Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN PUSTAKA

IKAKOM I
TUKAK
Puskesmas Pataruman 2, Kota Banjar, Jawa Barat

Oleh:
GHAIDA AMANI
NIDM: 26.12 1015 2012

PEMBIMBING:
dr. Devi Utari

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


UNIVERSTAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016

Daftar Isi
DAFTAR ISI......................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................2
1. Latar Belakang Masalah........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................4
1.1. Anatomi dan Fisiologi....................................................................................4
1.2. Definisi...........................................................................................................5
1.3. Epidemiologi...................................................................................................5
1.4. Etiologi...........................................................................................................6
1.5. Patogenesis.....................................................................................................8
1.6. Gejala Klinis...................................................................................................9
1.7. Diagnosis......................................................................................................10
1.8. Diagnosis Banding........................................................................................11
1.9. Penatalaksanaan............................................................................................12
1.10........................................................................................................Komplikasi
BAB III KESIMPULAN.................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21

19

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Tukak peptik masih merupakan masalah kesehatan yang penting. Tukak peptik
insidennya cukup tinggi di Amerika Serikat, dengan 4 juta penduduk terdiagnosis setiap
tahunnya. Sekitar 20-30 % dari prevalensi tukak ini terjadi akibat pemakaian Obat Anti Inflamasi
Non Steroid (OAINS) terutama yang nonselektif. OAINS digunakan secara kronis pada
penyakit-penyakit yang didasari inflamasi kronis seperti osteoathritis. Pemakaian kronis ini
semakin meningkatkan risiko terjadi tukak peptik.
Tukak peptik atau tukak peptik adalah defek mukosa gastrointestinal (GI) yang meluas
sampai ke mukosa otot yang terjadi di esofagus, lambung atau duodenum (Brashers, 2003).
Walaupun telah banyak ditemukan obat anti tukak, tukak lambung tetap menjadi penyebab dari
5000 kematian/tahun di Amerika Serikat (Kumar et al., 2009). Data WHO menyebutkan
kematian akibat tukak lambung di Indonesia mencapai 0,99 persen yang didapatkan dari angka
kematian 8,41 per 100,000 penduduk. Pada tahun 2005-2008, tukak lambung menempati urutan
ke-10 dalam kategori penyebab kematian pada kelompok umur 45-54 tahun pada laki-laki
menurut BPPK Depkes pada tahun 2008 (Aditya Kafi, 2014). Tingginya angka kematian tersebut
disebabkan oleh komplikasi tukak lambung, yaitu perforasi dan perdarahan. Perforasi sering
diakibatkan oleh konsumsi obat anti inflamasi non steroid (OAINS) yang berlebihan (Hill, 2001).
Orang tua juga lebih rentan terhadap perdarahan hebat akibat konsumsi OAINS (Kenny, 2014).
Tukak lambung sering diakibatkan gaya hidup yang tidak baik, seperti pola makan yang buruk,
konsumsi OAINS, dan stress (Sofidiya et al., 2012).
Risiko tukak lambung dan tukak duodenum berkisar antara 11%-30% pada pasien dengan
asupan OAINS harian (Brashers, 2003). Penelitian pada tahun 1975 menunjukkan bahwa 52%
(32 orang) dari 61 orang dengan tukak lambung mengonsumsi aspirin sebanyak 15 tablet atau
lebih dalam satu minggu (Cameron,1975). Aspirin bekerja menghambat sintesis prostaglandin
yang bersifat sitoprotektif terhadap mukosa lambung (Sofidiya et al., 2012). Gejala klinik tukak
lambung cenderung tidak spesifik pada kasus-kasus sederhana (Anand, 2012). Pemeriksaan
laboratorium rutin pun tidak dapat membantu diagnosis tukak lambung yang tidak memiliki

komplikasi, sehingga diagnosisnya bergantung pada pemeriksaan radiologi dan endoskopi


(Anand, 2012). Dengan demikian, tukak lambung yang belum memiliki komplikasi sukar
didiagnosis. Pemberian paparan eksogen yang berlebihan seperti kortikosteroid, AINS dan kafein
dapat memicu terjadinya tukak lambung. Lambung memiliki mekanisme penyembuhan tukak
sendiri. Mekanisme ini merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan migrasi sel,
proliferasi, reepitelisasi, angiogenesis dan deposisi matriks yang selanjutnya akan membentuk
jaringan parut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di
bawah diafragma.Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk-J dan bila
penuh berbentuk seperti buah pir raksasa.Kapasitas normal lambung adalah 1 sampai 2 L.
Secara anatomis lambung terbagi atas fundus,korpus,dan antrum pilorikum atau pilorus.
Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri bawah
lambung terdapat kurvatur mayor. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur
pengeluaran dan pemasukan yang terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus
bawah,mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi
lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter
kardia

dikenal

dengan

nama

daerah

kardia.

