KSPPN
MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/
KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
KATA SAMBUTAN
ii
KSSPN
melengkapi
peraturan
perundang-
Saya berharap KSPPN ini dapat menjadi acuan bagi para perencana
pembangunan dan pengelolaan perkotaan di pusat dan daerah, menjadi
instrumen sinkronisasi baik dalam perencanaan program dan kegiatan
Kementerian/Lembaga dan pemerintahan daerah (Gubernur, Bupati, dan
Walikota) maupun dalam sinkronisasi regulasi dan kebijakan terkait
pembangunan perkotaan.
Terima kasih atas jerih-payah semua pihak dalam menyiapkan KSPPN
ini. Kiranya bermanfaat bagi kejayaan nusa dan bangsa kita.
Jakarta,
Mei 2015
Andrinof Chaniago
iii
KSPPN
KATA PENGANTAR
DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI
DAERAH
SELAKU
KETUA TIM PENGARAH TIM KOORDINASI PEMBANGUNAN
PERKOTAAN NASIONAL
(TKPPN)
iv
KSSPN
Terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dan turut
berjerih-payah dalam penyusunan KSPPN ini.
Jakarta,
Mei 2015
KSPPN
Daftar Isi
ii
iv
vi
x
xii
xviii
xxii
xxvi
Bab 1
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
Pendahuluan ..................................................................
Latar Belakang ................................................................
Tujuan dan Sasaran ........................................................
Jangka Waktu..................................................................
Kedudukan ......................................................................
Sistematika Penyajian .....................................................
1
2
12
13
13
13
17
18
18
19
20
23
24
24
26
30
33
34
36
36
48
86
92
vi
KSSPN
2.5
2.6
2.7
vii
93
110
110
111
112
113
114
117
118
125
126
130
131
141
148
159
160
164
164
186
187
188
209
210
210
212
216
218
219
219
221
249
250
287
288
292
5.6
5.7
222
KSPPN
5.4
5.5
228
231
233
238
240
242
242
242
243
252
255
255
256
260
262
265
265
269
275
292
292
294
294
viii
KSSPN
7.4
7.5
Bab 8
8.1
8.2
8.3
8.4
8.5
8.6
8.7
8.8
ix
295
296
296
297
298
300
301
302
305
306
307
308
310
312
314
315
317
KSPPN
Daftar Tabel
KSSPN
xi
KSPPN
Daftar Gambar
xii
KSSPN
xiii
KSPPN
xiv
KSSPN
xv
KSPPN
xvi
KSSPN
Daftar Istilah
xvii
KSPPN
10. Kota hijau adalah kota yang dibangun dengan tidak mengorbankan
asetnya, melainkan terus memupuk sumber daya alam, lingkungan,
dan kualitas prasarana kota untuk menjawab isu perubahan iklim
melalui tindakan mitigasi, adaptasi dan pemulihan.
11. Kota cerdas dan berdayasaing adalah kota yang mampu
menggunakan SDM, modal sosial, dan infrastruktur telekomunikasi
modern (ICT) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan
dan kualitas kehidupan tinggi, dengan manajemen sumber daya yang
bijaksana melalui pemerintahan berbasis partisipasi masyarakat.
12. Kota berkelanjutan adalah kota sebagai entitas sosial spasial dan
keseimbangan antara masa kini dan masa depan merupakan faktor
penting untuk menjamin adanya keberlanjutan dalam pemanfaatan
sumber daya alam yang tersedia, tanpa mengurangi peluang generasi
yang akan datang untuk menikmati kondisi yang sama.
13. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
15. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah
16. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia
17. Pusat Kegiatan Global yang selanjutnyadisebut PKG adalah Pusat
Kegiatan Global adalah tugas yang diemban kota sebagai pusat
kegiatan yang mampu melayani lintas negara dalam skala regional
(ASEAN) maupun global.
18. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah Pusat
Kegiatan Nasional adalah tugas yang diemban kota sebagai pusat
kegiatan yang mampu melayani lintas provinsi dalam skala nasional.
19. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah Pusat
Kegiatan Wilayah adalah tugas yang diemban kota sebagai pusat
kegiatan yang mampu melayani lintas kabupaten/kota dalam provinsi
maupun antar provinsi yang berdekatan.
20. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah Pusat
Kegiatan Lokal adalah tugas yang diemban kota sebagai pusat
kegiatan yang mampu melayani
wilayah-wilayah disekitarnya
maupun lintas kabupaten/kota yang berdekatan.
xviii
KSSPN
xix
KSPPN
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan
Nasional
xx
KSSPN
xxi
Daftar Singkatan
ADB
ALKI
APBD
:
:
:
APBN
BKSP
BKSPAD
BLU
BRT
BUMN
DED
FI
FP3
FS
IBRD
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
IKB
KAD
KBI
KEK
KP3K
:
:
:
:
:
KP3N
KP3P
KPBPB
KPPN
KPRP
KPS
KSN
KSPPD
:
:
:
:
:
:
:
KSPPN
KTI
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
KSPPN
LDF
LPDF
MBR
MDF
MRT
NSPK
NUDS
P3KT
PAD
PDB
PDF
PDRB
PFS
PJP
PKG
PKL
PKN
PKSN
PKW
PMA
PMDN
RTH
RTRWN
SDM
SKPD
SLA
SPAM
SPM
SPN
SPP
TKPPD
TKPPN
TOD
UDP
UMKM
UNDP
xxii
BAB 1
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
BAB 1
BAB 1
inovasi dan teknologi tinggi. Oleh karena itu, kota-kota di Asia harus
mampu memanfaatkan momentum tingginya tingkat urbanisasi tersebut
melalui promosi kota yang hijau, hemat energi, aman dan layak huni,
sehingga menjadi kota-kota yang berkelanjutan.
1.1.1
BAB 1
BAB 1
ini dapat ditinjau dari pertambahan penduduk yang cepat serta tuntutan
kebutuhan pelayanan perkotaan yang tinggi yang tidak disertai dengan
kesiapan pengelolaan perkotaan dalam menghadapi perkembangan
masalah yang pesat dan cepat tersebut merupakan faktor pelemah peran
dan fungsi kota. Berbagai masalah yang diakibatkan seperti terjadinya
kemacetan lalu lintas, kemiskinan perkotaan, dan degradasi lingkungan
yang selanjutnya menyebabkan menurunnya kualitas hidup di perkotaan,
minimnya pelayanan perkotaan terhadap masyarakat. Oleh karena itu,
perlu adanya pengelolaan perkotaan yang mampu mengatasi berbagai
permasalahan yang sedang terjadi sekaligus menghadapi tantangan
perkotaan kedepan. Pengelolaan perkotaan di masa depan, khususnya di
Indonesia harus diarahkan untuk menciptakan kotaberkelanjutan dan
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat.
1.1.2
BAB 1
BAB 1
BAB 1
BAB 1
10
BAB 1
11
BAB 1
1.2
12
1.3
BAB 1
Jangka Waktu
1.4
Kedudukan
1.5
Sistematika Penyajian
13
BAB 1
14
BAB 1
15
BAB 2
16
BAB 2
GAMBARAN UMUM
PERKOTAAN
INDONESIA
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional
17
BAB 2
2.1
Definisi Kota
Indonesia
dan
Kawasan
Perkotaan
di
Gardiner (2006)
McGee, 1991, 1994, 1995; McGee & Robinson, 1995; Firman & Dharmapatni, 1995; Hugo, 1996;
Firman, 1997, 2003a; Gardiner, 1997a, b.
2
18
1.
Administratif
2.
Fungsional
BAB 2
19
BAB 2
20
2.
3.
BAB 2
Kota pendidikan;
Kota pariwisata;
Kota industri;
Kota agrowisata;
Kota agromarine;
Kota minapolitan;
Kota agropolitan;
Kota perdagangan dan jasa;
dan sebagainya.
21
4.
BAB 2
5.
22
BAB 2
2.
3.
4.
5.
23
6.
BAB 2
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
2.2
Perkembangan
Indonesia
Pembangunan
Perkotaan
di
24
BAB 2
beberapa kota kecil menjadi sedang dan sedang menjadi besar. Sejak
Tahun 1960 permasalahan dan tantangan perkotaan berbeda dari waktu
ke waktu yang menyebabkan upaya perencanaan pembangunannya pun
berbeda. Pada tahun 1960-an maraknya urbanisasi yang disertai
perkembangan kegiatan industri dan perdagangan menyebabkan
beberapa kota kecil dan sedang mulai berubah menjadi kota besar
sehingga tuntutan akan kebutuhan prasarana dasar meningkat. Oleh
karena itu, Pemerintah melalui dana APBN membangun prasarana dasar
kota secara sektoral seperti jalan, air minum, pembuangan air limbah dan
sampah.
Pada awal Pembangunan Jangka Panjang I (PJP I), perekonomonian
Indonesia tumbuh dengan cepat akibat eksploitasi minyak dan gas bumi
sehingga mendorong berkembangnya kota-kota besar menjadi kota-kota
metropolitan, dimana kegiatan perkotaan di kota-kota besar saat itu
melampaui batas wilayah administrasi. Perkembangan kota yang sangat
pesat saat itu semakin membuat kesenjangan antara kota-desa, dimana
migrasi dari desa ke kota terus meningkat sehingga memberi dampak
buruk terhadap perkotaan seperti meningkatnya kemiskinan,
pengangguran, kawasan kumuh dan tumbuhnya sektor informal.
Pada tahun 1973 untuk mengatasi kemiskinan perkotaan maka
Pemerintah menerapkan kebijakan pemenuhan kebutuhan prasarana
dasar seperti jalan setapak, air minum, pengelolaan air limbah dan
persampahan, yang diimplementasikan dalam Program Perbaikan
Kampung atau Kampong Improvement Program (KIP). Namun dalam
prakteknya, KIP dikritik karena kurang mempertimbangakan rencana tata
ruang yang lebih makro serta kurang terintegrasi dengan program
pembangunan prasarana perkotaan di wilayah lain, maka pada tahun
1974-1984 Pemerintah dibantu IBRD dan ADB menerapkan pendekatan
baru yaitu Program Pembangunan Kota atau Urban Development
Project (UDP) yang diterapkan di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan,
Semarang dan Solo.
Awal Tahun 1980-an, pelaksanaan UDP diperluas secara nasional
dengan bantuan UNDP melalui National Urban Development Strategy
(NUDS) yang dilakukan melalui Program Pembangunan Prasarana Kota
Terpadu (P3KT) dengan jangka waktu menengah, 5-7 tahun. P3KT
mengubah pendekatan pembangunan prasarana kota dari sektoral dan
terpusat menjadi pendekatan keterpaduan dan desentralisasi. P3KT
25
BAB 2
Perkembangan
Kawasan
26
BAB 2
27
BAB 2
Sumber: Diolah dari Kota Dalam Angka 2007-2012
28
BAB 2
29
BAB 2
30
BAB 2
31
BAB 2
Sumber: hasil analisis, 2012.
Penentuan proyeksi penduduk yang tinggal di perkotaan pada tahun 2050 menggunakan metode
proyeksi geometrik. Data yang digunakan hasil proyeksi penduduk BPS pada Tahun 2005-2025
dengan asumsi tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 2,75% per tahun. Angka
pertumbuhan 2,75% per tahun diperoleh dari nilai pertumbuhan (r) dalam rumus metode geometrik
dari data proyeksi BPS Tahun 2005-2025. Sedangkan untuk menentukan proyeksi jumlah penduduk
menurut tipologi kota, digunakan metode geometrik namun dengan skenario penurunan tingkat
pertumbuhan penduduk (r) setiap lima tahun. Penurunan skenario pertumbuhan penduduk di kota
kecil diasumsikan sebesar 3% tiap lima tahun, kota sedang sebesar 5%, kota besar sebesar 7%, dan
kota metropolitan sebesar 9% tiap lima tahunnya.
32
BAB 2
1.
2.
3.
4.
5.
Kawasan Perkotaan
Mebidangro:
1. 1. Kota Medan
2. 2. Binjai (Ibukota
Kab. Langkat)
3. 3. Kab. Deli
Serdang
4. 4. Kab. Karo
Kawasan Perkotaan
Palembang:
1. Kota Palembang
2. Kab. Banyuasin
3. Kab. Musi
Banyuasin
Jabodetabek:
1. Kota Jakarta
2. Kab. Bogor
3. Kota Bekasi
4. Kab. Tangerang
5. Kota Tangerang
6. Kota Depok
7. Kab. Bekasi
8. Kota Tangerang
Selatan
9. Kota Bogor
Kawasan Perkotaan
cekungan Bandung:
1. Kota Bandung
2. Kab. Bandung
3. Kab. Bandung
Barat
4. Kota Cimahi
5. Kab. Majalengka
6. Kab. Sumedang
Kawasan Perkotaan
Gerbang
Kota Inti
Pulau
Tipologi
Kawasan
Perkotaan
Jumlah
Penduduk
Tahun 2011
Status
Hukum
Medan
Sumatera
Metropolitan
3.777.746
Perpres
62/2011
Palembang
Sumatera
Metropolitan
1.580.384
Jakarta
Jawa
Megapolitan
24.567.458
Perpres
54/2008
Bandung
Jawa
Metropolitan
6.244.837
Surabaya
Jawa
Metropolitan
3.168.039
33
No.
BAB 2
6.
7.
8.
9.
Kawasan Perkotaan
Kota Inti
Kertosusila:
1. Kota Surabaya
2. Kab. Sidoarjo
3. Kab. Gresik
4. Kab. Mojekerto
5. Kab. Lamongan
6. Kab. Bangkalan
7. Kota Mojekerto
Kawasan Perkotaan
Kedung Sepur:
1. Kota Semarang
2. Kab. Kendal
3. Kota Salatiga
4. Unggaran (Ibukota
Semarang
Kab. Semarang)
5. Kab. Demak
6. Purwodadi
(Ibukota Kab.
Grobogan)
Kawasan Perkotaan
Yogyakarta:
1. Kab. Sleman
Yogyakarta
2. Kab. Bantul
3. Kota Yogyakarta
Kawasan Perkotaan
Sarbagita:
1. Kota Denpasar
Denpasar
2. Kab. Badung
3. Kab. Gianyar
4. Kab. Tabanan
Kawasan Perkotaan
Maminasata:
1. Kota Makassar
2. Sungguminasa
Makassar
(Ibukota Kab.
gowa)
3. Kab. Maros
4. Kab. Takalar
Sumber: hasil analisis 2012.
2.3
Permasalahan
Indonesia
Pulau
Tipologi
Kawasan
Perkotaan
Jumlah
Penduduk
Tahun 2011
Status
Hukum
Jawa
Metropolitan
2.589.373
Jawa
Metropolitan
2.054.716
Bali
Metropolitan
1.650.588
Perpres
45/2011
Sulawesi
Metropolitan
1.716.052
Perpres
55/2011
Pengelolaan
Perkotaan
di
34
Para pengelola kota dan kawasan perkotaan dituntut untuk bisa cepat
tanggap dan respon terhadap perubahan dinamika tersebut. Menurut UU
No. 32 tentang Pemerintah Daerah Tahun 2004, Bab X Kawasan
Perkotaan Pasal 199, menyatakan bahwa pengelolaan kawasan
perkotaan terbagi kedalam:
1.
2.
3.
BAB 2
penduduk ke perkotaan dari kota atau negara lain, (3) terjadinya kelahiran
di perkotaan, dan (4) terjadinya perluasan wilayah perkotaan akibat
perubahan batas wilayah, perkembangan sosial ekonomi wilayah,
maupun perubahan konsep/batasan/definisi perkotaan.
2.
