Disusun Oleh:
Ayu Herwan Mardatillah
0910015020
Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini, Sp.A
BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia merupakan penyakit
yang sering terjadi dan setiap tahunnya
menyerang sekitar 1% dari seluruh
penduduk Amerika. Meskipun telah ada
kemajuan
dalam
bidang
antibiotik,
Munculnya
organisme
resisten
terhadap
ditemukannya
yang
antibiotik,
organisme-oeganisme
baru
(seperti
bertambahnya
jumlah
Legionella),
pejamu
yang
seperti
memperluas
AIDS
spektrum
kemungkinan
dan
semakin
derajat
penyebab-penyebab
masih
dengan
baik.
belum
berkembang
Pneumonia
seringkali
kronik
tertentu.
Pasien
paru.
pneumonia
adalah
radang
Kebanyakan
kasus
disebabkan
oleh
noninfeksi
kadang
perlu
Pneumonia
anatomi
yang
dipertimbangkan.
digolongkan
seperti
kadang-
atas
pneumonia
dasar
lobaris,
pneumonia
(bronkiolitis).
interstitialis
Tetapi,
klasifikasi
atau
yang
terbukti
secara
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
-
Nama
: An. D
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 8 bulan
Alamat
: Samarinda
Anak ke
:1
MRS
: 20 Oktober 2014
Nama Ayah
: Tn. A
Umur
: 28 tahun
Alamat
: Samarinda
Pekerjaan
: Swasta
Pendidikan Terakhir
: SMA
Ayah perkawinan ke
:1
Riwayat kesehatan
Nama Ibu
: Ny. D
Umur
: 20 tahun
Alamat
: Samarinda
Pekerjaan
: IRT
Pendidikan Terakhir
: SMA
Ibu perkawinan ke
:1
Riwayat kesehatan
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa pada tanggal 23 Oktober 2014 dengan
ibu kandung pasien.
Keluhan Utama :
Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang dialami 4 hari SMRS,
menurut pengakuan ibu pasien sesak awalnya tidak terlalu parah namun makin
hari makin bertambah berat setiap kali anaknya batuk. Batuk sendiri sudah
dialami sejak lama yakni hampir 1 bulan, batuk disertai dahak berwarna
kekuningan dengan konsistensi kental dan sulit untuk dikeluarkan. Selain itu
pasien juga mengalami demam yang dialami 3 hari sebelumnya, demam hilang
timbul dan tidak terlalu tinggi.
Keluhan lain yaitu pasien mengalami sariawan di dalam mulut dan bibir
sejak minggu sebelumnya, sariawan berwarna keputihan dan hampir memenuhi
permukaan lidah. Awalnya sariawan ini sudah diobati dengan obat tetes dari
dokter dan sempat menghilang, namun beberapa lama timbul lagi dan tidak
mempan dengan obat tetes yang sama.
Keluhan lain seperti muntah, diare, kejang tidak ada. BAK dalam batas
normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat MRS
sebelumnya tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit darah atau kanker sel
darah.
Riwayat Saudara-Saudaranya :
Kondisi saat
Sehat/tida
persalinan
meninggal
: 2200 gram
: 49 cm
: 5,6 kg
: 62 cm
Gigi keluar
: 7 bulan
Tersenyum
: 2 bulan
Miring
: 4 bulan
Tengkurap
: 6 bulan
Duduk
: Belum
Merangkak
: 7 bulan
meninggal
Berdiri
: Belum
Berjalan
: Belum
: Belum
Masuk SD
: Belum
Sekarang kelas
: Belum
Susu sapi
Bubur susu
Tim saring
:-
Buah
:-
:-
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di
: Rumah bidan
Penyakit Kehamilan
:-
Riwayat Kelahiran :
Lahir di
: Rumah bidan
: Bidan
: 9 bulan
Jenis partus
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di
: Puskesmas
Keadaan anak
: Sehat
Keluarga berencana
IMUNISASI
Imunisasi
Hepatitis B
PEMERIKSAAN FISIK
Kesan umum
: sakit sedang
Kesadaran
: E4V5M6
Tanda Vital
Tekanan darah
: 90/60 mmHg
Frekuensi nadi
Frekuensi napas
Temperatur
: 60 x/menit
: 38,6o C per axila
Antropometri
