Anda di halaman 1dari 54

SMF/Lab Ilmu Kesehatan Anak

Tutorial Klinik Respirologi

Fakultas Kedokteran Umum


Universitas Mulawarman

Pneumonia dengan Infeksi HIV/AIDS

Disusun Oleh:
Ayu Herwan Mardatillah

0910015020

Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini, Sp.A

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Lab Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Mulawarman
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia merupakan penyakit
yang sering terjadi dan setiap tahunnya
menyerang sekitar 1% dari seluruh
penduduk Amerika. Meskipun telah ada
kemajuan

dalam

bidang

antibiotik,

pneumonia tetap merupakan penyebab


kematian terbanyak keenam di Amerika
Serikat.

Munculnya

organisme

nosokomial (didapat dari rumah sakit)


yang

resisten

terhadap

ditemukannya
yang

antibiotik,

organisme-oeganisme

baru

(seperti

bertambahnya

jumlah

Legionella),
pejamu

yang

lemah daya tahan tubuhnya dan adanya


penyakit

seperti

memperluas

AIDS

spektrum

kemungkinan

dan

semakin
derajat

penyebab-penyebab

pneumonia, dan ini juga menjelaskan


mengapa pneumonia masih merupakan
masalah kesehatan yang mencolok. Bayi
dan anak kecil lebih rentan terhadap
penyakit ini karena respon imunitas
mereka

masih

dengan

baik.

belum

berkembang

Pneumonia

seringkali

merupakan hal yang terakhir terjadi pada


orang tua dan orang yang lemah akibat
penyakit

kronik

tertentu.

Pasien

peminum alkohol, pasca bedah, dan


penderita penyakit pernafasan kronik

atau infeksi virus juga mudah terserang


penyakit ini
Pneumonia
parenkim

paru.

pneumonia

adalah

radang

Kebanyakan

kasus

disebabkan

oleh

mikroorganisme, tetapi ada sejumlah


penyebab

noninfeksi

kadang

perlu

Pneumonia
anatomi

yang

dipertimbangkan.

digolongkan

seperti

kadang-

atas

pneumonia

dasar
lobaris,

pneumonia lobularis (bronkopneumonia)


dan

pneumonia

(bronkiolitis).

interstitialis

Tetapi,

klasifikasi

pneumonia infeksius atas dasar etiologi


dugaan

atau

yang

terbukti

secara

diagnostik atau terapeutik lebih relevan.

BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
-

Nama

: An. D

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 8 bulan

Alamat

: Samarinda

Anak ke

:1

MRS

: 20 Oktober 2014

Identitas Orang Tua


-

Nama Ayah

: Tn. A

Umur

: 28 tahun

Alamat

: Samarinda

Pekerjaan

: Swasta

Pendidikan Terakhir

: SMA

Ayah perkawinan ke

:1

Riwayat kesehatan

: Tidak ada penyakit

Nama Ibu

: Ny. D

Umur

: 20 tahun

Alamat

: Samarinda

Pekerjaan

: IRT

Pendidikan Terakhir

: SMA

Ibu perkawinan ke

:1

Riwayat kesehatan

: Tidak ada penyakit

Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa pada tanggal 23 Oktober 2014 dengan
ibu kandung pasien.
Keluhan Utama :
Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang dialami 4 hari SMRS,
menurut pengakuan ibu pasien sesak awalnya tidak terlalu parah namun makin
hari makin bertambah berat setiap kali anaknya batuk. Batuk sendiri sudah
dialami sejak lama yakni hampir 1 bulan, batuk disertai dahak berwarna
kekuningan dengan konsistensi kental dan sulit untuk dikeluarkan. Selain itu

pasien juga mengalami demam yang dialami 3 hari sebelumnya, demam hilang
timbul dan tidak terlalu tinggi.
Keluhan lain yaitu pasien mengalami sariawan di dalam mulut dan bibir
sejak minggu sebelumnya, sariawan berwarna keputihan dan hampir memenuhi
permukaan lidah. Awalnya sariawan ini sudah diobati dengan obat tetes dari
dokter dan sempat menghilang, namun beberapa lama timbul lagi dan tidak
mempan dengan obat tetes yang sama.
Keluhan lain seperti muntah, diare, kejang tidak ada. BAK dalam batas
normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat MRS
sebelumnya tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit darah atau kanker sel
darah.
Riwayat Saudara-Saudaranya :
Kondisi saat

Sehat/tida
persalinan

meninggal

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :


Berat badan lahir

: 2200 gram

Panjang badan lahir

: 49 cm

Berat badan sekarang

: 5,6 kg

Panjang badan sekarang

: 62 cm

Gigi keluar

: 7 bulan

Tersenyum

: 2 bulan

Miring

: 4 bulan

Tengkurap

: 6 bulan

Duduk

: Belum

Merangkak

: 7 bulan

meninggal

Berdiri

: Belum

Berjalan

: Belum

Berbicara 2 suku kata

: Belum

Masuk SD

: Belum

Sekarang kelas

: Belum

Makan dan minum anak


ASI

: Mulai diberikan sejak lahir hingga sekarang

Susu sapi

: Pernah diberikan saat usia 7 bulan

Bubur susu

: Mulai diberikan sejak usia 4 bulan

Tim saring

:-

Buah

:-

Lauk dan makan padat

:-

Pemeliharaan Prenatal
Periksa di

: Rumah bidan

Penyakit Kehamilan

:-

Obat-obatan yang sering diminum

: Vitamin + Zat Besi

Riwayat Kelahiran :
Lahir di

: Rumah bidan

Persalinan ditolong oleh

: Bidan

Berapa bulan dalam kandungan

: 9 bulan

Jenis partus

: Spontan per vaginam

Pemeliharaan postnatal :
Periksa di

: Puskesmas

Keadaan anak

: Sehat

Keluarga berencana

: Ya, dengan menggunakan suntik/3 bulan

IMUNISASI
Imunisasi

Usia saat imunisasi


Booster II
6

Hepatitis B

PEMERIKSAAN FISIK
Kesan umum

: sakit sedang

Kesadaran

: E4V5M6

Tanda Vital

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Frekuensi nadi

: 112 x/menit, isi cukup, reguler

Frekuensi napas

Temperatur

: 60 x/menit
: 38,6o C per axila

Antropometri
Berat badan

: 5,6 kg

Panjang Badan

: 62 cm

Status Gizi

: Gizi kurang (65,8%)

Kepala
Rambut

: Hitam

Mata

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Refleks


Cahaya (+/+), Pupil Isokor (3mm), mata cowong (-/-)

Mulut

: Lidah kotor (+) penuh dengan sariawan, faring


Hiperemis (-), mukosa bibir basah, pembesaran Tonsil
(-/-)

Leher
Pembesaran KGB submandibular (-/-), retraksi suprasternal(+)
Thoraks
8

Inspeksi

: Bentuk dan gerak dinding dada simetris dextra = sinistra,


retraksi (-), Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Fremitus raba dekstra = sinistra, Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Sonor di semua lapangan paru


Batas jantung
Kiri

: ICS V midclavicula line sinistra

Kanan : ICS III para sternal line dextra


Auskultasi

: vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), S1S2 tunggal reguler,


bising (-)

