Anda di halaman 1dari 31

Tindak Pidana Perpajakan

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Hukum Pidana

Oleh :
Bilqis

(C91215110)
Kelas HK A

Dosen Pengampu :
Suprapto, SH., MH., M.Psi.

PRODI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah berkat rahmat, hidayah dan inayah Allah SWT saya dapat
merampungkan makalah ini. Walaupun banyak hal yang harus ditempuh sebelumnya, namun
hasil akhirnya sudah membanggakan saya secara pribadi. Shalawat dan salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa agama islam. Shalawat
dan salam juga semoga tercurahkan kepada sahabat dan kerabat yang telah membantu
perjuangan penyebaran agama islam.
Pada kesempatan ini sesuai dengan tugas yang diberikan, maka saya membuat dan
menyusun makalah yang berisikan tentang TINDAK PIDANA PERPAJAKAN.
Dalam proses membuat dan menyusun ada kiranya terdapat kesalahan, baik dalam
teknik hal penulisan, penyampaian materi, ataupun dalam hal isi. Semuanya tak lebih dari
proses belajar bersama menuju sesuatu yang baik ke depannya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan mungkin juga dapat diperbaiki oleh penyaji berikutnya.

Surabaya, 28 April 2016


Penulis

DAFTAR ISI
1

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang.....................................................................................................................1

2.

Rumusan Masalah................................................................................................................2

3.

Tujuan Penulisan..................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Tindak Pidana Perpajakan......................................................................3
2. Jenis-jenis Tindak Pidana Perpajakan......................................................................4
3. Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan.....................................................................9
4. Sanksi Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan...................................................12
5. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan...............................................19
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan............................................................................................................22
2. Saran......................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................28

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengertian pajak menurut Prof. Dr. P.J.A Adriani adalah iuran kepada negara
yang terutang oleh wajib pajak berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat
prestasi secara langsung. Dengan demikian pajak merupakan kewajiban warga negara
yang harus dibayarkan kepada negara. Negara mempunyai tugas menyelenggarakan
pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat dan untuk itu memerlukan biaya. Biaya
ini diperoleh dari masyarakat melalui pemungutan pajak, artinya pajak merupakan
kewajiban warga negara untuk membiayai rumah tangga negara.
Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu segala sesuatu harus
berdasarkan pada hukum. Sejalan dengan hal ini dalam hal perpajakan, harus ada
hukum yang mengatur jalanya perpajakan di Indonesia. Hukum pajak adalah
himpunan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dan wajib
pajak, tentang siapa; dalam hal apa dikenai pajak; timbulnya kewajiban pajak; cara
pemungutanya serta penagihannya.
Pada masa sekarang ini negara Republik Indonesia sedang giat-giatnya dalam
melaksanakan pembangunan untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai negara yang sedang
berkembang yang masih dalam tahap pembangunan, maka agar pembangunan
berjalan dengan lancar dibutuhkan pembiayaan yang cukup besar dan pengelolaan
dana yang efisien. Dana itu dapat diperoleh dari sektor perpajakan atau dengan kata
lain dari pajak yang dibayar oleh seluruh wajib pajak, dengan demikian dapat
diketahui bahwa pembangunan yang ada di negara kita adalah dari rakyat oleh rakyat
dan untuk rakyat.
Dalam praktek perpajakan, sering terjadi kesalahan-kesalahan atau tindakan
yang merugikan kepentingan umum, baik itu yang dilakukan oleh pegawai
perpajakan, wajib pajak, kuasa wajib pajak dan yang lainnya. Berangkat dari hal ini,
penyusun akan membahas tindak pidana perpajakan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tindak pidana perpajakan?
2. Apa jenis-jenis tindak pidana perpajakan?
3. Bagaimana penyidikan tindak pidana perpajakan?
4. Bagaimana sanksi pidana dalam tindak pidana perpajakan?
5. Bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana perpajakan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian tindak pidana perpajakan.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis tindak pidana perpajakan.
3. Untuk mengetahui penyidikan tindak pidana perpajakan.
4. Untuk mengetahui sanksi pidana dalam tindak pidana perpajakan.
5. Untuk mengetahui upaya penanggulangan tindak pidana perpajakan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana Perpajakan


Definisi tindak pidana perpajakan secara jelas dapat dilihat pada penjelasan
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Berikut kutipan lengkapnya:
Yang dimaksud dengan tindak pidana perpajakan adalah informasi yang
tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan
menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap atau melampirkan keterangan keterangan yang tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undangundang yang mengatur perpajakan.
Definisi Tindak pidana di bidang perpajakan lainnya adalah suatu perbuatan
yang melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian
keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana. Ketentuan
yang mengatur tindak pidana pajak terdapat dalam hukum pidana pajak yang berisi
peraturan-peraturan tentang:
1. Perbuatan-perbuatan apa yang dapat diancam dengan hukuman,
2. Siapa-siapa yang dapat dihukum, dan
3. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan.1
Untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana perpajakan, perlu
dilakukan pemeriksaan pajak, yaitu untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data
atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Pemeriksaan pajak dilakukan oleh PNS di lingkungan Ditjen

1 Anang Mury Kurniawan, Upaya Hukum terkait dengan Pemeriksaan,


Penyidikan, dan Penagihan Pajak, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 91
3

Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak yang diberi tugas, wewenang,
dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan di bidang perpajakan.
Tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan
kepada wajib pajak. Tujuan lainnya adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam pemeriksaan tindak pidana perpajakan terdapat pemeriksaan bukti
permulaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana perpajakan.
Pemeriksaan bukti permulaan dilakukan oleh Kanwil Ditjen Pajak atau
Direktorat Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan bukti
permulaan dapat diketahui tindak lanjut yang harus dilakukan.
Tindak lanjut dari pemeriksaan bukti permulaan adalah yaitu diusulkan
dilakukannya penyidikan, atau tindakan lain berupa: penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKP), pembuatan laporan tindak pidana selain tindak pidana
perpajakan yang akan diteruskan kepada pihak yang berwenang, pembuatan laporan
sumir apabila wajib pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya, pembuatan
laporan sumir apabila tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana perpajakan.2

B. Jenis-jenis Tindak Pidana Perpajakan


1.

Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) adalah Suatu skema transaksi yang


ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahankelemahan (loophole) ketentuan perpajakan (pemanfaatkan celah hukum). Cirinya
adalah berupaya meminimalkan beban pajak dengan cara:
a. Tidak secara jelas melanggar ketentuan perpajakan,
b. Cenderung menafsirkan ketentuan pajak tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
pembuat undang-undang.3

2 Ibid, h. 73
3 Bambang Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), h. 57
4

Penghindaran
khususnya

pajak

badan

yang

dalam

dilakukan

bentuk

tax

oleh

wajib

avoidance,

pajak,

memang

dimungkinkan atau dalam hal ini tidak bertentangan dengan


undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku, karena
dianggap

praktek-praktek

yang

berhubungan

dengan

tax

avoidance lebih kepada pemanfaatan lubang-lubang atau celahcelah atau bisa juga kekosongan-kekosongan dalam undangundang perpajakan. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral
Pajak tidak bisa berbuat apa-apa melakukan penuntutan secara
hukum, meskipun praktek tax avoidance ini akan mempengaruhi
penerimaan negara dari sektor pajak. Praktek tax avoidance ini
sebenarnya suatu dilema bagi pemerintah, karena wajib pajak
melakukan pengurangan jumlah pajak yang harus dibayar, tetapi
dilakukan

dengan

tidak

bertentangan

dengan

ketentuan-

ketentuan yang berlaku.


Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam
penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar
undang-undang

sekalipun

kadang-kadang

dengan

jelas

menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan


tujuan pembuat undang-undang. Penghindaran pajak dilakukan
dengan 3 cara, yaitu:
1) Menahan Diri. Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak
tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh :
a) Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau,
b) Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar
terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebur. Sebagai gantinya,
menggunakan ikat pinggang dari plastik.
Secara moral, hal ini tidak tercela karena tidak ada orang yang akan
menganggap perbuatan seorang perokok yang mengurangi kebiasaan
merokoknya sebagai orang yang menghindari pajak. Malah, orang yang
mengurangi, atau malah tidak merokok sama sekali dianggap sebagai
tindakan terpuji.
5

2) Pindah Lokasi. Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang
tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah. Contoh:
Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin
menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak
semudah itu dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan
tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang
menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang
akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh.
Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang
baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru.
Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
Hal ini tidak tercela karena merupakan hak asasi setiap orang untuk
memilih tempat atau lokasi usaha/domisilinya.
3) Penghindaran Pajak Secara Yuridis. Perbuatan dengan cara sedemikian
rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak.
Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak
jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial
penghindaran pajak secara yuridis. Contoh:
......Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura).
Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan
sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama
dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi
uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam
bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan
sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang.
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah (loophole)
yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar
oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal
disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang
semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang

paling sedikit namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak
menyalahi ketentuan yang berlaku.4
2. Penggelapan Pajak (Tax Evasion) adalah upaya penyelundupan pajak, Suatu skema
memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan
(illegal), misalnya:
a. Tidak melaporkan sebagian penjualan,
b. Memperbesar biaya dengan cara fiktif,
c. Memungut pajak tetapi tidak menyetor.5
Penyebab Penggelapan Pajak. Menurut Siti Kurnia Rahayu yang menyebabkan
terjadinya tax evasion yaitu :
a. Kondisi lingkungan. Lingkungan sosial masyarakat menjadi hal yang tak
terpisahkan dari manusia sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu saling
bergantung satu sama lain. Hampir tidak ditemukan manusia di dunia ini yang
hidupnya hanya bergantung pada diri sendiri tanpa memperdulikan keberadaan
orang lain, begitu juga dalam dunia perpajakan, manusia akan melihat
lingkungan sekitar yang seharusnya mematuhi aturan perpajakan. Mereka
saling mengamati terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Jika kondisi
lingkungannya baik (taat aturan), masing-masing individu akan termotivasi
untuk mematuhi peraturan perpajakan dengan membayar pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Sebaliknya jika lingkungan sekitar kerap melanggar
peraturan. Masyarakat menjadi saling meniru untuk tidak mematuhi peraturan
karena dengan membayar pajak, mereka merasa rugi telah membayarnya
sementara yang lain tidak.
b. Pelayanan fiskus yang mengecewakan. Pelayanan aparat pemungut pajak
terhadap masyarakat cukup menentukan dalam pengambilan keputusan wajib
pajak untuk membayar pajak. Hal tersebut disebabkan oleh perasaan wajib
pajak yang merasa dirinya telah memberikan kontribusi pada negara dengan
membayar pajak. Jika pelayanan yang diberikan telah memuaskan wajib
4 Bambang Waluyo, Pemeriksaan dan Peradilan diBidang Perpajakan, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1991), h. 35
5 Ibid, h. 38
7