Disaat

sfingter

pilorikum

terminal berelaksasi,makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontriksi


sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam lambung.
Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar merupakan
bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis menyatu pada
kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke hati,membentuk
omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu organ ke organ lain disebut
sebagai ligamenteum. Jadi omentum minus (disebut juga ligamentum hepatogastrikum
atau hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati.
Pada kurvatura mayor, peritoneum terus ke bawah membentuk omentum majus, yang
menutupi usus halus dari depan seperti sebuah apron besar (Sylvia, 2005).
Tukak peptik adalah luka terbuka yang terdapat dibagian dalam lapisan perut,
bagian atas usus kecil, atau esofagus, merupakan satu penyakit yang biasa dialami oleh
kebanyakan orang, tetapi kini penemuan baru membuktikan bahwa puncak kebanyakan
tukak peptik di perut dan di bagian atas usus kecil (duodenum) adalah jangkitan kuman
atau obat-obatan dan bukannya stres atau diet.

2.2. Definisi
Tukak didefinisikan sebagai kerusakan integritas mukosa lambung dan/atau
duodenum yang menyebabkan terjadinya inflamasi lokal (Valle, 2005). Disebut tukak
apabila robekan mukosa berdiameter 5 mm kedalaman sampai submukosa dan
muskularis mukosa atau secara klinis tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau
lapisan lebih dalam dengan diameter 5 mm yang dapat diamati secara endoskopis atau
radiologis. Robekan mukosa < 5 mm disebut erosi, dimana nekrosis tidak sampai ke
muskulari mukosa dan submukosa.
Tukak peptik merujuk kepada penyakit di saluran pencernaan bagian atas yang
disebabkan oleh asam dan pepsin. Spektrum penyakit tukak peptik adalah luas meliputi
kerusakan mukosa, eritema, erosi mukosa dan tukak (Tarigan,2001).
2.3. Epidemiologi
Berdasarkan jenisnya, tukak dibagi menjadi tukak gaster dan tukak duodeni. tukak
gaster tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi berbeda tergantung pada sosial,
demografi, dijumpai lebih banyak pada pria meningkat pada usia lanjut dan kelompok
sosial ekonomi rendah dengan puncak pada dekade keenam. Di Britania Raya sekitar 620% penduduk menderita tukak pada usia 55 tahun, sedangkan prevalensinya 2-4%. Di
USA ada 4 juta pasien gangguan asam-pepsin, prevalensi 12% pada pria dan 10%
perempuan dengan angka kematian pasien 15.000 pertahun dan menghabiskan dana $10
Milyar/tahun.
Ecara klinis tukak duodeni lebih sering di jumpai dari pada tukak gaster. Pada
beberapa Negara seperti jepang dijumpai lebih banyak tukak gaster daripada tukak
duodeni. pada autopsi tukak gaster dan duodeni dijumpai hampir sama banyak, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor. Tukak gaster ukuran lebih besar dan lebih menonjol,
sehingga pada pemeriksaan autopsi lebih sering/mudah dijumpai dibandingkan tukak
duodeni.
Pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas terhadap 1615 pasien
dengan dyspepsia kronik pada Subbagian Gasteroenterologi RS Pendidikan di Makassar
ditemukan prevalensi TD sebanyak 14%, umur terbanyak antara usia 45-65 tahun dengan

kecenderungan makin tua umur, prevalensi makin meningkat dengan perbandingan antara
laki-laki dan perempuan 2:1 (Tarigan, 2001).
2.4. Etiologi
Penyebab paling sering terjadinya tukak peptik adalah:
1.

Infeksi Helicobacter pylori


Sebagian besar tukak lambung terjadi dengan adanya asam dan pepsin
ketika Helicobacter pylori mengganggu pertahanan mukosa dan mekanisme
penyembuhan. Hipersekresi asam adalah mekanisme patogenik yang utama pada
tingkat Hypersecretory seperti Zollinger-Ellison syndrome (ZES). Infeksi
Helicobacter pylori dapat menyebabkan gastritis kronik yang menginfeksi semua
individu. Semua kasus tukak duodenum serta 2/3 dari kasus tukak lambung
diperkirakan berhubungan dengan Helicobacter pylori. Lokasi tukak berkaitan
dengan sejumlah factor etiologi. Tukak lambung ringan dapat terjadi dimana saja
diperut, meskipun sebagian besar terletak di lengkung kecil (Lesser curvature) dan
mukosa lambung bagian antral. Proses transmisi Helicobacter pylori dari orang ke
orang melalui tiga jalur yaitu fecal-oral, oral-oral dan iatrogenic. Transmisi fecaloral dapat terjadi secara langsung dengan menginfeksi seseorang dan tidak
langsung melalui kontaminasi pada makanan atau minuman akibat tangan yang
tidak bersih setelah menyentuh fecal. Transmisi oral-oral merupakan rute karena
Helicobacter pylori telah diisolasi dari lubang mulut. Transmisi secara iatrogenic
yaitu terinfeksi karena menggunakan alat seperti endoskopi.

2.