Abdomen
Inspeksi

: Tampak datar

Palpasi

: Soefl, nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-)


splenomegali (-), turgor kulit kembali cepat

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Ekstremitas

: Akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2 detik,
sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-), pembesaran
KGB inguinal (-/-)

Status Neurologicus

Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6

Kepala : Bentuk normal, simetris, ubun-ubun cekung (-), nyeri tekan (-)

Leher : Sikap tegak, pergerakan baik, kaku kuduk (-)

Pemeriksaan Refleks Fisiologis


Anggota Gerak Atas
Motorik

Pergerakan
Kekuatan

Kanan

Kiri

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)

Refleks fisiologis

Biseps
Triceps

Refleks patologis

Tromner
Hoffman

Anggota Gerak Bawah


Motorik

Pergerakan
Kekuatan

(-)

(-)

(-)

(-)

Kanan

Kiri

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)

(-)

(-)

(-)

(-)

Refleks fisiologis

Patella
Achilles

Refleks patologis

Babinski
Chaddock

Pemeriksaan Penunjang
-

Laboratorium
1. Laboratorium (20-10 -2014)

Pemeriksaan laboratorium darah lengkap:


Pemeriksaan yang

Hasil yang didapat

Nilai normal

dilakukan
WBC
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
LED

11,64 K/ul
4,06 M/ul
9,5 g/dl
29,7 %
73,2 fl
23,4
32,0 g/dl
182 K/ul
- mm/jam

5.0-10.00 K/ul
4.00-5.50 M/ul
12.0-16.0 g/dl
36.0-48.0%
82.0-92.0 fl
27.0-31.0 pg
32.0-36.0 g/dl
150-400 K/ul
P : < 10 mm/1jam
W : < 10 mm/1jam

2. Pemeriksaan Test VCT (20-10-2014)


N

10

i
l

T
e
s
t
S

e
g

i
f

3
,
0
D

n
H
I
V

11

i
f

V
I
K
I
A
Catatan:
Hasil tes

(-)

pemaparan

terhadap

tidak

termassuk
HIV

yang

terjadi baru-baru ini (klien sedang


dalam masa jendela dari infeksi
virus HIV)
3. Hasil Pemeriksaan CD4/CD3
Hasil

Satua

Batas
Norm

248

2964

cells/

410-

micro

1590

liter
Cells/

690-

micro

2540

liter

Foto Thorax

12

Diagnosis Kerja

: Pneumoni + infeksi HIV/AIDS

Diagnosis Lain

: Gizi kurang, anemia hipokrom mikrositik

Diagnosis Komplikasi : Penatalaksanaan :


-

IVFD D51/4NS 560 cc/24jam

Inj. Cefotaxime 3x150 mg

Fluconazole 3x11 mg po

Paracetamol syr 4xcth1/4 (k/p)

Nebulizer 4x/hari

Prognosis : Dubia ad Bonam


Follow Up

13

T
a
n
g
g
a
l

H
a
r
i
k
e
1
2
1
1
0
2
0
1
4
M
e
l
a
t
i
H
a
r
i
k
e
2
2
2
1
0
2
0

Subjektif &
Objektif

S: Batuk (+), sesak berkurang, A:


P:
sariawan (+), demam(-),

Assesment &
Planning

muntah (-)
O:
CM;
N:112x/i;
RR:52x/i;
T : 36,6oC,
Ane (-/-), Ikt
(-/-),
Rho
(-/-),
Whz
(-/-), retraksi
suprastrernal
(+), BU(+)
N, NTE (+)

S: Batuk (+), sesak berkurang, A:


P:
sariawan
berkurang,

demam(-), muntah (-)


O:
CM;
N:102x/i;
RR:44x/i;
T : 36,8oC,
Ane (-/-), Ikt
(-/-),
Rho
(-/-),
Whz
(-/-), retraksi
suprastrernal
(-), BU(+) N,
NTE (+)

IVFD D51/4NS 560


cc/24jam
Inj. Cefotaxime 3x150
mg
Fluconazole 3x11 mg po
Paracetamol syr 4xcth1/4
(k/p)
Nebulizer 4x/hari

IVFD D51/4NS 560


cc/24jam
Inj. Cefotaxime 3x150
mg
Fluconazole 3x11 mg po
Paracetamol syr 4xcth1/4
(k/p)
Nebulizer 4x/hari
Usul
foto
thorax
AP/lateral

14

1
4
M
e
l
a
t
i
H
a
r
i
k
e
3
2
3
1
0
2
0
1
4
M
e
l
a
t
i
H
a
r
i
k
e
4
2
4
1
0
-

S: Batuk (+) berkurang , sesak A:


P:
berkurang,
sariawan
berkurang,

demam(-),

muntah (-)
O:
CM;
N:102x/i;
RR:40x/i;
T : 36,8oC,

IVFD D51/4NS 560


cc/24jam
Inj. Cefotaxime 3x150
mg
Fluconazole 3x11 mg po
Paracetamol syr 4xcth1/4
(k/p)
Nebulizer 4x/hari
Diet bubur

Ane (-/-), Ikt


(-/-),
Rho
(-/-),
Whz
(-/-), retraksi
suprastrernal
(-), BU(+) N,
NTE (+)

S: Batuk (+) berkurang , sesak A:


P:
(-), sariawan berkurang,

demam(-), muntah (-)


O:
CM;
N:108x/i;
RR:44x/i;
T : 36,5oC,
Ane (-/-), Ikt
(-/-),
Rho
(-/-),
Whz
(-/-), retraksi
suprastrernal
(-), BU(+) N,

IVFD D51/4NS 560


cc/24jam
Inj. Cefotaxime 3x150
mg
Fluconazole 3x11 mg po
Paracetamol syr 4xcth1/4
(k/p)
Nebulizer 4x/hari
Diet bubur

15

2
0
1
4
M
e
l
a
t
i

NTE (+)

16

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mekanisme Pertahanan Paru
Saluran nafas bagian bawah yang normal adalah steril, walaupun
bersebelahan dengan sejumlah besar mikroorganisme yang menempati orofaring
dan terpajan oleh mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara yang dihirup.
Sterilitas saluran nafas bagian bawah adalah hasil mekanisme penyaringan dan
pembersihan yang efektif.
1. Pembersihan udara
Temperatur dan kelembaban udara bervariasi, dan alveolus harus
terlindung dari udara dingin dan kering. Mukosa hidung, turbinasi

hidung,

orofaring dan nasofaring, mempunyai suplai darah yang besar dan memiliki area
permukaan yang luas. Udara yang terhirup melewati area-area tersebut dan
diteruskan ke cabang trakeobronkial, dipanaskan pada temperatur tubuh dan
dilembabkan.
2. Pembau
Reseptor pembau berada lebih banyak di posterior hidung dibandingkan
dengan di trakea dan alveoli, sehingga orang dapat mencium untuk mendeteksi
gas yang secara potensial berbahaya, atau bahan-bahan berbahaya di udara yang
dihirup. Inspirasi yang cepat membawa udara menempel pada sensor pembau
tanpa membawanya menempel pada sensor pembau tanpa membawanya ke paruparu.
3. Menyaring dan membuang partikel yang terhirup
Udara yang melewati saluran traktus respiratorius awalnya difiltrasi oleh
bulu hidung. Gerakannya menyebabkan partikel besar dapat dikeluarkan.
Sedimentasi partikel berukuran lebih kecil terjsdi akibat gravitasi di jalan nafas
yang lebih kecil. Partikel-partikel tersebut terperangkap dalam mukus yang ada di

