Anda di halaman 1dari 13

Kesantunan Berbahasa dalam Senjang Muba1

Oleh: Nurlela2

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan sebagai penentu kesantunan linguistik tuturan imperatife pada Senjang daerah Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif, teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak dan teknik catat. Teknik penyajian data yakni menggunakan teknik pilah yang merupakan lanjutan dari teknik simak dan catat. Data penelitian ini bersumber dari kumpulan senjang Musi Banyuasin di buku Kompilasi Sastra Tutur Sumatera Selatan. Kalimat imperatife yang ditemukan dalam kumpulan senjang Muba yakni jangan, minta, mudah-mudahan. Ungkapan-ungkapan yang berhasil ditemukan ada dua yakni penanda kesantunan tolong dan mohon sebagai penentu kesantunan linguistik tuturan imperatif. Kata-kata Kunci: kesantunan, imperatif, dan senjang

1. Pendahuluan
1 2

Artikel dalam Mata Kuliah Bahasa Daerah Semester Ganjil 2011-2012 Mahasiswa Program Studi Pendidikan dan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Unsri Palembang

Karya sastra merupakan hasil pemikiran dan cerminan dari sebuah budaya kelompok masyarakat mana saja yang memiliki kebudayaan, oleh karena itu dalam karya sastra banyak menceritakan tentang interaksi manusia dengan manusia dan lingkunganya. Karya sastra juga merupakan salah satu ungkapan rasa estetis dari seorang pengarang terhadap alam sekitarnya. Karya sastra merupakan suatu karya imajinatif dari seorang yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Karya sastra juga banyak memberikan gambaran kehidupan sebagai mana yang diingingkan oleh pengarangnya sekaligus menunjukkan sosok manusia sebagai insan seni yang berunsur estetis dominan. Pembagian jenis karya sastra terdiri dari tiga, salah satunya adalah puisi. Puisi merupakan ungkapan pikiran dan perasaan yang tersusun dalam sebuah bait, yang terdiri dari beberapa baris, mempunyai rima dan irama dengan memperhatikan pemilihan kata dan bunyi. Menurut MeCaulay dan Hudson (dalam Aminuddin, 2004: 134) mengemukakan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya. Sedangkan menurut Muljana (dikutip dalam Nurjanah, 2010: 16), menyatakan Puisi adalah bentuk kesastraan yg menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya. Puisi terbagi lagi menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah pantun. Pantun merupakan karya seni yang erat hubungannya dengan bahasa dan jiwa. Tersusun dengan kat-kata yang baik sebagai hasil curahan lewat media tulis yang bersifat imajinatif oleh pengarangnya untuk menyoroti aspek kehidupan yang dialaminya. Senjang merupakan salah satu bentuk puisi rakyat yang terdapat di daerah Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Senjang berbentuk pantun, terdiri dari enam, delapan, atau sepuluh baris setiap baitnya. Jika terdiri dari dari enam baris, baris pertama sampai ketiga adalah sampiran, baris keempat sampai keenam merupakan isi, jika terdiri dari delapan baris maka pembagiannya empat sampiran dan empat isi, dan seterusnya yang menyerupai talibun. Bentuk senjang terdiri dari pembukaan, isi dan penutup. Pada pembukaan senjang, biasanya berisi tentang permohonan izin bersenjang. Pada isi antara bait pertama dengan bait berikutnya merupakan satu kesatuan, seperti pantun berkait. Senjang biasanya berisi

