Anda di halaman 1dari 12

TELAAH KRITIS TERHADAP CLINICAL REASONING DALAM KONTEKS CRITICAL THINKING

Endang Lestari FK Unissula

Pendahuluan

Sangat disadari bahwa clinical reasoning adalah merupakan kompetensi utama yang harus dimiliki oleh seorang dokter. Oleh karena itu, hampir seluruh institusi penyelenggara pendidikan kedokteran menjadikan kemampuan clinical reasoning-- yang umumnya dinyatakan dalam kemampuan problem solving dan kemampuan untuk mengambil keputusan-- sebagai tujuan yang hendak dicapai melalui kegiatan pembelajaran. Dalam menjalankan profesinya, dokter dituntut untuk dapat memutuskan masalah kesehatan pasiennya serta penanganan yang tepat atas masalah tersebut, dengan mempertimbangkan berbagai data yang diperolehnya dari pasien dan pemeriksaan fisik yang dilakukannya Berfikir komprehensif dalam mengambil keputusan itulah inti dari clinical reasoning. Dengan menerapkan konsep berfikir komprehensif dan logis seperti itu, maka sesungguhnya dokter menerapkan konsep berfikir kritis. Sebagaimana diketahui, tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mendapatkan suatu pemahaman, mengevaluasi dan kemudian menyelesaikan suatu permasalahan. Langkah-langkah tersebut jugalah yang dipergunakan dalam melakukan clinical reasoning.

Riset menunjukkan bahwa ada beberapa metode yang dipergunakan oleh dokter untuk memutuskan persolan kesehatan yang dihadapinya, antara lain yang umum sekali dipergunakan adalah pattern recognition. Yang menjadi persoalan kemudian adalah apakah metode-metode clinical reasoning tersebut juga menerapkan konsep berfikir kritis, seperti yang harus dilakukan seharusnya oleh critical thinker dalam memutuskan masalah?

Paper ini akan mengeksplore mengenai clinical reasoning dipandang dari sudut pandang critical thinking, bagaimana clinical reasoning seharusnya dilakukan jika konsep critical thinking diterapkan, serta mengkritisi apakah model clinical reasoning yang selama ini diterapkan oleh dokter menggunakan konsep critical thinking.

Pengertian Berpikir kritis

Sebelum dibahas apakah metode clinical reasoning yang diterapkan oleh dokter merupakan kegiatan berfikir kritis, maka perlu difahami terlebih dahulu mengenai apakah berfikir kritis itu. Schafersman (1991) menyatakan bahwa berfikir kritis adalah berfikir dengan benar berdasarkan pengetahuan yang relevan dan reliable, atau cara fikir yang beralasan, relfektif, bertanggungjawab, dan mahir. Seorang yang berfikir kritis dapat menanyakan suatu hal dengan tepat, mencari informasi dengan tepat yang akan dipergunakannya untuk menyelesaikan masalah, dapat mengelola informasi tersebut dengan logis, efisien dan kreatif sehingga dia dapat membuat simpulan yang logis dan dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dengan tepat berdasarkan analisis informasi dan pengetahuan yang dimilikinya. John Dewey, dikutip oleh Fisher, 2001, menjelaskan bahwa critical thinking adalah pertimbangan yang aktif dan tepat serta berhati-hati atas keyakinan dan keilmuan untuk mendukung kesimpulan. Selain itu, Fisher juga mengambil pendapat Ennis, yang menyatakan bahwa critical thinking adalah kegiatan berfikir yang beralasan dan reflektif yang memfokuskan pada apa yang diyakini dan apa yang akan dilakukan. The APA Concensus Definition (dalam Facione, 1996) memberikan definisi berfikir kritis sebagai keputusan yang memiliki tujuan dan dilakukan sendiri oleh pelaku kegiatan berfikir, sebagai hasil dari kegiatan interpretasi, analisis, evaluasi dan inferensi serta penjelasan dari pertimbangan yang didasarkan pada bukti, konsep, metodologi, kriteriologi dan kontekstual, yang kemudian melandasi keputusan yang dibuat oleh orang tersebut. Dari definisi tersebut, Facione (2004) menjelaskan bahwa sebagai cognitive skill, bagian penting dalam kegiatan berfikir kritis adalah interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi, penjelasan dan pengaturan/pengelolaan diri. Berikut adalah penjelasannya:

