07 - 195gangguan Gastrointestinal Pada Penyakit Ginjal Kronis PDF
07 - 195gangguan Gastrointestinal Pada Penyakit Ginjal Kronis PDF
ABSTRAK
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah penyakit kerusakan ginjal minimal 3 bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus. PGK dapat
menyebabkan berbagai manifestasi klinis termasuk gangguan gastrointestinal yang berperan terhadap meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Meskipun prevalensi dan insidens gangguan gastrointestinal pada PGK sulit diperkirakan dan beberapa penelitian melaporkan hasil berbeda, prevalensi dan insidensnya lebih tinggi dibanding populasi. Gejala gastrointestinal yang paling sering ditemukan adalah nausea, vomitus,
nyeri abdomen, diare, dan konstipasi. Patogenesis gangguan gastrointestinal pada pasien PGK belum sepenuhnya diketahui. Beberapa kelainan
yang mendasari gangguan gastrointestinal pada PGK antara lain gastroparesis, lesi saluran cerna bagian atas, perdarahan saluran cerna atas
dan bawah, angiodisplasia, pankreatitis akut, iskemi mesenterik akut, nekrosis kolon akibat resin penukar ion. Beberapa kelainan gastrointestinal dapat juga terjadi pada PGK yang menjalani dialisis peritoneal seperti peritonitis, divertikulosis, encapsulating peritoneal sclerosis. Diagnosis
gangguan gastrointestinal memerlukan pengamatan dan pertimbangan yang cermat antara temuan klinis dan pemeriksaan penunjang serta
indeks kecurigaan yang cukup tinggi. Belum ada pedoman diagnosis dan tata laksana yang baku untuk gangguan gastrointestinal yang menyertai pasien PGK. Tata laksana yang adekuat memberikan prognosis yang lebih baik.
Kata kunci: penyakit ginjal kronik, gangguan gastrointestinal, perdarahan saluran cerna
ABSTRACT
Chronic kidney disease (CKD) is defined as kidney damage for three or more months with or without decreased glomerular filtration rate. CKD
can lead to various clinical manifestations, including gastrointestinal disorders. Gastrointestinal disorders are common in patients with CKD
and contribute to increased morbidity and mortality. Although difficult to estimate and results from studies are conflicting, the prevalence and
incidence of gastrointestinal disorders in CKD seem higher than in the general population. The most common gastrointestinal symptoms are
nausea, vomiting, abdominal pain, diarrhea, and constipation. The pathogenesis of gastrointestinal disorders in patients with CKD remains not
fully understood. Underlying gastrointestinal pathologies in CKD include gastroparesis, upper gastrointestinal lesion, gastrointestinal bleeding, angiodysplasia, acute pancreatitis, acute mesenteric ischemia, ion-exchange resin induced colonic necrosis. Gastrointestinal pathologies
unique to patients on peritoneal dialysis include peritonitis, diverticulosis, encapsulating peritoneal sclerosis. Diagnosis of gastrointestinal disorders accompanying CKD requires careful observation and consideration of clinical findings and diagnostic tests, also a high index of suspicion.
No clear diagnosis and management guidelines currently exist. Adequate management leads to a better prognosis. Dimas Kusnugroho
Bonardo Pardede. Gastrointestinal Disorders in Chronic Kidney Disease.
