Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FITOKIMIA

UJI FITOKIMIA DAUN KATUK


(Sauropus androgunus (L) Merr.)

DISUSUN OLEH
RETNO KURNIAWATI
NIM : 149092

AKADEMI FARMASI YARSI PONTIANAK


TAHUN 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga
kami dapatmenyelesaikan penyusunan laporan akhir praktikum fitokimia yang berjudul UJI
FITOKIMIA DAUN KATUK (Sauropus androgunus (L) Merr.) . Penulisan laporan ini
merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Praktikum Fitomikia di
Akademi Farmasi Yarsi Pontianak. Dalam Penulisan laporan ini penulis merasa masih banyak
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
penulis miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas ini.

Pontianak, April 2016


Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tumbuhan Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) telah lama dimanfaatkan oleh
masyarakat Indonesia dan beberapa negara tetangga, baik sebagai obat tradisional, sebagai
sayuran atau pewarna. Dilaporkan bahwa tumbuhan ini sering digunakan untuk pengobatan
demam, bisul, borok, frambusia, sebagai diuretik, memperlancar ASI dan obat luar.
Tetapi disebutkan juga bahwa konsumsi daun katu yang berlebihan dapat menimbulkan
pusing, mengantuk dan sembelit [4]. Katu diduga berasal dari India, kemudian menyebar ke
Malaysia, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Tumbuhan ini dapat tumbuh di daerah berketinggian 8 m sampai 1300 m di atas
permukaan laut, tetapi tumbuh paling baik di daerah berhawa sejuk dengan kelembaban dan
curah hujan yang tinggi. Di Indonesia tumbuhan ini umumnya ditanam sebagai tumbuhan
pagar, sebagai tanaman selingan diantara tanaman lain, atau tumbuh liar.
Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa daun katu mengandung protein, vitamin, senyawa
sterol, lemak, alkaloid dan mineral. Dari India dan Malaysia dilaporkan bahwa daun katu
mengandung papaverin sebesar 580 mg per 100 g daun segar.
Kandungan protein 7,3-9,1%. Vitamin berupa -karoten 6 mg, thiamin 0,5 mg, riboflavin
0,3 mg vitamin C 250 mg dan niasin 3 mg per 100 g daun segar.
Penelitian tentang kandungan daun katu yang tumbuh di Indonesia belum banyak
dilakukan, oleh karena itu dalam rangka menunjang program pemerintah untuk
pengembangan obat tradisional Indonesia menjadi sediaan fitofarmaka, perlu dilakukan
penelitian kandungan kimia tumbuhan obat yang telah banyak digunakan oleh masyarakat,
sehingga dapat membantu proses standardisasi bahan baku obat tradisional.
Pada kesempatan ini dilakukan penelitian kandungan senyawa flavonoid yang terdapat
pada daun katu, dengan tujuan untuk mengetahui jenis flavonoid yang terdapat pada daun
katu.
Tanaman katuk (Sauropus androgunus (L)Merr) mempunyai banyak manfaat dalam
kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia
menunjukkan bahwa tanaman katuk mengandung beberapa senyawa kimia, antara lain
alkaloid papaverin, protein, lemak, vitamin, mineral, saponin, flavonid dan tanin.
Daun katuk (Sauropus androgunus (L)Merr) mempunyai banyak manfaat dalam
kehidupan sehari-hari. Kandungan kimia dalam daun katuk berkhasiat untuk melindungi
struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, anti inflamasi, mencegah keropos tulang,

dan sebagai antibiotik alami. Fungsi lainnya yaitu berperan langsung sebagai antibiotik
dengan mengganggu fungsi mikroorganisme seperti bakteri atau virus dan juga dapat
meningkatkan imunitas tubuh (Middleton dkk, 2000).
Beberapa senyawa kimia yang terdapat dalam tanaman katuk diketahui berkhasiat obat
(Rukmana,2003).

1.2 PERMASALAHAN
Perumusan masalah pada praktikum ini adalah :
1. Senyawa metabolit apa yang terkandung dalam ekstrak etanol daun katuk dapat
dibuktikan adanya pada praktikum fitokimia ?
2. Jenis Flavoniod apa yang terdapat dalam daun katuk ?
1.3 TUJUAN PRAKTIKUM
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Uji Fitokimia golongan senyawa flavoniod pada daun katuk
2. Menentukan jenis senyawa flavonoid pada daun katuk
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Hasil dari praktikum ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang golongan
senyawa flavonoid yang terdapat pada daun katuk. Perolehan hasil tersebut dapat
menambah pengetahuan baik bagi praktikan maupun pembaca.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN TANAMAN DAUN KATUK (Sauropus androgunus (L) Merr.)


2.1.1 Definisi Katuk
Katuk (Sauropus androgynus) merupakan tanaman sayuran yang banyak terdapat di
Asia tenggara. Tumbuhan ini dalam beberapa bahasa dikenali sebagai mani cai (bahasa Cina),
cekur manis (bahasa Melayu), dan rau ngot (bahasa Vietnam), di Indonesia masyarakat
Minangkabau menyebut katuk dengan nama simani. Selain menyebut katuk, masyarakat Jawa
juga menyebutnya katukan atau babing. Sementara itu masyarakat Madura menyebutnya
kerakur dan orang Bali lebih mengenalnya dengan kayu manis. Tanaman katuk sesungguhnya
sudah dikenal nenek moyang kita sejak abad ke-16 (Santoso, 2008). Katuk termasuk tanaman
jenis perdu berumpun dengan ketinggian 3-5 m. Batangnya tumbuh tegak dan berkayu. Jika
ujung batang dipangkas, akan tumbuh tunas-tunas baru yang membentuk percabangan.
Daunnya
kecil-kecil mirip daun kelor, berwarna hijau. Katuk termasuk tanaman yang rajin berbunga.
Bunganya kecil-kecil, berwarna merah gelap sampai kekuning-kuningan, dengan bintikbintik merah. Bunga tersebut akan menghasilkan buah berwarna putih yang di dalamya
terdapat biji berwarna hitam (Santoso, 2008).
2.1.2 Klasifikasi Katuk

Tanaman katuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Gambar Daun Katuk (Sauropus androgynus)

Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malpighiales
Famili : Phyllanthaceae
Genus : Sauropus
Spesies : Sauropus androgynus
2.1.3 Morfologi tanaman Katuk

Adapun morfologi dari tanaman katuk Sauropus androgynus adalah sebagai berikut :
a. Batang
Tanaman katuk merupakan tanaman sejenis tanaman perdu yang tumbuh menahun. Sosoknya
berkesan ramping sehingga sering ditanam sebagai tanaman pagar. Tingginya sekitar 3-5 m
dengan batang tumbuh tegak, berkayu, dan bercabang jarang. Batangnya berwarna hijau saat
masih muda dan menjadi kelabu keputihan saat sudah tua (Muhlisah dan Sapta, 1999).
b. Daun
Daun katuk merupakan daun majemuk genap, berukuran kecil, berwarna hijau gelap dengan
panjang lima sampai enam cm. Kandungan zat besi pada daun katuk lebih tinggi daripada
daun pepaya dan daun singkong. Daun katuk juga kaya vitamin (A, B1, dan C), protein,
lemak, dan mineral. Selain itu daun dan akar katuk mengandung saponin, flavonoida, dan
tanin (Santoso, 2008).
c. Bunga
Katuk merupakan tanaman yang rajin berbunga. Bunganya kecil-kecil berwarna merah gelap
sampai kekuning-kuningan, dengan bintik-bintik merah. Bunga tersebut akan menghasilkan
buah berwarna putih yang di dalamnya terdapat biji berwarna hitam (Santoso, 2008).
d. Buah
Buah katuk berbentuk bulat, berukuran kecil-kecil seperti kancing, berwarna putih dan berbiji
3 buah (Muhlisah dan Sapta, 1999).
e. Akar
Tanaman katuk berakar tunggang dan berwarna putih kotor

