Anda di halaman 1dari 12

BAB II PEMBAHASAN PENGARUH BUDAYA PADA ORGANISASI DAN KERJA A.

Struktur Organisasional Ciri terpenting organisasi yang kompleks adalah penyebaran tugas atau pekerjaanpekerjaannya. Tak semua karyawan memiliki tanggung jawab dan jenis pekerjaan yang sama. Keseluruhan tubuh kerja yang telah dibawakan dirinci ke dalam divisi dan subdivisi-subdivisi yang berbeda. Lammers dan Hickson (1979) mengkaji variasi budaya dalam struktur organisasi. Mereka mengajukan tiga tipe organisasi: Latin, Anglo-Saxon, dan Dunia Ketiga. Tipe Latin lebih merupakan suatu birokrasi klasik dengan struktur tersentralisasi dan sejumlah besar tingkat hirarkis. Hal ini ditemukan di bagian selatan dan timur Eropa. Tipe Anglo-Saxon lebih luwes dengan desentralisasidan sejumlah relatif kecil tingkatan analisis hirarkis sebagai paparan penting. Tipe luwes ini menonjol di Eropa barat laut dan di Amerika Utara. Untuk Negara Dunia Ketiga, organisasi tradisional dicirikan dengan pengambilan keputusan terpusat, sedikit formulasi norma, dan kepemimpinan paternalistis. Cirri organisasi tradisional, menurut Lammers dan Hickson, juga ditemukan di firma kecil dan bisnis keluarga di negara Eropa Barat. Lammers dan Hickson yakin, kajian Hofstede mendukung kategorisasi mereka, meski menurut mereka tipe keempat muncul dari hasil penelitian mereka berdua, yaitu suatu birokrasi kaku dengan orientasi penataan kuat, tapi dengan hirarkis terbatas. Jerman dan Israel adalah dua di antara negara dimana tipe ini sering ditemukan secara relative. Lammers dan Hickson mengedepankan tipologi mereka sebagai tipologi tentative, didasarkan pada sejumlah kajian terbatas. Dalam pandangan Udy (1970), ada suatu pergeseran dari bentuk kerja yang ditentukan secara produksi (diasosiasikan dengan pemburu-pengumpul) dalam masyarakat pra-industri. Kerja yang terorganisasi, dalam suatu bentuk yang berkiblat produksi, tujuan bagaimana dan apa yang diproduksi, diberikan oleh latar lingkungan.

Pemburu kerbau di beberapa kelompok Amerika Pedalaman adalah suatu contoh. Konteks kerja yang ditentukan secara sosial menggiring ke suatu organisasi yang relatif stabil, yang terus menerus ada saat produksi tidak menuntutnya lagi. Bentuk organisasi ini menurut Udy, rendah dalam efektivitas, efisiensi, dan kapasitas inovatif. Di tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, kepentingan factor politis ditekankan, khususnya kontras antara sosialisme (Marxis) dan kapitalisme. Sejauh berhubungan dengan organisasi industry, pemilahan penting itu ialah pemilikan umum dan pemilikan pribadi. Pemilikan pribadi mengarah ke dominasi hirarkis eksploitasi pekerja, menurut teori Marxis. Teori organisasi modern memilah matra struktur organisasi dari penentu-penentu struktur ini. Menurut Robbins (1987) terdapat tiga matra penting: kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi. Kompleksitas menunjuk pada tingkat perbedaan dalam suatu organisasi, yaitu keragaman kelompok menurut kekhususan, jumlah tingkat dalam hirarki manjemen, dan jumlah lokasi yang berbeda, pada lokasi mana organisasi itu benar-benar berjalan. Formalisasi menunjuk pada derajat pembakuan tugas, bergerak dari ketiadaan yang hampir total dari suatu kaidah ke suatu tingkat pemrogaman yang tinggi mengenai hal yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Sentralisasi menunjuk pada konsentrasi pengambilan keputusan yang dapat dipusatkan pada satu titik tunggal dalam organisasi atau secara luas menyebar. Satu bentuk pendekatan contingency (kesalinggayutan) adalah hipotesis bebasbudaya (culture-free hypothesis). Hipotesis itu menekankan, tuntutan situasional merupakan penentu satu-satunya dari perubahan organisasional dan teori tentang organisai memiliki kesahihan yang lepas dari budaya di mana organisasi berfungsi. Pengaruh teknologi begitu kuat sehingga menekan pengaruh-pengaruh yang lebih subtil dari ubahan-ubahan budaya. Adaptasi suatu teknologi yang terberi akan memiliki konsekuensi struktural yang sama dalam semua latar nasional. Negara-negara yang hampir sama tingkat industrinya akan menunjukan kesamaan yang kuat dalam organisasi-organisasi. Gagasan perkembangan teknologis akan menyebabkan pengaruh yang homogen pada organisasi