Key words: chronic kidney disease, gastrointestinal disorders, gastrointestinal bleeding
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan terminologi baru dari the National Kidney Foundations Kidney Disease and Outcome Quality
Initiative (NKF-KDOQI) pada tahun 2002, mencakup sejumlah proses patofisiologis yang
berhubungan dengan fungsi ginjal yang abnormal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) yang progresif. NKF-KDOQI mendefinisikan PGK sebagai : (1) kelainan struktural atau
fungsional ginjal selama 3 bulan, dengan
atau tanpa penurunan LFG, yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau petanda
kerusakan ginjal, termasuk kelainan kompo-
sisi darah atau urin, atau kelainan pada pencitraan; (2) LFG < 60 mL/menit/1,73 m2 selama
3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Istilah gagal ginjal mengacu kepada penyakit
ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease/
ESRD) dengan LFG < 15 mL/menit/1,73 m2
atau membutuhkan terapi pengganti ginjal
(dialisis atau transplantasi).1
PGK dapat menyebabkan berbagai manifestasi klinis, salah satunya adalah gangguan
gastrointestinal, yang merupakan gangguan
non renal yang paling sering ditemukan di
samping diabetes melitus dan penyakit arteri
501
7/8/2012 12:17:23 PM
TINJAUAN PUSTAKA
fungsional tidak memiliki kelainan histopatologis dan dipengaruhi oleh faktor psikologis,
hipersensitivitas viseral, dan perubahan motilitas saluran cerna.2 Ketidak seragaman pengertian gangguan gastrointestinal dan banyaknya
faktor yang mempengaruhinya menyebabkan
kesulitan dalam mengetahui prevalensi gangguan gastrointestinal fungsional. Dispepsia
dan irritable bowel syndrome adalah contoh
gangguan gastrointestinal fungsional yang
definisi dan prevalensinya bervariasi. Untuk
memudahkan diagnosis dan tatalaksananya,
disepakati menstandarisasi definisi gangguan
gastrointestinal fungsional dengan menggunakan kriteria Rome dan Gastrointestinal
Symptom Rating Scale.2 Prevalensi gangguan
gastrointestinal fungsional jauh lebih besar
daripada gangguan gastrointestinal organik
dengan perkiraan berkisar antara 7%-90%
dalam 20 tahun terakhir ini.2 Meski demikian,
beberapa penelitian menunjukkan prevalensi
gejala gastrointestinal pada PGK yang tinggi
antara 70%-79%.2,4,6 Prevalensi tersebut secara
umum tidak jauh berbeda di antara kelompok
pasien pre-dialisis, hemodialisis dan dialisis
peritoneal.2,4
Gejala gastrointestinal yang paling sering
ditemukan pada pasien PGK adalah nausea, vomitus, nyeri abdomen, diare, dan
konstipasi.2,4 Gejala lain yang dilaporkan oleh
berbagai penelitian antara lain : refluks, indigesti, anoreksia, borborigmi, distensi abdomen, disfagia, dan heartburn.2,4,5 Prevalensi
irritable bowel syndrome juga cukup tinggi
berkisar antara 11%-44%.2,6
Patogenesis gejala gastrointestinal pada PGK
bersifat multifaktorial, akan tetapi mekanisme
yang mendasarinya belum sepenuhnya jelas.4,7
Nausea dan vomitus sering ditemukan pada
pasien uremia, diduga keterlambatan pengosongan lambung (gastroparesis) berperan
pada patogenesisnya.4 Adachi dkk (2007) melaporkan bahwa pada pasien gagal ginjal predialitik, kejadian gejala gastrointestinal tinggi
dan terdapat hipomotilitas lambung yaitu
terhambatnya aktivitas mioelektrik lambung
dan keterlambatan pengosongan lambung
sehingga disimpulkan bahwa hipomotilitas
lambung merupakan faktor penting dalam
terjadinya gejala gastrointestinal.7 Beberapa
penelitian menunjukkan keterlambatan pengosongan lambung pada pasien PGK, namun
ada penelitian yang melaporkan pengosongan lambung yang normal.2,4,7
502
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 502
7/8/2012 12:17:24 PM
TINJAUAN PUSTAKA
tidak menyebutkan ada atau tidaknya perbaikan gejala. Penelitian lain dengan pemberian
cisapride 10 mg bersama eritromisin 200 mg
sebelum makan utama menunjukkan hasil
serupa, tetapi cisapride dapat meningkatkan
risiko aritmia jantung. Beberapa laporan kasus
juga melaporkan pemberian eritromisin intraperitoneal menunjukkan hasil yang efektif.2
2. Lesi saluran cerna bagian atas
Farsakh dkk. melakukan penelitian tentang
gejala, temuan endoskopik, dan histopatologik saluran cerna bagian atas pada 92
pasien hemodialisis dan 100 pasien rawat
jalan dengan fungsi ginjal normal yang
menjalani endoskopi atas berbagai indikasi.
