Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

BLOK DIGESTIVE
OBAT SALURAN PENCERNAAN

Asisten :
Farissa Utami
G1A012121
Kelompok D2
1. Putra Achsanal Huda

G1A012139

2. Putri Rahmawati Utami

G1A013052

3. Hilmi Puguh Panuntun

G1A013055

4. Muhammad Mahdi A

G1A013056

5. Mada Dwi Hari

G1A013057

6. M.Mukti Muryadi

G1A013072

7. Dilla Alfinda R

G1A013112

8. Anggi Samudera R

G1A013113

9. Yuni Prima Wardani

G1A013114

10. Chandrawati Prima D

G1A013115

BLOK DIGESTIVE
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015

LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Kelompok D2
1. Putra Achsanal Huda

G1A012139

2. Putri Rahmawati Utami

G1A013052

3. Hilmi Puguh Panuntun

G1A013055

4. Muhammad Mahdi A

G1A013056

5. Mada Dwi Hari

G1A013057

6. M.Mukti Muryadi

G1A013072

7. Dilla Alfinda R

G1A013112

8. Anggi Samudera R

G1A013113

9. Yuni Prima Wardani

G1A013114

10. Chandrawati Prima D

G1A013115

disusun untuk memenuhi persyaratan


mengikuti ujian praktikum Farmakologi Blok Digestive
Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

diterima dan disahkan


Purwokerto, Juni 2015
Asisten,
Farissa Utami
NIM.G1A012121
I. PENDAHULUAN
A. Judul Percobaan
Obat Saluran Pencernaan
B. Hari dan Tanggal Percobaan
Rabu, 3 Juni 2015
C. Tujuan Percobaan
1. Umum

Setelah menyelesaikan praktikum farmakologi dan terapeutik kami


dapat menerapkan prinsip-prinsip farmakologi berbagai macam obat dan
memiliki keterampilan dalam memberi dan mengaplikasikan obat secara
rasionl untuk kepentingan klinik.
2. Khusus
a. Untuk dapat menjelaskan efek obat laksatif dan anti diare pada
binatang percobaan (tikus putih).
b. Dapat menjelaskan jenis-jenis obat yang sering digunakan pada
kelainan gastrointestinal.
c. Dapat menjelaskan bahan-bahan alami yang dapat bersifat laksatif
ataupun anti diare.
d. Dapat memilih jenis obat yang paling tepat dalam praktek klinik
D. Dasar Teori
1. Fisiologi Sekresi Asam Lambung
Setiap hari lambung mengeluarkan sekitar 2 liter getah lambung.
Sel-sel yang bertanggung jawab untuk fungsi sekresi, terletak di lapisan
mukosa lambung. Secara umum, mukosa lambung dapat dibagi menjadi
dua bagian terpisah : (1) mukosa oksintik yaitu yang melapisi fundus dan
badan (body), (2) daerah kelenjar pilorik yang melapisi bagian antrum.
Sel-sel kelenjar mukosa terdapat di kantong lambung (gastric pits), yaitu
suatu invaginasi atau kantung pada permukaan luminal lambung. Variasi
sel sekretori yang melapisi invaginasi ini beberapa diantaranya adalah
eksokrin, endokrin, dan parakrin (Sherwood, 2010). Ada tiga jenis sel tipe
eksokrin yang ditemukan di dinding kantung dan kelenjar oksintik mukosa
lambung, yaitu :
a. Sel mukus yang melapisi kantung lambung, yang menyekresikan
mukus yang encer.
b. Bagian yang paling dalam dilapisi oleh sel utama (chief cell) dan
sel parietal. Sel utama menyekresikan prekursor enzim pepsinogen.
c. Sel parietal (oksintik) mengeluarkan HCl dan faktor intrinsik.
Oksintik artinya tajam, yang mengacu kepada kemampuan sel ini
untuk menghasilkan keadaan yang sangat asam.
Semua sekresi eksokrin ini dikeluarkan ke lumen lambung dan
mereka berperan dalam membentuk getah lambung (gastric juice )

(Sherwood, 2010). Sel mukus cepat membelah dan berfungsi sebagai sel
induk bagi semua sel baru di mukosa lambung.
Sel-sel anak yang dihasilkan dari pembelahan sel akan bermigrasi
ke luar kantung untuk menjadi sel epitel permukaan atau berdiferensiasi ke
bawah untuk menjadi sel utama atau sel parietal. Melalui aktivitas ini,
seluruh mukosa lambung diganti setiap tiga hari (Sherwood, 2010).
Kantung-kantung lambung pada daerah kelenjar pilorik terutama
mengeluarkan mukus dan sejumlah kecil pepsinogen, yang berbeda
dengan mukosa oksintik. Sel-sel di daerah kelenjar pilorik ini jenis selnya
adalah sel parakrin atau endokrin. Sel-sel tersebut adalah sel
enterokromafin yang menghasilkan histamin, sel G yang menghasilkan
gastrin, sel D menghasilkan somatostatin. Histamin yang dikeluarkan
berperan sebagai stimulus untuk sekresi asetilkolin, dan gastrin. Sel G
yang dihasilkan berperan sebagai stimuli sekresi produk protein, dan
sekresi asetilkolin. Sel D berperan sebagai stimuli asam (Sherwood, 2010).
2. Mekanisme Sekresi Asam Lambung
Sel-sel parietal secara aktif mengeluarkan HCl ke dalam lumen
kantung lambung, yang kemudian mengalirkannya ke dalam lumen
lambung. pH isi lumen turun sampai serendah 2 akibat sekresi HCl. Ion
hidorgen (H+) dan ion klorida (Cl) secara aktif ditransportasikan oleh
pompa yang berbeda di membran plasma sel parietal. Ion hidrogen secara
aktif dipindahkan melawan gradien konsentrasi yang sangat besar, dengan
konsentrasi H+ di dalam lumen mencapai tiga sampai empat juta kali lebih
besar dari pada konsentrasinya dalam darah. Karena untuk memindahkan
H+ melawan gradien yang sedemikian besar diperlukan banyak energi, selsel parietal memiliki banyak mitokondria, yaitu organel penghasil energi.
Klorida juga disekresikan secara aktif, tetapi melawan gradien konsentrasi
yang jauh lebih kecil, yakni hanya sekitar satu setengah kali (Sherwood,
2010).

Ion H+ yang disekresikan tidak dipindahkan dari plasma tetapi


berasal dari proses-proses metabolisme di dalam sel parietal. Secara
spesifik, ion H+ disekresikan sebagai hasil pemecahan dari molekul H2O
menjadi H+ dan OH-. Di sel parietal H+ disekresikan ke lumen oleh
pompa H+-K+-ATPase yang berada di membran luminal sel parietal.
Transpot aktif primer ini juga memompa K+ masuk ke dalam sel dari
lumen. Ion K+ yang telah ditranspotkan, secara pasif balik ke lumen,
melalui kanal K+, sehingga jumlah K+ tidak berubah setelah sekresi H+.
Sel-sel parietal memiliki banyak enzim karbonat anhidrase (ca). Dengan
adanya karbonat anhidrase, H2O mudah berikatan dengan CO2, yang
diproduksi oleh sel parietal melalui proses metabolisme atau berdifusi
masuk dari darah. Kombinasi antara H2O dan CO2 menghasilkan H2CO3
yang secara parsial terurai menjadi H+ dan HCO3- (Sherwood, 2010).
HCO3- dipindahkan ke plasma oleh antipoter Cl- __ HCO3- pada
membran basolateral dari sel parietal. Kemudian mengangkat Cl- dari
plasma ke lumen lambung. Pertukaran Cl- dan HCO3- mempertahankan
netralitas listrik plasma selama sekresi HCl ( gambar 2.4 ) (Sherwood,
2010). Proses tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
CO2+H2O

H+ +HCO3

H2CO3

Adapun fungsi dari HCl adalah sebagai berikut (Sherwood, 2010) :


a. Mengaktifkan prekursor enzim pepsinogen menjadi enzim aktif
pepsin, dan membentuk lingkungan asam yang optimal untuk
aktivitas pepsin.
b. Membantu penguraian serat otot dan jaringan ikat, sehingga
partikel makanan berukuran besar dapat dipecah-pecah menjadi
partikel-partikel kecil.
c. Bersama dengan lisozim air liur, mematikan sebagian besar
mikroorganisme

