Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkembangan Anak
1.

Tumbuh Kembang Anak Secara umum


Perkembangan anak penting dijadikan perhatian khusus bagi orangtua. Sebab,

proses tumbuh kembang anak akan mempengaruhi kehidupan mereka pada masa
mendatang. Perkembangan anak yang luput dari perhatian orangtua (tanpa arahan dan
pendampingan orangtua), maka anak akan tumbuh seadanya sesuai dengan yang hadir
dan menghampiri mereka. Hal tersebut akan membuat orangtua akan mengalami
penyesalan yang mendalam pada suatu saat nanti. Perkembangan anak merupakan
segala perubahan yang terjadi pada usia anak. Perubahan yang terjadi pada diri anak
menurut Susi Indrawarty (2007) meliputi perubahan pada aspek fisik (motorik),
emosi, kognitif dan psikososal.
Perubahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Perkembangan Fisik (Motorik)
Perkembangan fisik (motorik) merupakan proses tumbuh kembang kemampuan
gerak seorang anak. Setiap gerakan yang dilakukan anak merupakan hasil pola
interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang
dikontrol oleh otak (Retnowati, 2005).
Perkembangan fisik (motorik) meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik
halus,dengan keterangan sebagai berikut :

1) Perkembangan motorik kasar


Kemampuan anak untuk duduk, berlari, dan melompat termasuk contoh
perkembangan motorik kasar. Otot-otot besar dan sebagian atau seluruh
anggota tubuh digunakan oleh anak untuk melakukan gerakan tubuh.
Perkembangan motorik kasar dipengaruhi oleh proses kematangan anak.
Karena proses kematangan setiap anak berbeda, maka laju perkembangan
seorang anak bisa saja berbeda dengan anak lainnya (Retnowati, 2005).
2) Perkembangan motorik halus
Adapun perkembangan motorik halus merupakan perkembangan gerakan anak
yang menggunakan otot-otot kecil atau sebagian anggota tubuh tertentu.
Perkembangan pada aspek ini dipengaruhi oleh kesempatan anak untuk
belajar dan berlatih. Kemampuan menulis, menggunting, dan menyusun balok
termasuk contoh gerakan motorik halus (Retnowati, 2005).
b. Perkembangan Emosi
Perkembangan pada aspek ini meliputi kemampuan anak untuk mencintai; merasa
nyaman, berani, gembira, takut, dan marah; serta bentuk-bentuk emosi lainnya.
Pada aspek ini, anak sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan orangtua dan
orang-orang di sekitarnya.
Emosi yang berkembang akan sesuai dengan impuls emosi yang diterimanya.
Misalnya, jika anak mendapatkan curahan kasih sayang, mereka akan belajar
untuk menyayangi (Retnowati, 2005).

c. Perkembangan Kognitif
Pada aspek koginitif, perkembangan anak nampak pada kemampuannya dalam
menerima,

mengolah, dan memahami informasi-informasi yang sampai

kepadanya. Kemampuan kognitif berkaitan dengan perkembangan berbahasa


(bahasa lisan maupun isyarat), memahami kata, dan berbicara(Retnowati, 2005).
d. Perkembangan Psikososial
Aspek psikososial berkaitan dengan kemampuan anak untuk berinteraksi dengan
lingkungannya. Misalnya, kemampuan anak untuk menyapa dan bermain bersama
teman-teman sebayanya.
Dengan mengetahui aspek-aspek perkembangan anak, orangtua dan pendidik bisa
merancang dan memberikan rangsangan serta latihan agar keempat aspek tersebut
berkembang secara seimbang.
Rangsangan atau latihan tidak bisa terfokus hanya pada satu atau sebagian aspek.
Tentunya, rangsangan dan latihan tersebut diberikan dengan tetap memperhatikan
kesiapan anak, bukan dengan paksaan (Retnowati, 2005).

2.

Perkembangan Anak Pra Sekolah


Penilaian tumbuh kembang perlu dilakukan untuk menentukan apakah tumbuh

kembang seorang anak berjalan normal atau tidak, baik dilihat dari segi medis
maupun statistik. Anak yang sehat akan menunjukkan tumbuh kembang yang
optimal, apabila diberikan lingkungan bio-fisiko-psikososial yang adekuat.
Proses tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan mulai dari
konsepsi sampai dewasa, yang mengikuti pola tertentu yang khas untuk setiap anak.

Proses tersebut merupakan proses interaksi yang terus menerus serta rumit antara
faktor genetik dan faktor lingkungan bio-fisiko-psikososial tersebut.
Anak pra sekolah yaitu yang berusia 3-6 tahun menurut Suherman (2000)
memiliki perkembangan sebagai berikut :
a.

Mampu berjalan jinjit

b.

Mampu berdiri dengan satu kaki

c.

Dapat mengancingkan baju

d.

Dapat bercerita sederhana

e.

Membuat gambar lingkaran

f.

Mampu mengenal sedikitya satu warna

g.

Gerak kasarnya adalah melompat dengan satu kaki

h.

Gerak halusnya adalah menggunting, membuat buku cerita dengan gambar

i.

Lebih mengenal bentuk, warna dan gambar

j.

Dapat naik sepeda

k.

Mengenal waktu, hari, minggu dan bulan

l.

Mulai bergaul dengan teman sebaya dan mandiri


Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita, termasuk di

dalamnya adalah masa pra sekolah. Pada masa ini perkembangan kemampuan
berbahasa, kreativitas, kesadara sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat
cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya. Perkembangan moral serta
dasar-dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini.

