Anda di halaman 1dari 7

TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan Gastrointestinal pada


Penyakit Ginjal Kronis
Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede
Puskesmas Patilanggio, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, Indonesia

ABSTRAK
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah penyakit kerusakan ginjal minimal 3 bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus. PGK dapat
menyebabkan berbagai manifestasi klinis termasuk gangguan gastrointestinal yang berperan terhadap meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Meskipun prevalensi dan insidens gangguan gastrointestinal pada PGK sulit diperkirakan dan beberapa penelitian melaporkan hasil berbeda, prevalensi dan insidensnya lebih tinggi dibanding populasi. Gejala gastrointestinal yang paling sering ditemukan adalah nausea, vomitus,
nyeri abdomen, diare, dan konstipasi. Patogenesis gangguan gastrointestinal pada pasien PGK belum sepenuhnya diketahui. Beberapa kelainan
yang mendasari gangguan gastrointestinal pada PGK antara lain gastroparesis, lesi saluran cerna bagian atas, perdarahan saluran cerna atas
dan bawah, angiodisplasia, pankreatitis akut, iskemi mesenterik akut, nekrosis kolon akibat resin penukar ion. Beberapa kelainan gastrointestinal dapat juga terjadi pada PGK yang menjalani dialisis peritoneal seperti peritonitis, divertikulosis, encapsulating peritoneal sclerosis. Diagnosis
gangguan gastrointestinal memerlukan pengamatan dan pertimbangan yang cermat antara temuan klinis dan pemeriksaan penunjang serta
indeks kecurigaan yang cukup tinggi. Belum ada pedoman diagnosis dan tata laksana yang baku untuk gangguan gastrointestinal yang menyertai pasien PGK. Tata laksana yang adekuat memberikan prognosis yang lebih baik.
Kata kunci: penyakit ginjal kronik, gangguan gastrointestinal, perdarahan saluran cerna

ABSTRACT
Chronic kidney disease (CKD) is defined as kidney damage for three or more months with or without decreased glomerular filtration rate. CKD
can lead to various clinical manifestations, including gastrointestinal disorders. Gastrointestinal disorders are common in patients with CKD
and contribute to increased morbidity and mortality. Although difficult to estimate and results from studies are conflicting, the prevalence and
incidence of gastrointestinal disorders in CKD seem higher than in the general population. The most common gastrointestinal symptoms are
nausea, vomiting, abdominal pain, diarrhea, and constipation. The pathogenesis of gastrointestinal disorders in patients with CKD remains not
fully understood. Underlying gastrointestinal pathologies in CKD include gastroparesis, upper gastrointestinal lesion, gastrointestinal bleeding, angiodysplasia, acute pancreatitis, acute mesenteric ischemia, ion-exchange resin induced colonic necrosis. Gastrointestinal pathologies
unique to patients on peritoneal dialysis include peritonitis, diverticulosis, encapsulating peritoneal sclerosis. Diagnosis of gastrointestinal disorders accompanying CKD requires careful observation and consideration of clinical findings and diagnostic tests, also a high index of suspicion.
No clear diagnosis and management guidelines currently exist. Adequate management leads to a better prognosis. Dimas Kusnugroho
Bonardo Pardede. Gastrointestinal Disorders in Chronic Kidney Disease.
Key words: chronic kidney disease, gastrointestinal disorders, gastrointestinal bleeding

PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan terminologi baru dari the National Kidney Foundations Kidney Disease and Outcome Quality
Initiative (NKF-KDOQI) pada tahun 2002, mencakup sejumlah proses patofisiologis yang
berhubungan dengan fungsi ginjal yang abnormal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) yang progresif. NKF-KDOQI mendefinisikan PGK sebagai : (1) kelainan struktural atau
fungsional ginjal selama 3 bulan, dengan
atau tanpa penurunan LFG, yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau petanda
kerusakan ginjal, termasuk kelainan kompo-

CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012

CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 501

sisi darah atau urin, atau kelainan pada pencitraan; (2) LFG < 60 mL/menit/1,73 m2 selama
3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Istilah gagal ginjal mengacu kepada penyakit
ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease/
ESRD) dengan LFG < 15 mL/menit/1,73 m2
atau membutuhkan terapi pengganti ginjal
(dialisis atau transplantasi).1
PGK dapat menyebabkan berbagai manifestasi klinis, salah satunya adalah gangguan
gastrointestinal, yang merupakan gangguan
non renal yang paling sering ditemukan di
samping diabetes melitus dan penyakit arteri

koroner. Gangguan gastrointestinal berkaitan


dengan malnutrisi yang menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas pasien
gagal ginjal. Oleh karenanya, gangguan
gastrointestinal yang menyertai PGK perlu
mendapat perhatian.2-7
GEJALA
Gejala gastrointestinal dapat diklasifikasikan
sebagai gangguan organik dan fungsional
berdasarkan ada tidaknya kelainan yang
mendasari. Gejala gastrointestinal organik
berhubungan dengan lesi di saluran gastrointestinal sebagai penyebab, sedangkan gejala