35
BAB 2
2.4
36
Pendorong
BAB 2
37
BAB 2
Jika diperhatikan dari sudut pandang peran kota yang ditetapkan oleh
RTRWN, kota yang berperan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN)
hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 36% sedangkan kota yang
berperan sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) hanya mampu
memberikan kontribusi sebesar 5% bagi perekonomian nasional.
Diperlukan upaya yang strategis guna meningkatkan peran kota sebagai
38
Daya saing daerah menjadi salah satu isu utama dalam pembangunan
perkotaan. Konsep daya saing umumnya dikaitkan dengan kemampuan
suatu perusahaan, kota, daerah, wilayah atau negara dalam
mempertahankan atau meningkatkan keunggulan kompetitif secara
berkelanjutan . Kota-kota besar di Indonesia mempunyai peran strategis
dalam pembangunan wilayah sebagai simpul jasa, koleksi dan distribusi,
yang mempunyai hubungan ke belakang dengan kota-kota kecil dan
daerah pinggir kota (hinterland), juga hubungan ke depan dengan kotakota besar lainnya. Daya saing kota-kota besar dan metropolitan di
Indonesia masih rendah terlihat dari ranking yang ditunjukkan pada tabel
2.2.
Tabel 2. 2
Kota
Metropolitan
Bandung
Jakarta
Makassar
Medan
Semarang
Surabaya
BAB 2
Ranking
Kemudahan
untuk Memulai
Usaha
Ranking
Kemudahan
untuk Perijinan
12
8
17
19
4
14
8
19
11
6
8
16
Ranking
Kemudahan
untuk
Pendaftaran
Kepemilikan
1
1
9
7
19
11
Daya saing menentukan sejauh mana kinerja sebuah kota yang dapat
diukur dari faktor-faktor utama (input) dan kinerja perekonomian (output).
Faktor-faktor utama pembentuk daya saing terdiri dari 5 indikator utama,
yaitu lingkungan usaha produktif, perekonomian daerah, Ketenagakerjaan
dan sumberdaya manusia, infrastruktur, sumberdaya alam dan
lingkungan, perbankan dan lembaga keuangan.
Porter, 2000.
39
BAB 2
Sumber: Diolah dari Data Ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Tahun 2008-2011.
40
BAB 2
41
BAB 2
42
BAB 2
43
Tabel 2. 3
BAB 2
Tipologi
Kota
2011
Pelayanan
Panjang
Jalan
Pelayana
n Akses
Listrik
Pelayanan
Akses
Telekomunika
si
Pelayanan
Akses Air
Bersih
Pelayanan
Akses
Persampaha
n
Pelayan
an Akses
Sanitasi
Standard Deviation
Kecil
26,86
6,95
12,03
14,03
31,75
14,9
Sedang
11,53
9,34
6,36
7,36
23,1
12,96
Besar
7,02
4,99
6,02
2,44
20,8
Metropo
5,11
4,43
2,09
1,54
16,4
litan
Sumber: hasil analisis 2012 diolah dari data BPS, sensus penduduk 2010
14,09
14,82
44
BAB 2
D. Rendahnya Ketahanan
Perubahan Iklim
Kota
Terhadap
Bencana
dan
45
BAB 2
46
BAB 2
Tabel 2. 4
Sedang
Tinggi
Metropolitan
1
10
Besar
0
16
Sedang
13
43
Kecil
3
8
Jumlah
17
77
Sumber: Diolah dari BNPB, Indeks Rawan Bencana Indonesia 2011.
47
BAB 2
48
BAB 2
Sumber: BPS,2012
49
Tabel 2. 5
BAB 2
Sumber: BPS, 2012
Jumlah penduduk miskin menurut tipologi kota pada tahun 2005 hingga
tahun 2010 (Gambar 2.19) menggambarkan bahwa penduduk miskin
mengalami peningkatan dari Tahun 2005-2010 di kota metropolitan yaitu
sebesar 39%, kota besar 43%, kota sedang 10%, sedangkan kota kecil
91%. Pertumbuhan perekonomian di kota belum mampu menyelesaikan
masalah kemiskinan secara signifikan, dimana daya serap kota bagi
masyarakat untuk mencari penghidupan di kota yang sangat tinggi, belum
diimbangi oleh kesempatan dan kapasitas yang sama oleh setiap individu
untuk meningkatkan tarap hidup di kota. Kesempatan yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat kota sangat terkait dengan daya saing
masyarakat, seperti kreativitas, inovasi, keahlian, pendidikan, dan hal
lainnya yang menunjang tingkat produktivitas individu.
50
BAB 2
51
BAB 2
Sumber: BPS, 2002-2012
52
BAB 2
53
BAB 2
Sumber: Kemenakertrans, 2012
54
BAB 2
55
BAB 2
Sumber: BPS, Podes 2006-2011
56
BAB 2
57
BAB 2
Sumber: Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2006-2010
58
BAB 2
59
BAB 2
60
Penyediaan Listrik
BAB 2
a.
61
BAB 2
Sumber: BPS, Sensus penduduk 2010
b.
Penyediaan Telekomunikasi
62
BAB 2
63
BAB 2
Sumber: BPS, Sensus Penduduk 2010
64
BAB 2
c.
65
BAB 2
d.
Persampahan
66
BAB 2
67
e.
Sanitasi
BAB 2
68
BAB 2
69
BAB 2
70
BAB 2
71
BAB 2
72
BAB 2
73
BAB 2
Sumber: Diolah dari data pemantauan passive sampler Kementerian Lingkungan Hidup,
2012
74
BAB 2
Sumber: Diolah dari data pemantauan passive sampler Kementerian Lingkungan Hidup,
2012
Sumber: Diolah dari data pemantauan passive sampler Kementerian Lingkungan Hidup,
2012
75
BAB 2
Sumber: Diolah dari data pemantauan passive sampler Kementerian Lingkungan Hidup,
2012
76
BAB 2
77
BAB 2
c. Perubahan iklim
Kawasan perkotaan merupakan salah satu sumber utama emisi gas
rumah kaca sebagai konsekuensi dari tingginya populasi dan
intensitas kegiatan yang berbanding lurus dengan pemanfaatan
energi. Hasil pengamatan BMKG menyatakan bahwa gas penyebab
pemanasan global di Indonesia kecenderungan meningkat (Gambar
2.52). Begitu juga dengan pengamatan curah hujan dan temperatur
beberapa kota di Indonesia, contohnya Kota Denpasar, sebagai
akibat dari pemanasan global fluktuasi curah hujan bergeser hampir
sepanjang tahun (Gambar 2.53).
78
BAB 2
79
BAB 2
80
BAB 2
81
BAB 2
82
BAB 2
Kondisi tata kelola ekonomi beberapa kota besar dan kota metropolitan
masih rendah. Hal ini menunjukkan belum optimalnya tata kelola
ekonomi kota khususnya untuk kota besar dan kota metropolitan padahal
kontribusi ekonomi terbesar berada di dua tipologi kota ini.Pengelolaan
kota terendah rata-rata di kota metropolitan dengan aspek pengelolaan
ekonomi kota terendah rata-rata dengan indeks di bawah 60, yaitu:
1. Kapasitas dan Integritas Wali Kota (50)
2. Program Pengembangan Usaha Swasta (51)
3. Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha (53)
Tabel 2. 6 Nilai Tata Kelola Ekonomi Kota Tahun 2011
Nama Kota
Blitar
Probolinggo
Batu
Solok
Padang
Panjang
Metro
Kediri
Sawahlunto
Tipologi
Kota
Sedang
Sedang
Sedang
Kecil
Indeks
Total
81
79
76
73
1
2
3
9
Kupang
Bau-Bau
Temate
Surabaya
Tipologi
Kota
Sedang
Sedang
Sedang
Metropolitan
Ranking
Nama Kota
Indeks
Total
65
65
65
64
Ranking
98
106
106
110
Kecil
73
10
Cilegon
Sedang
64
113
Sedang
Sedang
Kecil
73
73
72
11
15
20
Malang
Ambon
Banjarmasin
Besar
Sedang
Besar
64
63
63
117
125
133
83
Mojokerto
Bukittinggi
Payakumbuh
Padang
Madiun
Banjarbaru
Tipologi
Kota
Sedang
Sedang
Sedang
Besar
Sedang
Sedang
Bengkulu
Sedang
69
59
Sedang
68
63
Kecil
Sedang
Sedang
Sedang
68
68
67
66
Kecil
Besar
Nama Kota
BAB 2
Palangka
Raya
Pariaman
Jayapura
Palu
Pasuruan
Tidore
Kepulauan
Bandar
Lampung
Indeks
Total
70
70
70
69
69
69
Ranking
Nama Kota
31
40
47
49
54
55
Mataram
Pangkalpinang
Kendari
Bima
Pontianak
Singkawang
Tangerang
Selatan
Tipologi
Kota
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Besar
Sedang
Indeks
Total
62
62
62
61
60
59
139
142
143
157
167
180
Metropolitan
59
182
Jambi
Besar
59
185
68
72
76
82
Tangerang
Serang
Sungai Penuh
Sorong
Metropolitan
Besar
Kecil
Sedang
58
58
58
58
187
188
197
199
66
92
Tual
Kecil
54
213
65
97
84
Ranking
BAB 2
Sumber: acch.kpk.go.id
85
BAB 2
Selain isu umum muncul juga isu-isu spesifik yang hanya dominan dan
menjadi fokus perhatian pemerintah kota untuk kota tipologi tertentu.
Seperti halnya isu spesifik yang berkembang di kota metropolitan dan
megapolitan, yaitu:
1. Terjadinya urban sprawl dan belum terintegrasinya pusat-pusat
kegiatan di dalam kota dengan jaringan transportasi umum;
2. Belum
beroperasinya
sistem
angkutan
massal
antarmoda/multimoda dan belum terciptanya sistem transportasi
yang nyaman dan aman bagi penghuni kota yang mendorong
meningkatnya kemacetan serta belum adanya keberpihakan bagi
pengguna jalan sepeda, pejalan kaki dan kaum disable yang
dapat mendorong peningkatan kenyamanan transportasi yang
inklusif dan pengurangan polusi sebagai dampak dari kendaraan
bermotor;
3. Belum optimalnya kerjasama antarkota dan antara kotakabupaten dalam hal pengelolaan dan pembangunan sarana dan
prasarana perkotaan, serta pemanfaatan sumber daya lokal (alam
dan manusia); dan
4. Masalah sosial dan kriminalitas yang semakin meningkat yang
dapat menurunkan daya saing kota, meningkatkan kerentanan
sosial kota serta ketidakamanan hunian dan lingkungan kota
metropolitan
Empat hal tersebut diatas merupakan isu yang khas muncul dan
diprioritaskan penanganannya dalam pengelolaan perkotaan di kota
metropolitan dan kawasan perkotaan megapolitan.
A.
86
BAB 2
87
BAB 2
Belum
beroperasinya
sistem
angkutan
massal
antarmoda/multimoda
dan
belum
terciptanya
sistem
transportasi yang nyaman dan aman berakibat semakin
meningkatnya kemacetan.
Pada Tahun 2010 pergerakan pelaju dari Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi menuju DKI Jakarta meningkat menjadi 1,1 juta jiwa dari 743 ribu
88
BAB 2
Tabel 2. 7
Panjang Koridor
Jumlah halte
Jumlah Bus
Jumlah Operator
Jumlah Pool Bus
143,35 Km (8 Koridor)
142halte
426 bus(403 single + 23 articulated)
6 perusahaan
7 pool
89
BAB 2
C.
dalam
90
BAB 2
91
BAB 2
92
BAB 2
Sumatera
Wilayah Pulau Sumatera merupakan pulau yang kaya dengan hasil bumi
dan memiliki kota perniagaan yang cukup penting. Kota-kota di pulau
Sumatera dihubungkan oleh tiga ruas jalan lintas, yakni lintas tengah,
lintas timur, dan lintas barat, yang melintang dari Utara - Selatan
Sumatera. Dalam konteks pengembangan perkotaan Pulau Sumatera
memiliki peran strategis, namun Peran kota sebagai pusat pertumbuhan
93
BAB 2
94
BAB 2
B.
Jawa Bali
Pulau Jawa Bali memiliki peran strategis yang tidak dapat dipisahkan dari
pembangunan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau ini
95
BAB 2
96
3. Belum
optimalnya
pengembangan
potensi
pusat
perdagangan. Pengembangan pusat perdagangan yang belum
optimal di Wilayah PulauJawa-Bali ditunjukkan dengan rendahnya
ekspor produk yang bernilai tambah, dan belum optimalnya
pemanfaatan jalur-jalur perdagangan internasional. Hal ini
disebabkan oleh lemahnya pengembangan produk unggulan,
sistem informasi mengenai produk unggulan dan lemahnya
promosi produk.
BAB 2
97
BAB 2
C.
Kalimantan
98
BAB 2
99
BAB 2
100
Sulawesi
BAB 2
D.
101
BAB 2
E.
Papua
Wilayah Pulau Papua memiliki posisi yang cukup strategis baik itu di
koridor nasional, regional ASEAN, dan global. Dalam konteks nasional,
Wilayah Pulau Papua merupakan lumbung pangan dan energi di
Kawasan Timur Indonesia. Peran wilayah Pulau Papua dalam hal energi
bagi nasional didasarkan atas potensi dari cadangan pertambangan
terutama tembaga, yaitu sebesar 45 % cadangan tembaga nasional.
Sedangkan dalam hal pangan didasarkan pada potensi kelapa sawit,
yaitu bahwa industri kelapa sawit (kontribusi MIFE) Pulau Papua menjadi
devisa negara terbesar, dan potensi tebu lahan untuk produksi tebu
102
BAB 2
103
F.
Nusa Tenggara
BAB 2
Wilayah Pulau Nusa Tenggara memiliki posisi yang cukup strategis baik
itu di koridor nasional maupun global. Dalam konteks nasional, Wilayah
Pulau Nusa Tenggara merupakan lahan potensial produksi garam yang
luas di Kawasan Timur Indonesia, mengingat kondisi geografisnya
sebagai wilayah kepulauan yang dikelilingi lebih banyak sumber air laut.
Dalam hal ini Wilayah Pulau Nusa Tenggara diharapkan menjadi etalase
wisata ekologis, petualangan, budaya dan bahari serta kepariwisataan
yang berbasis UKM. Tidak hanya dalam koridor nasional saja, dalam
konteks global, berdasarkan potensi sumber daya alam yang dimiliki,
Wilayah Pulau Nusa Tenggara dapat menjadi pengekspor perikanan yang
terbesar Indonesia, yaitu sebesar 73%. Wilayah Pulau Nusa Tenggara
juga diharapkan menjadi destinasi pariwisata tingkat global.Isu-isu
strategis yang ada di Wilayah Pulau Nusa Tenggara tidak terlepas dari
isu mengenai ekonomi, sosial kependudukan, infrastruktur dan
lingkungan. Berdasarkan fakta, potensi dan permasalahan yang ada
dapat ditarik beberapa isu penting yang ada di Wilayah Pulau Nusa
Tenggara.
1. Rendahnya nilai hasil produksi komoditas unggulan
(perikanan dan kelautan) dan kurangnya kontribusi sektor
unggulan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sektor perikanan dan kelautan merupakan komoditas unggulan
bagi Wilayah Pulau Nusa Tenggara. Meskipun demikian,
pemanfaatan potensi sumber daya laut dan perikanan belum
optimal, di samping itu nilai hasil produksi sektor tersebut masih
tergolong rendah. Belum adanya pemetaan potensi sumber daya
perikanan dan kelutan, kurangnya pemanfaatan teknologi,
rendahnya investasi, terbatasnya kualitas-kuantitas infrastruktur
penunjang dan rendahnya kualitas sumber daya manusia
merupakan beberapa faktor penyebab belum berkembangnya
komoditas unggulan terutama dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
104
BAB 2
105
BAB 2
106
Maluku
BAB 2
G.