yang

masuk bersama

makanan,

walaupun

sebagian dapat lolos serta terus tumbuh dan berkembang biak di


usus besar.
3. Gangguan asam lambung

Dalam lambung makanan disimpan dan dicampur dengan asam,


mukus dan pepsin. Di lambung terdapat sel-sel khusus yang mensekresi
zat-zat tertentu. Sel parietal yang banyak terdapat di fundus lambung
mensekresikan asam hidroklorida dan faktor intrinsik. Sel chief
mensekresikan pepsinogen. Sedangkan mukus disekresikan bersama
HCO3- oleh sel mukus di permukaan epitel (Guyton, 2008).
Umumnya cairan lambung disekresi sekitar 2500 ml setiap harinya.
Asam klorida yang disekresi berperan membunuh bakteri yang masuk dan
mengondisikan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein. Asam
ini bersifat kuat danpekat yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
Akan tetapi, pada orang normal mukosa lambung tidak teriritasi karena
cairan lambung juga mengandung mukus. Mukus terdiri dari glikoprotein
yang membentuk gel fleksibel yang melapisi mukosa (Guyton, 2008).
Mekanisme dasar sekresi asam hidroklorida dilakukan oleh sel
parietal. Sel parietal mempunyai struktur kanalikulus intrasel. Pada
struktur inilah asam hidroklorida dibentuk. Pada kanalikulus terdapat
molekul H+-K+-ATPase yang memompa H+ melawan gradien konsentrasi.
Pada keadaan sel parietal istirahat kadar K+ dalam vesikel turun dan
molekul ATPase inaktif. Namun, apabila sel parietal diaktifkan ion K + akan
menempel dengan molekulH+-K+-ATPase yang aktif dan terjadi pertukaran
H+ dan K+. Ion H+ yang dikeluarkan berasal dari H2CO3 yang terbentuk dari
hidrasi CO2 (Ganong, 2010).
Ion HCO3- yang terbentuk melalui disosiasi H2CO3 akan
dikeluarkan oleh suatu antiport dengan cara menukarnya untuk anion lain.
Anion tersebut terutama adala Cl- yang banyak terdapat di interstisium. Ion
Cl- juga dikeluarkan seiring penurunan gradien elektronnya melalui kanal
yang diaktifkan oleh AMP. Pengeluaran asam dirangsang oleh histamin
melalui reseptor H2, oleh asetilkolin melalui reseptor muskarinik, dan oleh
gastrin melalui reseptor gastrin di membran sel parietal. Beberapa zat
seperti prostaglandin golongan E dapat menghambat sekresi asam
(Ganong, 2010).

Gambar 1. Sekresi asam lambung (Ganong, 2010)


Gangguan pencernaan yang biasa diakibatkan oleh hipersekresi
getah lambung adalah ulkus peptikum. Ulkus peptikum meruakan daerah
ekskoriasi mukosa yang disebabkan kerja pencernaan getah lambung.
Biasanya hipersekresi getah lambung juga dihubngkan dengan derajat
perlindungan yang diberikan mukus lambung. Oleh karena itu, obat-obat
yang digunakan ditujukan untuk untuk menghambat sekresi asam dan
meningkatkan resistensi mukosa terhadap asam (Ganong, 2010).
Obat-obatan yang dapat digunakan contohnya antasida, yang
sebagian

besar

mengandung

alumunium

hidroksida,

magnesium

hidroksida, atau kalsium karbonat. Penghambat reseptor histamin H2 di


lambung seperti simetidin, ranitidin, nizatidin, dan famotidin secara efektif
mengurangi respons asam. Reseptor muskarinik dapat dihambat dengan
atropin atau obat anti kolinergik spesifik. Omeprazol dapat menghambat
pompa H+-K+-ATPase lambung. Garam alumunium basa sukrosa
oktasulfat seperti sukralfat dapat menigkatkan resistensi mukosa terhadap
asam dengan membentuk protein lekt dan komples lain di tempat ulkus
(Ganong, 2010).
4. Laksatif
Laksatif merupakan agen yang biasa digunakan untuk mengatasi
konstipasi atau yang biasa disebut obat pencahar. Konstipasi sendiri

merupakan keadaan dimana terdapat kesulitan dalam defekasi karena tinja


yang mengeras, otot polos usus yang lumpuh misalnya pada megakolon
kongenital, gangguan refleks defekasi (konstipasi habitual), dan kesulitan
defekasi karena adanya obstruksi intra atau ekstra lumen usus (obstipasi).
Pasien konstipasi biasanya mengeluhkan berkurangnya frekuensi buang air
besar selama seminggu, feses keras mengejan, rasa penuh bagian abdomen
bawah dan rasa evakuasi tak lengkap (Gunawan, 2007;Longo , 2012).
Laksatif merupakan agen yang dapat mengeluarkan feses yang
sudah terbentuk di rektum. Katartik merupakan agen yang dapat
mengeluarkan feses yang belum terbentuk, biasanya menyebabkan tinja
lunak sampai berair dengan sedikit kram (rasa nyeri). Kedua agen itu
merupakan obat pencahar yang dapat mempermudah pengeluaran feses,
namun yang paling sering digunakan biasanya adalah laksatif. Katartik
dapat berfungsi sebagai laksatif pada dosis rendah (Brunton, 2006).
Mekanisme kerja pencahar yang sesungguhnya masih belum bisa
dijelaskan, karena kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi
kolon, transpor air dan elektrolit. Secara umum laksatif bekerja dengan
cara (Gunawan, 2007; Brunton, 2006):
a. Meningkatkan retensi air intralumen dengan mekanisme hidrofilik
atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat
massa, konsistensi dan transit tinja bertambah
b. Menurunkan absorpsi air dan NaCl bekerja secara langsung
maupun tidak langsung terhadap mukosa kolon
c. Meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya absorpsi
garam dan air dan selanjutnya mengurangi waktu transit atau
menstimulasi kontraksi propulsif.
Ada beberapa klasifikasi obat laksatif, antara lain (Brunton, 2006):
a. Agen lumen aktif
1) Koloid hidrofilik (pembentuk massa)
Obat golongan ini berasal dari alam atau dibuat secara
semisintetik. Golongan ini bekerja dengan mengikat air dan ion

dalam lumen kolon, dengan demikian tinja akan menjadi lebih


banyak dan lunak. Sebagian dari komponennya misalnya pektin akan
dicerna bakteri kolon dan metabolitnya akan meningkatkan efek
pencahar melalui pengingkatan osmotik cairan lumen. Contoh
sediaan alam adalah agar-agar dan psilium sedangkan sediaan
semisintetik ialah metilselulosa dan natrium karboksimetilselulosa
(Gunawan , 2007).
Serat merupakan agen koloid hidrofilik alami yang bisa
didapatkan dari makanan, sehingga diet serat juga dapat menjadi
terapi dari konstipasi. Serat merupakan bagian dari makanan yang
resisten terhadap enzim pencernaan. Bakteria kolon memfermentasi
serat secara bervariasi. Serat secara general akan difermentasi
sehingga menurunkan cairan pada feses, membentuk asam lemak
rantai pendek yang mungkin memiliki efek prokinetik, dan
meningkatkan massa bakteri sehingga meningkatkan volume feses.
Selain itu terdapat juga serat yang tidak terfermentasi yang akan
menarik air dan meningkatkan massa feses. Lignin merupakan serat
insoluble yang paling efektif untuk meningkatkan pembuatan feses
dan transit (Brunton, 2006).
Bran atau dedak merupakan ampas pembuatan sereal dari
tepung yan mengandung lebih dari 40% serat. Wheat bran atau
dedak gandum mengandung tinggi llignin, sehingga paling efektif
untuk meningkatkan massa feses. Buah dan tumbuhan mengandung
banyak pectin dan hemiselulosa yang dapat difermentasi dan
memiliki efek yang lebih sedikit dalam transit feses. Serat
kontraindikasi pada pasien dengan gejala obstruktif dan pasien
dengan megakolon atau megarektum (Brunton, 2006).
Psyllium husk merupakan turunan dari biji Plantago ovata
yang

biasa

digunakan

untuk

membuat

produk

konstipasi

(metamucil). Psilium sekarang telah digantikan dengan preparat


yang lebih murni dan ditambahkan dengan musiloid (mucilloid),
suatu substansi hidrofilik yang membentuk gelatin bila bercampur
dengan air; dosis yang dianjurkan 1-3 kali 3-3,6 g sehari dalam 250

mL air atau sari buah. Pada penggunaan kronik, psilium dikatakan


dapat menurunkan kadar kolesterol darah, karena mengganggu
absorpsi asam empedu (Brunton, 2006;Gunawan, 2007).
Metilselulosa (citrucel) merupakan selulosa semisintetis yang
diberikan secara oral dan tidak diabsorpsi melalui saluran cerna
sehingga diekskresi melalui tinja. Dalam cairan usus, metalselulosa
akan mengembang membentuk gel emolien atau laruten kental, yang
dapat melunakkan tinja. Mungkin residu yang tidak dicerna
merangsang peristalsis usus secara refleks. Efek pencahar diperoleh
setelah 12-24 jam dan efek maksimal dalam beberapa hari
pengobatan. Obat ini tidak menimbulkan efek sistemik. Tetapi pada
beberapa pasien bisa terjadi obstruksi usus atau esofagus, oleh
karena itu metilselulosa tidak boleh diberikan pada pasien dengan
kelainan mengunyah. Metilselulosa digunakan untuk melembekkan
tinja pada pasien yang tidak boleh mengejan seperti hemoroid
(Brunton, 2006;Gunawan, 2007).
Natrium karboksimetilselulosa, obat yang tidak larut dalam
cairan lambung dan juga digunakan sebagai antasid. Agar-agar
merupakan koloid hidrofilik, kaya akan hemiselulosa yang tidak
dicerna dan tidak diabsorpsi. Dosis yang dianjurkan ialah 4-16 g.
Agar-agar merupakan pencahar massa yang mudah didapat dan
terterima baik karena rasa dapat disesuaikan secara individual
(Gunawan, 2007).
Polikarbofil dan kalsium polikarbofil (fibercon, fiberall)
merupakan poliakrilik resin hidrofilik yang tidak diabsorpsi, lebih
banyak mengikat air dari pencahar pembentuk massa lainnya.
Polikarbofil dapat mengikat air 60-100 kali dari beratnya sehingga
memperbanyak massa tinja. Preparat ini mengandung natrium dalam
jumlah kecil. Dalam saluran cerna kalsium polikarbofil dilepaskan
ion Ca++, sehingga jangan digunakan pada pasien yang asupan
kalsium dibatasi (Gunawan, 2007).
2) Agen osmotik (garam atau gula anorganik yang tidak dapat diserap)
a) Laksatif saline

