Anda di halaman 1dari 21

Kata Pengantar

Buku ini disusun untuk menambah bacaan bagi mahasiswa semester II yang
sedang menempuh mata kuliah Introduction to Literature di fakultas Sastra
Universitas Gajayana Malang.
Materi yang ada di dalam buku ini disesuaikan dengan kebutuhan dasar
mahasiswa sastra yang baru mulai belajar mengenal karya sastra, khususnya sastra
Inggris, di perguruan tinggi. Materi tersebut mencakup pengenalan sastra secara
umum dan bentuk-bentuknya yang dikenal selama ini. Penyajian materi buku ini
sangat terbatas sehingga belum dapat memberikan gambaran sastra itu secara
memuaskan. Seperti dalam pemaparan bentuk-bentuk sastra, kami hanya
menyajikan sastra yang berbentuk prosa dan puisi sehingga pembaca tidak akan
mendapatakan sastra yang berbentuk drama. Untuk bentuk ini, kami cenderung
menuliskan di buku sendiri karena untuk bentuk ini membutuhkan uraian yang
lebih banyak.
Sebagai penulis, kami merasa buku ini masih banyak kekurangan dan
kelemahannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk perbaikan buku ini.
Malang, Januari 1998
Penulis

BAB 1
SASTRA DAN DEFINISINYA
1.1 . Apakah sastra itu
Dalam buku-buku mengenai sastra sudah banyak ditulis apa itu sastra. Dari
sejumlah definisi yang diusulkan ternyata sastra masih juga banyak diperdebatan. Hal ini
disebabkan masing-masing orang mempunyai dasar pijakan yang berbeda-beda sehingga
menimbulkan cara pandang yang berlainan pula terhadap karya sastra. Sebagai obyek
definisi, karya sastra itu sendiri tidak hanya mempunyai satu bentuk melainkan lebih dari
satu. Pada akhirnya masing-masing bentuk itu memerlukan perlakuan tersendiri.
Sebagai contoh, karya sastra yang berbentuk puisi atau sajak. Bila ditinjau dari
penggunaan bahasanya, jelas kata-kata dalam sajak tidak akan sama pemakaiannya
dengan yang ada dalam novel. Kata-kata dalam sajak itu pilihan dan cenderung
bermakna ganda (konotatif). Tiap kata mengemban arti yang begitu padat sehingga
mampu menyodorkan bermacam-macam makna. Selain itu, kata-kata dalam sajak lebih
cenderung menghadirkan imajinasi bagi yang membacanya. Hal yang pasti, seringkali
makna sajak itu didapat dari apa yang tersirat, bukan dari yang tersurat.
Berbeda sekali dengan karya berbentuk prosa. Sebagai contoh novel. Dalam
novel, pengarang cenderung menggunakan bahasa lugas dan jelas sehingga pembaca
lebih mudah menangkap apa yang sedang terjadi atau yang digambarkan oleh pengarang
dalam karyanya. Di sini, suatu peristiwa bisa diceritakan secara kronologis dan dramatis
sehingga tokoh-tokohnya pun bisa digambarkan secara jelas dan rinci, baik itu
tindakannya, pikirannya, maupun perasaannya.
Dari perbedaan pemakaian bahasa di atas, maka jelas bahwa puisi dan novel tidak
bisa diberikan batasan yang sama. Puisi misalnya, bisa dikatakan sebagai ungkapan
spontan dari perasaan penyair yang diwujudkan dalam rangkaian kata-kata pilihan dan
dengan kata-kata itulah seorang penyair berusaha mengemas pengalaman puitisnya.
Sedangkan novel tidak demikian. Menulis novel memerlukan waktu yang lebih
lama karena di sini seorang pengarang membutuhkan waktu untuk berpikir, mengamati,
merenung, merencanakan, bahkan kadang merevisi tulisannya berkali-kali hanya untuk
sebuah paragraf. Jelas ini bukan proses spontan.
1.2 .Kendala Dalam Mendefinisikan Sastra
Setiap usaha untuk mendefinisikan sastra seringkali hanya merupakan usaha
memberi batasan yang kebenarannya tidak bisa mencakup semua bentuk karya sastra.
Dengan ciri-ciri khusus pada karya itu selanjutnya orang memberi batasan dan batasan
tersebut hanya berlaku pada satu bentuk saja.
Melihat kenyataan ini, sastra memang tidak mudah untuk didefinisikan. Ada
beberapa sifat sastra yang tidak bisa dihindari atau dihilangkan. Sifat-sifat inilah yang
pada akhirnya memang menjadi kendala bagi orang yang hendak mendefinisikan sastra.
Beberapa sifat tersebut dapat dijelaskan di sini, yaitu :

1. Sastra itu Seni


Sastra itu bukan ilmu tapi seni. Sebagai sebuah karya seni, sastra
tidak bisa terlepas dari unsur-unsur kemanusiaan yang melekat dalam
proses penciptaannya. Unsur-unsur kemanusiaan seperti
pikiran,
perasaan, pengalaman, semangat, kepercayaan dan keyakinan yang ada
dalam diri pengarang akan menjadi bagian dari apa yang dituliskannya.
Oleh karena itu, subyektifitas pengarang sangat besar dalam menuliskan
karyanya.
Bertolak dari unsur-unsur kemanusiaan yang ada di dalamnya,
maka setiap usaha untuk memberi batasan pada sastra itu tidak mudah.
Unsur-unsur seperti perasaan, pengalaman, semangat, kepercayaan dan
keyakinan itu sulit dibuat ukurannya atau dibuat batasannya, sehingga
juga sulit diterapkan metode keilmuan untuk sastra.
2. Sastra itu Tergantung Pada Waktu dan Tempat.
Memberi batasan pada suatu obyek bisa diartikan sebagai usaha
mengungkapakan hakekat dari obyek tersebut. Hakekat suatu obyek itu
sifatnya universal dan abadi. Padahal sastra tidak bisa demikian. Sastra
itu tergantung pada waktu dan tempat. Sebuah karya sastra bisa
dianggap terbaik, dikagumi, disenangi dan diunggulkan pada suatu
jaman, akan tetapi tidak lagi di jaman lain. Bisa terjadi pula, di negara
tertentu sebuah karya amat digemari dan disanjung-sanjung akan tetapi
di tempat lain tidak disukai atau bahkan dihujat. Dengan kata lain,
konvensi sastra dan semangat jaman itu sangat mempengaruhi penilaian
masyarakat terhadap suatu karya.
Suatu contoh, di Cina pada jaman dahulu pernah terjadi karyakarya rekaan atau fiktif itu malah dianggap bukan karya sastra.
Sedangkan karya yang menceritakan kejadian sungguh-sungguh itu
malah yang dinamakan karya sastra. Seperti buku History of the
Decline and Fall of the Roman Empire (1781) karya sejarawan Inggris
Gibbons semula dianggap bukan karya sastra, tetapi kemudian
dimasukkan ke dalam kategori sastra. Dulu Epos Ramayana diyakini
berisi uraian kode dharma seorang satria, tetapi saat ini banyak dibaca
sebagai cerita yang mengandung ajaran-ajaran moral.
Jadi jelas bahwa batasan yang berusaha mengungkapkan hakekat
sebuah karya atau memberi definisi secara ontologis hanya akan
mengesampingkan kenyataan bahwa sastra hendaknya didefinisikan di
dalam situasi para pemakai atau pembacanya.
3. Sastra Mempunyai Beragam Bentuk
Sastra terdiri dari beragam bentuk ungkapan atau tulisan yang
berbeda ciri-cirinya satu sama lain. Ada bentuk puisi, prosa atau novel,
cerita pendek, dan drama. Batasan yang bertolak dari karya bentuk

