Anda di halaman 1dari 17

ISSUE GENDER DALAM KAJIAN WOMEN TRAFFICKING

Disusun untuk melengkapi Ujian Kuliah Kapsel Kriminologi kelas A Reguler II

Oleh : KHRISTAF SIMBOLON B2A 607 167

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO 2010-2011

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Sifat hakiki hukum adalah keadilan. Tuntutan keadilan diterjemahkan ke dalam tuntutan bahwa hukum harus sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat yang bersangkutan.1 Menciptakan keadilan dalam masyarakat yang pluralistic atas dasar ras, kelas sosial, gender, agama, dan kekuasaan selalu memunculkan fenomena sosial, yakni pembedaan dan perlakuan diskriminatif karena alasan gender, kelas, kekuasaan dalam persoalan hukum dan keadilan. Pencapaian kesetaraan dan keadilan di depan hukum masih jauh dari harapan karena diyakini terbentur oleh berbagai nilai budaya, meskipun harus diakui upaya mereformasi undang-undang dan menciptakan produk hukum baru dengan mengadopsi kepentingan masyarakat mulai diwujudnyatakan. Dewasa ini kita menghadapi suatu krisis sosial yang berupa meningkatnya kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber. Namun, salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin, disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence. Secara spesifik, tindak kekerasan muncul atas dasar perbedaan etnis, suku, religi, bahkan berbasis gender. Menurut Andrew Karmen (1984) bahwa viktimisasi terjadi pada kasus-kasus pembunuhan, perkosaan, perampokan dan berbagai bentuk kejahatan secara tiba-tiba. Viktimisasi dapat dikenali dari adanya unsur-unsur penderitaan yang cukup menonjol dan serius. Khusus mengenai korban kejahatan dan tindak kekerasan yang khas dan ditujukan pada perempuan karena mereka bertubuh perempuan yang biasa disebut kekerasan berbasis gender (gender based violence) semakin terangkat mengingat terjad hamper di semua aspek kehidupannya. Ironisnya kekerasasn berbasis gender seperti perkosaan, kekerasan seksual,
1

Frans Magnis Suseno, 1988:82

eksploitasi seksual diperparah lagi karena terperangkapnya dalam situasi konflik/bersenjata yang melibatkan aparat militer. Kekerasan berbasis gender (gender based violence) merupakan tindak kekerasan diakibatkan oleh relasi yang timpang antara perempuan dengan laki-laki dan ditandai dengan relasi yang timpang antara perempuan dengan laki-laki dan ditandai dengan relasi yang powerless dan powerful antara keduanya. Hubungan asimetris berdasarkan gender telah membawa implikasi besar, yakni viktimisasi terhadap perempuan sebagaimana terjadi di wilayah konflik sosial atau bersenjata. Dalam aktivitas perdagangan manusia, perempuan juga telah menjadi bagian dari komoditas yang dieksploitasi. Perempuan yang diperdagangkan ini ditujukan untuk keperluan sebagai buruh, pelacuran dan dijadikan istri, dengan melibatkan berbagai kelas sosial, etnis, dan golongan. Permintaan pasar tehadap komoditi perempuan jauh lebih besar dibandingkan permintaan pasar terhadap laki-laki. Itulah sebabnya perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia jauh lebih besar dibandingkan laki-laki. Sebagai komoditi, perempuan lebih sering dijadikan pekerja seks dalam industri prostitusi dimana konsumen dalam industri ini didominasi oleh laki-laki. Industri prostitusi merupakan permintaan paling banyak dalam kasus perdagangan perempuan. Tetapi tidak hanya itu, perempuan diperdagangkan juga untuk dijadikan budak, buruh dan bahkan untuk kepentingan penjualan organ tubuh. Berbeda dengan laki-laki, jumlah permintaan pasar untuk menjadikan laki-laki sebagai komoditi relatif lebih kecil karena peruntukkan komoditi laki-laki terutama hanya untuk dipekerjakan sebagai buruh kasar (bangunan, pabrik). Dengan kata lain, peruntukkan komoditi laki-laki dalam perdagangan manusia, sebagian besar hanya untuk dieksploitasi tenaganya. Dilandasi oleh faktor kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan dapat menggeser manusia untuk bisa bertahan dalam tantangan arus globalisasi. Masyarakat yang pragmatis menjadikan perempuan sebaagi aset yang menghasilkan uang. Apalagi oleh masyarakat di negara miskin. Perempuan dianggap sebagai kelompok kelas kedua (subordinate), sementara laki-laki sebagai pemilik kekuasaan despotik terhadap perempuan yang bisa melakukan apa saja. Termasuk memperdagangkan perempuan. Kondisi ini akhirnya menempatkan anak perempuan dalam keterpaksaannya, untuk dijadikan komoditi.