f. Perkembangbiakan tanaman katuk


Cara perbanyakannya melalui stek batang yang belum terlalu tua. Penanamannya dapat
dilakukan dipekarangan sebagai pagar hidup. Bila produksi daunnya tinggal sedikit, tanaman
katuk dapat diremajakan dengan cara batang utamanya dipangkas.
2.2 MANFAAT DAUN KATUK
Beberapa manfaat daun katuk antara lain :
1) Pelancar Air Susu Ibu (ASI)
Ekstrak daun katuk banyak digunakan sebagai bahan fortifikasi pada produk makanan yang
diperuntukkan bagi ibu menyusui. Konsumsi sayur katuk oleh ibu menyusui dapat
memperlama waktu menyusui bayi perempuan secara nyata dan untuk bayi pria hanya
meningkatkan frekuensi dan lama menyusui (Santoso, 2009).
2) Mengobati frambusia
Frambusia adalah puru-puru atau patek disebabkan oleh sejenis bakteri yang berpilin-pilin
ulir yang disebut Treponema perteneu. Penyakit ini banyak terdapat di daerah kita, apalagi
didaerah yang sulit mendapatkan air bersih. Frambusia merupakan penyakit menular dan
masa tunasnya antara 2-4 minggu (Lingga, 1998).
3) Mengatasi sembelit
Sembelit biasa terjadi karena banyak hal, diantaranya karena terlalu lama duduk, kurang
minum air, menahan-nahan buang air besar, kerja hati dan kantong empedu yang tidak lancar.
(Santoso, 2008)
4) Menyembuhkan luka
Untuk mengobati luka, siapkan segenggam daun katuk, lalu cuci, dan lumatkan. Tempelkan
lumatan daun katuk pada bagian badan yang luka (Santoso, 2008).
5) Pewarna alami
Daun katuk ternyata bisa juga dipakai sebagai pewarna makanan alami menggantikan
pewarna sintetis. Sari daun katuk ini bisa langsung digunakan untuk mewarnai bahan
makanan (Santoso, 2008).
6) Makanan dan minuman
Daun katuk bisa dikonsumsi sebagai lalapan, sayur bening, dan minuman. Untuk membuat
lalapan, rebus daun katuk dalam air mendidih yang ditambah sedikit garam selama 3-4 menit.
Sementara itu, untuk membuat minuman segar, ambil 300 g daun katuk segar yang sudah
dibersihkan, kemudian rebus dengan 1,5 gelas air selama 15 menit. Air rebusan daun katuk
tersebut dapat langsung diminum (Santoso, 2008)

2.3 UJI SKRINING FITOKIMIA


Untuk mengetahui adanya senyawa flavonoid yang terdapat dalam daun katuk
(Sauropus androgunus (L) Merr) maka dilakukan uji pendahuluan (skrining fitokimia). Uji
pendahuluan secara kualitatif dengan reaksi warna, yaitu dengan mengekstraksi sampel kulit
jeruk purut dengan metanol dan dididihkan selama lebih kurang 25 menit, disaring dalam
keadaan panas, kemudian pelarut diuapkan sampai kering. Ekstrak dikocok kuat dengan
kloroform lalu ditambahkan air suling sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan air dibagi 3
bagian:
1) Filtrat pertama ditambah 2 tetes FeCl3 1%, yang menghasilkan warna hitam, yang
menunjukkan adanya senyawa flavonoid.
2) Filtrat pertama ditambah 2 tetes NaOH 10%, yang menghasilkan warna hijau kebiruan,
yang menunjukkan adanya senyawa flavonoid.
3) Filtrat pertama ditambah 2 tetes MgCl2, yang menghasilkan warna merah jambu, yang
menunjukkan adanya senyawa flavonoid.

2.4 FITOKIMIA DAN GOLONGAN SENYAWA METABOLIT SEKUNDER


2.4.1. Fitokimia
Menurut Robinson (1991) alasan lain melakukan fitokimia adalah untuk menentukan
ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukan oleh
ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologis. Pemanfaatan prosedur fitokimia
telah mempunyai peranan yang mapan dalam semua cabang ilmu tumbuhan. Meskipun cara
ini penting dalam semua telaah kimia dan biokimia juga telah dimanfaatkan dalam kajian
biologis.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut Moelyono (1996) analisis fitokimia merupakan
bagian dari ilmu farmakognosi yang mempelajari metode atau cara analisis kandungan kimia
yang terdapat dalam tumbuhan atau hewan secara keseluruhan atau bagian-bagiannya,
termasuk cara isolasi atau pemisahannya.
Pada tahun terakhir ini fitokimia atau kimia tumbuhan telah berkembang menjadi satu
disiplin ilmu tersendiri, berada diantara kimia organik bahan alam dan biokimia tumbuhan,
serta berkaitan dengan keduanya. Bidang perhatiannya adalah aneka ragam senyawa organik
yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mengenai struktur kimianya,

biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara ilmiah dan fungsi


biologisnya (Harborne, 1984).
Keanekaragaman dan jumlah struktur molekul yang dihasilkan oleh tumbuhan banyak
sekali, demikian juga laju pengetahuan tentang hal tersebut. Dengan demikian masalah utama
dalam penelitian fitokimia adalah menyusun data yang ada mengenai setiap golongan
senyawa khusus. Kandungan kimia tumbuhan dapat digolongkan menurut beberapa cara.
Pengolahan didasarkan pada asal biosintesis, sifat kelarutan dan adanya gugus fungsi kunci
tertentu.
2.4.2. Golongan Senyawa Metabolit Sekunder
Metabolit atau metabolisme adalah keseluruhan proses sintesis senyawa-senyawa oleh
organ dalam jaringan atau sel individu dalam kelangsungan hidupnya. Manitto (1981),
menyatakan bahwa proses ini berlangsung selama individu atau organisme masih hidup
bahkan pada jaringan organisme yang telah mati dan pada umumnya metabolisme primer dan
metabolisme sekunder.
Menurut Judoamdjojo (1990), metabolik sekunder adalah hasil metabolisme yang
disintesis oleh beberapa organisme tertentu yang tidak merupakan kebutuhan pokok untuk
hidup dan tumbuh. Meskipun demikian, metabolik sekunder dapat berfungsi sebagai nutrien
darurat untuk pertahanan hidup. Sedangkan menurut Herbert (1981), metabolisme sekunder
merupakan senyawa yang dihasilkan organisme untuk aktivitas tertentu dan sifatnya tidak
esensial untuk kehidupannya.
Proses-proses kimia jenis lain yang terjadi hanya pada spesies tertentu sehingga
memberikan produk yang berlainan, sesuai dengan spesiesnya merupakan senyawa-senyawa
metabolik sekunder. Berperan dalam kelangsungan hidup dan perjuangan menghadapi
spesies-spesies lain berupa zat kimia untuk pertahanan, penarik seks, dan feromen (Manitto,
1981). Menurut Sastrohamidjojo (1996), bahwa metabolik sekunder adalah bahan kimia nonnutrisi yang mengontrol spesies biologi dalam lingkungan atau memainkan peranan penting
dalam koeksistensi dan koevolusi spesies.
Menurut Harborne (1984) senyawa metabolit sekunder yang umum terdapat pada
tanaman adalah : alkaloid, flavanoid, steroid, saponin, terpenoid dan tannin.

A. Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa yang tersebar luas hampir pada semua jenis
tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya
bersifat basa dan membentuk cincin heterosiklik (Harborne, 1984).
Alkaloid dapat ditemukan pada biji, daun, ranting dan kulit kayu dari tumbuhtumbuhan. Kadar alkaloid dari tumbuhan dapat mencapai 10-15%. Alkaloid kebanyakan
bersifat racun, tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Alkaloid merupakan
senyawa tanpa warna, sering kali bersifat optik aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi
hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar (Sabirin, et al.,1994).
Suatu cara mengklasifikasi alkaloid adalah didasarkan pada jenis cincin heterosiklik
nitrogen yang terikat. Menurut klasifikasi ini alkaloid dibedakan menjadi ; pirolidin (1),
piperidin (2), isoquinolin (3), quinolin (4) dan indol (5) Alkaloid pada umumnya berbentuk
kristal yang tidak berwarna, ada juga yang berbentuk cair seperti koniina (6), nikotin (7).
Alkaloid yang berwarna sangat jarang ditemukan misalnya berberina (8) berwarna kuning.
Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa ini mudah terdekomposisi terutama oleh
panas, sinar dan oksigen membentuk N-oksida. Jaringan yang masih mengandung lemak,
maka dilakukan ekstraksi pendahuluan petroleum eter.
B. Flavonoid
Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam terutama
pada jaringan tumbuhan tinggi. Senyawa ini merupakan produk metabolik sekunder yang
terjadi dari sel dan terakumulasi dari tubuh tumbuhan sebagai zat racun (Robinson, 1991).
Senyawa flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon dalam inti dasarnya yang
tersusun dalam konfigurasi C6 - C3 C6. Susunan tersebut dapat menghasilkan tiga struktur
yaitu: 1,3-diarilpropana (flavonoid), 1,2-diarilpropana (isoflavonoid), 2,2-diarilpropana
(neoflavonoid).
Menurut Markham (1982), flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai gugus
hidroksil yang tak tersulih, atau suatu gula, sehingga flavonoid cukup larut dalam pelarut
polar seperti etanol, metanol, butanol dan air.
Flavonoid umumnya terikat pada gula sebagai glukosida dan aglikon flavonoid. Uji
warna yang penting dalam larutan alkohol ialah direduksi dengan serbuk Mg dan HCl pekat.
Diantara flavonoid hanya

flavalon

yang menghasilkan

warna merah

ceri kuat

(Harborne,1984).
C.

Terpenoid
Semua terpenoid berasal dari molekul isoprena, CH2=C(CH3)-CH=CH2 dan kerangka
karbonya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C 5 ini. Walaupun demikian,

secara biosintesis senyawa yang berperan adalah isopentil pirofosfat, CH 2=C(CH3)(CH)2OPP, yang terbentuk dari asetat melalui asam mevalonat, CH2OHCH2C(OH,CH3)CH2CH2COOH. Isopentil piropospat terdapat dalam sel hidup dan berkesinambungan dengan
isomernya, dimetilalil piropospat, (CH3)2C=CHCH2OPP.
Berdasarkan kenyataan ini, terpenoid dikelompokan dalam 5 bagian:
a. Monoterpen terdiri dari dua unit C5 atau 10 atam karbon.
b. Siskuisterpen terdiri dari tiga unit C5 atau 15 atom karbon
c. Diterpen terdiri dari empat unit C5 atau 20 atom karbon
d. Triterpen terdiri dari enam unit C5 atau 30 atom karbon
e. Tetraterpen terdiri dari delapan unit C5 atau 40 atom karbon
Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat didalam sitoplasma
sel tumbuhan. Biasanya diekstraksi memakai petrolium eter, eter atau kloroform dan dapat
dipisahkan secara kromatografi pada silika gel dengan pelarut ini (Harborne,1987).
D. Steroid
Steroid adalah terpenoid yang kerangka dasarnya terbentuk dari sistem cincin
siklopentana prehidrofenantrena. Steroid merupakan golongan senyawa metabolik sekunder
yang banyak dimanfaatkan sebagai obat. Hormon steroid pada umumnya diperoleh dari
senyawa-senyawa steroid alam terutama dalam tumbuhan (Djamal, 1988).
E.

Saponin
Menurut Harborne (1984), saponin adalah glikosida triterpen dan sterol. Saponin
merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa yang stabil dalam air dan menghomolisis sel
darah merah. Dari segi pemanfaatan, saponin sangat ekonomis sebagai bahan baku
pembuatan hormon steroid, tetapi saponin kadang-kadang dapat menyebabkan keracunan
pada ternak (Robinson, 1991).

F. Tanin
Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu: (1) tanin terkondensasi atau flavolan dan (2)
tanin yang terhidrolisis.
1. Tanin terkondensasi atau flavolan
Tersebar luas dalam tumbuhan angiospermae, terutama pada tumbuhan-tumbuhan
berkayu. Nama lainnya adalah proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas,
beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer
antosianidin. Kebanyakan proantosianidin adalah prosianidin karena bila direaksikan dengan
asam akan menghasilkan sianidin. Proantosianidin dapat dideteksi

langsung dengan

mencelupkan jaringan tumbuhan ke dalam HCl 2M mendidih selama setengah jam yang akan
menghasilkan warna merah yang dapat diekstraksi dengan amil atau butil alkohol. Bila

digunakan jaringan kering, hasil tanin agak berkurang karena terjadinya pelekatan tanin pada
tempatnya didalam sel.
2. Tanin yang terhidrolisis
Terbatas pada tumbuhan berkeping dua. Terutama terdiri atas dua kelas, yang paling
sederhana adalah depsida galoiglukosa. Pada senyawa ini glukosa dikelilingi oleh lima gugus
ester galoil atau lebih. Jenis kedua, inti molekul berupa senyawa dimer asam galat, yaitu
asam heksahidroksidifenat yang berikatan dengan glukosa. Bila dihidrolisis menghasilkan
asam angelat. Cara deteksi tanin terhidrolisis adalah dengan mengidentifikasi asam
galat/asam elagat dalam ekstrak eter atau etil asetat yang dipekatkan (Harborne,1987).
G. Fenol
Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang
mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Senyawa fenol cenderung larut dalam air karena
umumnya mereka seringkali berikatan dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat
pada vakuola sel (Putra, 2007).
Zat atsiri yang memberikan keharuman pada tumbuh- tumbuhan dan bunga adalah
golongan senyawa yang disebut terpena. Bau dalamhutan konifer pada hari panas di musim
panas sebagian disebabkan oleh terpena yang berasal dari pohon pinus. Memang sebetulnya
nama terpena diturunkan dari senyawa yang diturunkan dari terpentin, yaitu cairan atsiri yang
didapat dari pohon pinus (Stanley, 1988).
Pada senyawa polifenol, aktivitas antioksidan berkaitan erat dengan struktur rantai
samping dan juga substitusi pada cincin aromatiknya. Kemampuannya untuk bereaksi dengan
radikal bebas DPPH dapat mempengaruhi urutan kekuatan antioksidannya. Aktivitas
peredaman radikal bebas senyawa polifenol diyakini dipengaruhi oleh jumlah dan posisi
hidrogen fenolik dalam molekulnya. Dengan demikian aktivitas antioksidan yang lebih tinggi
akan dihasilkan pada senyawa fenolik yang mempunyai jumlah gugus hidroksil yang lebih
banyak pada inti flavonoidnya. Senyawa fenolik ini mempunyai kemampuan untuk
menyumbangkan hidrogen, maka aktivitas antioksidan senyawa fenolik dapat dihasilkan pada
reaksi netralisasi radikal bebas yang mengawali proses oksidasi atau pada penghentian reaksi
radikal berantai yang terjadi.
2.5 SIMPLISIA
SIMPLISIA, adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan
BAHAN ALAMIAH :

1. BAHAN NABATI, FLORA, TUMBUHAN.


2. BAHAN HEWANI, FAUNA.
3. BAHAN MINERAL.

1. BAHAN NABATI
Berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat
EKSUDAT, isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu
dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari
tanaman.