Berat badan
: 5,6 kg
Panjang Badan
: 62 cm
Status Gizi
Kepala
Rambut
: Hitam
Mata
Mulut
Leher
Pembesaran KGB submandibular (-/-), retraksi suprasternal(+)
Thoraks
8
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Abdomen
Inspeksi
: Tampak datar
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
Ekstremitas
: Akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2 detik,
sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-), pembesaran
KGB inguinal (-/-)
Status Neurologicus
Kepala : Bentuk normal, simetris, ubun-ubun cekung (-), nyeri tekan (-)
Pergerakan
Kekuatan
Kanan
Kiri
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
Refleks fisiologis
Biseps
Triceps
Refleks patologis
Tromner
Hoffman
Pergerakan
Kekuatan
(-)
(-)
(-)
(-)
Kanan
Kiri
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
Refleks fisiologis
Patella
Achilles
Refleks patologis
Babinski
Chaddock
Pemeriksaan Penunjang
-
Laboratorium
1. Laboratorium (20-10 -2014)
Nilai normal
dilakukan
WBC
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
LED
11,64 K/ul
4,06 M/ul
9,5 g/dl
29,7 %
73,2 fl
23,4
32,0 g/dl
182 K/ul
- mm/jam
5.0-10.00 K/ul
4.00-5.50 M/ul
12.0-16.0 g/dl
36.0-48.0%
82.0-92.0 fl
27.0-31.0 pg
32.0-36.0 g/dl
150-400 K/ul
P : < 10 mm/1jam
W : < 10 mm/1jam
10
i
l
T
e
s
t
S
e
g
i
f
3
,
0
D
n
H
I
V
11
i
f
V
I
K
I
A
Catatan:
Hasil tes
(-)
pemaparan
terhadap
tidak
termassuk
HIV
yang
Satua
Batas
Norm
248
2964
cells/
410-
micro
1590
liter
Cells/
690-
micro
2540
liter
Foto Thorax
12
Diagnosis Kerja
Diagnosis Lain
Fluconazole 3x11 mg po
Nebulizer 4x/hari
13
T
a
n
g
g
a
l
H
a
r
i
k
e
1
2
1
1
0
2
0
1
4
M
e
l
a
t
i
H
a
r
i
k
e
2
2
2
1
0
2
0
Subjektif &
Objektif
Assesment &
Planning
muntah (-)
O:
CM;
N:112x/i;
RR:52x/i;
T : 36,6oC,
Ane (-/-), Ikt
(-/-),
Rho
(-/-),
Whz
(-/-), retraksi
suprastrernal
(+), BU(+)
N, NTE (+)
14
1
4
M
e
l
a
t
i
H
a
r
i
k
e
3
2
3
1
0
2
0
1
4
M
e
l
a
t
i
H
a
r
i
k
e
4
2
4
1
0
-
demam(-),
muntah (-)
O:
CM;
N:102x/i;
RR:40x/i;
T : 36,8oC,
15
2
0
1
4
M
e
l
a
t
i
NTE (+)
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mekanisme Pertahanan Paru
Saluran nafas bagian bawah yang normal adalah steril, walaupun
bersebelahan dengan sejumlah besar mikroorganisme yang menempati orofaring
dan terpajan oleh mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara yang dihirup.
Sterilitas saluran nafas bagian bawah adalah hasil mekanisme penyaringan dan
pembersihan yang efektif.
1. Pembersihan udara
Temperatur dan kelembaban udara bervariasi, dan alveolus harus
terlindung dari udara dingin dan kering. Mukosa hidung, turbinasi
hidung,
orofaring dan nasofaring, mempunyai suplai darah yang besar dan memiliki area
permukaan yang luas. Udara yang terhirup melewati area-area tersebut dan
diteruskan ke cabang trakeobronkial, dipanaskan pada temperatur tubuh dan
dilembabkan.
2. Pembau
Reseptor pembau berada lebih banyak di posterior hidung dibandingkan
dengan di trakea dan alveoli, sehingga orang dapat mencium untuk mendeteksi
gas yang secara potensial berbahaya, atau bahan-bahan berbahaya di udara yang
dihirup. Inspirasi yang cepat membawa udara menempel pada sensor pembau
tanpa membawanya menempel pada sensor pembau tanpa membawanya ke paruparu.
3. Menyaring dan membuang partikel yang terhirup
Udara yang melewati saluran traktus respiratorius awalnya difiltrasi oleh
bulu hidung. Gerakannya menyebabkan partikel besar dapat dikeluarkan.