107
BAB 2
108
No
1
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Isu Strategis
Tingkat
urbanisasi yang
tinggi
Ketertinggalan
kondisi
Infrastruktur dan
fasilitas publik
Tingginya tingkat
kesenjangan
antar
wilayah
dalam 1 pulau
Rendahnya
tingkat investasi
Tingginya
Tingkat Rawan
Bencana
Rendahnya
Kesejahteraan
Penduduk
Rendahnya
kualitas SDM
Tingginya tingkat
kemiskinan
Rendahnya
Konektivitas
Rendahnya
Daya
Dukung
Lingkungan
Belum
optimalnya
pengembangan
kegiatan industri
inovatif
yang
berbasis
teknologi
dan
berbasis potensi
lokal
Belum
optimalnya
pengembangan
potensi
pusat
perdagangan
Belum
optimalnya
sektor pariwisata
Pulau
Sumatera
JawaBali
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
NTT
Papua
BAB 2
Tabel 2. 8
V
V
V
V
V
V
V
V
109
No
Isu Strategis
Pulau
Sumatera
BAB 2
dan
ekonomi
kreatif
Belum
memadainya
14
kualitas tenaga
kerja berkeahlian
Tingginya tingkat
15
pengangguran
Meningkatkan
tata
kelola
pembangunan
16 perkotaan
menuju
good
and
clean
governancev
Kuatnya
peranan
17
masyarakat adat
dan hak ulayat
Kurangnya
pengamanan di
wilayah
18
perbatasan (laut)
dan
rawan
konflik
Sumber: Hasil Analisis, 2013
2.5
JawaBali
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
NTT
Papua
2.5.1 Urbanisasi
Urbanisasi menjadi tantangan utama yang dihadapi kota dan kawasan
perkotaan. Semakin bertambahnya penduduk yang mengakibatkan
semakin bertambah pula kegiatan di kota dan kawasan perkotaan
seharusnya memberi dampak positif bagi perkembangan ekonomi.
110
BAB 2
111
baik, juga persaingan sosial dan lingkungan yang menuntut peran aktif
perkotaan dalam kegiatan internasional.
BAB 2
112
2.6
BAB 2
113
BAB 2
2.7
114
BAB 2
kembar (sister city). Kota kembar merupakan konsep kerjasama dua kota
yang berbeda lokasi dan administrasi politik untuk peningkatan
perekonomian, mempromosikan kebudayaan dan menjalin kerjasama di
berbagai bidang secara lebih erat. Seperti contohnya hubungan kota
kembar antara Kota Bandung dan Kota Suwon (Korea Selatan) yang
dirintis pada 1997 dalam meningkatkan bidang pendidikan, bidang
ekonomi, bidang seni budaya dan bidang pariwisata. Pertukaran pelajar
antar kota serta pembangunan prasarana dan sarana sangat
menguntungkan bagi perkembangan kota Bandung.
Selain itu, Indonesia yang merupakan bagian dari kawasan Asia
Tenggara akan menghadapi sebuah perubahan besar dalam rangka
peningkatan pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara. Kerjasama ekonomi
sub regional, seperti IMT-GT (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth
Triangle), IMS-GT (Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle),
BIMP-EAGA (Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipines EA Growth Area)
dapat dikembangkan secara lebih proaktif untuk membangun kerjasama
antar kota antar wilayah. Asean Economic Community (AEC) pada tahun
2015 yang menajadikan negara-negara Asean sebagai sebuah komunitas
ekonomi. Asean Economic Community (AEC) merupakan sebuah
tantangan juga peluang untuk memperluas pasar bagi produk
industrinasional. Setiap negara akan dipacu lebih kreatif dan inovatif
dalam menciptakan sektor-sektor ekonomi dan industri yang mampu
berdaya saing. Persaingan khususnya di bidang perekonomian akan
memberi dampak yang besar bagi kehidupan perkotaan sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
115
BAB 3
116
116
BAB 3
VISI, MISI,
dan SASARAN
PEMBANGUNAN
PERKOTAAN
NASIONAL
117
117
Kebijakan
dan Strategi
Pembangunan
Perkotaan
Nasional
Kebijakan
dan Strategi
Pembangunan
Perkotaan
Nasional
3.1
BAB 3
118
BAB 3
119
BAB 3
Konteks
pembangunan
kota
berkelanjutan
di
Indonesia
diimplementasikan dalam 3 (tiga) bentuk perwujudan antara lain pertama
adalah kota yang layak sebagai tempat bermukim dan menjamin
keamanan hidup bagi masyarakat kota, kedua adalah kota hijau sehingga
mampu menjaga sistem lingkungan alami, lingkungan terbangun,
lingkungan sosial yang sudah ada, perubahan iklim, tanggap adaptasi
dan mitigasi bencana, serta menjaga sumber daya energi untuk masa
depan dan ketiga adalah kota yang cerdas dan berdaya saing sehingga
mampu mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan
inovasi di bidang ekonomi dan keuangan.
Pembangunan Kota Layak Huni dan menjamin kenyamanan dan
keamanan untuk semua warga masyarakat, tidak hanya terfokus kepada
perwujudan fisik, tetapi juga non fisik. Kota layak huni (liveable city)
merupakan kota yang dapat menampung seluruh kegiatan masyarakat
kota dan aman bagi seluruh masyarakat (Hahlweg, 1997). Menurut Evan
(2002), konsep kota layak huni digunakan untuk mewujudkan gagasan
pembangunan kota sebagai peningkatan dalam kualitas hidup
masyarakat yang membutuhkan infrastruktur fisik dan habitat sosial.
Dengan demikian, kota layak huni merupakan gambaran sebuah
lingkungan dan suasana kota yang nyaman dan aman sebagai tempat
tinggal dan sekaligus sebagai tempat beraktifitas masyarakat yang dilihat
dari berbagai aspek, baik aspek fisik, seperti struktur ruang, prasarana
dan sarana perkotaan, maupun aspek non-fisik, seperti hubungan sosial
dan aktivitas ekonomi didalamnya.
Menurut Economist Intelligence Unit (EIU), terdapat 5 (lima) aspek yang
merupakan tolok ukur Kota Layak Huni yaitu:
120
BAB 3
Pembangunan kota hijau (green city) pada dasarnya adalah menjaga dan
menambah asupan kota seperti energi, air, makanan, serta mengurangi
keluaran kota seperti polusi suhu, polusi air, dan polusi udara (emisi CO2,
gas metan). Pembangunan Kota Hijau memanfaatkan secara efektif dan
efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan
sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, dan
mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan
dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dilihat dari aspek lingkungan, sosial dan ekonomi secara
seimbang. Melalui konsep kota hijau, diharapkan dapat mewujudkan
121
BAB 3
1. Green Openspace
Taman dan ruang terbuka hijau adalah elemen penting untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan dan sebagai
kontributor terhadap kebelanjutan kota-kota. Penghijauan perkotaan
menjadi salah satu pendekatan mitigasi untuk mengantisipasi
dampak perubahan iklim terhadap kesehatan manusia (Bowler,
2010)
2. Green Waste
Usaha untuk melaksanakan prinsip Reduce, Reuse, Recycle (3R)
yaitu mengurangi sampah/limbah, mengembangkan proses daur
ulang dan meningkatkan nilai tambah, adalah untuk mengurangi
pencemaran dan polusi terhadap lingkungan.
3. Green Transportation
Pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan, misal : transportasi publik, jalur sepeda, dsb, adalah
merupakan sebuah sistem transportasi yang dibuat untuk
menurunkan tingkat polusi kota yang disebabkan oleh penggunaan
kendaraan bermotor.
4. Green Water
Pemanfaatan sumber daya air secara efisien, juga melakukan
proses untuk mengurangi polusi terhadap kondisi air di lingkungan
kota.
5. Green Energy
Pemanfaatan energi dengan seminimal mungkin, juga dengan
menggunakan alternatif energi yang ramah lingkungan, serta
kontribusi kota terhadap persediaan energinya sendiri, antara lain
dengan menggunakan panel surya, biogas, atau pembangkit listrik
ramah lingkungan lainnya.
6. Green Building (bangunan hemat energi)
Green building adalah bangunan yang dalam penggunaannya
memperhatikan pemanfaatan sumber daya alam. Hal tersebut
berarti mengakibatkan intervensi seminimal mungkin terhadap
lingkungan (Bauer, Mosle, Schwarz, 2007).
Berdasarkan Asian Green City Index 2011 Economist Intelligence Unit
(EIU), dalam perwujudan Kota Hijau, kota Jakarta menduduki peringkat
122
Above average
BAB 3
Perin
Kota
gkat
1
Singapore
2
Hong Kong
3
Osaka
4
Seoul
5
Taipei
6
Tokyo
7
Yokohama
8
Bangkok
9
Beijing
10
Delhi
11
Jakarta
12
Kuala Lumpur
13
Shanghai
14
Hanoi
15
Kolkata
16
Manila
17
Karachi
Sumber: Asian Green City Index 2011, (EIU)
Average
Below average
Well below average
Di era globalisasi seperti saat ini, menjadi kota yang layak huni atau
hanya kota hijau di masa depan belum mencerminkan bahwa kota-kota di
Indonesia akan mampu bersaing dengan kota-kota lainnya di negara
maju. Global Competitiveness Index yang dikeluarkan oleh World
Economic Forum (2012), menunjukkan daya saing Indonesia yang masih
berada di peringkat 46 dari 142 negara. Sebagaimana dilihat pada Tabel
3.3, diantara negara-negara anggota ASEAN, Indonesia berada masih
jauh dibawah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand, dan hanya
diatas Vietnam, Filipina, dan Kamboja. Untuk mengoptimalkan potensi
dan pertumbuhan ekonomi, maka kota harus mampu bersaing baik dalam
lingkup regional, nasional maupun global yang mencakup berbagai
bidang seperti perdagangan, industri, pelayanan jasa, teknologi dan lainlain. Kota dituntut untuk menjadi lebih cerdas, lebih efisien (smart city)
123
BAB 3
Negara
Singapura
Malaysia
Brunei
Thailand
Indonesia
Vietnam
Filipina
Kamboja
2006-2007
8
19
n/a
28
54
64
75
106
2007-2008
7
21
n/a
28
54
68
71
110
2008-2009
5
21
39
34
54
70
71
109
2009-2010
3
24
32
36
54
75
87
110
2010-2011
3
26
28
38
44
59
85
109
2011-2012
2
21
28
39
46
65
75
97
124
Smart Living
Merupakan
kenyamanan
hidup
dengan
kemudahan
memperoleh berbagai informasi dan mendapatkan berbagai
kebutuhan dengan mudah dan cepat, dengan ditunjang oleh
teknologi informasi dan komunikasi.
3.
4.
5.
6.
Smart Environment
Penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam
manajemen sumber daya alam dan lingkungan.
Smart Economy
Kapasitas SDM untuk inovasi, kreasi, dan kewirausahaan yang
ditunjang dengan adanya teknologi informasi komunikasi.
Smart People
Masyarakat paham terhadap teknologi informasi komunikasi,
yang dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja, pendapatan
masyarakat.
Smart Governance
Jaringan komunikasi pemerintah-masyarakat, swasta berbasis
teknologi informasi komunikasi untuk mempermudah kerjasama
antar pelaku pembangunan, serta kerjasama antar daerah
Smart Mobility
Kemudahan akses informasi nasional dan sistem transportasi
inovatif yang terintegrasi oleh adanya teknologi informasi
komunikasi.
BAB 3
2.
3.2
Prinsip Dasar
125
BAB 3
126
BAB 3
127
BAB 3
128
BAB 3
Untuk mewujudkan visi dan misi diatas, maka ditetapkan sasaran yang
lebih operasional dan dilaksanakan melalui kebijakan dan strategi dengan
target keberhasilan berupa indikator dan parameter tertentu. Secara
keseluruhan kerangka pembangunan perkotaan nasional dapat dilihat
pada Gambar 3.1 dibawah ini.
129
BAB 3
Sumber: Bappenas, 2014
3.4
Sasaran
130
BAB 3
Indeks Kota Berkelanjutan (IKB) memiliki manfaat sebagai (1) alat ukur
(baseline) pembangunan kota dan kawasan perkotaan di Indonesia, (2)
alat ukur gap kondisi eksisting pembangunan perkotaan dengan sasaran
maupun target pembangunan perkotaan di Indonesia, (3) sebagai alat
pembanding (benchmark/ranking/posisi) perkembangan pembangunan
kota dan kawasan perkotaan di Indonesia, (4) sebagai dasar pemberian
penghargaan atas kinerja pemerintah dalam membangun kota atau
kawasan kotanya.
IKB juga berfungsi sebagai alat ukur dan pemetaan perkembangan
pembangunan kota-kota di Indonesia untuk menuju pembangunan kota
yang berkelanjutan, serta sebagai alat evaluasi dan intervensi pemerintah
terhadap pembangunan perkotaan di Indonesia.
Aspek dan variabel dalam Indeks Kota Berkelanjutan (IKB) didasarkan
pada sasaran pembangunan perkotaan yang diamanatkan dalam KSPPN
yang dilaksanakan melalui: Perwujudan Sistem Perkotaan Nasional
(SPN); Pemenuhan Pelayanan Perkotaan (SPP); Perwujudan kota
berkelanjutan melalui penerapan Kota Hijau untuk aspek lingkungan,
Kota Layak Huni untuk aspek sosial budaya, serta Kota Cedas dan
Berdaya Saing untuk aspek ekonomi; dan Peningkatan Tata Kelola
perkotaan. Sehingga, dengan demikian IKB secara keseluruhan dibangun
dari 6 (enam) aspek pembangunan perkotaan. 3 (tiga) diantaranya
merupakan aspek/dimensi utama dalam pembangunan berkelanjutan
131
BAB 3
132
2.
BAB 3
133
BAB 3
Sumber: Hasil Analisis, 2014.
134
Kota kecil dan kota sedang sebenarnya memiliki potensi yang lebih baik
dalam aspek sosial budaya dibandingkan kota besar dan kota
metropolitan. Kota kecil dan kota sedang merupakan kota-kota masa
depan yang potensial dibangun dan dikelola untuk kesejahteraan
masyarakat. Capaian aspek sosial-budaya di Jawa, Kalimantan, Sulawesi
dan Papua masih di bawah rata-rata nasional. Beberapa variabel yang
masih rendah, antara lain kegiatan kebudayaan masyarakat kota dan
modal sosial masyarakat yang masih rendah.
BAB 3
2) identitas kota, 3) modal sosial. Oleh karena itu, kota yang didesain
seperti ini diharapkan: (1) prasarana sarana lingkungan kota, ekonomi,
budaya, kesehatan, pendidikan yang dibangun atas dasar kebutuhan
keamanan, kenyamanan, efisiensi serta mudah diakses bagi seluruh
kalangan masyarakat kota; (2) kota yang dikembangkan dengan
transportasi umum multimoda dan terintegrasi antarmoda yang efisien
dan nyaman serta memberikan ruang yang layak bagi pejalan kaki,
pesepeda, kaum lansia dan disabel; (3) kota dengan stabilitas keamanan
yang terjaga dalam rangka memberikan pelayanan rasa aman dan
tenteram bagi masyarakat kota.
135
4.
Aspek Ekonomi
BAB 3
136
BAB 3
5.
Aspek Lingkungan
137
BAB 3
138
BAB 3
139
6.
BAB 3
140
BAB 3
141
BAB 3
142
A.
BAB 3
143
B.
BAB 3
144
BAB 3
C.
145
BAB 3
146
BAB 3
Gambar 3. 10 Target Pencapaian Sasaran (Roadmap) Peningkatan Tata kelola dan Kelembagaan
Pemerintah Tahun 2015 - 2045
147
A.