10
B. Hospitalisasi dan Kecemasan
1.

Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena suatu alasan darurat atau berencana

mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan
sampai pemulangan kembali ke rumah. Selama proses tersebut bukan saja anak tetapi
orang tua juga mengalami kebiasaan yang asing, lingkungannya yang asing, orang tua
yang kurang mendapat dukungan emosi akan menunjukkan rasa cemas. Rasa cemas
pada orang tua akan membuat stress anak meningkat. Dengan demikian asuhan
keperawatan tidak hanya terfokus pada anak terapi juga pada orang tuanya
(Mahyudin, 2007).
Hospitalisasi bagi keluarga dan anak dapat dianggap sebagai pengalaman yang
mengancam dan Stressor. Keduanya dapat menimbulkan krisis bagi anak dan
keluarga. Bagi anak hal ini mungkin terjadi karena : anak tidak memahami mengapa
dirawat / terluka, stress dengan adanya perubahan akan status kesehatan, lingkungan
dan kebiasaan sehari-hari dan keterbatasan mekanisme koping (Masykur, 2004).
Reaksi anak terhadap sakit dan hospitalisasi menurut Alwy (2004) dipengaruhi
oleh tingkat perkembangan usia, pengalaman sebelumnya, Support system dalam
keluarga, keterampilan koping, dan berat ringannya penyakit. Stress yang umumnya
terjadi berhubungan dengan hospitalisasi yaitu takut, unfamiliarity, lingkungan rumah
sakit yang menakutkan, rutinitas rumah sakit, prosedur yang menyakitkan, takut akan
kematian, isolasi dan privasi yang terhambat.
Isolasi merupakan hal yang menyusahkan bagi semua anak terutama berpengaruh
pada anak dibawah usia 12 tahun. Pengunjung, perawat dan dokter yang memakai

11

pakaian khusus ( masker, pakaian isolasi, sarung tangan, penutup kepala ) dan
keluarga yang tidak dapat bebas berkunjung. Privasi yang terhambat terjadi pada anak
remaja ; rasa malu, tidak bebas berpakaian (Alwy, 2004). Dalam hospitalisasi banyak
personil yang terlibat, yaitu anak, orang tua, keluarga dan lingkungan sosial
(Masykur, 2004)
Beberapa pendekatan yang digunakan dalam hospitalisasi menurut Alwy (2004)
adalah pendekatan empirik dan pendekatan melalui metode permainan. Penjelasannya
adalah sebagai berikut :
a. Pendekatan Empirik
Cara menanamkan kesadaran diri terhadap para personil yang terlibat dalam
hospitalisasi, metode pendekatan empirik menggunakan strategi melalui dunia
pendidikan yang ditanamkan secara dini kepada peserta didik dan melalui
penyuluhan atau sosialisasi yang diharapkan kesadaran diri mereka sendiri dan
peka terhadap lingkungan sekitarnya.
b. Pendekatan melalui metode permainan
Metode

permainan

merupakan

cara

alamiah

bagi

anak

untuk

mengungkapkan konflik dalam dirinya yang tidak disadari. Kegiatan yang


dilakukan sesuai keinginan sendiri untuk memperoleh kesenangan. Bermain
merupakan kegiatan menyenangkan / dinikmati, fisik, intelektual, emosi, sosial
belajar, perkembangan mental dan bekerja. Tujuan bermain di rumah sakit adalah
dapat melanjutkan tumbuh kembang yang normal selama di rawat dan dapat
mengungkapkan pikiran, perasaan serta fantasinya melalui permainan Alwy
(2004).

12

Fokus intervensi keperawatan adalah meminimalkan stressor, memaksimalkan


manfaat hospitalisasi memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga,
mempersiapkan anak sebelum masuk rumah sakit. Upaya meminimalkan stresor atau
penyebab stress dapat dilakukan dengan cara : mencegah atau mengurangi dampak
perpisahan, mencegah perasaan kehilangan kontrol dan mengurangi / meminimalkan
rasa takut terhadap perlukaan tubuh dan rasa nyeri. Upaya mencegah / meminimalkan
dampak perpisahan dapat dilakukan dengan cara melibatkan orang tua berperan aktif
dalam perawatan anak, modifikasi ruang perawatan, mempertahankan kontak dengan
kegiatan sekolah : surat menyurat, bertemu teman sekolah ( Wong & Whaley, 1999).
Mencegah

perasaan

kehilangan

kontrol dapat

dilakukan

dengan

cara

menghindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif, bila anak diisolasi
lakukan modifikasi lingkungan dengan cara buat jadwal untuk prosedur terapi,
latihan, bermain. Upaya meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa
nyeri dapat dilakukan dengan cara : mempersiapkan psikologis anak dan orang tua
untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri, melakukan permainan
sebelum

melakukan

persiapan

fisik

anak,

menghadirkan

orang

tua

bila

memungkinkan (Susilawati, 2008).

2.