2. BAHAN HEWANI
Berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan
belum berupa zat kimia murni.

3. BAHAN MINERAL
Berupa mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa
zat kimia murni.

SUMBER SIMPLSIA
1. TUMBUHAN LIAR
- Kerugian: a. umur dan bagian tanaman
b. jenis (species)
c. lingkungan tempat tumbuh
- Keuntungan : ekonomis

2. TANAMAN BUDIDAYA (tumpangsari, TOGA, perkebunan)

- Keuntungan : a. bibit unggul


b. pengolahan pascapanen
c. tempat tumbuh
- Kerugian : a. tanaman manja
b. residu pestisida

SYARAT SIMPLISIA NABATI/HEWANI


1. Harus bebas serangga, fragmen hewan, kotoran hewan
2. Tidak boleh menyimpang dari bau, warna
3. Tidak boleh mengandung lendir, cendawan, menun jukkan tanda-tanda pengotoran lain
4. Tidak boleh mengandung bahan lain yang beracun atau berbahaya
5. Kadar abu yang tidak larut dalam asam maksimal 2%
PELIKAN : Harus bebas dari pengotoran tanah, batu, hewan, fragmen hewan dan bahan
asing lainnya

2.6 METODE PEMISAHAN

Campuran dapat dipisahkan dengan menggunakan berbagai macam metode. Metodemetode tersebut, yaitu pengayakkan, penyaringan, sentrifugasi, evaporasi, pemisahan
campuran dengan menggunakan magnet, sublimasi, destilasi, corong pisah, dan kromatografi.
Metode dekntir digunakan untuk memisahkan campuran yang penyusunnya berupa cairan
dan padatan. Dalam hal ini, ukuran padatan cukup besar sehingga mengendap di bagian
bawah cairan. Dekantir dilakukan dengan menuang cairan ke wadah lain secara hati-hati
supaya padatan terpisah dari campuran. Untuk mempermudah proses dekantir, dapat
digunakan pengaduk pada saat menuang cairan. Dengan demikian, cairan tidak mengalir
keluar wadah dan dapat terpisah dari padatan dengan baik. Namun, metode ini tidak dapat
memisahkan cairan dan padatan secara sempurna. Hal ini disebabkan kadang-kadang masih
ada cairan yang tersisa dalam wadah semula. Bisa juga terjadi, sebagian padatan ikut masuk
ke dalam wadah baru. (Mikarjudin, 2007: 195) Kebanyakan materi yang terdapat di bumi ini
tidak murni, tetapi berupa campuran dari berbagai komponen. Contohnya, tanah terdiri dari

berbagai senyawa dan unsur baik dalam wujud padat, cair dan gas. Untuk memperoleh zat
murni kita harus memisahkannya dari campurannya. Campuran dapat dipisahkan memlalui
peristiwa fisika atau kimia, satu komponen atau lebih direaksikan dengan zat lain sehingga
dapat dipisahkan. Cara atau teknik pemisahan campuran pada jenis, wujud dan sifat
komponen yang terkandung di dalamnya. Jika komponen berwujud padat dan cair, misalnya
pasir dan air, dapat dipisahkan dengan saringan. Saringan bermacam-macam, mulai dari
porinya yang besar sampai yang sangat halus, contohnya kertas saring dan selaput
semipermeabel. Kertas saring dipakai untuk memisahkan endapan atau padatan dari
pelarutnya. Campuran homogen, seperti alkohol dalam air, tidak dapat dipisahkan dengan
saringan, karena partikelnya lolos dalam pori-pori kertas saring da selaput semipermeabel.
Campyran seperti itu dapat dipisahkan dengan cara fisika yaitu destilasi, rekristalisasi,
ekstraksi dan kromaografi. (Syukri, 1999:15)
A. Destilasi
Destilasi adalah suatu teknik pemisahan suatu zat dari campurannya berdasarkan titik
didih. Destilasi ada dua macam, yaitu destilasi sederhana dan destilasi bertingkat. Destilasi
sederhana merupakan proses penguapan yang diikuti pengembunan. Destilasi dilakukan
untuk memisahkan suatu cairan dari campurannya apabila komponen lain tidak ikut menguap
(titik didih komponen lain jauh lebih tinggi). Misalnya pengolahan air tawar dan air laut.
Sementara destilasi bertingkat merupakan proses destilasi berulang-ulang yang terjadi pada
kolom fraksionasi. Kolom fraksionasi terdiri atas beberapa plat yang lebih tinggi lebih
banyak mengandung cairan yang mudah menguap, sedangkan cairan yang tidak mudah
menguap lebih banyak dalam kondensat. Contoh destilasi bertingkat adalah pemisahan
campuran alkohol-air, pemurnian minyak bumi dan lain-lain. (Syarifudin, 2008:10)
Rekristalisasi merupakan teknik pemisahan berdasarkan perbedaan titik beku komponen.
Perbedaan itu harus cukup besar dan sebaiknya kompnen yang akan dipisah berwujud padat
dan yang lainnya cair pada suhu kamar. Contohnya garam dapat dipisahkan dari air karena
garam berupa padatan. Air garam bila dipanaskan perlahan dalam bejana terbuka, maka air
akan menguap sedikit demi sedikt. Pemanasan dihentikan saat larutan tepat jenuh. Jika
dibiarkan akhirnya terbentuk kristal gara secara perlahan. Setelah pengkristalan sempurna,
garam dapat dipisahkan dengan menyaring (Syukri, 1999:16). Seperti halnya dekantir, proses
penyaringan juga digunakan untuk memisahkan campuran yang zat penyusunnya cairan dan
padatan. Bedanya, ukuran padatan cukup kecil sehingga tidak mengendap di dasar cairan,
tetapi tersebar pada cairan. Jika campuran jenis ini dipisahkan dengan dekantir, maka padatan
dan cairan tidak terpisah dengan baik. Untuk itu dilakukan penyaringan. Penyaringan
dilakukan dengan menuang campuran ke atas kertas saring dari sebuah corong gelas. Kertas
saring akan menahan padatan yang lebih besar dari pada ukuran lubang saring. Padatan yang
tertinggal pada kertas saring ini disebut residu. Sementara zat dengan ukuran partikel lebih
kecil dari ukuran lubang saring akan lolos melalui kertas saring. Zat yang dapat melewati
kertas saring ini disebut filtrat. (Lutfi, 2007: 51)
B. Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan
pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa
melarutkan material lainnya. (Diana Barsasella, 2012)
Metode ekstraksi tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang
diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi. Bila mengisolasi senyawa dari jaringan hijau,

keberhasilan ekstraksi dengan alkohol berkaitan langsung dengan seberapa jauh klorofil
tertarik oleh pelarut itu. Bila ampas jaringan, pada ekstraksi ulang, sama sekali tidak
berwarna hijau lagi, dapat dianggap semua senyawa berbobot molekul rendah terekstraksi
(Harborne, 1987).
Berdasarkan jenis dan sifat bahan maka ada beberapa macam metode ekstraksi antara lain,
maserasi, perkolasi, refluks dan soxletasi. Maserasi ini digunakan untuk penyarian simplisia
yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari lain. Maserasi dilakukan
denga cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Keuntungan penyarian dengan
metode maserasi adalah pengerjaannya dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah
diusahakan.
Macam-macam Metode Ekstraksi
Jenis-jenis ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah :
a.

Ekstraksi Cara Dingin


Metoda ini artinya tidak ada proses pemanasan selama proses ekstraksi berlangsung,
tujuannya untuk menghindari rusaknya senyawa yang dimaksud rusak karena pemanasanan.
Jenis ekstraksi dingin adalah maserasi dan perkolasi

b.

Ekstraksi Cara Panas


Metoda ini pastinya melibatkan panas dalam prosesnya. Dengan adanya panas secara
otomatis akan mempercepat proses penyarian dibandingkan cara dingin. Metodanya adalah
refluks, ekstraksi dengan alat soxhlet dan infusa.
1.

