Anda di halaman 1dari 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Titrasi Asam Basa Titrasi asam-basa sering disebut juga dengan titrasi netralisasi. Dalam titrasi ini, kita dapat menggunakan larutan standar asam dan larutan standar basa. Pada prinsipnya, reaksi yang terjadi adalah reaksi netralisasi yaitu :

Reaksi netralisasi terjadi antara ion hidrogen sebagai asam dengan ion hidroksida sebagai basa dan membentuk air yang bersifat netral. Berdasarkan konsep lain reaksi netralisasi dapat juga dikatakan sebagai reaksi antara donor proton (asam) dengan penerima proton (basa). Dalam menganalisis sampel yang bersiaft basa, maka kita dapat

menggunakan larutan standar asam, metode ini dikenal dengan istilah asidimetri. Sebaliknya jika kita menentukan sampel yang bersifat asam, kita akan menggunkan lartan standar basa dan dikenal dengan istilah alkalimetri (Zulfikar, 2010). Titrasi asam basa terbagi menjadi 5 jenis yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Asam kuat-Basa kuat Asam kuat-Basa lemah Asam lemah-Basa kuat Asam kuat-Garam dari asam lemah Basa kuat-Garam dari basa lemah

Contohnya titrasi asam kuat-basa kuat yaitu asam klorida (HCl) dan amonium hidroksida (NH4OH). Persamaan reaksinya: HCl + NH4OH Reaksi ionnya: H+ + NH4 OH H2O + NH4 + (Ratisah, 2009) NH4Cl + H2O

Gambar 2.1 Kurva Titrasi Asam Kuat-Basa Lemah (Ratisah, 2009)

2.2 Prinsip Titrasi Asam Basa Titrasi asam basa melibatkan asam maupun basa sebagai titer ataupun titrant. Kadar larutan asam ditentukan dengan menggunakan larutan basa atau sebaliknya. Titrant ditambahkan titer tetes demi tetes sampai mencapai keadaan ekuivalen (artinya secara stoikiometri titrant dan titer tepat habis bereaksi) yang biasanya ditandai dengan berubahnya warna indikator. Keadaan ini disebut sebagai titik ekuivalen, yaitu titik dimana konsentrasi asam sama dengan konsentrasi basa atau titik dimana jumlah basa yang ditambahkan sama dengan jumlah asam yang dinetralkan : [H+] = [OH-]. Sedangkan keadaan dimana titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan warna indikator disebut sebagai titik akhir titrasi. Titik akhir titrasi ini mendekati titik ekuivalen, tapi biasanya titik akhir titrasi melewati titik ekuivalen. Oleh karena itu, titik akhir titrasi sering disebut juga sebagai titik ekuivalen. Pada saat titik ekuivalen ini maka proses titrasi dihentikan, kemudian catat volume titer yang diperlukan untuk mencapai keadaan tersebut. Dengan menggunakan data volume titran, volume dan konsentrasi titer maka bisa dihitung konsentrasi titran tersebut. Titrasi asam basa berdasarkan reaksi penetralan (netralisasi). Salah satu contoh titrasi asam basa yaitu titrasi asam kuat-basa kuat seperti natrium hidroksida (NaOH) dengan asam sulfat (H2SO4 ), persamaan reaksinya sebagai berikut: NaOH(aq) + H2SO4 (aq) Na2SO4 (aq) + H2O(l) (Sriyani,2008)

2.3 Asidi Alkalimetri Asidi-alkalimetri adalah salah satu metode analisis titrasi asam basa. Prinsip dari titrasi ini adalah pembentukan elektrolit lemah seperti air, asam lemah, dan basa lemah. Titrasi ini sangat penting digunakan dalam analisis asam-basa yang belum diketahui jumlah dan konsentrasinya. Biasanya larutan baku primer digunakan dalam titrasi jenis ini. Larutan baku primer adalah larutan yang sudah diketahui dengan tepat konsentrasinya. Sebelum titrasi, titran harus distandardisasi terlebih dahulu. Standardisasi ini dilakukan untuk mengetahui kenormalan titran tersebut. Asidimetri adalah salah satu teknik titrasi yang yang menggunakan asam sebagai titran. Asam yang sering dipakai dalam analisis asidimetri adalah HCl. Asam ini harus distandardisasi dengan larutan baku primer. Larutan baku primer yang sering digunakan untuk standardisasi HCl adalah larutan boraks. HCl harus distandardisasi karena larutan ini mudah menguap dan mudah bereaksi dengan senyawa lain di udara. Alkalimetri adalah titrasi yang menggunakan basa sebagai titran. Basa yang sering dipakai dalam analisis alkalimetri adalah NaOH. Larutan baku primer yang sering digunakan untuk standardisasi NaOH adalah larutan asam oksalat. NaOH perlu distandardisasi karena senyawa ini bersifat higroskopis sehingga mudah mengikat air dan bereaksi dengan CO2 di udara. Satu hal yang perlu diperhatikan pada titrasi asidi-alkalimetri adalah perubahan pH. Titrasi asam basa dapat terjadi antara asam kuat dengan basa kuat, asam kuat dengan basa lemah, asam lemah dengan basa kuat, asam kuat dengan garam dari asam lemah, dan basa kuat dengan garam dari basa lemah. Titik akhir titrasi dapat ditentukan dengan indikator asam basa yang akan berubah warna apabila pH larutan berubah (Mawarda, 2010).

