Anda di halaman 1dari 13

Inkompatibilitas ABO pada Bayi Berusia 5 Hari

Viqtor Try Junianto


102012414
Kelompok C9
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no. 10
vrantetadung@gmail.com
___________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan
pada bayi baru lahir yang menyebabkan warna kulit bayi kuning (ikterus). Lebih dari 85% bayi
cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan
ini.
Dikatakan Ikterus patologik apabila kadar bilirubin mencapai hiperbilirubinemia yaitu
bila peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl atau lebih setiap 24 jam atau konsentrasi bilirubin
serum lebih dari 15 mg/dl. Penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus banyak, namun penyebab
yang tersering adalah penyakit hemolitik neonatus, antara lain karena inkompatibilitas golongan
darah (Rh, ABO), defek sel darah merah (defisiensi G6PD, sferositosis) lisis hematoma dan lainlain.
Saat ini, inkompatibilitas antigen golongan darah utama A dan B merupakan kasus
tersering yang menyebabkan anemia, yaitu jenis anemia hemolitik pada neonatus. Sekitar 20
persen bayi mengalami inkompatibilitas golongan darah ABO dengan ibunya, dan 5 persen saja
yang mengalami gejala klinis. Untungnya, inkompatibilitas ABO hampir selalu menyebabkan
penyakit yang ringan yang bermanifestasi sebagai ikterus pada neonatus atau anemia, tetapi
bukan eritroblastosis fetalis (hidrops imun) dan terapi umumnya hanya terbatas pada fototerapi
semata, kecuali bila ditemukan ikterus yang berkepanjangan dan mengharuskan untuk
melakukan transfusi tukar.

PEMBAHASAN
Anamnesis
1

Identitas pasien
Keluhan utama, sejak kapan?
Bagian tubuh yang mana yang kuning?
Kuning timbul saat kapan saja?
Bagaimana riwayat kelahiran?
Apakah bayi diberi ASI atau susu formula?
Apakah sebelumnya mendapat transfusi darah?
Apakah bayi lahir cukup bulan atau prematur?
Anak keberapa dari berapa bersaudara?
Bagaimana riwayat vaksinasi pasien?
Bagaimana kebiasaan pasien? (seperti makanan, minuman, pengguna obat-obatan)
Apakah ada riwayat alergi?
Dimana terjadi proses kelahiran si bayi?
Apakah selama atau sebelum masa kehamilan ibu sedang menderita penyakit infeksi

tertentu atau mengkonsumsi obata-obatan tertentu?


Apakah golongan darah ibu dan ayah? Apakah rhesus ibu dan ayah?
Apakah dulu pernah mengalami sakit yang cukup berat sehingga harus dirawat di rumah

sakit?
Adakah riwayat diabetes melitus atau penyakit berat lainnya?
Apakah di keluarga juga ada yang sedang atau pernah menderita penyakit yang sama?

Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan TTV
Untuk mengetahui apakah ada kelainan pada bayi yang baru saja dilahirkan,
setelah itu pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan pengamatan ikterus pada bayi.
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan
dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. Tentukan keparahan ikterus
berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.1
2. Inspeksi dan palpasi
Penilaian icterus berdasarkan penilaian Kramer. Untuk penilaian ikterus, Kramer
membagi tubuh bayi baru lahir dalam 5 bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada
sampai pusar, pusar bagian bawah sampai tumit, tumit-pergelangan kaki dan bahu
pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara
pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnya menonjol
seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain.
2

Selain temuan berupa warna kuning pada tubuh dan sklera bayi, dapat pula
ditemukan adanya hepatosplenomegali, petekie, dan microcephaly pada bayi-bayi dengan
anemia hemolitik, sepsis, dan infeksi kongenital.1
Hasil pemeriksan fisik :

