Anda di halaman 1dari 8

Studi Mengenai Komposisi Sampah Perkotaan di

Negara-negara Berkembang

Oleh
Sigit Setiyo Pramono
Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil
Universitas Gunadarma
Sigitpramono_24@yahoo.com

Abstraks
Sampah perkotaan merupakan permasalahan yang dihadapi kota-kota besar di negara-
negara berkembang. Persoalaan sampah yang dihadapi tidak saja persoalan teknis saja,
tetapi banyak aspek lainnya, misalnya aspek sosial dan budaya. Keengganan masyarakat
untuk memisahkan sampah menjadi persoalan tersendiri. Selain itu komposisi sampah yang
menjadi data penting untuk pengelolaan sampah tidak pernah digunakan. Pengelola sampah
lebih senang mengandalkan sistem kumpul-angkut-buang, walaupun sistem tersebut memiliki
dampak lingkungan yang besar.

Komposisi sampah di negara-negara berkembang sangat dominan jenis sampah organik,


sedangkan untuk negara-negara berkembang lebih didominansi oleh sampah kertas. Kondisi
tersebut terlihat bahwa negara berkembang harus merancang sistem pengelolaan sampah
berbasiskan sistem pengomposan. Sistem pengelolaan tersebut bukan merupakan sistem
yang tetap dan tidak berubah, melainkan sistem tersebut dapat berubah, jika komposisi
sampah berubah menuju pada satu jenis material sampah tertentu. Sehingga sistem harus
disesuaikan.

Kata Kunci: Sampah organik, kertas, negara berkembang, negara maju, komposisi sampah

1. Latar Belakang
Sampah perkotaan merupakan salah satu permasalahan kompleks yang dihadapi oleh
negara-negara berkembang. Kota-kota besar bahkan ibukota negara dari seluruh negara
berkembang mengalami persoalan yang sama, yaitu pengelolaan sampah. Sistem
pengumpulan yang tidak tuntas, kurangnya alat angkut sampah, kurangnya fasilitas-fasilitas
pendukung dan terbatasnya kapasitas Tempat Pengolahan Akhir Sampah (TPA) menjadi
permasalahan yang khas. Permasalahan sampah tidak hanya bersifat teknis, tetapi
menyangkut pada aspek-aspek lain khususnya sosial dan budaya. Pandangan masyarakat di
negara-negara tersebut masih menganggap bahwa sampah merupakan barang yang tidak
mempunyai nilai, sehingga mereka dapat memperlakukan menurut pengertian mereka
sendiri.

Kebiasaan dan perilaku masyarakat juga terbawa dalam aktivitas membuang sampah.
Sampah yang dibuang dibiarkan tercampur dan tidak ada usaha apapun untuk memisahkan
antara sampah organik dan sampah non organik. Kondisi sampah yang tercampur tersebut
sangat menyulitkan bagi pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk
memisahkan sampah dan melakukan proses daur ulang, sehingga banyak material yang
seharusnya dapat didaur ulang tetapi terlanjur diangkut dan ditimbun di areal TPA.

Permasalahan lain, banyak pengelola sampah perkotaan tidak mengetahui komposisi


sampah yang ditimbulkan oleh penduduknya. Kondisi tersebut membuat para pengelola
sampah tetap mempertahankan sistem kumpul-angkut-buang. Padahal sistem tersebut
sangat mahal dan mempunyai dampak lingkungan yang sangat besar. komposisi sampah
tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam pengelolaan sampah, sehingga
permasalahan tidak kunjung selesai.

Pada paper ini bertujuan untuk mengetahui ciri khas komposisi sampah secara umum di
negara-negara berkembang, jenis material sampah mana yang menonjol dan bagaimana jika
dibandingkan dengan komposisi sampah negara-negara maju. Manfaat dari paper ini untuk
memberikan pengetahuan mengenai komposisi sampah secara umum di negara-negara
berkembang dan negara-negara maju.

