Pkok Bahasan
Fungsi system Politik
I.Bahan Bacaan
1. Budiardjo Miriam, Prof, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2. Mas’oed Mohtar dan Andrew Mac Colin, 2000, Perbandingan
Sistem Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
1. CarltonClymer Rodee dkk, 2000, Pengantar Ilmu Politik, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
2. Kantaprawira Rusadi, Dr, 2004, Sistem Politik Indonesia, suatu
model pengantar, Sinar Baru Algensindo, Bandung.
3. Eston David, 1988, Alih bahasa Simamora Sahat, Drs,
Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik, PT. Bina Aksara,
Jakarta.
II.Pertanyaan Kunci
I. Tugas
Bab XIII
SISTEM POLITIK :
Sosialisasi, Reckruitmen dan Komunikasi Politik
Sistem Politik merupakan akumulasi dari sub-sub system politik yang saling
interdependensi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Dalam rangka
melaksanakan dan menyukseskan kerjasama sehingga dapat mencapai hasil yang
besar dan menyeluruh bagi keseluruhan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia,
tentu system politik memiliki fungsi yang perlu dilaksanakan, meskipun fungsi ini
tidak memiliki “pengaruh secara langsung dalam pembuatan dan pelaksanaan
kebijaksanaan pemerintah (public policy) tetapi memiliki peranan yang sangat
penting dalam menentukan cara bekerjanya system politik” (Gabriel A. almond).
Fungsi system politik ini mempengaruhi lingkungan fisik, social dan ekonomi
domestik, kelompok kepentingan, partai politik, badan lebislatif, eksekutif, birokrasi,
dan badan-badan peradilan (uraian lembaga diatas, dapat dibaca pada bab lain buku
ini).
Fungsi dimaksud adalah meliputi 3 (tiga) macam yaitu :
1. Sosialisasi Politik
a. Pengertian
Sosialisasi Politik berasal dari dua kata yaitu Sosialisasi dan Politik.
Sosialisasi berarti pemasyarakatan dan Politik berarti urusan negara.
Jadi secara etimologis Sosialisasi Politik adalah pemasyarakatan
urusan negara. Urusan Negara yang dimaksud adalah semua aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b. Tujuan
Tujuan yang dingin dicapai dalam melakukan sosialisasi politik adalah
untuk menumbuhkembangkan serta menguatkan sikap politik
dikalangan masyarakat (penduduk) secara umum (menyeluruh), atau
bagian–bagian dari penduduk, atau melatih rakyat untuk menjalankan
peranan-peranan politik, administrative, judicial tertentu.
c. Obyek
Obyek sasaran dari sosialisasi politik adalah keseluruhan masyarakat,
lembaga infrastruktur politik (interest group, partai politik), dan
lembaga suprastruktur politik (legislative, eksekutif dan yudikatif).
b. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dari rekruitmen politik adalah terpilihnya
penyelenggara politik (pemimpin pemerintahan negara) dari tingkat
pusat hingga tingkat terbawah (lurah/Desa) yang sesuai dengan kriteria
(persyaratan) yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan atau yang ditentukan melalui konvensi
(hukum tidak tertulis) yang berlaku dalam masyarakat (rakyat)
Indonesia.
c. Obyek
Masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban menjadi obyek dalam
rekruitmen politik adalah seluruh masyarakat Indonesia yang sah
sebagai warga negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Dengan kata lain setiap WNI, baik pria
mapun wanita dengan tampa membedakan suku, agama, ras, warna
kulit dan lain-lainnya, memiliki kedudukan yang sama untuk
memperoleh kesempatan mengikuti rekruitmen politik diseluruh
tingkatan (hirarki) atau struktur politik yang ada.
Tentu saja seluruh WNI terlebih dahulu harus memenuhi kriteria
(persyaratan) yang telah ditentukan oleh UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 27,
3. Seleksi CPNS
Pola rekruitmen ini adalah pola yang dilakukan oleh Institusi
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) RI. Semua
peraturan mengenai pelaksanaan test penerimaan CPNS ditetapkan
3. Komunikasi Politik
III.PESAN
IV. MEDIA
2. Komunikasi Interpersonal
Adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator kepada
Komunikan (khalayak) secara langsung atau tatap muka (face to face).
Contohnya, Dialog, lobby, komprensi tingkat tinggi (KTT), dan lain-lain.
3. Komunikasi Organisasi
Adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator politik kepada
komunikan (khalayak) atau Komunikasi Vertikal (dari atas ke bawah) dan
horizontal (dari kiri ke kanan) sejajar. Contohnya, komunikasi antar sesama
atasan, dan komunikasi sesama bawahan (staf).
