Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam skenario 2 Blok Kardiovaskuler terdapat seorang anak laki-laki umur 10 tahun
diantar ke Puskesmas mengalami keluhan sering batuk pilek dan

cepat lelah. Dalam

anamnesis didapatkan anak tersebut lahir prematur, bila menangis tidak kebiruan, nafsu
makan sedikit terganggu, dan tumbuh kembang dalam batas normal serta saat balita pernah
didiagnosis menderita kelainan jantung oleh dokter anak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 90 x/menit, inspeksi dada tampak normal, pada
palpasi iktus cordis teraba di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri dan tidak teraba
thrill, pada perkusi ditemukan batas jantung di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis
kiri, pada auskultasi jantung terdengar bising pansistolik dengan punctum maximum SIC IVV parasternal kiri. Pada ekstremitas tidak terlihat jari-jari tabuh dan sianosis. Pemeriksaan
hematologik rutin normal. Pemeriksaan EKG menunjukkan axis ke kiri, Left Ventricle
Hyperthropy (LVH) dan Left Atrium Hyperthropy (LAH). Pada pemeriksaann foto thorax
didapatkan CTR 0,60 dan apex cordis bergeser ke lateral bawah. Oleh dokter puskesmas
merujuk pada dokter spesialis.
Pada pembelajaran KBK-PBL (Kurikulum Berbasis Kompetensi Problem Based
Learning), skenario dalam tutorial diharapkan dapat menjadi trigger atau pemicu untuk
mempelajari ilmu-ilmu dasar biomedis dan klinik sesuai dengan sasaran pembelajaran yang
sudah ditetapkan. Sasaran pembelajaran yang telah ditentukan antara lain: embriologis
jantung, patogenesis dan patofisiologi gejala, tanda dan hasil pemeriksaan fisik dan
penunjang pada pasien, proses penegakan diagnosis pasien pada skenario.
Berdasarkan hal di atas, penulis berusaha untuk mencapai dan memenuhi sasaran
pembelajaran tersebut selain melalui tutorial tetapi juga melalui penulisan laporan ini.
Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran mahasiswa yang
bersangkutan dan bahan evaluasi sejauh mana pencapaian sasaran pembelajaran yang sudah
didapatkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses embriologis jantung?
2. Bagaimana pathogenesis dan patofisiologi dari gejala, tanda dan hasil pemeriksaan
fisik dan penunjang pada pasien?
3. Apa kemungkinan diagnosis atau diagnosis banding pada pasien?
C. Tujuan Penulisan
1. Tercapainya sasaran pembelajaran yang telah ditetapkan pada skenario 2.
1 | Laporan Tutorial Skenario 2 Galih Herlambang

2. Mampu menjelaskan dan memahami sasaran pembelajaran skenario 2.


D. Manfaat Penulisan
Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran
mahasiswa untuk mencapai sasaran pembelajaran yang sudah ditetapkan dan sebagai tolak
ukur tercapaiannya sasaran pembelajaran tersebut.
E. Skenario
Seorang anak laki-laki umur 10 tahun diantar ke Puskesmas dengan keluhan sering
batuk pilek, cepat lelah. Menurut cerita ibunya, anak tersebut lahir prematur, bila menangis
tidak kebiruan. Nafsu makan sedikit terganggu, tumbuh kembang dalam batas normal. Pada
saat balita pernah diperiksakan ke dokter anak dan dinyatakan mempunyai kelainan jantung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan data: tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi
90x/menit. Pada inspeksi dinding dada tampak normal. Pada palpasi iktus kordis teraba di
SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri, tidak teraba thrill. Pada perkusi batas jantung
di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri. Pada auskultasi jantung terdengar bising
pansistolik dengan punctum maximum SIC IV-V parasternal kiri. Pada ekstremitas tidak
terlihat jari-jari tabuh dan sianosis.
Pada pemeriksaan hematologic rutin normal. Pemeriksaan EKG menunjukkan axis ke
kiri, LVH, LAH. Pemeriksaan thorax foto: CTR 0,60, apex bergeser ke lateral bawah. Oleh
dokter Puskesmas merujuk pada dokter spesialis.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada anak tersebut?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Embriologis Jantung
Pembentukan Sekat-Sekat Jantung
Sekat jantung utama terbentuk antara hari ke-27 dan ke-37 perkenbanga embrio ketika
mengalami pertumbuhanpanjang dari 5 mm hingga kurang lebih 16-17 mm. Salah satu cara
pembentukan sekat antara lain adalah dua massa jenis jaringan yang sedang tumbuh aktif
saling mendekat hingga menjadi satu, dengan demikian membagi lumen menjadi dua saluran
terpisah. Sekat seperti itu dapat pula terbentuk karena pertumbuhan aktif satu massa sel saja
yang terus meluas hingga mencapai sisi lumen diseberangnya. Pembentukan massa-massa
jaringan semacam itu tergantung pada sintesis dan deposisi matriks-matriks ekstraseluler dan
proliferasi sel. Massa tersebut dikenal sebagai bantalan-bantalan endokardium yang tumbuh
2 | Laporan Tutorial Skenario 2 Galih Herlambang

