Anda di halaman 1dari 32

JUNI, 2016

PEMBUATAN DAN
STANDARISASI
JAHE MERAH

(Zingeber officinale Roscoe.Sunti Valeton)

Disusun oleh

Kelas E

Dwi Anggarwati (AKF 15181)


Fransiska Yuliana Karti (AKF 15188)
Ratna Dewi Ayu Lestari (AKF 15208)
Revina Lidyawati (AKF 15210)
Shindy Gloria (AKF 15215)
Suhul Raos K.I.G (AKF 15218)
Windiawati (AKF 15221)

AKADEMI FARMASI
PUTRA INDONESIA MALANG
i
DAFTAR ISI

Halaman sampul ............................................................................................................ i


Daftar isi ........................................................................................................................ ii
Daftar Tabel ................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................................ 1
1.3 Manfaat .............................................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 2
2.1. Tinjauan Tentang Simplisia .............................................................................. 2
2.2. Tinjauan Tentang Standarisasi Simplisia ......................................................... 12
2.3. Tinjauan Tentang Screaning Fitokimia ............................................................ 14
2.4. Tinjauan Tentang Jahe Merah .......................................................................... 17
BAB III METODE KERJA ........................................................................................ 19
3.1 Sumber Tanaman ............................................................................................... 19
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................................. 19
3.3 Pembuatan Simplisia ......................................................................................... 20
3.4 Analisis Kualitatif .............................................................................................. 21
3.5 Analisis Kuantitatif ............................................................................................ 21
3.6 Screaning Fitokimia ........................................................................................... 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 24
4.1. Pembuatan Simplisia ......................................................................................... 24
4.2. Analisis Kualitatif .............................................................................................. 24
4.3. Analisis Kuantitatif ............................................................................................ 25
BAB V KESIMPULAN ............................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 29

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Uji Kadar Air ................................................................................................. 25


Tabel 4.2 Uji Kadar Abu ............................................................................................... 26
Tabel 4.3 Susut Pengeringan (Sebelum Dioven) ............................................................ 26
Tabel 4.4 Susut Pengeringan (Setelah Dioven) ............................................................. 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki kekayaan alam berlimpah yang terletak di darat dan di laut.
Kekayaan alam itu berupa tumbuhan, hewan dan mineral. Identifikasi yang dilakukan pada
bahan-bahan alam tersebut menghasilkan bahan obat yang berkhasiat. Jika bahan alam yang
berkhasiat ini dikoleksi, dikeringkan, diolah, diawetkan dan disimpan maka akan diperoleh
bahan yang siap pakai atau pada umumnya disebut simplisia.
Untuk menghasilkan simplisia yang bermutu baik perlu dilakukan beberapa tahapan
yang runtut dimulai dari pemilihan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perubahan bentuk,
pengeringan dan pengemasan simplisia. Setiap tahapan harus dilakukan dengan benar, jika
pada salah satu tahapan keliru maka akan mempengaruhi tahap selanjutnya dan kualitas
simplisia yang dihasilkan.
Simplisia perlu dilakukan uji standarisasi, agar simplisia yang dihasilkan mempunyai
mutu, kandungan dan berkhasiat sama dengan bahan baku awal yang belum diolah menjadi
simplisia. Standarisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan
digunakan untuk obat atau sebagai bahan baku harus memenuhi standar mutu. Sebagai
parameter standar yang digunakan adalah persyaratan yang tercantum dalam monografi
resmi yang diterbitkan Depkes RI seperti Materia Medika Indonesia, sedangkan sebagai
produk yang langsung dikonsumsi (sebagai jamu) masih harus memenuhi persyaratan
produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan melakukan proses pembuatan simplisia yang terstandar.
2. Untuk mengetahui dan melakukan proses analisis standarisasi simplisia.
3. Untuk mengetahui dan melakukan proses screaning fitokimia.

1.3 Manfaat
1. Mahasiswa dapat mempraktikan pembuatan simplisia jahe merah yang terstandar.
2. Mahasiswa dapat mempraktikan analisis standarisasi simplisia jahe merah.
3. Mahasiswa dapat mempraktikan screaning fitokimia simplisia jahe merah.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Tentang Simplisia


2.1.1. Definisi Simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan bahan
yang dikeringkan ( Depkes, 1989 ). Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku
pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk ( Depkes, 1985 ). Simplisia terbagi
dari :
1. Simplisia nabati, adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat
tanaman.
2. Simplisia hewani, adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-
zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni
3. Simplisia mineral ( pelikan ), adalah simplisia yang berupa mineral yang belum
diolah atau diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni (
Depkes, 1989 ).
2.1.2. Kualitas Simplisia
Untuk memperoleh simplisia yang berkualitas, perlu diperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas simplisia. Faktor-faktor yang mempengaruhi simplisia adalah

2.1.2.1. Bahan Baku


Tanaman obat yang menjadi sumber simplisia nabati, merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi mutu simplisia. Tumbuhan yang menjadi bahan baku obat adalah
tumbuhan liar dan tumbuhan budidaya.
Tumbuhan budidaya adalah tumbuhan yang sengaja ditanam untuk tujuan
pembuatan simplisia. Bahan baku yang berasal dari tumbuhan budidaya dapat memiliki
keseragaman umur, waktu panen, asal-usul bibit yang akan ditanam karena dapat dilakukan
pemantauan. Dengan adanya pemantauan secara rutin dapat dikatakan mutu simplisia yang
dihasilkan bisa seragam. Tanaman budidaya dapat diusahakan untuk meningkatkan mutu
simplisia dengan jalan.

2
1. Bibit dipilih untuk mendapatkan tanaman unggul, sehingga simplisia yang
dihasilkan memiliki kandungan senyawa aktif yang tinggi.
2. Pengolahan tanah, pemeliharaan, pemupukan dan perlindungan tanaman
dilakukakn dengan saksama dan bila mungkin menggunakan teknologi tepat guna.
Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang tumbuh dengan sendirinya di hutan atau di
alam bebas atau tumbuhan yang sengaja ditanam tetapi untuk tujuan lain misalnya sebagai
tanaman hias. Tumbuhan liar umumnya kurang baik untuk dijadikan sumber simplisia
dibandingkan dengan tumbuhan budidaya, karena mutu simplisia yang dihasilkan tidak
tetap. Penyebab dari mutu simplisia yang tidak tetap adalah
1. Umur tumbuhan yang berbeda.
Setiap bagian dari tumbuhan pasti mempunyai waktu atau umur panen yang
berbeda, karena umur panen menentukan banyak tidaknya kandungan senyawa di dalam
tumbuhan.
2. Jenis tumbuhan yang dipanen.
Pada beberapa tumbuhan memiliki bentuk yang hampir sama sehingga dapat terjadi
kekeliruan pada saat pemilihan bahan baku. Misalnya jahe memiliki 3 jenis yaitu jahe putih
besar, jahe putih kecil dan jahe merah. Jahe-jahe tersebut memiliki rupa yang hampir sama,
tetapi ketika diperhatikan secara teliti akan terlihat perbedaan dari ketiga jahe tersebut. Jahe
putih besar memiliki rimpang yang lebih besar dan ruas rimpang menggembung, jahe putih
kecil memiliki ruas kecil agak rata samapi sedikit menggembung, jahe merah memiliki
rimpang berwarna merah dan lebih kecil dari pada jahe putih kecil.
3. Lingkungan tempat tumbuh
Lingkungan tempat tumbuh yang berbeda sering mengakibatkan perbedaan kadar
kandungan senyawa aktif.
Simplisia baik sebagai bahan baku maupun produk yang siap dikonsumsi langsung,
dapat dipertimbangkan tiga konsep untuk menyusun parameter standar umum yaitu :
1. Simplisia sebagai bahan farmasi seharusnya memenuhi tiga parameter umum yaitu
: kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas terkontaminasi bahan kimia dan biologi)
dan aturan penstabil (wadah, penyimpanan, transportasi)
2. Simplisia sebagai bahan dan produk yang dikonsumsi langsung, sebaiknya
memenuhi 3 paradigma yaitu : Quality, Safety, Efficacy (kualitas-keamanan-manfaat).
3. Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab
terhadap respon biologis tubuh maka harus ada informasi komposisi (jenis dan kadar)
kandungan kimia.