2. Kampanye Interpersonal
Adalah proses penyampaian pesan persuasive (pengaruh) yang berupa
program, asas, platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai
politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada tokoh masyarakat
yang memiliki pengaruh yang luas terhadap calon pemilih (calon Konstituen)
agar menyerukan untuk memilih partai politik yang dikampanyekannya.
3. Kampanye Organisasi
Adalah proses penyampaian pesan persuasive (pengaruh) yang berupa
program, asas, platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai
politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada kader, fungsionaris,
dan anggota dalam satu organisasi partai politik dan antar sesama anggota
agar memilih partai politik yang dikampanyekannya. Contohnya, Ketua Partai
Politik memberi pesan persuasive kepada anggotanya (Vertikal) dan atau antar
sesama anggotanya (Horzontal).
Effendi Gazali
Saya terpana cukup lama menyimak ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: "But
everybody should know this: I don’t care about my popularity"" (The Jakarta Post, 4/2/2005).
Ingatan saya kembali ke lima tahun lalu ketika saya menganalisis ungkapan yang lebih kurang
sama oleh presiden yang berbeda: "Gitu Saja Kok Repot!" (Kompas, 13/3/2000).
Tersedia paling sedikit tiga interkoneksi atau interkonteks komunikasi di seputar pernyataan
semacam itu. Pertama, SBY capek campur kesal melihat pembahasan persepsi publik tentang
popularitasnya lebih riuh-rendah dibandingkan substansi kerja yang (menurut SBY) sudah
dilakukannya. Sayangnya, dalam hal ini logika kita jadi terbentur-bentur. Duet SBY-JK, atau
siapa pun yang memenangkan pemilu presiden langsung September lalu, dalam konteks
transisi demokrasi Indonesia adalah pemenang kontes citra atau popularitas; belum kompetisi
pemaparan program (prospective policies) sebagaimana yang sejatinya dituntut komunikasi
politik.
Berbagai penampilan SBY melantunkan lagu Zamrud Pelangi di Matamu adalah salah satu
kenangan riil kita akan nuansa tersebut. Lalu kenapa sekarang konsep "popularitas" jadi
dicuekin?
Bisa saja SBY mengatakan ia tak pernah janji soal 100 hari, atau lebih spesifik tidak pernah
menjanjikan kalau dalam 100 hari program pemerintahannya dapat membereskan sebagian
masalah kenegaraan. Tapi dalam komunikasi berlaku asumsi, jika Anda (dari awal) tidak
bereaksi ke arah berlawanan saat isu semacam "gebrakan 100 hari" diudarakan dan dijadikan
wacana penting di mana-mana, maka Anda dianggap "ikut dalam irama gendang itu", lepas
dari siapa yang menabuhnya. Apalagi kini komunikasi politik memang semakin mendapat
tantangan dari pemasaran politik yang amat menekankan kontinuitas citra dan popularitas
sekalipun seseorang sudah duduk di kursi kepresidenan, parlemen, senat, dan sebagainya.
Sebetulnya ada cara lain menjelaskan soal 100 hari ini. SBY cukup memakai fakta dan
mengatakan: "Sebagaimana kita semua ketahui, di banyak negara, bahkan di Amerika Serikat
sekalipun, lazim sekali popularitas seorang presiden turun pada 100 hari pertamanya. Jangan
lupa, tentu kita maklum bahwa di Indonesia tantangan kita jauh lebih berat, apalagi kita punya
beban khusus peninggalan persoalan masa sebelumnya…(dan seterusnya)!" Tentu
pernyataan seperti ini jauh lebih cantik dan strategik daripada I don’t care.
Interkoneksi atau interkonteks komunikasi kedua adalah SBY yang mulai tak peduli pada pers.
Ibaratnya, anjing menggonggong kafilah (tetap) berlalu! Apalagi sekarang sering dibuat
dikotomi bahwa apa yang ada di media bukanlah suara rakyat seluruhnya, namun cuma suara
sekelompok elite. Sikap ini juga membentur-benturkan logika kita. Orang mungkin saja tidak
suka pada kenyataan bahwa bagaimanapun public sphere kita coba dorong, tetap saja
manajemen isu lebih merefleksikan persepsi sekelompok elite dalam masyarakat.
Di atas semua itu (yang amat hakiki), ketidaksetujuan terhadap jajak pendapat ilmiah
manapun mestilah diarahkan pada aspek metodologisnya (jika ada masalah) atau
menekankan berkali-kali cara membaca hasil jajak pendapat itu pada konteks validitas yang
Saya pribadi tidak buru-buru percaya bahwa SBY mulai mengindikasikan sikap "pers
menggonggong, pemerintah berlalu". Kontribusi persoalan ini pada kejatuhan Gus Dur dalam
waktu relatif singkat tentu merupakan pelajaran berharga yang belum jauh dari ingatan kita.
