Anda di halaman 1dari 34

1

LAPORAN PBL 3
BLOK CARDIOVASCULAR SYSTEM
Congestif Heart Failure

Tutor:
dr. Tri Lestari
Oleh:
Kelompok 10
Dewi Widiningsih
Rahayu Nurmalia Fauziah
Dzicky Rifqi Fuady
Izzatun Nisa Syahidah
Regina Wahyu Apriani
Melati Nuretika
Dimitri Iman Prawira
Ririn Widya Ningrum
Agnesya Ria Monica
Giga Hasabi Alkarani
Btari Farhana Indillah

G1A012019
G1A012020
G1A012040
G1A012046
G1A012069
G1A012070
G1A012071
G1A012072
G1A012136
G1A012137
G1A012153

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2014I. PENDAHULUAN
Sesak Nafas
Informasi 1
Pasien Tn J Usia 52 tahun datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas terutama dirasakan apabila pasien tidur
berbaring, dan terasa lebih nyaman

jika pasien berada pada posisi setengah

duduk atau berbaring dengan menyangga kepala menggunakan bantal lebih dari 3.
Pasien mengaku sering terbangun dari tidur saat malam hari karena sesak. Pasien
juga mengeluhkan kaki bengkak, badan terasa mudah lelah, mual, perut terasa
penh dan kembung. Pasien mengkal adanya batuk, demam dan gangguan buang
air kecil (BAK).
Informasi 2
Pada awalnya pasein mengeluhkan sering merasa lelah, dan muncul sesak
apabila pasien berjalan jauh atau ketika naik turun tangga, dan dirasakan
berkurang bila istirahat. Namun keluhan tersebut bertambah parah dan muncul
ketika pasien sedang melakukan aktivitas sehari-hari sepert mandi, mengggosok
gigi dan mencuci dan butuh waktu untuk istirahat lebih lama agar keluhan hilang.
Pasien juga mengeluhkan sebelumnya dada kiri sering berdebar-debar. Pasien
merupakan penderita tekanan darah tinggi. Pada awalnya pasien rutin kontrol ke
puskesmas dan menminum obat tekanan darah tinggi, namun karena pasien
merasa sudah tidak ada keluhan dan membaik, pasien tidak kontrol lagi ke
puskesmas.

Pasien

menyangkal

kelenjar

gondoknya

pernah

membesar,

menyangkal pernah menderita sakit tengggorok atau batuk yang disertai demam,
nyeri sendi, gerakan yang tiba-tiba tanpa disadari, kemerahan yang menonjol pada
kulit badan, lengan dan tungkainya saat anak-anak, menyangkal mengalami
kekurangan darah, dan menyangkal menderita kencing manis dan penyakit ginjal
sebelumnya.

Informasi 3
Pemeriksaan Fisik (di IGD)
Keadaan Umum

: Tampak sesak dan lelah

Kesadaran

: Compos mentis

Vital Sign
-

Tekanan Darah
Nadi
RR
Suhu

:
:
:
:

16/100 mmHg
126 x/menit, ruguler, isi dan tegangan cukup
30 x/menit
36,8oC (axila)

Status Generalis
Kepala
-

Venektasi temporal (-)


Conjungtiva anemis (-)
Nafas cuping hidung (+)
Lidah sianosis (+)

Leher
-

Distensi vena leher (-)


JVP 52cm
Tiroid dalam batas normal

Paru
-

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

:
:
:
:

Simetris, retraksi intercostal (-)


Vocal fremitus kanan=kiri
Sonor seluruh lapangan paru
Suara dasar
: vesikuler
Suraa tambahan
: Ronki +/+ (1/3 basal), wheezing (-)

Jantung
- Inspeksi

Ictus cordis tampak di SIC VI 2 jari

lateral linea midclavicula sinistra


- Palpasi
:
Ictus cordis teraba di SIC VI 2 jari
lateral linea midclavicula sinitra
Pulsus parasternal sinistra (+) tidak sinkron dengan ictus
cordis apeks
Pulsus epigastrik / lower parasternal sinistra (-)
Thrill (+) apeks
- Perkusi
:
Batas kanan atas SIC II linea
parasternal dekstra
Batas kanan bawah SIC IV linea parasternal dekstra
Batas kiri atas SIC II linea parasternal sinistra

Batas kiri bawah SIC VI 2 jari lateral linea midclavicula


sinistra
- Auskultasi

S2>S1 reguler, murmur pansistolik

derajat 3 dengan pung. Max di apeks menjalar ke axilla,


Gallop (+) pung max di apeks
Abdomen
-

Cembung, venektasi (+)


Bising usus (+) N
Timpani (+); P.alih (+), P. Sisi (+); supel, undulasi (+)
Hepar tidak teraba pembesaran. Hepatojugular refluks (-)

Ekstremitas
-

Pitting Edema
Akral dingin
Clubbing finger

: atas (-/-) bawah (+/+)


: atas (+/+) bawah (+/+)
: atas (-/-) bawah (-/-)

Informasi 4
-

Hb
Ht
Leukosit
Eritorit
Trombosit
Urea Nitrogen
Kreatinin
SGOT
SGPT
GDS

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

14,5 g/dl
41,7 %
10.300/mm3
4,61 juta/mm3
291.000/mm3
22,3 mg/dl
1,2 mg/dl
30 U/L
25 U/L
142 mg/dl

:
:
:
:

170 mg/dl
50 mg/dl
65 mg/dl
65 mg/dl

:
:
:
:

3,7 mEq/L
135 mEq/L
2 mEq/L
4,5 mEq/L

Profil Lipid
-

Kolesterol total
HDL
LDL
Trigliserid

Elektrolit serm
-

Pottasium
Sodium
Magnesium
Calsium

EKG
- Frekuensi
- Irama

: Rate 130 x/menit


: Reguler

- Axis QRS
- SV1 + RV6

: Normal
: 38 mm

Pemeriksaan Rontgen Thorax


- Tampak gambaran cardiomegali (CTR>50%)
- Oedem pulmo
Informasi 5
Diagnosis Kerja

: Congestive Heart Failure Hipertensi Stage II

Diagnosis Anatomi

: LVH, mitral regurgitation

Diagnosis Etiologi

: Hipertensi

Diagnosis Fungsional : NYHA IV


Informasi 6
Terapi Non-Farmakologi
-

Edukasi mengenai penyakit


Pembatasan aktivitas fisik, tirah baring
Diet rendah garam (natrium)
Pemasangan kateter urine