tentang nasihat atau sindiran terhadap sesuatu. Selain itu, senjang dapat mengandung ungkapan perasaan, seperti rasa cinta, sedih, kecewa atau tentang hidup dan kehidupan. Bagian penutup biasanya berisi permohonan maaf dan pamit pesenjang. Senjang sebagai wujud dari puisi rakyat, yakni berbentuk pantun merupakan bentuk karya sastra yang dapat diteliti dalam kajian sosiolinguistik. Dalam setiap tuturan pada senjang terdapat kesantunan berbahasa yang terlihat dalam kosa kata ataupun kalimatnya. Dalam senjang Musi Banyuasin terdapat kosa kata atau kalimat tertentu yang mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan suatu sebagaimana diinginkan penutur, yang dalam hal ini disebut kalimat imperatife. Salah satu contoh kalimat imperatife dalam senjang yakni permintaan izin yang biasanya permohonan maaf bila ada kata yang salah, yang biasanya terdapat pada pembukaan senjang. Contohnya yakni cobo-cobo kami nak besenjang, entahke pacak entah dak, kepalang kami telanjur senjang, kalu salah tolong maaf ke Coba-coba kami ingin bersenjang, bersenjang entah bisa entah tidak, kepalang kami terlanjur senjang, kalau salah tolong maafkan. Adapun kalimat imperatife ajakan yang biasanya terdapat pada isi senjang, contohnya yakni kala adek bajo linjang, jangan sampai telanjur, kalu rusak lagi budak, alamat idop dak samparno kalau adik belajar pacaran, jangan sampai terlanjur, kalau ternoda sejak muda, alamat hidup tidak sempurna. Secara linguistik, kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatife, sangat ditentukan oleh muncul tidaknya ungkapan-ungkapan penanda kesantunan. Dari bermacam-macam penanda kesantunan itu dapat disebutkan beberapa, yakni tolong, mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba, harap, sudi kiranya, hendaklah, -lah, dan sebagainya. Contoh penggunaan ungkapan mohon sebagai penentu kesantunan linguistik tuturan imperatife yakni kami senjang berenti dulu, adat karene habis pokok, kami ucapke terime kaseh, maapke bae kate yang salah kami bersenjang berhenti dulu, karena habis persediaan, kami ucapkan terima kasih, mohon maafkan kata yang salah. Penelitian ini sangat penting untuk diangkat, karena senjang itu sendiri merupakan puisi rakyat daerah Musi Banyuasin yang dari dulu sampai sekarang masih dipakai oleh masyarakatnya. Isi dari senjang itu sendiri berupa nasihat, sindiran ataupun ungkapan perasaan yang menandakan bahwa budaya masyarakat daerah Musi Banyuasin dalam

memberi nasihat maupun ungkapan tidak secara langsung melainkan melalui sebuah senjang. Sehingga menandakan kesantunan dalam berbahasa di masyarakat tutur daerah Musi Banyuasin. Penelitian ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan bagi pengajar maupun pembelajar serta sebagai penggali kebudayaan di daerah Sumatera Selatan, khususnya daerah Musi Banyuasin.

2. Kajian Teori
2.1 Senjang
2.1.1 Apa itu senjang Senjang adalah salah satu bentuk media seni budaya yang menghubungkan antara orang tua dengan generasi muda atau dapat juga antara masyarakat dengan Pemerintah didalam penyampaian aspirasi yang berupa nasehat, kritik maupun penyampaian strategi ungkapan rasa gembira 2.1.2 Mengapa disebut Senjang Disebut senjang karena antara lagu dan musik tidak saling bertemu, artinya kalau syair berlagu musik berhenti, kalau musik berbunyi orang yang bersenjang diam sehingga keduanya tidak pernah bertemu. Itulah yang disebut senjang. 2.1.3 Asal Usul Senjang Kesenian senjang yang merupakan salah satu kesenian khas masyarakat Kabupaten Musi Banyuasin bermula disalah satu kecamatan yang ada diwilayah Kabupaten Musi Banyuasin yaitu Kecamatan Sungai Keruh. Dikecamatan ini lah pertama kali kesenian senjang dipopulerkan, kemudian mulai dikembangkan ke Kecamatan Babat Toman antara lain Desa Mangun Jaya. Kecamatan Sanga Desa antara lain Desa Ngunang, Nganti, Sanga Desa dan terus ke Kecamatan Sekayu. Karena itu irama Senjang dari tiaptiap Kecamatan tersebut tidak sama. 2.1.4 Bentuk Senjang Bila ditinjau dari bentuknya, senjang tidak lain dari bentuk puisi yang berbentuk pantun (Talibun). Oleh sebab itu, jumlah Liriknya dalam satu bait selalu lebih dari empat

