Anda di halaman 1dari 10

INSTITUSIONALISASI MASYARAKAT ISLAM AWAL Ira M. Lapidus Weber mewariskan tantangan khusus bagi kajian peradaban Islam.

Islam bukanlah agama dunia yang dia kaji secara mendalam. Buku Turner1 telah memperlihatkan kalau pendapat Weber tentang Islam sangat terbatas dan terceraiberai. Anggapan Weber tentang Islam sebagai agama prajurit, tentang keadilan para qadi atau tentang patrimonalisme dalam masyarakat Islam adalah keliru karena anggapan-anggapan itu tidak dibangun dengan layak dan karena itu merupakan gambaran yang menyesatkan tentang masyarakat dan agama Islam. Dari pada mencoba membahas masyarakat Islam dari sudut pandang Weber atau mengkritisi Weber dari sudut pengetahuan kita sekarang, kita kiranya perlu melewati pendapatpendapat khususnya dan memanfaatkan bangunan konsep-konsep dan tipe-tipe idealnya yang luar biasa yang telah dia kembangkan ketika melakukan studi perbandingan terhadap berbagai peradaban. Tujuan kita adalah untuk memperoleh gambaran sendiri tentang peradaban Islam dalam sudut pandang Weberian. Bagi para pengkaji masyarakat Islam, sumbangan terpenting Weber tidak terletak pada pendapatnya tentang Islam, melainkan pada konsep-konsep seperti bentuk-bentuk dominasi dan legitimasi politik; kajiannya tentang kharisma, administrasi patrimonial dan birokratis; sosiologi agamanya, dan konsepnya tentang orientasi keagamaan yang ke-dalam-dunia dan ke-luar-dunia, dan kesesuaian konsep ini dengan kelompok-kelompok status yang berbeda-beda. Saya memang tidak menyebut seluruh konsep penting Weber, namun saya sengaja tidak memasukkan ke dalam daftar ini kajian komparasi Weber tentang mengapa kapitalisme berkembang di tengah masyarakat Eropa, tapi tidak di tengah masyarakat nonEropa. Aspek karyanya ini memang memberikan sinar terang bagi Eropa, namun saya kira akan keliru jika membiarkan masalah yang terkait dengan Eropa menentukan pertanyaan-pertanyaan yang dipakai untuk mengkaji masyarakat nonEropa. Kita harus menganalisis masyarakat-masyarakat ini berdasarkan institusiinstitusi dan etos-etos mereka sendiri ketimbang berkonsentrasi pada perbedaan yang relevan dari masyarakat kapitalis atau masyarakat barat. Maka yang ingin saya lakukan sekarang adalah menghindari pertanyaan Weber terkait perbandingan masyarakat Islam dan masyarakat barat, namun pada saat yang sama tetap memanfaatkan bangunan konsep-konsepnya untuk menganalisis masyarakat Islam awal. Saya akan mulai dengan secara singkat menentukan batas-batas pembahasan saya di sini. Apa yang saya maksud dengan institusionalisasi Islam adalah transformasi (perubahan) masyarakat Timur Tengah akibat suatu gagasan keagamaan gagasan keagamaan yang dipahami berfungsi dan hanya bisa dipahami ketika dia memang berfungsi di dalam satu latar historis tertentu. Institusionalisasi adalah proses di mana suatu visi keagamaan yang diwakili oleh elit-elit tertentu memberi bentuk kepada keyakinan keagamaan, organisasi komunal, rezim politik pendek kata, kepada identitas masyarakat. Dari sudut pandang ini, proses awal institusionalisasi masyarakat Islam terjadi dalam beberapa fase yang berurutan dan di wilayah geografis yang berbeda1

beda selama satu periode yang panjang. Fase pertama tentu saja adalah pembentukan komunitas Muslim Arab di bawah otoritas kenabian Nabi Muhammad; fase kedua adalah pembentukan masyarakat Islam Timur Tengah yang lebih luas di wilayah yang ditaklukkan oleh bangsa Arab. Institusionalisasi Islam di arena yang lebih luas ini terjadi dalam dua sub-periode historis periode kekhalifahan sampai pada pertengahan abad kesepuluh dan periode era Bani Saljuk atau kesultanan sekitar tahun 1400. (proses institusionalisasi ini dikatakan awal karena dia mendahului proses rekunstruksi masyarakat Islam selanjutnya antara abad ketiga belas [1400-1800] dan abad kesembilan belas dan dua puluh.) Islam Arab Fase pertama institusionalisasi Islam tentu saja berupa pembangunan komunitas Muslim di Makkah dan Madinah di bawah naungan Nabi Muhammad. Fase ini mewakili proses pembentukan suatu komunitas besar yang berdasarkan agama yang berfungsi sebagai kekuatan pemersatu