Terapi Farmakologi
-

O2 5 liter/menit nasal kanul


Infus R:L 16 tpm
Inj. Furosemid 40 mg/12 jam IV
Digoksin 0,125 mg/24 jam
Spironolakton 12,5 mg/24 jam
Captopril 12,5 mg/8 jam
Bisoprolol 5mg/24 jam

Informasi 7
Prognosis
-

Advitam
Adfungsionam
Adsanationam

: Dubai ad malam
: Dubai ad malam
: Dubai ad malam

II. ISI
A. Klarifikasi Istilah
1. Edema
Edema adalah pengumpulan cairan secara abnormal di ruang
interseluler tubuh (Dorland, 2011). Jika pengumpulan cairan terjadi dikaki
maka akan terjadi edema kaki.
2. Orthopnea
Yaitu kesulitan bernafas apabila berbaring telentang. Ortopnea
disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh ke
jantung dan paru-paru. Penurunan kapasitas vital paru-paru merupakan
suatu faktor penyebab yang penting (Swartz, 2004).
Berdasarkan hal tersebut, maka ketika penderita pada keadaan
setengah duduk atau dengan bantal lebih dari 3 akan lebih nyaman, karena
redistrubusi cairan akan mengikuti gravitasi sehingga cairan berada di
bawah sehingga tidak memenuhi pada rongga paru (Swartz, 2004).
B. Batasan Masalah
1. Bagaimanakah mekanisme orthopnea dan PND?

2. Bagaimanakah mekanisme mual muntah?


3. Mengapa pasien cepat lelah?
4. Kenapa pasien menyangkal gangguan buang air kecil?
5. Apakah hubungan batuk dengan gejala?
C. Pembahasan Masalah
1. Mekanisme orthopnea dan PND
Orthopnea adalah sesak napas (dyspnea) pada posisi berbaring, yaitu
merupakan manifestasi lanjutan gagal jantung. Orthopnea merupakan
hasil dari redistribusi cairan dari perut dan ekstremitas ke daerah thoraks
selama berbaring yang menyebabkan peningkatan tekanan kapiler paru
yang disertai peninggian diafragma. Pasien dengan ortopnea harus
menyangga kepala mereka dengan beberapa bantal di malam dan sering
terbangun sesak napas dan/ atau batuk jika mereka kepala tergelincir dari
bantal. Orthopnea biasanya membaik dengan duduk tegak, dan beberapa
pasien bahkan membaik dengan duduk di depan sebuah jendela yang
terbuka. Dalam gagal jantung lanjut, pasien tidak dapat berbaring sama
sekali dan harus menghabiskan sepanjang malam dalam posisi duduk
(Kasper et al., 2005).

Gambar 2.1 Posisi tidur orang dengan orthopnea


PND adalah serangan sesak napas yang parah dan batuk yang
umumnya terjadi pada malam hari sehingga membangunkan pasien dari

tidurnya, dan mungkin cukup menakutkan. Walaupun

orthopnea

sederhana bisa dikurangi dengan duduk tegak di sisi tempat tidur dengan
kaki tergantung, pada pasien dengan paroxysmal nocturnal dyspnea
(PND), batuk dan mengi sering bertahan bahkan dalam posisi tegak. PND
mungkin disebabkan sebagian oleh depresi dari pusat pernapasan saat
tidur, yang dapat mengurangi ventilasi cukup untuk menurunkan tekanan
oksigen arteri, khususnya pada pasien dengan edema paru interstitial dan
mengurangi kepatuhan paru. Asma kardiak terkait erat dengan paroxysmal
nocturnal dyspnea dan batuk malam hari yang ditandai dengan mengi
sekunder untuk bronkospasme yang biasanya paling menonjol di malam
hari. Edema paru akut adalah bentuk parah asma jantung karena elevasi
ditandai oleh peningkatantekanan kapiler paru yang menyebabkan edema
alveolar. Sering ditemukan juga sesak napas ekstrim, rales paru-paru, dan
dahak cairan darah kebiruan. Jika tidak segera diobati , edema paru akut
dapat berakibat fatal (Kasper et al., 2005).
2. Mekanisme mual muntah
Muntah dikoordinasi oleh batang otak dan dipengaruhi oleh respon
neuromuskuler dalam usus, faring, dan dinding thoracoabdominal.
Mekanisme yang mendasari mual dihipotesiskan melibatkan korteks
serebral,

karena

elektroensefalografik

mual

memerlukan

menunjukkan

persepsi

aktivasi

sadar.
daerah

Studi
korteks

temporofrontal dengan induksi mual (Kasper et al., 2005).


Beberapa batang otak inti memulai emesis, diantaranya adalah
nucleus solitaries, vagal dan frenikus dorsalis, dan meduler yang
mengatur respirasi. Nucleus lainnta adalah nucleus yang mengontrol
faring, gerakan wajah, dan lidah. Neurotransmitter yang terlibat dalam
koordinasi ini tidak pasti, diduga adalah neurokinin (NK) 1, serotonin,
dan vasopressin (Kasper et al., 2005).
Otot somatik dan visceral menunjukkan respon stereotip selama
emesis. Otot toraks dan abdomen berkontraksi menghasilkan tekanan
intratoraks dan intraabdominal tinggi yang memfasilitasi pengusiran isi
lambung. Herniasi kardiaka lambung di seluruh diafragma dan laring

bergerak ke atas untuk menimbulkan propulsi lisan dari muntahan.


Dengan emesis, gelombang peristaltic lambat akan diganti dengan
penyebaran aktivitas lonjakan impuls, yang menginduksi kontraksi
retrograde yang membantu dalam pengeluaran isi usus (Kasper et al.,
2005).
Neurotransmiter yang memediasi induksi muntah yang bervariasi
untuk tiap struktur anatomi. Gangguan labirin telinga merangsang nervus
vestibular kolinergik muskarinik M1 dan histaminergic reseptor H1,
sedangkan saluran cerna melalui rangsangan aferen vagal yang
mengaktifkan reseptor serotonin 5 - HT3 (Kasper et al., 2005).

3. Pasien cepat lelah


Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung sebagai pompa untuk
memenuhi kebutuhan jaringan sehingga terjadi penurunan curah jantung
(CO). Keadaan ini menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi
dengan tujuan mempertahankan fungsi jantung menghadapi beban
hemodinamik yang bertambah, baik volume maupun pressure overload.
Curah jantung yang kurang menghambat jaringan, sirkulasi normal dan
oksigen

serta

menurunnya

pembuangan

Gagal Jantung

sisa

hasil

katabolisme

menyebabkan penderita gagal jantung mudah lelah atau intoleransi


aktivitas. Mudah lelah pada penderita gagal jantung juga terjadi karena
Gagal
ventrikel
kiri
meningkatnya energi
yangpompa
digunakan
untuk bernafas
dan insomnia yang

terjadi karena distress pernafasan (Manurung, 2007).


