Anda di halaman 1dari 4

A.

Riwayat Hidup Hartoyo Andang Jaya

Hartoyo Andang Jaya, dilahirkan di Solo 4 Juli 1930, meninggal di kota ini juga pada
30 Agustus 1990. Penyair yang pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo dan Sumatra
Barat ini menulis sanjak-sanjak terkenal berjudul Perempuan-perempuan Perkasa, Rakyat,
juga Sebuah Lok Hitam, Buat Saudara Kandung. Sanjak-sanjak tersebut bisa dijumpai dalam
bukunya Buku Puisi (1973). Musyawarah Burung (1983) adalah karya terjemahan liris
prosaya tokoh sufi Fariduddin Attar. Seratusan puisi karya penyair sufi terbesar sepanjang
sejarah, Maulana Jalaluddin Rumi, diambil Diwan Syamsi Tabriz, diterjemahkan dan
dihimpunnya di bawah judul buku Kasidah Cinta.

Hartoyo juga menulis antologi puisi Simponi Puisi (bersama DS Mulyanto, 1954),
Manifestasi (bersama Goenawan Mohammad dan Taufiq Ismail, 1963), kumpulan syair Sunyi
ke Bunyi (1991) Buku Puisi (1973), kumpulan esai peraih hadiah Yayasan Buku Utama
Depdikbud 1993).

Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (Tagore, 1976), Kubur Terhormat bagi


Pelaut (antologi puisi J. Slauerhoff, 1977), Rahasia Hati (novel Natsume Suseki, 1978); Puisi
Arab Modern (1984). Hartoyo Andang Jaya termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan.
Rahasia Hati (1978; Natsume Soseki), Musyawarah Burung (1983; Farid Al-Din Attar), Puisi
Arab Modern (1984), Kasidah Cinta (tt.; Jalal Al-Din Rumi).
B. Puisi Hartoyo Andang Jaya

PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,dari manakah mereka

ke stasiun kereta mereka dating dari bukit-bukit desa

sebelum peluit kereta pagi terjaga

sebelum hari bermula dalam pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, kemanakah mereka

di atas roda-roda baja mereka berkendara

mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota

merebut hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka

mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa

akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota

mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

Oleh Hartoyo Andang Jaya


C. Penafsiran Isi Puisi

“Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,dari manakah mereka


ke stasiun kereta mereka dating dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga,
sebelum hari bermula dalam pesta kerja”

Kepekaan dan keutuhan hati penyair Hartoyo Andang Jaya menguak kehalusan budinya
dengan mengeja gerak kekuatan para wanita tulang punggung ekonomi pedesaan. “Pesta
kerja” adalah kehalusan kata penuh makna yang member pengakuan pada kerja sebagai
sebuah “destiny”, “sukacita”, tapi juga perjuangan nan tiada henti.

Di hari Kartini, tidak berlebihan mengutip budi-bahasa seniman Hartoyo untuk mengantar
kita kedalam perjuangan para wanita di tanah dan pangkuan pertiwi, meskipun obyeknya
adalah para wanita petani, tetapi jiwanya adalah pekerja wanita yang bergerak dengan raga
dan “jiwa baja”.

Hartoyo, dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 4 Juli 1930, dan meninggal di kota kelahirannya,
30 Agustus 1991, atau kurang lebih satu dekade lalu. Dalam bait kedua, dari tiga bait
puisinya berjudul “Perempuan Perkasa”, sang penyair menggambarkan petarungan antar
desa-desa “ mengepung” kota, yang direpresentasikan para wanita.

Pertarungan itu dapat berarti pulang dengan kemenangan, atau tidak jarang, atau lebih sering
dengan “un-succes story”. Tapi, kota telah menghisap dan menyedot mereka ke kota,
mungkin sekedar mempertahankan hidup, adalah innterpretasi paradoks yang dijadikan sang
penyait.

“Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kertas, kemanakah mereka


di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota”

Tapi, sang Seniman tidak mengarahkan kita untuk terjebak membela siapa menang, dan siapa
kalah dalam judi di kota. Yang dominan ditonjolkan adalah gerak hidup , atau ditarik untuk
mempertahankan hidup menuju kota, para wanita itu mempertahankan kegigihan dan kedig-
dayaan cinta para wanita perkasa, ya para Ibu di desa (dan kota), untuk menghidupi desa
demi desa. (Atau, Rumah Tangga, di perkotaan.)
“Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa”

Yang pasti ini, bukan sekedar ceritera atau permenungan wanita desa masuk kota, tetapi
mengurainya rekat cinta para wanita yang bergerak dan member hidup pada geliat desa, dan
tentu saja kota yang sering telah mereduksi nilai perjuangan wanita, mengaburkan, atau
menganggap tidak ada.

Hartoyo menghantar kita sekedar malam dating, pesta pun berakhir, menunggu perlombaan
bersama surya, di hari berikutnya. Di seluruh pelosok negeri, oleh semua wanita, bahkan para
Tenaga Kerja Wanita, penyumbang Devisa teramat besar bagi Negeri Kartini ini. Namun,
mereka sering kembali di atas roda baji, peti atau pengusung jenazah.

Baca dan renungkan sebelum tidur, dan bacalah do’a untuk para Tenaga Kerja Wanita
Indonesia yang rela meninggalkan Tanah Air, pangkuan Ibu Pertiwi, sekedar
mempertahankan roda hidunya, bahkan roda hidup Negara ini, dan lupa pada petugas pajak.

Anda mungkin juga menyukai