Metode Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara

merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel
dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dengan
karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar

sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.
2. Metode Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan jalan melewatkan pelarut yang
sesuai secara lambat pada simplisia dalam suatu percolator. Perkolasi bertujuan supaya zat
berkhasiat tertarik seluruhnya dan biasanya dilakukan untuk zat berkhasiat yang tahan
ataupun tidak tahan pemanasan. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk
tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai
keadaan jenuh. Gerak kebawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di
atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan. Kekuatan yang
berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan,
difusi, osmosa, adesi, daya kapiler dan daya geseran (friksi).
3. Metode Refluks
Salah satu metode sintesis senyawa anorganik adalah refluks, metode ini digunakan
apabila dalam sintesis tersebut menggunakan pelarut yang volatil. Pada kondisi ini jika
dilakukan pemanasan biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai
selesai. Prinsip dari metode refluks adalah pelarut volatil yang digunakan akan menguap pada
suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam
bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga
pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung. Sedangkan aliran gas N2 diberikan agar
tidak ada uap air atau gas oksigen yang masuk terutama pada senyawa organologam untuk
sintesis senyawa anorganik karena sifatnya reaktif.
4. Metode Soxhlet

Sokletasi adalah suatu metode atau proses pemisahan suatu komponen yang terdapat
dalam zat padat dengan cara penyaringan berulang-ulang dengan menggunakan pelarut
tertentu, sehingga semua komponen yang diinginkan akan terisolasi. Sokletasi digunakan
pada pelarut organik tertentu. Dengan cara pemanasan, sehingga uap yang timbul setelah
dingin secara kontinyu akan membasahi sampel, secara teratur pelarut tersebut dimasukkan
kembali ke dalam labu dengan membawa senyawa kimia yang akan diisolasi tersebut. Pelarut
yang telah membawa senyawa kimia pada labu distilasi yang diuapkan dengan rotary
evaporator sehingga pelarut tersebut dapat diangkat lagi bila suatu campuran organik
berbentuk cair atau padat ditemui pada suatu zat padat, maka dapat diekstrak dengan
menggunakan pelarut yang diinginkan.

2.7 KROMATOFRAGI LAPIS TIPIS (KLT)


Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi
diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya
bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu
menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya pembedaan dalam adsorpsi, partisi,
kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul, atau kerapatan muatan ion. Atau secara sederhana
kromatografi biasanya juga di artikan sebagai teknik pemisahan campuran berdasarkan
perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam medium tertentu. Kromatografi di
gunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi komponen-komponen. Seluruh
bentuk kromatografi bekerja berdasarkan prinsip ini. Kromatografi lapis tipis merupakan
salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang ingin di deteksi dengan memisahkan
komponen-komponen sampel berdasarkan perbedaan kepolaran. Kromatografi lapis tipis
adalah metode pemisahan fisika-kimia dengan fase gerak (larutan pengembang yang cocok),
dan fase diam (bahan berbutir) yang diletakkan pada penyangga berupa plat gelas atau
lapisan yang cocok. Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) lalu hasil

pengembangan di deteksi. Zat yang memiliki kepolaran yang sama dengan fase diam akan
cenderung tertahan dan nilai Rf-nya paling kecil. Kromatografi lapis tipis digunakan untuk
memisahkan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam
di bawah gerakan pelarut pengembang. Pada identifikasi noda atau penampakan noda, jika
noda sudah berwarna dapat langsung diperiksa dan ditentukan harga R f merupakan nilai
dari jarak relative pada pelarut. Harga R f

dihitung sebagai jarak yang ditempuh oleh

komponen dibagi dengan jarak tempuh oleh eluen (fase gerak) untuk setiap senyawa.
R f

juga menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fase diam. Karena itu R f

juga disebut factor referensi.

2.8 KROMATOGRAFI KOLOM


Kromatografi kolom merupakan teknik kromatografi yang paling awal yang pertamakali
di lakukan oleh D.T.Davy yaitu untuk membedakan komposisi minyak bumi. Ditinjau dari
mekanismenya kromatografi kolom merupakan kromatografi serapan atau adsorbsi.
Kromatografi kolom digolongkan kedalam kromatografi cair padat (KCP) kolom terbuka.
Pemisahan kromatografi kolom adsorpsi didasarkan pada adsorpsi komponen-komponen
campuran dengan afinitas berbeda-beda terhadap permukaan fase diam. Kromatografi kolom
adsorpsi termasuk pada cara pemisahan cair-padat. Substrat padat (adsorben) bertindak
sebagai fase diam yang sifatnya tidak larut dalam fase cair. Fase bergeraknya adalah cairan
(pelarut) yang mengalir membawa komponen campuran sepanjang kolom. Prinsip yang
mendasari kromatografi kolom adsorpsi ialah bahwa komponen komponen dalam zat
contoh yang harus diperiksa mempunyai afinitas yang berbeda-beda terhadap adsorben dalam
kolom. Apabila kita mengalirkan cairan ( elutor ) secara kontinyu melalui kolom yang berisi
zat contoh yang telah diadsorpsikan oleh penyarat kolom, maka yang pertama tama
dihanyutkan elutor ialah komponen yang paling lemah terikat kepada adsorben. Komponen
komponen lainnya akan dihanyutkan menurut urutan afinitasnya terhadap adsorben, sehingga
terjadi pemisahan daripada komponen komponen tersebut.
Pemisahan tergantung pada kesetimbangan yang terbentuk pada bidang antarmuka di
antara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta kelarutan relatif komponen pada fase
bergeraknya. Antara molekul-molekul komponen dan pelarut terjadi kompetisi untuk
teradsorpsi pada permukaan adsorben sehingga menimbulkan proses dinamis. Keduanya
secara bergantian tertahan beberapa saat di permukaan adsorben dan masuk kembali pada

fase bergerak. Pada saat teradsorpsi komponen dipaksa untuk berpindah oleh aliran fase
bergerak yang ditambahkan secara kontinyu. Akibatnya hanya komponen yang mempunyai
afinitas lebih besar terhadap adsorben akan secara selektif tertahan. Komponen dengan
afinitas paling kecil akan bergerak lebih cepat mengikuti aliran pelarut.
Teknik pemisahan kromatografi kolom partisi sangat mirip dengan kromatografi
kolom adsorpsi. Perbedaan utamanya terletak pada sifat dari penyerap yang digunakan. Pada
kromatografi kolom partisi penyerapnya berupa materi padat berpori seperti kieselguhr,
selulosa atau silika gel yang permukaannya dilapisi zat cair (biasanya air). Dalam hal ini zat
padat hanya berperan sebagai penyangga (penyokong) dan zat cair sebagai fase diamnya.
Fase diam zat cair umumnya diadsorpsikan pada penyangga padat yang sejauh mungkin inert
terhadap senyawa-senyawa yang akan dipisahkan. Zat padat yang penyokong harus penyerap
dan menahan fase diam serta harus membuat permukaannya seluas mungkin untuk
mengalirnya fase bergerak. Penyangga pada umumnya bersifat polar dan fase diam lebih
polar dari pada fase bergerak. Dalam kromatografi partisi fase bergeraknya dapat berupa zat
cair dan gas yang mengalir membawa komponen-komponen campuran sepanjang kolom. Jika
fase bergeraknya dari zat cair, akan diperoleh kromatografi partisi cair-cair. Teknik ini banyak
digunakan untuk pemisahan senyawa-senyawa organik maupun anorganik.
Resin penukar ion adalah suatu bahan padat yang memiliki bagian (ion positif atau
negatif) tertentu yang bisa dilepas dan ditukar dengan bahan kimia lain dari luar. Berdasarkan
jenis ion/muatan yang dipertukarkan, resin dapat dibagi menjadi 2 yaitu resin penukar kation
adalah ion positif yang dipertukarkan dan resin penukar anion adalah ion negatif yang
dipertukarkan. Ion Exchange adalah proses penyerapan ion ion oleh resin dengan cara Ionion dalam fasa cair (biasanya dengan pelarut air) diserap lewat ikatan kimiawi karena
bereaksi dengan padatan resin. Resin sendiri melepaskan ion lain sebagai ganti ion yang
diserap.

Selama operasi

berlangsung setiap ion akan

dipertukarkan

dengan

ion

penggantinya hingga seluruh resin jenuh dengan ion yang diserap.


Besarnya nilai kapasitas penukar dari resin penukar ion tergantung pada jumlah gugus
ion yang dapat ditukarkan yang terkandung dalam setiap gram bahan resin tersebut. Semakin
besar jumlah gugus-gugus tersebut, maka semakin besar pula nilai kapasitas resinnya.