di daerah atrioventrikuler dan konotrukal. Dilokasi-lokasi ini mereka membentuk


pembentukan sekat atrium dan ventrikel (bagian membranosa), saluran atrioventrikularis, dan
pembuluh darah aorta dan pulmonalis.
Pada akhir minggu keempat, suatu rigi berbentuk bulan sabit tumbuh dari atap atrium
komunis ke dalam lumen. Rigi ini dianggap sebagai bagian pertama dari septum primum.
Kedua kaki sekat ini meluas ke arah bantalan endokardium di dalam kanalis
atrioventrikularis. Lubang antara tepi bawah septum primum dan bantalan-bantalan
endokardium adalah ostium primum. Dalam perkembangan selanjutnya, perluasan bantalanbantalan endokardium superior dan inferior tumbuh di sepanjang tepi septum primum,
dengan demikian berangsur-angsur menutup ostium primum. Akan tetapi, sebelum penutupan
tersebut sempurna, kematian sel menghasilkan lubang-lubang pada septum primum. Jika
lubang-lubang itu bergabung menjadi satu, terbentuklah ostium sekundum, dengan demikian
tetap terdapat aliran darah yang bebas dari atrium primitif kanan ke kiri.
Ketika lumen atrium kanan meluas akibat menyatunya kornu sinus, timbullah suatu
lipatan baru berbentuk bulan sabit. Lipatan baru ini, yaitu septum sekundum tidak pernah
membentuk septum pemisah yang sempurna di dalam rongga atrium. Kaki depannya meluas
ke bawah kea rah sekat di dalam kanalis atrioventrikularis. Ketika katup kiri vena dan septum
primum menyatu dengan sisi kanan septum sekundum, tepi konkaf septum sekundum yang
bebas mulai menutupi ostium sekundum. Lubang yang ditinggalkan oleh septum sekundum
disebut foramen ovale. Jika bagian atas septum primum berangsur-angsur menghilang, bagian
yang tertinggal menjadi katup foramen ovale. Jalan di antara kedua rongga atrium terdiri atas
sebuah celah memanjang yang miring dan darah dari atrium kanan mengalir ke sisi kiri
melalui celah ini. Setelah lahir, ketika peredaran darah paru-paru mulai bekerja dan tekanan
di dalam atrium kiri meningkat, katup foramen ovale tertekan ke septum sekundum, dengan
demikian menutup foramen ovale dan menyekat atrium kanan dan kiri.
Pada akhir minggu keempat, dua bantalan mesenkim, yaitu bantalan endokardium
atrioventrikularis, Nampak pada tepi atas dan bawah kanalis atrioventrikularis. Pada
mulanya, kanalis atrioventrikularis hanya bermuara pada ventrikel kiri primitive dan
dipisahkan dari bulbus kordis oleh lipatan bulbo (kono)ventrikularis. Tetapi menjelang akhir
minggu kelima, ujung belakang lipatan ini berakhir hamper di tengah-tengah di sepanjang
dasar bantalan endokardium superior dan jauh kurang menonjol daripada sebelumnya. Oleh
karena kanalis strioventrikularis meluas kea rah kanan, darah yang melalui orifisium
atrioventrikularis kini langsung masuk ke dalam ventrikel kiri primitive di samping ke
ventrikel kanan primitive. Selain bantalan endokardium inferior dan superior, tampak dua
bantalan lain yaitu bantalan atrioventrikularis lateralis, di tepi kanan dan kiri kanalis
3 | Laporan Tutorial Skenario 2 Galih Herlambang

atrioventrikularis. Sementara itu, bantalan-bantalan endokardium atas dan bawah makin


menonjol ke dalam lumen dan akhirnya saling menyatu, menyebabkan kanalis
atrioventrikularis benar-benar terpisah menjadi orifisium atrioventrikularis kanan dan kiri
pada akhir minggu ke kelima.
Setelah
bantalan-bantalan

endokardium

bersatu,

masing-masing

orifisium

atrioventrikularis dikelilingi oleh proliferasi setempat jaringan mesenkim. Ketika jaringan