drama tidak akan tepat untuk karya bentuk prosa. Demikian pula batasan
yang berpijak pada karya bentuk puisi tidak akan bisa mencakup untuk
bentuk prosa. Oleh karena itu sebuah batasan sastra akan sulit
menjangkau semua jenis bentuk karya sastra.
4. Sastra itu Bersifat Interpretatif
Pada umumnya sebuah batasan itu tidak hanya berhenti pada usaha
mendiskripsikan suatu obyek, tetapi juga memberikan penilaian. Dalam
hal ini, sebuah batasan diharapkan bisa menjawab pertanyaan apa itu
sastra dan bagaimanakah sastra yang baik. Terhadap pertanyaan pertama
, jawaban yang diharapkan berupa deskripsi obyek yaitu gambaran sastra
itu sendiri sehingga batasan itu hanya bersifat deskriptif (definisi
deskriptif). Secara umum, tidak sulit untuk mendapatkan gambaran apa
itu sastra karena sudah banyak batasan yang diusulkan untuk beragam
bentuk sastra. Namun permasalahan bisa timbul apabila batasan itu juga
mencakup kriteria karya sastra yang baik. Penilaian baik atau buruk
suatu karya itu sangat subyektif, karena juga tidak terlepas dari selera
pembaca. Dengan kriteria tertentu orang membuat evaluasi apakah suatu
karya itu layak dikatakan baik, sehingga batasan yang diberikan juga
bersifat evaluatif (definisi evaluatif).
Selama ini evaluasi terhadap karya sastra sering menghasilkan
beragam penilaian disebabkan sastra mengandung unsur-unsur
kemanusiaan seperti perasaan dan pengalaman. Bagaimanapun penilaian
itu tidak terlepas dari unsur subyektifitas pembacanya.
1.3 Beberapa Definisi Sastra
Memang tidak mudah untuk memberi batasan pada sastra yang bisa mencakup
semua bentuk karya sastra. Oleh karena itu juga sulit untuk mendapatkan definisi sastra
yang memuaskan. Namun, sepanjang jaman orang tetap berusaha mendefinisikan sastra
sehingga terus bermunculan batasan-batasan yang sampai saat ini semakin memperkaya
definisi sastra.
Ada yang menyatakan bahwa sastra itu seni bahasa. Ada pula yang mengatakan
bahwa sastra itu ungkapan spontan dari perasaan manusia yang terdalam. Sebagian lagi
berpendapat sastra itu ekspresi pikiran dan perasaan yang dituangkan ke dalam bahasa.
Sastra juga merupakan rekaman perasaan kemanusiaan dan kebenaran moral yang
dikemas dengan sentuhan nilai-nilai keindahan. Batasan lain menempatkan sastra
sebagai hasil kegiatan mental manusia yang dilandasi inspirasi kehidupan dan
selanjutnya diwujudkan dalam sebuah bentuk keindahan.
Dari beberapa batasan tersebut, ada beberapa unsur batasan yang sering
disebut. Unsur-unsur itu secara ringkas bisa disebutkan yaitu isi (content), ekspresi
(expression), bentuk (form), dan bahasa (language). Sebagai sebuah karya seorang
pengarang, maka isi sastra tentu berupa pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide,
semangat, keyakinan dan kepercayaan yang secara langsung maupun tidak langsung
berkaitan erat dengan pengarang.

Unsur kedua, yaitu ekspresi atau ungkapan. Ekpresi adalah upaya


mengeluarkan sesuatu dari dalam diri manusia. Bisa saja orang mempunyai pengalaman
yang hebat, ide-ide segar, pikiran-pikiran inovatif, perasaan begitu dalam, keyakinan
kuat, tetapi selama ia tidak mampu mengekspresikannya ke luar tentu tidak akan
diterima atau diketahui orang lain.
Unsur ketiga adalah bentuk. Unsur isi dalam diri manusia tadi bisa
diekspresikan ke luar dalam berbagai bentuk. Bentuk merupakan wadah dari isi
tersebut. Sebab tanpa bentuk, rasanya tidak mungkin isi itu bisa disampaikan kepada
orang lain. Bentuk ekspresi itu sendiri banyak ragamnya. Ada ekspresi atau ungkapan
dalam bentuk bahasa (seni sastra), gerak (seni tari), warna (seni rupa), wujud (seni
bangunan), suara atau bunyi-bunyian (seni musik), dan lain-lain. Bentuk dalam seni ini
selanjutnya dituntut sebagai bentuk yang indah, menarik, mempesona dan
menyenangkan.
Unsur keempat yaitu bahasa. Bahasa merupakan ciri khas dalam sastra.
Dengan bahasa, pengarang mengekspresikan perasaan, pengalaman dan pikiranpikirannya kepada pembaca. Dengan kata lain, bahasa merupakan bahan utama untuk
mewujudkan ungkapan pribadi dalam suatu bentuk yang indah.
Berdasarkan beberapa unsur di atas, kiranya dapat dibuat batasan sastra dalam
arti luas. Batasan yang tidak mengacu pada suatu nilai atau norma yang menjadi syarat
suatu karya bisa dianggap baik dan bermutu atau sebaliknya. Batasan itu sebagai berikut
: sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran,
perasaan, ide-ide, semangat, keyakinan dan kepercayaan, dalam suatu bentuk karya
yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Meskipun batasan tersebut bisa
mencakup semua karya sastra yang dianggap bermutu atau tidak dalam suatu jaman,
tetap saja batasan itu masih bisa dipertanyakan. Lagi pula, batasan ini hanya bersifat
deskriptif.