di dalam sebuah masyarakat yang berdasarkan silsilah. Nabi dan para sahabatnya adalah elit yang mengubah masyarakat yang terkotak-kotak dan mendorongnya agar bisa mendukung proses mediasi antar kelompok-kelompok silsilah, regulasi ekonomi, pembentukan negara, pembaharuan moral sementara tetap memperkokoh struktur dasarnya yang berbasis silsilah. Keberadaan dua level secara serentak, yakni level segmentaris dan organisasi keagamaan, menghasilkan suatu sistem nilai yang kompleks. Pada level profetis dan visioner, Quran pada dasarnya memperkenalkan konsep realitas transenen yang berlawanan dengan nilai-nilai kebudayaan kesukuan. Kemuliaan kelompok kesukuan yang didasarkan pada keluasan wilayah kekuasaan serta arete (kebajikan-kebajikan) prajurit dilawan Islam dengan komunitas yang didasarkan persaudaraan religius serta kerendahhatian, kejujuran, dan pengekangan diri. Namun, struktur dasar kekeluargaan dan silsilah masyarakat Arab tetap menjadi bagian masyarakat Islam; keutamaan-keutamaan pagan (zaman jahiliah) tetap dipertahankan dengan cara dimuat dengan makna baru sebagai etika Islam; dan identitas badui tetap bertahan di samping loyalitas Islam. Dengan demikian, etos masyarakat Islam awal di tanah Arab sejak semula sudah merupakan campuran rumit berbagai level transendensi keagamaan, modifikasi atas realitas duniawi, dan penerimaan atas peradaban badui Arab non-Islam. Dalam wujudnya yang pertama ini, isi Islam menjadi model bagi seberapa radikal sebenarnya nilai-nilai keagamaan dan dorongan-dorongan sektarian berfungsi dalam masyarakat yang didasarkan pada silsilah dan kesukuan.2 Masyarakat Islam Timur Tengah Pembentukan komunitas muslim di tanah Arab bermuara pada penaklukan yang dilakukan bangsa Arab dan pada fase kedua proses institusionalisasi Islam pembentukan masyarakat Islam di Timur Tengah yang lebih luas. Fase ini ditandai dengan kelahiran prototipe negara Islam, diferensiasi internal komunitas muslim ke dalam sejumlah elit dan perkumpulan religio-politis, pembentukan komunitas Islam yang bersifat parokial, dan lahirnya bermacam-macam orientasi terhadap kenyataan dunia. Dalam fase ini, proses institusionalisasi Islam lebih lanjut terjadi, bukan
2

dalam latar masyarakat padang pasir atau oasis, melainkan dalam latar peradaban pertanian, perdagangan, perkotaan, monoteistik dan kerajaan. Secara sederhana, kita dapat membayangkan bahwa di awal kelahiran era Islam, masyarakat Timur Tengah yang lebih luas ditata berdasarkan beberapa level. Secara mendasar, komunitas lokal-parokial yang tak terhitung jumlahnya yang terbentuk di sekitar kelompokkelompok yang didasarkan pada faksi, silsilah, kesukuan atau desa. Komunitaskomunitas ini disatukan oleh pertukaran pasar, dan oleh berbagai perkumpulan keagamaan Yahudi, Kristen atau Zoroaster. Jejaring ekonomi dan perkumpulan keagamaan dengan skala yang lebihbesar ini pada gilirannya berada di bawah payung kerajaan Sasanid dan Bizantium. Yang memperkenalkan visi dan komunitas Islam kepada masyarakatmasyarakat ini adalah dua elit khalifah dan kekhalifahan sebagai sebuah institusi, serta ulama atau ilmuwan religius Islam dan para sufi (wali yang suci). Masingmasing elit ini berusaha menanamkan nilai dan identitas Islam ke dalam peradaban yang sebelumnya telah kompleks dan mencoba membentuk ulang peradaban tersebut agar sesuai dengan etos dan kepentingan mereka. Maka khalifah yang bertindak di level negara berusaha mengubah institusi kerajaan yang telah ada menjadi apa yang kita sebut dengan negara Islam. Ulama dan kaum sufi yang bergerak di tengah populasi massa berusaha membentuk perkumpulan-perkumpulan komunal atau sektarian Islam, dan mencoba menyatukan simbol-simbol dan identitas-identitas Islam ke dalam kolektivitas-kolektivitas yang telah ada. Yang ingin saya lakukan secara ringkas di titik ini adalah mencoba memandang proses institusionalisasi Islam di tingkat negara, perkumpulan keagamaan dan tingkat parokial, dan membahas proses institusionalisasi Islam itu sebagai sebuah proses yang rumit yang melibatkan berbagai formasi struktur sosial, identitas dan etos Islam. Sedari awal