Anda di halaman 1dari 12

TUGAS HUKUM ACARA PTUN

TEORI-TEORI PEMBUKTIAN DAN ALAT-ALAT BUKTI DALAM PTUN

PENDAHULUAN
Salah satu tugas Hakim dalam suatu proses beracara di pengadilan adalah
untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang
berperkara. Sehingga harus dibuktikan kebenarannya di depan sidang pengadilan.
Pihak penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membuktikan
kebenaran dalil gugatannya. Setelah itu, pihak tergugat diberikan kesempatan
untuk membuktikan kebenaran dalil sangkalannya.
Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk
menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam
menjatuhkan suatu putusan. Fakta tersebut dapat terdiri dari (Indroharto, 1993:
hlm. 185-186) :
1. Fakta

hukum,

yaitu

kejadian-kejadian

atau

keadaan-keadaan

yang

eksistensinya (keberadaannya) tergantung dari penerapan suatu peraturan


perundang-undangan.
2. Fakta biasa, yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut
menentukan adanya fakta hukum tertentu.
Menurut Pasal 100 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9
Tahun 2004 jo UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(atau UU PTUN) yang berbunyi Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak
perlu dibuktikan. Sehingga fakta telah yang diketahui oleh umum, jika dijadikan
dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya, maka fakta yang
dimaksud tidak perlu dibuktikan. Di samping fakta yang telah diketahui oleh
umum, juga terdapat fakta yang dapat menjadi dasar pertimbangan dari hakim
dalam menjatuhkan putusannya yang tidak perlu dibuktikan, yaitu:
a. hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi;
b. fakta-fakta prosesual yang terjadi selama pemeriksaan;
1

c. eksistensi hukum.
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum
oleh pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk
memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa,
sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.
Kebenaran yang dituju disebut kebenaran materiil. Tujuan pembuktian adalah
memberikan kepastian kepada Hakim tentang kebenaran fakta hukum yang
menjadi pokok sengketa. Fungsi/kegunaan dari pembuktian adalah sebagai dasar
dari keputusan Hakim untuk memutus suatu perkara. Pembuktian di atas adalah
dalam pengertian yuridis, yang bersifat kemasyarakatan, selalu mengandung
ketidakpastian dan tidak akan pernah mencapai kebenaran mutlak. Jadi,
pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku bagi pihak-pihak
berperkara dan pengganti-penggantinya, dan memungkinkan pula terjadinya
perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara sesama Hakim.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah teori-teori pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara?
2. Apa sajakah alat-alat bukti dalam Peradilan Tata Usaha Negara?

PEMBAHASAN

1. Teori-Teori Pembuktian dalam PTUN


Dalam hukum acara TUN, dengan memperhatikan segala sesuatu yang
terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan
oleh para pihak, hakim TUN bebas untuk menentukan:
a. Apa yang harus dibuktikan.
Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak tergantung atau tidak
terikat pada fakta atau hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat,
artinya hakim dapat saja mengenyampingkan fakta dan hal yang diajukan
oleh penggugat atau tergugat. Demikian pula, hakim dapat saja memeriksa
lebih lanjut tentang fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak cukup
dibantah, apabila fakta dan hal tersebut mempunyai arti yang relevan untuk
dijadikan dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan yang
pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan belum cukup pasti keadaannya.
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh
pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim
sendiri.
Dengan demikian dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
TUN, hakim mempunyai kebebasan atau dapat menentukan sendiri yang
harus dibebani pembuktian. Siapa yang dibebani pembuktian merupakan
masalah pembagian beban pembuktian, yaitu kewajiban yang dibebankan
kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar
pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan. Sebagai akibat dari
hakim mempunyai kebebasan atau dapat menentukan sendiri siapa yang harus
dibebani pembuktian, maka hakim dapat saja menerapkan beban pembuktian
terbalik atau pembagian beban yang seimbang sesuai dengan kearifan hakim
(Suparto Wijoyo, 1997: hlm. 119).
c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam
pembuktian.
Sebenarnya masing-masing alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal
100 ayat (1) UU PTUN mempunyai derajat bobot yang sama (Indroharto,
1993: hlm. 204), artinya tidak ada tingkat-tingkat mengenai kekuatan
3

pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut atau tidak ada perbedaan
mengenai kekuatan pembuktian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti
yang lain. Meskipun demikian, dalam penjelasan Pasal 107 disebutkan bahwa
hakim dapat menentukan sendiri alat bukti mana saja yang diutamakan untuk
dipergunakan dalam pembuktian (R. Wiyono, S.H., 2007: hlm. 153).
d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.
Hakim dapat menentukan sendiri kekuatan pembuktian bukti yang telah
diajukan,