Prevalensi lesi saluran cerna bagian atas pada
pasien hemodialisis sebesar 62% sedangkan
pada kontrol meski tidak dicantumkan tetapi
dilaporkan tidak jauh berbeda dengan pasien
hemodialisis.5 Penelitian lain yang menyelidiki
prevalensi lesi saluran cerna bagian atas pada
pasien gagal ginjal dengan menggunakan
esofagogastroduodenoskopi menunjukkan
hasil berbeda. Meski demikian prevalensi lesi
saluran cerna bagian atas pada pasien PGK
tampaknya lebih tinggi daripada populasi.2,5
Jenis lesi saluran cerna bagian atas yang
ditemukan oleh Farsakh dkk secara endoskopis antara lain hiatus hernia, esofagitis, erosi
lambung, erosi duodenum, ulkus duodenum,
ulkus esofagus, dan angiodisplasia. Jenis lesi
yang ditemukan secara histopatologik adalah
gastritis superfisial kronik dan gastritis atrofik.
Hiatus hernia lebih banyak ditemukan pada
pasien hemodialisis, sedangkan kelainan
lambung meski juga lebih banyak ditemukan
pada pasien dialisis dibanding kontrol tetapi
tidak signifikan.5 Beberapa lesi saluran cerna
bagian atas yang ditemukan antara lain: gastritis, duodenitis, erosi esofagus, ulkus lambung dan pseudomelanosis duodenum.2,5
Patogenesis lesi saluran cerna bagian atas
pada pasien PGK belum jelas diketahui. Salah
satu yang diduga berperan adalah hipergastrinemia. Kadar hormon gastrin yang meningkat menyebabkan peningkatan produksi
asam lambung oleh sel parietal. Penelitian
tentang produksi asam lambung pada pasien
PGK melaporkan hasil yang beragam, mulai
dari akloridia hingga hiperkloridia. Meskipun
tidak ditemukan pada semua pasien PGK,
peningkatan produksi asam lambung jelas
ditemukan pada sebagian pasien PGK.2,10-12,14
503
7/8/2012 12:17:24 PM
TINJAUAN PUSTAKA
penggunaan kontras secara intravena. Technetium-(Tc-) labeled scintigraphy juga dapat digunakan untuk mendeteksi perdarahan akitf
namun penggunaannya terbatas karena sensitivitasnya rendah.15,16 Tidak ada tata laksana
khusus untuk angiodisplasia pada PGK. Angiodisplasia dapat diterapi lokal menggunakan argon plasma coagulation, koagulasi laser,
atau koagulasi panas. Jika ada lesi perdarahan
besar, embolisasi atau injeksi vasopresin melalui angiografi dapat digunakan. Untuk kasus
perdarahan rekuren atau persisten meskipun
sudah diterapi secara endoskopis, reseksi secara bedah harus dipertimbangkan. Untuk
pasien yang bukan merupakan kandidat intervensi bedah, estrogen (dengan atau tanpa
progesteron) dapat diberikan, akan tetapi karena efikasi yang masih kontroversial dan efek
samping seperti metrorhagia, ginekomastia,
retensi cairan, trombosis, stroke, kanker payudara dan endometrium, dibutuhkan uji klinis
untuk menentukan efikasi dan keamanan
terapi estrogen pada PGK. Terapi jangka panjang menggunakan octreotide dilaporkan
dapat menurunkan kebutuhan transfusi dan
mencegah rekurensi dengan cara menurunkan aliran darah splanknik.2,15,16
Perdarahan saluran cerna bagian atas akut
lebih sering terjadi pada pasien PGK dibandingkan dengan populasi. Insidensnya
diperkirakan lebih dari 21 kasus perdarahan
setiap 1000 orang setiap tahunnya dengan
risiko mortalitas yang tinggi. Diperkirakan
per-darahan saluran cerna bagian atas akut
menyebabkan 3-7% kematian pasien gagal