Hospitalisasi pada Anak Pra Sekolah


Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari linkungan

yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang dan menyenangkan, yaitu lingkungan
rumah, permainan dan teman sepermainannya (Supartini, 2004). Reaksi terhadap
perpisahan yang ditunjukkan anak usia pra sekolah adalah dengan menolak makan,

13

sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan dan tidak kooperatif terhadap
petugas kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan kontrol
akan dirinya. Perawatan di rumah sakit mengharuskan adanya pembatasan aktivitas
anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit
seringkali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan
merasa malu, bersalah atau takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena
anak menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas tubuhnya. Hal ini
menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan
mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerjasama denga perawat dan
ketergantungan pada orang tua.
Hospitalisasi dilakukan pada anak pra sekolah yang sedang menderita sakit dan
membutuhkan perawatan. Fokus intervensi keperawatan adalah meminimalkan
stressor, memaksimalkan manfaat hospitalisasi, memberikan dukungan psikologis
pada anggota keluarga, mempersiapkan anak sebelum masuk rumah sakit.
Upaya meminimalkan stresor atau penyebab stress dapat dilakukan dengan
cara : mencegah atau mengurangi dampak perpisahan, mencegah perasaan kehilangan
kontrol, mengurangi / meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh dan rasa
nyeri. Upaya mencegah / meminimalkan dampak perpisahan dapat dilakukan dengan
cara melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak, modifikasi ruang
perawatan, mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah : surat menyurat,
bertemu teman sekolah. Mencegah perasaan kehilangan kontrol dapat dilakukan
dengan cara menghindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif, bila anak
diisolasi lakukan modifikasi lingkungan, buat jadwal untuk prosedur terapi, latihan,

14

bermain, memberi kesempatan anak mengambil keputusan dan melibatkan orang tua
dalam perencanaan kegiatan.
Meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri dilakukan
dengan cara mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur
yang menimbulkan rasa nyeri, melakukan permainan sebelum melakukan persiapan
fisik anak, menghadirkan orang tua bila memungkinkan, menunjukkan sikap empati,
pada tindakan elektif bila memungkinkan menceritakan tindakan yang dilakukan
melalui cerita, gambar. Perlu dilakukan pengkajian tentang kemampuan psikologis
anak menerima informasi ini dengan terbuka.
Memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak dilakukan dengan cara membantu
perkembangan anak dengan memberi kesempatan orang tua untuk belajar, memberi
kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, meningkatkan
kemampuan kontrol diri, memberi kesempatan untuk sosialisasi, memberi support
kepada anggota keluarga.
Mempersiapkan anak untuk mendapat perawatan di rumah sakit dilakukan
dengan cara menyiapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia anak,
mengorientasikan situasi rumah sakit, pada hari pertama lakukan tindakan :
memperkenalkan perawat dan dokter yang merawatnya, mengenalkan pada pasien
yang lain, memberikan identitas pada anak, menjelaskan aturan rumah sakit,
melaksanakan pengkajian, melakukan pemeriksaan fisik.
Pada anak pra sekolah yaitu umur 3 sampai 6 tahun, reaksi terhadap hospitalisasi
adalah (Retnowati, 2005) :

15

a. Menolak makan
Anak pra sekolah yang mengalami hospitalisasi biasanya menolak untuk makan.
Perasaan mereka sedang sedih dan bingung karena terpisah dari keluarga mereka
sehingga mereka tidak mau melakukan apapun tanpa orang-orang terdekat
mereka.
b. Sering bertanya
Anak pra sekolah yang mengalami hospitalisasi biasanya sering menanyakan
keluarga dan tema-teman mereka. Kapan mereka akan datang untuk menjenguk
sehingga mereka dapat berkumpul dan bercanda lagi.
c. Menangis perlahan
Banyak diantara anak pra sekolah yang mengalami hospitalisasi menjadi anak
yang pendiam. Ada juga diantara mereka yang menangis dengan perlahan-lahan
untuk mengungkapkan apa yang sedang mereka rasakan.
d. Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
Anak pra sekolah yang sedang mengalami hospitalisasi biasanya tidak kooperatif
dengan petugas kesehatan. Sering mereka menghindari petugas kesehatan yang
mereka anggap sebagai seseorang yang telah memisahkan mereka dari orangorang yang mereka cintai.
Yuni Sufyanti (2008), menyatakan bahwa banyak anak yang tidak mau
kooperatif terhadap petugas medis ketika mereka mengalami hospitaslisasi. Mereka
menangis dan menanyakan kapan orang tua, saudara dan teman-temannya datang
menjenguk mereka. Mereka tidak mengharapkan kehadiran petugas medis, melainkan
mengharapkan kehadiran orang tua, saudara dan teman-temannya.

16

Mereka cenderung meninggalkan makanan yang disediakan untuk mereka


dan memilih berdiam diri. Hal ini merupakan hambatan bagi mereka untuk sembuh.
Mereka harus makan walaupun mereka tidak suka, karena anak yang mengalami
hospitalisasi harus minum obat sebagai salah satu alternatif pengobatan karena
hospitalisasi. Obat membutuhkan makanan sebagai dasar pengolahan dalam
pencernaan makanan agar mudah diserap oleh tubuh.

3.