Viktimisasi perempuan masih lebih diperumit karena faktor-faktor, seperti terbatasnya lapangan kerja yang tersedia, terbatasnya keterampilan yang dimiliki perempuan, kurangnya informasi tentang isu perdagangan manusia, sikap toleransi di komunitas tertentu terhadap kekerasan terhadap perempuan. Kondisi sosial psikologis dan politik belum memberi perlndungan yang diperlukan perempuan dan/atau anak untuk tidak diperdagangkan. Para germo, mucikari, calo perdagangan manusia masih dibiarkan bertindak secara leluasa. Perempuan dan anak yang diperdagangkan beresiko tinggi untuk terjerat dalam mafia perdagangan manusia internasional. RUMUSAN MASALAH Adapun permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah : 1. Bagaimana viktimisasi multidimensi yang terjadi terhadap perdagangan perempuan (women trafficking) ? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan ? 3. Bagaimana upaya penanggulangan trafficking secara komprehensif ?

BAB II PEMBAHASAN A. Kekerasan terhadap perempuan Fakih dalam analisis gender dan transformasi sosial mendefinisikan konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap: kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Melalui proses yang panjang, akhirnya tersosialisasikan bahwa gender tersebut sebagai ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaanperbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Oleh sebab itu, dewasa ini sering dianggap sebagai kodrat wanita adalah konstruksi sosial dan kultural atau gender. Misalnya saja sering diungkapkan bahwa mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Dalam hal kekerasan terhadap perempuan, jelas yang harus dipikirkan adalah kondisi masyarakat, yang belum dapat membedakan konsep jenis kelamin (seks) dan konsep gender. Gender bukan harga mati seperti sifat biologis. Akan tetapi dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain. Dari sinilah, bias gender harus kita tanggalkan. Dalam siklus kehidupan manusia kekerasan terhadap perempuan dapat diidentifikasikan dalam 6 fase yakni, sebelum kelahiran, pada saat bayi, pada usia anak, usia remaja, masa reproduksi dan usia tua. Tipe kekerasan pada fase sebelum kelahiran, antara lain: aborsi atas dasar seleksi kelamin (Cina, India, Korea), penganiayaan pada saat hamil, pemaksaan kehamilan