17

saluran pernafasan atas : trakea, bronkus dan bronkiolus. Partikel kecil lainnya
disuspensikan sebagai aerosol dan 80%-nya dikeluarkan.
Pembuangan partikel dilalui dengan beberapa mekanisme :

Refleks jalan nafas : refleks batuk, refleks bersin dan refleks glottis

Stimulasi reseptor kimia dan mekanik di hidung, trakea, laring, dan tempat
lain di traktus respiratorius menyebabkan bronkokonstriksi untuk mencegah
penetrasi lebih lanjut dari iritan ke jalan nafas dan juga menghasilkan batuk atau
bersin. Bersin terjadi akibat stimulasi reseptor di hidung atau nasofaring, dan
batuk terjadi sebagai akibat stimulasi reseptor di trakea. Inspirasi yang dalam
demi mencapai kapasitas paru total, diikuti oleh ekspirasi yang melawan glottis
yang tertutup. Tekanan intrapleura dapat meningkat lebih dari 100 mmHg. Selama
fase refleks tersebut glottis tiba-tiba membuka dan tekanan di jalan nafas dan
ekspirasi yang besar, dengan aliran udara yang cepat melewati jalan nafas yang
sempit, sehingga iritan ikut terbawa bersama-sama mukus keluar dari traktus
respiratorius. Saat bersin, ekspirasi melewati mulut. Kedua refleks tersebut juga
membantu mengeluarkan mukus dari jalan nafas.

Sekresi trakeobronkial dan tranport mukosilier

Sepanjang traktus respiratorius dilapisi oleh epitel bersilia dimana terdapat


mukus yang dihasilkan oleh sel goblet eskalator mukosilier adalah mekanisme
yang

penting dalam menghilangkan partikel

yang terinhalasi.

Partikel

terperangkap dalam mukus kemudian dibawa ke atas ke faring. Pergerakan


tersebut dapat meningkat cepat selama batuk. Mukus yang mencapai faring
dikentalkan atau dikeluarkan melalui mulut atau hidung. Karenanya pasien yang
tidak bisa mengeluarkan sekret trakeobronkial (misal tidak dapat batuk) terus
menghasilkan sekret yang apabila tidak dikeluarkan dapat menyebabkan sumbatan
jalan nafas.
4. Mekanisme pertahanan dari unit respiratori terminal

makrofag alveolar

pertahanan imun

Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan unit-unit yang
dibentuk melalui percabangan progresif jalan nafas. Kurang lebih 80% sel yang
membatasi jalan nafas di bagian tengah merupakan epitel bersilia, bertingkat,
18

kolumner dengan jumlah yang semakin berkurang pada jalan nafas bagian perifer.
Masing-masing sel bersilia memiliki kira-kira 1000 kali per menit, dengan
pergerakan ke depan yang cepat dan kembali dalam gerakan yang lebih lambat.
Gerakan silia juga terkoordinasi antara sel yang bersebelahan sehingga setiap
gelombang disebarkan ke arah orofaring.
Partikel infeksius yang terkumpul pada epitel skuamosa permukaas hidung
sebelah distal biasabya akan dibersihkan pasa saat bersin, sementara partikel yang
terkumpul pada permukaan bersial yang lebih proksimal akan disapukan ke
sebelah posterior ke lapisan mukus nasofaring, saat partikel tersebut ditelan atau
dibatukkan. Penutupan glottis secara refleks dan batuk akan melindungi saluran
nafas bagian bawah. Partikel infeksius yang melewati pertahanan di dalam saluran
nafas dan diendapkan pada permukaan alveolus dibersihkan oleh sel fagosit dan
faktor humoral. Makrofag alveolar merupakan fagosit utama di dalam saluran
nafas bagian bawah. Makrofag alveolar akan menyiapkan dan menyajikan antigen
mikrobial pada limfosit dan mensekrsikan sitokin yang mengubah proses imun
dalam limfosit T dan B.
2.2 Pneumonia
2.2.1 Pengertian Pneumonia
Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah akut tersering
yang menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi serta kerugian
produktivitas kerja. Penyakit ini dapat terjadi secara primer ataupun merupakan
kelanjutan manifestasi infeksi saluran nafas bawah lainnya misalnya sebagai
perluasan bronkiektasis yang terinfeksi. Pneumonia merupakan penyakit
peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan
sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan pertukaran gas setempat.
2.2.2 Klasifikasi Pneumonia
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru

Pneumonia lobaris

Pneumonia interstitialis

Bronkopneumonia

19

2. Berdasarkan asal infeksi

Pneumania yang didapat dari masyarakat (community acquired


pneumonia = CAP)

Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumania)

3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab

Pneumonia bakteri

Pneumonia virus

Pneumonia mikoplasma

Pneumonia jamur

4. Berdasarkan karakteristik penyakit

Pneumonia tipikal

Pneumonia atipikal

5. Berdasarkan lama penyakit

Pneumonia akut

Pneumonia persisten
Klasifikasi Pneumonia berdasarkan Lingkungan dan Pejamu

Tipe Klinis
Pneumonia Komunitas
Pneumonia Nosokomial
Pneumonia Rekurens
Pneumonia Aspirasi
Pneumonia pada gangguan imun

Epidemiologi
Sporadis atau endemik; usai muda atau tua
Didahului perawatan di rumah sakit
Terdapat dasar penyakit paru kronik
Alkoholik, usia tua
Pada oasien transplantasi, onkologi, AIDS

2.2.3 Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikaan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Dari hasil
penelitian, 44-85% CAP disebabkan bakteri dan virus dan 25-40% diantaranya
disebabkan lebih dari satu patogen. Patogen penyebab pneumonia pada anak
bervariasi tergantung :

Usia

Status lingkungan

20

Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)

Status imunisasi

Faktor pejamu (Penyakit penyerta, malnutrisi)

Sebagian besar pneumonia bakteri didahului oleh infeksi virus.


Etiologi menurut umur dibagi menjadi :
1. Bayi baru lahir (neonatus-2 bulan)
Organisme saluran genital ibu : Streptokokus grup B, Escheria coli dan kuman
gram negatif lain, Listeria monocytogenes, Chlamydia trachomatis (tersering),
Sifilis kongenital (Peneumonia alba). Sumber infeksi lain : Pasase transplasental,
aspirasi mekonium, CAP.
2. Usia > 2-12 bulan
Streptococcus aureus dan Streptokokus grup A (tidak sering tetapi fatal).
Pneumonia dapat ditemukan pada 20% anak dengan pertusis.
3. Usia 1-5 tahun
Streptococcus pneumonia, H. Influenzae, Streptokokus grup A, Staphylococcus
aureus (tersering). Chlamydia pneumonia : banyak pada usia 5-14 tahun (disebut
pneumonia atipikal).
4. Usia sekolah dan remaja
Streptococcus pneumonia, Streptokokus grup A, dan Mycoplasma pneumoniae
(pneumonia atipikal) terbanyak.
2.2.4 Patogenesis
Normalnya saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai
parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan
mukosilier apparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi IgA lokal dan
respon inflamasi yang diperantarai leukosit, sitokin, imunoglobulin, makrofag
alveolar dan imunitas yang diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau
bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluaran nafas

21

bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran pernafasan
bagian atas, dan jarang yang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan
kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar
25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului oleh infeksi virus.
Invasi bakteri ke parenkim paru dapat menimbulkan konsolidasi eksudatif
jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkopneumoni), lobar atau intersisial.
Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran
pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin dan infiltrasi
neutrifil

yang

dikenal

sebagai

hepatisasi

merah.

