Anda di halaman 1dari 25

ETIKA KEPERAWATAN DALAM ASUHAN

KEPERAWATAN PADA GANGGUAN PSIKOSOSIAL


HIV/AIDS
MAKALAH
Diajukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Etika Keperawatan

Disusun oleh: Kelompok II


Kelas : 1C
M. Eka Nugraha

(34403515077)

Nita Rahmawati

(34403515091)

Novi Aristianti

(34403515092)

PEMERINTAHAN KABUPATEN CIANJUR

AKADEMI KEPERAWATAN
BADAN LAYANAN UMUM DAERAH (BLUD)
Jalan Pasir Gede Raya No 19 (0263) 267206 Fax.270953 Cianjur 43216

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang Etika
Keperawatan

Dalam

Asuhan

Keperawatan

Pada

Gangguan

Psikososial

HIV/AIDS. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan


dan hambatan akan tetapi tantangan itu bisa teratasi.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Cianjur,

April 2016

Kelompok II

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................i


Daftar Isi ..............................................................................................................ii
Bab I : Pendahuluan ...........................................................................................1
A. Latar Belakang ..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah .....................................................................................2
C. Tujuan .......................................................................................................2
Bab II : Tinjauan Teori ......................................................................................3
A. Etika ..........................................................................................................3
1. Pengertian Etika ..................................................................................3
2. Prinsip-prinsip Etika ...........................................................................3
3. Nilai dan Moral ...................................................................................5
4. Hak-hak Pasien dan Perawat...............................................................7
5. Komunikasi Terapeutik.......................................................................10
B. Etika Keperawatan dalam Asuhan Keperawatan pada Gangguan
Psikososial HIV/AIDS ..............................................................................11
1. Etika Keperawatan dalam Kaitannya dengan HIV/AIDS ...................11
2. Stigma dan Diskriminasi .....................................................................12
3. Masalah Psikososial ............................................................................12
4. Upaya Mengurangi Beban Psikososial................................................14
5. Peran Perawat......................................................................................15
Bab III : Pembahasan .........................................................................................17
A. Studi Kasus ...............................................................................................17
B. Pembahasan...............................................................................................17
C. Role Play ...................................................................................................18
Bab IV : Penutup.................................................................................................21
A. Kesimpulan ...............................................................................................21
B. Saran..........................................................................................................21
Daftar Pustaka.....................................................................................................22

ii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tingkat pertumbuhan penderita AIDS di Indonesia cukup tinggi.
Departemen Kesehatan (DEPKES) memprediksi pada tahun 2010 HIV/AIDS
di Indonesia akan menjadi pandemi. Peningkatan infeksi HIV pada
penyalahguna narkoba terjadi secara signifikan. Pada tahun 1999,
peningkatannya mencapai 15%, tahun 2000 membengkak menjadi 40%, dan
dua tahun kemudian, tepatnya 2002, telah mengembung menjadi 47,9%.
Sementara itu, infeksi HIV pada donor darah secara nasional memperlihatkan
besaranya kurang dari dua setiap per 10.000 kantong darah di awal 2001.
Pada tiga tahun terakhir antara 1997-2000 infeksi HIV pada donor darah di
Indonesia meningkat hingga sepuluh kali lipat.
Pada awal mula penyakit ini berkembang di Indonesia, kelompok
pengidap penyakit ini adalah orang-orang yang memiliki perilaku bergantiganti pasangan dalam berhubungan seks. Kebanyakan penderita AIDS adalah
mereka yang melakukan perilaku seks tidak sehat, yang dalam hal ini
melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Kemudian, AIDS
juga banyak diderita oleh pemakai narkoba yang menggunakan jarum suntik
karena adanya kebiasaan menggunakan jarum suntik secara bergantian.
Kenyataan ini menimbulkan stigma pada masyarakat yang menyebutkan
bahwa HIV/AIDS muncul sebagai akibat penyimpangan perilaku seks dari
nilai, norma, dan agama, penyakit pergaulan bebas, atau penyakit kaum
perempuan nakal. Bahkan lebih parah lagi adanya stigma bahwa HIV/AIDS
merupakan kutukan Tuhan karena perbuatan-perbuatan menyimpang itu.
Adanya stigma dalam masyarakat ini menimbulkan masalah psikosial
yang rumit bagi penderita AIDS. Pengucilan penderita dan diskriminasi tidak
jarang membuat penderita AIDS tidak mendapatkan hak-hak asasinya. Begitu
luasnya masalah sosial yang berkaitan dengan stigma ini, karena diskriminasi
terjadi di berbagai pelayanan masyarakat bahkan tidak jarang dalam
pelayanan kesehatan sendiri. Untuk lebih jelasnya kami kami akan membahas
di bab selanjutnya.
1

B. Rumusan Masalah
1.

Apa yang dimaksud etika?

2.

Apa prinsip-prinsip etika?

3.

Apa yang dimaksud nilai dan moral?

4.

Apa hak pasien dan perawat?

5.

Bagaimana komunikasi terapeutik?

6.