yang terletak di atas permukaan ventricular jaringan yang berproliferasi ini menjadi berongga
dan menipis karena aliran darah terbentuklah katup-katup yang tetap menempel pada dinding
ventrikel melalui tali-tali otot. Akhirnya, jaringan otot di dalam tali-tali ini berdegenerasi dan
digantikan oleh jaringan pengikat padat. Katuo-katup ini kemudian terbentuk dari jaringan
pengikat yang dibungkus oleh endokardium dan dihubungkan ke trabekula-trabekula tebal di
dinding ventrikel, yakni musculi papillares, dengan bantuan chorda tendineae. Dengan cara
ini, terbentuklah dua daun katup di kanalis atrioventrikularis kiri, yaitu katup bicuspid atau
mitral, dan tiga buah di sisi kanan, yaitu katup tricuspid.
Menjelang akhir minggu keempat, kedua ventrikel primitif mulai mengembang
dikarenakan pertumbuhan terus menerus miokardium pada sisi luar dan divertikulasi yang
terus berlangsung serta pembentukan trabekula di sisi dalam. Dinding medial ventrikel yang
meluas tersebut lalu berhimpit dan berangsur-angsur bersatu sehingga membentuk septum
interventrikularis pars muskularis. Kadang-kadang, penyatuan antara kedua dinding ini tidak
sempurna, yang Nampak sebagai celah di apex cordis yang agak dalam di antara kedua
ventrikel. Ruangan di antara tepi bebas septum interventrikularis pars muskularis dan
bantalan-bantalan endokardium yang menyatu memungkinkan terjadinya hubungan antar
kedua ventrikel.
Foramen interventrikukaris yang ditemukan di bagian atas bagian muskularis septum
interventrikularis menjadi mengecil dengan lenyapnya sekat konus. Pada perkembangan
selanjutnya, penutupan foramen terjadi karena pertumbuhan keluar jaringan dan bantalan
endokardium bawah di sepanjang puncak septum interventrikularis pars muskularis. Jaringan
ini menyatu dengan bagian-bagian sekat tonus yang berbatasan.

Setelah penutupannya

sempurna, foramen interventrikularis menjadi septum interventrikularis menjadi septum


interventrikularis pars membranaceae.
Ketika pembagian truncus arteriosus hamper selesai, bakal katup semilunaris mulai
tampak sebagai tonjolan-tonjolan kecil. Tonjolan tersebut terdapat pada rigi trunkus utama
dan salah satu dari masing-masing pasangan dibentuk di saluran aorta dan saluran
pulmonalis. Berhadapan dengan rigi trunkus yang menyatu tersebut, terdapat sebuah tonjolan

4 | Laporan Tutorial Skenario 2 Galih Herlambang

ketiga saluran tersebut. Berangsur-angsur tonjolan tersebut menjadi berongga pada


permukaan atasnya sehingga terbentuk valvula semilunaris (Sadler, 1997).
B. Curah Jantung
Curah jantung (cardiac output) adalah volume darah yang dipompa keluar oleh tiaptiap ventrikel per menit. Selama periode waktu tertentu, volume darah yang mengalir melalui
sirkulasi paru ekuivalen dengan volume yang mengalir melalui sirkulasi sistemik. Dua faktor
penentu curah jantung adalah kecepatan denyut jantung (denyut per menit) dan volume isi
sekuncup (volume darah yang dipompa per denyut). Kecepatan denyut jantung rata-rata
adalah 70 kali per menit, yang ditentukan oleh irama nodus SA (sinoatrialis), sedangkan
volume sekuncup rata-rata adalah 70 ml per denyut, sehingga curah jantung rata-rata adalah
4.900 ml/menit atau mendekati 5 liter/menit (Sherwood, 2001).
Kecepatan denyut jantung terutama ditentukan oleh pengaruh otonom pada nodus SA.
Nodus SA merupakan komponen sistem konduksi jantung sebagai pemacu (pace maker)
karena memiliki kecepatan depolarisasi spontan tertinggi. Jantung dipersarafi oleh sistem
otonom yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis dimana kedua persarafan ini memiliki
efek yang berlawanan. Saraf parasimpatis ke jantung oleh saraf vagus, terutama
mempersarafi atrium, terutama nodus SA dan nodus AV. Persarafan parasimpatis pada
ventrikel tidak signifikan. Stimulasi parasimpatis akan mengurangi frekuensi denyut jantung
dan dominan dalam keadaan istirahat yang menyebabkan denyut jantung 60-80 kali per
menit. Saraf-saraf simpatis jantung juga mempersarafi atrium, termasuk nodus SA dan nodus
AV, serta banyak mempersarafi ventrikel. Efek stimulasi simpatis akan mempercepat denyut
jantung (Debeasi, 2005; Sherwood, 2001).
Volume sekuncup merupakan jumlah darah yang dipompa oleh tiap-tiap ventrikel
dalam sekali berdenyut (Sherwood, 2001). Volume sekuncup dipengaruhi oleh tiga variable,
yaitu: beban awal (preload), beban akhir (afterload), dan kontraktilitas jantung. Beban awal
merupakan derajat peregangan serabut miokardium segera sebelum kontraksi atau beban
kerja yang diberikan ke jantung sebelum kontraksi dimulai. Beban awal ini tergantung pada
volume darah yang meregangkan ventrikel pada akhir diastolik yang lebih sering disebut
sebagai volume akhir diastolik (end diastolic volume, EDV) yang mana hal ini juga
dipengaruhi oleh aliran balik vena ke jantung. Apabila terjadi peningkatan volume aliran
balik vena maka akan terjadi peningkatan volume akhir diastolic yang kemudian akan
memperkuat peregangan serabut miokardium. Hubungan antara volume akhir diastolic dan
volume sekuncup ini sering diungkapkan melalui mekanisme Frank-Starling yang
menyatakan bahwa dalam batas fisiologis semakin besar peregangan serabut miokardium
5 | Laporan Tutorial Skenario 2 Galih Herlambang