Laksatif yang mengandung anion magnesium atau fosfat


disebut laksatif saline: magnesium sulfat, magnesium hidroksida,
magnesium sitrat, natrium fosfat. Aksi katartik dipercaya terjadi
akibat retensi air secara osmotik. Mekanisme lain yang
berpengaruh
Magnesium

adalah
pada

terproduksinya
laksatid

bisa

mediator

inflamasi.

menstimulasi

pelepasan

kolesistokinin (CCK) yang dapat meningkatkan akumulasi cairan


intralumen dan elektrolit serta meningkatkan motilitas intestinum.
Rasa pahit pada preparat ini dapat menginduksi nausea yang bisa
diatasi dengan pemberian air jeruk (Brunton, 2006).
Garam magnesium (MgSO4 = garam Epsom, garam Inggris)
diabsorpsi melalui usus kira-kira 20% dan diekskresi melalui
ginjal. Bila fungsi ginjal terganggu, garam magnesium berefek
sistemik menyebabkan dehidrasi, kegagalan fungsi ginjal,
hipotensi dan paralisis pernapasan. Pengobatan dalam keadaan ini
ialah dengan memberikan kalsium IV dan melakukan napas
buatan. Garam magnesium tidak boleh diberikan pada pasien
dengan gagal ginjal (Gunawan, 2007).
Garam fosfat dapat diabsorpsi lebih baik dibandingkan
magnesium sehingga memerlukan dosis yang lebih besar untuk
menginduksi katartik. Garam magnesium dan fosfat dapat
ditoleransi baik oleh tubuh, namun harus dihindari pada pasien
dengan

insufisiensi

ginjal,

penyakit

jantung,

preexisting

electrolyte abnormalities, dan pasien dengan terapi diuretik.


Pasien yang mengonsumsi lebih dari 45 ml natrium fosfat dapat
menyebabkan dehidrasi, gagal ginjal, asidosis metabollik, tetanus
akibat hipokalemia, dan bahkan kematian bagian populasi rentan
(Brunton, 2006).
b) Alkohol dan gula tidak dapat dicerna
Laktulosa (cephulac, chronulac)

adalah

disakarida

semisintetik dari galaktosa dan fruktosa yang resisten terhadap


aktivitas disakaridase pada intestinum dan tidak dapat diabsorpsi.
Laktulosa tersedia dalam bentuk sirup. Obat ini diminum bersama
sari buah atau air dalam jumlah cukup banyak. Laktulosa biasa

digunakan dalam terapi enselopatik hepatika. Laktulosa dapat


menjerat ammonia dan mengubahnya menjadi ion ammonium di
kolon akibat meningkatnya pembentukan asam lemak rantai
pendek yang diinduksi oleh penurunan pH oleh laktulosa.
Ammonia yang terjerat di usus tidak dapat berjalan ke hepar,
sehingga dapat mengurangi kinerja hepar untuk mendetosifikasi
ammonia (Brunton, 2006;Gunawan , 2007).
Sorbitol dan manitol merupakan gula yang tidak dapat
diserap, gula ini akan dihidrolisis di kolon menjadi asam lemak
rantai pendek yang dapat menstimulasi motilitas kolon dengan
menarik cairan ke lumen secara osmotik. Efeknya mungkin tidak
terlihat dalam 24-28 jam setelah pemberian. Abdominal
discomfort atau distensi dan flatulensi merupakan tanda umum
yang dirasakan pada beberapa hari pertama pada pengobatan
(Brunton, 2006).
c) Plyethylene Glycol-Electrolyte Solutions
Plyethylene glycols rantai panjang (PEGs) sulit untuk
diabsorpsi dan PEG dapat tersimpan dalam lumen karena
memiliki sifat osmotik tinggi. Apabila diberikan volume yang
tinggi, larutan PEG dapat memberikan efek katartik secara efektif
dan dapat digunakan untuk membersihkan kolon saat persiapan
prosedur

radiologi,

bedah,

dan

endoskopi.

Karena

sifat

osmotiknya yang tinggi, PEG dapat menarik carian ke dalam


intralumen dengan baik (Brunton, 2006).
3) Surfaktan dan emolien
Pencahar emolien dapat memudahkan defekasi dengan jalan
melunakkan tinja tanpa merangsang peristalsis usus, baik langsung
maupun tidak langsung. Pencahar surfaktan bekerja dengan
menurunkan tegangan permukaan, sehingga mempermudah penetrasi
air dan lemak ke dalam massa tinja. Tinja menjadi lunak setelah 2448

jam. Docusate salts merupakan surfaktan anionik yang juga

dapat menstimulasi intestinum untuk sekresi cairan dan elektrolit


(mungkin dikarenakan peningkatan siklus AMP mukosa) dan
meningkatkan permeabilitas mukosa intestinum. Docusate sodium

(dioksilsodium sulfosuccinate;colace, doxinate) dan docusinate


calcium

(dioksilkalsium

sulfosuccinate;surfak)

tersedia

dalam

beberapa dosis. Dioksilsodium sulfosuksinat pada manusia sesekali


menyebabkan

kolik

usus,

bersifat

hepatotoksik,

dan

dapat

meningkatkan risiko hepatotoksik obat-obat lain yang juga toksik


terhadap hati (Brunton, 2006;Gunawan, 2007).
Parafin cair (mineral oil) ialah campuran cairan hidrokarbon
yang diperolah dari minyak bumi. Setelah minum obat ini secara oral
2-3 hari tinja melunak, disebabkan berkurangnya reabsorpsi air dari
tinja. Parafin cair tidak dicerna di dalam usus dan hanya sedikit
diabsorpsi, yang diabsorpsi ditemukan pada limfonodus mesenterik,
hati dan limpa. Kebiasaan menggunakan parafin cair akan
mengganggu absorpsi zat larut lemak misalnya absorpsi karoten
menurun 50%,

juga absorpsi vitamin A dan D akan menurun.

Absorpsi vitamin K menurun dengan akibat hipoprotombinemia dan


juga dilaporkan terjadinya pneumonia lipid. Obat ini menyebabkan
pruritus ani, menyulitkan penyembuhan pascabedah daerah anorektal
dan menyebabkan perdarahan. Jadi, untuk penggunaan kronik jelas
obat ini tidak aman (Brunton, 2006;Gunawan , 2007).
b. Stimultan nonspesifik atau iritan (berefek pada sekresi cairan dan
motilitas)
Laksatif stimultan dapat bekerja langsung pada enterosit, neuron
enterik, dan otot polos usus sehingga meningkatkan pristalsis dan
sekresi lendir usus. Agen ini dapat menginduksi inflamasi ringan pada
usus halus dan usus besar sehingga menyebabkan akumulasi air dan
elektrolit serta stimulasi motilitas usus. Mekanismenya dengan aktivasi
prostaglandin pada siklus AMP dan NO pada siklus GMP, produksi
faktor aktivasi platelet, dan mungkin menginhibisi Na+, K+-ATPase.
Penghambatan sintesis prostaglandin dengan indometasin menurunkan
efek berbagai obat ini terhadap jumlah sekresi air. Defilmetan dan
antrakinon bekerja terbatas pada usus besar sehingga terdapat masa
laten 6 jam sebelum timbul efeknya. Minyak jarak yang bekerja pada
usus halus memiliki masa laten 3 jam (Brunton, 2006;Gunawan, 2007).

Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini antara lain


(Brunton, 2006;Gunawan, 2007) :
1) Derivat difenilmetan
Fenolftalein diberikan per oral dan mengalami absorpsi kirakira 15% di usus halus. efek fenilftalein dapat bertahan lama
karena mengalami sirkulasi enterohepatik. Sebagian besar
dieksresi melalui tinja, sebagian lagi melalui ginjal dalam bentuk
metabolitnya. Pemberian dosis besar fenolftalein menyebabkan
bentuk utuh ditemukan dalam urin, pada suasana alkali
menyebabkan urin dan tinja berwarna merah. Ekskresi bersama
ASI jumlahnya kecil sehingga tidak mempengaruhi bayi yang
disusui. Fenolftalein dapat menimbulkan reaksi alergi berupa
erupsi, sindrom Stevens-Johnson, urtikaria, dan pigmentasi kulit.
Kadang-kadang

menimbulkan

albuminuria

dan

adanya

hemoglobin bebas dalam urin (Gunawan, 2007).


Bisakodil (dulcolax, correctol) secara oral megalami hidrolisis
menjadi difenol di usus bagian atas. Difenol yang diabsorpsi
mengalami konjugasi di hati dan dinding usus. Metabolit ini
diekskresi melalui empedu, selanjutnya mengalami rehidrolisis
menjadi difenol kembali yang akan merangsang motilitas usus
besar. Efek pencahar timbul 6-12 jam setelah pemberian oral,
sehingga biasanya diberikan saat sebelum tidur dan efeknya akan
terasa besok pagi. 5% bisakodil diabsorpsi dan dieksresikan
bersama urin dalam bentuk glukoronid pada pemberian oral.
Ekskresi bisakodil terutama dalam tinja (Brunton, 2006;Gunawan,
2007).
Dosis oral dewasa 10-15 mg dan anak 5-10 mg (0,8
mg/kgBB). Bisakodil dapat menyebabkan kerusakan mukosa dan
menginisiasi respon inflamasi pada usus halus dan usus besar.
Aktivasi obat di lambung dapat menyebabkan kram dan iritasi
lambung, pasien harus menelan obat secara langsung, jangan
dihisap atau dihancurkan. Bisakodil juga jangan dimakan bersama
susu atau antasid. Efek sistemik bisakodil belum pernah
dilaporkan.