501
7/8/2012 12:17:23 PM

TINJAUAN PUSTAKA
fungsional tidak memiliki kelainan histopatologis dan dipengaruhi oleh faktor psikologis,
hipersensitivitas viseral, dan perubahan motilitas saluran cerna.2 Ketidak seragaman pengertian gangguan gastrointestinal dan banyaknya
faktor yang mempengaruhinya menyebabkan
kesulitan dalam mengetahui prevalensi gangguan gastrointestinal fungsional. Dispepsia
dan irritable bowel syndrome adalah contoh
gangguan gastrointestinal fungsional yang
definisi dan prevalensinya bervariasi. Untuk
memudahkan diagnosis dan tatalaksananya,
disepakati menstandarisasi definisi gangguan
gastrointestinal fungsional dengan menggunakan kriteria Rome dan Gastrointestinal
Symptom Rating Scale.2 Prevalensi gangguan
gastrointestinal fungsional jauh lebih besar
daripada gangguan gastrointestinal organik
dengan perkiraan berkisar antara 7%-90%
dalam 20 tahun terakhir ini.2 Meski demikian,
beberapa penelitian menunjukkan prevalensi
gejala gastrointestinal pada PGK yang tinggi
antara 70%-79%.2,4,6 Prevalensi tersebut secara
umum tidak jauh berbeda di antara kelompok
pasien pre-dialisis, hemodialisis dan dialisis
peritoneal.2,4
Gejala gastrointestinal yang paling sering
ditemukan pada pasien PGK adalah nausea, vomitus, nyeri abdomen, diare, dan
konstipasi.2,4 Gejala lain yang dilaporkan oleh
berbagai penelitian antara lain : refluks, indigesti, anoreksia, borborigmi, distensi abdomen, disfagia, dan heartburn.2,4,5 Prevalensi
irritable bowel syndrome juga cukup tinggi
berkisar antara 11%-44%.2,6
Patogenesis gejala gastrointestinal pada PGK
bersifat multifaktorial, akan tetapi mekanisme
yang mendasarinya belum sepenuhnya jelas.4,7
Nausea dan vomitus sering ditemukan pada
pasien uremia, diduga keterlambatan pengosongan lambung (gastroparesis) berperan
pada patogenesisnya.4 Adachi dkk (2007) melaporkan bahwa pada pasien gagal ginjal predialitik, kejadian gejala gastrointestinal tinggi
dan terdapat hipomotilitas lambung yaitu
terhambatnya aktivitas mioelektrik lambung
dan keterlambatan pengosongan lambung
sehingga disimpulkan bahwa hipomotilitas
lambung merupakan faktor penting dalam
terjadinya gejala gastrointestinal.7 Beberapa
penelitian menunjukkan keterlambatan pengosongan lambung pada pasien PGK, namun
ada penelitian yang melaporkan pengosongan lambung yang normal.2,4,7

502
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 502

Strid dkk.(2002) melaporkan bahwa diare sering


ditemukan pada pasien PGK, penyebab tingginya prevalensi diare belum diketahui. Evaluasi diagnostik pada pasien PGK dengan diare
tidak menunjukkan etiologi yang spesifik.4
Konstipasi sering dilaporkan pada pasien
PGK,2,4,5 dengan prevalensi mencapai 63%
pada pasien hemodialisis dan 29% pada pasien
dialisis peritoneal, sedangkan prevalensi pada
populasi sebesar 10-20%. Penelitian menunjukkan pemanjangan waktu transit kolon yang
signifikan, baik total maupun segmental pada
pasien hemodialisis atau dialisis peritoneal jika
dibandingkan dengan populasi. Kaitan antara
konstipasi dengan PGK berhubungan dengan
perubahan gaya hidup yaitu berkurangnya
aktivitas, berkurangnya masukan serat karena
diet rendah kalium, penggunaan pengikat
fosfat, dan adanya komorbid lain seperti diabetes melitus dan penyakit serebrovaskuler.
Tata laksana konstipasi pada pasien PGK tidak
jauh berbeda dengan tata laksana konstipasi
pada umumnya yaitu pemberian pelunak
tinja, lubrikan, laksatif, dan enema. Enema
yang mengandung magnesium dan fosfat
dihindari untuk mencegah hipermagnesemia
dan hiperfosfatemia serta untuk mencegah
perburukan fungsi ginjal sisa.2
Pemanjangan waktu transit kolon serta
berkurangnya digesti protein di usus halus
dan diet kurang serat dapat menyebabkan
perubahan flora kolon. Hal ini menyebabkan
konsentrasi bakteri proteolitik pada pasien
PGK lebih tinggi daripada orang normal. Bakteri proteolitik menghasilkan molekul seperti
fenol, indol dan amina yang terakumulasi di
saluran cerna pasien PGK. Molekul yang disebut sebagai molekul retensi uremik inilah
yang diduga berkontribusi menyebabkan
sindrom uremia. Tata laksana untuk mengurangi molekul retensi uremik ini meliputi: (1)
intervensi untuk mengatur pertumbuhan
bakteri dengan terapi prebiotik, probiotik dan
modifikasi diet (meningkatkan asupan karbohidrat dan membatasi asupan protein); (2)
pemberian adsorben yang mengikat molekul
retensi uremik di usus untuk mengurangi
absorpsinya yaitu dengan AST-120 (adsorben yang terdiri atas partikel karbon sferis)
dan Sevelamer (pengikat fosfat non-metal
yang selama ini diberikan untuk mengurangi
hiperfosfatemia).2,8
Gangguan psikologis seperti ansietas dan

depresi juga ditemukan pada pasien PGK


dengan perkiraan prevalensinya mencapai
20-30%, sedangkan prevalensi depresi yang
dilaporkan sendiri oleh pasien mencapai 68%,
lebih tinggi jika dibandingkan dengan populasi. Ansietas dan depresi sering dikaitkan
dengan gangguan somatis, termasuk gangguan gastrointestinal, sehingga ansietas dan
depresi dianggap salah satu faktor yang berperan menyebabkan gejala gastrointestinal
pada pasien PGK.2
KELAINAN YANG MENDASARI
1. Gastroparesis
Gastroparesis adalah keterlambatan pengosongan lambung. Strid dkk. melaporkan
temuan gastroparesis pada 36% pasien gagal
ginjal dengan prevalensi yang lebih tinggi
pada pasien yang menjalani dialisis peritoneal
dibanding pasien yang belum menjalani dialisis.4 Penelitian lain melaporkan temuan waktu
pengosongan lambung yang lebih panjang
pada pasien PGK dibandingkan dengan kontrol sementara lainnya tidak.2,4,7,9
Gastroparesis biasa ditemukan pada pasien
diabetes melitus dan berkaitan dengan
meningkatnya prevalensi gangguan gastrointestinal pada PGK.2,4 PGK sendiri berkaitan
erat dengan diabetes melitus sehingga
diduga hiperglikemia dan polineuropati
otonom akibat diabetes berperan dalam
patogenesis gastroparesis dan gejala yang
diakibatkannya.2,4,7,10,11 Gastroparesis lebih sering dijumpai pada pasien dialisis peritoneal
dibandingkan pasien predialitik3,7, mungkin
disebabkan adanya cairan dialisat di rongga
peritoneum yang mempengaruhi motilitas
lambung.4,7,11 Akan tetapi beberapa penelitian
tidak menemukan pengaruh dialisat terhadap
pengosongan lambung.3 Hemodialisis yang
efektif tidak memperbaiki waktu pengosongan lambung. Oleh karenanya sampai saat ini
patogenesis gastroparesis pada pasien PGK
belum jelas diketahui.2
Tata laksana gastroparesis pada pasien PGK
bersifat simtomatik. Penelitian menunjukkan
bahwa pemberian gastroprokinetik seperti
metoklopramid 4 x 5-10 mg atau eritromisin 4 x 200 mg sebelum makan utama dan
sebelum tidur, memperbaiki status gizi yang
terlihat dari kenaikan kadar albumin serum
sehingga disimpulkan bahwa perbaikan status gizi disebabkan oleh perbaikan motilitas
lambung. Akan tetapi penelitian tersebut

CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012

7/8/2012 12:17:24 PM

TINJAUAN PUSTAKA
tidak menyebutkan ada atau tidaknya perbaikan gejala. Penelitian lain dengan pemberian
cisapride 10 mg bersama eritromisin 200 mg
sebelum makan utama menunjukkan hasil
serupa, tetapi cisapride dapat meningkatkan
risiko aritmia jantung. Beberapa laporan kasus
juga melaporkan pemberian eritromisin intraperitoneal menunjukkan hasil yang efektif.2
2. Lesi saluran cerna bagian atas
Farsakh dkk. melakukan penelitian tentang
gejala, temuan endoskopik, dan histopatologik saluran cerna bagian atas pada 92
pasien hemodialisis dan 100 pasien rawat
jalan dengan fungsi ginjal normal yang
menjalani endoskopi atas berbagai indikasi.
Prevalensi lesi saluran cerna bagian atas pada
pasien hemodialisis sebesar 62% sedangkan
pada kontrol meski tidak dicantumkan tetapi
dilaporkan tidak jauh berbeda dengan pasien
hemodialisis.5 Penelitian lain yang menyelidiki
prevalensi lesi saluran cerna bagian atas pada
pasien gagal ginjal dengan menggunakan
esofagogastroduodenoskopi menunjukkan
hasil berbeda. Meski demikian prevalensi lesi
saluran cerna bagian atas pada pasien PGK
tampaknya lebih tinggi daripada populasi.2,5
Jenis lesi saluran cerna bagian atas yang
ditemukan oleh Farsakh dkk secara endoskopis antara lain hiatus hernia, esofagitis, erosi
lambung, erosi duodenum, ulkus duodenum,
ulkus esofagus, dan angiodisplasia. Jenis lesi
yang ditemukan secara histopatologik adalah
gastritis superfisial kronik dan gastritis atrofik.
Hiatus hernia lebih banyak ditemukan pada
pasien hemodialisis, sedangkan kelainan
lambung meski juga lebih banyak ditemukan
pada pasien dialisis dibanding kontrol tetapi
tidak signifikan.5 Beberapa lesi saluran cerna
bagian atas yang ditemukan antara lain: gastritis, duodenitis, erosi esofagus, ulkus lambung dan pseudomelanosis duodenum.2,5
Patogenesis lesi saluran cerna bagian atas
pada pasien PGK belum jelas diketahui. Salah
satu yang diduga berperan adalah hipergastrinemia. Kadar hormon gastrin yang meningkat menyebabkan peningkatan produksi
asam lambung oleh sel parietal. Penelitian
tentang produksi asam lambung pada pasien
PGK melaporkan hasil yang beragam, mulai
dari akloridia hingga hiperkloridia. Meskipun
tidak ditemukan pada semua pasien PGK,
peningkatan produksi asam lambung jelas
ditemukan pada sebagian pasien PGK.2,10-12,14

CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012

CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 503

Hipergastrinemia pada PGK terjadi karena


berkurangnya bersihan hormon gastrin sebagai akibat penurunan LFG, tetapi mungkin
juga karena meningkatnya sekresi hormon
gastrin akibat peningkatan densitas sel G
yang terdapat pada PGK. Akloridia diduga
merupakan stimulus terjadinya hipergastrinemia melalui mekanisme umpan balik antara
sel G dan rendahnya asam yang menstimulasi
sekresi gastrin.2,10-12,14
Infeksi Helikobakter pylori diduga salah satu
faktor yang berperan dalam meningkatnya
prevalensi lesi saluran cerna bagian atas pada
pasien PGK. Urease yang dihasilkan H. pylori
mengubah urea menjadi amonia. Kadar amonia lambung yang tinggi bersifat toksik terhadap epitel lambung dibanding urea. Hiperamonemia lambung menyebabkan perubahan
pada turnover selular dengan cara menginduksi apoptosis sehingga memperlambat penyembuhan lesi mukosa. Prevalensi infeksi H.
pylori sendiri dilaporkan bervariasi dengan
kisaran 21%-66% pada pasien PGK dan 35%75% pada kontrol. Beberapa penelitian melaporkan prevalensi H. pylori yang lebih tinggi
pada pasien PGK dibandingkan dengan pada
populasi umum, tetapi beberapa penelitian
lain melaporkan prevalensi yang lebih rendah. Hal ini mungkin disebabkan perbedaan
metode diagnostik yang digunakan, populasi
yang diobservasi, prevalensi H. pylori pada individu sehat, ciri klinis dan demografis kelompok yang diteliti, penggunaan antibiotik dan
proton pump inhibitor, serta faktor lain yang
belum diketahui.2,5,12,13
Tidak adanya korelasi yang jelas antara infeksi H. pylori dengan gejala dispeptik dan
antara gejala dispeptik dengan lesi saluran
cerna pada PGK membuat para klinisi berbeda pendapat perihal apakah semua pasien
PGK dengan dispepsia harus dievaluasi untuk
mencari infeksi H. pylori dan diobati jika hasilnya positif. Modalitas diagnostik non-invasif
untuk mendiagnosis infeksi H. pylori pada
PGK antara lain adalah uji antigen tinja dengan sensitivitas dan spesifisitas sekitar 97%.
Uji non-invasif lainnya adalah urea breath test
(sensitivitas: 93,8%, spesifisitas: 85,3%) dan uji
serologi (sensitivitas: 87,5%, spesifisitas: 80%).
Keduanya kurang sensitif dan spesifik untuk
pasien PGK dibandingkan terhadap pasien
dengan fungsi ginjal normal.2 Strategi yang
direkomendasikan oleh American Gastroenterological Association untuk mengevaluasi