Kecemasan
Kecemasan (anxiety) adalah penjelmaan dari berbagai proses emosi yang

bercampur baur, yang terjadi manakala seseorang sedang mengalami bebagai


tekanan-tekanan atau ketegangan (stress) seperti perasaan (frustasi) dan pertentangan
batin (konflik batin). Perasaan cemas dapat imbul oleh karena dua sebab. Pertama,
dari apa yang disadari seperti rasa takut, terkejut, atau tidak berdaya, rasa bersalah
dan merasa terancam (Prasetyono, 2007).
Kriteria diagnostik kecemasan pada umumnya adalah (Savitri Ramaiah, 2003) :
a. Urat saraf semakin tegang : gemetaran, menjadi tegang, rasa sakit dalam otot-otot,
kelelahan, tidak mampu bersikap santai, alis berkedut, selalu mengernyitkan
kening, wajah tegang, gelisah dan resah.
b. Gejala-gejala umum : keringat bercucuran, denyut jantung, yang bertambah dan
berdegup keras. Tangan yang dingin dan berkeringat, mulut kering, merasa pusing,
kesemutan pada tangan dan kaki, makin sering buang air kecil, sakit perut, diare,
rasa sakit di tengah perut, tengorokan tersumbat dan bernafas cepat.

17

c. Dugaan-dugaan kekhawatiran : rasa cemas, rasa gelisah, ketakutan, mudah lupa,


dan mengetahui lebih dulu bencana.
d. Perhatian : perhatian yang meningkat yang mengakibatkan pelengahan pikiran,
susah berkonsentrasi, kurang tidur, mudah marah, tidak sabar dan merasa resah.
Pengobatan untuk keadaan kecemasan mencakup empat pendekatan utama :
a. Psikoterapi
Istilah ini digunakan untuk banyak sekali metode pengobatan gangguan kejiwaan
dan emosi, lebih banyak dengan teknik-teknik psikologi daripada melalui obatobatan atau pengobatan fisik. Ada dua jenis utama psikologi terapi untuk
mengatasi keadaan kecemasan, yaitu psikoterapi wawasan dalam dan psikoteraspi
pendukung.
Psikoterapi wawasan dalam mencakup penentuan kekuatan diri sendiri yang
berkenaan dengan : (a) stabilitas hubungan dengan sahabat, keluarga, dan
lingkungan kerja, (b) motivasi untuk berobat, dan (c) kemampuan menghadapi
kesulitan dalam kehidupan.
Psikoterapi pendukung mencakup pembahasan kesulitan-kesulitan yang dirasakan.
Dalam hal ini kemampuan untuk dari dokter untuk meyakinkan tentang ketakutanketakutan yang tidak realistis dan memberi dorongan kepada pasien untuk
menghadapi situasi yang meimbulkan kecemasan.
b. Terapi relaksasi
Teknik-teknik relaksasi diberikan setiap hari secara teratur untuk membantu
menenangkan pikiran pasien.

18

c. Meditasi
Meditasi transedental dapat digunakan untuk mengurangi efek yang ditimbulkan
oleh kecemasan. Berbagai penelitian di seluruh dunia menunjukkan bahwa
meditasi membantu menjaga tingkat optimum fungsi tubuh yang tidak dikuasai
manusia (denyut jantung, pernafasan, pencernaan makanan).
d. Obat-obatan
Dokter memberikan obat-obat penenang yang ringan dan obat-obatan anti depresi
untuk mengurangi gejala kecemasan ini.

4.

Kecemasan pada Anak Usia Pra Sekolah


Kecemasan terjadi karena perasaan takut yang dihadapi oleh anak (Ghozali,

2007). Perasaan takut itu sendiri merupakan bagian yang tidak dapat dihindari oleh
siapapun termasuk anak usia pra sekolah. Ketakutan apabila berlangsung lama dan
terus menerus akan mengakibatkan depresi sehingga hal ini harus diupayakan
pencegahannya.
Kecemasan yang dialami oleh anak usia pra sekolah karena hospitalisasi
adalah (Jovan Dachi, 2006) :
1. Cemas terhadap kegelapan
Anak usia pra sekolah memiliki gambaran-gambaran yang menyeramkan terhadap
kegelapan, adanya monster dan yang sejenisnya. Mereka merasa tidak dapat
melawan semua itu sendirian.

19

2. Cemas ditinggal sendirian


Kecemasan dialami oleh anak usia pra sekolah ketika mereka mengalami
hospitalisasi, hal ini disebabkan karena mereka akan ditinggal sendirian dan
saudara-saudara serta keluarganya akan pulang dan meninggalkan mereka. Mereka
merasa tidak dapat berbuat apa-apa bila mereka sendirian.
3. Cemas dikelilingi orang-orang tidak dikenal
Ketika anak-anak usia pra sekolah mengalami hospitalisasi mereka merasa cemas
karena dikelilingi orang-orang yang tidak dikenal. Mereka tidak dapat melakukan
apa-apa dengan orang-orang yang tidak dikenal ini sehingga kadang-kadang
mereka menangis.
4. Cemas akan berpisah dengan benda-benda yang disukainya
Rasa cemas dialami oleh anak usia pra sekolah ketika mereka mengalami
hospitasliasi. Banyak benda-bendak yang disukai ditinggalkan dan mereka tidak
dapat bermain dengan benda-benda kesayangannya tersebut.
5. Cemas akan berpisah dengan orang yang dicintainya
Anak-anak usia pra sekolah ketika mengalami hospitalisasi harus dirawat di rumah
sakit dan tidur sendirian. Hal ini membuat mereka cemas karena berpisah dengan
orang-orang yang dikenal dan dicintainya. Mereka merasa perpisahan itu terlalu
lama sehingga membuat mereka bersedih.