jelaslah kalau Islam bukanlah agama prajurit, bahkan Islam bukanlah sebuah agama yang tunggal yang dianut di tengah lingkungan yang tunggal, namun merupakan satu peradaban dunia yang merepresentasikan pandangan religius dan etika sosial yang sangat luas. Negara Islam Proses instutisionalisasi Islam pada level Negara pendirian bentuk-bentuk negara Timur Tengah yang bersifat Islami adalah hasil kerja para khalifah yang merupakan symbol identitas ummat Islam dan pengemban cita-cita umat islam dalam mengubah dunia atas nama kebenaran. Dari akhir abad kesembilan sampai abad kesebelas, lahir sebuah teori yang mendefinisikan kualitas pribadi seseorang dan cara-cara pemilihan kharismatik yang mampu melindungi umat muslim. Ini merupakan pemimpin ideal yang di impikan. Meskipun dalam prakteknya khalifah belum mampu menciptakan perubahan untuk dunia; meskipun mereka menaklukan Negara dengan senjata, system kerajaan merupakan monarchi, pemimpin mempunyai hak yang istimewa. Mereka menguasai kebudayaan istana yang memberi identitas Islam kepada rezim kekuasaan mereka, tetapi satu versi Islam berasal dari konsep-konsep kerajaan Bizantium dan sasanic yang menekankan kekuasaan patrimonial khalifah dan legitimasi elite yang berkuasa. Aspek-aspek historis dan syair berbahasa Arab dari kebudayaan istana meneyediakan konsep kepemimpinan politik yang bersifat

etnish-patrimonial; kesenian dan arsitektur golongan istana mewarisi symbolsimbol kerajaan Bizantium dan sasanic; filsafat helenistik memberikan justifikasi universal bagi kekuasaan kerajaan. Maka, walaupun kekhalifahan adalah penerus ideal dari nabi dan oleh Karen itu merupakan suatu institusi yang akan melampaui dan yang akan mengubah dunia, namun dia menerima tata politik dan ekonomi masyarakat Timur Tengah, memegang kekuasaan duniawi dan melahirkan sebuah kebudayaan yang dimaksudkan untuk menikmati dan melegitimasi kekuasaan tersebut. Walaupun kekhalifahan member institusi kerajaan dan kebudayaan istana di Timur Tengah identitas Islam yang khas, namun dia juga mempertahankan etos kerajaan yang pra Islam. Namun kejayaan tersebut akhirnya berlalu. Sejak pertengahan abad kesepuluh kekuasaan khalifah hancur. Timur Tengah ditaklukan oleh prajuritprajurit nomaden Turki dan oleh pasukan budak yang menguasai beberapa wilayah di Timur Tengah pada abad kesepuluh, sebelas, dua belas dan abad-abad selanjutnya. Negara-negara ini juga mempunyai identitas yang kompleks. Dalam satu pengertian mereka adalah orang muslim karena mereka dilegitimasi oleh symbol-simbol Islam, misalnya penunjukan penguasa oleh khalifah, dank arena mereka mendukung keadilan, dan pendidikan Islam yang berpatron serta mengobarkan jihad. Tapi tidak seperti kekhalifahan Negara-negara nomadic dan budak turki ini tidak punya legitimasi muslim yang instrinsik. Setelah charisma nabi dan charisma para khalifah otoritas/kekuasaan sultan berasal terutama dari perkumpulan ketimbang dari tuntunan yang inheren dalam Islam. Selain itu walaupun secara teori memang muslim, namun kesultanan ini pada dasarnya didefenisikan/ditentukan oleh konsep kekuasaan orang turki yang patrimornial yang menekankan pelayanan personal budak, klien dan para kolega pada penguasa dan dasar kesukuan dari kekuasaan Negara; dan oleh konsep Monarchi Persia sebagai sebuah mitos yang arti penting kosmologis maka, kekhalifahan ataupun kesultanan memiliki fungsi identitas yang Islami, namun identitas yang Islami ini diiringi dengan warisan institusi politik, dan symbol-simbol legitimasi yang non Islami, dan dengan etos politik atau konsep tujuan pemerintahan bangsa Persia dan Turki yang non Islami. Masyarakat Beragama Islam Pada tingkat kedua Islam diinstitusionalisasikan dalam bentuk komunitaskomunitas keagamaan yang di dirikan di pusat-pusat perkotaan dan dihuni oleh para penakluk Arab, kali ini tidak di bawah kepemimpinan khalifah atau sebagai sebuah rezim negara, tetapi di bawah kepemimpinan pemimpin agama karismatik, termasuk keluarga atau sahabat nabi dan keturunan mereka, para sarjana Muslim seperti qurra '(ahli bacaan Alquran), ulama, dan sufi. Para elit agama Islam mereka berasal dari sebuah komunitas kecil yang terinspirasi dengan ajaran ajaran Muhammad dan didedikasikan untuk pribadi Muhammad. Sementara di sisi lain banyak pemimpin Arab yang terlibat dalam perang dan pemerintahan, para sahabat muhammad yang menjadi pembawa pesan agama di daerah yang luas Timur Tengah menaklukkan bangsa Arab dan memenangkan perang atas non-Arab serta menggabungkannya untuk kemudian mereka mengabdikan dirinya dalam study agama dan pengamalannya. Pengikut

