Anda di halaman 1dari 2

Rasisme Bahasa Jawa

Ditulis oleh Cilacap Online


Sabtu, 08 November 2008 00:00

Bahasa jawa adalah salah satu bahasa yang mengagungkan tingkatan (sepetahuan saya,
bahasa Sunda juga demikian, tapi tidak serumit bahasa Jawa). Secara garis besar, bahasa
Jawa dibagi dalam tiga tingkatan besar:

   1. Ngoko (tingkatan terendah)


   2. Madya (tingkat menengah); dan
   3. Kromo (tingkat tertinggi).

Itu pun masih bisa dibali lagi dalam dalam sub tingkatan:

   1. Andhap (rendah/kasar); dan


   2. Inggil (tinggi/halus).

Tingkatan dan sub tingkatan tersebut menghasilkan kombinasi yang tidak sederhana, njelimet
dan sulit dipahami. Bahkan oleh orang jawa sekali pun.

 Ngoko (kasar dan halus) biasanya dianggap sebagai bahasanya masyarakat umum, rendahan,
kuli, petani, atau paling banter antar teman karib (itu pun dianggap tidak pantas digunakan oleh
kaum ningrat). Kromo digunakan oleh kalangan yang dianggap memiliki kasta tinggi, terdidik,
pintar dan waskito. Macam keturunan ningrat, pamong de es be. Madya? Ya, di antara
keduanya. Penggunaan sub kategori kasar dan halus pada masing-masing tingkatan
memerlukan keahlian yang tidak sederhana.

Bahasa macam mana yang kita gunakan dalam menghadapi seseorang, menunjukkan siapa
diri kita. Golongan rendah, atau anak-anak muda harus menggunakan tingkatan bahasa yang
lebih tinggi kepada mereka yang lebih tua atau lebih tinggi derajatnya. Semakin tinggi orang
yang kita hadapi, semakin tinggi pula bahasa yang kita gunakan. Menghadapi golongan
tertinggi, si pengucap harus menggunakan bahasa level tertinggi pula, kromo inggil. Saya tak
tahu, apakah ada yang lebih tinggi dari itu. Sebaliknya, semakin tinggi derajat pengucap, dia
boleh menggunakan bahasa dengan tingkatan yang lebih rendah kepada lawan bicara yang
lebih rendah. Seorang yang berkedudukan tinggi, raja misalnya, boleh-boleh saja
menggunakan level bahasa mana saja yang dia mau. Terus terang, pada tingkat aplikasinya
dalam kehidupan sehari-hari, saya tidak menguasai. Saya termasuk golongan pengguna boso
Ngoko.

Orang jawa yang lihai berbahasa Jawa, terutama dalam tingkatan Kromo, dianggap sebagai
manusia berbudaya dan berbudi luhur. Manusia yang tahu roso (halus perasaannya, hal yang
sangat penting dalam budaya Jawa), dan bertata-krama. Mereka disebut "Wong Jawa sing
njawani", orang Jawa yang hidup secara jawa. Dan itu sebuah kebanggaan tersendiri.

1/2
Rasisme Bahasa Jawa

Ditulis oleh Cilacap Online


Sabtu, 08 November 2008 00:00

Lantas, apa hubungannya dengan rasisme? Ya itu tadi. Penggunaan dan penguasaan bahasa
Jawa menentukan tingkat seseorang. Semakin rendah bahasa yang dikuasai, semakin rendah
derajat seseorang. Itulah mengapa, orang-orang tua sering menganggap orang luar Jawa
sebagai "kurang tata kramanya". Lebih celaka lagi, orang yang terlahir sebagai Jawa tetapi
kurang mengerti bahasa Jawa. "Wong Jawa sing ilang jawane", orang Jawa yang tidak
memegang tradisi, begitu mereka disebut. Biasanya, orang Jogja-Solo menganggap dirinya
sebagai penutur Jawa kelas satu. Di luar itu, dianggap sebagai penutur kelas dua, tapi masih
dengan senyum memaklumi.

Nah, sekarang kita menginjak kelas ketiga. Kelas yang sepertinya selalu jadi bahan
olok-olokan. Dialek Banyumasan (dan juga Tegal)!

Bahasa Banyumasan (digunakan masyarakat Banyumas, Cilacap, sebagian Kebumen,


Purbalingga, Pekalongan dan sekitarnya) sering dianggap sebagai kelas pinggiran karena
pengucapan yang berbeda jauh dari kaidah baku bahasa Jawa. Pelafalannya yang jelas, tegas
dan hampir tidak mengenal huruf "O" sebagaimana umumnya pelafalan Jawa, membuat orang
Banyumas sangat mudah dikenali, bahkan oleh orang yang tidak paham bahasa jawa.
Banyumasan tidak mengenal kelas. Semua penuturnya adalah setara. Tapi justru disitulah
cacatnya. "Tidak paham Jawa!", begitu kata sebagian orang. Meski Prof. Damardjati Supadjar
pernah berujar: "Bahasa Banyumasan adalah bahasa yang paling jujur dan egaliter dalam
khasanah bahasa Jawa", toh beliau tidak mewakili golongan mayoritas.

Cobalah perhatikan. Saat seorang penutur Banyumasan berkenalan dengan penutur Jawa
kelas satu, kata pertama yang biasanya hampir pasti terlontar dengan ekspresi menahan tawa
adalah: "Oh, ngapak-ngapak?" atau "kowek-kowek ya?". Sebuah introduksi yang jelas
menunjukkan ketidak-setaraan. Sekali dua kali, bisa kita anggap biasa saja. Tapi jika hal yang
sama anda alami beratus kali, susah untuk tidak merasa rasis dan sakit hati. Setidaknya,
begitulah yang selalu saya alami selama bertahun-tahun. Dari ujung Jawa Timur hingga Jakarta
sekalipun. Oke, mungkin tidak semuanya. Tapi seringnya perkenalan yang demikian, membuat
saya berfikir: "Jangan-jangan mereka menganggap orang Banyumas sebagai masyarakat tidak
berbudaya dan primitif? Golongan para badut?".

Saya jadi ingat, teman saya, sebut saja Sudar, yang asli Jogja pernah berkata dengan sinis
tentang cewek ayu, cantik dan semlohay yang ditaksirnya tapi kemudian baru dia ketahui
sebagai orang asli Banyumas: "Wong ayu kok ngomonge blekuthuk-blekuthuk. Ra sudi aku!".

Nah, lo!

Diinspirasi dari tulisan Gita tentang Omith pada kumpul-kumpul di HI jumat kemarin

(Sumber tulisan asli Bangsari )

2/2

Anda mungkin juga menyukai