semua anak perempuan yang mendapat ISK
berulang.
Kalau infeksi berulang obati dengan antibiotika sesuai hasil tes sensitivitas dilanjutkan dengan AB
profilaksis Kotrimoksazol 2 mg/kgBB/hari atau Nitrofurantoin 1-2 mg/kgBB/hari dosis tunggal
malam hari minimal 6 bulan. Refluks berat dengan atau tanpa kelainan obstruksi konsul bedah
urologi. Skar pielonefritik atau refluks sedang AB profilaksis, kemudian ulangi IVP/MCU. Jika
menjadi berat konsul bedah urologi. Kontrol berkala ureum dan kreatinin (3-6 bulan), kalau
terjadi gagal ginjal dan hipertensi kelola sesuai SP-nya.
Indikasi pulang:

17

Keadaan umum baik, gejala klinis ISK hilang, kulltur setelah 1 minggu pengobatan selesai steril dan
fungsi ginjal normal.

HEMATURIA
Batasan:
Hematuria adalah keadaan yang menunjukkan terdapatnya sel-sel eritrosit dalam jumlah yang
abnormal di dalam urin.
Etiologi:
Berasal dari glomerulus:
Glomerulonefritis.
Sindroma hemolitik uremik.
Hematuria berhubungan dengan olah raga.
Hematuria familial benigna.
Nefropati IgA.
Bukan dari glomerulus:
Penyakit perdarahan/gangguan faktor pembekuan.
Keracunan jengkol.
Hiperkalsiuria.
TBC ginjal/saluran kemih.
Infeksi saluran kemih.
Trauma.
Batu.
Defek kongenital (ginjal polikistik dan hidronefrosis).
Tumor Wilms.
Benda asing di uretra/vesika urinaria.
Patogenesis:
Hematuria dapat berasal dari sesuatu tempat di jaringan parenkim ginjal dan traktus urinarius,
mulai dari glomeruli sampai ke uretra anterior.
Mekanisme timbulnya hematuria dapat melalui beberapa cara:
Proses imunologik peradangan pada glomerulo-tubulo interstisiel kapiler / arteriol
glomeruli-tubulo-interstisiel rusak.
Endotoksis atau infeksi langsung oleh agen infeksi (bakteri, virus, riketsia) kerusakan
endotel kapiler glomeruli.
Emboli septik yang tersangkut pada endotel kapiler glomeruli.
Efek langsung dari obat-obat yang merusak tubulo interstisial.
Kristal yang menyumbat lumen tubulus.
Iritasi mukosa saluran kemih oleh mikrokristal, benda asing yang dimasukkan lewat uretra ke
vesika urinaria, peradangan mukosa kerusakan kapiler.
Trauma/neoplasma jaringan ginjal/saluran kemih rusak pembuluh darah pecah. Defek
kongenital pada saluran kemih kerusakan pembuluh darah.
Bentuk Klinik:
Hematuria asimptomatis, hematuria tanpa gejala-gejala lain.
Hematuria simtomatis, hematuria yang disertai gejala-gejala lain seperti edema, oliguria, gejalagejala kongesti vaskuler, gejala-gejala SSP.
Diagnosis:
Dasar diagnosis:

18

Curigai hematuria bila urin berwarna merah terang atau gelap seperti coca-cola (makroskopik).

Langkah-langkah diagnosis:
Pastikan adanya hematuria
Pemeriksaan yang dilakukan adalah dispstik untuk melihat adanya kandungan hemoglobin dalam
eritrosit dan hemoglobin bebas dalam urine. Sedangkan untuk melihat sel eritrosit dilakukan
pemeriksaan mikroskopis sedimen urin. Bila ditemukan sel eritrosit 5/lpb hematuria
mikroskopik
Tentukan bentuk dari hematuria dan cari faktor penyebab.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
identifikasi:
Hematuria non glomeruler, ciri-cirinya:
Urine berwarna merah terang, biasanya edema dan hipertensi tidak dijumpai.
Urinalisis menunjukkan:
- Urin berwarna merah.
- Bekuan darah (+).
- Proteinuria (+1) (-2).
- Silinder eritrosit (-).
- Bentuk eritrosit sama dan kandungan hemoglobinnya merata.
Hematuria glomeruler, ciri-cirinya:
Dari anamnesis didapatkan urin berwarna merah gelap, tidak nyeri waktu berkemih.
Dari pemeriksaan fisik biasanya ditemukan edema, hipertensi
Urinalisis:
- Proteinuria (+2 - +3).
- Sel eritrosit (+) ( 5/lpb atau penuh/lpb).
- Bentuk eritrosit tidak sama dan kandungan hemoglobinnya tidak merata.
- Silinderuria (terutama silinder eritrosit).
Untuk masing-masing kelompok hematuria ditetapkan etiologinya (lihat algoritma).
BENTUK NON GLOMERULER
a) Keracunan jengkol
Diagnosis berdasarkan riwayat makan jengkol, nyeri hebat saat berkemih, mulut bau jengkol,
kadang-kadang, ditemukan retensio urin, kristal asam jengkol pada orifisium uretra. Pada urinalisis
dijumpai sel eritrosit penuh, lekosituria, kristal asam jengkol, proteinuria +1, kadang-kadang
dijumpai tanda-tanda GGA.
b) Hiperkalsiuria idiopatik
Diagnosis dibuat berdasarkan hasil urinalisis yang menunjukkan hematuria, disertai peningkatan
ekskresi kalsium dalam urin >4 mg/kgBB/hari atau ratio Ca/kreatinin urin >0,2. Dari riwayat
keluarga ada riwayat serangan kolik ginjal/ureter yang berhubungan dengan batu.
c) TBC Ginjal
Diagnosis berdasarkan riwayat kontak (+), batuk-batuk kronik, gizi buruk, kelainan paru baik
berdasarkan pemeriksaan fisik/radiologi, LED meninggi. Pada urinalisis dijumpai hematuria, piuria
steril. PPD (+), Kepastian diagnostik perlu dilakukan biakan urin untuk mencari BTA.
d) ISK
Diagnosis berdasarkan riwayat panas lama, disuria, polakisuria, nyeri pinggang/sudut kosto
vertebra/suprasimfisis. Hasil urinalisis menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, lekosituria.
Dan pada biakan urin dijumpai bakteria bermakna.

19

e) Trauma
Diagnosis berdasarkan pada riwayat trauma pada daerah pinggang dan ditemukan memar/lebam
pada daerah pinggang atau suprasimfisis. Pada pemeriksaan urin tampak gross hematuria dan
bekuan darah (+). Untuk mengetahui lokasi/luasnya daerah yang mengalami trauma perlu
dilakukan USG/PIV.
f) Batu saluran kemih
Diagnosis berdasarkan kolik ureter, kemih tidak lancar dan rasa nyeri saat berkemih. Pada anak
laki-laki gejala khas adalah sering menarik penisnya ketika mau berkemih, kadang-kadang disertai
keluar batu, Urinalisis hematuria, lekosituria. Diagnosis pasti USG/PIV.
g) Tumor/defek kongenital pada ginjal/saluran kemih.
Diagnosis berdasarkan teraba massa dalam rongga abdomen. Untuk menentukan jenis tumor atau
defek kongenital apakah tumor Wilms, ginjal polikistik atau hidronefritis perlu dilakukan
USG/PIV.
h) Penyakit pendarahan
Diagnosis berdasarkan riwayat gusi mudah berdarah, sering epistaksis, pucat, biru-biru pada kulit,
pada darah tepi ditemukan kadar Hb rendah, trombositopenia, waktu pembekuan dan perdarahan
memanjang.
Bila bentuk non glomeruler dari hematuria hanya berupa darah sedang gambaran darah tepi normal
tanpa ditemukan tanda-tanda penyakit darah/perdarahan, perlu dilakukan pemeriksaan USG/PIV untuk
mencari faktor penyebab perdarahan. Bila hasilnya normal kemungkinan penyebabnya berasal dari
trauma uretra, benda asing di uretra, atau peradangan vesika urinaria. Untuk menentukan asal
perdarahan perlu pemeriksaan sitoskopi.
BENTUK GLOMERULER
1) Hematuria mikroskopis
- Dapat merupakan salah satu bentuk glomeruler dari hematuri. Diagnosis ditegakkan bila hasil
pemeriksaan fisik (+), gambaran darah tepi normal, fungsi ginjal kimia normal, sedang
urinalisis memperlihatkan gambaran berupa hematuria mikroskopis dengan sel darah merah
yang dismorfik.
- Pertimbangkan penyebab apakah hematuria berhubungan dengan hematuria rekuren benigna,
hematuria berhubungan dengan olahraga atau hematuria idiopatik. Lakukan observasi selama 6
bulan. Bila masih menetap perlu dipikirkan nefropati IgA. Diagnosis nefropati IgA dibuat
berdasarkan adanya riwayat hematuria makroskopis timbul bersamaan dengan onset panas
yang dipicu oleh ISPA. Diluar serangan hematuria hanya bersifat mikroskopis. Perlu dilakukan
biopsi ginjal untuk kepastian diagnosis.
2) Glomerulonefritis
- Diagnosis Glomerulonetritis dapat ditegakkan berdasarkan bentuk glomeruler dari hematuria,
disertai proteinuria, silinderuria dengan atau tanpa edema, hipertensi, oliguria atau gangguan faal
ginjal. Kelainan ini dapat timbul secara akut atau berlangsung kronik. Bentuk akut dari
glomerulonefritis biasanya berhubungan dengan pasca infeksi streptokokus, infeksi
sistemik/penyakit multi sistemik seperti Purpura Henoch Schonlein (PHS) dan lupus
eritematosus sistemik (LES). Sedang yang kronik biasanya berhubungan dengan sindroma
nefrotik dan penyakit ginjal herediter (sindroma Alport).
- Diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan untuk mencari penyebab glomerulonefritis seperti
ASTO, C3, ds DNA antibodi, sel LE, biakan, ekokardiografi.
- Dasar diagnosis GNAPS dibuat berdasarkan riwayat ISPA/kulit, yang diikuti kemudian oleh
gejala-gejala nefritis akut. Biakan apusan tenggorok/keropeng kulit dapat (+) untuk kuman
streptokokus beta hemolitikus grup A atau ASTO (+), C3 menurun. Perlu pengamatan terhadap
perjalanan penyakit, karena terjadi penurunan fungsi ginjal secara cepat dan progresif (GN
progresif cepat).
- Penyakit infeksi sistemik yang dapat berkaitan dengan GNA antara lain:

20

1. Endokarditis bakterialis akut/subakut dan shunt nefritis, sedang penyakit multisistemik


antara lain adalah SLE dan PHS.
a) Dasar diagnosis dari endokarditis adalah adanya riwayat panas lama, adanya penyakit
jantung didapat/kongenital, lalu dikuti hematuria. Penyakit fisik dijumpai ruam pada
kulit, kardiomegali, suara bising jantung, hepatosplenomegali. Pada pemeriksaan
penunjang ditemukan hematuria, proteinuria, silinderuria. LED meninggi, lekositosis, C3
merendah, fungsi ginjal menurun. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan darah
(+) atau pada ekokardiografi ditemukan vegetasi pada katup jantung. Biopsi ginjal perlu
dilakukan pada kasus-kasus yang mengalami perburukan faal ginjal.
b) Diagnosis shunt nefritis dibuat berdasarkan adanya, riwayat pemasangan shunt
atrioventrikulo/peritoneal untuk penanggulangan hidrosefalus, panas lama, gejala-gejala
peninggian tekanan intrakranial. Pada pemeriksaan fisik dijumpai shunt yang sedang
terpasang, hipertensi. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hematuria, proteinuria,
silinderuria, kadar C3 merendah, fungsi ginjal dapat menurun. Pada kultur dapat
ditemukan kuman penyebab. Biopsi ginjal perlu dilakukan bila fungsi ginjal menurun
secara cepat dan progresif.
2. Beberapa penyakit multisistemik yang berhubungan dengan GNA antara lain adalah PHS
dan LES.
a) Diagnosis PHS ditegakkan berdasarkan temuan: riwayat ruam pada kulit, nyeri sendi,
nyeri perut mendadak, urin berwarna merah gelap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
rash pada daerah bokong, dan bagian ekstensor dari ekstremitas bagian bawah,
arthritis/arthralgia, kadang-kadang ada hipertensi dan edema. Pada pemeriksaan
penunjang dijumpai hematuria, proteinuri, silinderuria. Fungsi ginjal dapat normal atau
menurun. Kadar C3 normal. Biopsi ginjal perlu dilakukan pada kasus-kasus dengan
hipertensi berat dan perburukan faal ginjal.
b) Diagnosis LES ditegakkan berdasarkan riwayat panas lama, sakit sendi, ruam pada kulit,
rambut mudah rontok. Pada pemeriksaan fisik dapat dapat dijumpai antara lain alopesia,
butterfly rash, diskoid lupus, ulkus pada mulut, arthritis/arthralgia, edema, anemia, efusi
pleura/perikarditis/ asites. Pada pemeriksaan penunjang dijumpai anemia hemolitik,
trombositopenia, leukopenia, LED meningkat. Urinalisis dan kimia darah dapat
menunjukkan gambaran sindroma nefritis akut atau sindroma nefritik dengan atau tanpa
disertai penurunan faal ginjal, sel LE (+), ANA (+), ds DNA antibodi (+), C3 merendah.
Pada kasus LES biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnostik, pengobatan
dan prognosis.
3) Sindroma uremik hemolitik
Diagnosis berdasarkan temuan riwayat diare berlendir/berdarah, Pada pemeriksaan fisik dijumpai
anak tampak pucat, ruam pada kulit berupa ptekie/purpura, hepatosplenomegali, anemia hemolitik
mikroangiopati, trombositopeni dan penurunan fungsi ginjal.
Penatalaksanaan
Disesuaikan dengan SP masing-masing.
lndikasi rawat
Semua penderita dengan hematuria simptomatis.
Tindak lanjut
Tindak lanjut disesuaikan dengan SP masing-masing.

21

HIPERTENSI
Batasan:
TD Normal: TD sistolik atau diastolik <90 persentil menurut gender, umur dan tinggi badan anak
Pra Hipertensi: TD sistolik atau diastolik 90-95 persentil atau pada anak remaja TD 120/80
mmHg meskipun <95 persentil dianggap prahipertensi.
Hipertensi adalah TD sistolik dan atau diastolik 95 persentil menurut gender, umur dan tinggi
badan pada 3 kali pemeriksaan pada saat yang berbeda.
Hipertensi Stadium 1: TD 95-99 persentil plus 5 mmHg
Hipertensi Stadium 2: TD >99 persentil plus 5 mmHg.
Catatan: Persentil menurut jenis kelamin, umur dan tinggi badan diukur setidak-tidaknya 3 kali pada
waktu yang terpisah, jika terdapat perbedaan persentil sistolik dan diastolik, kategorikan berdasarkan
nilai yang lebih tinggi. Tabel persentil menurut jenis kelamin, umur dan tinggi badan dapat dilihat pada
lampiran 1 dan 2.

22

23

24

(Diambil dari: National High Blood Pressure Education Program Working on High Blood Pressure in
Children and adolescent. The fourth report on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood
pressure in children and adolescent. Pediatrics 2004;114 (2 suppl 4th report):555-76).
Klasifikasi:
I.
Berdasarkan etiologi
1) Hipertensi primer (esensial), penyebab tidak diketahui. Biasanya dalam derajat ringan dan
lazimnya tidak memberikan gejala (asimptomatik).
2) Hipertensi sekunder, penyebabnya diketahui.
Gejala biasanya berasal dari penyakit yang mendasarinya:
- Penyakit parenkim ginjal.
- Penyakit pembuluh darah ginjal.
- Vaskulitis.
- Penyakit kardiovaskuler.
- Penyakit endokrin seperti feokromositoma, hipertiroid.
- Penyakit vaskular.
- Kelainan neurologik.
II.
Berdasarkan timbulnya:
1) Hipertensi akut, hipertensi yang timbul mendadak dan dalam waktu cepat.
2) Hipertensi kronik, keadaan hipertensi menetap yang berlangsung >3 bulan.
III. Berdasarkan Kegawatan:
1) Hipertensi krisis: Peningkatan tekanan darah dalam derajat berat yang dapat menimbulkan
gangguan fungsi/kerusakan akut/sedang berlangsung dari organ target (nilai TD S/D berkisar
antara 1,3-1,5 x persentil 95 menurut umur, jenis kelamin dan tinggi badan atau TD S/D
180/120 mmHg).
Hipertensi krisis ini di bagi menjadi:
a. Hipertensi urgensi: Hipertensi berat yang belum menimbulkan kerusakan akut pada
organ target.
b. Hipertensi emergensi: Hipertensi berat yang menimbulkan kerusakan akut atau sedang
berlangsung dari organ target (otak, jantung dan ginjal).
Contoh hipertensi emergensi adalah:
- Hipertensi ensefalopati
- Hipertensi dengan gagal jantung kongestif
Nama lain dari hipertensi emergensi adalah Hipertensi akselerasimaligna hipertensi
kronik/esensial yang mengalami perburukan akut akibat hipertensi yang tidak terkontrol,
tidak makan obat secara teratur, atau karena perburukan penyakit yang mendasarinya.
Ciri utama hipertensi akselerasi-maligna bila dilihat dengan funduskopi:
- Hipertensi akselerasi: eksudat dan perdarahan pada retina.
- Hipertensi maligna: papil oedem.
Pada hipertensi akselerasi-maligna ini disertai ensefalopati, gangguan fungsi akut atau
nefropati.
2) Hipertensi non krisis: Hipertensi yang belum menimbulkan kegawatan.
Contoh: - Pra-hipertensi
- Hipertensi stadium I.

25

Penyebab Hipertensi pada Anak menurut Grup Umur


Usia
Penyebab
Infan
Renovaskuler; trombosis a.renalis, penyakit congenital, koartasio aorta, BPD
< 1 tahun
Stenosis a. renalis
1-6 tahun
Penyakit parenkim ginjal; penyakit vaskuler ginjal; penyebab endokrin;
coarcatio aorta; hipertensi esensial
6-12 tahun Penyakit parenkim ginjal; hipertensi esensial; penyakit vaskuler ginjal;
penyebab endokrin; coartatio aorta; penyakit iatrogenik
12-18 tahun Hipertensi esensial; penyakit iatrogenik; penyakit parenkim ginjal, penyakit
vaskuler ginjal; penyebab endokrin; coartatio aorta
Patogenesis:
Hipertensi akan terjadi bila terdapat faktor yang meningkatkan curah jantung atau tahanan total
pembuluh darah perifer.
1) Faktor yang meningkatkan curah jantung dapat melalui 2 cara:
Hipervolemi
- Retensi air dan garam akibat turunnya laju filtrasi glomerulus dijumpai pada penyakit
glomerulonefritis atau gagal ginjal.
- Masukan air dan garam yang berlebihan atau pemberian infus cairan/tranfusi darah yang
tidak diperhitungkan pada penderita dengan gagal ginjal.
- Ekses mineralokortikoid.
Stress/ansietas aktivitas sistem syaraf simpatetik yang meningkat takikardi hipertensi
2) Faktor yang meningkatkan tahanan total pembuluh darah adalah:
Sekresi hormon katekolamin vasokonstriksi perifer (Feokromositoma).
Ekses glukokortikoid kerja enzim catekol ortometil transferase dihambat pelepasan
norepinefrin oleh vesikel ke ujung saraf otot pembuluh darah meningkat vasokonstriksi
(Pemberian kortikosteroid jangka lama).
Sintesis zat vasodepressor (prostaglandin E2, kinin) yang dihasilkan oleh medula ginjal
menurun (pada GGK).
3) Gangguan sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA):
Pada penyakit parenkim ginjal unilateral atau stenosis arteri renalis
Tekanan perfusi ginjal menurun aktifitas SRAA meningkat renin plasma dan
angiotensin-2 vasokonstriksi perifer TTPT, Angiotensin-2 korteks adrenal
aldosteron meningkat reabsorbsi Na dan air di tubulus distal meningkat retensi Na dan
air ginjal meningkat ekspansi ke dalam intravaskuler meningkat hipervolemia.
Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan peningkatan SRAA antara lain:
Hiperaldosteronism primer, sindroma Cushing, Glomerulonefritis Akut, sindroma Hemolitik
Uremik
Komplikasi:
Hipertensi bila terjadi akut atau dalam derajat berat dapat menimbulkan ancaman terhadap
kehidupan atau kerusakan akut yang sedang berlangsung dari organ target.
Hipertensi bila berlangsung kronil (misalnya hipertensi esensial) tanpa diobati bisa menyebabkan
faktor resiko terhadap penyakit:

26

Penyakit kardiovaskuler
Penyakit serebrovaskuler
Gagal ginjal kronik
Bila terjadi perburukan akut akan timbul komplikasi berupa hipertensi akselerasi maligna.

Prognosis:
Prognosis tergantung dari derajat beratnya hipertensi, kecepatan penanganan komplikasi dan penyakit
yang mendasarinya.
Bentuk Klinik:
a. Berdasarkan penyebab:
Hipertensi primer (esensial).
Hipertensi sekunder.
b. Berdasarkan timbul dan lama berlangsung.
Hipertensi akut.
Hipertensi kronik.
c. Berdasarkan kegawatan
Hipertensi krisis:
- Hipertensi urgensi.
- Hipertensi emergensi (hipertensi akselerasi-maligna)
Hipertensi non krisis:
- Pra-hipertensi.
- Hipertensi stadium I.
Diagnosis:
Dasar Diagnosis:
Sesuai dengan batasan.
Langkah diagnosis:
Tentukan apakah anak hipertensi atau tidak
Bila anak hipertensi maka langkah yang dilakukan sebagai berikut:
a) Cari penyebabnya, tentukan derajat berat dan timbulnya.
b) Cari komplikasinya.
c) Pemeriksaan yang dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Anamnesis:
Hal-hal yang perlu ditanyakan dapat dilihat pada tabel 1.