pada akhir diastolic (EDV meningkat) maka semakin besar kekuatan kontraksi pada saat
sistolik sehingga akan meningkatkan volume sekuncup. Peregangan serabur miokardium
pada akhir diastolic menyebabkan tumpang tindih antara miofilamen aktin dan myosin,
memperkuat hubungan jembatan silang pada saat sistolik (Debease, 2005).

Selain itu,

peregangan pada akhir diastolic akan meningkatkan sensitivitas miofilamen terhadap


kalsium. Secara ringkas, pertambahan beban awal akan meningkatkan kekuatan kontraksi
sampai batas tertentu, dan dengan demikian juga akan meningkatkan volume darah yang
dikeluarkan dari ventrikel.
Beban akhir (preload) adalah tegangan serabut miokardium yang harus terbentuk
untuk kontraksi dan pemompaan darah. Faktor-faktor yang mempengaruhhi beban akhir
dapat dijelaskan dalam persamaan Laplace:
Tegangan dinding = tekanan intraventrikuler
Ketebalan dinding

radius

Persamaan di atas menunjukkan bila tekanan intraventrikuler maupun ukuran ventrikel


meningkat maka akan terjadi peningkatan tegangan dinding ventrikel. Selain itu, tegangan
dinding mempunyai hubungan berbanding terbalik terhadap ketebalan dinding sehinga
apabila ketebelan dinding meningkat maka akan menurunkan tegangan dinding.
Kontraktilitas merupakan perubahan kekuatan kontraksi yang terbentuk yang terjadi
tanpa tergantung pada perubahan panjang serabut miokardium. Peningkatan kontraktilitas
merupakan hasil intensifikasi hubungan jembatan silang pada sarkomer. Kekuatan interaksi
ini berkaitan dengan konsentrasi ion Ca2+ bebas intrasel. Kontraksi miokardium secara
langsung berbanding lurus dengan jumlah konsentrasi kalsium intrasel. Peningkatan frekuensi
denyut jantung dapat meningkatkan kekuatan kontraksi. Apabila jantung berdenyut lebih
sering atau meningkat, kalsium tertimbun dalam sel jantung, menyebabkan peningkatan
kekuatan kontraksi (Debease, 2005).
C. Defek Septum Ventrikel (Ventricular Septal Defect, VSD)

VSD merupakan kelainan jantung bawaan (kongenital) berupa terdapatnya lubang


pada septum interventrikuler yang menyebabkan adanya hubungan aliran darah antara
ventrikel kanan dan kiri. Secara normal lubang tersebut akan menutup selama akhir minggu
keempat massa embrio. Lubang tersebut dapat hanya satu atau lebih yang terjadi akibat
kegagalan fusi septum interventrikuler semasa janin dalam kandungan. VSD merupakan
penyakit kelainan bawaan yang paling sering ditemukan sekitar 30,5 % (Ghanie, 2006).
Klasifikasi VSD berdasarkan pada lokasi lubang, yaitu: 1) perimembranous (tipe paling
sering, 60%) bila lubang terletak di daerah pars membranaceae septum interventricularis, 2)
6 | Laporan Tutorial Skenario 2 Galih Herlambang

