Anda di halaman 1dari 33

Tanpa kekasih

Setalah genap sebulan aku jadian dengan Bayu, aku semakin yakin kalau aku nggak salah
pilih dan benar-benar sudah menemukan belahan jiwaku, cinta sejatiku, cahaya hidupku,
Bayu adalah segalanya bagiku. Aku mencinta dia dan akan selalu menyayangi dia untuk
selamanya. Saat ini aku merasa puas karena penantian, dan usahaku selama ini berbuah
kebahagiaan.

Telah sekian lama aku merasa menanti Bayu menjadi milikku seutuhnya. Akhirnya, cerita
cintaku saat ini sudah happy ending, tingal sekarang aku dan Bayu yang menjalaninya.
Dulu kami sering sekali bertengkar, hanya karena hal-hal kecil, kadang kami sampai ribut
nggak menentu. Dulu sebagai teman, kami memang bukan teman yang cocok, kami saling
menjatuhkan dan saling membenci. Tapi sekarang, benar kata orang-orang, kalau kamu
membenci seseorang janganlah kamu sampai terlalu, dan hasilnya sekarang perasaan itu
menjadi kebalikan bagi aku dan Bayu, justru kami sekarang saling mencintai dan
menyayangi. Tapi yang jelas, aku juga nggak mau kehilangan Bayu, aku takut juga kalau
aku terlalu mencintai dan menyayangi dia, bisa jadi aku dan dia akan terpisahkan.

“Hei Ela, kamu lagi ngapain? aku kangen deh sama kamu..”
“Halo Bayu, kan baru kemarin kita ketemu, kamu gimana sih?”
“Ela, kamu baik-baik ya di sana, jaga diri kamu dan jangan pernah lupakan aku ya sayang.”

“Kamu ngomong apa sih Bayu? Kamu ngigau ya?”


“Nggak, maksud aku yah kamu jangan macam-macam di sana, kan di kampus kamu
banyak banget tuh cowok-cowok keren, ntar ada yang godain kamu lagi, trus kamu lupain
aku.”
“Ha-ha.....ha-ha.... ya nggak dong sayang, aku nggak akan tergoda sama cowok-cowok di
kampus ini, nggak ada yang kayak kamu di sini, dan yang aku mau tuh cuma kamu
seorang.”

“Hei, kamu udah pintar ngegombal yah, siapa yang ajarin, ayo ngaku?”
“Bayu, kamu apaan sih?! Udah deh, aku mau kamu kasih aku kepercayaan untuk berteman
dengan teman-temanku. Asal kamu tau aku berterima kasih banget selama ini sama Tuhan
karena aku udah bisa memiliki kamu.”
“Iya Ela, dan asal kamu tau juga cintaku lebih besar dari yang pernah kamu bayangkan
selama ini.”
Satu hal inilah yang selalu ditakutkan Bayu, dia selalu bilang aku akan tergoda oleh cowok-
cowok di kampus, sementara aku nggak begitu? Justru akulah yang paling takut Bayu yang
akan berpaling dariku, dia akan pergi meninggalkanku selamanya, dan cintanya hilang
untukku. Bayu sekarang kerja di salah satu perusahaan asing terkemuka di kota ini, sebagai
cowok kalau kita melihatnya dengan kesan pertama, dia adalah cowok yang diimpi-impikan
semua cewek, karena Bayu punya segalanya, dengan modal wajah yang tampan, prilaku
yang baik, kerja yang mapan, akupun takut dia akan pergi dariku, kalau seandainya ada
cewek yang lebih menarik dariku, lebih sederajat dengan dia.

Bayu menggenggam tanganku erat sekali, aku merasakan kenyamanan saat dia
memegang tanganku. Aku merasakan cintanya begitu kuat untukku. Saat kami masuk ke
sebuah toko buku, Bayu bilang dia akan membelikan aku sebuah buku sastra yang dulu
sudah pernah dibacanya dan sekrang dia ingin aku juga membaca buku itu. Setelah Bayu
membayar buku tersebut, Bayu langsung menyerahkannya padaku. Aku kaget membaca
sinopsisnya, ternyata buku itu berisi tentang kekuatan cinta yang tulus, yang akhirnya
terpisahkan oleh maut, dan bagaimana sakitnya hati seorang kekasih saat menghadapi
peristiwa kematian itu.

“Bayu, kenapa kamu kasih aku buku kayak gini?”


“Ela, aku pengen banget kamu baca buku ini, karena kalau kamu baca buku ini, kamu bakal
lebih mengerti lagi apa itu cinta sejati, kamu akan merasakan betapa sangat berartinya
orang yang mencintai kamu, pokoknya ceritanya bagus deh, kamu pasti nggak bakalan
nyesal kalau baca buku ini, dan setelah membacanya, aku juga yakin kamu akan semakin
sayang sama aku, he-he... he-he ...”
“Ih, kamu!! Ke-GR-an banget sih kamu, masa cuma gara-gara baca buku ini aku bisa
semakin sayang sama kamu.”

“Eh, benaran, percaya deh sama aku. Kalau nggak, ntar kamu boleh musuhin aku lagi deh
kayak dulu.”
“Bayu!! Kamu ngomong apaan sih, ya udah-udah, aku baca bukunya, kamu kira aku
bakalan senang yah kalau kita musuhan lagi.”
Bayu aneh sekali hari ini. Tadi siang dia ngomong yang nggak-nggak di telpon, dan malam
ini dia juga menyuruhku membaca buku yang isinya aneh, tentang kematian. Tiba-tiba saja
jantungku berdegup kencang, kata kematian terasa terngiang-ngiang di telingaku. Entah
kenapa aku semakin ketakutan, takut akan kematian, takut akan kehilangan. Peganganku
semakin aku kuatkan ke pinggang Bayu, aku peluk pungungnya dan aku sandarkan
wajahku ke sana. Aku merasakan lagi kalau aku bersama Bayu, saat ini mungkin Bayu
sedang tersenyum karena dia merasakan cintaku besar untuknya.
Sambil mengenderai motornya, sesekali dia menoleh ke belakang untuk melihatku, Bayu
seperti orang yang was-was. Aneh, di sepanjang jalan aku terus kepikiran. Dan akhirnya
bunyi keras dan goncangan hebat membuat aku kaget, nggak hanya goncangan, tapi sakit
yang luar biasa di kepalaku, aku merasakan pusing serasa dunia ini berputar sangat
kencang sekali, penglihatanku kabur, aku berusaha untuk menyadarkan diriku sendiri, apa
yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba aku melihat Bayu yang sedang tidur di jalanan, samar-
samar aku melihat dia seolah-olah tidur nyenyak, aku merasa mimpi, mana mungkin Bayu
tidur di jalan, perasaan baru tadi aku boncengan dengan dia. Aku berjalan mendekati dia,
tapi orang-orang yang ramai lebih dulu menghampiri dia, aku semakin kesakitan, aku
nggak kuat lagi dan akhirnya yang aku lihat hanya kegelapan.

“Ela, kamu nggak apa-apa sayang, ini Mama.”


Aku pandangi wajah Mama. Dia seperti orang yang ketakutan, aku melihat sekelilingku,
tiba-tiba aku baru sadar, selintas kejadian tadi malam teringat lagi olehku.
“Ma, Bayu mana? Dia baik-baik aja kan?”
“Ela, nanti aja, kamu istirahat dulu, kamu masih sakit sayang.”
“Nggak Ma, Ela nggak merasa sakit apa-apa, sekarang Ela mau lihat Bayu, dimana dia Ma?”
“Ela, luka kamu belum kering betul, tadi kamu terus-terusan ngigau kalau kamu ngerasain
sakit.”
“Ma, Ela nggak ngerasa sakit, benaran, nggak tau kenapa Ela ngerasa sehat dan kuat Ma,
sekarang pokoknya Ela mau ketemu Bayu, pasti saat ini dia butuhin Ela banget.”
“Ela, saat ini Bayu nggak butuh siapa-siapa lagi, dia udah aman Ela, dia udah tenang di
sana, sekarang udah bahagia dengan kehidupannya sendiri, ada yang menjaga dia di
sana.”
“Apa? Apa Ma, maksud Mama? Mama bohong!! Ela nggak percaya, nggak mungkin, nggak
mungkin itu terjadi sama Bayu, dia udah janji Ma nggak akan pernah ninggalin Ela, dia
sayang Ela, Ela sayang Bayu Ma .... nggak, nggak mungkin....
Teriakanku membuat semua suster datang ke tempatku, mereka berusaha
menenangkanku, tapi aku nggak bisa, air mataku mengalir terus tiada hentinya, salah
seorang suster baru saja akan memberiku suntikan penenang, tapi cepat-cepat aku
elakkan.
“Tolong jangan suster, saat ini aku nggak butuh itu, aku hanya ingin menangis, aku nggak
rela, aku marah sama Bayu, kenapa dia berani pergi ninggalin aku, padahal dulu dia udah
janji nggak akan pernah pergi dariku, tapi kenapa Bayu bohong, kenapa sekarang justru dia
pergi selamanya, dan aku tau dia nggak akan pernah kembali lagi kan untukku? Kenapa
kamu tinggalin aku Bayu?”

“Ela, ini udah takdirnya, waktu Bayu udah habis di dunia, kamu jangan pernah marah sama
Bayu sayang. Kamu harus yakin kalau sekarang Bayu udah bahagia di sana.”
“Ma, kenapa justru Bayu, kenapa buka Ela aja yang ada di sana? Ela mau kok Ma,
Menggantikan Bayu, karena Ela sayang sama Bayu Ma, atau biarkan Ela untuk bersama dia
sekarang, Ela pengen menyusul dia Ma, Ela nggak mau hidup di dunia ini tanpa dia,
percuma Ma, percuma kalau nggak ada Bayu di sini, hidup Ela nggak ada arti apa-apa.”

Dengan cepat suster-suster itu memegang seluruh tubuhku, dan sesaat kemudian aku
tertidur, di alam mimpi Bayu datang padaku. Dengan pakaian yang serba putih Bayu
tersenyum padaku, dia berjalan mendekatiku, dia kelihatan senang sekali, seolah-olah dia
mendapatkan kebahagiaan yang baru, yang tiada duanya di dunia, melihat Bayu terus-
terusan tersenyum, rasanya aku ingin sekali ikut bersama dia, ikut merasakan kebahagiaan
yang dia rasakan saat ini. Aku berusaha memeluknya dan menggenggam tangannya, dia
membalas pelukanku, dia mendekapku, kembali aku meerasakan kenyamanan
bersamanya, aku merasakan dia memberiku kekuatan, ketegaran, dia membelai rambutku
dengan penuh rasa sayang, tapi pelan-pelan dia melepaskanku, dia justru menjauh dariku,
semakin jauh, jauh dan hilang dari penglihatanku.

Saat aku sadar, aku menangis lagi, aku bukan menangis karena menahan sakit pada
kepalaku, tapi aku menangis karena hatiku yang terasa amat sakit. Sekarang dunia bagiku
terasa kelam, hujan nggak hanya membasahi bumi, tapi hujan membasahi kehidupanku,
hatiku seolah-olah nggak berhenti menangis, menangisi orang yang telah pergi untuk
selama-lamanya, dia nggak akan pernah kembali lagi.

Tiba-tiba mataku tertuju pada buku yang ada di atas meja, aku baru ingat kalau itu adalah
buku yang dibelikan Bayu kemarin. Aku buka satu demi satu halaman buku itu, beberapa
menit kemudian aku tenggelam dalam ceritanya. Aku menangis membaca buku itu, sekilas
aku seolah-olah melihat wajah Bayu tersenyum di langit yang mendung di luar sana.

Entah kenapa sekarang aku kembali merasakan kekuatan itu, kekuatan cinta yang
diberikan oleh Bayu, aku merasakan dia ada di dekatku, merangkulku, menenangkanku,
aku dapat merasakan cinta dan sayangnya. Bayu, aku sangat mencintai dan menyayangi
kamu, aku yakin kamu bahagia di sana, walaupun kamu sudah pergi dari kehidupanku, tapi
kamu nggak akan pernah pergi dari hatiku, kamu abadi untukku, Bayu. Aku akan buktikan,
kematianmu nggak akan pernah mengakhiri cintaku.**
(the end) …

Cinta dari Allisa


Aditya dan Ardian… dua nama itulah yang selama 3 bulan terakhir mengisi hari-hariku.

Ardian…
Dia datang pada saat dimana aku sedang merasa sangat kehilangan, hari-hariku sedang
membosankan dan menyedihkan. Aku baru saja putus cinta. Awal aku mengenalnya karena
tidak sengaja mengirim sms. Setelah itu kami sering bertukar cerita, bertelpon ria.
Entahlah, aku tidak tahu kapan cinta itu hadir dalam hatiku dan aku juga tak mengerti
mengapa cinta itu datang begitu cepat. Dan yang lebih aku tak mengerti mengapa aku
harus mencintainya, padahal kita tak pernah bertemu.

Aneh bukan? Tapi itulah cinta, bila cinta tidak gila itu tidak dikatakan cinta…
Cinta itu harus gila.
Entahlah, apakah dia merasa hal yang sama dengan apa yang kurasa? Aku tak tahu.
Hubunganku dengan ardian tak pasti, bertemankah atau berpacarankah…
Berteman…mungkin dia akan jadi seorang teman yang baik, yang selalu mau mendengar
keluh kesahku setiap hari
Berpacaran…mungkin dia akan jadi seorang pacar yang setia,
Berteman atau berpacaran aku tak peduli. Aku merasa nyaman… mendengar suaranya dan
mendengar tawanya, dia selalu menjalani kehidupannya dengan santai, seolah dia tidak
pernah merencanakan hidupnya esok akan bagaimana, dia biarkan hidupnya mengalir. Tapi
itulah yang ku suka, tapi hal itu pula yang pada akhirnya membuat aku benci.

Ardian datang lebih awal daripada adit, mungkin jika adit datang lebih awal, aku akan jatuh
cinta padanya.

Aditya…
Aku mengenalnya karena perjodohan orang tua. Saat itu aku sedang menikmati
kedekatanku dengan ardian.
Entahlah, aku tidak tahu kapan cinta itu datang di hati adit, aku tak mengerti mengapa adit
sangat ingin menikah denganku, padahal perkenalan ini amat singkat. Entahlah, apakah
aku merasa hal yang sama dengan adit? Aku tak tahu. Tapi yang pasti aku kagum akan
kegigihan dan perhatian dia.

Hubunganku dengan adit juga tak pasti, yang pasti aku pernah menyakitinya karena aku
menolaknya

Tapi hingga saat ini seolah dia tak menyerah untuk mengejarku..
Atau mungkin karena target hidup dia yang sudah tersusun rapi dari tahun ketahun. Dia
manargetkan menikah pada tahun ini, pada usia dia yang ke 27. itulah adit, dia selalu
menyusun rencana hidupnya jauh kedepan. Bahkan 10 tahun, 20 tahun kedepan sudah
disusunnya secara terperinci. Tapi itulah yang membuat aku menolaknya, aku belum lama
mengenalnya, aku pernah bertanya padanya, apakah saat dia menulis target hidupnya
untuk menikah tahun ini, dia membayangkan wanita yang akan di nikahi itu siapa? Aku
yakin, wanita yang dia bayangkan bukan aku, tapi orang lain, entah aku tak pernah mau
tahu siapa wanita itu. Aku tak pernah ada dalam rencana hidup dia, karena perkenalan kita
masih sangat singkat, tapi mengapa harus aku yang harus terjebak dalam target hidupnya?

Sungguh adit dan ardian adalah dua pribadi yang bertolak belakang, walaupun inisial nama
mereka sama

Aku adalah seorang wanita, yang selama 3 bulan ini dilema dengan perasaanku sendiri.
Secara jelas aku menjelaskan perasaanku terhadap 2 laki-laki itu pada perkenalan mereka.
Aku seorang yang sangat simple dalam hal mencintai seseorang, aku selalu jatuh cinta
karena hal-hal yang sederhana, tapi seringkali jatuh cinta tanpa sebuah alasan. Kadang
perasaan itu datang tanpa aku tahu dan mengapa harus pada orang tersebut.

Aku sudah bosan menjalani kegagalan perjalanan cintaku, beberapa bulan sebelum aku
mengenal ardian dan adit, aku memutuskan untuk menyerahkan kepada orangtuaku utuk
memilih seseorang untukku, oleh karena itu mereka mengenalkanku pada adit, anak
seorang teman bapak. Karena sudah terlanjur berjanji akan mencoba untuk menerima
siapapun yang mereka pilih aku menyetujui untuk bertemu dan mencoba untuk
mengenalnya.

