Anda di halaman 1dari 33

CEDERA KEPALA

Tugas Refrat

Diajukan untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Pendidikan Program profesi Dokter


Stase Bedah Fakultas kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Diajukan Oleh:

QONITA IMMA IRFANI

J 500050013

Pembimbing : dr Haryono, Sp.B

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2010

LEMBAR PENGESAHAN
REFRAT
CEDERA KEPALA

Diajukan untuk memenuhi persyaratan


pendidikan Dokter Stase Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Oleh :

QONITA IMMA IRFANI

J 500050013

Menyetujui dan mengesahkan


Pembimbing : dr Haryono, Sp.B

Mengetahui
Ketua program profesi dokter

Pembimbing

Dr. M Shoim Dasuki, M.Kes

dr.Haryono, Sp.B

BAB I
PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda
paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi
cerebral sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan
lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia
produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih
rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta
rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal
sebelum tiba di rumah sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit , 80%
dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang
dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan
para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan
pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok
tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.
Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah
identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan
yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.

Pada penderita dengan cedera


kepala ringan dan sedang hanya 3%
-5% yang memerlukan tindakan
operasi kurang lebih 40% dan
sisanya dirawat secara konservatif.
Pragnosis pasien cedera kepala akan
lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio
cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii fracture.
Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan
sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio
cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah
pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,
anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan
secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan
pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI CEDERA KEPALA


Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer
ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Japardi, 2004).
2. ANATOMI KEPALA
a. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan


yang disebut sebagai

SCALP

yaitu:
Skin atau kulit
Connective tissue atau
jaringan penyambung
Aponeuris atau galea
aponeurotika

yaitu

jaringan

yang

ikat

berhbungan

langsung

dengan tengkorak

Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.


Perikranium

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika


dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya
perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah
sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau
penderita

dewasa

yang

cukup

lama

terperangkap

sehingga

membutuhkan waktu

Lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon,


1997).

b. Tulang Tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak

terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh
otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus
frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian
bawah batang otak dan serebelum (American college of surgeon, 1997).
c. Meninges

Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3

lapisan yaitu :
1) Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu

lapisan endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang


keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam
dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004)

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada


permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus
dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat(Japardi,2004)

Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan


dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus

pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura
mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater
oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid
umumnya

disebabkan

akibat

cedera

kepala

(American

college

of

surgeon,1997)
3) Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia

mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi
gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus
saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk
kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004).

d. Otak

Otak merupakan suatu

struktur gelatin dengan berat


pada orang dewasa sekitar 14
kg. Otak terdiri dari beberapa
bagian yaitu proensefalon (otak
depan) terdiri dari serebrum dan
diensefalon, mesensefalon (otak
tengah)

dan

rhombensefalon

(otak belakang) terdiri dari pons,


medula

oblongata

dan

serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal

berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.
Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada
medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung
jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of
surgeon, 1997).
e. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio

arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.

Angka rata-rata pada

kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar
500 ml CSS per hari(Hafidh, 2007).
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang

supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior)(japardi,2004)
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis(japardi,2004).
3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang
akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang
tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak.
TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg
dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala,
semakin buruk prognosisnya (American college of surgeon,1997)
b. Hukum Monroe-Kellie

Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu

konstan

karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume
intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-

komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan


serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).

Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997)

c. Tekanan Perfusi otak


Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata
(mean arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO
kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi
penderita.(American college of surgeon,1997)
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO
menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEGakan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak
akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American
college of surgeon, 1997).

4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Pada cedera kepala, kerusakan

otak dapat terjadi dalam dua tahap


yaitu

cedera

primer

dan

cedera

sekunder. Cedera primer merupakan


cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh
proses

kepala

akselarasideselarasi

gerakan


Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan

contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasideselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup) (japardi, 2004)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai

proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(japardi, 2004)
5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal
3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena
pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan
oleh peluru atau tusukan (Bernath, 2009).
b. Beratnya cedera

Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma

Scale adalah sebagai berikut :

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala

berat.

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

Glasgow
Glasgow Coma Scale
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

nilai ai
4
3
2
1

5
4
3
2
1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah
6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
1(Kluwer, 2009)

c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium
dan lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan

dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.


Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut
antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular
(battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus
fasialis (Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan
segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan
yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang
tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura
ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak
mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20
kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi
risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan
20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk
pengamatan (Davidh, 2009)

2. Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau

difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath,
2009)

a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang

terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater


dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung.
Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan
sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan
biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma
epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietaloksipital atau fossa posterior.

Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5%

dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus


selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila
ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan
darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada
penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status
neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
pendarahan epidural dapat menunjukan adanya lucid interval yang
klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba
meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah
memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli
bedah saraf(Harga Daniel, 2009)

Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens

yang

tidak

selalu

homogeny,

bentuknya

biconvex

sampai

planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke


sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan

corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat


diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak
lebih jelas (Gazali, 2007).

b. Hematom Subdural
Hematoma

subdural

(SDH)

adalah perdarahan yang terjadi di


antara duramater dan arakhnoid.
SDH

lebih

sering

terjadi

dibandingkan EDH, ditemukan


sekitar 30% penderita dengan
cedera kepala berat. Terjadi paling
sering

akibat

robeknya

vena

bridging antara korteks serebral

dan sinus draining.

Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi


otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American college of surgeon,
1997)

Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta

biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom
terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut

Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )

dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas
medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure
interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural
(Bernath, 2009).

2) SDH Kronis

Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi


yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada
pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit
hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada
prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin
lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya
menjadi hipodens (Ghazali, 2007)

d. Kontusi dan hematoma intraserebral.

Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi

otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap
tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan

(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan
otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam
jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi

lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan


tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).

e. Cedera difus
Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering
terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan
cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi
disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat.
Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak
diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah
keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini
pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang
lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia
retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon,
1997).
Komosio

cerebri

klasik

adalah

cedera

yang

mengakibatkan

menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai

dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan


ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul
defisist neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu
misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi
serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan
diman pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung
lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau serangan
iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan
tetap koma selama beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan
gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam
keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg
menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis
dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan
cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan
memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan (American

college of surgeon,1997)

Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan

cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang
meski bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur
hidup perlu menjadi pertimbangan.

CEDERA MAXILLOFACIAL
Faktur maxilaris
Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan
dicirikan oleh:
-

Mobilitas palatum

Mobilitas hidung yang menyertai palatum

Epistaksis

Mobilitas 1/3 wajah bag tengah.

Kalsifikasi menurut le fort


Lefort 1

Fraktur
nelintang
rendah pada maxila
yang hanya melibatkan
palatum, dicirikan oleh
pergeseran
arcus
dentalis maxila dan
palatum, maloklusi gigi
biasanya bisa terjadi
(Boies, 2002).

Lefort II

Fraktur ini dicirikan


mabilitas palatum dan
hidung end-block, juga
epistaksis yang jelas.
Biasanya
maloklusi
gigi dan pergeseran
pllatum
kebelakang.
Fraktur end-block pada
palatum dan sepertiga
tngah wajah tremasuk
hidung(Boies, 2002)

Lefort III
Merupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka
wajah terputus.seluruh komplek zigomatikus menjadi mobile dan
tergeser (Boies, 2002)

Fraktur mandibula

Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati


rasa bibir bawah akibat kerusakan pada nervus mandibularis. Fraktur
pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan
tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut. Pada fraktur daerah
dagu, otot akan menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal,
sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang akan tertarik kearah
cranial (Boies,2002).

Fraktur gigi

Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan


fraktur maksila maupun mandibula, dimana gigi yang hancur perlu
dicabut, sementara yang patah dibiarkan(Boies, 2002)

Fraktur os nasal

Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada


pemeriksaan didapatkan pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan
teraba garis fraktur. Foto radiologi diperlukan dalam membantu
diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan lateral, sedangkan tindakan
yang perlu dilakukan adalah reposisi atau septoplasty (Boies, 2002)

Fraktur orbita

Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel


yang dapat disertai diplopia, hemomaksila dan mati rasa pipi karena
cedera nervus infraorbitalis atau mati rasa dahi karena kerusakan
nervus supraorbitalis. Fraktur juga dapat menyebabkan enoftalmus
dan sering disertai terjepitnya muskulus rectus inferior di dalam
patahan sehingga gerakan bola mata sangat terganggu dan penderita
mengalami diplopia(Boies, 2002)

Fraktur os zygoma

Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita


sehingga tidak disertai hematom orbita, tetapi terlihat sebagai
pembengkakan pipi di daerah arcus zygomaticus. Diagnosis ditegakan
secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi waters, yaitu
temporooksipital(Boies, 2002)

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala

Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan
yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,
Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari

inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis,
Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan
mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada
kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral
dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obatobatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi
shock, febris, dll).
4) Adanya lateralisasi.
5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
6)
7)
8)

depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.


Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler,

dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark /


iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi

keberadaan

ventilasi

atau

masalah

(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

pernapasan

k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat


peningkatan tekanan intrkranial
l. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan
m. Kesadaran (Haryo, 2008)

7. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya

memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala
sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat
membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala
tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau
berat(ariwibowo, 2008).