20
C. Terapi Bermain
1. Terapi Permainan
Ada beberapa macam terapi yang dapat digunakan dalam psikologi klinis,
diantaranya adalah : terapi perilaku, terapi bermain, terapi keluarga, dan terapi
perilaku kogitif (Dariyo, 2007).
Terapi bermain merupakan salah satu model terapi dengan menggunakan metode
permainan. Bermain merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan, spontan dan
didorong oleh motivasi internal yang pada umumnya dilakukan oleh anak-anak.
Dengan demikian bermain adalah cara alamiah bagi anak untuk mengungkapkan
konflik dalam dirinya yang tidak disadari selain itu juga merupakan kegiatan yang
dilakukan sesuai dengan keinginan sendiri untuk memperoleh kesenangan. Ada 5
karakteristik dalam bermain, yaitu menyenangkan, spontan, proses, motivasi internal
dan imajinatif (Dariyo, 2007).
Bermain di rumah sakit dilakukan untuk dapat melanjutkan tumbuh kembang yang
normal selama dirawat dan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan dan
fantasinya melalui permainan. Melakukan permainan maka akan terjadi aktifitas
sensori motorik, perkembangan kognitif, proses sosialisasi, proses kreatifitas,
perkembangan moral therapeutik, komunikasi. Kebanyakan orang tua dulu tidak mau
membawa anak mereka ke rumah sakit yang dianggap sebagai tempat menyedihkan
karena menempatkan orang sakit. Perasaan ini diikuti oleh anak-kanak. Peralatan
perawatan, bau bahan pencuci antiseptik, deretan kamar yang dipenuhi pasien tidak
dikenali dengan pelbagai keadaan adalah suasana asing bagi anak-anak (Norlaila,
2006).

21

Rumah sakit bukan saja dijadikan tempat perawatan, tetapi diupayakan pada waktu
yang sama ia menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk pasien anak-anak.
Berbagai cara yang digunakan untuk melawan gangguan emosi pasien anak-anak
ialah terapi bermain. Terapi bermain ialah teknik menggunakan ekspresi anak-anak
sebagai cara melawan atau menangani tekanan emosi dialaminya. Terapi bermain
membantu anak-anak memahami ketakutan perasaan dan hal-hal yang menyebabkan
mereka bersedih tetapi tidak tahu cara mengatasinya. Anak-anak tidak dapat
mengungkapkan perasaan melalui kata-kata, tetapi kesedihan mereka dapat
dihindarkan dengan melalui bermain atau komunikasi.
Norlaila (2006) menyatakan biasanya pakar terapi bermain, doktor dan termasuk
konseling berkomunikasi dengan anak-anak pada tahap perkembangan anak-anak
tanpa menimbulkan rasa takut. Cara ini terbukti berkesan dan sangat bermanfaat
kepada anak-anak yang berumur di antara tiga hingga delapan tahun yang terganggu
emosinya. Banyak orang tidak memiliki kemahiran ini, termasuk orang tua anakanak. Menurut Pakar Terapi Bermain Rumah Sakit anak, Westmead, Australia,
Sandra Pengilly, komunikasi dibagi tiga, yaitu melalui bahasa badan

(55 %),

intonasi suara (38 %) dan berkata-kata (7%).


Ini artinya komunikasi tidak hanya bergantung kepada percakapan, sebaliknya
dengan gerak badan dan mimik muka juga dapat dilakukan untuk berkomunikasi
dengan anak-anak. Ini sebabnya ada orang yang menawarkan jasa menjadi badut atau
penghibur anak-anak di rumah sakit untuk meringankan tekanan emosi mereka tanpa
perlu berbicara.

22

Komunikasi dengan anak-anak dapat membantu mereka mengungkapkan perasaan


sedih, tertekan, gembira, senang dan tidak senang. Bagaimanapun, perasaan mereka
lebih mudah dimengerti jika kita dapat berkomunikasi dengan anak-anak.
Berkomunikasi dengan anak-anak kecil (empat hingga enam tahun), perlu
menggunakan bahasa yang menarik perhatian mereka. Berkomunikasi dengan anakanak lebih besar (tujuh hingga 10 tahun) lebih mudah karena mereka ada lebih
pengalaman dan pengetahuan.
Pakar Terapi Bermain, Catherine Quinn (2000) dalam Norlaila (2006), berkata
bermain dapat mengurangi kekecewaan, keresahan, kesedihan dan hampir semua
perasaan negatif dalam diri seseorang. Hal ini membuktikan bermain dapat
merangsang minat dan keaktifan berfikir anak-anak.
Bermain adalah sebagian daripada kehidupan anak-anak. Tidak lengkap hidup
seseorang anak-anak jika mereka tidak bermain. Melalui bermain anak-anak belajar
mengungkapkan perasaan, belajar ketrampilan, dan menunjukkan diri mereka yang
sebenarnya serta merangsang kreativitas.
Menurut Quinn (2000) dalam Norlaila (2006) , hampir semua aktivitas yang dapat
merangsang

atau

memberi

peluang

anak-anak

belajar

dan

meningkatkan

perkembangan otak mereka seperti rakan sebaya mereka yang lain. Pilihan permainan
atau aktivitas yang menarik anak-anak berdasarkan minat, kesediaan bekerja sama
dan kemudahan yang ada. Bagaimanapun, perhatian yang lebih perlu diberi kepada
anak-anak yang ada masalah bersosial, tidak pandai berbicara, ada masalah bahasa
dan kognitif (pasien biasanya lambat berfikir).

