Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Proses Metamorfosis Katak, hewan amphibi merupakan kelompok hewan yang
hidup di dua habitat, air dan daratan. Oleh karena itu dalam siklus hidup amphibi, seperti
katak, akan mengalami perubahan bentuk yang diadaptasikan untuk dapat hidup pada
habitatnya. Perubahan bentuk pada katak ini disebut dengan metamorposis, istilah yang
berasal dari bahasa yunani yang berarti perubahan bentuk (transformasi). Kecebong,
merupakan larva katak yang memiliki bentuk yang sangat berbeda dengan katak dewasa.
Perbedaan ini didasarkan pada habitatnya. Katak menghabiskan hidup dalam air untuk
perkembangan embrio dan larvanya, setelah itu akan ke darat untuk mencari makan dan
perkembangan reproduksi, dan akan kembali ke air untuk berpijah (reproduksi).
Ketika musim kawin tiba, maka katak akan sering di daerah berair untuk reproduksi.
Hal ini karena pembuahan pada katak terjadi di luar tubuh, oleh karena air atau tempat
lembab amat penting untuk memfasilitasi pergerakan sperma agar dapat bergerak membuahi
sel telur. Katak jantan selaluberukuran lebih kecil dibanding katak betinanya. Ketika
perkawinan, katak jantan kan memegang katak betina dari punggung badan katak betina, hal
ini dikenal dengan istilah ampleksus. Pada katak tidak terjadi kopulasi (penyatuan alat
kelamin). Saat ampleksus terjadi katak betina akan melepaskan sel-sel telur yang memiliki
bentuk seperti jeli, sedang katak jantan akan mengeluarkan sel-sel spermanya. Telur-telur
yang dibuahi akan berkembang menjadi zigot.
1.2 Tujuan
1.2.1 Menjelaskan pengertian stadium larva dalam perkembangan suatu individu
1.2.2 Menjelaskan mekanisme metamorfosis pada amphibia
Bab II
Pembahasan
2.1 Metamorfosis
Metamorfosis adalah perubahan ukuran, bentuk, dan bagian-bagian tubuh hewan dari
suatu stadium ke stadium berikutnya. Metamorfosis merupakan proses pertumbuhan dan
perkembangan hewan khususnya serangga dan amfibi menuju dewasa. Dalam siklus
hidupnya, hewan memiliki struktur dan fungsi tubuh yang berbeda pada setiap stadium.
Metamorfosis dikendalikan oleh hormon. Di bawah pengaruh hormon, ukuran tubuh hewan
bertambah, jaringan terorganisasi, dan bagian-bagian tubuh kembali dibentuk (Soeminto,
2000).
Perkembangan makhluk hidup dapat dibagi menjadi dua tahap, perkembangan pralahir dan perkembangan pasca lahir. Kedua macam perkembangan ini memegang peranan
penting bagi kelangsungan hidup suatu organisme. Perkembangan pasca-lahir terdiri atas
perkembangan langsung dan tidak langsung (Sutasurya, 1990).
Suatu individu mempunyai perkembangan pasca-lahir langsung, apabila keturunan
yang dilahirkan atau ditetaskan telah memiliki bentuk seperti individu dewasanya. Untuk
mencapai dewasa, individu ini hanya memerlukan perubahan proporsi tubuh, pemasakan
gonad atau sistem genital. Serta pelaku berkembang baik yang sangat dipengaruhi oleh nutrisi
dan hormon (Sutasurya, 1990).
Perkembangan pasca-lahir tidak langsung adalah apabila keturunan yang dilahirkan
mempunyai bentuk tubuh yang berbeda dari individu dewasanya. Keadaan dewasa dicapai
melalui satu atau beberapa stadium perantara yang disebut larva. Stadium larva berbeda
dengan stadium dewasa dalam hal morfologi, fisiologi dan ekologi. Perubahan dari bentu
larva ke bentuk dewasa ini disebut Metamorfosis. Pada beberapa organisme, metamorfosis
mencakup perubahan-perubahan secara berangsur-angsur sedang pada beberapa organisme
lain terjadi secara mendadak. Perubahan terjadi dalam hal bentuk tubuh, cara hidup, pola
biosintesis dan fisiologi. Periode berlangsungnya perubahan yang mendadak serta terjadi
secara radikal disebut klimaks metamorfosis (Sutasurya, 1990).