Sedimentasi partikel berukuran lebih kecil terjsdi akibat gravitasi di jalan nafas
yang lebih kecil. Partikel-partikel tersebut terperangkap dalam mukus yang ada di
17
saluran pernafasan atas : trakea, bronkus dan bronkiolus. Partikel kecil lainnya
disuspensikan sebagai aerosol dan 80%-nya dikeluarkan.
Pembuangan partikel dilalui dengan beberapa mekanisme :
Refleks jalan nafas : refleks batuk, refleks bersin dan refleks glottis
Stimulasi reseptor kimia dan mekanik di hidung, trakea, laring, dan tempat
lain di traktus respiratorius menyebabkan bronkokonstriksi untuk mencegah
penetrasi lebih lanjut dari iritan ke jalan nafas dan juga menghasilkan batuk atau
bersin. Bersin terjadi akibat stimulasi reseptor di hidung atau nasofaring, dan
batuk terjadi sebagai akibat stimulasi reseptor di trakea. Inspirasi yang dalam
demi mencapai kapasitas paru total, diikuti oleh ekspirasi yang melawan glottis
yang tertutup. Tekanan intrapleura dapat meningkat lebih dari 100 mmHg. Selama
fase refleks tersebut glottis tiba-tiba membuka dan tekanan di jalan nafas dan
ekspirasi yang besar, dengan aliran udara yang cepat melewati jalan nafas yang
sempit, sehingga iritan ikut terbawa bersama-sama mukus keluar dari traktus
respiratorius. Saat bersin, ekspirasi melewati mulut. Kedua refleks tersebut juga
membantu mengeluarkan mukus dari jalan nafas.
yang terinhalasi.
Partikel
makrofag alveolar
pertahanan imun
Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan unit-unit yang
dibentuk melalui percabangan progresif jalan nafas. Kurang lebih 80% sel yang
membatasi jalan nafas di bagian tengah merupakan epitel bersilia, bertingkat,
18
kolumner dengan jumlah yang semakin berkurang pada jalan nafas bagian perifer.
Masing-masing sel bersilia memiliki kira-kira 1000 kali per menit, dengan
pergerakan ke depan yang cepat dan kembali dalam gerakan yang lebih lambat.
Gerakan silia juga terkoordinasi antara sel yang bersebelahan sehingga setiap
gelombang disebarkan ke arah orofaring.
Partikel infeksius yang terkumpul pada epitel skuamosa permukaas hidung
sebelah distal biasabya akan dibersihkan pasa saat bersin, sementara partikel yang
terkumpul pada permukaan bersial yang lebih proksimal akan disapukan ke
sebelah posterior ke lapisan mukus nasofaring, saat partikel tersebut ditelan atau
dibatukkan. Penutupan glottis secara refleks dan batuk akan melindungi saluran
nafas bagian bawah. Partikel infeksius yang melewati pertahanan di dalam saluran
nafas dan diendapkan pada permukaan alveolus dibersihkan oleh sel fagosit dan
faktor humoral. Makrofag alveolar merupakan fagosit utama di dalam saluran
nafas bagian bawah. Makrofag alveolar akan menyiapkan dan menyajikan antigen
mikrobial pada limfosit dan mensekrsikan sitokin yang mengubah proses imun
dalam limfosit T dan B.
2.2 Pneumonia
2.2.1 Pengertian Pneumonia
Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah akut tersering
yang menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi serta kerugian
produktivitas kerja. Penyakit ini dapat terjadi secara primer ataupun merupakan
kelanjutan manifestasi infeksi saluran nafas bawah lainnya misalnya sebagai
perluasan bronkiektasis yang terinfeksi. Pneumonia merupakan penyakit
peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan
sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan pertukaran gas setempat.