BAB 2
JENIS-JENIS SASTRA
2.1 Pembagian Sastra
Sastra dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu sastra imajinatif
(Imaginative Literature) dan sastra non-imajinatif (Informative Literature). Ada juga
yang memberi istilah sastra imajinatif itu Literature of Power dan Literature of
Knowledge untuk sastra non-imajinatif. Masing-masing memiliki ciri-cirinya, baik isi
maupun tujuannya.
Sastra imajinatif bertujuan membangkitkan segala perasaan (feelings) dan
pikiran (thoughts). Melalui perasaan dan pikiran inilah pembaca karya sastra diajak
menikmati keindahan, pesona, keluhuran, kebebasan, dan aneka ragam kehidupan.
Sejalan dengan tujuannya, maka isi sastra imajinatif berkaitan erat dengan unsur-unsur
kemanusiaan seperti pengalaman, perasaan, pikiran, dan sebagainya. Sedangkan sastra
non-imajinatif bertujuan memberikan informasi atau menawarkan pengetahuan kepada
pembaca. Dari karya ini, pembaca dapat memperoleh informasi atau pengetahuan yang
sekaligus menambah wawasan, ilmu, ketrampilan dan keahlian bagi dirinya. Di dalam
karya non-imajinatif, pembaca akan mendapatkan fakta-fakta, penjelasan, angka-angka,
sejarah, dan bahkan kehidupan nyata (real story).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diberikan ciri-ciri pada masing-masing
kelompok. Untuk sastra imajinatif, ciri-ciri itu meliputi adanya kadar fiksionalitas
(fictionality), bahasa yang cenderung konotatif (connotative language) dan memiliki
syarat-syarat estetika seni (aesthetic values). Sastra non-imajinatif mempunyai ciri-ciri
lebih banyak unsur faktualnya (facts), bahasa cenderung denotatif (denotative
language) dan juga memiliki syarat-syarat estetika seni.
Dalam kehidupan sehari-hari, karya-karya yang berbentuk esei, kritik, resensi,
biografi, otobiografi, sejarah, surat-surat resmi, dan catatan harian itu dimasukkan ke
dalam kelompok sastra non-imajinatif. Sedangkan untuk sastra imajinatif mencakup
karya-karya yang berbentuk prosa atau novel, cerita pendek, drama, dan puisi.
2.2 Sastra Sebagai Pengalaman
Seorang pengarang tidak terlepas dari kenyataan di sekelilingnya. Dengan
kesadarannya ia bersentuhan dengan kenyataan (reality). Ketika suatu peristiwa terjadi
segenap perasaan, pikiran, penalaran, dan daya imajinasinya bekerja menanggapi atau
merespon apa yang sedang dihadapi itu. Kegiatan merespon ini (response) muncul dari
jiwanya ketika kesadarannya bersentuhan dengan kenyataan yaitu segala yang dapat
merangsang atau membangkitkan kesadarannya, baik yang ada di dalam maupun yang
ada di luar dirinya. Dari dalam, bisa jadi apa yang dialaminya sendiri sedangkan dari
luar boleh jadi penuturan orang lain atau sebatas mendengar dari orang lain.
Selanjutnya, apa yang dilihat atau didengar itu akan berkecamuk dalam dirinya
dan menjadi bahan pemikiran dan perenungan. Segala perasaan, pikiran, gagasan,
gambaran atau imajinasinya akan hadir dalam menyikapi kejadian itu sehingga ini

merupakan pengalaman baru bagi diri pengarang. Dari sini, pengarang kemudian
mengungkapkan pengalamannya itu dengan bahasa dan terciptalah sebuah karya sastra.
2.3 Sastra Sebagai Pengalaman Seni
Begitu karya tercipta, pengarang sudah membuka komunikasi dengan
pembaca. Lewat karyanya, ia berusaha mengungkapkan apa yang dirasakan,
dibayangkan, dipikirkan dan direnungkan serta diusulkan kepada orang lain. Dengan
demikian ini merupakan peristiwa komunikasi. Kepuasan bisa tercapai apabila pembaca
dapat memahami dan merasakan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan pengarang
dalam karya tersebut. Demikian juga sebaliknya, pengarang mendapat kepuasan
seandainya dia tahu bahwa apa yang ditulisnya itu dapat diterima dan dipahami dengan
baik oleh pembacanya.
Sebenarnya, sebagai pembaca karya sastra tidak cukup hanya memahami dan
merasakan isi hati pengarang. Tidak sekedar tahu apa yang diceritakan dalam karya
tersebut, tetapi lebih jauh sebagai pembaca bisa menyadari akan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Boleh jadi apa yang dikisahkan itu merupakan pengalaman
biasa. Namun dibalik itu bisa ditemukan nasehat-nasehat yang berharga dalam hidup
manusia.
Jadi nilai-nilai terdalam itu memang harus dicari dan ditemukan dibalik apa
yang dikisahkan. Dengan kata lain, pembaca tidak hanya memusatkan perhatiannya
pada apa yang disampaikan atau dituturkan oleh pengarang, akan tetapi juga
mengetahui bagaimana pengarang itu mengemas nilai-nilai tersebut ke dalam suatu
cerita. Pembaca harus tahu bentuk penyampaian yang digunakan pengarang. Sebab nilai
karya satra tidak hanya terletak pada apa yang disampaikannya, tetapi juga pada cara
atau bentuk penyampaiannya. Justru di sinilah letak kekhasan karya sastra sebagai alat
komunikasi.
2.4 Sastra Sebagai Karya Seni
Sastra sebagai karya seni mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : adanya kadar
rekaan (fictionality), adanya nilai-nilai seni (aesthetic values), dan adanya cara
penggunaan bahasa yang khas (special use of language).
Adanya kadar rekaan disebabkan karya sastra itu tercipta dengan daya khayal
atau imajinasi pengarang. Meskipun karya itu berbicara mengenai kenyataan, dalam
prosesnya karya itu terlebih dulu menciptakan dunia khayali sebagai latar belakang
tempat kenyataan itu sendiri. Pengarang butuh karakter atau tokoh, masyarakat, tempat
dan waktu yang harus diadakan atau diciptakan untuk menyajikan peristiwa atau cerita
dalam karyanya. Tokoh, orang-orang, tempat dan waktu itu semua rekaan pengarang
meskipun bisa jadi memang ada di dunia. Sepanjang kesemuanya itu hasil respon
pengarang terhadap realitas, maka hasil karya tersebut tetap dipengaruhi subyektifitas
diri pengarang sehingga tidak terlepas pula dari unsur rekaan atau imajinasi.
Ada tujuannya kenapa pengarang menggunakan dunia khayali atau dunia
rekaan sebagai latar belakang kenyataan. Dengan dunia khayali ini pembaca diharapkan
mampu menghayati dan memahami kenyataan. Bukan hanya pikiran dan perasaannya