pajak, mereka tentunya merasa telah diapresiasi oleh fiskus. Mereka


menganggap bahwa kontribusinya telah dihargai meskipun hanya sekedar
dengan pelayanan yang ramah saja. Tapi jika yang dilakukan tidak
menunjukkan penghormatan atas usaha wajib pajak, masyarakat merasa malas
untuk membayar pajak kembali.
c. Tingginya tarif pajak. Pemberlakuan tarif pajak mempengaruhi wajib pajak
dalam hal pembayaran pajak. Pembebanan pajak yang rendah membuat
masyarakat tidak terlalu keberatan untuk memenuhi kewajibannya. Meskipun
masih ingin berkelit dari pajak, mereka tidak akan terlalu membangkang
terhadap aturan perpajakan karena harta yang berkurang hanyalah sebagian
kecilnya. Dengan pembebanan tarif yang tinggi, masyarakat semakin serius
berusaha untuk terlepas dari jeratan pajak yang menghantuinya. Wajib pajak
ingin mengamankan hartanya sebanyak mungkin dengan berbagai cara karena
mereka tengah berusaha untuk mencukupi berbagai kebutuhan hidupnya.
Masyarakat tidak ingin apa yang telah diperoleh dengan kerja keras harus
hilang begitu saja hanya karena pajak yang tinggi.
d. Sistem administrasi perpajakan yang buruk. Penerapan sistem administrasi
pajak mempunyai peranan penting dalam proses pemungutan pajak suatu
negara. Dengan sistem administrasi yang bagus, pengelolaan perpajakan akan
berjalan lancar dan tidak akan terlalu banyak menemui hambatan yang berarti.
Sistem yang baik akan menciptakan manajemen pajak yang profesional,
prosedur berlangsung sistematis dan tidak semrawut. Ini membuat masyarakat
menjadi terbantu karena pengelolaan pajak yang tidak membingungkan dan
transparan. Seandainya sistem yang diterapkan berjalan jauh dari harapan,
mayarakat menjadi berkeinginan untuk menghindari pajak. Mereka bertanyatanya apakah pajak yang telah dibayarnya akan dikelola dengan baik atau
tidak. Setelah timbul pemikiran yang menyangsikan kinerja fiskus seperti itu,
kemungkinan besar banyak wajib pajak yang benar-benar `lari` dari kewajiban
membayar pajak.6
Dilihat dari tingkatan kesalahan, maka tindak pidana perpajakan meliputi tindak
pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan. Tindak pidana lainnya adalah:
6 Bambang Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan, Op.Cit, h. 62
8

1. Tindak pidana perpajakan residivis sebelum lewat satu tahun sejak selesainya
menjalankan pidana penjara,
2. Mencoba mengajukan permohonan restitusi atau kompensasi pajak dengan
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP,
3. Wakil, kuasa, dan pegawai dari wajib pajak (PKP) termasuk mereka yang
menyuruh melakukan, akuntan public, notaris, konsultan pajak, kantor
administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan wajib
pajak yang diperiksa yang melakukan tindakan melawan hukum,
4. Siapa saja yang sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan.7
C. Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan serangkaian tindakan
yang dilakukan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya.
Sebelum dilakukan penyidikan dalam tindak pidana perpajakan, maka terlebih
dahulu dilakukan proses pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan untuk
mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di
bidang perpajakan. Hal ini dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 18/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti
Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Peraturan tersebut menjelaskan
bahwa Bukti Permulaan sebagai keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa
keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat
bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang
dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
Negara.8
Pemeriksaan bukti permulaan dapat dilaksanakan berdasarkan hasil analisis data,
informasi,

laporan,

pengaduan,

laporan

kegiatan

intelijen,

pengembangan

pemeriksaan bukti permulaan, atau pengembangan penyidikan, yang dapat


7 R Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: PT Refika
Aditama, 1998), h. 131-134
8 Erly Suandy, Hukum Pajak, (Yogyakarta: Salemba Empat, 2002), h. 89
9

dilaksanakan baik untuk seluruh jenis pajak maupun satu jenis pajak. Pemeriksaan
bukti permulaan dilakukan oleh kantor wilayah atau Direktorat Intelijen dan
Penyidikan berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan. Setelah itu berdasarkan
hasil pemeriksaan bukti permulaan maka dapat diketahui tindak lanjut yang akan
dilakukan.
Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak memiliki kewenangan dalam mengusut dan melakukan penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal
tersebut dijelaskan dalam ketentuan Pasal 44 Undang-undang Ketentuan Umum Dan
Tata Cara Perpajakan yang isinya menjelaskan sebagai berikut:
1. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang
perpajakan.
2. Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas,
b. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi
atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan,
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan,
d. Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana
di bidang perpajakan,
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan
bukti tersebut,
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan,
10

g. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau


tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas
orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa,
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan,
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi,
j. Menghentikan penyidikan; dan/atau,
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundangundangan.
3. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum
melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
4. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
Penyidikan tindak pidana perpajakan dilaksanakan berdasarkan surat perintah
penyidikan yang ditandatangani oleh Dirjen Pajak atau Kepala kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak. Apabila dianggap perlu maka penyidik pajak dapat
meminta bantuan penegak hukum lainnya apabila perkara yang ditangani begitu rumit
dan membutuhkan penyelesaian masalah oleh penegak hukum.9
Penyidik tindak pidana perpajakan harus memberitahukan kepada Jaksa Penuntut
Umum apabila memulai penyidikan dan wajib menyampaikan hasil atau laporan
penyidikannya kepada Jaksa penuntut umum, hal ini berdasarkan ketentuan pasal 44
ayat (3) UU Perpajakan yang menjelaskan bahwa Penyidik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
9 Adrian Sutedi, Hukum Pajak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 225-226
11

Selanjutnya Jaksa penuntut umum yang akan menentukan apakah masalahnya


sudah matang untuk diajukan ke pengadilan atau tidak dilanjutkan ke pengadilan.
Dalam proses penyidikan, di dalamnya mengandung dua hal yaitu pertama,
Penyidikan yang berakhir dengan diserahkannya hasil penyidikan ke pengadilan atau
untuk kepentingan penerimaan negara atas permintaan Menteri Keuangan, Kedua
hasil penyidikan tidak diproses di pengadilan/dihentikan, dengan catatan wajib pajak
yang disidik telah melunasi utang pajaknya dan ditambah dengan sanksi administrasi
berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak.
Penghentian Penyidikan dapat dilakukan karena :
1. Penyidik menghentikan penyidikan dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau
peristiwa tersebut bukan merupaan tindak pidana di bidang perpajakan, atau
penyidikan di hentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka
meninggal dunia. Hal ini diatur dalam Pasal 44A Undang Undang KUP.
2. Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa
Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling
lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. Hal ini
diatur dalam Pasal 44B Undang Undang KUP. Penghentian penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan dalam hal ini hanya dilakukan setelah Wajib Pajak :
a. Melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak
seharusnya dikembalikan; dan,
b. Membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya
dikembalikan.10
D. Sanksi Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan
Salah satu bagian dari Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Usaha
negara adalah Hukum Pajak. Tetapi di antara para ahli hukum berpendapat bahwa
Hukum Pajak merupakan ilmu yang berdiri sendiri sejajar dengan ilmu hukum yang
lain.11 Pendapat ini didasarkan pada asumsi bahwa hukum pajak di samping
10 Sri Harini, Pengantar Hukum Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 63
11 Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, (Bandung: Eresco, 1992), h.
31
12

memiliki sanksi administrasi juga dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana


pelanggaran atau kejahatan pada umunya. Bahkan kejahatan pajak yang tergolong
korupsi merupakan ekstra ordinary crime (kejahatan yang luar biasa) yang
diperlukan penanganan khusus. Namun perlu diketahui, walaupun kejahatan pajak
dapat masuk ranah hukum pidana tetap ada perbedaan khusus sebagimana pendapat
Van der Poel.12 Perbedaannya terdapat pada fakta bahwa hukum pajak sangat
membutuhkan detail-detailnya, walaupun dasar pikiran yang digunakan sama tetapi
sejarah pertumbuhannya berbeda. Menurut Van der Poel, setengah abad lalu
pelanggaran-pelanggaran pajak maupun penggelapan uang pajak dianggap hal
sepele, tetapi perkembangan hukum saat sekarang sesuai dengan teori dan filsafat,
tidak lagi membedakan pencurian terhadap kekayaan negara dan pencurian
terhadap kekayaan individu. Mengikuti perkembangan hukum pajak yang demikian
maka perlu pemrintah menetapkan peraturan pajak dengan mencantumkan sanksisanksi tegas dan adil untuk menjamin kesejahteraan rakyat melalui pendapatan
negara.13
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan terdapat beberapa aspek pidana dalam perpajakan, yaitu :
Hukum Pidana
a.
b.
Pokok
c.

UU Perpajakan
Pidana Penjara 6 bulan-6 tahun).
Pidana kurungan (3 bulan-1 tahun).
Denda (1-2 kali jumlah pajak terhutang yang tidak atau kurang

dibayar).
a. Pidana Penjara (6 bulan-2 tahun).
Denda (2-4 kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
Percobaan b.
kompensasi).
a.
Pidana Penjara (1-3 tahun).
Pembantuan
b.
Denda (75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)).
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A,
berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau
Penyertaan

pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta


melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan

Daluarsa

tindak pidana di bidang perpajakan.


Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah
lampau waktu 10 tahun sejak saat terutangnya pajak, betakhirnya

12 R Santoso Brotodihardjo, Op.Cit, h. 24


13 Ibid.
13

masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya


tahun pajak yang bersangkutan.
Penjelasan :
Daluarsa ini untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib
Pajak, penuntut umum dan hakim.
Jangka waktu 10 tahun adalah untuk menyesuaikan dengan
daluarsa penyimpanan dokumen2 perpajakan yang dijadikan
dasar penghitungan jumlah pajak terutang selama sepuluh tahun.
Sanksi Pidana dalam bidang perpajakan dibagi dalam beberapa kategori yaitu,
1.