infeksi H. pylori pada PGK adalah melakukan


pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi.2
Tata laksana infeksi H. pylori pada PGK sama
seperti tata laksana H. pylori pada umumnya.
American Gastroenterological Association merekomendasikan pemberian triple therapy
yaitu proton pump inhibitor, klaritromisin, dan
amoksisilin/metronidazol. Tidak ada regimen
spesifik untuk infeksi H. pylori pada pasien
PGK.2
3. Perdarahan saluran cerna
Perdarahan saluran cerna merupakan salah
satu komplikasi PGK yang sering ditemukan,
dan insidens dan mortalitasnya lebih tinggi
dibandingkan pada populasi. Patogenesis
perdarahan saluran cerna pada PGK belum
jelas, diduga faktor yang berperan terhadap
perdarahan saluran cerna pada PGK antara
lain efek uremia terhadap mukosa saluran
cerna, disfungsi trombosit akibat uremia, hipergastrinemia, penggunaan antiplatelet dan
antikoagulan, serta heparinisasi pada saat
dialisis.2,15-17
Angiodisplasia adalah malformasi vaskular
yang tidak berhubungan dengan sindrom familial, kelainan kulit ataupun kelainan sistemik
manapun, dan merupakan kelainan vaskular
saluran cerna yang paling sering ditemukan
pada populasi dengan prevalensi 0,82%. Angiodisplasia sebagai penyebab perdarahan
saluran cerna lebih sering ditemukan pada
pasien PGK dibandingkan pada populasi dengan prevalensi berkisar 19-32% pada pasien
PGK dan 5% pada populasi. Angiodisplasia
juga merupakan penyebab tersering perdarahan saluran cerna bagian bawah berulang pada pasien PGK. Etiologi angiodisplasia
belum diketahui tetapi berhubungan dengan
proses degeneratif vaskular yang diakselerasi
oleh hipooksigenasi mukosa usus akibat penyakit vaskular perifer aterosklerotik.2,15,16 Diagnosis angiodisplasia paling sering ditegakkan
melalui endoskopi. Sensitivitas kolonoskopi
dalam menemukan angiodisplasia pada kolon yaitu sebesar 81%. Angiodisplasia paling
sering ditemukan di sekum dan kolon asendens. Angiografi mesenterika selektif dapat
digunakan pada kasus perdarahan aktif. Helical CT angiography merupakan teknik pencitraan baru dan menjanjikan sebagai modalitas
diagnostik non-invasif untuk angiodisplasia
dan perdarahan samar saluran cerna, tetapi
peran angiografi pada PGK terbatas karena

503
7/8/2012 12:17:24 PM

TINJAUAN PUSTAKA
penggunaan kontras secara intravena. Technetium-(Tc-) labeled scintigraphy juga dapat digunakan untuk mendeteksi perdarahan akitf
namun penggunaannya terbatas karena sensitivitasnya rendah.15,16 Tidak ada tata laksana
khusus untuk angiodisplasia pada PGK. Angiodisplasia dapat diterapi lokal menggunakan argon plasma coagulation, koagulasi laser,
atau koagulasi panas. Jika ada lesi perdarahan
besar, embolisasi atau injeksi vasopresin melalui angiografi dapat digunakan. Untuk kasus
perdarahan rekuren atau persisten meskipun
sudah diterapi secara endoskopis, reseksi secara bedah harus dipertimbangkan. Untuk
pasien yang bukan merupakan kandidat intervensi bedah, estrogen (dengan atau tanpa
progesteron) dapat diberikan, akan tetapi karena efikasi yang masih kontroversial dan efek
samping seperti metrorhagia, ginekomastia,
retensi cairan, trombosis, stroke, kanker payudara dan endometrium, dibutuhkan uji klinis
untuk menentukan efikasi dan keamanan
terapi estrogen pada PGK. Terapi jangka panjang menggunakan octreotide dilaporkan
dapat menurunkan kebutuhan transfusi dan
mencegah rekurensi dengan cara menurunkan aliran darah splanknik.2,15,16
Perdarahan saluran cerna bagian atas akut
lebih sering terjadi pada pasien PGK dibandingkan dengan populasi. Insidensnya
diperkirakan lebih dari 21 kasus perdarahan
setiap 1000 orang setiap tahunnya dengan
risiko mortalitas yang tinggi. Diperkirakan
per-darahan saluran cerna bagian atas akut
menyebabkan 3-7% kematian pasien gagal
ginjal. Merokok, disabilitas, dan riwayat penyakit kardiovaskular merupakan faktor risiko perdarahan saluran cerna bagian atas pada gagal
ginjal, sedangkan faktor risiko lain yang biasa
dihubungkan dengan perdarahan saluran
cerna seperti penggunaan obat anti inflamasi
non steroid (OAINS), aspirin, dan antikoagulan tidak berhubungan dengan peningkatan
risiko perdarahan saluran cerna bagian atas
pada pasien gagal ginjal.2,17
Perdarahan saluran cerna bagian bawah baik
akut maupun kronik pada gagal ginjal tidak
banyak dilaporkan, tetapi adenoma, karsinoma, dan angiodisplasia lebih sering ditemukan pada pasien PGK dibandingkan dengan
populasi. Prevalensi lesi kolon lainnya meningkat pada populasi tertentu saja; contohnya,
prevalensi divertikulosis pada pasien PGK,
tidak lebih tinggi dibandingkan pada popu-