Konsolidasi

jaringan

menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran


darah yang melewati paru yang terinferksi menyebabkan terjadinya pergeseran
fisiologis (ventilation-perfusion mismatching) yang kemudian menybabkan
peningkatan kerja jantung. Stadium berikutnya terutama diikuti oleh penumpukan
fibrin dan disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada
kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat
dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dikeluarkan melalui
batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi
intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat
berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan
ikat dan pembentukan perlekatan.
2.2.5 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dari pneumonia bakterial, viral, dan mikoplasma pada anak :
BA

VIR

MIK

KTE

US

OPL

RI

AS
MA

Umu

sem

>3

5-15

ua

ming

tahu

umu

gu

22

Awit

Men

berv

perla

an

dada

arias

han-

laha

Dem

Ting

berv

n
Subf

am

gi

arias

ebris

Taki

(+)

i
(+)

Jara

pnea
Batu

Prod

nonp

ng
nonp

uktif

rodu

rodu

Geja

mild

ktif
cory

ktif
bull

la

cory

za

ous

peny

za

myri

erta

ngiti
nyeri

s
Fari

abdo

ngiti

Pem

men
tand

varia

s
fine

eriks

bel

crac

aan

kons

fisik

olida

kles

si
few

Whe

crac

ezin

kles
(+)

berv

g
Jara

osito

arias

ng

sis

Leuk

Manifestasi klinis pneumonia dapat dibagi berdasarkan :


1. Kelompok umur
a. Neonatus

23

Tidak mau minum, letargis, sianosis, grunting, takipnea.


b. Bayi (infants)
Tidak mau minum, letargis, sianosis, demam, batuk, retraksi,
wheezing, noisy breathing.
c. Anak prasekolah
Demam, batuk, muntah setelah batuk, nyeri dada, nyeri perut
kasus berat : retraksi, takipnea, sianosis.
d. Anak besar
Didahului demam tinggi dan menggigil secara tiba-tiba, batuk, nyeri
dada (iritasi pleura membatasi pergerakan dada) disusul
takipnea, batuk-batuk pendek nonproduktif. Penderita tidur miring
ke sisi yang sakit dengan lutut dilipat untuk mengurangi nyeri dada
dan memperbaiki ventilasi.
Etiologi infeksi

Virus

Demam (biasanya lebih rendah dari infeksi bakteri), gejala infeksi saluran nafas
atas (faringitis, rhinorrhea dengan sekret serosa), diare.
RSV : wheezing, tanda-tanda emfisema.

Streptococcus pneumoniae

Awitan demam mendadak tinggi, tidak ada gejala prodromal seperti pada infeksi
virus, batuk produktif, otitis media

Chlamydia trachomatis

Afebris/nontoksik, batuk kering, pleositosis eosinofil perifer

Mycoplasma pneumoniae

Didahului sakit kepala, gangguan saluran pencernaan, jarang rhinorrhea. Demam


(subfebris), atralgia, batuk kering, anoreksia, faringitis

Chlamydia pneumoniae

Didahului faringitis diikuti batuk dan demam tinggi

Haemophilus influenzae

Epiglotitis, perikarditis, otitis media, meningitis

24

Staphylococcus aureus

Abses kulit dan jaringan lunak


2. Stadium penyakit
a. Stadium awal : suara nafas menurun, crackles yang tersebar, ronki.
b. Stadium lanjut :

Seiring dengan meluasnya proses konsolidasi suara nafas


meningkat sampai subbronkial.

Bila ada komplikasi seperti efusi pleura, empyema, pyopneumotoraks


pekak pada perkusi dan suara nafas yang menurun.
Daerah yang terkena nampak tertinggal saat bernafas.
Distensi abdomen dilatasi gaster karena udara yang tertelan/ileus.
Hepar teraba pada palpasi turunnya diafragma akibat hiperinflasi
pulmo/superimposed gagal jantung kongestif.
2.2.6 Diagnosis
Pemeriksaan Radiologi
Walaupun diagnosis pneumonia dapat deperkirakan dengan tanda klinis,
namun adanya pneumonia dikonfirmasi dan dipastikan dengan pemeriksaan foto
thoraks. Selain itu pemeriksaan foto thoraks dapat menunjukkan ada tidaknya
komplikasi seperti efusi pleura atau empiema. Di daerah yang tidak dilengkapi
dengan fasilitas radiologi atau apabila pneumonia ringan, maka pembuatan foto
thoraks tidak tidak selalu diperlukan. Sebaliknya pemeriksaan radiologis saja
tidak cukup mempunyai nilai diagnostik dan harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan klinis.
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan
corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir
lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah.
1. Berdasarkan lokasi lesi:

Pneumonia lobaris: gambaran konsolidasi lobar maupun segmental

25

Pneumonia interstitial: hiperaerasi dan meningkatnya bronchovaskular


markings serta peribronchial cuffings

Bronkopneumonia: gambaran infiltrat kecil-kecil merata sampai


perifer

2. Berdasarkan mikroorganisme penyebab:

Pneumonia bakteri: gambaran patchy infiltrate, atelektasis, adenopati


hilar, atau efusi pleura, konsolidasi lobar

Pneumonia virus: corakan interstitial bertambah, peribronkial cuffing

Pneumonia mikoplasm: konsolidasi lobar, efusi pleura

Pneumonia jamur: kalsifikasi, kavitasi, kelainan lobus atas, adenopathy


hilar

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung
leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.
lnfeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan
limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan
neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri
serta peningkatan LED
Analisa gas darah menunjukan hipoksemia dan hipokkarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.
Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif
sehingga tidak rutin dilakukan.
Kultur darah
Kultur darah merupakan salah satu penunjang diagnosis, namun hanya
menunjukkan hasil positif pada 10-30%. (Garna, 2005)
Mantoux test
Mantoux test dapat dilakukan untuk mengetahui pneumonia yang disebabkan oleh
M.tuberkulosis.
2.2.7 Diagnosis Banding

26

Diagnosis banding pneumonia, yaitu :


1. Pneumonia non-bakterial
Pneumonia pada masa neonatus bisa terjadi sebagai akibat infeksi congenital atau
infeksi

yang

diperoleh

pada

saat

proses

kelahiran

misalnya

rubella,

toksoplasmosis, herpes simplex, Sifilis. Pada anak usia 2 minggu - 6 bulan,


C.trachomatis merupakan penyebab penting dari sindrom afebrile pneumonia.
Selama masa kanak, kebanyakan pneumonia disebabkan oleh viral respiratorik
misalnya adenovirus, virus influenza, virus parainfluenza, virus coxsackie A dan
B. Mycoplasma pneumoniae merupakan penyebab yang jarang pada anak masa
prasekolah, tetapi merupakan penyebab penting pneumonia pada masa sekolah,
remaja, dan dewasa muda.
2. Penyakit paru penyebab bukan infeksi