23

Permainan bersifat ekspresif sangat bermanfaat karena ia menjadi saluran kepada


anak-anak untuk meluahkan perasaan dalam suasana ceria, gembira dan diterima. Ini
bisa dilakukan dengan bercerita, di mana perawat atau pakar (juga orang tua)
memulai cerita dan meminta anak-anak untuk melanjutkannya.
Walaupun sakit, proses pembelajaran masih perlu diteruskan. Secara umumnya
terapi bermain boleh dilakukan. Hal ini akan membuat anak-anak untuk melupakan
kesakitan dan kesedihan secara perlahan-lahan.
Agar anak bisa bermain diperlukan hal-hal seperti di bawah ini (Soetjiningsih,
1995) :
a.

Ekstra energi
Untuk bermain diperlukan ekstra energi. Anak yang sakit, kecil keinginannya
untuk bermain.

b.

Waktu
Anak harus mempunyai cukup waktu untuk bermain.

c.

Alat permainan
Untuk bermain diperlukan alat permainan yang sesuai dengan umur dan taraf
perkembangannya.

d.

Ruangan untuk bermain.


Ruangan tidak usah terlalu besar dan tidak perlu ruangan khusus untuk bermain.
Anak bisa bermain di ruang tamu, halaman, bahkan di ruang tidurnya.

e.

Pengetahuan cara bermain


Anak belajar bermain melalui mencoba-coba sendiri, meniru temang-temannya
atau diberi tahu caranya oleh orang lain. Cara yang terakhir adalah yang terbaik,

24

karena

anak

tidak

terbatas

pengetahuannya

dalam

menggunakan

alat

permainannya dan anak-anak akan mendapat keuntungan lain lebih banyak.


f.

Teman bermain
Anak harus merasa yakin bahwa ia mempunyai teman bermain kalau ia
memerlukan, apakah itu saudaranya, orang tuanya atau temannya. Karena kalau
anak bermain sendiri, maka ia akan kehilangan kesempatan belajar dari temantemannya. Sebaliknya kalau terlalu banyak bermain dengan anak lain, maka dapat
mengakibatkan anak tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk menghibur
diri sendiri dan menemukan kebutuhannya sendiri. Bila kegiatan bermain
dilakukan bersama orang tuanya, maka hubungan orang tua dengan anak menjadi
akrab, dan ibu/ayah akan segera mengetahui setiap kelainan yang terjadi pada
anak mereka secara dini.
Seorang bayi tidaklah begitu lahir langsung dapat bermain. Tetapi

kemampuan/ketrampilan bermain ini berkembang secara bertahap, yang dimulai dari


orang tuanya. Kasih sayang orang tua yang mendatangkan rasa aman, akan
menimbulkan keberanian pada anak untuk menjelajahi dan meneliti apa yang ada di
sekitarnya, antara lian alat permainan.
Anak memerlukan alat permainan yang bervariasi, sehingga bila dia bosan
permainan yang satu, dapat memilih permainan lainnya. Misalnya, anak-anak tidak
hanya menghabiskan waktunya untuk bermain dengan pasir, balok ataupun krayon
saja, tetapi dia harus punya waktu walaupun sedikit untuk pertumbuhan otot-ototnya
dengan bermain tali, bola, naik sepeda, dan lain-lain.

25

Bermain harus seimbang, artinya harus ada keseimbangan antara bermain aktif
dan yang pasif yang biasanya disebut hiburan. Dalam bermain aktif kesenangan
diperoleh dari apa yang diperbuat oleh mereka sendiri, sedangkan bermain pasif
kesenangan didapat dari orang lain (Soetjiningsih, 1995).
a.

Bermain Aktif
1) Bermain mengamati / menyelidiki (exploratory play)
Perhatian pertama anak pada alat bermain hh memeriksa alat permainan
tersebut. Anak memperhatikan alat permainan, mengocok-ngocok apakah ada
bunyi,

mencium,

meraba,

menekan

dan

kadang-kadang

berusaha

membongkar.
2) Bermain konstruksi (construction play)
Pada anak umur 3 tahun, misalnya dengan menyusun balok-balok menjadi
rumah-rumahan, dan lain-lain.
3) Bermain drama (dramatic play)
Misalnya main sandiwara boneka, main rumah-rumahan dengan saudarasaudaranya atau dengan teman-temannya.
4) Bermain bola, tali dsbnya.
b.

Bermain pasif
Berperan pasif antara lain dengan melihat dan/ mendengar. Bermain pasif ini
adalah ideal, apabila anak sudah lelah bermain aktif dan membutuhkan sesuatu
untuk mengatasi kebosanan dan keletihannya. Contoh bermain pasif adalah
dengan melihat gambar-gambar di buku-buku / majalah, mendengarkan cerita
atau musik, menonton televisi, dan lain sebagainya.

