Anda di halaman 1dari 8

Konsep Ketuhanan dalam Islam

Selanjutnya

Keimanan dan Ketakwaan


A. Pengantar
Topik ini berisi pembahasan tentang masalah keimanan dan pengkajian kembali dalam masalah
tersebut. Sebagian aspek keimanan mendapat perhatian dan pengkajian yang begitu intensif,
sehingga mudah didapat di tengah masyarakat. Aspek yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek
kejiwaan dan nilai. Aspek ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya.
Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal
sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan harus diutamakan
dalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalan lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai
kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai
tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan pengaruhnya telah
sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai membina jiwa generasi
mendatang, dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam nalar pikir dan akal budi mereka,
maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin mereka merasa
ada yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain.
Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi
oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal dan
hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama
manusia, sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran
akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun
kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis yang menyerupai
bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang menurut
ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan muamalat dan dalam
memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi. Selain itu Islam adalah agama ibadah.
Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta
dibersihkan dari dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang
tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan pengalaman ilmiah
dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat pentingnya mata bagi orang yang sedang
berjalan.

B. Siapakah Tuhan itu?


Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan Tuhan, dalam al-Quran dipakai untuk menyatakan
berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam surat al-Furqan ayat 43.
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ?

Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Firaun untuk dirinya sendiri:
Dan Firaun berkata: Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain
aku.
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai
benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Firaun atau penguasa yang
dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad:
ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama: aalihatun).Bertuhan nol atau atheisme
tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika
al-Quran adalah sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa,
sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja,
dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan
termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di
hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam
kesulitan, berdoa, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari
padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M.
Imaduddin, 1989: 56).
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk apa saja,
yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak
ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Quran setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang
dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun
Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat Laa illaha illaa Allah. Susunan kalimat tersebut dimulai
dengan peniadaan, yaitu tidak ada Tuhan, kemudian baru diikuti dengan suatu penegasan
melainkan Allah. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan dari segala macam
Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.
C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan
atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu
teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan
meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian
dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran
tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
a.

Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang

berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda.
Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang
berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda,
seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak
dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang
misterius. Meskipun manatidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.
b. Animisme
Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh
dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif,
roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh
dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta
mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut
kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus
menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha
untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu
banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa.
Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada Dewa yang
bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin
dan lain sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu
dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang
sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu
bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui
Tuhan (Ilah) bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme
(Tuhan tingkat Nasional).
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme
hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme
ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan
EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam
masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang
Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud
yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme
menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang
evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan
bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu.
Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang

dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asalusul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran
wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).

2. Pemikiran Umat Islam


Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok berpegang
teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kekuatan mutlah
yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu
faham yang mengatakan bahwa manusialah yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah
ketuhanan di kalangan umat Islam pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat
Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh
Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya
faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam setelah Rasulullah
Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal
diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan
Ali.

Embrio ketegangan politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok
orang Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali),
dan kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap
khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan
melakukan gerakannya.
Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik
menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada
masa khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga
Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai
khalifah terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu
Ali Ibn Abi Thalib. Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa
darah harus dibalas dengan darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah
kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak
terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua kubu yang berselisih
mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok Muawiyah, perjanjian
damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan pertempuran. Amru bin
Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang
paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali
(sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa
perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua
kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang
menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok
pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan
KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik,
yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syiah, dan 3) Kelompok

Khawarij.
Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segansegan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan
kelompok lainnya. Menurut Khawarij semua pihak yang terlibat perjanjian damai
baik pihak Muawiyah maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan
kafir karena menentang pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena
tidak bersikap tegas terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum
berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungknya,
berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44



Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (AlQuran), maka mereka dalah orang-orang kafir.

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain
membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar
akademik (pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya
yaitu Hasan Al-Bashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya
perbedaan pendapat tentang orang yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat
mengatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain
mengatakan kafir. Para pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali
dan pihak Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang
mengatakan mereka itu mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati,
sedangkan orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah.
Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati
melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang
melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin
berarti mereka kafir.
Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan
tentang dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu
Atha mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir
melainkan diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut
memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa pelaku dosa
besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik.
Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata
Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa
orang yang sependapat dengannya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal
Al-Bashry. Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry

mengatakan, Itazala Wasil anna. (Wasil telah memisahkan diri dari kelompok
kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut kelompok MUKTAZILAH.
(Lebih jelasnya lihat Harun Nasution dalam Teologi Islam).
Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep
yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik
pada waktu itu, yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus).
Doktrin Muktazilah terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:
1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya
2. Janji dan ancaman Tuhan (al-waad dan al-waid)
3. Keadilan Tuhan (al-adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Maruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut menurut Muktazilah Tuhan terikat dengan kewajibankewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang
yang baik ke surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan
kewajiban-kewajiban lain. Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal
manusia dalam posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam
kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan


mempunyai sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki
kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia
mungkin saja menempatkan orang yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya
mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki.
Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat
Islam.

3. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang
menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia.
Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam AlQuran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif

(hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon,
binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:



Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap Allah. Mereka
mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid
(monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapanungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam doa maupun acara-acara ritual. Abu
Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar
15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah.
(Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di
kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya
Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari
kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan
Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam
mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan
masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep
ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.
Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam
Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;





Jika kepada mereka ditanyakan, Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan? Mereka pasti akan menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti
orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan
bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas
dasar itu inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan

ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan
sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.
Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia
dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah

bertuhan

Allah

sebagaimana

dinyatakan

pernyataan lain sebagai jawaban atas


perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang
harus terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping
Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah
hasanah.

Kepustakaan
1. Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari Insan, 1989), h.
16-21, 54-56.
2. Al-Ghazali, Muhammad Selalu Melibatkan Allah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001),
h. 28-39.
3.

Jusuf, Zaghlul, Dr, SH., Studi Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1993), h. 26-37.

4.

Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta: al-Hidayah, 1981), h. 9-11.

5. Khan, Waheduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983),
h. 39-101.
6.

7.

Suryana, Toto, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1996), h. 67-77.
Daradjat, Zakiah, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 55-152.

Anda mungkin juga menyukai