subarterial doubly commited, bial lubang terletak di daerah septum infundibuler dan sebagian
dari batas defek dibentuk oleh terusan jaringan ikat katup aorta dan katup pulmonal, 3)
muskuler, bial lubang terletak di daerah septum muskularis interventrikularis (Rilantono,
2003; Ghanie, 2006).
Adanya lubang pada septum interventrikularis memnungkian terjadinya aliran darah
dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan oleh karena gradien tekanan sehingga aliran darah ke
paru bertambah. Gambaran klinis tergantung dari besarnya defek dan aliran darah (shunt)
serta besarnya tahanan pembuluh darah paru. Apabila defek kecil atau restriktif tidak tampak
adanya gejala (asimptomatik). Pada defek kecil gradien tekanan ventrikel kiri dan kanan
sebesar > 64 mmHg, tekanan sistolik ventrikel kanan dan resistensi pulmonal normal. Pada
defek moderat dengan restriksi gradien tekanan ventrikel kiri dan kana berkisar 36 mmHg,
resistensi pulmonal dan tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat namun tidak melebihi
tekanan sistemik. Pada keadaan ini, ukuran ventrikel kiri dan atrium kiri dapat membesar
akibat bertambahnya beban volume. Defek besar non-restriktif akan ditandai dengan tekanan
systole ventrikel kanan dan ventrikel kiri sama sehingga terjadi penurunan aliran darah dari
kiri ke kanan, bahkan dapat terjadi aliran darah dari kanan ke kiri. Pada keadaan ini
memberikan keluhan seperti sesak napas dan cepat capek serta sering mengalami batuk dan
infeksi saluran napas berulang. Hal ini mengakibatkan

gangguan pertumbuhan. Dalam

perjalanannya, beberapa VSD dapat menutup secara spontan (tipe perimembranous dan
muskuler), terjadi hipertensi pulmonal, hipertrofi infundibuler, atau prolaps katup aorta yang
dapat disertai regurgitasi (tipe subarterial dan perimembranous) (Rilantono, 2003).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan bising holosistolik (pansistolik) yang
terdengar selama fase sistolik, keras, kasar di atas tricuspid di sela iga 3-4 parasternal kiri
menyebar sepanjang parasternal dan apex cordis (Purwaningtyas, 2009). Bising ini sudah
dapat terdengar selama defek VSD kecil (Ghanie, 2006). Bising mid-diastolik dapat didengar
di apex cordis akibat aliran berlebihan. Pada VSD sering bersifat non-sianotik kecuali apabila
terjadi eisenmengerisasi (terjadi aliran shunt kanan ke kiri). pada penderita VSD dengan
aliran shunt yang besar bias any terlihat takipneu, aktivitas ventrikel kiri meningkat dan dapat
teraba thrill sistolik (Rilantono, 2003). Apabila terjadi aliran shunt dari kanan ke kiri dengan
defek besar akan tampak stenosis dengan jari-jari tabuh (clubbing of finger). Pada defek
cukup besar dapat terjadi komplikasi berupa stenosis infundibuler, prolaps katup aorta,
insufiensi

aorta,

hipertensi

pulmonal

dan

gagal

jantung

(Purwaningtyas,

2009).

Pada pemeriksaan foto thorax didapatkan kardiomegali dengan pembesaran ventrikel


kiri., vaskularisasi paru meningkat (plethora) dan bila terjadi penyakit vaskuler paru tampak
7 | Laporan Tutorial Skenario 2 Galih Herlambang