awal Muhammad tersebut terbagi menjadi dua kecenderungan utama. Beberapa dari mereka cenderung memahami warisan Nabi dalam hal perilaku yang benar dalam bentuk ritual Islam, keluarga, perdagangan, dan bersungguh-sungguh dalam semua aspek kehidupan. Orientasi ini terutama difokuskan pada ilmu pengetahuan agama yang menyangkut masalah-masalah prinsip untuk memahami ajaran-ajaran alquran dan warisan Nabi (al- hadits). Para muslim memberikan perhatian yang utama terhadap penafsiran al-quran, koleksi hadis (cerita-cerita tentang ucapanucapan nabi dan perbuatan nabi), dan orang-orang studi hukum yang kita sebut 'ulama (bentuk jamak) - para ulama. Otoritas agama dari 'alim (bentuk tunggal) didasarkan hanya pada pengetahuan tentang ajaran agama dan pengalaman yang di dapat dalam praktek penerapan di masyarakat. Kelompok kedua bergerak dari ritual keagamaan dan praktek sosial untuk focus pada study kebatinan yang lebih menitikberatkan pada kualitas moral dan agama yang dibawa seorang individu supaya lebih dekat dengan kualitas spiritual Muhammad dan dengan demikian ia akan lebih dekat dengan ilahi. Kecenderungan ini diwakili sebagian oleh para teolog (ahli ilmu kalam) dan filsuf yang mencari sisi rasional dalam kebenaran agama dan berharap untuk merekonstruksi jiwa mereka sesuai dengan kebenaran tersebut. Lebih penting adalah pertapa awal, dan akhirnya mistik gnostik yang mencoba berjalan melalui cara hidup yang penuh dengan keprihatinan duniawi, kemiskinan, kesalehan, dan latihan spiritual untuk menyapih jiwa dari dunia ini dan melampirkannya pada ilahi. Orang-orang seperti itu disebut Sufi. Mereka juga memperoleh otoritas keagamaan tidak didasarkan pada pengetahuan, tetapi pada pengalaman spiritual dan kedekatan mereka kepada Allah. Perbedaan antara ulama yang memiliki pengetahuan dan para sufi spiritual dijembatani oleh muslim yang mencoba untuk menggabungkan keduanya. Garis besar tersebut berlangsung dari Hasan al-Basri (w. 728) al-Junayd (w. 911) dan sampai ke al-Ghazali (w. 1111) yang merupakan sintesis yang telah menjadi orientasi prinsip agama Islam. Otoritas agama Muslim pada umumnya datang untuk diberikan pada orang yang menggabungkan pengetahuan dari praktek yang benar dari "ulama" dengan pencapaian spiritual langsung dan pribadi para Sufi. Variasi individu dalam mereplikasi tradisi keagamaan hampir tak terbatas. Spectrum perbedaan kesarjnaan Islam bervariasi mulai dari legalisme, intelektualitas, dan literalisme sampai yang ekstrim bahkan antinomian ekspresi-diri spiritual. Selanjutnya, otoritas ulama Sufi adalah individu dan diperkuat oleh mata rantai tradisi ajaran. Para ulama dari setiap generasi, setelah mereka memperolah pengetahuan dari rantai pendahulu mereka yaitu nabi, kemudian diteruskan untuk para penerus mereka. Meskipun pengetahuan agama berasal dari liretarur berupa buku-buku, namun rantai penyebarannya adalah lisan. Pengetahuan tekstual harus dikomunikasikan oleh seorang guru yang hidup serta memberi makna spiritual pada buku-buku atau kitab-kitab yang dipakai untuk belajar. Demikian pula, praktik spiritual para Sufi yang diteruskan dari generasi ke generasi dan juga diasumsikan untuk menjadi bagian dari rantai suksesi yang bermuara pada ajaran Muhammad. Otoritas agama Islam kemudian dikombinasikan dari pengetahuan yang diperoleh dari pribadi atau pengetahuan spiritual dengan kontak pribadi langsung lintas generasi dengan Nabi sendiri. Pada zaman tersebut ada kecenderungan untuk mengaitkan pengetahuan agama dan prestasi agama dengan keturunan biologis dari