2.2.2 Klasifikasi Pneumonia
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris
Pneumonia interstitialis
Bronkopneumonia
19
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
Pneumonia akut
Pneumonia persisten
Klasifikasi Pneumonia berdasarkan Lingkungan dan Pejamu
Tipe Klinis
Pneumonia Komunitas
Pneumonia Nosokomial
Pneumonia Rekurens
Pneumonia Aspirasi
Pneumonia pada gangguan imun
Epidemiologi
Sporadis atau endemik; usai muda atau tua
Didahului perawatan di rumah sakit
Terdapat dasar penyakit paru kronik
Alkoholik, usia tua
Pada oasien transplantasi, onkologi, AIDS
2.2.3 Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikaan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Dari hasil
penelitian, 44-85% CAP disebabkan bakteri dan virus dan 25-40% diantaranya
disebabkan lebih dari satu patogen. Patogen penyebab pneumonia pada anak
bervariasi tergantung :
Usia
Status lingkungan
20
Status imunisasi
21
bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran pernafasan
bagian atas, dan jarang yang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan
kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar
25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului oleh infeksi virus.
Invasi bakteri ke parenkim paru dapat menimbulkan konsolidasi eksudatif
jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkopneumoni), lobar atau intersisial.
Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran
pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin dan infiltrasi
neutrifil
yang
dikenal
sebagai
hepatisasi
merah.
Konsolidasi
jaringan
VIR
MIK
KTE
US
OPL
RI
AS
MA
Umu
sem
>3
5-15
ua
ming
tahu
umu
gu
22
Awit
Men
berv
perla
an
dada
arias
han-
laha
Dem
Ting
berv
n
Subf
am
gi
arias
ebris
Taki
(+)
i
(+)
Jara
pnea
Batu
Prod
nonp
ng
nonp
uktif
rodu
rodu
Geja
mild
ktif
cory
ktif
bull
la
cory
za
ous
peny
za
myri
erta
ngiti
nyeri
s
Fari
abdo
ngiti
Pem
men
tand
varia
s
fine
eriks
bel
crac
aan
kons
fisik
olida
kles
si
few
Whe
crac
ezin
kles
(+)
berv
g
Jara
osito
arias
ng
sis
Leuk
23
Virus
Demam (biasanya lebih rendah dari infeksi bakteri), gejala infeksi saluran nafas
atas (faringitis, rhinorrhea dengan sekret serosa), diare.
RSV : wheezing, tanda-tanda emfisema.
Streptococcus pneumoniae
Awitan demam mendadak tinggi, tidak ada gejala prodromal seperti pada infeksi
virus, batuk produktif, otitis media
Chlamydia trachomatis
Mycoplasma pneumoniae
Chlamydia pneumoniae
Haemophilus influenzae
24
Staphylococcus aureus
25
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung
leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.
lnfeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan
limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan
neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri
serta peningkatan LED
Analisa gas darah menunjukan hipoksemia dan hipokkarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.
Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif
sehingga tidak rutin dilakukan.
Kultur darah
Kultur darah merupakan salah satu penunjang diagnosis, namun hanya
menunjukkan hasil positif pada 10-30%. (Garna, 2005)
Mantoux test
Mantoux test dapat dilakukan untuk mengetahui pneumonia yang disebabkan oleh
M.tuberkulosis.
2.2.7 Diagnosis Banding
26
yang
diperoleh
pada
saat
proses
kelahiran
misalnya
rubella,
Atelektasis, dll
2.2.8 Terapi
Indikasi Rawat Inap:
Manifestasi sistemik
Pneumonia berulang
Terapi Antibiotik
Pada prinsipnya terapi utama pneumonia adalah pemberian antibiotik sebagai
terapi kausal terhadap kuman penyebabnya. Pengobatan harus segera diberikan
setelah pneumonia bakterial didiagnosis atau diduga sangat kuat. Dalam
27
Efusi pleura dan empiema. Terjadi terutama pada infeksi bakterial akut berupa
efusi parapneumonik gram negatif, Staphylococcus aureus, S.pneumonia, dan
kuman anaerob.
28
Pneumonia kronik dapat terjadi bila pneumonia berlangsung lebih dari 4-6
minggu akibat anaerob S.aureus dan kuman gram negatif seperti Pseudomonas
aeruginosa.
2.2.10 Pencegahan
Pneumonia Komunitas
Dianjurkan pemberian vaksinasi influenza dan pneumokokus terhadap orang
dengan risiko tinggi, misal pasien dengan gangguan imunologis, penyakit berat
termasuk penyakit paru kronik, hati, ginjal dan jantung.
Pneumonia Nosokomial (PN)
Pencegahan PN berkaitan erat dengan prinsip umum pencegahan infeksi dengan
cara penggunaan peralatan invasif yang tepat. Perlu dilakukan terapi agresif
terhadap penyakit pasien yang akut dan dasar. Pada pasien dengan gagal organ
multipel (multiple organ failure) dan penyakit dasar yang dapat berakibat fatal
perlu diberikan terapi pencegahan.