3
2.1.2.2. Dasar Pembuatan Simplisia
1. Simplisia dibuat dengan cara pengeringan
Pembuatan simplisia dengan cara ini dilakukan dengan pengeringan cepat, tetapi
dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Pengeringan yang terlalu lama akan mengakibatkan
simplisia yang diperoleh ditumbuhi kapang. Pengeringan dengan suhu yang tinggi akan
mengakibatkan perubahan kimia pada kandungan senyawa aktifnya. Untuk mencegah hal
tersebut, untuk simplisia yang memerlukan perajangan perlu diatur panjang perajangannya,
sehingga diperoleh tebal irisan yang pada pengeringan tidak mengalami kerusakan.
2. Simplisia dibuat dengan fermentasi.
Proses fermentasi dilakukan dengan seksama, agar proses tersebut tidak
berkelanjutan kearah yang tidak diinginkan.
3. Simplisia dibuat dengan proses khusus.
Pembuatan simplisia dengan penyulingan, pengentalan eksudat nabati, penyaringan
sari air dan proses khusus lainnya dilakukan dengan berpegang pada prinsip bahwa pada
simplisia yang dihasilkan harus memiliki mutu sesuai dengan persyaratan.
4. Simplisia pada proses pembuatan memerlukan air.
Pati, talk dan sebagainya pada proses pembuatannya memerlukan air. Air yang
digunakan harus terbebas dari pencemaran serangga, kuman patogen, logam berat dan lain-
lain.

2.1.3. Tahapan Pembuatan Simplisia


1. Pengumpulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara lain tergantung pada
Bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman yang digunakan, waktu panen dan
lingkungan tempat tumbuh.
Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif di
dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat bagian
tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar.
Secara garis besar, pedoman panen sebagai berikut :
1) Tanaman yang pada saat panen diambil bijinya yang telah
tua seperti kedawung (Parkia rosburghii), pengambilan biji ditandai dengan telah
mengeringnya buah. Sering pula pemetikan dilakukan sebelum kering benar, yaitu sebelum
buah pecah secara alami dan biji terlempar jauh, misal jarak (Ricinus communis).

4
2) Tanaman yang pada saat panen diambil buahnya, waktu pengambilan sering
dihubungkan dengan tingkat kemasakan yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada
buah seperti perubahan tingkat kekerasan missal labu merah (Cucurbita moschata).
Perubahan warna, misalnya asam (Tamarindus indica), kadar air buah, misalnya belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi), jeruk nipis (Citrus aurantifolia) perubahan bentuk buah, misalnya
mentimun (Cucumis sativus), pare (Momordica charantia).
3) Tanaman yang pada saat panen diambil daun pucuknya pengambilan
dilakukan pada saat tanaman mengalami perubahan pertumbuhan dari vegetatif ke generatif.
Pada saat itu penumpukan senyawa aktif dalam kondisi tinggi, sehingga mempunyai mutu
yang terbaik. Contoh tanaman yang diambil daun pucuk ialah kumis kucing (Orthosiphon
stamineus).
4) Tanaman yang pada saat panen diambil daun yang telah tua, daun yang
diambil dipilih yang telah membuka sempurna dan terletak di bagian cabang atau batang
yang menerima sinar matahari sempurna. Pada daun tersebut terjadi kegiatan asimilasi yang
sempurna. Contoh panenan ini misal sembung (Blumea balsamifera).
5) Tanaman yang pada saat panen diambil kulit batang pengambilan
dilakukan pada saat tanaman telah cukup umur. Agar pada saat pengambilan tidak
mengganggu pertumbuhan, sebaiknya dilakukan pada musim yang menguntungkan
pertumbuhan antara lain menjelang musim kemarau.
6) Tanaman yang pada saat panen diambil umbi lapis, pengambilan dilakukan
pada saat umbi mencapai besar maksimum dan pertumbuhan pada bagian di atas tanah
berhenti misalnya bawang merah (Allium cepa).
7) Tanaman yang pada saat panen diambil rimpangnya, pengambilan dilakukan
pada musim kering dengan tanda-tanda mengeringnya bagian atas tanaman. Dalam keadaan
ini rimpang dalam keadaan besar maksimum. Panen dapat dilakukan dengan tangan
menggunakan alat atau menggunakan mesin. Dalam ha1 ini keterampilan pemetik
diperlukan, agar diperoleh simplisia yang benar, tidak tercampur dengan bagian lain dan
tidak merusak tanaman induk. Alat atau mesin yang digunakan untuk memetik perlu dipilih
yang sesuai. Alat yang terbuat dari logam sebaiknya tidak digunakan bila diperkirakan akan
merusak senyawa aktif simplisia seperti fenol, glikosida dan sebagainya.

2. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan
asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar suatu

5
tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang
telah rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah mengandung bermacam-
macam mikroba dalam jurnlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari
tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal.

3. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya yang
melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari mata
air, air sumur atau air PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut di
dalam air yang mengalir, pencucian agar dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan air.
1) Mata air, harus memperhatikankemungkinan pencemaran yang diakibatkan
oleh mikroba dan pestisida.
2) Sumur, harus memperhatikan pencemar yang mungkin timbul akibat mikroba
dan limbah buangan rumah tangga.
3) Perusahaan Air Minum (PAM), sering tercemar oleh kapur khlor.
Pencucian bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain :
1) Perendaman bertingkat
Dilakukan pada bahan yang tidak terlalu banyak mengandung kotoran seperti
daun, bunga, buah dan lain-lain. Proses perendaman dilakukan beberapa kali pada wadah
dan air yang berbeda, pada rendaman pertama air cuciannya mengandung kotoran paling
banyak. Saat perendaman kotoran-kotoran yang melekat kuat pada bahan dapat
dihilangkan langsung dengan tangan. Metode ini akan menghemat penggunaan air, namun
sangat mudah melarutkan zat-zat yang terkandung dalam bahan.
2) Penyemprotan
Dilakukan pada kotoran yang banyak melekat pada bahan seprti rimpang, akar,
umbi dan lain-lain. Proses penyemprotan dilakukan dengan menggunakan air bertekanan
tinggi. Untuk lebih meyakinkan kebersihan bahan, kotoran yang melekat kuat pada bahan
dapat dihilangkan langsung dengan tangan. Proses ini biasanya menggunakan air yang cukup
banyak, namun dapat mengurangi resiko hilang/larutnya kandungan dalam bahan.
3) Penyikatan
Dilakukan terhadap jenis bahan yang keras/tidak lunak dan kotorannya melekat
sangat kuat. Pencucian ini memakai alat bantu sikat. Penyikatan dilakukan terhadap bahan
secara perlahan dan teratur agar tidak merusak bahannya. Pembilasan dilakukan terhadap

6
bahan yang sudah disikat. Metode pencucian ini dapat menghasilkan bahan yang lebih bersih
dibandingkan dengan metode pencucian lainnya, namun meningkatka resiko kerusakan
bahan, sehingga merangsang tumbuhnya bakteri atau mikroorganisme.