pruned tree (seperti pohon tanpa ada cabang-cabangnya), disertai penonjolan a. pulmonal
(Rilantono, 2003; Purwaningtyas, 2009). Pada elektrokardiogram dapat ditemukan hipertrofi
ventrikel kiri dan mungkin hipertrofi atrium kiri. bila terdapat hipertrofi kedua ventrikel dan
deviasi sumbu QRS ke kanan maka perlu dipikirkan adanya hipertensi pulmonal atau
hipertrofi infundibulum ventrikel kanan (Rilantono, 2003). Dengan ekokardiografi M-mode
dapat ditemukan dimensi ventrikel kiri, atrium dua dimensi untuk menentukan ukuran dan
lokasi defek Doppler dan berwarna, menentukan arah dan besarnya aliran yang melewati
defek (Purwaningtyas, 2009).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario terdapat anak-anak usia 10 tahun dengan keluhan sering batuk pilek,
cepat lelah. Anak tersebut lahir prematur dan bila menangis tidak tampak kebiruan. Nafsu
makan sedikit terganggu dan tumbuh kembang dalam batas normal. Pada saat balita pernah
dinyatakan mempunyai kelainan jantung oleh dokter anak. Keluhan di atas terutama batuk
pilek dan cepat lelah kemungkinan disebabkan oleh adanya aliran paru yang cukup besar
pada kelainan jantung bawaan dimana hal ini juga didukung oleh adanya riwayat kelainan
jantung yang pernah didiagnosis pada anak tersebut. Namun kondisi di atas tidak mungkin
disebabkan oleh keadaan demam reumatik akut dikarenakan tidak ditemukan baik gejala
mayor (poliartritis, karditis, eritema marginatum, chorea, dan nodul subkutaneus) maupun
gejala minor (atralgia, suhu tinggi, reaksi fase akut) demam reumatik (Purwaningtyas, 2009).
Menurut Purwaningtyas (2009), penyakit jantung bawaan (kongenital) dapat diklasifikasikan
berdasarkan ada tidaknya sianosis. Pada penyakit jantung bawaan non-sianotik digolongkan
menjadi dua bagian, hipertrofi ventrikel kanan dan hipertrofi ventrikel kiri atau hipertrofi
biventrikuler. Pada pasien ditemukan kemungkinan peningkatan vaskularisasi paru (ditandai
oleh adanya batuk,pilek dan cepat lelah) dan pemeriksaan fisik ditemukan hipertrofi ventrikel
kiri maka dapat ditentukan beberapa diagnosis banding yang menyebabkan hipertrofi
ventrikel kiri dan peningakatan vaskularisasi paru, diantaranya: defek septum atrium primer
(ASD primer), defek septum ventrikel (VSD) dan duktus arteriosus persisten (Purwaningtyas,
2009). ASD Primer, sesak napas dan rasa capek sering merupakan keluhan awal, demikian
juga pula dengan infeksi napas yang berulang. Hal ini hampir sama seperti keluhan pasien
skenario ini, akan tetapi pada penyakit ini pemeriksaan fisik akan didapatkan wide fixed
splitting bunyi jantung II (walaupun tidak selalu ada), bising sistolik tipe injeksi pada daerah
pulmonal, bising mid diastolik pada daerah trikuspid, pada pemeriksaan EKG menunjukkan
8 | Laporan Tutorial Skenario 2 Galih Herlambang

axis ke kanan (menunjukkan adanya pembesaran atrium dan ventrikel kanan) (Ghanie, 2006).
Pembesaran ruang jantung kiri (ventrikel dan atrium kiri) akan terjadi apabila derajat
penyakit sudah parah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil tekanan darah 120/80 mmHg (normal usia 915 tahun sebesar 85-125/50-80 mmHg), denyut nadi 90 x/menit (normal usia 8-12 tahun
sekitar 55-115 x/menit) (IDAI, 1994). Hasil pemeriksaan tersebut tergolong normal. Pada
inspeksi dinding dada tampak normal. Pada palpasi iktus kordis teraba di SIC V 2 cm lateral
linea medioklavikularis kiri dan tidak ada thrill. Hasil pemeriksaan ini tergolong normal
dimana iktus kordis teraba pada tempat yang normal dan tidak ditemukan thrill yang
merupakan getaran karena adanya bising jantung dengan derajat IV (Wasyanto, 2009). Pada
perkusi batas jantung didapatkan di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri. Batas
jantung kiri normal dapat ditemukan pada kurang lebih 1-2 cm di sebelah medial linea
medioklavikularis kiri dan bergeser 1 cm ke medial pada sela iga 4 dan 3 (Ariningrum (ed),
2009). Sehingga batas jantung pada pasien dapat dikatakan normal. Pada auskultasi jantung
didapatkan bising pansistolik dengan punctum maximum SIC IV-V parasternal kiri. Bising
pansistolik adalah bising jantung yang terdengar sepanjang sistole dan disebabkan oleh aliran
darah di antara dua ruangan dengan perbedaan tekanan yang sangat besar pada sistole. Bising
pansistolik akan mulai terdengar mulai bunyi jantung 1 sampai akhir bunyi jantung II (IDAI,
1994). Bising ini lazim ditemukan pada regurgitasi mitral, VSD, dan stenosis aorta. Namun,
bising jantung tersebut kemungkinan bukan akibat stenosis aorta di mana kelainan ini pada
auskultasi lebih sering didapatkan bising ejeksis sistolik kasar di SIC II-III kanan
(Purwaningtyas, 2009). Selain itu,