seperti perkosaan massal pada saat perang. Pada saat bayi, kekerasan yang terjadi biasanya berupa pembunuhan anak bayi (wanita), perlakuan salah baik emosional dan psikis, perbedaan perlakuan dalam bidang makan dan kesehatan terhadap anak perempuan. Kawin anak, penyunatan, perlakuan seksual baik oleh keluarga maupun orang lain, pelacuran anak, merupakan tipe kekerasan pada usia anak. Kekerasan pada usia remaja berupa kekerasan pada saat percumbuan (date rape), perlakuan seks terpaksa karena tekanan ekonomi, pelecehan seksual ditempat kerja, perkosaan, pelacuran dipaksa dan perdagangan perempuan. Masa reproduksi sering terjadi kekerasan oleh pasangan intim, marital rape, pembunuhan oleh pasangan, perlakuan salah psikis, pelecehan seksual ditempat kerja, perkosaan, kekerasan terhadap perempuan cacat. Dan yang terakhir adalah kekerasan pada usia tua, berupa kekerasan terhadap janda dan orang tua (Muladi, 1997). B. Perdagangan perempuan adalah viktimisasi perempuan Perempuan mempunyai resiko tinggi untuk diperdagangkan karena faktor-faktor seperti: perempuan dipersepsikan sebagai yang sesuai untuk mengisi peran stereotip tertentu. Perempuan dianggap mudah dibohongi dengan berbagai janji dan perempuan menyukai jenis pekerjaan tertentu. Misalnya, dari menjadi babysitter sampai menjadi penari dan penyanyi di dunia entertainment yang merupakan industry seks terselubung, tetapi tidak selalu diketahui oleh perempuan yang menjadi sasaran pedagang manusia. Manipulasi terhadap perempuan dipermudah karena perempuan sendiri seringkal kurang menyadari perangkap yang dipasang oleh pedagang manusia yang melakukan kegiatannya tanpa kontrol ketat dari para penegak hukum atau pejabat setempat. Perdagangan orang tergolong transnational crime. Menurut Konvensi PBB tahun 2000, perdagangan manusia berarti perekrutan , transportasi, pembelian, penjualan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang : i. dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, penculikan, paksaan, penipuan. Pemaksaan dengan kekerasan (termasuk penyalahgunaan wewenang) atau jeratan utang untuk tujuan : ii. menempatkan atau menahan orang tertentu, apakah dibayar atau tidak dalam kerja paksa atau praktik seperti perbudakan, di dalam komunitas lain di luar tempat orang itu menetap pada saat terjadinya tindakan yang digambarkan pada bagian (i) di atas.

Perempuan (karena masih berlangsungnya ketimpangan gender dalam kehidupan bersama), dapat mengalami dua bentuk kekerasan interpersonal: kekerasan kriminal (seperti diperkosa oleh orang yang tidak dikenal, menjadi sasaran dari berbagai bentuk pelecehan seksual) dan kekerasan dalam relasi intim (seperti KDRT). Kedua bentuk kekerasan tumpang tindih karena kekerasan dalam relasi intim juga merupakan kejahatan tetapi seringkali dipersepsikan berbeda dalam masyarakat. Masih ada kecenderungan masyarakat untuk menganggap relasi intim sebagai masalah privat sehingga masalahnya masih terselubung. Fenomena teropsesinya perempuan buka semata-mata karena kesenjangan relas, dan dominasi laki-laki terhadap perempuan, serta posisi subordinasi perempuan, melainkan viktimisasi dan penindasan dimaknai berdasarkan perspektif ras, kelas, umur, budaya, dan lainnya akan berujung pada penindasan berlapis merupakan keterikatan satu dengan lainnya. Sindikat perdagangan perempuan berasosiasi erat dengan praktek illegal dan kejahatan pada saat yang sama telah terjadi viktimisasi perempuan, dalam berbagai wujud dan dimensi, merefleksikan viktimisasi multidimensi. Kompleksitas isu perdagangan perempuan berdampak secara multidimensional terhadap kondisi kesehatan fisik, mental, dan sosial perempuan sebagai viktim. Kompleksitas permasalahan yang dialami perempuan korban tidak bias dipisahkan dari kenyataan masih adanya nilai budaya yang tidak mendukung tercapainya kesetaraan gender. Suatu kondisi sosial psikologis yang berujung pada praktik diskriminatif terhadap perempuan dan memberi andil pada terjadi kekerasan terhadap perempuan yang diperdagangkan. Ditambah dengan kurang tegasnya pemerintah yang mencerminkan lemahnya kemauan politis untuk mengawasi secara ketat pelaku perdagangan manusia pada umumnya, dan perdangan perempuan dan anak pada khususnya. Trafficking perempuan dan anak yang dipekerjakan ke luar negeri misalnya, semakin beresiko mengalami viktmisasi multidimensi. Bukan saja karena perbedaan gender, tetapi dilipatgangdakan karena perbedaan ras, kelas sosial, dan ekonomi antara mereka dengan lingkungan/masyarakat setempat. Persoalan yang lebih rumit ditandai dengan posisi mereka sebagai pekerja migrant illegal mereka akan dilabel sebagai kelompok masyarakat kelas dua. Ketimpangan relasi berdasarkan gender dan berbagai perbedaan dalam aspek kehidupan dengan