4. Pengubahan bentuk
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan. Perajangan
bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan
penggilingan. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin perajang khusus
sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki.
Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga
mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga dapat
menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap. Sehingga
mempengaruhi komposisi bau dan rasa yang diinginkan. Selama perajangan seharusnya
jumlah mikroba tidak bertambah. Beberapa perlakuan dalam pengubahan bentuk :
1) Pengupasan untuk buah, kayu, kulit kayu, biji-bijian yang ukurannya besar.
2) Pemiprilan khusus untuk jagung (biji dipisahkan dari jonggolnya)
3) Pemotongan untuk akar, batang, kayu, kulit kayu dan ranting.
4) Penyerutan untuk kayu.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perajangan :
1) Ukuran perajangan tergantung dari bahan yang digunakan dan berpengaruh
terhadap kualitas simplisia yang dihasilkan.
2) Perajangan terlalu tipis dapat mengurangi zat aktif yang terkandung dalam
bahan.
3) Perajangan terlalu tebal, maka pengurangan kadar air dalam bahan agak sulit dan
memerlukan waktu yang lama dalam penjemuran dan kemungkinan besar bahan mudah
ditumbuhi oleh jamur.
4) Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual dengan pisau yang tajam dan
terbuat dari steinles ataupun dengan mesin pemotong/perajang.
5) Bentuk irisan split atau slice tergantung tujuan pemakaian. Untuk tujuan
mendapatkan minyak atsiri yang tinggi bentuk irisan sebaiknya adalah membujur (split) dan
jika ingin bahan lebih cepat kering bentuk irisan sebaiknya melintang (slice).

7
5. Pengeringan
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak,
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan
menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia. Air
yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat merupakan media pertumbuhan
kapang dan jasad renik lainnya. Enzim tertentu dalam sel masih dapat bekerja, menguraikan
senyawa aktif sesaat setelah sel mati dan selama bahan simplisia tersebut masih mengandung
kadar air tertentu. Pada tumbuhan yang masih hidup pertumbuhan kapang dan reaksi
enzimatik yang merusak itu tidak terjadi karena adanya keseimbangan antara proses-proses
metabolisme, yakni proses sintesis, transformasi dan penggunaan isi sel. Keseimbangan ini
hilang segera setelah sel tumbuhan mati.
Suhu pengeringan tergantung kepada bahan simplisia dan cara pengeringannya.
Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30° sampai 90°C, tetapi suhu yang terbaik
adalah tidak melebihi 60°C. Bahan simplisia yang mengandung senyawa aktif yang tidak
tahan panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya
30° sampai 45° C. Berikut ini beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengeringan
1) Waktu pengeringan. Semakin lama dikeringkan akan semakin kering bahan
tersebut.
2) Suhu pengeringan. Semakin tinggi suhu akan semakin cepat kering, namun harus
dipertimbangkan daya tahan kandungan zat aktif di dalam selyang tidak tahan panas tersebut
dapat merusak komponen zat aktif sehingga mutunya dapat menurun. Hasil yang baik dari
proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar air 10%.
3) Kelembapan udara disekitarnya dan kelembapan kandungan bahan atau
kandungan air dari bahan.
4) Sirkulasi udara.
5) Luas permukaan bahan, semakin luas maka akan semakin cepat kering. Bahan
tidak saling menumpuk.

Pada dasarnya dikenal dua cara pengeringan yaitu pengeringan secara alamiah dan buatan.
1. Pengeringan Alamiah.
Tergantung dari senyawa aktif yang dikandung dalam bagian tanaman yang
dikeringkan, dapat dilakukan dua cara pengeringan.
Dengan panas sinar matahari langsung. Cara ini dilakukan untuk mengeringkan
bagian tanaman yang relatif keras seperti kayu, kulit kayu, biji dan sebagainya, dan

8
mengandung senyawa aktif yang relatif stabil. Pengeringan dengan sinar matahari yang
banyak dipraktekkan di Indonesia merupakan suatu cara yang mudah dan murah, yang
dilakukan dengan cara membiarkan bagian yang telah dipotong-potong di udara terbuka di
atas tampah-tampah tanpa kondisi yang terkontrol sepertl suhu, kelembaban dan aliran
udara. Dengan cara ini kecepatan pengeringan sangat tergantung kepada keadaan iklim,
sehingga cara ini hanya baik dilakukan di daerah yang udaranya panas atau kelembabannya
rendah, serta tidak turun hujan. Hujan atau cuaca yang mendung dapat memperpanjang
waktu pengeringan sehingga memberi kesempatan pada kapang atau mikroba lainnya untuk
tumbuh sebelum simplisia tersebut kering. F'IDC (Food Technology Development Center
IPB) telah merancang dan membuat suatu alat pengering dengan menggunakan sinar
matahari, sinar matahari tersebut ditampung pada permukaan yang gelap dengan sudut
kemiringan tertentu. Panas ini kemudian dialirkan keatas rak-rak pengering yang diberi
atap tembus cahaya di atasnya sehingga rnencegah bahan menjadi basah jika tiba-tiba turun
hujan. Alat ini telah digunakan untuk mengeringkan singkong yang telah dirajang dengan
demikian dapat pula digunakan untuk mengeringkan simplisia.
Dengan diangin-anginkan dan tidak dipanaskan dengan sinar matahari langsung.
Cara ini terutama digunakan untuk mengeringkan bagian tanaman yang lunak seperti bunga,
daun, dan sebagainya dan mengandung senyawa aktif mudah menguap.
2. Pengeringan Buatan
Kerugian yang mungkin terjadi jika melakukan pengeringan dengan sinar matahari
dapat diatasi jika melakukan pengeringan buatan, yaitu dengan menggunakan suatu alat atau
mesin pengering yang suhu kelembaban, tekanan dan aliran udaranya dapat diatur. Prinsip
pengeringan buatan adalah sebagai berikut: “udara dipanaskan oleh suatu sumber panas
seperti lampu, kompor, mesin disel atau listrik, udara panas dialirkan dengan kipas ke dalam
ruangan atau lemari yang berisi bahan yang akan dikeringkan yang telah disebarkan di atas
rak-rak pengering”. Dengan prinsip ini dapat diciptakan suatu alat pengering yang
sederhana, praktis dan murah dengan hasil yang cukup baik.
Dengan menggunakan pengeringan buatan dapat diperoleh simplisia dengan mutu
yang lebih baik karena pengeringan akan lebih merata dan waktu pengeringan akan lebih
cepat, tanpa dipengaruhi oleh keadaan cuaca. Sebagai contoh misalnya jika kita
membutuhkan waktu 2 sampai 3 hari untuk penjemuran dengan sinar matahari sehingga
diperoleh simplisia kering dengan kadar air 10% sampai 12%, dengan menggunakan suatu
alat pengering dapat diperoleh simplisia dengan kadar air yang sama dalam waktu 6 sampai
8 jam.