pada pemeriksaan fisik akan ditemukan paradoxical

splitting pada bunyi jantung II (Dimattia, 2006; Purnomo, 2003) dan pulsus parvus et tardus
(Purnomo, 2003). Pada auskultasi akan didapatkan diamond shaped murmur sistolik, pada
pasien dewasa muda akan terdengar bunyi ejeksi sistolik (klik) pada apeks dan akan tampak
gambaran dilatasi post aortic stenosis pada foto rontgen dada (Purnomo, 2003). Kelainan
Insufisiensi Mitral (Mitral Regurgitation) mempunyai bising yang khas yang merupakan
tanda utama kelainan ini, yaitu bising holosistolik/pansistolik yang meliputi bunyi jantung I
sampai bunyi jantung II, murmur ini biasanya bersifat blowing akan tetapi juga bisa bersifat
kasar (Manurung, 2006). Punctum maximum bising tersebut terdengar di apex cordis dan
menjalar ke aksila (Manurung, 2006). Hal ini berbeda dengan hasil pemeriksaan fisik di
skenario di mana punctum maximum bising pansistolik-nya terletak di SIC IV-V parasternal
kiri, sedangkan apex crodis terletak di SIC IV-V linea midclavicularis kiri (Budianto, 2003).

9 | Laporan Tutorial Skenario 2 Galih Herlambang

Pada ekstremitas tidak terlihat jari-jari tabuh dan sianosis. Jari-jari tabuh (clubbing of
finger) merupakan deformitas yang ditimbulkan karena proliferasi jaringan lunak sekitar
phalanx terminal dari tangan atau kaki. Hal ini disebabkan oleh adanya hipoksia yang akan
merangsang pembentukan kapiler-kapiler darah yang diikuti oleh pembentukan jaringan ikat.
Sianosis adalah warna kebiruan pada kulit dan membrane mukosa akibat konsentrasi Hb
tereduksi lebih dari 5gr% (IDAI, 1994). Sianosis dapat dibedakan menjadi dua, sianosis tepi
dan sianosis sentral. Sianosis tepi disebabkan oleh terdapatnya ambilan oksigen yang
berlebihan oleh jaringan atau adanya hambatan transportasi oksigen ke dalam sel/jaringan.
Hal ini akan lebih tampak pada daun telinga, ujung jari, pada aderah sirkumoral, dan ujung
hidung. Sianosis sentral terjadi akibat saturasi oksigen arteri yang rendah. Walaupun sianosis
ini dapat terlihat pada seluruh permukaan tubuh namun akan tampak jelas terlihat pada
mukosa bibir, lidah, dan konjungtiva. Hal ini dikarenakan daerah tersebut memiliki perfusi
yang baik (IDAI, 1994). Sianosis pada kelainan jantung sering ditemukan apabila terdapat
aliran shunt dari kanan ke kiri.
Pemeriksaan hematologi rutin pasien normal. Pemeriksaan ini kemungkinan berupa
pemeriksaan hematokrit dan saturasi oksigen untuk mengetahui ada tidaknya sianosis serta
pemeriksaan laju endap darah dan C-reactive protein (CRP) yang akan mendukung diagnosis
demam reumatik. Pada demam reumatik akut akan ditemukan hasil pemeriksaan
laboratorium LED dan CRP meningkat (IDAI, 1994; Leman, 2006; Purwaningtyas, 2009).
Pada pemeriksaan EKG didapatkan axis ke kiri, left ventricular hyperthropy (LVH) dan left
atrial hyperthropy (LAH). Hasil ini menunjukkan adanya pembesaran pada bagian jantung
kiri. LVH dan LAH sering ditemukan pada VSD dan dapat ditemukan pada patent ductus
arteriosus (PDA) (Purwaningtyas, 2009). Hipertrofi ini dapat disebabkan oleh beban
hemodinamik sebagai kompensasi jantung dengan mekanisme Frank-Starling untuk
meningkatkan pembentukan jembatan silang aktin-miosin, meningkatkan massa otot untuk
menghadapi beban tambahan, dan menggunakan mekanisme neurohormonal untuk
meningkatkan kontraktilitas. Sesuai dengan hukum Laplace, beban tekananan pada otot
jantung yang menetap dan dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan serabut otot
akan bertambah tebal dan massa otot bertambah. Sarkomer-sarkomer yang tersusun paralel
menyebabkan pelebaran miosit dan menghasilkan bentuk remodelling hipertrofi konsentrik
(penambahan rasio tebal dinding dibagi ukuran ruang). Beban volume keadaan seperti
regurgitasi aorta dan regurgitasi mitral menyebabkan sarkomer bereplikasi secara serial dan
menyebabkan penambahan volume ventrikel. Bentuk remodelling yang dihasilkan adalah
hipertrofi eksentrik (pembesaran ruang dengan penurunan rasio tebal dinding dibagi ukuran
10 | Laporan Tutorial Skenario 2 Galih Herlambang