Bisakodil

dapat

menimbulkan

proktitis

pada

penggunaan selama beberapa minggu (Brunton, 2006;Gunawan,


2007).
Oksifenisatin asetat memiliki farmakodinamik mirip dengan
bisakodil. Efek pencaharnya tidak melebihi bisakodil. Obat ini
jarang digunakan karena dapat menimbulkan hepatitis dan ikterus
(Gunawan, 2007).
2) Antrakuinon
Obat ini merupakan derivat dari tanaman aloe, cascara, dan
senna yang mengandung monoantron atau antrakinon seperti
rhein dan frangula. Antrakuinon dapat mengiritasi mukosa mulut.
Proses penuaan dapat mengubahnya menjadi

diantron atau

bentuk glikosida, proses ini dibalik oleh bakteria kolon untuk


menghasilkan bentuk aktifnya, yaitu antrakinon. Efek antrakinon
yang tidak diinginkan ialah efek pencahar yang berlebihan. Zat
aktif bisa ditemukan pada ASI sehingga bisa mempengaruhi bayi
yang disusui. Melanosis kolon (pigmentasi kolon) dapat terjadi
dan menghilang setelah obat dihentikan 4-12 bulan (Brunton,
2006;Gunawan , 2007).
Kaskara sagrada (colamin, sagrada-lax) diperoleh dari kulit
pohon Rhamnis purshiana yang mengandung 6-9% antrakinon
dan glikosida berupa barbaloin dan chrysloin. Barbaloin juga
dapat ditemukan di aloe. Pemberian kaskara sagrada per oral
menyebabkan tinja menjadi lembek setelah 8-12 jam. Dilaporkan
bahwa pasien wanita 55 tahun yang mendapat kaskara sagrada 23 kali/minggu selama 5 tahun mengalami hipokalemia (Brunton,
2006;Gunawan , 2007).
Sena (senokot, ex-lax) berasal dari daun atau buah Cassia
acutifolia dan Cassia angustifolia, mengandung zat aktif senosida
A dan B. Sebagian antrakinon yang diabsorpsi akan diekskresikan
melalui ginjal dengan warna kuning sampai merah bila suasana
urin alkali. Sena banyak digunakan dalam campuran obat
tradisional yang diindikasikan sebagai obat pelangsing tubuh.
Dantron (dihiroksiantrakinon) lebih banyak mengandung bentuk

antrakinon bebas daripada bentuk glikosidanya. Tinja menjadi


lembek 6-8 jam setelah pemberian (Gunawan, 2007).
3) Castor oil (minyak jarak)
Minyak jarak (Castrol oil-oleum ricini) berasal dari biji
Ricinus communis, suatu trigliserida asam risinoleat dan asam
lemak tidak jenuh. Di dalam usus halus, minyak jarak dihidrolisis
oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam risinoleat. Asam
risinoleat inilah yang merupakan bahan aktif. Asam risinoleat
menstimulasi usus halus untuk sekresi cairan dan elektrolit serta
mempercepar trnasit di intertinum. Minyak jarak juga bersifat
emolien. Sebagai pencahar obat ini tida banyak digunakan lagi
karena banyak obat lain yang lebih aman. Minyak jarak
menyebabkan kolik, dehidrasi yang disertai gangguan elektrolit.
Apabila diminum saat lambung kosong, 4 ml castor oil dapat
memnyebabkan efek laksatif 1-3 jam, bisanya dosis pada orang
dewasa 15-60 ml bisa menimbukan efek katartik (Brunton,
2006;Gunawan , 2007).
c. Agen prokinetik (bekerja langsung terhadap motilitas)
Agen prokinetik dapat meningkatkan waktu transit di saluran
pencernaan dengan berinteraksi langsung pada reseptor spesifik yang
meregulasi motilitas. Obat ini sudah jarang digunakan akibat efeknya
yang dianggap kurang poten. Agonis reseptor 5-HT 4 seperti tegaserol
dianggap cukup poten untuk mengatasi konstipasi kronis. Agen lain
yang dapat digunakan ada misoprostol yang merupakan analog sintesis
prostaglandin yang berfungsi untuk melawan pembentukan ulkus
gaster. Prostaglandin dapat menstimulasi kontraksi kolon. Prostaglandin
juga dapat menyebabkan kontraksi uterus, sehingga tidak boleh
digunakan pada ibu hamil karena bisa menginduksi keguguran
(Brunton, 2006).
Pencahar terutama digunakan untuk mengobati konstipasi
fungsional dan tidak dapat mengatasi konstipasi yang disebabkan
keadaan patologis usus. Banyak penyebab konstipasi fungsional dapat
diatasi secara sederhana tanpa obat, misalnya dengan makanan berserat,

minuman adekuat, dan olah raga. Bila tindakan di atas tidak berhasil
tidak berhasil bisa digunakan obat pencahar. Sebaiknya obat pencahar
digunakan dengan dosis efektif yang paling rendah, jangan terlalu
sering, dan pengobatan dihentikan secepatnya (Gunawan, 2007).
Pencahar

emolien

misalnya

dioktilnatrium

sulfosuksinat

diindikasikan pada penyakit bila mengejan dan atau tinja keras dapat
membahayakan misalnya hemoroid, hernia, gagal jantung, penyakit
koroner,

hipertensi berat, dan peninggian tekanan intrakranial atau

intraokular. Untuk membersihkan isi usus sebelum pemeriksaan


radiologi, pemeriksaan rektum dan operasi usus sebaiknya digunakan
garam Inggris, bisakodil atau minyak jarak. Untuk menghilangkan
racun pada pasien keracunan sebaiknya digunakan garam Inggris atau
pencahar yang mudah didapat misalnya minyak goreng (Gunawan,
2007).
Pencahar dapat menurunkan sensitivitas mukosa sehingga usus
gagal bereaksi terhadap rangsang fisiologik.

Penggunaan pencahar

secara kronik dapat menyebabkan diare dengan akibat kehilangan air


dan gangguan keseimbangan elektrolit. Gangguan keseimbangan
elektrolit

akan

mengakibatkan

hipokalemia

melalui

terjadinya

aldosteronisme sekunder, bila deplesi volum plasma jelas. Steatore dan


gastroenteropati

disertai

kehilangan

protein

dengan

akibat

hipoalbuminuria. Di samping itu dapat pula terjadi kelemahan otot


rangka, berat badan menurun dan paralisis otot polos. Pengeluaran
kalsium yang

terlalu bnyak

dapat

menimbulkan osteomalasia

(Gunawan, 2007).
Kontraindikasi penggunaan pencahar adalah pada pasien dengan
dugaan apendisitis, obstruksi usus atau sakit perut yang tidak diketahui
sebabnya, dapat membahayakan. Semua pencahar tidak boleh diberikan
pada pasien dengan mual, muntah, spasme, kolik atau berbagai
gangguan abdomen lainnya (Gunawan, 2007).

5. Anti Diare
Antidiare dapat digunakan secara aman pada penderita diare akut
ringan hingga sedang. Namun, obat ini tidak boleh digunakan pada
penderita diare berdarah, demam tinggi atau toksisitas sistemis karena
adanya risiko perburukan kondisi-kondisi tersebut. Penggunaan agen-agen
ini harus dihentikan pada pasien yang diarenya memburuk walaupun sudah
diberi terapi. Antidiare juga digunakan pada penderita diare kronik yang
disebabkan oleh berbagai sindrom, seperti IBD atau penyakit usus
inflamatorik (Katzung, 2010).
Ada beberapa golongan obat diare, antara lain:
a. Agonis Opioid
Opioid memiliki efek konstipasi yang bermakna. Obat ini
meningkatkan segmentasi fasik kolon melalui inhibisi saraf
kolinergik presinaptik dalam pleksus submukosus dan mienterikus
sehingga menyebabkan peningkatan waktu transit dalam kolon dan
penyerapan air. Reflek gastrokolik dan pergerakan masal otot
dihambat oleh opioid. Meskipun semua opioid memiliki efek
antidiare, efeknya terhadap sistem saraf pusat dan adanya potensi
adiktif membatasi penggunaan dari opioid (Katzung, 2010).
Loperamid, merupakan agen opioid bebas yang tidak dapat
melewati BBB juga tidak memilki efek kecanduan dan analgesic.
Biasanya obat ini digunakan dua sampai empat kali dengan sediaan
2 mg. Contoh obat agonis opioid lainnya adalah difenoksilat, yang
pada dosis standar tidak memilki efek analgesik, namun dosisnya
jangka panjang dapat berefek pada sistem saraf pusat sehingga
dapat

menyebabkan

ketergantungan.