Selama beberapa bulan aku mengenal mereka, aku semakin yakin akan perasaanku. Tapi
saat aku menolak lamaran adit, keadaan sudah terbalik, ardian tidak lagi menginginkan aku
menjadi bagian hidupnya. Aku tak tahu apakah alasan yang dia berikan adalah benar atau
tidak, aku tak tahu. Saat aku menolak adit, banyak yang terluka, mama, bapak, adit, mbak
tanti bahkan mungkin yang paling terluka adalah aku. Aku hanya memikirkan dan
mengikuti perasaanku tanpa mau peduli perasaan orang lain, tapi apa yang aku dapat???
sekuat apapun aku meyakini perasaanku terhadapnya, toh sekarang dia mengabaikannya.
Mungkin ini karma untukku…

Aku ingin sekali melupakan 2 nama itu dalam hidupku. Karena mereka membuat aku
pusing. Aku merasakan apa yang adit rasa, aku merasakan bagaimana rasanya diabaikan,
mengharapkan sesuatu yang tak pasti, tapi aku juga tak ingin mengabaikan perasaanku,
karena hubunganku dengan ardian tak seperti yang aku harapkan. Dengan jelas dia
mengatakan tidak mencintaiku, dia mungkin hanya mengganggap aku sekedar teman,
seorang teman yang kesepian. Kisah ini bagaikan kisah cinta segitiga yang tak berujung.
Jika aku tetap mementingkan perasaanku, ada seseorang yang terluka. Dan jika aku
menerima cinta adit, aku sendiri yang akan terluka. Sampai akhirnya aku harus memutus
untuk melupakan keduanya, agar tak ada yang merasa menang, agar semua merasakan
perih yang sama. Tapi mungkin perih itu hanya untukku dan adit, karena kami sama-sama
melibatkan perasaan yang dalam…

Entah apa yang aku harus ku ucapkan dipenghujung kisah ini, maaf atau terimakasih, yang
pasti aku mendapatkan satu pelajaran yang sangat berharga dari kisah ini, aku akan
mengucapakan 2 kata itu sebagai kata terakhirku. Maaf untuk semua yang secara sengaja
atau tidak sengaja terluka karena masalah ini, untuk mama n bapak, maaf jika masalah ini
membuat suasana kita sedikit berkurang keharmonisannya, maaf untuk adit yang sangat
jelas terluka, maaf untuk ardian karena aku memaksakan sesuatu yang sudah pasti ku tahu
itu tak mungkin.

Terimakasih untuk semua yang telah ikut mengukir sebuah kisah ini untukku.

Saat ini aku sedang mencoba untuk mengistirahatkan hati dan pikiranku, aku harus
berusaha agar aku tak berkubang lagi pada kisah yang sama dan orang yang sama… walau
sulit, aku harus bisa merelakan dan melupakan semua…
Aku ingin menuliskan sebuah puisi sebagai akhir dari kisah ini…

Mencinta…(ku menunggu)

Kadang, Tuhan yang mengetahui yang terbaik


Akan memberi kesusahan untuk menguji kita
Kadang, Ia pun melukai hati kita
Supaya hikmahnya bisa tertanam amat dalam
Jika kita kehilangan cinta..
Maka ada alasan dibaliknya
Alasan yang kadang sulit untuk dimengerti
Namum kita tetap harus percaya
Bahwa ketika ia akan mengambil sesuatu
Ia telah siap memberi yang lebih baik…
MENGAPA MENUNGGU????
Karena walaupun kita ingin mengambil keputusan
Kita tak ingin tergesa-gesa…
KARENA…..
Walaupun kita ingin cepat-cepat, kita tak ingin sembrono…
KARENA…..
Walaupun kita ingin segera menemukan orang yang kita cintai…
Kita tak ingin kehilangan jati diri kita dalam proses pencarian cinta
Jika ingin berlari, belajarlah berjalan dahulu
Jika ingin berenang, belajarlah mengapung dahulu
Jika ingin dicintai, belajarlah mencintai dahulu…
BAGIKU….
Lebih baik menunggu orang yang kita inginkan…
Ketimbang memilih apa yang ada
Tetap lebih baik menunggu orang yang kita cintai
Ketimbang memuaskan diri dengan apa yang ada
Tetap lebih baik menunggu orang yang tepat
Karena hidupku terlampau singkat untuk dilewatkan bersama
PILIHAN YANG SALAH
Karena menunggu mempunyai tujuan yang mulia dan misterius
PERLU KAU KETAHUI
Bahwa bunga tidak mekar dalam semalam
Kehidupan dirajut dalam rahim selama 9 bulan
Cinta yang agung terus tumbuh selama kehidupan ini
Walaupun menunggu membutuhkan banyak hal iman, keberanian dan pengharapan….
Penantian menjanjikan satu hal yang tidak dapat seorangpun bayangkan
PADA AKHIRNYA TUHAN…
Dalam segala hikmah dan kasihnya….
Meminta kita menunggu….
KARENA…
Alasan yang penting!!!!!!

::: Cinta dan Persahabatan


Acara televisi sore ini tak satupun membuat aku tertarik. Kalau sudah begini aku bingung
entah apa yang harus aku lakukan. Tio bersama Sany kekasihnya, sahabatku Ricky entah
kemana? Mall, bioskop ataupun perpustakaan, bukan tempat yang aku suka, apalagi mesti
pergi sendirian ..

Ehm pantai ,

Ya pantai. kayaknya hanya pantailah, tempat yang mampu membuat aku merasa damai
dan tak aneh jika aku pergi sendirian.

Kuambil jaket, lalu kusamber kunci dan pergi menuju garasi. Kukendarai mobil mama yang
nganggur di sana. Papa dan mama lagi keluar kota, jadi aku bisa keluar dan mengendari
mobilnya dengan leluasa.

Terik panas masih menyengat, walaupun waktu sudah menjelang sore. Namun tak
membuat manusia-manusia di Ibukota berhenti beraktivitas meskipun di bawah terik
matahari yang mampu membakar kulit. Jalan-jalan macet seperti biasanya. Dipenuhi mobil
dari merek ternama ataupun yang sudah tak layak dikendarai.

Lalu di depan kulihat pemandangan lain lagi. Pedagang kaki lima duduk lesu menunggu
pelangannya.
Krisis yang melanda membuat banyak orang hati-hati melakukan pengeluaran, bahkan
untuk membeli jajan pasar.Walaupun tak seorang yang menghampirinya, namun dia tetap
semangat menyapa orang-orang yang lewat dan akhirnya ada juga satu pembeli yang
menuju arahnya.

Sekilas kulihat orang itu kok mirip sekali dengan Ricky. Kugosok-gosok mataku,
menyakinkan pandanganku. Kutepikan mobilku, lalu aku berhenti di tepi jalan itu. Dengan
setengah berlari, aku mengejar sosok itu.

Ah…kendaraan sore ini banyak sekali, sehingga membuat aku kesulitan untuk
menyeberang jalan ini. Tapi akhirnya terkejar juga, dengan nafas tersengal-sengal,
kujamah bahunya.

“Ky!” seruku tiba-tiba, sehingga membuatnya terkejut.

“Anda siapa?” tanya Ricky pura-pura tak mengenalku.

“Ky. Sekalipun kamu jadi gembel , aku akan tetap menggenalmu.” jelasku mendenggus
kesal.

“Sudahlah, Sophia, jangan membuat aku terluka lagi.” tukasnya begitu sinis seraya
beranjak pergi.

“Ky…Ky…knapa kamu tak pernah mau mendengarkan penjelasanku!” teriakku sekeras-


kerasnya. Namun bayangan Ricky semakin menjauh dan akhirnya tak kelihatan.

***
Ricky, Tio dan aku adalah sahabat karib dari kecil. Setelah tumbuh besar, aku tetap
mengganggap Ricky adalah sahabat terbaikku, tapi Ricky punya rasa berbeda dari
persahabatan kami. Yang aku cintai adalah Tio. Ini yang membuat Ricky menjauhiku. Tapi
yang Tio cintai bukan aku, tapi Sany, teman sekelasnya.

Cinta, sulit di tebak kapan dan di mana berlabuh!

Banyak orang tak bisa terima, jika cintanya ditolak, tapi bukankah cinta tak mungkin
dipaksa?

Tak mendapatkan cinta Tio, tak membuatku menjauh darinya, tapi aku akan tetap menjadi
sahabat baiknya. Walaupun ada sedikit rasa tidak puas, kadang rasa cemburu menganggu
hati kecilku, saat kutahu untuk pertama kali, orang yang Tio cintai adalah orang lain.

Aku harus bisa menerima keputusannya , walaupun terasa berat . Bukankah, kebahagian
kita adalah melihat orang yang kita cintai hidup berbahagia, baik bersama kita atau tidak?

Tapi tidak dengan Ricky, dia lebih memilih, meninggalkanku, mengakhiri persahabatan
manis kami. Pergi dan aku tak pernah tahu kabarnya. Tapi apapun yang terjadi, aku akan
selalu berharap suatu saat kami akan dipertemukan lagi.

Karena bagiku, cinta dan persahabatan adalah dua ikatan yang sama. Ikatan yang tak
satupun membuat aku bisa memilih satu diantaranya.

***

Sudah seminggu, setiap hari, aku datang kepersimpangan ini. Berharap bisa melihat sosok
Ricky lewat disekitar sini lagi. Tapi, Ricky hilang bagai ditelan bumi. Aku hampir putus asa.

Aku sudah capek menunggu, akhirnya aku bangun dan ingin beranjak pergi. Knapa tiba-
tiba, indera keenamku, memberiku insting, kalau Ricky ada di sekitarku.

Kubalikan kepala, kulihat sosok Ricky setengah berlari menyeberang jalan di belakang
posisiku. Aku berlari menggejar sosok itu. Kuikuti dia dari belakang. Aku pingin tahu dimana
dia berada sekarang.

Akhirnya kulihat Ricky, masuk ke sebuah gang kecil, kuikuti terus , sampai akhirnya dia
masuk ke sebuah rumah yang sangat sederhana.

“Knapa Ricky lebih memilih hidup disini, daripada di rumah megah orangtuanya?”

”Knapa dia, tinggalkan kehidupannya, yang didambakan banyak orang?”

”Knapa semua ini dia lakukan?”

“Knapa?”

Banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepalaku.

Setelah dia masuk kurang lebih 10 menit, aku masih berdiri terpaku dalam lamunanku,
dengan pertanyaan-pertanyan yang jawabanya ada pada Ricky. Aku dikejutkan suara
seekor anak anjing jalanan, yang tiba-tiba menggonggong.

Aku memberanikan diri memencet bel di depan rumahnya itu.

“Siapa?” terdengar suara dari balik pintu.

Aku diam, tak memberi jawaban. Setelah beberapa saat aku lihat Ricky pelan-pelan
membuka pintu. Nampak keterkejutannya saat melihatku, berada di depannya.
“Ky…boleh aku masuk?” tanyaku hati-hati.

“Maukah kamu memberikan sahabatmu ini, segelas air putih.” ujarku lagi.

Tanpa bicara, Ricky mengisyaratkan tangannya mempersilahkan aku masuk. Aku masuk
keruangan tamu. Aku terpana, kulihat rumah yang tertata rapi. Rumah kecil dan sederhana
ini ditatanya begitu rapi, begitu nyaman. Kulihat serangkai bunga matahari plastik
terpajang di sudut ruangan itu.

“Ricky, kamu tak pernah lupa, aku adalah penggagum bunga -bunga matahari.” gumanku.

Dan sebuah akuarium yang di penuhi ikan berwarna-warni, rumput-rumput dari plastik dan
karang-karang di dalamnya. Ricky tahu betul aku penggagum keindahan pantai dan laut.
Walaupun hal-hal ini dulunya, setahuku, kamu tak menyukainya. Kulihat juga banyak foto
persahabatan kami yang di bingkainya dalam bingkai kayu yang sangat indah, terpajang di
dinding ruang tamu ini.

Bulir-bulir air mataku, perlahan-lahan mulai tak mampu aku bendung. Aku benar-benar
terharu dengan semua yang Ricky lakukan. Begitu besar cinta Ricky buatku. Kupeluk dia,
yang aku sendiri tak tahu, apakah pelukan ini adalah pelukkan seorang sahabat ataupun
sudah berubah menjadi pelukan yang berbeda?

Ricky kaget, namun akhirnya dia membalas pelukanku, dan memelukku lebih erat lagi ,
seakan-akan ingin menumpahkan segala rindu yang sudah hampir tak terbendung dalam
hatinya.

Kami menghabiskan sore ini dengan berbagi cerita, pengalaman kami masing-masing
selama perpisahan yang hampir 2 tahun lamanya dan akhirnya Ricky mengajakku makan,
ke sebuah restoran kecil yang sering dikunjunginya seorang diri, di dekat rumahnya.
Terdengar alunan tembang-tembang romatis , suasana hening, membuat kami terbuai
dalam hangatnya suasana malam itu.

***

Sekarang Ricky sudah tahu, Tio sudah bersama Sany. Kami sekarang menjadi 4 sekawan.
Sany juga telah menjadi anggota genk kami.

Ternyata setelah aku mengenalnya lebih lama, Sany adalah sosok yang sangat baik hati,
menyenangkan, ramah dan peduli dengan sahabat. Ah…menyesal aku tak mengenalinya
lebih dalam sejak dulu.

“Ky , biarlah semua berjalan apa adanya, mungkin cinta akan pelan-pelan muncul dari
hatiku.” ujarku suatu hari, saat Ricky mengungkit masalah ini lagi.

“Oke, aku akan selalu menunggumu. Sampai kapapun. Karena tak akan ada seorangpun
yang mampu membuatku jatuh cinta . Hanya kamu yang mampu membuat aku damai,
tenang dan bahagia.” jelasnya panjang lebar

Sekarang aku memiliki tiga orang sahabat baik. Tak akan ada lagi hari-hariku yang kulalui
dengan kesendirian, kesepian dan kerinduan.

Hampir setiap akhir pekan, kami menghabiskan waktu bersama, ke pantai, ke puncak
ataupun hanya sekedar berkaroke di rumah sederhana Ricky. Hidup dengan tali
persahabatan yang hangat, membuat hidup semakin berarti dan lebih bahagia.

***

Waktu berjalan begitu cepat. Tiga tahun sudah berlalu. Kebaikan-kebaikan Ricky mampu
membuat aku merasa butuh dan suka akan keberadaannya di sampingku. Rasa itu pelan-
pelan tumbuh tanpa kusadari dalam hatiku.
Aku jatuh hati padanya setelah melalui banyak peristiwa. Cinta datang, dalam dan dengan
kebersamaan.

Apalagi dengan sikap dan perbuatan yang ditunjukannya. Membuat aku merasa, tak akan
ada cinta laki-laki lain yang sedalam cinta Riky.

Sekarang Ricky bukan hanya kekasih yang paling aku cintai tapi juga seorang sahabat
sejati dalam hidupku.

(the end) ..

Cinta Remaja
Kadang hal yang diharapkan berbenturan dengan kenyataan. Orang menganggapnya
sebagai takdir. Di sitiulah perasaan bermakna, salah satunya adalah cinta. Apa yang
dialami Gita memang biasa, terjadi pada manusia umumnya. Tetapi ini menjadi luar biasa,
ketika ia merasa bahwa simpatinya sebagaimana pungguk merindukan bulan.

Sudah dua minggu ia memendam seribu rasa yang membuat jantungnya berdebar kencang
saat melihat sang pujaan hatinya.

“Kita pilih duduk di sini aja. Ayo dong ceritain gebetan barumu,” tiba-tiba terdengan suara
serak yang mengusik lamunan Gita.
“Iya... Ri, mumpung kita ngumpul nih,” jawab teman Qori. Gita

“Masak lo main rahasiaan sama geng sndiri,” tutur temannya lagi.


Gita mendadak gugup. Nggak salah lagi itu Qori. Qori dari geng The SRIES, cowok yang
sangat dikagumi para cewek-cewek di sekolah.

Gita nyaris nggak bergerak. Mneyadari cowok tampan yang sedang ditaksirnya itu ada di
meja belakangnya. Saat sedang barengan dengan teman-teman aja Gita sudah nervous ....
apalagi sekarang ia sedang sendirian. Tapi untuk yang satu ini, rasa ingin tahunya jauh
lebih besar. Dan apa tadi? Mereka lagi ngomong soal gebetannya Qori. Wah..... Wah....

“Jadi bener nih, dia tinggal di jalan Tumbuhan?” tanya teman Qori.
Deg, Gita nyaris tersentak. Bukankah itu jalan tempat ia tinggal? Jalan itukan kecil, jadi ia
kenal hampir semua penghuninya. Kayaknya nggak ada yang seumuran dia, rata-rata
sudah kuliah dan kerja. Rasa ingin tahunya semakin memuncak.

“Iya, anak kelas satu juga. aku memang naksir dia. Soalnya dia manis banget, pintar dan
baik. Pasti dong banyak saingannya. Makanya aku jaga jarak biar dia penasaran,” suara
Qori terdengar riang.

Jantung Gita berdegup kencang. Ia semakin yakin , selain dia ngak ada anak kelas satu SMA
tinggal di jalan itu. Kalau masalah kecerdasan otak, Gita memang selalu jadi juara satu
sejak cawu pertama. Semuanya klop. Mungkin yang dimaksud Qori itu dirinya?.