dikenal sebagai hipotesis konvergensi (Ronen, 1986). Meski konvergensi mungkin terjadi pada tingkat struktur organisasi dan teknologi (ubahan-ubahan bertingkat makro), sikap dan nilai individu (ubahan-ubahan bertingkat mikro) akan tetap berbeda secara budaya. Menurut J. Child (1981), faktor eksternal meliputi batasan-batasan tertentu di mana organisasi berkembang dalam keselarasan dengan budaya suatu negara. Ubahan-ubahan budaya dapat memerantarai pengaruhpengaruh system politik dan ekonomi yang ada sebagaimanahal dengan karakteristik organisasi. Jadi perbedaan itu ada dimana teori contingency akan memprediksinya sebagai keseragaman. Namun Child mencatat, pengaruh factor situasional pada ubahan-ubahan struktur organisasi lebih lemah dan kurang konsisten ketimbang pada ubahan-ubahan proses pada tingkatan perilaku seperti proses pengambilan keputusan dan peran-peran manajerial. Hasil-hasil yang digunakannya untuk melukiskan argumennya, seperti dikemukakan Maurice, dating dari Eropa Barat. Perhatian terhadap ubahan-ubahan psikologis sosial dicerminkan dalam pengertian budaya organisasional, dimana suatu organisasi dikonsepsikan sebagai semacam minibudaya dengan sistem nilai dan makna sendiri, yang berbeda dari organisasi lain.

B. Perilaku Manajerial 1. Gaya Kepemimpinan Dalam literatur Amerika, dua kategori perilaku telah hadir dalam berbagai bentuk sebagai hal tipikal tentang pemimpin yang efektif. Dalam kajian Kepemimpinan Ohio State, kategori-kategori itu dinamakan penenggang (consideration) dan struktur pengambil inisiatif (initiating structure). Ketenggangan harus diberikan melalui perhatian dan dukungan pemimpin pada anak buah. Struktur pengambil inisiatif menunjuk ke defenisi dan penstrukturan pemimpin melalui berbagai peran dan tugas yang harus mereka tampilkan sendiri dan ditampilkan karyawan lain. J. B. P. Sinha (1980) mengemukakan konsep pemimpin pemelihara-tugas

(nurturant-task leader). Gaya manajemen ini punya dua komponen: kepedulian pada tugas dan orientasi pemeliharaan bagi anak buah. Pemimpin pemeliharatugas menciptakan iklim kebertujuan (purposiveness) dan mengutamakan tingkat produktivitas yang tinggi. Tetapi, ia juga menunjukkan perhatian dan afeksi demi kebaikan anak buah serta terlibat dalam pertumbuhan profesional mereka. Gaya kepemimpinan pemelihara-tugas bersifat luwes dan ketika seorang anak buah menbutuhkan sedikit membutuhkan bimbingan dan arah, gaya berubah ke gaya yang lebih partisipatif. Konseptualisasi lain, teori kepemimipinan PM Masumi (1985). Ia memilah antara dua fungsi utama dalam suatu kelompok; yang satu menyumbangkan pencampaian tujuan kelompok dan pemecahan dan masalah, yang lain mempromosikan disingkat P) pemeliharaan-diri fungsi kelompok menguatkan proses