Perubahan bentuk tubuh pada metamorfosis sebagian bersifat proregresif dan
sebagian bersifat regresif. Perubahan regresif terjadi pada organ-organ atau strukur-struktur
yang diperlukan bagi kehidupan larva tetapi tidak diperlukan oleh hewan dewasanya,
sehingga organ tersebut akan menyusut atau hilang sama sekali. Jadi terdapat perubahan darin
sebelum dan sesudah metamorfosis yang diperlukan agar masa kehidupan dewasanya dapat
berlangsung (Sutasurya, 1990).
Perkembangan tidak langsung terdapat pada banyak spesies hewan dengan berbagai
macam bentuk larva seperti kecebong pada amfibia, ulat pada kupu-kupu, tempayak pada
kumbang (Sutasurya, 1990).
2.2
Perubahan pola organisasi hewan selama proses metamorfosis ada yang berjalan
secara progresif dan ada pula yang regresif, oleh karena itu digolongkan menjadi tiga
kelompok:
1. Struktur atau organ yang diperlukan selama masa larva tetap terdapat organ lain yang
memiliki struktur atau fungsi sama pada hewan dewasa mungkin hilang semua.
2. Beberapa organ tumbuh dan berkembang selama dan setelah proses metamorfosis
3. Organ-organ yang ada dan berfungsi selama masa sebelum dan setalah metamorfosis
mengalami perubahan sesuai model dan kebutuhan hidup dari individu dewasanya
(Surjono, 2001).
Proses regresif selama metamorfosis berudu katak adalah sebagai berikut: ekor yang
panjang dan semua strukturnya mengalami resorpsi sampai habis. Insang luar juga
mengalami resorpsi, penutup insang akan menutup dan rongga peribrankia juga menghilang.
Gigi-gigi tanduk yang ada disekitar mulut akan mengalami penataan kembali menjadi gigigigi yang terletak pada permukaan rahang, sementara bentuk mulutnya mengalami
perubahan. Bumbung kloaka mengalami pemendekan dan reduksi. Bebapa pembuluh darah
juga mengalami reduksi, termasuk bagian-bagian dari arkus aortikus (Surjono, 2001).
Proses pembentukan organ baru selama metamorfosis adalah perkembangan kaki-kaki
yang sangat progresif terutama pada penambahan ukuran dan perubahan bentuk. Kaki depan
yang tumbuh di dalam selaput operkulum, memecah dan tumbuh keluar. Telinga tengah
berkembang dan berhubungan dengan celah faring pertama. Membran timpani tumbuh
dengan baik disokong oleh rawan timpani. Mata terdesak ke arah dorsal kepala dan kelopak
mata tumbuh. Lidahnya tumbuh dengan baik dari dasar mulut. Organ-organ yang tetap
berfungsi sebelum dan sesudah masa larva adalah kulit dan saluran penceranaan. Kulit
berudu ditutupi oleh dua lapis epidermis. Selama proses metamorfosis, jumlah lapisan
epidermis meningkat sehingga terjadi penebalan dan pada permukaannya akan mengalami
penandukan. Kelenjar-kelenjar mukosa dan serosa akan tumbuh pada epidermis dan
kemudian tenggelam sampai jaringan ikat pada lapisan dermis. Organ-organ sensori yang
terdapat sepanjang alteral tubuh pada masa larva akan hilang selama proses metamorfosis.
Warna pigmen kulit juga mengalami perubahan, baik pola maupun warnanya. Saluran
pencernaan yang sebelumnya sangat panjang dan melingkar-lingkar pada saat larva, seperti
dijumpai pada kebanyakan herbivora, mengalami pemendekan ke depan dan menjadi relativ
lurus pada hewan dewasa. Proses-proses ini terjadi dengan sangat cepat dan hanya
memerlukan waktu beberapa hari saja (Surjono, 2001).
yang mengalami kematian. Mekanisme yang serupa juga ditemukan pada terjadinya reduksi
lipatan-lipatan ekor dan insang pada urodela (Surjono, 2001).
