Anda di halaman 1dari 3

MEMBANGUN DISIPLIN BERBASIS KESADARAN

“You cannot teach a man anything, you can only help to find it for himself.” –Galileo-
Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya ingin menyatakan hal-hal sebagai berikut :

Pertama, setiap orang berhak memiliki ide dan cita-cita, tetapi tidak semua orang dapat melaksanakan
idenya dengan baik atau mewujudkan cita-citanya.

Kedua, setiap orang boleh menggunakan ide orang lain dan mungkin dapat mewujudkannya lebih baik dari
yang empunya ide.

Ketiga, suatu ide tidak dapat dipaksakan untuk dilaksanakan pada suatu tempat dan keadaan karena setiap
tempat dan keadaan memiliki karakter tersendiri.

Tiga hal tersebut harus saya kemukakan untuk menghindari kesan bahwa gagasan-gagasan yang
mungkin nanti saya munculkan adalah ide yang terbaik, paling cocok dan telah dapat saya laksanakan
dengan baik. Tulisan ini bukanlah tulisan ilmiah yang mengolah data dan fakta dengan analisis ilmiah,
tetapi hanya sekedar curah gagasan lepas yang mungkin lebih banyak menggunakan pendekatan rasa
daripada rasio yang teramat didewa-dewakan masyarakat ilmiah. Ide-ide emosional ini merupakan refleksi
gejolak rasa terhadap fenomena Yayasan Pendidikan Terusan Kaltim (YPTK) Rigomasi yang menurut saya
terlalu diabaikan dan selalu mendengungkan jargon profesionalitas yang kering dengan sentuhan rasa.

Alam emosi dari setiap individu teramat luas untuk dijangkau dan teramat dalam untuk diselami.
Dan setiap orang tidak mampu keluar dari alam emosinya lalu mengontrolnya dengan instrumen rasio
yang paling brillian sekalipun. Rasio manusia memiliki keteraturan dan lebih mudah diadaptasikan dengan
situasi dan lokasi yang beragam. Dengan argumen, ia dapat diajak berbicara; setuju atau tidak setuju,
menolak atau menerima, membenarkan atau menyalahkan. Tetapi sesuatu yang telah dibenarkan oleh rasio
tidak serta-merta mendapat dukungan emosi jika iklim emosi pada saat itu dalam posisi minus. Lalu apa
pentingnya melibatkan emosi dalam kerja-kerja profesional?

Profesionalisme versus Perasaan

Mitos perasaan sebagai penghambat seikap profesional bagi sebagian orang mungkin masih
dipercaya. Karena profesionalisme sering dikaitkan kemampuan berpikir logis, mampu mengambil
keputusan yang cepat dan tepat serta masuk akal. Orang yang menyatakan sikap dimana melibatkan
unsur-unsur perasaan dikatakan tidak profesional atau terlalu emosional. Sehingga untuk dapat bersikap
profesional dalam pendapat ini harus mampu menyisihkan emosi atau jika tidak, harus dapat
memendamnya yang dalam istilah mereka ‘menahan diri’. Hal ini berarti ketika melaksanakan tugas dimana
profesionalitas dibutuhkan, maka ‘kran emosi’ harus ditutup rapat-rapat agar pekerjaan dapat berjalan
lancar sesuai dengan harapan. Tetapi mungkinkah ini dapat dilaksanakan?

Kita mungkin dapat merenungkan kisah berikut : “Seorang yang baru saja kehilangan istri
mudanya karena dibawa lari oleh asistennya yang rupawan. Untuk menghilangkan kegundahan hatinya, ia
menyibukkan diri di ruang kerjanya. Di atas mejanya sudah ia siapkan tiga buah buku referensi yang
ketiganya berbahasa asing berbeda. Ia mengambil buku pertama berbahasa Prancis dan membukanya
secara acak dan secara tak sengaja halaman 751 langsung terbuka karena ternyata di situ terselip foto istri
mudanya yang telah berpindah ke lain hati. Ia menatap foto itu sesaat lalu memasukkannya ke laci
mejanya. Lalu Sang Professor melanjutkan pekerjaannya. Tetapi baru membuka dua halaman berikutnya, ia
kembali membuka laci mejanya dan kembali menatap foto sang istri dengan tatapan hampa. Berkali-kali ia
mencoba meneruskan pekerjaannya, tetapi masih saja terlintas bayangan istrinya yang kini hanya
tertinggal dalam selembar foto.”

Cerita ini hanya rekaan, tetapi siapa pun pasti memahami kondisi seperti itu dimana perasaan
selalu menyertai siapa pun. Apakah professor tersebut tidak profesional karena tidak dapat menyisihkan
emosinya saat melaksanakan tugasnya? Masalahnya tidak demikian sederhana. Jika ia seorang professor
dan memiliki kecerdasan emosional, maka perasaannya itulah yang semestinya ia gunakan untuk memacu
kerja otaknya untuk menyelesaikan masalah. Di sinilah pengolahan rasa diperlukan dan membutuhkan
profesionalitas yang lebih tinggi.