masyarakat setempat akan semakin menambah semakin rentan dan panjangnya viktimisasi terhadap korban perdagangan perempuan. Jaringan perdagangan perempuan tak lepas dari peran oknum birokrat di tingkat lokal maupun pusat dalam berbagai bentuk pelanggaran, yakni manipulasi, pemalsuan dokumen, suap, dan berbagai pungutan illegal. Hal ini membuktikan telah terjadi tindak kriminal berlapis dalam sindikat perdagangan manusia dan mengindikasikan lemahnya sistem pengawasan dari institusi dan birokrat terkait. Instrumen hukum ini harusnya sensitive terhadap kebutuhan berbagai lapisan masyarakat, khususnya korban trafficking dan mengusung nilai-nilai keadilan bagi korban. Negara dan berbagai elemen terkait hendaknya aspiratif terhadap apa yang disuarakan pihak-pihak yang peduli akan hak-hak perempuan, menngat pengalaman menunjukkan korban terbanyak dari trafficking adalah perempuan dan anak. Tantangan yang dhadapi komunitas yang menghadapi perdagangan perempuan adalah menyediakan layanan psikososial dalam komunitasnya yang berkualitas, peka gender, memenuhi kebutuhan perempuan korban maupun orangtuanya, dan terjangkau bagi setiap perempuan yang mengalami viktimisasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut : y perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan berbasis gender perlu mampu menghadapi kenyataan bahwa nilai budaya yang berlaku seringkali menyalahgunakan perempuan sebaga penyebab terjadinya viktimisasi perempuan. Ia harus merasa dapat menghadapi kenyataan tersebut; y bahwa korban perdagangan perempuan adalah victim kekerasan berbasis gender sehingga setiap intervensi harus dibuat dengan mengakui masih adanya ketimpangan gender yang membuat perempuan rentan terhadap kekerasan berbasis gender dengan konsekuensi fisik, mental, dan sosial; y bahwa respon psikologis perempuan korban perdagangan akan bervariasi, dari depresi ringan sampai depresi berat. Menemukan orang-orang yang peka gender dan yang memahami bahwa kondisi psikologis kaorban adalah interaksi antara faktor internal (seperti: sikap, harapan korban) dan faktor eksternal (seperti: nilai budaya tentang peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat) adalah tantangan tersendiri.

Lingakaran perdagangan perempuan tidak hanya melihat pengalaman perempuan sebagai korban kejahatan dari mulai aspek pengalaman kekerasan dan kejahatan karena perbedaan kultural, ras, kelas, gender, tetapi juga dari aspek penderitaan dan kerugian yang korban alami sebagai viktimisasi multidimensi. C. Perlindungan hukum terhadap korban women trafficking Dalam era keterbukaan seperti sekarang ini, Sistem Hukum Nasional belumlah tertata secara menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama, hukum adapt serta memperhabarui ataupun menyempurnakan peraturan-peraturan warisan hukum colonial maupun hukum nasional yang diskriminatif, sehingga masih dirasakan adanya Ketidakadilan Gender, kenyataan yang terjadi pada proses penegakan dan penyelesaian masalah hukum terdapat keadaaan dimana kepentingan perempuan menjadi termarjinalkan, padahal

sesungguhnya dalam teori hukum kepentingan tidaklah berlaku subyektif. Teori hukum tidak pernah mengarah pada penyelesaian masalah-masalah hukum konkret atau mengkategorikan masalah-masalah hukum, melainkan hanya pada upaya mempelajari teknik-teknik dan metode yang digunakan dalam dogmatika hukum dan praktik hukum untuk penyelesaian masalahmasalah hukum.2 Pada tahun 2000 Pemerintah menganggap perlu diterbitkan Intruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dengan maksud sebagaimana dituangkan dalam Intruksi Presiden No.9 Tahun 2000, tujuan Pengarusutamaan Gender adalah terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program Pembangunan Nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam menangani perkara-perkara berbasis gender, apakah perempuan sebagai korban maupun sebagai pelaku, upaya penanganan dalam perkara Kriminal masuk dalam yurisdiksi Peradilan Pidana. Upaya pencegahan kejahatan (crime prevention) dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:3