ginjal. Merokok, disabilitas, dan riwayat penyakit kardiovaskular merupakan faktor risiko perdarahan saluran cerna bagian atas pada gagal
ginjal, sedangkan faktor risiko lain yang biasa
dihubungkan dengan perdarahan saluran
cerna seperti penggunaan obat anti inflamasi
non steroid (OAINS), aspirin, dan antikoagulan tidak berhubungan dengan peningkatan
risiko perdarahan saluran cerna bagian atas
pada pasien gagal ginjal.2,17
Perdarahan saluran cerna bagian bawah baik
akut maupun kronik pada gagal ginjal tidak
banyak dilaporkan, tetapi adenoma, karsinoma, dan angiodisplasia lebih sering ditemukan pada pasien PGK dibandingkan dengan
populasi. Prevalensi lesi kolon lainnya meningkat pada populasi tertentu saja; contohnya,
prevalensi divertikulosis pada pasien PGK,
tidak lebih tinggi dibandingkan pada popu-
504
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 504
lasi, tetapi prevalensi divertikulosis dan divertikulitis pada penyakit ginjal polikistik justru
lebih tinggi daripada populasi.2,15
Perdarahan saluran cerna kronis biasanya
diketahui dengan uji darah samar tinja. Prevalensinya pada pasien PGK diperkirakan sekitar 19%. Lokasi tersering perdarahan saluran
cerna kronis bagian atas adalah duodenum,
dan lesi duodenum ditemukan pada 61%
pasien gagal ginjal. Pada saluran cerna bagian
bawah, lokasi perdarahan kronis tersering adalah kolon proksimal. Angiodisplasia dan erosi
saluran cerna merupakan penyebab tersering
perdarahan saluran cerna kronis bagian atas,
sedangkan neoplasma merupakan penyebab
sering perdarahan kronis saluran cerna bagian
bawah.2
Divertikulosis merupakan salah satu penyebab
paling sering perdarahan saluran cerna bagian
bawah pada pasien gagal ginjal. Divertikulosis
berkontribusi menyebabkan 30-50% kasus
perdarahan saluran cerna bagian bawah pada
populasi. Insidens perdarahan saluran cerna
bagian bawah karena divertikulosis pada
pasien gagal ginjal sama dengan populasi.
Akan tetapi insidens perdarahan divertikular
pada pasien penyakit ginjal polikistik dewasa
yang menjalani dialisis rumatan lebih tinggi
yaitu sekitar 83% pada suatu penelitian dan
50% pada penelitian lainnya.2,15 Sembilan
puluh persen (90%) divertikuli ditemukan di
kolon sebelah kiri, dengan lokasi tersering
yaitu pada kolon sigmoid, tetapi sebanyak
50% perdarahan disebabkan oleh divertikuli
pada kolon sebelah kanan. Penyebab pasti
terbentuknya divertikulosis belum jelas, tetapi
dipikirkan karena diskinesia usus dan peningkatan tekanan intralumen kolon. Faktor risiko
terbentuknya divertikulosis meliputi kurangnya konsumsi serat, konstipasi dan obesitas15.
Modalitas diagnostik awal pilihan untuk mengevaluasi divertikulosis adalah kolonoskopi.
Jika endoskopi tidak mungkin atau tidak
dapat menegakkan diagnosis, dynamic enhanced helical CT Scan dapat digunakan. Selain itu, contrast-enhanced magnetic resonance
angiography (MRA) dapat digunakan untuk
mendeteksi divertikuli berdarah dengan sensitivitas dan spesifisitas 100% dibandingkan
skintigrafi nuklir yang sensitivitas dan spesifisitasnya 78% dan 72%.15 Selain bersifat diagnostik, kolonoskopi juga bersifat terapetik jika
divertikuli yang berdarah telah diidentifikasi.