TTV: suhu 36,8oC, nadi 130x/m, RR 40x/m


Sclera ikterik
Kulit ikterik hungga abdomen
Hepar dn lien tidak membesar

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah.
Pemeriksaan darah akan memberikan gambaran sel darah merah yang ternukleasi,
retikulositosis, polikromasia, anisositosis, sferosit, dan fragmentasi sel. Hitung retikulosit
dapat mencapai 40% pada pasien tanpa intervensi intrauterine. Hitung sel darah merah
yang ternukleasi meningkat disertai peningkatan palsu leukosit, menunjukkan keadaan
eritropoiesis. Sferosit lebih umum ditemukan pada kasus inkompatibilitas ABO. Hitung
retikulosit yang rendah dapat diamati pada bayi yang sudah melakukan transfusi
intravaskuler, disertai dengan konsentrasi hemoglobin normal, dan temuan apus darah
yang normal.
2. Uji Coombs
Untuk mengetahui apakah terdapat antibodi maternal pada sirkulasi darah korda
fetus. Janin kemudian dievaluasi dengan uji Coombs direk, karena antibodi anti-sel darah
merah yang dihasilkan oleh ibu Rh-negatif umumnya diserap oleh eritrosit janin Dpositif. Neonatus juga dievaluasi dengan uji Coombs direk. Antibodi ibu yang terdeteksi
pada janin saat lahir, secara bertahap lenyap dalam periode 1 hingga 4 bulan. Jika
ditemukan antibodi sel darah merah ibu, antibodi itu perlu diidentifikasi dan ditentukan
apakah IgG atau IgM. Hanya antibodi IgG yang menimbulkan kekhawatiran karena
antibodi IgM biasanya tidak melewati plasenta dan menyebabkan hemolisis. Titer
antibodi dikuantifikasi kemudian. Jika antibodinya ialah IgG dan diketahui menyebabkan
anemia hemolitik, dan jika titer di atas ambang kritis diindikasikan untuk evaluasi lebih
lanjut. Untuk antibodi titer-D, titer di bawah 1:16 biasanya tidak menyebabkan kematian
3

janin pada penyakit hemolitik, meskipun hal ini bervariasi antara lab. Titer yang sama
atau lebih dari kritis ini menandakan kemungkinan penyakit hemolitik yang parah.
Pemeriksaan Coombs ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu jenis direk dan indirek. Uji
Coombs indirek dan direk biasanya akan positif pada ibu dan bayi baru lahir yang terkena
pada inkompatibilitas Rh. Tidak seperti allo-imunisasi Rh, test antibodi direk akan positif
hanya pada 20-40% bayi dengan inkompatibilitas ABO.
Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi : untuk mengetahui apakah terjadi
inkompatibilitas ABO, rhesus dan abnormalitas sel darah merah.2
3. Pemeriksaan bilirubin
Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa sebagai bilirubin total dan bilirubin
direk. Sedangkan bilirubin indirek diperhitungkan dari selisih antara bilirubin total dan
bilirubin direk. Peningkatan kadar bilirubin direk menunjukkan adanya gangguan pada
hati (kerusakan sel hati) atau saluran empedu (batu atau tumor). Peningkatan kadar
bilirubin indirek sering dikaitkan dengan peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis).
lanjutIkterik kerap nampak jika kadar bilirubin mencapai >5 mg/dl. Kadar bilirubin
(total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 15 mg/dl, namun jika masih <15mg/dl masih
dikatakan ikterus fisiologis dan akan hilang dalam 14 hari, sedangkan jika kadarnya >15
mg/dl maka hal tersebut sudah masuk ke dalam ikterus patologik.

Nilai rujukan:
-

Dewasa: total: 0,1 1,2 mg/dl, direk: 0,1 - 0,3 mg/dl, indirek: 0,1 1,0 mg/dl
Anak: total: 0,2 0,8 mg/dl, indirek: sama dengan dewasa.
Bayi baru lahir: total: 1 12 mg/dl, indirek: sama dengan dewasa.