9
Daya tahan suatu simplisia selama penyimpanan sangat tergantung pada jenis
simplisia, kadar airnya dan cara penyimpanannya. Beberapa simplisia yang dapat tahan lama
dalam penyimpanan jika kadar airnya diturunkan 4 sampai 8%, sedangkan simplisia lainnya
rnungkin masih dapat tahan selama penyimpanan dengan kadar air 10 sampai 12%.

6. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia.
Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang
tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada
sirnplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum sirnplisia dibungkus untuk kernudian
disimpan. Seperti halnya pada sortasi awal, sortasi disini dapat dilakukan dengan atau secara
mekanik. Pada simplisia bentuk rimpang sering jurnlah akar yang melekat pada rimpang
terlampau besar dan harus dibuang. Demikian pula adanya partikel-partikel pasir, besi dan
benda-benda tanah lain yang tertinggal harus dibuang sebelum simplisia dibungkus.

7. Pengepakan dan penyimpanan


Setelah proses sortasi kering selesai, simplisia kemudian disimpan dalam wadah
tersendiri agar tidak bercampur antara simplisia satu dengan yang lainnya untuk selanutnya
ditempatkan di rak pada gudang penyimpanan.
Faktor-faktor yang memepengaruhi pengepakan dan penyimpanan antara lain :
cahaya, wadah, penyerapan air, kemungkinan terjadi proses dehidrasi, pengotoran dan atau
pencemaran baik yang disebabkan oleh serangga, kapang, bulu-bulu tikus atau binatang lain.
Adapun persyaratan wadah yang digunakan
1) Inert, tidak mudah bereaksi dengan bahan lain.
2) Tidak beracun bagi bahan yang diwadahinya maupun bagi manusia yang
menanganinya.
3) Mampu melindungi simplisia dari cemaran mikroba, kotoran dan serangga.
4) Mampu melindungi simplisia dari penguapan kandungan zat aktif.
5) Mampu melindungi simplisia dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air.
6) Mudah dipakai, tidak mempersulit penanganan, dapat melindungi isi pada waktu
pengangkutan.
7) Mempunyai bentuk dan rupa yang menarik.

10
Berikut ini merupakan penyimpanan simplisia yang baik :
1) Penyimpanan simplisia dapat dilakukan di ruang biasa (suhu kamar) ataupun
ruang ber-AC. Suhu penyimpanan, suhu kamar 15°-30°C, tempat sejuk 5°-15°C, tempat
dingin 0°-8°C.
2) Ruang tempat penyimpananharus bersih, udaranya cukup kering dan
berventilasi.
3) Ventilasi harus cukup baik karena hama menyukai udara yang lembab dan
panas. Bebas dari kebocoran atau kemungkinan masuk air hujan.
4) Kelembapan udara sebaiknya diusahakan serendah mungkin (65°C) untuk
mencegah terjadinya penyerapan air. Kelembapan udara yang tinggi dapat memicu
pertumbuhan mikroorganisme sehingga menurunkan mutu bahan baik dalam bentuk segar
maupun kering.
5) Suhu gudang tidak melebihi 30°C.
6) Ruang penyimpanan (gudang) terpisah dengan ruang kegiatan atau prosesing
lain.
7) Sirkulasi udara harus lancar, tetapi tidak boleh terbuka. Harus dicegah
masuknya angin langsung yang terlalu kencang, dicegah masuknya sinar matahari langsung
secara berlebihan.
8) Dicegah masuknya serangga atau hewan-hewan pengganggu lainnya.
9) Prinsip penyimpanan First In First Out.
10) Penyimpanan sebaiknya tidak terlalu lama. Dalam waktu tertentu harus
dilakukan pengecekan dan pengujian mutu.
11) Simplisia yang rusak harus segera dikeluarkan dan dimusnahkan.
12) Simplisia yang beracun harus disimpan terpisah, dikunci dan diberi label.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan simplisia
1. Jenis-jenis simplisia yang tahan disimpan adalah kulit kayu, kayu, akar, serta
bahan-bahan yang mengandung dammar, resin dan sebagainya. Hal-hal ini karena
bahan-bahan tersebut kurang menyerap air.
2. Simplisia yang mudah menyerap banyak air (daun, herba kering bahan yang banyak
bulu-bulunya serta tipis, umbi-umbian yang banyak mengandung amilum. Bahan-
bahan ini mampu menyerap hingga 10-15% dari bobot bahan.
3. Pengaruh kadar air pada glikosoda dapat mengakibatkan penguraian pada glikosida
jika kadar airnya mencapai lebih dari 8%.
4. Kadar air simplisia yang paling layak adlah kurang dari 5%.

11
2.2 Tinjauan Tentang Standarisasi Simplisia
Standarisasi adalah rangkaian proses yang melibatkan berbagai metode analisi kimiawi
berdasarkan data farmakologis, meliputi analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria
umum keamanan (toksikologi) (Anonim 2000). Standarisasi dapat diartikan sebagai
penetapan mutu yang terdapat pada simplisia dengan cara membandingkan suatu produk
dengan baku pembanding.
Untuk menjamin kualitas obat bahan alam maka perlu ada standarisasi simplisia dan
ekstrak. Standarisasi dapat memberi jaminan kepastian bahan dan kualitas bahan serta bahan
yang dihasilkan. Dengan demikian bahan yang dihasilkan dapat memeberikan efek seperti
yang diharapkan.
Hal-hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan pemeriksaan mutu simplisia :
1) Simplisia harus memenuhi persyaratan umum edisi terakhir dari buku-buku resmi yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI seperti Farmakope Indonesia, Ekstra
Farmakope Indonesia, dan Materia Medika Indonesia. Jika tidak tercantum maka harus
memenuhi persyaratan seperti yang disebut pada paparannya (monografinya).
2) Tersedia contoh sebagai simplisia pembanding yang setiap periode tertentu harus
diperbaharui.
3) Harus dilakukan pemeriksaan mutu fisis secara tepat yang meliputi, kurang kering atau
mengandung air, termakan serangga atau hewan lain, ada tidaknya pertumbuhan kapang
dan perubahan warna atau perubahan bau.
4) Dilakukan pemeriksaan lengkap yang terdiri dari :
Pemeriksaan organoleptik, meliputi pemeriksaan warna, bau dan rasa dari bahan.
Pemeriksaan secara organoleptik biasanya dilakukan dengan cara mencium bau dari minyak
yang menguap dari minyak yang menguap di atas kertas saring. Cara pengujian ini dapat
menentukan mutu dan pemalsuan minyak atsiri secara kualitatif.
Pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, meliputi pemeriksaan cirri-ciri bentuk luar
yang spesifik dari bahan (morfologi) maupun cirri-ciri spesifik dari bentuk anatominya.
Pemeriksaan fisik dan kimiawi, meliputi tetapan fisika (indeks bias, titik lebur, dan
kelarutan) serta reaksi-eaksi identifikasi kimiawi seperti reaksi warna dan pengendapan.
Uji biologi, penetapan angka kuman, pencemaran, dan percobaan terhadap binatang.