kelompok. Fungsi capaian, disebut Masumi sebagai Kinerja (Performance, dan pemeliharaan-diri disebutnya Pemeliharaan (Maintenance, atau M). Bagi sampel-sampel ad hoc (manajer yang mengikuti suatu kursus) terutama dari negara Eropa Barat, Laurent (1983) melaporkan perbedaan-perbedaan substansial dalam faktor seperti pandangan politik (berhubungan dengan kewenangan manajerial), pandanngan otoritas (kebutuhan garis-garis tegas tentang otoritas), dan pandangan tentang peran-peran formal (suatu defenisi yang jelas tentang fungsi karyawan). Laurent hanya menggunakan pertanyaan tunggal dimana para manajer menjawab secara jujur atas pernyataan-pernyataan luas. Dalam pandangannya, hasil-hasil itu menunjukkan bahwa peta-peta mental kolektif tentang organisasi secara jelas berbeda untuk para manajer dari berbagai Negara Eropa. 2. Pengambilan Keputusan Janis dan Mann (1977) berkarya mencakup analisis proses pengambilan keputusan dalam kejadian-kejadian tunggal, tapi penting secara historis. Penggunaan informasi biografis selanjutnya, untuk mendapat pengetahuan yang diperoleh dari kajian-kajian lapangan dan eksperimen, menyertakan

pertimbangan faktor emosional dan personal. Heller dan Wilpert (1981) menganalisis pengambilan keputusan manajerial pada tingkat puncak dari 129 organisasi di Amerika Serikat, lima negara Eropa Barat, dan Israel. Kebanyakan perilaku manajer sangat bervariasi pada suatu kontinum, tergantung situasi yang mereka hadapi. Perbedaan-perbedaan di antara negara jauh kurang penting ketimbang situasi-situasi. Tingkat kewenangan yang terbagi ditemukan relatif tinggi di Perancis dan Swedia dan rendah di Israel dan Spanyol. Kebanyakan penelitian lintas budaya tentang pengambilan keputusan telah dirangkum Wright (1985). Ia membahas penelitian dalam wacana organisasional seperti penelitian eksperimental. Dalam organisasi, topik yang paling luas dikaji adalah superioritas Jepang yang diduga mengatasi Amerika dalam efisiensi secara organisasi. Hal ini telah diatribusikan pada suatu gaya yang lebih konsultatif dari pengambilan keputusan yang menampakkan diri dalam proses ringi. Dalam kajian deskriptif, didasarkan pada kesan-kesan dan wawancara bercorak klinis (misal Abegglen, 1958), perbedaan-perbedaan yang cenderung muncul dapat diterangkan berdasar pengertian faktor budaya. Dalam kajian dengan koleksi data lebih sistematik (misal Pascale, 1973), kesamaan-kesamaan yang tegas cenderung ditemukan. Wright menyimpulkan bahwa gambaran demikian masih tidak jelas. Dalam penelitian eksperimental lintas budaya, pandangan konvergen juga jarang terjadi. Satu dari persoalan yang dikaji, disebut fenomena pergeseran risiko (risky-shift). Hal ini menunjuk ke kecenderungan bahwa diskusi kelompok mengantar ke keputusan-keputusan yang penuh resiko selagi berlangsung ketimbang ketika individu membuat keputusan secara perorangan. Brown (1965) mengemukakan, pengambilan risiko memiliki nilai di masyarakat Barat. Para individu menginginkan paling tidak, mengambil risiko sebesar risiko yang diambil kelompok mereka dan dalam menjalani diskusi, mereka cenderung bergerak menuju ke posisi lebih ekstrim sehingga tidak kalah dibandingkan