Diagnosis kerja
Inkompatibilitas ABO ialah penyebab tersering dari kasus hemolitik pada neonatus.
Inkompatibilitas pada kelompok golongan darah mayor di antara ibu dan fetus umumnya akan
berakhir pada kasus yang lebih ringan dibandingkan pada kasus inkompatibilitas Rh. Antibodi
maternal dapat dibentuk untuk melawan sel B apabila ibu bergolongan darah A atau melawan sel
A apabila ibu bergolongan darah B. Biasanya ibu bergolongan darah O dan bayi yang
dilahirkannya bergolongan darah A atau B. Walaupun inkompatibilitas ABO terjadi pada 20-25%
kehamilan, kasus hemolitik baru dapat berkembang pada sekitar 10% bayi baru lahir pada
kehamilan tertentu, dan janin umumnya bergolongan darah A1 yang lebih antigenik dibandingkan
4

dengan A2. Antigenisitas yang rendah dari faktor ABO pada fetus dan bayi yang baru dilahirkan
dapat menjadi sebab insidens yang rendah untuk kasus hemolitik yang berat. Walaupun antibodi
yang melawan faktor A dan faktor B terjadi tanpa imunisasi sebelumnya (antibodi natural),
umumnya antibodi ini ialah IgM yang tidak melewati plasenta. Namun, antibodi IgG terhadap
antigen A dapat terbentuk dan inilah yang melewati plasenta, jadi kasus hemolitik akibat isoimun
A-O dapat ditemukan pada anak pertama. Ibu yang sudah diimunisasi melawan faktor A atau
faktor B dari kehamilan sebelumnya yang tidak kompatibel, dapat menghasilkan antibodi IgG.
Inilah yang menjadi mediator primer dari kasus isoimun ABO.
Diagnosis dugaan didasarkan pada adanya inkompatibilitas ABO, uji Coombs direk
positif lemah sampai sedang, sferosit pada sediaan apus sel darah, yang mungkin saja
mengindikasikan adanya sferositosis herediter. Hiperbilirubinemia dapat menjadi satu-satunya
abnormalitas pada pemeriksaan lab. Kadar hemoglobin umumnya normal, namun dapat juga
mencapai angka 10-12 g/dL. Retikulosit dapat meningkat hingga 10-15%, dengan polikromasia
meluas dan peningkatan dari sel darah merah yang mengalami nukleasi. Pada 10-20% janin yang
terkena, kadar bilirubin serum yang tidak terkonjugasi dapat mencapai 20 mg/dL atau lebih
kecuali fototerapi segera dimulai.
Inkompatibilitas ABO berbeda dengan inkompatibilitas Rh (antigen CDE) dikarenakan
oleh beberapa alasan: 3,4
1. Penyakit ABO sering dijumpai pada bayi yang lahir pertama.
2. Penyakitnya hampir selalu ringan daripada isoimunisasi Rh dan jarang menyebabkan
anemia yang bermakna.
3. Sebagian besar isoantibodi A dan B adalah immunoglobulin M, yang tidak dapat
menembus plasenta dan melisiskan eritrosit janin, oleh karena itu meski dapat
menyebabkan penyakit hemolitik pada neonatus, namun isoimunisasi ABO tidak
menyebabkan hidrops fetalis dan lebih merupakan penyakit pediatrik daripada obstetric.
4. Inkompatibilitas ABO dapat mempengaruhi kehamilan mendatang, tetapi tidak seperti
penyakit Rh CDE, jarang menjadi semakin parah.
Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakkan hemolisis neonatus akibat
inkompatibilitas ABO adalah sebagai berikut:

Ibu memiliki golongan darah O dengan antibodi anti-A dan anti-B di dalam

serumnya, sedangkan janin memiliki golongan darah A,B, atau AB.


Ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama
Terdapat anemia, retikulositosis, dan eritroblastosis dengan derajat bervarias
Kasus hemolisis yang lain telah disingkirkan dengan teliti.