Muhammad (ahlul bait). Dan pada gilirannya keturunan Nabi (ahlul bait) dianggap sebagai orang yang memiliki dasar bagi otoritas keagamaan. Pada abad ketujuh dan kedelapan orang-orang suci menang atas kelompok murid, siswa, serta pengikut dan dengan demikian dihasilkan berbagai perkumpulan agama, termasuk sekte Syiah dan khawarij, mazhab hukum sunni, dan pengikut sufi. Kebanyakan dari kelompok ini kecil, bahkan kultus esoteris. Beberapa dari mereka memperoleh dukungan massa. Dalam oposisi terhadap para khalifah mereka semua memperoleh dukungan massa. Dalam oposisi terhadap para khalifah mereka semua mengklaim untuk mewujudkan tradisi nabi dan ajaran Islam yang benar. Syiah dan khawarij pada awalnya menentang keras kekhalifahan, tetapi pada abad kesembilan Syiah Imamiyah dan khawarij banyak yang meninggalkan duniamengubah aspirasi politik dalam mendukung urusan masyarakat lokal dan kehidupan pribadi yang saleh, hidup dalam suasana berkabung untuk kehilangan harapan dan impian mesianis. Mereka menarik diri dari usaha mengubah dunia kepada eksistensi kesalehan dunia. Bahkan Sunni yang mendukung kekhalifahan pada prinsipnya menarik diri dari komitmen publik dan berkonsentrasi pada skala kecil kehidupan masyarakat dan kesalehan pribadi, kecuali pengikut Hanbali yang secara terbuka menentang otoritas keagamaan khalifah, pembangkangan yang menandai munculnya komunitas sektarian dalam lipatan Sunni. Sebagai hasil dari bentuk organisasi sektarian asosiasional Islam, dan oposisinya terhadap kekhalifahan, dengan kota-kota abad kesembilan orang-orang Islam telah menjadi masyarakat sel agama yang berbeda dari berdirinya negara Islam. Saya telah menyatakan di tempat lain, dan ingin menekankan lagi, bahwa dalam kenyataan masyarakat Islam selamanya ditandai, untuk tidak mengatakan diakaui secara budaya, oleh negara dan institusi keagamaan yang terpisah-pisah. Kemudian pada periode akhir kesultanan atau Saljuq perkumpulanperkumpulan awal agama Islam ini menjadi dasar yang hampir menjadi organisasi komunal Timur Tengah yang universal. Sampai abad kesembilan Islam adalah agama populasi Arab dan masyarakat perkotaan yang telah berasimilasi, tapi dari abad ke-sembilan menuju abad ke-dua belas massa masyarakat Timur Tengah telah dimasukkan ke dalam agama Islam. Hal ini disebabkan karena sejumlah perkembangan yang saling terkait akibat pecahnya kerajaan Abbasiyah pada abad kesepuluh. Runtuhnya kerajaan ini tidak hanya mengakibatkan perpecahan negara dan menggantinya dengan elit militer asing yang baru, tetapi juga kehancuran dari pemilik tanah dan kelas administrasi dan penggantian mereka oleh para pemimpin muslim yang mengonversi massa ke dalam agama Islam, dan memberikan mereka kepemimpinan sosial dan ekonomi, serta bentuk-bentuk organisasi komunal berdasarkan pada perkumpulan keagamaan yang dibuat dalam periode khalifah. Dari abad kesepuluh sampai abad ketiga belas masyarakat Timur Tengah diidentifikasi dengan mazhab-mazhab hukum sunni, persaudaraan sufi, kelompok Syiah, dan kelompok muslim lainnya. Ini adalah dua jenis perkumpulan muslim. Jenis pertama adalah persaudaraan agama yang membelah masyarakat yang ada; kedua, organisasiorganisasi lama yang telah mengambil identitas Islam. Mazhab hukum dan persaudaraan sufi adalah asosiasi muslim dalam arti pertama. Mazhab hukum adalah perkumpulan ulama, guru dan siswa mengikuti kode hukum yang

dikembangkan oleh diskusi di antara para sarjana hukum di abad kedelapan dan kesembilan. Melalui mazhab hukum, para ulama 'yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi, dan guru terlatih serta administrator peradilan, dari sekolah hukum berupa konsultan hukum, notaris, dan hakim. Para mahasiswa menganggap dirinya murid pribadi dan klien setia tuan mereka. Masyarakat di mana sekolah berlokasi menyediakan patron dan pendukung terutama dari kelas pedagang dan tukang. Tipe lain dari perkumpulan keagamaan muslim didasarkan pada tasawuf. Sufisme adalah perkumpulan dalam gerakan, yang di dalamnya berkumpul muridmurid Sufi dan kadang-kadang dikelompokkan bersama dalam sebuah rumah tinggal yang disebut khanaqas, Thariqat atau persaudaraan yang terbentuk ketika guru Sufi pada abad kedua belas dan ketiga belas mulai