E. Saefullah Wiradipradja, Teori Hukum (Legal Theory), Bahan kuliah Program Pasca Sarjana UNPAD/Unisba. 2006, hal. 10. 3 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, halaman 156.

a. Primary prevention, dengan melakukan kebijakan public agar dapat mempengaruhi persepsi/pendapat public dengan mensosialisasikan sebab musabab terjadinya tindak pidana akar permasalahan (sumber kejahatan) yang perlu diketahui oleh masyarakat umum. b. Secondary prevention, antara lain dengan kriminalisasi memperbaharui undang-undang hukum bahwa perbuatannya adalah tindak pidana yang diatur di dalam undang-undang baru termasuk berat ringannya ancaman pidana (sasarannya adalah calon pelaku). c. Tertiery prevention, tahapan ini telah mempergunakan pendekatan represif melalui proses penegakan hukum bagi mereka yang melakukan tindak pidana yang pengaturannya telah mengalami tahap kriminalisasi. Dalam upaya pencegahan kejahatan yang telah dilakukan saat ini terutama Primary, dan Secondary prevention adalah hal kekerasan terhadap perempuan, diantaranya melalui pembuatan undang-undang yang lebih mendukung perempuan, seperti UU Penghapusan KDRT dan UU Perlindungan Saksi, juga program penguatan terhadap penegak hukum, baik dari sisi pengetahuan maupun sikap dalam mewujudkan keadilan gender. Prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan berdasarkan gender telah diwujudkan Indonesia dengan meratifikasi Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Makna mendalam dari ratifikasi konvensi ini adalah bahwa Indonesia mengikatkan diri menjamin terwujudnya pelaksanaan prinsip persamaan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki melalui perundang-undangan dan bergabai kebijakan, serta diimplementasikan dengan mendapatkan hasil bahwa tidak hanya secara de jure, tetapi secra de facto kesetaraan dan keadilan dapat diwujudkan. Mengenai kekerasan berbasis gender, fakta menunjukkan bahwa kekerasan yang berbasis gender sering dialami oleh perempuan baik di lingkungan domestic maupun public. Namun, kasus yang muncul sampai ke permukaan hanya sedikit. Dari pengalaman persidangan terhadap perempuan korban kekerasan yang berbasis gender, ditemukan bahwa system hukum belum memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi perempuan korban. Dengan kata lain, system hukum belum berperspektif perempuan. Banyak kasus kekerasan yang berbasis gender yang gagal diproses sampai ke pengadilan karena kesulitan pembuktian, putusan yang belum