interpretasi adalah kemampuan untuk memahami dan menjelaskan makna dari situasi, pengalaman, kejadian, data, keputusan, konvensi, kepercayaan, aturan, prosedur dan criteria. Contohnya adalah kemampuan seseorang untuk menjelaskan masalah dan mendeskripsikan informasi yang diberikan tanpa ada bias; mampu memilah antara ide utama dan ide tambahan ketika membaca tulisan orang lain; mampu menyusun kategorisasi sementara untuk mengorganisasi hal yang sedang dipelajari; mampu menyampaikan kembali ide orang lain dalam kalimat yang disusunnya sendiri; mampu menjelaskan gambar, tanda dan grafik; mampu mengidentifikasi tujuan, tema, sudut pandang penulis ketika membaca karya tulis dalam bentuk apapun.

Analisis adalah mengidentifikasi hubungan antar beberapa pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi, dan berbagai bentuk yang dipergunakan untuk merefleksikan pemikiran, pandangan, kepercayaan, keputusan, alasan, informasi dan opini. Sub skill analisis antara lain adalah mengevaluasi ide dan pendapat orang lain, mendeteksi argument, dan menganalisis argument. Kee dan Bickle (2004) menjelaskan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menganalisis argumen, yakni dengan

mempertanyakan: apakah kesimpulannya; apakah alasan yang diberikan untuk mendukung kesimpulan tersebut; apakah asumsi yang tersirat; apakah struktur argumentasi tersebut; bagaimana kebenaran alasan tersebut dapat diukur; adakah bukti tambahan yang dapat mendukung dan melemahkan simpulan; sepasti apakah penjelasan yang diberikan dan sudah tepatkah analogi yang diberikan; adakah kerancuan dalam penalaran; dan apakah argumentasi tersebut masuk akal? Contoh kemampuan menganalisis antara lain adalah: mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dua pendekatan yang dipergunakan untuk menyelesaikan masalah; mengidentifikasi asumsi; mengkonstruksi berbagai cara untuk membuat simpulan dan menyampaikan berbagai alasan untuk mengkritisi simpulan tersebut; dan lain sebagainya. Evaluasi adalah kemampuan untuk menguji kredibilitas pernyataan atau berbagai bentuk lain yang dipergunakan untuk menyatakan pemikiran, persepsi, pandangan, keputusan, alasan, opini, dan lain sebagainya; serta untuk menguji logika hubungan berbagai pernyataan, deskripsi, pertanyaan dan bentuk lain yang dipergunakan untuk merefleksikan pemikiran. Contoh kemampuan analisis adalah: memutuskan