Kota
Berkelanjutan
Dalam
Perkotaan Megapolitan
BAB 3
148
BAB 3
Gambar 3. 11 Target Pencapaian Sasaran (Roadmap) Pembangunan Kawasan Megapolitan Tahun 2015 2045
149
B.
Kota Metropolitan
BAB 3
150
BAB 3
Gambar 3. 12 Target Pencapaian Sasaran (Roadmap) Pembangunan Kawasan/Kota Metropolitan Tahun 2015 2045
151
C.
Kota Besar
Kota besar adalah kota otonom yang ditetapkan dengan kriteria jumlah
penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000
(satu juta) jiwa. Kota besar menurut fungsinya diarahkan menjadi Pusat
Kegiatan Nasional atau Wilayah, sehingga kota besar harus memenuhi
sasaran kota masa depan yang telah dirancang. Sasaran yang ingin
dicapai antara lain:
BAB 3
152
BAB 3
Gambar 3. 13 Target Pencapaian Sasaran (Roadmap) Pembangunan Kota Besar Tahun 2015 2045
153
D.
Kota Sedang
BAB 3
154
BAB 3
Gambar 3. 14 Target Pencapaian Sasaran (Roadmap) Pembangunan Kota Sedang Tahun 2015 2045
155
E.
Kota Kecil
Kota Kecil adalah kota otonom yang ditetapkan dengan kriteria jumlah
penduduk kurang dari 100.000 (seratus ribu) jiwa. Kota kecil diharapkan
mampu menjadi tolak ukur bagi desa dan kawasan perkotaan di
sekitarnya dalam mencapai sasaran pembangunan kota masa depan.
Sasaran yang ingin dicapai antara lain:
BAB 3
156
BAB 3
Gambar 3. 15 Target Pencapaian Sasaran (Roadmap) Pembangunan Kota Kecil Tahun 2015 2045
157
BAB 4
158
BAB 4
159
4.1
BAB 4
160
Misi
Mengembangkan sarana
prasarana dalam memenuhi
Standar Pelayanan Perkotaan
(SPP)
Membangun kegiatan
perekonomian dan masyarakat
kota berdaya saing yang
produktif, kreatif, dan inovatif,
efisien serta berbasis ICT
Pemenuhan SPP
BAB 4
Mewujudkan pemerataan
pembangunan kota sesuai peran
dan fungsinya pada Sistem
Perkotaan;
Sasaran
161
BAB 4
162
BAB 4
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional
163
4.2
BAB 4
164
BAB 4
Kebijakan 2:
165
Kebijakan 3:
Mengembangkan kota kecil (PKW) dan kota sedang (PKN dan PKW)
untuk dapat mewujudkan keterkaitan desa-kota
Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengembangkan hubungan kota
dengan desa dalam kegiatan ekonomi, dan menghubungkan antara pasar
dengan kawasan produksi. keberadaan kota kecil/kota sedang dapat
meningkatkan nilai dari komoditas barang dan jasa dari kawasan
hinterland perkotaan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat baik yang ada di kawasan pinggiran perkotaan maupun
pedesaan.Kebijakan diatas dijabarkan melalui strategi berikut :
BAB 4
166
BAB 4
167
BAB 4
1.
2.
3.
4.
5.
168
Misi Ketiga (M3): Membangun hunian di kota yang layak, aman dan
nyaman, berbasis lingkungan , sosial dan budaya yang beragam.
Kebijakan 1:
Peningkatan pelayanan prasarana sarana lingkungan kota yang
aman, nyaman, efisien serta mudah diakses bagi seluruh kalangan
masyarakat kota termasuk kebutuhan kelompok lansia, difabel,
wanita, dan anak.
Kebijakan ini, terutama ditujukan untuk untuk meningkatkan akses pada
seluruh lapisan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti air
minum, sistem sanitasi, listrik, pendidikan, dan kesehatan.
BAB 4
Kebijakan 2:
Peningkatan pelayanan prasarana sarana ekonomi kota yang layak,
nyaman serta mudah diakses bagi seluruh kalangan masyarakat
kota.
Penyediaan sarana prasarana perekonomian kota yang nyaman dan
berkeadilan adalah untuk mendorong pengembangan investasi dan
kewirausahaan, sehingga meningkatkan produktivitas kota dan
pertumbuhan ekonomi kota.
Kebijakan diatas dijabarkan melalui strategi berikut:
169
BAB 4
170
Kebijakan 4:
Peningkatan pelayanan prasarana dan sarana pendidikan kota yang
aman, nyaman, efisien serta mudah diakses bagi seluruh kalangan
masyarakat kota.
Kebijakan ini terkait dengan masalah belum tersedianya sumberdaya
manusia terbaik di perkotaan, (yang terkait dengan kualitas sarana dan
prasarana pendidikan, akses kepada pendidikan termasuk pembiayaan
pendidikan bagi semua lapisan masyarakat.
BAB 4
Kebijakan 5:
Pengembangan transportasi umum yang efisien, aman, nyaman,
dan ramah bagi pejalan kaki, pesepeda, kelompok lansia dan
disabel, serta wanita dan anak
Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong pengembangan transportasi
umum diperkotaan yang aman, nyaman dan cepat, terintegrasi serta
memadahi untuk kegiatan mobilitas masyarakat kota.
Pengembangan transportasi umum dengan pola terintegrasi akan lebih
memudahkan masyarakat kota untuk bermobilisasi dan lebih efisien,
meningkatkan kualitas lingkungan kota dan mengurangi kemacetan
dengan meningkatkan akses bagi pejalan kaki dan pesepeda serta
171
BAB 4
Kebijakan 6:
Peningkatan pelayanan prasarana sarana sosial budaya di kota yang
aman, nyaman, efisien, serta mudah diakses bagi seluruh kalangan
masyarakat kota
Kebijakan ini dimaksudkan untuk memperkuat kerukunan sosial dan
kelestarian budaya lokal Indonesia sehingga diperlukan ruang yang dapat
menampung kegiatan sosial budaya para masyarakat perkotaan,
mewakili jati diri sosial budaya Indonesia. Kebijakan diatas dijabarkan
melalui strategi berikut:
1. Menguatkan interaksi dan komunikasi serta kepedulian antar
warga serta meningkatkan modal sosial masyarakat kota (budaya
gotong royong)
2. Meningkatkan peran aktif lembaga sosial masyarakat dan
mengembangkan kelompok kelompok masyarakat
dalam
pengawasan kehidupan sosial masyarakat dan pembangunan
perkotaan;
3. Menyediakan ruang terbuka dan ruang publik yang layak dan
nyaman sebagai tempat interaksi sosial masyarakat perkotaan
(fasilitas rekreasi, olahraga, seni budaya, kuliner, dll);
Meningkatkan penegakan hukum dalam penindakan dan
pencegahan serta membangun budaya anti korupsi;
172
Kebijakan 7:
Peningkatan keamanan kota dalam rangka memberikan pelayanan
rasa aman dan tenteram bagi masyarakat kota
BAB 4
173
BAB 4
174
BAB 4
175
BAB 4
176
BAB 4
177
Kebijakan 2:
Pengembangan pemerintahan yang cerdas dan kompetitif, inovatif,
efisien, dan berbasis ICT
Tata kelola kepemerintahan selama ini masih dihadapkan pada persoalan
aparatur yang kurang responsif terhadap keluhan masyarakat, belum
adanya data dasar pelayanan publik yang pasti dan sama, tolok ukur
capaian kinerja masih belum jelas dan masih tingginya angka korupsi.
Untuk menanggulangi permasalahan itu, tata kelola pemerintah diarahkan
untuk menjadi smart governance dengan pengembangan sistem dan
mekanisme pelayanan publik yang memanfaatkan teknologi informasi,
yaitu e-governance, e-procurement, e-office, e-business dan penerapan
single identification untuk setiap urusan masyarakat yang diharapkan
mampu mengurangi peluang penyalahgunaan dan mudah mudah diawasi
dalam pelaksanaannya.Kebijakan diatas dijabarkan melalui strategi
berikut:
BAB 4
178
Kebijakan 4:
BAB 4
179
Kebijakan 5:
Pengembangan masyarakat kota yang pintar dan inovatif, kreatif,
produktif, serta mampu memanfaatkan potensi keragaman sosialbudaya untuk membangun daya saing kota
Menciptakan sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan ilmu
pengetahuan yang baik dalam proses pekerjaan, dapat memberikan
output yang lebih baik dibandingkan dengan keahlian dan ilmu
pengetahuan yang rendah. Sumber daya manusia yang lebih terdidik
dengan skill yang dapat diandalkan, lebih dapat melakukan inovasi dalam
bekerja dengan mengoptimalkan kekayaan sosial budaya.Kebijakan
diatas dijabarkan melalui strategi berikut:
BAB 4
180
BAB 4
Kebijakan 1:
181
BAB 4
182
BAB 4
Kebijakan 3:
Mewujudkan
Pengembangan
pembangunan perkotaanyang
berkelanjutan
kelembagaan
dan
kerjasama
mendukung pembangunan kota
183
BAB 4
184
Kebijakan 4:
Pengembangan
pembiayaan
pembangunan
mendukung pembangunan kota berkelanjutan
perkotaanyang
BAB 4
Kebijakan 5:
Pengembangan dan penyediaan data informasi pembangunan
perkotaan
Kebijakan diatas dijabarkan melalui strategi berikut:
Kebijakan 6:
Mendorong berkembangnya kepemimpinan kota yang visioner dan
berkeadilan
Pemimpin kota atau seorang kepala daerah adalah posisi sentral dan
strategis dalam sistem pemerintahan daerah, sehingga kepala daerah
dengan diwajibkan dapat melihat arah, peluang, tantangan pembangunan
dan perkembangan kota pada masa mendatang. Dengan pola
kepemimpinan yang efektif, kepala daerah diharapkan dapat mampu
menerapkan dan menyesuaikan perencanaan maupun pelaksanaan
dengan paradigma baru otonomi daerah, ditengah-tengah lingkungan
yang strategis yang terus berubah seperti reinviting government, sharing
of power, akuntabilitas dan aspek-aspek lainnya yang memenuhi kriteria
185
BAB 4
186
Megapolitan,
Kota
BAB 4
187
BAB 4
Sumber : http://photography.nationalgeographic.com/
188
BAB 4
189
BAB 4
190
BAB 4
Sumber : http://paketwisatayogyakarta.files.wordpress.com/
Dari sisi tata ruang, lingkungan, dan sumber daya, pulau Jawa
dan Bali semakin kritis dan terancam. Meskipun kesuburan tanah
di Jawa untuk tanaman padi jauh lebih subur dibanding Sumatera
dan kalimantan, terus terjadi pengurangan tanah pertanian yang
signifikan. Di Jawa, penyusutan lahan sawah terjadi sebesar
36.000 Ha/tahun. Penyusutan ini terjadi baik karena
pembangunan perumahan maupun industri. Hal ini dapat terjadi
karena proses perkembangan tata ruang yang cenderung
dikontrol oleh pasar dan kapital, sementara intervensi atau
pengendalian oleh pemerintah cenderung kurang efektif.
191
BAB 4
192
a.
b.
c.
d.
e.
BAB 4
Sumber : http://cdn0.harperhotels.com/
193
dan sedang.
BAB 4
194
BAB 4
Sumber : http://faktaunik.files.wordpress.com/
195
BAB 4
3.
196
BAB 4
Sumber : http://www.adventure-lombok.com/
197
BAB 4
198
Sumber : http://jelajah.valadoo.com/
BAB 4
199
BAB 4
Sumber : http://1.bp.blogspot.com/
200
BAB 4
201
BAB 4
B. Kota Sawahlunto- Kota Pertambangan
1) Peningkatan kualitas pariwisata
kota tambang sebagai basis
ekonomi Kota Sawahlunto
2) Peningkatan kesiapan dalam
tanggap bencana alam secara
terpadu
3) Peningkatan kualitas kinerja
kelembagaan daerah.
1)
202
2)
3)
BAB 4
1) Memantapkan fungsi kota sebagai kota jasa dan meningkatnya peran kota sebagai
pendorong pertumbuhan ekonomi lokal, regional dan nasional, serta peningkatan
kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan.
2) Memacu pemenuhan kebutuhan prasarana sarana dan utilitas kota, serta
penyediaan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau serta
terintegrasi dengan kawasan metropolitan Bandung Raya dan mengembangkan
konsep kota padat lahan (Compact City) yang didukung oleh pemanfaatan ruang
kota yang efisien dan berkeadilan.
3) Mengembangkan industri kreatif dan IT sehubungan dengan keterbatasan lahan
kota dan menghadapi persaingan global.
4) Mengedepankan pengembangan sumber daya manusia dan sosial-budaya dalam
pembangunan perkotaan yang dapat mendukung industri, agribisnis, pariwisata,
dan jasa, serta peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
D.
203
E.
1)
2)
3)
4)
5)
6)
BAB 4
204
BAB 4
205
3)
4)
5)
BAB 4
206
BAB 4
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional
207
BAB 5
Kebijakandan
danStrategi
StrategiPembangunan
PembangunanPerkotaan
PerkotaanNasional
Nasional
208 2Kebijakan
BAB 5
KERANGKA
KELEMBAGAAN
PERKOTAAN
209
KELEMBAGAAN PERKOTAAN
5.1
BAB 5
BAB 5
211
di
Tingkat
Provinsi
dan
BAB 5
Kelembagaan daerah adalah unsur-unsur pelaku pembangunan daerah yang terdiri dari
aparatur pemerintah daerah, pengusaha swasta dan BUMD, perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat dalam arti luas.Peranan pelaku
pembangunan tersebut sangat penting untuk menciptakan hubungan koordinasi yang
efektif dan efisiensi sesai dengan tugas, fungsi, serta kewenangannya masing-masing.
BAB 5
213
c. Penataan Daerah
d. Kerjasama Daerah
Pemerintah
Daerah
masih
belum
cukup
mempertimbangkan Kerjasama Antar Daerah sebagai
salah satu inovasi dalam penyelenggaraan pembangunan,
terutama untuk infrastruktur perkotaan. Salah satu
penyebabnya adalah ego daerah, dimana konsep otonomi
daerah dipandang dengan menggunakan sudut pandang
yang sempit, sehingga Pemerintah Daerah lebih memilih
bekerja sama dengan swasta.
Seharusnya Kerjasama Daerah lebih memberikan
keuntungan dalam penyediaan pelayanan publik karena
memenuhi skala ekonomi, namun sayangnya pelayanan
publik yang diusahakan melalui Kerjasama Antar Daerah
lebih banyak merugi dan disubsudi oleh APBD, sehingga
kurang menarik untuk diusahakan.
Sampai sekarang, Peran Pemerintah dalam Kerjasama
Daerah adalah dengan menyusun PP No 50 tahun 2007
tentang Tata Cara Kerjasama Antar Daerah.
BAB 5
f.
2. Kapasitas Aparatur
a. Masih rendahnya kapasitas kelembagaan dan aparatur di
instansi-instansi yang saat ini menangani bidang
perkotaan. Kondisi ini dicerminkan dari beberapa hal,
seperti: (i) kurangnya pemahaman para penyusun
dokumen perencanaan daerah yang berakibat pada tidak
jelasnya visi dan misi perwujudan kota masa depan yang
ideal; (ii) rendahnya kualitas manajemen penanganan
masalah
dan
pembangunan
perkotaan
secara
keseluruhan; (iii) tidak terintegrasinya perencanaan dengan
penganggaran; (iv) kurang responsifnya Pemerintah
Daerah terhadap berbagai masalah perkotaan yang terjadi;
(v) minimnya koordinasi antar instansi pemerintah; serta
BAB 5
215
BAB 5
5.1.3 Kelembagaan
Perkotaan
Perkotaan
Pengelolaan
Kawasan
BAB 5
217
BAB 5
5.2
Asumsi
5.3
Fokus Kebijakan
5.4
BAB 5
219
BAB 5
Gambar 5.1
5.5
BAB 5
221
Tabel 5.1
o
N
Tingkat
1.