Suplai darah jaringan

Metabolisme anaerob

Asidosis metabolik

ATP

Mudah lelah

10

Grafik 2.2 Patofisiologi Gagal Jantung

4. Penyangkalan gangguan buang air kecil


Buang air kecil terlalu sering merupakan kebiasaan hidup yang dapat
merepresentasikan kondisi seseorang. Terlalu sering buang air kecil, baik
siang maupun malam, menandakan adanya gangguan infeksi saluran
kencing atau diabetes. Buang air kecil terasa panas dan urin berbau busuk
menandakan adanya gangguan pada prostat atau ginjal. Sementara
kebiasaan sering buang air kecil yang disertai dengan rasa sakit dapat
dijadikan petanda adanya permulaan penyakit kanker kandung kemih.
(Mahendra, 2010)
5. Hubungan batuk dengan gejala
Saat pasien datang dengan keluhan sesak nafas, kita curiga organ apa
yang terkena antara jantung atau paru. Pada penyakit saluran pernapasan,
akan didapatkan gejala lain yang khas misalnya batuk.
Umumnya, batuk diderita oleh mereka yang menderita saluran
pernapasan atas atau bawah. Sebelum paru-paru dapat melaksanakan
fungsi pertukaran oksigen dan karbon dioksida, udara yang kita hirup,
terlebih dahulu melewati komponen dari sistem pernapasan seperti rongga
hidung, faring, laring, tenggorokan, dan saluran bronkial (Price & Wilson,
2013).

11

Dalam beberapa kasus, gagal jantung kongestif mungkin sebenarnya


bertanggung jawab sebagai penyebab batuk kronis. Gagal jantung dapat
terjadi pada salah satu sisi bagian jantung, misalnya gagal jantung bagian
sisi kiri atau gagal jantung bagian sisi kanan. Jika gagal jantung terjadi
pada pompa bilik kiri jantung, maka darah akan mengumpul dan
menumpuk di paru (kongesti). Kongesti inilah yang menimbukan sesak
napas dan batuk. Akibatnya, kantung udara sebagai tempat pertukaran
oksigen dan karbon dioksida bisa terisi dengan cairan, sehingga
mengganggu fungsi paru-paru (Price & Wilson, 2013).

6. Merumuskan Tujuan Belajar


1. Definisi diagnosis banding
2. Etiologi diagnosis banding
3. Klasifikasi diagnosis banding
4. Penegakkan diagnosis diagnosis banding
5. Pemeriksaan penunjang diagnosis banding
6. Pathogenesis diagnosis banding
7. Tatalaksana diagnosis banding
8. Farmakokinetik dan farmakodinamik diagnosis banding
9. Prognosis diagnosis banding
10. Edukasi diagnosis banding
7. Belajar Mandiri Secara Individual atau Kelompok
Sudah dilaksanakan.
8. Pembahasan Tujuan Belajar
A. Definisi Diagnosis Banding
1. Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan sindrom kompleks dengan tampilan
gejala khas: sesak saat istirahat atau saat aktivitas, kelelahan, serta
tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau edema pergelangan kaki,

12

tanda khas: takikardi, takipnea, ronki, efusi pleura, peningkatan JVP,


edema perifer, hepatomegali serta bukti objektif kelainan struktural
atau fungsional jantung saat istirahat: kardiomegali, bunyi jantung 3,
murmur, kelainan pada ekokardiografi, peningkatan natriuretic peptide
Pada gagal jantung, jantung tidak dapat menghantarkan curah jantung
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (Dickstein et
al, 2008)
2. Tamponade Jantung
Tamponade jantung adalah kompresi jantung yang mengancam
jiwa sebagai akibat dari terdapatnya cairan di dalam sakus perikardial.
Hal ini biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma penetrasi
pada dada. Dapat juga terjadi setelah prosedur diagnostik jantung
invasif, proses penyakit tertentu, dan radiasi dada dosis tinggi
(Baughman, 2000)
Kompresi jantung yang cepat atau lambat, akibat akumulasi cairan,
pus, darah, bekuan atau gas di perikardium menyebabkan peningkatan
tekanan intraperikardial yang sangat mengancam jiwa dan fatal jika
tidak terdeteksi. Pada tamponade jantung terjadi penurunan pengisian
darah saat diastolik karena otot jantung tidak mampu melawan
peningkatan tekanan intraperikardial (Spodick, 2003).
B. Etiologi Diagnosis Banding
1. Gagal Jantung
Etiologi gagal jantung menurut Kasper et al., 2005 adalah sebagai
berikut:
a. Infeksi
b. Aritmia
c. Gangguan status fisik, diet, cairan, lingkungan dan emosi
d. Infark miokard
e. Emboli pulmonal
f. Anemia
g. Tirotoksikosis dan kehamilan
h. Perburukan hipertensi
i. Miokarditis rematik, viral, dll.
j. Endokarditis infeksiosa

13

Gambar 2.3 Etiologi gagal jantung (Braunwald, 2005)


2. Tamponade Jantung
Menurut Spodick (2003) etiologi tamponade jantung dibagi
menjadi tiga, yaitu:
a. Acute tamponade
Biasanya disebabkan oleh ruptur traumatik dari ventrikel
akibat trauma tumpul atau prosedur lainnya; juga disebabkan oleh
aortic dissection atau infark miokard dengan ruptur ventrikel.
(Hoit, 2009)
Akut tamponade mempunyai onset yang tiba-tiba, dan
dapat menyebabkan nyeri dada, takipnea, dan dispnea, serta
membahayakan jiwa bila tidak diatasi dengan tepat. Tekanan vena
jugularis juga meningkat, dan mungkin berhubungan dengan
distensi vena di dahi dan kulit kepala. Suara jantung juga seringkali
tidak terdengar (Hoit, 2009).
b. Subacute tamponade
Subakut tamponade dapat asimptomatis pada awalnya,
tetapi bila tamponade jantung melewati batas kritis, maka akan
menimbulkan gejala dispnea, rasa tidak nyaman atau penuh di
dada, edema perifer, rasa lelah, atau gejala lainnya yang
disebabkan peningkatan tekanan pengisian dan cardiac output yang
terbatas (Hoit, 2009). Seperti yang terjadi pada
1)
Infeksi HIV