Terdapat berbagai faktor resiko terjadinya PN antara lain:
1. Faktor resiko di ruangan umum:
Penurunan kesadaran
Posisi pasien
Trauma dada
Musim dingin
Nebulizer langsung
Nasogastric feeding
29
Endotracheal tube
Ventilator mekanik
Usia lanjut
Obesitas
Pelembab udara
Enteral feeding
2.2.11 Prognosis
a. Pneumonia Komunitas
Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak ditemukannya
antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman, usia, penyakit dasar
30
dan kondisi pasien. Adanya leukopenia, ikterus, terkenanya 3 atau lebih lobus
paru dan komplikasi ekstraparu merupakan petanda prognasis yang buruk. Kuman
gram negatif menimbulkan prognosis yang lebih jelek. Prognosis pada anak
kurang baik, karena itu perlu perawatan di rumah sakit kecuali bila penyakitnya
ringan.
b. Pneumonia Nosokomial
Pneumonia nosokomial merupakan penyebab kematian utama yang diakibatkan
oleh infeksi nosokomial.
2.3 HIV/AIDS
2.3.1
Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk
dalam famili lentivirus. Dua jenis HIV yang secara genetiknya berbeda tetapi
sama dari antigennya berhubungan yaitu HIV-1 dan HIV-2 diisolasi dari penderita
AIDS. HIV-1 lebih banyak dijumpai pada penderita AIDS di Amerika Serikat,
Eropa, dan Afrika Tengah, sedangkan HIV-2 lebih banyak dijumpai di Afrika
Barat (Kumar et al., 2007). HIV-1 lebih mudah bertransmisi dibanding HIV-2.
Periode antara infeksi pertama kali dengan timbul gejala penyakit lebih lama dan
penyakitnya lebih ringan pada infeksi HIV-2 (WHO, 2008).
Infeksi HIV berdasarkan gejala klinis terdiri dari 3 fase yaitu serokonversi
akut, infeksi asimptomatik dan AIDS. AIDS merupakan fase terakhir yang
menunjukkan sistem imun sudah sangat menurun di mana infeksi opportunistik
akan mulai terjadi. Pada salah satu penelitian di Amerika Serikat, jumlah sel T
CD4+ apabila kurang dari 200/L, akan didiagnosa AIDS, walaupun terdapat
infeksi opportunistik yang menginfeksi ketika CD4+ di atas 200/L dan sebagian
orang masih sehat walaupun CD4+ sudah di bawah 200/L (WHO, 2008)
Menurut Centers For Disease Control and Prevention (CDC), HIV
ditransmisi melalui kontak seksual dengan orang yang terinfeksi, memakai jarum
bekas (terutama untuk injeksi obat) orang yang terinfeksi, melalui transfusi darah
dari orang yang terinfeksi. Wanita yang terinfeksi dengan HIV juga dapat
menginfeksi bayi mereka sebelum atau pada masa kelahiran dan juga semasa
penyusuan selepas dilahirkan. Dalam bidang kesehatan, petugas paramedik akan
31
terinfeksi dengan HIV jika tertusuk dengan jarum yang mengandung darah yang
terinfeksi dengan HIV atau melalui luka pada petugas dan juga pada membran
mukosa mereka (mata ataupun dalam hidung) (CDC, 2007)
2.3.2
Epidemiologi
Sejauh ini lebih dari 6,5 juta perempuan di Indonesia jadi populasi rawan
tertular HIV. Lebih dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular HIV. Pada
tahun 2015, diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang dilahirkan
dan itu terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006 diperkirakan 4.360 anak terkena HIV
dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2320 anak terkena
HIV. Kebanyakan wanita mengurus keluarga dan anak-anaknya selain mengurus
diri sendiri, sehingga gangguan kesehatan pada wanita akan mempengaruhi
seluruh keluarganya. Wanita dengan HIV/AIDS harus mendapatkan dukungan dan
perawatan mencakup penyuluhan yang memadai tentang penyakitnya, perawatan,
pengobatan, serta pencegahan penularan pada anak dan keluarganya.