“Wah, playboy satu ini sudah berketuk lutut. Terus kapan dong kamu nembak dia?” desak
temannya.

“Oh my god,” Gita nyaris menahan napas.


“Eh, ngomong-ngomong siapa namanya?” tanya temannya lagi.
“Gita,” jawab Qori.

Kali ini Gita nyaris nggak mampu menahan diri. Ingin rasanya ia melompat dan berteriak,
kalau saja nggak ingat di mana dia berada sekarang. Ini benar-benar keajaiban. Qori naksir
dia. Berita ini wajib diceritakan pada sohib-sohibnya.

Pukul setengah tujuh malam, semua persiapan sudah sempurna. Sekarang Qori naksir dia.
Primadona sekolah itu menyukai gadis biasa seperti dia. Gita bernyanyi bahagia.
“Kamu nggak sedang melamun Git?” kata Intan sambil terkikik.
“Iya Git, jangan-jangan itu cuma halusinasi aja,” timpal Shafina.
Gita pura-pura merengut sambil berucap “Pendengaranku masih normal dan aku nggak
bakalan cerita kalau tahu reaksi kalian begini”.

“Bukan begitu Git, Kalau benar Qori naksir kamu, kok bisa tenang-tenang aja sih?” kata
Intan dan Shafina.

Ruth mencoba menengahi. “Kan Qori sendiri yang bilang dia sengaja jaga jarak biar
surprise”.
“Udah deh, pokoknya mulai besok akan bakal jadi cewek paling bahagia di dunia,” ujar Gita
tersenyum bahagia.

Keesokan harinya, bel rumah berbunyi. Dengan ceria Gita menghambur ke pintu, tapi
ternyata yang datang Kak Adi, pacarnya mbak Enes. Keduanya lalu pergi, sementara Mama
dan Papanya sudah berangkat ke acara resepsi. Di rumah hanya ada Gita dan mbak Tami.

Gita mulai tidang sabar. SEdari tadi sohib-sohibnya terus menelpon dan membuatnya
tambah be te.

“Gita bangaun! Kok ketiduran di sini?” suara Mamanya terdengar sayup. Gita membuka
matanya, ternyata Mama dan Papanya sudah pulang.

“O ya, Qori! Astaga, setengah sepuluh malam”Gita melonjak. Ternyata Qori tidak datang
dari tadi. Gita mulai kebingungan.

Gita akhirnya ikut ajakan orang tuanya untuk mencari makan malam di luar.
“O ya Gita. Mama lupa cerita tentang cucunya Bu Nanda, padahal sudah sebulan lo. Kapan-
kapan kamu main ke sana ya?” tiba-tiba Mamanya bercerita. Gita cuma mengangguk tanpa
semangat.

Ketika melewati rumah Bu Nanda, Gita melihat seorang gadis cantik lekuar dari rumah
diikuti seorang cowok. “Oh my god”, Gita terkejut bukan main. Berkali-kali dikedipkan
matanya, berharap yang dilihatnya itu orang lain. Tapi sia-sia, cowok itu benar-benar Qori.
Mereka berdua kelihatan akrab sekali.

Dengan gemetar Gita bertanya pada Mamanya, “siapa nama gadis itu Ma?
“Kebetulan namanya sama dengan kamu .... Gita,” jawab Mamanya.
Gita terkulai menyadari impiannya hancur oleh kebodohannya sendiri. Seharusnya ia
mendengarkan ucapan sohibnya. Dan celakanya Gita terlanjur begitu berharap. Dia merasa
marah, kecewa dan ... malu sekali.

(the end) ..

Persahabatan

Seorang yang bernama reza merasa hidupnya sudah merasa lengkap, reza berkata aku
punya ayah yang baik padaku dan ibu selalu sayang padaku,bahkan aku berasal dari
keluarga yang kaya dan akupun pandai dalam pelajaran apapun ,ia pun merasa puas dan
bahagia , reza mpuyai sahabat sejati yang brnama aris.

Pada hari minggu aris mengajak ku untuk pergi bermain pada suatu taman rekreasi ,kami
bersenang-senang disana ,secara tidak sengaja aku melihat ad sepasang kekasih yang
bersama-sama sedang menghabiskan waktu berdua tanpa sadar aku memandang
sepasang kekasih itu dengan dengan pandangan cemburu ,kini aku baru sadar bahwa
hidupku belum lengkapkarna aku belum mempuyai seorang kekasih sambil melamun
dengan memegang ice cream di tangan ku secara tidak sengaja aku menabarak seseorang
yang sedang memegang anjing di tangannyan secara tidak langsung aku lari karna aku
takut dengan anjing ,anjing itupun ikut mengejar aku lari sekuat tenaga ,untungnya ada
aris yang membantuku untukku apa jadinya bila aris tak ada bisa-bisa aku jadi makan
siangnya .Tak terasa matahari sudah tak terlihat sinarnya lagi ,aku dan aris pulang
kerumah kami masing-masing.

Sesampainya dirumah kini aku masih membayangkan sepasang kekasih yang berada
ditaman rekreasi tadi yang begitu mersa , waktu terus bertambah takterasa sudah lewat
tengah tenah malam akupun ingin mempuyai keinginan untuk mempuyai seorang
kekasih .ku bertekat walau ku harus berkorban untuk mendapatkannya ,apapun
hambatannya kan kucari walau kepelosok untuk mendapatkannya malam kian larut akupun
tertidur pulas dengan berharap ada seorang perempuan mau untuk menjadi kekasihku.

Malam senin berganti dengan senin pagi jampun membangunkan ku itu saatnya ku mandi
dan berganti pakaian sekolah .aku peri kesekolah bersama aris .sesampainyan kami
disekolah bel sekolah telah berbunyi itu waktunya untuk upacara hari senin pada saat aku
ikut melaksanakan upacara hari senin ,hingga hamper telah selesai ,ada seorang
perempuan baris didekatku ,berparas cantik menawan,berambut panjang ,berkulit halus ,
tetapi ada yang aneh dengannya mukanya pucat ,mataya sayu ,seperti orang yang tidak
ber tenaga .tak lama kemudian perempuan itu pingsan dan tidak sengaja aku menangkap
tubuhnya yang akan jatuh ,dan saat ku menagkap tubuhnya sesuatu yang aneh terjadi
kepadaku jantungku berdetak dengan keras ,drahku seperti mengalir dengan deras hingga
kekepalaku hingga mukaku merah .aku berkata dalam hati “ perasaan apa ini mengapa ku
jadi aneh kayak gini ,apa yang terjadi dengan ku ,apakah ini rasanya jatuh cinya
takmungkinaku jatuh cinta padanyan “ tapi tak dapat ku pungkiri aku memang jatuh cinta
padanya.

Walau hanya satu menit ku pegang tubuh nya seakan ia telah menjadi milikku perempuan
itupun di bawa ke ruang uks dengan segera. Setelah beberapa lama perempuan itu
tersadar dari pingsannya dan saat istirahat sekolah ,perempuan itu menghampiri ku
dengan rasa malu-malu sambil mengucapkan terima kasih tadi sudah menahan kujatuh aku
berkata sama-sama perempuan itu mengulurkan tangannya untuk ber kenalan denganku
dia berkata tasya sambil menjabat tangan ku ,aku reza.

Sebagai tanda terima kasih telah menolongku ,aku ingin jalan-jalan dan kamu harus ikut
kanra kamu sudah menolong ku tadi bagaimana reza apa kau mau ikut ,ya ya ya okelah
nanti pulang sekolah aku tunggu kamu didepan gerbang sekolah ,oke tasya ,
sampaiketemu lagi reza.

Aku kembali kekelas dengan bahagia ,aku duduk dengan sahabat ku aris sambil
membayangkan wajah tasya yang cantik . tanpa sadar aris memandang wajahku lalu
berkata ada apa dengan sahabatku ,mukamu seperti orag yang mendapatkan undian yang
sangat banyak .tidak aku hanya sedang senang saja hari ini dengan wajah yang gembira
,aris berkata kepadaku aku senang bila sahabat ku pun senang
Jarum jam pun berputar dengan sangat cepat bel pulang pun ber bunyi ,akupun menunggu
didepan gerbang sekolah aku melihat tasya dengan rambut tergerai ,wah benar-benar
cantik dilihat dari mana pun tetap saja cantik.

Tasya kita mau kemana aku tasya berkata aku mau kamu yang menentukannya boleh kan
yasudah aku mau mengajak mu ketempat yang meyenangkan ,tapi sebelum kita pergi
ketempat itu aku mau ngajak kamu makan biar kamu nanti tidak pingsan oke hehehehe
kamu mau makan apa tasya tasya menjawab aku lagi mau makan baso nih ,yasudah aku
tau tempat warung baso di dekat sini

Sesampainya kami di Depan warung baso kami masuk dan duduk ,pelayan pun
menhampiri kami dan menawarkan mau makan apa? Aku bertanya tas kamu mau makan
apa , eee aku mau makan baso telor ja ,minumnya ,es the manis ja za ,reza berkata kpada
pelayan mas baso telor dua es teh manisnya dua.

Selagi kami menunggu pesanan kami ,aku mengobrol-obrol dengan tasya .tidak lama
kemudian pelayan dating dengan membawakan pesanan kami ,setelah memakan
semangkuk baso dan segelas the manis perut kamipun telah terisi ,kami pun melanjutkan
perjalanan pergi ke sebuah taman rekreasi disana kami naik permainan yang sangat
mengasikan aku melihat wajah tasya yang begitu cantik saat ia sedang tertawa sambil
menatap wajahnya.
(the end) ..
Arti sahabad
Misha sinkap kembali tabir ingatannya. Sharon. Manis nama itu, semanis orangnya. Dialah
kawan karib Misha yang selalu diingatannya. Sudah enam tahun mereka mengenali antara
satu sama lain. Kegembiraan dan keperitan hidup di alam remaja mereka melalui bersama.
Tetapi semua itu hanya tinggal kenangan sahaja. Misha kehilangan seorang sahabat yang
tidak ada kalang-gantinya.

Peristiwa itu berlaku dua tahun yang lalu. Sewaktu itu mereka sedang berada di kantin
sekolah. Misha sedang marahkan Sharon kerana mengambil pena kesukaannya tanpa
izinya dan menghilangkannya.

Apabila Misha bertanya, dia hanya berkata yang dia akan menggantikannya. Misha tidak
mahu dia menggantikannya. Kerana pena yang hilangtu berlainan dengan pena yang akan
diganti oleh Sharon. Pena yang hilang itu adalah hadiah daripada Sharon sewaktu mereka
pertama kali menjadi sepasang kawan karib.

"Aku tak mahu kau menggantikannya! Pena yang hilangtu berharga bagiku! Misha
memarahi Sharon." " Selagi kau tak jumpa penatu, selagi itulah aku tak akan bercakap
dengan kau!" Marahnya Misha pada Sharon. Meja kantintu di hentaknya dengan kuat
hingga terkejut Sharon. Misha yang mukanya memang kemerah-merahan, bila marah
bertambahlah merahlah mukanya. Sharon dengan keadaan sedih dan terkejut hanya
berdiamkan diri lalu beredar dari situ. Misha tahu Sharon berasa sedih mendengar kata-
katanya itu. Misha tidak berniat hendak melukainya tetapi waktu itu dia terlalu marah dan
tanpa dia sedari, mutiara jernih membasahi pipinya.

"Sudah beberapa hari Sharon tidak datang ke sekolah. Aku merasa risau. Adakah dia sakit?
Apa yang terjadi" Berkata-kata Misha seorang diri. Benak fikirannya diganggu oleh seribu
satu pertanyaan "EH! Aku nak pergi kerumahnyalah" Berbisik Misha di hatinya. Tetapi
niatnya berhenti di situ. Dia merasa segan. Tiba-tiba talipon dirumah Misha berbunyi
"Ring,riiiiiiiing,riiiiiiiiing,riiiiiiiing"Ibu Misha yang menjawab panggilan itu."Misha, oh, Misha
"Teriak ibunya. "Cepat, salin baju. Kita pergi rumah Sharon ada sesuatu berlaku. Kakaknya
Sharon talipon suruh kita pergi rumahnya sekarang jugak" Suara ibu Misha tergesa-gesa
menyuruh anak daranya cepat bersiap. Tiba-tiba jantung Misha bergerak laju. Tak pernah
dia merasa begitu. Dia rasa tak sedap. Ini mesti ada sesuatu buruk yg berlaku. "Ya Allah,
kau tenteramkanlah hatiku. Apapun yang berlaku aku tahu ini semua ujianmu. Ku mohon
jauhilah segala perkara yang tak baik berlaku. kau selamatkanlah sahabatku." Berdoa
Misha pada Allah sepanjang perjalanannya ke rumah Sharon.

Apabila tiba di sana, rumahnya dipenuhi dengan sanak -saudaranya. Misha terus menuju ke
ibu Sharon dan bersalaman dengan ibunya dan bertanya apa sebenarnya yang telah
berlaku. Ibunya dengan nada sedih memberitahu Misha yang Sharon dilanggar lori sewaktu
menyeberang jalan berdekatan dengan sekolahnya." Dia memang tidak sihat tapi dia
berdegil nak ke sekolah. Katanya nak jumpa engkau. Tapi hajatnya tak sampai. Sampai di
saat dia menghembuskan nafasnya, kakaknya yang ada disisinya ternampak sampul surat
masa ada dia gengam ditangannya" terisak-isak suara ibu Sharon menceritakan pada Misha
sambil menghulurkan surat yang Sharon beriya-iya sangat ingin memberikannya pada
sahabatnya.

Didalam sampul surat itu terdapat pena kesukaanku. Disitu juga terdapat notadaripadnya.

MISHA SHARMIN,
AKU MINTA MAAAF KERANA MEMBUAT KAU MARAH KERANA TELAH MENGHILANGKAN
PENA KESUKAANMU. SELEPAS ENGKAU MEMARAHI AKU, AKU PULANG DARI SEKOLAH
SEWAKTU HUJAN LEBAT KERANA INGIN MENCARI PENAMU.DI RUMAH AKU TAK
JUMPA.TAPI AKU TAK PUTUS ASA DAN CUBA MENGINGATINYA DAN AKU TERINGAT,
PENATU ADA DI MEJA SCIENCE LAB . ITUPUN AGAK LAMBAT AKU INGIN KESEKOLAH
KERANA BADANKU TAK SIHAT TAPI DENGAN BANTUAN SITI DIA TOLONG CARIKAN.
PENATU SITI JUMPA DIBAWAH MEJAMU. TERIMA KASIH KERANA TELAH MENGHARGAI
PEMBERIANKU DAN PERSAHABATAN YANG TERJALIN SELAMA SETAHUN. TERIMA KASIH
SEKALI LAGI KERANA SELAMA INI MENGAJARKU TENTENG ERTI PERSAHABATAN.

SHARON OSMAN.

Kolam mata Misha dipenuhi mutiara jernih yang akhirnya jatuh berlinangan dengan derasnya.Kalau
boleh ingin dia meraung sekuat hatinya. Ingin dia memeluk tubuh Sharon dan memohon maaf
padanya tapi apakan daya semuanya dah terlambat. Mayat Sharon masih di hospital. Tiba-tiba
dentuman guruh mengejutkan Misha daripada lamunan. Barulah dia sedar bahawa dia hanya
mengenangkan kisah silam. Persahabatan mereka lebih berharga daripada pena itu. Misha benar-
benar menyesal dengan perbuatannya. Dia berjanji tak akan membenarkan peristiwa ini berulang
kembali. Semenjak itu Misha rajin beribadah dan selesai beribadah dia akan membaca al kitab dan
berdoa dan bersedekahkan ayat-ayat alkitab kepada sahabatnya. Dengan cara ini sahajalah yang
dapat Misha balas balik jasanya Sharon dan mengeratkan persahabatanya. Semoga dengan kalam
Allah Sharon akan bahagia di alam baza. (the end)

Persahabatan **
– Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat
keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk
bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?”
tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan
kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku
cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah
kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.”
jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja
males nih kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”,
“Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku
tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil
berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak
memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang
gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia
mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman
satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun
lalu.
Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai
masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!”
jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun
memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa
lagi?” tanyanya padaku dengan malas.
“Ada yang dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak
karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu
seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat
kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?”
tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja?
Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku”
jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku
kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan
sedikit lemas.
“Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang
manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju
dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang
kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini
kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!”
ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya
malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari
rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?”
tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa
pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah
banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.”
jawabnya kepada Bella.
“Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok
deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella
terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai
dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan
mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau
ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang
sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah
dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya.
Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap ayo
berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung
berangkat.
Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku
terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami
pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang
diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun
memtuskan untuk langsung pulang kerumah.
Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti
capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu
kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk
kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam.
“Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil
melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku
terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih
kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih
tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku
dan Ivan datang kerumah Bella.
Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku
suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku
gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik
Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah
kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit
kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap
persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.