14

2)
3)
4)

Infeksi virus, bakteri (TBC), jamur


Obat-obatan Hydralazine, procainamide, isoniazid, minoxidil
Keganasan:
contohnya
paru,
payudara,
Hodgkins,

5)
6)
7)
8)
9)

mesothelioma
Post MI, post operasi CT, post prosedur
Uremia
Post XRT
Idiopatik
Penyakit pada jaringan ikat : Systemic lupus erythematosus,

10)
11)

rheumatoid arthritis, dermatomyositis


Pengobatan anticoagulation
Penyebab lain : hypothyroidism, Still disease, dan Duchenne

muscular dystrophy
c. External to pericardial sac (efusi pleura menyebabkan tamponade
physiology)
C. Klasifikasi Diagnosis Banding
1. Gagal Jantung
a. Klasifikasi Gagal Jantung menurut ACC / AHA

Gambar 2.4 Klasifikasi gagal jantung menurut ACC/AHA


b. New York Heart Association Classification (NYHA)
1) Class I
Penderita penyakit jantung tanpa limitasi aktivitas fisik.
Aktivitas fisik sehari hari tidak menimbulkan dyspnoe atau
kelelahan.
2) Class II

15

Penderita penyakit jantung disertai sedikit limitasi dari


aktivitas fisik saat istirahat tidak ada keluhan aktivitas dyspnoe
atau kelelahan.
3) Class III
Penderita penyakit jantung disertai limitasi aktivitas fisik
yang nyata. Saat istirahat tidak ada keluhan. Aktivitas fisik
yang lebih ringan dari Aktivitas sehari-hari sudah menimbulkan
dyspnoe atau kelelahan.
4) Class IV
Penderita penyakit jantung yang tak mampu melakukan
setiapaktivitas fisik tanpa menimbulkan keluhan. Gejala-gejala
gagal jantung bahkan mungkin sudah nampak saat istirahat.
Setiap Aktivitas fisik akan menambah beratnya keluhan.
2. Tamponade Jantung
Pembagian tamponade

jantung

berdasarkan

etiologi

dan

progresifitas (Munthe, 2011):


a. Acute surgical tamponade: antegrade aortic dissection, iatrogenic
dan trauma tembus kardiak.
b. Medical tamponade: efusi perikardial akibat perikarditis akut,
perikarditis karena keganasan atau gagal ginjal.
c. Low-pressure tamponade: terdapat pada dehidrasi berat.
D. Penegakan Diagnosis
1. Gagal Jantung
a. Pemeriksaan Fisik
Diagnosis Gagal Jantung Kongestif (Kriteria Framingham)
(Panggabean, 2009):
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

Kriteria mayor
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Peningkatan tekanan vena jugularis
Ronki basah tidak nyaring
Kardiomegali
Edema paru akut
Irama derap S3
Peningkatan tekanan vena >16 cm H2O
Refluks hepatojugular

1)
2)

Kriteria Minor
Edema pergelangan kaki
Batuk malam hari

16

3)
4)
5)
6)
7)
1)
2)

Dyspnea deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
Takikardi (>120x/menit)
Kriteria mayor atau minor
Penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor; atau 1 kriteria

mayor dan 2 kriteria minor harus ada pada saat yang bersamaan.
b. Pemeriksaan penunjang
Dilakukan untuk menemukan penyebab, menilai beratnya
1)

penyakit dan memantau pengobatan (Gray, 2002) :


Radiografi toraks
Seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotoraksik
(CTR)

>

50%,

terutama

pada

gagal

jantung

kronis.

Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau


kanan, LVH, atau kadang efusi perikard. Derajat kardiomegali
tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri. Ukuran jantung
yang normal tidak menyingkirkan diagnosis karena dapat
ditemukan dalam kondisi gagal jantung kiri akut, seperti terjadi
pada infark miokard, regurgitasi katup akut, atau defek septum
ventrikel (VSD) pascainfark.
Normalnya, perfusi paru terlihat lebih banyak di basis paru,
namun dengan kongesti vena paru (gagal LV) timbul diversi
lobus atas dan ketika tekanan vena pulmonalis meningkat
melebihi 20mmHg, terjadi edema interstitial yang menyebabkan
garis septal (Kerley B) terutama pada basis. Ketika tekanan
meningkat melebihi 25mmHg, terjadi edema hilar dengan
distribusi kupu-kupu atau sayap kelelawar, dan edema
perivaskular sehingga nampak gambaran awan pada pembuluh
darah.
Gagal jantung dapat menyebabkan efusi pleura bilateral.
2)

Bila nampak unilateral cenderung di sisi dekstra.


Ekokardiografi
Teknik esensial yang sederhana dan non-invasif dalam
menegakkan diagnosis etiologi, keparahan, dan menyingkirkan
penyakit katup jantung. Menilai dimensi ruang jantung, fungsi

17

ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan


3)

dinding.
Elektrokardiografi (EKG)
Memperlihatkan beberapa abnormalitas pada 80-90%
pasien. Abnormalitas pada gelombang Q, perubahan ST-T,
hipertrofi ventrikel kiri/LVH (misal pada hipertensi, stenosis
aorta), aritmia (misal pada fibrilasi atrium), dan gangguan

4)
5)

konduksi.
EKG ambulatori harus dilakukan jika diduga aritmia.
Biokimiawi
Disfungsi tiroid (hipo- maupun hipertiroidisme) dapat
menyebabkan gagal jantung, sehingga pemeriksaan fungsi tiroid
harus selalu dilakukan. Tes darah direkomendasikan untuk
menyingkirkan anemia dan menilai fungsi ginjal sebelum terapi
dimulai. Penggunaan penanda biokimiawi (seperti peptida

6)

natriuretik) dapat digunakan dalam diagnosis gagal jantung.


Scan isotop nuklir
Bermanfaat untuk pengukuran fraksi ejeksi yang akurat
(ventrikulografi isotop atau multiple-gated acquisition scans
[MUGA]) atau miokardiun yang tidak berfungsi (otot jantung
masih ada, namun tidak berkontraksi akibat stenosis koroner
yang hebat pada arteri yang memberi nutrisi, yang akan
berkontraksi bila aliran darah membaik misalnya dengan
angioplasti transluminal perkutan [PTCA] atau cangkok bypass

7)

arteri koroner [CABG]).


Kateterisasi jantung harus dilakukan pada dugaan penyakit
jantung korone, pada kasus kardiomiopati, atau miokarditis.
Pada kateterisasi biasanya dilakukan ventrikulografi kontras dan

8)

juga pengukuran fungsi LV lainnya.