504
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 504

lasi, tetapi prevalensi divertikulosis dan divertikulitis pada penyakit ginjal polikistik justru
lebih tinggi daripada populasi.2,15
Perdarahan saluran cerna kronis biasanya
diketahui dengan uji darah samar tinja. Prevalensinya pada pasien PGK diperkirakan sekitar 19%. Lokasi tersering perdarahan saluran
cerna kronis bagian atas adalah duodenum,
dan lesi duodenum ditemukan pada 61%
pasien gagal ginjal. Pada saluran cerna bagian
bawah, lokasi perdarahan kronis tersering adalah kolon proksimal. Angiodisplasia dan erosi
saluran cerna merupakan penyebab tersering
perdarahan saluran cerna kronis bagian atas,
sedangkan neoplasma merupakan penyebab
sering perdarahan kronis saluran cerna bagian
bawah.2
Divertikulosis merupakan salah satu penyebab
paling sering perdarahan saluran cerna bagian
bawah pada pasien gagal ginjal. Divertikulosis
berkontribusi menyebabkan 30-50% kasus
perdarahan saluran cerna bagian bawah pada
populasi. Insidens perdarahan saluran cerna
bagian bawah karena divertikulosis pada
pasien gagal ginjal sama dengan populasi.
Akan tetapi insidens perdarahan divertikular
pada pasien penyakit ginjal polikistik dewasa
yang menjalani dialisis rumatan lebih tinggi
yaitu sekitar 83% pada suatu penelitian dan
50% pada penelitian lainnya.2,15 Sembilan
puluh persen (90%) divertikuli ditemukan di
kolon sebelah kiri, dengan lokasi tersering
yaitu pada kolon sigmoid, tetapi sebanyak
50% perdarahan disebabkan oleh divertikuli
pada kolon sebelah kanan. Penyebab pasti
terbentuknya divertikulosis belum jelas, tetapi
dipikirkan karena diskinesia usus dan peningkatan tekanan intralumen kolon. Faktor risiko
terbentuknya divertikulosis meliputi kurangnya konsumsi serat, konstipasi dan obesitas15.
Modalitas diagnostik awal pilihan untuk mengevaluasi divertikulosis adalah kolonoskopi.
Jika endoskopi tidak mungkin atau tidak
dapat menegakkan diagnosis, dynamic enhanced helical CT Scan dapat digunakan. Selain itu, contrast-enhanced magnetic resonance
angiography (MRA) dapat digunakan untuk
mendeteksi divertikuli berdarah dengan sensitivitas dan spesifisitas 100% dibandingkan
skintigrafi nuklir yang sensitivitas dan spesifisitasnya 78% dan 72%.15 Selain bersifat diagnostik, kolonoskopi juga bersifat terapetik jika
divertikuli yang berdarah telah diidentifikasi.
Arteriografi dengan pemberian vasopresin

ataupun embolisasi hanya digunakan untuk


pasien yang tidak mungkin menjalani endoskopi, pasien dengan perdarahan berulang
atau menetap, dan hasil kolonoskopi yang
tidak diagnostik, mengingat embolisasi dapat berisiko menyebabkan infark. Laparotomi
eksplorasi dengan kolektomi parsial ataupun
total dianggap teknik diagnostik definitif jika
divertikuli yang berdarah sulit diidentifikasi
dengan teknik lainnya.15
4. Pankreatitis akut
Kaitan antara kelainan pankreas dan PGK telah
dilaporkan sejak masa predialitik dengan penelitian otopsi. Pada penelitian postmortem
tahun 1987 terhadap 78 pasien gagal ginjal
yang menjalani hemodialisis, ditemukan kelainan pankreas berupa inflamasi, perdarahan,
fibrosis, infiltrasi lemak, kista, hemosiderosis,
dan deposit amiloid pada 47 pasien, sedangkan pankreatitis ditemukan pada 22 pasien.2,18
Insidens pankreatitis akut pada pasien PGK
sulit diperkirakan, karena kesulitan mendiagnosis pankreatitis. Dalam penelitiannya, Bruno
dkk. melaporkan insidens pankreatitis akut
pada pasien dialisis peritoneal meningkat (7
dalam 241 tahun orang), tetapi insidens pada
pasien hemodialisis tidak berubah (1 dalam
614 tahun orang) jika dibandingkan dengan
pada populasi.18 Lankisch dkk. melaporkan
insidens pankreatitis akut lebih tinggi pada
pasien gagal ginjal, terutama yang menjalani
dialisis peritoneal (32 kasus per 100.000 tahun
pasien hemodialisis dan 148 kasus per 100.000
tahun pasien dialisis peritoneal) dibandingkan
pada populasi (19,7 kasus per 100.000 tahun
pasien populasi umum).19
Pada pasien dengan insufisiensi renal, terdapat peningkatan signifikan konsentrasi hormon
gastrointestinal seperti kolesistokinin, serum
gastric inhibitory polypeptide, dan glukagon.
Peningkatan hormon tersebut menyebabkan
hipersekresi enzim pankreas terutama tripsin
dan kerusakan selanjutnya.2,18,20
Diagnosis pankreatitis pada PGK dipersulit
dengan ketidakakuratan uji biokimia dan saling tumpang tindihnya pankreatitis dengan
penyakit lain seperti peritonitis. Gejala pankreatitis yang paling sering ditemukan pada
pasien gagal ginjal adalah nyeri abdomen
hebat (ditemukan pada hampir 100% pasien).
Gejala lainnya antara lain nausea, vomitus dan
nyeri tekan abdomen yang ditemukan pada

CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012

7/8/2012 12:17:25 PM

TINJAUAN PUSTAKA
73%, 67% dan 79% pasien.2,19 Enzim pankreas
terutama difiltrasi oleh ginjal. Bersihan enzim
pankreas yang rendah pada pasien hemodialisis atau dialisis peritoneal menyebabkan konsentrasinya di darah meningkat.2,18,21 Menurut
suatu penelitian, peningkatan amilase serum
lebih dari tiga kali lipat batas atas normal dan
lipase serum >300 g/L (>60 IU/L) adalah hal
yang tidak biasa pada pasien PGK dan bila disertai nyeri abdomen akut dapat mengindikasikan pankreatitis, tetapi penelitian lain melaporkan bahwa amilase dan lipase serum pada
pasien PGK dapat melebihi tiga kali batas atas
normal tanpa pankreatitis.2,18,19 Peningkatan
kadar amilase cairan dialisat >100 U/L dapat
membantu membedakan pankreatitis dari
peritonitis pada pasien dialisis peritoneal. Perlu diingat juga bahwa dialisat yang mengandung icodextrin dapat menurunkan aktivitas
amilase serum tetapi tidak mempengaruhi
aktivitas lipase sehingga lipase dapat membantu penegakan diagnosis pankreatitis pada
pasien dialisis peritoneal yang menggunakan
icodextrin.2,18,21 Pemeriksaan pencitraan untuk
menegakkan diagnosis pankreatitis pada pasien PGK adalah USG abdomen dan CT scan
abdomen. CT scan abdomen dilaporkan lebih
sensitif dibandingkan USG abdomen dalam
mendeteksi pankreatitis.2,18,19
Beberapa penelitian melaporkan insidens
pankreatitis pada pasien dialisis peritoneal
lebih tinggi daripada hemodialisis atau populasi. Penyebabnya tidak diketahui tetapi faktor keasaman, hipertonisitas, dan konsentrasi
glukosa cairan dialisat mungkin bersifat toksik
terhadap pankreas. Hipotesis lainnya adalah
pemberian jangka panjang cairan dialisat
dengan komposisi non fisiologis dalam jumlah besar dan tekanan intraabdomen tinggi
menyebabkan gangguan mikrovaskularisasi
dan hipoksemia pankreas sehingga menginduksi aktivasi prematur enzim proteolitik, dan
selanjutnya mencetuskan pankreatitis akut.
Pemberian antibiotik dan antikoagulan dalam
pengobatan peritonitis juga diduga dapat
menyebabkan kerusakan pankreas.2,18,
Umumnya pankreatitis pada pasien PGK ditata laksana secara konservatif dengan pengistirahatan usus dan penghisapan cairan lambung melalui pipa nasogastrik. Drainase dan
debridemen sebaiknya hanya dilakukan pada
pasien dengan pseudokista atau nekrosis.
Penggunaan heparin harus diminimalisir untuk mengurangi risiko perdarahan pankreas.2

CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012

CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 505

Mortalitas pankreatitis akut pada pasien hemodialisis dan dialisis peritoneal dilaporkan
berkisar antara 0%-58%. Sebagai perbandingan, mortalitas pankreatitis akut dalam populasi umum dilaporkan 10%.2,18
5. Iskemia mesenterik akut
Iskemia mesenterik akut merupakan salah satu
penyebab nyeri abdomen akut pada pasien
PGK. Iskemia mesenterik akut jarang ditemukan pada populasi yaitu 0,09-0,2% per tahun
pasien, dan lebih sering terdapat pada pasien
hemodialisis (0,3-1,9% per tahun pasien).
Pada dialisis peritoneal, iskemia mesenterik
non-oklusif sebesar 1,35% per tahun pasien.
Iskemia mesenterik pada populasi sebagian
besar merupakan tipe oklusif karena pembentukan trombosis pada lesi aterosklerotik
yang sudah ada di bagian proksimal arteri
mesenterika superior, sedangkan pada pasien
hemodialisis sebagian besar merupakan tipe
non-oklusif yang biasanya berhubungan dengan kegagalan sirkulasi karena gagal jantung
akut, dehidrasi, dan aritmia.2,22,23
Faktor risiko utama terjadinya iskemia mesenterik akut pada pasien hemodialisis adalah
kelainan kardiovaskular dan aterosklerosis.
Iskemia mesenterik akut sering didahului episode hipotensi intradialitik sehingga tingginya
insidens iskemia mesenterik akut pada pasien
hemodialisis diperkirakan karena terjadinya
hipotensi intradialitik dan instabilitas hemodinamik. Penggunaan obat vasokonstriktif,
konstipasi, dan kalsifikasi vaskular berperan
dalam patogenesis iskemia mesenterik karena
frekuensinya lebih sering ditemukan pada
pasien dengan iskemia mesenterik dibandingkan pasien tanpa iskemia mesenterik. Eritropoietin diduga turut berperan dalam terjadinya
iskemia mesenterik karena mempunyai efek
vasokonstriksi pembuluh mesenterik.2,22,23
Diagnosis iskemia mesenterik akut sulit ditegakkan karena manifestasi klinis non-spesifik
dan membutuhkan indeks kecurigaan yang
tinggi terutama pada pasien yang memiliki
faktor risiko iskemia mesenterik. Nyeri abdomen biasanya berlokasi di fossa iliaka kanan
disertai demam, tahanan abdomen, dan leukositosis merupakan manifestasi klinis yang
paling sering ditemukan. Dalam penelitiannya terhadap 15 pasien gagal ginjal dengan
iskemia mesenterik, Bassilios dkk. melaporkan konfirmasi diagnostik dilakukan melalui
kolonoskopi pada 4 pasien dan pembedahan

pada 11 pasien. Opaque enema CT scan dilaporkan dapat membantu menegakkan diagnosis lebih awal dengan sensitivitas sebesar
75%. Angiografi dapat mengonfirmasi diagnosis iskemia mesenterik dan membedakan
tipe oklusif atau non-oklusif.2,22,23 Pada pasien
dialisis peritoneal, jika ditemukan peningkatan amilase cairan dialisat >100 U/L, atau peritonitis polimikrobial, jamur, gram negatif yang
tidak membaik meski sudah mendapat terapi
antimikrobial yang sesuai, maka iskemia mesenterik perlu dipikirkan sebagai penyebab.2,23
Iskemia mesenterik biasanya ditata laksana
dengan reseksi daerah usus yang infark. Laparotomi eksplorasi juga berguna menentukan
diagnosis definitif jika diagnosis iskemia mesenterik belum tegak. Tindakan preventif
meliputi pencegahan ultrafiltrasi berlebih
dan koreksi keseimbangan cairan lebih awal
segera jika terdapat tanda bahaya seperti
nyeri abdomen akut. Mortalitas iskemia mesenterik sangat tinggi, berkisar 33%-73%. Penyebab utama kematian dini biasanya karena
perluasan lesi iskemik dan syok septik. Diagnosis dan tindakan pembedahan lebih dini
memperbaiki prognosis.2,22,23
6. Kelainan lain
Selain kelainan di atas, ada beberapa kelainan
gastrointestinal yang dapat terjadi pada PGK
yang menjalani dialisis peritoneal. Kelainan ini
tidak disebabkan oleh PGK sendiri, tetapi disebabkan oleh tindakan yang dilakukan untuk
tata laksana PGK tersebut.
Peritonitis merupakan infeksi serius pada
pasien dialisis peritoneal. Peritonitis Gramnegatif mempunyai prognosis yang lebih
buruk dibandingkan peritonitis Gram-positif,
dan peritonitis Gram-negatif, yang biasanya
disebabkan oleh bakteri enterik, sering mengindikasikan perforasi usus sehingga harus
dipikirkan kemungkinan adanya kelainan yang
mendasari seperti iskemia mesenterik akut,
kolesistitis, apendisitis dan divertikulitis.2,24
Divertikulosis adalah penyebab paling sering kebocoran saluran cerna pada pasien dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan.
Meskipun divertikulosis tidak terbukti lebih
sering ditemukan pada pasien dialisis peritoneal dibanding populasi umum, tetapi keberadaan divertikula >10, dengan ukuran >10
mm dan adanya divertikula di kolon asendens, transversum atau desendens dihubung-