maksudnya

adalah

hakim

mempunyai

wewenang

untuk

memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian dalam memeriksa,


memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dengan memperhatikan
persyaratan, yaitu untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya
dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah
hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa
di dalam sidang, yaitu:
a. Teori Pembuktian Bebas.
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat
hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada
hakim. Teori ini dikehendaki pendapat umum karena akan memberikan
kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran. Dalam teori
ini dikehendaki agar penilaian Hakim sedapat mungkin mendekati keadilan,
sehingga hakim tidak terlalu terikat dengan alat bukti yang diajukan pihak
yang berperkara.
b. Teori Pembuktian Terikat.
Maksudnya hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak
berperkara, jadi harus memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti
yang diajukan di persidangan.
c. Teori Pembuktian Gabungan.
Maksudnya Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian,
misalnya Hakim bebas menilai suatu alat bukti permulaan, sehingga hakim

masih perlu adanya sumpah tambahan. Bila sumpah tambahan dilakukan,


maka hakim terikat menilainya, apabila tidak disertai sumpah tambahan maka
hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.
Penjelasan umum UU PTUN menyebutkan: .. hukum acara yang
digunakan pada Peradilan TUN mempunyai persamaan dengan hukum acara
yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata, dengan beberapa
perbedaan antara lain:
a. pada Peradilan TUN, hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan
guna memperoleh kebenaran materill dan untuk itu undang-undang ini
mengarah pada ajaran pembuktian bebas;
b. dan seterusnya.
Sehingga dapat diketahui bahwa teori pembuktian yang diikuti oleh
pembuat UU PTUN adalah teori pembuktian bebas. Karena dimaksudkan untuk
memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil.
2. Alat-Alat Bukti dalam PTUN
Dalam proses pembuktian, yang mendapat kesempatan membuktikan
alat-alat bukti yang dimiliki adalah pihak Penggugat terlebih dahulu dan giliran
selanjutnya adalah pihak Tergugat (Victor Situmorang, 1987: hlm. 50). Menurut
Pasal 100 ayat (1) UU PTUN, macam-macam alat bukti terdiri dari:
a.
b.
c.
d.
e.

surat atau tulisan;


keterangan ahli;
keterangan saksi;
pengakuan para pihak;
pengetahuan Hakim.
a. Surat atau Tulisan
Di dalam UU PTUN tidak terdapat ketentuan-ketentuan tentang apa yang

dimaksud dengan alat bukti yang berupa surat atau tulisan. Menurut Sudikno
Mertokusumo, yang dimaksud dengan surat atau tulisan adalah segala sesuatu
yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati
atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai

pembuktian (Sudikno Mertokusumo, 1988: hlm. 116). Menurut Indroharto,


pengertian surat atau tulisan adalah hasil dari pemeriksaan persiapan guna
mematangkan perkara yang bersangkutan dalam pemeriksaan di muka sidang
pengadilan nanti (Indroharto, 1993: hlm. 201).
Menurut Pasal 101 UU PTUN alat bukti berupa surat terdiri atas 3 (tiga)
jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat
umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat
surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
2. Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihakpihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat
bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
3. Surat-surat lainnya yang bukan akta.
Bila mana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat
bukti surat yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan
pemeriksaan terhadap bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam
putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya. Apabila dalam pemeriksaan
persidangan ternyata ada alat bukti tertulis tersebut ada pada badan atau pejabat
TUN, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN tersebut untuk
segera menyediakan alat bukti tersebut. Masing-masing alat bukti yang berupa
surat atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan pembuktian sendiri-sendiri dan
hakim yang akan menentukan bobot atau nilai pembuktian tersebut (Yos Johan
Utama, t.th.: hlm. 48).
Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta
aslinya. Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat
dipercaya apabila tindasan, foto copy dan salinan itu sesuai dengan aslinya. Dalam
hubungan

ini,

hakim

dapat

memerintahkan

kepada

para

pihak

agar

memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan, tetapi apabila lawan


mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan, foto copy, dan salinan akta

tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli (Teguh Samudera, 1992:
hlm. 57).
b. Keterangan Ahli
Menurut Pasal 102 ayat (1) UU PTUN, menyatakan: Keterangan ahli
adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan
tentang hal apa yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa termasuk keterangan ahli
adalah keterangan yang diberikan oleh juru taksir. Dalam hal ini keterangan juru
taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat
didengar sebagai saksi (pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat
diangkat sebagai ahli. Jika hanya diperhatikan pada ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 102 ayat (1) saja, maka keterangan ahli dalam bentuk tertulis bukan
merupakan alat bukti berupa keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal
100 ayat (1) huruf b (R. Wiyono, S.H., 2007: hlm. 155).
Pasal 103 ayat (2) UU PTUN menentukan: Seorang ahli dalam
persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan
yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang
pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Sesuai perumusan dari ketentuan yang
terdapat dalam Pasal tersebut, ternyata keterangan ahli di samping dapat diberikan
dalam bentuk tidak tertulis atau lisan, juga dapat diberikan dalam bentuk tertulis
atau surat. Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim
mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan
oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli
di bidang komputer, ahli di bidang balistik dan lain-lain (Rozali Abdullah, 1996:
hlm. 71).
c. Keterangan Saksi
Di dalam UU PTUN tidak terdapat ketentuan yang memberikan arti apa
yang dimaksud dengan saksi. Pasal 104 UU PTUN hanya menjelaskan tentang
keterangan saksi, yaitu Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila
keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didenganr oleh