kredibilitas penulis atau pembicara; membandingkan kelebihan dan kelemahan berbagai pendapat; menetapkan kredibilitas sumber informasi apakah layak rujuk atau tidak; memutuskan apakah dua pernytaan saling berkontradiksi; memutuskan apakah bukti yang diberikan mendukung kesimpulan. Selain itu, para ahli menambahkan bahwa contoh kemampuan melakukan evaluasi antara lain adalah: mengetahui faktor yang menjadikan seseorang layak atau kredibel untuk menulis atau menyampaikan topik tertentu; menetapkan bahwa kesimpulan dari sebuah argumentasi diambil dari premis yang dapat dipercaya; memutuskan kekuatan logika argumen berdasarkan hipotesis; memutuskan apakah argumen yang diberikan relevan atau layak guna atau memiliki implikasi bagi situasi tertentu. Inferensi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan memilih elemen yang dibutuhkan untuk menyusun simpulan yang beralasan; untuk menduga dan menegakkan diagnosis; untuk mempertimbangkan informasi apa sajakah yang dibutuhkan dan untuk memutuskan konsekuensi apa yang harus diambil dari data, informasi, pernyataan, kejadian, prinsip, opini, konsep dan lain sebagainya. Subskill inferensi adalah mampu mengumpulkan bukti, menyampaikan berbagai alternatif, dan membuat simpulan. Contoh kemampuan inferensi adalah: menggambarkan dan mengkontruksi pemahaman dari sebuah bacaan; mengidentifikasi informasi dari berbagai sumber yang dibutuhkan untuk memformulasi penyelesaian masalah; dan lain sebagainya. Selain memiliki kemampuan untuk mengnterpretasi; menganalisis; mengevaluasi dan menginferensi; seorang critical thinker juga harus dapat menjelaskan apa yang difikirkannya serta bagaimana dan mengapa dia sampai pada keputusan tersebut. Untuk itu, dia harus memiliki kemampuan untuk menjelaskan. Facione (2004) menjelaskan bahwa kemampuan menjelaskan (explanation) ditunjukkan dengan kemampuan menyatakan hasil pemikiran; menjelaskan penalarannya berdasarkan pertimbangan bukti, konsep, metodologi, kriteriologi, dan konteks. Beberapa subskil kemampuan menjelaskan adalah: mampu menyampaikan hasil; menjelaskan prosedur; dan mempresentasikan argumen. Contoh kemampuan menjelaskan antara lain adalah: menjelaskan standart dan faktor-faktor kontekstual yang dipergunakan untuk menilai kualitas interpretasi seseorang atas artikel atau teks lain;

menyampaikan simpulan penelitian dan menjelaskan metode dan kriteria yang dipergunakan untuk mencapai simpulan tersebut; menjelaskan kriteria dan langkah yang diambil dalam mengambil keputusan yang beralasan; dan lain sebagainya. Kemampuan terakhir yang sangat penting untuk dimiliki oleh seorang critical thinker, yang menjadikannya tumbuh dan berkembang menjadi pemikir yang baik dan memungkinkan pemikirannya selalu berkembang adalah self regulation atau kemampuan untuk mengatur diri dalam berfikir. Sebagian orang menyebut kemampuan ini sebagai meta-cognition, akan tetapi menurut Facione (2004) ada bagian yang tidak tercover oleh meta-cognition, yakni bahwa apa yang dilakukan oleh seorang dengan kemampuan self-regulation adalah selalu melihat ulang pada seluruh dimensi critical thinking yang dilakukannya dan mengeceknya berulang kali atas apa yang dilakukannya pada keseluruhan kegiatan critical thinking-nya tersebut. Dengan self regulation, seorang crtical thinker dapat memonitor dan memperbaiki interpretasi serta keputusan yang diambilnya; meriview dan memformulasi ulang penjelasan yang telah diberikan terhadap keputusan yang pernah diambilnya. Secara sederhana, para ahli mendefinisikan self regulation sebagai kesadaran untuk memonitor akivitas kognitif seseorang. Bahkan dengan self regulation, seseorang dapat mengevaluasi dan memperbaiki kemampuannya untuk mengevaluasi dan memperbaiki keputusan sebelumnya.