(the end) …

Pacar pertama
“LEGA BANGET rasanya acara ul-tah 17 tahunku sudah selesai. Saatnya aku memasuki
dunia baru dan aku bebas mencari cinta setelah sekian lama menunggu! Siapa ya pacar
pertamaku..?” Aruel bicara sendiri dikamarnya setelah kelelahan melayan teman2nya yang
tadi datang di hari ulang tahunnya.
“Ruel, buka pintunya! Mama nih!” Suara Mama membuyarkan lamunan Aruel, kemudian ia
membuka daun pintu kamarnya.
“Ini kado kamu ada yg tertinggal!” Mama menyodorkan kado berbalut kertas berwarna
merah kpd Aruel.
“Sekarang kamu istirahat, mama mau beres2 dulu ya!”
“Ma, tunggu! Berarti mulai besok Aruel punya gelaran baru kan, Ma? Arjuna Mencari
Cinta…!”
“Ada2 aja kamu. Tapi jangan jadi playboy mencari cinta ya.?” Gurau mama, membuat Aruel
jadi tertawa. Kemudian wanita tercantik dalam hati Aruel itupun pergi meninggalkannya.

Aruel penasaran melihat isi kado yang tanpa nama itu. Ternyata isinya sebuah G-string
berwarna merah. Aruel merasa risih kemudian mencapakkan saja hadiah ul-tah kawannya
itu kedalam tempat sampah, lantas ia menghempaskan tubuh diatas ranjang dan melayan
angannya untuk memilih siapakah gadis yang akan bergelar sebagai pacar pertamanya.
--------------------------
-------------

PAGI INDAH yang ditunggu telah tiba, meghantarkan Aruel ke pintu gerbang kebebasan
bercinta, dan itu adalah hak segala indvidu di atas dunia…

Mobil innova sebagai hadiah ulang tahun dari papa sudah bertengger di garasi rumah,
dengan begitu excited Aruel terus saja menaiki mobil pertamanya meluncur menuju ke
sekolah.
Di sekolah aura sweet7teen diri Aruel masih jadi gurauan. Haris Prasetyo kawan dekatnya
bahkan menyarankan beberapa primadona sekolah utk jadi pacar pertamanya...

“Gimana kalo kita taruhan? Kalo dalam tiga hari ini kamu bisa dapat pacar, kamu yg
menang!”
“Taruhannya apa?”
“Duit rp500ribu!
“Aku setuju…”
Aruel dan Haris akhirnya bersetuju membuat taruhan itu. Aruel yang merasa diatas angin
jadi tersenyum dengan bongkak. Dalam sekelip mata dia merasa mudah saja untuk
menaklukan hati seorang gadis. Sementara Haris tersenyum sinis karena pernah
mengalami sendiri bagaimana susahnya menyelami hati wanita, apalagi cuma dalam waktu
tiga hari…

Aksi Aruel bermula saat ia coba mendekati Tara adik kelasnya paling cute! Segala
sesuatunya berjalan lancar saat mereka makan di kantin, sampai tiba2 datang “big lady”,
bernama Sa’odah!

“Say, sori ya semalam daku ngga bisa datang! Tapi nih ada hadiah special buat kamu!”
“Apa nih, Od?”
“Buka aja! Nggak papa, biar kawan kamu ini bisa lihat?”
Aruel kemudian membuka kado bersegi empat itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat
isinya, seperangkat alat pedicure dan manicure. Mungkin karena dulu ia pernah bergurau
kepada Saodah ingin jadi lelaki metrosexual.Tara yang duduk disamping Aruel pun jadi
memandang aneh kepadanya.

“Akhirnya kamu dapatkan juga yang kamu mau kan, Ruel!”


“Becanda kamu, Od!”
“Ada bonus maskaranya juga lho!”
“Ruel, sori ya mendingan aku pergi aja ya, ko aku jadi gimana gitu sama kamu!” Tara tiba2
berkata, dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan Aruel.
“Tar.. Tunggu!”
“Eh, biar aja dia tuh pergi! Kamu cobain deh maskaranya!”
“Ngaco deh kamu Siti Saodah!” Aruel berkata dg geram.
Lewat sudah mangsa pertama si pemburu cinta Aruel gara2 si big lady menjatuhkan
reputasinya sebagai lelaki sejati, tapi Aruel merasa masih punya waktu mencari cinta yang
lain.
------------------------

PERPUSTAKAAN selalu sama, sepi dan penuh ketenangan. Gelisah Aruel coba mendekati
Francisca yg sedang kelihatan khusu merenung buku dihadapannya. Gadis indo itu adalah
masuk dalam kandidat kekasih hati Aruel… Setelah cukup lama menunggu dengan gelisah,
kesempatan itu akhirnya datang. Aruel menghampiri Fran yg baru keluar dari per-pus.

“Fran, long time not see? Are you fine?” Aruel menyapa kemudian berjalan beriringan.
“I’m great! Sorry I didn’t come to your party last night?”
“it’s okey! Do you have any plan after class today?”
“Why?”
“I want treat you eat bakso. Do you want?”
“Ruel…!” Hasim Norton tiba2 muncul begitu saja sebelum Fran menjawab pertanyaan
Aruel.
“Iya, knapa Ton?”
“Gimana kado gw udah elu pake blum?”
“Apaan sih?”
“Itu, G-string merah yang dulu elu cari2!”
“Oh, jadi kamu yg kasih ya Ton.. kurang kerjaan banget sih!”
“Ermm.. sorry Ruel, I should back to my class now! And just forget it about bakso… Bye!”
Aruel jadi memasang muka tidak senangnya ketika menyadari percakapannya tentang G-
string dg Norton membuat Francisca jadi pergi meninggalkannya, sedang Norton di
depannya hanya memasang muka tak bersalah. Gagal lagi usaha Aruel dalam mencari
pacar pertamanya.
-------------------------------

NEXT CANDIDATE untuk jadi kekasih Aruel adalah Juli Anggriani. Sebenanya, Aruel sudah
lama menaruh hati kepada gadis keturunan Arab Sunda itu. Pukul13:00 sekolah bubar.
Mata Aruel tercari-cari sang jelitawan Juli. Seribu rencana sudah bermain dikepalanya...

“Juli temenin aku ke toko buku ya?”


“boleh aja, tapi gak bisa lama nanti abi dan umi marah!
“Ok, promise! Nanti aku hantar kamu pulang tepat pada waktunya…”
Aruel dgn hati yang berbunga indah membawa Juli dg innova-nya, tapi bukan menuju ke
toko buku. Sebuah cafe yang ditujunya. Juli mencubit pinggang Aruel atas penipuannya itu.
“Sebenarnya ada apa sih Ruel?” Juli menegasi Aruel saat mereka menikmati minumannya.
“Sekarang umur aku dah 17thn, dan aku sudah berhak memiliki seorang pacar. Aku
bahagia sekali karena ternyata aku sudah menemukan pacar pertama aku itu!”
“Wah, bagus dong kalo begitu! Siapa Ruel..?”
“Orang yang duduk didepan aku!” Juli menyelinguk kiri kanan sambil mengerutkan
keningnya,
“Kamu mau kan jadi pacar aku, Jul?” Akhirnya Aruel menembak Juli.
“Becanda deh! Aku kan belum 18 tahun!”
“Maksud kamu??”
“Iya, aku bukan korban sweet7teen, tapi korban sweet8teen!”
“Hahh??”

Aruel jadi melongo dibuatnya, dia pikir hanya dirinya saja yang jadi korban sweet7teen,
ternyata ada orang lain yang lebih menderita dari dirinya! Kemudian hatinya memaki setiap
orang tua yang melarang anaknya berpacaran sebelum usia 17thn. Aruel kembali harus
memutar otaknya karena sudah ketiga kalinya gagal, masih ada satu hari lagi untuknya
mencari pacar pertamanya.
-------------------------

MALAM SEHABIS maghrib, seseorang menelpon Aruel. Lie-Lie, salah satu gadis ayu di
sekolah, yang merupakan pujaan hati Haris tapi belum kesampean. Pasti tragis buat Haris
kalo Lie-lie yang akan dijadikan pacar pertamanya.. Aruel membuat rencana itu tiba2!

“Aku lagi di party ultah sepupu aku, Nurrul! Datang dong?” Suara Lie-lie disana.
“Malu dong Lie.. kan aku nggak kenal!”
“Bilang aja teman aku, nanti aku sms ya alamatnya!”
“Serious nih?”
“he-eh.. cepetan!”
Aruel mnegukir senyumnya sendiri, memang confirm Lie-lie adalah calon yang tepat untuk
pacar pertamanya.

Rumah bercat putih yang dihalamannya nampak dipenuhi keramaian, Aruel


memberhentikan innova-nya. Kemudian masuk kedalam halaman yg pagarnya dibiarkan
terbuka. Lie-lie terus saja menyambutnya dengan senyum manisnya. Hati Arueal makin
berpesta pora.

“Mana birthday girl yang bernama Nurrul?” Aruel membuka obrolan.


“Dia lagi didalam, nanti aku kenalin! Aku tinggal dulu ya, Aku mau kebelakang, bentar
aja…!”

Aruel pun menebar pandangannya ke seisi taman setelah Lie-lie pergi. Akhirnya
pandangannya berlabu birthday girl bergaun hitam yg baru saja keluar dari rumahnya,
begitu anggun dan cantik sekali. Melihat wajah gadis itu, memori Aruel seketika jadi
terimbas kejadian di sebuah swalayan setahun yang lalu...

“Kalo gak cukup duit, dikira2 dulu dong belanjaannya Mas !10.000 aja masak gak ada?”
Maki Kasir.
“Ini pegangg dulu aja hp saya nanti saya datang lagi!”
“Emangnya disini pergadaian apa!”
“Maaf, mba! kurang 10.000 ribu ya? Biar saya yg bayar!” Seorang gadis cantik tiba2
mengulurkan selembar uang kertas didepan Aruel..
“Eh, ngga usah mba!” tolak Aruel sambil terpesona melihat gadis cantik itu.
“Masalahnya saya sudah lambat nih mau pergi!”
Akhirnya aruel membiarkan saja gadis itu membayar sisa belanjaannya, dan gadis cantik
itu sekarang sudah berdiri tepat didepannya. Setelah setahun lebih mencarinya, akhirnya
bidadari yg pernah diimpikannya muncul dangan tiba-tiba…

“Nurul ya? kamu inget saya gak?” Aruel dengan hati berdebar menyapa Nurrul.
“Kamu siapa yah?” Nurrul kebingungan.
“Aku yang pernah kamu tolong waktu aku kehabisan duit di swalayan. Ingat nggak?!”
“Masak sih? Maaf ya, aku nggak inget sama sekali!"
“Aku Aruel Pratama, kawan Lie-lie!” Aruel akhirnya memperkenalkan diri.
“Aku Nurrul Pratami. Lho, ko aneh nama kita agak mirip ya? Pratama-Pratami!”
Mereka berdua kemudian hanya tertawa dan merasa sangat surprise dengan kebetulan itu.
Saat Lie-lie datang, rencana awal Aruel untuk mejadikan Lie-lie sbg pacar pertamanya
berubah 180 derajat. Matanya tak henti memandang setiap gelagat Nurrul yang kemudian
sibuk melayan tamunya...

“Masih single tuh! Korban sweet7teen gitu lho!” Ucap Lie-lie saat mendapati Aruel tidak
henti menatapi Nurrul dari kejauhan. Aruel hanya mengembangkan senyumnya mendengar
ucapan Lie-lie. Cinta tak terduga telah hadir di depan mata! Hatinya berkata2…

Mendapat no h/p Nurrul Pratami dari Lie-lie. Pagi buta Aruel menelpon gadis yang mulai
bermain diangannya. Ajaib, Nurrul menerima ajakan Aruel untuk makan siang dengannya.
Aruel bertemu Nurrul tengah hari di kota Jakarta yang sedikit mendung. Ada sebuah resto
favorit keluarga Aruel, disitulah ia membawa Nurrul…

“Sudah ready untuk cinta pertama kamu?” Aruel tiba2 bertanya kepada Nurrul sehabis
makan.
“Hey, bagaimana kamu tau? Pasti Lie-lie, awas dia nanti!”
“Kenapa semua serba kebetulan ya?? Nama belakang kita mirip, terus aku pun sama2 baru
terbebas dari hukuman sweet7teen.”
“Masak sih? Jangan2 kamu ngarang aja..!”
“Swear, aku nggak bohong!” Aruel mengacunkan tangannya.
“Nurrul, aku suka sama kamu pada pandangan pertama!”
“Wow.. romantisnya! Tapi aku nggak percaya..!”
“Kenapa? kita kan sama2 sedang mencari pacar pertama kita!”
“Bedanya kamu terdesak, sedang aku bisa menunggu seminggu, sebulan or setahun lagi!”
“Nggak perlu nunggu seminggu atau setahun, sekarang juga kamu bisa jadi pacar aku!”
“Benar-benar terdesak!”
“Aku takut kamu jatuh ke tangan org lain Nurul!”
“Nggak percaya! Takut kalah taruhan kali!”
“Hah?? Maksud kamu..!”
“Kalau harus menunggu 100 thn pun nggak papa, daripada jadi taruhan!”

Nurrul meninggalkan Aruel begitu saja, dan Aruel pun tak tahu harus berbuat apa! Yang
terbersit di kepalanya pasti Lie-lie telah menceritakannya kepada Nurul. Tapi bagaimana
dia tau? Aha, pasti Haris yang membocorkan rahasia pertaruhan itu kepada Lie-lie. Awas
kamu, Ris! Maki Aruel dalam hati.
Aruel dipaksa kembali memutar otaknya untuk mendapatkan pacar pertamanya.
----------------------------------

PAGI YANG INDAH, seindah langit yang ditaburi cerahnya sinar mentari ! Aruel tiba
disekolah dengan senyum optimis yang selalu melakat dibibirnya. Haris sudah menuggunya
di depan pintu sekolah dengan senyumnya yang tak kalah meyakinkan dengan Aruel!

“Mana 500ribunya, keluarkan sekarang!” Haris menghadangnya.


“No way!”
“Kamu kan sudah kecundang!”
“Siapa bilang? Nggak ada kamusnya aku kalah sama kamu”
“Maksud kamu??”
“Nanti aku kenalkan dengan pacar pertamaku di kantin! Jangan lupa siapkan 500ribunya!”
Aruel berkata dgn confidentnya, kemudian begitu saja meninggalkan Haris yang jadi kecil
hati..

Aruel sebentar2 melirik Haris yang dilanda gelisah di tempat duduknya. Aruel jadi
tersenyum sendiri, bahagia bisa melihat Haris keresahan.
Akhirnya saat yg ditunggu telah tiba. Aruel meminta Haris untuk menuggunya di kantin,
karena dia harus menjemput sang dewi yang akan bergelar pacar pertama Aruel. Haris
nampak kurang senang hati, karena jika benar2 dia kalah taruhan, dia terpaksa harus
menggunakan uang iuran sekolahnya, dan itu malapetaka baginya.

Gadis bertubuh padat yang terlebih isi, alias gemuk itu bergandengan mesra dengan Aruel
untuk di perkenalkannya kepada Haris. Wajah haris yg tadi mengkerut, jadi berseri2 karena
jadi tertawa geli melihat angka 10 sedang bergerak menuju kearahnya. Tak rugi aku harus
membayar 500ribu untuk tontonan selucu ini! Hati Haris berkata.

“Coba kamu jelaskan darling bahwa kita sudah resmi sebagai kekasih hati belahan jiwa!”
Aruel dgn berlagak berkata kepada Haris yg mesih tak mampu menahan rasa gelinya.
“Benar 100% halal.. kami dah resmi jadi boyfriend and girlfriend, forever baby!”
“Oke.. aku percaya! Aku pun sangat setuju sekali kalau kamu berpacaran, ternyata setelah
17 tahun menunggu kau temukan juga bidadari yg cantik jelita ini wahai Aruel Pratama!”
Aruel pun jadi tak mampu menahan rasa geli dihatinya mendengar ucapan Haris. Yang dia
lakukan Cuma menutup mulutnya rapat-rapat. Odah yg pantang melihat makanan terus
saja pergi melahap apa saja yg ada di atas meja kantin.
“Ya, udah mana duitnya!” Pinta Aruel saat rasa geli dihatinya reda.
“Ada nih, tapi ada satu syarat, karena siapa tau kamu berdua cuma pura2 pacaran! Jadi
syaratnya, kamu harus pacaran dengan Odah minimal satu tahun, Setuju??”
“Hah? setahun! Ogah ah, gila aja!”…”
“ katanya saling mencintai???”
“Dasar licik kamu, Ris! Mending kabur deh kalo gini..!”
Tanpa menghiraukan Odah, Aruel terus saja melarikan diri dari kantin sekolah itu.
“My darling.. mau kemana! Tunggu daku sayang…!” Odah menjerit saat melihat Aruel
berlari meninggalkannya. Haris jadi terpingkal2 melihat angka nol besar itu mengejar Aruel!
------------------------------

AKHIRNYA dengan duka citanya Aruel harus mengakui kemenangan Haris. Memang cinta
bukan sesuatu yang mudah untuk dimiliki. Itu yang perlu Aruel pelajari.