12
2.2.1 Analisis Kualitatif
1. Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui khususnya bau dan rasa
simplisia yang diuji. Uji organoleptik meliputi pemeriksaan terhadap bentuk, bau, rasa pada
lidah dan tangan.
2. Uji Makroskopis
Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar atau indera.
Fungsinya untuk mencari kekhususan morfologi ukuran dan warna simplisia yang diuji.
3. Uji Mikroskopis
Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran
tertentu yang disesuaikan dengan keperluan simplisia yang diuji, dapat berupa sayatan
melintang, membujur atau berupa serbuk. Funsinya untuk mengetahui unsur-unsur anatomi
jaringan yang khas dari simplisia.
4. Uji Fitokimia
Bertujuan untuk mengetahui berbagai macam zat kandungan yang terdapat dalam
jaringan tanaman. Dengan pereaksi spesifik, zat-zat kandungan tersebut akan memberikan
warna yang spesifik pula sehingga mudah dideteksi.

2.2.2 Analisis Kuantitatif


1. Uji kadar air
Tujuan dari uji kadar air adalah untuk mengetahui batasan maksimal atau rentan
tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Hal ini terkait dengan kemurnian dan
kontaminasi dalam simplisia tersebut. Dengan demikian penghilangan kadar air hingga
jumlah tertentu berguna untuk memperpanjang daya tahan bahan selama penyimpanan.
Simplisia dinilai cukup aman bila mempunyai kadar air <10%.
2. Uji kadar abu
Penentuan kadar abu dilakukan untuk memberikan gambaran kandungan mineral
internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai diperoleh simplisia dan ekstrak
baik yang berasal dari tanaman alami maupun kontamina selama proses seperti pisau yang
digunakan telah berkarat. Jumlah kadar abu maksimal yang diperbolehkan terkait dengan
kemurnian dan kontaminasi.
Rumus perhitungan kadar abu adalah
Bobot akhir x 100%
Bobot awal

13
3. Susut pengeringan
Susut pengeringan adalah persentase senyawa yang menghilang selama proses
pemanasan (tidak hanya menggambarkan air yang hilang). Pengukuran sisa zat dilakukan
dengan pengeringan pada temperatur 105°C selama 30 menit atau sampai berat konstan dan
dinyatakan dalam persen.
Rumus susut pengeringan adalah
(bobot awal – bobot akhir) x100%
Bobot awal

2.3 Tinjauan Tentang Screaning Fitokimia


Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam penelitian fitokima. Secara
umum dapat dikatakan bahwa metodenya sebagian besar merupakan reaksi pengujian warna
(spot test) dengan suatu pereaksi warna. Skrining fitokimia merupakan langkah awal yang
dapat membantu untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung
dalam tanaman yang sedang diteliti. Kesulitan yang sering dihadapi pada proses skrining
fitokimia adalah adanya false-positive result dan false-negative result.
Fitokimia adalah ilmu yang mempelajari berbagai senyawa organik yang dibentuk dan
disimpan oleh tumbuhan yaitu tentang struktur kimia, biosintetis, perubahan dan
metabolisme, serta penyebaran secara alami dan fungsi biologis sari senyawa organik.
Macam-macam uji fitokimia seperti:
1. Terpenoid dan steroid tak jenuh
Terpenoid adalah kelompok senyawa metabolit sekunder yang terbesar, dilihatdari
jumlah senyawa maupun variasi kerangka dasar strukturnya. Terpenoid ditemukan
berlimpah dalam tanaman tingkat tinggi, meskipun demikian, dari penelitian diketahui
bahwa jamur, organisme laut dan serangga juga menghasilkan terpenoid. Selain dalam
bentuk bebasnya, terpenoid di alam, juga dijumpai dalam bentuk glikosida, glikosil ester
dan iridoid. Terpenoid juga merupakan komponen utama penyusun minyak asiri.
Steroid adalah senyawa yang mempunyai kerangka dasar hidrokarbon1,2-
siklopentenoperhidrofenantren.
Uji skrining senyawa senyawa golongan terpenoid dan steroid tak jenuh dilakukan
dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard. Bahan sample tanaman sebanyak
5 gram diekstraksi dengan pelarut n-heksana atau peroleum eter ( ± 10 ml), kemudian
disaring. Ekstrak yang diperoleh diambil sedikit dan dikeringkan di atas papan spot teest,
ditambahkan 3 tetes anhidrida asetat (Ac.2O) dan kemudian 1 tetes asam sulfat pekat atau

14
H2SO4 pekat. Adannya senyawa golongan terpenoid akan ditandai dengan timbulnya
warna merah sedangkan adanya senyawa golongan steroid ditandai dengan munculnya
warna biru.

2. Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang ditemukan di alam yang
besar jumlahnya dan kebanyakan ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi. Banyaknya
senyawa flavonoid ini bukan disebabkan karena banyaknya variasu struktur, akan tetapi
lebih disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi, alkoksilasi atau glikosilasi pada
struktur tersebut. Flavonoid di alam juga sering dijumpai dalam bentuk glikosidanya.
Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan sebagian zat warna
kuning yang terdapat dalam tanaman. Flavonoid juga berperan dalam menarik serangga
untuk membnatu proses penyerbukan, zat pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis,
zat antimikroba, antivirus dan antiinsektisida.
Uji senyawa skrining senyawa ini dilakukan dengan menggunakan pereaksi
Willstater/Sianidin. Bahan sampel tanaman (5 gram) diekstraksi dengan pelarut n-
heksana atau petrleum eter sebanyak 15 ml, kemudian disaring. Ekstrak yang diperoleh
selanjutnya diekstraksi lebih lanjut menggunakan metanol (CH3OH) atau etanol
(C2H5OH) sebanyak 30 ml. 2 ml ekstrak etanol/ metanol yang diperoleh kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah dengan 0,5 ml asam klorida pekat (HCl
pekat ) dan 3 -4 pita logam Mg. Adanya flavonoid ditandai dengan warna merah, orange
dan hijau tergantung pada struktur flavonoid yang terkandung dalam sampel tersebut.

3. Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di
alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam
berbagai jenis tumbuhan. Ciri khas alkaloid adalah bahwa semua alkaloid mengandung
paling sedikit atom N yang bersifat basa dan pada umumnya merupakan bagian dari cicin
heterosiklik (batasan ini tidak terlalu tepat karena banyak senyawa heterosiklik nitrogen
lain yang ditemukan di alam yang bukan tergolong alkaloid)
Uji skrining fitokimia senyawa golongan alkaloid dilakukan dengan menggunakan
metode Culvenor dan Fitzgerald.
Bahan tanaman segar sebanyak 5-10 gram diekstraksi dengan kloroform beramonia
lalu disaring. Selanjutnya ke dalam filtrat ditambahkan 0,5-1 ml asam sulfat 2N dan

15
dikocok sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan asam (atas) di pipet dan dimasukkan ke
dalam 3 buah tabung reaksi. Ke dalam tabung reaksi yang pertama ditambahkan dua tetes
pereaksi Meyer. Ke dalam tabung reaksi tabung ke dua ditambhakn dua tetes pereaksi
Dragendorf dan ke dalam tabung reaksi yang ke tiga dimasukkan dua tetes pereaksi
Wagner. Adanya senyawa alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih tabung
reaksi yang pertama dan timbulnya endapan berwarna coklat kemerahan pada tabung
reaksi ke dua dan ke tiga.
Pembuatan larutan klorofrm beramonia yaitu sebanyak 1 ml amonia pekat 28%
ditambahkan ke dalam 250 ml kloroform. Kemudian di keringkan dengan penambahan
2,5 gram natrium sulfat anhidrat dan disaring.
Pembutan pereaksi Meyer yaitu senyawa HgCl2 sebanyak 1,5 gram dilarutkan
dengan 60 ml aquadest. Di tempat lain dilarutkan KI sebanyak 5 gram ke dalam 10 ml
aquadest. Kedua larutan yang telah dibuat tersebut kemudian di campur dan di encerkan
dengan aquadest sampai volume 100 ml. Perekasi Meyer yang diperoleh selanjutnya
disimpan dalam botol gelap.
Pembuatan pereaksi Dragendorf yaitu bismut subnitrat sebanyak 1 gram dilarutkan
dalam campuran 10 ml asam asetat glasial dan 40 ml aquadest ditempat lain 8 gram KI
dilarutkan dalam 20 ml aquadest. Kedua larutan yang telah dibuat dicampur kemudian
diencerkan dengan aquadest sampai volume 100 ml. Pereaksi Dragendorf ini harus
disimpan dalam botol yang berwarna gelap dan hanya boleh digunakan selama periode
beberapa minggu setelah dibuat.
Pembuatan pereaksi Wagne yaitu senyawa KI sebanyak 2 gram dan Iodine
sebanyak 1,3 gram dilarutkan dengan aquadest sampai volumenya 100 ml kemudian
disaring. Pereaksi Wagner ini juga harus disimpan dalm botol gelap.

4. Atrakuinon
Modifikasi uji Borntrager dapat digunakan untuk menguji adanya senyawa
golongan antrakuion. Bahan tanaman sebanyak 5 gram diuapkan di atas pemanas air sampai
kering. Bahan kering yang sudah dingin tersebut kemudian dimasukkan ke dalam campuran
larutan 10 ml KOH5N dan 1 ml H2O2 3% dan dipanaskan di atas penangas air selama 10
menit, kemudian disaring. Ke dalam filtrat yang diperoleh setelah penyaringan ditambahkan
asam asetat glasial samapi larutan bersifat asam, kemudian di ekstraksi dengan benzena.
Ekstrak benzena yang diperoleh kemudian di ambil sedikit (5 ml) dan ditambah dengan 5 ml

16
amonia, lalu dikocok. Jika terbentuk warna merah pada lapisan amonia, maka bahan tanaman
tersebut mengandung senyawa golongan antrakuinon.

2.4 Tinjauan Tentang Jahe Merah


2.4.1 Morfologi Tumbuhan Jahe Merah
Batang semu berbentuk bulat kecil, berwarna hijau kemerahan dan agak keras karena
diselubungi oleh pelepah daun. Tinggi tanaman mencapai 34.18 – 62.28 cm.
Daun tersusun berselang-seling secara teratur dan memiliki warna yang lebih hijau
gelap. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau muda dibandingkan dengan bagian
bawahnya.
Rimpang jahe merah berwarna merah hingga jingga muda.

2.4.2 Taksonomi Jahe Merah


Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
SubDivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotiledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Species : Zingiber officinale Rosc.

2.4.3 Kandungan Simplisia Jahe Merah


Jahe Merah mengandung komponen senyawa kimia yang terdiri dari minyak menguap
(volatile oil), minyak tidak menguap (nonvolatile oil), dan pati. Minyak atsiri termasuk jenis
minyak menguap dan merupakan suatu komponen yang memberi bau yang khas, sedangkan
kandungan minyak yang tidak menguap disebut oleoresin dan pati. Komponen utama
minyak atsiri jahe adalah seskuiterpen hidrokarbon dan paling dominan adalah zingiberen
(35%), kurkumen (18%), dan farnesen (10%). Zingiberen memberikan aktivitas farmakologi
dan fisiologis seperti efek antioksidan, antiinflammasi, analgesik, antikarsinogenik dan
kardiotonik. Jahe merah memiliki kandungan pati 52,9%, minyak atsiri 3,9% dan ekstrak
yang larut dalam alkohol 9,93% yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jahe lainnya.
Rasa pedas dari jahe segar berasal dari kelompok senyawa gingerol, yaitu senyawa
turunan fenol. Komponen kimia utama pemberi rasa pedas adalah keton aromatik yang

17
disebut gingerol terdiri dari 6, 8 dan 10 gingerol (Hernani dan Hayani, 2001). Komponen
utama dari jahe segar adalah senyawa homolog fenolik keton yang dikenal sebagai gingerol.
Gingerol sangat tidak stabil dengan adanya panas dan pada suhu tinggi akan berubah menjadi
shogaol. Shogaol lebih pedas dibandingkan gingerol (Mishra, 2009). Gingerol sebagai
komponen utama jahe dapat terkonversi menjadi shogaol atau zingeron. Shogaol terbentuk
dari gingerol selama proses pemanasan.
Jahe segar mengandung 4-7,5% oleoresin yang banyak dimanfaatkan dalam industri
farmasi dan makanan. Oleoresin jahe terdiri dari komponen gingerol, shogaol, zingerone,
resin, dan minyak atsiri. Oleoresin jahe mengandung lemak, lilin, karbohidrat, vitamin dan
mineral. Oleoresin memberikan kepedasan aroma yang berkisar antara 4-7% dan sangat
berpotensi sebagai antioksidan

2.4.4 Standar Mutu Simplisia Jahe Merah


1. Kadar air maksimum : tidak lebih dari 12%
2. Susut pengeringan : Tidak lebih dari 10%
3. Abu total : Tidak lebih dari 5,0%
4. Abu tidak larut asam : Tidak lebih dari 2,0%
5. Sari larut air : Tidak kurang dari 5,6%
6. Sari larut etanol : Tidak kurang dari 4,3%
7. Kadar minyak atsiri Tidak kurang dari 1,70% v/b
8. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
9. Khasiat : Karminatif

18
BAB III
METODE KERJA

3.1. Sumber Tanaman


Jahe merah didapatkan dari seorang petani yang bertempat didaerah pegunungan,
tepatnya di Desa Gubuk Klakah Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Petani tersebut
bernama Bapak Yuni, beliau budidaya jahe merah dengan cara ditanam dalam polybag-
polybag.
Jahe merah sudah biasa dipanen jika umur tanaman sudah mencapai 6 sampai 12 bulan.
Tanaman jahe merah yang kami dapatkan berumur 11 bulan dengan cara pemanenan
menggunakan tangkil atau garpu besar.

