PENDAHULUAN
Salah satu tugas Hakim dalam suatu proses beracara di pengadilan adalah
untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang
berperkara. Sehingga harus dibuktikan kebenarannya di depan sidang pengadilan.
Pihak penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membuktikan
kebenaran dalil gugatannya. Setelah itu, pihak tergugat diberikan kesempatan
untuk membuktikan kebenaran dalil sangkalannya.
Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk
menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam
menjatuhkan suatu putusan. Fakta tersebut dapat terdiri dari (Indroharto, 1993:
hlm. 185-186) :
1. Fakta
hukum,
yaitu
kejadian-kejadian
atau
keadaan-keadaan
yang
c. eksistensi hukum.
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum
oleh pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk
memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa,
sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.
Kebenaran yang dituju disebut kebenaran materiil. Tujuan pembuktian adalah
memberikan kepastian kepada Hakim tentang kebenaran fakta hukum yang
menjadi pokok sengketa. Fungsi/kegunaan dari pembuktian adalah sebagai dasar
dari keputusan Hakim untuk memutus suatu perkara. Pembuktian di atas adalah
dalam pengertian yuridis, yang bersifat kemasyarakatan, selalu mengandung
ketidakpastian dan tidak akan pernah mencapai kebenaran mutlak. Jadi,
pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku bagi pihak-pihak
berperkara dan pengganti-penggantinya, dan memungkinkan pula terjadinya
perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara sesama Hakim.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah teori-teori pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara?
2. Apa sajakah alat-alat bukti dalam Peradilan Tata Usaha Negara?
PEMBAHASAN
pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut atau tidak ada perbedaan
mengenai kekuatan pembuktian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti
yang lain. Meskipun demikian, dalam penjelasan Pasal 107 disebutkan bahwa
hakim dapat menentukan sendiri alat bukti mana saja yang diutamakan untuk
dipergunakan dalam pembuktian (R. Wiyono, S.H., 2007: hlm. 153).
d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.
Hakim dapat menentukan sendiri kekuatan pembuktian bukti yang telah
diajukan,
maksudnya
adalah
hakim
mempunyai
wewenang
untuk
dimaksud dengan alat bukti yang berupa surat atau tulisan. Menurut Sudikno
Mertokusumo, yang dimaksud dengan surat atau tulisan adalah segala sesuatu
yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati
atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
ini,
hakim
dapat
memerintahkan
kepada
para
pihak
agar
tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli (Teguh Samudera, 1992:
hlm. 57).
b. Keterangan Ahli
Menurut Pasal 102 ayat (1) UU PTUN, menyatakan: Keterangan ahli
adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan
tentang hal apa yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa termasuk keterangan ahli
adalah keterangan yang diberikan oleh juru taksir. Dalam hal ini keterangan juru
taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat
didengar sebagai saksi (pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat
diangkat sebagai ahli. Jika hanya diperhatikan pada ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 102 ayat (1) saja, maka keterangan ahli dalam bentuk tertulis bukan
merupakan alat bukti berupa keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal
100 ayat (1) huruf b (R. Wiyono, S.H., 2007: hlm. 155).
Pasal 103 ayat (2) UU PTUN menentukan: Seorang ahli dalam
persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan
yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang
pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Sesuai perumusan dari ketentuan yang
terdapat dalam Pasal tersebut, ternyata keterangan ahli di samping dapat diberikan
dalam bentuk tidak tertulis atau lisan, juga dapat diberikan dalam bentuk tertulis
atau surat. Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim
mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan
oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli
di bidang komputer, ahli di bidang balistik dan lain-lain (Rozali Abdullah, 1996:
hlm. 71).
c. Keterangan Saksi
Di dalam UU PTUN tidak terdapat ketentuan yang memberikan arti apa
yang dimaksud dengan saksi. Pasal 104 UU PTUN hanya menjelaskan tentang
keterangan saksi, yaitu Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila
keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didenganr oleh
keterangan
berdasarkan
keahliannya
terhadap
suatu
peristiwa;
(beberapa)
saksi
di
panggil
kemuka
pengadilan
untuk
Maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar,
dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan.
Pengetahuan hakim tersebut adalah pengetahuan dari hakim yang
diperoleh selama pemeriksaan di sidang Pengadilan berlangsung. Termasuk
pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemeriksaan setempat (gerechtelijke
plaatselijk onderzoek), karena hanya tempat sidangnya saja yang pindah, tidak
lagi di kantor Peradilan TUN, tetapi berlangsung misalnya di kantor Tergugat (R.
Wiyono, S.H., 2007: hlm. 160).
KESIMPULAN
Dalam hukum acara TUN, dengan memperhatikan segala sesuatu yang
terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan
oleh para pihak, hakim TUN bebas untuk menentukan:
a. Apa yang harus dibuktikan.
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh
pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim
sendiri.
c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam
pembuktian.
d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.
Dapat disimpulkan bahwa teori pembuktian yang diikuti oleh pembuat UU PTUN
adalah teori pembuktian bebas. Karena dimaksudkan untuk memperoleh
kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil.
10
DAFTAR PUSTAKA
Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Mertokususmo, Sudikno. 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi Ketiga.
Cetakan I. Yogyakarta: Liberty.
Situmorang, Victor. 1987. Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta:
Bina Aksara.
Samudera, Teguh. 1992. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Bandung.
Utama, Yos Johan. t.th. Kiat Berperkara di Peradilan Tata Usaha Negara, Badan
Penerbit UNDIP Semarang.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Pertama Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
11
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Wijoyo, Suparto. 1997. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi.
Cetakan I. Airlangga University Press.
Wiyono, R. 2007. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Edisi I. Cetakan I.
Jakarta: Sinar Grafika.
12