“Jangan khawatir, bro! Aku ada calon yang sesuai buat kamu!” Usik Haris saat didalam
kelas.
“Ogah, aku!” Aruel merasa tak tertarik sedikit pun.
“Bener? Gak mau liat foto-nya dulu!” Aruel tak menjawab, pura2 fokus pada buku di
depannya, sedangkan hatinya gundah sudah kehilangan uang rp500ribu.
“Nih..!” Haris melemparkan selembar foto keatas meja Aruel. Betapa terkejutnya Aruel
melihat wajah bidadari didalamnya…
“Nurrul…!” Desis Aruel dengan gembiranya!
“Dapet darimana, bro!”
“Pacarku! Aku sudah jadian sama Lie-lie, dan dia merestui kamu jadian sama Nurul!”
“Hah??”
“Iya, malam ini kita nge-date bareng pake duit 500ribu!”
“Yes, nice bro! Akhirnya aku temukan juga pacar pertamaku!”
Aruel melonjak kegirangan. Tapi sebenarnya dia tidak tahu bahwa musibah besar akan
menimpanya!

“My darling… I love you my baby! Kenapa sih kamu tadi ninggalin aku???”
Big Lady yang merasa sok imut itu ternyata sudah berdiri tepat didepan Aruel, tanpa malu2
dia langsung saja memeluk Aruel, yang akhirnya meronta-ronta kegelian! Seisi kelas yang
menyaksikan kejadian itu jadi tertawa terpingkal-pingkal, bahkan ada yang sampai pipis di
celana karena lucunya!
Terimalah Sa’odah sebagai cinta pertamamu, Aruel! (He-he..)
--end—
INDAHNYA MASA KECIL <<
Malam yang sunyi dengan angin yang dingin seraya menemani dua anak kecil berusia 6
tahunan yang sedang menikmati keindahan bintang.
“Kinan, kalo udah gede mau jadi apa?” Feri bertanya sambil menatap Kinan.
“Kalo aku mau jadi pilot!”
“Yang jadi pilot itu kan laki-laki, kamu kan perempuan! Mending kamu jadi perawat aja deh!
Jadi perawat nenekku.”
“Aku maunya jadi pilot! Aku nggak mau jadi perawatnya nenek kamu!” Kinan
memonyongkan bibirnya ke depan, “Emangnya kamu mau jadi apa?”
“Aku mau jadi orang yang berguna di dunia ini. Bisa nyenengin Mamah, Papah, Nenek,
kamu pasti besok juga bangga punya temen kayak aku.”
“Ok, janji ya kamu bakal ngebanggain aku? Awas kalo boong!” kata Kinan sambil
menggepalkan tangannya.
“Iya deh, kamu juga janji ya akan terus sama-sama aku sampe gede… jadi aku bisa buktiin
ke kamu kalo aku bisa jadi yang terbaik…” Feri tersenyum pada Kinan lalu keduanya sama-
sama mengangkat kelingking mereka, “Oh iya, kamu mau nggak jadi pacar aku? Jadi… kita
akan terus bareng sampe gede nanti… kayak Mamah sama Papah aku….”

“Okey, kita pacaran yah…” Kinan menggenggam tangan kecil Feri.


***

Lamunan Kinan buyar saat Nina, sahabatnya duduk di samping kirinya dan menawarkan
segelas soft drink.
“Lo nggak ada kuliah hari ini?” tanya Nina sambil meneguk soft drink-nya.
Kinan menggeleng pelan.
“Kok masuk sih?”
“Males di rumah, mending ke kampus aja.”
Lama-lama keduanya diam...
“Nin, menurut lo janji masa kecil itu masih berlaku nggak sekarang?” Kinan menatap Nina
dan berharap ia mau memberi jawaban.
“Cie... teringat sama kisah masa kecil,” goda Nina menyenggol lengan Kinan.
“Gue serius nih, Nin! Masih berlaku nggak?”
“Nggak mesti, lagipula itu kan udah berlalu... eh, emang siapa sih yang lo maksud?”
“Temen kecil gue! Dia pernah janji, dia bakal ngebuat gue bangga kalo udah gede. Tapi...
nggak lama setelah dia ngucapin janji itu, dia ke luar negeri. Padahal dia sendiri yang
nyuruh gue janji untuk selalu sama-sama dia, eh malah dia yang ninggalin gue, bahkan dia
itu nembak gue. Dengan seenaknya karena masih kecil, gue jawab iya aja.” Kinan
menceritakan masa kecilnya pada Nina sambil tersenyum sendiri.
“Oww... So Sweet. Terus selama pisah, komunikasi kalian masih nggak?”
“Nggak tuh. Namanya juga masih kecil, 6 tahun gila! Masa, sekecil gitu udah bisa ngirim
gue e-mail?”
“Iya juga sih eh, gue masuk dulu ya? Ada kuliah nih. Bye,”
***
Kinan membawa nampan berisi bakso dan segelas orange juice untuk ia lahap karna
perutnya sedari tadi sudah minta untuk diisi. Dengan extra hati-hati ia membawa nampan
itu, ketika Kinan hendak duduk, bola basket melayang ke arahnya dan nampannya pun
tumpah ke lantai. Kinan menganga dan mendesah.
“Aduh-aduh sori, gue nggak sengaja. Tiba-tiba bola basket... ”
“Stop-stop! Gue nggak butuh alasan, sekarang bersihin nih piring-piring! Awas kalo sampe
nggak bersih!” potong Kinan lalu memesan lagi menu yang sama dan dibawanya ke meja
tadi. Dilihatnya cowok itu sambil membersihkan kuah yang tumpah.
“Udah bersih! Asal lo tahu ya…”
“Oh, udah bersih yah? Thank deh. Udah untung lo nggak gue suruh ngganti nih makanan,”
potong Kinan lagi sambil melahap baksonya.
“Lo kira gue nggak mampu bayar semua makanan lo? Gue beli kantin ini pun sanggup!
Sialan!” cowok itu ngacir meninggalkan Kinan yang tersenyum puas.
Setelah jam kuliah Nina selesai, Kinan menghampiri bocah itu yang lagi ngobrol dengan
seorang cowok.
“Hei!” sapa Kinan pada Nina, lalu tatapannya beralih pada cowok di samping Nina yang
ternyata cowok yang numpahin makanannya barusan.
“Lo lagi?” mereka hampir berbarengan.
“Lo kenal sama cowok ini?” Kinan beralih pada Nina yang tidak tahu letak persoalannya.
“Dia saudara tiri gue, namanya Eri. O ya Er, kenalin ini sahabat gue namanya Kinan,” Nina
memperkenalkan Eri pada Kinan.
“Kinan???” raut wajah Eri berubah saat mendengar nama Kinan.
“Kenapa? Lo kaget nama Kinan itu bagus?” Kinan tak mau kalah.
“Perasaan gue tadi nggak ngomong bagus? Aneh aja ada nama lucu,” jawab Eri.
“Sssstt… kalian kenapa sih? Udah pada kenal ya? Nan, ini loch yang namanya Eri yang
waktu itu gue ceritain. Mamahnya Eri itu Mamahnya gue sekarang. Dan dia baru aja pulang
dari luar negeri trus nglanjutin kuliah disini,”
Kinan hanya mengangkat bahunya, lalu duduk di sebelah kanan Nina.
“Eh, lanjutin yang tadi donk!” desak Nina pada Kinan.
“Yang mana?”
“Cerita masa kecil lo!”
“Apa???” tiba-tiba Eri histeris dan menatap kedua cewek cantik itu.
“Urusan apa lo?” tanya Kinan galak.
“Geer amat sih lo! Eh, gue latihan dulu ya, Nin? Entar gue tunggu lo selesai kuliah deh.”
Ucapnya pada Nina.
Nina hanya tersenyum lalu beralih lagi pada Kinan, “Lo ada apa sih sama Eri?”
“Dia itu udah numpahin makanan gue tadi waktu di kantin! Nggak mau minta maaf lagi!
Pake ngatain gue segala!” Kinan menceritakan setengah sebal.
“Oh, itu sih biasa! Eri emang anaknya kayak gitu, katanya sih semenjak Neneknya
meninggal, terus ditambah lagi Papahnya selingkuh, ortu mereka akhirnya cerai dan
nyokapnya menikah sama bokap gue. Dia jadi sering ngerokok,”
“Gue nggak mikiirin!”
***

Nina berada di mobil Eri, keduanya hanya diam, bingung harus memulai pembicaraan apa.
Nina juga tidak begitu dekat dengan Eri. Baru juga ketemu satu minggu yang lalu
“Nin, Kinan itu sahabat lo?” Eri membuka pertanyaan.
“He-eh, dia temen gue sejak SMA.”
“Dia punya cerita masa kecil? Ha…ha… tadi gue denger awal-awalnya.”
Nina tertawa, “Iya, dia juga sempet nanya ke gue kalo janji masa kecil itu masih berlaku
nggak sekarang, terus katanya dia ditembak sama temen kecilnya itu,”
Tiba-tiba aja Eri nge-rem mendadak. Nina pun melongo, “Ada apa, Er?”
“Enggak!” Eri seperti menyembunyikan sesuatu.
“Lo udah kenal Kinan sebelum gue ya?” Nina menyelidik.
Eri diam, Nina pun semakin bingung dengan tingkah Eri.
“Lo kenapa sih, Er? Naksir sama Kinan ya? Tenang aja gue bantuin deh.”
“Bukan gitu, sebenernya……”
***

“KINAN!!!” Nina beteriak memanggil Kinan sambil berlari menghampirinya. semua orang
pun menoleh pada Nina. Kinan pun terkejut melihat tingkah sahabatnya ini.
“Kenapa sih lo?”
“Nih liat, ada bingkisan buat lo! Cepet buka deh, siapa tahu aja dari temen kecil lo, ” Nina
bener-bener bersemangat menyuruh Kinan membuka bingkisan itu.
“Ngaco lo! Mana mungkin Feri bisa tahu kampus gue?”
“Udah cepet buka,”
Perlahan-lahan Kinan membuka kado itu, di lihatnya sebuah pesawat-pesawatan kecil.
Kinan tersenyum, lalu ia mengambil memo yang berada di dalam kotak itu.

“ Eh masih inget gue nggak? Ehm, sekarang lo masih pengin nggak jadi pilot, Nan? Gue
tunggu lo di atap gedung kampus, sekarang!”

Kinan termenung, sebenernya ia sudah yakin kalo Feri lah yang mengirimkan semua ini.
Siapa lagi yang tahu kalo dirinya dulu ingin sekali menjadi pilot?
“Iya kan?” Nina mengagetkan Kinan.
“Eh, lo kok tahu kalo ini dari temen kecil gue?”
Nina celingukan lalu menggaruk-garuk kepalanya, “Gue nggak tahu apa-apa kok,”
“Pasti ada sesuatu nih!” selidik Kinan.
“Nggak! Udah sana lo pergi ke atap,”
“Tuh kan! Buktinya lo tahu isi suratnya Feri, hayo… lo pasti dalangnya ya?”
“Oppss… hehe… cepet!!!” Nina mendorong Kinan lalu meninggalkannya.
***
Kinan kini sudah berada di atas atap kampus, tapi tak ada siapa-siapa disini. Kinan
cemberut, harapannya pupus lagi untuk bertemu dengan Feri.
“Pasti Nina ngerjain gue, mana mungkin dia bener-bener dateng?” gumam Kinan hampir
meneteskan air matanya.
“Siapa bilang?” terdengar suara cowok yang membuat Kinan ingin berbalik dan mengetahui
siapa yang kini berada di belakangnya.
Namun, setelah Kinan berbalik, betapa kagetnya ia saat melihat seseorang yang sangat ia
kenal berdiri di depannya. Eri.
“Ngapain lo disini?” Kinan merasa dirinya telah dipermainkan oleh Nina dan Eri.
“Mau nemuin temen kecil gue, opps… salah, maksudnya mau nemuin pacar kecil gue!”
jawab Eri yang membuat Kinan menatapnya sengit.
“Lo pikir gue mau diboongin sama lo? Ini pasti kerjaan Nina kan? Dia pasti nyuruh lo untuk
ngaku-ngaku jadi Feri, biar gue seneng?”
“Nan, gue bener-bener nggak tahu kehadiran gue bisa buat lo seneng. Maafin gue yang
dulu pergi ninggalin lo, padahal gue punya janji untuk ngebuat lo bangga. Tapi gue pikir,
udah nggak ada harapan lagi untuk nge-raih cita-cita gue, karna… nenek, nyokap-bokap
gue udah nggak ada yang bikin gue ngebanggain mereka. Dan gue pikir, lo juga pergi
ninggalin gue dan nggak inget lagi sama masa kecil kita… tapi ternyata gue salah, lo masih
setia nunggu gue, dan gue ngajak lo kesini biar bisa liat bintang kayak dulu saat kita sama-
sama ngucapin janji, meskipun ini siang tapi lo pasti bisa liat pesawat itu kan?” tangan Eri
menunjuk kearah pesawat yang melintas di atas.
Kinan tak menjawab, ia hanya menunduk.
“Dari awal gue denger nama lo, gue jadi inget sama Kinan kecil yang dulu selalu main sama
gue, bahkan waktu gue main sepak bola pun lo ikut-ikutan, meskipun jatuh!”
Kinan sadar, ia belum menceritakan semua ini pada Nina, jadi ia tak punya alasan untuk
menuduh Eri atau Feri yang bukan-bukan.
“Kenapa lo ke luar negeri?” suara Kinan bergetar.
“Nyokap sama Bokap cerai, dan gue disuruh ngikut Nyokap. Lo tahu kan gue sayang banget
sama mereka berdua? Pas gue tahu mereka bakal pisah, gue kalut banget, makanya gue
nggak sempet pamit sama lo,”
“Lo Feri kecil gue?” Kinan menatap Eri mengelus wajahnya.
“Dan lo Kinan kecil gue?”
“Mana janjinya? Katanya mau ngebuat gue bangga?” tagih Kinan.
“Emmh, nih!” Eri mengeluarkan kristal berbentuk love dan bertuliskan ‘I LOVE YOU’.
Kinan melongo.
“Meski ini nggak bikin bangga, tapi ini bisa bikin lo melongo!”
“Enak aja!” Kinan memukul lengan Eri.
“ Eh, kalo dipikir-pikir kita sebenernya belum putus sejak umur 6 tahun lalu. Kita masih
pacaran loh,”
“Emangnya iya? Dari dulu gue nggak pernah ngerasain pacaran sama lo,”
Eri tersenyum.
“Hmmm… Jadi jawabannya apa?”
“I love you too,”
Mereka tertawa di sela-sela tangis, lalu Eri mendekap tubuh Kinan dan mengayun-
ayunkannya. Di saat itu juga, Nina datang sambil meniupkan terompet.
“Selamat ya? Ternyata Feri kecilnya Kinan itu Eri saudara gue! Kalo tahu gitu sih, gue
kenalin Eri dari dulu aja biar Kinan nggak ngelamun terus!”
Mereka bertiga tertawa lepas, mereka semua telah menemukan kebahagiaan disana.
***
END
========

Pacar ku sahabad ku
Di sekolah saat istirahat tadi, Dea sangat suntuk banget. Pasalnya tadi sewaktu Dea
berjalan di koridor, ia mendapati Nakka dan Icha sedang ngobrol berdua. Wajah yang
tadinya ceria, seketika berubah menjadi kusut. Seperti orang yang tidak mempunyai gairah
hidup lagi. Membuat Puti teman dari semenjak TK-Nya itu bertanya–tanya, ada apa
sebenarnya dengan Dea?

“Kok mukanya ditekuk gitu sih non, kenapa sih? kalau lagi ada masalah, ngomong dong,
gue kan sohib elo. Gue siap dengerin elo ko”. Ucap Putri, tapi Dea hanya terdiam,
untungnya itu tak lama setelah Putri membujuknya supaya cerita ke dia kalau lagi ada
masalah. Dea akhirnya membuka mulutnya.
“Kenapa ya Put, setiap gue lihat Akka sama Icha lagi ngobrol, gue ngerasa BT banget, kesel
gictu deh”. Ujar Dea’. Mendengar jawaban sahabatnya itu, Putri hanya senyum-senyum tak
memperdulikan pertanyaan Dea. Sampai akhirnya Dea memarahinya.
“Heh, kenapa sih elo Put? Gue udah mau ngomong, eh... elo Cuma ketewa-ketawa aja.
Menurut elo gue kenapa sih?’’. Kata Dea, dengan muka kesal’.

“Menurut gue, elo itu lagi cemburu sama Akka, dan itu artinya, elo suka sama dia atau
dengan kata lain elo cinta sama Akka”. Putri menceramahi Dea. Mendengar jawaban Putri
tadi, Dea mengernyitkan keningnya dan tak percaya dengan kesimpulan sohibnya itu. Ga
mungkin Dea jatuh cinta sama Nakka, dia jugakan sohib Dea.