yang tersentuh, tetapi juga daya khayalnya. Dengan penghayatan dan pemahamannya,
pembaca diharapkan mampu mengembangkan ketajaman responnya terhadap masalahmasalah di sekelilingnya.
Sedangkan nilai-nilai seni (aesthetic values) yang ada dalam karya sastra
merupakan hal penting yang membedakan karya sastra dari karya yang bukan sastra.
Nilai-nilai seni itu meliputi : keutuhan (unity), keseimbangan (balance), keselarasan
(harmony), dan tekanan yang tepat (right emphasis). Untuk lebih jelasnya nilai-nilai
seni ini akan dibahas di bab lain.
Penggunaan bahasa secara khusus sangat jelas tampak pada karya-karya puisi.
Ini bukan berarti pengguanaan bahasa yang khusus tidak terjadi di karya bentuk drama
dan prosa. Di dalam drama maupun prosa, bahasa juga tetap diperlakukan dengan hatihati oleh pengarang. Sebagai alat komunikasi bahasa di dalam karya sastra tetap
memiliki keindahan dan kekhasan. Kata-kata dan bentuk penyusunannya dalam kalimat
sangat dipertimbangkan oleh pengarang untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaannya. Kejelian, kecermatan dan kedalaman jiwanya dalam memilih dan
menyusun kata bisa menghasilkan keindahan dalam penggunaan bahasa.

B A B III
PUISI
3.1. Pengertian Istilah
Kita mengenal tiga bentuk karya sastra yaitu prosa, drama dan puisi. Dari
ketiga bentuk ini, puisi merupakan karya yang paling sulit untuk dipelajari. Ketika kita
membicarakan puisi, tidak jarang kita menemui beberapa istilah yang sebenarnya
menunjuk pada satu karya yaitu puisi itu sendiri. Dalam bahasa Inggris saja kita
mengenal istilah poetry, poem, dan verse. Sedang dalam bahasa Indonesia ada istilah
puisi dan sajak. Untuk bisa membedakan penggunaan istilah-istilah tersebut ada baiknya
kita memahami arti yang diberikan oleh kamus.
Kamus Hornby memberikan arti poetry itu : the art of a poet, poems,
quality that produces feelings as produced by poems. Sedang arti poem dan verse
cenderung menunjuk pada karya yang berbentuk baris-baris (arranged lines). Dari arti
yang diberikan Hornsby, puisi selain obyeknya sendiri (karya itu sendiri) juga menunjuk
pada kualitas atau daya yang timbul akibat dari pemakaian bahasa dalam karya sastra.
Kualitas ini bisa diketahui dari efek yang ditimbulkan dari membaca karya tersebut.
Ketika membaca, tentu saja pembaca bisa merasakan pengaruh kata-kata atau kalimat
yang digunakan oleh pengarang. Pengaruh yang dirasakannya pada dasarnya merupakan
aspek keindahan karya sastra yang timbul karena pemakaian atau pengungkapan bahasa
yang khas.
Sebenarnya, puisi bukanlah satu bentuk karya sastra karena pada setiap bentuk
pengungkapan yang menggunakan bahasa tidak jarang kita menemukan atau merasakan
puisi atau sesuatu yang puitis. Pada kenyataannya, sesuatu yang puitis itu bisa dijumpai
tidak hanya dalam karya sastra tetapi juga pada kata-kata mutiara, surat, slogan, motto,
doa, iklan dan lirik lagu. Perhatikan contoh-contoh pemakaian bahasa berikut ini :
We are not the first but the best.
I love nobody but you.
Everymans life is a fairy tale written by Gods fingers.
God brings men into deep waters, not to drown them, but to clean them.
Beauty is power and a smile is its sword.
Man begins by loving love and ends by loving a woman. Woman begins
by loving a man and ends by loving love. Man loves little and often,
woman much and rarely.
Jadi puisi lebih merupakan sifat atau nilai keindahan dalam pengungkapan
bahasa. Ungkapan atau pemakaian bahasa yang indah disebut puitis. Kepuitisan dapat
saja ditemukan dalam karya sastra bentuk prosa maupun drama selama karya itu masih
melibatkan pemakaian atau pengungkapan bahasa. Menyikapi keragaman istilah ini,
maka pilihan yang tepat untuk menunjuk karya sastra bentuk ini adalah dengan
menggunakan istilah poem atau sajak. Kalau menggunakan istilah poetry atau

puisi akan mempunyai pengertian yang luas dan bahkan terkesan abstrak. Oleh sebab itu
penggunaan istilah poem atau sajak lebih tepat untuk menunjuk obyek itu sendiri.
3.2 Ciri-ciri Sajak
Tidak mudah untuk memberikan ciri-ciri sajak (poem). Dalam kehidupan
sehari-hari, rata-rata masyarakat bahasa tidak mau mengatakan bahwa slogan, doa,
pesan iklan dan syair lagu itu sebagai puisi. Padahal ketiga bentuk pemakaian bahasa itu
bersifat monolog yang merupakan ciri utama sajak. Bahkan , bisa jadi cara penulisannya
bercirikan tipografi tertentu yang identik dengan penulisan sajak. Perhatikan contoh di
bawah ini. Kalimat-kalimat ini diambil dari Al Quran, terjemahan sebagian dari surat
Albaqarah ayat 286. Apakah tulisan ini bisa disebut sajak ?
O, Tuhan kami
Jangan hukum kami
jika kami lupa atau melakukan kekeliruan
Tuhan kami
Janganlah bebani kami
dengan beban yang berat
Seperti yang Kau bebankan
atas orang sebelum kami
Bandingkan pula dengan pemakaian bahasa yang ditulis seperti di bawah ini.
Apakah penulisan seperti ini bisa juga dikatakan sebuah sajak, isinya jelas dan
bahasanya pun mudah dipahami.
Cara memasak
rebus air secukupnya
masukkan mie kedalamnya
biarkan kira-kira lima menit
masukkan bumbu
dan aduklah
Siaplah sudah mie rebus
Ciri sajak yang jelas yaitu bahasa sajak itu sendiri. Bahasa tersusun dalam
baris-baris dan bait (arranged in lines and stanza). Ciri yang kedua yaitu sajak tidak
merupakan suatu deretan peristiwa yang bersifat kronologis sehingga dalam sajak akan
sulit ditarik hubungan sebab akibat atas peristiwa-peristiwa yang ada. Dengan kata lain,
dalam sajak tidak terdapat plot karena pada dasarnya sajak itu sebuah monolog, yaitu
monolog si pembicara (the speaker).
Kekuatan utama sajak terletak pada kekuatan ekspresinya atau daya
ungkapnya. Daya ungkap ini tidak terletak pada banyaknya kata yang digunakan, tetapi
pada kepadatan makna yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan prosa, sajak
sarat dengan makna dan dikemas dalam kemasan kata yang ringkas. Dengan demikian,