Diagnosis banding
Hemolitik ec Inkompatibilitas Rh
Hemolisis biasanya terjadi bila ibu mempunyai Rhesus NEGATIF dan anak mempunyai
Rhesus POSITIF. Bila sel darah janin masuk ke peredaran darah ibu, maka ibu akan dirangsang
oleh antigen Rh sehingga membentuk antibodi terhadap Rh. Zat antibodi Rh ini dapat melalui
plasenta dan masuk ke peredaran darah janin dan selanjutnya mengakibatkan penghancuran
eritrosit janin (hemolisis). Hemolisis ini terjadi dalam kandungan dan akibatnya ialah
pembentukan sel darah merah dilakukan oleh tubuh bayi secara berlebihan, sehingga akan
didapatkan sel darah merah berinti yang banyak. Oleh karena keadaan ini disebut Eritroblastosis
Fetalis. Pengaruh kelainan ini biasanya tidak terlihat pada anak pertama, tetapi akan nyata pada
anak yang dilahirkan selanjutnya.
Bila ibu sebelum mengandung anak pertama pernah mendapat transfusi darah yang
inkompatibel atau ibu mengalami keguguran dengan janin yang mempunyai Rhesus POSITIF,
pengaruh kelainan inkompabilitas Rhesus ini akan terlihat pada bayi yang dilahirkan kemudian.3,4
Characteristics
Clinical aspects

Laboratory findings

Rh

ABO

First born

5%

50%

Later pregnancies

More severe

No increased severity

Stillborn/hydrops

Frequent

Rare

Severe anemia

Frequent

Rare

Jaundice

Moderate to severe, frequent

Mild

Late anemia

Frequent

Rare

Direct antibody test

Positive

Weakly positive

Indirect Coombs test

Positive

Usually positive

Spherocytosis

Rare

Frequent

Tabel 1. Perbandingan Antara Inkompatibilitas Rh dan ABO3


Etiologi
Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh ketidakcocokan dari
golongan darah ibu dengan golongan darah janin, dimana umumnya ibu bergolongan darah O
dan janinnya bergolongan darah A, atau B, atau AB. Dikarenakan dalam kelompok golongan
darah ini, terdapat antibodi anti-A dan anti-B yang muncul secara natural, dan dapat melewati
sawar plasenta. Situasi ini dapat disebabkan oleh karena robekan pada membran plasenta yang
memisahkan darah maternal dengan darah fetal, sama halnya seperti pada previa plasenta,
abruptio placenta, trauma, dan amniosentesis.5

Patofisiologi
Inkompatibilitas ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi melawan sel
darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa
insiden dapat masuk ke dalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan

fetomaternal

microtransfusion. Bila ibu, tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin,
maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun antibodi tipe IgG tersebut
dapat melewati plasenta dan kemudian masuk ke dalam peredaran darah janin sehingga sel-sel
eritrosit janin diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan
hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II).
Ibu yang golongan O secara alamiah mempunyai antibodi anti-A dan anti-B pada
sirkulasi darahnya. Jika janin mempunyai golongan darah A atau B, eritroblastosis dapat terjadi.
Sebagian besar, secara alamiah, membentuk anti-A dan anti-B berupa antibodi IgM, yang tidak
melewati plasenta dan melisiskan eritosit janin. Oleh karena itu, meskipun dapat menyebabkan
anemia penyakit hemolitik pada neonatus, namun isoimunisasi ABO tdk dpt menyebabkan
hidrops fetalis dan lebih merupakan penyakit pediatrik daripada obstetris. Beberapa ibu juga
relatif mempunyai kadar IgG anti-A atau anti B yang tinggi, yang potensial menyebabkan
eritroblastosis, karena IgG melewati plasenta. Ibu golongan darah O mempunyai kadar IgG antiA lebih tinggi daripada ibu golongan darah B dan kadar IgG-anti B lebih tinggi daripada ibu
7

golongan darah A. Dengan demikian, penyakit hampir selalu terjadi pada ibu golongan darah O.
Penyakit jarang terjadi bila itu golongan darah A dan bayi golongan darah B. Sekitar sepertiga
bayi golongan darah A atau B dari ibu golongan darah O akan mempunyai antibodi ibu yang
dapat dideteksi pada eritrositnya.
Akan terjadi anemia berlebihan dalam tubuh bayi maka tubuh mengkompensasi dengan
cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yaitu imatur yang berinti banyak, disebut
dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dam limpa yang
selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eriroblas ini
melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk
pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi.6