orang lain. Jika hal ini benar, suatu pergeseran kehati-hatian dapat diantisipasikan di negara-negara dimana kehati-hatian dihargai. Dukungan awal terhadap gagasan ini dikemukakan Carlson dan Davis (1971) yang mengkaji pengaruh diskusi kelompok pada keputusan-keputusan di Amerika Serikat dan Uganda. Uganda adalah suatu negara di mana kehatian-hatian dipandang positif. Hasil penelitian mereka dikritik karena ketidaksesuaian budaya yang sangat niscaya terjadi akibat rangsang yang didesain untuk subyek Amerika (misal L. Mann, 1980). Dengan metode yang lenbih seuai, Gologor (1977) menemukan tidak ada kecenderungan melakukan pergeseran risiko di Liberia. Diskusi kelompok cenderung menjadi lebih ekstrem ketimbang keputusan individual, tetapi diperkirakan paling tidak ada semacam polarisasi sedemikian rupaterhadap kehati-hatian yang berlebihan sebagaimana terhadap keputusan berisiko tinggi. Suatu temuan menarik oleh Harrison (1975), orang-orang kulit putih di Zimbabwe lebih bergeser menjadi hati-hati ketimbang ornag-orang kulit hitam yang cenderung bergerak ke risiko tinggi ketika nasib karena pelapisan ras harus disetujui dalam suatu diskusi kelompok kecil. Poortinga dan Spies (1972) bekerja dengan sampel kulit putih dan hitam di kalangan para sopir truk Afrika Selatan. Untuk mengurangi efek pengalaman pendidikan terdahulu, Poortinga dan Spies tidak menggunakan tugas-tugas kognitif, tapi tugas-tugas persepsi dan keterampilan motorik, di mana tingkat kesulitan diadaptasi ke tingkat kinerja seorang subyek. Dengan cara ini, probabilitas keberhasilan dipasangkan pada tingkat yang sama untuk setiap subyek. Hasil-hasil kedua kelompok jatuh berdekatan dengan hasil maksimum karena para subyek terlalu percaya diri dan mengambil risiko terlalu tinggi. Wright dan Philips (1980) melukiskan perbedaan budaya dalam kecenderungan menggunakan pemikiran non-probabilistik jika dilawankan dengan pemikiran probabilistik. Untuk mendukung pernyataan ini, sejumlah variasi antaseden budaya (terutama yang impresionistis) disebutkan (Wright, 1985). Makna perbedaan tetap saja tidak jelas. Wright dkk. (1983) menemukan bahwa tingkat perbedaan lintas budaya bervariasi diantara tugas-tugas dan korelasi antara

tugas-tugas itu rendah. Hal ini menunjuk ke khususan situasional dalam berurusan dengan ketidak menentuan. Sedemikian jauh, perbedaan-perbedaan dalam skor boleh jadi terbatas pada teba situasi yang berdekatan. Juga spekulasi Wright bahwa orang Jepang mungkin merupakan pemikir nonprobabilistik tidak diperkuat Yates dkk. (1989). C. Nilai dan Motif Kerja 1. Nilai Kajian sepintas tentang nilai yang berkaitan dengan kerja dilakukan Hofstede (1980, 1983) dalam bagian-bagian nasional suatu perusahaan multinasional. Hofstede telah menemukan empat matra; jarak kekuasaan, penghindaran atas ketidakmenentuan, Penting individualisme-kolektivisme, bagaimana dan maskulin-femeninitas. ini dikembangkan. mempertimbangkan matra-matra

Seberapa sering para karyawan takut untuk tidak setuju dengan para manajer mereka? menjadi pertanyaan inti untuk menaksir jarak kekuasaan. Indeks penghindaran atas ketidakmenentuan dikembangkan dengan cara sama, mengikuti pembedaan teoretis dalam literature. Indeks individualisme dan maskulinitas dihasilkan dari suatu analisis faktor terhadap dua puluh dua (kemudian empat belas) butir pertanyaan, mempertanyakan kepentingan tujuan kerja yang beragam. Pertanyaan-pertanyaan ini lebih kurang serupa dengan hirarki kebutuhan Maslow. Berbagai analisis faktor dilakukan pada tingkat individual dan tingkat Negara. Suatu pembedaan yang bermakna di antara negara-negara hanya dapat dilakukan dengan analisis faktor pada suatu matriks data tujuan kerja per negara. Analisis faktor pada tingkat negara, atau tingkat ekologis ini menghasilkan dua faktor mengenai individualism dan maskulinitas. Indeks jarak kekuasaan, didasarka pada tiga butir pertanyaan (takut karyawan tidak setuju dengan manajer, pengambilan keputusan dipersepsi sebagai nondemokratis, dan preferensi pengambilan keputusan yang konsultatif), digambarkan Hofstede (1983) sebagai sejauh mana para anggota masyarakat menerima bahwa kekuasaan dalam kelembagaan dan organisasi tersebar secara