Penggunaan NOnSteroidal Anti-Inmamatory Drugs (NSAIDs)


Di Amerika, NSAIDs yang tidak selektif merupakan salah satu obat yang
sering diresepkan untuk pasien berumur 60 tahun keatas. Angka kejadian yang
sangat besar akibat penggunaan NSAIDs (termasuk aspirin) jangka panjang berupa
gangguan saluran GI. Menggunakan NSAIDs dan infeksi Helicobacter pylori
adalah faktor risiko independen untuk penyakit tukak lambung. Resikonya adalah 5
sampai 20 kali lebih tinggi pada orang yang menggunakan NSAIDs dibandingkan
dengan yang tidak menggunakan. 3-4,5% kejadian tukak peptik pada pasien yang
6

mengalami arthritis

karena penggunaan NSAIDs

dan 1,5% diantaranya

berkembang serius menjadi komplikasi (perdarahan saluran cerna, perforasi dan


obstruksi). Berikut golongan obat NSAIDs Non Selektif yang dapat menyebabkan
tukak peptik:

Faktor risiko dari penggunaan NSAIDs yang dapat menginduksi terjadi


tukak di saluran cerna dan komplikasinya. Komplikasi dapat meningkat pada pasien
yang punya riwayat pernah mengalami tukak dan perdarahan GI. Kejadian tukak
dan komplikasinya berhubungan dengan penggunaan dosis NSAIDS, meskipun
digunakan dosis rendah misalnya dosis aspirin 81-325mg/hari untuk kardioprotektif
dapat menginduksi tukak.

3.

Stress Psikologis
Stress psikologis menjadi faktor penting patogenesis terjadinya PUD yang
kontroversial, namun hasil uji coba gagal membuktikan antara penyebab dan akibat
terjadinya PUD. Kemungkinan emosional pada stress yang memicu perilaku untuk
merokok dan menggunakan NSAID, sehingga hal ini yang dapat menyebabkan
tukak. Bagaimana stress dapat menyebabkan PUD kemungkinan dipengaruhi
banyak faktor.

4.

Kebiasaan Merokok
Kemungkinan mekanisme yang terjadi akibat merokok sehingga dapat
menginduksi terjadinya PUD adalah penghambatan pengosongan lambung,
penghambatan sekresi bikarbonat dari pankreas, memicu refluks duodenogastric
dan mengurangi produksi Prostaglandin (PG). Meskipun merokok dapat
meningkatkan sekresi asam lambung tapi efeknya tidak konsisten. Merokok dapat
menyebabkan seeorang lebih mudah terinfeksi HP.

5.

Faktor Diet dan Penyakit Lain


Kedua faktor ini belum ada mekanisme patofisiologi yang pasti, beberapa
minuman seperti kopi dan teh (mengandung kafein), cola, bir, dan susu dapat
menyebabkan dyspepsia tapi tidak meningkatkan resiko PUD. Kafein dapat
menstimulasi sekresi asam lambung dan alkohol dapat menyebabkan kerusakan
mukosa lambung serta perdarahan GI bagian atas, tapi tidak ada bukti cukup yang
menunjukkan bahwa alkohol dapat menyebabkan tukak. Pasien dengan penyakit
kronik seperti cystic fibrosis, pancreatitis kronik, coronary artery disease dapat
meningkatkan tukak pada duodenal (Joseph DiPiro, dkk, 2008).

2.5. Patogenesis
Tukak peptik dapat disebabkan oleh sekresi asam lambung dan pepsin yang
berlebihan oleh mukosa lambung, atau berkurangnya kemampuan sawar mukosa
gastroduodenalis untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks asam-pepsin
(Guyton dan Hall, 2007). Secara normal sawar begitu resisten terhadap difusi ion
hidrogen, bahkan ion hidrogen berkonsentrasi tinggi dari cairan lambung, rata-rata sekitar
100.000 kali konsentrasi ion hidrogen dalam plasma, jarang berdifusi bahkan melalui
8