Tes latihan fisik seringkali dilakukan untuk menilai adanya
iskemia miokard dan mengukur konsumsi oksigen maksimum
(VO2 maks). Ini adalah kadar di mana konsumsi oksigen lebih
lanjut tidak akan meningkatkan meskipun terdapat peningkatan
latihan lebih lanjut. VO2 maks merepresentasikan batas toleransi

latihan aerobik dan sering menurun pada gagal jantung.


2. Tamponade Jantung

18

a. Anamnesis
1)
Ada riwayat trauma dada
2)
Nyeri dada yang menyebar ke leher, punggung, atau bahu
serasa ditusuk-tusuk, semakin parah saat bernapas atau batuk.
3)
Kesulitan bernapas
4)
Rasa tidak nyaman yang tersa lebih lega jika duduk tegak
5)
Berdebar-debar
6)
Sesak napas
b. Pemeriksaan fisik :
1)
Beck triad (JVP, hipotensi, bunyi jantung berkurang)
Tanda syok :
a) Denyut jantung >100
b) Tekanan darah
c) Akral dingin
2)
Pulsus paradoksus -> saat inspirasi, TD sistolik berkurang
sampai 10 mmHg
c. Pemeriksaan Penunjang :
1)
X ray : cardiomegaly, water bottle-shape heart
2)
Pemeriksaan dengan alat rekam jantung (EKG) dapat membantu
menegakkan dignosa tamponade. Dapat dihasilkan gelombang P
dan QRS berkurang pada setiap gelombang berikutnya, dan
3)

ditemukan pula pemendekan kompleks QRS.


Dapat juga dilakukan pemeriksaan tambahan seperti CT scan
dada, MRI dada ataupun anigiografi.

E. Patofisiologi Diagnosis Banding


1. Gagal Jantung
Gagal jantung sering dilatarbelakangi oleh penyakit lain sebelumnya
seperti hipertensi, infark miokard, dan lain sebagainya yang membuat
jantung melemah. Saat jantung melemah, terjadi adaptasi dari jantung
untuk mempertahankan cardiac output (CO). Respons tersebut
mencakup beberapa mekanisme, yaitu antara lain:
a. Perubahan neurohumoral
Penurunan CO akan meningkatkan aktivitas sistem simpatis
melalui hormone katekolamin sehingga kontraksi otot jantung
lebih kuat dan lebih cepat (Kumar et al., 2007).
b. Perubahan morfologi jantung
Ketika otot jantung berusaha mengompensasi melalui
peningkatan kontraktilitas dan kecepatan pompa dalam jangka
waktu yang lama, jantung akan beresepon melalui remodeling,
yaitu hipertrofi dan dilatasi. Jika jantung mendapat beban tekanan,

19

yang terjadi adalah hipertrofi. Pada saat ini, terjadi tahap gagal
jantung terkompensasi. Saat hipertrofi berlangsung lama, jantung
akan mendapat beban volume yang menyebabkan dilatasi ruang
jantung. Dalam jangka waktu yang lama, akan terjadi ekspresi
protein tertentu yang menyebabkan gangguan kontraktilitas miosit
dan kematian premature miosit. Pada tahap ini, terjadi gagal
jantung dekompensasi (Kumar et al., 2007).

Gambar 2.5. Kompensasi jantung terhadap beban volume dan


tekanan (Kasper et al., 2005)

20

Gambar 2.6. Grafik tahapan gagal jantung kongestif (Kasper et al.,


2005)
c. Reaksi sistem sitokin
Reaksi infalamasi di dalam jantung akan mengaktiviasi
berbagai sitokin seperti NO, prostaglandin dan lain-lain sehingga
terjadi vasodilatasi pembuluh darah (Kumar et al., 2007).
Gagal jantung backward failure akan menyebabkan
bendungan sirkulasi vena. Gagal jantung kiri akan menyebabkan
edema paru dan gagal jantung kanan akan menyebabkan
bendungan vena sistemik dan edema jaringan lunak. Saat jantung
gagal mempertahankan proses kompensasi, CO jantung akan
menurun,

menyebabkan

menyebabkan

aktivasi

forward
sistem

failure.

Hal

renin-angiotensin

ini

akan

yang

akan

mengakibatkan peningkatan volume darah sehingga terjadi


tambahan beban pompa jantung dan gagal jantung kongestif pun
akan semakin parah. Gejala gejala yang akan timbul adalah sesak
napas (orthopnea), pnd, kaki bengkak, mudah lelah, mual, perut
penuh dan kembung, peningkatan td, denyut nadi dan rr, napas
cuping hidung, sianosis lidah, ronki +/+ (1/3 basal), pulsus
parasternal sinistra, thrill apeks, gallop, akral dingin dan pitting
edema (Kumar et al., 2007).

21

Gambar 2.7. Aktivasi sistem renin angiotensin (Kasper et al., 2005)

Gambar 2.8 Gambaran umum proses gagal jantung kongestif (Kasper et


al., 2005)

22

2. Tamponade Jantung
Proses patofisiologis yang mendasari untuk pengembangan
tamponade adalah karena berkurangnya tekanan diastolik mengisi
distending

transmural

tidak

cukup

untuk

mengatasi

tekanan

intrapericardial meningkat. Takikardia adalah respon jantung awal


untuk perubahan ini untuk mempertahankan curah jantung. Aliran
balik vena sistemik juga diubah selama tamponade. Jantung
dikompresi pada seluruh siklus jantung karena tekanan intrapericardial
meningkat, aliran balik vena sistemik terganggu dan terjadi kolaps
ventrikel kanan dan atrium kanan. Karena vaskular paru adalah sirkuit
yang luas dan memenuhi persyaratan, darah cenderung terakumulasi di
sirkulasi vena, dengan mengorbankan pengisian ventrikel kiri. Hal ini
menyebabkan berkurangnya cardiac output dan aliran balik vena
(Yarlagadda,2011).
Menurut Yarlagadda (2011) 3 fase perubahan hemodinamik pada
tamponade adalah :
Tahap I: Akumulasi cairan perikardial menyebabkan peningkatan
kekakuan ventrikel, memerlukan tekanan pengisian yang lebih tinggi.
Selama fase ini, tekanan ventrikel kiri dan kanan mengisi lebih tinggi
dari tekanan intrapericardia
Tahap II: Dengan akumulasi cairan lebih lanjut, tekanan perikardial
meningkat di atas tekanan pengisian ventrikel, sehingga curah jantung
berkurang
Fase III: Terjadi penurunan output jantung lanjut, karena equilibrium
tekanan perikardial dan pengisian ventrikel kiri (LV).
F. Penatalaksanaan Diagnosis Banding
1. Gagal Jantung
Menurut Ghanie (2009) pendekatan terapi gagal jantung dalam hal
ini dapat berupa:
a. Terapi Non-Farmakologis
1)
Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab dan bagaimana
2)

mengenal serta upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan


Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas
seksual, serta rehabilitasi