3.2. Alat dan Bahan


1. Alat
1) Cangkul atau garpu
2) Alat semprot
3) Nampan
4) Alat pemotong
5) Kain hitam
6) Blender
7) Botol kaca
8) Timbangan digital
9) Cawan penguap
10) Botol
11) Mikroskop
12) Bunseh
13) Oven
2. Bahan
1) Rimpang jahe merah segar sebanyak 1 kg
2) Air bersih
3) Kloral hidrat 70%

19
3.3. Pembuatan Simplisia
1. Pemilihan Bahan Baku
1) Dipilih tumbuhan jahe merah yang berumur 10-12 bulan.
2) Diambil jahe merah dengan menggunakan cangkul/garpu.

2. Sortasi Basah
Rimpang jahe merah digoncangkan atau diketuk-ketukan pada suatu bidang sehingga
rimpang terpisah dengan tanah.

3. Pencucian
Rimpang jahe merah dicuci dengan cara disemprot. Jika pada sela-sela rimpang masih
ada kotoran dibersihkan dengan menggunakan sikat secara pelan-pelan agar kulit rimpang
tidak terkelupas.

4. Pengubahan Bentuk
1) Sebelum dirajang rimpang jahe merah direbus dalam air mendidih selama 3 menit.
2) Setelah direbus rimpang dikeringkan.
3) Rimpang dirajang secara membujur dengan ketebalan 3mm.
4) Rimpang jahe merah dirajang menggunakan alat pemotong.

5. Pengeringan
1) Disiapkan rimpang jahe merah yang sudah dipotong.
2) Rimpang jahe merah diletakkan pada sebuah nampan dan ditutupi kain hitam.
3) Rimpang jahe merah dikeringkan di bawah sinar matahari selama 4 hari.

6. Sortasi Kering
1) Pengeringan dilakukan dengan sinar matahari langsung.
2) Setelah kering simplisia diblender supaya halus.
3) Setelah diblender simplisia diayak dengan ayakan.

7. Pengemasan dan Pengepakan


Simplisia jahe merah disimpan dalam botol kaca yang bersih dan kering. Botol kaca
yang berisi simplisia ditutup rapat supaya tidak mudah tercampur dengan bahan lain. Pada

20
bagian luar botol kaca ditempelkan identitas simplisia supaya tidak tertukar dengan simplisia
lain.

3.4. Analisis Kualitatif


1. Uji Organoleptik
1) Diambil beberapa jahe merah kering.
2) Diamati bentuk dan warna jahe merah kering.
3) Dicium bau dari jahe merah kering.
4) Dirasakan rasa dari jahe merah kering

2. Uji Makroskopis
1) Diambil beberapa jahe merah yang sudah dikeringkan.
2) Diamati bentuk, warna dan ukuran jahe merah kering.
3) Diamati serat yang ada pada permukaan jahe merah kering.

3. Uji Mikroskopis
1) Disiapkan mikroskop.
2) Diambil sedikit simplisia jahe merah dengan tusuk gigi.
3) Diletakan simplisia jahe merah di kaca preparat.
4) Ditetesi simplisia jahe merah dengan kloral hidrat 70%.
5) Dibakar simplisia jahe merah.
6) Ditutup simplisia jahe merah yang sudah dibakar dengan kaca penutup.
7) Diletakkan kaca preparat di bawah kaca mikroskop.
8) Diamati fragmen-fragmen jahe merah yang terlihat.

3.5. Analisis Kuantitatif


1. Uji kadar air
1) Ditimbang massa rimpang jahe merah segar yang akan dibuat simplisia dengan
menggunakan timbangan.
2) Dicatat hasil penimbangan.
3) Ditimbang simplisia kering rimpang jahe merah dengan menggunakan
timbangan.

21
2. Uji kadar abu
1) Menara kurs platina dan dicatat hasilnya
2) Siapkan 2 gram simplisia rimpang jahe merah yang sudah dihaluskan.
3) Masukkan serbuk simplisia kedalam krus platina atau krus silikat.
4) Ditimbang kurs platina yang sudah terisi simplisia dan dicatat.
5) Dipanaskan perlahan-lahan dengan menggunakan bunseh hingga simplisia
berubah menjadi abu.
6) Setelah berubah menjadi abu lalu didinginkan.
7) Lalu ditimbang abu yang dihasilkan dan dicatat.

3. Susut pengeringan
1) Menara botol.
2) Botol tutup botol dipanaskan menggunakan oven dengan suhu 105°C selama 30
menit.
3) Botol didinginkan dalam eksikator lalu ditimbang dan dicatat.
4) Disiapkan 2 gram simplisia jahe merah kering.
5) Dimasukan simplisia ke dalam botol dan ditimbang lalu catat hasilnya.
6) Dioven tutup botol dan botol yang berisi simplisia dengan suhu 105°C selama 30
menit.
7) Botol yang berisi simplisia dikeringkan dalam eksikator.
8) Botol yang berisi simplisia ditimbang dan dicatat hasilnya.
9) Dilakukan 3 kali langkah 6-8 sampai dihasilkan bobot konstan
10) Perbedaan bobot hasil tidak boleh lebih dari 0,05

3.6. Screaning Fitokimia


1. Uji Terpenoid
1) Ditimbang 5 gram simplisia jahe merah.
2) Diekstrasi dengan N-heksana ± 10 ml.
3) Hasil ekstrasi disaring dan akan terbentuk filtrat dan residu.
4) Filtrat dikeringkan diatas cawan penguap.
5) Ditambahkan 3 tetes anhidrida asetat dan 1 tetes asam sulfat (H2SO4) pekat.
6) Diamati warna yang terjadi.

22
2. Uji Flavonoid
1) Sisa residu dari N-heksana ditambahkan etanol sebanyak 30 ml.
2) Disaring sehingga dihasilkan 2 ml etanol.
3) Dimasukan ke dalam tabung reaksi.
4) Ditambahkan HCl 0.5 ml (2N) dan 3-4 pita logam Mg.
5) Diamati warna yang terjadi.

3. Uji Alkaloid
1) Ditimbang 5 gram simplisia jahe merah.
2) Diekstrasi dengan kloroform, kemudian didiamkan selama 10 menit.
3) Hasil ekstrasi disaring sehingga terbentuk filtrat dan residu.
4) Filtrat ditambahkan 0.5-1 ml asam sulfat (2N).
5) Dikocok sampai membentuk 2 lapisan.
6) Lapisan asam (atas) dipipet/diambil dengan corong pisah.
7) Dimasukan dalam 4 tabung reaksi.
8) Tabung I : ditambahkan 2 tetes pereaksi Meyer.
9) Tabung II : ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorf.
10) Tabung III : ditambahkan 2 tetes pereaksi Wagres.
11) Tabung IV sebagai larutan pembanding.
12) Diamati endapan yang terjadi.

4. Uji Antrakuinon
1) Ditimbang 5 gram simplisia jahe merah.
2) Ditambahkan eter sebanyak 3 ml.
3) Diuapkan di atas cawan sampai kering.
4) Ditambahkan 10 ml KOH 5N dan 1 ml H2O2 3%.
5) Dipanaskan selama 10 menit.
6) Disaring sehingga terbentuk filtrat dan residu.
7) Filtrat ditambahkan asam asetat glasial sampai bersifat asam.
8) Diekstrasi dengan benzena.
9) Ekstrak benzena 5 ml ditambah ammonia 5 ml lalu dikocok.
10) Diamati warna yang terjadi.

