Anda di halaman 1dari 33

sSTATUS ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


Hari / Tanggal Presentasi Kasus : ......................................................
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHA

Nama Mahasiswa

: Steven Martin F

NIM

: 11 2013 120

Dokter Pembimbing : dr Dini Adriani, Sp.S

TandaTangan:
TandaTangan:

BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. S

Umur

: 66 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Status perkawinan

: Menikah

Pendidikan

: Kuliah

Pekerjaan

: Pensiunan Pegawai

Alamat

: Gang Nyamuk , Cipayung

No CM

Tanggal masuk RS

: 14/10/2014

II. SUBJEKTIF
Dilakukan alloanamnesis dengan Istri dan anak pasien pada 24 Oktober 2013 jam 08:00 WIB.
Keluhan Utama: Kesulitan berbicara 3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:


6 Hari SMRS pasien mengalami keluhan lemas badan, lemas badan ini dialaminya
seluruh badan dan tidak diawali dengan demam, sakit kepala, pusing ataupun muntah. Pasien
masih bisa beraktifitas seperti biasa tanpa dibantu oleh orang lain seperti makan ataupun pergi ke
toilet dan masih bisa berkomunikasi dengan istri dan anak-anaknya tanpa hambatan, Pasien tidak
berobat untuk mengatasi keluhan tersebut, hanya beristirahat saja. Nafsu makan pasien juga baik
dengan frekuensi makan 3x/ hari nya.
4 hari SMRS pasien megalami kesulitan dalam berjalan namun tidak sampai menyeret,
harus dibantu istrinya untuk pergi ke toilet ataupun beraktifitas. Pasien masih dapat berbicara
namun sudah sedikit-sedikit, nafsu makan pasien sudah mulai menurun, pasien tidak mengalami
sakit kepala, pusing ataupun muntah, demam juga tidak ada sejak keluhan ini berlangsung. Oleh
karena hal ini pasien berobat ke klinik terdekat untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut.
Pasien dikatakan mengalami lemas badan biasa dan tidak dirawat untuk pengobatan lebih lanjut,
hanya diberikan obat minum untuk 3 hari namun keluarga tidak ingat apa saja obat yang
diberikan.
2 Hari SMRS pasien sudah mulai tidak bisa berbicara saat ditanya, tidak merespon
dengan ucapan atau gerakan tubuh, hanya dengan tatapan saja, pasien sudah tidak bisa
beraktifitas, jadi tidak mau makan sama sekali, dan hanya mau minum saja. Pasien tidak
mengalami demam, sakit kepala, mual ataupun muntah.
1 Hari SMRS pasien tidak mengalami perbaikan, hanya bisa membuka mata dan tidak
merespon ketika diajak bicara, karena khawatir dengan perkembangannya, pasien dibawa oleh
istri dan anaknya ke IGD RSBY untuk penanganan lebih lanjut.
Pasien sebelumnya mempunyai riwayat stroke sekitar 7 tahun yang lalu, namun tidak
parah dan masih bisa beraktifitas seperti biasa setelah perawatan. Pasien juga mempunyai
riwayat darah tinggi yang tidak terkontrol dan tidak tahu sejak kapan. Pasien mengalami batuk
yang sedikit-sedikit sejak 1 bulan ini, tidak disertai darah ataupun sesak dan tidak berobat untuk
keluhan tersebut. Riwayat diabetes, penurnan berat badan yang berarti sejak 1 bulan terakhir
tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat DM (-)
Riwayat hipertensi (+) ayah pasien
Riwayat kejang (-), stroke (-), alergi (-)
Riwayat Penyakit Dahulu:
Terdapat riwayat hipertensi dan Stroke ringan sekitar 7 tahun yang lalu
Riwayat Sosial, Ekonomi, Pribadi:
Pasien sekarang sudah tidak bekerja, ekonomi tidak ada kesulitan, hubungan dengan keluarga
baik.
III. OBJEKTIF
1. Status Generalis
a.

Keadaan umum

: tampak sakit sedang

b.

Kesadaran

: APATIS (15/10/2014) GCS = E4M6V3

c.

TD

: 150/100 mmHg

d.

Nadi

: 98 x/menit

e.

Pernapasan

: 20 x/menit

f.

Suhu

: 37,6oC

g.

Kepala

: normosefali, tidak ada kelainan

h.

Mata

: OS : pupil bulat, 3mm, refleks cahaya langsung (+),


RCTL (+)
OD : pupil bulat, 3mm, refleks cahaya langsung (+),
RCTL (+)

i.

THT

: rhinorea (-), otorhea (-)

j.

Mulut

: tidak tampak paralisis , tampak bercak putih di dalam mulut

k.

Leher

: pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar

l.

Paru

: SN vesikuler, wheezing -/-, rhonki +/+

m.

Jantung

: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

n.

Abdomen

: datar, supel, timpani, BU (+) normal, hepar & lien tidak teraba

o.

Kelamin

: tidak dilakukan pemeriksaan

p.