baris. Satu keistimewaan dari kesenian senjang ini adalah penyajiannya yang kompleks sehingga menarik. Dikatakan kompleks karena penyajianya selalu dinyanyikan dan diiringi dengan musik. Akan tetapi, ketika pesenjang melantunkan senjangnya musik berhenti. Pesenjang biasanya menyanyi sambil menari. Ia dapat membawakan senjang itu sendirian tetapi tidak jarang pula pesenjang tampil berdua. Walaupun irama senjang ini pada umumnya monoton, tetapi juga mengajak audiens terlibat sekaligus terhibur. Penampilan senjang tampaknya mengalami perkembangan. Pada zaman dahulu, musik pengiring senjang adalah musik tanjidor. Seiring dengan perkembangan permusikan dewasa ini, tanjidor sudah nyaris langkah digunakan, tetapi penggantinya adalah musik melayu atau organ tunggal. Pada zaman dahulu, penutur senjang biasanya menciptakan senjangnnya secara spontan, sehingga tema yang akan disampaikan disesuaikan dengan suasana yang dihadapinya. Akan tetapi, sekarang kepandaian senjang serupa itu sudah sangat langkah. Pesenjang biasanya menyiapkan senjangnya jauh hari sebelumnya. Bahkan sering terjadi pesenjang menuturkan senjangnya dengan melihat teks yang telah dipersiapkan. Ikatan senjang juga memiliki pola tersendiri. Sebuah senjang biasanya terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama merupakan bagian pembuka. Bagian kedua merupakan isi senjang yang akan disampaikan. Bagian ketiga merupakan bagian penutup yang biasanya berisi permohonan maaf dan pamit dari pesenjang. Bagian pembuka senjang dapat dilihat dari contoh berikut: Coho - cabo maen gelumbang Entahke padi entah dedak Bemban burung pulo lalang Untuk bahan muat keranjang Cobo - cobo kami nak basenjang Entahke pacak entah dak Kepalang kami telanjur senjang Kalu salah tolong maaf ke Contoh bagian isi senjang : Kalu adek ke Palembang Jangan lali ngunde tajur Kalau adik ke Palembang Jangan lupa membawa Tajur Coba - coba main gelombang Entahkah padi entah dedak Bemban burung pulau lalang Untuk bahan membuat keranjang Coba - coba kami ingin bersenjang Entah bisa entah tidak Kepalang kami telanjur senjang Kalau salah tolong ma'afkan.

Tajur pasang di Sekanak Bawa batang buah Banono Kala adek bajo linjang Jangan sampai talanjur Kalu rusak lagi budak Alamat idop dak samparno Contoh bagian penutup senjang: Kalu nak pegi ke Karang Waru Singgah tegal di Jerambah Pogok Tengah jalan ke Rantau Kasih Nak pegi ke dusun ulak Kami senjang barenti dulu Adat karena abis pokok Kami ucapke terime kaseh Maap ke bae kate yang salah 2.1.5 Fungsi Senjang

Tajur pasang di Sekanak Bawah pohon buah Banono Kalau adik belajar pacaran Jangan sampai terlanjur Kalau ternoda sejak muda Alamat hidup tidak sempurna

Kalau akan pergi ke Karang waru Singgah sejenak di jembatan Pogok Ditengah jalan ke Desa Rantau Kasih Hendak pergi ke Desa Ulak Kami bersenjang berhenti dulu Karena habis persediaan Kami ucapke terima kasih Mohon Ma'af kan kata yang salah

Bila dilihat dari penampilan dan isi yang terdapat didalam sebuah senjang, tampak ada beberapa fungsi yang terdapat didalamnya. Fungsi I, adalah untuk menghibur. Fungsi ini dapat dirasakan ketika senjang itu akan ditampilkan. Mengapa demikian? ini disebabkan oleh penampilan senjang selalu diiringi oleh musik yang dinamis. Musik dan penuturan senjang tampil secara bergantian. Sebelum bagian pembuka ada musik yang mengiringinya. Antara bagian pembuka dan bagian isi juga diselingi dengan musik. Antara bagian isi dan bagian penutup pun diselingi oleh musik. Pada bagian akhir musik akan muncul lagi. Walaupun irama musiknya yang itu - itu juga, penonton akan merasa terhibur. Fungsi II adalah untuk menyampaikan nasihat (didaktis). Nasihat ini tidak hanya ditujukan kepada anak-anak, tetapi juga ditujukan kepada para remaja bahkan orang tua. Oleh sebab itu senjang sering dituturkan pada pesta keluarga seperti pesta perkawinan, khitanan dan lain-lain. Pada kesempatan ini semua keluarga baik tua maupun muda, dewasa maupun anak-anak berkumpul. Dengan demikian, semua usia tadi dapat mengikuti penuturan senjang itu. Pesan moral yang dituturkan oleh pesenjang dengan bernyanyi sambil menari itu cukup menghibur dan tidak terkesan menggurui.