Pendekatan Manajemen Rasa

Telah disebutkan sebelumnya bahwa alam emosi itu teramat luas dan sulit menentukan batas
tepiannya. Oleh karenyanya, persinggungan emosi lebih sering terjadi tanpa disadari dan selalu
meninggalkan bekas-bekas. Bekas-bekas itu dapat berkembang menjadi menjadi penyakit yang dapat
melemahkan imunitas etos kerja. Apakah semua persinggungan emosi dapat berakibat seperti ini? Tentu
tidak, karena rasa kasih sayang yang bersentuhan dengan perasaan yang sama ternyata dapat memercikkan
api cinta yang dapat digunakan sebagai energi untuk mensupply tenaga pada etos kerja. Sehingga yang
menjadi permasalahan adalah bagaimana menata emosi itu agar setiap persinggungan yang terjadi dapat
menimbulkan energi positif guna memuluskan langkah-langkah akal melaksanakan tugasnya. Dalam suatu
organisasi dimana di dalamnya terjadi interaksi antara orang-orang yang bekerja sama; tujuan telah
ditetapkan, kegiatan-kegiatan telah diprogramkan dan strategi pun telah dirancang dengan perhitungan
yang matang. Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan organisasi ini memiliki kesamaan tujuan tetapi
tetap membawa pribadinya masing-masing. Karakter setiap orang yang berbeda harus dapat disesuaikan
tetapi tidak untuk disamakan. Peran pemimpin organisasi di sini sangat menentukan. Ia harus memiliki
kecerdasan emosional dengan kepekaan pembacaan emosi, tidak hanya memahami perasaan, tetapi
mampu bertindak dalam celah-celah emosi dengan memberikan sentuhan-sentuhan yang membangkitkan
spirit berkarya. Karena spirit itu muncul dari diri setiap orang, maka ia akan bertindak dan bekerja sesuai
yang diinginkan dengan menggunakan dorongan yang ada dalam dirinya. Dorongan inilah yang akan
membuat orang bekerja tanpa merasa terpaksa atau tertekan. Ia akan melaksanakan tugasnya dengan baik
tanpa harus diawasi.

Kembali ke fenomena rigomasi yang semula saya katakan cenderung mengabaikan manajemen
rasaini walaupun hal ini bukan masalah satu-satunya. Banyak keluhan-keluhan yang sering terdengar tetapi
ditanggapi secara dingin karena alasan profesionalisme. Cara seperti ini sesungguhnya cukup efektif
meredam masalah, tetapi emosi yang masih terpendam akan berimbas pada aktivitas guru-guru yang
bersentuhan langsung dengan pengelolaan pengajaran. Guru atau tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan yang bekerja di bawah tekanan disiplin yang kaku akan tertekan pula emosinya sehingga ia
mungkin akan melakukan hal yang sama pada anak didiknya. Anak didik tidak bebas mengekspresikan
perasaan dan mereka akan bersikap sebagai badut-badut dalam kelas. Mereka hanya akan menyahut ketika
disapa tetapi tidak pernah memberikan respon yeng baik terhadap pelajaran. Kepatuhan anak didik juga
hanyalah kepatuhan semu karena berada dalam tekanan sebagaimana kepatuhan guru-guru mereka yang
tertekan dengan disiplin yang kaku. Kedewasaan sikap guru yang berlapang dada mungkin dapat
mencegah hal seperti ini, tetapi bukankah aturan itu dibuat untuk lebih mendewasakan sikap siapa saja?
Artinya aturan itu harus dapat mengayomi berbagai karakter yang berbeda dengan memberikan kebebasan
mengekspresikan rasa dan rasio secara harmonis. Aturan disiplin yang ditegakkan tidak lebih sebagai
upaya menumbuhkan kesadaran dan ini hanya dapat terwujud manakala lahan emosi tergarap dengan
baik.

Saya kira ini bukan gagasan baru karena sudah menjadi perhatian para pakar bahwa kecerdasan
emosional lebih besar kontribusinya dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang. Kecerdasan
intelektual yang mendapat porsi lebih besar dalam dunia pendidikan kini banyak disoroti karena terbukti
efektif menghasilkan manusia cerdas akalnya tetapi tidak berdaya menghadapi situasi hidup yang berubah-
ubah.

Jika Rigomasi ingin tetap eksis dan maju, maka seharusnya dapat menyesuaikan diri terhadap
tuntutan situasi dengan mebenahi sistem manajerialnya dan tetnunya hal-hal lain yang dianggap perlu.
Perlu diingat bahwa lembaga pendidikan bukanlah perusahaan yang kesuksesannya diukur dengan omset
bernilai uang. Tetapi ia adalah sebuah lahan di mana anak-anak bangsa mendapatkan bantuan untuk
menemukan dirinya. “You cannot teach a man anything, you can only help to find it for himself.” Begitu
ungkapan Galileo Galilei, seorang ilmuwan sejati yang lebih memilih raganya terpenjara daripada
mengubah keyakinannya.

Bontang, 10 April 2006

Anda mungkin juga menyukai