Ekstremitas

: edema (-), ada luka yang sudah kering di kedua kaki

2. Status psikikus
a. Cara berpikir

: tidak dapat dinilai

b. Perasaan hati

: normotim

c. Tingkah laku

: pasien sadar, pasif

d. Ingatan
e. Kecerdasan

: Tidak bisa dilakukan


: tidak dilakukan

3. Status neurologikus
a. Kepala
i. Bentuk

: normosefali

ii. Nyeri tekan

: tidak ada

iii. Simetris

: kanan sama dengan kiri

iv. Pulsasi

: A. temporalis teraba

b. Leher
i. Sikap

: simetris

ii. Pergerakan

: bebas

iii. Kaku kuduk

: negatif

c. Pemeriksaan saraf kranial


i. N. olfaktorius
Tidak dapat dilakukan
ii. N. optikus
Tajam penglihatan
Pengenalan warna
Lapang pandang
Fundus okuli

Kanan
Tidak dapat dilakukan
Tidak dapat dilakukan
Tidak dapat dilakukan
Tidak dilakukan

Kiri
Tidak dapat dilakukan
Tidak dapat dilakukan
Tidak dapat dilakukan
Tidak dilakukan

Kanan
Terbuka

Kiri
Terbuka

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada

iii. N. okulomotorius
Kelopak mata
Gerakan mata:
Superior
Inferior
Medial
Endoftalmus

Eksoftalmus

Tidak ada

Tidak ada

iv. Pupil
Diameter
Bentuk
Posisi
Refleks cahaya langsung
Refleks cahaya tidak langsung
Strabismus
Nistagmus

3 mm
Bulat
Sentral
+
+
-

3 mm
Bulat
Sentral
+
+
-

v. N. trochlearis
Gerak mata ke lateral
Bawah
Strabismus
Diplopia

Tidak ada kelainan


-

Tidak ada kelainan


-

vi. N. trigeminus
Membuka mulut
Sensibilitas atas
Sensibilitas bawah
Refleks kornea
Refleks masseter
Trismus

Tidak ada kelainan


Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

vii. N. abdusens
Gerak mata ke lateral
Strabismus divergen
Diplopia

Tidak ada kelainan


-

Tidak ada kelainan


-

viii. N. fasialis
Mengerutkan dahi
Kerutan kulit dahi
Menutup mata

Tidak ada kelainan


Kerutan (+)
Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan


Kerutan (+)
Tidak ada kelainan

Sudut mulut
Meringis
Memperlihatkan gigi

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

Bersiul

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

ix. N. vestibulokoklearis
Mendengar suara berbisik
Test Rinne
Test Weber
Test Shwabach

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

x. N. glosofaringeus
Arkus faring
Daya mengecap 1/3 belakang
Refleks muntah
Sengau
Tersedak

Tidak tampak deviasi


Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak ada
Tidak ada

xi. N. vagus
Arkus faring
Menelan

Tidak dilakukan
Tidak ada kesulitan ataupun tersedak

xii. N. asesorius
Menoleh kanan, kiri, bawah
Angkat bahu
Trofi otot bahu

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

xiii. N. hipoglosus
Sikap lidah dalam mulut
Julur lidah
Tremor
Fasikulasi

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

d. Badan dan anggota gerak


Ekstremitas atas
Simetris
Trofik

Kanan
Simetris
Eutrofik

Kiri
Simetris
Eutrofik

Tonus
Kekuatan
Refleks bisep
Refleks trisep
Refleks H.Trommer
Kesan : hemiparese (-)
Sensibilitas
Raba
Nyeri
Suhu
Vibrasi

Normotonus
5555
+
+
-

Normotonus
5555
+
+
-

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Badan
R. abdomen atas
R. abdomen bawah
R. anus

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Ekstremitas bawah
Bentuk
Trofik
Tonus
Kekuatan
Refleks patella
Refleks Achilles
Refleks patologis:
Babinski
Chaddock
Openheim
Gordon
Schaeffer
Sensibilitas:
Raba
Nyeri
Suhu
Vibrasi

Kanan
Simetris
Eutrofik
Normotonus
5555
+
+

Kiri
Simetris
Eutrofik
Normotonus
5555
+
+

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
tidak dilakukan
tidak dilakukan

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
tidak dilakukan
tidak dilakukan

e. Koordinasi, gait, dan keseimbangan

Cara berjalan

: tidak dilakukan

Test Romberg

: Tidak dilakukan

Dismetria

: tidak dilakukan

Nistagmus test:

: tidak dilakukan

f. Gerakan-gerakan abnormal

Tremor

: (-)

Miokloni

: (-)

Khorea

: (-)

g. Alat vegetative

Miksi

: normal

Defekasi

: normal

Anjuran Pemeriksaan Penunjang

Elektrolit: Na, K, Cl: 131, 3.38, 98

SGOT; SGPT: 27; 18

Bilirubin Total; direk, indirek: 0,3 ; 0,1; 0,2

GDS: 17 oktober 2014: 289

H2TL: Hb: 16,4 ; L: 10.99; HT: 48%; Trombosit: 244.000

Basofil: 0; Eosinofil: 0; Neutrofil stab: 0; Neutrofil segmen: 80; Limfosit: 13;


monosit :7

1.