Studi mengenai komposisi sampah di negara-negara berkembang akan diambil dari negara
berikut ini:

a. India di Kota New delhi, Callcuta, Madras dan Bombay


b. Filipina di Kota Metro Manila, Cagayan de Oro dan Llingan
c. Indonesia di Kota Jakarta, Bandung dan Surabaya
d. China di Kota Beijing, Shanghai dan Wuhan
e. Sri Langka di Kota Colombo, Kandy dan Galle

Untuk komposisi sampah di negara-negara maju sebagai perbandingan dengan negara-


negara berkembang, meliputi Norwegia, Amerika Serikat, Swiss, Perancis dan Jepang.

2. Kondisi Sosial dan Budaya


Kondisi sosial dan budaya menjadi faktor yang sangat penting untuk mengahui kebiasaan
dan perilaku masyarakat negara tersebut dalam pengelolaan sampah. Selain itu, pola
konsumtif masyarakat dan gaya hidup masyarakat juga akan mempengaruhi besarnya
timbulan sampah dan komposisi sampah yang dimiliki.

Negara-negara berkembang umumnya memandang sampah sebagai barang sudah tidak


berguna dan tidak mereka inginkan, sehingga tindakan yang mereka lakukan adalah
membuangnya. Persoalan muncul ketika setiap orang memperlakukan sampah sesuai
dengan pemahaman mereka masing-masing, misalnya dengan meninggalkan atau
membuang sampah di sembarang tempat yang mengakibatkan lingkungan menjadi kotor dan
kumuh. Sebagian lagi membuang sampah ke selokan atau sungai, yang mengakibatkan
pendangkalan dan penyumbatan saluran, yang merupakan salah satu penyebab banjir dan
genangan di daerah perkotaan. Sementara kebiasaan untuk memilah sampah belum banyak
dilakukan, karena mereka tidak mengerti bagaimana cara pengelolaan sampah yang benar
dan baik.

Masyarakat India lebih menyukai membuang sampah di sungai, lahan kosong dan tepi jalan
daripada berjalan 100 meter ke Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) dari
rumahnya. Masyarakat India tidak setuju untuk memisahkan sampah, karena membutuhkan
banyak waktu dan merupakan pekerjaan kotor (Pune,1994). Untuk masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat Kota Depok, 21,74% tidak melakukan pemisahan sampah dan hanya
8,22% masyarakat yang membawa sampahnya ke TPS (Pramono, 2004).

3. Gross National Product (GNP) Negara-negara Berkembang


GNP Negara-negara berkembang masih dibawah US$ 1100. Pada tinjauan studi dalam
paper ini negara Filipina menpunyai GNP tertinggi dibanding dengan Negara-negara
berkembang lainnya. Sedangkan GNP terkecil adalah negara India dengan US$ 340. GNP
ini sangat menentukan tingkat timbulan sampah pada suatu negara. Semakin tinggi GNP,
jumlah penduduk, pola hidup dan tingkat konsumtif di suatu negara akan memberikan
dampak terhadap timbulan sampah dan komposisi sampah perkotaan.

Tabel 1 Gross National Produk (GNP) negara-negara Berkembang


Populasi
GNP Per
Negara Penduduk
kapita (1995)
(1995)
Indonesia 193,3 980
Filipina 68,6 1050
India 929,4 340
China 1200,2 620
Sri Langka 18,1 700
Sumber: Bank Dunia (1997) dan PBB (1995)

4. Tingkat Konsumtif Negara-negara Berkembang


Tingkat konsumtif sangat mempengaruhi timbulan sampah pada suatu wilayah. Pada
pembahasan ini diambil contoh penjualan Coca-cola di negara-negara berkembang. Negara
Filipina memiliki tingkat konsumsi cukup tinggi untuk produk ini dibanding dengan negara-
negara lainnya. Sedangkan India mempunyai tingkat konsumsi paling rendah.
Tabel 2 Tingkat Konsumsi Produk Coca-cola dan Populasi Pasar
Populasi Konsumsi
Negara
(1996) per kapita
China 1,234 5
India 953 3
Indonesia 201 9
Filipina 69 117
Sri Langka 5 t.a.d