Besarnya nilai kapasitas resin diketahui agar dapat memperkirakan berapa banyaknya resin
yang diperlukan dalam analisa kimia dengan menggunakan metode kromatografi kolom.
Apabila resin telah mengikat jumlah ion yang sama dengan kapasitas maksimumnya maka
resin tersebut dikatakan telah exchausted. Dalam keadaan demikian resin dapat
dikembalikan ke keadaan semula dengan jalan menuangkan larutan asam yang agak pekat ke
dalamnya sehingga terjadi reaksi kebalikan dari reaksi penukaran ion. Resin penukar anion
dapat berupa ko-polimer stiren dan divinil benzen tetapi tidak mengandung gugusan-gugusan
amin yang bersifat basa dengan resin penukar anion terjadi pengubahan yang jumlahnya
ekuivalen.
Parameter yang di gunakan dalam mengevaluasi kinerja kolom, setelah
mengoptimumkan efesiensi pemisahan secara kromatografi, mutu kromatografi dapat di
kendalikan dengan menerapkan uji kesesuian sistem tertentu. Salah satu diantaranya adalah
perhitungan pelat pelat teoritis untuk suatu kolom dan terdapat dua parameter utama lainnya
untuk menilai kinerja.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau stainlaess, kertas hvs
putih, timbangan analitik, mortir, stemper, mikroskop, bejana maserasi, bejana infusa,
waterbath, gelas kimia, erlenmeyer, kompor, cawan penguap, gelas ukur, corong pisah,
corong gelas, klem holder, statif, pipet tetes, tabung reaksi, alumunium foil, dan plat tetes.

3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daun, simplisia, ekstrak(daun
katuk), pelarut etanol, aquadest, pelarut n-hexan, reagen liebermann-burchard, reagen
salkowski, reagen mayer, reagen dragendroff, reagen wagner, a ekstrak n-hexan, ekstrak
etanol, pita mg, HCL, FeCl3 1 %, H2SO4 pekat, dan kloroform.
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Pengumpulan sampel
Bahan penelitian beruba daun katuk diambil diJalan Panglima Aim, Kecamatan
Pontianak Timur Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Sampel yang telah dikumpulkan,
dibersihkan dari kotoran, dirajang, dikeringkan dan siap untuk dilakukan uji.
3.3.2 Uji Organoleptis dan Mikroskopis
Uji organoleptis dilakukan dengan cara menguji bau, rasa, dan warna simplisia untuk
uji bau dan rasa dilakukan 3 kali pengujian.
Uji mikroskopis dilakukan dengan cara simplisia yang sudah menjadi serbuk diamati
dimikroskop kemudian catat hasil yang didapat.

3.3.3 Ekstraksi Padat Cair


Proses maserasi dilakukan terhadap rajangan halus simplisia daun katuk sebanyak
170 gram dimasukkan ke dalam bejana maserasi, kemudian direndam menggunakan pelarut
etanol 70% sampai sampel terendam merata, sesekali dilakukan pengadukan. Proses
perendaman ini dilakukan selama 3 x 24 jam dengan perbandingan pelarut hari pertama 1 : 5,
hari kedua 1 : 3 dan hari ketiga 1 : 2. Sampel dimasukkan dalam bejana yang tertutup rapat
dan terlindung dari cahaya. Hasil maserasi disaring, ampas diperas dengan menggunakan
kertas saring. Ekstrak cair yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan proses penguapan
diatas penangas air hingga didapat ekstrak kental.
Proses pembuatan infusa dilakukan dengan cara merebus 100 gram simplisia dipanci
infusa sampai suhu 90O C dibiarkan konstan selama 15 menit kemudian infusa yang sudah

jadi disaring selagi panas kemudian tambahkan air panas secukupnya hingga diperoleh
volume infusa yang diinginkan.
3.3.4 Ekstraksi Cair Cair
Ekstraksi cair-cair dilakukan dengan cara 3 gram ekstrak kental ditambahkan 15 ml
etanol, kemudian masukkan dalam corong pisah dan tambahkan pelarut n-hexan dengan
perbandingan n-heksan : etanol yaitu 1 : 2. Akan terbentuk 2 lapisan ambil lapisan bawah
(ekstrak etanol) sampai lapisan atas (n-hexan) jernih kemudian masing-masing ekstrak
diuapkan sampai kental.
3.3.5 Uji Fitokimia Dengan Pereaksi Spesifik
3.3.5.1 Terpenoid- Steroid
A. Liebermann - Burchard
Sampel ditetesi pereaksi liebermann burchard, adanya terpenoid ditandai dengan
terbentuknya warna biru, hijau, orange.\
B. Salkowski
Larutkan 1 mg sampel dalam 1 ml kloroform dan tambahkan 1 ml asam sulfat pekat.
Terbentuk 2 lapisan, adanya lapisan warna merah atau orange atau hijau - biru menunjukkan
keberadaan steroid
3.3.5.2 Alkaloid
A. Reaksi Mayer
Sampel sebanyak 2 ml ditambahkan 1 ml HCL 2N dan 9 ml air, panaskan diatas
penangas air selama 2 menit, dinginkan dan saring. Diambil 3 tetes ekstrak tempatkan pada
plat tetes dan tambahkan pereaksi mayer. Adanya senyawa alkaloid ditandai dengan
terbentuknya endapan berwarna putih.

B. Reaksi Dragendroff
Sampel ditambahkan asam klorida/asam sulfat kemudian ditambahkan pereaksi
dragendroff. Adanya alkaloid menghasilkan endapan orange kecoklatan atau endapan merah
bata.
C. Reaksi Wagner
Sampel ditambahkan pereaksi Wagner adanya senyawa alkaloid ditandai dengan
terbentuknya endapan coklat.
3.3.5.3 Fenol

Sampel ditambahkan dengan larutan FeCl3 1%. Adanya fenol ditunjukkan dengan
terbentuknya warna ungu atau warna biru-hitam.
3.3.5.4 Flavonoid
A. Shinoda
Sampel ditambahkan serbuk Mg, dan 3 tetes HCl p, dikocok kuat-kuat kemudian
dibiarkan memisah. Adanya senyawa flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna orange
(flavon) , merah muda (flavanol), merah (2,3 dihidro flavonol), ungu (xanthone)
B. H2SO4
Sampel ditambahkan H2SO4. Adanya senyawa flavonoid ditandai dengan
terbentuknya larutan kuning tua, larutan merah kebiruan (kalkon, auron), dan larutan orangemerah (flavon).
3.3.5.5 Saponin
Sampel ditambahkan 5 ml aquadest, dikocok kuat selama 1 menit, terbentuk buih
yang mantap, kemudian buih yang terbentuk tetap ada hingga 1 - 15 menit
3.3.5.6 Tanin
10 mg sampel dilarutkan dalam 6 ml aquadest panas, kemudian bagi dalam 3 tabung
reaksi. Tabung 1 ditambahkan 5 tetes larutan NaCl 1%, tabung 2 ditambahkan 5 tetes larutan
NaCl 1% dan 5 tetes larutan gelatin 5%, tabung 3 ditambahkan FeCl 3 5% 5 tetes. Hasil positif
ditunjukkan jika pada tabung ke 2 terjadi endapan putih dan tabung ke 3 terjadi warna ungu
atau biru kehitaman.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penyiapan Simplisia

HARI/
TANGGAL/

KEGIATAN

HASIL

PUKUL/

Senin, 29/2/16

Sortasi basah

12.30 WIB
Senin, 29/2/16

Pencucian

Bersih

Senin, 29/2/16

Penimbangan

1 kg

13.30 WIB

(bobot sampel basah)

13.10 WIB

Pengeringan
Sortasi kering
Penimbangan
(bobot sampel kering)

4.2 Uji Organoleptis dan Mikroskopis

Nama Simplisia : Daun Katuk

Hasil Praktikum
1. Uji Organoleptis
Bau

: Aromatik, lemah

Rasa

: Tawar

Warna

: Hijau Tua

2. Uji Mikroskopis

4.3 Ekstraksi Padat-Cair


Nama Simplisia

: Daun Katuk

Metode Ekstraksi : Maserasi

Hari/ Tanggal/

Kegiatan

Hasil

Perendaman simplisia

Semua terendam

Pengadukan 1

Semua tercampur

Pukul

Senin, 14/3/16
14.00 WIB
Senin, 14/3/16
14.05 WIB

Pengadukan 2
Pengadukan 3
Pengadukan 4
1 = 439 ml
Penyaringan

2 = 528 ml
3 = 389 ml

Penguapan
Hasil Praktikum
Berat simplisia kering : 170

gram

Volume pelarut

: 1700 ml ( 1x = 850 ml, 2x = 510 ml, 3x = 240 ml)