Pusat
2.
Provinsi
3.
Kabupaten/Kota
4.
5.
Kawasan Perkotaan
Wilayah
Gambar 5.2
Bentuk Kelembagaan
Jangka Pendek : penguatan TKPPN
Jangka Menengah : Pembentukan Komite Pembangunan
Perkotaan Nasional.
Jangka Panjang : Kementrian Perkotaan
Komite Pembangunan Perkotaan Provinsi
Komite
Pembangunan
Perkotaan
Provinsi
Kabupaten/Kota
Badan Kerjasama Antar Daerah
Forum Pembangunan Perkotaan di Tingkat Pulau
BAB 5
5.5.1 Kelembagaan Pembangunan Perkotaan di Tingkat Pusat
Strategi kelembagaan pembangunan perkotaan ditingkat pusat, dibagi
menjadi tiga tahap yaitu:
1. Jangka pendek dengan menguatkan peranan TKPPN;
2. Jangka menengah dengan membentukan Komite Percepatan
Pembangunan Perkotaan Nasional (KP3N);
3. Jangka
panjang
dengan
Pembangunan Perkotaan.
pembentukan
Kementerian
Kementerian PPN/Bappenas;
Kementerian Pekerjaan Umum;
Kementerian Dalam Negeri;
Kementerian Perumahan Rakyat;
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;
1. Kementerian Keuangan;
2. Kementerian Perhubungan;
3. Kementerian Sosial;
4. Kementerian Kesehatan;
5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
6. Badan Pertanahan Nasional (BPN);
7. Badan Informasi Geospasial (BIG);
8. Badan Pusat Statistik (BPS).
BAB 5
223
BAB 5
b.
c.
d.
Fungsi KP3N:
a.
b.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
Kementerian PPN/Bappenas;
Kementerian Pekerjaan Umum;
Kementerian Dalam Negeri;
Kementerian Perumahan Rakyat; dan
Kementerian Koordinator Perekonomian
Kementerian Keuangan;
Kementerian Perhubungan;
Kementerian Sosial;
Kementerian Kesehatan;
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
Badan Pertanahan Nasional (BPN);
Badan Informasi Geospasial (BIG);
Badan Pusat Statistik (BPS).
BAB 5
Anggota KP3N:
225
3.
BAB 5
BAB 5
Pembentukan
Susunan Organisasi
Tugas Pokok dan Fungsi
Kewenangan
Hubungan kerja secara internal
Hubungan kerja dengan instansi terkait
Sumber Pembiayaan
227
BAB 5
5.5.2 Kelembagaan
Provinsi
Pembangunan
Perkotaan
di
Tingkat
:
:
Anggota
Anggota
Gubernur
Kepala Bappeda
Kepala Dinas Pekerjaan Umum
Kepala Dinas Cipta Karya
Kepala Dinas Perdagangan
Struktur
Lembaga
Anggota
Tugas KP3P:
a. Menyusun Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan
Daerah
(KSPPD)
Provinsi
sebagai
pedoman
dalam
melaksanakan pembangunan perkotaan di daerah;
b. Sinergi pembangunan antar kota/kabupaten dengan jangkauan
pelayanan dalam provinsi;
c. Melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dan
pembangunan nasional;
d. Melaksanakan dan mengembangkan sumber data dan informasi
pembangunan perkotaan;
e. Mengawal pembentukan Badan Kerja Sama Pembangunan
(BKSP) perkotaan yang selanjutnya akan ditetapkan dalam
Peraturan Presiden jika kawasan perkotaan terdiri lebih dari satu
provinsi (terutama kawasan megapolitan dan metropolitan);
f. Mensosialisasikan konsep-konsep kebijakan dan aturan,
pendekatan penyelesaian masalah dan contoh-contoh
pembelajaran dalam pembangunan perkotaan; dan
g. Melaksanakan evaluasi dan reviu kebijakan perkotaan,
menyusun kebijakan, tata aturan dan kesepakatan bersama
BAB 5
229
Fungsi KP3P:
a. Merumuskan kebijakan dan strategi dalam rangka koordinasi
pelaksanaan pembangunan perkotaan ditingkat nasional dan
pemerintah daerah;
b. Mengoordinasikan dan memantau pelaksanaan kebijakan dan
strategi nasional pembangunan perkotaan oleh menteri terkait
dan pemerintah daerah;
c. Merumuskan kebijakan pelaksanaan kewajiban pemenuhan SPP
dan perwujudan kota masa depan di kota dan kawasan
perkotaan;
d. Mengoordinasikan upaya pemecahan berbagai masalah yang
terkait dengan percepatan penyediaan infrastruktur perkotaan di
daerah; dan
e. Mengoptimalkan peran serta badan usaha swasta di daerah
dalam pembangunan perkotaan daerah.
Struktur KP3P dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
BAB 5
Perkotaan
di
Tingkat
Pembentukan
Komite
Percepatan
Pembangunan
Perkotaan
Kabupaten/Kota (KP3K) dibentuk melalui surat keputusan bupati/walikota
yang beranggotakan kepala SKPD terkait. Struktur lembaga KP3K
digambarkan sebagai berikut:
Tabel 5.3 Struktur Kelembagaan KP3K
Anggota
: Bupati
: Kepala Bappeda
Kepala Dinas Pekerjaan Umum
Kepala Dinas Cipta Karya
Kepala Dinas Perdagangan
Kepala Dinas Perhubungan
Anggota
: Kepala Dinas Pendidikan
Kepala Dinas Kesehatan
Kepala Dinas Penan Modal
Kepala Dinas Pendapatan
Badan Pusat Statistik Provinsi
Forum Pelaku Pembangunan Perkotaan (FP3)
Berasal dari beberapa akademisi di kota
Akademisi
:
yang fokus dalam bidang perkotaan.
Berasal dari lembaga riset ataupun
Tenaga Ahli
: praktisi yang fokus dalam bidang
perkotaan.
Berasal
dari
para
pembangun
Swasta
: infrastruktur perkotaan, perbankan non
pemerintah.
Seluruh masyarakat kota di Indonesia
Masyarakat
:
yang diwakili oleh DPRD atau LSM.
BAB 5
Struktur Lembaga
Tim Pelaksana
Ketua
Sekretaris
Tugas KP3K:
a. Melakukan koordinasi dan konsultasi dengan KPPN dan KP3P;
b. Menangani permasalahan kawasan perkotaan yang lintas batas
administratif kecamatan dalam satu wilayah kabupaten;
c. Mengelola kawasan perkotaan dan mengoptimalkan peran serta
masyarakat dan badan usaha swasta;
231
BAB 5
BAB 5
233
A. Badan
Kerjasama
Pembangunan
Kawasan
Megapolitan dan Metropolitan dalam Satu Provinsi
Perkotaan
Struktur Lembaga
Ketua
Sekretaris
BAB 5
Keterangan
: Eselon IA
: Eselon IB
Kepala Dinas Pekerjaan Umum
Kepala Dinas Cipta Karya
Kepala Dinas Perdagangan
Kepala Dinas Perhubungan
Anggota
: Kepala Dinas Pendidikan
Kepala Dinas Kesehatan
Kepala Dinas Penanaman Modal
Kepala Dinas Pendapatan
Badan Pusat Statistik Provinsi
Forum Pelaku Pembangunan Perkotaan (FP3)
Berasal dari beberapa akademisi di
Akademisi
: provinsi yang fokus dalam bidang
perkotaan.
Berasal dari praktisi yang fokus dalam
Tenaga Ahli
:
bidang perkotaan.
Berasal dari para pembangun infrastruktur
Swasta
:
perkotaan, perbankan non pemerintah.
Seluruh masyarakat kota di Indonesia yang
Masyarakat
:
diwakili oleh DPRD atau LSM.
BAB 5
235
provinsi
dan
juga
lebih
dari
satu
pemerintah
Struktur Lembaga
Ketua
Sekretaris
Anggota
Eselon IIA
Eselon IIB
Kepala Dinas Pekerjaan Umum
Kepala Dinas Cipta Karya
Kepala Dinas Perdagangan
Kepala Dinas Perhubungan
Anggota
: Kepala Dinas Pendidikan
Kepala Dinas Kesehatan
Kepala Dinas Penanaman Modal
Kepala Dinas Pendapatan
Badan Pusat Statistik Provinsi
Forum Pelaku Pembangunan Perkotaan (FP3)
Berasal dari beberapa akademisi di
Akademisi
: provinsi yang fokus dalam bidang
perkotaan.
Berasal dari praktisi yang fokus dalam
Tenaga Ahli
:
bidang perkotaan.
Berasal dari para pembangun infrastruktur
Swasta
:
perkotaan, perbankan non pemerintah.
Seluruh masyarakat kota di Indonesia
Masyarakat
:
yang diwakili oleh DPRD atau LSM.
:
:
BAB 5
f.
BAB 5
:
:
Bidang
Keterangan
Eselon IIB
Eselon IIIA
Infrastruktur Perkotaan
Manajemen Perkotaan
Sosial Budaya Perkotaan
237
BAB 5
5.5.5 Kelembagaan
Prioritas
Pembangunan
Perkotaan
di
Sektor
Sektor
Prioritas
BAB 5
Gambar 5.6
239
c. Mengawasi jalannya pembangunan perkotaan di dalam batasbatas kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan nasional;
d. Memelihara kerjasama dan koordinasi secara terus menerus
antara pihak-pihak pelaksana pembangunan perkotaan sektor
prioritas;
e. Mengembangkan
dan
mengendalikan
pelaksanaan
pembangunan perkotaan sektor prioritas;
f. Merencanakan dan mengendalikan pengembangan jangka
panjang wilayah sektor prioritas beserta prasarananya dalam
kerjasama dengan instansi yang bersangkutan;
Fungsi Badan OtoritasSektor Prioritas:
a. Pelaksanaan kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan
nasional;
b. Pengelolaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, hukum
dan hubungan masyarakat; dan
c. Pelaksanaan pengaturan, pengendalian dan pengawasan
kegiatan pembangunan sektor prioritas perkotaan.
5.6
BAB 5
Gambar 5.8
BAB 5
Gambar 5.7
241
5.7
Peran Serta
BAB 5
No.
1.
ASPEK DAN
KEBIJAKAN
Pemerintah
Daerah
Jangka
Waktu
BAB 5
Tabel 5.7
243
No.
2.
ASPEK DAN
KEBIJAKAN
STRATEGI
Pemerintah
Pemerintah
Daerah
Jangka
Waktu
jangka
Pendek
(2015
2018)
BAB 5
mengevaluasi
perkembangan
kerjasama antar
daerah
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan
(Bappenas,Kemenkeu, dan Kemendagri dengan melibatkan Universitas,
Pusat Penelitian, Kadin, Sektor Swasta Lainnya dan Lembaga Donor)
Perencanaan
Mengidentifikasi
Mengidentifikasi
Dimulai dari
dan merumuskan
dan merumuskan
jangka
kebutuhan
kebutuhan
Pendek
pengembangan
pengembangan
(2015
dan peningkatan
dan peningkatan
2018)
kapasitas
kapasitas
kelembagaan dan kelembagaan dan
aparatur negara
aparatur negara
Mengidentifikasi
Mengidentifikasi
Dimulai dari
dan merumuskan
dan merumuskan
jangka
prioritas bagi
prioritas bagi
Pendek
pengembangan
pengembangan
(2015
dan peningkatan
dan peningkatan
2018)
kapasitas
kapasitas
kelembagaan dan kelembagaan dan
aparatur negara.
aparatur negara.
Menetapkan
Menetapkan action
Dimulai dari
action plan
plan
jangka
pengembangan
pengembangan
Pendek
dan peningkatan
dan peningkatan
(2015
kapasitas
kapasitas
2018)
kelembagaan
kelembagaan
Menyediakan
Dimulai dari
acuan atau
jangka
rujukan dalam
Pendek
proses
(2015
peningkatan
2018)
kapasitas
kelembagaan.
Pelaksanaan
Pengembangan
Dimulai dari
peraturan
jangka
perundangan
Pendek
(2015
2018)
Pengembangan
Dimulai dari
personil aparatur
jangka
negara
Pendek
(2015
3.
STRATEGI
Pemerintah
Pemerintah
Daerah
Jangka
Waktu
2018)
Dimulai dari
jangka
Pendek
(2015
2018)
Dimulai dari
jangka
Pendek
(2015
2018)
Memberikan
bantuan teknis
kepada
pemerintah
daerah.
Pengendalian
Monitoring dan
Monitoring dan
evaluasi
evaluasi
peningkatan
peningkatan
kapasitas
kapasitas
kelembagaan
kelembagaan.
Pembentukan Kelembagaan Pengelolaan Perkotaan
(Bappenas, Kemenkeu, KemenPU,dan Kemendagri dengan melibatkan
Universitas, Pusat Penelitian, Kadin,
Sektor Swasta Lainnya dan
Lembaga Donor)
Pembentukan
Penguatan
Pembentukan
Dimulai dari
kelembagaan
TKPPN dengan
Komite
jangka
untuk
manambah jumlah Pembangunan
Pendek
kemudahan
anggota.
Perkotaan Daerah
(2015
koordinasi
2018)
antara pusat
Penguatan Badan
Dimulai dari
dan daerah
Kerjasama Antar
jangka
Daerah
Pendek
(2015
2018)
Jangka menengah
Dimuali dari
: pembentukan
jangka
Komite
menegah
Pembangunan
(2018 - 2022
Perkotaan
Nasional dengan
Peraturan
Presiden.
Jangka Panjang :
Dimulai dari
pembentukan
jangka
Kementrian
panjang
Perkotaan
(2022
2027)
BAB 5
No.
ASPEK DAN
KEBIJAKAN
245
BAB 5
BAB 5
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional
247
BAB 6
222 1
248
2 Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional
BAB 6
KERANGKA
PEMBIAYAAN
PERKOTAAN
249
249
223
Pembiayaan
merupakan
aspek
penting
dalam
implementasi
pembangunan perkotaan. Secara lebih spesifik, dalam rangka
pemenuhan Standar Pelayanan Perkotaan (SPP), percepatan
pembangunan ekonomi, dan perwujudan Kota Berkelanjutan 2045
(Liveable City, Green City, dan Smart City) membutuhkan berbagai
sumber pembiayaan yang harus direncanakan, dibangun dan dikelola
dengan baik. Pembiayaan pembangunan perkotaan tersebut dapat
dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Sektor Swasta,
Masyarakat maupun Lembaga Donor. Ruang lingkup pembahasan
pembiayaan pembangunan perkotaan dalam pembangunan perkotaan ini
difokuskan pada pembiayaan untuk pembangunan sektor-sektor strategis
perkotaan, khususnya untuk pembangunan infrastruktur. Disamping itu,
sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pembahasan juga
lebih difokuskan pada pembiayaan pembangunan di tingkat kota. Hal ini
mengingat kewenangan dan tanggung jawab dalam pembangunan
sebagian besar telah dilimpahkan dari Pemerintah kepada Pemerintah
Kota, sehingga membawa konsekuensi terhadap kapasitas keuangan
daerah dan pengelolaannya.
BAB 6
6.1
Gambaran Umum
Pada tahun 2012 total investasi infrastruktur di Indonesia baru mencapai Rp 385,2
triliun atau 4,51 persen dari produk domestik bruto (PDB).
BAB 6
251
ditutup oleh sumber lain diluar APBN dan APBD, yaitu berasal dari sektor
swasta, masyarakat dan lembaga donor.