Arteriografi dengan pemberian vasopresin
7/8/2012 12:17:25 PM
TINJAUAN PUSTAKA
73%, 67% dan 79% pasien.2,19 Enzim pankreas
terutama difiltrasi oleh ginjal. Bersihan enzim
pankreas yang rendah pada pasien hemodialisis atau dialisis peritoneal menyebabkan konsentrasinya di darah meningkat.2,18,21 Menurut
suatu penelitian, peningkatan amilase serum
lebih dari tiga kali lipat batas atas normal dan
lipase serum >300 g/L (>60 IU/L) adalah hal
yang tidak biasa pada pasien PGK dan bila disertai nyeri abdomen akut dapat mengindikasikan pankreatitis, tetapi penelitian lain melaporkan bahwa amilase dan lipase serum pada
pasien PGK dapat melebihi tiga kali batas atas
normal tanpa pankreatitis.2,18,19 Peningkatan
kadar amilase cairan dialisat >100 U/L dapat
membantu membedakan pankreatitis dari
peritonitis pada pasien dialisis peritoneal. Perlu diingat juga bahwa dialisat yang mengandung icodextrin dapat menurunkan aktivitas
amilase serum tetapi tidak mempengaruhi
aktivitas lipase sehingga lipase dapat membantu penegakan diagnosis pankreatitis pada
pasien dialisis peritoneal yang menggunakan
icodextrin.2,18,21 Pemeriksaan pencitraan untuk
menegakkan diagnosis pankreatitis pada pasien PGK adalah USG abdomen dan CT scan
abdomen. CT scan abdomen dilaporkan lebih
sensitif dibandingkan USG abdomen dalam
mendeteksi pankreatitis.2,18,19
Beberapa penelitian melaporkan insidens
pankreatitis pada pasien dialisis peritoneal
lebih tinggi daripada hemodialisis atau populasi. Penyebabnya tidak diketahui tetapi faktor keasaman, hipertonisitas, dan konsentrasi
glukosa cairan dialisat mungkin bersifat toksik
terhadap pankreas. Hipotesis lainnya adalah
pemberian jangka panjang cairan dialisat
dengan komposisi non fisiologis dalam jumlah besar dan tekanan intraabdomen tinggi
menyebabkan gangguan mikrovaskularisasi
dan hipoksemia pankreas sehingga menginduksi aktivasi prematur enzim proteolitik, dan
selanjutnya mencetuskan pankreatitis akut.
Pemberian antibiotik dan antikoagulan dalam
pengobatan peritonitis juga diduga dapat
menyebabkan kerusakan pankreas.2,18,
Umumnya pankreatitis pada pasien PGK ditata laksana secara konservatif dengan pengistirahatan usus dan penghisapan cairan lambung melalui pipa nasogastrik. Drainase dan
debridemen sebaiknya hanya dilakukan pada
pasien dengan pseudokista atau nekrosis.
Penggunaan heparin harus diminimalisir untuk mengurangi risiko perdarahan pankreas.2
Mortalitas pankreatitis akut pada pasien hemodialisis dan dialisis peritoneal dilaporkan
berkisar antara 0%-58%. Sebagai perbandingan, mortalitas pankreatitis akut dalam populasi umum dilaporkan 10%.2,18
5. Iskemia mesenterik akut
Iskemia mesenterik akut merupakan salah satu
penyebab nyeri abdomen akut pada pasien
PGK. Iskemia mesenterik akut jarang ditemukan pada populasi yaitu 0,09-0,2% per tahun
pasien, dan lebih sering terdapat pada pasien
hemodialisis (0,3-1,9% per tahun pasien).
Pada dialisis peritoneal, iskemia mesenterik
non-oklusif sebesar 1,35% per tahun pasien.
Iskemia mesenterik pada populasi sebagian
besar merupakan tipe oklusif karena pembentukan trombosis pada lesi aterosklerotik
yang sudah ada di bagian proksimal arteri
mesenterika superior, sedangkan pada pasien
hemodialisis sebagian besar merupakan tipe
non-oklusif yang biasanya berhubungan dengan kegagalan sirkulasi karena gagal jantung
akut, dehidrasi, dan aritmia.2,22,23
Faktor risiko utama terjadinya iskemia mesenterik akut pada pasien hemodialisis adalah
kelainan kardiovaskular dan aterosklerosis.