memenuhi rasa keadilan, selain itu, banyak juga perempuan yang memilih untuk mendiamkan kekerasan dan perkara lainnya yang dialaminya karena takut ancaman fisik, psikis, seksual dan kehilangan sumber penghasilan dari pelaku. Adapun perkara-perkara yang menyangkut perempuan sebagai korban antara lain Kekerasan di tempat kerja, Kekerasan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Domestic Violation), Women Trafficking, Penganiayaan, dan yang lain-lain seperti kekerasan di wilayah konflik, penipuan, perkosaan, perbuatan cabul, pornografi dan zina. Kekerasan terhadap perempuan berbeda dengan bentuk kekerasan lainnya. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, kekerasan langsung ditujukan terhadap perempuan karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan secara tidak proporsional. Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk penyerangan terhadap integritas tubuh perempuan serta harkat dan martabatnya sebagai manusia. Trauma atas kekerasan yang berbasis gender yang dialami oleh seorang perempuan akan dibawa sampai akhir hayatnya. Hal ini terbukti dari trauma yang dialami oleh perempuanIndonesia yang menjadi korban kekerasan seksual pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Tidak adanya perlakuan khusus pada proses pemeriksaan perkara seringkali membuat korban menjadi korban untuk sekian kalinya. Minimnya pemahaman penegak hukum tentang perspektif gender membuat korban menjadi tidak nyaman dan trauma ketika bersinggungan dengan system hukum kita. Di antara berbagai aturan baru yang dimasukkan di dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) versi 2004 ini adalah apa yang dikategorikan sebagai tindak pidana kesusilaan. Tindak pidana yang diatur adalah yang menyangkut kesusilaan. Tindak Pidana yang diatur adalah yang menyangkut kesusilaan di muka umum, pornografi dan pornoaksi, mempertunjukkan alat/cara pencegahan kehamilan dan penghentian kehamilan, zina dan perbuatan cabul, penghentian kehamilan, bahan yang memabukkan, mengemis, penganiayaan hewan, dan perjudian. RUU yang penyusunannya dimulai sejak tahun 1982 ini meluaskan cakupannya dengan memasukkan juga pasal-pasal pidana mengenai pornografi, pornoaksi, dan perdagangan manusia (trafficking) yang sebelumnya sudah direncanakan oleh pemerintah untuk dibuatkan Undang-Undangnya secara khusus.

Ada beberapa langkah dan tindakan yang perlu dilaksanakan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender: Pertama, Substansi hukum dan kebijakan dengan mengintegrasikan prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam system hukum, menghapus peraturan perundangan yang diskrimintif dan menetapkan peraturan yang melarang diskriminasi perempuan, serta menerapkan norma dan standar yang ditetapkan CEDAW. Kedua, Struktur dan proses institusional melalui pengembangan kapasitas lembaga yang melaksanakan atau menegakan peraturan yang non-diskriminatif, dan menetapkan mekanisme kelembagaan untuk memantau perkembangan pemenuhan hak asasi perempuan, dan langkah ketiga, Faktor Budaya dengan meningkatkan kesadaran dan komitmen Negara (eksekutif, yudikatif, legislative dan seluruh masyarakat akan persamaan hak asasi perempuan dan laki-laki yang dijamin oleh konvensi CEDAW. Pandangan dan pemikiran untuk menuju system hukum yang berkeadilan gender perlu mendapat perhatian bersama, baik dari Pemerintah/Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Bahwa putusan Hakim, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, baik Putusan pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung yang selalu diikuti oleh Hakim-hakim dapat menjadi yurisprudensi/judge made law, Yurisprudensi tetap dapat dijadikan sebagai sumber hukum atau banyak diantaranya malah telah dijadikan undang-undang. Kekerasan terhadap perempuan seringkali tidak bisa diselesaikan secara baik, seperti untuk mendapatkan perlindungan hukum. Banyak kasus-kasus Kekerasan yang menimpa perempuan akhirnya tidak bisa dilanjutkan, karena respon penegak hukum yang masih belum memberi arti penting Kekerasan yang menimpa perempuan. Akibatnya perempuan yang menjadi korban kekerasan kebanyakan urung untuk melanjutkan niatnya melaporkan Kekerasan yang diterima, disamping takut tidak ditanggapi oleh aparat, mereka takut malah dicemooh ketika melaporkan kasusnya. Alasan ini pula yang melahirkan perlunya pengaturan acara tersendiri dalam persidangan perkara-perkara umumnya, kekerasan terhadap perempuan khususnya.