saksi sendiri. Menurut Indroharto (Indroharto, 1993: hlm. 202) dikemukakan


bahwa yang dimaksud dengan keterangan saksi tersebut adalah keterangan saksi
yang didengar oleh hakim selama pemeriksaan perkara dilakukan.
Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 104 UU PTUN tersebut dapat
diketahui bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang
sesuatu hal yang dialami, dilihat atau didengar sendiri dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan. Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan
kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat
menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan di
dengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam Pasal 88 UU
PTUN sebagai berikut:
1. keluarga sedarah atau semenda menurut garus keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa;
2. istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai;
3. anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun;
4. orang sakit ingatan.
Menjadi saksi adalah kewajiban, tetapi meskipun demikian terdapat
beberapa orang yang dapat minta mengundurkan diri untuk menjadi saksi yang
sesuai di dalam ketentuan Pasal 89 ayat (1), yaitu antara lain sebagai berikut:
a. saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu
pihak;
b. setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan
itu.
Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan
saksi dengan keterangan ahli. Perbedaan itu diantaranya, adalah:
Keterangan ahli
1. seorang (beberapa) saksi ahli dipanggil kemuka pengadilan untuk
mengemukakan

keterangan

berdasarkan

keahliannya

terhadap

suatu

peristiwa;

2. keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis;


3. kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain yang sesuai
dengan keahliannya.
Keterangan saksi
1. seorang

(beberapa)

saksi

di

panggil

kemuka

pengadilan

untuk

mengemukakan keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, dengar, atau dialami


sendiri;
2. keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis;
3. kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama
melihat, mendengar dan menyaksikan peritiwa itu.
d. Pengakuan Para Pihak
Pengakuan adalah keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak
atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan. Meskipun pengakuan
merupakan keterangan sepihak, sehingga tidak perlu adanya persetujuan dari
pihak lawan, tetapi Pasal 105 UU PTUN menentukan bahwa pengakuan para
pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alas an yang kuat dan dapat
diterima oleh hakim.
Pengakuan yang diberikan oleh Penggugat dan/atau Tergugat belum tentu
menunjukkan kebenaran materiil yang berkaitan dengan terjadinya sengketa TUN
antara Penggugat dan Tergugat. Oleh karena itu, hakim masih mempunyai
wewenang untuk meneliti lebih lanjut terhadap pengakuan yang telah diberikan
oleh Penggugat dan/atau Tergugat tersebut (R. Wiyono, S.H., 2007: hlm. 160). Hal
ini berbeda dengan pengakuan yang dinberikan dalam sengketa perdata, karena
dengan adanya pengakuan dari Penggugat dan Tergugat, maka sengketa perdata
dianggap selesai dan hakim tidak perlu lagi meneliti tentang kebenaran dari
pengakuan tersebut (Sudikno Mertokusumo, 1988: hlm. 142).
e. Pengetahuan Hakim
Di dalam Pasal 106 UU PTUN ditentukan bahwa yang dimaksud dengan
pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.

Maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar,
dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan.
Pengetahuan hakim tersebut adalah pengetahuan dari hakim yang
diperoleh selama pemeriksaan di sidang Pengadilan berlangsung. Termasuk
pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemeriksaan setempat (gerechtelijke
plaatselijk onderzoek), karena hanya tempat sidangnya saja yang pindah, tidak
lagi di kantor Peradilan TUN, tetapi berlangsung misalnya di kantor Tergugat (R.
Wiyono, S.H., 2007: hlm. 160).

KESIMPULAN
Dalam hukum acara TUN, dengan memperhatikan segala sesuatu yang
terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan
oleh para pihak, hakim TUN bebas untuk menentukan:
a. Apa yang harus dibuktikan.
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh
pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim
sendiri.
c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam
pembuktian.
d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.
Dapat disimpulkan bahwa teori pembuktian yang diikuti oleh pembuat UU PTUN
adalah teori pembuktian bebas. Karena dimaksudkan untuk memperoleh
kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil.

Macam-macam alat bukti dalam Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:


surat atau tulisan;
keterangan ahli;
keterangan saksi;
pengakuan para pihak;
pengetahuan Hakim.

10

DAFTAR PUSTAKA
Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Mertokususmo, Sudikno. 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi Ketiga.
Cetakan I. Yogyakarta: Liberty.
Situmorang, Victor. 1987. Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta:
Bina Aksara.
Samudera, Teguh. 1992. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Bandung.
Utama, Yos Johan. t.th. Kiat Berperkara di Peradilan Tata Usaha Negara, Badan
Penerbit UNDIP Semarang.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Pertama Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

11

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Wijoyo, Suparto. 1997. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi.
Cetakan I. Airlangga University Press.
Wiyono, R. 2007. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Edisi I. Cetakan I.
Jakarta: Sinar Grafika.

12

Anda mungkin juga menyukai