Pemeriksaan cairan otak (18 Oktober 2014)

Pemeriksaan
Glukosa
Protein
None
Pandi
Jumlah sel

Hasil
52
96
Positif
Positif
4

Nilai rujukan
500-80 mg/dL
< 50mg/dL
Negative
Negative
0-5

Mono
Poli

75%
25%
Warna jernih, tidak ada keruh
Rontgent Thorax: tampak infiltrate di suprahiler kanan dan parahiller, tampak cavitas

parahiler kiri, kesan TB paru

Ct Scan: infark multiple di kapsula interna kanan, basal ganglia kanan kiri, kapsula
externa kiri, periventrikel lateralis kiri cornu posterior dan paraventrikel lateralis kanan.
Leukoensefalopati periventricular. Brain atrophy senilis
IV. RINGKASAN
Subjektif :
Laki-laki usia 66 tahun datang dengan keluhan kesulitan bicara sejak 3 hari SMRS.
Sebelumnya pasien mengalami lemas seluruh badan yang makin lama makin bertambah parah.
Pasien cendrung tidak mau makan setelah keluhan ini berlangsung dan tidak bisa melakukan
aktifitas seperti biasa dan harus dibantu oleh anggota keluarganya untuk ke toilet dan makan.
Tidak ada keluhan demam, sakit kepala, pusing ataupun muntah sebelumnya. Pasien sudah
berobat ke klinik terdekat namun tidak ada perbaikan.
Pasien mempunyai riwayat darah tinggi dan stroke sekitar 7 tahun yang lalu namun
mengalami perbaikan sampai bisa beraktifitas seperti biasa. Pasien mengalami batuk sedikitsedikit tanpa disertai dengan sasak dan darah sejak satu bulan yang lalu dan tidak diobati. Tidak
ada riwayat diabetes ataupun kejang sebelumnya,
Objektif :
a. APATIS (15,/10/2014), GCS 13
b. TD

: 150/100 mmHg

c. Nadi

: 98 x/menit

d. Pernapasan

: 20 x/menit

e. Suhu

: 37,6oC

Reflex fisiologis : +/+


+/+
Reflex patologis : tidak ada
Laboratorium :

Elektrolit: Na, K, Cl: 131, 3.38, 98


SGOT; SGPT: 27; 18
Bilirubin Total; direk, indirek: 0,3 ; 0,1; 0,2
GDS: 17 oktober 2014: 289
H2TL: Hb: 16,4 ; L: 10.99; HT: 48%; Trombosit: 244.000
Basofil: 0; Eosinofil: 0; Neutrofil stab: 0; Neutrofil segmen: 80; Limfosit: 13; monosit :7

Pemeriksaan cairan otak (18 Oktober 2014)

Pemeriksaan
Glukosa
Protein
None
Pandi
Jumlah sel
Mono
Poli

Hasil
104
54
Positif
Positif
9

Nilai rujukan
500-80 mg/dL
< 50mg/dL
Negative
Negative
0-5

33%
67%
Rontgent Thorax: tampak infiltrate di suprahiler kanan dan parahiller, tampak

cavitas parahiler kiri, kesan TB paru


Ct Scan: infark multiple di kapsula interna kanan, basal ganglia kanan kiri,
kapsula externa kiri, periventrikel lateralis kiri cornu posterior dan paraventrikel
lateralis kanan. Leukoensefalopati periventricular. Brain atrophy senilis

V. DIAGNOSIS
Klinis

: kesulitan berbicara, dan lemas seluruh badan

Topis

: meningen

Etiologi

: infeksi

Patologis

: inflamasi

VI. TATALAKSANA
Medikamentosa

Inh 1x300 mg

Rifampisin 1x450

Pirazinamid 1x100

Etambutol 1x 700 mg

Dexametason 0,4 mg/kgbb diturunkan 0,1 mg sampai 4 minggu, dilanjutkan per oral
4mg/kgbb, diturunkan 1mg tiap minggu.

Lansoprazole 2x1

VII. PROGNOSIS

Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad functionam

: dubia ad malam

Ad sanationam

: dubia ad malam

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN
Meningitis tuberkulosis termasuk salah satu dari tuberkulosis ekstrapulmoner dan
merupakan penyakit infeksi susuan saraf pusat subakut dari fokus primer paru. Menurut WHO,
diperkirakan 8 juta orang terjangkit tuberkulosis setip tahun dan 2 juta orang meninggal. Pada
tahun 1997, diperkirakan tuberkulosis menyebabkan kematian lebih dari 1 juta penduduk di
negara-negara asia. Meningitis tuberkulosis lebih sering terjadi pada anak terutama yang berusia
0-4 tahun di daerah dengan prevalensi tuberkulosis tinggi. Sebaliknya, di daerah dengan
prevalensi tuberkulosis rendah, meningitis tuberkulosis lebih sering dijumpai pada orang
dewasa.1,
Meningitis tuberkulosis merupakan meningitis yang paling banyak menyebabkan
kematian dan kecacatan. Dibandingkan dengan meningitis bakterialis akut, perjalanan penyakit
meningitis tuberkulosis lebih lama dan perubahan atau kelainan dalam cairan serebro spinalis
(CSS) tidak begitu hebat. Dewasa ini terutama di negara-negara maju, penderita meningitis
tuberkulosis merupakan komplikasi HIV dengan gejala yang lebih kompleks, seperti infiltrate
pulmoner difus dengan limfadenopati torakal.1