Penularan HIV ke bayi dan anak bisa dari ibu ke anak, penularan melalui
darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual pada anak). Penularan
dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar
(85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi
yang bias terjadi pada saat kehamilan. Prevalensi penularan dari ibu ke bayi dalah
0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS,
kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS
sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%.
Dampak acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pada anak terus
meningkat, dan saat ini menjadi penyebab pertama kematian anak di Afrika, dan
peringkat keempat penyebab kematian anak di seluruh dunia. Saat ini World
Health Organization (WHO) memperkirakan 2,7 juta anak di dunia telah
meninggal karena AIDS.
Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali
yaitu seorang warga negara Belanda. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan
kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan
diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali diulang, menyatakan positif,
32
namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat ialah negatif
sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS.
Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur
tersering infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal
diperkirakan sebesar 83% antara tahu 1992 sampai 2001. Di Amerika Serikat,
infeksi HIV perinatal terjadi pada hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri.
Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi in-utero, selama periode peripartum, ataupun
dari pemberian ASI, sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti dari
transfusi darah atau komponen darah relatif lebih jarang ditemukan. Selain itu,
sexual abuse yang terjadi pada anak juga dapat menjadi penyebab terjadinya
infeksi HIV, di mana hal ini lebih sering ditemukan pada masa remaja.(1),(2)
Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan
pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus
menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter
untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda
yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar
sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh, parotitis kronis,
pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan perkembangan yang
disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang.
2.3.3
Patofisiologi
Infeksi HIV menyerang dua komponen utama dalam badan manusia yaitu
sistem imun dan sistem saraf pusat dan ditemukan dalam sirkulasi darah 4-11 hari.
Apabila masuk ke dalam tubuh, HIV akan mengikat pada beberapa jenis sel darah
putih terutama limfosit T helper. Limfosit T helper akan diaktifkan dan
mengkoordinasi sel lain dalam sistem imun. Terdapat reseptor CD4 pada
permukaan limfosit yang memungkinkan HIV untuk mengikat pada reseptor itu.
HIV menyimpan informasi genetiknya sebagai asam ribonukleat (RNA). Apabila
telah berada di dalam limfosit CD4+, sejenis enzim yang disebut reverse
transcriptase digunakan oleh virus tersebut untuk membuat salinan RNA nya ke
dalam bentuk asam deoksiribonukleat (DNA). DNA virus tadi memasuki nukleus
dan dengan bantuan integrase, DNA virus berintegrasi dengan sel DNA. Genetik
33
limfosit akan mereplikasi virus HIV tersebut yang akhirnya akan memusnahkan
limfosit. Proses ini akan berjalan terus, bila tanpa diimbangi upaya intervensi
terapi ARV maupun nutrisi yang memadai, maka dari waktu jumlah limfosit TCD4 akan semakin turun baik kualitas maupun kuantitas. Setiap sel yang
terinfeksi akan menghasilkan beribu virus baru dan dalam beberapa hari, di dalam
darah dan cairan genital akan terkandung banyak virus dan CD4+ limfosit akan
menurun. Penurunan kadar limfosit T-CD4 yang progresif mencerminkan adanya
defisiensi imun. Pada infeksi akut pennurunan tersebut berlangsung drmatis
sehingga kurang dari 1.000 CD4/ml, kemudian naik lagi pada saat serokonversi
dan dalam fase kronik turun terus dengan laju penurunan 70 sel/ml setiap
tahunnya. Gangguan kualitas dan kuantitas limfosit T-CD4 tersebut meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi oportunistik dan mendorng ke derajat yang lebih
berat, serta munculnya manifestasi klinik dari AIDS.
Di antara tanda dan simptom yang ditonjolkan semasa infeksi primer HIV-1
hilang sendiri walaupun sebagian simptom seperti lemah badan akan menetap
sehingga beberapa bulan. Simptomnya secara general dan dimulai pada waktu
yang singkat, seperti demam, yang disertai atau tidak dengan keringat malam dan
limfadenopati yang biasanya muncul pada minggu kedua terutama di aksila,
osipital dan nodus servikal. Eritema klasik, nonpruritus, dan ruam makulopopular
biasanya simetri, berukuran 5 hingga 10 mm yang biasanya terdapat pada muka
dan ekstrimitas. Selain itu terdapat juga ulserasi pada orofaring, nyeri akibat
pergerakan mata, kandidiasis, dan fotofobia. Penyakit yang berlanjutan lebih lama
dari 14 hari mempunyai prognosis yang jelek (Schuitemaker and Miedema, 2000).