505
7/8/2012 12:17:26 PM

TINJAUAN PUSTAKA
kan dengan peningkatan risiko peritonitis.
Hal ini menyebabkan pasien yang sering
mengalami episode divertikulitis dianggap
merupakan kontraindikasi relatif untuk dialisis
peritoneal.2,15,24
Encapsulating peritoneal sclerosis (EPS) adalah
komplikasi dialisis peritoneal yang jarang namun berpotensi mematikan. Komplikasi ini
diperkirakan terjadi pada 0-4,4% pasien dialisis peritoneal, dengan insidens >15% pada
pasien yang telah menjalani dialisis peritoneal
selama >15 tahun. Faktor risiko EPS antara
lain penggunaan obat penyekat beta, klorheksidin, dialisat mengandung asetat, penghentian terapi dialisis peritoneal/konversi dari
dialisis peritoneal ke hemodialisis, paparan
berkepanjangan terhadap dialisat yang mengandung glukosa konsentrasi tinggi, episode
peritonitis berulang, lamanya terapi dialisis
peritoneal, dan tidak adanya fungsi ginjal sisa.
Penyebab EPS diduga berhubungan dengan
mekanisme imunologik.2,25,26 Gejala dan tanda
EPS antara lain anoreksia, nausea, vomitus,
rasa cepat kenyang, nyeri abdomen, distensi
abdomen, penurunan berat badan, sindrom
obstruksi usus, konstipasi, dan diare. Peningkatan kadar petanda inflamasi di darah dapat
ditemukan tetapi tidak spesifik. Diagnosis sering ditegakkan melalui USG dan CT scan abdomen meskipun keduanya tidak sensitif dan
spesifik untuk EPS.2,25,26 Terapi imunosupresif
dengan prednisolon, azatioprin, dan mofetil
mikofenolat menurut beberapa laporan kasus

cukup efektif. Tamoxifen yang memiliki efek


fibrinolitik dilaporkan berguna dalam tata
laksana EPS. Pembedahan (enterolisis atau
adhesiolisis) dihubungkan dengan angka
mortalitas yang tinggi sehingga tidak direkomendasikan. Di Jepang, pemberian kortikosteroid dan pembedahan oleh ahli bedah berpengalaman memberikan hasil baik. Mortalitas
EPS sangat tinggi yaitu antara 20%-93%, dan
pada pasien yang menjalani dialisis peritoneal
selama >15 tahun, mortalitasnya 100%.2,25,26
7. Nekrosis kolon akibat resin penukar
ion
Kelainan lainnya adalah nekrosis kolon akibat
pemberian resin penukar ion. Sodium polystyrene sulfonate (SPS) merupakan resin penukar
ion yang biasa diberikan secara oral atau sebagai enema bersama dengan sorbitol untuk
mengatasi hiperkalemia. Sorbitol adalah suatu
laksatif osmotik yang biasanya ditambahkan
ke sediaan SPS untuk mengurangi risiko konstipasi. Meskipun secara umum SPS dapat
ditoleransi dengan baik, tetapi jika dikombinasikan dengan sorbitol, dapat menyebabkan
nekrosis saluran cerna. Berbagai literatur melaporkan kasus nekrosis ileum dan kolon akibat
pemberian SPS-sorbitol baik secara oral maupun rektal. Mekanismenya belum jelas, tetapi
sorbitol diketahui merupakan agen yang toksik terhadap mukosa saluran cerna, mungkin
dengan cara meningkatkan aktivitas prostaglandin. Faktor risikonya antara lain uremia,
hipovolemia, hipotensi, gangguan koagulasi,

imunosupresi, dan riwayat pembedahan yang


belum lama.2,27,28 Calcium polystyrene sulfonate
adalah resin penukar ion lain yang digunakan
untuk pasien yang menjalani restriksi natrium.
Seperti SPS, calcium polystyrene sulfonate juga
dapat menyebabkan nekrosis usus walaupun
tidak diberikan bersamaan dengan sorbitol.
Faktor risiko penting yang berperan adalah
ileus.28,29 Diagnosis ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab nekrosis usus lain dan
menemukan kristal resin penukar ion tersebut
di jaringan usus melalui pemeriksaan histopatologis. Untuk tindakan preventif, resin
penukar ion harus digunakan secara hati-hati;
penggunaannya bersamaan dengan sorbitol
atau bila ada perlambatan waktu transit usus
atau setelah tindakan pembedahan sebaiknya dihindari. Jika penggunaan enema SPSsorbitol tidak dapat dihindari maka sebelum
dan sesudahnya diberikan enema pembersih
untuk meminimalisir kontak sorbitol dengan
lumen usus.2,27,28,29
SIMPULAN
Gangguan gastrointestinal sering dijumpai
pada pasien PGK dan berhubungan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien
PGK. Patogenesisnya multifaktorial dan belum
semuanya diketahui. Meski belum ada pedoman diagnosis dan tata laksana yang baku.,
tetapi kelainan ini perlu mendapat perhatian.
Dengan tata laksana yang tepat, gangguan
gastrointestinal pada PGK dapat ditanggulangi.

DAFTAR PUSTAKA
1.

National Kidney Foundation. K/DOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease : evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis. 2002; 39 (2 Suppl 1) : S1-266.

2.

Shirazian S, Radhakrishnan J. Gastrointestinal disorders and renal failure: Exploring the connection. Available from www.medscape.org/viewarticle/724252. Diakses 30 Maret 2012.

3.

Dong R, Guo ZY. Gastrointestinal symptoms in patients undergoing peritoneal dialysis : Multivariate analysis of correlated factors. World J Gastroenterol 2010; 16 (22) : 2812-7. Available

4.

Strid H, Simren M, Johansson AC, Svedlund J, Samuelsson O, Bjornsson ES. The prevalence of gastrointestinal symptoms in patients with chronic renal failure is increased and associated

5.