27

Tabel 1. Anamnesis pada Anak dan Remaja Hipertensif


INFORMASI
RELEVANSI
Riwayat hipertensi dalam keluarga, riwayat Hipertensi essensial
kehamilan preeklampsi. Komplikasi
hipertensi dalam anggota keluarga (stroke
infark miokard, gagal ginjal).
Penyakit ginjal/tumor ginjal dalam keluarga Penyakit ginjal keturunan
Riwayat pemakaian kateter arteri umbilikalis
Kelainan renovaskuler
pada masa neonatus
Sakit kepala, pusing, epistaksis, gangguan
Gejala tidak khas dapat menunjukkan
penglihatan
derajat hipertensi
Sakit perut/pinggang, disuria, enuresis
Penyakit parenkim ginjal
hematuria, panas dalam
Palpitasi, sering berkeringat, muka kemerahan, Feokromositoma
berat badan turun, poliuria, polidipsia, sering
sakit kepala
Pembengkakan/nyeri sendi, sembab kelopak
Bentuk nefritis yang berhubungan dengan
mata tungkai ruam kulit
penyakit multi sistemik
Kejang otot, lemas, konstsipasi
Hiperaldosteronisme/hipokalemia
Badan lemas, parestesia, retardasi
Sindrom Cushing
pertumbuhan, perubahan habitus tubuh
Teraba masa oleh orang tua dalam rongga
Tumor ginjal
abdomen, demam
Riwayat trauma di daerah perut/punggung,
Trauma
nyeri perut, hematuria, demam
Minum pil kontrasepsi, amfetamin, kokain,
Hipertensi karena obat
koritkosteroid, pemakaian obat tetes hidung
(golongan simpatomimetik)

28

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik perlu dilakukan secara cermat. dan sistematis oleh karena ada beberapa kelainan
yang dapat ditemukan dan merupakan tanda-tanda etiologi dari hipertensi.
Tabel. 2. Tanda-Tanda Kelainan yang Perlu Diamati pada Pemeriksaan Fisik.
PEMERIKSAAN FISIK
RELEVANSI
Tensi tungkai rendah dibandingkan dengan tensi
Koarktasio aorta
lengan. Denyut nadi femoralis tibialis dan dorsum
pedis lemah, murmur (+)
Edema pada muka atau pretibia
Penyakit ginjal
Pucat, muka kemerahan, banyak keringat,
Feokromositoma
takikardia
Bercak caf au lait neurofibroma
Penyakit vonreekling hausen
Moon facies, buffalo-hump hirsutisme, stria,
Sindrom Cushing
truncal obesity
Weeb neck, dasar rambut rendah, jarak puting susu Sindrom Turner
melebar
Facies elfin, pertumbuhan terlambat
Sindrom Williams
Pembesaran kelenjer tiroid, eksofthalmus
Hipertiroid
Bruit di daerah epigastrium/punggung
Penyakit renovaskuler
Bruit diatas pembuluh darah besar
Sindrom William/artritis
Tumor abdomen unilateral atau bilateral
Tumor Wilms neurofibroma, ginjal
polikistik, hidronefrosis
Pembesaran jantung
Hipertensi kronik
Kelainan fundus
Hipertensi kronik dan derajat berat
Palsi bell
Hipertensi kronik
Hemiparesis
Hipertensi kronik/akut berat dengan
stroke
Pemeriksan Penunjang:
Bila anak dengan prahipertensi, maka untuk mencari etiologi dan faktor resikonya cukup
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tahap 1A.
Bila dijumpai hipertensi grade 1 atau grade 2 disamping pemeriksaan tahap 1A adakalanya
diperlukan pula pemeriksaan tahap 1B, 2A, dan 2B.
Hipertensi essensial didiagnosis sebagai penyebab hipertensi, bila pada anamnesis ada riwayat
hipertensi dalam anggota keluarga, riwayat komplikasi dini hipertensi (stroke, infark myokard,
gagal jantung), hubungannya dengan hipertensi ditemukan, obesitas, dan pemeriksaan penunjang
tahap 1 A semuanya normal.
Penyakit ginjal dicurigai sebagai penyebab hipertensi bila pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
dijumpai tanda-tanda/gejala yang mencurigakan ke arah penyakit ginjal, sedangkan diagnosis
ditegakkan berdasarkan kelainan pada pemeriksaan tahap 1A.
Untuk mendiagnosis jenis-jenis dari penyakit parenkim ginjal lainnya diperlukan bantuan beberapa
pemeriksaan tambahan (tahap 1 B). Jenis pemeriksaan yang diperlukan tergantung dari kelainan
yang didapatkan pada tahap 1A

29

Pemeriksaan Tahap lA, untuk mendeteksi penyakit ginjal:


Urinalisis, biakan urin.
Kimia darah (kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin, profil lipid, KGD puasa,
elektrolit).
EKG/ Echocardiography.
Klirens kreatinin dan ureum.
Darah lengkap.
Foto thoraks.
Pemeriksaan Tahap 1B untuk mendiagnosis jenis-jenis penyakit ginjal:
ASTO komplemen (C3).
Sel LE, uji serologi untuk SLE (ANA, ds DNA antibodi).
Pielografi intravena.
Miksio sistouretrografi (MSU).
Biopsi ginjal.
Bila dicurigai penyebab hipertensi berkaitan dengan stenosis arteri renalis atau gangguan endokrin
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan beberapa hasil pemeriksaan tahap lA dan 1 B, untuk
menegakkan diagnosis perlu bantuan beberapa pemeriksaan penunjang lain tahap 2A dan 2B yang
hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar dimana fasilitasnya lebih lengkap.
Pemeriksaan Tahap 2A untuk diagnosis ke arah stenosis arteri renalis dan kelainan endokrin (dirujuk
ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas lengkap).
Aktivitas renin plasma dan aldosteron.
Katekolamin plasma.
Katekolamin urin dan metabolitnya dalam urin.
Aldosteron dan metabolit dalam urin (17 ketosterol dan 17 hidroksikortikosteroid).
Pemeriksaan Tahap 2B untuk diagnosis yang lebih spesifik (dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai
fasilitas lengkap).
Tc 99m DTPA atau DMSA scan.
CT scan abdomen.
Arteriografi/digital substraction angiografi.
Katekolamin vena kava (KVK).
Analisis aldosteron dan elektrolit urin.
Uji supresi dengan deksametason.
Renin vena renalis (RVR).
Indikasi rawat inap:
Semua penderita hipertensi sekunder.
Hipertensi essensial grade II.
Penatalaksanaan:
a. Terhadap Hipertensi:
1) Pengobatan Non Farmakologik:
a) Hipertensi Non Krisis
Pra-Hipertensi
Pengobatan dengan modifikasi gaya hidup. Pengobatan ini ditujukan pada anak remaja
dan adolescent dengan hipertensi esensial yang mengalami obesitas, yaitu dengan cara:
- Diet rendah garam 1.200-1.500 mg/hari
- Menurunkan berat badan dengan mengatur diet.
- Olahraga seperti jalan santai, joging atau bersepeda.

30

- Kebiasaan merokok dan minum alkohol dihentikan.


Bila dengan langkah di atas TD tidak turun dan cenderung naik setelah beberapa
minggu sampai 6 bulan, maka diberikan obat tambahan farmakoterapi (antihipertensi).
Hipertensi stadium 1
Pengobatan dengan modifikasi gaya hidup. Bila gagal, baru masuk ke terapi
farmakologik.
2) Pengobatan Farmakologik
Indikasi pengobatan farmakologik:
a)
Hipertensi stadium I yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi non
farmakologik atau menjadi hipertensi stadium II.
- Pengobatan farmakologik dimulai dahulu dengan satu obat (diuretik) atau obat
antihipertensi seperti beta blocker, ACE inhibitor atau Ca channel blocker, dimulai
dengan dosis kecil dahulu. Bila belum respon, dosis dapat dinaikkan secara bertahap
sampai mencapai dosis maksimal. Bila masih gagal, berikan terapi kombinasi.
- Sasaran pengobatan: menurunkan TD< 95 persentil, kemudian menurunkan TD <90
persentil.
b) Hipertensi sekunder
Disamping menurunkan TD, penyebab dan komplikasi yang timbul harus dicari dan
ditanggulangi.
c) Hipertensi Krisis
Pada penderita dengan hipertensi urgensi biasanya digunakan obat-obatan oral, sedangkan
pada penderita hipertensi emergensi digunakan obat-obatan parenteral.
Adapun obat-obatan yang biasa dipakai di Bagian IKA RSMH dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Kelas
Obat-obatan
Dosis Awal
Dosis Maksimal
ACE inhibitor
Enalapril
0,08 mg/kgBB/hari.
0,6 mg/kgBB/hari.
Dibagi 2 dosis
Sampai 40 mg/hari
Lisinopril
0,07 mg/kgBB/hari.
0,6 mg/kgBB/hari.
Dbagi 2 dosis
Sampai 40 mg/hari
Captopril
0,3-0,5 mg/kgBB/kali.
6 mg/kgBB/hari
Diberikan 2-3x/hari
Beta blocker
Propanolol
0,5-1 mg/kgBB/hari.
5 mg/kgBB/hari
Dibagi 2-3 dosis
Diuretik
Hidroklortiazid
1 mg/kgBB/hari. Dibagi 3 mg/kgBB/hari
2 dosis
Sampai 50 mg/hari
Furosemid
1-2 mg/kgBB/hari.
6 mg/kgBB/hari
Dibagi 2 dosis
Kelas
ACE inhibitor

Obat-obatan
Enalapril
Lisinopril
Captopril

Beta blocker
Diuretik

Propanolol
Hidroklortiazid
Furosemid

Efek Samping
Diare, mual, sakit kepala, rash, batuk, hipotensi
Diare, mual, muntah, dispepsia, sakit kepala, vertigo,
batuk, hipotensi
Batuk, diare, sakit kepala, mual, muntah, rash,
hiperkalemia, netropenia
Vertigo, rash, akral dingin, bradikardi
Hipotensi, konstipasi, anoreksia, rash, purpura,
hipokalemia, hipomagnesia.
Hipotensi, pankreatitis, jaundice, anemia, mual, rash.

Pengobatan Hipertensi Krisis (Emergensi)

31

Prinsip: tekanan darah harus diturunkan secepatnya dengan menggunakan obat antihipertensi yang
poten, guna mencegah kerusakan berlanjut dari organ target.
Obat-obat: Klonidin (Catapres) dan Furosemide. Klonidin diberikan secara infus tetes dengan dosis
0,002 mg/kgBB dilarutkan dalam 100 ml larutan glucosa 5% dengan kecepatan XII tetesan
mikro/menit, dinaikkan 6 tetes tiap 30 menit, sampai tekanan darah diastolik <100 mmHg. Dosis
maksimal 36 tetes/menit atau 0,006 mg/kgBB. Bila terdapat over load atau anak tidak dehidrasi
diberikan furosemid secara IV dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari. Bila tekanan darah diastolik belum
turun, tambah Kaptopril, dosis awal 0,3 mg/kg/kali, dosis maksimal 2 mg/kali, diberi 2-3 kali/hari.
Bila Td D turun di bawah 100 mgHg, tetesan Klonidin diturunkan secara bertahap, sedangkan
kaptopril terus diberikan seperti dosis diatas (gambar 1).

Skema Pengobatan Hipertensi Krisis dengan Klonidin


Klonidin drip 0,002 mg/kgBB/8 jam
dalam 100 ml glukosa 5% (12 tetes
mikro). Maksimal 0,006 mg/kgBB/8 jam.
Furosemide 1-2 mg/kgBB/kali
Td Diastolik 90-100 mmHg

Kaptopril oral 0,3 mg/kgBB/kali,


maksimal 2 mg/kgBB/kali 2-3 kali/ hari

STABIL
Klonidin stop
Kaptopril terus

Skema Pengobatan Hipertensi Krisis/Ensefalopati dengan Nifedipin

Nifedipin sublingual 0,1 mg/kgBB. Dinaikkan 0,1


mg/kgBB/kali setiap 5 menit pada 30 menit
pertama. Lalu setiap 15 menit pada 1 jam,
selanjutnya tiap 30 menit. Dosis maksimal 10
mg/kali.
+

Lasix 1 mg/kgBB/kali, 2 kali sehari. Oral


bila KU baik.

bila tensi tidak turun:


+
Kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali. 2-3 kali
sehari (maksimal 2 mg/kgBB/kali).