2.4 Cara Mengetahui Titik Ekivalen Ada dua cara umum untuk menentukan titik ekuivalen pada titrasi asam basa. 1. Memakai pH meter untuk memonitor perubahan pH selama titrasi dilakukan, kemudian membuat plot antara pH dengan volume titrant untuk memperoleh kurva titrasi. Titik tengah dari kurva titrasi tersebut adalah titik ekuivalent.

2. Memakai indicator asam basa. Indikator ditambahkan pada titrant sebelum proses titrasi dilakukan. Indikator ini akan berubah warna ketika titik ekuivalen terjadi, pada saat inilah titrasi kita hentikan. Pada umumnya cara kedua dipilih disebabkan kemudahan pengamatan, tidak diperlukan alat tambahan, dan sangat praktis. Indikator yang dipakai dalam titrasi asam basa adalah indicator yang perbahan warnanya dipengaruhi oleh pH. Penambahan indicator diusahakan sesedikit mungkin dan umumnya adalah dua hingga tiga tetes. Untuk memperoleh ketepatan hasil titrasi maka titik akhir titrasi dipilih sedekat mungkin dengan titik ekivalen, hal ini dapat dilakukan dengan memilih indicator yang tepat dan sesuai dengan titrasi yang akan dilakukan. Keadaan dimana titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan warna indicator disebut sebagai titik akhir titrasi (Morie, 2008).

2.5 Indikator Titrasi Jenis jenis indikator titrasi: 1. Lakmus Lakmus adalah asam lemah. Lakmus memiliki molekul yang sungguh rumit yang akan kita sederhanakan menjadi HLit. "H" adalah proton yang dapat diberikan kepada yang lain. "Lit" adalah molekul asam lemah. Ketika dilarutkam ke dalam air, akan terjadi kesetimbangan, seperti berikut: Hlit Merah H+ + Lit biru

Lakmus yang tidak terionisasi adalah merah, ketika terionisasi adalah biru. Dapat digunakan Prinsip Le Chatelier untuk meramalkan bagaimana pergeseran kesetimbangan pada reaksi kesetimbangan di atas, misalnya dengan penambahan ion hidrogen dari larutan asam, atau penambahan ion hidroksida dari larutan basa. Tentu saja, jika ditambahkan larutan asam, maka kesetimbangan bergeser ke kiri karena adanya penambahan ion hidrogen, sehingga lakmus akan berwarna merah. Jika ditambahkan larutan basa, maka kesetimbangan akan bergeser ke kanan, karena jumlah ion H+ berkurang akibat bereaksi dengan ion OH-, sehingga lakmus berwarna biru.

Setelah beberapa selang waktu terjadinya pergeseran posisi kesetimbangan, konsentrasi dari kedua warna akan menjadi sebanding, karena reaksi yang terjadi pada lakmus telah setimbang. Warna yang nanti dilihat merupakan pencampuran dari keduanya. 2. Indikator Metil Jingga (Orange Methyl) Jingga metil adalah salah satu indikator yang banyak digunakan dalam titrasi. Pada larutan yang bersifat basa, jingga metil berwarna kuning. Anda sebaiknya mencari sendiri kenapa terjadi perubahan warna ketika anda menambahkan asam atau basa. Penjelasannya identik dengan kasus lakmus, bedanya adalah warna. Pada kasus jingga metil, pada setengah tingkat dimana campuran merah dan kuning menghasilkan warna jingga terjadi pada pH 3,7 sampai mendekati netral. 3. Phenolpthalein Phenolpthalein adalah indikator titrasi yang lain yang sering digunakan, dan fenolftalein ini merupakan bentuk asam lemah yang lain. Pada kasus ini, asam lemah tidak berwarna dan ion-nya berwarna merah muda terang. Penambahan ion hidrogen berlebih menggeser posisi kesetimbangan ke arah kiri, dan mengubah indikator menjadi tak berwarna. Penambahan ion hidroksida menghilangkan ion hidrogen dari kesetimbangan yang mengarah ke kanan untuk menggantikannya - mengubah indikator menjadi merah muda. Setengah tingkat terjadi pada pH 9,3. Karena pencampuran warna merah muda dan tak berwarna menghasilkan warna merah muda yang pucat, hal ini sulit untuk mendeteksinya dengan akurat (Damanik, 2010).