23

3)
4)
5)

Edukasi pola diet


Kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol
Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan

6)
7)
8)

yang tiba-tiba
Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas
Hentikan kebiasaan merokok
Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas

9)

dan humisitas memerlukan perhatian khusus


Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari
obat-obat terterntu seperti NSAID, antiaritmia kelas I,
verapamil, diltiazem, dihidrofiridin efek cepat, antidepresan

trisiklik, steroid
b. Terapi Farmakologis
1)
ACE-Inhibitor
a) Dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa
keluhan
b) Harus diberikan sebagai terapi awal bila tidak ditemui retensi
cairan. Bila ditemukan retensi cairan cairan harus diberikan
bersama diuretik.
c) Harus segera diberikan bila ditemui tanda dan gejala gagal
jantung, segera sesudahh infark jantung untuk meningkatkan
survival, menurunkan angka reinfark serta kekerapan rawat
inap.
d) Harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat sesuai
dengan bukti klinis, bukan berdasarkan perbaikan gejala.
e) Contoh obat : Captopril, Benazepril, Enalapril

2)

3)

Diuretik
a) Penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemukan
cairan berlebihan, kongesti paru dan edema perifer.
b) Contoh obat : Tiazid, metolazon.
Beta Bloker
a) Direkomendasikan pada semua gagal jantung ringan,
sedang, dan berat yang stabil baik karena iskemia atau
kardiomiopati non iskemia dalam pengobatan standar
seperti diuretik atau ACE-Inhibitor. Dengan syarat tidak
ditemukan adanya kontraindikasi terhadap penyekat beta.

24

b) Contoh obat : Bisoprolol, Metoprolol, Carvedilol,


4)

Nebivolol
Antagonis Reseptor Aldosteron
Penambahan erhadap ACE-Inhibitor, beta bloker, diuretik
pada gagal jantung berat dapat menurunkan morbiditas dan

5)

6)

mortalitas.
ARB
a) Masih merupakan alternatif bila pasien tidak tpoleran
terhadap ACE-Inhibitor
b) Contoh obat : Losartan, Candesartan
Glikosida Jantung
a) Indikasi pada fibrilasi arium pada berbagai derajat gagal
jantung, terlepas apakah gagal jantung bukan atau sebagai
penyebab
b) Kombinasi digoksin dan nbeta bloker lebih superior
dibandingkan bila dipakai sendiri-sendiri
c) Tidak mempunyai efek terhadap mortalitas, tetapi dapat

7)

menurunkana angka kekerapan rawat inap


Vasodilator Agent
a) Hidralazin-Isoosorbid Dinitrat
b) Nitrat
c) Ca Chanel Bloker
d) Nesiritid
Nesitrid merupakan obat vasodilator baru, obat ini
identik dnegan hormon endogen dari ventrikel yang
mempumyai efek dilatasi arteri, vena dan koroner dan
menurunak preload dan afterload, meningkatkan curah

8)

jantung.
Obat Inotropik Positif
a) Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan
karena meningkatkan mortalitas.
b) Pemakaian intravena pada kasus yang berat sering digunakan,
namun tidak ada bukti manfaat, justru komplikasi lebih sering
muncul.
c) Penyekat fosfodiesterase, seperti milrinon, enoksimon efektif
bila digabung dengan beta bloker, dan mempunyai efek

9)

vasodilatasi perifer dan koroner.


Antitrombotik

25

a) Pada gagal jantuung kronik ytang disertai fibrilasi atrium,


riwayat fenomena tromboemboli, bukti adanya trombus
yang mobile, pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan.
b) ada gagal jantung kronik dengan penyekat jantung koroner,
dianjurkan pemakaian antiplatelet.
Antiaritmia
a) Pemakaian selain beta bloker tidak dianjurkan pada gagal

10)

jantung kronik, kecuali pada atrial fibrilasi dan ventrikel


takikardi
b) Obat antiaritmia kelas I tidak dianjurkan
11)
Oksigen
c. Pemakaian alat dan tindakan bedah
2. Tamponade Jantung
Penatalaksanaan Tamponade Jantung (Yarlagadda et al, 2012)
a. Primary survey

1)

Airway dengan control servikal


a) Penilaian : Perhatikan patensi airway (inspeksi, auskultasi,
palpasi) Penilaian akan adanya obstruksi
b) Management : Lakukan chin lift dan atau jaw thrust
dengan control servikal in-line immobilisasi Bersihkan

2)

airway dari benda asing.


Breathing dan ventilasi
a) Penilaian
i.
Buka leher dan dada
memperhatikan
ii.

penderita,

control

dengan

servikal

tetap
in-line

immobilisasi.Tentukan laju dan dalamnya pernapasan


Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks
simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan

tanda-tanda cedera lainnya.


Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
Auskultasi thoraks bilateral
b) Management:
i.
Oksigenasi
ii.
Ventilasi mekanik tekanan positif sebaiknya dihindari

iii.
iv.

karena

dapat

menurunkan

memperberat gejala tamponade.

venous

return

dan

26

c) Circulation dan kontol perdarahan


Penilaian (pada trauma)
Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal,

i.

Mengetahui sumber perdarahan internal


Periksa nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan,
pulsus paradoksus.