Diastoli
k
90-100
mmHg

STABIL
Nifedipin rumat
0,2-1 mg mg/kgBB/hari,
3-4 kali

Tekanan darah diukur setiap 5 menit pada 15 menit pertama, setiap 15 menit pada 1 jam
pertama, selanjutnya setiap 30 menit sampai tensi diastolik <100 mmHg, selanjutnya 1-3
32
jam sampai tensi stabil.

Prinsip pengobatan hipertensi kronik hampir sama dengan hipertensi akut, hanya saja perbedaan
interval penambahan dosis dan jenis obat lebih panjang yaitu 2-4 minggu. Pengobatan hipertensi
akselerasi, penurunan tekanan darah dengan menggunakan obat parenteral tidak boleh terlalu cepat
seperti pada hipertensi akut yang mengalami krisis. Tekanan darah diturunkan 30% dalam 6 jam
pertama, untuk mencegah iskemia otak, lalu lagi 12-36 jam dan sisanya 2-4 hari.
Terhadap penyakit penyebab:
Tindakan operasi perlu dilakukan antara lain pada kasus:
1) Koartasio aorta-stenosis arteri renalis/penyakit parenkim ginjal unilateral.
2) Tumor ginjal.
3) Feokromositoma, adenoma kelenjar adrenal.
Tindak lanjut:
Pengukuran tekanan darah perlu dilakukan setiap 4-8 minggu pada penderita hipertensi essensial
ringan yang berobat jalan. Perlu dijelaskan tentang manfaat pengobatan non farmakologik untuk
pengontrolan tekanan darah.
Penderita hipertensi derajat 1 dan 2 yang sedang dirawat perlu dilakukan pengukuran tekanan
darah 2-3 kali sehari. Faal ginjal/kimia darah/EKG/foto thoraks/darah tepi umumnya dilakukan
saat penderita dirawat dan pada waktu pulang.
Hipertensi stadium 2, pengukuran tekanan darah lebih sering dilakukan, bila perlu setiap 3 jam
sekali. Fungsi ginjal/kimia darah/EKG/foto thoraks, darah tepi dilakukan saat penderita dirawat
dan saat dipulangkan. Bagi penderita yang tidak menunjukkan tanda kongesti vaskuler saat
dirawat, foto thoraks/EKG hanya dilakukan 1 kali saja.
Penderita hipertensi berat dengan krisis, pengawasan lebih ketat untuk itu sebaiknya penderita
dirawat di ruang ICU anak, agar pemantauan fungsi vital, .jumlah cairan, efek pengobatan terhadap
penurunan tekanan darah dapat dilakukan secermat mungkin. perlu pemantauan funduskopi, EKG,
darah tepi, gagal ginjal (jumlah diuresis, BUN/kreatinin serum/elektrolit secara berkala).
Pemeriksaan foto rontgen dada dilakukan setelah tekanan darah terkontrol. Terhadap penderita ini
perlu dicari komplikasi berat yang mungkin timbul seperti ensefalopati, dekompensasio kordis,
gagal ginjal atau infeksi. Bila komplikasi ini timbul perlu segera diatasi. Pada penderita
ensefalopati hipertensi adakalanya diperlukan pemeriksaan CT scan bila dengan pengobatan
antihipertensi tekanan darah sudah turun menjadi normal, akan tetapi kesadaran penderita tidak
membaik.
Pada penderita dengan ISK, perlu dilakukan pengamanan tentang struktur anatomi dari ginjal dan
saluran kemih dengan USG/PIV/MCU.
Indikasi pulang:
Keadaan umum, tekanan darah normal (<persentile ke-90), penyakit penyebabnya (pada anak-anak)
terbanyak penyebab hipertensi adalah GNA, gejala-gejala dari penyakit penyebab cenderung
menghilang. Penderita dinasihatkan untuk kontrol berobat ke poli khusus ginjal anak.

33

GAGAL GINJAL AKUT (GGA)


Batasan:
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindroma yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
mendadak dengan akibat terjadinya penimbunan hasil metabolit senyawa nitrogen seperti ureum dan
kreatinin.
Etio1ogi:
1) GGA pre renal akibat hipovolemia, hipotensi dan hipoperfusi ginjal, sebagai akibat:
Kehilangan darah: trauma, pendarahan
Kehilangan air dan elektrolit: gastroenteritis akut
Kehilangan plasma: luka bakar, peritonitis
Hipoalbuminemia berat pada sindroma nefrotik
Dekompensasio kordis: infark miokard
Pada neonatus akibat sepsis/asfiksia berat
2) GGA rena1, sebagai akibat:
a. Kerusakan epitel tubulus: Nekrosis tubular akut
Tipe iskemik: kelanjutan dari GGA pra-renal
Tipe nefrotoksik: obat-obatan seperti aminoglikosida, zat kontras radioopak, pigmen
(hemoglobinuria/mioglobinuria), logam berat, hiperurisemia
b. Kerusakan glomerulus
GNA.
Sindroma hemolitik uremik.
c. Penyakit vaskuler.
d. Anomali ginjal (ginjal polikistik, multikistik/displastik).
3) GGA paska renal
Obstruksi: valvula uretra posterior, batu, bekuan darah, tumor, kristal (asam jengkol, asam urat).
Bentuk Klinis:
1) Gagal ginjal akut non oligurik: produksi urine normal, akan tetapi terdapat peningkatan kadar
ureum dan keratin serum. Biasanya timbul akibat pemakaian obat bersifat nefrotoksik (gol.
aminoglikosid).
2) Gagal ginjal akut oliguria: ditandai dengan volume urine <240 ml/m 2/24 jam atau 0,5-1
ml/kgBB/jam. Pada neonatus <1 ml/kgBB/jam.

34

Patogenesis:

Faktor Pencetus:
Perfusi ginjal
Total aliran darah ginjal
Konsumsi O2

Reabsorpsi Na
tubular proximal

Oliguria
BUN

Konsentrasi Na pada
cairan tubulus distal
Stimulasi pada
apparatus
jukstaglomerular
Pelepasan rennin dan
aktivasi lokal

Redistribusi aliran
darah ginjal.
Laju filtrasi
glomerulus.

Aktivitas renin
plasma

Aktivasi lokal angiotensin II


Glomerular afferent
Vasokonstriksi arteriol
35

Komplikasi GGA:
Uremia dengan segala akibat.
Edema/kongesti vaskuler.
Hipertensi berat.
Gangguan elektrolit (hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia, hiperfosfatemia).
Asidosis metabolik.
Kejang.
Infeksi.
Prognosis:
Tergantung pada penyebab dan kecepatan bertindak.
Diagnosis:
Dasar diagnosis:
GGA oliguria
Volume urine pada seorang anak <240 ml/m 2/24jam atau <10 ml/kgBB/jam atau pada neonatus <1
ml/kgBB/jam, disertai peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dalam waktu yang cepat.
GGA non oliguria
Kadar ureum dan kreatinin serum naik dengan cepat namun volume urine normal.
Langkah diagnosis:
Tentukan penyebab GGA
Langkah-langkah yang dilakukan adalah anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang (lihat
algoritma).
1) Diagnosis GGA pra renal dibuat bila ditemukan hal-hal sebagai berikut:
- Pada anamnesis didapatkan bukti riwayat kekurangan cairan (diare, muntah), kehilangan
darah/plasma (trauma, luka bakar), pembedahan, sakit jantung dll. Pada pemeriksaan fisik
mungkin ditemukan tanda dehidrasi, luka bakar, takikardi, tanda-tanda gagal jantung
kongesti (edema paru, kardiomegali, bising jantung).
- Gambar urine: osmolalitas urine >500, BJ >1,020, rasio osmol urine/plasma > 1,3, Na urine
< 20, fraksi ekskresi (FE) Na <1.
2) Diagnosis GGA pasca renal ditegakkan berdasarkan hal-hal berikut:
- Pada anamesis dapat dijumpai kemungkinan riwayat ISK berulang, nyeri pinggang,
hematuria, riwayat batu, bila berkemih sering mengedan dan tidak lancar, terasa nyeri yang
hebat pada waktu berkemih, ada riwayat makan jengkol. Pada pemeriksaan fisik mungkin
ditemukan retensio urine (kandung kemih penuh), terasa massa di rongga abdomen, atau
terlihat ada kristal asam jengkol pada ofisium uretra eksterna.
- Pada urinalisis dapat ditemukan proteinuria, hematuria, piuria, kristal asam jengkol Pada
pemeriksaan USG dapat dijumpai kemungkinan adanya dilatasi sistem pelvicokalises.
3) Bila penyebab GGA pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah berikutnya adalah
mencari etiologi GGA intrarenal.
- Perlu ditanyakan riwayat yang mengarah ke penyakit tertentu, seperti faringitis/impertigo
beberapa hari sebelum munculnya GGA, riwayat kemih berwarna merah gelap.
- Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema pada kelopak mata dengan atau tanpa hipertensi
mengarah dugaan pada GNAPS. Ruam pada kulit, arthiritis, arthralgia, nyeri perut,
mengarah dugaan pada vaskulitis. Riwayat diare berlendir/atau bercampur darah, urine
berwarna merah gelap, ruam pada kulit, pucat, gambar darah tepi menunjukkan anemia
hemolitik mikroangiopati dan trombositopeni menjurus ke arah diagnosis SHU.
- Riwayat pemakaian obat-nefrotoksik, demam nyeri sendi, urtikaria, sedang hematuria dan
piuria disertai sel epitel tubulus.