Sediaan

umumnya

mengandung sejumlah kecil substansi tambahan berupa atropin (2,5


mg difenoksilat dengan 0,025 mg atropin) untuk mencegah
overdosis. Sifat antikolinergik pada atropin dapat berperan dalam
timbulnya efek antidiare.
b. Senyawa bismuth koloidal
Seperti sukralfat, bismuth kemungkinan melapisi ulkus dan
erosi, yang menciptakan lapisan protektif terhadap asam dan

pepsin.

Sukralfat

kemungkinan

juga

merangsang

sekresi

prostaglandin, mucus, dan bikarbonat. Bismuth subsalisilat


menurunkan frekuensi buang air besar dan tingkat kecairannya
pada diare infeksius akut, akibat adanya inhibisi salisilat terhadapat
sekresi prostaglandin dan klorida usus. Bismuth memiliki efek
antimikroba

langsung

dan

mengikat

enterotoksin

sehingga

bermanfaat dalam mencegah dan mengobati travellers diarrhea.


Semua sediaan bismuth memilki profil keamanan yang sangat baik
namun efek samping obat ini dapat menghitamkan feses sehingga
keliru diartikan sebagai perdarahan gastrointestinal (Katzung,
2010).
c. Kaolin dan pectin
Kaolin merupakan magnesium alumunium silikat terhidrasi
(atalpugit) yang ada di alam, pectin adalah karbohidrat yang tidak
tercerna dari apel. Keduanya bekerja sebagai absorben bakteri,
toksin, dan cairan sehingga menurunkan kecairan dari feses. Efektif
pada diare akut namun jarang digunakan pada jangka panjang.
Dosis yang digunakan biasanya adalah 1,2-1,5 g setelah habis
defekasi (maksimal 9 g/hari). Sedian ini tidak memilki efek
samping yang bermakna. Obat ini tidak bisa digunakan bersamaan
dengan obat lain dalam waktu 2 jam, karena obat lain dapat diikat
oleh kaolin-pektin (Katzung, 2010).
d. Resin pengikat-garam empedu
Garam empedu konjugat biasa diserap di ileum terminal.
Penyakit pada ileum terminal atau reseksi bedah menyebabkan
malabsrobsi garam empedu, yang dapat menyebabkan diare
sekretorik kolonik (Katzung, 2010). Kolestipol atau kolestiramin
merupakan obat yang dapat mengurangi diare yang disebabkan
oleh asam empedu yang berlebihan dalam feses. Dosis yang
digunakan biasanya 4-5 gram satu hingga tiga kali sehari sebelum
makan. Efek samping yang dapat muncul meliputi perut kembung,
flatulens, konstipasi, dan impaksi feses. Pada penderita dengan
penurunan asam empedu, pengurangan asam empedu lebih lanjut
menyebabkan eksaserbasi malabsorpsi lemak. Agen-agen ini

mengikat sejumlah obat dan mengurangi absorpsinya, karena itu


obat ini tidak boleh digunakan bersama obat lain dalam waktu 2
jam.
e. Oktreotid
Somastostatin adalah peptida 14 asam amino yang dilepaskan
dalam saluran cerna dan pancreas dari sel prakrin, sel D, dan saraf
enteric serta dari hipotalamus. Agen ini merupakan petida regulatik
penting yang memiliki banyak efek fisiologis (Katzung, 2010):
1) Hambat sekresi sejumlah hormon dan transmiter, termaksud
gastrin,

kolesistokin,

glukagon,

hormon

pertumbuhan,

insulin, sekretin, polipeptida pankreas, peptida vasoaktif


usus, dan 5-HT.
2) Mengurangi sekresi dari cairan usus dan juga pancreas.
3) Menghambat kontraksi dari empedu dan motilitas saluran
cerna.
4) Memicu otot polos vaskular berkontraksi, yang menyebabkan
reduksi dari aliran darah portal dan splanknik.
5) Menghambat sekresi dari beberapa hormon hipofisis anterior.
Penggunaan klinis somastostatin dibatasi oleh waktu
paruhnya yang sangat singkat yaitu 3 menit, ketika diberikan secara
IV. Okterotid adalah oktapeptida yang kerjanya sama dengan
somastostatin. Bila diberikan secara IV, waktu paruh serum selama
1,5 jam. Obat ini juga dapat diberikan secara subkutan, dan durasi
kerjanya menjadi 6-12 jam. Formulasi dengan durasi kerja lebih
panjang tersedia dalam bentuk suntikan IM sekali sebulan
(Katzung, 2010).
6. Anti Emetik
a. Antihistamin-H1
1) Farmakokinetik
Diabsorbsi dengan baik melalui saluran cerna, di metabolisme,
terutama di hati. Metabolit yg inaktif dieksresikn ke dalam
urine.Obat ini mulai berkerja biasanya dlm 40 menit setelah
pemberian per oral. Beberapa antihistamin & meklizin memliki masa
kerja smpai 24 jam (Katzung, 2013).
2) Farkodinamik

Memblok stimulasi perifer (yg berasal dr perifer) pusat


muntah.Oleh karena itu, antihistamin ini paling efektif untuk
pengobtn & pencegeahan muntah pada mabuk perjalanan dan
disfungsi telinga dalam (Katzung, 2013).
3) Indikasi / kontra indikasi
Pemakain dengan obat yg berkerja sebagai antimuskarinik
(gol.fenotiazin/antidepresan trisiklik) akan menimbulkan keluhan
kekeringan mulut, takikardia (Katzung, 2013).
4) Efek samping
Pusing, sakit kpala, insomnia, gelisah, kelelahan, mual ringan,
rasa tidak enak di ulu hati atau anoreksia. Hipotensi, mengantuk
(Katzung, 2013).
5) Dosis obat(katzung, 2013):
a) Prometazin
12,5-50 mg IM/IV
b) Siklizin
25-50 mg IM/IV/PO
c) Difenhidramin 25-50 mg IM/IV/PO
d) Difenhidrinat
25-50 mg IM/IV/PO
b. Antikolinergik
1)
Bekreja dengan memblok area kolinergik pada nucleus
vestibular dan reticular formation. Digunakan pada motion sickness
(Katzung, 2013).
2)
Efek samping, konstipasi, mulut & tenggorokn kring, disuria,
retensi urine, impoten, gngguan pndgarn, pndangn kabur (Katzung,
3)

2013).
Contoh obat (Katzung, 2013):
Atropin
0,4-0,6 mg IM
Skopolamin

0,3-0,6 mg IM

c. Benzodiazepine
1) Potensial oprazolam dan loprazolam sebagai anti muntah adalah
rendah. Efeknya yang menguntungkan mungkin disebabkan efek
sedasi, ansiolitik, dan amnesiknya (Katzung, 2013).
2) Karena waktu paruh yang singat derta durasi aksi yang pendek
midazolam mungkin
(Katzung, 2013).

tepat digunakan bagi pasien rawat jalan

3) Benzodiazepin seperti lorazepam / diazepam digunakan sebagai


permulaan kemoterapi untuk mereduksi antisipasi mual atau mual
yang disebabkan oleh ansietas (Katzung, 2013).
4) Contoh obat : lorazepam dan diazepam (Katzung, 2013).
d. Cannabinoids
1) Derivatb mariyuana, termasuk dronalbinol [droe

NABinol]

dannabilon, efektif terhadap kemoterapi penyebab muntah yang


sedang. Namun, jarang menjadi obat anti muntah pilihan pertama,
karena efek sampingnya yang serius, termasuk disforia halusinasi,
sedasi, vertigo, dan disorientasi (Gunawan, 2007).
2) Meskipun sifat sifat psikotropik. Namun, efek anti muntah
kanabinoid tidak melibatkan otak, kanabinoid sintetik tidak memiliki
aktivitas psikotropik, namun merupakan anti muntah (Gunawan,
2007).
3) Contoh obat: tetrahydrocannabinol (THC) (marinol) (Gunawan,
2007).
e. Antagonis Dopamin
Bekerja dengan menghambat stimulasi CTZ dengan cara
meningkatkan motilitas GIT sehingga terjadi peningkatan gastric
emptying
Contoh obat : Metoclopramide
1) Sifat Kimia & Rumus Kimia Obat
Metoclopramide hydrochloride berbentuk bubuk putih, kristal,
tidak berbau atau hamper tidak berbau. Sanga tlarut dalam air,
mudah larut dalam alkohol, sedikit larut dalam kloroform, tidak
mudah larut dalam eter. Secara kimiawi, adalah 4-amino-5-chloro-N[2 -(dietilamino) etil]-2-methoxybenzamide monohydrochloride
monohydrate. Rumus struktur adalah sebagai berikut (Bennet, 2008):

2) Farmakologi Umum
Metoklopramid sebagai antagonis dopamine secara sentral
menghambat stimulasi CTZ obat ini mempunyai efek prokinetik
yang memperbaiki pengosongan lambung dengan cara mengurangi
stimulasi pusat muntah yang berasal dari perifer.