Fungsi III adalah sebagai alat kontrol sosial dan politik Fungsi ini terutama sekali terlihat ketika senjang dituturkan pada acara yang dihadiri pejabat, baik acara pemerintahan maupun acara kekeluargaan. Akan tetapi, karena format penyampaiannya selalu didahului dengan permohonan izin dan maaf dan diakhiri pula dengan permohonan pamit dan maaf. Serta diiringi dengan musik dan tari yang dilakukan pesenjang, kontrol, kritik yang disampaikan oleh pesenjang itu menjadi enak didengar, tidak membuat pihak yang dikontrol atau dikritik tersinggung. Senjang mengkritik tetapi tidak menyakiti, mengontrol tetapi tidak menghujat pihak yang dikritiknya. (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2007: 610)

2.2 Ungkapan-ungkapan Penanda Kesantunan sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatife
2.2.1 Pengertian Kesantunan Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut tatakrama. Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya. Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain.

Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah. Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya. Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa). (Muslich, 2006: 1) 2.2.2 Prinsip Kesantunan Leech Leech (dikutip Indrawati, 2000: 163-164) mengemukakan maksim-maksim atau prinsipprinsip kesantunan sebagai berikut: 1) Maksim kearifan a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin. b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. 2) Maksim kedermawanan a. Buatlah keuntungan diri sekecil mungkin. b. Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. 3) Maksim pujian a. Kecamlah orang lain sedikit mungkin. b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin. 4) Maksim kerendahan hati a. Pujilah diri sendiri sedikit mungkin. b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. 5) Maksim kesepakatan a. Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan lain terjadi sedikit mungkin. 6) Maksim simpati a. Kurangilah rasa antipasti diri dan lain hingga sekecil mungkin.

b. Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain. Senada dengan teori Leech, Wijana (1996: 5561) menyatakan bahwa dalam berkumunikasi juga harus menerapkan prinsip kesopanan atau kesantunan dengan keenam maksimnya, yaitu: 1) maksim kebijaksanaan yang mengutamakan kearifan bahasa, 2) maksim penerimaan yang menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, 3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, 4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, 5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan 6) maksim kesimpatiaan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain. Rahardi (2005: 59-60) sependapat juga dengan teori Leech, yang menyatakan bahwa Prinnsip kesantunan Leech terdiri dari enam maksim yakni: 1) Maksim Kebijaksanaan Kurangi kerugian orang lain. Tambahi keuntungan orang lain. 2) Maksim Kedermawanan Kurangi keuntungan sendiri. Tambahi pengorbanan sendiri. 3) Maksim Penghargaan Kurangi cacian pada orang lain. Tambahi pujian pada orang lain. 4) Maksim Kesederhanaan Kurangi pujian pada diri sendiri. Tambahi cacian pada diri sendiri. 5) Maksim Permufakatan Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.

Tingkatkan persesuian antara diri sendiri dengan orang lain. 6) Maksim Simpati Kurangi antisipasi antara diri sendiri dengan orang lain. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. 2.2.3 Kalimat Imperatif Kalimat imperatif merupakan kalimat yang mengandung maksud memerintah atau meminta agaar mitra tutur melakukan suatu sebagaimana yang diinginkan penutur. Kalimat imperatif dapat berkisar antara suruhan yang sangat keras sampai permohonan yang sangat halus atau santun. Menurut Rahardi (2005: 79), kalimat imperatif dapat diklasifikasikan secara formal menjadi lima macam, yakni kalaimat imperatif biasa, permintaan, pemberian izin, ajakan dan kalimat imperatif suruhan. 2.2.4 Ungkapan Penanda Kesantunan sebagai Penanda Kesantunan Linguistik Menurut Rahardi (2005: 125), secara linguistik, kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif pada bahasa sangat ditentukan oleh muncul tidaknya ungkapanungkapan penanda kesantunan. Beberapa penanda kesantunan yakni seperti mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba, harap, hendaknya, hendaklah, -lah, sudi kiranya, dsb.