36

- Pada GGA intrarenal gambaran urinalisis menunjukkan: BJ urine <1,020, osmol Urine <350,
ratio osmol urine/plasma <1,2, Na urine >20, FE Na >2. Pemeriksaan laboratorium lain yang
menyokong GGA intrarenal adalah azotemia yang meningkat cepat, peningkatan kadar
kreatinin 0,5-1,5 mg/dl/hari sedangkan BUN meningkat 10-20 mg/dl/hari.
- Biopsi ginjal hanya diindikasikan pada kasus-kasus yang tersangka glomerulonefritis dengan
perburukan akut dari fatal ginjalnya.
Indikasi rawat: semua penderita yang tersangka gagal ginjal akut

37

Algoritma Diagnosis dan Penatalaksanaan GGA


Gambaran urinalisis: urine nephritis (hematuria, proteinuria, silindernuria)
+ Oliguria serta azotemia
GGA
Tentukan faktor penyebab
Anamnesis

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis
Profit biokimiawi
Darah tepi lengkap
Petunjuk pem. urin

Overload cairan
Hipertensi
Keterlibatan multisistemik
Gambaran apusan darah
abnormal
Trombositopenia
Sedimen urine aktif
Osmol urine <350
FE Na > 2%

Riwayat ISK
Riwayat makan jengkol
Riwayat batu
Kandung kencing penuh
GGA yang tidak dapat
dinyatakan dengan
anamnesis dan PF

Suspek pre renal


ARF

Suspek intrinsik renal


ARF

Suspek paska renal


ARF

Rehidrasi
Transfusi
Obat inotropik

Pemeriksaan
pencitraan
Biopsi ginjal

Kateterisasi
Pemeriksaan
pencitraan

Diare/muntah/pendarahan
Hipotensi/curah jantung
Petunjuk urinalisis
BUN/kreatinin >20
Osmolalitas urine >500
FE Na <1%

Diuresis

Oliguria
menetap

Membaik

Diuretik/
dopamin

Awasi jumlah cairan


Koreksi asidosis
Koreksi elektrolit
Dukungan nutrisi

Membaik

Oliguria

38

Koreksi Bedah

Overload cairan yang nyata


Edema paru/gagal jantung
Kongesti sulit diatasi
Asidosis metabolik tak dapat
diatasi
Hiperkalemia tidak terkontrol
Hipermetabolisme/uremia

Dialisis

Penatalaksanaan:
1) Ginjal akut pra renal.
- Tergantung dari penyebab. Pada keadaaan tertentu perlu dilakukan pengukuran tekanan vena
sentral (CVP) untuk mengevaluasi hipovolemia CVP normal = 6-10 cm Hg. Bila CVP <10 cm
Hg hipovelemia.
- Jenis cairan yang digunakan tergantung dari etiologi hipovolemia. Pada GE + dehidrasi berat
diberikan Ringer laktat sesuai protokol. Pada syok hemoragik diberikan transfusi darah. Syok
pada sindroma nefrotik akibat hipoalbuminemia, diberikan infus low salt albumin atau plasma.
Pada dehidrasi yang etiologinya tidak jelas diberikan RL 20 ml/kgBB selama 1 jam. Diuresis
biasanya terjadi 2-4 jam pemberian tetapi rehidrasi dilanjutkan dengan diuretika. Terapi cairan
secara cepat ini berguna untuk membedakan apakah GGA bersifat pra-renal atau intra renal.
Respon terapi dikatakan baik, bila diuresis >1-3 ml/kgBB/jam.
- Cara lain membedakan kedua keadaan ini adalah dengan diuresis paksa dengan catatan
penderita sudah lama dalam keadaan hidrasi tetapi masih oliguria. Diberikan furosemid dengan
dosis 1-2 mg/kgBB IV. Bila terjadi peningkatan diuresis 6-10 ml/kgBB/jam, GGA bersifat prarenal, bila tidak GGA bersifat intrarenal. Bila penyebabnya gagal jantung, terapi cairan tidak
dianjurkan, karena akan menambah beban jantung. Pengobatan yang diberikan adalah
furosemid dan inotropik (dopamin, digoksin). Dopamin diberikan dengan dosis (1-3
mikrogram)/kgBB, secara infus tetes guna meningkatkan aliran darah ginjal dan curah jantung.
2) Gagal ginjal paska renal
- Terapi spesifik pada gangguan ini adalah menghilangkan obstruksi, mungkin perlu
pemasangan foley kateter, vesikotomi tube nefrostomi.
- Obstruksi yang telah terkoreksi dapat mengalami piuria dengan kemungkinan hipokalemia,
hiponatremia, hipotensi sampai kolaps.
- Dalam hal ini terapi cairan harus betul-betul diperhatikan.
3) Gagal ginjal akut intra renal
a. Terapi konservatif
1. Restriksi cairan
Jumlah cairan yang diberikan berdasarkan insensible water loss + jumlah urine 1 hari
sebelumnya jumlah cairan yang keluar bersama muntah, berak, slang nasogastric, dll +
kenaikan suhu setiap 1C diatas 37,5oC sebanyak 12% berat badan. Perhitungan IWL
didasarkan pada kalori expenditure, sesuai berat badan:
0-10 kg
: 100 kal/kgBB
11-20 kg
: 1.000 kal + 50 kal/kg/hari di atas 10 kg.
>20 kg
: 1.500 20 kal/kg/hari di atas 20 kg
Jumlah IWL = 25 ml/100 kal.
Secara praktis perhitungan yang digunakan anak umur <5 tahun = 30 ml/kgBB/hari, anak
umur >5 tahun = 20 ml/kg/hari. Cairan sebaiknya diberikan per oral, kecuali bila muntah
Jenis cairan yang digunakan:
Bi1a anuria: glukosa 10% bila oliguria glukosa 10% 3:1.
Kalau menggunakan vena sentralis dapat digunakan glukosa 20-40%. Jumlah kalori
minimal yang diberikan untuk mencegah katabolisme 400 kkal/m2/hari.
Bila terapi konservatif berlangsung >3 hari pertimbangkan pemberian emulsi lemak
dan protein 0,5-1 g/kgBB/hari. Pemberian protein dilakukan sesuai dengan jumlah
diuresis.
2. Pengobatan komplikasi
Asidosis metabolik dikoreksi dengan cairan bicnat 7,5% sesuai dengan hasil analisis gas
darah. Yaitu Akses Basa X Berat Badan X 0,3 (Meq) atau kalau ASTRUP tidak ada dapat
dengan koreksi buta 2-3 meq/kg/hari.

39

3. Hiperkalemia
- Bila kadar kalium serum 5,5-7 meq/l perlu diberikan Kayexalat 1 gr/kgBB per
oral/rektal 4 x sehari.
- Kalium serum >7 meq/l atau ada kelainan EKG/atau aritmia jantung perlu diberikan
glukonas kalsikus 10% 0,5 ml/kgBB IV lambat-lambat dalam 5-10 menit, natrium
bikarbonat 7,5% 2,5 meq/kg BB IV dalam waktu 10-15 menit.
- Bila hiperkalemia masih ada glukosa 20% (1 cc/kgBB atau 0,5 g glukosa/kgBB) + 0,5
U insulin dan siapkan dialisis.
4. Hiponatremia
Dikoreksi bila kadar natrium <120 meq/l atau timbul gejala. Dosis yang digunakan adalah
0,6 X BB X (Na yang diharapkan - Na serum yang didapat) mEq/l diberikan dalam bentuk
larutan NaCl hipertonis (3%) selama 4 jam infus. Koreksi diberikan separuhnya untuk
mencegah hipertensi atau overload cairan.
5. Kejang
Diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang. Koreksi terhadap penyebab kejang (Kejang
pada GGA dapat disebabkan gangguan elektrolit, hipertensi atau uremia).
Tetapi diatasi dengan injeksi kalsium glukonas 10% 0,5 cc/kgBB IV lambat-lambat.
6. Hiperfosfatemia
Diatasi dengan aluminium hidroksida 60 mg/kgBB dibagi 3 dosis atau dengan calcium
karbonas 500-1 gram/hari.
7. Anemia
Jika kadar Hb turun di bawah 6 g/dl, diberikan darah segar atau PRC.
8. Kongesti vaskuler
Gejala edema paru/gagal jantung kongesti diatasi dengan furosemid IV dosis 1-2
mg/kgBB/kali, oksigen, tourniquet atau plebotomi, pemberian morfin 0,1 mg/kgBB. Bila
tidak berhasil dalam waktu 20 menit segera dilakukan dialisis.
9. Infeksi
Harus ditanggulangi. Dosis obat harus disesuaikan dengan derajat penurunan faal ginjal.
10. Hipertensi
Diatasi sesuai dengan standard profesi
11. Hiperuresemia
Kadar asam urat dapat meningkatkan sampai 50 mg/dl. Bila terjadi peningkatan diberikan
alopurinol dengan dosis 100-200 mg untuk anak usia <8 tahun dan 200-300 mg untuk usia
di atas 8 tahun, dibagi 2 dosis.
b. Terapi pengganti
Dialisis:
Dilakukan atas indikasi:
a. Kadar Ureum darah >200 mg/dl.
b. Hiperkalemia berat (K>7,5 meq/l) yang tidak menunjukkan respon dengan pengobatan
konservatif.
c. Bikarbonas plasma 12 meq/l.
d. Gejala-gejala kongesti vaskuler yang tidak dapat diatasi dengan terapi medikamentosa.
e. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat seperti pendarahan penurunan
kesadaran sampai koma.
Fase diuresis:
Pada fase ini harus diawasi jumlah diuresis/hari. Bila terjadi diuresis yang masif harus mendapat
penggantian cairan dan elektrolit yang sesuai.
Tindak lanjut:
1) Selama perawatan perlu dilakukan pengawasan terhadap tanda-tanda vital: tensi, nadi, pernafasan,
ritme jantung, suhu tubuh.

40

2) Pemeriksaan Hb/Ht/trombosit secara berkala.


3) Pemeriksaan ureum/kreatinin dan elektrolit serum secara berkala.
4) Analisis gas darah bila ada.
5) Masukan cairan dan jumlah diuresis/24 jam.
6) EKG secara serial.
7) Foto rontgen dada.
Indikasi pulang:
Bila keadaan umum baik, fungsi ginjal baik, komplikasi yang terjadi sudah menghilang. Nasihat perlu
kontrol berobat jalan ke Poli Khusus Ginjal anak.

GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)


Batasan:
GGK adalah suatu keadaan gangguan yang kompleks, baik klinis, kimiawi maupun metabolisme tubuh
sebagai akibat menurunnya fungsi ginjal yang kronik dan progresif dalam hal ini kecepatan glomerulus
(KFG)
Klasifikasi:
Ada 3 tingkatan GGK berdasarkan penurunan KFG, yaitu:
1) GGK awal
: bi1a KFG menurun antara 15-30 ml/men/1,73 m2
2) GGK lanjut
: bila KFG menurun antara 5-15 ml/men/1,73 m2
3) GGK terminal
: bila KFG menurun <5 ml/men/1,73 m2
Gejala:
1) Lemah, letargi, penurunan kesadaran somnolen-koma.
2) Anoreksia, mua1, muntah, hematemesis.
3) Anemia, trombositopenia, purpura.
4) Edema, hipertensi.
5) Rikets, osteomalasia, hiperfosfatemia.
6) Hipokalsemia, hiperparatiroidisme, pruritis.
7) Hiperkalemia, asidosis, metabolik, hiperuriasidemia.
8) Retardasi pertumbuhan, neuropati perifer.
9) Perikarditis, kardiomiopati, gagal jantung.
Pengobatan:
Dibagi dua golongan:
1) Pengobatan konservatif
- Pengobatan ini masih dapat dilakukan bila klirens kreatinin >5 ml/mnt/1,73m 2
- Tujuan pengobatan ini untuk memperbaiki keadaan umum, sehingga bila penderita jatuh dalam
stadium terminal dari perjalanan GGK, maka untuk mendapatkan dialisis dan transplantasi
ginjal, kondisi fisiknya tetap dalam keadaan optimal.
a. Kebutuhan Kalori
Anak dengan GGK harus mendapat masukan kalori minimal 40-120 kcal/kgBB/hari. Dapat
dipakai patokan minimum RDA seperti terlihat pada tabel 1.