lapisan epitel yang paling tipis dalam epitel lambung sendiri. Jika epitel lambung rusak,
ion hidrogen kemudian akan berdifusi ke dalam epitel lambung, mengakibatkan
kerusakan tambahan dan menimbulkan suatu lingkaran setan kerusakan dan atrofi
progresif mukosa lambung. Peristiwa ini juga mengakibatkan mukosa lambung rentan
terhadap pencernaan peptida, sehingga terbentuk tukak yang lebih hebat (Guyton dan
Hall, 2007).
Insiden tukak peptik yang jauh lebih rendah pada wanita tampaknya menunjukkan
pengaruh kelamin. Telah diduga bahwa obat-obatan tertentu seperti aspirin, alkohol,
indometasin, fenil butazon dan kortikosteroid mempunyai efek langsung terhadap mukosa
lambung dan menimbulkan tukak. Obat lain, seperti kafein akan meningkatkan
pembentukan asam. Stres emosi dapat juga memegang peranan dalam patogenesis tukak
peptik, dengan meningkatkan pembentukan asam sebagai akibat perangsangan vagus
(Wilson dan Lindseth, 2005).
Fungsi Sphincter pilorus yang abnormal mengakibatkan refluks empedu dan
dianggap merupakan mekanisme patogenetik timbulnya tukak lambung. Empedu
mengganggu sawar mukosa lambung, menyebabkan gastritis dan peningkatan kepekaan
terhadap pembentukan tukak (Wilson dan Lindseth, 2005).
Selain itu, adanya infeksi H. pylori dapat menghancurkan sawar mukosa
gastroduodenale sehingga terjadi difusi balik asam-pepsin lewat mukosa yang terluka dan
berkembang menjadi tukak (Guyton dan Hall, 2007).
2.6. Gambaran Klinis
Timbulnya rasa nyeri atau perih bilamana lambung dalam keadaan kosong, timbul
keluhan perut rasa penuh dan bertambah berat setelah makan. Bisanya rasa mual
bertambah berat dan diikuti dengan muntah-muntah. Yang dimuntahkan adalah yang
dimakan tadi, diikuti dengan sisa-sisa makanan yang berwarna hitam. Serangan nyeri
hebat mungkin timbul dengan periode peristaltik lambung. Bilamana penderita tidak
segera minta tolong, maka lambung makin membesar, lama kelamaan nyeripun
berkurang, tetapi rasa penuh di perut tetap ada yang disertai dengan rasa mual, dan
muntah-muntah pun berkurang. Berat badan penderita menurun, demikian pula
bertambah lemah, yang juga timbul konstipasi (Robbins dan Kumar, 2004).
9

Gejala klasik dari tukak peptik adalah nyeri. Pada tukak lambung, rasa sakit
timbul 30-90 menit sesudah makan, dan pada tukak duodenum, 2-3 jam sesudah makan.
Makanan kecil yang tidak mengiritasi dan yang terus menerus dimakan dalam selang
waktu yang pendek dapat mengurangi nyeri. Dengan pengobatan biasanya rasa sakit
menghilang dalam 10 hari, tetapi proses penyembuhan berlangsung 1-2 bulan (Wilson
dan Lindseth, 2005).
Secara umum pasien tukak gaster mengeluh dispepsia. Dispepsia adalah suatu
sindrom atau kumpulan keluhan beberapa penyakit saluran cerna seperti, mual, muntah,
kembung, nyeri ulu hati, sendawa atau terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati, dan
cepat merasa kenyang (Tarigan, 2001).
2.7. Diagnosis
Anamnesis berharga dalam mencurigai tukak lambung, tetapi tidak khas seperti
pada tukak duodeni. Dua metode utama untuk diagnosis adalah pemeriksaan barium dan
endoskopi (McGuigan, 2000). Pemeriksaan barium dengan menggunakan barium sulfat
dalam cairan atau suspensi yang ditelan. Mekanisme menelan dapat secara langsung
dilihat dengan fluoroskopi, atau gambaran sinar-X dapat direkam dengan menggunakan
teknik pengambilan gambar bergerak (sinematografi) (Wilson dan Lindseth, 2005).
Gambaran endoskopi dapat berupa eritematous atau eksudatif, erosi-flat, erosi raised,
atrofi, hemoragik, refluks atau hiperplasi rugae (Akil, 2014). Tukak lambung biasanya
dikenali dengan pemeriksaan barium dengan ketepatan kira-kira 80%. Tukak lambung
yang berhubungan dengan NSAID sering kali lebih superficial dan kurang sering dikenali
secara radiografik. Baik tukak lambung yang jinak maupun yang ganas lebih sering pada
kurvatura minor dari pada kurvatura mayor. Radiasi lipatan mukosa lambung dari
pinggiran kawah tukak memberi kesan lebih jinak. Tukak lambung yang besar, yaitu yang
berdiameter lebih besar dari 3 cm lebih sering ganas dari pada yang lebih kecil. Tukak
dalam suatu massa seperti ditentukan secara radiogenik juga memberi kesan keganasan.
Kira-kira 4% tukak lambung yang tampaknya jinak secara radiologik terbukti ganas
(dengan biopsi endoskopik atau pada operasi) (McGuigan, 2000).
Upaya penegakan diagnosis tukak peptik yang lain adalah dengan pemeriksaan H.
pylori sebagai penyebab utama seharusnya diperiksa sebelum memberikan pengobatan.
10

Pemeriksaan H. pylori dapat dilakukan secara invasif atau non invasif. Cara invasif
dengan endoskopi sekaligus dilakukan biopsi mukosa pada lambung atau duodenum,
pemeriksaan histopatologis (golden standard) dengan pewarnaan Warthin-Starry,
Hematoxylin Eosin (HE), Giemsa (jaringan difiksasi dalam larutan formalin 10% atau
dengan larutan Carnoy). Cara non invasif dengan urea breath test yang memiliki
sensitivitas 90-95% dan specifitas 98-99%, tes serologis dengan kits untuk mengukur
antibody IgA, dan tes deteksi DNA sebagai teknik biologi molekuler (Akil, 2014).
2.8. Diagnosis Banding
Diferensial diagnosis tukak peptik:
1. Dispepsia non tukak
Terdapat 5 jeis dispepsia non tukak:

Tipe refluks: keluhan yag khas ialah rasa tidak eak atau terbakar di daerah
abdomen atas.