Epidemiologi
Inkompatibilitas ABO menurut statistik kira-kira 2% seluruh kehamilan terlihat dalam
ketidakselerasan golongan darah ABO dari 75% dari jumlah ini terdiri dari ibu golongan darah O
dan janin golongan A atau B. Mayoritas inkompatibilitas ABO 40% diderita oleh anak pertama
dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya.
Lebih sering terjadi pada bayi golongan B daripada A dan lebih sering pada bayi kulit
hitam daripada bayi kulit putih dengan golongan A atau B.5
Manifestasi klinis
Sebagian besar kasus bersifat ringan, dengan ikterus menjadi manifestas klinis satusatunya. peningkatan bilirubin minimal, hati dan limpa tidak mengalami pembesaran yang
berarti. Ikterus baru terjadi selama 24 jam pertama. Namun, kasus ini dapat menjadi parah dan
tanda-tanda dari kernicterus dapat terlihat, walaupun sangat jarang terjadi.5
Penatalaksanaan
Farmakologi7
1. Obat Pengikat Bilirubin

Pemberian oral arang aktif atau agar menurunkan secara bermakna kadar bilirubin ratarata selama 5 hari pertama setelah lahir pada bayi sehat, tetapi potensi terapeutik
nodalitas ini belum diteliti secara ekstensif.
2. Pem-blokade Perubahan Heme Menjadi Bilirubin
Modalitas terapi ini ialah dengan mencegah pembentukan bilirubin dengan cara
menghambat secara kompetitif heme oksigenase yang akan menghambat penguraian
hem. Dapat digunakan metaloporfirin sintetik seperti protoporfirin timah dan yang
terbukti dapat menghambat heme oksigenase, mengurangi kadar bilirubin serum dan
meningkatkan ekskresi heme yang tidak dimetabolisasi melalui empedu. Karena potensi
toksisitas dari modalitas terapi ini belum diketahui secara pasti, maka jenis obat ini belum
diterapkan secara klinis pada anak. Selain protoporfirin timah, tersedia juga protoporfirin
seng atau mesoporfirin

Non-farmakologi7
1. Fototerapi
Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas terapeutik yang umum dilakukan
pada bayi dengan ikterus dan merupakan terapi primer pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi.
Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa fotoreaksi apabila
terpajan ke sinar dalam rentang cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang gelombang
420 nm - 470 nm) dan hal ini akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin. Turunan
bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat polar oleh karena itu akan larut dalam air dan
akan lebih mudah `diekskresikan melalui urine. Bilirubin dalam jumlah yang sangat kecil
juga akan dipecah oleh oksigen yang sangat reaktif secara irreversibel yang diaktifkan
oleh sinar. Produk foto-oksidasi ini juga akan ikut diekskresikan melalui urine dan
empedu. Fototerapi kurang efektif diterapkan pada bayi dengan penyakit hemolitik, tetapi
mungkin dapat berguna untuk mengurangi laju akumulasi pigmen setelah melakukan
transfusi tukar. Beberapa penelitian menemukan bahwa seperti yang telah dikatakan
sebelumnya, bahwa terapi sinar mengubah senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air
menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air. Namun, teori tersebut belum
sepenuhnya benar dikarenakan adanya temuan bahwa penurunan kadar bilirubin darah
9