2.3.4
Transmisi
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :
1
Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang
akan ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau
heteroseksual. Kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit
menular
seksual
seperti
sifilis
danchancroid akan
memudahkan
34
Tranfusi: HIV ditularkan melalui tranfusi darah balk itu tranfusi whole
blood, plasma, trombosit, atau fraksi sel darah Iainnya.
Transmisi vertikal (perinatal): wanita yang teinfeksi HIV sebanyak 1540% berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru
dilahirkannya melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui
air susu ibu.
Masih belum diketahui secara pasti bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi.
Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir).
Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Hal
ini ditunjukkan dalam gambar berikut:
Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV.
Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam
darah) ibunya. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai
viral load yang tidak dapat terdeteksi seperti juga ART untuk siapa pun
terinfeksi HIV. Viral load penting pada waktu melahirkan. Seperti ditunjukkan
pada gambar, penularan dapat terjadi dalam kandungan. Hal ini dapat disebabkan
oleh kerusakan pada plasenta, yang seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV.
Kerusakan tersebut dapat memungkinkan darah ibu mengalir pada janin.
35
Kerusakan pada plasenta dapat disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama
malaria dan TB.
Namun risiko penularan lebih tinggi
pada saat persalinan, karena bayi
tersentuh oleh darah dan cairan
vagina ibu waktu melalui saluran
kelahiran. Jelas, jangka waktu antara
saat pecah ketuban dan bayi lahir
juga merupakan salah satu faktor
risiko
untuk
penularan.
Juga
intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum,
dapat meningkatkan risiko. Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV
mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV melalui menyusui.
Gambar 5. Child in Utery
Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi:
36
1
a.
Faktor ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat
persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya,
satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat
sekali bertambah di tubuh seseorang.
Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi
pada menjelang ataupun saat persalinan. Status kesehatan dan gizi ibu juga
mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 yang
rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah CD4
kurang dari 200.
Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta
kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi
juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi
reproduksi lainnya maupun malaria, maka kadar HIV akan meningkat.
Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika
terdapat kadar CD4 yang kurang dari 200 serta adanya masalah pada ibu seperti
mastitis, abses, luka di puting payudara. Risiko penularan HIV pasca persalinan
menjadi meningkat bila ibu terinfeksi HIV ketika sedang masa menyusui bayinya.
b.
Faktor bayi
1) Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,
2) Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, Bayi yang
meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya
2. Faktor cara penularan
37
Tabel 3. Faktor yang meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
Asimtomatik
2.
normal
Stadium II :
38
1.
2.
4.
Stadium III :
1.
2.
3.
Demam tanpa penyebab yang jelas (intermittent atau menetap) > 1 bulan
4.
Kandidiasis oral
5.
6.
Stadium IV :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
infeksi mikosis
8.
9.
10.
sepsis
11.
tuberkulosis ekstrapulmoner
12.
Limfoma maligna
13.
Sarkoma Kaposi
14.
Ensefalopati HIV
Dengan penampilan klinis derajat 4 : berada di tempat tidur, >50% setiap
39
2.3.6
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, manifestasi klinis dan
40
Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV
mulai dari uji penapisan dengan penentuan adanya antibodi anti-HIV misalnya
dengan ELISA yang kemudian dilanjutkan dengan uji kepastian dengan
pemeriksaanyang lebih spesifik yaitu uji western blot. Uji western blot lebih
spesifik karena mampu mendeteksi komponen-komponen yang terkandung pada
HIV antara lain gpl20, gp41, p24. Untuk negara berkembang seperti Indonesia
mengingat uji western blot belum merata dilakukan secara rutin belum merata
dilakukan secara rutin, maka WHO menganjurkan pemeriksaan laboratorium
dengan tiga metode yang berbeda dan dikatakan positif HIV bila hasil
pemeriksaan terbukti reaktif, metode tersebut antara lain :
41
1. Skrining
ELISA untuk HIV-1, HIV-2, atau keduanya. Aglutinasi latek untuk HIV-1
2. Konfirmasi
Western Blot (WB) untuk HIV-1 dan HIV-2, Indirect Immunofluorescence
antibody assay (IFA) untuk HIV-1, Radioimmunoprecipitation antibody assay
(RIPA) untuk HIV-1
3. Lain-lain
ELISA untuk HIV-1 p24 antigen polymerase chain reaction (PCR) untuk HIV-1
2.3.7
Terapi
Terapi Anti Retroviral (ARV)
Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupres
virus untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah
yang kronis. Pengobatan infeksi virus HIV pada anak dimulai setelah
menunjukkan adanya gejala klinis. Gejala klinis menurut klasifikasi CDC.