Apalagi SBY sendiri, pada kesempatan lain menyatakan bahwa dirinya dan para menteri,
gubernur, serta pimpinan daerah perlu menyambut kritik pers dengan jiwa besar dan terbuka.
Mengontrol lagi?
Kalau begitu, interkoneksi atau interkonteks komunikasi ketiga yang mungkin lebih menonjol,
yakni terdapatnya lingkungan di sekitar SBY, yang sengaja atau tidak, mendorongnya berjalan
ke arah berlawanan. Salah satu yang paling kentara adalah terbentuknya Departemen
Komunikasi dan Informatika melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 ditetapkan 31
Januari. Menurut hemat saya, sangat sulit bagi siapa pun untuk membuat dalih bahwa
departemen ini tak membawa semangat Departemen Penerangan.
Perhatikan kata-kata "telematika" dan "diseminasi informasi" sebagai kunci yang vital. Istilah
ini relatif mirip gaya Orde Baru melalui apa yang disebut Dedy N Hidayat (dalam International
Journal for Communication Studies, 2002) sebagai "mekanisme kontrol yang efektif dan
menyeluruh"; bukankah "telematika" dimaksudkan meliputi telekomunikasi, media, dan
informatika? Pendek kata, alatnya dikuasai, medianya di sana-sini diatur pemerintah (lihat
kontroversi antara kewenangan independent regulatory body seperti Komisi Penyiaran
Indonesia dan kewenangan pemerintah yang masih berlanjut) serta ada pula didesiminasi
content oleh pemerintah. Jadi dengan begini, akan mudah didengung-dengungkan bahwa
rakyat puas terhadap pemerintah seperti dahulu.
Konsep "telematika" semacam itu terkesan memanipulasi istilah telematics yang kalaupun
memberikan peran pada pemerintah lebih pada membuat pasar advanced telematics
equipment and services menjadi tidak monopolistik, transparan, dan memberi pelayanan
tersebar luas serta termurah pada rakyat (lihat antara lain bahasan Schiller sejak 1982).
Bahwa lahan itu akan tumbuh subur dengan persaingan ketat antar-investor sudah hal lumrah
dan tak perlu dibesar-besarkan.
Di lain pihak, bagi ilmuwan dan praktisi komunikasi, strategi serta isi pesan jauh lebih penting,
sedangkan alat dan teknologi cuma membantu mewujudkannya. Karena itu kita perlu khawatir
bahwa kegetolan dan aspek bisnis teknologi komunikasi bisa membuat strategi komunikasi
publik jadi terbengkalai. Selain pernyataan I don’t care SBY tadi, keberangkatan tim Indonesia
berunding dengan wakil-wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang umumnya bukan lagi
pemegang paspor Indonesia, di luar negeri, dengan hasil pahit pula, adalah cerminan
kedodoran tersebut. Padahal inilah saat yang paling tepat untuk menjawab aksi diplomasi
GAM dengan gaya komunikasi no need to communicate with!
Untunglah, kabarnya SBY sedang menggagas sebuah institusi bernama Badan Informasi
Publik. Nama ini lumayan benar paradigmanya karena ialah yang paling pas mencerminkan
konsep "komunikasi publik" atau fungsi pemerintah sebagai fasilitator dalam masyarakat sipil.
Mestinya badan ini nanti tidak berada di bawah kementerian manapun. Ia harus menjadi
"ruang publik" di mana masyarakat melalui aneka kelompok arisan, wadah komunikasi
tradisional, radio komunitas, dan lain-lain terlayani untuk menjadi senceiver (sender sekaligus
receiver, atau pengelola informasinya sendiri); kira-kira seperti fasilitasi United States
Information Services (USIS). Rekam jejak Kementerian Negara Kominfo yang dinilai tidak
memihak lembaga penyiaran komunitas semakin membuat Badan Informasi Publik perlu
bebas dari paradigma lama, "bekerja untuk masyarakat".
Ke depan, sebagai gantinya, SBY amat perlu memerhatikan konsep "bekerja dengan
masyarakat". Artinya, sambil ia tetap bekerja keras, publik pun perlu diyakinkan agar memiliki
persepsi bahwa SBY memang telah bekerja untuk hal-hal yang dirasakan berpihak pada
publik serta sejalan dengan ekspektasi publik. Hanya strategi ini yang pas untuk mengubah
luapan rasa kesal I don’t care menjadi pesan peyakinan yang cantik: I do care. (Kompas,
Senin, 07 Februari 2005 ).
III.PESAN