Metoklopramid tersedia dalam bentuk tablet dan cair. Obat ini


biasanya digunakan 4 kali sehari sebelum makan, 30 menit sebelum
makan dan tidur.Nama dagang yang sering dijumpai yaitu Clopra,
Maxolon, Metozolv, Reglan (Bennet, 2008).
3) Farmakodinamik
Metoklopramid digunakan untuk mengurangi gejala mual dan
muntah, terutama pada pasien diabetes (Bennet, 2008).
4) Farmakokinetik
Metoklopramid dengan cepat diabsorpsi di dalam saluran cerna,
dengan bioavailabilitas obat mencapai 32-100%. Waktu paruh
eliminasinya bergantung pada dosis intravena dan oral yang dipakai,
dosis tunggal 2-20 mg. Klirens obat ini menurun 50% pada pasien
gangguan fungsi ginjal (Bennet, 2008).
5) Toksisitas
Metoklopramid dapat menyebabkan efek samping seperti
mengantuk, kelelahan yang berat, badan lesu, sakit kepala, pusing,
gangguan siklus menstruasi, menurunkan libido, pembesaran atau
keluarnya cairan dari payudara dan ketidakmampuan dalam
mengontrol keluarnya urin (Bennet, 2008).
f. Derivat phenotiazine
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat transmisi
dopaminergic. Selain itu obat golongan ini dapat mengurangi vomit
yang disebabkan oleh iritasi gaster.
Contoh obat: prochloperazine dan promethazin
1) Sifat Kimia & Rumus Kimia Obat
Prometazinhidroklorida, turunanfenotiazin, 10H-Phenothiazine10-ethanamine,

N,

N,

-trimetil-,

monohydrochloride,

()

-denganrumus struktur berikut:

Promethazine hydrochloride berbentuk bubuk putih kekuningan,


tidak berbau, bubuk kristal yang perlahan-lahan mengoksidasi dan

berubah biru pada kontak yang terlalu lama dengan udara. Mudah
larut dalam air, dalam alkohol dehidrasi panas, dan dalam kloroform,
tidak larut dalam eter, dalam aseton dan etil asetat(Bennet, 2008).
2) Farmakologi Umum
Obat ini bekerja pada CTZ dengan cara menghambat transmisi
dopaminergik di SSP. Obat-obat ini juga mengurangi muntah yang
disebabkan oleh iritan-iritan lambung dan menunjukkan bahwa obat
ini menghambat stimulasi vagal perifer dan aferen simpatetik
(Bennet, 2008).
3) Farmakodinamik
Promethazine memiliki nama dagang Phenergan, digunakan
untuk terapi mual atau muntah, motion sickness dan reaksi alergi,
tetapi dapat menyebabkan efek sedasi yang melebihi obat golongan
antihistamin lainnya(Bennet, 2008).
4) Farmakokinetik
Bioavailabilitas promethazine rendah bila diberikan secara oral
dan per rectal.Obat ini memulai kerjanya dalam waktu 3-5 menit bila
diberikan secara intravena dan 20 menit bila diberikan secara
intramuscular, per oral ataupun per rectal. Lamanya obat ini bekerja
sekitar 4 sampai 6 jam bila diberikan per oral (terapi motion
sickness), dan 4-6 jam atau lebih dari 12 jam bila diberikan secara
intravena (terapi mual dan muntah). Dalam hal distribusi, obat ini
sebsar 93% akan berikatan dengan protein. Obat ini akan
dimetabolisme oleh hepar melalui kerja enzim P450 CYP2D6.
Metabolitnya berupa promethazine sulfoxide dan glucuronides
(inaktif).Untuk mekanisme eliminasinya, obat ini dieksresikan
terutama melalui urin, bisa juga melalui feses (Bennet, 2008).
5) Toksisitas
Efek samping obat ini antara lain mengantuk, pusing, pandangan
kabur, sakit kepala, mulut kering, susah buang air kecil dan
konstipasi (Bennet, 2008).
g. Antagonis reseptor 5-HT3
Pada bagian terminal nervus vagal dan bagian central CTZ
ditemukan adanya reseptor 5-HT3. Pada keadaan tertentu sel mukosa
pada GIT melepaskan serotonin yang menstimulasi reseptor 5-HT3

untuk menginduksi muntah. Antagonis reseptor 5-HT3 akan memblok


stimulasi serotonin sehingga tidak terjadinya induksi (Gunawan, 2007).
Golongan(Gunawan, 2007) :
1)

Granisetron
Granisetron tersedia dalam bentuk tablet dan cairan/sirup untuk
diminum secara oral. Untuk pencegahan mual dan muntah pada
kemoterapi, Granisetron biasanya diminum satu jam sebelum
kemoterapi dijalankan. Dosis kedua diberikan setelah 12 jam dari
dosis pertama.

2)

Ondansetron
Ondansetron diperuntukkan untuk mencegah mual dan muntah
yang

disebabkan

kemoterapi

kanker

atau

setelah

operasi.

Ondansetron bekerja dengan memblokade hormon Serotonin yang


menyebabkan muntah.Selain itu Ondansentron digunakan untuk
mengobati kecanduan alkohol.
3)

Tropisetron
Tropisetron digunakan untuk mual karena kemoterapi dan
muntah pada anak. Mencegah mual dan muntah setelah operasi.

7. Obat Gangguan Asam Lambung


a. Antasid
Antasid bekerja dengan menetralkan kondisi tertentu asam
tersebut, selain itu antasida juga beerja dengan cara menghambat
aktivitas enzim pepsin yang aktif bekerja pada kondisi asam. Enzim ini
diketahui juga berperan dalam menimbulkan kerusakan pada organ
saluran pencernaan manusia (Spruil, 2012).
Jenis-jenis obat antasida dan karakteristiknya (Spruil, 2012) :
Aluminium karbonat

Dapat

digunakan

dalam

terapi

hiperfosfatemia (abnormalitas kadar fosfat


dalam

darah)

dengan

cara

mengikat

senyawaan fosfat disaluran cerna sehingga


menghambat proses absorbsinya. Karena
kemampuan ini juga alumunium karbonat

dapat

digunakan

untuk

mencegah

pembentukan batu ginjal.


Dapat digunakan pada kondisi kekurangan

Calcium karbonat

kalsium

contohnya

osteoporosis

posmenopouse
Dapat digunakan pada kasus defisiensi

Magnesium karbonat

magnesium
Cara kerja obat :
Kombinasi aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida
merupakan antasid yang bekerja menetralkan asam lambung dan
menginaktifkan pepsin sehingga rasa nyeri ulu hati akibat iritasi oleh
asam lambung dan pepsin berkurang.
b. Antagonis reseptor H2
Golongan obat yang dapat menghambat kerja histamin pada sel
parietal

lambung,

oleh

karenanya

sekresi

asam

lambung

terganggu.Asam lambung dikeluarkan oleh sel parietal akibat adanya


rangasangan oleh histamin, gastrin, dan asetilkolin.
Yang termasuk antagonis reseptor H2 adalah simetidine,
ranitidine, nizatidine dan famotidine.Senyawa-senyawa antagonis
resptor H2 secara kompetitif dan reversibel berikatan dengan reseptor
H2 di sel parietal, menyebabkan berkurangya produksi sitolotik siklik
AMP dan sekresi histamine yang menstimulasi sekresi asam
lambung.Interaksi antara siklik AMP dan jalur kalsium menyebabkan
inhibisi parsial asetilkolin dan gastrin yang menstimulasi sekresi
asam.Yang potensinya paling lemah adalah simetidin sedangkan yang
paling kuat adalah femotidin.Ranitidin memiliki durasi yang lebih lama
dari simetidin.Ranitidin dan simetidin digunakan juga untuk profilaksis.
Reseptor H2 terdapat di lambung, pembuluh darah (Sutedjo,2010).
c. Proton Pump Inhibitor
Mekanisme kerja obat golongan PPI mengurangi sekresi lambung
dengan jalan menghambat enzim H+, K+, ATPase ( enzim ini dikenal
sebagai pompa proton) secara selektif dalam sel-sel parietal. Enzim
pompa proton bekerja memecah KH ATP yang kemudian akan
menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam

kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. Ikatan antara bentuk


aktif obat dengan gugus sulfhidril dari enzim ini menyebabkan
terjadinya penghambat terhadap kerja enzim.Kemudian dilanjutkan
terhentinya produksi asam lambung.
Obat-obatan golongan ini mempunyai masalah bioavailabilitas
karena mengalami aktivasi di dalam lambung lalu terikat pada berbagai
gugus sulfhidril mukus dan makanan.Oleh karena itu, sebaiknya
diberikan dalam bentuk tablet salut enterik.Obat-obatan golongan ini
juga mengalami metabolisme lengkap.Tidak ditemukan dalam bentuk
asal urin, 20% dari obat radioaktif yang ditelan ditemukan dalam tinja
(Sulistia, 2011).