“Ga mungkin Put, dia jugakan sohib gue, gak mungkinlah gue suka atau cinta sama dia”.
Dea menyangkalnya.

“Lebih baik elo omongin aja semuanya sama Akka Kalau elo cinta sama dia. Siapa tau dia
juga cinta sama elo”. Ujar Putri. Kali ini saran dari Putri sahabatnya itu tidak bisa diterima
Dea. Dia marah dan ga mau lagi ngomong sama Putri. Sampai Putri kebingungan,
bagaimana caranya supaya dia bisa baikan lagi sama Dea.

Untungnya Nakka bisa membuat mereka baikan lagi.

Siang itu di depan laboratorium Nakka marah-marah sama Dea, laki-laki yang amat
dicintainya ngebentak dia. Kenapa Nakka kaya gitu, itu karena Nakka mencemasin Dea.
Mamanya kemarin menelepon kerumahnya. Katanya Dea ga ada di rumah dalam arti lain,
Dea kabur setelah ia tau kalo mamanya mau menikah dengan om Rendy. Dea ga mau
punya ayah tiri. Ia sangat mencintai almarhum ayahnya.

“Kenapa sih lo selalu bikin masalah. Apa lo ga sayang ama nyokaf lo? Asal lo tau ya, gue
juga khawatir banget ama lo”. Tanya Nakka dengan tegas. Tapi Dea cuma diem
ngedengarin pertanyaan Nakka tadi.

“Elo ga tau nyokaf lo nangis semalaman. Dia minta gue nyari lo Dde tapi gue ga nemuin lo
dimanapun. Bahkan di rumah Putri. Seharian itu lo kemana aja sih Dde?” Lagi-lagi
pertanyaan yang dilontarin Nakka ga membuat Dea membuka mulutnya.

Melihat tingkah Dea itu membuat Nakka kesal dan tambah emosi.

“Kenapa elo diem aja, jawab dong Dde, jawab!” Ucap Nakka setengah berteriak. Membuat
Dea dan teman-teman yang lainya kaget. Selama ini Nakka dikenal sebagai anak yang
pendiam dan ga pernah marah sampai segitunya. Kecuali kalau dia sedang emosi.

“Kenapa sih elo repot-repot ngurusin gue, bukannya elo sibuk pacaran ama Icha? Selama
ini ga ada yang ngerti perasaan gue. Gue kaya gini gara-gara elo. Gara-gara nyokaf. Gue
ngerasa ga ada yang peduli ma gue, kenapa sih gue harus dilahirin ke dunia ini? Gue ga
minta dilahirin. Dan gue juga ga minta perhatian dari elo. Lo tau itu!”, Dea membalasnya
dengan setengah berteriak. Nakka tak menghentikan langkah Dea yang terus berlalu dari
hadapannya dengan berurai air mata. Nakka teriak-teriak manggil Dea, tapi Dea ga
sedikitpun menoleh ke belakang bahkan mengkentikan langkahnya. Kejadian itu membuat
Dea makin murung dan ga mau bicara sama siapapun. Kecuali sama Ricky sahabat barunya
yang kini selalu ada disampingnya. Saat inipun Dea tinggal di rumahnya.

Cuma sama Ricky Dea mau cerita. Sampai suatu saat Ricky ga sengaja baca diary Dea,
disitu terrulis nama Nakka dan cuma dia. Ternyata, Dea emang cinta banget sama Agung.
Mulai dari pertama kali Dea melihatnya, tapi Dea selalu nutupin kalo ada orang yang bilang
kalo Dea itu cinta sama Nakka, bahkan sama Putri. Sebenarnya Ricky juga menaruh hati
sama Dea tapi Dea ga tau, bahkan setiap apa yang di lakukan Ricky buat Dea dimatanya
itu cuma bantuan dari seorang sahabat.

Tiga hari berturut-berturut Dea ga masuk sekolah. Ga ada keterangannya pula. Hal itu
membuat Nakka dan Putri heran, napa Dea ga masuk sekolah sampai tiga hari lamanya.
Sampai suatu saat anak kelas XI kasih tahu Putri kalo Dea ada sama Ricky. Kabar itupun
Putri sampein sama Nakka.

“Hai Kka, cause of your Dea?” tebaknya. tapi Nakka cuma menggelengkan kepala.
“Elo mau tau kaga, dia sekarang ada dimana?” tawar Putri.

“Emang dia ada dimana?” tanya Nakka sama Putri.

“Sekarang dia lagi ada di rumah Ricky ketua OSIS itu loh”. Jawab Putri. Mendengar jawaban
Putri tadi, Nakka langsung mengambil kunci motor sama tasnya, terus lari keluar kelas.

“Kka lo mau kemana?”. Tanya Putri teriak.

“Gue mau nyusul Dea”. Jawab Nakka.

“Gue ikut ya?”. ‘Pinta Putri.

“Ga usah, mendingan elo di sini aja. Kasih tau ke Pak Benny kalau gue mau nyusul Dea,
izinin gue ya Put!” kata Nakka sambil teriak. Karena jarak mereka berjauhan.

Sampai di rumah Ricky ternyata mereka ga ada kata pembantunya, mereka lagi pergi ke
pantai. Nakka pun berangkat ke pantai buat menemui Dea.

Nakka ngeliat Dea lagi merenung di tepi pantai, sendirian! Kemanakah Ricky pergi? Ko Dea
sendirian. Tiba-tiba dari belakang ada yang nepuk pundak Nakka, itu dia Ricky.

“Samperin dia Kka, dia butuh elo”. Ricky nyaranin.

“Kenapa dia butuh gue, kan udah ada elo”. Tanya Nakka keheranan.

“Karena... karena...”. Ricky gugup mengatakannya. Apakah baik jika ia mengatakan


semuanya sama Nakka? Tapi bagaimanapun juga dia orang yang sangat Dea cintai.
Pikirnya dalam hati.

‘’Elo mau ngomong apa sih Ki?” tanya Nakka ga ngerti.

“Dea cinta ama elo”. Ucap Ricky. Kata-kata Ricky tadi sangat mengagetkan dan Nakka
hampir ga percaya.

“Elo tau dari mana?” tanya Nakka penasaran terus Ricky ngasih buku Diary punya Dea.
Nakka membacanya sebentar. Lalu dia ngehampiri Dea yang lagi kebingungan di pinggir
pantai.

Deru ombak yang kian kemari mengiring pembicaraan mereka.

“Aku ke sini mau jemput kamu pulang”. Suara itu membangunkan Dea dari lamunannya
sepertinya suara itu sudah tak asing lagi di telinga Dea.

“Nakka...!” tiba–tiba nama itu terlontar dari mulutnya. Ketika Dea membalikan badannya,
ada senyum manis diwajah orang yang sangat dicintainya.

Nakka menghampiri Dea dan Dea hanya membiarkan sang pangerannya duduk di
sampingnya.

“Udah lama kamu disini?” tanya Nakka. Dea tidak bicara, dia cuma mengangguk saja.

“Kamu ikut aku pulang ya, mamah kamu sakit di rumah. Dia ga jadi nikah sama om Rendy
ko. Dia akan setia sama almarhum ayahmu. Pulang ya!” Nakka terus ngebujuk supaya Dea
bisa ikut pulang bersamanya.

“Kenapa kamu kesini, ngapain kamu repot-repot ngurusin aku, bukannya kamu gak peduli
sama aku? Udah deh, pacaran aja sana sama Icha. Ga usah mikirin perasaan aku”. Nakka
berhasil mengeluarkan unek-unek Dea. Ia tau kalau Dea cinta padanya dan Nakka pun
sama. Tapi Dea selalu aja ga mengerti sama perasaannya. Hingga akhirnya Nakka pacaran
sama Icha. Walaupun Nakka ga mencintai Icha.

“Lho, ko kamu ngomongnya gitu sih, emang perasaan kamu kenapa?

Nakka terus aja memancing penjelasan dari Dea. Ia membuat gerakan untuk bersiap-siap
mendengarkan perasaan Dea yang sesungguhnya.
“Kamu ga ngerti, dan ga akan pernah ngerti. Sampai suatu saat, kamu tau perasaanku
yang sesungguhnya. Baik aku katakan sendiri, atau kamu dengar dari orang lain, bahwa
aku...”. Belum selesai Dea bicara, Nakka langsung memotong pembicaraannya.

“Bahwa kamu, cinta sama aku”. Dea terbelalak dan hampir tak percaya. Nakka tau, kalau ia
mencintainya.

“Aku tau semuanya dari Ricky, dari diary kamu, aku juga merasakan hal yang sama
padamu. Tapi kamu, selalu tak mengerti bahkan kamu menjodohkan aku dengan Icha. Aku
ga ngerti apa yang ada dipikiranmu. Kamu mencintai aku, tapi kamu malah memberikan
aku pada orang lain apa mau kamu sebenarnya? Jawab Dde, aku mau banget dengar
semuanya dari kamu”. Ucap Nakka

“Ya, emang aku cinta, aku sayang sama kamu tapi aku ga mau nyakitin hati Icha yang dari
dulu cinta banget sama kamu. Aku ga mau dicap sebagai cewe yang suka merebut cowo
orang. Aku gak mau Kka”. Dea menjawab kata-kata Agung dengan mata yang berkaca-
kaca.

Dea tidak dapat lagi menahan air matanya. Sedikit demi sedikit air mata itu jatuh dari
matanya, isak tangis Dea pun mulai dirasakan Nakka. Tangan Nakka merayap ke wajahnya
lalu menghapus air mata yang jatuh, dan berkata.

“Maafin aku, aku ga bermaksud...”

“Udahlah Kka, itu semua emang salah aku. Kenapa ga dari dulu aja aku lupain kamu. Aku
mohon sekarang, kamu juga lupain aku”. Dea menurunkan lengan Nakka dan ia hendak
pergi. Lagi-lagi Agung tak menghentikan langkah Dea tapi tiba-tiba di depan Dea berdiri
sesosok wanita bertubuh mungil, dan berambut pendek, menghentikan langkahnya.
Ternyata dia Icha.

“Gue udah tau semuanya, kenapa sih elo ga bilang terus terang dari dulu ke gue, kalo elo
itu sayang sama Nakka. Kenapa elo mesti nutupinnya dari kita semua. Gue gak suka
dibo’ongin Dde, lo tau itu!” tutur Icha menggertak.

Nada tinggi Icha sangat membekas di telinga Dea. Ia tau, Icha ga sungguh-sungguh berkata
seperti itu. Dia tau kalo Icha sangat mencintai Nakka, dan gak mungkin untuk
memberikannya pada Dea. Sementara Icha dan Dea sedang bicara serius, Nakka berjalan
ke tengah laut. Sedikit demi sedikit tubuhnya mulai tenggelam oleh air laut.

“Nakka, elo jangan konyol!” teriak Putri yang saat itu ada di sebuah Cafe tepi pantai
bersama Ricky. Icha dan Dea yang kaget mendengar teriakan Putri, segera melihat ke arah
Nakka sambil berlari kencang. Semua tubuh Nakka sudah tenggelam dalam air laut. Dan
ketika kepalanya mulai tenggelam, tangan Dea segera bertindak dan menarik Nakka ke
tepi pantai dan saat itu pula, tangan Dea melayang ke wajah Nakka, dan... plaaakkk!!!
Suara itu membuat semuanya kaget dan hampir tak percaya.

“Kenapa kamu lakukan ini Kka, kenapa? Setahun yang lalu kamu membuat Lely teman
sekelas kita sadar, bahwa bunuh diri itu sangat membahayakan. Tapi kenapa, sekarang
kamu malah mau berbuat hal sekonyol itu? Aku ga akan maafin kamu. Catet itu kka”.
Hatinya geram dan juga sangat panik. Untung saja Nakka segera ia tarik ke darat.

“Seandainya aku hidup juga untuk apa, paling aku akan sakit hati ngeliat kamu sama cowo
lain, dan jika aku mati, aku akan tenang membawa cintaku dan cintamu terkubur dalam”.

“Bunuh diri bukan segalanya. Mungkin kamu akan tenang dan ga harus mikir apa-apa lagi.
Tapi aku! Kamu tega membuat aku gila? Kamu tega ninggalin aku sendiri? Kamu terlalu
berarti buat ku Kka. Aku gak mau, ditinggalin sama kamu”.

Tangis Dea pecah dalam pelukan Nakka ia sadar, kalo hidup tanpa cinta Nakka itu sangat
menyedihkan. Cinta Nakka dimata Dea itu segalanya. Ia ga mungkin senang, hidup tanpa
cinta Nakka.

Dan begitulah kisah cinta seorang sahabat yang akhirnya dipersatukan oleh cinta dan
takkan terpisahkan slamanya. Cinta mereka abadi. “He Love Forever!”
THE END

Ne .. gag sala lu kok gag bias


cintai gue
Tawa riangmu hari itu masih bisa ku ingat dengan jelas, lambaian indah tanganmu pun
masih bisa aku rasa. Hari itu kau begitu bahagia, seakan semua indah hadir dalam dirimu,
menutup semua duka yang pernah hinggap dalam hatimu selama ini. Jauh suaramu sudah
terdengar riang memecah keheningan yang sedang menggantung dalam hatiku. Tapi
ternyata itu adalah tanda akan datangnya duka yang mendalam yang tidak sanggup aku
lupa sampai saat ini.

“Pagi Gilang. Tambah ganteng aja, nih! Anak siapa sih? Anak Pak Amat tentunya.”
Candamu pagi itu saat memasuki ruang kelas.
“Ah, Lintang. Kamu kalau muji paling bisa. Padahal kamu tau aku enggak kayak gitu kan?”
“Eh..ini bukan pujian, tapi kenyataan lho! Sumpah deh samber gelegek.”
“Kalau benar gitu, kenapa Lintang enggak mau jadi pacar saya. Ayo jawab dengan jujur
ya!”
“Bukan enggak mau, hanya kurang ‘pd’ harus jalan bareng Mas Gilang yang guan..teng.
Soalnya Lintang kan enggak cantik.”
“Emang kalau orang ganteng harus jalan ama yang cantik juga?”
“Iya dong! Biar seimbang!”
“Udah,jangan diteruskan! Nanti jadi ngawur.”
“Iya deh!”

Canda ringan seperti ini selalu menemaniku sejak aku pertama kali masuk di SMA Nusa
Permai ini setelah kepindahanku. Lintang adalah teman pertama yang aku punya karena
kebetulan kami tinggal diperkampungan yang sama. Lintang adalah gadis simpel dan
mudah bergaul dengan siapa aja. Ia cepat bisa menyesuaikan dirinya dengan siapa aja. Ya
seperti ungkapan ‘the right woman on the right place’ lah. Mungkin karena ini pula banyak
yang suka dengannya, terutama cowok-cowok di sekolahku. Aku juga diam-diam sudah
menyukainya sejak lama. Suatu hari aku pernah meminta ia untuk menjadi pacarku.

“Lintang boleh tanyak enggak?”


“Boleh dong. Tanyak apa?”
“Kalau Gilang bilang Gilang sayang Lintang dan mau Lintang jadi pacar Gilang, Lintang mau
terima enggak?”
“Akh, Gilang yang tidak-tidak aja! Masak teman mau dijadiin pacar. Enggak lucu atuh!”
“Ini serius. Mau enggak?”
“Enggak akh! Entar Lintang enggak punya teman baik yang bisa buat curhat. Enggak mau!”
“Ya,sudah kalau enggak mau.” Jawabku dengan rasa kecewa.

Selama ini aku memang telah menjadi tempat curhat Lintang yang setiap saat selalu punya
waktu untuk mendengar keluh-kesah, suka-duka, bahkan sampai urusan cintanya. Diam-
diam, Lintang ternyata jatuh hati pada seorang temanku, Pandu. Ia lain kelas denganku dan
Lintang, dan aku juga yang telah mengenalkan Lintang ke Pandu. Tanpa aku duga,ternyata
Lintang menaruh hati ke Pandu dan sering kirim salam untuknya melalui aku. Pandu yang
beruntung, pikirku. Karena dari sekian banyak yang menaruh hati padanya, bahkan aku
sendiri,Pandulah yang mendapat perhatian dari Lintang.

“Gilang liat Pandu enggak hari ini? Lintang ada perlu ama dia lho.”
“Enggak. Mungkin dia ada dikelasnya. Cari aja kesana.”
“Temani dong. Malu kalau kesana sendiri.”
“Males ah!”
“Pliz……”
“Iya deh! Ayo cepetan!”

Bertemu Pandu, Lintang seperti lupa akan kehadiranku. Ia terlalu asik bercerita sehingga
tidak menyadari kepergianku. Kusimpan semua rasa kecewa yang mendalam ini jauh-jauh
karena bagaimanapun juga Lintang adalah sahabatku. Lagipula rasa cinta yang aku punya
untuknya adalah rasa cinta yang tulus, sehingga rela merasakan sakit asal Lintang dapat
bahagia. Selama aku masih bisa menjadi temannya, aku akan sangat bahagia.