Selama proses metamorfosis berudu katak, proses penghancuran beberapa organ
tubuh terjadi sangat nyata, perubahan-perubahan pada sistem penceranaan makanan mungkin
akan mengganggu pola konsumsi berudu tersebut, maka katak yang beru saja selesai
mengalami metamorfosis umumnya berukuran lebih kecil dibandingkan bentuk dan ukuran
berudu sendiri. Pernyusutan tidak hanya terjadi pada berat individu sebelum dan sesudah
metamorfosis, tetapi juga pada ukuran kepala dan badan dari individu tersebut (Surjono,
2001).
Penyebab metamorphosis salah satunya adalah terjadinya pelepasan hormone dalam
jumlah besar dari kelenjar tiroid pada hewan yang sedang memasuki masa metamorphosis.
Hormone tiroid sebagai pemicu terjadinya metamorphosis diketahui setelah dilakukannya
beberapa penelitian, diantaranya adalah apabila kelenjar tiroid diambil dari seekor berudu
dengan cara operasi, maka berudu yang tidak memiliki kelenjar tiroid ini tidak mengalami
metamorphosis ketika dipelihara lebih dari setahun, berudu tanpa kelenjar tiroid ini terus
tumbuh besar. Percobaan ini membuktikan bahwa metamorphosis tidak dapat terjadi tanpa
stimulus dari hormone yang dihasilkan kelenjar tiroid. Dari percobaan lain diketahui pula
bahwa memelihara berudu dengan diberi makana-makanan yang mengandung dari hormone
dari kelenjar tiroid atau memelihara berudu di dalam larutan yang mengandung hormone
tiroid , berudu dengan diberi perlakuan seperti itu akan cepat mengalami metamorphosis
selain itu juga membuktikan bahwa kelenjar tiroid hewan itu sendiri bukanlah satu-satunya
sumber pemicu terjadinya metamorphosis selain itu ada yang dipengaruhi lingkungan juga
(Surjono, 2001).
Selain dipicu oleh kelenjar tiroid, larutan garam tiroglobulin juga dapat memicu
terjadinya metamorphosis. Larutan ini berasal dari merendam kelenjar tiroid di dalam larutan
garam fisiologi. Hal ini akan mengakibatkan hormone dalam kelenjar tiroid akan terlarut ke
dalam garam fisiologi tersebut. Hormone yang terlarut ini berupa protein tiroglobulin.
Karakter khas tiroglobulin adalah mengandung gugus yodium atau iodine yang merupakan
bagian penting dari hormone tiroid. Tiroglobulin ini mempercepat metamorphosis karena
tiroglobulin memiliki berat molekul sekitar 675.000 Dalton, merupakan sebuah molekul yang
besar dan dapat menembus dinding-dinding sel dalam proses meninggalkan kelenjar tiroid
menuju sel-sel target. Komponen- komponen yodium ini nantinya dipecah menjadi bagianbagian yang lebih kecil yang merupakan gabungan dari komponen-komponen asam amino
tiroksin.tiroksin dihasilkan lebih banyak dari pada tri-iodotironin tetapi tri iodotironin terlihat
lebih aktif dengan jaringan (Surjono, 2001).
Dari penelitian diketahui bahwa iodine juga dapat memperdepat terjadinya
metamorphosis hal ini dapat dilakukan dengan cara menginjeksi menginjeksikan larutan
iodine ke dalam tubuh berudu atau dengan cara menanamkan Kristal yodium pada tubuh
berudu. Dari penelitian ini diketahui bahwa yodium dapat menstimulus terjadinya
metamorphosis pada axolotl yang telah diambil kelenjar tiroidnya. Dari penelitian juga
diketahui bahwa tri-iodotironin memiliki aktivitas untuk menstimulus metamorphosis 3-5 kali
lebih tinggi dari pada tiroksin (Surjono, 2001).