Iskemia mesenterik akut sering didahului episode hipotensi intradialitik sehingga tingginya
insidens iskemia mesenterik akut pada pasien
hemodialisis diperkirakan karena terjadinya
hipotensi intradialitik dan instabilitas hemodinamik. Penggunaan obat vasokonstriktif,
konstipasi, dan kalsifikasi vaskular berperan
dalam patogenesis iskemia mesenterik karena
frekuensinya lebih sering ditemukan pada
pasien dengan iskemia mesenterik dibandingkan pasien tanpa iskemia mesenterik. Eritropoietin diduga turut berperan dalam terjadinya
iskemia mesenterik karena mempunyai efek
vasokonstriksi pembuluh mesenterik.2,22,23
Diagnosis iskemia mesenterik akut sulit ditegakkan karena manifestasi klinis non-spesifik
dan membutuhkan indeks kecurigaan yang
tinggi terutama pada pasien yang memiliki
faktor risiko iskemia mesenterik. Nyeri abdomen biasanya berlokasi di fossa iliaka kanan
disertai demam, tahanan abdomen, dan leukositosis merupakan manifestasi klinis yang
paling sering ditemukan. Dalam penelitiannya terhadap 15 pasien gagal ginjal dengan
iskemia mesenterik, Bassilios dkk. melaporkan konfirmasi diagnostik dilakukan melalui
kolonoskopi pada 4 pasien dan pembedahan
pada 11 pasien. Opaque enema CT scan dilaporkan dapat membantu menegakkan diagnosis lebih awal dengan sensitivitas sebesar
75%. Angiografi dapat mengonfirmasi diagnosis iskemia mesenterik dan membedakan
tipe oklusif atau non-oklusif.2,22,23 Pada pasien
dialisis peritoneal, jika ditemukan peningkatan amilase cairan dialisat >100 U/L, atau peritonitis polimikrobial, jamur, gram negatif yang
tidak membaik meski sudah mendapat terapi
antimikrobial yang sesuai, maka iskemia mesenterik perlu dipikirkan sebagai penyebab.2,23
Iskemia mesenterik biasanya ditata laksana
dengan reseksi daerah usus yang infark. Laparotomi eksplorasi juga berguna menentukan
diagnosis definitif jika diagnosis iskemia mesenterik belum tegak. Tindakan preventif
meliputi pencegahan ultrafiltrasi berlebih
dan koreksi keseimbangan cairan lebih awal
segera jika terdapat tanda bahaya seperti
nyeri abdomen akut. Mortalitas iskemia mesenterik sangat tinggi, berkisar 33%-73%. Penyebab utama kematian dini biasanya karena
perluasan lesi iskemik dan syok septik. Diagnosis dan tindakan pembedahan lebih dini
memperbaiki prognosis.2,22,23
6. Kelainan lain
Selain kelainan di atas, ada beberapa kelainan
gastrointestinal yang dapat terjadi pada PGK
yang menjalani dialisis peritoneal. Kelainan ini
tidak disebabkan oleh PGK sendiri, tetapi disebabkan oleh tindakan yang dilakukan untuk
tata laksana PGK tersebut.
Peritonitis merupakan infeksi serius pada
pasien dialisis peritoneal. Peritonitis Gramnegatif mempunyai prognosis yang lebih
buruk dibandingkan peritonitis Gram-positif,
dan peritonitis Gram-negatif, yang biasanya
disebabkan oleh bakteri enterik, sering mengindikasikan perforasi usus sehingga harus
dipikirkan kemungkinan adanya kelainan yang
mendasari seperti iskemia mesenterik akut,
kolesistitis, apendisitis dan divertikulitis.2,24
Divertikulosis adalah penyebab paling sering kebocoran saluran cerna pada pasien dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan.
Meskipun divertikulosis tidak terbukti lebih
sering ditemukan pada pasien dialisis peritoneal dibanding populasi umum, tetapi keberadaan divertikula >10, dengan ukuran >10
mm dan adanya divertikula di kolon asendens, transversum atau desendens dihubung-
505
7/8/2012 12:17:26 PM
TINJAUAN PUSTAKA
kan dengan peningkatan risiko peritonitis.
Hal ini menyebabkan pasien yang sering
mengalami episode divertikulitis dianggap
merupakan kontraindikasi relatif untuk dialisis
peritoneal.2,15,24
Encapsulating peritoneal sclerosis (EPS) adalah
komplikasi dialisis peritoneal yang jarang namun berpotensi mematikan. Komplikasi ini
diperkirakan terjadi pada 0-4,4% pasien dialisis peritoneal, dengan insidens >15% pada
pasien yang telah menjalani dialisis peritoneal
selama >15 tahun. Faktor risiko EPS antara
lain penggunaan obat penyekat beta, klorheksidin, dialisat mengandung asetat, penghentian terapi dialisis peritoneal/konversi dari
dialisis peritoneal ke hemodialisis, paparan
berkepanjangan terhadap dialisat yang mengandung glukosa konsentrasi tinggi, episode
peritonitis berulang, lamanya terapi dialisis
peritoneal, dan tidak adanya fungsi ginjal sisa.