II. METODE PEMERIKSAAN


A. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Beaker glass
b. Sonde lambung
c. Spuit injeksi 3cc
d. Kertas saring
e. Papan lilin
2. Bahan
a. MgSO4
b. Bisakodil
c. Jamu Merit
d. Vegeta
B. Hewan Percobaan
Tikus Putih (Rattus Novergicus)

Gambar 3.1 Tikus Putih

C. Cara Kerja
4 tikus (masing-masing)
Ditimbang beratnya

Dimasukkan dalam beaker glass yang sudah dilapisi kertas saring

Amati selama 15 menit, apakah sudah mengeluarkan feses

Diberi MgSO4

Diberi bisakodil

Diberi jamu merit

Beri vegeta

Amati konsistensi dan jumlah feses masing-masing tikus setelah dan sebelum pemberian obat

Bagan 3.1 Skema Cara Kerja Praktikum

Gambar 3.2 Pemberian Sonde Lambung pada Hewan Percobaan


III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Tabel 1. Hasil Pengamatan Feses Tikus
No
1

Obat
MgSO4

Sebelum

4 jam setelah

14 jam setelah

pemberian obat

pemberian obat

pemberian obat

Jumlah feses 4,
Jumlah feses 6,

Jumlah feses 3,

Konsistensi cukup

konsistensi

konsistensi

kering,

lembek , bentuk

lembek , bentuk

Bentuk silinder,

silindrr , warna

silinder , warna

coklat

kuning

kehitaman

kecoklatan

Jumlah feses 6,

Jumlah feses 9,

Jumlah feses 4,

Konsistensi padat,

Konsistensi

Warna kuning
coklat kehitaman
2

Vegeta

Warna coklat

Bisacodil

Merit

lembek berair ,
warna coklat

kehijauan

Warna coklat

Jumlah feses 6

Jumlah feses 7,

Jumlah feses 4,

Konsistensi padat

Konsistensi

Konsistensi

lembek,

lembek,

Warna coklat

Warna coklat

Jumlah feses 5,

Jumlah feses 8,

Jumlah feses 5,

Konsistensi padat,

Konsistensi

Konsistensi

lembek

lembek berair

Warna hitam

Warna coklat tua

Warna coklat tua

lembek,

konsistensi

Warna coklat tua

B. PEMBAHASAN
1. MgSO4
Pada tikus yang diberi obat pencahar MgSO 4, efek kerjanya baru
terlihat 4 jam setelah pemberian obat. Setelah 4 jam pasca pemberian obat,
terjadi perubahan konsistensi feses tikus menjadi lebih lembek akan tetapi
tidak ada perubahan pada bentuk dan warna, akan tetapi jumlahnya lebih
banyak menjadi 6 buah setelah dibandingkan pada 30 menit setelah
pemberian obat yang hanya 4 buah..
Setelah 14 jam pasca pemberian obat dapat dilihat perubahan jumlah
yang menjadi lebih sedikit yaitu 3 buah dengan konsistensi lebih lembek
lagi dan ada perubahan warna menjadi kuning kecoklatan.
MgSO4 merupakan obat pencahar golongan osmotik/garam yang
cara kerjanya dengan menarik air ke dalam lumen kolon sehingga
meningkatkan peristaltik usus dan tinja yang dihasilkan akan menjadi lebih
lembek. Efek kerja pencahar golongan ini pada manusia biasanya terlihat
3-6 jam setelah pemberian obat. Pada tikus percobaan ini, ternyata efek
pencahar mulai terlihat setelah 3 jam pasca pemberian MgSO 4. Keadaan
ini sesuai dengan teori yang terdapat dalam literatur dimana obat ini akan
mengurangi kepadatan feses dan efeknya baru terlihat setelah 6 jam pasca
pemberian obat (Tanu, 2007).
2. Vegeta
Vegeta merupakan supplemen yang terdiri dari kombinasi serat,
laksatif alami dan anti kembung yang berasal dari tumbuh-tumbuhan alami
dan berfungsi untuk melancarkan buang air besar yang sudah macet. Cara
kerjanya dengan mengikat air dan ion dalam lumen kolon, sehingga tinja
yang dihasilkan akan menjadi lebih banyak dan lunak. Laksatif pembentuk
massa adalah koloid hidrofilik tak tercerna yang menyerap air, dan
membentuk gel emolien bermassa yang meregangkan kolon sehingga
merangsang peristaltis. Sediaannya yang banyak dijumpai meliputi produk
tanaman alamiah seperti psilium, metilselulosa dan serat sintetis
polikarbofil. Efek kerja pencahar golongan ini pada manusia biasanya
terlihat 12-24 jam setelah pemberian obat. (Estuningtyas, 2007).

Pada tikus percobaan ini, ternyata efek pencahar mulai terlihat sejak
4 jam pasca pemberian vegeta dan efeknya mulai menurun setelah 14 jam
pasca pemberian obat. Keadaan ini mungkin terjadi akibat faktor stres dari
tikus, karena pada waktu praktikum praktikan kurang memberi efek stres
pada tikus.

3. Bisakodil
Bisakodil merupakan obat pencahar golongan pencahar rangsang
(stimulan/ irritan non spesifik) yang cara kerjanya dengan merangsang
mukosa, saraf intramural atau otot polos usus sehingga meningkatkan
peristaltik dan sekresi lendir usus. Efek kerja pencahar golongan ini pada
manusia biasanya terlihat 6-12 jam setelah pemberian oral, dan 15 menit-1
jam pada pemberian rektal (Estuningtyas, 2007).
Pada tikus yang diberi obat pencahar bisakodil, efek kerjanya terlihat
setelah 4 jam pasca pemberian obat dimana terjadi perubahan jumlah dan
konsistensi feses tikus menjadi lebih banyak dan lemek setelah pemberian
obat dibandingkan pada saat awal pengamatan sebelum pemberian obat. 14
jam setelah pemberian bisakodil, perubahan terjadi konsistensi feses
menjadi lunak dan lebih sedikit dibanding 4 jam sebelumnya, hal ini
mungkin disebabkan karena efek obat yang mulai berkurang selama pasca
pemberian obat, dimana efek kerja golongan pencahar biasanya terlihat 612 jam setelah pemberian oral dan mungkin juga disebabkan karena feses
dari tikus yang memang sudah habis, karena kelompok kami juga tidak
memberikan makanan ke tikus percobaan tersebut (Estuningtyas, 2007).

4. Merit
Pada tikus yang diberi obat pencahar jamu merit, efek kerjanya
terlihat setelah 4 jam pasca pemberian obat dimana terjadi perubahan

jumlah dan konsistensi feses tikus menjadi lebih banyak dan lebih lembek
dan warnanya lebih hitam.
Setelah pemberian obat dibandingkan pada saat awal pengamatan
sebelum pemberian obat 14 jam setelah pemberian jamu merit, efek obat
terlihat semakin kuat dengan ditandai perubahan konsistensi feses menjadi
lembek berair dengan jumlah yang lebih sedikit dibanding sebelumnya.
Jamu merit merupakan obat pencahar yang mengandung Guazumae
Folium, Rhei Radix, dan ekstrak Granati Fructus Cortex. Guazumae
Folium bekerja secara langsung dalam sistem pencernaan dengan
membentuk sebuah lapisan untuk melindungi membran mukosa dari
saluran pencernaan sehingga mempercepat perjalanan makanan. Rhei
Radix merupakan derivat dari Antrakuinon yang memiliki efek pencahar
rangsang. Pada saat yang bersamaan, ekstrak Granati Fructus Cortex
menyebabkan penyempitan pori-pori usus sehingga menurunkan absorbsi
makanan. Pada manusia, obat ini biasanya memberi efek pencahar 8-12
jam setelah pemberian obat (Jamugarden, 2011).
Pada tikus yang diberi merit, ternyata efek pencahar mulai terlihat
setelah 4 jam pasca pemberian jamu merit dan efeknya mulai meningkat
setelah 14 jam pasca pemberian obat. Keadaan ini mungkin terjadi akibat
kondisi tubuh tikus yang berbeda dengan manusia juga mungkin
berpengaruh pada hasil percobaan sehingga efek obat tersebut berlangsung
lebih cepat pada tikus.

IV. APLIKASI KLINIS


A Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai
indurasi dengan dasar tukak tertutup debris (Tarigan, 2009).Ulkus peptikum
merupakan erosi lapisan mukosa biasanya di lambung atau duodenum
(Corwin, 2009).Ulkus peptikum adalah keadaan terputusnya kontinuitas
mukosa yang meluas di bawah epitel atau kerusakan pada jaringan mukosa,
sub mukosa hingga lapisan otot dari suatu daerah saluran cerna yang
langsung berhubungan dengan cairan lambung asam/pepsin (Sanusi, 2011).

Gambaran Klinis yang dapat ditemukan pada pasien dengan ulkus


peptik (Davey, 2005):
1 Dispepsia, nyeri abdomen adalah gejala klasik dari ulkus duodenum,
khas memburuk di malam hari dan seringkali berkurang dengan
2
3

makan.
Muntah bisa menunjukkan adanya edema atau stenosis pilorus.
Perdarahan gastrointestinal sering merupakan keluhan utama pada

ulkus peptik.
Perforasi disertai peritonitis kadang-kadang merupakan keluhan
utama atau tanda komplikasi
Terdapat dua kunci utama yang berkaitan dengan patogenesis ulkus

peptikum.Pertama, prasyarat mendasar terjadinya ulkus peptik adalah


terpajannya mukosa ke asam lambung dan pepsin.Kedua, terdapat keterkaitan
kausal yang erat dengan infeksi yang erat dengan infeksi Helicobacter
Pylori.H. Pylori adalah bakteri batang gram negatif, berbentuk S, tidak
invasif, tidak membentuk spora, dan berukuran sekitar 3,5 x 0,5 m. Apabila
terjadi

infeksi

H.