Kelenjar lain yang juga memicu untuk terjadinya metamorphosis adalah kelenjar
hipofisis. Hal ini diketahui dari percobaan apabila kelenjar hipofisis dari seekor berudu di
hancurkan maka berudu tersebut tidak dapat melakukan metamorphosis. Tetapi hipofisis tidak
berperan langsung pada proses metamorphosis melainkan melalui stimulus pada kelenjar
tiroid. Agenesia yang diperlukan untuk mengaktifkan kelenjar tiroiddihasilkan pada lobus
anterior hipofisis disebut hormone tirotropik. Pada larva amfibi. Hipofisis tidak memproduksi
hormone tirotropik sampai saat normal untuk terjadinya prose metamorphosis. Hipofisi
berudu menghasilkan hormone lain yang bekerja secara antagonis untuk dengan hormone
tiroksin selama maa berudu. Hormone ini mencegah terjadinya metamorphosis (Surjono,
2001).
Dari hal diatas dapat disimpukan bahwa metamorphosis dimulai apabila bagian
anterior hipofisis menghasilakn hormone tirotropik sampai kadar tertentu sehingga dapat
menstimulus kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormone-hormonnya terutama tiroksin.
Konsenterasi hormone tiroksin yang tinggi akan menutupi aktivitas yang bekerja secara
antagonis yaitu hormone yang mirip prolaktin dan mempengaruhi jaringan secara langsung.
Hal ini mengakibatkan terjadinya degenerasi dan nekrosi (kematian sel) sel-sel target dan
juga memicu terjadinya deferensiasi dan pertumbuhan sel-sel lain (Surjono, 2001).
2.4
Kelenjar tiroid menghasilkan sekretnya di bawah pengaruh TSH yang berasal dari hipofisa
bagian anterior. Jaringan-jaringan larva akan memberi respons terhadap hormon
tiroksin,yakni melalui terjadinya tumbuh atau degenerasi. Apabila hipofisa dibuang pada
stadium embrio tunas ekor, maka kelenjar tiroid tidak mampu berkembang, sehingga
kecebong akan tetap berbentuk larva dan hanya akan bermetamorfosis bila dirangsang oleh
tiroksin (Sutasurya, 1990).
Dalam perkembangan normal, awal metamorfosis terjadi apabila perkembangan tiroid,
yang berdiferensiasi di bawah pengaruh sekresi hormon hipofisa embrio, mulai menghasilkan
hormon dalam kadar rendah. Hormon yang dihasilkan ini akan merangsang pertumbuhan
kaki belakang yang kemudian diikuti oleh perkembangan kaki depan. Pada stadium ini,
kelenjar tiroid mulai aktif mensekresikan tiroksin sebagai respons terhadap meningkatnya
produksi TSH oleh kelenjar hipofisa dan larva pun mengalami klimaks metamorfosis dan
segera berubah bentuk menjadi seekor katak. Setelah itu fungsi tiroid pun menurun
(Sutasurya, 1990).
Meningkatnya produksi TSH oleh kelenjar hipofisa dipacu oleh sejenis hormon otak,
thyrotropin releasing hormone (TRH) yang disekresikan oleh sel-sel saraf dalam
hipotalamus. Pada menjelang klimaks metamorfosis, hipotamalus memberi respons terhadap
hormon tiroid dan menggetahkan TRH yang kemudian dibawa oleh aliran darah langsung
hipofisa, menyebakan hipofisa mensekresikan TSH ke dalam aliran darah. TSH kemudian
merangsang kelenjar tiroid untuk mensekresikan tiroksinnya dalam jumlah yang lebih banyak
sehingga dapat mengubah kecebong menjadi katak (Sutasurya, 1990).
BAB III
Kesimpulan
3.1 Stadium larva berbeda dengan stadium dewasa dalam hal morfologi, fisiologi dan
ekologi. Larva pada katak disebut dengan berudu. Berudu ini seperti ikan kecil
berwarna hitam yang memiliki struktur tubuh yang belum sempurna.
3.2 mekanisme metamorfosis pada amphibia yaitu dari telur selanjutnya menjadi berudu
lalu katak muda dan akhirnya menjadi katak dewasa.
DAFTAR RUJUKAN
Djarubito, M.B., 1993. Zoologi Dasar. Jakarta: Erlangga.
Soeminto. 2000. Biologi perkembangan III. Purwokerta: UJS
Sutasurya, 1990. Dasar-Dasa Perkembangan Hewan. Bandung: ITB.
Surjono, T.W., 2001. Perkembangan Hewan. Jakarta: Universitas Teerbuka.