Pagi itu lain dari biasanya Lintang menyapaku dengan sejuta resah dan gelisah
menggelantung dipelupuk matanya. Aku dapat merasakan itu melalui sikapnya Lintang
pagi itu sungguh berbeda. Tiada canda riang yang selalu menemaniku seperti biasanya.

“Aduh Li, kok murung? Entar cepat tua lho.”


“Enggak ada, cuma lagi males ngomong aja.”
“Marah ya ama aku? Atau aku uda buat kamu kesal?”
“Enggak kok. Enggak ada apa-apa.”
“Ngomong dong Li. Enggak biasanya kamu seperti ini.”
“Entar deh kalau hatiku udah enakan. Maaf ya Gi! Aku belum bisa bilang sekarang.”

Lintang pun berlalu meninggalkan aku yang masih terdiam tak percaya dengan perubahan
sikapnya. Itu bukan Lintang yang biasa aku kenal. Masalah besar apa yang sudah membuat
ia menjadi seperti itu. Aku harus menolongnya!

“Lintang tunggu! Lintang berhenti dulu, aku mau ngomong nih!”


“Sudah lah Gi, entar aja kalau aku uda siap betul ngomong masalah ini ke kamu.”
“Tapi dengan bersikap begini, kau malah membuat aku penasaran. Apa ini ada
hubungannya dengan Pandu?” Lintang terdiam tak menjawab pertanyaanku.
“Jawab Li. Semua ini karena Pandu kan? Apa yang sudah ia buat ke kamu?”
“Tidak ada. Bukan karena Pandu dan juga bukan karena kamu. Aku hanya lagi ingin sendiri.
Mengertilah Gi? Sekali ini saja, izinkan aku sendiri.”

Kata terakhir Lintang menyadarkan aku bahwa ia memang sedang dalam masalah besar
sampai ia menyembunyikan semuanya dariku. Aku harus menemui Pandu karena ini pasti
ada hubungannya dengan Pandu. Aku harus menyelesaikan semua ini dengan segera. Aku
tidak mau melihat Lintang menderita terlalu lama. Aku enggak rela, pokoknya enggak rela!
Bergegas aku melangkahkan kakiku menuju kelas Pandu.
Pandu sedang duduk membaca buku didalam kelasnya saat aku memanggilnya dengan
suara sedikit marah.

“Pandu! Bisa bicara sebentar? Ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu?”
“Tentu, Gi. Ada apa sih? Kelihatannya penting banget sampai harus bentak-bentak segala.”
“Semua urusan buatku akan menjadi sangat penting kalau urusan itu menyangkut
sahabatku Lintang.”
“Emangnya Lintang kenapa Gi?” Pandu kelihatan khawatir, tapi dalam hatiku mengganggap
itu pura-pura.
“Jangan pura-pura bodoh! Kamu apakan Lintang ah! Dia belum pernah seperti ini
sebelumnya.”
“Aku? Enggak ada! Aku dengan Lintang baik-baik saja, kemarin malam aku baru dari
rumahnya dan enggak ada masalah apa-apa. Sungguh Gi! Aku enggak bohong!”
“Alah, jangan pura-pura! Didepanku kau bisa ngomong gitu, tapi kenyataannya Lintang
pagi ini datang dengan wajah murung, dan yang paling parah lagi, dia malah enggak mau
ngomong ke aku, sahabatnya sendiri.”
“Kalau memang enggak ada apa-apa, lalu aku harus ngomong apa?”
“Jadi benar enggak ada masalah apa-apa, Pan?”
“Benar! Aku berani sumpah deh!”
“Kalau gitu ada masalah apa ya sebenarnya?”
“Biar deh aku tanya ke Lintang.”
“Jangan sekarang. Dia lagi pingin sendiri. Itu pesannya buatku.”

Aku kembali kekelas karena bel masuk sudah berbunyi. Aneh, Lintang enggak ada dikelas
padahal pagi tadi dia datang. Kemana Lintang? Aku enggak konsen selama di dalam kelas.
Pikiranku tertuju ke Lintang. Apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia samapi enggak
masuk kelas? Sekarang ia ada dimana dan lagi apa? Berjuta pertanyaan meghampiri
pikiranku. Aku ingin bel istirahat segera berbunyi dan aku bisa mencari Lintang. Waktu
yang hanya 2 jam setengah terasa seperti 2 abad aja. Akhirnya bel pun berbunyi! Tanpa
menunggu Pak Sanusi keluar dari kelas, aku langsung beranjak pergi.
Setiap sudut sekolah rasanya sudah aku telusuri tapi aku masih belum bisa menemukan
Lintang. Kecemasan semakin memuncak dikepalaku, rasa takut semakin dekat
menghampiriku. Takut kalau sampai Lintang melakukan hal yang tidak-tidak. Oh Tuhan,
bantu aku menemukan Lintang! Jangan sampai ia berbuat nekad. Tolanglah Tuhan! Bantu
aku sekali ini! Namun, sampai jam pelajaran berakhir, aku masih belum bisa menemukan
Lintang. Dengan putus asa, aku menelpon ke rumah Lintang sambil berharap ia ada
dirumah. Ibu Lintang yang menjawab telponku.

“Siang Tante. Ini Gilang. Lintang ada?”


“Enggak ada. Belum pulang dari sekolah. Emangnya Gilang enggak ketemu disekolah?”
“Enggak Tante. Kebetulan hari ini Gilang enggak ke sekolah.” Aku terpaksa berbohong
untuk tidak membuat Tante Irma khawatir.
“Oh. Gitu. Nanti kalau Lintang pulang, Tante kasi tau Lintang deh kalau Gilang nelpon.”
“Makasih Tante.”

Kecemasan ku semakin parah. Aku sudah tidak tau lagi harus cari kemana lagi. Semua
tempat yang sering kami datangi sudah berulangkali aku periksa, tapi tetap tidak ada
Lintang. Aku putus asa! Dalam hati hanya bisa berdoa tidak terjadi apa-apa dengan
Lintang. Mungkin saat ini ia memang benar-benar ingin menyendiri dan tidak ingin
diganggu, meskipun itu aku. Aku hanya berharap Lintang akan menelpon ku kalau ia benar-
benar sudah siap, seperti janjinya padaku. Dengan pasrah aku duduk dihalte depan sekolah
untuk menunggu bis yang selalu setia mengantarku pulang. Tiba-tiba…

“Gilang…..Gilang…..Gilang…..!”
Aku seperti terbangun dari mimpi saat mendengar suara Lintang memanggil namaku.
Lintang sedang berdiri diseberang jalan, berteriak-teriak memanggil namaku.

“Hey, Lintang. Darimana aja? Aku uda capek nyarik kamu dari tadi!”
“Aku pergi ke mall. Jalan-jalan ilangin suntuk.” Jawab Lintang masih dari seberang jalan.
“Kemari deh, kita pulang baren.”
“Oke!”

Hatiku belum penah sebahagia ini. Lintang baik-baik saja. Terima kasih Tuhan, Kau telah
mengabulkan doaku. Aku mungkin terlalu khawatir.

Hari itu jalanan terlalu ramai, Lintang pun sulit untuk menyebrang jalan karena dia
kelihatan sangsi untuk melangkahkan kakinya. Dari seberang jalan, aku memperhatikan
Lintang dengan sedikit cemas. Hingga akhirnya, kulihat Lintang melangkahkan kaki untuk
menyebrang, namun tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah mobil pengangkut sayuran
menyambut langkah ringan Lintang, dan suara nyaring rem mobil memecah suasana
keramaian hari itu.

Aku berteriak sekuat tenaga memanggil nama Lintang saat melihat kejadian tragis itu
didepan mataku. Sekerumunan orang kemudian berkumpul menutupi tubuh Lintang. Aku
terpaku untuk beberapa saat sebelum tersadar dan berlari keseberang jalan. Aku tarik
tubuh orang-orang yang sedang berkerumun itu satu per satu sambil terus berteriak.

“Awas! Geser sedikit! Dia teman ku! Awas! Biarkan aku lewat!”
“Sabar ya dek.” Kata salah satu orang diantara mereka.
“Tapi geser dulu, dan tolong telpon ambulan sekarang juga! Tolong!!!!”

Kekuatanku seakan hilang entah kemana. Tiada tersisa daya untuk menyibak satu per satu
tumpukan sayur yang menutupi wajah Lintang diantara butir-butir darah merah yang
dengan santainya mengalir dari kepala Lintang. Itu bukan Lintang sahabatku! Teriak ku
dalam hati! Perlahan aku kumpulkan kekuatan ku untuk menyibak tirai yang menutupi
wajah manisnya. Seperti nyawa terlepas dari badanku, ku lihat wajah Lintang tertutup
‘bercak’ darah merah sehingga aku tidak bisa melihat lagi wajah manis yang selama ini
selalu hadir mengisi hari-hari ceriaku. Tersadar dari mimpi, kurengkuh tubuh Lintang yang
tak lagi bergerak. Kubiarkan darah merah itu menyatu dengan tubuhku seakan aku ingin
membagi semua derita yang ia rasa saat ini. Tangis ku akhirnya tak tertahan lagi, mengalir
diiringi teriakan tak percayaku menerima kenyataan ini.

Tubuh Lintang masih kurengkuh dengan erat tanpa mau kulepaskan. Rasa tak percaya
kalau ini harus terjadi kepada Lintang masih terus menyergap tak ingin pergi. Harapan
besar masih kuselipkan dihati bahwa Lintang akan baik-baik saja. Tak lama kemudian,
ambulan pun datang dan membawa Lintang pergi. Aku turut ikut menemaninya dengan
mulutku yang tak berhenti berdoa untuknya.

Setiba di rumah sakit, tubuh Lintang yang berlumuran darah itu dibawa masuk ke ruang
UGD (Unit Gawat Darurat). Aku diminta untuk menunggu diluar. Sambil menunggu, aku
menelpon Tante Irma, mengabarkan berita ini. Tentu saja Tante Irma shok dan mengatakan
akan langsung ke rumah sakit.

Sekitar dua jam Lintang berada didalam ruang UGD. Seorang perawat keluar dan bertanya
padaku dengan suara yang sedikit tertahan, dan semakin membuatku panik

“Kamu yang bernama Gilang?”


“Iya, benar. Ada apa sus?”
“Mari ikut saya. Pasien memanggil nama kamu terus.”
“Baik sus.”

Ku ikuti langkah kaki suster menuju ruang UGD. Didalam ruangan itu, kulihat tubuh Lintang
sudah dibersihkan dan lukanya juga sudah dibalut. Wajah manisnya sudah bisa kulihat lagi.
Aku bersyukur dalam hati. Tapi saat melihat begitu banyak alat kedokteran yang menemani
Lintang, jantungku kembali berdegup kencang. Aku bertanya kepada dokter yang menangi
Lintang.

“Teman saya kenapa Dok?”


“Teman kamu mengalami pendarahan otak yang sangat parah, dan harus kami operasi
sekarang juga. Sekarang ia sedang dalam keadaan krisis”
“Lalu?”
“Kemungkinannya sangat kecil. Saat sadar tadi ia mengatakan ingin bicara dengan Gilang.
Itu kamu kan?”
“Iya.”
“Nah, sekarang bicaralah dengannya. Jangan lama-lama ya. Kami harus membawanya ke
ruamg operasi.”
“Baik Dok!”

Kulangkahkan kaki mendekati Lintang. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menyerahkan


sepucuk surat kepadaku. Setelah itu matanya kembali terpejam. Kulihat tubuh Lintang
berlalu menuju ruang operasi. Doa tulusku untuk keselamatannya menyertai kepergiannya
menuju ruang operasi.

Hari itu adalah hari terakhir aku melihat wajah manis Lintang. Operasi yang direncanakan
belum sempat dilakukan, Lintang sudah tidak sabar untuk pergi bertemu yang Illahi.
Kesedihan menyelimuti orang-orang terdekatnya, terutama aku. Hampir saja aku
melupakan surat yang diberikan Lintang saat itu karena kesedihan ini. Setelah satu minggu
kepergian Lintang, aku baru membaca suratnya.

Tulisan tangan Lintang kubaca perlahan. Didalamnya, ia mencurahkan segala isi hatinya
yang ingin ia utarakan padaku. Kata maaf mengawali isi surat itu.

“Maaf, karena aku bukanlah sahabat yang baik buatmu. Maaf karena aku tidak cukup peka
untuk mengetahui perasaan yang terpendam dalam hatimu. Maaf karena aku tidak cepat
menyadari itu. Maaf karena aku tidak bisa membalas perasaan itu, karena aku baru tahu
setelah Pandu menceritakan hal ini padaku. Ternyata selama ini, Gilang benar-benar
sayang ke Lintang, tapi Lintang dengan begitu egoisnya malah jatuh hati dengan teman
Gilang yang ternyata menyukai Lintang karena dendamnya ke Gilang. Pandu mengaku jujur
bahwa perasaan sayangnya ke Lintang karena ingin membalas sakit hatinya ke Gilang
karena telah merebut kekasihnya, dan karena ia tahu Gilang sayang Lintang, ia menerima
Lintang untuk membuat Gilang merasakan hal yang sama. Mengapa Lintang tidak
menyadari ini lebih awal, sehingga tidak menyiksa Gilang terlalu lama? Maaf kalau Lintang
sudah membuat Gilang kecewa. Melalui surat ini Lintang juga mau minta maaf karena tidak
bisa membalas cinta Gilang. Gilang masih maukan menjadi sahabat Lintang?

Sahabatmu
Lintang.
Hari ini, aku sedang duduk disamping batu nisanmu. Mengenang memori indah kita dulu.
Aku kembali teringat bait-bait surat yang membuat ku ingin berteriak marah. Karena aku
tidak pernah tersiksa dan merasa tersiksa akan cintaku yang tak berbalas atau karena
Pandulah yang dipilih Lintang. Tapi semua sudah terjadi. Untukmu sahabat terbaikku, aku
sudah memaafkan mu jauh sebelum kau memintanya. Itulah gunanya sahabatkan? Satu
yang pasti, semua ini bukan kesalahanmu. Bukan salahmu bila kau tak cinta Lintang, dan
juga bukan salahmu bila cintaku tak berbalas. Kalimat ini selalu ingin kuucapkan buatmu,
bahkan setelah 3 tahun kepergiaanmu. Kuharap kau dapat mendengarnya sobat, jauh dari
alammu yang bahagia disana.

(the end) …

Kado Untuk Pacarku


Wajah kota kembali tersenyum lebar. Setelah beberapa jam yang lalu hujan beserta
angin mendekapnya. Kini orang-orang yang terperangkap dalam emper-emper toko bisa
bernapas lega. Mereka mulai melanjutkan aktifitasnya. Ada yang pulang, ada juga yang
memilih berjalan-jalan di trotoar menikmati udara Kota Bandung habis hujan memang
sedikit menyenangkan.

Namun masih ada mendung yang bergelayut di wajah Andi. Dia hanya duduk di
sudut sebuah mall. Tatapan matanya lurus ke arah lalu lalang kendaraan di jalan raya. Tapi
yang jelas dia tidak menghitung jumlah kendaraan yang lewat, ada kegalauan yang sedari
tadi meliputi dadanya. Rasa itu kian lama kian membuncah yang akhirnya menjebol tanggul
dalam matanya. Air bening pun meleleh menuruni kedua pipinya.

Sesaat ia menarik napasnya. Diskanya air mata itu dengan ujung switer hitamnya.
Matanya beralih pada etalase toko pakaian. Ada gaun merah jambu terpampang dengan
manis di dalamnya. Kembali Andi menghela napas panjang, kali ini dibarengi oleh desahan
parau. Seperti nada seseorang yang putus asa. Seketika itu juga ada wajah seorang gadis
cantik melintas dalam bayangnya. Gadis itu tersenyum, seperti hendak memutar slide-slide
kehidupan yang lalu. Andi pun terlempar ke dalamnya.

“Bagaimana? Bagus kan Di, gaun itu?” gumam si gadis pada suatu sore.

“Bagus sih bagus, Mel. Tapi sayang harganya mahal banget,” jawab Andi seraya
membungkukan badan melihat harga yang tertera di bawah gaun itu.

“Ya namanya juga barang bagus. Mana mungkin ada yang murah. Bukannya harga
menentukan kualitas?” Tanya Melia si gadis. Mata jenakanya tetap memandang gaun.

Andi diam. Sorot mata Melia seakan memancarkan sebuah keinginan untuk
memiliki. Semua orang pasti bakal setuju kalau gaun itu memang pantas bersanding
dengan kulit halusnya Melia. Dan lebih pantas jika Andi sendiri yang
mempersembahkannya untuk dia. Tapi rasanya itu tak mungkin, ibunya yang hanya penjual
gorengan mana sanggup memberi uang sebesar harga gaun itu. Ujung-ujungnya Andi
hanya bisa menelan ludah.