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.

Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain


airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan
cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak
sekunder dan mencegah homeostasis otak(ariwibowo, 2008).

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.

Indikasi rawat antara lain:


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)


Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
Penurunan tingkat kesadaran
Nyeri kepala sedang hingga berat
Intoksikasi alkohol atau obat
Fraktura tengkorak
Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
Cedera penyerta yang jelas
Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan

j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk

memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan


dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada
penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi
untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
8.

lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
tanda fokal neurologis semakin berat
terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)

PROGNOSA

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah


mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya
pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai
kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala (American
college of surgeon,1997).

Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma
juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

BAB III
KESIMPULAN

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga

penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya


kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang
terjadi.

Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua


tahap, yaitu cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari
suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai
prosese patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan
otak primer.

Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi


beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala,
beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari beberapa
referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedeera
kepala, yang walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun
merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap seumur hidup
yang perlu dipertimbangkan.

Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang


menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi,
apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan
fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang
terkena.

Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan,


sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak
yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan
bisa menyebabkan kebingungan dan koma.

Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area,


sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan
fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin
tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan
fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
REVISI

Gejala klinis cedera kepala Lesi Intracranial Focal


Epidural hematom
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara
progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar
di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan
yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus
di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala
yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala
yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :
Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat

Keluar cairan darah dari hidung atau telinga


Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai


hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran
pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan
masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi
tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada
tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,
mencerminkan

adanya

disfungsi

rostrocaudal

batang

otak.

Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar


otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda
lainnya menjadi kabur

Subdural Hematom

1.Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai

48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan
pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan
dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48

jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural
akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan
subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran

mulai

menurun

perlahan-lahan

dalam

beberapa

jam.Dengan

meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita


mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan
intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang
otak.
3.Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan

bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah

satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat
dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah
dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang
mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan
lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering

terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak
dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala
bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma
subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan
Intracerebral hematom
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Sakit kepala mendadak yang eksplosif


Fotofobia
Mual dan muntah
Hilang kesadaran
Kejang-kejang
Gangguan respiratori
Shock

Perbedaan MRI dengan CT Scan secara umum


MRI

Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu alat kedokteran


di
bidang pemeriksaan diagnostik radiologi ,yang menghasilkan
rekaman gambar potongan penampang tubuh / organ manusia.
Gambaran tersebut didapat dengan menggunakan medan magnet
berkekuatan antara 0,064 1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dengan
resonansi
getaran
terhadap
inti
atom
hidrogen.
Beberapa faktor kelebihannya adalah kemampuan dalam membuat
potongan
koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi
tubuh
pasien sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak.
Teknik penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang
dihasilkan tergantung pada banyak parameter. Bila pemilihan
parameter tersebut tepat, kualitas gambar MRI dapat memberikan
gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan yang kontras,
sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara
teliti.

CT Scan
CT Scan atau Computed tomography adalah pencitraan medis yang
diperoleh dengan menggunakan sinar-X. radiasi tersebut melewati
tubuh dan diterima oleh detektor dan kemudian terintegrasi dengan
komputer

untuk

mendapatkan

gambar

cross

sectional

yang

ditampilkan pada layar.

CT, Computerized Axial Tomgraphy, menggunakan xrays untuk


menghasilkan gambar tubuh, termasuk tulang .. Dalam CT scanner
tabung x-ray, (sumber) berputar di sekitar pasien meletakkan di atas
meja. Di sisi berlawanan dari pasien dari tabung detektor x-ray..
detektor ini menerima berkas yang membuat melalui pasien. Sinyal

yang diterima oleh masing-masing saluran adalah digital untuk nilai


16 bit dan dikirim ke prosesor rekonstruksi. Pengukuran diambil
sekitar 1000 kali per detik. Scan rotasi biasanya 1-2 detik. Setiap
tampilan / saluran sepotong scan data dibandingkan dengan memindai
data kalibrasi udara, air dan polyethelyne, (plastik lunak) sebelumnya
diperoleh di lokasi yang relatif sama persis. Perbandingan
mengijinkan piksel gambar untuk memiliki nilai yang dikenal untuk
suatu zat tertentu dalam tubuh tanpa memandang perbedaan dalam
ukuran pasien dan faktor eksposur.

Daftar pustaka

American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport.


United States of America: Firs Impression

Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.


Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.

Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta:
penerbit buku kedokteran EGC
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka
Cendekia.

Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.


Sumatra Utara: USU Press.

Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia:


Lippicott Williams and Wilkins

Anda mungkin juga menyukai