26

Menonton televisi sebaiknya anak ditemani oleh orang tuanya, agar bisa
menerangkan tentang apa yang sedang dilihat anak. Di samping itu anak bisa
bertanya mengenai apa yang sedang dilihatnya. Sehingga kegiatan ini akan
menambah pengetahuan anak dan mendekatkan hubungan orang tua dengan anaknya.
Sebaiknya anak tidak diperkenankan menonton televisi terlalu dekat dan/ terlalu
lama, karena akan merusak mata. Menonton televisi secara berlebihan juga dapat
mengakibatkan kegemukan karena anak kurang aktif bergerak / bermain dan dapat
mematikan minat baca anak. Demikian pula dengan acara-acara yang ada di televisi,
orang tua harus bijaksana untuk menentukan acara yang mana yang layak ditonton
anak sesuai dengan umur dan tingkat pemahaman anak (Jovan Dachi, 2006).
Kadang-kadang tidak dapat dicapai keseimbangan dalam bermain, yaitu apabila
kesehatan anak menurun, tidak ada variasi dari alat permainan, tidak ada kesempatan
belajar dari alat permainannya, dan tidak mempunyai teman bermain.
Banyak keuntungan-keuntungan yang dipetik dari bermain, antara lain :
membuang ekstra energi, mengoptimalkan pertumbuhan seluruh bagian tubuh, seperti
tulang, otot dan organ-organ, aktivitas yang dilakukan dapat meningkatkan nafsu
makan anak, anak belajar mengontrol diri, berkembangnya berbagai ketrampilan yang
akan berguna sepanjang hidupnya, meningkatkan daya kreativitas, mendapatkan
kesempatan menemukan arti dari benda-benda yang ada di sekitar anak, merupakan
cara untuk mengatasi kemarahan, kekuatiran, iri hati dan kedukaan, kesempatan
untuk belajar bergaul dengan anak lainnya, kesempatan untuk menjadi pihak yang
kalah ataupun yang menang di dalam bermain, kesempatan untuk belajar mengikuti
aturan-aturan dan dapat mengembangkan kemampuan intelektualnya.

27

Bermain dapat menggunakan Alat Permainan Edukatif (APE). Yang dimaksud


dengan APE adalah alat permainan yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak,
disesuaikan dengan usianya dan tingkat perkembangannya, serta berguna untuk
(Soetjiningsih, 1995) :
a.

Pengembangan aspek fisik, yaitu kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang atau


merangsang pertumbuhan fisik anak.

b.

Pengembangan bahasa, dengan melatih berbicara, menggunakan kalimat yang


benar.

c.

Pengembangan aspek kognitif, yaitu dengan pengenalan suara, ukuran, bentuk,


warna, dan lain-lain.

d.

Pengembangan aspek sosial, khususnya dalam hubungannya dengan interaktif


antara ibu dan anak, keluarga dan masyarakat.
APE tidak harus yang bagus dan dibeli di toko, tetapi bantuan sendiri atau alat

permainan tradisional pun dapat digolongkan APE asalkan memenuhi syarat sebagai
berikut (Soetjiningsih, 1995) :
a.

Aman
Alat permainan anak dibawah usia 2 tahun, tidak boleh terlalu kecil, catnya tidak
boleh mengandung racun, tidak ada bagian-bagian yang tajam, dan tidak ada
bagian-bagian yang mudah pecah. Karena pada umur tersebut anak mengenal
benda di sekitarnya dengan memegang, mencengkeram, memasukkan ke dalam
mulutnya.

28

b.

Ukuran dan berat APE harus sesuai dengan usia anak


Bila ukurannya terlalu besar akan sukar dijangkau anak, sebaliknya kalau terlalu
kecil akan berbahaya karena dapat dengan mudah tertelan oleh anak. Sedangkan
kalau APE terlalu berat, maka anak akan sulit memindah-mindahkannya serta
akan membahayakan bila APE tersebut jatuh dan mengenai anak.

c.

Desainnya harus jelas


APE harus mempunyai ukuran-ukuran, susunan dan warna tertentu, serta jelas
maksud dan tujuannya.

d.

APE harus mempunyai fungsi untuk mengembangkan berbagai aspek


perkembangan anak, seperti motorik, bahasa, kecerdasan dan sosialisasi.

e.

Harus dapat dimainkan dengan berbagai variasi, tetapi jangan terlalu sulit
sehingga membuat anak frustasi, atau terlalu mudah sehingga membuat anak
cepat bosan.

f.

Walaupun sederhana harus tetap menarik baik warna maupun bentuknya. Bila
bersuara, suaranya harus jelas.

g.

APE harus mudah diterima oleh semua kebudayaan karena bentuknya sangat
umum.

h.

APE harus tidak mudah rusak. Kalau ada bagian-bagian yang rusak harus mudah
diganti. Pemeliharaannya mudah, terbuat dari bahan yang mudah didapat,
harganya terjangkau oleh masyarakat luas.
Beberapa kesalahan yang sering dibuat dalam memilih alat permainan

(Soetjiningsih, 1995) :

29

a.

Orang tua memberikan sekaligus banyak macam alat permainan.


Padahal pada umumnya anak-anak suka mengulang-ulang alat permainan yang
sama untuk beberapa waktu lamanya.

b.

Banyak orang tua membeli alat permainan yang mereka pikir indah dan menarik.
Tetapi mereka tidak berpikir apa yang akan dikerjakan anak terhadap alat
permainan tersebut.

c.

Banyak orang tua membayar terlalu mahal untuk alat permainan.


Mereka lupa bahwa alat permainan yang dibuat sendiri atau dari barang-barang
bekas sering menyenangkan pula.

d.

Alat permainan yang terlalu lengkap / sempurna, sehingga sedikit peluang bagi
anak untuk melakukan eksplorasi dan konstruksi. Sekali anak melihatnya, hanya
sedikit tersisa untuk memainkannya.

e.

Alat permainan tidak sesuai dengan umur anak, anak terlalu tua atau terlalu muda
terhadap alat permainannya. Sehingga maksud dan tujuan dari alat permainan itu
tidak tercapai.

f.

Memberikan terlalu banyak alat permainan dengan tipe yang sama.

g.