6.2
BAB 6
2) Kesenjangan Manajemen
BAB 6
Perencanaan.
Pembangunan
infrastruktur
membutuhkan
perencanaan strategis dalam menentukan infrastruktur perkotaan
yang akan dibangun. Kenyataannya, hanya sedikit Pemerintah Kota
yang memiliki kapasitas dalam menentukan prioritas infrastruktur
berdasarkan proses dan pertimbangan yang jelas. Sebaliknya,
banyak Pemerintah Kota yang hanya dapat menunjukkan daftar
panjang (wish list) proyek infrastruktur potensial, namun kesulitan
menyebutkan secara pasti mana infrastruktur yang akan menjadi
prioritas untuk dibangun dan alasannya (short list). Penyusunan
prioritas infrastruktur menjadi sebuah keharusan mengingat jumlah
pembiayaan yang terbatas, disamping kebutuhan akan pemenuhan
prosedur dan mekanismenya. Penyusunan prioritas tersebut juga
memerlukan kapasitas dari Pemerintah Kota untuk memilah
infrastruktur yang strategis dan pada saat bermaan juga sesuai
dengan kapasitas keuangan dan manajemen yang dimiliki ataupun
potensi sumber dan jenis pembiayaan yang tersedia.
253
BAB 6
2) Peraturan perundangan
Regulasi terkait prosedur pembiayaan infrastruktur perkotaan belum
cukup untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur.
Regulasi yang ada belum diarahkan untuk membuat investasi yang
menarik bagi sektor swasta tanpa membahayakan posisi keuangan
Pemerintah Kota.
Beberapa isu yang terkait dengan regulasi
misalnya adalah soal penetapan tarif penggunaan fasilitas
infrastruktur yang tidak menutupi biaya (cost recovery), sulitnya
pengadaan lahan, prosedur perizinan yang berbelit-belit sampai tidak
adanya proteksi bagi investor. Penetapan tarif seringkali bukan
berdasarkan pertimbangan kelayakan ekonomis atau finansial
melainkan keputusan politik. Meskipun saat ini telah dikeluarkan
undang-undang
mengenai
pengadaan
lahan,
namun
implementasinya masih belum jelas. Begitu juga halnya dengan
periode pembiayaan infrastruktur yang belum tentu sinkron dengan
periode Walikota. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya terkait
regulasi adalah penegakan dari regulasi itu sendiri.
3) Instrumen investasi
BAB 6
6.3
255
ada, pembiayaan dari luar negeri hanya dapat diterima oleh Pemerintah
Kota melalui skema Penerusan Pinjaman (Subsidiary Loan Agreement)
atau juga dikenal dengan Two Step Loan) atau Penerusan Hibah. Skema
tersebut berarti pembiayaan luar negeri yang diterima oleh Pemerintah
untuk suatu proyek infrastruktur diteruskan sebagai pinjaman atau hibah
kepada daerah tertentu. Sementara itu, untuk pembiayaan yang berasal
dari dalam negeri, sumber pembiayaan dapat berasal dari pendapatan
daerah sendiri (PAD yang menjadi bagian dari APBD), Pemerintah Pusat
(APBN), atau pinjaman dari Pemerintah Daerah lain, lembaga keuangan
(bank dan bukan bank), perusahaan swasta maupun dari masyarakat
umum. Secara lebih rinci mengenai berbagai sumber pembiayaan
pembangunan dapat dilihat pada Gambar 6.1. dibawah ini
Gambar 6.1 Sumber Pembiayaan Pembangunan Perkotaan
BAB 6
BAB 6
257
BAB 6
Dr.B. Raksaka Mahi, Masrizal M.Sos.Sc, Dr. Fauziah Zen. Potensi Penyediaan Pinjaman
Lunak ke Daerah untuk Pembangunan Infrastruktur, Tim Asistemsi Kementerian
Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal, 2012
BAB 6
Salah satu hal yang juga diatur dalam PP tersebut adalah penerbitan
Obligasi Daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan
investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan
Pelayanan Publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang
diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana
tersebut. Dengan demikian, persyaratan tersebut sangat penting dan
relevan dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan perkotaan.
Namun, permasalahan utama dalam pelaksanaan Obligasi Daerah ini
adalah belum adanya lembaga khusus di daerah yang berperan sebagai
Perantara Keuangan (Financial Intermediary - FI) dan menjalankan
pengumpulan dana masyarakat melalui penerbitan Obligasi Daerah dan
khusus digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Dalam
berbagai bentuk, beberapa negara telah memiliki lembaga khusus
sebagai FI tersebut, antara lain: Columbia (FINDETER), India (TNUDF),
Filipina (LGUGC), dan Afrika Selatan (INCA). FI di beberapa negara
tersebut merupakan lembaga keuangan yang dapat berbentuk lembaga
bank maupun bukan bank dan mendapatkan sumber pendanaan dari
masyarakat, pemerintah diatasnya dan lembaga donor.
259
BAB 6
a. Jumlah
Jenis pembiayaan sangat bervariasi dilihat dari jumlahnya, dapat
meliputi belasan milyar sampai trilyunan rupiah. Besarnya jumlah
pembiayaan ini pada dasarnya bergantung dari sumber
pembiayaan. Jumlah pembiayaan mencapai trilyunan rupiah
biasanya hanya dapat diberikan oleh konsorsium lembaga
keuangan berbentuk bank konvensional, bank pembangunan
multinasional seperti Bank Dunia (World Bank) atau Bank
Pembangunan Asia (Asian Development Bank) atau bilateral,
serta melalui obligasi. Dengan demikian jumlah pembiayaan yang
besar akan lebih terbatas sumbernya dibandingkan dengan jumlah
pembiayaan yang kecil. Disamping itu, berdasarkan tipologi kota,
pembiayaan dalam jumlah besar akan lebih banyak dibutuhkan
oleh Kota Metropolitan dan Kota Besar dibandingkan Kota
Sedang, Kota Kecil maupun Kawasan Perkotaan.
b. Tingkat suku bunga
Terdapat jenis pembiayaan yang tidak dikenakan bunga,
dikenakan bunga rendah atau dikenakan bunga tinggi.
Pembiayaan yang tidak dikenakan bunga umumnya berasal dari
Pemerintah Pusat dalam bentuk hibah. Tinggi rendahnya suku
bunga berbanding lurus dengan besar kecilnya resiko. Semakin
besar resiko dari pembiayaan, semakin besar tingkat suku bunga
yang dikenakan oleh pemberi pembiayaan. Pembiayaan dari
lembaga pembiayaan baik bank atau non-bank biasanya
mengenakan bunga yang relatif lebih tinggi dibanding pembiayaan
dari Pemerintah atau badan layanan yang ditunjuk seperti PIP.
c. Jangka waktu
Terdapat pembiayaan yang memiliki jangka pendek (kurang dari 1
tahun), jangka menengah (3 5 tahun), dan jangka panjang (di
atas 5 tahun). Namun pada umumnya, jenis pembiayaan yang ada
di Indonesia, terutama yang bersumber dari lembaga keuangan
bank, saat ini memiliki jangka waktu pendek dan menengah.
Padahal, kebutuhan pembiayaan infrastruktur dilihat dari skalanya
seringkali merupakan pembiayaan dalam jangka panjang.
d. Prasyarat dan prosedur
BAB 6
261
6.4
BAB 6
A. Sumber Pembiayaan
1) Pembiayaan dari Pemerintah Pusat (APBN) dan Pemerintah
Daerah (APBD) tetap akan menjadi salah satu sumber
pembiayaan penting untuk pembangunan perkotaan terutama
pembangunan infrastruktur perkotaan tertentu seperti
14
2)
3)
4)
BAB 6
263
2)
3)
4)
5)
6)
BAB 6
6.5
BAB 6
265
BAB 6
1.
Model Pengelolaan
Pengelolaan PDF harus bersifat profesional, independen dan efisien.
Pada awal pembentukannya, PDF dituntut untuk menyediakan
layanan kegiatan kepada Pemerintah Daerah secara gratis.
Meskipun tanpa dipungut biaya, pemberian layanan kepada
Pemerintah Daerah tersebut harus dilakukan berdasarkan usulan
dari Pemerintah Daerah dan dilakukan seleksi yang kompetitif.
Dengan demikian, tidak semua usulan dari Pemerintah Daerah
disetujui oleh lembaga PDF. Dalam jangka waktu tertentu setelah
beroperasi dan sudah memiliki permintaan yang tetap (captive
demand), misalnya 5 (lima) tahun, maka lembaga PDF diharapkan
sudah mulai mengenakan iuran layanan (service fee) untuk bantuan
teknis yang disediakan bagi Pemerintah Daerah, dengan catatan
bahwa Pemerintah Daerah tersebut memiliki kapasitas fiskal yang
memadai.
2.
Desain Insentif
Dalam operasionalisasinya, PDF dapat diberikan beberapa insentif
yang diberikan dalam bentuk fiskal dan non-fiskal. Insentif fiskal
dapat diberikan dalam bentuk subsidi modal dan biaya operasional.
Sedangkan insentif non fiskal dapat disediakan, seperti dalam bentuk
mandat khusus yang diatur dalam peraturan perundangan, bantuan
pemenuhan kebutuhan pengembangan dan manajemen SDM yang
diperlukan oleh lembaga PDF, dan sebagainya.
Akses Terhadap Lembaga Sejenis dan Lembaga Pembiayaan
Dalam rangka penyediaan bantuan teknis kepada Pemerintah
Daerah dan efisiensi dalam operasionalisasinya, maka lembaga PDF
perlu diberikan kemudahan dalam menjalin kerjasama dengan
lembaga sejenis, baik dalam negeri maupun luar negeri. Terdapat
beberapa lembaga PDF yang sudah berdiri, antara lain di Pakistan,
Vietnam, Cina dan India. Disamping itu, Pemerintah perlu
memberikan akses kepada lembaga PDF untuk bekerjasama dengan
lembaga-lembaga pembiayaan, seperti perbankan, lembaga ventura,
dan lembaga donor, sehingga proposal proyek infrastruktur yang
sudah disiapkan oleh lembaga PDF dapat langsung dilakukan due
diligence oleh lembaga-lembaga tersebut.
BAB 6
3.
267
4.
Sumber Pembiayaan
Mengingat lembaga PDF dalam operasionalisasinya tidak
mengenakan biaya bagi Pemerintah Daerah, maka APBN
merupakan sumber utama pembiayaan terutama ketika lembaga ini
sudah beroperasi. Disamping itu, lembaga PDF didorong untuk
melakukan pengumpulan dana (pool of funds) dari berbagai lembaga
donor bilateral dan multilateral, terutama dalam bentuk hibah (grant)
dan bantuan teknis (Technical Assistances - TA). Selain itu, sumber
pembiayaan juga dapat berasal dari kontribusi kota-kota yang telah
dibantu sebelumnya serta berbagai hubungan kerjasama, misalnya
dalam bentuk sister city. Potensi pembiayaan yang lainnya adalah
ketika lembaga PDF menjadi satu kesatuan dengan lembaga LDF
(Local Development Funds). Dengan demikian, bantuan teknis yang
disediakan bisa merupakan satu paket dengan pinjaman yang
disediakan oleh lembaga LDF tersebut. Penyatuan ini akan menjadi
sangat menarik bagi Pemerintah Daerah karena bantuan teknis yang
disediakan dapat menjadi stimulant awal bagi Pemerintah Daerah
untuk meminjam dana ke lembaga LDF.
Gambar 6.3 Roadmap Pembentukan Lembaga PDF di Indonesia
BAB 6
Sumber : Analisis Bappenas, 2014
BAB 6
269
Bentuk MDF yang optimal bagi Indonesia adalah MDF yang menyalurkan
Pinjaman daerah secara langsung kepada Pemerintah Daerah (first-tier)
dan memiliki kelembagaan berbentuk BUMN.
Dengan kondisi saat ini, bentuk MDF yang optimal untuk Indonesia
adalah institusi yang memberikan pinjaman kepada daerah, bukan yang
memberikan hibah, dan juga tidak bertindak sebagai Bank Obligasi yang
membeli obligasi dari Pemerintah Daerah. Selain itu institusi MDF
Indonesia adalah MDF yang memberikan pinjaman langsung kepada
Pemerintah Daerah (first-tier), dan bukanlah MDF yang menyalurkan
pinjaman daerah melalui lembaga keuangan lain (second-tier).
Berdasarkan analisa kelembagaan menggunakan 12 (dua belas) aspek
berikut ini: pertanggungjawaban (liability), orientasi perusahaan, investasi,
permodalan, keputusan untuk memberikan pinjaman, sumber pendanaan,
proteksi pinjaman, peraturan pendirian, koordinasi, manajemen, pasar
modal, dan pengawasan, dapat disimpulkan bahwa bentuk terbaik untuk
institusi MDF di Indonesia adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Terdapat 3 (tiga) opsi kelembagaan MDF dalam jangka pendek, yaitu (1)
Transisi melalui BUMN yang ada saat ini, (2) Transisi melalui BLU yang
ada saat ini, dan (3) Membuat BLU Baru.
1. Transisi melalui BUMN yang ada
BAB 6
BAB 6
271
1. Desain Insentif
Insentif dapat diberikan dalam bentuk fiskal dan non-fiskal. Insentif
fiskal dapat diberikan dalam bentuk subsidi modal, subsidi bunga
pinjaman, atau masa tenggang waktu memulai cicilan
pembayaran.
2. Struktur Modal
Struktur modal awal MDF dapat berupa 100% modal atau dengan
komposisi modal-utang. Modal murni dapat menekan biaya
pinjaman, jika dipandang dari sisi neraca keuangan institusi
karena tanpa cost of funds; walaupun opportunity cost dari alokasi
tersebut harus dipertimbangkan dari sisi kebijakan fiskal. Sumber
modal murni dapat berasal dari swasta atau non-swasta
3. Model Pengelolaan
Pengelolaan MDF harus bersifat independen, profesional, dan
efisien. Dewan direksi dipagari oleh prinsip hard budget constraint
sehingga tidak ada dana tambahan Pemerintah untuk menutup
kerugian karena kesalahan manajemen. Sistem reward and
punishment juga harus mengacu pada pasar.
4. Proteksi Pinjaman
Pinjaman selalu mengandung risiko gagal bayar (Non-Performing
Loan, atau NPL). Lembaga pinjaman harus mempunyai cara untuk
meminimasi risiko gagal ini. Desain dari proteksi pinjaman akan
memerlukan beberapa perubahan dalam Undang-undang maupun
cukup berupa peraturan Menteri.
5. Kriteria Pemerintah Daerah yang Berhak Meminjam
BAB 6
2015
2017
2018
2019
2016
Percepatan
pemenuhan
SPP, terutama
untuk prasarana
dasar.
Percepatan
pemenuhan
SPP, terutama
untuk prasarana
dasar.
Percepatan
pemenuhan
SPP, terutama
untuk prasarana
dasar.
Percepatan
pemenuhan
SPP, terutama
untuk prasarana
dasar.