yang tidak sebanding dengan jumlah dipirol yang terjadi, di samping itu pada terapi sinar
juga ditemukan peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum.
McDonagh dkk (1981) menemukan fakta bahwa secara in vitro maupun in vivo terjadi
isomerisasi bilirubin pada bayi dengan terapi sinar, fotobilirubin inilah yang
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga
peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus.
Fototerapi terutama harus dilakukan sebelum bilirubin mencapai konsentrasi
kritis, penurunan konsentrasi mungkin belum tampak pada 12-24 jam, dan harus terus
dilanjutkan sampai konsentrasi bilirubin serum tetap di bawah 10 mg/dL. Walaupun telah
digunakan secara luas, terapi sinar masih belum dapat menggantikan transfusi tukar untuk
kasus hiperbilirubinemia yang memiliki risiko kernicterus
Efektivitas terapi sinar terutama dipengaruhi oleh seberapa luas bagian kulit bayi
yang terpapar oleh sinar dikarenakan proses isomerisasi terbanyak terjadi pada bagian
perifer yaitu di kulit atau kapiler jaringan subkutan, jumlah energi cahaya yang menyinari
kulit bayi, pengubahan posisi bayi secara berkala, jarak antara sumber cahaya dengan
bayi diatur agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (tidak boleh melebihi 50
cm dan kurang dari 10 cm). Energi cahaya yang optimal bisa didapatkan dari lampu neon
20 Watt yang ada di pasaran dengan panjang gelombang sinar antara 350-470 nm. Selain
penggunaan lampu neon, dibutuhkan pula pleksiglas untuk memblokade sinar ultraviolet,
dan filter biru untuk memperbesar energi cahaya yang sampai pada bayi. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan selama berlangsung terapi sinar ini ialah:
a. Diusahakan agar tubuh bayi terpapar sinar seluas mungkin, bila perlu bukalah
pakaian bayi
b. Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang memantulkan cahaya
untuk melingungi sel-sel retina dan mencegah gangguan maturasi seksual
c. Bayi diletakkkan 8 inci di bawah sinar lampu, jarak ini ialah jarak terbaik
untuk mendapat energi cahaya yang optimal
d. Posisi bayi diubah setiap 18 jam agar seluruh badan terpapar sinar
e. Pengukuran suhu bayi setiap 4-6 jam/kali
f. Kadar bilirubin diukur setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24
jam
g. Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan bayi
h. Lama terapi sinar dicatat
10

Bila terapi sinar tidak menunjukkan ada penurunan kadar bilirubin serum yang
berarti, dapat diduga kemungkinan lampu yang tidak efektif atau adanya komplikasi pada
bayi berupa dehidrasi, hipoksia, infeksi atau gangguan metabolisme yang harus
diperbaiki.
Beberapa efek samping yang dapat terjadi pada bayi dengan terapi sinar, antara
lain peningkatan insensible water loss pada bayi sehingga perlu diberikan pemberian
cairan yang lebih diperhatikan, frekuensi defekasi bayi meningkat akibat peningkatan
peristatltik usus, dapat terjadi diskolorasi gelap di kulit (bronze baby) akibat penimbunan
fotoderivatif bilirubin yang kecoklatan dalam darah, kerusakan retina yang dilaporkan
pada hewan percobaan bersamaan dengan meningkatnya risiko retinopati pada bayi oleh
karena itu perlindungan mata bayi sangatlah penting, hipokalsemia yang lebih umum
nampak pada bayi prematur, kenaikan suhu bayi yang berlebihan. Walau begitu, terapi
sinar masih dianggap sebagai terapi yang sangat aman dan tidak memiliki efek samping
serius yang berkelanjutan, efek samping akan hilang ketika terapi dihentikan segera.
2. Transfusi Tukar
Pada umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d. Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat <14 mg% dan uji Coombs direk
positif
Transfusi tukar dilakukan dengan indikasi untuk menghindari efek toksisitas
bilirubin ketika semua modalitas terapeutik telah gagal atau tidak mencukupi. Sebagai
tambahan, prosedur ini dilakukan dengan bayi yang memiliki indikasi eritroblastosis
dengan anemia hebat, hidrops, atau bahkan keduanya bahkan ketika tidak adanya kadar
bilirubin serum yang tinggi.
Transfusi tukar terutama direkomendasikan ketika terapi sinar tidak berhasil dan
ketika bayi mengalami ikterus akibat Rh isoimunisasi dan inkompatibilitas ABO sehingga
jenis ikterusnya dapat dikatakan sebagai ikterus hemolitik dan memiliki risiko
neurotoksisitas yang lebih tinggi dibanding ikterus non-hemolitik. Prosedur ini dilakukan
dengan mengurangi kadar bilirubin hingga hampir 50% dan juga menghilangkan sekitar
80% sel darah merah abnormal yang telah tersensitisasi serta melawan antibodi agar
11