Delik Kealpaan Oleh Wajib Pajak. Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau,
b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut
merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling
singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.14
2. Delik Kesengajaan Oleh Wajib Pajak:
a. Dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda
paling sedikit 2 kali dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang bayar setiap orang yang dengan sengaja sehingga menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara:
1) tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau NPPKP,
2) menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP,
3) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan.
4) menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya
tidak benar atau tidak lengkap,
5) menolak untuk dilakukan pemeriksaan,
6) memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang
palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan
keadaan yang sebenarnya,
7) tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia,
tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau
dokumen lain,

14 Anang Mury Kurniawan, Op.Cit, h. 143


14

8) tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar


pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil
pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia; atau,
9) tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
b. Setiap orang yang dengan sengaja:
1) Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak,
bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak
berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau,
2) Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6
(enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak,
bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.15
Tindak Pidana yang Dilakukan di Bidang Perpajakan yang Diancam dengan
Hukuman Pidana dalam KUHP:
1. Perbuatan penyuapan yang dilakukan oleh wajib pajak atau orang lain, diancam
dengan hukuman pidana dalam Pasal 209 KUHP paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, yaitu
barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan
maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. (Perbuatan ini oleh UU
No. 3 Tahun 1971 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dimasukkan dalam kategori
Tindak Pidana Korupsi).
2. Memberikan keterangan palsu di atas sumpah, Pasal 242 KUHP, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
3. Pemalsuan Materai, Pasal 253 KUHP. Diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun, barangsiapa meniru atau memalsu materai yang dikeluarkan
oleh pemerintah Indonesia, atau jika diperlukan tanda tangan untuk sahnya
materai itu, barangsiapa meniru atau memalsu tanda tangan, dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai materai itusebagai materai
yang asli dan tidak palsu atau yang sah. Barangsiapa dengan maksud yang sama

15 Ibid, h. 145
15

membikin materai tersebut dengan menggunakan cap asli secara melawan


hukum.
4. Pemalsuan Surat, Pasal 263 KUHP. (1) Barangsiapa membuat surat palsu atau
memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak perikatan atau
pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal,
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat
tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam, jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana
penjara paling lama enam tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama,
barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan, seolahoalh sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
5. Membuka Rahasia, Pasal 322 KUHP. (1) Barangsiapa dengan sengaja
membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya,
baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara
palinmg lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu
rupiah. (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap orang tertentu, maka perbuatan itu
hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
6. Pemerasan dan Pengancaman, Pasal 368 KUHP. (1) Barangsiapa dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk
memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang itu atau orang lain atau supaya membuat utang maupun menghapuskan
piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan. (2) ...........dan seterusnya.
7. Penggelapan, Pasal 372 KUHP. Barangsiapa dengan sengaja dan melawan
hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama
empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
8. a. Kejahatan Jabatan, Pasal 417 KUHP. Seorang pejabat atau orang lainyang
diberi tugas menjalankan suatu jabatn umum terus menerus atau untuk
sementara waktu yang sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membikin tidak dapat dipakai barang-barangyang dipergunakan guna
meyakinkan atau membuktikan di muka penguasa yang berwenang, akta-akta,
surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasainya karena jabatannya atau
16

membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau


membikin tidak dapat dipakai barang-barangitu atau menolong sebagai
pembantu dalam melakukan perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan. Tindak pidana ini berdasarkan UU No. 3
Tahun 1971 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dinyatakan sebagai tindak pidana
korupsi.
b. Pasal 418 KUHP. Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa hadiah atau janji itu diberikan
karena kekuasan atau wewenang yang berhubungan dengan jabatannya, atau
yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan
dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau
pidana

denda

paling

banyak

empat

ribu

lima

ratus

rupiah.

Tindak pidana ini berdasarkan UU No. 3 tahun 1971 jo. UU No. 20 Tahun 2001
dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.
c. Pasal 419 KUHP. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun,
seorang pejabat:
1) Yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahuinya bahwa hadiah
atau janji itu diberikan untuk menggerakkan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya.
2) Orang yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan
sebagai akibat atau oleh karena sipenerima telah melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Pasal ini
termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan
UU No. 3 Tahun 1971 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
3) Pasal 421 KUHP. Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan
memaksa

seseoarang

untuk

melakukan,

tidak

melakukan

atau

membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua


tahun delapan bulan.
4) Pasal 425 KUHP. Pemerasan oleh pejabat. Diancam karena melakukan
pemerasan diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
a) Seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas meminta,
menerima atau memotong pembayaran seolah-olah berutang
kepadanya, kepada pejabat lainnya atau kepada kas umum,
b)

padahal diketahuinya bahwa tidak demikian adanya.


Seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta
atau menerima pekerjaan atau menyerahkan barang seolah-olah
17

merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahuinya bahwa


tidak demikian halnya.
Seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas seolah-olah

c)

sesuai

dengan

aturan-aturan

yang

bersangkutan,

telah

menggunakan tanah negara yang di atasnya ada hak-hak pakai


Indonesia dengan merugikan yang berhak, padahal diketahuinya
bahwa itu bertentangan dengan peraturan tersebut.
9. Pelanggaran Jabatan, Pasal 552 KUHP. Seorang pejabat yang berwenang
mengeluarkan salinan atau petikan putusan pengadilan, jika mengeluarkan
salinan atau petikan demikian itu, sebelum putusan ditandatangani sebagaimana
mestinya, diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh
rupiah.
Dari semua ketentuan peraturan itu dapat disimpulkan bahwa
perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana adalah tindak
pidana :
1. Yang dilakukan oleh wajib pajak,
2. Yang dilakukan oleh pejabat pajak (fiskus),
3. Yang dilakukan oleh pihak ketiga, yang bukan wajib pajak dan
bukan pejabat pajak.16
E. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan
Upaya dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana secara optimal, pendekatan
yang

perlu

dilakukan

adalah

dengan

melakukan

pendekatan

sistem

pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminalisasi. Kebijakan


kriminalisasi sebagai usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan kejahatan
problem sosial yang dinamakan kejahatan dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana)
tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana non penal. Penanggulangan
kejahatan

dengan

sarana

hukum

pidana

berarti

mengadakan

pemilihan

untuk pencapaian hasil perundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna.Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan
menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan
penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Upaya
penanggulangan kejahatan pada hekekatnya merupakan bagian integral dari upaya
16 Shopar Lumbantoruan, Akuntansi Pajak, (Jakarta : Gramedia Widiasarana
Indonesia1996), h. 99-109
18

perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa


tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.17
Pendekatan penanggulangan tindak pidana dalam pembahasan makalah ini terkait
tindak

pidana

perpajakan

laundering (pencucian

uang)

dengan

menerapkan

didasarkan

bahwa

rezim

anti money

pentingnya

pajak

bagi

penyelenggaraan Negara, dalam upaya mencegah berbagai rekayasa meminimalisasi


beban

pajak.

Penanggulangan

tindak

perpajakan

dan akses

negatif

pada

penyelenggeraan Negara dapat dibandingkan diberbagai negara dalam kerangka


penanggulangan tindak pidana perpajakan seperti Belanda, terdapat doktrin fraus
legis (distorsi hukum) dan richtige heffing (penetapan kemudian) sebagai dasar untuk
mengabaikan berbagai mekanisme rekayasa yang dimanfaatkan oleh Wajib Pajak
untuk meminimalisir beban pajak dan selanjutnya secara sederhana menetapkan
jumlah pajak terutang dengan menganggap rekayasa transaksi itu tidak pernah
ada. Secara psikologis dan ekonomis, seseorang yang melakukan rekayasa
penggelapan pajak mengetahui secara pasti bahwa ia telah bertindak melawan hukum
dengan implikasi sosial dan psikologis, seperti adanya stigma merasa bersalah dan
mengundang risiko terbongkar dengan sanksi hukum pidana badan dan denda.
Sebaliknya, hal seperti ini tidak terdapat dalam praktik penghindaran pajak karena
tidak adanya tindakan melawan hukum yang dilakukan.
Prinsip pertanggungjawaban pelaku kejahatan di dalam hukum pidana pada
sistem hukum di Indonesia dilandasi oleh adanya kesalahan (shuld) di dalam
perbuatan

melawan

hukum (wederechtelijk) sebagai

syarat

untuk

pengenaan

pidana,sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana di dalam


faham KUH Pidana diperlukan beberapa syarat yakni: Pertama, adanya suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh kealpaan. Kedua, adanya unsur kesalahan berupa
kesengajaan atau kealpaan. Ketiga, adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab
dan tidak ada alasan pemaaf. Kesalahan (schuld) sangat erat kaitannya dengan suatu
kejahatan yang dilakukan oleh subjek hukum manusia alamiah yang mengandung arti
bahwa dapat dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau sifat melawan hukum. Meskipun
perbuatannya memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak
17 Anang Mury Kurniawan, Op.Cit, h. 162
19

dapat dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan
pidana karena penjatuhan pidana memerlukan adanya syarat bahwa orang yang
melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
Hal ini tentunya mengambarkan bahwa perbuatan melawan hukum
berhubungan dengan kesalahan sebagai syarat penjatuhan pidana dalam rangka
meminta pertanggungjawaban pelaku sesuai dengan asas geen straf zonder schuld di
dalam faham hukum pidana, untuk menentukan kesalahan sebagai dasar penjatuhan
pidana tentunya didasarkan kepada perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan
hukum atau bersifat melawan hukum.
Selanjutnya

pendekatan

menyangkut

penanggulangan

tindak

pidana

perpajakan melalui rezim anti money laundering didasarkan modus opzet pelaku
dengan maksud untuk meminimalkan risiko terdeteksi biasanya para pelaku
penggelapan pajak berusaha menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul "hasil
kejahatan" (proceeds of crime) dengan melakukan tindak kejahatan lanjutannya yaitu
praktik pencucian uang, agar dapat memaksimalkan utilitas ekspektasi pendapatan
dari penggelapan pajak tersebut. Untuk itu diperlukan prinsip-prinsip transaksi
keuangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Transaksi keuangan
yang menjadi unsur pencucian uang adalah transaksi keuangan mencurigakan dan
transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang belum dilaporkan dan mendapat
persetujuan dari Kepala PPATK.18
Definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah (Pasal 1 angka 5 UU No. 8 Tahun
2010):
1. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan
pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan,
2. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini,
3. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana,
18 Ibid, h. 179
20

4. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak
Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian Tindak Pidana Perpajakan
Definisi Tindak pidana di bidang perpajakan lainnya adalah suatu
perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang
menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan
hukuman pidana.
2. Jenis-jenis Tindak Pidana Perpajakan
a. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) adalah Suatu skema transaksi yang
ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan
kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan (pemanfaatkan
celah hukum),
b. Penggelapan Pajak(Tax Evasion) adalah upaya penyelundupan pajak, Suatu
skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan
perpajakan (illegal),
21

c. Tindak pidana perpajakan residivis sebelum lewat satu tahun sejak


selesainya menjalankan pidana penjara,
d. Mencoba mengajukan permohonan restitusi atau kompensasi pajak dengan
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP,
e. Wakil, kuasa, dan pegawai dari wajib pajak (PKP) termasuk mereka yang
menyuruh melakukan, akuntan public, notaris, konsultan pajak, kantor
administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan
wajib pajak yang diperiksa yang melakukan tindakan melawan hukum,
f. Siapa saja yang sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan.
3. Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan serangkaian
tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan
yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Sebelum dilakukan penyidikan
dalam tindak pidana perpajakan, maka terlebih dahulu dilakukan proses
pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti
permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang
perpajakan.
Pemeriksaan bukti permulaan dapat dilaksanakan berdasarkan hasil
analisis data, informasi, laporan, pengaduan, laporan kegiatan intelijen,
pengembangan pemeriksaan bukti permulaan, atau pengembangan penyidikan,
yang dapat dilaksanakan baik untuk seluruh jenis pajak maupun satu jenis
pajak.
Setelah itu berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan maka dapat
diketahui tindak lanjut yang akan dilakukan. Penyidikan tindak pidana
perpajakan dilaksanakan berdasarkan surat perintah penyidikan yang
ditandatangani oleh Dirjen Pajak atau Kepala kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak.
Penyidik tindak pidana perpajakan harus memberitahukan kepada Jaksa
Penuntut Umum apabila memulai penyidikan dan wajib menyampaikan hasil
atau laporan penyidikannya kepada Jaksa penuntut umum. Selanjutnya Jaksa
22

penuntut umum yang akan menentukan apakah masalahnya sudah matang


untuk diajukan ke pengadilan atau tidak dilanjutkan ke pengadilan.
4. Sanksi Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan
Bahwa peraturan peraturan

administrasi

pun sangat

memerlukan sanksi-sanksinya yang menjamin ditaatinya oleh


khalayak

ramai.

Juga

dalam

peraturanperaturan

pajak

terdapat sanksi sanksi yang bersifat umum dan khusus,


antara lain dimuatlah dalam :
a. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (Generalis/umum):
1)Perbuatan Penyuapan, pasal 209 KUHP,
2)Memberikan keterangan palsu di atas sumpah, pasal
242 KUHP,
3)Pemalsuan Meterai, pasal 253 KUHP,
4)Pemalsuan Surat, pasal 263 KUHP,
5)Membuka Rahasia pasal 322 KUHP,
6)Pemerasan dan Pengancaman, pasal 368 KUHP,
7)Penggelapan, pasal 372 KUHP,
8)Melakukan tipu muslihat pasal 387 KUHP,
9)Melakukan akal tipu pada TNI dan keadaan khusus,
pasal 388 KUHP,
10) Kejahatan Jabatan:
a) Pasal 415 KUHP,
b) Pasal 416 KUHP,
c) Pasal 417 KUHP,
d) Pasal 419 KUHP,
e) Pasal 241 KUHP ,
23

f) Pasal 425 KUHP.


b. Undang Undang Perpajakan (Specialist/khusus)
1) Undang-Undang perpajakan kita membagi

tindak

pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam dua


jenis yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak
pidana kejahatan.
a) Tindak Pidana Pelanggaran. Pelanggaran sering
dipadankan dengan kejahatan yang

ringan,

ancaman pidana bagi pelaku pelanggaran lebih


ringan bila dibanding denga pelaku kejahatan.
Ancaman yang dapat dikenakan terhadap wajib
pajak yang melakukan pelanggaran kewajiban
perpajakan adalah pidana kurungan selamalamanya satu tahun atau denda sebesar dua
kali jumlah pajak yang terhutang. Dalam UU
No. 16 Tahun 2000 perubahan kedua dari UU
No. 6 Tahun 1983 dan UU No.9 tahun 1994
tentang

Ketentuan Umum dan Tata

Cara

Perpajakan prinsip prinsip ancaman pidana


pelanggaran

ini pun dengan nyata nyata

dimuat dalam : Pasal 38 setiap orang yang


karena
surat

kealpaannya;

tidak

menyampaikan

atau

menyampaikan

pemberitahuan;

surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar


atau

tidak

lengkap,

atau

melampirkan

keterangan yang isinya tidak benar; sehingga


dapat

menimbulkan

kerugian

pada

pendapatan negara , dipidana dengan pidana


kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan atau
denda paling lama 2 ( dua ) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar .

24

b) Tindak

Pidana Kejahatan.

Jika

pelanggaran

merupakan kejahatan ringan maka kejahatan


dapat dipadankan sebagai pelanggaran yang
berat.