Percepatan
perwujudan
peran dan fungsi
kota sebagai
pusat-pusat
kegiatan (PKG,
PKN, PKW)
Percepatan
perwujudan
peran dan fungsi
kota sebagai
pusat-pusat
kegiatan (PKG,
PKN, PKW)
Percepatan
perwujudan
peran dan fungsi
kota sebagai
pusat-pusat
kegiatan (PKG,
PKN, PKW)
Percepatan
perwujudan
peran dan fungsi
kota sebagai
pusat-pusat
kegiatan (PKG,
PKN, PKW)
Kawasan
Metropolitan dan
Kota Besar :
Penataan dan
pemenuhan
Kawasan
Metropolitan dan
Kota Besar :
Penataan dan
pemenuhan
Kawasan
Metropolitan dan
Kota Besar :
Penataan dan
pemenuhan
BAB 6
No
Kawasan
Metropolitan dan
Kota Besar :
Penataan dan
pemenuhan
273
No
2015
2016
2017
2018
2019
dan
pemenuhan
standar
pusat
kegiatan
Nasional
Penanganan
dan
pengendalia
n isu lintas
wilayah
Kota Sedang
dan Kecil
Pemenuhan
SPP
Percepatan
koneksi
desa- kota
standar pusat
kegiatan
Nasional
Penanganan
dan
pengendalian
isu lintas
wilayah
Kota Sedang
dan Kecil
Pemenuhan
SPP
Percepatan
koneksi desakota
standar pusat
kegiatan
Nasional
Penanganan
dan
pengendalian
isu lintas
wilayah
Kota Sedang
dan Kecil
Pemenuhan
SPP
Percepatan
koneksi desakota
standar pusat
kegiatan
Nasional
Penanganan
dan
pengendalian
isu lintas
wilayah
Kota Sedang
dan Kecil
Pemenuhan
SPP
Percepatan
koneksi desakota
standar pusat
kegiatan
Nasional
Penanganan
dan
pengendalian
isu lintas
wilayah
Kota Sedang
dan Kecil
Pemenuhan
SPP
Percepatan
koneksi desakota
APBN
Peran Swasta
APBD
APBN
Peran Swasta
APBD
Lembaga Donor
APBN
Peran Swasta
APBD
Lembaga Donor
Operasionalisasi
tahap I dari PDF
Operasionalisasi
tahap I dari PDF
Pembiayaan
untuk sekretariat
akan dibantu
oleh lembaga
donor dan APBN
Pembiayaan
untuk sekretariat
akan dibantu
oleh lembaga
donor dan APBN
Kerangka pembiayaan
APBN
Peran Swasta
APBD
APBN
Peran Swasta
APBD
BAB 6
Penyiapan
pembentukan
Sekretariat
Urban
Infrastructure
Project
Development
Facilities.
Penyiapan
Peraturan
Menteri
tentang
Pembentukan
Sekretariat
Urban
Infrastructure
Project
Pengembangan
kerangka
kelembagaan
dan Peraturan
PDF di
Indonesia
Penyiapan
pembentukan
Sekretariat
Urban
Infrastructure
Project
Development
Facilities.
Pembentukan
Sekretariat
Urban
Infrastructure
Project
Development
Facilities.
Pembiayaan
untuk sekretariat
akan dibantu
oleh lembaga
donor dan APBN
Finalisasi
Peraturan
Menteri tentang
Pembentukan
Sekretariat
Urban
Infrastructure
Project
Development
Facilities.
Pembiayaan
untuk sekretariat
akan dibantu
No
2015
Development
Facilities.
2016
2017
2018
2019
oleh lembaga
donor dan APBN
Workshop
Pembentukan
PDF di
Indonesia
Pembiayaan
untuk
sekretariat
akan dibantu
oleh lembaga
donor dan
APBN
BAB 6
275
3.
b.
c.
d.
e.
BAB 6
17
5.
BAB 6
277
BAB 6
STRATEGI
ASPEK DAN
KEBIJAKAN
Pemerintah
Pemerintah Daerah
Jangka Waktu
Kebijakan dan Peraturan Perundangan
(Bappenas dan Kemenkeu dengan melibatkan Universitas, Pusat Penelitian, Kadin, Sektor
Swasta Lainnya dan Lembaga Donor)
Mendorong
Melakukan kajian,
Terlibat dalam penyusunan Dilakukan
munculnya jenis
menyusun kebijakan dan kajian, kebijakan dan
dalam jangka
dan instrumen
mengeluarkan peraturan
peraturan perundangan
pendek,
pembiayaan
perundangan yang dapat berdasarkan tipologi kota
terutama untuk
yang baru,
mendorong terciptanya
kajian dan
menarik dan
alternatif jenis dan
penyusunan
inovatif
instrumen pembiayaan
kebijakan.
pembangunan perkotaan
Dimulai dari
yang menarik baik dari
jangka pendek
aspek proses
(2015 2018)
(penyederhanaan), pasar
(likuiditas dan
instrumen), risiko kredit,
dan sebagainya
Memberi
Mengeluarkan
Menyusun Peraturan
Jaminan dan
jaminan dan
peraturan perundangan
Daerah atau instrumen
kepastian
kepastian hukum
yang menjamin
hukum lainnya yang
hukum memiliki
keberlangsungan
memberi jaminan dan
peranan yang
investasi oleh sektor
kepastian hukum bagi
sangat besar
swasta dan
investasi di daerah
dalam investasi
masyarakat
dan daya saing
Mengurangi peran DPRD
daerah,
Mempersiapkan
dalam proses
sehingga harus
standar dan
perencanaan,
dilakukan
mekanisme resolusi
pelaksanaan dan
secepatnya
jika terjadi gagal bayar
pengelolaan investasi di
untuk
atau dispute antara
daerah terutama untuk
mendorong
Pemerintah Kota
skema Hibah daerah,
kondisi
dengan pemilik dana
Pinjaman Daerah,
perekonomian
(sektor swasta dan
Obligasi Daerah, dan
yang
masyarakat)
KPS
diharapkan.
Dimulai dari
jangka pendek
(2015 2018)
Memperluas
Melakukan kajian,
Dalam
era
basis sumber
menyusun kebijakan dan
desentralisasi
Pendapatan Asli mengeluarkan peraturan
fiskal,
Daerah (PAD)
perundangan yang yang
pemerintah
memberi kewenangan
daerah diberi
yang lebih besar kepada
kewenangan
Pemerintah Daerah
2.
ASPEK DAN
KEBIJAKAN
Pemerintah
untukmenggali dan
mengoptimalkan sumbersumber alternatif untuk
PAD
STRATEGI
Pemerintah Daerah
Jangka Waktu
untuk
mengelola
keuangan dan
mengoptimalka
n
sumber
fiskalnya,
sehingga
harusnya telah
dilakukan sejak
kebijakan
tersebut
dilakukan.
Dimulai
dari
jangka pendek
(2015 2018)
BAB 6
No.
279
No.
ASPEK DAN
KEBIJAKAN
Pemerintah
BAB 6
Obligasi daerah
Meningkatkan likuiditas
obligasi daerah di
pasar modal dengan
kebijakan repurchase
agreement untuk
mengatasi
kesenjangan periode
investasi/pembiayaan
pembiayaan
infrastruktur yang
bersifat jangka panjang
Memberikan credit
enhancement bagi
pemanfaatan obligasi
daerah, misalnya:
adanya jaminan bailout
yang disertai sanksi
keras, bebas pajak
penghasilan untuk
obligasi jangka
panjang, dan
sebagainya
Kerjasama
Pemerintah
Swasta (KPS)
STRATEGI
Pemerintah Daerah
Mengidentifikasi proyek
infrastruktur yang dapat
ditawarkan dalam bentuk
obligasi daerah dan
kemungkinan pemaketan
investasinya yang tepat
Menyusun profil
kapasitas dalam
pelaksanaan obligasi
daerah, mulai dari
perencanaan,
pelaksanaan dan
pengelolaan, termasuk
identifikasi terhadap
resiko dan
manajemennya
Mengidentifikasi proyek
infrastruktur yang dapat
ditawarkan dalam bentuk
obligasi daerah dan
kemungkinan pemaketan
investasinya yang tepat
Meningkatkan kelayakan
kredit Pemerintah Daerah
Menyusun profil
kapasitas dalam
pelaksanaan KPS, mulai
dari perencanaan,
pelaksanaan dan
pengelolaan, termasuk
identifikasi terhadap
resiko dan
manajemennya
Mengidentifikasi proyek
infrastruktur yang cost
recovery, bankable dan
Jangka Waktu
dana pinjaman
lebih udah
dimonitoring
dalam
penggunaanny
a
Dimulai dari
jangka
menengah (
2015 - 2018)
Jangka
menengah
(2018-2022)
KPS sudah
sering
dilakukan oleh
pemerintah
daerah, namun
dari banyak
kasus yang
ada, hanya
beberapa kota
besar atau
metropolitan
yang telah
ASPEK DAN
KEBIJAKAN
Instrumen
pembiayaan
pembangunan
lainnya
3.
Pemerintah
model, land value
capture, pendirian
SPV, dan sebagainya
STRATEGI
Pemerintah Daerah
marketableuntuk
dikerjasamakan dengan
pihak swasta melalui
skema KPS
Jangka Waktu
melakukannya,
namun belum
banyak kota
sedang atau
tipologi kota
lain yang
melakukannya
karena alasan
skala ekonomi,
sebagai
alternatif,
beberapa kota
kecil atau
sedang dapat
join dan
bekerjasama
dengan swasta
untuk suatu
sektor tertentu.
Dimulai
dari
jangka pendek
(2015 2018)
Dalam
beberapa
contoh
instrumen
pembiayaan
lainnya,
Municipal
development
funds, belum
dapat
dilaksanakan
jangka pendek
karena belum
ada kebijakan
yang mengatur
tentang ini.
Dimulai
dari
jangka
menengah
(2018 2022)
BAB 6
No.
Besaran Pembiayaan
(Bappenas, Kemenkeu, KemenPU,dan Kemendagri dengan melibatkan Universitas, Pusat
Penelitian, Kadin, Sektor Swasta Lainnya dan Lembaga Donor)
281
No.
4.
ASPEK DAN
KEBIJAKAN
Skala
Keekonomian
Pemerintah
Mendorong Kerjasama
Antar Daerah (KAD)
bagi Kota Sedang dan
Kecil untuk mencapai
skala keekonomian
mengakses
pembiayaan terutama
dari sektor swasta
Menyusun kajian dan
kebijakan dan
mengeluarkan
peraturan perundangan
untuk mengembangkan
instrumen investasi
seperti pooled fund
atau Municipality
Development Funds
(MDF) bagi daerahdaerah yang telah
bekerjasama
Memberikan credit
enhancement bagi
pemanfaatan MDF.
STRATEGI
Pemerintah Daerah
Melakukan kerjasama
dengan kota/daerah yang
berdekatan untuk
menyusun prioritas
infrastruktur yang dapat
dibangun dan dikelola
bersama serta menarik
untuk ditawarkan kepada
sektor swasta, melalui
pinjaman daerah, obligasi
daerah ataupun KPS
Jangka Waktu
Dimulai
dari
jangka
pendek
(2015 2018)
BAB 6
Kelayakan Kredit
(Bappenas, Kemenkeu dan Kemendagri dengan melibatkan Universitas, Pusat Penelitian,
Kadin, Sektor Swasta Lainnya dan Lembaga Donor)
Mengembangkan sistem
Penilaian
Menyusun profil dan
Penilaian
meningkatkan kelayakan
kelayakan
Kelayakan Kredit penilaian kelayakan
kredit bagi seluruh
kredit Kota, yang terdiri
kredit harus
daerah, khususnya bagi
dari identifikasi area
dilaksanakan
kota-kota otonom
untuk perbaikan, rencana
secepatnya
kerja, peningkatan
karena kajian
kapasitas, implementasi,
tentang
monitoring dan evaluasi
penilaian
kelayakan
kredit ini belum
ada (selain dari
Kemetrian
Keuangan).
Disisi lain,
penilaian
kelayakan
kredit ini
merupakan
bagian yang
5.
ASPEK DAN
KEBIJAKAN
Pemerintah
STRATEGI
Pemerintah Daerah
Jangka Waktu
penting dari
proses
pinjaman
daerah.
Dimulai
dari
jangka pendek
(2015 2018)
Peningkatan Kapasitas
(Bappenas, Kemenkeu dan Kemendagri dengan melibatkan Universitas, Pusat Penelitian,
Kadin, Sektor Swasta Lainnya dan Lembaga Donor)
Meningkatkan kapasitas
Perencanaan
Mengidentifikasi sektor Perencanaan
Pemerintah Kota dalam
sektor dan infrastruktur
dalam
menyusun prioritas
prioritas dan strategis
identifikasi
infrastruktur yang
berdasarkan dokumen
sektor dan
strategis
strategi pembangunan
infrastruktur
daerah (KSPPD) dan
prioritas daftar
perencanaan
infrastruktur
pembangunan daerah
harus
(RPJMD)
dilakukan
secepatnya
Menyusun daftar
agar
infrastruktur yang
pemerintah
bankable dan dapat
daerah dapat
ditawarkan (marketable)
menentukan
dalam bentuk pinjaman
prioritas
daerah, obligasi daerah
pendanaan
ataupun KPS
dan program
untuk
pengembanga
n wilayahnya.
Dimulai
dari
jangka pendek
(2015 2018)
Meningkatkan kapasitas
dari
Pelaksanaan
Mempersiapkankelompok Dimulai
Kota dalam
jangka
pendek
kerja atau tim khusus
melaksanakan
(2015 2018)
lintas SKPD yang
pembangunan
bertanggungjawab
infrastruktur
merencanakan dan
mencari sumber dan
jenis pembiayaan
pembangunan
dari
Pengelolaan
Meningkatkan
Mempersiapkankelompok Dimulai
jangka
pendek
kapasitas
Pemerintah
kerja
atau
tim
khusus
investasi
dan
(2015 2018)
Kota dalam mengelola
lintas SKPD yang
keuangan
investasi dan
merencanakan,
keuangan
mengelola, memonitor
BAB 6
No.
283
No.
5.
ASPEK DAN
KEBIJAKAN
Pemerintah
Meningkatkan
kapasitas Pemerintah
Kota dalam
peningkatan kelayakan
kredit
Meningkatkan
kapasitas Pemerintah
Daerah dalam
menggali, memperluas
dan mengoptimalkan
sumber-sumber
Pendapatan Asli
Daerah (PAD)
STRATEGI
Pemerintah Daerah
dan mengevaluasi
berbagai pembiayaan
pembangunan perkotaan
yang bersumber dari non
pemerintah
Mengembangkan skema
pembebanan biaya
pemakaian fasilitas
infrastruktur (user
charges atau tarif) yang
lebih realistis dan inovatif
kepada masyarakat
Menggali, memperluas
dan mengoptimalkan
sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dengan
mempertimbangkan ilim
investasi dan daya saing
daerah
Jangka Waktu
BAB 6
BAB 6
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional
285
BAB 7
Kebijakan
dandan
Strategi
Strategi
Pembangunan
Pembangunan
Perkotaan
Perkotaan
Nasional
Nasional
286
286 2Kebijakan
BAB 7
KERANGKA REGULASI
PERKOTAAN
Kebijakan
dan
Strategi
Pembangunan
Perkotaan
Nasional
Kebijakan
dan
Strategi
Pembangunan
Perkotaan
Nasional
287
287
BAB 7
7.1
BAB 7
1.
289
BAB 7
BAB 7
291
7.2
tentang
Sistem
Perkotaan
BAB 7
tentang
Standar
Pelayanan
BAB 7
293
BAB 7
7.3
ii.
iii.
iv.
BAB 7
i.
295
7.4
BAB 7
Untuk menghadapi bencana alam, upaya saat ini masih berkutat pada
penanganan bencana (mitigasi bencana) setelah bencana, belum terkait
dengan pencegahan untuk mengurangi kerugian dan jumlah korban yang
timbul karena bencana alam. Dengan adanya bencana alam, maka
pembangunan fisik akan mengalami penundaan, beberapa aset akan
hilang atau bahkan dapat memumculkan kegiatan yang baru.