Bagaimana etika keperawatan dalam kaitannya dengan HIV/AIDS?

7.

Bagaimana stigma dan diskriminasi?

8.

Apa masalah psikososial?

9.

Apa upaya mengurangi beban psikososial?

10. Apa peran perawat?

C. Tujuan Penulisan
1.

Untuk mengetahui apa yang dimaksud etika.

2.

Untuk memahami prinsip-prinsip etika.

3.

Untuk mengetahui nilai dan moral.

4.

Untuk memahami hak pasien dan perawat.

5.

Untuk memahami komunikasi terapeutik.

6.

Untuk mengetahui bagaimana etika keperawatan dalam kaitannya dengan


HIV/AIDS.

7.

Untuk mengetahui stigma dan diskriminasi.

8.

Untuk mengetahui masakah psikososial.

9.

Untuk mengetahui upaya mengurangi beban psikososial.

10. Untuk mengetahui apa peran perawat.

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Etika
1.

Pengertian Etika
Etika merupakan kata yang berasal dari Yunani, yaitu Ethos, yang
menurut Araskar dan David (1978) berarti kebiasaan atau model prilaku,
atau standar yang diharapkan dan kriteria tertentu untuk sesuatu tindakan,
dapat diartikan segala sesuatu yang berhubungan dengan pertimbangan
pembuatan

keputusan,

benar

atau

tidaknya

suatu

perbuatan.

Dalam Oxford Advanced Learners Dictionary of Curret English, AS


Hornby mengartikan etika sebagai sistem dari prinsip-prinsip moral atau
aturan-aturan prilaku. Menurut definisi AARN (1996), etika berfokus
pada yang seharusnya baik salah atau benar, atau hal baik atau buruk.
Sedangkan menurut Rowson, (1992).etik adalah Segala sesuatu yang
berhubungan/alasan tentang isu moral.
2.

Prinsip Etika
Ada 8 prinsip etika keperawatan yang wajib diketahui oleh perawat
dalam

memberikan

layanan

keperawatan

kepada

individu,

kelompok/keluarga, dan masyarakat.


a. Otonomi (Autonomy) prinsi otonomi didasarkan pada keyakinan
bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat
keputusan sendiri. Orang dewasa mampu memutuskan sesuatu dan
orang

lain

harus

menghargainya.

Otonomi

merupakan

hak

kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri.


Salah satu contoh yang tidak memperhatikan otonomi adalah
Memberitahukan klien bahwa keadaanya baik,padahal terdapat
gangguanatau penyimpangan
b. Beneficience (Berbuat Baik) prinsip ini menentut perawat untuk
melakukan hal yan baik dengan begitu dapat mencegah kesalahan
atau kejahatan. Contoh perawat menasehati klien tentang program
latihan untuk memperbaiki kesehatan secara umum, tetapi perawat

menasehati untuk tidak dilakukan karena alasan resiko serangan


jantung.
c. Justice (Keadilan) nilai ini direfleksikan dalam praktek professional
ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar
praktik dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas
pelayanan kesehatan. Contoh ketika perawat dinas sendirian dan
ketika itu ada klien baru masuk serta ada juga klien rawat yang
memerlukan

bantuan

perawat

maka

perawat

harus

mempertimbangkan faktor-faktor dalam faktor tersebut kemudian


bertindak sesuai dengan asas keadilan.
d. Nonmaleficince

(tidak

merugikan)

prinsi

ini

berarti

tidak

menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien. Contoh


ketika ada klien yang menyatakan kepada dokter secara tertulis
menolak pemberian transfuse darah dan ketika itu penyakit
perdarahan (melena) membuat keadaan klien semakin memburuk dan
dokter harus mengistrusikan pemberian transfuse darah. akhirnya
transfuse darah ridak diberikan karena prinsi beneficence walaupun
pada situasi ini juga terjadi penyalahgunaan prinsi nonmaleficince.
e. Veracity (Kejujuran) nilai ini bukan cuman dimiliki oleh perawat
namun harus dimiliki oleh seluruh pemberi layanan kesehatan untuk
menyampaikan kebenaran pada setia klien untuk meyakinkan agar
klien mengerti. Informasi yang diberikan harus akurat, komprehensif,
dan objektif. Kebenaran merupakan dasar membina hubungan saling
percaya.

Klie

memiliki

otonomi

sehingga

mereka

berhak

mendapatkan informasi yang ia ingin tahu. Contoh Ny. S masuk


rumah sakit dengan berbagai macam fraktur karena kecelakaan
mobil, suaminya juga ada dalam kecelakaan tersebut dan meninggal
dunia. Ny. S selalu bertanya-tanya tentang keadaan suaminya. Dokter
ahli bedah berpesan kepada perawat untuk belum memberitahukan
kematian suaminya kepada klien perawat tidak mengetahui alasan
tersebut dari dokter dan kepala ruangan menyampaikan intruksi