Ciri ciri berpikir kritis

Carrol (2004) dan Facione (1996, 2004) menyimpulkan beberapa ciri-ciri critical thinker yang ideal yaitu: terbiasa ingin tahu, banyak pengetahuan, menyampaikan alasan yang terpercaya, tanpa prasangka , fleksibel dalam mempertimbangkan berbagai alternatif dan pendapat , berpandangan terbuka di dalam megevaluasi, jujur di dalam menghadapi bias pribadi, bijaksana di dalam membuat penilaian, berkeinginan mempertimbangkan kembali pendapatnya dan pandangannya ketika refleksi yang dilakukannya dengan jujur mengharuskannya untuk merubah pandangannya tersebut, bersih dari isu-isu, rapi di dalam hal yang rumit, rajin di dalam mencari informasi terkait, layak di dalam pemilihan ukuran-ukuran, fokus di dalam pemeriksaan.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan agar seseorang dapat melakukan kegiatan crtitical thinking. Facione (2004) menyarankan enam langkah berfikir efektif dan problem solving, yakni: Mengidentifikasi masalah Menentukan konteks Mementukan pilihan penyelesaian Menganalisis pilihan tersebut hingga ditentukan pilihan terbaik Menyusun alasan secara eksplisit Mengevaluasi langkah yang telah diambil dan proses berfikir yang dilakukan. Critical thinking adalah adalah kemampuan yang sangat diperlukan dalam dunia kerja. Oleh karena itu, critical thinking ditetapkan sebagai keterampilan generik yang harus dimiliki oleh kalangan terpelajar, termasuk dokter. Dalam menjalankan tugasnya, menyelesaikan masalah kesehatan pasiennya dengan menggunakan clinical reasoning, sudah semestinya dokter menerapkan langkah-langkah dan mengoptimalisasikan kemampuan criticak thinkingnya. Namun, bagaimanakah konsep clinical reasoning yang umum dipergunakan dokter dalam menyelesaikan masalah pasien, dan sudahkah kegiatan clinical reasoning yang dilakukan dokter benar-benar menerapkan konsep critical thinking di atas?

Clinical reasoning dan analisisnya dari sudut pandang critical thinking Dalam menjalankan praktek kedokteran, dokter diharuskan selalu melakukan clinical reasoning. Groves dkk. (2002) mengambil pendapat Newble menjelaskan bahwa clinical reasoning adalah proses kognitif yang terjadi ketika berbagai informasi yang diperoleh dokter baik melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik atau melalui kasus klinik yang diberikan pada mahasiswa kedokteran disintesis dan diintegrasikan dengan penegtahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya oleh dokter dan mahasiswa tersebut yang kemudian dipergunakan untuk mendiagnosis dan menatalaksana masalah pasien. Karena merupakan proses kognitif, maka proses reasoning sangat dipengaruhi oleh proses berfikir manusia yang cenderung untuk: (i) terburu-buru sehingga sering

tidak dilakukan evaluasi yang mendalam terhadap berbagai alternatif (ii) dangkal, sehingga gagal untuk menantang asumsi dan mempertimbangkan pandangan orang lain (iii) kabur, tidak jelas (iv) dan tak terorganisir. Akibatnya, wajar jika pada umumnya kita selalu mencari jalan pintas penyelesaian masalah. Cognitive bias juga mempengaruhi praktek dokter, salah satunya adalah confirmation bias, yakni banyaknya waktu yang dipergunakan untuk mengkonfirmasi atau mecari pembenar atas hipotesis yang

dibuatnya, dan bukan mengevaluasi ketepatan atau mencari kelemahan hipotesisnya. Untuk mengatasi bias kognitif tersebut, Kee dan Bickle (2004) mengutip pendapat Roy Poses, menyarankan agar: (i) meminta feedback atas proses pengambilan keputusan dan keputusan yang dihasilkan (ii) membuat akuntabilitas dan justifikasi yang jelas untuk menetapkan keputusan (iii) perlu menfokuskan diri untuk mencari hipotesis alternatif. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan dalam clinical reasoning terkait dengan proses cognitive adalah: hindari bias persepsi dengan menata ulang masalah, cari penjelasan dari berbagai referensi, dan biasakan untuk membuang informasi yang tidak berguna. Clinical reasoning biasa dibagi menjadi forward dan backward clinical reasoning (Patel dkk. dalam Beullens dkk. 2005). Forward clinical reasoning adalah proses untuk menetapkan hipotesis berdasarkan data yang ada. Sedangkan backward clinical reeasoning adalah mengungkapkan data berdasarkan hipotesis. Sebagai contoh, jika seorang dokter menyatakan bahwa pasien ini mempunyai gula darah yang tinggi melebihi normal, dan menarik hipotesis bahwa pasien menderita diabetes, maka dapat dikatakan bahwa dokter tersebut melakukan forward reasoning. Sedangkan jika dokter menyakatan karena pasien menderita diabetes, maka pasien memiliki gula darah yang tinggi melebihi normal. Ditinjau dari konsep critical thinking, maka forward clinical reasoning lebih menerapkan konsep critical thinking. Dalam menegakkan diagnosis atau hipotesis, paling tidak langkah yang dilakukannya adalah menginterpretasi, menganalisis, dan