D. Penanggulangan trafficking secara komprehensif Kejahatan trafficking yang merupakan kejahatan yang terorganisasi secara lintas daerah dan lintas Negara memerlukan langkah penanggulangan secara lintas daerah dan lintas negara pula. Walaupun hal ini sepenuhnya belum dapat terlaksana dewasa ini. namun dapat diambil langkah tindakan cepat untuk memberdayakan individu calon korban trafficking, agar tidak terjerumus dan terjerat dalam bisnis trafficking manusia, khususnya women trafficking. Penanggulangan trafficking secara komprehensif dari bawah, artinya mulai dari pemberdayaan individu, memerlukan identifikasi permasalahan. Jaringan pelaku kejahatan trafficking, mulai dari perekrutan, pengangkutan antardaerah, pemberangkatan, penerimaan, penampungan sampai pada tempat kerja; amat luas, terorganisasi secara rahasia, namun ketat dan rapi serta amat sulit ditembus, bahkan tidak terjangkau oleh sistem hukum khususnya komponen struktur hukum atau aparat, apalagi jika dilindungi oleh berbagai kekuasaan. Organisasijaringan trafficking ini mulai dari yang terkecil dan informal sampai pada sindikat yang terorganisasi secara sangat efektif dan efisien, dengan berbagai fasilitas teknologi yang canggih, seperti hubungan telepon (terutama telepon genggam yang dapat diakses di mana saja), internet, transport/pengangkutan, dan sebaginya. Perilaku dalam organisasi ini ditata dengan aturan main tersendiri, yang pelanggarannya diancam hukuman ringan (mulai dari dikurung di kamar mandi, tidak diberi makan) meningkat menjadi berat (gaji tidak dibayar) sampai pada hukuman mati, dan yang benar-benar dilaksanakan. Cara para pelaku menjebak calon korban mulai dari membujuk, menipu, dan memanfaatkan kerentanan calon korban atau keluarganya (misalnya, kebutuhan mendesak akan uang), menawarkan pekerjaan dengan janji upah yang menggiurkan, mengawini calon korban, sampai pada penggunaan kekerasan, misalnya ancaman, penculikan, dan pemerkosaan. Langkah tindakan penanggulangan secara structural atau komprehensif perdagangan manusia khususnya women trafficking memerlukan pemberdayaan masyarakat, yang harus terpusat pada (calon) korban trafficking. Langkah tindak dalam rangka pencegahan, penanganan, dan pemulihan (calon) korban trafficking meliputi:

Pemberdayaan (calon) korban trafficking Dalam viktimisasi perempuan, pemberdayaan (calon) korban trafficking dilakukan melalui pelayanan medis untuk pemulihan fisiknya melalui konseling untuk pemulihan psikisnya. Erat kaitannya dengan konseling adalah

pemberdayaan melalui penguatan iman dengan pelayanan dari lembaga agama. Selain itu, aspek ekonomi dan budaya, termasuk cara pandang, kepercayaan, dan sikap masyarakat amat menentukan untuk pencegahan, penanganan, dan pemulihan (calon) korban trafficking. y Pemberdayaan keluarga Unit terkecil dalam masyarakat Indonesia, yaitu keluarga, merupakan lembaga yang amat penting. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama terutama mengenai agama, etika, peningkatan iman, nilai-nilai serta harkat martabat kemanusiaan, dan keadilan, juga berkenan dengan pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban trafficking, demikian pula mengenai eksploitasi serta kekerasan terhadap manusia khususnya perempuan. y Pemberdayaan komunitas dan desa Dalam era masyarakat madani sekarang ini, perlu diberdayakan komunitas mulai dari yang terkecil. Dengan pengetahuan dan kesadaran akan seluk beluk trafficking dan pengiriman buruh migrant, komunitas terkecil ini dapat mengawasi pelanggaran, yang terjadi pada fase perekrutan, memonitor pelanggaran pada fase berikutnya, sampai pada waktu buruh migrant itu kembali. y Pemberdayaan sistem hukum Dalam rangka menaggulangi women trafficking, secara structural atau komprehensif yang perlu diperhatikan adalah substansi hukum antara lain undang-undang yang efektif memberantas dan menghapus trafficking. Efektifitas ketentuan hukum ini dipengaruhi terutama oleh aspek agama, psikologis, budaya, ekonomi, politik, pendidikan. Selain itu perlu diperhatikan aparat legilasi,

penerapan, dan penegak hukum yang efektif, professional, dan akuntabel, juga

memperhatikan aspek moral, budaya hukum yang mendorong pemberantasan dan penghapusan trafficking. y Penanggulangan secara lintas daerah Jika diketahui bahwa kejahatan women trafficking ini merupakan kejahatan lintas daerah maka penanggulangannya seharusnya juga secara lintas daerah atau secara nasional. y Penanggulangan secara transnasional a. Kejahatan yang terorganisasi secara transprovinsi/daerah dan