dokter harus diikuti. Perawat dalam hal ini dihadapkan oleh konflik
kejujuran.
f. Fidelity (Menepati janji) tanggung jawab besar seorang perawat
adalah meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan
kesehatan, dan meminimalkan penderitaan. Untuk mencapai itu
perawat harus memiliki komitmen menepati janji dan menghargai
komitmennya kepada orang lain.
g. Confidentiality (Kerahasiaan) kerahasiaan adalah informasi tentang
klien harus dijaga privasi klien. Dokumentasi tentang keadaan
kesehatan klien hanya bisa dibaca guna keperluan pengobatan dan
peningkatan kesehatan klien. Diskusi tentang klien diluar area
pelayanan harus dihindari.
h. Accountability (Akuntabilitasi) akuntabilitas adalah standar yang
pasti bahwa tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi
yang tidak jelas atau tanda tekecuali. Contoh perawat bertanggung
jawab pada diri sendiri, profesi, klien, sesame teman sejawat,
karyawan, dan masyarakat. Jika perawat salah memberi dosis obat
kepada klien perawat dapat digugat oleh klien yang menerima obat,
dokter yang memberi tugas delegatif, dan masyarakat yang menuntut
kemampuan professional.
3.

Nilai dan Moral


Keyakinan(beliefs) mengenai arti dari suatu ide, sikap, objek,
perilaku, dll yang menjadi standar dan mempengaruhi prilaku seseorang.
Nilai menggambarkan cita-cita dan harapan- harapan ideal dalam praktik
keperawatan. Nilai dalah sesuatu yang berharga, keyakinan yang
dipegang sedemikian rupa oleh seseorang.
Nilai yang sangat diperlukan bagi perawat adalah :
a. Kejujuran
b. Lemah Lembut
c. Ketepatan
d.

Menghargai Orang lain

Moral adalah suatu kegiatan/prilaku yang mengarahkan manusia


untuk memilih tindakan baik dan buruk, dapat dikatakan etik merupakan
kesadaran yang sistematis terhadap prilaku yang dapat dipertanggung
jawabkan (Degraf, 1988).Etika merupakan bagian dari filosofi yang
berhubungan dengan keputusan moral menyangkut manusia (Spike lee,
1994). Menurut Websters The discipline dealing with what is good and
bad and with moral duty and obligation, ethics offers conceptual tools to
evaluate and guide moral decision making. Beberapa definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa etika merupakan pengetahuan moral dan susila,
falsafah hidup, kekuatan moral, sistem nilai, kesepakatan, serta himpunan
hal-hal yang diwajibkan, larangan untuk suatu kelompok/masyarakat dan
bukan merupakan hukum atau undang-undang. Dan hal ini menegaskan
bahwa moral merupakan bagian dari etik, dan etika merupakan ilmu
tentang moral sedangkan moral satu kesatuan nilai yang dipakai manusia
sebagai

dasar

prilakunnya.

Maka

etika

keperawatan (nursing

ethics) merupakan bentuk ekspresi bagaimana perawat seharusnya


mengatur diri sendiri, dan etika keperawatan diatur dalam kode etik
keperawatan.
Konsep Moral dalam praktek keperawatan
Praktek keperawatan menurut Henderson dalam bukunya tentang
teori keperawatan, yaitu segala sesuatu yang dilakukan perawat dalam
mengatasi masalah keperawatan dengan menggunakan metode ilmiah,
bila membicarakan praktek keperawatan tidak lepas dari fenomena
keperawatan dan hubungan pasien dan perawat.
Fenomena

keperawatan

merupakan

penyimpangan/tidak

terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio, psiko, social dan spiritual),


mulai dari tingkat individu untuk sampai pada tingkat masyarakat yang
juga tercermin pada tingkat system organ fungsional sampai subseluler
(Henderson, 1978, lih, Ann Mariner, 2003). Asuhan keperawatan
merupakan

bentuk

dari

praktek

keperawatan,

dimana

asuhan

keperawatan merupakan proses atau rangkaian kegiatan praktek


keperawatan yang diberikan pada pasein dengan menggunakan proses

keperawatan berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etika dan


etiket keperawatan(Kozier, 1991). Asuhan keperawatan ditujukan untuk
memandirikan pasien, (Orem, 1956,lih, Ann Mariner, 2003).
Keperawatan merupakan Bentuk asuhan keperawatan kepada
individu, keluarga dan masyarakat berdasarkan ilmu dan seni dan
menpunyai

hubungan

perawat

dan

pasien

sebagai

hubungan

professional (Kozier, 1991). Hubungan professional yang dimaksud


adalah hubungan terapeutik antara perawat pasien yang dilandasi oleh
rasa percaya, empati, cinta, otonomi, dan didahulu adanya kontrak yang
jelas dengan tujuan membantu pasien dalam proses penyembuhan dari
sakit(Kozier,1991).
4.