mengevaluasi data (sign, symptoms dan pemeriksaan penunjang) kemudian melakukan inferensi dengan mengambil keputusan diagnosis. Interpretasi dilakukan dengan mengumpulkan dan memahami informasi tersebut, melalui kegiatan anamnesis dan pemeriksaan fisisk; analisis dilakukan dengan menghubungkan sign, symptoms dan hasil pemeriksaan penunjang dengan kemungkinan diagnosis; evaluasi dilakukan dengan

mengevaluasi pilihan-pilihan diagnosis yang ditetapkan berdasarkan teori yang dimiliki, dan inferensi dilakukan dengan memilih informasi penting yang telah dimilikinya (berupa ilmu pengetahuan dan kondisi pasien) yang dipergunakan untuk menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan, serta membuat simpulan keputusan (yakni diagnosis dan managemen penyakit pasiennya). Jika proses tersebut dilanjutkan dengan memberikan penjelasan kepada pasien tentang logika hasil diagnosisnya dan logika managemen yang akan diterapkannya, maka dokter telah menerapkan kemampuan menjelaskan, salah satu kemampuan critical thinker. Selanjutnya, setelah itu, jika dokter tetap melakukan evaluasi dan memonitor seluruh kegiatan fikir yang dilakukannya dalam mengambil keputusan, maka dokter tersebut telah melakukan self regulation. Sedangkan backward clinical reasoning menerapkan metode berfikir terbalik, karena memulai pemikiran dari hipotesisnya dahulu, baru mengumpulkan bukti-bukti tanda dan gejala penyakit pasien. Langkah ini bisa saja dilakukan, akan tetapi karena tidak didasarkan pada telaah bukti (tanda dan gejala serta pemeriksaan penunjang) maka hipotesis atau diagnosis yang diambil bisa saja keliru. Hasil riset yang dilakukan oleh Beullens dkk (2005) menunjukkan bahwa clinical reasoning dengan menggunakan metode forward lebih besar akurasinya dibanding dengan backward. Selain itu, metode forward lebih banyak dipergunakan oleh ekspert, sedangkan backward lebih sering dipergunakan oleh pemula. Akan tetapi, riset yang dilakukan oleh Eva yang dikutip oleh Norman (2005) menunjukkan bahwa pada kasus yang berbeda (yakni mendiagnosis ECG) tidak ada beda antara keakurasian penggunaan forward dan backward, bahkan metode yang paling baik dipergunakan adalah metode gabungan, dengan dimulai dari backward. Oleh karena itu, akhirnya disimpulkan bahwa konten dan konteks sangat mempengaruhi akurasi diagnosis. Untuk diagnosis penyakit secara umum, metode forward lebih tepat diterapkan. Akan tetapi, secara tradisionil metode clinical reasoning yang dilakukan dan diajarkan kepada para dokter adalah dengan hanya menghubungkan antara sign dan symptom. Sebagai contoh, pada umumnya sesak merupakan gejala dari pneumonia dan keluarnya darah merupakan gejala dari Pulmonary Thrombo Embolism (PTE). Pada kasus di atas, gejala tambahan seperti serak, nausea dan mutah-mutah menunjukkan diagnosis ke arah pneumonia, sedangkan tambahan gejala seperti batuk darah