Penyebab EPS diduga berhubungan dengan
mekanisme imunologik.2,25,26 Gejala dan tanda
EPS antara lain anoreksia, nausea, vomitus,
rasa cepat kenyang, nyeri abdomen, distensi
abdomen, penurunan berat badan, sindrom
obstruksi usus, konstipasi, dan diare. Peningkatan kadar petanda inflamasi di darah dapat
ditemukan tetapi tidak spesifik. Diagnosis sering ditegakkan melalui USG dan CT scan abdomen meskipun keduanya tidak sensitif dan
spesifik untuk EPS.2,25,26 Terapi imunosupresif
dengan prednisolon, azatioprin, dan mofetil
mikofenolat menurut beberapa laporan kasus
DAFTAR PUSTAKA
1.
National Kidney Foundation. K/DOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease : evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis. 2002; 39 (2 Suppl 1) : S1-266.
2.
Shirazian S, Radhakrishnan J. Gastrointestinal disorders and renal failure: Exploring the connection. Available from www.medscape.org/viewarticle/724252. Diakses 30 Maret 2012.
3.
Dong R, Guo ZY. Gastrointestinal symptoms in patients undergoing peritoneal dialysis : Multivariate analysis of correlated factors. World J Gastroenterol 2010; 16 (22) : 2812-7. Available
4.
Strid H, Simren M, Johansson AC, Svedlund J, Samuelsson O, Bjornsson ES. The prevalence of gastrointestinal symptoms in patients with chronic renal failure is increased and associated
5.
Farsakh NAA, Roweily E, Rababaa M, Butchoun R. Evaluation of the upper gastrointestinal tract in uraemic patients undergoing haemodialysis. Nephrol Dial Transplant. 1996; 11:847-50.
from: http://www.wjgnet.com/1007-9327/full/v16/i22/2812.htm
with impaired psychological general well-being. Nephrol Dial Transplant. 2002; 17 : 1434-9
6.
Fiderkiewicz B, Rydzewska-Rosolowska A, Mysliwiec M, Birecka M, Kaczanowska B, Rydzewska G, dkk. Factors associated with irritable bowel syndrome symptoms in hemodialysis patients.
World J Gastroenterol 2011; 17(15): 1976-81. Available from : http://www.wjgnet.com/1007-9327/full/v17/i15/1976.htm
7.
Adachi H, Kamiya T, Hirako M, Misu N, Kobayashi Y, Shikano M dkk. Improvement of gastric motility by hemodialysis in patients with chronic renal failure. J Smooth Muscle Res. 2007; 43(5):
179-89.
8.
Evenepoel P, Meijers BK, Bammens BR, Verbeke K. Uremic toxins originating from colonic microbial metabolism. Kidney Int. 2009; 76 (Suppl 114), S12-S19.
9.
Abdulrahman IS, Al-Quorain AA. Prevalence of gastroesophageal reflux disease and its association with Helicobacter pylori infection in chronic renal failure patients and in renal transplant
recipients. Saudi J Gastroenterol 2008; 14(4): 183-6.
10. Kawaguchi Y, Mine T, Kawana I, Yasuzaki H, Kokuho T, Toya Y, dkk. Gastroesophageal reflux disease in chronic renal failure patients : evaluation by endoscopic examination. Tokai J Exp Clin
Med. 2009; 34(3):80-3.
11. Kawaguchi Y, Mine T, Kawana I, Yasuzaki H, Kokuho T, Toya Y, dkk. Gastroesophageal reflux disease in hemodialysis patients. Tokai J Exp Clin Med. 2009; 34(2):48-52.
12. Fallone CA, Maynard S. Gastroesophageal reflux and hyperacidity in chronic renal failure. Perit Dial Int. 2001; 21(Suppl 3):S295-S299.