memperhitungkan diri mereka sebagai keturunan guru sebelumnya. Mereka yang turun dari guru yang sama menganggap diri mereka sebagai orang yang mengabadikan disiplin spiritual umum dan sebagai unit dari suatu gerakan keagamaan yang jauh lebih besar untuk menerima otoritas sama yang lebih tinggi. Formasi tersebut merambah pada tingkat regional dan seluruh dunia bahkan seluruh umat Islam. Dengan demikian, mazhab hukum dan persaudaraan sufi menjabat sebagai kolektivitas pengakuan yang bisa merekrut individu-individu di garis struktur masyarakat yang ada dan kesatuan yang lebih kecil dalam skala keluarga, klan atau kolektivitas perumahan ke unit yang lebih besar atas dasar kesetiaan bersama terhadap hukum Islam, dan untuk ulama serta norma keagamaan Sufi. Tapi persekutuan agama Islam juga bisa dibentuk dalam kerangka unit-unit kolektif yang ada. Dalam pengaturan perkotaan sekolah hukum, persaudaraan sufi atau sekte Syiah sering diidentifikasi dengan lingkungan tertentu, minoritas kerja atau etnis. Sebagaimana akan kita lihat segera, fusi dari kolektivitas Islam dan non-Islam bahkan lebih penting dalam masyarakat pedesaan. Ethos golongan sunni Perkumpulan-perkumpulaan keagamaan Islam ini mewakili orientasi keagamaan yang sangat berbeda dari orientasi keagamaan para elite politik. Spectrum perbedaan orientasi keagamaan orang muslim merentang mulai dari bentuk-bentuk sufisme yang ekstatis, kontempelatif dan berorientasi ukhrawi hingga etos yang berorientasi keluarga, bisnis dan duniawi. Namun demikian terdapat suatu orientasi tengah-tengah yang bersifat sintetis dan sangat luas, yang akan saya sebut dengan posisi sufi yang sunni syariah. Posisi ini diwakili oleh mazhab Hanafi dan Syafei, aliran asyariyah dan maturidiyah dalam hal Itiqad, dan tradisi sufi yang waras dari Al-Junaid dan Al-Ghazali, posisi ini mencoba menyatukan komitment terhadap prinsip kekhalifahan sebagai dasar bagi masyarakat muslim yang ideal, kesungguhan untuk melaksanakan ajaran syariat meyakini keterbatasan akal dalam memahami kebenaran agama dan praktek sufi, latihan etis dan meditasional yang sesuai dengan komitment politis dan moral ini. Posisi ini mencoba menggabungkan bentuk-bentuk prilaku sosial dan ritual lahiriayah yang benar dengan kesadaran emosional spiritual bathin. Golongan suni dengan orientasi yang seperti ini memiliki sikap yang agak khusus terhadap keadaan-keadaan dunia yang actual. Mereka menerima agamaagama yang ada sebagai hal yang sah karena adanya kebutuhan yang inheren

terhadap keteraturan ditengah masyarakat dan mereka menjalankan cara-cara yang rutin dalam bekerja sama dengan negara-negara yang mapan. Ketundukan secara politik sangat di tekankan. Ulama mengambil peran sebagi tempat konsultasi dan hak untuk mendidik, memperingatkan dan member petuah moral pada penguasa dan mereka berharap Negara member mereka hak untuk mengontrol urusan hokum dan mengatur kegiatan pendidikan dan kegiatan amal umat Islam. Dalam kerangka ini, maka, sama-sama terlibat dalam urusan politik dan kemasyarakatan. Dititik ini mereka juga menerima klan, garis keturunan, suku, atau substruktur klien masyarakat Timur Tengah, dan kenyataan-kenyataan kehidupan ekonomi yang ada. Mereka menerima kesenjangan, kakayaan dan harta benda dan memandang keadilan sosial dan ekonomi sebagai persoalan prilaku individual. Perhatian mereka tertuju pada pemeliharaan moralitas public, penerapan syariah pada urusan keluarga dan perdagangan, pendidikan, pengobatan dan mediasi konflik local. Penerimaan atas dunia dirombak dengan sikap lepas dan tak mau terikat dengan dunia tempat mereka berada. Meski ada sedikit bahkan sama sekali tidak ada dorongan untuk mengubah institusi, namun ada semacam kemabiguan yang mendalam terkait dengan keterlibatan mereka dengan urusan-urusan tersebut, sementara sebagian ulama dan sufi menerima kekuasaan politik, memiliki kantor mengumpulkan tanah dan harta benda dan berperan sebagai juru bicara rakyatnya, namun ada perasaan kuat yang justru menentang keterlibatan tersebut. Sahabatsahabaat para pangeran dianggap bermoral jelek; ulama dan sufi biasanya menolak jabatan