Pengobatan ARV diberikan dengan pertimbangan :
1
Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4
atau persentasenya.
Usia
Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal,
terdapat 2 pilihan :
a
Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah :
42
Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun
(Kategori Imun 2 pada tabel )
43
Kolom B
AZT + ddl
44
Nelfinavir (NVF)
ddl+3TC
d4T + ddl
AZT + 3TC
d4T + 3TC
Tabel 5. Regimen ART yang diusulkan di Indonesia
utama
dengan
2NRTIs. Nonnucleoside
reverse
transcriptase
inhibitor yang paling direkomendasikan untuk anak-anak berusia lebih dari tiga
tahun adalah 2NRTIs dengan efavirenz (dapat disertai dengan atau tanpa protease
inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang dari tiga tahun yang belum dapat
mendapat
tablet,
regimennonnucleoside terpiliih
adalah
2NRTIs
dengan
45
BAB IV
PEMBAHASAN
Faktor
Teori
predisposisi
Fakta
terjadinya
pneumonia:
bulan.
kemungkinan
dengan
pneumonia
bakteri
46
Gejala Klinis
-
yang
rawat
demam
suprasternal (+).
rendah
cenderung
daripada
lebih
berdahak
inap
berwarna
ditemukan
kuning
retraksi
pneumoni
fisik
bisa
rhonki
serta
dari
otot-otot
47
Pemeriksaan Penunjang
Foto Toraks
Gambaran
bentuk
difus
mempunyai
bilateral
dengan
dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru.
Bayangan bercak ini sering terlihat
pada lobus bawah.
Pemeriksaan laboratorium
Infeksi viral leukosit normal atau
meningkat (tidak melebihi 20.000
mm3 limfosit predominan)
Penatalaksanaan
Indikasi Rawat Inap:
Demam
(>38,5C),
menolak
Mendapatkan terapi:
Manifestasi sistemik
Gagal
terapi
awal
antibiotik
Pneumonia berulang
dengan
48
Severe
underlying
disorders
1. Terapi antibiotik
2. Terapi suportif (oksigen
nasal kanul atau nebulizer)
BAB V
PENUTUP
49
5.1 Kesimpulan
Keluhan yang dialami pasien adalah sesak napas dialami secara tiba-tiba.
Sesak napas ditandai dengan napas pasien yang cepat dan adanya penggunaan
otot bantu pernapasan salah satunya ditemukan retraksi suprasternal. Menurut
pengakuan ibu pasien, pasien mengalami sesak didahului dengan batuk yang
sudah cukup lama dialami anaknya. Adapun hasil pemeriksaan fisik yang
ditemukan adalah kesadaran komposmentis pada pasien, suhu meningkat, dan
frekuensi pernapasan meningkat disertai adanya retraksi suprastrenal. Pada
pemeriksaan penunjang, foto thoraks ditemukan adanya gambaran infiltrat
pada daerah parahiler dextra serta adanya leukosit sedikit meningkat. Jika
ditelaah berdasarkan anamnesis hingga pemeriksaan penunjang, maka
didapatkan kesimpulan bahwa telah sesuai dari diagnosis dan penatalaksanaan
pada pasien ini dengan literatur yang kami dapatkan.
Adanya hasil pemeriksaan pemeriksaan VCT menunjukkan adanya infeksi
HIV/AIDS yang diperoleh pasien dari ibunya, namun dalam window periode
atau belum menimbulkan gejala.
Lampiran
50
1.
i
l
T
e
s
t
S
o
s
i
f
3
,
0
D
n
H
51
I
V
i
f
V
I
K
I
A
2.
Satua
Batas
Norm
331
1868
cells/
410-
micro
1590
liter
Cells/
690-
micro
2540
liter
52
DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson Texbook of Pediatrics 2008
1. Rahajoe,
Nastini.N.2008.Buku
Ajar
Medicine,Edisi
53
54