Hak-hak Pasien dan Perawat


Hak-hak pasien
a. Mempertahankan dan mempertimbangkan serta mendapatkan asuhan
keperawatan dengan penuh perhatian
b. Memperoleh

informasi

terbaru,

lengkap

mengenai

diagnosa,

pengobatan dan program rehabilitasi dari tim medis, dan informasi


seharusnya dibuat untuk orang yang tepat mewakili pasien, karena
pasien mempunyai hak untuk mengetahui dari yang bertanggung
jawab dan mengkoordinir asuhan keperawatannya.
c. Menerima informasi penting untuk memberikan persetujuan sebelum
memulai sesuatu prosedur atau pengobatan kecuali dalam keadaan
darurat,

mencakup

beberapa

hal

penting,

yaitu;

lamanya

ketidakmampuan, alternatif-alternatif tindakan lain dan siapa yang


akan melakukan tindakan
d. Menolak

pengobatan

sejauh

yang

diijinkan

hukum

dan

diinformasikan tentang kosekwensi dari tindakan tersebut.


e. Setiap melakukan tindakan selalu mempertimbangkan privasinya
termasuk

asuhan

keperawatan,

pengobatan,

diskusi

kasus,

pemeriksaan dan tindakan, dan selalu dijaga kerahasiaannya dan


dilakukan dengan hati-hati, siapapun yang tidak terlibat langsung

asuhan keperawatan dan pengobatan pasien harus mendapatkan ijin


dari pasien.
f. Mengharapkan bahwa semua komunikasi dan catatan mengenai
asuhan keperawatan dan pengobatannya harus diperlakukan secara
rahasia.
g. Pasien mempunyai hak untuk mengerti bila diperlukan rujukan ke
tempat lain yang lebih lengkap dan memperoleh informasi yang
lengkap tentang alasan rujukan tersebut, dan Rumah Sakit yang
ditunjuk dapat menerimannya.
h. Memperoleh informasi tentang hubungan Rumah Sakit dengan
instansi lainnya, seperti pendidikan dan atau instansi terkait lainnya
sehubungan dengan asuhan yang diterimannya, Contoh: hubungan
individu yang merawatnya, nama perawat dan sebaginnya.
i. Diberikan penasehat/pendamping apabila Rumah Sakit mengajukan
untuk terlibat atau berperan dalam eksperimen manusiawi yang
mempengaruhi asuhan atau pengobatannya. Pasien mempunyai hak
untuk menolak berpartisipasi dalam proyek riset/penelitian tersebut.
j. Mengharapkan asuhan berkelanjutan yang dapat diterima. Pasien
mempunyai hak untuk mengetahui lebih jauh waktu perjanjian
dengan dokter yang ada. Pasien mempunyai hak untuk mengharapkan
Rumah Sakit menyediakan mekanisme sehingga ia mendapat
informasi dari dokter atau staff yang didelegasikan oleh dokter
tentang kesehatan pasien selanjutnya.
k. Mengetahui peraturan dan ketentuan Rumah Sakit yang harus
diikutinya sebagai pasien
l. Mengetahui peraturan dan ketentuan Rumah Sakit yang harus
diikutinya.

Hak-hak perawat, menurut Claire dan Fagin (1975), bahwa perawat


berhak:
a.

Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai


dengan profesinya

b.

Mengembangkan diri melalui kemampuan kompetensinya sesuai


dengan latar pendidikannya

c.

Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan


perundang-undangan serta standard an kode etik profesi

d.

Mendapatkan informasi lengkap dari pasien atau keluaregannya


tentang keluhan kesehatan dan ketidakpuasan terhadap pelayanan
yang diberikan

e.

Mendapatkan ilmu pengetahuannya berdasarkan perkembangan ilmu


pengetahuan dan teknologi dalam bidang keperawatan/kesehatan
secara terus menerus.

f.

Diperlakukan secara adil dan jujur baik oleh institusi pelayanan


maupun oleh pasien

g.

Mendapatkan jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang dapat


menimbulkan bahaya baik secara fisik maupun emosional

h.

Diikutsertakan dalam penyusunan dan penetapan kebijaksanaan


pelayanan kesehatan.

i.

Privasi dan berhak menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh


pasien dan atau keluargannya serta tenaga kesehatan lainnya.

j.

Menolak dipindahkan ke tempat tugas lain, baik melalui anjuran


maupun pengumuman tertulis karena diperlukan, untuk melakukan
tindakan yang bertentangan dengan standar profesi atau kode etik
keperawatan atau aturan perundang-undangan lainnya.

k.

Mendapatkan penghargaan dan imbalan yang layak atas jasa profesi


yang diberikannya berdasarkan perjanjian atau ketentuan yang
berlaku di institusi pelayanan yang bersangkutan

l.

Memperoleh kesempatan mengembangkan karier sesuai dengan


bidang profesinya.

5.

Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau keterampilan
perawat untuk membantu klien beradaptasi terhadap stress, mengatasi
gangguan patologis dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang
lain. ( Northouse, 1998).
Menurut Stuart GW (1998) mengatakan komunikasi terapeutik
merupakan hubungan interpersonal antara perawat dengan klien dalam
memperbaiki klien dalam hubungan ini perawat dan klien memperoleh
pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman
emosi klien.
Tujuan Komunikasi Terapeutik
Untuk mengembangkan pribadi klien ke arah lebih positif / adaptif
dan diarahkan pada pertumbuhan klien :
a. Realisasi diri, penerimaan diri, peningkatan penghormatan diri.
Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam
diri klien. Klien yang tadinya tidak bisa menerima diri apa adanya
atau merasa rendah diri, setelah berkomunikasi terapeutik dengan
perawat akan mampu menerima dirinya.
b. Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial
dan saling bergantung dengan orang lain.
Melalui komunikasi terapeutik, klien belajar bagaimana menerima
dan diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur,
menerima klien apa adanya, perawat akan meningkatkan kemampuan
klien dalam membina hubungan saling percaya. ( Hibdon, S., 2000).
c. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan
serta mencapai tujuan yang realistis.
Terkadang klien menetapkan ideal diri atau tujuan yang terlalu tinggi
tanpa mengukur kemampuannya. Individu yang merasa kenyataan
dirinya mendekati ideal diri mempunyai harga diri yang tinggi,
sedangkan individu yang merasa kenyataan hidupnya jauh dari ideal
dirinya akan merasa rendah diri (Taylor, Lilis dan Lemone, 1997).
d. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.

10

Klien yang mengalami gangguan identitas personal biasanya tidak


mempunyai rasa percaya diri dan merngalami harga diri rendah.
Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik
Beberapa prinsip dasar yang harus dipahami dalam membangun
hubungan dan mempertahankan hubungan yang terapeutik :
a. Hubungan dengan klien adalah hubungan terapeutik yang saling
menguntungkan, didasarkan pada prinsip Humanity of Nursing and
Clients.
b. Perawat harus menghargai keunikan klien, dengan melihat latar
belakang keluarga, budaya dan keunikan tiap individu.
c. Komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri baik
pemberi maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus
mampu menjga harga dirinya dan harga diri klien.
d. Komunikasi yang menumbuhkan hubungan saling percaya harus
dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan
memberikan alternative pemecahan masalahnya.
B. Etika Keperawatan dalam Asuhan Keperawatan pada Gangguan
Psikososial HIV/AIDS
1.

Prisip Etika dalam kaitannya dengan HIV/AIDS


Prisip etika yang harus dipegang teguh oleh seluruh komponen
baik itu seseorang, masyarakat, nasional maupun dunia internasional
dalam menghadapai HIV/AIDS adalah :
a. Empati, ikut merasakan penderitaan, sesama termasuk ODHA (Orang
Dengan HIV/AIDS) dengan penuh simpati, kasih sayang dan
kesedihan saling menolong.
b. Solidaritas, secara bersama-sama bahu membahu meringankan
penderitaan dan melawan ketidakadilan yang diakibatkan olah
HIV/AIDS.
c. Tanggung jawab, berarti setiap individu, masyarakat lembaga atau
bangsa mempunyai tanggung jawab untuk mencegah penyebaran
HIV/AIDS dan memberikan perawatan pada ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS) (Nursalam, 2007).
11

2.

Stigma dan Diskriminasi


Stigma atau cap buruk adalah tindakan memvonis seseorang buruk
moral/perilakunya sehingga mendapat penyakit tersebut. Orang-orang
yang di stigma biasanya dianggap melakukan untuk alasan tertentu dan
sebagai akibat mereka dipermalukan, dihindari, didiskreditkan, ditolak
dan ditahan. Penelitian yang dilakukan oleh Kristina (2005) di
Kalimantan Selatan dan Cipto (2006) di Jember Jawa Timur tentang
pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap
mengenai stigma pada orang dengan HIV/AIDS menunjukan bahwa 72%
orang yang berpendidikan cukup (SMU) kurang menerima ODHA dan
hanya 5% yang cukup menerima. Faktor yang berhubungan dengan
kurang diterimanya ODHA antara lain karena HIV/AIDS dihubungkan
dengan perilaku penyimpangan seperti seks sesama jenis, penggunaan
obat terlarang, seks bebas, serta HIV diakibatkan oleh kesalahan moral
sehingga patut mendapatkan hukuman. (Kristina dan Cipto dalam
Nursalam, 2008).
Diskriminasi atau perlakuan tidak adil didefinisikan oleh UNAIDS
sebagai tindakan yang disebabkan perbedaan, menghakimi orang
berdasarkan status HIV/AIDS mereka baik yang pasti maupun yang
diperkirakan sebagai pengidap. Diskriminasi ini juga dapat terjadi
dibidang kesehatan antara lain dalam kerahasiaan, kebebasan, pribadi,
kelakuan kejam, penghinaan atau perlakuan kasar, pekerjaan pendidikan
keluarga dan hak kepemilikan maupun hak untuk berkumpul. ODHA
menghadapi

diskriminasi

dimana

saja

dan

diberbagai

negara.

Membiarkan diskriminasi akan merugikan upaya penanggulangan infeksi


HIV/AIDS. (Nursalam, 2008).
3.