Sumber: Perusahaan Coca-cola, 1997

5.Timbulan Sampah Negara-negara Berkembang


Tingkat timbulan sampah di Negara-negara berkembang rata-rata masih dibawah negara-
negara berkembang. Timbulan sampah sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan suatu
negara dan pola konsumtif, selain jumlah penduduk. Negara-negara berkembang mempunyai
pendapatan nasional masih dibawah negara-negara maju, sehingga jumlah timbulan sampah
masih dibawah negara-negara maju. Rata-rata jumlah timbulan sampah sebesar 0,63
Kg/kap/hari dan jumlah penduduk sebesar 5.404.250 dari 5 (lima) negara berkembang. Kota
Surabaya (Indonesia) menduduki tingkat timbulan sampah tertinggi dibanding dengan
negara-negara berkembang lainnya, bahkan hampir menyamai tingkat timbulan sampah di
negara-negara maju. Detailnya dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Timbulan Sampah di Negara-negara Berkembang

Negara Kota Tahun Populasi Generation Rate


(Kg/kap/hari)
China
Beijing 1991 11.157.000 0,88
Shanghai 1993 8.206.000 0,6
Wuhan 1993 6.800.000 0,6
India
New Delhi 1995 8.412.000 0,48
Bombay 1995 12.288.000 0,44
Calcutta 1995 9.643.000 0,38
Madras 1995 4.753.000 0,66
Sri Langka
Colombo 1994 615.000 0,98
Kandy 1994 104.000 0,58
Galle 1994 109.000 0,65
Filipina
Metro Manila 1995 9.452.000 0,53
Lligan 1995 273.000 0,38
Cagayan de Oro 1995 428.000 0,54
Indonesia
Jakarta 1993 9.160.000 0,66
Bandung 1993 2.368.000 0,71
Surabaya 1993 2.700.000 1,08
Sumber: Bank Dunia, 1999
Negara-negara maju memiliki timbulan sampah rata-rata 1.38 Kg/kap/hari dengan rata-rata
jumlah penduduk 49.439.286 dari lima negara maju. Kondisi tersebut sangat wajar, karena
pendapatan masyarakat di negara tersebut cukup tinggi dibanding dengan negara
berkembang. Dari perbandingan 5 negara maju, negara Amerika Serikat memiliki timbulan
sampah tertinggi sebesar 2 Kg/kap/hari. Sedangkan Swiss memiliki timbulan sampah paling
sedikit yaitu 1,1 Kg/kap/hari dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya.

Tabel 4 Tingkat Timbulan Sampah di Negara-negara Maju


Generation
Negara Kota Tahun Populasi Rate
(Kg/kap/hari)
Jepang
Tokyo 1993 8.022.000 1,5
Yokohama 1993 3.300.000 1,2
Nagoya 1993 2.153.000 1,16
Perancis
1992 58.100.000 1,29
Norwegia
1992 4.400.000 1,4
Amerika Serikat
1992 263.100.000 2
Swiss
1992 7.000.000 1,1
Sumber: Bank Dunia, 1999

6.Komposisi Sampah Perkotaan


Komposisi sampah perkotaan menjadi sangat penting dalam strategi pengelolaan sampah.
Komposisi menjadi dasar untuk strategi pengelolaan sampah dengan sistem daur ulang dan
pengomposan. Begitu pula, komposisi sampah menjadi sangat penting bagi proses
pengangkutan sampah. Sampah organik dapat langsung ke tempat pengomposan dan
sampah non organik langsung ke tempat dilakukan daur ulang.