resmi dan mengembalikan hadiah-hadiah dari istana. Ketidakterlibatan dipandang sebagai tanda keshalehan. Penolakan untuk memberikan persetujuan moral terhadap keadaan dunia yang tengah berlangsung disertai dengan suatu nostalgia akan pendirian kembali kekhalifahan yang sebenarnya dan kerinduan akan kedatangan imam mahdi. Nostalgia mengekspresikan penarikan diri dari dunia aktual; dia juga berfungsi sebagai pengesah hal ihwal sebagaimana adanya. Golongan hambali mengembangkan sikap lebih aktif. Mereka mengambil tindakan-tindakan yang keras untuk menegakkan moralitas, melarang dengan keras minuman keras dan pelacuran, dan menyerang sekte-sekte lawan. Mereka mengumpulkan sukarelawan muslim untuk ikut perang jihad dan kesempatankesempatan lain (terutama di abad ke sepuluh dan kesebelas), berusaha mengembalikan kekuasaan politik kekhalifahan. Selain itu, aktivisme ini disalurkan terutama untuk menekan rezim-rezim yang tengah berkuasa agar mau menegakkan moralitas umat muslim ketimbang diarahkan untuk mengubah tatanan politik. Maka, seluruh golongan sunii menerima dunia sebagaimana adanya namun menahan diri dari keterlibatan sepenuhnya dan tidak mau memberikan dukungan penuh dengan cara menolak terjun langsung dalam politik, dengan aktif berkampanye perbaikan moral public, dan dengan refleksi nostalgis dan kerinduan eskatologis. Kita dapat langsung merasakan bahwa ini adalah etos kalangan cendekiawan. Alasan utama dari kompleksitas orientasi ini adalah karena perkumpulan keagamaan muslim hanya sebahagian dan tak pernah sepenuhnya berbeda dari institusi-institusi sosiopolitik lain. Posisi sunni mencerminkan visi keagamaan transcendent yang menubuh dalam perkumpulan-perkumpulan sectarian, keagamaan dan komunal, namun ini semua terdapat di dalam kerangka politik kekhalifahan atau rezim para sultan, dan saling terikat dengan garis keturuna

parochial, desa dan bentuk-bentuk solidaritas lain. Oleh karena itu ketegangan antara komitment keagamaan dengan komitmen yang lain tidak pernah bersifat absolute dan kompleksitas hubungan antar mereka tergambar dalam bentuk-bentuk penerimaan, ketakterlibatan dan penolakan. Simbol-simbol Islam dan Masyarakat Pedesaan Level ketiga, dan yang terakhir, dari proses institusionalisasi Islam terjadi pada seting pedesaan. Di sini kepemimpinan keagamaan umat muslim dan simbol-simbol Islam digunakan untuk menyatukan orang-orang yang terpilah-pilah ke dalam gerakan religius-politis yang lebih terpadu. Suku Berber di Afrika Utara dari abad ketujuh sampai tiga belas disatukan di bawah paham Khawarij, Syiah, Sunni reformis dan sufisme yang lebih kemudian menjadi gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat penaklukan seperti Fatimiyah, Almurawid, dan Almuhad dan menjadi negaranegara Berber. Golongan Khawarij di Arab timur, golongan Qarmatis di tanah bulan sabit yang subur dan kaum Savawi di Iran barat adalah contoh-contoh lain tentang bagaimana pemimpin-pemimpin agama dan simbol-simbol Muslim menjadi dasar penyatuan masyarakat pedesaan dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang lebih luas dan adil. Ada juga bukti bagi awal meluasnya penerimaan identitas Islam oleh kelompok-kelompok masyarakat desa dalam bentuk penghormatan pada kaum sufi dan tempat-tempat suci. Sebelum abad ketigabelas, dasar ajaran penghormatan terhadap kaum sufi sebagai perantara antara manusia dan Allah ini sudah baku. Pemujaan wali yang suci dan penghormatan terhadap tempat-tempat suci dipraktikkan secara luas, sedangkan praktik-praktik magis dan takhayul pra-Islam adalah bagian dari hidup sehari-hari orang Islam kebanyakan. Dari epos-epos yang muncul kemudian, kita tahu bahwa kaum sufi biasanya diyakini sebagai orang suci (wali) dan dipuja sebagai perantara antara dunia materi dengan dunia spiritual, dan sebagai orang yang memiliki kekuatan keramat dan pemberi barokah. Berdasarkan hal ini, kaum sufi dan para ulama berperan sebagai penengah perselisihan di tengah masyarakat pedesaan, memfasilitasi pemilihan tetua kampung, mengatur perdagangan jarak-jauh, mendidik kaum muda, mengobati orang sakit, memberikan jimat, memimpin