10

sajak itu lebih bersifat intuitif, imajinatif dan sintetis. Sedangkan prosa bersifat logis,
konstruktif dan analitis.
Ciri ketiga yaitu keterikatan sebuah kata dalam sajak. Keterikatan kata lebih
cenderung kepada struktur ritmik sebuah baris dari pada struktur sintaksis sebuah
kalimat. Oleh karena itu, hal yang paling penting dalam sajak bukanlah kalimat
melainkan baris. Kesatuan sajak bukan kesatuan kalimat melainkan kesatuan baris dan
irama. Konsekwensi dari perlakuan ini, bahasa sajak bisa tidak mengikuti struktur logis
kalimat atau menyimpang dari kaidah tata bahasa. Penyimpangan ini bisa semata-mata
demi keindahan bunyi atau penekanan kata.
Ciri keempat yaitu bahasa yang cenderung kepada makna konotatif. Ini
merupakan ciri dominan dalam pemakaian bahasa. Dalam hal ini bahasa diperlakukan
secara khusus sehingga bahasa bisa mengalami penggantian arti (displacing),
penyimpangan arti (distorting) dan penciptaan arti (creating of meaning).
3.3 Tipografi Sajak
Tipografi sajak adalah penyusunan baris dan bait sajak. Tipografi merupakan
aspek visual dari sajak. Ada juga yang mengatakan bahwa tipografi sebagai ukiran
bentuk yang di dalamnya tersusun kata, frasa, baris dan bait. Susunan ini pula yang
membedakan antara penulisan sebuah paragraf dan baris-baris sajak.
Pada umumnya orang berpendapat bahwa sesuatu yang rapi biasanya
menimbulkan kesan dan suasana yang rapi pula. Sebaliknya sesuatu yang kacau
biasanya menimbulkan kesan yang kacau pula. Mungkin tidak begitu jauh dengan apa
yang terjadi pada penulisan sebuah sajak. Untuk membedakan karyanya dengan bacaan
umum, penyair memakai cara tersendiri untuk menuliskan sajaknya. Penulisan ini sangat
unik dan bervariasi serta seringkali berkaitan dengan kreatifitas seorang penyair.
Untuk menyampaikan suasana damai, penyair bisa memilih penulisan yang rapi
bentuknya. Sedangkan untuk menyampaikan suasana kacau, berontak, bingung, seram,
atau main-main, seorang penyair bisa memilih tipografi tertentu seperti ; tidak teratur,
seenaknya, atau bahkan yang aneh-aneh. Suatu misal, sajak yang berjudul Mumet ,
penulisan baris-barisnya secara melingkar dan searah jarum jam sehingga supaya bisa
dibaca, pembacanya pun harus membacanya dengan memutar-mutar sajak tersebut.
Sejauh ini tidak bisa dipastikan apakah tipografi tertentu mempunyai maksud
atau makna tertentu pula dalam sajak. Meskipun tidak dapat dipastikan makna atau
maksud suatu tipografi, beberapa kemungkinan di bawah ini masih menjadi bahan
diskusi.Tipografi hanyalah merupakan permainan yang diciptakan penyair dengan
seenaknya karena tidak ada aturan yang pasti.
1. Tipografi mempunyai makna tambahan pada sajak.
2. Tipografi hanya memperlihatkan perkembangan penulisan sajak. Jadi
bisa merupakan kecenderungan penulisan sajak pada suatu jaman.
3. Tipografi hanyalah cara untuk membedakan antara sajak dan prosa.

11

3.4 Enjambemen
Enjambemen adalah pemutusan kata atau frasa di ujung baris dan meletakkan
sambungannya pada baris berikutnya. Penciptaan enjambemen selain untuk memperkuat
kesan juga untuk memberikan penekanan pada sebuah kata atau suku kata.
Enjambemen memang bagian dari tipografi yang dipilih penyair.

12

BAB IV
DIKSI
4.1 Kata dalam Sajak
Kata adalah alat penting untuk menyampaikan pikiran dan perasaan. Kata
mengemban arti tertentu sehingga kata tidak dapat tidak bermakna. Dalam sajak, kata
bisa dipermainkan oleh seorang penyair sehingga menimbulkan arti yang berbeda dari
biasanya. Meskipun berbeda arti yang diembannya, kata tetap mempunyai makna atas
kehadirannya dalam sebuah sajak.
Sebagai karya seni yang menggunakan bahasa sebagai media, sajak
mengandalkan peranan kata. Kata dalam sajak itu begitu selektif dan sarat akan
pengertian dan gagasan yang seringkali untuk mengetahuinya perlu daya imajinasi.
Penyair memang bebas memperkosa kata dalam sajak, namun kebebasan itu
ada batasnya. Kebebasan memperkosa bahasa mesti dibatasi sebatas kemungkinan
komunikasi. Artinya, segala penyimpangan, penentangan, dan pengasingan sebuah kata
itu dilakukan kalau masyarakat pemakai bahasa masih mampu memberikan makna
kepadanya. Dengan kata lain, pemaksaan makna pada sebuah kata yang tidak dikenal
dengan baik oleh masyarakat bahasa akan berakibat sia-sia karena menyesatkan
pembaca sekaligus menyulitkan pemahaman sajak tersebut.
4.1 Kata Arkaik
Dalam sajak, penyair mampu menghidupkan kata-kata yang telah mati,
menemukan kata-kata yang telah hilang, atau menggunakan kata-kata yang tidak
digunakan lagi dalam percakapan sehari-hari. Kadang-kadang kata itu digunakan
dengan artinya yang lama, tetapi kadang-kadang juga digunakan dengan memberikan
arti baru kepadanya. Penggunaan kata-kata lama atau arkaik bertujuan untuk
menimbulkan suasana kembali ke masa lalu atau sebaliknya membawa masa lalu ke
masa kini.
Selain kata arkaik, seringkali penyair juga menggunakan kata-kata yang
diambil dari bahasa daerahnya. Sebagai bahasa ibu, bahasa daerah tentu akan lebih
dikuasai oleh seorang penyair sehingga penggunaan sebuah kata dari bahasa daerah
akan lebih dapat mewakili pikiran, perasaan, dan pengalaman yang dimaksudkan oleh
penyair.
4.2 Arti Konotatif dan Denotatif
Penyair dalam upaya memilih kata memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan
arti yang ada pada sebuah kata. Dalam hal ini dikenal dua macam arti yang
penggunaannya cukup dominan, yaitu arti konotatif dan denotatif.
Denotatif adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas
penunjukan pada sesuatu di luar bahasa atau didasarkan atas konvensi tertentu. Jadi
sifatnya obyektif seperti apa yang diberikan kamus. Arti denotatif adalah arti pertama
sebuah sajak atau seringkali disebut arti kamus.