Tipe dismotilitas: Keluhannya berupa penumpukan gas, kembung, rasa


penuh, cepat kenyang, mual terutama pagi hari, kadang-kadang sampai
muntah.

Tipe ulkus: Gejalanya menyerupai tukak peptik, misalnya terbangun malam


hari karena nyeri, nyeri berkurang setelah makan atau minum antasida,
serangan nyeri hilang timbul, lokasi rasa tidak enak epigastrium dapat
ditunjukkan dengan satu atau dua jari.

Tipe aerofagia: Keluhannya sering kembung, bersendawa, dan penderita


tampak sering melakukan gerakan menelan dan meneguk udara. Timbulnya
keluhan paling sering setelah makan. Keadaan ini mungkin erat kaitannya
dengan kondisi kejiwaan.

Tipe idiopatik: gambaraya tidak khas seperti keempat tipe di atas.


2. Dispepsia fungsional
Dispepsia fungsional dapat dijelaskan sebagai keluhan dispepsia yang telah
berlangsung dalam beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan atau gangguan
struktural/organik/metabolik berdasarkan pemeriksaan klinik, laboratorium, radiology
11

dan endoskopi. Dalam konsensus Roma II, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai
dispepsia yang berlangsung sebagai berikut : sedikitnya terjadi dalam 12 minggu, tidak
harus berurutan dalam rentang waktu 12 minggu terakhir, terus menerus atau kambuh
(perasaan sakit atau ketidaknyamanan) yang berpusat di perut bagian atas dan tidak
ditemukan atau bukan kelainan organik (pada pemeriksaan endoskopi) yang mungkin
menerangkan gejala-gejalanya.
Gambaran klinis dari dispepsia fungsional adalah riwayat kronik, gejala yang
berubah-ubah, riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsive dengan obatobatan dan dapat juga ditunjukkan letaknya oleh pasien, dimana secara klinis pasien
tampak sehat.
3. Gastero esophageal reflux disease (GERD)
Gejalaya meliputi: rasa terbakar di dada (heartburn), kadang-kadang menyebar
sampai ke tenggorokan, bersama dengan rasa asam di mulut, nyeri dada, kesulitan
menelan (disfagia), batuk kering, suara serak dan/atau sakit tenggorokan, rasa tidak
nyaman di tenggorokan, regurgitasi (mual-muntah) makanan atau cairan asam lambung.
4. Penyakit gasteroduodenal crohns.
Penyakit Crohn adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan pada
bagian saluran pencernaan manapun dimulai dari mulut sampai dengan anus. Penyakit
Crohn umumnya mengenai ileum, bagian bawah dari usus halus. Penyakit Crohn
Gastroduodenal mengenai lambung dan duodenum.
2.9. Penatalaksanaan
1.

Non Farmakologi
a.

Istirahat
Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila
kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap.
Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap walaupun mekanismenya
belum

jelas,

kemungkinan

oleh

bertambahnya

jumlah

istirahat,

berkurangnya refluks empedu, stress, dan penggunaan analgetik. Stress dan


kecemasan memegang peran dalam peningkatan asam lambung dan
penyakit tukak (Tarigan, 2001).
12

b.

Diet
Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung
susu tidak lebih baik dari pada makanan biasa, karena makanan halus akan
merangsang pengeluaran asam. Cabai, makanan yang merangsang, makanan
mengandung asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien,
walaupun

belum

didapat

bukti

keterkaitannya.

Beberapa

peneliti

menganjurkan makanan biasa lunak, tidak merangsang dan diet seimbang


(Tarigan, 2001).
Merokok

menghalangi

penyembuhan

tukak

gaster

kronik,

menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus


duodeni, menambah refluks duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus
sekaligus meningkatkan kekambuhan tukak (Tarigan, 2001).
2.

Farmakologi
Beberapa obat yang termasuk anti tukak:
a.

Antasida
Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan rasa
sakit dan obat dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung
secara lokal. Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan
diare sedangkan alumunium menyebabkan konstipasi dan kombinasi
keduanya saling menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan
konstipasi (Tarigan, 2001).

b.