Pneumonia aspirasi isi lambung

Pneumonia aspirasi benda asing

Sekuestrasi lobus paru

Atelektasis, dll

2.2.8 Terapi
Indikasi Rawat Inap:

Usia anak 3 bulan

Demam (>38,5C), menolak makan dan muntah

Bernafas cepat dengan atau tanpa sianosis

Manifestasi sistemik

Gagal terapi awal dengan antibiotik

Pneumonia berulang

Severe underlying disorders (imunodefisiensi, penyakit paru kronik)

Terapi Antibiotik
Pada prinsipnya terapi utama pneumonia adalah pemberian antibiotik sebagai
terapi kausal terhadap kuman penyebabnya. Pengobatan harus segera diberikan
setelah pneumonia bakterial didiagnosis atau diduga sangat kuat. Dalam

27

pemilihan antibiotik, harus diperhatikan klinis, laboratorium, gambaran foto


toraks, usia anak, sensitifitas dan resistensi antibiotik.
Terapi Suportif Umum
1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi O2 95-96%
berdasarkan analisis gas darah.
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat
disertai nebhulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat brokospasme.
3. Posisi setengah duduk untuk melancarkan pernafasan.
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia
dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat
pneumonia bilateral.
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsisat perlu diberikan.
6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan
bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.
7. Ventilasi mekanis. Indikasi intubasi dan pemasanagan ventilator pada
pneumonia adalah:
a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberi O2 100% dengan
menggunakan sungkup.
b. Gagal nafas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress
dengan asidosis respiratorik.
c. Respiratory arrest.
d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
8. Drainage empiema bila ada.
2.2.9 Komplikasi

Efusi pleura dan empiema. Terjadi terutama pada infeksi bakterial akut berupa
efusi parapneumonik gram negatif, Staphylococcus aureus, S.pneumonia, dan
kuman anaerob.

Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau bakteriemi


berupa meningitis.

Hipoksemia akibat gangguan difusi.

28

Pneumonia kronik dapat terjadi bila pneumonia berlangsung lebih dari 4-6
minggu akibat anaerob S.aureus dan kuman gram negatif seperti Pseudomonas
aeruginosa.

Bronkiektasis. Sering terjadi pada penderita pneumonia anak-anak.

2.2.10 Pencegahan
Pneumonia Komunitas
Dianjurkan pemberian vaksinasi influenza dan pneumokokus terhadap orang
dengan risiko tinggi, misal pasien dengan gangguan imunologis, penyakit berat
termasuk penyakit paru kronik, hati, ginjal dan jantung.
Pneumonia Nosokomial (PN)
Pencegahan PN berkaitan erat dengan prinsip umum pencegahan infeksi dengan
cara penggunaan peralatan invasif yang tepat. Perlu dilakukan terapi agresif
terhadap penyakit pasien yang akut dan dasar. Pada pasien dengan gagal organ
multipel (multiple organ failure) dan penyakit dasar yang dapat berakibat fatal
perlu diberikan terapi pencegahan.
Terdapat berbagai faktor resiko terjadinya PN antara lain:
1. Faktor resiko di ruangan umum:

Usia > 70 tahun

Penyakit paru kronik

Penurunan kesadaran

Posisi pasien

Aspirasi dalam jumlah banyak

Trauma dada

Pemantauan tekanan intrakranial

Penghambat histamin tipe II

Gangguan aliran ventilator

Musim dingin

Nebulizer langsung

Nasogastric feeding

29

Endotracheal tube

2. Faktor Resiko di Ruangan ICU:

Ventilator mekanik

Perawatan ICU yang lama

Intubasi yang lama

Malnutrisi pada pasien sakit berat

Penyakit paru kronik

Antasida dan penghambat histamin tipe II

Usia lanjut

Obesitas

Gangguan refleks respirasi

Pelembab udara

Enteral feeding

Beberapa faktor resiko dapat dikoreksi untuk mengurangi terjadinya PN:

Mengobati penyakit dasar

Menghindari antasida dan penghambat histamin tipe II

Meninggikan posisi kepala/setengah duduk

Pengangkatan selang nasogastrik dan endotrakeal

Mengontrol pemakaian antibiotik

Menghindari stress bleeding

Mengontrol infeksi: pengawasan, pendidikan, mencuci tangan, desinfektan


peralatan dan perawatan saluran nafas yang benar

Dekontaminasi selektif saluran cerna

2.2.11 Prognosis
a. Pneumonia Komunitas
Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak ditemukannya
antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman, usia, penyakit dasar
30

dan kondisi pasien. Adanya leukopenia, ikterus, terkenanya 3 atau lebih lobus
paru dan komplikasi ekstraparu merupakan petanda prognasis yang buruk. Kuman
gram negatif menimbulkan prognosis yang lebih jelek. Prognosis pada anak
kurang baik, karena itu perlu perawatan di rumah sakit kecuali bila penyakitnya
ringan.
b. Pneumonia Nosokomial
Pneumonia nosokomial merupakan penyebab kematian utama yang diakibatkan
oleh infeksi nosokomial.
2.3 HIV/AIDS
2.3.1

Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk

dalam famili lentivirus. Dua jenis HIV yang secara genetiknya berbeda tetapi
sama dari antigennya berhubungan yaitu HIV-1 dan HIV-2 diisolasi dari penderita
AIDS. HIV-1 lebih banyak dijumpai pada penderita AIDS di Amerika Serikat,
Eropa, dan Afrika Tengah, sedangkan HIV-2 lebih banyak dijumpai di Afrika
Barat (Kumar et al., 2007). HIV-1 lebih mudah bertransmisi dibanding HIV-2.
Periode antara infeksi pertama kali dengan timbul gejala penyakit lebih lama dan
penyakitnya lebih ringan pada infeksi HIV-2 (WHO, 2008).
Infeksi HIV berdasarkan gejala klinis terdiri dari 3 fase yaitu serokonversi
akut, infeksi asimptomatik dan AIDS. AIDS merupakan fase terakhir yang
menunjukkan sistem imun sudah sangat menurun di mana infeksi opportunistik
akan mulai terjadi. Pada salah satu penelitian di Amerika Serikat, jumlah sel T
CD4+ apabila kurang dari 200/L, akan didiagnosa AIDS, walaupun terdapat
infeksi opportunistik yang menginfeksi ketika CD4+ di atas 200/L dan sebagian
orang masih sehat walaupun CD4+ sudah di bawah 200/L (WHO, 2008)
Menurut Centers For Disease Control and Prevention (CDC), HIV
ditransmisi melalui kontak seksual dengan orang yang terinfeksi, memakai jarum
bekas (terutama untuk injeksi obat) orang yang terinfeksi, melalui transfusi darah
dari orang yang terinfeksi. Wanita yang terinfeksi dengan HIV juga dapat
menginfeksi bayi mereka sebelum atau pada masa kelahiran dan juga semasa
penyusuan selepas dilahirkan. Dalam bidang kesehatan, petugas paramedik akan