Tidak diketemukannya pulsasi dari

arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi

ii.

massif segera.
Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
Periksa tekanan darah
Management:
Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus
mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia
darah, golongan darah dan cross-match serta Analisis
Gas Darah (BGA).
Beri cairan kristaloid 1-2 liter yang sudahdihangatkan
dengan tetesan cepat
Bed rest dengan elevasi tungkai untuk membantu venous
return
Transfusi darah jika perdarahan massif dan tidak ada
responos terhadap pemberian cairan awal.
Obat-obatan Inotropic (misalnya : dobutamine) : ini
bermanfaat karena meningkatkan cardiac output tanpa
meningkatkan resistensi vascular sistemik.
Pemasangan kateter urin untuk monitoring indeks perfusi
jaringan.

b. Perikardiosentesis
1) Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila
dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada
resusitasi cairan dan kemungkinan tamponade jantung.
2) Perikardiosentesis merupakan tindakan aspirasi efusi
perikard atau pungsi perikard.
3) Monitoring EKG untuk menunjukkan tertusuknya miokard
( voltase gelombang T atau terjadi disritmia).
4) Lokasi : seringnya di subxyphoid
5) Teknik

27

a) Pasien disandarkan pada sandaran dengan sudut

45

sehingga memungkinkan jantung ke posterior menjauhi


dinding thorax.
b) Lakukan tindakan aseptic dan anestesi lokal dengan prokain
2% atau xilokain 2%.
c) Jarum nomer 18-16 dihubungkan dengan spuit 20-50
ml dihubungkan dengan pemantau EKG melalui alligator
atau hemostat.
d) Arahkan jarum ke postero sepalad, membentuk sudut
450 dengan permukaan dinding dada.
e) Tusukan jarum 2-4 cm sampai terasa tahanan lapisan
perikard
f) Bila jarum pungsi menembus perikard dan kontak dengan
otot jantung, akan timbul elevasi segmen ST (injury) dan
ekstra sistol ventrikel dengan amplitude tinggi. Bila hal
ini terjadi, maka jarum pungsi harus ditarik sedikit dan di
arahkan ke tempat lain.
g) Apabila cairan perikard kental, dapat di pakai trokar yang
lebih besar.
h) Apabila tidak diperoleh cairan

yang mengalir,

jarum

ditarik perlahan-lahan dan ditusuk kembali kearah lain atau


lebih dalam sedikit.
i) Hindarkan tusukan yang tiba-tiba, kasar atau pemindahan
arah tusukan secara kasar. Perubahan arah tusukan harus
dilakukan secara perlahan tepi konstan sambil diisap secara
kontinyu.
c. Kateter vena sentral dapat dipasangkan melalui jarum tersebut dan
dibiarkan di tempat yang memungkinkan tindakan aspirasi
periodic untuk mencegah pengumpulan cairan kembali.
d. Setelah selesai, cabut jarum dan pasang perban di atas tempat
pungsi.

28

Gambar 2.9. Perikardiosintesis


e. Untuk pasien hemodinamik tidak stabil atau satu dengan
tamponade berulang, memberikan perawatan berikut:
f. Operasi

pembuatan

jendela

perikardial

operasi

untuk

menghubungkan ruang perikardial dan ruang intrapleural. Hal ini


biasanya pendekatan subxiphoidian dengan reseksi xifoideus. Barubaru ini, pendekatan paraxiphoidian kiri tanpa reseksi xifoideus.
Open torakotomi dan atau pericardiotomy mungkin diperlukan
dalam beberapa kasus, dan ini harus dilakukan oleh ahli bedah
yang berpengalaman.
g. Pericardiocentesis atau sclerosing perikardium : Ini adalah pilihan
terapi untuk pasien dengan efusi perikardial berulang atau
tamponade.

Melalui

kateter

intrapericardial,

kortikosteroid,

tetrasiklin, atau obat antineoplastik (misalnya, anthracyclines,


bleomycin) dapat dimasukkan ke dalam ruang perikardial.
h. Pericardio-peritoneal shunt: pada beberapa pasien dengan efusi
perikardial

ganas,

pembuatan

pericardio-peritoneal

shunt

membantu mencegah tamponade berulang.


i. Pericardiectomy: Reseksi dari perikardium (pericardiectomy)
melalui sternotomy median atau torakotomi kiri, jarang diperlukan
untuk mencegah efusi perikardial berulang dan tamponade.

G. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

29

1. Pemberian Aspirin 650 mg/4jam


a. Farmakokinetik
1)
Aspirin cepat diabsorbsi dari lambung dan usus halus bagian
atas dan kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2
2)

jam.
Peningkatan dalam dosis aspirin menyebabkan peningkatan

kadar plasma.
b. Farmakodinamik
Aspirin menghambat biosintesis prostaglandin
1) Efek analgesik aspirin : menekan rangsang nyeri
2) Efek antipiretik aspirin : menghambat pirogen yang diinduksi
oleh pembentukan prostaglandin sehingga menyebabkan suhu
turun dengan jalan vasodilatasi
3) Menurunkan insiden trombosis arteri koronaria (Katzung,
2002).
2. Pemberian Indometasin 25-50 mg/6 jam
a. Farmakokinetik
Absorbsi per oral indometasin cukup baik, 92-99% terikat
protein plasma, metabolisme di hati, ekskresi dalam bentuk
metabolik lewat urine dan empedu.
b. Farmakodinamik
Obat yang terutama bekerja perifer, memiliki aktivitas
penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat
biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim
siklooksigenase.

Walaupun

efektif

tapi

toksik

maka

penggunaaannya dibatasi, efek analgesik (perifer dan sentral), anti


inflamasi, dan anti piretik yang kira-kira sebanding dengan aspirin
(Katzung, 2002).
3. Pemberian Morfin 2 5 mg/ 6jam
a. Farmakokinetik
1) Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat
menembus kulit yang luka.
2) Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah
pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang
timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama.
3) Ekskresi morfin terutama melalui ginjal, sebagian kecil morfin
bebas ditemukan dalam tinja dan keringat (Gunawan, 2009).
b. Farmakodinamik
Efek sentral :

30

1) Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada


2)
3)
4)
5)

reseptor opioid (efek analgesi).


Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.
Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).
Menghilangkan kecemasan (efek transqualizer).
Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah

pasien merasakan sebaliknya (efek disforia).


6) Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi
dan antitusif).
7) Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi
pada akhirnya menghambat pusat emetik (efek antiemetik).
8) Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).
9) Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan
pemberian dosis yang berkepanjangan keringat (Gunawan,
2009).
Efek perifer :
1) Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.
2) Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus
(konstipasi spastik).
3) Kontraksi sfingter saluran empedu.
4) Menaikkan tonus otot kandung kencing.
5) Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi
ortostastik keringat (Gunawan, 2009).
4. Pemberian Petidin 25 50 mg/4jam
a.Farmakokinetik
1) Potensi petidin kira-kira 1/10 dari morfin. Mulai kerja lebih
2)
3)
4)
5)

cepat dan durasinya lebih singkat.