Farsakh NAA, Roweily E, Rababaa M, Butchoun R. Evaluation of the upper gastrointestinal tract in uraemic patients undergoing haemodialysis. Nephrol Dial Transplant. 1996; 11:847-50.

from: http://www.wjgnet.com/1007-9327/full/v16/i22/2812.htm

with impaired psychological general well-being. Nephrol Dial Transplant. 2002; 17 : 1434-9

6.

Fiderkiewicz B, Rydzewska-Rosolowska A, Mysliwiec M, Birecka M, Kaczanowska B, Rydzewska G, dkk. Factors associated with irritable bowel syndrome symptoms in hemodialysis patients.
World J Gastroenterol 2011; 17(15): 1976-81. Available from : http://www.wjgnet.com/1007-9327/full/v17/i15/1976.htm

7.

Adachi H, Kamiya T, Hirako M, Misu N, Kobayashi Y, Shikano M dkk. Improvement of gastric motility by hemodialysis in patients with chronic renal failure. J Smooth Muscle Res. 2007; 43(5):
179-89.

8.

Evenepoel P, Meijers BK, Bammens BR, Verbeke K. Uremic toxins originating from colonic microbial metabolism. Kidney Int. 2009; 76 (Suppl 114), S12-S19.

9.

Abdulrahman IS, Al-Quorain AA. Prevalence of gastroesophageal reflux disease and its association with Helicobacter pylori infection in chronic renal failure patients and in renal transplant
recipients. Saudi J Gastroenterol 2008; 14(4): 183-6.

10. Kawaguchi Y, Mine T, Kawana I, Yasuzaki H, Kokuho T, Toya Y, dkk. Gastroesophageal reflux disease in chronic renal failure patients : evaluation by endoscopic examination. Tokai J Exp Clin
Med. 2009; 34(3):80-3.
11. Kawaguchi Y, Mine T, Kawana I, Yasuzaki H, Kokuho T, Toya Y, dkk. Gastroesophageal reflux disease in hemodialysis patients. Tokai J Exp Clin Med. 2009; 34(2):48-52.
12. Fallone CA, Maynard S. Gastroesophageal reflux and hyperacidity in chronic renal failure. Perit Dial Int. 2001; 21(Suppl 3):S295-S299.
13. Kawaguchi Y, Mine T, Kawana I, Yasuzaki H, Kokuho T, Toya Y, dkk. Role and clinical importance of Helicobacter pylori infection in hemodialysis patients. G Chir 2008;2 (3):81-4.

506
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 506

CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012

7/8/2012 12:17:26 PM

TINJAUAN PUSTAKA
14. Doherty CC. Peptic ulcer and chronic renal failure. Ulster Med J. 1979; 48: 145-54.
15. Saeed F, Agrawal N, Greenberg E, Holley JL. Lower gastrointestinal bleeding in chronic hemodialysis patients. Int J Nephrol. 2011; 2011:272535.
16. Kaaroud H, Ben Fatma L, Beji S, Boubaker K, Hedri H, Ben Hamida F. dkk. Gastrointestinal angiodysplasia in chronic renal failure. Saudi J Kidney Dis Transplant. 2008; 19(5): 809-12.
17. Wasse H, Gillen DL, Ball AM, Kestenbaum BR, Seliger SL, Sherrard D, dkk. Risk factors for upper gastrointestinal bleeding among end-stage renal disease patients. Kidney Int 2003; 64: 145561.
18. Bruno MJ, van Westerloo DJ, van Dorp WT, Dekker W, Ferwerda J, Tytgat GNJ, dkk. Acute pancreatitis in peritoneal dialysis and haemodialysis : risk, clinical course, outcome, and possible
aetiology. Gut 2000; 46: 385-9.
19. Lankisch PG, Webber-Dany B, Maisonneuve P, Lowenfels AB. Frequency and severity of acute pancreatitis in chronic dialysis patients. Nephrol Dial Transplant. 2008; 23: 1401-5.
20. Owyang C, Miller LJ, DiMagno EP, Mitchell III JC, Go VLW. Pancreatic exocrine function in severe human chronic renal failure. Gut 1982; 23: 357-61.
21. Schoenicke G, Grabensee B, Plum J. Dialisis with icodextrin interferes with measurement of serum -amylase activity. Nephrol Dial Transplant. 2002; 17: 1988-92.
22. Bassilios N, Menoyo V, Berger A, Mamzer MF, Daniel F, Cluzel P, dkk. Mesenteric ischemia in haemodialysis patients : a case/control study. Nephrol Dial Transplant. 2003; 18: 911-7.
23. Archodovassilis F, Lagoudiannakis EE, Tsekouras DK, Vlachos K, Albanopoulos K, Fillis K, dkk. Nonocclusive mesenteric ischemia : a lethal complication in peritoneal dialysis patients. Perit
Dial Int. 2007; 27: 136-41.
24. Yip T, Tse KC, Lam MF, Cheng SW, Lui SL, Tang S.dkk. Colonic divertikulosis as a risk factor for peritonitis in Chinese peritoneal dialysis patients. Perit Dial Int. 2010; 30: 187-91.
25. Brown MC, Simpson K, Kerssens JJ, Mactier RA. Encapsulating peritoneal sclerosis in the new millennium : a national cohort study. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4: 1222-9.
26. Lafrance JP, Letourneau I, Ouimet D, Bonnardeaux A, Leblanc M, Mathieu N, dkk. Successful treatment of encapsulating peritoneal sclerosis with immunosuppressive therapy. Am J Kidney
Dis. 2008; 51(2): e7-e10.
27. Trottier V, Drolet S, Morcos MW. Ileocolic perforation secondary to sodium polystyrene sulfonate in sorbitol use : a case report. Can J Gastroenterol. 2009; 23(10): 689-90.
28. Joo M, Bae WK, Kim NH, Han SR. Colonic mucosal necrosis following administration of calcium polystyrene sulfonate (kalimate) in a uremic patient. J Korean Med Sci. 2009; 24: 1207-11.
29. Goutorbe P, Montcriol A, Lacroix G, Bordes J, Meaudre E, Souraud JB. Intestinal necrosis associated with orally administered calcium polystyrene sulfonate without sorbitol. Anns Pharmacother. 2011; 45: e13.

CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012

CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 507

507
7/8/2012 12:17:27 PM

Anda mungkin juga menyukai