2.6 Syarat Syarat Indikator yang Baik Indikator adalah suatu senyawa kompleks yang dapat bereaksi dengan asam dan basa. Dengan indikator, kita dapat mengetahui suatu zat bersifat asam dan basa. Indikator juga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kekuatan suatu asam atau basa. Beberapa indikator terbuat dari zat warna alami tanaman, tetapi ada juga beberapa indikator yang dibuat secara sintesis di laboratorium. Indikator yang sering tersedia di laboratorium adalah kertas lakmus karena praktis dan harganya murah. Kita mengenal dua jenis kertas lakmus, yaitu lakmus merah dan biru. Pada larutan

asam, kertas lakmus selalu berwarna merah, sedangkan dalam larutan basa kertas lakmus selalu berwarna biru. Jadi, larutan asam akan mengubah kertas lakmus warna biru menjadi merah dan larutan basa akan mengubah warna lakmus merah menjadi biru. Beberapa jenis tanaman dapat pula dijadikan sebagai indikator. Salah satu tanaman yang dapat pula dijadikan sebagai indikator adalah tanaman bunga hydrangea. Warna bunga hydrangea bergantung pada keasaman tanah. Bunga hydrangea yang berwarna merah muda akan berubah menjadi biru apabila ditanam di tanah yang terlalu asam. Lakmus dan bunga hydrangea merupakan salah satu contoh indikator pH. Syarat dapat tidaknya suatu zat dijadikan indikator asam basa adalah terjadinya perubahan warna apabila suatu indikator diteteskan pada larutan asam dan larutan basa. Untuk menguji sifat asam basa suatu zat selalu digunakan dalam bentuk larutan, karena dalam bentuk larutan sifat pembawaan asam dan basa lebih mudah dideteksi. Berikut adalah indikator pH yang sering kita gunakan di laboratorium. Indikator tersebut menunjukkan perubahan warna larutan pada rentang pH tertentu. Tabel 2.1 Jenis-Jenis Indikator No. 1. 2. 3. 4. 5. Nama Indikator Phenolpthalein Tak berwarna Metil Oranye Metil Merah Bromtimol biru Metil biru Range pH 8,3 10 3,2 4,4 4,8 6,0 6,0 7,6 10,6 13,4 Perubahan Warna Merah Muda Merah Kuning Merah Kuning Kuning Biru Biru Ungu

(Hamdani S, 2010) Salah satu indikator yang memiliki tingkat kepercayaan yang baik adalah indikator universal. Indikator universal adalah indicator yang terdiri atas berbagai macam indikator yang memiliki warna berbeda untuk setiap nilai pH 1-14. Indikator universal ada yang berupa larutan dan ada juga yang berupa kertas. Paket indikator universal tersebut selalu dilengkapi dengan warna standar untuk pH 1-14 (Hamdani, 2010).

2.7 Aplikasi Asidi-Alkalimetri Esterifikasi Asam Lemak Bebas dalam Minyak Jelantah Menggunakan Katalis H-ZSM-5 Mesopori dengan Variasi Waktu Aging Kebutuhan minyak bumi yang semakin besar merupakan tantangan yang perlu diantisipasi dengan pencarian alternatif sumber energi. Minyak bumi merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengkonversi bahan baku minyak bumi menjadi minyak bumi. Peningkatan jumlah konsumsi minyak bumi menyebabkan menipisnya jumlah minyak bumi. Penggunaan BBM yang cenderung meningkat akibat pertumbuhan penduduk dan industri, sementara cadangan minyak yang semakin menipis dan tidak dapat diperbaharui, sangat potensial menimbulkan krisis energi pada masa yang akan datang. Biodiesel merupakan salah satu solusi dari berbagai masalah tersebut. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti minyak diesel yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Biodiesel mudah digunakan, bersifat biodegradable, tidak beracun, dan bebas dari sulfur dan senyawa aromatik. Selain itu, biodiesel mempunyai nilai flash point (titik nyala) yang lebih tinggi dari petroleum diesel sehingga lebih aman jika disimpan dan digunakan. Minyak goreng sisa dapat digunakan sebagai bahan dasar biodiesel melalui reaksi esterifikasi. Minyak jelantah tergolong sebagai limbah organik yang banyak mengandung senyawa hidrokarbon, bila terdegradasi dilingkungan akan meningkatkan keasaman lingkungan,