Pelanggaran

pidananya

berat

memang

karena

jauh

ancaman

lebih

berat

dibandingkan dengan pelanggaran. Ancaman


pidana

untuk

palaku

kejahatan ini

adalah

pidana penjara selama-lamanya tiga tahun dan


atau

denda

setinggi-tingginya

empat

kali

jumlah pajak yang terhutang yang kurang atau


tidak dibayar, serta bagi pelaku pengulangan
kejahatan

residive)

ancaman

pidana

dilipatkan dua, dengan ketentuan belum lewat


waktu satu tahun. Adapun ketentuan tersebut
ada dalam :
i. Pasal 39 tentang Tindak Pidana Kejahatan;
i) Setiap orang yang dengan sengaja.
Dipidana

penjara

paling

lama

( enam ) tahun dan denda paling tinggi


(empat ) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang bayar.
ii) Pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat ( 1 ) dilipat

2 ( dua ) apabila

seseorang melakukan lagi tindak pidana


di bidang perpajakan sebelum lewat 1
( satu ) tahun, terhitung sejak selesainya
menjalani

pidana

penjara

yang

dijatuhkan.
iii)

Setiap

percobaan

orang
untuk

yang

melakukan

melakukan

tindak

pidana. Dipidana dengan pidana penjara


paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda
25

paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah


restitusi

yang

dimohonkan

dan

atau

kompensasi yang dilakukan oleh Wajip


Pajak.
ii.

Pasal

41

Pejabat

tentang

yang

memenuhi
sebagaimna

Sanksi

karena

Bagi

Pejabat.

kealpaannya

kewajiban

merahasiakan

dimaksud

dalam

pasal

tidak
hal
34,

dipidana dengan pidana kurungan paling


lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling
banyak

Rp.

4.000.000,-

empat

juta

rupiah); pejabat yang dengan sengaja tidak


memenuhi kewajibannya atau seseorang
yang

menyebabkan

tidak

dipenuhinya

kewajiban pejabat sebgaimana dimaksud


dalam pasal 34 , dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan
denda paling banyak Rp. 10.000.000.
iii.

Pasal

41A tentang Sanksi Bagi Pihak ke

tiga. Setiap orang yang menurut pasal 35


undang

undang

ini

wajib

memberi

keterangan atau bukti yang diminta tetapi


dengan sengaja tidak memberi keterangan
atau bukti, atau memberi keterangan atau
bukti yang

tidak benar, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 1 ( satu ) tahun


dan denda paling banyak Rp.10.000.000,( sepuluh juta rupiah ).
iv.

Pasal 41B tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga.


Setiap

orang

yang

dengan

sengaja

menhalangi atau mempersulit penyidikan


tindak

pidana
26

di

bidang

perpajakan

dipidana dengan pidana penjara paling lama


3 ( tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.

5. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan


Upaya dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana secara optimal,
pendekatan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan sistem
pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminalisasi.
Kebijakan

kriminalisasi

sebagai

usaha-usaha

yang

rasional

untuk

mengendalikan kejahatan problem sosial yang dinamakan kejahatan dapat


dilakukan dengan berbagai cara.
Pendekatan penanggulangan tindak pidana dalam pembahasan makalah
ini terkait tindak pidana perpajakan dengan menerapkan rezim anti money
laundering (pencucian uang) didasarkan bahwa pentingnya pajak bagi
penyelenggaraan Negara, dalam upaya mencegah berbagai rekayasa
meminimalisasi beban pajak.
Selanjutnya pendekatan menyangkut penanggulangan tindak pidana
perpajakan melalui rezim anti money laundering didasarkan modus opzet
pelaku dengan maksud untuk meminimalkan risiko terdeteksi biasanya para
pelaku penggelapan pajak berusaha menyembunyikan atau mengaburkan asalusul "hasil kejahatan" (proceeds of crime) dengan melakukan tindak kejahatan
lanjutannya yaitu praktik pencucian uang, agar dapat memaksimalkan utilitas
ekspektasi pendapatan dari penggelapan pajak tersebut.
B. Saran
Perlunya aturan hukum yang jelas mengenai Tindak Pidana di
bidang perpajakan dan ketentuan itu dituangkan secara jelas pada
UU Perpajakan. Dan, perlunya peningkatan Sumber Daya Manusia
pada aparat penegak hukum sehingga vonis yang dijatuhkan bisa
memenuhi rasa keadilan masyarakat.

27

DAFTAR PUSTAKA

Brotodihardjo, R Santoso, 1998, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT


Refika Aditama.
Harini, Sri, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia.
Kurniawan, Anang Mury, 2011, Upaya Hukum terkait dengan Pemeriksaan,
Penyidikan, dan Penagihan Pajak,, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lumbantoruan,

Shopar, 1996,

Akuntansi

Pajak,

Jakarta

Gramedia

Widiasarana Indonesia.
Soemitro, Rochmat, 1992, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung: Eresco.
Suandy, Erly, 2002, Hukum Pajak, Yogyakarta: Salemba Empat.
Sutedi, Adrian, 2013, Hukum Pajak, Jakarta: Sinar Grafika.
Waluyo, Bambang, 1991, Pemeriksaan dan Peradilan diBidang Perpajakan,
Jakarta: Sinar Grafika,
Waluyo, Bambang, 1994, Tindak Pidana Perpajakan, Jakarta: Pradnya
Paramita.

28

Anda mungkin juga menyukai