Masalah psikososial
Kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 di
California, sedangkan penyebab AIDS baru ditemukan pada akhir 1984
oleh Robert Gallo dan Luc Montagner. Laporan kasus AIDS pada tahun
1981 menunjukkan tingginya angka kematian pada pasien yang berusia
masih muda. Akibatnya timbul ketakutan pada masyarakat terhadap

12

penyakit ini. Sampai sekarang di masyarakat masih terdapat mitos bahwa


penyakit AIDS merupakan penyakit fatal yang tak dapat disembuhkan.
Selain itu AIDS juga dihubungkan dengan perilaku tertentu seperti
hubungan seks bebas, hubungan seks sesama jenis dan sebagainya. Odha
dengan demikian dianggap merupakan orang yang melakukan perilaku
yang menyimpang dari norma yang dianut. Akibatnya Odha sering
dikucilkan dan tidak mendapat pertolongan yang sewajarnya. Dengan
meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap AIDS maka diharapkan
stigma mengenai AIDS akan berkurang dan beban psikososial Odha juga
akan menjadi lebih ringan.
Ketika seorang diberitahu bahwa dia terinfeksi HIV maka
responsnya beragam. Pada umumnya dia akan mengalami lima tahap
yang digambarkan oleh Kubler Ross yaitu masa penolakan, marah, tawar
menawar, depresi dan penerimaan. Sedangkan Nurhidayat melaporkan
bahwa dari 100 orang yang diketahui HIV positif di Jakarta 42%
berdiam diri, 35 marah, bercerita pada orang lain, menagis, mengamuk
dan banyak beribadah.. Respons permulaan ini baisanya akan dilanjutkan
dengan respons lain sampai pada akhirnya dapat menerima. Penerimaan
seseorang tentang keadaan dirinya yang terinfeksi HIV belum tentu juga
akan diterima dan didukung oleh lingkungannya. Bahkan seorang aktivis
AIDS terkemuka di Indonesia Suzanna Murni mengungkapkan bahwa
beban psikososial yang dialami seorang Odha adakalanya lebih berat
daripada beban penderita fisik. Berbagai bentuk beban yang dialami
tersebut diantanya adalah dikucilkan keluarga, diberhentikan dari
pekerjaan, tidak mendapat layanan medis yang dibutuhkan, tidak
mendapat ganti rugi asuransi sampai menjadi bahan pemberitaan di
media massa. Beban yang diderita Odha baik karena gejala penyakit yang
bersifat organik maupun beban psikososial dapat menimbulkan rasa
cemas. Depresi berat bahkan sampai keinginan bunuh diri.

13

4.

Upaya mengurangi beban psikososial


Untuk megurangi beban psikososial Odha maka pemahaman yang
benar mengenai AIDS perlu disebar luaskan. Konsep bahwa dalam era
obat antiretroviral AIDS sudah menjadi penyakit kronik yang dapat
dikendalikan juga perlu dimasyarakatkan. Konsep tersebut memberi
harapan kepada masyarakat dan Odha bahwa Odha tetap dapat
menikmati kualitas hidup yang baik dan berfungsi di masyarakat.
Upaya untuk mengurangi stigma di masyarakat dapat dilakukan
dengan advokasi dan pendamping, contoh nyata tokoh masyarakat yang
menerima Odha dengan wajar seperti bersalaman, duduk bersama dan
sebagianya

dapat

merupakan

panutan

bagi

masyarakat.

Untuk

mengurangi beban psikis orang yang terinfeksi HIV maka dilakukan


konseling sebelum tes. Tes HIV dilakukan secara sukarela setelah
mendapat konseling. Pada konseling HIV dibahas mengenai risiko
penularan HIV, cara tes, interpertasi tes, perjalanan penyakit HIV serta
dukungan yang dapat diperoleh Odha. Penyampaian hasil tes baik hasil
negatif maupun positif juga disampaikan dalam sesi konseling. Dengan
demikian orang yang akan menjalani testing telah dipersiapkan untuk
menerima hasil apakah hasil tersebut positif atau negatif. Konseling
pasca tes baik ada hasil positif maupun negatif tetap penting. Pada hasil
positif konseling dapat digunakan sebagai sesi untuk menerima ungkapan
perasaan orang yang baru menerima hasil, rencana yang akan
dilakukannya serta dukungan yang dapat dperolehnya. Sebaliknya
penyampaian hasil negatif tetap dilakukan dalam sesi konseling agar
perilaku berisisko dapat dihindari sehingga hasil negatif dapat
dipertahankan.
Psikofarmaka :
Terapi psikofarmaka untuk gangguan cemas, depresi serta insomnia
dapat diberikan namun penggunaan obat ini perlu memperhatikan
interkasi dengan obat-obat lain yang banyak digunakan pada Odha.

14

5.

Peran perawat
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan konseling
dan pendampingan (tidak hanya psikoterapi tetapi juga psikoreligi),
edukasi yang benar tentang HIV/AIDS baik pada penderita, keluarga dan
masyarakat. Sehingga penderita, keluarga maupun masyarakat dapat
menerima kondisinya dengan sikap yang benar dan memberikan
dukungan kepada penderita. Adanya dukungan dari berbagai pihak dapat
menghilangkan berbagai stresor dan dapat membantu penderita
meningkatkan kualitas hidupnya sehingga dapat terhindar dari stress,
depresi, kecemasan serta perasaan dikucilkan.
Peran seorang perawat dalam mengurangi beban psikis seorang
penderita

AIDS

sangatlah

besar.