31

terinfeksi dengan HIV jika tertusuk dengan jarum yang mengandung darah yang
terinfeksi dengan HIV atau melalui luka pada petugas dan juga pada membran
mukosa mereka (mata ataupun dalam hidung) (CDC, 2007)
2.3.2

Epidemiologi
Sejauh ini lebih dari 6,5 juta perempuan di Indonesia jadi populasi rawan

tertular HIV. Lebih dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular HIV. Pada
tahun 2015, diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang dilahirkan
dan itu terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006 diperkirakan 4.360 anak terkena HIV
dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2320 anak terkena
HIV. Kebanyakan wanita mengurus keluarga dan anak-anaknya selain mengurus
diri sendiri, sehingga gangguan kesehatan pada wanita akan mempengaruhi
seluruh keluarganya. Wanita dengan HIV/AIDS harus mendapatkan dukungan dan
perawatan mencakup penyuluhan yang memadai tentang penyakitnya, perawatan,
pengobatan, serta pencegahan penularan pada anak dan keluarganya.
Penularan HIV ke bayi dan anak bisa dari ibu ke anak, penularan melalui
darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual pada anak). Penularan
dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar
(85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi
yang bias terjadi pada saat kehamilan. Prevalensi penularan dari ibu ke bayi dalah
0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS,
kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS
sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%.
Dampak acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pada anak terus
meningkat, dan saat ini menjadi penyebab pertama kematian anak di Afrika, dan
peringkat keempat penyebab kematian anak di seluruh dunia. Saat ini World
Health Organization (WHO) memperkirakan 2,7 juta anak di dunia telah
meninggal karena AIDS.
Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali
yaitu seorang warga negara Belanda. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan
kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan
diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali diulang, menyatakan positif,

32

namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat ialah negatif
sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS.
Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur
tersering infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal
diperkirakan sebesar 83% antara tahu 1992 sampai 2001. Di Amerika Serikat,
infeksi HIV perinatal terjadi pada hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri.
Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi in-utero, selama periode peripartum, ataupun
dari pemberian ASI, sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti dari
transfusi darah atau komponen darah relatif lebih jarang ditemukan. Selain itu,
sexual abuse yang terjadi pada anak juga dapat menjadi penyebab terjadinya
infeksi HIV, di mana hal ini lebih sering ditemukan pada masa remaja.(1),(2)
Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan
pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus
menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter
untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda
yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar
sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh, parotitis kronis,
pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan perkembangan yang
disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang.
2.3.3

Patofisiologi
Infeksi HIV menyerang dua komponen utama dalam badan manusia yaitu

sistem imun dan sistem saraf pusat dan ditemukan dalam sirkulasi darah 4-11 hari.
Apabila masuk ke dalam tubuh, HIV akan mengikat pada beberapa jenis sel darah
putih terutama limfosit T helper. Limfosit T helper akan diaktifkan dan
mengkoordinasi sel lain dalam sistem imun. Terdapat reseptor CD4 pada
permukaan limfosit yang memungkinkan HIV untuk mengikat pada reseptor itu.
HIV menyimpan informasi genetiknya sebagai asam ribonukleat (RNA). Apabila
telah berada di dalam limfosit CD4+, sejenis enzim yang disebut reverse
transcriptase digunakan oleh virus tersebut untuk membuat salinan RNA nya ke
dalam bentuk asam deoksiribonukleat (DNA). DNA virus tadi memasuki nukleus
dan dengan bantuan integrase, DNA virus berintegrasi dengan sel DNA. Genetik

33

limfosit akan mereplikasi virus HIV tersebut yang akhirnya akan memusnahkan
limfosit. Proses ini akan berjalan terus, bila tanpa diimbangi upaya intervensi
terapi ARV maupun nutrisi yang memadai, maka dari waktu jumlah limfosit TCD4 akan semakin turun baik kualitas maupun kuantitas. Setiap sel yang
terinfeksi akan menghasilkan beribu virus baru dan dalam beberapa hari, di dalam
darah dan cairan genital akan terkandung banyak virus dan CD4+ limfosit akan
menurun. Penurunan kadar limfosit T-CD4 yang progresif mencerminkan adanya
defisiensi imun. Pada infeksi akut pennurunan tersebut berlangsung drmatis
sehingga kurang dari 1.000 CD4/ml, kemudian naik lagi pada saat serokonversi
dan dalam fase kronik turun terus dengan laju penurunan 70 sel/ml setiap
tahunnya. Gangguan kualitas dan kuantitas limfosit T-CD4 tersebut meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi oportunistik dan mendorng ke derajat yang lebih
berat, serta munculnya manifestasi klinik dari AIDS.
Di antara tanda dan simptom yang ditonjolkan semasa infeksi primer HIV-1
hilang sendiri walaupun sebagian simptom seperti lemah badan akan menetap
sehingga beberapa bulan. Simptomnya secara general dan dimulai pada waktu
yang singkat, seperti demam, yang disertai atau tidak dengan keringat malam dan
limfadenopati yang biasanya muncul pada minggu kedua terutama di aksila,
osipital dan nodus servikal. Eritema klasik, nonpruritus, dan ruam makulopopular
biasanya simetri, berukuran 5 hingga 10 mm yang biasanya terdapat pada muka
dan ekstrimitas. Selain itu terdapat juga ulserasi pada orofaring, nyeri akibat
pergerakan mata, kandidiasis, dan fotofobia. Penyakit yang berlanjutan lebih lama
dari 14 hari mempunyai prognosis yang jelek (Schuitemaker and Miedema, 2000).
2.3.4

Transmisi

Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :
1

Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang
akan ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau
heteroseksual. Kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit
menular

seksual

seperti

sifilis

danchancroid akan

memudahkan

terjadinya infeksi HIV.

34

Tranfusi: HIV ditularkan melalui tranfusi darah balk itu tranfusi whole
blood, plasma, trombosit, atau fraksi sel darah Iainnya.

Jarum yang terkontaminasi: transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum


yang terinfeksi atau bertukar pakai jarum di antara sesama pengguna
obat-obatan psikotropika.

Transmisi vertikal (perinatal): wanita yang teinfeksi HIV sebanyak 1540% berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru
dilahirkannya melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui
air susu ibu.

Masih belum diketahui secara pasti bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi.
Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir).
Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Hal
ini ditunjukkan dalam gambar berikut:

Gambar 4. Transmisi dari ibu ke anak

Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV.
Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam
darah) ibunya. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai
viral load yang tidak dapat terdeteksi seperti juga ART untuk siapa pun
terinfeksi HIV. Viral load penting pada waktu melahirkan. Seperti ditunjukkan
pada gambar, penularan dapat terjadi dalam kandungan. Hal ini dapat disebabkan
oleh kerusakan pada plasenta, yang seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV.
Kerusakan tersebut dapat memungkinkan darah ibu mengalir pada janin.
35

Kerusakan pada plasenta dapat disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama
malaria dan TB.
Namun risiko penularan lebih tinggi
pada saat persalinan, karena bayi
tersentuh oleh darah dan cairan
vagina ibu waktu melalui saluran
kelahiran. Jelas, jangka waktu antara
saat pecah ketuban dan bayi lahir
juga merupakan salah satu faktor
risiko

untuk

penularan.