41

Tabel 1.
Usia
0-2 bln
2-6 bln
6-12 bln
1-2 th
2-4 th
4-6 th
6-8 th
8-10 th
10-12 th
12-14 th L
12-14 th P
14-16 th L
14-16 th P
16-22 th L
16-22 th P

Rekomendasi Pemberian Kalori Sehari-Sehari pada Anak dengan Insufesiensi


Ginjal Kronik sesuai Umur.
Tinggi
(Cm)
55
63
72
81
98
110
121
131
141
151
154
170
159
175
163

Energi
(kcal)
120/kg
110/kg
100/kg
1100
1300
1600
2000
2100
2450
2700
2300
3000
2350
2800
2200

Protein Minimal
(gram)
2,2/kg
2 /kg
1,8/kg
18
22
29
29
31
36
40
34
45
35
42
33

Kalsium
(gram)
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
0,9
1,0
1,2
1,4
1,3
1,4
1,3
0,8
0,8

Pospor
(gram)
0,2
0,4
0,5
0,7
0,8
0,9
0,9
1,0
1,2
1,4
1,3
1,4
1,3
0,8
0,8

b. Kebutuhan protein
Pada anak dengan GGK pembatasan protein dimulai pada klirens kreatinin di antara 15-20
ml/men/1,73 m2. Protein sebaiknya protein hewani. Pembatasan protein dapat disesuaikan
dengan usia dan KFG seperti terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Anjuran Intake Protein untuk Anak dengan Insufisiensi Ginjal Sesuai dengan Umur
dan KFG.
50-20
20-10
10-5
Usia
(120% RDA)
(100% RDA)
(100% RDA)
0-2 bln
2,6 g/kg
2,2 g/kg
1,6 g/kg
2-6 bln
2,4 g/kg
2 g/kg
1,5 g/kg
6-12 bln
2,1 g/kg
1,8 g/kg
1,5 g/kg
1-3 th
28 g
28 g
18 g
3-6 th
38 g
30 g
23 g
6-8 th
43 g
36 g
27 g
8-10 th
48 g
40 g
30 g
10-12 th L
54 g
45 g
34 g
12-14 th L
60 g
50 g
38 g
14-18 th L
72 g
60 g
45 g
10-14 th P
60 g
50 g
38 g
14-18 th P
66 g
55 g
41 g
c. Natrium
Pada penderita GGK tanpa hipertensi umumnya diberikan diet rendah garam yaitu natrium 1
meq/kgBB/hari. Retriksi ketat natrium dilakukan bila terdapat hipertensi dan oliguria berat
yaitu 0,5 meq/kgBB/hari (1 gram garam dapur mengandung 400 mg natrium atau 17 meq
natrium).
d. Air
Pembatasan cairan dilakulkan bila terdapat edema dan hipertensi atau LFG turun di bawah 10
ml/men/l,73m2, untuk mencegah intoksikasi air dan hiponatremia. Jumlah air yang diperlukan
adalah IWL + volume urin 1 hari sebelumnya.
e. Kalium

42

Bila kadar kalium dalam serum antara 5,5-6,5 meq/L, semua jenis makanan yang mengandung
kalium harus dihindari: sayur-mayur yang berwarna hijau, buah-buah, kacang-kacangan, coklat
dll. Bila kadar kalium 6,5 meq/l disertai dengan perubahan EKG maka harus segera diatasi
seperti pada GGA.
f . Asidosis
Obat yang digunakan adalah natrium bikarbonat dengan dosis 0.5-1 meq/kgBB/hari atau
berdasarkan hasil analisis gas darah.
g. Osteodistrofi renal
Dalam usaha pencegahan osteodistrofi renal pada anak dengan GGK Tindakan yang perlu
dilakukan adalah:
Pemberian kalsium yang cukup. Dosis kalsium yang dianjurkan adalah 500-1.000
meq/kgBB/hari
Mengurangi masukan protein dan produk susu yang kaya akan fosfat, menghambat absorbsi
fosfat dari dalam usus dengan pemberian aluminium gel. Kadar fosfat dalam serum harus
diperiksa dan dipertahankan antara 4-5 mg/dl.
h. Pemberian vitamin D
Tergantung pada derajat gagal ginjal dan kecurigaan pada tulang berdasarkan hasil
pemeriksaan radiologis. Vitamin D diberikan dengan dosis 4.000-40.000 /hari. Selama
pemberian obat kadar kalsium harus diperiksa untuk mendeteksi timbulnya hiperkalsemin
akibat efek samping vitamin D.
i. Hipertensi
Pada hipertensi ringan diberikan diuretika seperti furosemid dan membatasi masukan air dan
garam. Pada hipertensi moderat-berat diberikan obat antihipertensi secara oral. Bila hipertensi
berat sampai menimbulkan kerusakan organ target, diberikan antihipertensi secara intravena.
Obat antihipertensi yang digunakan seperti terlihat pada tabel 3.
j. Anemia
Bila Hb <6 g/dl dan timbul gejala-gejala anemia. perlu diberikan transfusi darah dengat jumlah
5-10 m1/kgBB dalam bentuk "fresh packed cells. Bila anemia disebabkan oleh kekurangan
zat besi atau asam folat, diberikan zat besi 6 mg/kgBB/hari dan asam folat 0,25- 1 mg/hari.
k. Gangguan Pertumbuhan
Pengobatan terhadap gangguan pertumbuhan ini sulit karena banyak faktor yang berperan.
Faktor yang dapat memberikan respon terhadap pengobatan ini adalah koreksi asidosis dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Pengelolaan terhadap malnutrisi harus diusahakan sebaik
mungkin, anoreksia harus diberantas, untuk itu perlu bantuan ahli gizi untuk menyusun diet
yang cocok untuk selera anak.
l. Infeksi
Bila ada infeksi harus segera ditanggulangi. Sambil menunggu hasil biakan dan sensitifitas
dapat diberikan obat antibiotik yang berspektrum luas. Dosis obat harus disesuaikan dengan
derajat kerusakan fungsi ginjal.
2) Pengobatan pengganti: dialisis dan transplantasi ginjal.

43

NEFRITIS LUPUS (SLE)


Diagnosis
Dasar diagnosis:
Kriteria diagnostik SLE adalah sbb:
1) Ruam kupu-kupu di muka.
2) Ruam discoid di kulit.
3) Fotosensitif.
4) Ulserasi uro dan nasofating.
5) Arthritis tanpa deformitas.
6) Pleuritis atau perikarditis.
7) Kelainan ginjal (proteinuria >0,5 g,/hari atau +++, silinder seluler, sel darah
merah/Hb/granuler/tubuler).
8) Kelainan neurologik: kejang atau psikosis.
9) Kelainan hematogik: anemia hemolitik dengan retikulositosis atau lekopenia atau limfopenia
atau trombositopenia.
10) Kelainan imunologik: sel LE positif atau titer abnormal anti DNA terhadap DNA tubuh atau anti
SM positif atau uji serologis sifilis positif palsu dalam 6 bulan terakhir.
11) Pemeriksaan antibodi antinuklear positif.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan >4 dari 11 kriteria di atas yang salah satunya merupakan tanda
nefritis (kelainan pada ginjal).
Penatalaksanaan:
1. Kortikosteroid
Sangat berguna untuk mengontrol manifestasi inflamasi akut LES. Penggunaan kortikosteroid
mungkin secara adekuat dapat mengobati NL yang ringan dengan risiko rendah atau disfungsi
ginjal yang progresif seperti NL mesangial, NL proliferatif fokal dini atau NL membranosa.
Glukokortikoid yang biasa dipakai adalah prednison atau metilprednisolon, yang masih
merupakan terapi imunosupresif yang efektif dan bekerja secara cepat untuk episode awal dan
rekurensi dari penyakit ginjal yang aktif. Obat ini digunakan sebagai imunosuopresif pada
pengobatan gangguan autoimun. Aktivitasnya dengan melawan peningkatan premeabilitas
kapiler dan menekan aktivitas PMN.
Prednison dengan dosis awal 60 mg/m 2/hari atau 2 mg/kgBB (maksimum 80 mg/hari) dengan
dosis terbagi (3 kali sehari) diberikan sampai terdapat perbaikan klinis (remisi) yang bisa dilihat
dari menurunnya derajat proteinuria (<1 gr/hari atau +), berkurangnya hematuria (<10/LPB),
mambaiknya fungsi ginajl, normalisasi komplemen darah dan penurunan titer anti ds DNA.
Pemberian dosis penuh biasanya berlangsung 4-6 minggu, kemudian dosis diturunkan perlahanlahan. Penurunan dosis secara cepat biasanya mengakibatkan rekurensi dari aktivitas penyakit.
Mula-mula prednison atau sejenisnya dikurangi 5-10 mg dari dosis awal dengan pemberian dosis
tunggal pada pagi hari setiap hari selama 4-6 minggu. Selanjutnya dosis diturunkan lagi 5-10 mg
dari dosis sebelumnya setiap 4 minggu dengan pemberian selang sehari secara tunggal pada pagi
hari sampai mencapai 5-10 mg/hari (0,1-0,2 mg/kgBB/hari) dan dipertahankan 1-2 tahun baru
dipertimbangkan untuk dihentikan. Tujuan dari diturunkan dosis secara perlahan adalah utnuk
mengurangi efek toksisitas dari steroid. Bila timbul relaps dosis dinaikkan lagi menjadi 60
mg/m2/hari.
Pada NL berat yaitu penurunan fungsi ginjal yang progresif serta dari gambaran biopsi ginjal
memperlihatkan glomerulonefritis proliferatif difusa dan kresen epitelial, dianjurkan pemberian
terapi pulse dengan Metilprednisolon intravena dengan dosis 15 mg/kgBB (10-30 mg/kgBB)
secara infus dalam 50-100 ml glukosa 5% selama 30-60 menit. Pemberian terapi pulse dapat
diulang setiap hari atau selang sehari selama 3-6 hari dilanjutkan dengan pemberian prednison

44

atau prednisolon oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 4 minggu kemudian dosisnya
diturunkan 5 mg setiap minggunya dengan pemberian selang sehari sampai mencapai dosis
minimum untuk mengontrol penyakit ekstra renal yang disertai flare yang berat, diperbolehkan
untuk pemberian predni(solon)son 1 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Tekanan darah diukur
secara ketat dan dipertahankan dalam rentang 110-130/70-85 dengan obat-obatan anti hipertensi.
Problem utama dengan pengobatan steroid adalah toksisitasnya yang dihubungkan
penggunaannya yang lama yang dapat menimbulkan katarak, glaukoma, hipertensi, osteoporosis,
aterosklerosis, avaskular nekrosis, striae kulit, fragilitas kapiler yang dihubungkan dengan
ekimosis, penampilan cushinoid, insomnia, agitasi, gangguan ansietas dan risiko infeksi.
2. Obat sitostatika
Siklofosfamid dan azatioprin adalah obat yang sering dipakai pada lesi ginjal yang agresif
(seperti NL proliferatif fokal, NL proliferatif difus). Pengobatan dengan sitostatika dipakai dalam
kombinasi dengan kortikosteroid. Pada beberapa penelitian mikofenalat mofetil telah
menunjukkan hasil yang efektif untuk pengobatan NL.
Obat imunosupresan sebagai tambahan kortikosteroid diindikasikan pada pasien yang tidak
respon dengan kortikosteroid saja yang tidak dapat menerima toksisitas kortikosteroid, fungsi
ginjal yang buruk, lesi proliferatif yang berat atau yang terbukti sklerosing pada pemeriksaan
biopsi ginjal.
a) Siklofosfamid
- Diindikasikan pada pengobatan pasien yang sebagian besar menunjukan gambaran NL
proliferatif fokal atau NL proliferatif difus. Walaupun secara bermakna menimbulkan
toksisitas tetapi telah ditunjukkan oleh berbagai penelitian dapat mencegah progresivitas
nefritis dan memperbaiki outcome ginjal.
- Sebagai alkilating agent mekanisme kerja dari metabolit aktif siklofosfamid akan
mempengaruhi crosslinking DNA yang akan mempengaruhi pertumbuhan sel-sel normal
dan neoplasma.
- Siklofosfamid dapat dipakai secara oral dengan dosis 2 mg/kgBB/hari tetapi akhir-akhir
ini lebih dianjurkan parenteral yaitu obat siklofosfamid dengan cara terapi pulse yaitu
dengan pembarian bolus intravena 0,5-1 gr/m 2 secara infus selama 1 jam. Sebaiknya
dikombinasikan dengan MESNA (2-merkaptopurin-etanesulfon). Pemberian mesna
disulfida dapat menginaktifkan metabolit aktif dari siklofosfamid yang dapat
menyebabkan iritasi pada kandung kemih (sistitis hemoragik).
- Austin dkk (1986) menganjurkan pemberian pulse siklofosfamid tiap 3 bulan selama 4
tahun atau 18 bulan setelah terjadi remisi. Lehman dkk (1989) melaporkan dengan hasil
yang baik dengan pemberian pulse siklofosfamid sekali sebulan selama 6-12 bulan
dengan hasil perbaikan fungsi ginajal pada NL proliferati difus. Dosis yang dipakai
adalah 500 mg/m2 pada bulan pertama, 750 mg/m2 pada bulan kedua selanjutnya 1
gram/m2 (dosis maksimal 40 mg/kgBB). Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau
hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m 2. bila jumlah leukosit <2 X 109/L dosis tidak boleh
dinaikkan dan bila 1 X 109 dosis diturunkan 125 mg/m2. Obat diberikan satu kali sebulan
selam 7 bulan, dilanjutkan dengan tiap tiga bulan sampai selama 36 bulan. Bila terjadi
peningkatan aktivitas penyakit, obat diberikan tiap bulan lagi selama 3 bulan. Pemberian
siklofosfamid pulse dilaporkan memberikan efek samping yang kurang daripada oral
yang diberikan tiap hari. Selama pengobatan ini dosis kortikosteroid diturunkan bertahap
sampai 0,25 mg/kgBB/hari dan dipertahankan selama tiga tahun baru dosis diturunkan.
- Selama pemakaian sikofosfamid dilakukan pemeriksaan hemoglobin, leukosit, trombosit
tiap minggu. Efek samping yang dapat timbul adalah toksisitas seperti muntah,
lekopenia, trombositopenia, anemia, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik, infertilitas,
teratogenik dan risiko terjadinya keganasan.
b) Azatioprin