menimbulkan bau yang tidak sedap, akibatnya hanya mikroorganisme yang merugikan bagi manusia. Geraldo dkk, (2008) di dalam penelitiannya bahwa reaksi esterifikasi pada umumnya membutuhkan katalis asam. Penggunaan katalis heterogen lebih banyak diaplikasikan di industri karena dapat direcovery yang akhirnya dapat menekan biaya pengeluaran. Chung dkk, (2008) juga menjelaskan bahwa katalis H-ZSM-5 merupakan katalis asam heterogen yang telah banyak digunakan pada industri petroleum, karena memiliki keselektifan, kereaktifan dan keasaman yang tinggi. Reaksi esterifikasi minyak jelantah melibatkan molekul yang memiliki ukuran besar (bulk), sehingga membutuhkan katalis yang memiliki ukuran pori yang besar. Pada penelitian ini digunakan katalis H-ZSM-5 mesopori dengan variasi waktu aging untuk mengetahui aktivitasnya pada konversi FFA minyak jelantah. H-ZSM-5

dengan ukuran pori meso dapat meningkatkan aktivitas pada konversi FFA minyak jelantah dalam reaksi esterfikasi. Hal ini dikarenakan, molekul yang memiliki ukuran besar dapat menyentuh situs aktif dalam pori-pori katalis. Katalis yang digunakan di dalam penelitian ini berasal dari Na-ZSM-5 yang disintesis oleh Purbaningtias (2010) dengan variasi waktu aging. Karakterisasi dilakukan setelah mendapatkan hasil sintesis adalah XRD, luas permukaan adsorpsi nitrogen, SEM serta FTIR untuk mengetahui struktur serta sifat katalis Na-ZSM-5. Pertukaran ion menjadi H-ZSM-5 harus dilakukan terlebih dahulu untuk memperoleh katalis asam yang digunakan dalam uji katalitik esterifikasi asam lemak bebas dalam minyak jelantah. Selanjutnya, dilakukan uji katalitik esterifikasi asam lemak bebas dalam minyak jelantah untuk mengetahui adanya pengaruh karateristik serta sifat katalis H-ZSM-5 dengan variasi waktu aging. Prosentase asam lemak bebas (FFA) ditentukan menggunakan metode titrasi asam basa. Langkah pertama dilakukan pembuatan larutan standard primer, yaitu asam oksalat (standard primer) ditimbang seberat 0.63035 gram kemudian ditambah dengan aqua DM sampai tanda batas yang dicampur di dalam labu ukur 100 mL (didapatkan konsentrasi 0,1 N), setelah itu diencerkan kembali menjadi 0,001 N dengan dimasukkannya larutan asam oksalat 0,1 ke dalam labu ukur 100 mL lalu diencerkan dengan aquades sampai tanda batas yang mana diperoleh normalitas dari asam oksalat 0.001N. Setelah itu, dilanjutkan standarisasi NaOH dengan cara

padatan NaOH diambil kemudian ditimbang seberat 0.4 gram lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL setelah itu diencerkan sampai tanda batas menggunakan aquades (NaOH 0,1 N). Langkah selanjutnya, larutan NaOH ini diambil sebanyak 2,5 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 250 mL lalu ditambah dengan aqua DM sampai tanda batas ke dalamnya maka didapatkan normalitas NaOH 0,001 N. Langkah berikutnya yaitu mentitrasi 10 mL larutan asam oksalat 0,001 N yang terdapat di dalam erlenmeyer yang mana sebelumnya telah ditambahkan indicator phenolptalein sebanyak 2 tetes, titrasi ini dilakukan secara triplo. Indikasi berhentinya titrasi terjadi perubahan warna awal bening menjadi merah muda bening pada larutan asam oksalat. Langkah terakhir menentukan jumlah keasaman FFA dengan menggunakan titrasi alkalimetri, sebagai berikut sampel ditimbang seberat 10 gram kemudian ditambah dengan isopropanol sebanyak 25 mL yang sudah

dinetralkan dengan menggunakan NaOH 0.001 N setelah itu ditambah 5 tetes indikator pp lalu dititrasi dengan menggunakan NaOH 0.001 N sampai warna berubah menjadi warna merah muda bening (Auruma, 2011). Mulai Ditimbang 0,63035 asam oksalat Ditambahkan aquadest sampai 0,1 N lalu diencerkan lagi menjadi 0,001 N Ditimbang 0,4 gram NaOH Ditambahkan aquadest sampai konsentrasi 0,1 N Diambil 2,5 ml NaOH lalu ditambah aquadest sampai 0,001 N

Ditambahkan 2 tetes indikator PP ke dalam oksalat 0,001 N, dititrasi triplo dengan NaOH 0,001 N Ditimbang 10 gram sampel

Ditambah 25 ml isopropanol yang telah dinetralkan dengan NaOH 0,001 N Ditambah 5 tetes indikator PP lalu dititrasi dengan NaOH 0,001 N sampai merah muda bening Selesai

Gambar 2.2 Flowchart Perhitungan Presentase dan Jumlah Keasaman Asam Lemak Bebas (Auruma, 2011)

Anda mungkin juga menyukai