13

Sedangkan konotatif adalah adalah aspek makna sebuah kata atau kelompok
kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada
penyair dan pembaca. Kalau arti denotatif adalah arti pertama dan bersifat obyektif,
maka arti konotatif adalah arti kedua, ketiga, keempat dan seterusnya, dan bersifat
subyektif. Jadi konotasi sebuah kata dapat berbeda bagi setiap orang.

14

BAB V
BAHASA SAJAK
5.1 Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan (figurative language) banyak dijumpai dalam sajak. Bahasa
kiasan digunakan untuk mengalihkan suatu pengertian kepada pengertian lain sehingga
terciptalah pengertian baru. Dalam sajak ada beberapa bahasa kiasan yang sering
muncul seperti : metafora, simile, personifikasi, sinekdok, metonimi, alegori.
a. Metafora dan Simile
Pada Metafora, suatu pengertian dibandingkan dengan pengertian lain.
Jadi ada yang dibandingkan (tenor) dan ada pula pembandingnya
(vehicle). Antara tenor dan vehicle tidak ada kata-kata pembanding
seperti like, as, but, dan than. Jadi penyair membandingkan secara
langsung. Sedangkan untuk Simile malah sebaliknya, yaitu menggunakan
kata-kata pembanding tersebut.
b. Personifikasi
Personifikasi atau pengorangan itu berarti memberikan sifat-sifat manusia
kepada seasuatu yang bukan manusia sehinga sesuatu itu dianggap bisa
berbuat atau berperilaku seperti manusia.
c. Metonimi dan Sinekdok
Kalau dalam Metafora dan Simile terdapat persamaan sifat antara tenor
dan vehicle, maka dalam Metonimi antara tenor dan vehicle terjadi
hubungan pengertian yang erat disebabkan oleh asosiasi-asosiasi dalam
kehidupan sehari-hari atau dalam pengalaman. Secara mudah bisa
dikatakan bahwa Metonimi itu kiasan pengganti nama.
Untuk bahasa kiasan yang mengungkapkan atau menunjuk sesuatu hanya
sebagian tetapi dimaksudkan untuk menyebut keseluruhan itu disebut
Sinekdok. Penyebutan ini juga bisa sebaliknya yaitu dari penyebutan
yang besar tetapi dimaksudkan untuk menunjuk sebagian saja.
d. Alegori
Apabila sebuah cerita merupakan kiasan suatu keadaan yang dalam
kenyataan pernah ada, maka kiasan itu (cerita) disebut Alegori. Bahasa
kiasan dalam bentuk Alegori hanya dalam bentuk pembanding, sementara
yang dibandingkan tidak dinyatakan melainkan disembunyikan dalam
bentuk cerita tersebut.
Untuk mengetahui makna sebuah Alegori diperlukan kemampuan
imajinatif, pengetahuan dan pengalaman yang luas serta pengetahuan
tentang latar belakang karya itu sendiri.

15

5.2 Bahasa Retorik


Selain bahasa kiasan, penyair juga sering menggunakan ungkapan-ungkapan
yang mempunyai efek retoris. Bahasa seperti ini disebut bahasa retorik. Bahasa retorik
dimanfaatkan penyair untuk memberikan kesan lebih pada sajaknya sekaligus
memberikan penegasan terhadap apa yang dikemukakan.
Bahasa retorik bermacam-macam diantaranya : Repetisi, Ironi, Hiperbola,
Paralelisme, Pleonasme, Paradoks, Tautologi, Asindenton, Antithesis, Satir, dan lainlain. Di sini hanya akan dibicarakan beberapa saja.
a. Repetisi
Repetisi yaitu pengulangan kata, frasa , kalimat, bait atau baris.
Pengulangan ini tidak mesti harus dengan kata atau frasa yang sama,
tetapi bisa pula memakai kata atau frasa lain yang mempunyai arti atau
pengertian yang sama.
b. Pertanyaan Retoris
Penyair kadang dalam sajaknya memasukkan pertanyaan yang
sebenarnya tidak perlu dijawab karena pada umumnya orang sudah tahu
jawabannya. Sebenarnya secara implisit jawaban tersebut sudah diberikan
oleh penyair dalam sajaknya.
c. Ironi
Pengungkapan bahasa secara ironis memberikan arti yang kontras atau
berbeda dengan apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh penyair.
Pengungkapan ini berupa sindiran yang dimaksudkan untuk menyindir
keadaan tertentu dengan cara membesar-besarkannya. Sindiran dalam
Ironi lebih cenderung bergaya santai, main-main, lucu dan gembira.
Berbeda sekali dengan sindiran yang memakai bahasa Sarkasme yang
cenderung menyakitkan dan berkesan menyerang.
d. Hiperbola
Penyair mengungkapkan sesuatu secara berlebihan yang pada
kenyataannya tidak akan terjadi. Dalam pengungkapannya, penyair tidak
bermaksud menyindir atau mengejek seperti dalam Ironi maupun
Sarkasme.