Lakukan

pendampingan

dan

pertahankan hubungan yang sering dengan pasien sehinggan pasien tidak


merasa sendiri dan ditelantarkan. Tunjukkan rasa menghargai dan
menerima orang tersebut. Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri
klien. Perawat juga dapat melakukan tindakan kolaborasi dengan
memberi rujukan untuk konseling psikiatri. Konseling yang dapat
diberikan adalah konseling pra-nikah, konseling pre dan pascates HIV,
konseling KB dan perubahan prilaku. Konseling sebelum tes HIV
penting untuk mengurangi beban psikis. Pada konseling dibahas
mengenai risiko penularan HIV, cara tes, interpretasi tes, perjalanan
penyakit HIV serta dukungan yang dapat diperoleh pasien. Konsekuensi
dari hasil tes postif maupun negatif disampaikan dalam sesi konseling.
Dengan demikian orang yang akan menjalani testing telah dipersiapkan
untuk menerima hasil apakah hasil tersebut positif atau negatif.
Mengingat beban psikososial yang dirasakan penderita AIDS
akibat stigma negatif dan diskriminasi masyarakat adakalanya sangat
berat, perawat perlu mengidentifikasi adakah sistem pendukung yang
tersedia bagi pasien. Perawat juga perlu mendorong kunjungan terbuka
(jika memungkinkan), hubungan telepon dan aktivitas sosial dalam
tingkat yang memungkinkan bagi pasien. Partisipasi orang lain, batuan
dari orang terdekat dapat mengurangi perasaan kesepian dan ditolak yang

15

dirasakan oleh pasien. Perawat juga perlu melakukan pendampingan pada


keluarga serta memberikan pendidikan kesehatan dan pemahaman yang
benar mengenai AIDS, sehingga keluarga dapat berespons dan memberi
dukungan bagi penderita.
Aspek spiritual juga merupakan salah satu aspek yang tidak boleh
dilupakan perawat. Bagi penderita yang terinfeksi akibat penyalahgunaan
narkoba dan seksual bebas harus disadarkan agar segera bertaubat dan
tidak menyebarkannya kepada orang lain dengan menjaga perilakunya
serta meningkatkan kualitas hidupnya.

16

BAB III
PEMBAHASAN
A. Studi Kasus
Suatu sore tinggal di sebuah desa sepasang suami istri bernama TN
septian dan nyonya ajeng.tn septian dan nyonya ajeng berlatar belakang suku
palembang.tn septian berkerja sebagai sopir truk dan istrinya sebagai
pembantu rumah tangga, septian berkerja pulang pergi keluar kota , terkadang
berbulan bulan ia tidak pulang ke rumah, untuk menghilangkan jenuhnya
septian merokok (menjadi perokok berat) dan juga menggunakan narkoba
untuk menghilangkan stressnya, tak jarang pula septian datang ke rumah
prostitusi di pinggir jalan untuk melampiaskan napsunya.
Suatu ketika septian jatuh sakit dia batuk selama sebulan tak kunjung
sembuh, berat badannya turun drastis, bapak septian juga menderita sariawan
yang cukup parah, istrinya membawa septian ke dukun desa, dukun tersebut
mengatakan bahwa penyakit septian akibat gangguan mahluk halus, dan si
dukun pun mengobati septian dengan ramuan dan jampi jampi doa dukun itu,
namun tak kunjung sembuh, akhirnya septian di larikan ke rumah sakit
terdekat.
B. Pembahasan
Perilaku berisiko terkena HIV/AIDS merupakan orang yang mempunyai
kemungkinan terkena infeksi HIV/AIDS atau menularkan HIV/AIDS pada
orang lain bila dia sendiri mengidap HIV/AIDS, karena perilakunya. Mereka
yang mempunyai perilaku berisiko tinggi adalah :
1. Perempuan

dan

laki-laki

yang

berganti-ganti

pasangan

dalam

melakukan hubungan seksual dan pasangannya.


2. Perempuan dan laki-laki tuna susila.
3. Orang yang dalam melakukan hubungan seksual secara tidak wajar
seperti hubungan seksual melalui dubur (anal) dan mulut (oral), misalnya
pada homoseksual dan biseksual.
4. Penggunaan narkotika dengan suntikan, yang menggunakan jarum
suntik secara bergantian.

17

Pada kasus di atas kita dapat lihat bahwa Tn. S adalah orang yang
menghilangkan kejenuhan dalam bekerjanya dengan narkoba dan pergi ke
tempat prostitusi. Yang dilakukan Tn. S merupakan penyebab dari
penyakitnya. Tugas perawat pada kasus ini adalah sebagai motivator, untuk
memberi dukungan dan dorongan untuk menerima dan mengatasi penyakit
yang diderita Tn. S.
C. Role Play
Saat di rumah sakit
Ajeng

:sus, laki aku ni sakit la lamo dak sembuh, kato dukunnyo dio ini
tesambet oleh meludah ke pohon keramat

Astri

:oh iya bu, sabar ya keluhan bapak selama sakit ini apa?