upacara sunat rasul, pernikahan dan pemakaman, merayakan harihari besar keagamaan, mempraktikkan ilmu gaib dan menjaga agar hubungan manusia dengan alam roh tetap dalam keadaan baik. Sufisme jenis ini kemudian mengarah pada pemujaan makam-makam atau tempat-tempat keramat, murid atau keturunan orang suci, dan persembahan dan upacara-upacara keagamaan di sekitar makam wali keramat di mana simbol dan praktik-praktik Islami dan non-Islami bercampur-baur. Dalam masa-masa selanjutnya, tempat-tempat keramat diisi dengan bangunan-bangunan serta dikelola oleh keturunan para wali dan oleh persaudaraan aliran sufi tertentu, dan berfungsi sebagai pusat perkumpulan bagi mereka yang melakukan pemujaan di makam itu dan yang percaya bahwa sang wali dapat menghasilkan keajaiban. Tempat-tempat keramat sufisme merupakan agama perlindungan magis dari kekuatan-kekuatan alam dan tempat memperoleh barokahbarokah dari tuhan ketimbang sebagai sebuah agama pengembangan diri secara etis dan emosional. Dengan demikian Islam belum serta merta bermuara pada

pembentukan suatu perkumpulan terorganisir yang mampu melahirkan aksi-aksi kolektif, namun berfungsi sebagai sebuah identitas bersama di kalangan masyarakat yang berbeda-beda yang mempertahankan garis keturunan, daerah kekuasaan, bahasa, suku serta basis-basis kebudayaan non-Islam sendiri-sendiri di dalam organisasi kelompok dan hubungan-hubungan sosial. Bentuk kepercayaan dan praktik muslim pedesaan ini amat berbeda dari bentuk Islam istana dan perkotaan, namun demikian membentuk level institusionalisasi ketiga dari masyarakat Timur Tengah muslim. Walaupun kebudayaan istana, sufisme sunni-syariah, dan sufisme keramat sama-sama disebut Islam, namun ketiganya mewakili konsep kehidupan keagamaan yang berbeda satu sama lain. Kesimpulan Jika kita menilik ke belakang kepada seluruh proses institusionalisasi proses pembentukan masyarakat Islam di Timur Tengah, kita mesti mulai dari tempat di mana Weber memulainya, yakni dari seorang pemimpin kharismatik dan gerakan visioner yang kemudian diterjemahkan menjadi keyakinan, praktik, identitas, dan organisasi komunal-kolektif, tidak hanya oleh orang Arab tapi juga oleh seluruh orang Timur Tengah dari pegunungan Atlas sampai ke pegunungan Pamir. Proses institusionalisasi ini terjadi dalam sebuah masyarakat yang sudah punya sistem institusi-institusi parokial, ekonomi, keagamaan dan negara yang sudah mapan, dan oleh karena itu mengakibatkan transformasi struktur-struktur yang telah mapan ini. Islam jadi bagian identitas elit negara dan pelegitimasi kerajaan-kerajaan Islam dan berbagai negara-negara yang muncul silih-berganti pasca-kekhalifahan. Islam diinstitusionalisasikan dalam bentuk sekte-sekte urban dan komunitas-komunitas keagamaan yang memegang teguh keyakinan religius tertentu, praktik religius khusus, penghormatan pada sosok tertentu dan pada administrasi hukum-hukum komunal tertentu. Islam juga terinstitusionalisasi di kalangan orang-orang segaris keturunan dan kelompok-kelompok parokial lain dengan menerima otoritas suci dan kepercayaan-kepercayaan Islami atau simbol-simbol yang menyatukan kelompokkelompok ini ke dalam gerakan politik atau kalau tidak demikian, yang mampu memberi mereka identitas untuk merangkul populasi. Institusionalisasi Islam di semua struktur dan relasi antarmereka di suatu wilayah inilah yang membentuk sistem masyarakat Islam. Uraian ringkas model masyarakat Islam awal di Timur Tengah ini juga menjadi paradigma bagi evolusi masyarakat muslim selanjutnya di Timur Tengah dan wilayah lain. Konsep-konsep seperti negara muslim, perkumpulan keagamaan umat Islam, dan identitas muslim di antara kelompokkelompok parokial atau segmentaris adalah tipe-tipe ideal yang dapat dipakai dalam berbagai permutasi dan kombinasi berbeda untuk menganalisis masyarakat muslim di periode-periode berikutnya dan di belahan-belahan dunia yang lain. Maka, kita dapat belajar dari Weber bagaimana melewati konsep-konsepnya yang kurang pas tentang etos dan masyarakat Islam dan kita juga dapat belajar membangun suatu model yang lebih kompleks.

10

Anda mungkin juga menyukai