16

BAB VI
BUNYI
6. Aspek Bunyi dalam Sajak
Bunyi (sound) adalah sesuatu yang sangat penting dalam sajak karena bunyi
mempunyai efek dan kesan tersendiri. Bunyi bisa memberikan penekanan, menyarankan
makna dan suasana tertentu Sebagai contoh, orang yang mendengar kata anjing
mungkin tidak merasa takut. Tetapi, orang mendengar bunyi auuuummm (lolong
anjing) justru akan merasa ngeri atau mendapatkan kesan seram.
Kendati penting dan bermakna, bunyi yang berperan dalam sajak adalah bunyi
yang teratur dan terpola. Bunyi yang terpola tidak hanya bunyi yang sama, tetapi juga
bunyi yang berbeda atau bertentangan. Bahkan, bisa pula tiruan bunyi itu sendiri seperti
suara auuumm, guk-guk, cit-cit, dan lain-lain. Dengan demikian bunyi merupakan
salah satu sarana kepuitisan dalam sajak.
Sebenarnya bunyi dalam sajak tidak terlepas dari diksi (diction). Bunyi sebagai
sarana musikalitas dalam sajak diciptakan dengan sadar oleh penyair. Bunyi muncul
secara teratur dan berulang itu sebenarnya adalah kemampuan penyair dalam mencari,
menemukan, memilih, dan bahkan menciptakan kata-kata yang mempunyai persamaan
atau pertentangan bunyi. Tidak mungkin tercipta musikalitas sajak begitu saja tanpa
melalui proses pemilihan secara sadar.
Bunyi dalam sajak menimbulkan irama. Irama itu identik dengan intonasi yaitu
penempatan tekanan tertentu pada kata. Dalam praktek pembacaan sajak, ini berkaitan
dengan tinggi rendah bunyi, keras lembut bunyi, dan cepat lambat baca. Ini semua
menjadikan sajak itu kedengaran merdu dan berkesan bagi yang membaca maupun yang
mendengarnya.
Begitu erat dengan irama yaitu rima. Rima adalah persamaan bunyi akhir kata.
Dalam sajak, rima ini dilihat pada persamaan bunyi antara baris yang satu dengan baris
yang lain. Hal ini disebabkan bunyi berulang secara terpola itu bisa terdapat di awal atau
di tengah baris. Jadi tidak mesti ada di akhir baris.
Untuk lebih mengetahui peranan bunyi dalam sajak, di bawah ini dijelaskan
persamaan atau pertentangan bunyi sering yang dipakai dalam sajak sekaligus sebutansebutannya.
a. Aliterasi dan Asonansi
Persamaan bunyi dalam sajak dapat berupa bunyi vokal, dapat pula bunyi
persamaan konsonan. Pengulangan bunyi dalam satu rangkaian katakata yang berdekatan (dalam satu baris) apabila berupa bunyi konsonan
disebut Aliterasi (Aliteration ). Sedangkan kalau berupa bunyi vokal
disebut Asonansi (assonance).
b. Efoni dan Kakofoni
Bunyi yang muncul dari sajak tidak selalu merdu dan menyenangkan.
Kadang-kadang bunyi tersebut justru parau, penuh dengan bunyi-bunyi

17

konsonan tak bersuara. Bunyi-bunyi yang merdu dan menyenangkan


dapat melancarkan pengucapan sehingga menimbulkan kesan musikal.
Bunyi-bunyi ini disebut Efoni (Euphony). Sebaliknya, bunyi-bunyi yang
parau dan tidak menyenangkan serta tidak musikal disebut bunyi
Kakofoni (Cacophony).
Kombinasi bunyi-bunyi merdu biasanya digunakan untuk menimbulkan
kesan indah, damai, senang, kasmaran, mesra dan lain-lain. Sebaliknya
kombinasi bunyi-bunyi parau atau kasar digunakan untuk menimbulkan
kesan takut, garang, kacau balau, ganas dan lain-lain.
c. Anafora
Dalam kamus, Anafora (Anaphora) dijelaskan sebagai pengulangan
bunyi, kata, atau struktur sintaksis pada kalimat-kalimat (larik-larik)
yang berurutan untuk memperoleh efek tertentu. Kalau pada rima yang
diberi tekanan adalah persamaan atau pengulangan bunyi, maka pada
Anafora yang ditekankan adalah persamaan atau pengulangan kata.
Tentu saja, ini sekaligus persamaan bunyi dan persamaan struktur
(susunan kata). Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Anafora itu
sekaligus adalah rima sedangkan rima belum tentu dalam bentuk
Anafora.
d. Onomatope
Onomatope (Onomatopeia) adalah persamaan benda atau perbuatan
dengan peniruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan
itu. Contoh, berkokok, deru, dengung, desing, cit-cit dan sebagainya.
Dalam sajak, Onomatope berperan sebagai pemberi saran kepada makna
yang sesungguhnya. Dengan membaca kata-kata atau mendengar bunyibunyi tersebut, orang akan mengetahui benda atau perbuatan apa yang
dimaksudkan.

18

BAB VII
MAKNA SAJAK
7.1 Arti dan Makna
Makna di sini adalah terjemahan dari kata significance , bukan arti dari
sebuah kata dalam sajak (meaning). Perbedaan arti dan makna adalah perbedaan hirarki.
Bila arti adalah keterangan tentang sebuah kata secara sendiri-sendiri, maka makna
adalah keterangan sebuah kesatuan bahasa setelah dikaitkan dengan aspek di luar
bahasa. Sebagai contoh kata buku . Kata ini secara sederhana mempunyai arti bahan
bacaan. Kalau dilihat dari makna sebuah buku, akan sangat beragam bagi setiap orang.
Bagi seorang anak yang rajin membaca atau sekolah tentu akan sangat berharga, akan
tetapi tidak demikian bagi seorang anak petani yang tidak pernah mengeyam pendidikan
di sekolah. Apalah artinya sebuah buku bagi dia !
Jadi arti sebuah kata itu bisa terbatas, sedang makna yang diembannya bisa
tidak terbatas sesuai pengaruh yang masuk kepadanya.
7.2 Struktur Penceritaan Sajak
Istilah yang digunakan untuk menunujuk penceritaan sajak yaitu voice dan
persona . Dalam sajak, yang dimaksud penceritaan ini adalah situasi bahasa yang
mendukung penampilan sajak. Situasi bahasa ini ditentukan oleh cara penyampaian si
penyair dalam menghadirkan kembali pengalaman puitisnya ke dalam sajak melalui katakata. Dari penyampaian ini akan dapat diketahui apakah pengalaman itu hanya
merupakan sesuatu yang dirasakan sendiri dan diungkapkan kepada siapa saja yang
membaca atau mendengarkan sajak itu. Apakah pengalaman itu dirasakan dan
diungkapkan kepada pihak tertentu. Selain itu, dari penyampaian ini bisa diketahui si
tokoh dalam sajak. Siapa yang berbicara dalam sajak? Kepada siapa dia bicara? Apa
yang dibicarakan? Bagaimanakah dia berbicara? Jadi penceritaan di sini bukanlah
penceritaan sebagaimana yang terdapat dalam prosa maupun drama. Sudah jelas bahwa
sajak itu sebuah monolog.
Dalam kaitan penyampaian pengalaman puitis ini, sebuah sajak tentu ada
tokohnya dan tokoh ini bisa si pembicara maupun si penerima. Tokoh-tokoh dalam
sajak itu sebagai berikut :
1. Aku dalam Sajak
Dalam sajak, tokoh Aku menjadi si penyuara atau pembicara yang
menuturkan pengalaman puitis itu. Perlu diketahui bahwa Aku di sini
tidak selalu identik dengan si penyair.
2. Pihak yang Dituju (Penerima)
Tokoh Aku dalam sajak tentu ingin menyampaian sesuatu kepada orang
lain atau ingin berbicara kepada orang lain. Orang lain ini bisa seseorang
atau siapa saja yang membaca atau mendengarkan sajak tersebut.