45

- Azatioprin berguna untuk NL yang moderat sampai berat. Obat ini bekerja dengan cara
mengantagonis metabolisme purin dan menghambat sintesis DNA, RNA dan protein.
Hal ini mungkin menurunkan proliferasi sel-sel imun yang akan mengakibatkan aktivitas
autoimun yang lebih rendah.
- Walaupun obat ini dapat memperbaiki outcome ginjal tetapi tidak seefektif siklofosfamid
walaupun kurang toksik. Dosis yang digunakan adalah 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal
atau terbagi. Dosis awal 1 mg/kgBB/hari kemudian dosis ditingkatkan tergantung dari
respon klinisdan hematologi. Efek sampingnya adalah mual dan muntah, leukopenia,
trombositopenia, anemia, infeksi dan abnormalitas fungsi hati.
c) Siklosporin
- Siklosporin dapat digunakan untuk mengobati NL. Basis penggunaannya berhubungan
dengan produksi limfokin yang diproduksi oleh aktivasi limfosit T. Dengan menghambat
produksi interleukin-2, rekruitmen sel T sitotoksik dihentikan mengurangi respon
inflamsi dan mempresipitasi pengendapan kompleks imun di ginjal. Pada individu
dengan NL berat, penggunan siklosporin bersama dengan kortikosteroid, telah
ditunjukan untuk mengurangi proteinuria dan menstabilisasi fungsi ginjal.
3. Plasma exchange
Walaupun terdapat korelasi yang jelas tentang plasma exchange pada lupus, tetapi pada beberapa
penelitian pada NL belum jelas. Pada penelitian uji terkontrol menunjukkan tidak ada manfaat
dengan penambahan 3 kali seminggu plasma exchange selama kombinasi dengan terapi sitostatik
dan dengan terapi kortikosteroid. Pada penelitian lainnya menunjukkan tidak ada manfaatnya
ketika pemberian siklofosfamid iv bersama dengan plasma exchange untuk mengurangi rebound
antibody.
4. Imunoglobulin intravena
Dosis tinggi imnoglobulin intravena digunakan untuk LES khususnya jika dijumpai adanya
trombositopenia. Belum ada peneliti yang melaporkan penggunaannya pada NL anak.
Imunoglobulin intravena dihubungkan dengan terjadinya gagal ginjal akut dan penggunaannya
pada individu dengan insufisiensi ginjal terbatas.

KERACUNAN JENGKOL
Batasan:
Keracunan jengkol adalah keracunan akibat
memakan buah jengkol yang menimbulkan gejala-gejala klinis.
Etiologi:
Buah jengkol (phitecolobium lobatum) termasuk golongan polong-polongan.
Patogenesis:
Patogenesis yang pasti tentang terjadinya keracunan jengkol masih belum jelas. Hingga saat ini
diperkirakan gejala keracunan jengkol disebabkan oleh pengendapan kristal jengkol yang menyumbat
saluran kemih.
Buah jengkol asam jengkol tubulus ginjal proses pemekatan dan penurunan pH (pH mencapai
titik iso-elektrik 5,5) pembentukan kristal jengkol.
Manifestasi klinis:
Secara klinis keracunan jengkol dapat dibagi dalam 3 tingkatan yaitu:
a. Ringan, bila terdapat keluhan ringan seperti sakit pinggang, kencing berwarna merah.
b. Berat, bila disertai oliguria.
c. Sangat berat, bila terjadi anuria atau tanda-tanda gagal ginjal akut yang nyata.

46

Komplikasi:
Gagal ginjal akut.
Prognosis:
Prognosis pada umumnya baik, mortalitas dilaporkan sebesar 6% penderita meninggal dunia sebab
akibat gagal ginjal akut.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium:
Pada pemeriksaan urin dengan mikroskop terdapat kristal asam jengkol.
USG/Pielogravi intravena (PIV): ditemukan pelebaran ureter atau tanda-tanda hidronefrosis akibat
obstruksi.
Diagnosis
Dasar diagnosis
Adanya riwayat makan jengkol, keluhan sakit perut, muntah, disuria, pernafasan dan urin berbau
jengkol yang khas, hematuria, disuria atau anuria, serta ditemukan kristal asam jengkol dalam urin
yang merupakan kriteria diagnostik yang cukup spesifik.
Langkah diagnosis
1) Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
2) Pemeriksaan laboratorium/penunjang untuk mendukung diagnosis.
3) Cari ada komplikasi.
Penatalaksanaan:
Penanganan Medis
Ringan: diberikan minum yang banyak dengan penambahan air soda atau tablet sodium bikarbonat
kira-kira 1-2 meq/kgBB/hari atau sebanyak 1-2 gram/hari.
Berat: ditandai dengan oligouria/anuria maka penderita harus dirawat dan ditangani sebagai kasus
gagal ginjal akut.
Bila ditandai dengan retensi urin maka dilakukan kateterisasi urin, buli-buli dibilas dengan
larutan sodium bikarbonat 1,5%.
Sodium bikarbonat diberikan 2-5 mEq/kgBB, sebaiknya disesuaikan dengan hasil analisis gas
darah.
Diuretik diberikan 1-2 mg/kgBB/hari.
Bila cara-cara diatas belum berhasil atau terdapat tanda-tanda perburukan klinis maka perlu
dilakukan tindakan dialisis segera.
Tindakan Bedah
Bila terdapat obstruksi berat di uretra distal, terdapat kesulitan pemasangan katater, pada retensi urin,
dilakukan tindakan punksi buli-buli dengan jarum sayap ukuran besar atau jarum sistofik no. l5F, satu
jari diatas simfisis pubis di garis tengah dengan sudut 45 o. Selanjutnya dilakukan pembilasan kandung
kemih dan sebaiknya dipasang drainase secara tertutup. Bila terdapat edema atau infiltrat urin di daerah
batang penis atau skrotum dapat dilakukan tindakan insisi pada bagian skrotum paling bawah.

47

REFLUKS VESIKO URETER (RVU)


Batasan:
Regurgitasi urin dari kandung kemih ke dalam ureter.
Etiologi:
Berdasarkan etiologi refluks dibagi dalam 2 golongan yakni:
a. Refluks primer yaitu: refluks yang disebabkan oleh defek kongenital pada hubungan ureter vesika
(uretero vesical junction).
b. Refluks sekunder yaitu: refluks yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan di dalam kandung
kemih (misalnya: katup uretra posterior, buli-buli neurogenik, diskoordinasi detrusor sphincter),
abnormalitas ureter (ureter ektopik), abnormalitas ISK bawah (prune belly syndrome, bladder
exstrophy, ureterocele ektopik).
Klasifikasi:
Derajat refluks menurut klasifikasi internasional:
Derajat I : refluks pada ureter saja, tidak ada dilatasi.
Derajat II : ureter, pelvis dan kalises tidak ada dilatasi.
Derajat III : dilatasi ringan dengan atau tanpa disertai ureter berkelok (turtuosity). Dilatasi ringan
pelvis, kaliks minor agak cembung.
Derajat IV : dilatasi sedang disertai ureter berkelok. Dilatasi sedang pada pelvis; kaliks mayor
dan minor tampak cembung.
Derajat V : dilatasi hebat disertai ureter yang berkelok-kelok dan sistem pelviokalises sangat
melebar.
Patogenesis:
Pada refluks primer, adanya defek kongenital pada hubungan ureter vesika ditandai dengan ureter
intra vesika yang pendek, orifisium uretra lebih besar dan bergeser ke lateral. Bila ratio antara
panjang ureter intramural dan diameter orifisium uretra berkurang (Normal 5:1) maka mekanisme
anti refluks tidak berfungsi dengan baik.
Refluks yang berhubungan dengan ISK.
Regurgitasi akan memepermudah timbulnya ISK akibat adanya residu dalam kandung kemih.
Infeksi dapat menjalar ke arah ureter dan ginjal. Bakteri sering menghasilkan suatu endotoksin
yang menyebabkan respon immun selular dan humoral berupa reaksi inflamasi. Sequele dari reaksi
host tersebut berupa fibrosis parenkim yang diistilahkan sebagai nefropati refluks.
Refluks dapat terjadi pada:
a. Fase pengisian kandung kemih disebut sebagai refluks pasif/refluks tekanan rendah/low pressure
reflux.
b. Saat miksi berlangsung disebut sebagai refluks aktif/refluks tekanan tinggi/high pressure reflux.
Diagnosis:
Untuk mendiagnosis adanya RVU dapat digunakan teknik MSU (miksio-sisto-uretrografi). Untuk
mendeteksi parut ginjal dapat dipakai PIV (Pielografi Intavena). Bila sarana tersedia, pemeriksaan
yang lebih sensitif ialah sintigrafi Te-99 DMSA (dimercapto succinic acid). Dengan teknik ini dapat
ditemukan defek gambaran ginjal yang disebut daerah rendah emisi (cold area) akibat menurunnya
uptake DMSA pada daerah tersebut.
Penatalaksanaan:
Penanganan terhadap RVU bertujuan untuk identifikasi dan gradasi RVU, pencegahan ISK berulang,
memelihara perkembangan fisik serta pertumbuhan ginjal yang normal dan pencegahan timbulnya

48

parut ginjal. Penanganan dinilai berhasil bila refluks menghilang baik secara spontan maupun setelah
tindakan bedah.
Penanganan RVU meliputi:
a. RVU derajat I dan II: hanya diberi terapi medikamentosa. Obat-obat yang sering digunakan adalah
sulfamethoxazole-trimetoprime, trimethoprim saja, atau nitrofurantoin dengan pemberian satu kali
per hari dengan dosis 1/4 -1/3 dari dosis yang dibutuhkan untuk terapi ISK
b. RVU derajat III dan IV: dicoba terapi konservatif, bila secara klinis mengalami
perburukan,dipertimbangkan dilakukan tindakan bedah.
c. RVU derajat V: dilakukan tindakan bedah (tranplantsi ureter).
Komplikasi:
Komplikasi meliputi: hipertensi, glomerulopati, GGK atau gabungan beberapa gejala klinis tersebut.