BAB 7
297
BAB 7
BAB 7
299
BAB 7
BAB 7
301
7.5
Jenis
Peraturan
Undang
1 Undang
Perkotaan
Peraturan
Pemerintah
Standar
Pelayanan
Perkotaan
(SPP)
2
BAB 7
Peraturan
Pemerintah
Sistem
Perkotaan
Nasional
(SPN)
Peraturan
Presiden
4 KSPPN
Peraturan
Presiden
5 Pembiayaan
Infrastruktur
Permen
Mekanisme
Pengembanga
6 n Kota Hijau,
Kota Layak
Huni dan Kota
Cerdas
Bentuk
Peraturan
Undang Undang
Peraturan
Pemerinta
h (PP)
Peraturan
Pemerinta
h (PP)
Peraturan
Presiden
(Perpres)
Peraturan
Presiden
(Perpres)
Peraturan
Menteri
(Permen)
Kegiatan
2
0
1
5
v
2
0
1
6
2
0
1
8
2
0
1
9
Instansi
Penanggung
Jawab
Kementerian
Dalam
Negeri
v
v
v
v
Kementerian
Dalam
Negeri
v
v
v
Penyusunan rancangan
peraturan
Kementerian
Pekerjaan
Umum
2
0
1
7
v
v
Bappenas
v
v
v
v
Kementerian
Keuangan
v
v
v
v
Bappenas
Tahun
N
o
Jenis
Peraturan
Bentuk
Peraturan
Permen
Ketahanan
Kota Terhadap
7 bencana alam
dan
perubahan
iklim
Peraturan
Menteri
(Permen)
Permen
8 kerjasama
perkotaan
Peraturan
Menteri
(Permen)
Permen
Mekanisme
insentif dan
9 disentif
pemenuhan
penyelenggara
an perkotaan
Peraturan
Menteri
(Permen)
Kegiatan
2
0
1
5
v
2
0
1
6
2
0
1
7
2
0
1
8
2
0
1
9
Instansi
Penanggung
Jawab
v
Bappenas
Kementerian
Dalam
Negeri
v
v
Kementerian
Dalam
Negeri
BAB 7
303
BAB 8
Kebijakan
dandan
Strategi
Strategi
Pembangunan
Pembangunan
Perkotaan
Perkotaan
Nasional
Nasional
304
304 3Kebijakan
http://jelajahsejarah.com/wp-content/uploads/2013/07/jelajahsejarah-Sejarah-Museum-Fatahillah.jpg
Kebijakan
dan
Strategi
Pembangunan
Perkotaan
Nasional
Kebijakan
dan
Strategi
Pembangunan
Perkotaan
Nasional
BAB 8
MEKANISME
PELAKSANAAN KSPPN
305
305
8.1
Penjabaran KSPPN
BAB 8
Pelaksanaan KSPPN
BAB 8
8.2
Penyusunan kebijakan
Perencanaan dan penganggaran
Pelaksanaan
Pengendalian, monitoring dan evaluasi
307
5. Pembinaan
8.3
Mekanisme Perwujudan
Nasional (SPN)
Sistem
Perkotaan
BAB 8
BENTUK KEGIATAN
Penetapan dan penguatan
tipologi, peran dan fungsi kota dan
kawasan perkotaan dalam Sistem
perkotaan Nasional (SPN) beserta
kriteria dan indikatornya
Penyusunan KSPPD di Tingkat
Provinsi dan tingkat
kabupaten/kota dan penetapan
melalui Peraturan Gubernur atau
Peraturan Bupati/Walikota
Sinkronisasi KSPPN dan RTRWN
dalam pembagian tipologi, peran
dan fungsi kota
Penetapan target dan roadmap
capaian (jumlah) kota-kota per 5
(lima) tahun di setiap tipologi kota
Pendampingan dan bimbingan
teknis penyusunan rencana
pencapaian Sistem Perkotaan
Nasional (SPN)
Monitoring dan evaluasi
pencapaian peran dan fungsi kota
sesuai dengan ketetapan Sistem
Perkotaan Nasional (SPN)
TAHAPAN
PELAKSANA
JANGKA
WAKTU
Penyusunan
Kebijakan
Menteri
PPN
TKPPN
2015-2017
Penyusunan
Kebijakan
Menteri
PPN
Mendagri
TKPPD
2017-2019
Perencanaan
dan
Penganggaran
Perencanaan
dan
Penganggaran
Menteri
PPN
TKPPN
Menteri
PPN
TKPPN
Pembinaan
Menteri
PPN
TKPPN
2015-2020
Pengendalian,
Monitoring
dan Eavaluasi
Menteri
PPN
TKPPN
Gubernur
TKPPD
2015-2045
2015-2020
2015-2020
BAB 8
NO
309
NO
BENTUK KEGIATAN
Peningkatan kapasitas
kelembagaan dan koordinasi Tim
Koordinasi Pembangunan
Perkotaan Nasional (TKKPN) dan
Daerah (TKPPD) sebagai
pengawas dan penjamin
terwujudnya Sistem Perkotaan
Nasional sesuai dengan arahan
KSPPN dan RTRWN
8.4
TAHAPAN
Pembinaan
Pembinaan
PELAKSANA
Provinsi
Bupati/Wali
kota
TKPPD
Kabupaten/
Kota
Menteri
Dalam
Negeri
Menteri
PPN
Gubernur
Menteri
PPN
Menteri
Dalam
Negeri
JANGKA
WAKTU
2017-2019
2015-2019
BAB 8
NO
BENTUK KEGIATAN
Penyusunan RPP tentang
SPP, sosialisasi dan
diseminasi draft RPP
tentang SPP di Tingkat
Pusat dan Daerah
Penyusunan rencana
program dan kegiatan serta
penganggaran di dokumen
rencana jangka menengah
(RPJMN & RPJMD) dan
jangka pendek (RKP &
RKPD)
Penyusunanmekanisme
pengganggaran lain diluar
APBN dan APBD dalam
membiayai prasarana dan
sarana perkotaan
Monitoring dan evaluasi
pencapaian Standar
Pelayanan Perkotaan (SPP)
dan pemenuhan indikatorindikator Kota Berkelanjutan
di daerah
TAHAPAN
PELAKSANA
JANGKA
WAKTU
Penyusunan
Kebijakan
Menteri Dalam
Negeri
Bappenas
2015-2016
Perencanaan
dan
Penganggaran
TKPPN
TKPPD Provinsi
TKPPD
Kab/Kota
2015-2016
Perencanaan
dan
Penganggaran
2015-2017
Pengendalian,
monitoring dan
eavaluasi
Gubernur
Bupati/Walikota
TKPPD Provinsi
TKPPD
Kab/Kota
Menteri Dalam
Negeri
Menteri PU
Menteri
Perumahan
Rakyat
BAB 8
2015-2025
311
NO
BENTUK KEGIATAN
Pendampingan dan
bimbingan teknis
penyusunan rencana
pencapaian Standar
Pelayanan Perkotaan (SPP)
dan indikator-indikator Kota
Berkelanjutan di daerah dan
mekanisme pembiayaannya
Peningkatan kapasitas
kelembagaan dan
koordinasi Tim Koordinasi
Pembangunan Perkotaan
Nasional (TKKPN) dan
Daerah (TKPPD) sebagai
pengendali pemenuhan
SPP
8.5
TAHAPAN
Pembinaan
Pembinaan
PELAKSANA
Menteri
Perhubungan
TKPPD Provinsi
TKPPD
Kab/Kota
Menteri Dalam
Negeri
Menteri PU
Menteri
Perumahan
Rakyat
Menteri
Perhubungan
TKPPD Provinsi
TKPPD
Kab/Kota
Menteri PPN
Menteri Dalam
Negeri
TKPPD Provinsi
TKPPD
Kab/Kota
JANGKA
WAKTU
2015-2019
2015-2019
BAB 8
TAHAPAN
PELAKSANA
JANGKA
WAKTU
Penyusunan
kebijakan
Menteri Dalam
Negeri
Bappenas
2015 -2016
Perencanaan
dan
penganggaran
TKPPD Provinsi
TKPPD Kab/Kota
2015 -2016
Perencanaan
dan
penganggaran
TKPPN
TKPPD Provinsi
TKPPD Kab/Kota
2015 -2017
Perencanaan
dan
penganggaran
Menteri
Keuangan
Menteri PPN
TKPPN
Gubernur
Bupati/Walikota
2015 - 2016
Pengendalian
TKPPN
TKPPD Provinsi
TKPPD Kab/Kota
2015-2025
Pembinaan
Menteri Dalam
Negeri
2015-2017
BAB 8
NO
313
NO
BENTUK KEGIATAN
penyamarataan konsep dan
kriteria perwujudan Kota Layak
Huni melalui pelatihan dan
sosialisasi
8.6
TAHAPAN
PELAKSANA
JANGKA
WAKTU
Menteri PPN
Gubernur
Bupati/Walikota
BAB 8
BENTUK KEGIATAN
Penetapan kriteria,
penyusunan target dan
radmap capaian
perwujudan Kota Hijau
Penyusunan baseline
study terhadap seluruh
kota otonom dan kawasan
perkotaan untuk
mengetahui posisi awal
kota-kota tersebut untuk
merujudkan Kota Hijau
Penyusunan Indeks Kota
Berkelanjutan (IKB) untuk
mengetahui kebutuhan
daerah untuk mewujudkan
tipe kota sesuai potensinya
PELAKSANA
Penyusunan
kebijakan
Menteri Dalam
Negeri
Bappenas
2014 2016
Perencanaan
dan
penganggaran
TKPPD Provinsi
TKPPD Kab/Kota
2014 2015
Perencanaan
dan
penganggaran
TKPPN
TKPPD Provinsi
TKPPD Kab/Kota
2014 2015
Perencanaan
dan
penganggaran
Pengendalian
Peningkatan kapasitas
aparatur pemerintah
daerah dalam
penyamarataan konsep
dan kriteria perwujudan
Kota Hijau melalui
pelatihan dan sosialisasi
8.7
JANGKA
WAKTU
TAHAPAN
Pembinaan
Mekanisme Perwujudan
Berdaya Saing
Menteri
Keuangan
Menteri PPN
TKPPN
Gubernur
Bupati/Walikota
TKPPN
TKPPD Provinsi
TKPPD Kab/Kota
Menteri Dalam
Negeri
Menteri PPN
Gubernur
Bupati/Walikota
Kota
2014 2025
2015 2035
2015 2027
Cerdas
dan
BAB 8
NO
315
BAB 8
2
BENTUK KEGIATAN
TAHAPAN
Penetapan kriteria,
penyusunan target dan
radmap capaian perwujudan
Kota Cerdas dan Berdaya
Saing
Penyusunan
kebijakan
Perencanaan
dan
penganggaran
PELAKSANA
JANGKA
WAKTU
Menteri
Dalam
Negeri
Bappenas
2034-2035
TKPPD
Provinsi
TKPPD
Kab/Kota
2035-2037
NO
BENTUK KEGIATAN
TAHAPAN
PELAKSANA
JANGKA
WAKTU
Perencanaan
dan
penganggaran
Perencanaan
dan
penganggaran
TKPPN
TKPPD
Provinsi
TKPPD
Kab/Kota
2015-2026
Menteri
Keuangan
Menteri
PPN
TKPPN
Gubernur
Bupati/Wal
ikota
2035-2036
KPPN
5
KPPD
Provinsi
Pengendalian
2035-2045
KPPD
Kab/Kota
8.8
Pembinaan
Mekanisme Peningkatan
Kelembagaan Pemerintah
Menteri
Dalam
Negeri
Menteri
PPN
Gubernur
Bupati/Wal
ikota
Tata
2036-2037
Kelola
Dan
BAB 8
Peningkatan kapasitas
aparatur pemerintah daerah
dalam penyamarataan
konsep dan kriteria
perwujudan Kota Cerdas
dan Berdaya Saing melalui
pelatihan dan sosialisasi
317
BAB 8
NO
BENTUK KEGIATAN
Identifikasi peraturan dan
perundangan yang terkait
pembangunan perkotaan
TAHAPAN
Penyusunan
kebijakan
Pembentukan TKPPD
Perencanaan
dan
penganggaran
Pembinaan
JANGKA
WAKTU
Menteri Dalam
Negeri
Gubernur
Bupati/Walikota
2015-2016
Gubernur
TKPPD Provinsi
Bupati/Walikota
TKPPD
Kab/Kota
2015-2018
Menteri PPN
TKPPN
TKPPD Provinsi
TKPPD
Kab/Kota
2015-2019
Penyusunan
Kebijakan
PELAKSANA
BAB 8
Tabel 8. 6
319
NO
BENTUK KEGIATAN
Pelaksanaan konsultasi
public di tingkat pusat dan
daerah terkait RUU tentang
perkotaan, RPP tentang
SPP dan Raperpres tentang
KSPPN
Pendampingan dan
bimbingan teknis terhadap
pengembangan profesi yang
dibutuhkan untuk
pengelolaan pembangungan
perkotaan, seperti urban
planner, urban economist,
property valuer, quantity
surveyor, transportation
planner, municipal engineer,
polisi pamong praja, dsb
Peningkatan kapasitas
aparatur pemerintah daerah
TAHAPAN
Pembinaan
PELAKSANA
Menteri PPN
TKPPN
JANGKA
WAKTU
2015-2017
Penyusunan
Kebijakan
Pengendalian,
monitoring dan
evaluasi
enteri PPN
ubernur
2015-2025
upati/Walikota
ihak akademisi,
asosiasi profesi
Pembinaan
TKPPN
TKPPD Provinsi
TKPPD
Kab/Kota
BAB 8
2015-2025
BAB 8
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional
321
KSSPN
dan Strategi Pembangunan Perkotaan
xxvKebijakan
Nasional
1.
Buku/Laporan
ADB. 2011. Asia 2050: Realizing the Asian Century.
Bappenas. 2010. Profil Kota Indonesia 2010.
Bappenas. 2011. Profil Kota Indonesia 2011.
Bappenas. 2012. Profil Kota Indonesia 2012.
Bappenas. 2009 Profil Kesenjangan Antardaerah 2009
Bappenas. 2011. Analisis Kesenjangan Antarwilayah 2011
Bappenas. 2010. Public-Private Partnerships: Infrastructure Project In
Indonesia.
Bappenas. 2011. Indeks Pembangunan Kota.
Bappenas. 2012. Rencana Aksi Nasional Program Penanggulangan
Kemiskinan Tahun 2012-2014.
Bappenas, BNPB. 2010. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko
Bencana 2010-2012.
Bappenas, BPS, UNPF. 2008. Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025.
BNPB. 2011. Indeks Rawan Bencana Indonesia.
BPS. 2005-2009. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di
Indonesia 2005-2009
BPS. Kabupaten Kota dalam Angka 2006-2011.
BPS. Provinsi dalam Angka 2006-2011.
BPS. 2010. Indeks Pembangunan Manusia 2008-2009.
BPS. 2007. Indeks Pembangunan Manusia 2005-2006.
BPS. 2008. Indeks Pembangunan Manusia 2005-2006.
BPS. 2009. Indeks Pembangunan Manusia 2007-2008.
BPS. Data dan Informasi Kemiskinan 2006-2011
BPS. 2003. Potensi Desa 2003
BPS. 2006. Potensi Desa 2006
BPS. 2008. Potensi Desa 2008
BPS. 2011. Potensi Desa 2009
BPS. 2005. Sakernas 2005
BPS. 2006. Sakernas 2006
BPS. 2007. Sakernas 2007
BPS. 2008. Sakernas 2008
BPS. 2009. Sakernas 2009
BPS. 2010. Sakernas 2010
BPS. 2007. Susenas 2007
BPS. 2008. Susenas 2008
BPS. 2009. Susenas 2009
BPS. 2010. Susenas 2010
BPS. 2011. Susenas 2011
KSPPN
Daftar Pustaka
xxvi
KSSPN
KSPPN
xxvii
KSSPN
KSPPN
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan
Nasional
xxx