tidak merata. Indeks penghindaran atas ketakmenentuan sama-sama dikomputasikan

berdasarkan tiga butir pertanyaan (tidak melanggar kaidah-kaidah perusahaan, tetap bekerja di perusahaan, dan merasa cemas dan tertekan di tempat kerja). Menurut Hofstede (1983), itu merupakan derajat sejauh mana anggota suatu masyarakat merasa tidak nyaman dengan ketakmenentuan dan ambiguitas, yang membawa mereka mendukung keyakinan-keyakinan yang mempromosikan kepastian dan mengutamakan kelembagaan yang melindungi konformitas. Hofstede (1983) melukiskan maskulinitas sebagai suatu preferensi ke prestasi, heroisme, keterusterangan dan keberhasilan materi. Hal ini berlawanan dengan femininitas, yaitu preferensi ke hubungan, perhatian manusiawi terhadap kelemahan, dan kualitas hidup. Defenisi keempat matra itu jauh lebih luas ketimbang yang dapat dijustifikasikan, yang tercakup dalam sejumlah pertanyaan terabatas, terutama untuk jarak kekuasaan dan penghindaran atas ketidakmenentuan. Penafsiran itu diperkuat acuan yang luas ke literatur perbedaan lintas budaya dan penggunaan data kajian lain. Ditambahkan, data dikumpulkan dengan kuesioner-kuesioner tentang nilai lainpada sampel-sampel ad hoc dari para manajer berbagai negara. Keempat matra juga berkolerasi dengan tujuh indikator ekonomi, geografi, dan demografi. Hasil penelitian Hofstede masih menyediakan suatu dasar yang lebih baik untuk menggolongkan negara-negara yang dikaji ketimbang kajian-kajian sebelumnya. Sejumlah besar negara dimasukkan dan pola-pola dapat didefenisikan menurut pengertian skor-skor pada tidak kurang dari empat matra. Sesudah dilakukan beberapa modifikasi dari keluaran (didasarkan pada argument historis), ada 8 rumpunyang tinggal: Negara-negara Latin yang Lebih Berkembang, Negaranegara Latin yang Kurang Berkembang, Negara-negara Asia yang Lebih Berkembang, Negara-negara Asia yang Kurang Berkembang, Negara-negara Timur Dekat, Negara-negara Jerman, Negara-negara Anglo, dan Nordic, sementara Jepang membentuk suatu medan budayanya sendiri. Rumpun-rumpun ini sama seperti ditemukan dalam beberapa kajian tentang ubahan-ubahan

motivasional dan sikap yang cenderung mengelompokkan negara berdasarkan kedekatan geografis (Ronen, 1986; Griffeth&Hom, 1987). 2. Motif dan Kebutuhan Di antara teori-teori motivasi (atau kebutuhan) yang mengilhami para peneliti lintas budaya, yang paling terkenal ialah teori McClelland (1961) dan Maslow (1954). Argumen dasar karya McClelland, perkembangan ekonomis tak dapat diterangkan tanpa mengacu ke ubahan-ubahan sosial dan psikologis. McCelland menemukan dengan nyata, suatu motivasi untuk maju berperan dalam proses pembangunan nasional dan ia mengemukakan, motivasi berprestasi bertanggung jawab atas hal ini. Untuk suatu tingkat impresif, McClelland telah dapat menunjukkan korelasi, biasanya dengan beberapa kesenjangan waktu, antara perkembangan ekonomi dan frekuensi tema-tema prestasi dalam produk tulis suatu budaya. Misalnya, korelasi yang signifikan antara skor prestasi dalam tingkatan negara yang diambil dari suatu analisis mengenai cerita-cerita dalam buku kanak-kanak dan perkiraan pertumbuhan ekonomi (dalam income per capita dan produksi elektrisitas). Informasi lebih tentang kajan-kajian lintas budaya mengenai motivasi berprestasi dapat ditemukan dalam Segall dkk. (1990). Hirarki kebutuhan Maslow telah berfungsi sebagai basis teoretis untuk survei internasional pertama tentang motivasi yang dilakukan Haire, Ghiselli, dan Porter (1996). Mereka mengubah sedikit skema Maslow dan menyelidiki kebutuhan-kebutuhan: rasa aman, penghargaan sosial, otonomi, aktualisasi diri. Pertanyaan-pertanyaan tentang motivasi merupakan satu dari tiga skala, sedangkan dua skala lain adalah tentang gaya kepemimpinan dan peran manajerial. Di antara berbagai kebutuhan, aktualisasi diri (yaitu terealisasikannya kapasitas seseorang) dinilai sebagai hal terpenting di semua negara, diikuti sebagian besar negara dengan kebutuhan otonomi (yaitu peluang berpikir dan bertindak secara mandiri). Perbedaan-perbedaan antarnegara dalam bobot kebutuhan cukup kecil. Sepertinya para manajer sama dalam hal yang memotivasi mereka dalam situasi