Histamine-2 Receptor Antagonist


Empat antagonis H2 yang beredar di USA adalah: simetidin,
ranitidin, famotidin, dan nizatidin. Kerja antagonis reseptor H2 yang paling
penting adalah mengurangi sekresi asam lambung. Obat ini menghambat
sekresi asam yang dirangsang histamin, gastrin, obat-obat kolinomimetik
dan rangsangan vagal. Volume sekresi asam lambung dan konsentrasi pepsin
juga berkurang (Katzung, 2002). Mekanisme kerjanya memblokir histamin
13

pada reseptor H2 sel pariental sehingga sel pariental tidak terangsang


mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel (Tarigan, 2001).
Simetidin, ranitidin dan famotidin kecil pengaruhnya terhadap fungsi otot
polos lambung dan tekanan sfingter esophagus yang lebih bawah. Sementara
terdapat perbedaan potensi yang sangat jelas diantara efikasinya
dibandingkan obat lainnya dalam mengurang sekresi asam. Nizatidin
memacu aktifitas kontraksi asam lambung, sehingga memperpendek waktu
pengosongan lambung (Katzung, 2002).
Efek samping sangat kecil antara lain agranulasitosis, ginekomastia,
konfusi mental khusus pada usia lanjut, dan gangguan fungsi ginjal dijumpai
terutama pada pemberian simetidin. Simetidin sebaiknya jangan diberikan
bersama warfarin, teofilin, siklokarpon, dan diazepam (Tarigan, 2001).
c.

Proton Pump Inhibitor


Inhibitor pompa proton merupakan prodrug, yang memerlukan
aktivasi di lingkungan asam (Pasricha dan Hoogerwefh, 2006). Mekanisme
kerjanya adalah memblokir kerja enzim K+/H+ATP-ase yang akan
memecah K+/H+ATP. Pemecahan K+/H+ATP akan menghasilkan energi
yang digunakan untuk mengeluarkan asam dan kanalikuli sel pariental
kedalam lumen lambung (Tarigan, 2001). Inhibitor pompa proton memiliki
efek yang sangat besar terhadap produksi asam. Omeprazol juga secara
selektif

menghambat

karbonat

anhidrase

mukosa

lambung,

yang

kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat suspensi asamnya (Pasricha


dan Hoogerwefh, 2006).
d.

Obat Penangkal Kerusakan Mukus


a) Koloid Bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan
bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya terhadap
rangsangan pepsin dan asam. Obat ini mempunyai efek penyembuhan
hampir sama dengan H2RA serta adanya efek bakterisidal terhadap H.
14

pylori sehingga kemungkinan relaps berkurang. Efek samping tinja


berwarna kehitaman sehingga timbul keraguan dengan perdarahan
(Tarigan, 2001).
b) Sukralfat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam,
hidrolisis protein mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut
berkontribusi terhadap terjadinya erosi dan ulserasi mukosa. Protein ini
dapat dihambat oleh polisakarida bersulfat. Selain menghambat
hidrolisis protein mukosa oleh pepsin, sukralfat juga memiliki efek
sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi produksi lokal prostaglandin
dan faktor pertumbuhan epidermal. Karena diaktivasi oleh asam, maka
disarankan agar sukralfat digunakan pada kondisi lambung kosong, satu
jam sebelum makan, selain itu harus dihindari penggunaan antasid
dalam waktu 30 menit setelah pemberian sukralfat. Efek samping
konstipasi, mual, perasaan tidak enak pada perut (Pasricha dan
Hoogerwefh, 2006).
c) Analog Prostaglandin: Misoprostol
Mekanisme kerjanya mengurangi sekresi asam lambung
menambah sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran
darah mukosa (Tarigan, 2001). Efek samping yang sering dilaporkan
diare dengan atau tanpa nyeri dan kram abdomen. Misoprostol dapat
menyebabkan eksaserbasi klinis (kondisi penyakit yang bertambah
parah) pada pasien yang menderita penyakit radang usus, sehingga
pemakaiannya

harus

dihindari

pada

pasien

ini.

Misoprostol

dikontraindikasikan selama kehamilan, karena dapat menyebabkan


aborsi akibat terjadinya peningkatan kontraktilitas terus. Sekarang ini
misoprostol telah disetujui penggunaanya oleh United States Food and
Drug Administration (FDA) untuk pencegahan luka mukosa akibat
NSAID (Pasricha dan Hoogerwefh, 2006).

15

e.