Melihat komposisi sampah di negara-negara berkembang, sampah organik sangat dominan


dibandingkan dengan jenis sampah lainnya. Sri Langka dan Indonesia memiliki komposisi
sampah organik yang cukup besar dibanding negara-negara lainnya, yaitu diatas 70%.
Sedangkan China memiliki sampah organik yang paling sedikit yaitu sebesar 35,8%. Jumlah
sampah kertas terbesar dimiliki oleh Filipina. Banyaknya sampah kertas sering menunjukkan
negara tersebut mempunyai budaya membaca dan menulis yang baik.
Tabel 5 Komposisi Sampah Perkotaan di negara-negara berkembang
Komponen Indonesia Filipina China India Sri Langka
Populasi tahun 1995 (juta) 68,4 37,2 363,7 249,1 4,1
Tahun 1993 1995 1991-1995 1995 1993-1994
Sampah organik 70,2 41,6 35,8 41,8 76,4
Kertas 10,9 19,5 3,7 5,7 10,6
Plastik 8,7 13,8 3,8 3,9 5,7
Gelas 1,7 2,5 2 2,1 1,3
Besi 1,8 4,8 0,3 1,9 1,3
Lainnya 6,2 17,9 54,8 44,6 4,7
Sumber: Bank Dunia, 1999

Keterangan:
Komposisi sampah dalam persen
Indonesia berdasarkan Kota Jakarta, Bandung dan Surabaya
Filipina berdasarkan Kota Metro Manila, Batangas, Olongapo dan Bagulo
China berdasarkan Quijing, Gulin, Dalian, Wuhan, Beijing, Huangshi, Xiangfan dan Yichang
India berdasarkan 23 kota besar.
Sri Langka berdasarkan Kota Colombo, Kandy dan Galle

Komposisi sampah di negara-negara maju sangat berbeda dengan negara-negara


berkembang. Kondisi tersebut dilihat dari jumlah sampah kertas lebih besar dibandingkan
dengan sampah organik. Jepang merupakan negara yang memiliki jumlah sampah kertas
paling besar, sedangkan Swiss merupakan negara yang memiliki jumlah sampah paling
sedikit dibandingkan negara-negara maju lainnya. Untuk jumlah sampah organik, negara
Swiss memiliki jumlah sampah yang cukup besar dan Norwegia merupakan negara paling
sedikit menghasilkan sampah organik.

Tabel 6 Komposisi Sampah di Negara-negara Maju


Komponen Amerika Serikat Jepang Perancis Norwegia Swiss
Sampah organik 23 26 25 18 27
Kertas 38 46 30 31 28
Plastik 9 9 10 6 15
Gelas 7 7 12 4 3
Besi 8 8 6 5 3
Lainnya 16 12 17 36 24
Sumber: OECD (1995), Bank Dunia (1997) dan PBB (1995)

Data-data pada Tabel 5 dan 6 dapat ditarik garis benang merah untuk negara-negara
berkembang memiliki rata-rata produksi sampah organik sebanyak 53,16% dan jumlah
sampah kertas sebanyak 10,08%. Untuk negara-negara maju memiliki rata-rata produksi
sampah organik sebanyak 23,8% dan non organik sebanyak 34,6%.

7. Kecenderungan Pola Perubahan Komposisi Sampah


Komposisi sampah mengalami perubahan setiap tahunnya. Perubahan tersebut diakibatkan
adanya pola hidup masyarakat, pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Perubahan
komposisi sampah tersebut juga memberikan dampak terhadap strategi pengelolaan sampah
perkotaan. Misalnya untuk komposisi sampah perkotaan yang didominansi oleh sampah
organik, pola pengelolaan sampah haruslah berdasarkan sistem pengomposan, tetapi jika
sampah mengalami perubahan komposisi dari sampah organik ke jenis material sampah
kertas. Maka sistem pengelolaan sampah harus berubah dari sistem pengomposan ke sistem
daur ulang kertas. Jadi dapat disimpulkan sistem pengelolaan sampah perkotaan tidak
bersifat tetap, tetapi berdasarkan komposisi sampah perkotaan yang dimiliki.