BATU GINJAL (NEFROLITHIASIS)


Etiologi:
a. Beberapa keadaan yang mempermudah terjadinya supersaturasi/ kristalisasi zat-zat yang relatif
tidak larut dalam urin, sebagai berikut:
Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria.
Hiperoksalemia dan hiperoksaluria.
Hiperurisemia dan hiperurikosuria.
Sistinuria.
Xantinuria.
Perubahan pH urin.
b. Dehidrasi, juga akan mempengaruhi supersaturasi zat-zat terlarut dalam urin.
c. Stasis urin, berupa kelainan kongenital maupun yang di dapat menyebabkan obstruksi mekanis
maupun fungsional.
d. Obstruksi aliran limfe ginjal, baik yang kongenital maupun akibat peradangan menyebabkan
timbulnya inti kalsifikasi batu.
e. Kerusakan epitel ginjal inti presipitasi batu.
f. Idiopatik (40%)
Gambaran Klinis:
Batu ginjal memberikan keluhan bila terjadi obstruksi parsial atau bila batu berubah posisi.
Gejala klinik:
Nyeri abdomen umumnya terasa di pinggang.
Kolik ginjal.
Hematuri makroskopik atau mikroskopik.
Piuria.
Mual dang muntah.
Kembung.
Diagnosis:
Dapat ditegakkan melalui:
Anamnesis yang teliti (saat mulai timbul keluhan, riwayat perjalanan penyakit, pola makanan,
pemakaian obat-obatan, riwayat penyakit batu saluran kemih dalam keluarga).
Pemeriksaan fisik (adakah nyeri abdomen, kolik ginjal, hematuri, dll.).

49

Pemeriksaan penunjang, antara lain:


a. Urinalisis.
b. Pemeriksaan radiologis (foto polos abdomen, USG, pielografi intravena).
c. Pemeriksaan darah.
d. Analisis gas darah.
Langkah diagnosis dapat dilihat pada algoritma.
Penatalaksanaan:
Berhasilnya penatalaksaan batu saluran kemih ditentukan oleh 5 faktor ialah ketepatan diagnosis,
lokasi batu adanya infeksi saluran kemih dan derajat beratnya, derajat kerusakan fungsi ginjal,
serta tatalaksana yang tepat.
Terapi dinyatakan berhasil bila: keluhan menghilang, kekambuhan batu dapat dicegah, infeksi telah
dapat dieradikasi dan fungsi ginjal dapat dipertahankan.
Pengobatan konservatif (lebih ditujukan kepada penyakit/keadaan yang mendasari
terbentuknya batu).
Pemakaian obat-obatan (untuk mengurangi rasa sakit yang hebat, mengusahakan agar batu
keluar spontan, disolusi batu dan mencegah kambuhnya batu).
Pengeluaran batu dengan cara ESWL (Extracorporeal shock wave lithoptripsy) menggunakan
gelombang untuk meretakkan batu atau dengan cara pembedahan (pielolitotomi atau
nefrektomi).
Prognosis:
Prognosis dari batu ginjal tergantung dari diagnosis awal dan terapi yang diberikan, tetapi tingkat
berulang kembali biasanya tinggi jika kondisi tersebut tidak diobati.

50

Algorithm for Evaluating Possible Nephrolithiasis


Symptoms/Signs of Urinary Stone
History, physical exam, urinalysis, urine culture, imaging

Stone Passed

Stone identified in urinary tract

No stone
identified

Urologic or surgical
consultation
Urinary Ca
/Creatinine

Options include
observation ESWL,
surgical removal
Stone not
recovered

Stone
recovered

Stone analysis

Calcium oxalate
Calcium phosphate

Normal

Elevated

Consider
alternative
diagnoses

Urinary
citrate and
uric acid,
serum
calcium dan
phosporus

Cystine

Struvite

Uric acid

Urine cystine

Urine culture

Urine and serum


Uric acid and
creatinine

Complete metabolic evaluation


Serum creatinine, calcium, bicarbonate, uric acid,
potassium, phosphorus
24 hour urine volume, calcium, creatinine, oxalate,
uric acid, sodium, citrate OR random urine calcium,
creatinine, oxalate, uric acid
51

Uropati Obstruktif
Batasan
Uropati obstruktif adalah gangguan/hambatan secara fungsional atau structural terhadap aliran
urin normal, yang dapat menimbulkan disfungsi ginjal (obstruktif nefropati)
Etiologi
Kategori
Abnormalitas anatomi

Tekanan dari massa atau


proses eksternal

Abnormalitas fungsional

Obstruksi mekanik
lumen saluran kemih

dari

Contoh
Katup anterior atau posterior yg abnormal (uretra)
Kontraktur leher vesical (bladder)
Divertikulum (urethra)
Trauma: fraktur pelvis, Straddle injury (urethra)
Polyp (ureter)
Striktur, fimosis, stenosis meatus parafimosis
(urethra)
Sistem reproduksi wanita: kehamilan, prolaps uterus,
tumor, abses, kista duktus gartner, abses tuba-ovarian
Saluran cerna : penyakit chrons (melalui inflamasi
atau abses), abses divertikulum, abses apendik, tumor
(termasuk tumor pancreas), abses dan kista
Saluran kemih : abses periuretra, BPH, prostatitis
kronis fibrosa, kanker prostat
Pembuluh darah: aneurisma, pembuluh darah
aberrant, ureter retrocaval, trombophlebitis vena
ovarium
Retroperitonium: fibrosis (idiopatik, pembedahan,
drug-induced) TB, sarkoidosis, lymphoma, tumor
metastase, lymphocele, hematoma, lipomatosis pelvis
kelainan neurogenik atau obat (vesika urinaria)
disfungsi ureteropelvik atau uretrovesikal junction,
disfungsi leher bladder
bekuan darah (pelvis renal atau ureter)
bola fungi (pelvis renal atau ureter)
papilla ginjal (pelvis renal atau ureter)
kristal asam urat (tubulus renal)
Urolithiasis (pelvis renal atau ureter)

Patofisiologi
- Pada anak-anak penyebab terbanyak adalah kelainan anatomi, termasuk kelainan pada
katup uretra, stenosis dan striktur pada ureterovesikal atau ureteropelvikal junction.
Obstruksi dapat terjadi dimana saja dari tubulus ginjal sampai meatus uretra eksternal
- Proksimal dari obstruksi dapat terjadi : peningkatan tekanan intralumen, stasis urin, ISK,
atau pembentukan kalkulus
- Gambaran patologis terdiri dari :
Pelebaran saluran pengumpul (collecting ducts) dan tubulus distalis dan atrofi tubular
dengan sedikit kerusakan pada glomerulus
Pelebaran terjadi 3 hari sebelum onset timbulnya uropati obstruktif sebellum kemudian
system pengumpul tidak lagi berdilatasi

52

Nefropati obstruktif adalah disfungsi ginjal (renal insufisiensi, gagal ginjal atau kerusakan
tubulointerstitial) yang diakibatkan adanya sumbatan pada saluran kemih. Mekanisme :
peningkatan tekanan intratubular, iskemia lokal dan paling sering ISK. Obstruksi asidosis
tubular renal tipe 1 berkurangnya sekresi hydrogen pada tubulus distal, mungkin karena
adanya defek pada transporter ion hydrogen dapat terjadi pengeluaran natrium dan
penekanan volume ECF. Jika obstruksi bilateral dapat terjadi insufisiensi ginjal, insufisiensi
ginjal jarang terjadi bila obstruksi unilateral karena adanya mekanisme otonom atau spasme
ureteral yang mempengaruhi fungsi ginjal.
.
Gambaran klinis
Gejala dan tanda tergantung pada lokasi, derajat dan kecepatan onset uropati obstruktif.
- Nyeri, ketika obstruksi secara akut menimbulkan regangan pada bladder, system
pengumpul (ureter dan kaliks renal) atau kapsul renal. Uretra atas atau lesi pelvik
renal menyebabkan nyeri di flank area, dan obtruksi uretra bawah menyebabkan nyeri
menjalar ipsilateral testis atau labia. Distribusi nyeri ginjal dan ureter biasanya
sepanjang T11 ke T12.
- Obstruksi total ureter yang akut menimbulkan nyeri hebat disertai nausa dan vomitus.
- Nyeri dapat ringan atau tidak ada pada uropati obstruktif parsial
- Hidronefrosis
- Obstruksi unilateral tidak mengurangi volume urine. Anuria absolut terjadi apabila
terdapat obstruksi total pada kandung kemih atau uretra. Bila terjadi obstruksi pada
kandung kemih atau uretra dapat menyebabkan kesulitan miksi atau abnormalitas
pancaran urin.
- Pada parsial obstruksi urine output biasanya normal dan jarang meningkat.
Peningkatan urin output dengan poliuria dan nokturia terjadi bila nefropati
menyebabkan kerusakan kemampuan reabsorpsi natrium dan konsentrating ginjal.
- Nefropati yang berlangsung lama juga dapat menimbulkan hipertensi
- Infeksi akibat obstruksi dapat menimbulkan disuria, pyuria, urgensi dan frekuensi,
nyeri alih ginjal dan ureter, nyeri CVA, demam dan kadang-kadang septicemia.
Diagnosis
- Uropati obstruksi dipertimbangkan pada pasien dengan urine output yang berkurang atau
tidak ada, insufisiensi ginjal atau nyeri distensi padi saluran kemih.
- Pemeriksaan urinalisis dan kimia darah (elektrolit, BUN, kreatinin)
- Pemeriksaan pada curiga obstruksi uretra : voiding cystourethrography
- Pemeriksaan pada obstruksi ureter atau lebih proksimal : USG abdomen, CT scan, USG
doppler duplex, IVP, MRI, pyelografi antegrad atau retrograde.
- Pemeriksaan pada hidronefrosis tanpa gejala sumbatan : renografi diuresis
Penatalaksanaan
- Eliminasi obstruksi dengan tindakan bedah : instrumentasi (endoskopi, litotripsi) atau
medikamentosa
- Pada hidronefrosis dilakukan drainase segera jika : terdapat gangguan fungsi ginjal,
ISK persisten, atau nyeri yang persisten atau tidak teratasi.
- Uropati obstruktif bawah memerlukan kateter atau drainase proksimal
- Drainase temporer perkutaneus dilakukan pada uropati obstrukrif berat, ISK atau
kalkuli. Terapi intensif terhadap ISK dan gagal ginjal harus dilakukan segera.
- Pada hidronefrosis tanpa gejala obstruktif tindakan bedah dilakukan jika hasil
renogram diuresisnya positif dan terdapat nyeri.

53

Anda mungkin juga menyukai