Pylori,

mengeliminasi/memusnahkan
PMN/limfosit

yang

host
bakteri

menginfiltrasi

akan
ini

memberi
melalui

mukosa

secara

respon

untuk

mobilisasi

sel-sel

intensif

dengan

mengeluarkan mediator-mediator inflamasi atau sitokin seperti IL-8, gamma


interferon alfa, tumor nekrosis factor, dll, yang bersama-sama dengan reaksi
imun yang timbul justru akan menyebabkan kerusakan sel-sel epitel
gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi bakteri
dan infeksi menjadi kronik (Akil, 2009).
Sedangkan patofisiologi utama kerusakan gastroduodenal akibat
OAINS adalah disrupsi fisiokimia pertahanan mukosa gaster dan inhibisi
sistemik terhadap pelindung mukosa gaster melalui inhibisi aktivitas COX
mukosa gaster.Kerusakan pertahanan mukosa terjadi akibat efek OAINS
secara lokal. Beberapa OAINS bersifat asam lemah sehingga bila berada
dalam lambung yang lumennya bersifat asam (pH kurang dari 3) akan
berbentuk partikel yang tidak terionisasi. Dalam kondisi tersebut, partikel
obat akan mudah berdifusi melalui membran lipid ke dalam sel epitel mukosa
lambung bersama dengan ion H+ .Dalam epitel lambung, suasana menjadi
netral sehingga bagian obat yang berdifusi terperangkap dalam sel epitel dan

terjadi penumpukan obat pada epitel mukosa. Akibatnya, epitel menjadi


sembab, pembentukan PG terhambat, dan terjadi proses inflamasi (Valle,
2008).

Selain

itu,

phosphorylation

adanya

yang

uncoupling

menyebabkan

of

mitochondrial

penurunan

produksi

oxidative
adenosine

triphosphate (ATP), peningkatan adenosine monophosphate (AMP), dan


peningkatan adenosine diphosphate (ADP) dapat menyebabkan kerusakan sel.
Perubahan itu diikuti oleh kerusakan mitokondria, peningkatan pembentukan
radikal oksigen, dan perubahan keseimbangan Na+ /K+ sehingga menurunkan
ketahanan mukosa lambung. Lebih lanjut lagi, kondisi itu memungkinkan
penetrasi asam, pepsin, empedu, dan enzim proteolitik dari lumen lambung
(Gosal, 2012).
Inhibisi sistemik terhadap pelindung mukosa gaster terjadi melalui
penghambatan aktivitas COX mukosa gaster.Prostaglandin yang berasal dari
esterifikasi asam arakidonat pada membran sel berperan penting dalam
memperbaiki dan mempertahankan integritas mukosa gastroduodenal.Enzim
utama yang mengatur pembentukan PG adalah COX yang memiliki dua
bentuk yaitu COX-1 dan COX-2.Masing-masing enzim tersebut memiliki
karakteristik berbeda berdasarkan struktur dan distribusi jaringan.COX-1
yang berada pada lambung, trombosit, ginjal, dan sel endotelial, memiliki
peran penting dalam mempertahankan integritas fungsi ginjal, agregasi
trombosit, dan integritas mukosa gastrointestinal.Sementara itu, COX-2 yang
diinduksi oleh rangsangan inflamasi terekspresi pada makrofag, leukosit,
fibroblas, dan sel sinovial (Valle, 2008).
Pada jaringan inflamasi, OAINS memiliki efek menguntungkan melalui
penghambatan COX-2 dan efek toksik melalui penghambatan COX-1 yang
dapat

menyebabkan

ulserasi

mukosa

gastrointestinal

dan

disfungsi

ginjal.Penghambat COX-2 selektif mempunyai efek menguntungkan dengan


menurunkan inflamasi jaringan dan mengurangi efek toksik terhadap saluran
cerna. Namun demikian, golongan tersebut memiliki efek samping pada
sistem kardiovaskular berupa peningkatan risiko infark miokard, stroke, dan
kematian mendadak.5,11 Efek samping tersebut berkaitan dengan efek
antiplatelet

yang

minimal

pada

penghambat

COX-2

karena

tidak

memengaruhi tromboksan A2 (TX-A2 ). TX-A2 merupakan suatu agonis

platelet dan vasokonstriktor serta secara selektif menyupresi prostasiklin


endotel.Oleh karena itu, Food and Drugs Administration (FDA) telah menarik
valdekoksib dan rofekoksib yang memiliki efek samping pada kardiovaskular
dari pasaran (Gosal, 2012).Selekoksib adalah penghambat COX-2 dengan
efek kardiovaskular paling minimal dan aman digunakan dengan dosis rendah
200 mg/hari (Scheiman, 2005).
Sebagai konsekuensi penghambatan

COX,

sintesis

leukotrien

meningkat melalui perubahan metabolisme asam arakidonat ke jalur 5lipoxygenase (5-LOX). Leukotrien terlibat dalam proses kerusakan mukosa
gaster karena menyebabkan iskemik jaringan dan inflamasi. Peningkatkan
ekspresi molekul adhesi seperti intercellular adhesion molecule-1 oleh
mediator

proinflamasi

menyebabkan

aktivasi

neutrophilendothelial.

Perlekatan neutrofil ini berkaitan dengan patogenesis kerusakan mukosa


gaster melalui dua mekanisme utama: yaitu oklusi mikrovaskular gaster oleh
mikrotrombus menyebabkan penurunan aliran darah gaster dan iskemik sel
serta peningkatan pelepasan oksigen radikal. Radikal bebas tersebut bereaksi
dengan asam lemak tak jenuh mukosa dan menyebabkan peroksidasi lemak
serta kerusakan jaringan (Gosal, 2012). OAINS juga memiliki efek lain
seperti menurunkan angiogenesis, memperlambat penyembuhan, dan
meningkatkan endostatin (faktor antiangiogenik) relatif terhadap endothelial
cell growth factor (suatu faktor proangiogenik) (Blandizzi, 2008).
Pada umumnya manajemen atau pengobatan ulkus peptikum dilakukan
secara medikamentosa, sedangkan cara pembedahan dilakukan apabila terjadi
komplikasi seperti perforasi, obstruksi, dan perdarahan yang tidak dapat
diatasi. Tujuan pengobatan adalah (Akil, 2009):
1 Menghilangkan gejala-gejala terutama nyeri epigastrium.
2 Mempercepat penyembuhan ulkus secara sempurna.
3 Mencegah terjadinya komplikasi.
4 Mencegah terjadinya kekambuhan.
Tata laksana awal yang paling sering digunakan untuk infeksi H. Pylori
yaitu triple therapy yang terdiri dari PPI, amoksisilin dan klaritromisin yang
diberikan 2 kali sehari selama 7-14 hari. Metronidazol dapat digunakan untuk
menggantikan amoksisilin pada pasien yang alergi terhadap penisilin.Variasi
dalam lamanya terapi bergantung pada pola resistensi H. pylori yang berbeda
di setiap daerah. Untuk wilayah Eropa dan Asia Pasifik dianjurkan lama

eradikasi ini 7 hari sementara American College of Gastroenterology (ACG)


menganjurkan lama eradikasi 14 hari (Kho, 2010).
Dosis yang digunakan adalah amoksisilin 2x1g/hari, klaritromisin
2x500 mg/hari.dan omeprazol 2x20 mg/hari. Ada pula yang menggunakan
pantoprazol karena pantoprazol memiliki kemungkinan interaksi obat yang
lebih kecil dibandingkan dengan PPI lainnya.Studi HYPER menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara efektivitas regimen
triple therapy 7 hari dengan regimen triple therapy 14 hari (Kho, 2010).

DAFTAR PUSTAKA
Akil KMZ. 2009. Tukak Duodenum dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Ilmu Dalam
Edisi V Jilid I. Jakarta: Interna Publishing.
Ari,Estuningtyas; Azalia Arif. 2007.Obat Lokal. Farmakologi dan Terapi edisi 6.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Bennet. P. N, Brown M J. 2008. Clinical Pharmacology Tenth Edition. London :
Churchill Livingstone.
Blandizzi C., et al. 2008. Clinical efficacy of esomeprazole in the prevention and
healing of gastrointestinal toxicity associated with NSAIDs in elderly
patients. Drugs Aging. Vol. 25(3) :197-208.
Brunton L.L., Lazo J.S., Parker K.L. 2006. Goodman & Gilmans The
Pharmacological Basis of Therapeutics. New York: McGraw-Hill.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Ulkus Peptikum. Dalam: Buku Saku Patofisiologi.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Davey, Patrick. 2005. At Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta :
EGC.
Ganong, William F. 2010. Review of Medical Physiology 23rd edition. New York:
The McGraw-Hill Companies.Inc.

Gosal, Fandy, Bram Paringkoan, dan Nelly Tendean Wenas. 2012. Patofisiologi
dan Penanganan Gastropati Obat Antiinflamasi Nonsteroid. Journal
Indonesia Medical Association. Vol. 62(11): 444-449
Gunawan, S.G., et al. ed. 2012. Farmakologi Dan Terapi FKUI Edisi 5. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.
Jamugarden. 2011. Jamu Merit Plus - Lose Weight Fast The Healthier Way.
Jamugarden.
Katzung, B.G. 2010. Farmakologi Dasar Dan Klinik Edisi 10. Jakarta: EGC
Kho, dragon. 2010. Diagnosis dan Tata Laksana Terkini Infeksi Helicobacter
pylori. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 60(8): 381-384.
Longo, Dan L. et al. Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Ed.18.
Jakarta: EGC
Sanusi, Iswan A. 2011. Tukak Lambungdalam Buku Ajar Gastroenterologi.
Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Tanu, Ian. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi Kelima. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
Tarigan, P. 2009. Tukak Gaster dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Ilmu Dalam Edisi
V Jilid I. Jakarta: Interna Publishing
Valle JD. 2008. Peptic ulcer disease and related disorders dalam Harrisons
principle of internal medicine16th Ed. New York: McGraw-Hill

Anda mungkin juga menyukai