Juga

intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum,
dapat meningkatkan risiko. Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV
mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV melalui menyusui.
Gambar 5. Child in Utery

Gambar 6. Perinatal dan Inisiasi Transmisi


Faktor risiko lain termasuk kelahiran premature (bayi lahir terlalu dini) dan
kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko
menunjukkan satu hal: yang terpenting adalah mengawasi kesehatan ibu.

Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi:

36

1
a.

Faktor ibu dan bayi

Faktor ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke

bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat
persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya,
satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat
sekali bertambah di tubuh seseorang.
Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi
pada menjelang ataupun saat persalinan. Status kesehatan dan gizi ibu juga
mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 yang
rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah CD4
kurang dari 200.
Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta
kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi
juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi
reproduksi lainnya maupun malaria, maka kadar HIV akan meningkat.
Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika
terdapat kadar CD4 yang kurang dari 200 serta adanya masalah pada ibu seperti
mastitis, abses, luka di puting payudara. Risiko penularan HIV pasca persalinan
menjadi meningkat bila ibu terinfeksi HIV ketika sedang masa menyusui bayinya.
b.

Faktor bayi

1) Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,
2) Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, Bayi yang
meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya
2. Faktor cara penularan

Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah


bayi,

Bayi menelan darah ataupun lendir ibu,

Persalinan yang berlangsung lama,

37

Ketuban pecah lebih dari 4 jam

Penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau


forceps, dan tindakan episiotomi

Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran daripada


ASI

Tabel 3. Faktor yang meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi

2.3.5 Manifestasi Klinik


Menurut WHO (2002), manifestasi klinis penderita HIV/AIDS dewasa
dibagi menjadi empat stadium, yaitu :
Stadium I :
1.

Asimtomatik

2.

Limfadenopati generalisata persisten


Dengan penampilan klinis derajat 1 : asimtomatik dan aktifitas

normal

Stadium II :

38

1.

Penurunan berat badan <10%

2.

Manifestasi mukokutaneus minor (dermatitis sebboroic, prurigo, infeksi

jamur pada kuku, ulserasi pada mulut berulang)


3.

Herpes zoster, dalam 5 tahun trakhir

4.

Infeksi saluran nafas atas berulang (misalnya sinusitis bakterial)


Dengan penampilan klinis derajat 2 : simtomatik, aktivitas normal

Stadium III :

1.

Penurunan berat badan >10%

2.

Diare kronik dengan penyebab tidak jelas >1 bulan

3.

Demam tanpa penyebab yang jelas (intermittent atau menetap) > 1 bulan

4.

Kandidiasis oral

5.

Tuberkulosis paru dalam 1 tahun terakhir

6.

Terinfeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)


Dengan penampilan klinis derajat 3 : Berbaring di tempat tidur, <50%

sehari dalam satu bulan terakhir.

Stadium IV :

1.

HIV wasting syndrome

2.

pneumonia pneumokistik karinii

3.

infeksi toksoplasmosis di otak

4.

diare karena cryptosporidiosis >1 bulan

5.

mengalami infeksi sitomegalovirus

6.

infeksi herpes simpleks, maupun mukokutaneus >1 bulan

7.

infeksi mikosis

8.

kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, maupun paru

9.

infeksi mikobakteriosis atypical

10.

sepsis

11.

tuberkulosis ekstrapulmoner

12.

Limfoma maligna

13.

Sarkoma Kaposi

14.

Ensefalopati HIV
Dengan penampilan klinis derajat 4 : berada di tempat tidur, >50% setiap

hari dalam bulan-bulan terakhir

39

2.3.6

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, manifestasi klinis dan

pemeriksaan laboratorium serta memahami berbagai faktor risiko yang terdapat


pada pasien. Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV
ialah,
1

Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV

Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan


tetap mempertahankan status seropositif hingga usia 18 bulan
oleh karena adanya respon antibodi ibu yang ditransfer secara
transplacental. Untuk diagnosis pasti HIV pada anak dengan
usia < 18 bulan diperlukan uji virologi HIV yang dapat
memeriksa virus atau komponennya. Uji Virologi tersebut
adalah PCR HIV-DNA, PCR HIV-RNA, p24. Anak dengan
hasil positif pada uji virologi HIV pada usia berapapun
dikatakan terinfeksi HIV.

40

Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV

Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV

Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu


narkotika)

Kebiasaan seksual yang keliru, homoseksual atau biseksual.


Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium

mulai dari uji penapisan dengan penentuan adanya antibodi anti-HIV misalnya
dengan ELISA yang kemudian dilanjutkan dengan uji kepastian dengan
pemeriksaanyang lebih spesifik yaitu uji western blot. Uji western blot lebih
spesifik karena mampu mendeteksi komponen-komponen yang terkandung pada
HIV antara lain gpl20, gp41, p24. Untuk negara berkembang seperti Indonesia
mengingat uji western blot belum merata dilakukan secara rutin belum merata
dilakukan secara rutin, maka WHO menganjurkan pemeriksaan laboratorium
dengan tiga metode yang berbeda dan dikatakan positif HIV bila hasil
pemeriksaan terbukti reaktif, metode tersebut antara lain :
41

1. Skrining
ELISA untuk HIV-1, HIV-2, atau keduanya. Aglutinasi latek untuk HIV-1
2. Konfirmasi
Western Blot (WB) untuk HIV-1 dan HIV-2, Indirect Immunofluorescence
antibody assay (IFA) untuk HIV-1, Radioimmunoprecipitation antibody assay
(RIPA) untuk HIV-1
3. Lain-lain
ELISA untuk HIV-1 p24 antigen polymerase chain reaction (PCR) untuk HIV-1
2.3.7

Terapi
Terapi Anti Retroviral (ARV)

Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupres
virus untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah
yang kronis. Pengobatan infeksi virus HIV pada anak dimulai setelah
menunjukkan adanya gejala klinis. Gejala klinis menurut klasifikasi CDC.
Pengobatan ARV diberikan dengan pertimbangan :
1

Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4
atau persentasenya.

Usia

Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal,
terdapat 2 pilihan :
a

Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis.

Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan


penyakit rendah atau adanya faktor lain misalnya pertimbangan
lamanya respon pengobatan, keamanan dan kepatuhan.

Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah :

Peningkatan viral load

42

Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun
(Kategori Imun 2 pada tabel )

Timbulnya gejala klinis

Keputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria


sebagai berikut :
1

Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau


untuk mendiagnosis HIV secara dini.

Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi


(ART) selama sedikitnya 1 tahun

Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan


pengertian tentang ART, pentingnya kepatuhan pada terapi, efek
samping yang mungkin terjadi, dll.

Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan


mendorong kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi
yang dapat timbul akibat ART

Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb,


tes fungsi hati, dll.

Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan


infeksi oportunistik akibat HIV

Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup,


termasuk obat untuk infeksi oportunistik dan penyakit yang
berhubungan dengan HIV.

Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor,


pekerja sosial, dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu

43

pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan HIV/AIDS


(ODHA) dan pendampinya.
9

Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan


umpan balik tentang penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif
termasuk sistem untuk menyebarluaskan informasi dan pedoman
baru.