Banyak orang tua yang tidak meneliti keamanan dari alat permainan yang
dibelinya.

2. Terapi Permainan Anak Usia Pra Sekolah


Hetzer dalam Suherman (2007) menyatakan bahwa permainan anak-anak dapat
dibedakan menjadi lima, yaitu : permainan fungsi (dengan gerakan tubuh atau
anggota badan), permainan konstruktif (misal : membuat mobil-mobilan, kudakudaan dan lain-lain), permainan reseptif (misal : sambil mendengar cerita atau

30

melihat gambar), permainan peranan (anak memegang peranan sesuai dengan yang
dimainkannya), permainan sukses (yang diutamakan adalah prestasi, sehingga
diperlukan keberanian, ketangkasan dan keuletan).
Anak usia pra sekolah mempunyai kemampuan motorik kasar dan halus yang
lebih matang daripada anak usia todler. Anak sudah lebih aktif, kreatif dan imajinatif,
demikian juga dengan kemampuan berbicara dan berhubungan sosial dengan
temannya semakin meningkat. Jenis permainan yang sesuai dengan adalah
associative play, dramatic play dan skill play. Anak melakukan permainan bersamasama dengan temannya dengan komunikasi yang sesuai dengan kemampuan
bahasanya. Anak juga sudah mampu memainkan peran orang tua tertentu yang
diidentifikasinya seperti ayah, ibu, bapak dan ibu guru. Permainan yang
menggunakan kemampuan motorik (skill play) banyak dipilih anak usia pra sekolah.
Jenis permainan yang tepat diberikan kepada anak usia pra sekolah diantaranya
adalah permainan gambar, permainan alat musik, mobil-mobilan, permainan balok
besar dan sepeda (Supartini, 2004).
Terapi permainan metode gambar merupakan salah satu terapi metode
permainan yang menggunakan media gambar sebagai alat permainannya. Permainan
gambar ada beberapa macam, diantaranya adalah menggambar bebas, melengkapi
gambar, menjelaskan makna gambar dan lain-lain (Dariyo, 2007).
Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Membuat gambar.
2. Melengkapi gambar
3. Menceritakan gambar

31

4. Menilai hasil karya teman


5. Mengakui hasil karya teman

D. Pengaruh Terapi Bermain Gambar Dengan Kecemasan


Hospitalisasi secara umum merupakan hal yang tidak disukai oleh anak-anak.
Penelitian Norlaila (2007) tentang Gangguan Emosi Anak-Anak Bermalam di
Hospital menunjukkan bahwa pemberian terapi bermain sangat baik diberikan pada
anak-anak untuk mengurangi efek kecemasan akibat hospitalisasi. Hal ini berarti
terapi bermain dapat digunakan sebagai cara untuk mengurangi efek negatif
hospitalisasi. Penelitian Harnawati (2008) menyatakan bahwa terapi bermain dapat
menurunkan kecemasan akibat hospitalisasi pada anak-anak. Hal ini berarti terapi
bermain dapat digunakan sebagai cara untuk mengurangi efek negatif hospitalisasi.
Terapi bermain menggunakan metode gambar merupakan salah satu bentuk
terapi bermain, dengan demikian hubungan pemberian metode terapi gambar
memiliki hubungan terhadap efek hospitalisasi. Artinya apabila anak-anak yang
sedang menderita sakit diberikan terapi metode gambar, maka efek negatif terhadap
hospitalisasi akan menjadi berkurang.
Efek negatif hospitalisasi diantaranya adalah ketakutan dan kecemasan. Hal ini
berarti apabila anak yang sedang mengalami hospitalisasi akan mengalami kecemasan
selama dalam perawatan. Terapi bermain dengan menggunakan metode gambar yang
diberikan kepada anak yang mengalami hospitalisasi akan mampu mengurangi
kecemasan yang timbul sebagai dampak dari hospitalisasi.

32
E. Kerangka Teori

Pendekatan empirik :
1. Dunia pendidikan
2. Sosialisasi
Pendekatan permainan:
1. Aktif
2. Pasif

Efek perawatan di
rumah sakit:
Kecemasan

Perawatan di rumah
sakit

Anak Sakit

Gambar 2.1. Kerangka Teori


Sumber : Modifikasi dalam Alwy (2004) dan Soetjiningsih (1995)
F. Kerangka Konsep Penelitian

Terapi Permainan
gambar

Pre Test
Tingkat kecemasan sebelum
terapi permainan gambar
Gambar 3.2. Kerangka Konsep Penelitian
G. Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang akan diteliti meliputi :

Post Test
Tingkat kecemasan sesudah
terapi permainan gambar

33
1. Variabel Independen atau bebas
Variabel independen adalah suatu variabel yang menjadi sebab atau
variabel yang mempengaruhi (Sugiono, 2001). Variabel independent dalam
penelitian ini adalah : Terapi bermain metode gambar
2. Variabel Dependen atau terikat
Variabel dependen adalah suatu variabel yang dipengaruhi atau variabel
yang menjadi akibat dari pengaruh variabel bebas (Sugiono, 2001). Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah : Efek perawatan di rumah sakit:yaitu
kecemasan.

H. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan sementara yang hendak diuji kebenarannya
(Machfoedz, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Ada pengaruh
pemberian terapi bermain gambar dengan kecemasan pada anak usia pra
sekolah di Rumah Sakit Umum Daerah Jepara.

Anda mungkin juga menyukai