Petidin di absorbsi terjadi secara cepat dan komplit.
Petidin mampu menggantikan histamin dari ikatannya di sel
Petidin menurunkan cardiac output sampai 30%,
Menurunkan stroke volume, dan mengakibatkan kenaikan

denyut jantung
6) Penyerapan obat dalam saluran cerna cukup baik.
7) Kadar plasma tertinggi obat dicapai dalam 1-2 jam, dengan
waktu paruh plasma 5 jam.
8) Eliminasi terutama oleh metabolisme hati (Kee J. L., 2005).
b. Farmakodinamik
1) Sifat mendepresi pernafasan dapat meniadakan terjadinya
takipnea selama anestesi.

31

2) Depresi pernafasan terjadi akibat penekanan pusat nafas,


ditandai dengan penurunan frekuensi nafas, dengan jumlah
volume tidal yang menurun .
3) Pada gastrointestinal, Petidin dapat menyebabkan penurunan
peristaltik sehingga pengosongan lambung juga terhambat.
4) Pada pemberian petidin, tahanan pembuluh darah biasanya akan
menurun karena terjadi penurunan aliran simpatis medulla (Kee
J. L., 2005).
H. Edukasi Diagnosis Banding
1. Gagal Jantung
Topik-topik dalam edukasi pasien tentang ketrampilan yang
diperlukan dan perilaku perawatan mandiri yang benar pada kasus
gagal jantung yang benar meliputi (PERKI, 2009):
a. Definisi dan etiologi gagal jantung
b. Gejala dan tanda dari gagal jantung
c. Terapi farmakologis, baik itu dari jenis obatnya sampai
penggunaan obatnya
d. Modifikasi faktor resiko meliputi gaya hidup, minum alcohol,
merokok, dan lain-lain
e. Gangguan tidur dan pernapasan
f. Kepatuhan pasien
g. Prognosis
2. Tamponade Jantung
Edukasi pada pasien dengan gangguan jantung antara lain (PERKI,
2009):
a. Terangkan hubungan keluhan , gejala dengan pengobatan
b. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih dilakukan
c. Diet: Hindari obesitas, rendah garam
d. Hindari merokok dan alcohol
e. Aktifitas fisik : latihan jasmani jalan 3-5 kali selama 20 menit
sepeda statis 5 kali/ seminggu selama 20 menit dengan beban 7080% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan
sedang.
I. Prognosis Diagnosis Banding
1. Gagal Jantung
Prognosis gagal jantung tergantung berasal dari derajat disfungsi
miokardium. Menurut New York Heart Assosiation, gagal jantung kelas
I-III didapatkan mortalitas 1 dan 5 tahun masing-masing 25% dan

32

52%. Sedangkan kelas IV mortalitas 1 tahun adalah sekitar 40%-50%


(Widiastuti, 2012).
Pada sebagian kecil pasien, gagal jantung yang berat terjadi pada
hari/

minggu-minggu pertama

pasca

lahir,

misalnya

sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia aorta, koarktasio aorta atau


anomali total drainase vena pulmonalis dengan obstruksi. Terhadap
mereka, terapi medikmentosa saja sulit memberikan hasil, tindakan
invasif diperlukan segera setelah pasien stabil. Kegagalan untuk
melakukan operasi pada golongan pasien ini hampir selalu
akan berakhir dengan kematian (Widiastuti, 2012).
2. Tamponade Jantung
Tamponade cordis merupakan keadaan yang emergency, dan
prognosisnya tergantung dari keadaan dan juga penanganan segera dari
tenaga medis, dan juga penyebab dari tamponade itu sendiri. Hasilnya
sering baik jika kondisi ini segera ditangani, tapi jika ada kesalahan
ataupun keterlambatan dalam penanganan maka dapat berdampak fatal
pada orang tersebut, dan juga tamponade kordis ini bisa saja kambuh.
Sebuah penelitian di Amerika menunjukkan kalau angka mortalitas
selama 1 tahun adalah 76,5 % pada kasus tamponade yang disebabkan
oleh keganasan, dan 13,3 % pada tamponade yang disebabkan oleh
penyakit bukan keganasan, dan juga ada 150 hari median survival pada
pasien dengan penyakit keganasan (Widiastuti, 2012).

33

DAFTAR PUSTAKA

Baughman, D.C., & JoAnn C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku
Saku dari Brunner & Suddart. Jakarta: EGC.
Dickstein, K. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure. Europian Society of Cardiology.2008: 29;2388-442
Djojodibroto, R Darmanto. 2001. Seluk Beluk Pemeriksaan Kesehatan Edisi 1.
Pustaka Populer Obor: Jakarta
Dorland, W.A. N. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Ed 28. Jakarta: EGC
Ghanie, A. 2009. Gagal Jantung Kronik Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Internal Publishing.
Gray, H. H. 2002. Lecture Notes Kardiologi Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga
Medical Series
Gunawan, G. S. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., & Hauser, S.L. 2005.
Harrisons Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill.
Katzung, B. G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik., Edisi II. Jakarta, Salemba
Medika.
Kee J. L., Hayes. 2005. Farmakologi. Jakarta : EGC.
Kumar, V., Cotran, R.S., & Robbins, S.L. 2007. Robbins Buku Ajar patologi
Volume 2. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Mahendra, B. 2010. Tubuh Anda Cerminan Kesehatan Anda. Depok: Penebar Plus
Manuaba, I.A.C. 2008. Buku Ajar Patologi Obstetri. Jakarta: EGC
Manurung, D. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Indonesia.
Munthe, E. 2011. "Laporan Kasus: Tamponade Jantung et causa Perikarditis
Tuberkulosis", CDK 184, Vol.38, No.3: 205-208.
Panggabean, M. M. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing.

34

PERKI. 2009. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta:


MED.
Price, S. A., & Wilson, L. M. 2013. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit). Volume 2. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 6.
Jakarta: EGC
Spodick, D.H. 2003. Acute Cardiac Tamponade. NEJM 2003 349 (7): 684-90
Swartz, M. H. 2004. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC.
Tiran, Denise. 2008. Seri Asuhan Kebidanan: Mual dan Muntah Kehamilan.
Jakarta: EGC
Widiastuti, A. 2012. Efektivitas Edukasi Terstruktur Berbasis Teori Perilaku
Terencana Terhadap Pemberdayaan dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit
Jantung Koroner Di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Jurnal
Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta.
Yarlagadda,

C.

2011.

Cardiac

Tamponade.

http://emedicine.medscape.com/article/152083-clinical

Availabe
(Diakses

at:
pada

tanggal 30 April 2014).


Yarlagadda, C. 2012. Cardiac Tamponade Clinical Presentation. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/152083-clinical.
tanggal 30 April 2014).

(Diakses

pada

Anda mungkin juga menyukai