10 Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang


berlaku.
Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia:
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Obat ini dikenal sebagai
analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA.
Proses ini diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini
termasuk Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddl), Stavudine
(d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir (ABC).
2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini berbeda
dengan NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA.
Obat dalam golongan ini termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan
Delavirdine (DLV).
3. Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang
memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat
dalam golongan ini termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir
(SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV), dan Lopinavir/ritonavir (LPV/r).
Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah :
Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari
Kolom B
Kolom A
Nevirapine (NVP)

Kolom B
AZT + ddl
44

Nelfinavir (NVF)

ddl+3TC
d4T + ddl
AZT + 3TC
d4T + 3TC
Tabel 5. Regimen ART yang diusulkan di Indonesia

Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2 nucleoside reverse


transcriptase inhibitors (NRTIs) atau nevirapine dengan 2NRTIs atau protease
inhibitor dengan 2NRTIs. Selain itu, juga direkomendasikan pemberian
zidovudine dengan didanosine atau zidovudine dengan lamivudine dikombinasi
dengan nelfinavir atau ritonavir. Untuk bayi-bayi yang lebih tua dan anak-anak,
direkomendasikan beberapa regimen antiretroviral. Protease inhibitor sebagai
pilihan

utama

dengan

2NRTIs. Nonnucleoside

reverse

transcriptase

inhibitor yang paling direkomendasikan untuk anak-anak berusia lebih dari tiga
tahun adalah 2NRTIs dengan efavirenz (dapat disertai dengan atau tanpa protease
inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang dari tiga tahun yang belum dapat
mendapat

tablet,

regimennonnucleoside terpiliih

adalah

2NRTIs

dengan

nevirapine. Alternatif pemberian regimen terapi nucleoside analogue adalah


zidovudine dengan lamivudine dan abacavir

45

BAB IV
PEMBAHASAN

Faktor

Teori
predisposisi

Fakta
terjadinya

pneumonia:

Pasien ini mengalami sesak sejak 5 hari

Agen infeksius masuk ke saluaran

SMRS. Sebelumnya pasien memang

nafas bawah melalui inhalasi atau

mengalami batuk yang sudah cukup

aspirasi flora komensal dari saluran

lama dialami yaitu kurang lebih 1

pernafasan bagian atas, dan jarang

bulan.

yang melalui hematogen. Virus dapat


meningkatkan

kemungkinan

terjangkitnya infeksi saluran nafas


bagian bawah dengan mempengaruhi
mekanisme pembersihan dan respon
imun. Diperkirakan sekitar 25-75 %
anak

dengan

pneumonia

bakteri
46

didahului oleh infeksi saluran napas


atas.

Gejala Klinis
-

Pasien biasanya mengalami

Pasien mengalami sesak dan batuk

sesak napas, didahului batuk

yang

atau pilek, disertai demam

kekentalan. Saat datang ke ruangan

(untuk pneumoni akibat viral

rawat

demam

suprasternal (+).

rendah

cenderung
daripada

lebih

berdahak
inap

berwarna
ditemukan

kuning
retraksi

pneumoni

bakteri). Batuk bisa produktif


maupun nonproduktif. Dari
pemeriksaan
ditemukan
retraksi

fisik

bisa

rhonki

serta

dari

otot-otot

pernapasan serta napas cuping


hidung
-

47

Pemeriksaan Penunjang
Foto Toraks
Gambaran
bentuk

- Pada foto toraks pasien tampak


radiologis

difus

mempunyai

bilateral

dengan

peningkatan corakan bronkhovaskular

bercak infiltrate di daerah parahiler


- Pada pasien ini kadar leukosit
11.640/mm3

dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru.
Bayangan bercak ini sering terlihat
pada lobus bawah.

Pemeriksaan laboratorium
Infeksi viral leukosit normal atau
meningkat (tidak melebihi 20.000
mm3 limfosit predominan)

Penatalaksanaan
Indikasi Rawat Inap:

Pasien usia 8 bulan datang dengan

Usia anak 3 bulan

keluhan sesak napas, saat datang suhu

Demam

(>38,5C),

menolak

Mendapatkan terapi:

makan dan muntah

Bernafas cepat dengan atau tanpa


sianosis

Manifestasi sistemik

Gagal

terapi

awal

antibiotik

Pneumonia berulang

badan mencapai 38,6 derajat celcius.

dengan

IVFD D51/4NS 560 cc/24jam


Inj. Cefotaxime 3x150 mg
Fluconazole 3x11 mg po
Paracetamol syr 4xcth1/4 (k/p)
Nebulizer 4x/hari
Diet bubur

48

Severe

underlying

disorders

(imunodefisiensi, penyakit paru


kronik)

1. Terapi antibiotik
2. Terapi suportif (oksigen
nasal kanul atau nebulizer)

BAB V
PENUTUP
49

5.1 Kesimpulan
Keluhan yang dialami pasien adalah sesak napas dialami secara tiba-tiba.
Sesak napas ditandai dengan napas pasien yang cepat dan adanya penggunaan
otot bantu pernapasan salah satunya ditemukan retraksi suprasternal. Menurut
pengakuan ibu pasien, pasien mengalami sesak didahului dengan batuk yang
sudah cukup lama dialami anaknya. Adapun hasil pemeriksaan fisik yang
ditemukan adalah kesadaran komposmentis pada pasien, suhu meningkat, dan
frekuensi pernapasan meningkat disertai adanya retraksi suprastrenal. Pada
pemeriksaan penunjang, foto thoraks ditemukan adanya gambaran infiltrat
pada daerah parahiler dextra serta adanya leukosit sedikit meningkat. Jika
ditelaah berdasarkan anamnesis hingga pemeriksaan penunjang, maka
didapatkan kesimpulan bahwa telah sesuai dari diagnosis dan penatalaksanaan
pada pasien ini dengan literatur yang kami dapatkan.
Adanya hasil pemeriksaan pemeriksaan VCT menunjukkan adanya infeksi
HIV/AIDS yang diperoleh pasien dari ibunya, namun dalam window periode
atau belum menimbulkan gejala.

Lampiran

50

1.

Pemeriksaan Test VCT Ibu Pasien


N

i
l

T
e
s
t
S

o
s

i
f

3
,
0
D

n
H

51

I
V

i
f

V
I
K
I
A
2.

Hasil Pemeriksaan CD4/CD3 Ibu Pasien


Hasil

Satua

Batas
Norm

331

1868

cells/

410-

micro

1590

liter
Cells/

690-

micro

2540

liter

52

DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson Texbook of Pediatrics 2008
1. Rahajoe,

Nastini.N.2008.Buku

Respirologi,Edisi 1.Jakarta : IDAI


2. Murray,nedels.2005.Text Book of
Respiratory

Ajar

Medicine,Edisi

1,Volume1. United State of America :Elseiver Saunders.


3. Zul Dahlan.2000. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
4. Nelson .2000.Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta :EGC.
5. Merdjani, A., dkk. Infeksi Virus Dengue. Sumarmo, S.P.S., dkk. (Eds).
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2008. Hal.155-181.

53

54

Anda mungkin juga menyukai