19

Namun, kepada siapa suara itu ditujukan tidak selalu dinyatakan secara
eksplisit dalam sajak.
Dari sini selanjutnya dapat disimpulkan bahwa struktur penceritaan dalam sajak
itu mencakup tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, penceritaan sajak bisa secara
monolog yaitu menghadirkan tokoh Aku dengan ungkapan-ungkapan Aku dalam
sajak. Di sini kepada siapa tidak dijelaskan atau dalam sajak tersebut tidak menyebukan
kata ganti seperti kamu, dia, mereka atau nama.
Kemungkinan kedua yaitu secara dialog atau berbicara kepada pihak tertentu
secara gamblang. Dalam sajak, si Aku berbicara atau berseru kepada seseorang atau
beberapa orang sehingga diperlukan kata ganti aku, kita, kau.
Kemungkinan ketiga yaitu secara naratif. Dalam sajak ini, si
Aku
menceritakan pengalaman orang lain kepada pihak tertentu. Kata ganti yang muncul
bisa dia dan mereka.
7.3 Latar dan Latar Belakang
Pengertian latar di sini yaitu tempat dan waktu terjadinya pengalaman puitis si
penyair. Jadi istilah latar ini dipakai untuk menunjuk setting dalam sajak. Sedang latar
belakang yaitu segala sesuatu yang menyebabkan munculnya sajak. Latar belakang ini
bisa berupa latar belakang sosial, geografis, ideologis, budaya, dan latar belakang karya
itu sendiri.
Latar belakang sajak dapat diketahui dari berbagai dimensi seperti tempat dan
waktu sajak diciptakan, riwayat hidup dan pandangan ideologi penyair, fakta sejarah,
dan nilai-nilai yang berkembang pada saat itu termasuk pula media yang
menerbitkannya. Oleh sebab itu, sebuah sajak bisa mempunyai latar belakang
perjuangan, pembebasan, harga diri, pergolakan adat, keagamaan, dan lain-lain.
7.4 Tema Sajak
Mencari tema sebuah sajak tidak semudah mencari tema sebuah novel atau
drama. Seperti diketahui bahwa sajak bukanlah sebuah deretan peristiwa yang
membentuk suatu cerita, melainkan sebuah monolog yang keluar dari perasaan terdalam
si penyair. Dengan demikian apa yang ada dalam sajak merupakan ungkapan-ungkapan
perasaan dan pikiran sekaligus imajinasi seorang penyair yang dikemas dalam bahasa
yang khas. Ungkapan-ungkapan itu cenderung menyembunyikan makna yang begitu
dalam dan kental sehingga diperlukan usaha ekstra untuk bisa menguak dan
menemukan yang tersembunyi itu. Apa yang tersembunyi itu merupakan pesan atau
maksud si penyair menghadirkan sajaknya kepada seseorang atau pembaca umum.
Bagaimanapun juga, adanya sebuah sajak tentu tidak akan terlepas dari maksud
dan tujuan si pembuatnya. Seorang penyair begitu tersentuh oleh realita kehidupan dan
tergerak untuk menanggapinya, maka tanggapannya akan dicurahkan dalam sajak dan
dijadikanlah sajak itu sebagai alat komunikasi batinnya. Melalui sajaknya pembaca
diharapkan bisa ikut serta merasakan pengalaman puitisnya tersebut.
Apa yang hendak dipesankan dalam sajaknya merupakan tema dari sajaknya.
Dengan kata lain, dari ungkapan atau curahan hatinya itu pembaca sebagai orang yang

20

diajak berkomunikasi diharapkan dapat menangkap apa yang sebenarnya dikehendaki si


penyair. Dibalik rintihan, cemoohan, kasmaran, tangisan, ataupun kegirangan yang ada
dalam sajak tentu ada pesan yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Pesan
tersebut bisa merupakan pandangan penyair terhadap suatu masalah, ajaran moral, nilainilai kemanusiaan, atau bahkan jeritan manusia menapaki dunia.
7.5 Tone
Tone adalah sikap atau kesan dari pembicara dalam sajak (speaker) terhadap
apa yang dibicarakan dalam sajak tersebut. Sikap pembicara bisa terungkap lewat cara
dia berbicara atau mengungkapkan pengalaman puitis tersebut. Sikap itu bisa resmi atau
santai, serius atau main-main, khikmat atau ramai, riang bersemangat atau melankolis,
sombong atau merendah, kritis atau toleran, dan lain-lain.
7.6 Imaji
Dalam sajak dikenal istilah Image dan Imagery . Istilah yang pertama
itu untuk menyebut segala pengalaman inderawi manusia sedangkan yang kedua untuk
menyebut pewujudan dari pengalaman tersebut yang dalam hal ini berupa rangkaian
kata. Pengalaman inderawi itu diperoleh melalui indera manusia yaitu : penglihatan
(sight) , pendengaran (hear), pengecap (taste), penciuman (smell), dan perasa (feel).
Imaji dikejar dan dimanfaatkan oleh penyair untuk menuangkan pengalaman
inderawinya ke dalam sajak. Imaji ini juga digunakan untuk menjemput pengalaman
pembaca yang sesuai dengan pengalaman penyair. Apabila pembaca tidak mempunyai
pengalaman itu, maka imaji memberikan pengalaman imajinatif kepadanya. Pembaca
seolah-olah baru saja kembali dari pengalaman yang dilukiskan penyair tersebut.
Imaji diberi nama sesuai dengan kilasan bayangan yang dimunculkannya atau
sesuai dengan pengalaman yang dijemputnya. Kalau pembaca seolah-olah melihat obyek
yang diungkapkan dalam kata-kata, maka itu disebut imaji penglihatan (Visual
Imagery). Kalau pembaca seolah-olah mendengarkan obyek yang diungkapkan, maka
disebut imaji pendengaran (Auditory Imagery). Begitulah selanjutnya, sesuai dengan
panca indera yang dirangsangnya.

21

Anda mungkin juga menyukai