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pembuatan Simplisia


Dihasilkan jahe merah kering sebanyak 100 gram dari 1 kg jahe merah basah.

4.2. Analisis Kualitatif


1. Uji Organoleptis
Warna : rimpang berwarna merah.
Bentuk : agak kecil dan menghasilkan serat kasar.
Bau : khas, lebih tajam daripada jahe lainnya
Rasa : pedas
2. Uji Makroskopis
Berupa irisan rimpang pipih, bagian ujung bercabang pendek. Bentuk bulat telur
terbalik. Pada setiap cabang terdapat parut melekuk ke dalam.warna putih kekuningan, bau
khas, rasa pedas. Dalam bentuk potongan, panjang umumnya 3-4 cm, tebal 1-6,5 mm.
Bagian luar berwarna cokelat kekuningan, beralur memanjang, kadang-kadang terdapat serat
bebas. Bekas patahan pendek dan berserat menonjol. Pada irisan melintang terdapat berturut-
turut korteks sempit yang tebalnya lebih kurang sepertiga jari-jari dan endodermis. Berkas
pengangkut tersebar berwama kelabu Sel kelenjal' berupa titik yang lebih keeil berwarna
kekuningan.

24
3. Uji Mikroskopis
Fragmen pengenal adalah serabut, butir amilum, berkas pengangkut dan parenkim
dengan sel sekresi.

1. Parenkim dengan butir pati


2. Serabut
3. Pembuluh kayu

4.3. Analisis Kuantitatif


1. Uji Kadar Air
1. Diketahui :
Tabel 4.1 Uji Kadar Air
Bobot basah rimpang jahe merah 1.000 gram
Bobot kering simplisia jahe merah 100 gram

2. Perhitungan Kadar Air :


berat akhir
× 100% =
berat awal
100 gram
× 100% = 10%
1000 gram
3. Hasil
Jadi kadar air simplisia jahe merah adalah 10%. Kadar air jahe merah sesuai dengan
standar mutu persyaratan kadar air jahe merah dalam farmakope herbal yaitu tidak
lebih dari 12%.

25
2. Uji Kadar Abu
1. Diketahui
Tabel 4.2 Uji Kadar Abu
Berat kurs platina 34.7421 gram
Berat kurs + simplisia 35. 7571 gram
Berat Simplisia 1.015 gram
Berat kurs + abu 34. 8924 gram
Berat abu 0.1503 gram

2. Perhitungan Kadar Abu :


berat simplisia
× 100% =
berat abu
1.015
× 100% = 14.80%
0.1503
3. Hasil
Jadi kadar abu rimpang jahe merah adalah 14.80%. Kadar abu jahe merah yang dibuat
melebihi standar mutu dalam farmakope herbal yaitu < 5 %. Tingginya kadar abu
disebabkan karena kurang lama waktu pembakaran simplisia jahe merah. Simplisia
jahe merah yang dibakar tidak sepenuhnya berubah menjadi abu, sebagian masih
dalam bentuk arang sehingga itu mempengaruhi bobot abu yang ditimbang.

3. Susut Pengeringan
1. Diketahui
Tabel 4.3 Susut Pengeringan (Sebelum dioven)
Berat botol 20.2643 gram
Berat botol + simplisia 21. 2974 gram
Berat simplisia 1.0131 gram

Tabel 4.4 Susut Pengeringan (Setelah dioven)


Setelah dioven yang Berat botol + simplisia Berat Simplisia
1 21.2867 gram 1.0024 gram
2 21.2829 gram 0.9986 gram

26
2. Perhitungan Susut Pengeringan
(bobot awal − bobot akhir)
× 100% =
bobot awal
(1.0131 − 0.9986)
× 100% =
1.0131
0.0145
× 100% = 1.43%
1.0131

3. Hasil
Jadi susut pengeringan rimpang jahe merah adalah 1.43%. Standar mutu susut
pengeringan dalam farmakope herbal yaitu tidak lebih dari 10%. Perbandingan berat
pada saat dioven pertama dan dioven kedua masih belum konstan. Kesimpulannya
perhitungan susut pengeringan belum sesuai dikarenakan berat yang dicapai masih
belum konstan. Hal ini disebabkan oleh pengulangan oven yang dilakukan 2 kali saja
karena keterbatasan waktu praktikum. Selain itu pada saat dioven botol ditutup
sehingga mempengaruhi berat botol yang ditimbang.

27
BAB V
KESIMPULAN

Simplisia jahe merah dibuat melalui beberapa tahap yaitu pemanenan jahe merah
yang berumur 11 bulan, sortasi basah, pencucian dengan cara disemprot dan disikat,
pengeringan dengan sinar matahari langsung selama 4 hari, jahe merah kering diblender lalu
diayak, setelah diayak simplisia jahe merah disimpan di dalam botol kering yang tertutup
rapat dan diberi label. Tujuan pembuatan simplisia jahe merah adalah untuk tetap menjaga
ketersediaan simplisia jahe merah karena tidak setiap waktu jahe merah dapat ditemukan.
Hasil dari praktikum farmakognosi pembuatan simplisia didapatkan jahe merah
kering yang berbentuk agak kecil dan menghasilkan serat, berwarna merah, bau khas dan
rasa yang pedas. Uji makroskopis jahe merah yang diamati berupa irisan rimpang pipih,
bagian ujung bercabang pendek. Bentuk bulat telur terbalik. Pada setiap cabang terdapat
parut melekuk ke dalam. Dalam bentuk potongan, panjang umumnya 3-4 cm, tebal 1-6,5
mm. Uji mikroskopis pada jahe merah ditemukan fragmen-fragmen parenkim dengan butir
pati, serabut dan pembuluh kayu.
Simplisia yang dihasilkan memiliki kadar air 10% yang sesuai standar mutu. Kadar
abu yang diperoleh 14.80 % yang melebihi standar mutu dikarenakan pada saat pembakaran
simplisia belum sempurna terbentuk menjadi abu. Susut pengeringan yang dipraktikan
masih belum mencapai berat konstan karena pengulangan yang dilakukan hanya 2 kali.
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa perlu dilakukan standarisasi
ulang simplisia jahe merah untuk dapat memastikan bahwa simplisia tersebut layak
dikonsumsi dan dapat memberikan efek farmakologi yang diinginkan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Didik dan Mulyani, Sri. 2010. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Almasyhuri, Wardatun, Sri dan Nuraeni, Leni. (2012).”Jahe Merah”. Perbedaan Cara
Pengirisan Dan Pengeringan Terhadap Kandungan Minyak Atsiri Dalam Jahe Merah.
Farmasi Universitas Pakuan. Bogor.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Materia Medika Indonesia jilid 2.Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Farmakope Herbal Jilid 1.Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan Makanan.Jakarta
Alfinda, dr, dkk. 2012. Buku Ajar Fitokimia. Universitas Airlangga. Surabaya

29

Anda mungkin juga menyukai