ANATOMI DAN FISIOLOGI


Meningen
Merupakan selaput atau membran yang terdiri dari connective tissue yang melapisi dan
melindungi otak, terdiri dari tiga bagian yaitu:2
1. Duramater
Duramater atau dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara konvensional duramater ini
terdiri dari dua lapis , yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Kedua lapisan ini melekat
dengan rapat, kecuali sepanjang tempat-tempat tertentu, terpisah dan membentuk sinus-sinus
venosus.
Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan periosteum yang menutupi permukaan
dalam tulang cranium.
Lapisan meningeal merupakan lapisan duramater yang sebenarnya, sering disebut dengan
kranial duramater. Terdiri dari jaringan fibrous yang padat dan kuat yang membungkus
otak dan melanjutkan diri menjadi duramater spinalis setelah melewati foramen magnum
yang berakhir sampai segmen kedua dari tulang sakrum.

Lapisan meningeal membentuk empat septum ke dalam, membagi rongga kranium


menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan dengan bebas dan menampung bagianbagian otak. Fungsi septum ini adalah untuk menahan pergeseran otak.
Falx cerebri adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang terletak pada garis
tengah diantara kedua hemisfer serebri. Ujung bagian anterior melekat pada crista
galli. Bagian posterior melebar, menyatu dengan permukaan atas tentorium serebeli.
Tentorium cerebelli adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang menutupi
fossa cranii posterior. Septum ini menutupi permukaan atas serebelum dan menopang
lobus oksipitalis serebri.
Falx cerebelli adalah lipatan duramater kecil yang melekat pada protuberantia
oksipitalis interna.
Diaphragma sellae adalah lipatan sirkuler kecil dari duramater yang menutupi sella
turcica dan fossa pituitary pada os sphenoidais. Diaragma ini memisahkan pituitary
gland dari hipotalamus dan chiasma opticum. Pada bagian tengah terdapat lubang
yang dilalui oleh tangkai hipofisis.

Gambar 1. Septum Otak


Pada duramater terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik, dan peka terhadap regangan
sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung-saraf ini dapat menimbulkan sakit kepala yang hebat. 2
2. Araknoid

Lapisan ini merupakan suatu membran yang impermeable halus, yang menutupi otak dan
terletak diantara piamater dan duramater. Membran ini dipisahkan dari duramater oleh ruang
potensial yaitu spatium subdurale, dan dari piamater oleh cavum subarachnoid yang berisi
cerebrospinal fluid.2
3. Piamater
Lapisan piamater berhubungan erat dengan otak dan sumsum tulang belakang, mengikuti
tiap sulcus dan gyrus. Piamater ini merupakan lapisan dengan banyak pembuluh darah dan terdiri
dari jaringan penyambung yang halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi nutrisi pada
jaringan saraf. Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir sebagai end
feet dalam piamater untuk membentuk selaput pia-glia. Selaput ini berfungsi untuk mencegah
masuknya bahan-bahan yang merugikan kedalam susunan saraf pusat.2

Ruang Epidural
Ruang epidural adalah ruang dimana di antara lapisan luar dura dan tulang tengkorak yang
terdapat jaringan ikat yang mengandung kapiler halus.

Ruang Subdural
Ruang subdural merupakan ruangan diantara lapisan dalam duramater dan araknoid yang
mengandung sedikit cairan.

Gambar 2. Kulit Kepala, Tengkorak dan Lapisan Meningen

Cerebrospinal Fluid (CSF)


CSF merupakan suatu cairan bening dan hampir bebas protein. Cairan yang mirip air ini
dapat ditemukan pada rongga subaraknoid dan dalam susunan ventrikel.2
1.

Pembentukan CSF
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh sekresi dari plexus choroidalis dari cerebral
ventrikel. Plexus choroidalis adalah struktur yang secara fungsional kompleks dan khusus
mensekresi , mendialisa dan menyerap CSF. Lapisan epitel plexus choroidalis merupakan
bagian penting bagi pengangkutan transeluler zat pelarut dan zat larut dari pembuluh
koroid ke CSF ventrikel.

2.