3. Metode dan Teknik


3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif.

3.2 Teknik Pengumpulan data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pilah. Dari data yang ada, yakni berupa kalimat imperatif pada senjang Musi Banyuasin, dipilah

mana yang termasuk kalimat imperatif dan ada tidaknya kosa kata penanda kesantunan sebagai penentu kesantunan linguistik imperatif.

3.3 Objek Penelitian


Dalam penelitian ini peneliti menggunakan objek berupa kalimat yang termasuk dalam kalimat imperatife yang ada pada senjang Musi Banyuasin yang menggunakan bahasa Musi.

3.4 Sumber Data


Data dalam penelitian ini bersumber dari kumpulan senjang Kabupaten Musi Banyuasin dalam buku Kompilasi Sastra Tutur Sumatera Selatan. Adapun jumlah senjang yang ada pada buku kompilasi ini yakni terdiri dari tiga senjang. Pertama senjang yang dituturkan oleh sepasang muda-mudi, kedua senjang yang dituturkan oleh orang tua yang dibawakan sendirian, dan ketiga senjang yang dituturkan oleh orang muda.

3.5 Teknik Analisis Data


3.5.1 Identifikasi 3.5.2 Klasifikasi 3.5.3 Analisis 3.5.4 Kesimpulan

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Kalimat imperatif pada kumpulan senjang Muba yang ada pada buku Kompilasi Sastra Tutur Sumatera Selatan terdapat pada ketiga jenis senjang, yakni pada senjang yang dituturkan muda-mudi, senjang yang dituturkan oleh orang tua, dan senjang yang dituturkan oleh orang muda. Pertama terdapat pada senjang yang dituturkann oleh mudamudi yakni juare jangan juare igek nakal jangan terlalu nakal, imat ke bae didalam hati simpan saja didalam hati, kami mintek jadi kenangan kami minta jadi kenangan, sekirek salah jangan basurak sekira salah jangan bersorak. Kedua, terdapat pada senjang yang dituturkan orang tua yakni mudah-mudahan rakyat setuju mudah-mudahan masyarakat setuju.

Dari hasil penelitian, dapat ditentukan bahwa ungkapan-ungkapan penanda kesantunan sebagai penentu kesantunan linguistik tuturan imperatif yang terdapat dari kumpulan sejang Musi Banyuasin yakni dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni: 4.1 Penanda Kesantunan Tolong pada Senjang Musi Banyuasin sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif Dengan menggunakan kata tolong penutur dapat memperhalus maksud tuturan imperatif. Seperti pada senjang muda-mudi yang terdapat pada pembukaan senjang terdapat kalimat imperatif Kalu salah tolong maaf ke kalau salah tolong maafkan. 4.2 Penanda Kesantunan Mohon pada Senjang Musi Banyuasi sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif Dengan menggunakan kata mohon penutur dapat memperhalus maksud tuturan imperatif. Seperti pada senjang muda-mudi yang terdapat pada penutupan senjang terdapat kalimat imperatif Maap ke bae kate yang salah mohon maafkan kata yang salah.

5. Penutup
5.1 Kesimpulan 5.2 Saran

Daftar Pustaka

Aliana, Zainul Arifin. 2003. Bahasa Daerah: Beberapa topik. Palembang: Universitas Sriwijaya. Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 2007. Kompilasi Sastra Tutur Sumatera Selatan. Sumatera Selatan. Percetakan dan Penerbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan. Muslich, Masnur. 2006. Kesantunan Berbahasa. http://researchengines.com/1006masnur2.html. Diakses tanggal 2 November 2011. Nurjana.2010.keefektifan pendekatan kontektual dalam pembelajaran sastra di SMA (penelitian eksperimen di SMA Metodist 4 Talang kelapa).Tesis. Palembang: Fkip Universitas Sriwijaya. Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Wijana, I. Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Indra, Sri. 2000. Kesantunan Direktif dalam Berbahasa Indonesia. Lingua Jurnal Bahasa dan Sastra. 1 (2): 160172.

Anda mungkin juga menyukai