proses hemolisis tidak terjadi. Prosedur ini bersifat invasif dan bukan prosedur yang
bebas risiko, karena prosedur ini memiliki risiko mortalitas sebesar 1-5%, dapat pula
berkomplikasi menjadi necrotizing enterocolitis (NEC), infeksi, gangguan elektrolit,
ataupun trombositopenia sehingga prosedur ini harus dilakukan secara hati-hati. Sebelum
dilakukan transfusi dapat diberikan albumin 1,0 g/kg untuk mempercepat keluarnya
bilirubin ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya akan lebih mudah
dikeluarkan dengan transfusi tukar, lalu kemudian diberikan IVIG 0,5-1 g/kg untuk kasus
hemolisis yang diperantarai oleh antibodi.
Komplikasi
Anemia berat dengan pembesaran hati dan limpa
Hidrops fetalis
Hal ini terjadi sebagai organ bayi tidak mampu untuk menangani anemia. Jantung
mulai gagal dan sejumlah besar cairan membangun pada jaringan bayi dan organ. Sebuah
janin dengan hidrops berisiko besar yang lahir mati.
Kernikterus
Kernikterus adalah bentuk yang paling parah hiperbilirubinemia dan hasil
penumpukan bilirubin dalam otak. Hal ini dapat menyebabkan kejang, kerusakan otak,
ketulian, dan kematian.
Pencegahan
1. Pengawasan antenatal yang baik.
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa gestasi dan
kelahiran, seperti sulfafurazole, novobiosin, oksitosin, dan lain-lain.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonates
4. Pencegahan infeksi, bahkan jauh sebelum masa kehamilan.
Prognosis
Secara keseluruhan, angka survival dapat mencapai 85-90%, namun dapat berkurang
sebanyak 15% pada janin dengan hidrops fetus.
KESIMPULAN

12

Bayi perempuan berumur 5 tahun menderita inkompatibilitas ABO karena ditemukan


sclera dan kulit ikterik hingga daerah abdomen dan diketahui juga bahwa golongan darah si ibu
adalah O.
DAFTAR PUSTAKA
1. Swartz M, editor. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC; 2010.h. 128-30.
2. Abraham MR, Julien IE, Hoffman CD, Rudolph. Buku ajar pediatri Rudolph. Jakarta: EGC;
2011.h.183-9.
3. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, et al. Nelson textbook of pediatrics.19 th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.p.619.
4. Nickel PC. Incidence of a Type AB Infant Born to a Type O Mother. Medscape 2014 May 2.
Available from URL: http://www.medscape.com/viewarticle/520559_4.
5. Waldron PE, Cashore WJ, editors. Hemolytic diseases of the fetus and newborn. Cambridge:
Cambridge University Press; 2012.h.91-119.
6. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Biokimia harper. Edisi ke-29. Jakarta:
EGC; 2014.h.393-9.
7. Hassan R, Alatas H, penyunting. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jakarta:
Indomedika;2010.h.1101-14.

13

Anda mungkin juga menyukai