ruang). Bentuk ini merupakan awal kompensasi jantung untuk mempertahankan volume
sekuncup (Sanjaya dan Soerianata, 2004).
Pada pemeriksaan foto thoraks didapatkan CTR 0,60 dan apex cordis bergeser ke
lateral bawah. Apabila nilai CTR kurang dari 0,5 jantung dianggap tidak membesar, bila lebih
dari 0,5 dianggap membesar (Prasodjo, 2008). Apex cordis bergeser ke lateral atau lateral
bawah maka hal ini bisa dikemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri (Rachman, 2003).
Sehingga pemeriksaan ini sejalan dengan pemeriksaan EKG yang didapatkan hasil LVH dan
LAH.
Berdasarkan hal di atas, kemungkinan diagnosis pasien adalah defek septum ventrikel
(VSD). Adanya kesamaan hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada kasus di skenario
dengan hasil pemeriksaan yang biasa didapatkan pada penderita VSD inilah, yang menjadi
alasan mengapa penulis mendiagnosis bahwa anak pada skenario tersebut kemungkinan
menderita VSD. Untuk mengetahui diagnosis pasti pada pasien perlu dilakukan adanya
katerisasi jantung. Penatalaksanaan oleh dokter puskesmas pasien dirujuk ke dokter spesialis
untuk mengetahui diagnosis pasti dan penatalaksanaan yang tepat.

Daftar Pustaka
Ariningrum, Dian. 2009. Buku Manual Skills Lab: Pemeriksaan Fisik Sistem Kardiovaskuler.
Edisi Pertama. Surakarta: Skills Lab Fakultas Kedokteran UNS.
Budianto (ed). 2003. Guidance to Anatomy II Edisi Pertama (Revisi). Surakarta: Keluarga
Besar Asisten Anatomi FKUNS.
DeBease LC. 2006. Fisiologi Sistem Kardiovaskular. In Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. alih bahasa
Bhram U. Pendit et.al, editor edisi bahasa Indonesia Huriawati Hartanto et.al. Jakarta:
EGC.
Dimattia ST. 2006. Prosedur Diagnostik Penyakit Kardiovaskular in Price, S. A. dan
Wilson, L. M. 2006 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6
Volume 1. alih bahasa Bhram U. Pendit et.al, editor edisi bahasa Indonesia Huriawati
Hartanto et.al. Jakarta: EGC.

11 | Laporan Tutorial Skenario 2 Galih Herlambang

Ghanie A. 2006. Penyakit Jantung Kongenital pada Dewasa. In Sudoyo A.W (ed) et.al. 2006.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
IDAI. 1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Penyunting: Sudigdo Sastroasmoro dan Bambang S.
Jakarta: IDAI.
Leman, Saharman. 2006. DemamReumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. In Sudoyo A.W
(ed) et.al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Manurung D. 2006. Regurgitasi Mitral. In Sudoyo A.W (ed) et.al. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
Prasodjo. 2008. Radiologi Thoraks dan Mediastinum. Disampaikan pada Kuliah Radiologi
Semester III Fakultas Kedokteran UNS Surakarta.
Purwaningtyas, Niniek. 2009. Klasifikasi Klinis Penyakit Jantung Anak Kongenital.
Disampaikan pada Kuliah IPD Jantung semester 7 Fakultas Kedokteran UNS Surakarta.
Purnomo H. 2003. Stenosis Aorta. In Rilantono LI (ed) et al. 2003. Buku Ajar Kardiologi.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Rilantono LI. 2003. Defek Septum Ventrikel. In Rilantono LI (ed) et al. 2003. Buku Ajar
Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Roebiono, Poppy S. 2003. Pemeriksaan Laboratorium pada Penyakit Kardiovaskuler. In:
Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Gaya Baru.
Sadler TW. 1997. Embriologi Kedokteran LANGMAN Edisi Ketujuh. Jakarta: EGC.
Sanjaya, William dan Sunarya Soerianata. Peranan Faktor-faktor Hemodinamik dan Nonhemodinamik Dalam Mekanisme Patogenik Hipertrofi Ventrikel Kiri. Cermin Dunia
Kedokteran. 143: 15-24. 2004.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Alih bahasa:
Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.
Wasyanto, Trisulo. 2009. Pemeriksaan Klinik Penyakit Jantung. Disampaikan pada Kuliah
IPD Jantung semester 7 Fakultas Kedokteran UNS Surakarta.

12 | Laporan Tutorial Skenario 2 Galih Herlambang

Anda mungkin juga menyukai