transnasional/negara harus diberantas secara transnprovinsi dan transnasional yang juga harus strategis dan terorganisasi secara professional. b. Pemerintah dan aparat penerapan dan penegakan hukum di pusat dan daerah sampai di desa, gereja dan lembaga agama lainnya, Gerakan PKK atau LSM terutama yang mempunyai kegiatan sampai ke akar rumput, baik skala lintas daerah dan lintas negara hendaknya bekerjasama dalam upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban trafficking. y Pemberdayaan individu dan keluarga dalam berbagai aspeknya Hal ini dapat dilakukan melalui pemberdayaan desa dan komunitasnya, seperti desa wisma, kolom atau kelompok pelayanan. Selain untuk pencegahan women trafficking, cara ini dapat dimanfaatkan untuk pencegahan kejahatan yang terorganisasi secara lintas negara dalam hal narkoba, pencegahan mabukmabukan karena minuman keras, perdagangan illegal senjata, teroris, money laundering, dan pemalsuan uang.

BAB IV KESIMPULAN Gender sebagai perbedaan perempuan dengan laki-laki berdasarkan social construction tercermin dalam kehidupan sosial yang berawal dari keluarga. Perempuan disosialisasi dan diasuh secara berbeda dengan laki-laki. Ini menunjukkan adanya social expectation (ekspektasi sosial) yang berbeda terhadap anak perempuan dengan anak laki-laki (Morris, 1989). Sejak dini anak perempuan disosialisasi bertindak lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif, dan bukan pengambil keputusan. Sebaliknya laki-laki disosialisasi agresif, aktif, mandiri, pengambil keputusan, dan dominan. Kontrol sosial terhadap perempuan jauh lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki. Perdagangan manusia utamanya perempuan, merupakan pemerosotan HAM pada saat ini karena mengembalikan sistem perbudakan di masa lalu. Implikasinya sangat luas dan kompleks, dan adanya saling keterhubungan satu dengan yang lain dari women trafficking telah berlanjut dari berbagai bentuk eksploitasi, dekat dengan perdagangan obat terlarang dan minum-minuman keras tidak lepas dari berbagai penyakit berbahaya HIV/AIDS. Sangat tidak adil jika hanya mengkriminalkan para pekerja seks, sementara industry seks terselubung beserta oknum-oknum yang terlibat dalam sindikat perdagangan dan eksplotasi seks meraup untung tanpa pernah tersentuh hukum. Kejahatan trafficking merupakan kejahatan yang sangat rumit, menyangkut budaya, sikap perilaku dan struktur sosial masyarakat. Perlu pendekatan secara komprehensif untuk mencapai akar masalah dan penanganan yang efektif agar kejahatan ini dapat ditanggulangi, sehingga pada gilirannya perempuan mendapat tempat yang wajar dalam masyarakat dengan bebas menikmati hak-haknya sebagai manusia yang dihormati harkat dan martabatnya. Semua pihak harus ambil bagian, pemerintah, tokoh masyarakat dan agama, pendidikan, sistem kesehatan, dan sistem ekonomi semuanya dirancang untuk menyelamatkan perempuan dari bahaya trafficking. Sanksi hukum diberikan dengan harapan pelaku menjadi jera, selain itu sanksi sosial perlu agar masyarakat makin paham bahwa perdagangan perempuan harus dihapuskan dari dunia ini.

DAFTAR PUSTAKA

Sihite Romany. PEREMPUAN, KESETARAAN, DAN KEADILAN: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

L.M. Gandhi Lapian dan Hetty A. Geru. Trafiking Perempuan dan Anak Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Sulistyowati Irianto, Lim Sing Meij, Firliana Purwanti, Luki Widiastuti. Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Chazawi Adami, Drs., S.H. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Sumber online: www.google.com

Anda mungkin juga menyukai