Sirkulasi Cerebrospinal Fluid


Setelah disekresi oleh plexus choroidalis pada ventrikel lateral CSF mengalir melalui
interventricular foramina dan masuk ke ventrikel ke tiga. Selanjutnya CSF mengalir
melewati aquaductus Sylvii dan menuju ventrikel keempat dan kemudian memasuki
ruang subaraknoid dan cisterna melalui foramen Magendie pada bagian medial aperture
ventrikel empat dan foramen Luscka pada bagian lateral aperture ventrikel empat. Dari
cisterna ini sebagian besar CSF mengalir ke bagian medial dan lateral permukaan
hemisfer serebri dan menuju sinus sagitalis superior pada atap kranium. Pada ruang
subaraknoid, cerebrospinal fluid merembes melalui saluran saluran pada granulasi
araknoid untuk bersatu dengan darah vena didalam sinus sagitalis posterior. Sebagian
kecil CSF mengalir kebawah menuju ruang subaraknoid medulla spinalis.

3.

Absorbsi Cerebrospinal Fluid


Villi arachnoidalis merupakan tempat absorbsi CSF kedalam kedalam darah vena pada
sinus duramatris. Vili ini terdapat pada ruang subaraknoid. Antara ruang subaraknoid dan
pembuluh vena dipisahkan oleh lapisan sel yang tipis yang dibentuk dari epitel araknoid
dan endothel sinus. Pada orang dewasa dan lanjut usia villi ini membesar dan disebut
pacchionian bodies atau arachnoid granulation. Pada keadaan ini sering terjadi
kalsifikasi dan menimbulkan bekas penekanan pada calvaria.

4.

Komposisi

Volume cairan serebrospinal ini pada orang dewasa normal rata-rata 135 ml. Dari jumlah
ini diperkirakan 80 ml berada dalam ventrikel dan 55 ml di dalam rongga subaraknoid.
Komposisi cairan ini terdiri dari air, sejumlah kecil protein, gas dalam larutan (O 2 dan
CO2), ion natrium, kalium, kalsium, khlorida dan sedikit sel darah putih (limfosit dan
monosit) dan bahan- bahan organik lainnya.
5.

Fungsi CSF
Cerebrospinal fluid mempunyai banyak fungsi. Antara lain :
mempertahankan keseimbangan external environtment dari neuron dan glia.
sebagai bantalan peredam yang melindungi otak dan medulla spinalis terhadap
benturan.
mencegah agar otak tidak menarik-narik meningen, akar saraf dan pembuluh
darah otak yang disarafi oleh saraf sensorik.
pada keadaan tertentu cairan serebrospinal ini sering diambil untuk dilakukan
analisa cairan sebagai penunjang diagnostik.

DEFINISI
Meningitis TB adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada sistem saraf yang
mengenai arachnoid, piamater dan caiaran cerebrospinal di dalam sistem ventrikel. Akibatnya
terjadi infiltrasi sel radang disertai reaksi radang dari jaringan dan pembuluh darah didalamnya.
Selain itu juga terjadi eksudasi dari fibrinogen yang sesudah beberapa waktu akan menjadi
fibrin. Hai ini disebabkan oleh toksin yang dibuat bakteri akan memberikan gejala sindrom
meningitis.3

ETIOLOGI
Meningitis tuberculosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis jenis Hominis, jarang oleh
jenis bovinum atau Aves. 2
EPIDEMIOLOGI
Insidensi berkaitan dengan banyaknya kasus TB, WHO (2003) mencatat 8 juta orang
terjangkit TB dengan 2 juta meninggal. Meningitis TB terutama terjadi pada anak dengan usia 04 tahun pada daerah prevalensi TB tinggi, dan lebih sering terjadi pada dewasa pada daerah
prevalensi TB rendah. Menurut Departemen Neurologi RS Cipto Mangunkusumo, tahun 1996
terdapat 15 kasus dengan kematian 40%, tahun 1997 ada 13 kasus dengan kematian 50.85% dan
tahun 1998 dilaporkan 13 kasus dengan kematian 46,15%. WHO pada tahun 2009 menyatakan
meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus tuberkulosis dimana 83% diantaranya berasal
dari tuberkulosis pulmonal.2,4
PATOFISIOLOGI
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran tuberkulosis primer.
Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga ditemukan di abdomen
(22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari
fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe
regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya
menimbulkan beberapa fokus metastase yang biasanya tenang.

Tuberkulosis pada sistem saraf pusat bisa dalam bentuk meningitis, tuberkuloma atau
abses otak dan proses penyakit ini bisa terjadi sebagai isolated disease atau bagian dari
tuberkulosis diseminata.Meningitis TB terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke
meningen. Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali oleh pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau
medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi infeksi
primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang.
Dalam perjalanannya meningitis TB melalui 2 tahap. Mula-mula terbentuk lesi di otak
atau meningen akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer. Penyebaran
secara hematogen dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan.
Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa(lesi
permulaan di otak) akibat trauma atau proses imunologik, langsung masuk ke ruang
subarakhnoid. Meningitis TB biasanya terjadi 36 bulan setelah infeksi primer.5
Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung
menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis.
Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca
primer).
Meningitis TB terjadi akibat reaktivasi lambat suatu infeksi pada daerah otak dan paruparu. Akibat reaktivasi terjadi perjalaran kuman tuberkulosis ke susunan saraf pusat melalui
bakteremia. Kuman tuberkulosis yang dominan di dalam paru-paru akan kembali aktif jika
terdapat infeksi dan imunitas yang menurun. Tahap kedua dalam perkembangan meningitis
tuberkulosis adalah peningkatan saiz fokus Rich sehingga fokus tersebut pecah. Kuman
kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan protein kuman
tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas yang hebat dan
selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal otak.
Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.