13. Kawaguchi Y, Mine T, Kawana I, Yasuzaki H, Kokuho T, Toya Y, dkk. Role and clinical importance of Helicobacter pylori infection in hemodialysis patients. G Chir 2008;2 (3):81-4.
506
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 506
7/8/2012 12:17:26 PM
TINJAUAN PUSTAKA
14. Doherty CC. Peptic ulcer and chronic renal failure. Ulster Med J. 1979; 48: 145-54.
15. Saeed F, Agrawal N, Greenberg E, Holley JL. Lower gastrointestinal bleeding in chronic hemodialysis patients. Int J Nephrol. 2011; 2011:272535.
16. Kaaroud H, Ben Fatma L, Beji S, Boubaker K, Hedri H, Ben Hamida F. dkk. Gastrointestinal angiodysplasia in chronic renal failure. Saudi J Kidney Dis Transplant. 2008; 19(5): 809-12.
17. Wasse H, Gillen DL, Ball AM, Kestenbaum BR, Seliger SL, Sherrard D, dkk. Risk factors for upper gastrointestinal bleeding among end-stage renal disease patients. Kidney Int 2003; 64: 145561.
18. Bruno MJ, van Westerloo DJ, van Dorp WT, Dekker W, Ferwerda J, Tytgat GNJ, dkk. Acute pancreatitis in peritoneal dialysis and haemodialysis : risk, clinical course, outcome, and possible
aetiology. Gut 2000; 46: 385-9.
19. Lankisch PG, Webber-Dany B, Maisonneuve P, Lowenfels AB. Frequency and severity of acute pancreatitis in chronic dialysis patients. Nephrol Dial Transplant. 2008; 23: 1401-5.
20. Owyang C, Miller LJ, DiMagno EP, Mitchell III JC, Go VLW. Pancreatic exocrine function in severe human chronic renal failure. Gut 1982; 23: 357-61.
21. Schoenicke G, Grabensee B, Plum J. Dialisis with icodextrin interferes with measurement of serum -amylase activity. Nephrol Dial Transplant. 2002; 17: 1988-92.
22. Bassilios N, Menoyo V, Berger A, Mamzer MF, Daniel F, Cluzel P, dkk. Mesenteric ischemia in haemodialysis patients : a case/control study. Nephrol Dial Transplant. 2003; 18: 911-7.
23. Archodovassilis F, Lagoudiannakis EE, Tsekouras DK, Vlachos K, Albanopoulos K, Fillis K, dkk. Nonocclusive mesenteric ischemia : a lethal complication in peritoneal dialysis patients. Perit
Dial Int. 2007; 27: 136-41.
24. Yip T, Tse KC, Lam MF, Cheng SW, Lui SL, Tang S.dkk. Colonic divertikulosis as a risk factor for peritonitis in Chinese peritoneal dialysis patients. Perit Dial Int. 2010; 30: 187-91.
25. Brown MC, Simpson K, Kerssens JJ, Mactier RA. Encapsulating peritoneal sclerosis in the new millennium : a national cohort study. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4: 1222-9.
26. Lafrance JP, Letourneau I, Ouimet D, Bonnardeaux A, Leblanc M, Mathieu N, dkk. Successful treatment of encapsulating peritoneal sclerosis with immunosuppressive therapy. Am J Kidney
Dis. 2008; 51(2): e7-e10.
27. Trottier V, Drolet S, Morcos MW. Ileocolic perforation secondary to sodium polystyrene sulfonate in sorbitol use : a case report. Can J Gastroenterol. 2009; 23(10): 689-90.
28. Joo M, Bae WK, Kim NH, Han SR. Colonic mucosal necrosis following administration of calcium polystyrene sulfonate (kalimate) in a uremic patient. J Korean Med Sci. 2009; 24: 1207-11.
29. Goutorbe P, Montcriol A, Lacroix G, Bordes J, Meaudre E, Souraud JB. Intestinal necrosis associated with orally administered calcium polystyrene sulfonate without sorbitol. Anns Pharmacother. 2011; 45: e13.
507
7/8/2012 12:17:27 PM