kerja. Secara relatif perbedaan cukup ditemukan dalam hal kepuasan kebutuhan. Dalam kajian belakang ini, terjadi suatu pergeserandari peneliti tentang kebutuhan dan motivasi umum yang terpuaskan dengan kerja ke aktivitas kerja dan hasil kerja. Analisis makna pekerjaan memiliki sejarah panjang dalam filsafat sosial dan akhir-akhir ini dalam ilmu-ilmu sosial. Yang paling terkenal adalah karya Weber (1905/1976) tentang kemunculan kapitalisme bahwa sebagai akibat dogma agama dan etos kerja Protestan. Kajian terakhir paling signifikan (tidak mendukung teori Weber) telah dilaporkan tim Meaning of Working International Research (MOW, 1987). Konsep pemandu dalam proyek ini adalah sentralitas kerja. Didefenisikan sebagai keyakinan umum tentang nilai kerja dalam kehidupan seseorang (MOW, 1987). Untuk menaksir konsep ini, subyek ditanya secara langsung mengenai seberapa penting kerja bagi mereka dan seberapa penting kerja dalam hubungan dengan peran kehidupan lain (waktu senggang, kehidupan komunitas, agama, dan keluarga). Pentingnya bekerja paling bagus diilustrasikan dengan dua temuan. 86% dari seluruh subyek menunjukkan mereka akan tetap bekerja bahkan seandainya mereka punya uang cukup untuk kehidupan di hari tua. Temuan kedua adalah bekerja merupakan bobot kedua di antara lima peran kehidupan, hanya keluarga yang dinilai lebih tinggi ketimbang yang lain. Kajian MOW didasarkan pada suatu model kompleks dengan sentralisasi kerja sebagai inti. Norma sosieti berada di tengah-tengah, keluaran kerja yang dianggap berharga dan tujuan kerja yang dipilih membentuk suatu garis pinggir. Untuk model itu lebih jauh ditambahkan anteseden-anteseden dan konsekuenkonsekuen sentralitas kerja. Norma sosial (yang dapat menunjukkan perbedaanperbedaan lintas budaya) dipandang sebagai dasar untuk evaluasi normatif tentang kerja. Suatu pemilahan dibuat antara penamaan (entitlements, hak bekerja yang bermakna dan menarik) dan kewajiban (obligations, tugas memberi andil bagi masyarakat dengan bekerja). Pentingnya kerja bervariasi antar pekerjaan, dengan skor tertinggi untuk profesional dan terendah untuk pekerja temporer. Pekerja terampil dan

pengangguran memiliki skor tengah pada sentralitas kerja. Kecuali di Belgia dan Amerika Serikat, perempuan memperoleh skor yang secara signifikan lebih rendadibandingkan lelaki, dengan perbedaan gender. Orang Jepang memiliki skor jauh lebih tinggi, suatu temuan yang diharap tim MOW, sedangkan skor paling rendah di Inggris.

MAKALAH PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA tentang PENGARUH BUDAYA TERHADAP ORGANISASI dan KERJA

Oleh : Dhiyan Fuji Rahmi Oktaviani Syarif 508.074 507.076

Dosen Pebimbing: Murisal S.Ag, M.Pd

JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) IMAM BONJOL PADANG 1432 H/ 2011 M

Anda mungkin juga menyukai