“Kalau aku memilikinya, pasti akan kupakai di hari ulang tahunku nanti. Tapi, mana
mungkin Papaku kan baru saja di PHK. Dia pasti tidak punya uang buat beli gaun itu.
Ah….sudahlah mungkin bukan miliku saja. Ayo, Di,” tangan Melia mengapit tangan Andi.
Mereka pergi meninggalkan etalase.

Ada sebuah godam menghantam dada Andi. Seperti pribahasa, maksud hati
memeluk gunung apa daya tangan tak sampai, kira-kira begitulah ke adaan dirinya
sekarang. Melia…..coba kalau aku kaya, jangankan gaun, kapal pesiar pun pasti kubelikan.
Semuanya kepersembahkan untukmu Melia, hanya untumu! Gumam Andi dalam hati.

Suara guruh di angkasa membuyarkan lamunan Andi. Ia menoleh jam tangannya.


Jarum pendek menunjuk pada angka 4. Andi mendesah. Berarti tinggal beberapa jam lagi
menuju pesta kecil yang diadakan Melia untuk ulang tahunnya ke 17. Andi bangkit, mulai
berjalan menjauh dari sudut mall. Berbagai macam rasa campur aduk dalam dadanya.
Berdebum bagai ombak Pantai Selatan. Hadiah apa gerangan yang akan ia persembahkan
pada hari istimewa Melia kekasihnya itu? Cintakah? Sayangkah? Ah! Basi, semuanya basi!
Jelas Melia akan senang kalau hadiah itu berupa barang yang sangat ia idamkan. Gaun
merah jambu! Ya, itulah hadiah yang sangat tepat. Tapi bagaimana caranya?

Lagi-lagi Andi dihadapkan pada sebuah pertanyaan dimana ia sendiri belum


menemukan jawabannya. Setidaknya sampai ia sadar jika ada kegaduhan terjadi beberapa
meter di depannya. Seorang laki-laki berbaju hitam dikejar oleh puluhan orang lengkap
dengan pentungan, kayu, bahkan senjata tajam. Mereka meneriaki laki-laki itu sebagai
copet. Tapi si copet itu seperti tidak peduli. Ia terus berlari tepat menuju arah dimana Andi
berdiri gagap.

Belum sempat kesadarannya pulih. Tiba-tiba tubuh si copet menghantam tubuh


Andi. Andi terpelanting, badannya menghantam pagar pembatas jalan. Ia meringis
menahan sakit pada punggungnya. Matanya menoleh pada si copet yang lari tunggang
langgang. Andi bangkit hendak mengejarnya, tapi tiba-tiba tangannya meraba sesuatu.
Sebuah tas perempuan warna coklat! Barang ini yang sempat dilihatnya dibawa si copet.

Suara gemuruh dan teriakan massa semakin dekat. Andi menoleh ke arah suara
riuh itu. Ya Tuhan! Apa yang terjadi? Semua mata beringas penuh nafsu itu menuding
padanya. Senjata tajam dan pentungan diacung-acungkan bagai kuku-kuku malaikat maut
yang siap melumat jasad mangsangya.

“Tangkap! Bunuh!”

“Bakar saja! Ayo tangkaaaaap!”

“Jangan dikasih ampun! Gelengkeun ka kareta euy!!”

Bulu kuduk Andi berdiri. Teriakan ancaman itu sangat mengerikan. Berpikir
bukanlah sesuatu yang baik pada situasi seperti ini. Penjelasan apapun tidak akan
meredam amarah massa. Jalan satu-satunya adalah lari sekencang mungkin.
Menyelamatkan diri sebelum terlambat!

Secepat kilat ia berbalik. Lari menerobos padatnya lalu lintas. Memasuki jalan-jalan
kecil yang beliku-liku seperti tubuh ular naga. Ia tak peduli apa yang ada di depannya. Andi
lari bagai anak panah melesat dari busurnya. Kemampuannya sebagai juara lomba lari
tingkat kecamatan digunakan sebagai senjata sakti. Dalam pikirannya saat ini adalah pergi
sejauh mungkin.

Akhirnya ia sampai pada sebuah jalan lumyan besar. Dia berhenti sebentar untuk
mengatur napasnya. Menengok ke belakang. Suara teriakan itu sudah tidak terdengar lagi.
Sepertinya para pengejar sudah kehilangan jejak. Dan Andi bisa bernapas lega. Kini tinggal
memikirkan nasib tas yang ada di tangannya. Gara-gara tas itu hampir saja nyawanya
melayang sia-sia. Ia menatap tas itu dengan perasaan kacau balau.

Tapi ada rasa penasaran menyelinap masuk dalam hati Andi. Tentang isi tas itu,
pasti milik orang kaya. Semuanya dapat ditebak lewat merek yang tertera di atasnya.
Perlahan ia buka tas itu. Matanya seketika terbelalak saat melihat isi tas. Ada sebuah
telepon genggam mewah, beberapa alat kosmetik, dan dompet.

Hatinya berguncang hebat ketika membuka dompet itu. Pupil mata Andi membesar.
Seumur hidupnya belum pernah ia melihat uang sebanyak itu. Bahkan bermimpi pun tidak
berani. Puluhan lembar uang seratus ribuan dan beberapa lembar lima puluh ribuan.
Tangan Andi bergetar, dengan uang sebanyak itu ibunya pasti tidak usah repot-repot
berkeliling jualan gorengan. Keluarganya bisa makan enak. Dan yang pasti….ya! ia bisa
membelikan hadiah buat Melia!

Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Meski limbung ia tetap melangkahkan


kakinya tanpa tujuan jelas. Ada perang campuh dalam batin Andi. Antara Si Putih dan Si
Hitam. Mereka terus menghantui dalam setiap langkahnya. Kadang mereka menjelma
menjadi dua sosok manusia yang sangat dicintainya. Melia dan ibunya sendiri.

“Belikan uang itu, Andi. Kau ingat, Melia sangat menginginkan gaun. Belikan saja
pasti dia akan sangat senang,”

“Ingat anakku, semiskin apapun kita jangan pernah sampai kita mengambil yang
bukan hak kita.”

“Jangan dengarkan, Andi! Itu milikmu yang syah. Kau tidak mencuri.”

“Ingat mengambil yang bukan hak itu adalah dosa.”

“Alaaa! Jangan bodoh! Kau lagi butuh, ambil! Kesempatan gak bakalan datang dua
kali.”

“Jangan! Itu dosa!”

“Itu milikmu!”

“Bukan!”

“Milikmu!”

“Bukan!”

“Milikmuuuuu, ayo ambil!”

“Bukaaaan!”

TENG!! Tiba-tiba Andi merasa jidatnya membentur benda keras. Ia meringis sambil
mengelus-ngelus jidatnya. Sebuah tiang berdiri kokoh di depannya. Di atas tiang itu
terpampang sebuah papan pemberitahuan. Andi mendongak ke atas, dan mundur
beberapa langkah. Dari tempat sekarang berdiri, ia dapat melihat tulisan di atas papan itu.
Tulisan itu dicetak dengan huruf kapital dan sebuah anak panah menunjuk pada sebuah
bangunan.

Andi tertegun. Papan itu bagaikan malaikat penolong untuk perang campuh dalam
batinnya. Andi menatap tas itu, kemudian papan dengan huruf kapital, beralih lagi pada
tas, kemudian papan, tas lagi, papan lagi, tas, papan, dan…..tap! matanya mantap
menatap sebuah bangunan di sebrang jalan. Ada kesejukan dan rasa bangga mengalir di
lubuk hatinya. Setidaknya untuk sebuah keputusan penting tentang nasib dari tas itu.

Dengan senyum merekah, Andi melangkah menuju bangunan di seberang jalan.


Kali ini langkahnya tidak limbung dan bimbang. Namun tegap dan pasti. Di tengah jalan ia
menghentikan langkah sekedar untuk menoleh ke belakang. Menatap sejenak papan
pemberitahuan itu. Ia membacanya kembali huruf demi huruf di atasnya. KANTOR POLISI.
Andi tersenyum bangga.

Kini Andi telah menemukan sebuah hadiah yang tepat untuk Melia.

“Kejujuran ini hadiah untukmu, sayang,”

Andi melangkah. Angin sore membelainya dengan lembut.

(the end) …

Cemburu
“Ri, ada telpon!” teriak Hana kepada kakaknya di lantai dua.
“Dari siapa?” ganti Ari yang berteriak.
“Dari pacar.” jawab Hana pendek. Pacar adalah julukan keluarga Ari kepada sahabatnya
sejak SD, Soni. Dengan enggan, Ari mengambil gagang telepon.
“Apaan, Son?” tanyanya malas.
“Eh, jangan lemes gitu, Ri! Baru juga jam tujuh malam. Elo mau belanja bareng nggak?”
tanya Soni bersemangat.

“Ulang tahun elo ‘kan masih lama, Son?”


“Eh, ini buat valentin. Kita tukeran kado.”
Ari langsung berpikir, pasti Soni ada maunya karena belum pernah mereka bertukar kado di
hari valentin. Biasanya cuma Soni dan pacarnya.
“Kita ‘kan nggak pernah merayakan valentin apalagi pakai tukeran kado.” sahut Ari.
“Dimulai sekarang aja. Kita ‘kan udah lama berteman masak nggak pernah merayakan
valentin?”
“Kalo belanjanya bareng, nanti kado gue buat elo bisa langsung dilihat dong! Nggak seru!”
Ari masih ngotot.
“Ya, belanjanya nggak usah bareng tapi kita perginya bareng, begitu. Nah, abis itu elo
bantuin gue cari kado buat Yana.”
Nah, betul ‘kan? Ujung-ujungnya Ari diminta menjadi juri pemberian hadiah valentin untuk
para pacar Soni. Kali ini yang beruntung adalah Yana yang baru menjadi pacarnya selama
tiga minggu. Demi persahabatan, Ari tidak dapat menolak.
“Kapan?”
“Besok aja, habis pulang sekolah,”
“Oke, segitu aja? Nggak ada permintaan lain?” sindir Ari.
“Ya, segitu aja. Makasih ya, bye honey!” Soni terdengar ceria sementara di seberang Ari
menggelengkan kepalanya. Heran, pikirnya. Cowok kok nggak sadar kalau dia sedang
disindir. Lihat saja Soni! Dia justru senang dan seakan-akan tidak merasakan kesedihan Ari.

Bukan sekali ini saja Ari cemburu dan merasa diabaikan. Tetapi Soni tidak pernah
menunjukkan perhatian. Padahal, dulu mereka berdua tidak terpisahkan. Kalau ada Soni
pasti ada Ari dan sebaliknya. Ari juga ingat dulu mereka bertampang culun, cuek, dan
berantakan. Namun, sekarang Soni berubah menjadi lebih ganteng dan selalu jadi idaman
cewek di sekolah. Sementara Ari sedikit yang berubah. Kulitnya tetap hitam mulus, rambut
keriting paten, dan otak pun pas-pasan. Tidak heran kalau Soni sudah berkali-kali ganti
pacar sementara Ari belum sekalipun pacaran. Setiap mereka jalan berdua, Ari malu kalau
dianggap pacar Soni karena orang menilai penampilan mereka tidak seimbang.

Bukan tidak mau mensyukuri anugerah Tuhan, tetapi Ari sering kesal jika Soni sebagai
sahabatnya, memiliki kelebihan secara fisik daripada dirinya. Ari merasa minder dan serasa
berada di bawah bayang-bayang Soni.
Suasana Blok M tidak terpengaruh suasana hati Ari. Tempat itu ramai seperti biasa dan
pedagang kaki lima di bawah terminal semakin banyak. Mereka berdua pergi ke Gramedia
untuk membeli hadiah valentin satu sama lain. Ari yang mood-nya sedang jelek, langsung
mengambil satu set crayon dari rak. Sementara Soni yag pikirannya masih ke Yana
membeli sebuah buku gambar berukuran sedang. Dia sudah tahu kalau hadiah untuk Ari
tidak pernah beranjak dari buku tulis dan buku gambar karena hobinya hanya menulis dan
menggambar.
Setelah itu, mereka keluar mencari hadiah untuk Yana. Soni ingin membelikan hadiah
kepada pacar barunya di Blok M Plaza. Ari sempat protes.

“Kenapa nggak beli di sini aja?”


“Nggak ada yang bagus, Ri. Kita ke plaza aja, lebih banyak pilihan.” ujar Soni.
Ari pun menurut tetapi sepanjang jalan dia cemberut.
“Kado yang bagus untuk Yana apa ya?” tanya Soni begitu mereka masuk ke BMP.
“Dia sukanya apa?” Ari menjawab ketus.
“Makan. Tapi gue nggak mungkin ngasih bakso sebungkus sama dia. Nggak lucu dong?”
sahut Soni yang sudah biasa dengan sifat Ari jika sedang jengkel.
“Ya, sudah. Dia sukanya pakai aksesoris apa?”
“Wah, itu sih gue nggak tau. Elo tau nggak?” Soni balik bertanya.
“Heh? Elo ‘kan pacarnya, masak tanya ke gue?”
“Iya, tapi cewek biasanya lebih memperhatikan hal-hal seperti itu,”
Cowok geblek, pikir Ari.
“Kayaknya dia suka pakai bandana kain yang berwarna cerah. Bener nggak?” Ari melirik
Soni.
“Wah, iya, Ri. Pinter elo! Tapi warna cerah itu ‘kan banyak.”
Itu juga gue udah tau, Ari membatin. Kalau Yana tahu cowoknya kayak begini, pasti bakal
diputusin, begitu pikirnya. Kemudian mereka menghabiskan waktu satu jam mencari jenis
bandana dan memilih warna yang cocok untuk Yana.
“Gimana, Son? Udah nemu belum?” Ari semakin jengkel. Dia tidak sabaran.
“Warnanya kayaknya udah pas, tapi motifnya gimana, Ri?”
“Aduh, yang standar aja deh.”
“Nah, yang standar itu yang bagaimana?” tanya Soni.
“Itu, yang gambar bunga-bunga!” Ari menunjuk dengan matanya ke arah bandana besar
dengan motif mawar.

“Tapi warna dasarnya pink, Ri!” Soni mengernyitkan dahinya menunjukkan rasa tidak suka.
“Iih, bawel lo! Emangnya yang pakai bandana elo?” Ari gemas pada Soni. “Semua cewek itu
suka dengan bunga dan warna pink. Contohnya, ya gue. Pokoknya elo beli bandana itu atau
gue tinggalin di sini!” Ari mengancam. Dia tahu Soni pasti takut ditinggal di Mal karena dia
pernah tersesat di mal kecil di Cijantung.
Dengan ragu-ragu, Soni pun membeli bandana kain pink itu. Kemudian mereka berdua
pulang dan Soni terus membahas ketidaksukaannya terhadap warna bandana dan mencoba
menebak hadiah valentin dari Ari.
Ding! Hari Valentin sudah tiba. Tepat jam delapan malam, Ari duduk di depan monitor
komputer menulis cerita pendek. Dua akan menyerahkan hadiahnya pada Soni keesokan
pagi. Tiba-tiba, dia mendengar suara Soni dari lantai bawah. Apa gue nggak salah dengar?,
batin Ari.

Hana memanggilnya untuk turun. Dia menemukan Soni duduk termangu di teras depan.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumsalam. Elu Son? Gue pikir salah lihat. Malam valentin kok belum ke rumah
Yana?”
“Sudah,” Soni mengambil napas panjang. “Dia mutusin gue, Ri.”
“Heh? Yana? Kok bisa? Memangnya kenapa? Eh, tunggu dulu, elo nggak salah ngasih kado
‘kan?”
“Enggak. Tapi…dia benci sama warna pink.”
“Hah, yang benar? Wah, maaf, Son. Tapi masak gara-gara warna bandana lalu elo
diputusin?” Ari tidak percaya.
“Masalahnya, gue bilang kalo elo suka sama warna itu dan elo juga yang milih motifnya.”
“Ya, ampun. Playboy macam elo kok bisa terlalu jujur dan bodoh gitu sih?” Ari memukul
bahu Soni.
Soni menutup wajahnya dengan telapak tangan.

“Ya, dia marah. Dia bilang, “Ya udah, kasih aja sama Ari. Emang cuma dia ‘kan yang elo
pikirin. Mendingan kita putus aja!” Soni menirukan gaya bicara Yana dan Ari tersenyum
melihatnya. “Abis itu dia ninggalin gue di depan rumah.”
Ari ikut sedih. Dia merasa bersalah karena sekarang justru Yana yang cemburu pada
dirinya.
“Maap deh, Son. Gue pikir semua cewek seleranya sama dengan gue.”
“Enggak apa-apa, Ri. Nih, bandananya untuk kamu aja.”
“Tapi rambut gue ‘kan keriting menyebar, jadi nggak bisa pakai bandana.”
“Ya, ikat aja di leher, di kaki, atau di tangan kek! Terserah!”
Mereka tertawa bersama. Ari belajar untuk menerima bahwa persahabatannya dengan Soni
adalah yang terbaik.

(the end) …

Anda mungkin juga menyukai