menunjukkan terjadinya PTE. Model clinical reasoning yang menggunakan teorema Bayes mewakili bentuk penalaran seperti ini. Secara sederhana, model penalaran Bayes ini meyakini bahwa dokter pada umumnya memiliki kemampuan untuk memperkirakan diagnosis yang akan ditegakkan dan kemungkinan kondisi yang menghubungkan bukti (tanda dan gejala serta tes diagnostik) dengan diagnosis tersebut. Bentuk clinical reasoning sering juga dibedakan menjadi analitical dan non analitical clinical reasoning (Eva, 2004). Proses analitic adalah kegiatan penalaran dengan melakukan analisis yang sangat berhati-hati untuk mengetahui hubungan antara tanda dan keluhan dengan diagnosis yang ditetapkan. Berikut adalah diagram proses analitik dalam clinical reasoning.

Gambar 1. metode clinical reasoning analitik Tanda klinik diwakili huruf (A,B,C) diagnosis diwakili dengan angka (Dx 1, Dx 2, Dx 3). Tingkat kemungkinan tanda tersebut menunjuk pada diagnosis tertentu, ditentukan oleh ketebalan panah. Pr menunjukkan kemungkinan atau probabilitas dipilihnya diagnosis tertentu. Dari gambar tersebut diketahui bahwa tanda A sangat mungkin menunjukkan diagnosis 1 (anak panah dari A ke Dx1 tebal) dan B juga menunjuk ke diagnosis 1 (anak panah dari B ke Dx1 tebal) maka probabilitas diagnosis yang dipilih adalah yang Pr (Dx1). Demikian juga untuk pilihan diagnosis ke dua. Jadi, pada clinical reasoning yang analitik, hal utama yang harus difahami oleh dokter adalah hubungan sebab akibat yang menghubungkan antara tanda atau gejala dengan diagnosisnya. Selanjutnya Eva (2004) menjelaskan bahwa non analitic-clinical reasoning adalah clinical reasoning yang tidak membutuhkan penalaran sama sekali, dan biasa disebut dengan pattern recognition (pengenalan tanda). Berikut adalah gambar diagram yang menunjukkan proses clinical reasoning yang tidak analitik.

Gambar 2. Metode clinical reasoning non analitik Dengan mengetahui adanya tanda atau gejala A, B, C, D dan ketika tanda A, B,D, F muncul bersamaan diketahui sebelumnya sebagai penyakit 1, maka diagnosis yang ditegakkan adalah Pr (Dx1). Jadi, proses clinical reasoning yang non-analitic sangat tergantung dari pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Dengan menggunakan pengalaman masa lalu maka ketika menemukan gejala yang sama dengan yang ditemukannya pada masa lalu, dokter melakukan clinical reasoning non analitik dengan mengambil keputusan yang sama dengan yang diambilnya dahulu. Saya sepakat dengan pernyataan Norman (2005) yang menyatakan bahwa langkah clinical reasoning yang dilakukan dengan metode tradisional, Bayesian, analitic dan non analitic -- dengan pattern recognition (pengenalan tanda) dan schema inductionnya, bukan merupakan kegiatan problem solving dan reasoning. Proses critical thinking tidak diterapkan dalam clinical reasoning dengan menggunakan metode tersebut. Sepanjang dokter hafal dan memiliki pengalaman mengenai tanda dan gejala serta kemungkinan diagnosisnya, maka diagnosis dapat diputuskan. Kee dan Bickle (2005) juga menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para dokter bukan lagi problem solving, karena mereka hanya mengingat jalan keluar dari pemecahan masalah yang pernah dilakukan sebelumnya. Menurutnya, ada tiga jenis clinical reasoning, yakni: (i) probabilistik, yakni ketika dokter mampu untuk mengapresiasi informasi dalam bentuk tanda dan gejala (ii) causal, yang membutuhkan pemahaman anatomik dan proses fisiologi (iii) rule based, yang membutuhkan pattern recognition atau pengenalan tanda untuk memutuskan diagnosis. Meskipun menurutnya penggunaan metode tersebut sangat tergantung pada kepentingan masalah yang akan diselesaikan, namun, yang perlu diingat bahwa seorang ahli tidak akan banyak memutuskan masalah jika hanya dengan