Ajeng :dio ini batuk sus, demam, sariawan, jadi kurus nah
Septian

: iyo sus (huk-huk) saya sudah lama batuk, sariawan jadi susah makan,
demam jadi kurus nian berat aku cepat nian turun

Astri

:oh jadi bapak batuk, demam, sariawan tak kunjung sembuh dan berat
badan turun dratis ya?

Septian

: iya sus

Astri

: baiklah, kalo begitu bapak-ibu silakan ikut saya ya, kita ke ruangan
dokter

Irma

: iya sus, ada apa?

Astri

: ini buk, bapak septian ini sudah lama batuk, demam, dan sariawan yang
tak kunjung sembuh, berat badannya juga turun dratis

Irma

: oh, kalo begitu kita periksa dulu ya, silakan berbaring pak

18

Septian

: iya dok, saya ini rasanya mau mati saja sudah tak sanggup lagi nahan
sakit ini

Irma

: iya pak sabar ya, nanti bapak di rotgen dulu, sus tolong antar pak
septian ke rekan medis lalu laboraturim untuk cek darah dan urien ya

Astri

: iya dok
Bapak septian dan ibu ajeng pun diantarkan perawat astri ke ruang rekam

medis disana mereka bertemu dengan pak relly yang bertugas di ruangan itu
Astri

: maaf pak relly, ini ada pasien buk irma memintanya untuk rekam medis
tolong bantuannya

Relly

: iya sus, pak septian saya relly yang bertugas di ruangan ini, hari ini
bapak akan saya rotgen lalu setelah itu saya antarkan bapak ke
laboraturium untuk periksa urin dan darah

Septian
Relly

: iya pak, yang penting aku ni sehat


: suster sama ibu ini silakan keluar sebentar ya, jangan masuk jika lampu
merah masih menyala ya

Astri

: iya pak, ayo buk ajeng kita tunggu di luar


Tidak lama kemudian pak septian selesai di rotgen dan cek laboraturium pak

septian dan buk ajeng pun menunggu hasilnya selama dua jam
Astri

: maaf pak bu, hasil nya sudah ada, ibu dan bapak silakan masuk ke
ruangan dokter

Ajeng : iyo sus, payo pak masuk


Irma

: begini buk pak, saya sudah periksa hasil rotgen dan hasil lab darah dan
urin pak septian, bapak septian positif menderita HIV/AIDS dengan TB
paru

19

Ajeng

: aii, madaki dok laki aku sakit mak itu, aku dak percayo, dokter kalo
salah perikso

Irma

: maaf buk, saya mohon maaf tapi hasilnya memang menunjukan seperti
itu

Septian

: aai aku nak mati bae, aku dak galak sakit mak ini

Astri

: sabar pak buk, sabar jangan putus asa, kita harus berusaha untuk
menyelamatkan nyawa bapak jangan putus asa

Ajeng : sudahlah, sus aku dak punya duit


Astri

: nanti kita urus surat-suratnya buk, agar pak septian bisa berobat secara
gratis

Ajeng : ay terserahlah sus, aku melok bae lah


Astri

: iya buk nanti saya bantu, ibu dan bapak jangan putus asa ya.
Akhirnya buk ajeng dan pak septian menerima kenyataan dan mau berusaha

untuk menjalani hidup dengan semestinya.

20

BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dengan di terapkannya prinsip etik keperawatan pada klien dengan
gangguan pisikososial HIV/AIDS, dapat mengurangi diskriminasi terhadap
penderita HIV/AIDS dan dengan diterapkannya prinsip etik juga perawat
dapat menghargai hak-hak asasi pasien sesuai prinsip etika otonomi.
AIDS merupakan model penyakit yang memerlukan dukungan untuk
mengatasi masalah fisik, psikis dan sosial. Gangguan fisik yang berat dapat
menimbulkan beban psikis dan sosial namun stigma masyarakat akan
memperberat beban psikososial penderita. Dalam penatalaksanaan AIDS
selain penanganan aspek fisik maka aspek psikososial perlu diperhatikan
dengan seksama.

B. Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan hendaknya kita memahami betul
tentang HIV, sehingga kita mampu memberikan peran perawat yang tepat
bagi penderita HIV/ AIDS.
Setelah dibuatnya makalah ini, diharapkan perawat dapat menghargai
hak-hak pasien. Karena dengan menerapkan prinsip etik dalam playanan
kesehatan, mutu pelayanan kesehatan di masyarakat akan meningkat.

21

DAFTAR PUSTAKA
Sarwono, Sarlito Wirawan. ?Aspek Psikososial AIDS? diambil dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_AspekPsikososialAids.pdf/12_Asp
ekPsikososialAids.html
Susiloningsih, Agus. ?AIDS: Aspek Klinis, Permasalahan dan Harapan? diambil
dari http://fkuii.org/tiki-index.php?page=halaman2

22

Anda mungkin juga menyukai