Regimen Terapi
Terapi yang diginakan menggunakan kombinasi antibiotik yang
dikombinasi dengan proton pump inhibitor (PPI) dan histamine-2 receptor
antagonist (H2RA). Antibiotik berguna untuk eradikasi H. pylori karena
penyebab utama tukak peptik adalah H. pylori. Penggunaan PPI dan H2RA
untuk mengurangi sekresi asam lambung yang berlebihan pada tukak peptik
(Akil, 2014).
Pilihan pertama untuk terapi adalah menggunakan Proton pump
inhibitor sebagai dasar terapi 3 obat selama minimal 7 hari, tetapi lebih
dianjurkan selama 10 sampai 14 hari. Terapi menggunakan PPI dan H2RA
direkomendasikan pada pasien yang memiliki resiko tinggi komplikasi
tukak, pasien yang gagal dalam eradikasi H. pylori (Berardy dan Lynda,
2005).
Bismuth sebagai dasar terapi 4 obat merupakan pilihan pertama
untuk terapi eradikasi H. pylori. Eradikasi dilakukan selama 14 hari, jika
lama terapi ini sampai 1 bulan tidak akan efektif ntuk eradikasi H. pylori.
Meskipun terapi ini digunakan sebagai pilihan pertama, tetapi terapi ini juga
dapat digunakan untuk terapi pilihan kedua, ketika kegagalan terapi
menggunakan PPI sebagai dasar obat (Berardy dan Lynda, 2005).
Berkurangnya nyeri epigastrik harus dimonitor dengan seksama
yang merupakan bagian terapi pada pasien dengan infeksi H. pylori atau
NSAID induced ulcers. Umumnya nyeri tukak berkurang dalam beberapa
hari ketika NSAID tidak digunakan dan dengan 7 hari inisiasi terapi anti
tukak (Berardy dan Lynda, 2005).
Pengguna NSAID jangka panjang memiliki 2% sampai 4% risiko
berkembangnya ulser simtomatik, perdarahan GI atau bahkan perforasi.N
SAID dihentikan sama sekali dan atau diganti dengan inhibitor COX-2
selektif. Meskipun terus menggunakan NSAID, penyembuhan dapat
dilakukan dengan menggunakan obat-obat pensupresi asam, biasanya
dengan dosis yang lebih tinggi dan durasi yang jauh lebih lama (8 minggu).
16

PPI mempunyai efek yang lebih baik daripada H2RA dan misoprostol dalam
mendorong tukak aktif, juga mencegah kekambuhan tukak (Berardy dan
Lynda, 2005).
Tabel 1. Regimen Terapi H. Pylori
Obat 1
Obat 2
Obat 3
Obat 4
Proton pump inhibitor sebagai dasar terapi 3 obat (terapi
triple)

Omeprazol 20
mg
2xsehari, atau
Lansoprazol
30mg
2xsehari, atau
Pantoprazol
40mg
2xsehari, atau
Esomeprazol
40mg
1xsehari, atau
Rabeprazol 20
mg
2xsehari

Clarithromycin
500
mg 2 x sehari

Amoxicillin 1
g2x
sehari, atau
Metronidazol
500
mg 2 x sehari

Bismuth sebagai dasar terapi 4 obat (terapi quadruple)

Omeprazol 40
mg 2x sehari,
atau
Lansoprazol 30
mg 2 x sehari,
atau
Pantoprazol 40
mg 2 x sehari,
atau
Esomeprazol
40 mg 1 x
sehari, atau
Rabeprazol 20
mg 1x sehari

Bismuth
subsalisilat
525 mg 4 x
sehari

Metronidazol
250500 mg 4
x sehari

Tetracyclin 500
mg 4 x sehari,
atau
Amoxicillin
500 mg 4 x
sehari, atau
Clarithromycin
250500 mg 4
x
Sehari

(Berardy and Lynda, 2005)

Tabel 2. Regimen Terapi digunakan Untuk Pengobatan Tukak Peptik


17

Obat

Pengobatan tukak
lambung
atau tukak duodenum
(mg/dosis)

Proton pump
inhibitor
Omeprazol
Lansoprazol
Rabeprazol
Pantoprazol
Esomeprazol
H2-receptor
antagonists
Simetidin
Famotidin
Nizatidin
Ranitidin
Penangkal kerusakan
mukosa
Sukralfat (g/dosis)

Perawatan tukak
lambung
atau tukak
duodenum
(mg/dosis)

20-40 sehari
15-30 sehari
20 sehari
40 sehari
20-40 sehari

20-40 sehari
15-30 sehari
20 sehari
40 sehari
20-40 sehari

300 4 x sehari
400 2 x sehari
800 menjelang tidur
20 2 x sehari
40 menjelang tidur
150 2 x sehari
300 menjelang tidur
150 2 x sehari
300 menjelang tidur
1 (4 x sehari)
2 (2 x sehari)

400-800 menjelang
tidur
20-40 menjelang
tidur
150-300 menjelang
tidur
150-300 menjelang
tidur
1-2 (2 x sehari)
1 (4 x sehari)

(Berardy and Lynda, 2005)


f.

Tindakan Operasi
Prosedur operasi yang dilakukan pada penyakit tukak gaster adalah
antrektomi atau gastrektomi parsial. Pada gastrektomi distal sekitar 20-50%
lambung disekresi (20% bila seluruh antrum dibuang, 50% seluruh antrum
dan sebagian korpus dibuang). Tindakan operasi gaster yang lain saat ini
jarang dilakukan akibat kemajuan terapi farmakologi dan eradikasi kuman
H. pylori (Tarigan, 2001).

2.10.

Komplikasi

18

Tukak dapat berkomplikasi pada perdarahan. Pendarahan berlaku pada 15-20%


pasien tukak peptik. Perdarahan adalah komplikasi tersering pada tukak peptik yaitu pada
dinding posterior bulbus duodenum, karena pada tempat ini dapat terjadi erosi arteria
pankreatikaduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Dikatakan 25% daripada kematian
akibat tukak peptik adalah disebabkan komplikasi pendarahan ini (Kumar, 2005).
Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah perforasi di lambung sehingga
menyebabakan terjadinya peritonitis. Perforasi terjadi pada 5% pasien tukak peptik.
Diagnosis dipastikan melalui adanya udara bebas dalam rongga peritoneal, dinyatakan
sebagai bulan sabit translusen antara bayangan hati dan diafragma.
Pada tukak juga dapat berkomplikasi menjadi obstruksi. Tukak prepilorik dan
duodeni bisa menimbulkan gastric outlet obstruction melalui terbentuknya fibrosis atau
oedem dan spasme. Mual dan kembung setelah makan merupakan gejala-gejala yang
sering timbul. Apabila obstruksi bertambah berat dapat timbul nyeri dan muntah (Kumar,
2005).

19

BAB III
KESIMPULAN

Tukak peptik adalah penyakit yang merupakan gangguan lambung. tukak peptik terjadi
karena ketidakseimbangan antara faktor agresif (pepsin dan asam lambung) dengan factor
protektif. Penyebab paling sering terjadinya ulkus peptik adalah Infeksi Helicobacter Pylori,
Penggunaan NonSteroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAIDs), Infeksi Helicobacter pylori,
Penggunaan NSAID Non Selektif, Faktor Diet dan Penyakit Lain.

20

Daftar Pustaka
Aditya Kafi. (2014). File Jadi Propolis terhadap Tukak Lambung. Dipetik November 2014, dari
Scribd: http://www.scribd.com/doc/180975518/File-Jadi-Propolis-Terhadap-TukakLambung
Akil, H.A.M., 2014. Tukak Duodenum. In: Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M.,
Setyohadi, B., and Syam, A.F. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing.
Anand, B. (2012, June 7). Peptic Ulcer Disease. Dipetik January 2014, dari Medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/181753-overview
Berardi R.R., Welage L.S. 2005. Peptic Ulcer Disease. In Dipiro J.T., Talbert R.L., Yee G.C.,
Matzke G.R., Wells B.G., Posey L.M. ed: Pharmacotherapy a Pathophysiologic
Approach. 6thed. USA: McGraw-Hill Companies.
Brashers, V. L. (2003). Aplikasi Klinis Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku. Kedokteran EGC
Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC
Hill, A. G. (2001). Management of Perforated Duodenal Ulcer. Dalam R. G. Holzheimer, & J.A.
Mannick (Penyunt.) , Surgical Treatment: Evidence-Based and Problem-Oriented.
Munich: W.Zuckschwerdt Verlag GmbH
Hoogerwerf, W.A., & Pasricha, P.J., 2006. Pharmacotherapy of gastric acidity, peptic ulcers,
and gastroesophageal reflux disease. In: Brunton, L.L., Lazo, J.S., Parker, K.L.
J, C. A. (1975). Aspirin and Gastric Ulcer. Mayo Clinic
Joseph DiPiro, Robert L.Talbert, Gary Yee, Gary Matzke, Barbara Wells, L.Michael Posey et al.
Pharmacotherapy: A Phatophysiology Approach. 7th ed. Columbus: McGraw-Hill
Company; 2008.
Kumar, Abbas, & Fausto. (2005). Pathologic basis of disease. (7th Ed.). Philadelphia: Elsevier
Saunders
Kumar, V., Abbas, A. K., & Fausto, N. (2009). Dasar Patologis Penyakit. Jakarta: EGC
Katzung, B. G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi II. Jakarta, Salemba Medika
Lindseth, G.N., 2005. Gangguan Usus Besar. In: Huriawati, H., Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit.Edisi ke-6. Jakarta: EGC
Lyda J. 2002. Padua Belajar Keperawatan Emergecy. Jakarta: EGC
21

McGuigan, J.E. 2000, Ulkus Peptikum dan Gastritis, Dalam Isselbacher, K.J., Braunwald, E.,
Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci, A.S., Kasper, D.L. (Eds.), Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam, EGC, Jakarta, Ed. 2
Pangarapen Tarigan. 2001. Tukak Gaster. Dalam: Slamet Suyono, editors: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Robbins dan Kumar. 2004. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Alih Bahasa Brahm U. EGC ; Jakarta.
Sofidiya, M. O., Agufobi, L., Akindele, A. J., Olowe, J. A., & Familoni, O. B. (2012). Effect of
Flabellaria paniculata Cav. Extracts on Gastric Ulcer in Rats. Complementary &
Alternative Medicine.
Sylvia A.Price,Lorraine M.Wilson.Patofisiologi : Konsep Ktahap s Proses-Proses Penyakit 1st
ed.Jakarta: EGC; 2005.
Valle J.D., 2005, Harrison Principle of Internal Medicine 16th Ed. [e-book], USA: McGraw Hill.

22

Anda mungkin juga menyukai