mendasarkan pada penyelesaian sebelumnya, karena setiap pasien dan masalahnya memiliki karakteristik masing-masing yang unik dan khas, sehingga harus

dipertimbangkannya secara menyeluruh. Inilah salah satu hal yang menjadi alasan mengapa berfikir kritis harus diterapkan dalam clinical reasoning. Namun sayangnya, pattern recognition adalah cara umum yang dipergunakan oleh praktek dokter saat ini. Semakin berpengalaman seorang dokter, maka metode inilah yang sering dipakai. Rutinitas kegiatan problem solving yang kreatif, yang dilakukan sejak pemula, membuat dokter yang sudah ahli dan berpengalaman menggunakan metode pattern recognition ini. Oleh karena itu, mengapa Norman memaklumi diterapkannya metode ini oleh para ahli. Namun bagi para pemula, tetap kegiatan problem solving yang kreatif harus diajarkan dan dilakukan, bahkan diuji. Semakin banyak kasus yang dipelajari dan diselesaikan oleh pemula, kesempatan menjadi ekspert akan terbuka. Pada saat itulah dia akan dengan sendirinya menggunakan clinical reasoning biasa, bukan problem solving (Norman 2004). Memang bisa dimaklumi jika banyaknya pasien yang harus ditangani mengharuskan dokter menerapkan metode ini. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi kemungkinan kesalahan dalam penegakkan diagnosis jika tidak dilakukan dengan langkah critical thinking, maka dokter patut berhati-hati dan berfikir ulang untuk menggunakan pattern recognition. Selain itu, kondisi pasien dengan seluruh latar belakang baik sosial budaya dan keluarga selain kondisi fisiknya yang berbeda antara satu dengan yang lain juga patut menjadi perhatian dokter dalam memutuskan masalah.

Penutup Proses clinical reasoning jika dilakukan dengan benar pasti akan menerapkan prinsip-prinsip critical thinking. Namun, yang menjadi permasalahan adalah dokter cenderung menggunakan cara praktis dan heuristic, seperti pattern recognition dalam menegakkan diagnosis pasien. Sudah saatnya dokter memikirkan untuk menerapkan konsep critical thnking dalam kegiatan clinical reasoningnya, bukan hanya berfikir praktis, dengan hanya mendasarkan pada pattern recognition dan pengalaman masa lalu. Proses berfikir yang benar dalam menyelesaikan masalah harus diajarkan kepada siswa, bahkan jika perlu

harus menjadi bagian metode pembelajaran yang selalu dilakukan oleh siswa dalam kegiatan pembelajarannya.

DAFTAR PUSTAKA

Beullens, J, Struyf and Van Damme, B. 2005. Do extended mathcing multiple choice questions measure clinical reasoning? Medical Education, 39:410-417 Carrol, Robert T. 2004. Critical thinking. Becoming a Critical Thinker. Eva KW. 2004. What every teacher needs to know about clinical reasoning. Medical Education, 39, 98-106. Facione NC, Facione PA. 1996. Externalizing the critical thinking in knowledge development and clinical judgment. Nursing Outlook, 44, 129-36. Facione NC.2004. Critical Thinking what it is and why it counts. California Academic Press. Fisher, Alec, 2001, Critical Thinking an Introduction, UK: Cambridge University Press. Groves, M, Scott, I, Alexander, H. 2002. Assessing clinical reasoning: a method to monitor its development in a PBL curriculum, Medical Teacher, vol 24, No. 5. 507 -515 Kee, F dan Bickle I. 2004. Critical thinking and Critical Appraisal: the chicken and the Egg? QMJ, 97, 609-614 Norman, G. 2005. Research in clinical reasoning: past history and current trends, Medical Education, 39, 418-427 Schafersman, Steven D. 1991. An Introduction to critical thinking.

Anda mungkin juga menyukai