Tabel 7 Komposisi Sampah Perkotaan di Kota Bandung (Indonesia)


Tahun
No. Komponen
1978 1985 1988 1994
1 Sampah Organik 80,45 77 73,35 63,56
2 Kertas 7,5 7,96 9,74 10,42
3 Tekstil 1 0,96 0,45 0,95
4 Plastik/Karet 0,23 0,79 0,43 1,45
5 Pecah belah 1,93 1,14 1,32 1,7
6 Logam 3,69 8,82 8,56 9,76
7 Lain-lain 5,23 3,41 6,14 12,16
Sumber: Pengelolaan Sampah Kota Bandung 1998/1999 ; Kolanus (2000)

Pada Tabel 7 menunjukkan perubahan komposisi sampah di Kota Bandung (Indonesia).


Pada tahun 1978, komposisi sampah di Kota Bandung didominansi oleh sampah organik.
Sampah organik mendominansi sebesar 80,45%, sedangkan sampah hanya sebesar 7,5%.
Perkembangan 16 tahun kemudian, produksi sampah kertas berkembang terus dari 7,5% ke
10,42% pada tahun 1994. Rata-rata perkembangan produksi material sampah kertas di Kota
Bandung sebsar 11,43% per tahunnya. Kondisi tersebut sangat positif, karena masyarakat
Kota Bandung menunjukan adanya budaya menulis dan membaca.

8. Kesimpulan
Seluruh uraian-uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa negara-negara
berkembang memiliki ciri khas dalam timbulan dan komposisi sampah. Tingkat timbulan
sampah untuk negara-negara berkembang kurang lebih 0,63 Kg/kap/hari. Kondisi tersebut
masih dibawah negara-negara maju dengan rata-rata timbulan sampah sebesar 1,38
Kg/kap/hari. Komposisi sampah negara-negara berkembang banyak didominansi oleh jenis
sampah organik dibanding dengan jenis sampah lainnya. Rata-rata jenis material sampah
organik yang diproduksi oleh negara-negara berkembang adalah 53,16%. Negara-negara
maju lebih banyak didominansi oleh jenis material sampah kertas, rata-rata jumlah sampah
kertas yang dihasilkan sebesar 34,6% lebih besar dari sampah organik yaitu 23,8%.

Tingkat timbulan dan komposisi sampah pertahunnya mengalami perubahan. Perubahan-


perubahan tersebut sangat tergantung terhadap pola hidup masyarakat dan tingkat
pendapatan masyarakat. Timbulan dan komposisi sampah yang berubah-berubah
memberikan dampak terhadap strategi pengelolaan sampah. Jika sampah lebih banyak
didominansi oleh sampah organik, maka strategi pengelolaan sampah berbasiskan sistem
pengomposan. Apabila, sampah non organik yang lebih dominansi, maka pengelolaan
sampah perkotaan banyak ditekankan pada sistem daur ulang.

Daftar Pustaka
Hoornweg, D., 1999, What a Waste: Solid Waste Management In Asia, Urban Development
Sector Unit Bank Dunia, Washington

Kolanus, B.D., 2000, Kajian Terhadap Sistem Pengangkutan Sampah PD Kebersihan Kota
Bandung, Tesis Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Pramono, Sigit, S., 2004, Studi Rendahnya Partisipasi Publik dalam Pengelolaan Sampah,
Universitas Gunadarma, Jakarta

Pramono, Sigit, S., 2004, Studi mengenai Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan
Sampah, Universitas Gunadarma, Jakarta

Triweko, R, W., 2004, Paradigma Baru dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan di Indonesia,
handout Seminar Strategi Pengelolaan Sampah Perkotaan Universitas Gunadarma, Jakarta

Van de Klundert, A., 2002, Urban Infrastructure Management, Lecture Note: IHE Delf, Delf

Anda mungkin juga menyukai