Keadaan dan luas lesi pada meningitis tuberkulosis tergantung dari jumlah dan virulensi
kuman serta keadaan kekebalan penderita. Bilamana jumlah kuman sedikit dan daya tahan tubuh
penderita cukup baik, maka reaksi peradangan terbatas pada daerah sekitar tuberkel perkijuan.
Pada penderita immunocompromised dapat terjadi meningitis tuberkulosis yang luas disertai
dengan peradangan hebat dan nekrosis akibat daya tahan tubuhnya yang menurun atau lemah.
Patofisiologi Meningitis tuberkulosa
BTA masuk tubuh

Tersering melalui inhalasi, jarang pada kulit, saluran cerna

Multiplikasi

Infeksi paru / focus infeksi lain

Penyebaran homogen

meningens

Membentuk tuberkel

BTA tidak aktif atau dorman


Bila daya tahan tubuh lemah

Rupture tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke subarachnoid

Meningitis
Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (piamater dan arakhnoid) dan korteks
serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung terkumpul di daerah basal otak
Bagan.1 patofisiologi meningitis TB

Secara umum patofisiologi dari meningitis adalah sebagai berikut


Agen penyebab

Invasi ke susunan saraf pusat melalui aliran darah

Bermigrasi ke lapisan subarakhnoid

Respon inflamasi di piamater, arakhnoid, cairan serebrospinal, dan ventrikuler

Eksudat menyebar di seluruh saraf kranial dan saraf spinal

Kerusakan neurologis
Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa, point dentry masuknya kuman
juga dapat melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang pecah. Penyebab lainnya
adalah adanya rhinorhea, otorhea
Bagan.2 patofisiologi meningitis TB

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang melibatkan
saraf kranialis dan kemudian

menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di

leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis
otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis
perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin
mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami
paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV,
sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka
kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila
terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan
gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.

2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi
membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya
radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele
neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media
atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya
perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi
sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak
tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan
pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan
perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabangcabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan
derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total.
Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan
infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin .
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan
mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.
PATOLOGI
Gambaran patologi pada meningitis tuberkulosa ada 4 tipe, yaitu:
1. Disseminated military tubercles, seperti pada tuberculosis miler
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis yang
difus
3. Acute inflammatory caseous meningitis
i. Terlokalisasi, disertai perkejuan dari tuberkel, biasanya di korteks
ii. Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subaraknoid

4. Meningitis proliferatif
i. Terlokalisasi, pada selaput otak
ii. Difus dengan gambaran tidak jelas
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap
pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu umur, berat dan
lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi dan
jumlah basil juga merupakan factor yang mempengaruhi.
MANIFESTASI KLINIS
Antara gejala meningitis TB adalah demam, nyeri kepala hebat, gangguan kesadaran,
kejang dan adanya tanda rangsang meningeal berupa : kaku kuduk, test Bruzinsky positif, test
Kernig positif.Gejala klinis meningitis TB disebabkan 4 macam efek terhadap sistem saraf pusat
yaitu :
a. Iritasi mekanik akibat eksudat meningen menyebabkan gejala perangsangan meningen,
gangguan saraf otak dan hidrosefalus.
b. Perluasan infeksi ke dalam parenkim otak menyebabkan gejala penurunan kesadaran,
kejang epileptik serta gejala defisit neurologi fokal.
c. Arteritis dan oklusi pembuluh darah menimbulkan gejala defisit neurologi fokal
d. Respons alergi atau hipersensitifitas menyebabkan edema otak hebat dan tekanan tinggi
intrakranial tanpa disertai hidrosefalus.

Tabel 1. gejala pada meningitis TB


Pembagian stadium meningitis tuberkulosis menurut Medical Research Council of Great
Britain (1948):
1.

Stadium I : penderita dengan sedikit atau tanpa gejala klinis atau tanpa defisit fokal. Tidak
didapatkan kelumpuhan dan sadar penuh. Penderita tampak tidak sehat, suhu subfebris dan

2.
3.

nyeri kepala.
Stadium II : selain gejala diatas bisa didapatkan gejala defisit neurologi fokal
Stadium III : disertai dengan penurunan kesadaran yaitu GCS 10.6,7

KRITERIA DIAGNOSIS

Dari anamnesis:

adanya riwayat kejang atau

penurunan

kesadaran (tergantung stadium

penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang menunjukkan gejala,
maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai
dengan stadium meningitis tuberkulosis).
Dari pemeriksaan fisik: tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen seperti kaku
kuduk biasanya dapat ditemukan ataupun tidak
Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium
o Darah: - anemia ringan
- peningkatan laju endap darah pada 80% kasus
o Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi lumbal)
- Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-batang. Dapat
juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung lama dan ada hambatan di
medulla spinalis.
- Jumlah sel: 100 500 sel / l. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit sama banyak
jumlahnya,

atau

kadang-kadang

sel

polimorfonuklear

lebih

banyak

(pleositosis

mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut dapat mencapai 1000 / mm3.
- Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm 3). Hal ini menyebabkan liquor
cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada permukaan dapat tampak sarang
laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen
- Kadar glukosa: biasanya menurun liquor cerebrospinalis dikenal sebagai hipoglikorazia.
Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis adalah 50% dari kadar glukosa
darah.

- Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun


- Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan kuman
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal selama 3
hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan
pungsi lumbal kedua dan ketiga.
Dari pemeriksaan radiologi:
- Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
- Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan kira-kira pada 80% kasus
berupa kelainan difus atau fokal.
- CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya
dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit.
Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di
daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak
atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent,
biasanya di daerah korteks serebri atau talamus.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnostik untuk meningitis TB. Pemeriksaan ini akan
memberikan gambaran jernih kekuningan sampai dengan xantokrom, tekanan meninggi.
Test Nonne dan Pandy positif kuat menunjukkan peningkatan kadar protein. Hitung sel
meningkat 100-500, terutama limfositik mononuklear. Kadar glukosa menurun <40mg%
tetapi tidak sampai 0mg%. Pada pewarnaan dengan Ziehl Neelsen dan biakan akan
ditemukan kuman Mycobacterium tuberkulosis. Bila cairan cerebrospinalis dibiarkan
dalam tabung reaksi selama 24jam akan terbentuk endapan fibrin berupa sarang labahlabah.5

2. Pemeriksaan darah
Terdapat kenaikan laju endap darah (LED) dan jumlah leukosit dapat meningkat sampai
20 000/mm3.
3. Test tuberkulin
Test tuberkulin seringkali positif tetapi dapat negatif bila keadaan umum pasien buruk.
4. Rontgen thorax
Umumnya menunjukkan tanda infeksi tuberkulosis aktif (infiltrat terutama di apeks
paru).1
5. Polymerase chain reaction (PCR) spesifitas tinggi tetapi sensitivitas moderat
Tabel 2 : skoring meningitis tuberkulosis

Total skor : 4 suggests tuberculous meningitis


Total skor : 4 is against tuberculous meningitis

Kriteria diagnostik dari meningitis TB menurut Thwaites dkk dalam Journal of


Infectious Disease 2005 adalah:

1.

Definit :
-

Klinis meningitis / meningoensefalitis plus

Analisa CSF tidak normal plus

Pewarnaan Basil Tahan Asam positif pada Cairan serebrospinal (secara mikroskopis)
dan atau kultur positif untuk M.Tuberculosis dan atau PCR TB positif

2.

Probable

Klinis meningitis / meningoensefalitis plus

Analisa CSF tidak normal plus

Salah satu dari

Basil Tahan Asam ditemukan pada jaringan lain

Foto thorak sesuai dengan TB paru aktif

3.

Possible

Klinis meningitis / meningoensefalitis plus \

Analisa CSF tidak normal plus

Salah satu dari

Riwayat TB

Sakit > 5 hari

Gangguan kesadaran

Tanda Neurologis Fokal

Dominasi mononuclear pada cairan serebrospinal,

Rasio glukosa serum dengan LCS < 0.5, cairan serebrospinal berwarna

kekuningan (xantokrom).6

Tabel 3. diagnosis banding

Pengobatan
Saat ini, telah tersedia berbagai macam tuberkulostatika, pada umumnya tuberkulostatika
diberikan dalam bentuk kombinasi, dikenal sebagai triple drugs, ialah kombinasi antara INH
dengan dua jenis tuberkulostatika lainnya. Berikut ini adalah beberapa contoh tuberkulostatika
yang dapat diperoleh di Indonesia:1
1.

Isoniazid (INH), diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari (pada anak) dan pada
dewasa dengan dosis 400 mg/hari. Efek samping berupa neuropati dan gejala-gejala

2.

psikis.
Rifampisin, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari (pada anak) dan pada dewasa
dengan dosis 600 mg/hari. Efek samping yang sering ditemukan pada anak dibawah 5
tahun dapat menyebabkan neuritis optika, muntah, kelainan darah perifer, gangguan

3.

hepar, dan flu-like-symptom.


Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari hingga 150 mg/hari. Efek samping
dapat menimbulkan neuritis optika.

4.

PAS atau Para-Amino-Salicilyc-Acid diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB/hari dibagi


dalam 3 dosis dan dapat diberikan sampai 12 g/hari. Efek samping dapat menyebabkan

5.

gangguan nafsu makan.


Streptomisin, diberikan intramuskular selama lebih kurang 3 bulan. Dosisnya adalah 3050 mg/kgBB/hari. Oleh karena bersifat ototoksik, maka harus diberikan dengan hati-hati.
Bila perlu pemberian streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan

6.

sampai CSS menjadi normal.


Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison

dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari,

dengan dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2-4 minggu kemudian
diteruskan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu. Pemberian kortikosteroid
seluruhnya adalah kurang lebih 3 bulan, apabila diberi deksametason, maka obat ini
diberikan secara intravena dengan dosis 10 mg setiap 4-6 jam. Pemberian deksametason
ini terutama bila ada edema otak. Apabila keadaan membaik, maka dosis dapat
diturunkan secara bertahap sampai 4 mg setiap 6 jam. Pemberian kortikosteroid
parenteral ditujukan untuk mengurangi eksudat di bagian basal, mencegah terjadinya
nekrosis, perlengketan, dan menghalangi blok spinal. Pemberian kortikosteroid dapat
membahayakan penderita karena munculnya superinfeksi, kemampuan menutupi
penyakitnya.2
Tabel 4. Beberapa regimen yang dianjurkan untuk pengobatan meningitis TB.2

Obat

Dosis

Frekuensi

Lamanya

300 mg
600 mg
15-30 mg/kg
300 mg
600 mg
25 mg/kgBB
1g
300 mg
900 mg
600 mg

Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
2 x seminggu
Setiap hari

6 bulan
6 bulan
2 bulan
9 bulan
9 bulan
2 bulan
2 bulan
1 bulan
8 bulan
1 bulan

Kemungkinan
Resistensi Obat yang
rendah
A. INH
RIF
PRZ
B. INH
RIF
Etambutol atau
Streptomisin
C. INH
RIF

Kemunginkan
resistensi obat yang
tinggi
A. INH
RIF

600 mg

2 x seminggu

8 bulan

300 mg
600 mg

Setiap hari
Setiap hari

1 tahun
1 tahun

Komplikasi
Komplikasi neurologi yang sering terjadi pada anak dan dewasa adalah hemiparesis
spastik, ataksia, parese nervus kranialis yang permanen, kejang terutama pada anak, atropi
nervus optikus, penurunan visus dan kebutaan.2 Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah
gangguan fungsi kognitif dan obstruktif hidrosefalus.8

Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis ditentukan oleh stadiumnya, makin lanjut stadiumnya
prognosanya makin jelek. Anak di bawah 3 tahun dan dewasa di atas 40 tahun mempunyai
prognosis yang jelek.2

PEMBAHASAN

Kriteria Meningitis Menurut Thwaites Kriteria Possible

1. Klinis meningitis / meningoensefalitis plus


2. Analisa CSF tidak normal plus
3. Foto thorak sesuai dengan TB paru aktif

Meningoensefalitis TB kesulitan bicara dan Kekurangan nafsu makan : Kaku kuduk


(+) pada awal masuk,

Menurut skoring TB
usia tahun (+2). Durasi sakit hari (-5), jumlah sel di CSS < 900 (0) dan neutrofil pada
CSS < 75% (0). Jumlah leukosit pasien 15 000/mm3 (0), jumlah skor adalah -3, sugestif
untuk meningitis TB

Stadium II meningitis TB GCS 13 dan ada defisit neurologi

Hasil LCS
Hasil analisa CSS tidak normal, sakit > 5 hari, none (+), pandy (+), pada cairan
serebrospinal

Ct Scan: infark multiple di kapsula interna kanan, basal ganglia kanan kiri, kapsula
externa kiri, periventrikel lateralis kiri cornu posterior dan paraventrikel lateralis kanan.
Leukoensefalopati periventricular. Brain atrophy senilis

Rontgent Thorax: tampak infiltrate di suprahiler kanan dan parahiller, tampak cavitas
parahiler kiri, kesan TB paru

DAFTAR PUSTAKA

1)

Lumongga F. Meninges Dan Cerebrospinal Fluid. Departemen Patologi Anatomi FK USU,


Medan: USU Repository, 2008. h. 1-5.

2)

Frida M. Meningitis Tuberkulosis. Infeksi Pada Sistem Saraf. Surabaya: Airlangga


University Press; 2011. Hal 13-9.

3)

Green C.W, Sari buku kecil ,HIV & TB, Jakarta: yayasan spirita, hal;7-18

4)

Koppel Barbara, CNS tuberculosis in Brust John CM,editor Lange: neurology current
diagnosis and treatment. New York:Mc Graw Hill;2007, hal 421-23

5)

Ramachandran

T.S,

tuberculous

meningitis,

diunduh

dari

6)

http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview#a0104
Perhimpunan dokter spesialis saraf indonesia cabang jakarta, handout workshop neuroinfeksi, hal 6-9.

7)

Satria. Meningitis viral. [serial online] 2011 [cited 2011 Jan 27]; Available from: URL:
http://satriaperwira.wordpress.com/2010/07/06/meningitis-viral/, 28 Juni 2014.

8) Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. Current Medical Diagnosis and Treatment 2005.
Edisi ke-44. United States of America: The McGraw-Hill companies; 2005. Hal 1389.

Anda mungkin juga menyukai