Ekstrak cair

: 1,356 ml

Berat cawan kosong : 85,94 gram

Nama Simplisia

: Daun Katuk

Metode Ekstraksi : Infusa

Hari/ Tanggal/

Kegiatan

Hasil

Pukul

Senin, 14/3/16

Pemanasan simplisia

14.15 WIB

( Infusa)

Senin, 14/3/16

Pengadukan 1

14.25 WIB
Pengadukan 2
Pengadukan 3
Pengadukan 4
Senin, 14/3/16

Penyaringan

100 ml

Penguapan

4,22 gram

15.15 WIB
Selasa, 15/3/16
12.00 WIB
Hasil Praktikum
Berat simplisia kering : 10

gram

Volume pelarut

: 120 ml

Ekstrak cair

: 100 ml

Berat cawan kosong : 95,04 gram


Berat ekstrak kental

: 4,22 gram

Rendemen

: 42,2 %
ekstrak kental

X 100 % = 4,22 X 100 %

berat sampel

10
= 42,2 %

4.4 Ekstraksi Cair-Cair


Nama Simplisia : Daun Katuk
HASIL PRAKTIKUM
Berat ekstrak kental

: 3 gram

Volume etanol

: 15 ml

Volume n-heksan

: 60 ml

Ekstrak kental etanol

: 10 gram

Ekstrak kental n-heksan

: 54 gram

Partisi menggunakan (1:2) etanol : n-heksan

Hari/ Tanggal/

Kegiatan

Hasil

Pukul

Senin, 28/3/16

Melarutkan ekstrak
dengan etanol

Larut

12.15 WIB
Senin, 28/3/16

Penambahan n-hexan
Pemisahan dengan corong
pisah

Terdapat 2 lapisan
n-heksan : 54 ml
etanol

Penguapan dengan
waterbath
Ekstrak kental etanol
Ekstrak kental n-hexan

: 10 ml

4.5 Uji Fitokimia Dengan Pereaksi Spesifik


Nama Simplisia

: Daun Katuk

Ekstrak

: Etanol

Hasil Praktikum
Identifikasi

Pereaksi

Hasil Pengamatan

Data teori

Kesimpulan
(+/-)

(warna/endapan/buih)

LiebermannBurchard test

hitam

Warna Biru, orange,


hijau

Salkowski

coklat

Lapisan merah atau


orange, atau hijau
biru

Reaksi Mayer

Endapan putih

Reaksi
Dragendorff

Endapan merah bata


atau endapan orange
kecoklatan

Reaksi Wagner

Endapan coklat

3. Fenol

FeCl3 1%

Warma hijau

Warna ungu atau


warna biru-hitam

4. Flavonoid

Shinoda test

Hitam

Warna
orange,
merah muda, merah,
purple

Test H2SO4

1.
Terpenoid
-steroid

2. Alkaloid

Tidak terdapat endapan putih


Kuning kecoklatan

Endapan coklat

Warna kuning tua,


merah
kebiruan,

orange-merah

5. Saponin

6. Tanin

Buih yang mantap


dan terbentuk tetap
ada hingga 1-15
menit

Aquadest

Tabung 1

Tabung 2

Tabung 3

Tidak ada endapan

Warna
orange

kuning,

Endapan putih

Nama Simplisia

: Daun Katuk

Ekstrak

: N-hexan

Hitam

Warna ungu atau


biru kehitaman

Hasil Pengamatan

Data teori

Kesimpulan
(+/-)

Orange

Warna Biru, orange,


hijau

Hijau

Lapisan merah atau


orange, atau hijau
biru

Endapan putih

Endapan merah bata


atau endapan orange
kecoklatan

Endapan coklat

Hasil Praktikum
Identifikasi

Pereaksi

(warna/endapan/buih)
1.
Terpenoid
-steroid

2. Alkaloid

3. Fenol

LiebermannBurchard test

Salkowski

Reaksi Mayer

Reaksi
Dragendorff

Reaksi Wagner

FeCl3 1%

Tidak ada endapan putih


Hijau

Kuning
Kuning keemasan

Warna

ungu

atau

warna biru-hitam
4. Flavonoid

5. Saponin

6. Tanin

Shinoda test

Hitam

Warna
orange,
merah muda, merah,
purple

Test H2SO4

Hijau

Warna kuning tua,


merah
kebiruan,
orange-merah

Buih yang mantap


dan terbentuk tetap
ada hingga 1-15
menit

Aquadest

Tabung 1

Tabung 2

Tabung 3

Tidak ada endapan

Warna
orange

kuning,

Endapan putih
Kuning pucat

Warna ungu atau


biru kehitaman

4.6 Pembahasan
Tanaman merupakan bahan alam yang sering digunakan sebagai sumber bahan obat. Di
Indonesia terdapat berbagai macam tanaman yang berpotensi atau dapat dijadikan sebagai
bahan baku obat, khususnya obat yang digunakan masyarakat secara turun temurun.
Keuntungan penggunaan obat tradisional ini karena mudahnya diperoleh serta bahan bakunya
dapat dikembangkan sendiri. Bahan alam memang sangat mudah digunakan sebagai obat
karena mudah ditemuukan disekitar kita, namun tetap saja memiliki cara-cara tertentu dalam
pengambilan dan proses pengolahannya. Fitokimia adalah cabang ilmu pengetahuan alam
yang membahas mengenai kandungan kimia bahan alam. Pada praktikum kali ini kami
menggunakan daun katuk (Sauropus androgunus (L) Merr.) sampel daun yang telah dipetik
kemudian dibersihkan dari kotoran yang mungkin melekat, misalnya debu, tanah dan lainlain dengan menggunakan air yang mengalir, setelah itu dilakukan pengeringan dengan cara
dimasukkan ke dalam dry kabinet. Tujuan dari pengeringan ini adalah untuk mengurangi

kadar air dari sampel dan untuk mencegah pertumbuhan jamur dan mencegah terjadinya
reaksi enzimatis yang dapat menguraikan atau bahkan merusak komponen kimia dalam
simplisia tersebut. Setelah sampel kering, sampel kemudian dihaluskan lalu dilakukan uji
organoleptis dan mikroskpis.
Uji organoleptik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui khususnya bau dan rasa
simplisia yang diuji. Hasil organoleptis dari simplisia daun katuk bau aromatik lemah, rasa
tawar dan warna hijau tua dan tujuan pada percobaan pemeriksaan simplisia secara
mikroskopi adalah untuk melakukan identifikasi simplisia dengan menggunakan mikroskop
serta dapat menyebutkan ciri khas simplisia yang diperiksa.
Uji mikroskopis dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang derajad
pembesarannya disesuaikan dengan keperluan. Simplisia yang diuji dapat berupa sayatan
melintang, membujua atau berupa serbuk. Pada uji mikroskopis dicari unsur-unsur anatomi
yang khas. Dari pengujian ini akan diketahui jenis simplisia berdasarkan fragmen pengenal
yang spesifik dari masing-masing simplisia. Simplisia disayat dengan pisau silet. Sayatan
dapat berbentuk sayatan melintang atau mebujur sesuai dengan keperluan. Hasil sayatan
dimasukkan kedalam kaca arloji yang berisi air kemudian diamati dibawah mikroskop setelah
itu dilanjutkan dengan ekstraksi padat cair.
Pada proses ekstraksi padat cair kami menggunakan metode maserasi. Maserasi
merupakan penyarian sederhana dengan merendam serbuk simplisia dalam bejana dengan
cairan penyari yang sesuai selama beberapa hari dengan temperatur kamar, terlindung dari
cahaya matahari sambil diaduk, dimana cairan penyari akan menembus dinding sel dan
masuk ke dalam rongga sel lalu menyari zat aktif. Dalam hal ini kami melakukan maserasi
dengan sampel daun katuk dan pelarut yang digunakan yaitu etanol 70%. Proses perendaman
ini dilakukan selama 3 x 24 jam dengan perbandingan pelarut hari pertama 1 : 5, hari kedua 1
: 3 dan hari ketiga 1 : 2. Sampel dimasukkan dalam bejana yang tertutup rapat dan terlindung
dari cahaya. Jumlah perbandingan ini menunjukan bahwa dalam proses maserasi kita
membutuhkan pelarut yang banyak karena sampel simplisia harus terendam seluruhnya
dalam pelarut. Pelarut yang digunakan adalah etanol 70% karena etanol bersifat semipolar,
yaitu dapat melarutkan senyawa baik yang bersifat polar dan non polar. Kemudian pada
proses penyimpanan juga mempengaruhi kualitas dari maserasi, karena seperti kita ketahui
bersama bahwa maserasi harus disimpan pada suhu kamar dan terlindung dari sinar matahari.
Untuk mengantisipasi hal-hal negatif, maka dalam penyimpanan kami membungkus toples
yang telah berisi sampel dan pelarut dengan kantong plastik hitam. Selama penyimpanan
pengadukan tetap dilakukan, agar supaya sampel dapat cepat terekstraksi oleh pelarut.
Setelah dibiarkan selama 24 jam, didapatkan ekstrak etanol dengan menyaring daun katuk
yang telah terekstraksi. Hasilnya adalah ekstrak etanol. Kemudian dilakukan lagi proses
remaserasi, dimana maserat yang diperoleh dari maserasi I kemudian diekstraksi lagi dengan
menambahkan pelarut dan dilakukan selama 3 hari. Setelah diperoleh ekstrak cair dari proses
maserasi maka dilanjutkan dengan penguapan ekstrak cair dimana pada percobaan ini dilakukan dengan
penguapan menggunakan metode sederhana dengan pemanasan, yaitu dengan menggunakan penangas air.
Alasan digunakan metode sederhana dengan pemanasan yakni karena sifat dari etanol yang mudah
menguap sehingga proses penguapan pelarut dapat berlangsung dengan cepat. Adapun bobot ekstrak
yang diperoleh dengan metode penguapan sederhana dengan pemanasan menggunakan penangas air adalah

4,22 gram dan diperoleh % ekstrak rendamen adalah 42,2 %. Hasil ekstrak kental daun katuk
kemudian disimpan dalam vial. Setelah didapatkan ekstrak kental dari daun katu selanjutnya
dilakukan ekstraksi cair-cair.
Partisi ekstrak (ekstraksi cair-cair) adalah proses pemisahan zat terlarut di dalam dua
macam zat pelarut yang tidak saling bercampur,dengan kata lain perbandingan konsentrasi
zat terlarut dalam pelarut organik dan pelarut air. Hal tersebut memungkinkan karena adanya
sifat senyawa yang dapat larut dalam air dan ada pula yang dapat terlarut dalam pelarut
organik. Sedangkan ekstraksi padat-cair adalah proses pemisahan untuk memperoleh
komponen zat terlarut dari campurannya dalam padatan dengan menggunakan pelarut yang
sesuai. Pada umumnya metode ini digunakan untuk sampel yang tidak larut dalam air.
Tujuan dilakukannya partisi yaitu untuk memisahkan komponen kimia dari sampel
berdasarkan tingkat kepolarannya. Proses partisi sebenarnya dapat dilakukan dengan partisi
cair-cair ataupun partisi padatcair, namun pada praktikum kali ini hanya dilakukan partisi
cair-cair. Prinsip dari proses partisi yaitu digunakannya dua pelarut yang tidak saling
bercampur untuk melarutkan zat-zat yang ada dalam ekstrak. Ekstrak yang digunakan dalam
percobaan ini adalah ekstrak daun katuk. Pelarut yang digunakan yaitu pelarut yang bersifat
polar dan nonpolar. Pada pengerjaan awal, partisi dilakukan dengan menggunakan pelarut
non polar (n-Heksan), hal ini disebabkan karena jika pada pengerjaan awal digunakan pelarut
polar, maka dikhawatirkan adanya senyawa nonpolar yang ikut terlarut, sebagaimana kita
ketahui bahwa pelarut polar, selain mampu melarutkan senyawa yang bersifat polar juga
mampu melarutkan senyawa yang bersifat nonpolar. Tahap-tahap dalam melakukan proses
partisi yaitu pertama-tama 3 gram ekstrak kental ditambahkan dengan 15 ml etanol. Setelah
larut, kemudian dimasukkan ke dalam corong pisah dan ditambahkan n-heksana dan dikocok
pada satu arah hingga homogen. Sesekali membuka kerancorong pisah untuk mengeluarkan
udara dari hasil pengocokan. Dipisahkan hingga terlihat adanya dua lapisan, dimana lapisan
atas adalah lapisan n-heksan, sedangkan lapisan bawah adalah lapisan etanol. Hal ini

disebabkan karena etanol memiliki massa jenis yang lebih besar daripada n-heksan.
Selanjutnya untuk lapisan ekstrak n-heksan ditampung dan diuapkan sehingga di dapatkan
ekstrak kering. Sedangkan untuk lapisan etanol, dimasukkan ke dalam corong pisah dan
ditambahkan lagi n-heksan dan dikocok hingga homogen, prosedur ini dilakukan sama halnya
pada prosedur awal, dan dilakukan terus-menerus hingga lapisan atas kelihatan jernih.
Setelah proses ekstraksi cair-cair dilanjutkan dengan uji fitokimia dengan pereaksi spesifik.
Identifikasi metabolit sekunder dengan metode uji fitokimia dilakukan untuk
mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder dalam suatu bahan secara kualitatif.
Dilakukan enam uji metabolit sekunder diantaranya uji alkaloid, uji flavonoid, uji terpenoidsteroid, fenol, tanin dan uji saponin. Hasilnya, pada ekstrak etanol positif mengandung
alkaloid sedangkan pada ekstrak n-hexan didapat hasil yang berbeda yaitu mengandung
terpenoid.
Pada uji terpenoid-steroid dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard,
diperoleh hasil yang berbeda. Saat uji terpenoid-steroid pada ekstrak etanol daun katuk tidak
mengandung senyawa terpenoid-steroid sedangkan pada ekstrak n-hexan daun katuk
mengandung senyawa terpenoid-steroid. Hasil positif terpenoid-steroid ditunjukkan dengan
adanya endapan orange saat penambahan pereaksi libermann-burchard dan warna hijau pada
saat penambahan 1 ml kloroform dan 1 asam sulfat pekat.

Pada uji alkaloid dengan menggunakan pereaksi Wagner,Dragendroff dan wagmer


diperoleh hasil yang berbeda. Saat uji alkaloid pada ekstrak etanol daun katuk mengandung
senyawa alkaloid sedangkan pada ekstrak n-hexan daun katuk mengandung senyawa
alkaloid. Hasil positif terpenoid-steroid ditunjukkan dengan adanya endapan coklat pada
pengujian dengan reaksi Wagner. Untuk senyawa fenol, flavonoid, saponin dan tanin tidak
terkandung dalam ekstrak etanol maupun ekstrak n-hexan.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pada ekstrak etanol daun katuk mengandung senyawa alkaloid sedangkan pada ekstrak nhexan daun katuk mengandung terpenoid-steroid.
2. Tidak ada flavonoid yang terkandung dalam ekstrak metanol atau ekstrak n-hexan daun
katuk yang telah dilakukan uji fitokimia sehingga tidak dapat diketahui jenis senyawa
flavonid apa yang terkandung didalam daun katuk.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen POM, Cara Pembuatan Simplisia , Depkes RI, Jakarta, 1985.


Tim Dosen, Penuntun Praktikum Fitokiomia, Akademi Farmasi Yarsi, Pontianak, 2016
Sudjadi, Drs., (1986), "Metode Pemisahan", UGM Press, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai